14
72 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian tentang hubungan Pelatihan Clinical Instructor (CI) dengan Lingkungan Belajar Klinik Di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dilakukan pada bulan Juli 2011 terhadap 36 responden CI, maka didapatkan hasil berikut : 1. Karakteristik Responden a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Karakteristik responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Clinical Instructor Berdasarkan Umur di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga Bulan Juli Tahun 2011 No. Umur (Tahun) Frekuensi (Orang) Prosentase (%) 1 21-24 tahun 0 2 25-40 tahun 30 83.3 3 41-55 tahun 6 16.7 Jumlah 36 100 Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada penelitian pada kategori dewasa tengah yang berusia 25-40 tahun yaitu sebanyak 30 orang (83,3%), responden pada kategori dewasa akhir Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

skripsi_rahajeng_bab4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

x

Citation preview

  • 72

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Hasil Penelitian

    Berdasarkan penelitian tentang hubungan Pelatihan Clinical Instructor

    (CI) dengan Lingkungan Belajar Klinik Di RSUD Dr. R. Goeteng

    Taroenadibrata Purbalingga dilakukan pada bulan Juli 2011 terhadap 36

    responden CI, maka didapatkan hasil berikut :

    1. Karakteristik Responden

    a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

    Karakteristik responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel 4.1.

    Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Clinical Instructor Berdasarkan Umurdi RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga BulanJuli Tahun 2011

    No. Umur (Tahun) Frekuensi (Orang) Prosentase (%)1 21-24 tahun 02 25-40 tahun 30 83.33 41-55 tahun 6 16.7

    Jumlah 36 100

    Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada

    penelitian pada kategori dewasa tengah yang berusia 25-40 tahun yaitu

    sebanyak 30 orang (83,3%), responden pada kategori dewasa akhir

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 73

    sebanyak 6 orang (16,7%), dan tidak ada responden dengan kategori usia

    21-24 tahun.

    b. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

    Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada

    tabel 4.2.

    Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Clinical Instructor Berdasarkan JenisKelamin di RSUD Dr. R. Goeteng TaroenadibrataPurbalingga Bulan Juli Tahun 2011

    No. Jenis Kelamin Frekuensi (Orang) Prosentase (%)1 Laki-laki 8 22.22 Perempuan 28 77.8

    Jumlah 36 100

    Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden

    penelitian berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 28 orang (77,8%),

    dan responden laki-laki sebanyak 8 orang (22,2%).

    c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

    Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Clinical Instructor BerdasarkanPendidikan di RSUD Dr. R. Goeteng TaroenadibrataPurbalingga Bulan Juli Tahun 2011

    No. Pendidikan Frekuensi (orang) Prosentase (%)1 D3 24 66,72 S1 Ners 12 33,3

    Jumlah 36 100

    Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pendidikan terakhir sebagian besar

    responden penelitian adalah D3 yaitu sebanyak 24 orang (66,7) dan

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 74

    responden dengan pendidikan terakhir S1 Ners sebanyak 12 orang

    (33,3%).

    d. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja

    Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada

    tabel 4.4.

    Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Clinical Instructor Berdasarkan MasaKerja di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata PurbalinggaBulan Juli Tahun 2011

    No. Masa Kerja Frekuensi (orang) Prosentase (%)1 5 Tahun 33 91,7

    Jumlah 36 100

    Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden

    penelitian telah bekerja selama lebih dari 5 tahun sebanyak 33 orang

    (91,7%), responden yang bekerja antara 1 sampai 5 tahun sebanyak 3

    orang (8,3%), dan tidak ada responden dengan masa kerja kurang dari 5

    tahun.

    2. Pelatihan CI di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

    Pelatihan CI di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga

    dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kurang, sedang, dan baik yang dapat dilihat

    pada tabel 4.5.

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 75

    Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pelatihan CI di RSUD Dr. R. GoetengTaroenedibrata Purbalingga.

