Upload
hoangminh
View
227
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP TAUBAT MENURUT HAMKA DALAM
PERSPEKTIF KESEHATAN MENTAL
(Analisis BKI)
SKRIPSI
untuk memenuhi sebagian persyaratanmencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)
Muhamad Sukamdi 1104021
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ii
iii
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya
sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga
pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun
yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan
daftar pustaka
Semarang, 9 Juni 2010 Tanda tangan,
Muhamad Sukamdi NIM: 1104021
v
MOTTO
): (
Artinya: Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amalsaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengantaubat yang sebenar-benarnya.(Q.S.25:71) (DEPAG RI, 1979:569).
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini aku dedikasikan untuk orang-orang terkasih dalam lingkar
kehidupanku.
v Teruntuk orang tuaku (Bapak Kasmuri dan Ibu Siswati) karya ini
persembahan ananda....terima kasih untuk setiap tetes keringat dan air
mata untuk setiap untaian doa bapak dan Ibu.
v Teruntuk adik-adikku (Eka Praptiningsih dan Nanik Kurniawati) terima
kasih untuk dukungan dan doa tulusmu. Tetaplah semangat adikku. Raih
semua mimpi dan genggam erat dengan kedua tanganmu.
v Teruntuk para sahabatku, yang tidak dapat kusebutkan satu persatu,
teman-teman seperjuangan angkatan 2004 (khususnya BPI 2004).
Penulis
vii
ABSTRAK
Setiap manusia pasti memiliki dosa dan dosa itu seringkali membuatorang menjadi gelisah dan cemas. Hal ini berakibat terganggunya jiwaseseorang. Namun bila ia menganggap taubat adalah sebuah kesempatan yangtidak boleh ditunda maka jiwanya akan merasa tenang. Maka Allahmenghendaki untuk segera bertaubat, memohon ampun dan kasih sayang-Nya.Agar manusia tidak terbentuk oleh karakter maksiat dan tidak jauh dari posisinaungan-Nya. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakahkonsep taubat menurut Hamka dalam perspektif kesehatan mental?Bagaimanakah konsep taubat menurut Hamka dalam perspektif kesehatanmental ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam?
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif.Adapun sumber data primernya: karya Hamka, yaitu karya-karya Hamka diantaranya: 1) Pelajaran Agama Islam; 2) Tasawuf Modern; dan 3) Tafsir al-Azhar, sedangkan sumber sekundernya yaitu sejumlah kepustakaan yangrelevan dengan penelitian yang hendak disusun namun sifatnya hanyapendukung, di antaranya seperti: karya Hamka lainnya yaitu 1) TasaufPerkembangan dan Pemurniannya; 2) Studi Islam; 3) Prinsip danKebijaksanaan Da wah Islam. Selain sumber yang telah disebutkan, makasebagai sumber pendukung lainnya yaitu Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddinin;Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tobat Kembali Kepada Allah; Yusuf Qardawi,Taubat. Selain itu, juga internet, jurnal-jurnal, surat kabar dan lain-lain.Pengumpulan data menggunakan studi dokumenter dengan analisis datacontent analysis. Penerapan content analysis menampilkan tiga syarat yaituobjektivitas, pendekatan sistematis dan generalisasi. Analisis harusmenggunakan kriteria tertentu. Hasil analisis harus menyajikan generalisasi,artinya temuannya haruslah mempunyai sumbangan teoritis, temuan yanghanya deskriptif rendah nilainya. Dalam penelitian ini dilakukan untukmengungkapkan konsep taubat menurut Hamka. Dalam analisis ini seorangpeneliti dapat menghitung frekuensi munculnya suatu konsep tertentu,penyusunan kalimat menurut pola yang sama, kelemahan-kelemahan polaberpikir, cara menyajikan bahan ilustrasi dan lain-lain.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa menurut Hamka, taubatadalah membersihkan hati, sedangkan mandi atau berwudhu ialahmembersihkan badan. Menurutnya, menjaga kebersihan jiwa sama jugadengan menjaga kebersihan badan. Salah satu upaya membersihkan jiwa darikotoran berupa dosa adalah dengan taubat. Berdasarkan keterangan di atas,menjadi petunjuk bahwa konsep Hamka tentang taubat apabila diamalkanmaka akan membentuk mental seseorang menjadi sehat. Atas dasar itu perluadanya bimbingan dan konseling Islam untuk membantu individu maumelakukan taubat sehingga dapat membangun kesehatan mental individu dariperasaan berdosa. Peranan bimbingan dan konseling Islam sangat pentinguntuk membantu individu memahami peran, fungsi dan arti pentingnya taubatdalam memelihara kesehatan mental.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang
senantiasa telah menganugerahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis
dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul KONSEP TAUBAT
MENURUT HAMKA DALAM PERSPEKTIF KESEHATAN MENTAL
(Analisis BKI)". Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) bidang jurusan Bimbingan
Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikuti jejak perjuangannya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan dan
dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah membantu
terselesaikannya skripsi penulis dengan baik. Oleh karena itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Rektor IAIN Walisongo, yang telah memimpin lembaga tersebut
dengan baik
2. Bapak Drs. H.M. Zain Yusuf, M.M. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. H. Djasadi, M.Pd selaku Dosen pembimbing I dan Bapak
Safrodin M.Ag selaku Dosen pembimbing II yang telah berkenan
membimbing dengan keikhlasan dan kebijaksanaannya meluangkan waktu,
waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan-pengarahan hingga
terselesaikannya skripsi ini.
4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang
baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
ix
5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang serta pengelola perpustakaan
Fakultas Dakwah yang telah memberikan pelayanan kepustakaan dengan baik.
6. Bapak dan Ibu yang tercinta, dan adik-adikku.
7. Teman-temanku mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, khususnya kepada
mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Terutama ditujukan
kepada teman-temanku di jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan yang ideal dalam arti sebenarnya, namun penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi para
pembaca pada umumnya.
Nasrun Minallah Wafathun Qorieb
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Penulis
x
DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING.......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi
ABSTRAK................................................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR............................................................ viii
HALAMAN DAFTAR ISI.......................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................5
1.4. Tinjauan Pustaka.......................................................................6
1.5. Metodologi Penelitian ...............................................................8
1.4. Sistematika Penulisan................................................................11
BAB II : TAUBAT DAN KESEHATAN MENTAL
2.1. Taubat.......................................................................................13
2.1.1. Pengertian Taubat...........................................................13
2.1.2. Syarat-Syarat Taubat ......................................................16
2.1.3. Macam-Macam Taubat...................................................21
2.1.4. Macam-Macam Dosa ......................................................25
2.2. Kesehatan Mental......................................................................31
2.2.1. Pengertian Kesehatan Mental .........................................31
2.2.2. Ciri-Ciri Mental yang Sehat............................................37
2.2.3. Upaya Mencapai Mental yang Sehat...............................43
BAB III: BIOGRAFI HAMKA DAN PANDANGANNYA TENTANG
TAUBAT
3.1. Biografi Hamka dan Karya-Karyanya........................................47
3.2. Konsep Taubat Menurut Hamka................................................52
xi
3.2.1. Pengertian Taubat Menurut Hamka..................................52
3.2.2. Cara Bertaubat Menurut Hamka......................................55
3.2.3. Syarat Taubat Menurut Hamka ......................................60
3.2.4. Fungsi Taubat Menurut Hamka.......................................63
3.2.5. Kesehatan Mental Menurut Hamka .................................74
3.2.6. Taubat dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling
Islam..............................................................................77
BAB IV: ANALISIS KONSEP TAUBAT MENURUT HAMKA DALAM
PERSPEKTIF KESEHATAN MENTAL
4.1.Analisis Konsep Taubat Menurut Hamka dalam Perspektif
Kesehatan Mental.......................................................................79
4.2.Analisis Konsep Taubat Menurut Hamka dalam Perspektif
Kesehatan Mental Ditinjau dari Bimbingan dan Konseling
Islam..........................................................................................87
BAB V : PENUTUP
5.1. Kesimpulan ...............................................................................100
5.2. Saran-Saran...............................................................................101
5.3. Penutup.....................................................................................101
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa kendatipun manusia menurut
fitrahnya suci dan baik, namun ia tidak terlepas dari kecenderungan-
kecenderungan untuk berbuat zalim, kafir, bersikap sombong, tergesa-gesa
dan putus asa. la sering menganiaya dirinya sendiri dan berbuat rugi meskipun
ia telah berusaha mengikuti disiplin akhlak dengan sebaik mungkin. Allah
memerintahkan dan menganjurkan kepada manusia dan orang yang beriman
untuk bertobat dan minta ampun kepada-Nya atas perbuatan dosa dan maksiat
yang telah diperbuatnya. Allah akan menerima tobat dan mengampuni dosa
dan kesalahannya, asalkan dia mau bertobat dan minta ampun dengan
sungguh-sungguh dan ikhlas (al-Qur'an surat 40 ayat 3 dan surat 42 ayat 25).
) :(Artinya: Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras
hukuman-Nya. Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhanselain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (QS. al-Mu'min:3).
Pintu taubat selalu terbuka. Karena itu tidak ada istilah putus asa,
sebab Allah akan mengampuni semua dosa dan kesalahan-kesalahan selain
syirik kepada-Nya (QS. 4:48 dan 39:53).
13
) :(
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, danDia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapayang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukanAllah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS.An-Nisa'/4: 48).
Setiap orang yang kembali kepada Allah untuk bertobat dan minta
ampun-Nya, maka Allah menganugerahkan kepadanya kenikmatan dan
keutamaan serta menjanjikan kepadanya keberuntungan (QS. 11:3 dan 3:133).
Rasa berdosa dan bersalah merupakan salah satu penyebab gangguan
kejiwaan. Cara terbaik untuk membersihkan diri dari rasa berdosa dan
bersalah adalah taubat. Taubat adalah suatu usaha pribadi setiap orang untuk
mengadakan perbaikan terhadap dirinya sendiri. Taubat dalam hubungannya
dengan kebersihan jiwa berarti mengosongkan hati dari dosa dan maksiat, dan
menyesali diri melakukan perbuatan tersebut, serta bertekad untuk tidak
memperbuatnya lagi sepanjang umur. Dengan pengertian ini besar
kemungkinan orang yang bertaubat memperoleh kebersihan jiwanya kembali
serta tidak akan berbuat dosa dan maksiat lagi. Dengan demikian jiwanya
menjadi tenteram, karena telah bersih dari noda dan dosa yang
menggelisahkan.
Unsur-unsur taubat, seperti kesadaran dan pengakuan dosa, penyesalan
yang membawa perbaikan diri, dan keharusan berbuat baik dan ketaatan,
merupakan pula proses pengubahan jiwa orang yang bertaubat dari kekotoran
dan kebersihan. Taubat orang yang bertaubat itu merupakan kaffarat bagi
14
dosanya, dan perbuatan baiknya sebagai tebusan yang dapat menghapus
perbuatan dosanya masa lalu
Dalam Al-Qur’an surat al-Furqan ayat 68 sampai 70 ditegaskan:
} {} {
) :-( Artinya: Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecualidengan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukanyang demikian itu, niscaya dia mendapat dosa. Akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalamazab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat,beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan merekadiganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampunlagi Maha Penyayang. (QS. al-Furqan: 68-70) (DEPAG RI, 1979:569).
Firman Allah Swt:
): (
Artinya: Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, makasesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yangsebenar-benarnya.(Q.S.25:71) (DEPAG RI, 1979: 569).
Sesungguhnya manusia yang melakukan taubat menunjukkan bahwa ia
menyadari akan segala kesalahannya. Oleh sebab itu, Allah SWT mewajibkan
setiap orang yang mengaku muslim atau muslimat untuk bertaubat. Allah
SWT sangat mencintai orang yang bertaubat sebagaimana firmannya:
15
...)(
Artinya: …Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat danmenyukai orang-orang yang menyucikan diri (Q.S.2:222) (DEPAGRI, 1979: 31).