    No. Pelatihan CI Frekuensi (orang) Prosentase (%)1 Kurang 0 02 Sedang 18 503 Baik 18 50

    Jumlah 36 100

    Tabel 4.5 menunjukkan bahwa tidak ada responden dengan

    kategori pelatihan kurang, sebagian responden memiliki kategori baik dalam

    pelatihan CI yaitu sebanyak 18 orang (50%) dan sebagian lagi berada pada

    kategori sedang dalam pelatihan CI yaitu sebanyak 18 orang (50%).

    3. Lingkungan Belajar Klinik di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata

    Purbalingga.

    Lingkungan Belajar Klinik di RSUD Dr. R. Goeteng

    Taroenadibrata Purbalingga dibagi menjadi 3 kategori yaitu kurang, baik,

    dan sangat baik yang dapat dilihat pada table 4.6.

    Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Lingkungan Belajar Klinik di RSUD Dr. R.Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

    No. Lingkungan Belajar Klinik Frekuensi (orang) Prosentase (%)1 Kurang 0 02 Baik 12 33,33 Sangat Baik 24 66,7

    Jumlah 36 100

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 76

    Tabel 4.6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki

    lingkungan belajar klinik dengan kategori sangat baik yaitu sebanyak 24

    orang (66,7%), sebagian memiliki lingkungan belajar dalam kategori baik

    yaitu sebanyak 12 orang (33,3), dan tidak ada responden dengan kategori

    kurang dalam lingkungan belajar klinik.

    4. Hubungan Pelatihan Clinical Instructor (CI) Dengan Lingkungan Belajar

    Klinik Di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

    Hubungan Pelatihan Clinical Instructor (CI) Dengan Lingkungan

    Belajar Klinik Di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dapat

    dilihat pada tabel 4.7.

    Tabel 4.7 Hubungan Pelatihan Clinical Instructor (CI) Dengan LingkunganBelajar Klinik Di RSUD Dr. R. Goeteng TaroenadibrataPurbalingga

    Variabel (r) p KeteranganPelatihanClinicalInstructor (CI)

    LingkunganBelajar Klinik

    0,471 0,05 0,004 Bermakna

    Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa hasil uji statistik untuk

    mengetahui hubungan pelatihan CI dengan lingkungan belajar klinik di

    RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dengan menggunakan

    Spearman Rank, diperoleh hasil nilai Spearman rho = 0,471 dengan nilai p =

    0,004 yang lebih kecil dari nilai = 0,05. Nilai Spearman rho= 0,471

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 77

    termasuk berpola positif dan berada dalam rentang korelasi cukup yang

    artinya hubungan antara pelatihan CI terhadap lingkungan belajar klinik

    menunjukan tingkat keeratan hubungan yang cukup. Sedangkan nilai p =

    0,004 yang lebih kecil dari nilai = 0,05 tersebut menunjukan bahwa ada

    hubungan yang bermakna secara statistik antara pelatihan CI terhadap

    lingkungan belajar klinik di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenedibrata. Dengan

    demikian hipotesis penelitian Ha diterima artinya secara statistic terdapat

    hubungan antara pelatihan CI terhadap lingkungan belajar klinik di RSUD

    Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

    B. Pembahasan

    1. Karakteristik Responden

    a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

    Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa umur responden yang

    menduduki peringkat tertinggi adalah pada usia dewasa tengah sebanyak

    30 orang (83,3%), usia dewasa akhir sebanyak 6 orang (16,7%) dan usia

    dewasa awal sebanyak 0 orang (0%). Hal ini sesuai dengan penelitian Al

    Aziz (2011) dengan judul Hubungan Lingkungan Belajar Klinik dengan

    Persepsi Perawat Terhadap Uji Kompetensi di RSUD Banyumas yang

    menyatakan bahwa mayoritas umur responden paling dominan adalah umur

    dewasa tengah sebanyak 99 perawat.

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 78

    b. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

    Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa jenis kelamin

    responden terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 28 orang (77,8%),

    dan responden laki-laki sebanyak 8 orang (22,2%). (Dauglas, 1994)

    menyatakan bahwa dunia keperawatan sangat didominasi oleh kaum

    wanita, karena dari peminatnya juga kebanyakan kaum wanita dibanding

    dengan laki laki, selain itu profesi keperawatan dianggap identik dengan

    rasa keibuan seorang wanita. Perawat perempuan pada umumnya

    mempunyai kelebihan dibandingkan dengan perawat laki laki yang

    terletak pada kesabaran, ketelitian, tanggap, kelembutan, naluri mendidik,

    merawat, mengasuh, melayani dan membimbing.

    c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

    Berdasarkan tabel 4.3 dpat diketahui bahwa pendidikan responden

    terbanyak adalah pada tingkat pendidikan D3 yaitu sebanyak 24 orang

    (66,7%) dan S1 Ners sebanyak 12 orang (33,3%).

    Hal ini sesuai dengan penelitian Diana (2006) yang menyatakan

    bahwa besarnya porsi tenaga keperawatan yang berpendidikan D3 bisa

    disebabkan karena adanya upaya dari pihak fasilitas pelayanan kesehatan

    dalam mengembangkan profesionalisme pelayanan keperawatan dan

    memberikan kesempatan kepada perawat untuk melanjutkan pendidikan

    formal pada bidang keperawatan sehingga diharapkan dapat memiliki

    landasan keilmuan yang kokoh sesuai profesi.

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 79

    d. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja

    Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa responden

    penelitian yang telah bekerja lebih dari 5 tahun yaitu sebanyak 33 orang

    (91,7%), diikuti responden dengan masa kerja antara 1 sampai 5 tahun

    yaitu sebanyak 3 orang (8,3%). Masa kerja adalah lamanya seseorang

    bekerja dalam suatu organisasi. Siagian (1997) mengatakan bahwa

    semakin lama orang bekerja dalam suatu organisasi maka semakin tinggi

    motivasi kerjanya. Hasil penelitian Mc. Danier et al (dalam Robbins,

    1996) menyatakan bahwa tidak dapat dipastikan orang yang telah bekerja

    pada suatu pekerjaan akan lebih produktif dibandingkan dengan karyawan

    yang masa kerjanya lebih sedikit (lebih pendek).

    2. Pelatihan CI

    Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa sebagian besar responden

    barada dalam kategori baik dalam mengikuti pelatihan CI yaitu sebanyak

    18 orang (50%) seimbang dengan responden dengan kategori sedang

    yaitu sebanyak 18 orang (50%). Hal tersebut menunjukan bahwa

    pelatihan CI RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata berada pada kategori

    baik dan sedang.

    PPNI (2010) mengemukakan bahwa pelatihan CI yang baik adalah

    pelatihan yang didalamnya memuat beberapa unsur yang memadai yaitu

    latar belakang penyelenggaraan pelatihan, penyelenggara Pelatihan CI,

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 80

    waktu Pelaksanaan Pelatihan CI, tempat Pelaksanaan Pelatihan CI, dan

    materi pelatihan.

    PPNI (2010) menyatakan bahwa latar belakang pelatihan CI

    merupakan dasar diadakannya suatu pelatihan CI. Hal ini diperkuat oleh

    teori Ali (1999) yang menyatakan bahwa penyelenggaraan diklat

    dilakukan berdasarkan kebutuhan tertentu yang dikaji melalui sistem yang

    sistematis dan difokuskan pada peningkatan kemampuan melakukan

    tugas tertentu.

    Ali (1999) menyatakan bahwa penyelenggara diklat merupakan

    badan yang berkompeten dan bertanggung jawab. Penyelenggaraan

    pendidikan dan latihan harus memperhatikan pemberian sertifikat pada

    peserta dan terakreditasi sehingga materi pelatihan dapat dikonversikan

    kedalam kredit pendidikan yang berkaitan.

    Teori diatas mendukung hasil penelitian dimana dari item

    pertanyaan mengenai penyelenggara pelatihan CI sebanyak 33 responden

    sangat setuju bahwa penyelenggara pelatihan CI merupakan lembaga

    yang bertanggung jawab dan 3 lainnya menjawab setuju. Untuk item

    pertanyaan yang menyatakan bahwa sertifikat pelatihan CI yang mereka

    dapatkan mendukung mereka dalam pekerjaan, 26 responden menyatakan

    sangat setuju dan sisanya setuju.