Rasulullah s.a.w. sendiri menganjurkan selalu memohonkan taubat
kepada Allah. Bahkan ia sendiri senantiasa memohonkan taubat, tidak kurang
dari pada 70 kali sehari semalam. Dengan senantiasa taubat dan istighfar
kepada Allah, artinya selalu melengkapkan diri, tidak mau terlepas dari
penjagaan Tuhan, bahkan menunta diaku tetap dalam perlindungan-Nya, dan
Tuhan menjadi Wali (pelindung) bagi sekalian makhluk.
) :(
Artinya: "Allah-lah Pelindung orang yang beriman, yang mengeluarkanmereka dari gelap gulita kepada cahaya. Dan orang yang kafir,pelindungnya ialah thaqhut, yang mengeluarkan mereka daripadacahaya kepada, gelap-gulita." (QS. Al-Baqarah; S. 2: 257).
Banyak orang berpendapat bahwa taubat tidak memiliki relevansi atau
kontribusi dengan kesehatan seseorang, karena itu mereka tidak menganggap
penting arti taubat pada sisi lain, berdasarkan hasil penelitian orang yang
bertaubat itu memiliki ketenangan batin dan terhindar dari kegelisahan.
Berdasarkan temuan tampaknya persepsi yang keliru mengenai taubat
sebagaimana dikemukakan orang tersebut di atas perlu diluruskan guna
kegiatan dakwah yang terkait dengan materi dakwah memiliki arti penting atas
16
dasar inilah maka judul skripsi Konsep Taubat Menurut Hamka Dalam
Perspektif Kesehatan Mental (Analisis BKI) dapat menarik untuk dicermati.
1.2 Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi
perumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah konsep taubat menurut Hamka dalam perspektif
kesehatan mental?
1.2.2 Bagaimanakah konsep taubat menurut Hamka dalam perspektif
kesehatan mental ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian ini:
1.3.1.1 Untuk mendeskripsikan dan menganalisis konsep taubat menurut
Hamka dalam perspektif kesehatan mental
1.3.1.2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis konsep taubat menurut
Hamka dalam perspektif kesehatan mental ditinjau dari
bimbingan dan konseling Islam
1.3.2 Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi:
1.3.2.1 Secara teoritis, yaitu untuk menambah pengembangan ilmu
dakwah khususnya kesehatan mental jurusan bimbingan dan
penyuluhan Islam, dengan harapan dapat dijadikan salah satu
bahan studi banding oleh peneliti lainnya.
17
1.3.2.2 Secara praktis yaitu dapat dijadikan masukan pada masyarakat
dalam menyikapi masalah dosa dan perbuatan buruk.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, ada beberapa skripsi yang judulnya
mirip dengan judul skripsi ini yaitu skripsi yang berjudul:
Studi Komparasi Pendapat Hamka dan Dadang Hawari dalam
Memelihara Kesehatan Jiwa (Analisis Bimbingan dan Konseling Islam)
disusun oleh Farida (1102171) Dalam temuannya, penulis skripsi ini
menyimpulkan bahwa pendapat Hamka dan Hawari tentang kesehatan jiwa
dapat dijadikan materi bimbingan dan konseling Islam. Pemikiran Hamka dan
Hawari sesuai pula dengan asas-asas bimbingan dan konseling Islam.
khususnya bagi konselor yang menangani kesehatan jiwa. Konsep Hamka dan
Hawari dapat dikatakan mengandung materi dakwah, karena muatan isinya
mengajak manusia untuk mengikuti ajaran Islam sebagaimana telah digariskan
al-Qur'an. Dari sini tampak nilai dakwah yang diungkapkan Hamka dan
Hawari, meskipun sifatnya tidak tegas, tetapi mengandung ajakan yang kuat
maka mengandung materi dakwah.
Konsep Taubat dalam Perspektif Islam dan Katholik (Studi Komperatif
Antara Islam dan Katholik) disusun oleh Santi Riyani (4198052). Dalam
temuannya, penulis skripsi ini menyimpulkan bahwa dalam agama Islam dan
Katholik terdapat konsep taubat. Dalam kedua agama itu, taubat diwajibkan
kepada setiap manusia, karena taubat dapat menghapuskan dosa yang
diperbuat manusia. Bedanya, dalam Islam tidak dikenal istilah "dosa waris"
18
sedangkan dalam agama Katolik ada istilah "dosa waris". Dalam Islam, setiap
manusia lahir dalam keadaan bersih.
Konsep Taubat dalam Agama Islam dan Kristen (Studi Komperatif
Teologis). Disusun oleh Buldan Nasir (4191076). Menurut penulis skripsi ini
bahwa taubat adalah kembalinya manusia dari perbuatan yang buruk menuju
kepada perbuatan baik. Taubat memiliki hikmat yang banyak bagi kesehatan
manusia, baik kesehatan yang berhubungan dengan jasmani maupun rohani.
Manusia yang tidak pernah bertaubat, maka hidupnya akan selalu gelisah,
karena dihantui oleh dosa yang menjadi bayangan dirinya. Bedanya, dalam
perspektif Kristen bahwa Adam dan Hawa tidak pernah taubat dari kesalahan
mereka, sedangkan dalam pandangan Islam bahwa Adam memang bersalah
tetapi Adam dan Hawa menyesali kesalahan mereka dan bertaubat memohon
ampun kepada Allah.
1.5 Metoda Penelitian
1.5.1. Jenis, Pendekatan, dan Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1997:
3). Dalam meneliti data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun
data-data tersebut diperoleh dengan penjelasan dan berbagai uraian
yang berbentuk tulisan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
pendekatan teks.
19
Signifikansi penelitiannya yaitu dapat memperoleh gambaran
yang jelas dalam mencermati benang antara taubat dengan kesehatan
mental ditinjau dari perspektif bimbingan dan konseling Islam.
1.5.2. Sumber Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,
penulis menggunakan sumber data yaitu referensi data utama tentang
taubat dan kesehatan mental, yang jenis datanya adalah sebagai berikut:
a. Data Primer adalah sumber data dari karya Hamka. Data yang
dimaksud yaitu karya-karya Hamka di antaranya: 1) Pelajaran
Agama Islam; 2) Tasawuf Modern; dan 3) Tafsir al-Azhar
b. Data Sekunder yaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan
penelitian yang hendak disusun namun sifatnya hanya pendukung, di
antaranya seperti: karya Hamka lainnya yaitu 1) Tasauf
Perkembangan dan Pemurniannya; 2) Studi Islam; 3) Prinsip dan
Kebijaksanaan Da wah Islam. Selain sumber yang telah disebutkan,
maka sebagai sumber pendukung lainnya yaitu Imam al-Ghazali,
Ihya Ulumuddinin; Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tobat Kembali
Kepada Allah; Yusuf Qardawi, Taubat. Selain itu, juga internet,
jurnal-jurnal, surat kabar dan lain-lain.
20
1.5.3. Metode Pengumpulan Data
Metode penelitian ini menggunakan studi dokumenter.
Menurut Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat
pengambil data atau alat pengukurnya (Suryabrata, 1998: 84).
Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan studi
dokumen yang meliputi pengumpulan data primer dan sekunder.
Caranya dengan mengumpulkan seluruh data tertulis, selanjutnya
dipilah-pilah dan ditandai dengan memberi kode, mana saja data yang
utama dan data sekiunder. Pemilahan itu didasarkan pula pada kualitas
pengarang yang pendapatnya dianggap mapan dapat dipertanggung
jawabkan secara obyektif ilmiah.
1.5.4. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut
dapat ditafsirkan. Dalam hal ini digunakan analisis data kualitatif yaitu
data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung
(Amirin, 1995: 134).
Penelitian dengan menggunakan content analysis dapat
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membandingkan pesan dari sumber yang sama dalam kurun waktu
tertentu yang berbeda, dengan maksud melihat kecenderungan isi.
2. Membandingkah pesan dari sumber yang sama dalam situasi yang
berbeda, dengan maksud melihat pengaruh situasi terhadap isi pesan.
21
3.. Meneliti pengaruh ciri-ciri khalayak sasaran terhadap isi dan gaya
komunikasi.
4. Membandingkan pesan dari suatu sumber yang sama dalam situasi
atau sasaran khalayak yang berbeda (Suprayogo, 2001: 72 – 73).
Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk
komunikasi: surat kabar, buku, puisi, lagu, cerita rakyat, lukisan, pidato,
surat, peraturan, undang-undang, musik, teater, dan sebagainya. Kita
misalnya ingin mengetahui apakah lagu-lagu Indonesia sekarang ini
lebih berorientasi pada cinta daripada kritik sosial; apakah drama
televisi lebih mengungkapkan kehidupan "cengeng" daripada
kehidupan realistis; apakah novel masa kini kebanyakan berpusat pada
kehidupan konsumerisme; apakah surat kabar X menunjukkan sikap
konservatif; apakah pidato tokoh politik tertentu cenderung
menggunakan kata-kata yang abstrak dan sloganistis; dan sebagainya
(Rahmat, 1991: 89).
Penelitian yang menggunakan analisis isi umumnya melalui
tahap-tahap: (1) perumusan masalah, (2) perumusan hipotesis, (3)
penarikan sampel, (4) pengumpulan data, (5) analisis data. Dalam
pengumpulan data bahwa data dikumpulkan dengan menggunakan
lembar koding (cooding sheet) yang dibuat berdasarkan kategori yang
ditetapkan pada tahap pembuatan alat ukur (Rahmat, 1991: 91).
Penerapan content analysis menampilkan tiga syarat yaitu
objektivitas, pendekatan sistematis dan generalisasi. Analisis harus
22
menggunakan kriteria tertentu. Hasil analisis harus menyajikan
generalisasi, artinya temuannya haruslah mempunyai sumbangan
teoritis, temuan yang hanya deskriptif rendah nilainya (Muhadjir,
2004: 68-69). Dalam penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan
konsep taubat menurut Hamka. Dalam analisis ini seorang peneliti
dapat menghitung frekuensi munculnya suatu konsep tertentu,
penyusunan kalimat menurut pola yang sama, kelemahan-kelemahan
pola berpikir, cara menyajikan bahan ilustrasi dan lain-lain.
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka
penelitian disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang
satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian
rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metoda penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab kedua berisi taubat dan kesehatan mental yang meliputi taubat
(pengertian taubat, syarat-syarat taubat, macam-macam taubat), kesehatan
mental (pengertian kesehatan mental, ciri-ciri mental yang sehat, upaya
mencapai mental yang sehat).
Bab ketiga berisi konsep taubat menurut Hamka yang meliputi
biografi hamka dan karya-karyanya, konsep taubat menurut Hamka.
23
Bab keempat analisis konsep taubat menurut Hamka dalam perspektif
kesehatan mental yang meliputi analisis konsep taubat menurut Hamka dalam
perspektif kesehatan mental, analisis konsep taubat menurut Hamka dalam
perspektif kesehatan mental ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam.
Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran-saran
yang layak dikemukakan.
24
BAB II
TAUBAT DAN KESEHATAN MENTAL
2.1. Taubat
2.1.1. Pengertian Taubat
Secara etimologi, kata taubat dapat dijumpai dalam berbagai kamus
dengan variasi sebagai berikut: dalam Kamus Al-Munawwir (1997: 140),
disebut (bertaubat); (mengampuni);
(menyesal); (bertaubat);
(meminta agar bertaubat); (taubat); (yang bertaubat)
(asma Allah).
Dalam Kamus Arab Indonesia karya Mahmud Yunus (1973: 79),
terdapat kata taubat, (bertaubat, menyesal atas
memperbuat dosa); (taubat, kembali); (yang bertaubat).
( ) berarti menyesali; ( ) berarti menyuruh ia
taubat; ( ) berarti yang taubat; , berarti taubat dari
pada dosa (al-Marbawi, tth: 81). Dalam kitab al-Munjid (1986: 177) kata
taubat berasal dari kata:
= : ,:..
25
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 1202) kata taubat
diartikan sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat)
dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan.