    Capturesia (2009) yang menyebutkan bahwa ada dua jenis pelatihan

    yang digolongkan berdasarkan materinya. Pertama, pelatihan wacana

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 81

    (knowledge based training) yaitu pelatihan mengenai sebuah wacana baru

    yang harus disosialisasikan kepada peserta dengan tujuan wacana baru

    tersebut dapat meningkatkan pencapaian tujuan organisasi atau

    perusahaan. Kedua, pelatihan ketrampilan (skill based training) yaitu

    sebuah pelatihan mengenai pengenalan atau pendalaman ketrampilan

    seseorang baik secara teknis (hard skill) meupun bersifat pengembangan

    pribadi (soft skill).

    Teori-teori tersebut sangat mendukung hasil penelitian yang

    dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi keseimbangan

    hasil antara pelatihan CI dalam kategori baik maupun sedang tanpa ada

    hasil pelatihan CI dengan kategori kurang. Hal tersebut dikarenakan

    hampir seluruh teori dan acuan yang ditetapkan oleh PPNI telah terpenuhi

    dalam pelatihan CI di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata.

    3. Lingkungan Belajar Klinik

    Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukan bahwa sebagian besar

    responden memiliki lingkungan belajar klinik dengan kategori sangat baik

    yaitu sebanyak 24 orang (66,7%) dan sebagian memiliki lingkungan belajar

    dalam kategori baik yaitu sebanyak 12 orang (33,3).

    Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, rata-rata permasalahan

    yang ada yaitu terdapat pada beban kerja yang tinggi dan berulang. Beban

    kerja sebagai seorang perawat dan bidan pelaksana sekaligus CI memaksa

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 82

    para CI meluangkan waktu lebih untuk membimbing mahasiswa. Ova Emilia

    (2008) menyatakan di beberapa lahan praktik, minat perawat untuk menjadi

    CI sangat rendah karena keharusan menyisihkan waktu ekstra untuk

    bimbingan dalam rangka memenuhi tuntutan kompetensi dari akademik.

    Namun, berdasarkan data yang diperoleh peneliti pula, rata-rata para CI telah

    melakukan menejemen waktu yang baik sehingga tidak terjadi tumpang

    tindih antara pemenuhan kebutuhan pelayanan dengan pengembangan

    profesinya.

    Teori dasar dalam Lingkungan Belajar Klinik (Clinical Learning

    Environment) menggunakan teori organisasi dan pendidikan. Teori

    organisasi digunakan dalam mengeksplorasi hubungan manusia dengan yang

    lainnya dalam konteks organisasi. Sifat, struktur, dan komponen hirarki

    dalam organisasi akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh interaksi

    manusia di dalamnya (Dunn & Burnett, 1995).

    Teori diatas dapat menjelaskan dan memperkuat hasil penelitian

    dimana dari item-item pertanyaan yang diberikan peneliti kepada responden

    sebagian besar responden yang merupakan CI menyatakan bahwa hubungan

    CI dengan staf perawat maupun mahasiswa di lingkup lingkungan belajar

    klinik RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata dimana sebagian besar

    responden menyatakan sangat setuju terhadap pernyataan bahwa diakui,

    diterima, dan dinilai dengan baik oleh staf serta mahasiswa. Mereka juga

    selalu mengedepankan kerjasama untuk melakukan tindakan keperawatan.

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 83

    Hyrkas dan Paunonen (2001) menyatakan bahwa supervisi klinik yang

    dilakukan dengan baik berdampak positif bagi kualitas pelayanan. Supervisi

    RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata dan umpan balik dalam supervisi CI

    dapat diterima dengan baik dan jelas.

    Teori pendidikan mempengaruhi konteks pembelajaran di dalamnya.

    Lingkungan belajar meliputi semua kekuatan yang mempengaruhi

    pembelajaran dan perkembangan individu melampaui batasan ruang kelas.

    Teori tersebut memperkuat hasil penelitian yang menyatakan bahwa para CI

    di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata memiliki akses yang mudah dalam

    memperoleh pengetahuan baru, para CI selalu memperbarui pengetahuan

    mereka diluar program pelatihan yang diselenggarakan diklat, serta CI

    mengikuti program pelatihan sesuai bidang kekhususannya.