Menurut terminologi, terdapat berbagai rumusan tentang taubat
namun pada intinya sama dan hanya berbeda dalam redaksinya:
a. Menurut Imam Al-Ghazali (1995: 249), taubat adalah meninggalkan
dosa-dosa seketika dan bertekad tidak melakukannya lagi.
b. Menurut Imam Al-Qusyairi 2002: 116), hakikat taubat menurut arti
bahasa adalah "kembali". Kata "taba" berarti kembali, maka taubat
maknanya juga kembali; artinya kembali dari sesuatu yang dicela
dalam syari'at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari'at.
c. Menurut Ibnu Taimiyyah (2003: 23), taubat adalah menarik diri dari
sesuatu keburukan dan kembali kepada sesuatu tindakan yang dapat
membawa seseorang kepada Allah.
d. Menurut Muhammad bin Hasan asy-Syarif (2004: 63), taubat adalah
kembali dari dosa yaitu kembali dari apa yang dibenci Allah, baik lahir
maupun batin, kepada apa yang dicintai-Nya, baik lahir maupun batin.
e. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah (2003: 4), hakikat taubat adalah
menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau,
membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan bertekad
untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. Tiga syarat ini
harus berkumpul menjadi satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia
akan kembali kepada ubudiyah, dan inilah yang disebut hakikat taubat.
26
f. Menurut TM. Hasbi ash-Shiddieqy (2001: 465), taubat adalah
menyesal atas kesalahan dan dosa yang telah lalu, keluar dari
kemungkaran pada diri kita dengan sebersih-bersihnya, lalu
melaksanakan amal saleh. Dalam rumusan lain, taubat adalah
berpindah dari keadaan yang dibenci dan dikutuki Allah kepada
keadaan yang diridai dan dicintai-Nya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa
taubat kepada Allah mengandung arti antara lain datang atau kembali
kepada-Nya dengan perasaan menyesal atas perbuatan atau sikap diri yang
tidak benar di masa lalu dan dengan tekad untuk taat kepada-Nya; dengan
kata lain ia mengandung arti kembali kepada sikap, perbuatan, atau
pendirian yang lebih baik dan benar.
Setiap manusia yang terperosok dan tergelincir dalam berbuat
kesalahan dan maksiat. Maka Allah menghendaki untuk segera bertaubat,
memohon ampun dan kasih sayang-Nya. Agar manusia tidak terbentuk
oleh karakter maksiat dan tidak jauh dari posisi naungan-Nya (Asad,
1988: 27). Itulah sebabnya Allah tidak menerima taubat dari orang yang
menunda-nunda taubatnya sebagaimana firmannya.
) :(Artinya: Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang
mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajalkepada seseorang di antara mereka, barulah mereka.mengatakan. Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan
27
tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedangmereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kamisediakan siksa yang pedih. (OS. An-Nisaa': 18).
2.1.2. Syarat-Syarat Taubat
Menurut Nawawi (tth: 12), taubat adalah tindakan yang wajib
dilakukan atas setiap dosa. Jika pelanggaran itu berkaitan antara seorang
hamba dengan Allah Ta’ala dan tidak berkaitan dengan hak-hak orang
lain, maka syaratnya terdiri dari tiga: pertama, ia harus menghentikan
perbuatan maksiat itu; kedua, ia pun harus menyesali karena pernah
melakukannya, dan ketiga, ia harus bertekad untuk tidak mengulangi lagi
untuk selama-lamanya. Apabila kurang salah satu dari ketiganya, maka
tidak sahlah taubatnya.
Apabila maksiat (pelanggaran) itu berkaitan dengan hak orang
lain, maka syaratnya terdiri dari empat perkara. Yaitu ketiga syarat di atas,
ditambah harus mengembalikan barang hak milik kepada pemiliknya.
Apabila itu berupa uang atau barang, maka ia dikembalikan kepadanya.
Apabila berupa tuduhan dan sejenisnya, maka harus diperbaiki atau
dengan memohon maaf kepadanya. Apabila berupa gunjingan, maka ia
harus meminta penghalalan darinya. Ia pun harus bertaubat atas segala
dosa-dosa tersebut. Apabila ia hanya bertaubat terhadap sebagian
pelanggaran saja, maka taubatnya sah (menurut para ahli), tetapi hanya
terbatas pada dosa-dosa itu saja, dan ia masih harus menanggung dosa
sisanya (yang belum bertaubat) (Nawawi, tth: 12 )
Menurut Imam Al-Ghazali (1986: 9-10) bahwa hal-hal yang mesti
dikerjakan sebelum taubat, ada tiga:
28
1). Ingat keburukan dosa
2). Ingat sakitnya siksa Allah bagi orang yang berdosa, yang tentu tidak
tertahankan oleh anda
3). Ingat akan kelemahan diri anda dan sedikitnya daya upaya anda dalam
menghadapi siksa Allah.
Secara umum kata Al-Ghazali bahwa dosa itu ada tiga macam:
1. Meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diwajibkan oleh Allah
Ta'ala. Misalnya: meninggalkan salat, puasa, zakat, kafarat dan
sebagainya. Cara keluarnya: harus mengqodlo kewajiban yang
ditinggalkan itu.
2. Dosa antara hamba dengan Allah Ta'ala, seperti: minum-minuman
keras, meniup seruling, makan riba dan semisalnya. Cara keluarnya:
harus menyesal telah melakukan dosa-dosa tersebut dan memantapkan
hati untuk tidak akan kembali melakukannya lagi selama-lamanya.
3. Dosa antara hamba dengan sesama hamba Allah.
Dosa ini yang paling sulit cara membebaskan diri darinya. Dosa
ketiga ini bermacam-macam bentuknya: ada yang berhubungan dengan
harta, ada yang berkaitan dengan jiwa, ada yang berkenaan dengan
kehormatan dan ada pula yang bersangkut-paut dengan agama.
Taubat yang sempurna harus memenuhi lima dimensi:
a. Menyadari kesalahan. Karena seseorang tidak mungkin bertaubat
kalau dia tidak menyadari kesalahannya atau tidak merasa bersalah. Di
sinilah perlunya seorang muslim mempelajari ajaran Islam, terutama
29
tentang perintah-perintah yang wajib diikutinya dan larangan-larangan
yang wajib ditinggalkannya. Di sini pulalah pentingnya saling ingat
mengingatkan sesama Muslim
b. Menyesali kesalahan. Sekalipun seseorang tahu bahwa dia bersalah
tetapi dia tidak menyesal telah melakukannya maka orang tadi
belumlah dikatakan bertaubat. Apalagi kalau dia bangga dengan
kesalahannya itu.
c. Memohon ampun kepada Allah SWT (istighfar), dengan keyakinan
atau husn azh-zhan bahwa Allah SWT akan mengampuninya.
Semakin banyak dan sering seseorang mengucapkan istighfar kepada
Allah SWT semakin baik.
d. Berjanji tidak akan mengulanginya. Janji itu harus keluar dari hati
nuraninya dengan sejujurnya, tidak hanya di mulut, sementara di
dalam hati masih tersimpan niat untuk kembali mengerjakan dosa itu
sewaktu-waktu. Taubat seperti ini diibaratkan dengan taubat sambal,
waktu kepedasan menyatakan "kapok", tapi besoknya dimakan lagi. .
e. Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal shaleh, untuk
membuktikan bahwa dia benar-benar telah bertaubat (Ilyas, 2004: 61).
Setiap orang mukmin juga sangat memerlukan pengampunan dosa
dan penghapusan kesalahan. Sebab tidak ada seorang pun yang terlepas
dari dosa dan kesalahan, selaras dengan kontruksi kemanusiaannya, yang
di dalam dirinya terkandung dua unsur yang saling berbeda: unsur tanah
bumi dan unsur ruh langit. Yang satu membelenggu untuk dibawa ke
30
bawah, dan satunya lagi melepaskannya untuk dibawa ke atas. Yang
pertama memungkinkan untuk menurunkannya ke kubangan binatang atau
bahkan lebih sesat lagi jalannya, sedangkan yang kedua memungkinkan
untuk mengangkatnya ke ufuk alam malaikat atau bahkan lebih baik lagi.
Karena itu setiap manusia mempunyai peluang untuk melakukan
keburukan dan berbuat dosa. Maka dia sangat membutuhkan taubatan
nashuha (taubat semurni-murninya), agar kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukannya terhapuskan (Tatapangarsa, 1980: 43-69).
Dalam kaitannya dengan taubat, bahwa apabila taubat ditinjau dari
perspektif sufi, maka taubat merupakan salah satu maqam (Solihin dan
Rosihon Anwar, 2002: 126) dari seorang sufi untuk berada dekat pada
Tuhan.
Namun yang membedakan antara taubat dalam syariat biasa
dengan maqam taubat dalam tasawuf diperdalam dan dibedakan antara
taubatnya orang awam dengan taubatnya orang khusus yang bukan awam
(Simuh, 2007: 51). Dzun Nun Al-Mishri pernah ditanya tentang taubat,
lalu dijawab, taubat orang awam disebabkan oleh dosa, sedangkan taubat
orang yang khusus dikarenakan lupa. Ucapan ini dipertegas lagi oleh An-
Nuri, taubat adalah proses pelaksanaan taubat dari segala sesuatu selain
Allah (Al-Qusyairi, tth: 123).
Harun Nasution (1973: 65), mengatakan taubat yang dimaksud sufi
ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada
dosa lagi. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan
31
diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah
yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru
ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya
dalam paham para sufi ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang
yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah, dan orang yang demikian
senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
Mustafa Zahri (1995: 105-106) dalam bukunya, Kunci Memahami
Ilmu Tasawuf, menyebut taubat berbarengan dengan istighfar (memohon
ampun). Bagi orang awam taubat cukup dengan membaca astaghfirullah
wa atubu ilahi (Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya)
sebanyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat
dengan mengadakan latihan dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha
membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan.
Di dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan
manusia agar bertaubat (Nata, 2002: 198). Karena itu Syeikh Abdul Qadir
Jailani (2002: 36) menyatakan pergunakanlah pintu taubat dan masukilah
selama pintu itu terbuka untukmu. Di antaranya ayat yang berbunyi:
) :(Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah,lalu memohon ampun terhadap dosa.-dosa mereka. (QS. Ali'Imran: 135).
32
) :(
Artinya: Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur:31)
2.1.3. Macam-Macam Taubat
Para sufi memiliki konsepsi tentang jalan menuju Allah. Jalan ini
merupakan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) yang dilakukan secara
bertahap dalam menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqamat
(tingkatan-tingkatan) dan ahwal (keadaan-keadaan) kemudian berakhir
dengan mengenal (ma'rifat) kepada Allah (Al-Taftazani, 1985: 35).
Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal di jalan
menuju Allah. Pada tingkat terendah, taubat menyangkut dosa yang
dilakukan jasad atau anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, di
samping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, taubat menyangkut pula
pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang
lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan
menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti
penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada
tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat
memalingkan dari jalan Allah (Al-Ghazali, tth: 10-11).
Taubat agaknya diakui secara umum dalam pembahasan tasawuf
sebagai maqam pertama yang harus dilalui dan dijalani oleh seorang salik.
33
Dikatakan, Allah tidak mendekati sebelum bertaubat. Karena dengan
taubat, jiwa seorang salik bersih dari dosa. Tuhan dapat didekati dengan
jiwa yang suci.
Menurut Dzun Nun Al-Mishri, taubat dibedakan atas dua macam,
yaitu taubat awam dan taubat khawas. Orang awam bertaubat karena
kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain ia mengatakan
dosa bagi al-muqarrabin (orang yang dekat kepada Allah) merupakan
kebaikan bagi al-abrar. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-
Junaidi yang mengatakan bahwa taubat ialah "engkau melupakan dosamu"
(Solihin, 2003: 18).
Perkataan Al-Junaid mengandung arti bahwa kemanisan tindakan
semacam itu sepenuhnya menjauh dari hati, sehingga di dalam kesadaran
tidak ada lagi jejaknya, sampai orang itu merasa seakan-akan dia tidak
pernah mengetahuinya. Ruwaim berkata: "Arti taubat adalah bahwa
engkau harus bertaubat atas taubat itu." Arti ini mirip dengan yang
dikatakan oleh Rabi'ah: "Aku memohon ampun kepada Tuhan karena
ketidaktulusan dalam berbicara; aku mohon ampun kepada Tuhan." Al-
Husain al-Maghazili, ketika ditanya mengenai taubat, berkata: "Apakah
yang engkau tanyakan, mengenai taubat peralihan, atau taubat
tanggapan?" Yang lain berkata: "Apakah arti taubat peralihan itu?"