    Dunn & Hansford (1997) menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran

    klinik memberikan kesempatan untuk membuat hubungan antara teori dan

    praktek dan menyesuaikan antara keterampilan dan pengetahuan mereka.

    Teori tersebut mempertegas hasil penelitian yang menyatakan bahwa

    responden sangat setuju dengan pernyataan bahwa lingkungan mereka

    memberikan mereka kesempatan untuk mengaplikasikan hasil dari pelatihan

    yang mereka perolaeh sebagai seorang CI.

    Dapat disimpulkan lingkungan belajar klinik yang ada di RSUD

    Dr. R. Goeteng Taroenadibrata dalam keadaan yang sangat baik bagi CI,

    karena mereka mampu menyeimbangkan antara kebutuhan dan

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 84

    pelayanan, memiliki atmosfer sosial yang baik, ilmu pengetahuan,

    mampu melakukan maupun memberikan umpan balik supervisi, serta

    sudah mengikuti pelatihan dan workshop sesuai kebutuhan mereka

    sebagai seorang CI.

    4. Hubungan Pelatihan Clinical Instructor (CI) Dengan Lingkungan Belajar

    Klinik Di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.

    Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa ada hubungan yang

    bermakna secara statistik antara pelatihan CI terhadap lingkungan belajar

    klinik di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenedibrata. Hal ini sesuai dengan

    toeri Ali (1999) yang menyebutkan bahwa bahwa program pendidikan

    dan pelatihan diselenggarakan dengan memuat tiga komponen utama,

    yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan keterampilan

    psikomotor. Maltis (2000) yang menyatakan perkembangan keterampilan

    perawat, pengetahuan dan profesionalisme dalam pekerjaan

    mempengaruhi lingkungan belajar klinik.

    Hasil penelitian ini menunjukan nilai Spearman Rho = 0,471

    termasuk pola positif dan berada dalam rentang kategori cukup yang

    artinya ada hubungan pelatihan CI terhadap lingkungan belajar klinik

    dengan tingkat keeratan hubungan yang cukup. Hal ini kemungkinan

    terjadi karena beberapa faktor karakteristik responden antara lain 66,7%

    responden masih berlatar belakang pendidikan tingkat D3.

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

  • 85

    Notoatmojo (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan

    formal (profesi) maka seseorang diharapkan semakin baik dalam bekerja.

    Didukung juga oleh Maltis (2000) yang menyatakan bahwa tingkat

    pendidikan mempengaruhi seseorang dalam memberikan respon terhadap

    sesuatu yang datang dari luar (lingkungan). Untuk itu perawat dituntut

    untuk meningkatkan pendidikan dan ketrampilan melalui pendidikan

    formal dengan melanjutkan sekolah kembali maupun non formal melalui

    pelatihan-pelatihan atau seminar yang dapat meningkatkan pengetahuan.

    C. Keterbatasan Penelitian

    1. Penelitian ini hanya menganalisis keadaan responden pada suatu saat tertentu

    sehingga data yang didapatkan tidak seratus persen valid dan tingkat

    keakuratanya kurang karena hanya berdasarkan data kuesioner bersifat sangat

    subyektif, sehingga kebenaran data sangat tergantung pada kejujuran yang

    diisi langsung oleh responden.

    2. Peneliti hanya melakukan penilaian lingkungan belajar klinik yang diukur ari

    pihak CI bukan keadaan lingkungan belajar klinik secara keseluruhan.

    Skripsi Rahajeng Keperawatan Unsoed 2011

    RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga sendiri memiliki 53 orang CI dengan jenis spesifikasi bidang yang berbeda-beda. Para CI ini memiliki tugas utama sebagai perawat pelaksana dan bidan di ruangan-ruangan di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dengan tugas tambahan sebagai pembimbing klinik atau CI. CI di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga terbagi menjadi 5 jenis spesifikasi bidang yaitu Pembimbing Klinik Gadar Kritis, Pembimbing Klinik Manajemen, Pembimbing Klinik Maternitas, Pembimbing Klinik Medikal Bedah, dan Pembimbing Klinik Perawatan Anak. Jenjang pendidikan CI pun berbeda-beda yaitu D3 Kebidanan, D3 Keperawatn, S1 Keperawatan, serta Profesi Keperawatan (Ners). Pelatihan CI pada umumnya terdiri dari unsur-unsur materi pelatihan yang didalamnya terdapat pembelajaran untuk menciptakan suatu lingkungan belajar klinik yang nyaman bagi semua yang termasuk didalamnya. Dilihat dari segi materi, banyak sekali pelajaran yang dapat menjadi bekal seorang CI dalam mengampu tugasnya. Materi pada pelatihan CI itu sendiri memuat antara lain resiko yang akan dialami ketika menjadi CI seperti bertambahnya beban kerja, perubahan atmosfer sosial, serta penambahan peran. Diharapkan setelah mengikuti pelatihan dengan materi-materi tersebut, para CI mampu mengplikasikannya dalam menyikapi setiap permasalahan yang menyertai mereka dalam sebuah lingkungan belajar klinik. Pada akhirnya, seteleh seluruh rangkaian materi pelatihan itu selesai, maka diharapkan terjadi perubahan positif yang mampu membuat lingkungan belajar yang mereka hadapi menjadi lebih nyaman baik bagi para mahasiswa praktek, CI itu sendiri, maupun unsur lain dari lingkungan belajar di sebuah tatanan klinik. Namun, tak jarang pula pelatihan tersebut justru tidak membawa perubahan apapun bagi CI dalam lingkungan belajar klinik tersebut. CI dan kualitas lingkungan belajar klinik memainkan peran utama dalam meningkatkan belajar siswa. Namun, siswa merasa bahwa ada kebutuhan yang lebih besar untuk CI untuk membantu mereka mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dalam rangka mempersiapkan mereka untuk kebutuhan kesehatan kebutuhan masa depan. Penemuan ini memiliki implikasi untuk persiapan mentor dan untuk menyediakan lingkungan belajar klinis, yang kondusif untuk belajar siswa (Kilcullen, 2007).RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga yang merupakan rumah sakit pendidikan, didalamnya juga terdapat suatu lingkungan belajar klinik. RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga memfasilitasi mahasiswa dalam praktet klinik yang berhubungan langsung dengan pembimbing klinik. Lingkungan belajar ini sendiri memiliki beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu ilmu pengetahuan dasar, atmosfer sosial, program pelatihan dan workshop, supervisi, dan beban kerja. Program pelatihan dan workshop sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan belajar klinik diharapkan mampu menjadi salah satu pendukung terciptanya suatu iklim lingkungan belajar klinik yang kondusif. Namun, kenyataan yang terjadi dilapangan pelatihan tidak selalu menjamin kenyamanan lingkungan belajar bagi para pelakunya. Unsur dari pelatihan itu sendiri belum tentu berdampak positif di lingkungan belajar yang ada di sekitarnya. Berdasarkan fenomena yang terjadi pada para CI di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga, ternyata banyak hambatan yang terjadi pada lingkungan belajar mereka berkaitan dengan peran mereka sebagi seorang CI. Dilihat dari segi ilmu pengetahuan dasar, para CI akan menjadi berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan di lingkungan kerja mereka. Secara otomatis, pelatihan CI berdampak pada ilmu pengetahuan dasar para CI. Ilmu pengetahuan yang tinggi belum tentu dapat menjamin bahwa seorang CI dapat memandang suatu masalah dengan lebih subyektif. CI mengeluhkan mengenai penambahan beban kerja karena mereka harus meluangkan waktu dan tenaga ekstra untuk membimbing mahasiswa disamping mengerjakan