Ruwaim menjawab: "Bahwa engkau harus takut kepada Tuhan karena
kekuasaan-Nya atas dirimu." Yang lain bertanya: "Dan apakah taubat
34
tanggapan itu?" Ruwaim menyahut: "Bahwa engkau harus malu kepada
Tuhan karena Dia ada di dekatmu." (Al-Kalabadzi, 1990: 114).
Dzu'1-Nun Al-Mishri berkata: "Taubat orang awam adalah taubat
dari dosanya; taubat orang terpilih adalah taubat dari kekhilafannya;
taubat para nabi adalah taubat dari kesadaran mereka akan
ketidakmampuan mencapai apa yang telah dicapai orang lain." Al-Nuri
berkata: "Taubat berarti bahwa engkau harus berpaling dari segala sesuatu
kecuali Tuhan." Ibrahim al-Daqqaq berkata: "Taubat berarti bahwa engkau
harus menghadap Tuhan tanpa berbalik lagi, bahkan jika sebelumnya
engkau telah berbalik dari Tuhan tanpa menghadap kembali (Al-
Kalabadzi, 1990: 114).
Pada tahap ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi
mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju
pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut,
Dzun Nun Al-Mishri membedakan taubat atas tiga tingkatan, yaitu:
1. Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya
2. Orang yang bertaubat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Allah.
3. Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya
(Solihin, 2003: 18).
Pembagian taubat atas tiga tingkatan agaknya tidak harus dilihat
sebagai keterangan yang bertentangan dengan apa yang telah disebut di
atas. Pada pembagian mi, Dzun Nun membagi lagi orang khawas menjadi
dua bagian sehingga jenis taubat dibedakan atas tiga macam.
35
Perkembangan pemikiran itu boleh juga merupakan salah satu refleksi dari
proses pencairan hakikat oleh seorang sufi yang mengalami tahapan
secara gradual.
Bagi golongan khawas atau orang yang telah jadi sufi, yang
dipandang dosa adalah ghaflah (terlena mengingat Tuhan). Ghaflah itulah
dosa yang mematikan. Ghaflah adalah sumber munculnya segala dosa.
Dengan demikian taubat merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup
lama (ghaflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat
pada Tuhan sepanjang masa, Taubat berarti mengalami mati di dalam
hidup (Jawa: mati sajroning urip). Yakni suatu proses peralihan dengan
mematikan cara hidup lama yang ghaflah, dan membina cara hidup baru,
hidup sufi yang selalu ingat dan rasa dekat pada Tuhan dalam segala
keadaan. Dalam kalangan ahli tarekat proses peralihan atau taubat ini
dijalankan dengan upacara inisiasi atau baiat. Pada upacara ini para calon
sufi dimandikan dan diberi pakaian seperti halnya mayat dikafani. Yakni
simbol taubat atau mematikan cara hidup lama dan beralih ke kehidupan
tarekat.
Karena taubat menurut sufi terutama taubat dari ghaflah, maka
kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai
maqam . Yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan
dirinya dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri (Simuh, 2007: 52 – 53).
36
2.1.4. Macam-Macam Dosa
Dosa dan kesalahan merupakan masalah penting dalam Islam,
karena keduanya menyangkut hubungan, baik antara manusia dengan
Allah, dengan masyarakat dan lingkungannya serta dengan dirinya sendiri.
Ketenteraman, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia banyak ditentukan
oleh seberapa jauh ia terhindar atau bersih dari dosa dan kesalahan,
ataupun sampai seberapa banyak ketaatan dan kebaikan yang
diperbuatnya. Sebaliknya penderitaan, kesengsaraan dan ketidakbahagiaan
manusia banyak pula ditentukan oleh seberapa banyak dosa dan kesalahan
yang telah dilakukannya. Orang-orang yang berbuat dosa dan kesalahan
diancam Allah dengan hukuman berat, balk di dunia maupun di akhirat.
Sebaliknya orang yang berbuat taat dan kebaikan dijanjikan dan diberikan
Allah pahala yang besar, baik di dunia maupun di akhirat (Jaya, 1995: 30-
35).
Dosa itu dalam ajaran Islam dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok yaitu: (a) dosa besar yang tidak terampuni; (b) dosa besar yang
masih bisa diampuni; (c) dosa kecil yang terhapus karena rajin ibadah atau
karena banyak berbuat kebajikan (Bakry, 1988: 29). Atau dengan kata
lain, mengenai dosa dan kesalahan ditinjau dari segi bahaya dan mudarat
pada bagian ketiga, yaitu dosa kecil dan dosa besar, para ulama berbeda
pendapat tentang definisi dan jumlahnya. Tentang definisi atau pengertian
dosa besar dan dosa kecil, ada yang mengatakan bahwa dosa besar adalah
kesalahan besar terhadap Allah karena melanggar aturan pokok yang
37
diancam dengan hukuman berat, dunia dan akhirat, contohnya dosa syirik,
zina dan durhaka kepada kedua ibu-bapak. Dosa kecil adalah kesalahan
ringan terhadap Allah berupa pelanggaran ringan mengenai hal-hal yang
bukan pokok yang hanya diancam dengan siksaan ringan. Contohnya
ucapan yang kurang baik dan melihat wanita dengan penuh syahwat. Bagi
Mu'tazilah yang dikatakan dosa besar ialah setiap perbuatan maksiat yang
ada ancamannya dari Allah, dan dosa kecil setiap perbuatan maksiat yang
tidak ada ancamannya. Sedangkan bagi Ja'afar bin Mubasysyir yang
dikatakan dosa besar itu ialah setiap niat yang digunakan untuk melakukan
perbuatan dosa dan setiap orang yang melakukan perbuatan maksiat
dengan sengaja adalah dosa besar (Ibrahim, No. 13/1980: 16).
Jadi pengertian dosa besar di sini bergantung pada niat dan
kesengajaan. Imam Harmain, Al-Ghazali dan Al-Razy mengemukakan
bahwa dosa besar ialah setiap sesuatu perbuatan yang ada unsur
penghinaannya terhadap agama dan ketiadaan mempedulikan larangan
dan suruhan agama serta tidak menghormati taklif agama (Ash-Shiddieqy,
2003: 470). Sebagian ulama lain mengatakan: "Apabila ingin mengetahui
perbedaan antara dosa besar dengan dosa-dosa kecil, maka bandingkanlah
kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh dosa-dosa tersebut dengan
dosa besar yang sudah ada nash-nya. Apabila pada kenyataannya
kerusakan yang ditimbulkan itu hanya sedikit, maka yang demikian itu
adalah dosa kecil. Tetapi apabila kerusakan yang ditimbulkannya itu
38
seimbang atau lebih besar, maka yang demikian itu adalah dosa besar
(Thabbarah, 1980: 4).
Pengertian dosa besar dan dosa kecil yang terakhir ini ditekankan
pada kerusakan yang ditimbulkannya, dibandingkan dengan dosa yang
telah ada nash-nya dalam Islam. Dari uraian tentang pengertian dosa di
atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa para ulama pada umumnya
menyetujui pembagian dosa itu atas dasar besar dan kecil. Dosa besar
mengandung bahaya dan mudarat yang lebih besar, dan dosa kecil
mendatangkan bahaya dan mudarat yang lebih ringan.
Adapun mengenai jumlah dosa besar para ulama berbeda
pendapat. Ada di antara mereka yang mengatakan jumlahnya 7, 17, 70 dan
ada pula yang mengatakan jumlahnya 700. Semua pendapat ini ada
argumennya, baik argumen a'qal maupun naqal. Pendapat jumlah dosa
besar 17 dikemukakan oleh Abu Thalib al-Makki. Setelah mengumpulkan
beberapa dalil al-Qur'an tentang dosa besar, disimpulkan bahwa dosa
besar itu ada 17 dengan rincian sebagai berikut:
Empat terdapat di hati, yaitu:
1. Syirik.
}{Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan
Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapayang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukanAllah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (Q.S.an-Nisa': 48).
39
2. Senantiasa berbuat maksiat kepada Allah.
}{Artinya: Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allahmemasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal didalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. an-Nisa': 14).
3. Merasa selamat dari genggaman Allah atau merasa bebas dari balasan
Allah.
}{
Artinya: Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah? Tiadayang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yangmerugi. (Q.S. Al-A'raf: 99).
4. Merasa putus asa dari rahmat Allah.
}{
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentangYusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa darirahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmatAllah, melainkan kaum yang kafir". (Q.S. Yusuf: 87).
Empat di lidah, yaitu:
5. Membuat tuduhan zina terhadap perempuan yang beriman.
} {
40
}{
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena la'nat di duniadan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari,lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas merekaterhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. Annur: 23-24).
6. Membuat sumpah palsu.
}{Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, merekaitu tidak mendapat bahagian di akhirat, dan Allah tidak akanberkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepadamereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikanmereka. Bagi mereka azab yang pedih. (Q.S. Ali Imran : 77)
7. Berkata bohong.
}{
Artinya: Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata:"Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena diamenyatakan: "Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datangkepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dariTuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yangmenanggung dustanya itu; dan jika ia seorang yang benarniscaya sebagian yang diancamkannya kepadamu akan
41
menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Q.S. Ghofir/ al-Mukmin: 28).
Walau bagaimanapun kecilnya dosa-dosa itu, ia dapat saja dengan
segera menjadi dosa besar. Dosa kecil dapat menjadi dosa besar antara
lain disebabkan:
a. Karena dosa kecil itu dikerjakan terus menerus atau dikekalkan saja
mengerjakannya tanpa ada hentinya.
b. Karena memandang kecil perbuatan dosa. Sebab dosa itu apabila
dipandang kecil (enteng), maka ia dipandang besar oleh Allah dan
apabila kita pandang besar, maka niscaya dipandang kecil oleh Allah.
c. Karena gembira berbuat dosa kecil itu dan tidak merasakan, bahwa
dosa dapat menjadi sebab kecelakaannya.
d. Merasa aman dari tipu daya Allah (Tatapangarsa, 1980: 64).
Jadi pengertian kecil dan besarnya dosa itu sangat relatif, seperti
dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus bisa berubah menjadi dosa
besar. Dari uraian di atas jelas bahwa sumber dan penyebab timbulnya
dosa dan kesalahan pada diri seseorang adalah usaha dan perbuatan
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, ia pulalah yang bisa
mempertanggungjawabkan dosa dan kesalahannya ataupun yang bisa
mengusahakan dosa dan kesalahannya itu hapus. Dosa dan kesalahan
seorang bapak tidak akan dapat dihapuskan oleh usaha dan perbuatan
anaknya, dan begitu pula sebaliknya. Penghapusan dosa dan kesalahan
hanya bisa terwujud, kalau orang-orang yang berdosa dan bersalah itu
sendiri berusaha untuk menghilangkannya.
42
2.2. Kesehatan Mental
2.2.1. Pengertian Kesehatan Mental
Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari
adanya problem yang mengganggu kejiwaannya, oleh karena itu sejarah
manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problema tersebut.
Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga
yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah (Mubarok, 2000: 13). Pada
masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban
Barat yang secular (Albahy, 1988: 10), solusi yang ditawarkan untuk
mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan
pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada
masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya
telah mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat
Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni
tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu
akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika hidupnya
bermakna (Albahy, 1988: 14).
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara
agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari
yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika
ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan (Shihab,
2003: 181). Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan terhadap
batasan atau definisi kesehatan mental (mental healt). Hal itu disebabkan
43
antara lain karena adanya berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan
yang berbeda. Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan pandangan
tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep kesehatan mental.
Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan implementasi dalam
mencapai dan mengusahakan mental yang sehat. Perbedaan itu wajar dan
tidak perlu merisaukan, karena sisi lain adanya perbedaan itu justru
memperkaya khasanah dan memperluas pandangan orang mengenai apa
dan bagaimana kesehatan mental (Musnamar, 1992: XIII). Sejalan dengan
keterangan di atas maka di bawah ini dikemukakan beberapa rumusan
kesehatan mental, antara lain:
Pertama, Fahmi (1977: 20-22), sesungguhnya kesehatan jiwa
mempunyai pengertian dan batasan yang banyak. Di sini dikemukakan
dua pengertian saja; sekedar untuk mendapat batasan yang dapat
digunakan dengan cara memungkinkan memanfaatkan batasan tersebut
dalam mengarahkan orang kepada pemahaman hidup mereka dan dapat
mengatasi kesukarannya, sehingga mereka dapat hidup bahagia dan
melaksanakan misinya sebagai anggota masyarakat yang aktif dan serasi
dalam masyarakat sekarang. Pengertian pertama mengatakan kesehatan
jiwa adalah bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan.
Pengertian ini banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (psikiatri).
Pengertian kedua dari kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas,
lengkap tidak terbatas; ia berhubungan dengan kemampuan orang untuk
menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat
44
lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang terhindar
dari kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya dan tidak
terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial,
dia juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi ia
berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan pikiran
dalam berbagai lapangan dan di bawah pengaruh semua keadaan.
Kedua, Daradjat (1983: 11-12), dalam pidato pengukuhannya
sebagai guru besar untuk Kesehatan Jiwa di IAIN "Syarif Hidayatullah
Jakarta" (1984) mengemukakan lima buah rumusan kesehatan mental
yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu disusun mulai dari
rumusan- rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum,
sehingga dari urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir seakan-
akan mencakup rumusan-rumusan sebelumnya.
a. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa
(neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini
banyak dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang
memandang manusia dari sudut sehat atau sakitnya.
b. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan
tempat ia hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum
daripada definisi yang pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan
sosial secara menyeluruh. Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan
akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
45
c. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta
terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini
menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan,
sikap, pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja
sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan
orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa
gelisah dan konflik batin.
d. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan
untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa
kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan
dan penyakit jiwa.
Definisi keempat ini lebih menekankan pada pengembangan
dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir,
sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain
dan dirinya sendiri.
e. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian
diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan
keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang
46
bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat (Daradjat, 1983:
13).
Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan
harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan
penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan
hubungan baik dengan sesama manusia.
Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan
Mental, Daradjat (1983: 9) mengemukakan: Kesehatan mental adalah
terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan
diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-
kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada
konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia,
serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal
mungkin.
Ketiga, menurut M.Buchori sebagaimana disitir Jalaluddin,
(2004: 154) kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang
meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta
prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang
sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya
selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan
mengutip H.C. Witherington menambahkan, permasalahan kesehatan
mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat
47
lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan
agama.
Keempat, Kartono, Jenny Andari (1989: 3) mengetengahkan
rumusan bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah
ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, bertujuan
mencegah timbulnya gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi,
dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan penyakit mental, serta
memajukan kesehatan jiwa rakyat. Dengan demikian mental hygiene
mempunyai tema sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan
segenap keruwetan batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-
macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan kebersihan jiwa,
dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam ketegangan,
kekalutan dan konflik terbuka serta konflik batin (Kartono, Jenny
Andari, 1989: 4).
Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan
menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia
memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang
berhasil memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang
memperolehnya setelah berjuang mati-matian, dan ada yang tidak
berhasil menggapainya meskipun telah bekerja keras dan bersabar
untuk menggapainya.
48
2.2.2. Ciri-Ciri Mental yang Sehat
Menurut Marie Jahoda yang disitir AF. Jaelani (2000: 76 ) bahwa
orang yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.
a. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat
mengenal diri sendiri dengan baik.
b. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
c. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan
pandangan, dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.
d. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari
dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.
e. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta
memiliki empati dan kepekaan sosial.
f. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya
secara baik.
Menurut Yusuf (2004: 20), karakteristik mental yang sehat yaitu
(1) terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa dan penyakit jiwa. (2) dapat
menyesuaikan diri. (3) memanfaatkan potensi semaksimal mungkin. (4)
tercapai kebahagiaan pribadi dan orang lain.
Bastaman (1997: 134) merangkum pandangan-pandangan tentang
kesehatan mental menjadi empat pola wawasan dengan masing-masing
orientasinya sebagai berikut:
a. Pola wawasan yang berorientasi simtomatis
b. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri
49
c. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi
d. Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian
Pertama, pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap
bahwa hadirnya gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan
tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya
hilang atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan
bebasnya seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu, dan ini dianggap
sebagai kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat ditandai
oleh bebasnya seseorang dari gejala-gejala gangguan kejiwaan tertentu
(psikosis)
Kedua, pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini
berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri
merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini
penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya
memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang
lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau
serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak
sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi
mudah terombang-ambing situasi (Bastaman, 1997: 134).
Ketiga, pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi
pribadi. Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk
bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani
50
(human qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa tanggungjawab,
kecerdasan, kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini
sehat mental terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara
optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan
lingkungannya. Dalam mengembangkan kualitas-kualitas insani ini perlu
diperhitungkan norma-norma yang berlaku dan nilai-nilai etis yang dianut,
karena potensi dan kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang
buruk (Bastaman, 1997: 134).
Keempat, pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian
berpandangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat
menunjang kesehatan jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-
tuntunan keagamaan dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan
tersebut dapat diajukan secara operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau
kondisi jiwa yang sehat, yakni:
a. Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.
b. Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan
antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
c. Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap,
sifat, dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan
lingkungan.
d. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan
tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari (Bastaman, 1997: 135).
51
Berdasarkan tolak ukur di atas kiranya dapat digambarkan secara
ideal bahwa orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha
secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu
dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia pun secara sadar
berupaya untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat,
kemampuan, sifat, dan kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif.
Sejalan dengan itu ia pun berupaya untuk menghambat dan mengurangi
kualitas-kualitas negatif dirinya, karena sadar bahwa hal itu dapat menjadi
sumber berbagai gangguan (dan penyakit) kejiwaan.
Dalam pergaulan ia adalah seorang yang luwes, dalam artian
menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan tanpa ia sendiri kehilangan
identitas dirinya serta berusaha secara aktif agar berfungsi dan bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Ada benarnya juga bila
orang dengan kesehatan mental yang baik digambarkan sebagai seseorang
yang sehat jasmani-rohani, otaknya penuh dengan ilmu-ilmu yang
bermanfaat, rohaninya sarat dengan iman dan taqwa kepada Tuhan,
dengan karakter yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan sosial budaya
yang luhur. Pada dirinya seakan-akan telah tertanam dengan suburnya
moralitas dan rasa adil dan makmur memberi manfaat dan melimpah ruah
kepada sekelilingnya (Bastaman, 1997: 135).
52
Tolok ukur dan gambaran di atas tidak saja berlaku pada diri
pribadi, tetapi berlaku pula dalam keluarga, karena keluarga pun terdiri
dari pribadi-pribadi yang terikat oleh norma-norma kekeluargaan yang
masing-masing sudah selayaknya berperan serta menciptakan suasana
kekeluargaan yang harmonis dan menunjang pengembangan kesehatan
mental.
Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut
Maslow dan Mittlemenn adalah sebagai berikut:
a. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai). Perasaan
merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan
keluarganya.
b. Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang
memadai), yang mencakup: (a) harga diri yang memadai, yaitu merasa
ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan prestasinya, (b)
memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral masuk
akal, dengan perasaan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang
berlebihan, dan mampu mengenai beberapa hal yang secara sosial dan
personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada
sepanjang kehidupan di masyarakat.
c. Adequate spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan
perasaan yang memadai, dengan orang lain), Hal ini ditandai oleh
kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi,
seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan member!
53
ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol,
kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain,
kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah
tidak senang pada suatu saat, tetapi dia hams memiliki alasan yang
tepat.
Dalam sidang WHO pada Tahun 1959 di Geneva telah berhasil
merumuskan kriteria jiwa yang sehat. Seseorang dikatakan mempunyai
jiwa yang sehat apabila yang bersangkutan itu:
a. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun
kenyataan itu buruk baginya.
b. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
c. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima.
d. Secara relatif bebas dari rasa tegang (stress), cemas dan depresi.
e. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling
memuaskan (Hawari, 2002: 13).
Sehubungan dengan pentingnya dimensi agama dalam kesehatan
mental, maka pada tahun 1984 Organisasi Kesehatan se Dunia (WHO :
World Health Organization) telah menambahkan dimensi agama sebagai
salah satu dari 4 (empat) pilar kesehatan; yaitu kesehatan manusia
seutuhnya meliputi: sehat secara jasmani/fisik (biologik); sehat secara
kejiwaan (psikiatrik/psikologik); sehat secara sosial; dan sehat secara
spiritual (kerohanian/agama). Dengan kata lain manusia yang sehat
seutuhnya adalah manusia yang beragama, dan hal ini sesuai dengan fitrah
54
manusia. Keempat dimensi sehat tersebut di atas diadopsi oleh the
American Psychiatric Association dengan paradigma pendekatan bio-
psycho-socio-spiritual (Hawari, 2002: 15).
2.2.3. Upaya Mencapai Mental yang Sehat
Kartono dan Jenny Andari (1989: 29) berpendapat ada tiga prinsip
pokok untuk mendapatkan kesehatan mental, yaitu;
a. Pemenuhan kebutuhan pokok
Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan
kebutuhan-kebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan psikis)
dan yang bersifat sosial. Kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-
dorongan itu menuntut pemuasan. Timbullah ketegangan-ketegangan
dalam usaha pencapaiannya. Ketegangan cenderung menurun jika
kebutuhan-kebutuhan terpenuhi, dan cenderung naik/makin banyak,
jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.
b. Kepuasan.
Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat
jasmaniah maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang,
aman terlindung, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat
simpati dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang,
lalu timbullah Sense of Importancy dan Sense of Mastery, (kesadaran
nilai dirinya dan kesadaran penguasaan) yang memberi rasa senang,
puas dan bahagia.
55
c. Posisi dan status sosial
Dalam perspektif Islam, ada beberapa cara untuk mencegah
munculnya penyakit kejiwaan dan sekaligus menyembuhkannya, melalui
konsep-konsep dalam Islam. Adapun upaya tersebut, adalah:
Pertama, Menciptakan kehidupan Islami dan perilaku religius.
Upaya ini dapat ditempuh dengan cara mengisi kegiatan sehari-hari
dengan hal-hal yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-nilai aqidah,
syari'ah; dan akhlak; aturan-aturan negara, norma-norma masyarakat, serta
menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Kedua, Mengintensifkan dan meningkatkan kualitas ibadah.
Sembahyang, do'a dan permohonan ampun kepada Allah akan
mengembalikan ketenangan dan ketentraman jiwa bagi orang yang
melakukannya. Semakin dekat orang kepada Allah dan semakin banyak
ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya dan semakin mampu
menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup.
Demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama akan
semakin susah baginya mencari ketentraman batin.
Ketiga, Meningkatkan kualitas dan kuantitas dzikir. Al-Qur'an
berulang kali menyebut bahwa orang yang banyak berdzikir (menyebut
nama Allah), hatinya akan tenang dan damai (Sholeh dan Imam Musbikin,
2005: 43 – 44). Surat al-Baqarah ayat 152 menjelaskan:
) :(
56
Artinya: Karena itu, ingatlah (dzikirlah) engkau kepada-Ku niscayaAku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku danjanganlah kamu mengingkari nikmat-Ku. (QS. al-Baqarah:152).
Dalam surat al-Ra'du (13) ayat 28; disebutkan:
) :(
Artinya: Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjaditenteram dengan mengingat Allah SWT (dzikrullah).Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadirenteram. (QS. al-Ra'd: 28).