tugas mereka sebagai perawat pelaksana. Beban kerja menjadi beban dalam pengaturan waktu dan kemampuan mereka. Belum lagi masalah supervisi dari setiap pelatihan yang terkadang tidak siap diikuti oleh para CI. CI yang terlatih merasa seringkali dipandang sebagai seseorang yang banyak tahu karena telah mengikuti beberapa pelatihan, padahal sebagai CI pun mereka masih sama-sama belajar menerapkan materi. Faktor yang mempengaruhi lingkungan belajar yang terakhir, yaitu pelatihan, penting bagi seorang CI dalam sebuah tatanan pendidikan apakah ia mampu menerapkan seluruh rangkaian materi pelatihan yang telah diperolehnya di lingkungan belajar klinik. Pelatihan CI memuat berbagai hal yang berkaitan dengan peran mereka sebagai CI di sebuah lingkungan belajar klinik serta resikonya. Ketika seorang CI sudah mendampingi mahasiswa praktek di lapangan, maka output dari pelatihan inilah yang nantinya akan dilihat, apakah CI tersebut mampu mengaplikasikan hasil pelatihan CI di lingkungan belajar klinik yang ada disekitarnya? Permasalahan itulah yang mendorong peneliti untuk meneliti hubungan antara pelatihan CI dengan lingkungan belajar klinik di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga.Menurut Ali (1999) sebuah praktek keperawatan profesional harus mencakup pendidikan formal dan tidak-formal sesuai dengan falsafah pendidikan seumur hidup. Pendidikan formal menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan. Sedangkan pendidikan tidak-formal biasanya lebih menekankan pada peningkatan kemampuan secara teknis berdasarkan teori. Salah satu bentuk pendidikan tidak-formal adalah pendidikan dan pelatihan. Instruktur klinik atau CI berperan sebagai ahli, fasilitator, pelatih dan pemberi umpan balik. Instruktur atau CI berperan utama dalam meningkatkan proses belajar mahasiswa melalui dukungan, bertindak sebagai model peran, peran sosialisasi, dan bertindak sebagai penilai (Kilcullen, 2007). Instruktur klinik juga berfungsi sebagai mentor. Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebuah Pelatihan CI yang baik memuat beberapa isi didalamnya, seperti yang pernah diadakan oleh PPNI sendiri yaitu Pelatihan Clinical Instructor yang didalamnya memuat latar belakang penyelenggaraan pelatihan yaitu dasar diadakannya suatu pelatihan CI. Unsur pelatihan yang kedua yaitu manfaat pelatihan. Manfaat pelatihan dibuat sesuai dengan harapan penyelenggara yaitu setelah menjalani serangkaian pelatihan CI, seorang CI mampu memahami peran, fungsi dan tugas-tugas sebagai pembimbing praktek klinik keperawatan, mampu melaksanakan bimbingan klinik keperawatan pada mahasiswa keperawatan dan perawat pelaksana, mampu melaksanakan evaluasi terhadap peserta didik baik mahasiswa atau staf perawat yang mencakup sikap, keterampilan serta attitude sesuai dengan pedoman/instrumen evaluasi, menjadi contoh (role model) sebagai perawat profesional terhadap mahasiswa dan perawat pelaksana di wilayah kerjanya. Rotem (1999) menjabarkan bahwa beban kerja merupakan tuntutan pekerjaan pada suatu unit yang memaksa keseimbangan antara pelayanan dan pengembangan profesi. Beban kerja setiap perawat ditiap ruang perawatan sangat berbeda. Ketika berada dalam beban puncak, maka tingkat stress perawat dapat menjadi tinggi. Sebagai gambaran, seorang CI dapat dipastikan memiliki beban kerja yang cukup berat. Hal ini dikarenakan seorang CI awalnya sudah memiliki tugas pokok yaitu perawat pelaksana dengan beban kerja yang cukup berat. Disaat mereka memikul beban kerja tersebut, mereka kembali dilimpahi tugas sebagai seorang CI. Penjabaran diatas artinya perawat tersebut memiliki beban kerja ganda yaitu menjadi perawat pelaksana sekaligus CI. Hal ini sering menjadikan perawat harus menyisihkan waktu di luar jam kerja. Penyediaan waktu ekstra menyebabkan stressor CI bertambah. Hasil identifikasi peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta tahun 2008 menyatakan di beberapa lahan praktik, minat perawat untuk menjadi CI sangat rendah karena keharusan menyisihkan waktu ekstra untuk bimbingan dalam rangka memenuhi tuntutan kompetensi dari akademik.