Dalam hadis nabi juga disebutkan,
) (
Artinya: Telah mengabarkan kepadaku dari Zuhair bin Harbin danMuhammad bin Mutsanna dari Yahya al-Qathan dari Zuhairdari Yahya bin Sya'id dari Ubaidillah dari Khubaib binAbdurrahman dari Khafsi bin 'Ashim dari abu Hurairah dariNabi Saw. bersabda: "Ada tujuh golongan manusia yangbakal dinaungi oleh Allah dalam naunganNya, pada hari
57
tidak ada naungan kecuali naunganNya, yaitu: Pemimpinyang adil; pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah(selalu beribadah); seseorang yang hatinya senantiasabergantung pada mesjid-mesjid (sangat mencintainya danselalu melakukan shalat jama'ah di dalamnya); dua orangyang saling mengasihi di dalam Allah (keduanya berkumpuldan berpisah karena Allah); seorang laki-laki yang diundangoleh seorang perempuan yang punya kedudukan dan cantik,tapi dia mengatakan: 'Aku takut kepada Allah!'; seseorangyang memberikan sedekah, dia merahasiakannya sehinggaseakan-akan tangan kanannya tidak tahu apa yang diberikanoleh tangan kirinya (atau kebalikannya); dan seseorang yangdzikir (ingat, menyebut) Allah di kesunyian, lalu meleleh airmata dari kedua matanya." (HR. Muslim) (Muslim, tth: 93).
Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis tersebut menjelaskan bahwa dzikir
mengandung daya terapi-religius yang potensial untuk mencapai
ketenangan dan ketenteraman batin (Sholeh dan Imam Musbikin, 2005:
45).
Keempat, Melaksanakan rukun Islam, rukun iman dan berbuat
ikhsan. Zakiah Daradjat (1983, 12) dalam bukunya Islam dan Kesehatan
Mental mengatakan bahwa ada pengaruh positif dari pelaksanaan rukun
iman, rukun Islam dan berbuat ikhsan.
58
BAB III
BIOGRAFI HAMKA DAN PANDANGANNYA TENTANG TAUBAT
3.1. Biografi Hamka dan Karya-Karyanya
Prof. Dr. Hc. Hamka, singkatan dari Haji Abdul Malik Karim
Amrullah. la dilahirkan pada 16 Februari 1908 (1327 H) di Maninjau. Sumatra
Barat. Ayahnya, Syekh Haji Abdul Karim Amrullah, terkenal dengan sebutan
Haji Rasul, adalah seorang ulama yang cukup terkemuka dan pembaharu di
Minangkabau. Kecuali Sekolah Dasar, Hamka tidak memperoleh pendidikan
formal. Selain pendidikan dasar keagamaannya diperoleh di lingkungan
keluarga, Hamka terkenal seorang otodidak dalam bidang agama. Keahliannya
dalam bidang keislaman diakui dunia internasional. Karenanya, pada Tahun
1955, ia memperoleh gelar kehormatan (Doctor Honoris Causa) dari
Universitas al-Azhar. Sebelas tahun kemudian, 1976, gelar yang sama
diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada usia remaja, ia
mulai merantau ke Jawa. Di sini ia banyak belajar kepada, antara lain, H.O.S.
Cokroaminoto. Kemudian, ia aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Tidak
lama berselang, 1927, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadat haji.
Sekembali dari Mekkah, ia tinggal di Medan, Sumatra Utara (Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi, 1992: 294).
Seiring dengan itu, antara 1938—1941, ia aktif sebagai redaktur
majalah Pedoman Masyarakat dan Pedoman Islam. Selama rentang waktu itu,
ia mulai banyak menulis roman, suatu aktivitas yang dipandang menyalahi
59
adat istiadat keulamaan tradisional. Karenanya, kemudian, timbul reaksi yang
cukup menghebohkan dari pihak yang tidak setuju (Damami, 2000: 72-73)
Hamka sebagai sastrawan banyak menulis roman yang cukup memikat
pembaca sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi sebagai berikut:
Adapun di antara roman yang ditulisnya adalah Di Bawah LindunganKa'bah (1938), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939) danMerantau ke Deli (1940). Kemudian yang bersifat kumpulan ceritapendek adalah Di dalam Lembah Kehidupan (1940). Karya sastranyadipandang terpengaruh pujangga Mesir, al-Manfaluti. Selain itu, pada1960-an, timbul tuduhan terhadap roman Tenggelamnya Kapal vander Wijck sebagai plagiat dari roman Al-Phonse Karr (pengarangPerancis) yang telah disadur ke dalam bahasa Arab oleh al-Manfaluti.Rupanya, tuduhan tersebut sempat menimbulkan polemik yang cukuphebat, terutama, karena situasi itu dijadikan kesempatan oleh golongankiri untuk menjatuhkan Hamka secara politis. Ini merupakan gejalakontroversi yang menunjukkan bahwa ketokohan Hamka, baik sebagaiulama maupun sastrawan, sesungguhnya, cukup mengakarpengaruhnya di masyarakat (Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah,Ensiklopedi, 1992: 294).
Karena ketokohan Hamka, Junus Amir Hamzah merasa perlu untuk
mengumpulkan dan menerbitkan polemik tersebut pada 1964 dengan judul
Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam Polemik. Bahkan, setahun
sebelumnya, 1963, Junus Amir Hamzah telah menulis buku tentang roman-
roman Hamka dengan judul Hamka sebagai Pengarang Roman (Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi, 1992: 294)
Ketokohan yang semakin mengakar inilah, khususnya dalam bidang
keulamaan, dan pengaruh Hamka dalam masyarakat sempat menimbulkan
kekhawatiran di kalangan politik Orde Lama. Atas dasar ini, Hamka sempat
meringkuk dalam penjara selama beberapa tahun. Namun demikian, ternyata,
penjara bagi Hamka memberi hikmah yang tidak ternilai. Selama di penjara,
60
ternyata, ia berhasil menyelesaikan karya monumentalnya, Tafsir al-Azhar
(Damami, 2000: 73)
Selain karya monumental tersebut, Hamka terkenal sebagai ulama
yang sangat produktif. la menulis bukan saja dalam bidang pengetahuan
keislaman yang lebih bersifat umum, melainkan juga yang lebih bersifat
khusus, bidang tasawuf. Dalam bidang ini ia menulis, misalnya, Tasawuf,
Perkembangan dan Pemurniannya, dan Tasawuf Modern. Bahkan, bidang ini
sangat mewarnai metodenya dalam menyampaikan pesan-pesan keislaman,
berdakwah. Kecuali pengetahuannya yang cukup luas, Hamka terkenal
seorang ulama yang berpandangan moderat, sehingga ia bisa diterima oleh
semua pihak. Pandangan moderatnya, boleh-jadi, sangat dipengaruhi oleh
semangat tasawufnya. Sebagaimana diketahui, dalam disiplin ilmu keislaman
tradisional, tasawuf merupakan satu-satunya disiplin yang mengajarkan
pandangan moderat (Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi,
1992: 294).
Ketokohan dan kemoderatan Hamka dapat dibaca di antaranya dalam
Ensiklopedi dijelaskan:
Ketokohan dan kemoderatan Hamka sangat menonjol, terutamasemenjak menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia. la mampuberkomunikasi dengan segala lapisan masyarakat. Di kalanganmasyarakat awam, Hamka sangat terkenal dengan pidatonya yangsangat menyejukkan hati dan sekaligus memberikan semangat danrasa optimisme. Sedangkan untuk kalangan elite, termasukpemerintah, Hamka mampu menyajikan pemahaman keislaman yanglebih rasional, yang didasarkan kepada suatu keluasan pandangan.Sehingga semangat dan pesan ajaran keislaman dapat dimengerti danditerima secara baik. Melihat figur atau ketokohan Hamka seperti ini,khususnya dilihat dari segi tradisi keulamaan tradisional, agaknya,
61
masih sulit menemukan penggantinya hingga kini(Tim Penulis IAINSyarif Hidayatullah, Ensiklopedi, 1992: 295).
Karya-karya Hamka dapat disebutkan sebagai berikut
1. Kenang-Kenangan Hidup, jilid 1-IV (1974)
Dalam buku ini Hamka mengupas seputar perjalanan hidupnya
yang manis juga yang pahit. Masa kecil yang mewarnai pertumbuhan jati
dirinya diulas dengan cukup menarik
2. Akhlakul Karimah (1974)
Berisi tentang pola-pola perilaku yang baik dan buruk. Dalam
buku ini diuraikan tentang bagaimana memelihara hubungan dengan
tetangga, hubungan dengan masyarakat dan sikap terhadap Tuhan serta
upaya memelihara hubungan dengan alam semesta
3. Tafsir al-Azhar (1985)
Dalam tafsir ini Hamka mengungkapkan ayat-ayat al-Qur'an baik
secara historis maupun sosiologis. Uraiannya sangat mudah dipahami dan
mudah dicerna oleh setiap pembaca tafsir tersebut.
4. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya (1986)
Buku ini berisi priodisasi sejarah perkembangan tasawuf. Dalam
buku ini diuraikan pula tentang tasawuf dan pemurniannya sesuai dengan
perjalanan waktu dan sejarah.
5. Tasawuf Moderen (1939).
Tasawuf modern merupakan buku yang memuat tentang hakikat
hidup untuk mencapai kebahagiaan. Di dalamnya dibahas tentang cara
62
menggapai kebahagiaan, jalan menyucikan diri, cara-cara memelihara
kesehatan jiwa.
6. Sejarah Umat Islam, empat jilid banyaknya.
Buku ini baru dapat dicetak pertama kali pada tahun 1950 (periode
pasca Pedoman Masyarakat), secara berurutan waktu.
Dari sebagian penilaian orang, dari sekian karya sastranya itu, maka
karya sastra Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan karya sastra
puncak, sekalipun sebenarnya Di Bawah Lindungan Ka'bah juga sangat
mashyur dan terletak di bawah sedikit saja dari Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck. Sungguhpun begitu, para pembacanya sudah sangat dibuat terpukau
oleh karya-karya tersebut. Bahkan menurut M. Yunan Nasution, Wakil
Redaktur majalah Pedoman Masyarakat, kolega kerja Hamka dahulu dalam
majalah tersebut, menyatakan bahwa Hamka pernah menerima kawat dari
para pembacanya yang isinya meminta dengan sangat agar tokoh wanita
dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang mendebarkan hati
jangan sampai "dimatikan", melainkan terus "dihidupkan". Ini menunjukkan
perhatian yang luar biasa dari pembacanya. (Damami, 2000: 65)
Apa sebab para pembaca karya Hamka dapat sedemikian terpukau oleh
karya sastranya. Menurut H. Ghazali Syahlan, murid dari "Kulliyatul
Muballighin" di Padang Panjang, dikatakan bahwa karena Hamka memiliki
kemampuan memindahkan keindahan dan zauq (rasa) bahasa asli yang
dirujuknya, seperti karangan Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi pengarang dan
63
sastrawan Mesir misalnya, yang gaya bahasanya amat sentimentil, demikian
menurut sastrawan A. Hasjmy. (Damami, 2000: 65).
Adapun karangan bidang keagamaan Islam, bahwa sumber informasi
yang digunakan untuk mendeskripsikan tentang karangan Hamka di bidang
keagamaan Islam ini juga sama dengan sumber yang dipakai untuk
menggambarkan karangan Hamka di bidang sastra di atas.
Dari sejumlah buku di atas yang paling laku keras sampai sekarang,
yang karena itu dicetak berulang kali adalah:
1. Tasauf Moderen (1986,cetakan ke-20)
2. Falsafah Hidup (1986, cetakan ke-12)
3. Lembaga Hidup (1986, cetakan ke-9)
4. Lembaga Budi (1986, cetakan ke-9)
5. Sejarah Ummat Islam, Jilid I (1975, cetakan ke-5); jilid II (1975, cetakan
ke-4); jilid III (1975, cetakan ke-3); jilid IV (1976, cetakan ke-2).
(Damami, 2000: 65-70).
Dengan memperhatikan berulangnya cetakan di atas, ini menunjukkan
bahwa buku-buku tersebut cukup mendapat atensi dan tanggapan dari
pembacanya, apalagi terhadap buku Tasauf Moderen di atas (1986, cetakan
ke-20).
3.2. Konsep Taubat Menurut Hamka
3.2.1. Pengertian Taubat Menurut Hamka
Secara bahasa, kata taubat berakar dari kata tâba. Disebut
(bertaubat); (mengampuni); (menyesal);
64
(bertaubat); (meminta agar bertaubat);
(taubat); (yang bertaubat) (asma Allah) (Hamka, 1989: 389).
Menurut istilah, taubat adalah kembali dari apa yang dibenci Allah,
baik lahir maupun batin, kepada apa yang dicintaiNya, baik lahir maupun
batin. Taubat ialah membersihkan hati. Mandi atau berwudhuk ialah
membersihkan badan. Taubat ialah kembali dari sesuatu yang dicela dalam
syari'at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari'at. Datang atau kembali
kepada-Nya dengan perasaan menyesal atas perbuatan atau sikap diri yang
tidak benar di masa lalu dan dengan tekad untuk taat kepada-Nya; dengan kata
lain ia mengandung arti kembali kepada sikap, perbuatan, atau pendirian yang
lebih baik dan benar (Hamka, 1989: 389).
Di sini nampak kembali kegunaan sembahyang lima waktu.
Sekurangnya lima waktu pula sehari semalam kita berwudhuk, membersihkan
anggota badan dari daki, terutama muka, tangan, kepala dan kaki. Karena itu
yang lebih banyak berkecimpung di dalam hidup. Setelah itu tegak berdiri
menghadapkan wajah kepada kiblat dan menghadapkan hati kepada Tuhan.
Cobalah hitung berapa kali di dalam sembahyang kita bertaubat dan memohon
ampun, yang kita ucapkan ketika duduk di antara dua sujud :
"Ya Tuhan! Ampunilah dosaku, beri rahmatilah aku, tarik aku, angkat
aku, beri aku rezeki, berilah aku petunjuk, sehatkan daku dan beri ma'af aku."
(Hamka, 1989: 390).
Rasulullah s.a.w. sendiri menganjurkan manusia selalu memohonkan
taubat kepada Allah. Bahkan beliau sendiri senantiasa memohonkan taubat,
65
tidak kurang dari pada 70 kali sehari semalam. Dengan senantiasa taubat dan
istighfar kepada Ilahi, artinya orang itu selalu melengkapkan diri, tidak mau
terlepas dari penjagaan Tuhan, bahkan meminta diaku tetap dalam
perlindungan-Nya, dan Tuhan menjadi Wali (pelindung) kita (Hamka, 1989:
390).
) :(
Artinya: "Allah-lah Pelindung orang yang beriman, yang mengeluarkanmereka dari gelap gulita kepada cahaya. Dan orang yang kafir,pelindungnya ialah thaqhut, yang mengeluarkan mereka daripadacahaya kepada, gelap-gulita." (QS. Al-Baqarah; S. 2: 257).
) :(Artinya: "Sesungguhnya Allah tidaklah akan mengampuni fika dia
disekutukan dengan yang lain. Dan yang lain dari itu akan diampunibagi barangsiapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nisa; S. 4 : 48).
Kalau Allah sudah dipersekutukan dengan yang lain, sudah mulai
syirk, kita sendirilah yang telah memutuskan perhubungan dengan Dia.
Tamatlah ceritanya. Tidak ada lagi perjuangan di dalam Islam. Kita sudah
terhitung orang luar. Soal-soal tentang dosa dan pahala ini di zaman
dahulukala telah menjadi perdebatan yang hangat sekali di antara ahli-ahli
fikir Islam, sehingga telah menimbulkan yang tidak diingini, yaitu perpecahan
dan bergolong-golongan.
Menjaga kebersihan jiwa atau mental sama juga dengan menjaga
kebersihan badan atau raga. Sebab kotoran sangatlah berpengaruh pada jiwa
orang. Kemeja yang telah basah oleh keringat, kotor dan telah busuk oleh daki
66
hendaklah lekas kita tanggalkan, dan terus mandi dan bersabun, supaya selalu
badan bersih, dan ganti kemeja tadi dengan yang bersih, terlebih lagi di mana-
mana banyak debu. Maka terhadap jiwa pun demikian pula. Sebanyak itu yang
dijalani, maka daki-daki hidup itu akan berkesan kepada jiwa. Sebab itu
hendaklah selalu jiwa dibersihkan (Hamka, 1989: 391).
) :(Artinya: "Sesungguhnya Allah suka kepada orang yang taubat dan suka
kepada orang yang membersihkan badannya." (A l-Baqarah; S. 2 :222).
3.2.2. Cara Bertaubat Menurut Hamka
Ciri khas cara bertaubat Hamka yaitu taubat dengan didahulukan
beramal yang baik, setelah mampu beramal yang baik, maka dapat dimulai
taubat yang sebenarnya.
Cara bertaubat yaitu ingat keburukan dosa; ingat sakitnya siksa Allah
bagi orang yang berdosa, yang tentu tidak tertahankan oleh anda; ingat akan
kelemahan diri anda dan sedikitnya daya upaya anda dalam menghadapi siksa
Allah.
Timbullah suatu perdebatan tentang "Bagaimana hukumnya seorang
Islam yang terus menerus mengerjakan maksiat?" Setengah menjawab: kafir !.
Setengah menjawab pula: dia tetap Islam. Sebab kalau ada Iman, maka
berbuat maksiat tidaklah berbahaya (mudharrat). Setengahnya lagi menjawab
: kedudukannya ialah di antara; dua, yaitu di antara kafir dan Islam. Ini adalah
debat lama yang sangat hangat. Orang yang datang kemudian menghadapinya
dengan ragu-ragu. Ada golongan yang hanya membicarakannya sebagai suatu
67
hikayat belaka, dan tidak berani menyatakan fikirannya sendiri. Sebab yang
mengatakan "kafir", ialah orang golongan Khawarij. Yang mengatakan tetap
Islam juga sebab "ma'shiat tidak memberi bahaya asal masih ada Iman",
adalah kaum Murjiah. Dan yang mengatakan tempat kedudukan orang itu
ialah di antara dua kedudukan, (di antara Mu'min dan kafir), ialah kaum Mu
'tazilah (Hamka, 1989: 392).
Oleh karena takut akan mendapat salah satu dari ketiga cap itu, mereka
pun tidak berani meninjaunya lagi. Terlebih lagi setelah di zaman kemunduran
Islam timbul ajaran "taqlid", harus menurut saja. Maka oleh karena tidak ada
ketegasan kemana ulama-ulama yang daliulu berpihak, mereka pun taqlid pula
dalam hal tidak mempergunakan pertimbangannya sendiri. Mazhab yang di
katakan dekat kepada Sunnah adalah mazhab Asy'ariy. Dan mazhab Asy'ariy
dalam hal tidak mempergunakan pertimbangannya sendiri. Mazhab yang
dirinya saja yang berlain sedikit.
Di seluruh alam sekarang ini berdirilah sekolah-sekolah tinggi, orang
berfikir bertambah maju. Soal-soal dikupas orang dengan sistem fikiran yang
teratur, dan pada pihak kaum Muslimin masih ada yang bersitegang urat leher
mempertahankan taqlid. Kalau taqlid itu kepada Allah dan Rasul, itulah yang
kita kehendaki. Tetapi yang dikatakan taqlid oleh mereka ialah kepada
golongan yang dikatakan ulama yang telah mentafsirkan daripada tafsirnya
tafsir.
Ulama atau kyai sebagaimana dikatakan para ahli ialah orang yang
sanggup menghafal perkataan orang lain dan tidak sanggup mempergunakan
68
fikirannya sendiri. Barangsiapa yang mencoba mempertimbangkan suatu soal
dengan mencoba menggunakan fikirannya sendiri, dapatlah cap dan tuduhan
Mu'tazilah, dan kadang-kadang dipergunakan tuduhan ini untuk mencapai
kemenangan politik jangka pendek. Lantaran ini tidaklah heran jika pada masa
terakhir orang lain telah sangat maju mempelajari agama Islam dengan sistem
berfikir yang bebas, yang kadang-kadang tidak menguntungkan Islam. Tetapi
orang Islam, karena ikatan taqlid kepada tukang tafsirkan tafsir daripada
tafsirnya tafsir, tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak hujjah (alasan)
dengan hujjah, sebab tidak mempunyai alat. Dengan sistem berfikir cara baru,
kita dapat kembali menilik dan meninjau pokok soal yang dipertengkarkan itu:
"Bagaimana hukumnya seorang muslim yang terus menerus mengerjakan
ma'shiat?."
Dengan tegas kita dapat menjawab: "Orang yang demikian tidak ada."
Oleh karena orang yang seperti demikian tidak ada, maka membicarakan soal
ini adalah percuma, atau semua jawaban akan salah. Sebab duduk pertanyaan
telah salah. Barangkali akan ada pula orang yang mengatakan tinjauan itu
terlalu berani, seakan-akan merasa diri lebih pintar daripada orang-orang yang
dahulu kala. Kita jawab, bukanlah kita yang mengaku terlebih pintar,
melainkan ilmu penyelidikan tentang jiwa manusialah yang telah lebih maju.
Ilmu Jiwa di zaman kaum Mu'tazilah, Khawarij dan Murjiah berdebat itu
belumlah semaju sekarang (Hamka, 1989: 392).
Tidak mungkin seorang yang Muslim, ishrar (terus menerus) berbuat
ma'shiat. Sebab arti ishrar ialah terus juga melakukan, walaupun telah tahu
69
bahwa itu adalah perbuatan ma'shiat. Kalau terus menerus mengerjakan
ma'shiat, atau meskipun tidak terus menerus, tetapi dikerjakan dengan sadar
berulang-ulang, tandanya orang itu bukan beriman. Mungkin hanya mulutnya
yang mengakui beriman. Kalau hanya pengakuan mulut, belumlah Iman.
Cukup hartanya satu nisab dan sampai tahunannya, lalu
dikeluarkannya zakatnya. Itu adalah yang paling di bawah. Bertambah
martabat Imannya, lalu ditambahnya dengan berbagai-bagai shadaqah. Itu
adalah alamat naik Imannya. Timbul lagi malasnya sehingga tinggal yang
wajib saja, itu adalah alamat susutnya. Kalau diingkarinya, tidak mau dia
mengeluarkan zakatnya dengan sengaja, maka oleh sahabat Rasulullah yang
pertama, orang ini disuruh perangi! Sampai takluk! Artinya tidak Islam lagi.
Tetapi di zaman sekarang ini boleh kita berikan merk kepada orang-orang itu
yang bersifat jalan tengah. Apa boleh buat, kita terpaksa mencari suatu nama.
Supaya jangan serupa dengan yang diberikan oleh kaum Mu'tazilah, dan
supaya kita jangan dituduh Mu'tazilah pula, kita berikan kepada mereka nama
"Islam Merk." Sebab akan ditolak dari Islam sama sekali, padahal dia disunnat
rasulkan, kawin ke hadapan kadi, berkubur di kuburan Islam! Walaupun
jangankan sembahyang lima waktu, zakat dan puasa, mengucapkan syahadat
saja pun mereka tidak tahu lagi! Sebab syahadat itu bahasa Arab. Mereka mau
"syahadat nasional." Tidak mau terpengaruh oleh Arab. Ishrar, terus
mengerjakan ma'shiat, padahal mengaku Islam, hanya ada dalam pertanyaan
orang yang berdebat, tidak mungkin ada dalam jiwa manusia. Terus menerus
berbuat jahat adalah mega yang amat gelap. Kalau tadinya orangnya beriman,
70
kalau telah terus menerus berbuat ma'shiat, tandanya imannya tidak ada lagi.
Bahkan orang-orang yang dahulunya beriman teguh dan ber-Islam teguh itu
telah terlanjur dibawa hanyut oleh nafsunya ke dalam jurang ma'shiat,
mengakui sendiri bahwa imannya telah hilang. Tinggal nama Islam saja
(Hamka, 1989: 392).
Kalau sudah terus menerus berbuat ma'shiat tandanya luka sudah
parah! Dia tidak takut lagi kepada azab siksa Allah. Dia sudah diperintah oleh
hawa nafsunya dan dilepaskannya dirinya daripada perintah Allah. Jadi dia
telah mempersyerikatkan Tuhan dengan hawa-nafsunya. Jadi dia sudah
Musyrik. Tadi sudah diterangkan dosa syirk yang satu itu tidak ada ampunnya.
Firman Tuhan ;
) :(Artinya: "Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar akan undang-undang-Nya, niscaya akan dimasukkan diake dalam neraka, kekal selamanya. Dan baginya adalah siksa yangamat him." (An-Nisaa'; S.4: l4).
Siapa yang rela dalam neraka, kalau bukan orang yang telah sengaja
melanggar dan tidak percaya? Orang yang beriman teguh pun sekali-kali ada
silap, lalu terbuat kesalahan. Tetapi dia lekas ingat kepada Allah, dan lekas
kembali kepada jalan yang benar. . .
) :(
71
Artinya: "Dan orang-orang yang bilamana berbuat kekejaman atau aniayaakan dirinya sendiri, ingatlah mereka akan Allah. Maka memohonampunlah mereka atas dosanya. Dan siapakah yang mengampunidosa selain Allah? Dan tidak mereka ishrar (meneruskan) atasperbuatannya, sebab mereka telah tahu." (QS. Ali Imran; S.3: 135).
3.2.3. Syarat Taubat Menurut Hamka
Taubat adalah tindakan yang wajib dilakukan atas setiap dosa. Jika
pelanggaran itu berkaitan antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala dan tidak
berkaitan dengan hak-hak orang lain. Pertama, ia harus menghentikan
perbuatan maksiat itu; kedua, ia pun harus menyesali karena pernah
melakukannya, dan ketiga, ia harus bertekad untuk tidak mengulangi lagi
untuk selama-lamanya. Apabila kurang salah satu dari ketiganya, maka tidak
sahlah taubatnya.
Apabila maksiat (pelanggaran) itu berkaitan dengan hak orang lain,
maka syaratnya terdiri dari empat perkara. Yaitu ketiga syarat di atas,
ditambah harus mengembalikan barang hak milik kepada pemiliknya. Apabila
itu berupa uang atau barang, maka ia dikembalikan kepadanya. Apabila
berupa tuduhan dan sejenisnya, maka harus diperbaiki atau dengan memohon
maaf kepadanya. Apabila berupa gunjingan, maka ia harus meminta
penghalalan darinya. Ia pun harus bertaubat atas segala dosa-dosa tersebut.
Apabila ia hanya bertaubat terhadap sebagian pelanggaran saja, maka
taubatnya sah (menurut para ahli), tetapi hanya terbatas pada dosa-dosa itu
saja, dan ia masih harus menanggung dosa sisanya (yang belum bertaubat)
(Hamka, 1989: 393).
72
Tadi telah dinyatakan bahwa tidaklah bernama Iman kalau tidak
disertai dengan amal. Demikian pun tidak pula mungkin ada amal, yang
sebenar-benar amal, kalau tidak timbul dari Iman. Banyak kelihatan orang
berbuat baik, padahal dia tidak beriman. Dia beramal, padahal tidak dari
sumber telaga Iman. Dengan tegas Tuhan menyatakan bahwasanya orang yang
mempersekutukan Tuhan dengan yang lain, percumalah amalnya. Tenaga
sudah habis, dirinya sudah payah, padahal amal tidak diterima Tuhan.
)(
Artinya: "Dan jikalau mereka mempersekutukan Tuhan, sesungguhnyapercumalah apa jua pun yang mereka amalkan." (Al-An 'am; S.6:88).
Jangankan orang lain, sedangkan Nabi Muhammad s.a.w. sendiri pun,
ataupun Nabi-nabi dan Rasul yang sebelumnya, jika dia mempersyerikatkan
Allah dengan yang lain, amalnya pun tertolak dan percuma juga. Tentu saja
Iman yang baik menimbulkan amal yang baik. Amal yang baik tidak akan ada
kalau tidak ada pohonnya, yaitu Iman yang baik. Demikianlah sangat halusnya
bekas Tauhid itu di dalam hati seorang Mu'min. Itu pula sebabnya maka
seluruh kebajikan yang dikerjakan itu, bagi seorang Mu'min, tempatnya
bertanggung jawab hanyalah semata-mata kepada Tuhan. Beramal dan berbuat
baik yang hanya semata-mata mengambil muka kepada masyarakat,
mengharap puji sanjung masyarakat disebut riya, dan riya disebut syirik yang
amat halus (Hamka, 1989: 393).
Berbudi yang baik dan bergaul yang baik termasuk amal. Di sinilah
perbedaan akhlak Islam dengan ethika pergaulan hidup biasa. Dalam aturan
73
ethika pergaulan hidup, asal seseorang berbuat baik kepada masyarakat,
walaupun Jiwanya sendiri runtuh karena kehilangan kepercayaan kepada
Tuhan, tidak akan ada yang mengoreksinya lagi. Orang yang beramal karena
mengharapkan puji sanjung manusia, selamanya tidaklah akan merasa
kepuasan di dalam hidup, karena tidak akan ada penghargaan yang baik dari
masyarakat. Tidaklah akan terobat hati berbuat baik, kalau hanya penghargaan
masyarakat yang kita minta di dalam beramal.
Suatu amal yang tidak timbul dari Iman pada hakikatnya adalah
menipu diri sendiri. Mengerjakan kebaikan tidak dari hati, artinya ialah
berdusta. Maka kalau sekiranya suatu masyarakat menegakkan kebaikan tidak
dari Iman, tidaklah akan sampai kepada akhirnya, bahkan akan terlantar di
tengah jalan, karena tidak ada semangat suci yang mendorong. Maka banyak
juga terdapat suatu amal yang pada lahirnya kebajikan, pada batinnya adalah
racun. Seumpama suatu masyarakat yang ingin memecahkan persatuan di
negeri Madinah seketika Islam baru berdiri. Mereka mendirikan mesjid dlirar
untuk menandingi mesjid yang sah. Siapa yang akan mengatakan bahwa
mendirikan sebuah mesjid tidak baik? Siapa yang mengatakan bahwa itu
bukan amal? Tetapi pendirian mesjid itu dipandang suatu kejahatan! Karena
maksud yang tersimpan di dalamnya nyata hendak memecahkan persatuan
kaum Muslimin. Sebab itu maka mesjid dlirar itu diperintahkan Nabi
meruntuhkan. Sebab itu bertambah jelaslah perlunya kita memelihara
kesuburan Iman dada kepada Tuhan, karena di atasnya akan kita dirikan amal
yang saleh. Amal yang saleh itu di sisi Tuhan berbeda nilainya dengan di sisi
74
manusia. Seorang miskin yang membagi nasinya sepiring untuk temannya
yang lapar, lebih tinggi harganya daripada seorang kaya menyimpan uang
bermiliun, yang mengantarkan minyak tanah satu kaleng dalam bulan puasa
untuk sebuah langgar, sebagai hadiah untuk orang yang mengaji Qur'an dan
sembahyang tarawih (Hamka, 1989: 393).
3.2.4. Fungsi Taubat Menurut Hamka
Ahli-ahli ilmu jiwa modern telah membicarakan panjang lebar
penilikan atas sehat atau sakitnya jiwa seseorang melihat bekas amalnya.
Seseorang yang berbuat suatu kejahatan ditilik orang hubungan kejahatan itu
dengan penyakit jiwanya. Manusia mempunyai akal, yaitu akal lahir dan akal
batin. Akal lahir ialah yang kelihatan dalam pertimbangan-pertimbangan. yang
dilakukan orang seketika dia menghadapi kehidupan. Baik dan buruk
pekerjaan dipersesuaikannya dengan pergaulan hidup, senang dan benci orang
dan peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakat, kenegaraan dan
agama. Akal batin terpendam di dalam, yang berbentuk karena melalui
berbagai proses jiwa di dalam hidup. Di sana tersimpan rasa dendam, kecewa,
kegagalan dan pengalaman-pengalaman yang lain.
Kesanggupan mengendalikan pertemuan akal batin dengan akal lahir
dan pengaruhnya atas diri itulah yang menjadi pedoman atas sehat atau
sakitnya jiwa seseorang. Di waktu orang sehat, orang masih sanggup
mengendalikan dirinya, sehingga pengaruh akal batinnya tidak keluar, sebab
ditekan oleh akal lahir. Tetapi kalau orang telah gila, mabuk pitam, tidaklah
dia sanggup lagi memegang kendali itu. Seorang yang disegani dalam
75
masyarakat, pada suatu hari ditimpa sakit demam panas. Karena sangat
panasnya dia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Dia berkata-kata,
bercakap seorang diri, memaki dan mencarut. Disebutnyalah segala orang
yang di anggapnya musuh itu, yang dipandangnya benci kepadanya selama
ini. Orang yang dipandangnya musuh itu malu mendekati dia sementara
sakitnya, dan keluar pulalah dari mulutnya nama perempuan yang rupanya
sangat menarik hatinya. Dituduhnya bahwa perempuan itulah yang
mengecewakan hatinya selama ini. Padahal di kala sehatnya tidaklah orang
melihat tanda-tanda bahwa hatinya "kena" kepada perempuan itu (Hamka,
1989: 395).
Di sini dapatlah kita memperteguh kepercayaan kita tentang
bagaimana kerasnya larangan Islam meminum minuman keras. Karena
seorang yang telah mabuk karena meminum minuman keras, tidaklah dapat
dia mengendalikan dirinya lagi. Keluarlah dari mulutnya sementara dia mabuk
itu segala rahasia hati. Di zaman pendudukan Jepang,, "Kempetai" yang
terkenal sengaja membawa orang-orang yang terkemuka meminum "sakai",
tuak Jepang yang terkenal itu, sampai orang itu mabuk; Maka keluarlah
dengan tidak tertahan-tahan rasa bencinya kepada Jepang dan rahasia-
rahasianya yang lain.
Penyakit jiwa itu diakui oleh Al-Qur'an. Isteri-isteri Rasulullah
dilarang keras oleh Tuhan mengucapkan kata yang tersipu-sipu berlunak-
lunak, supaya jangan timbul loba dalam hati orang yang jiwanya sakit. Kita
dapat melihat perempuan yang bercakap tersipu-sipu lemah gemulai, yang
76
katanya lantaran malu, padahal malu-malu kucing. Sehingga ketika dia
bercakap, timbul nafsu syahwat orang yang melihatnya. Lebih baik bercakap
tegas yang timbul daripada jiwa yang jujur dan tahu akan harga diri. Sebab itu
maka perempuan baik-baik jangan bertabarruj, memakai pakaian jahiliyah.
Dia berpakaian, padahal lebih daripada bertelanjang. Disebut dalam sabda
Nabi "kasiatin a'riatin", (berpakaian tapi bertelanjang).
Apakah akibatnya? Akibatnya ialah kemalangan kaum perempuan itu
sendiri. Dia meminta persamaan hak dengan kaum laki-laki, padahal yang
didapatnya hanyalah dia jadi korban daripada pencaharian harta dan
pengumpulan kekayaan. Dia disuruh bertelanjang dan dipotret, lalu dijadikan
alat reklame. Reklame sabun, reklame gosok gigi, reklame rokok, reklame
menjual kutang dan lain-lain. Kecantikannya menjadi perniagaan.
Orang laki-laki disuruh sopan dalam pergaulan hidup. Padahal pintu
untuk penyakit yang akan diderita jiwanya dibuka seluas-luasnya. Lalu
dibukakan pintu dansa, dan terbentang luaslah tepi pantai buat memakai
pakaian "Bikini." Laki-laki boleh menonton sepuas-puasnya dan dia disuruh
sopan! Padahal dengan pakaian mandi itu, sesehat-sehat orang pun dapat jadi
"sakit jiwa" melihat. Akibatnya, rumah-tangga tidak dapat berdiri lagi.
Perjodohan suci untuk memberikan turunan yang sah, untuk mengatur
perikemanusiaan, menjadi hancur. Di mana-mana terdapat perempuan cantik,
atau gadis-perawan yang hamil sebelum bersuami. Perempuan mudah dibujuk
dan dibawa ke tengah masyarakat "modern", katanya supaya tahu pergaulan,
padahal sebahagian besar untuk melepaskan nafsu "sakit jiwa" laki-laki.
77
Apabila kehidupan perempuan itu telah hancur, tidak ada yang
memperdulikannya lagi. Maka timbullah pelacuran "kelas tinggi", timbullah
kemunafikan pergaulan hidup. Sampai-sampai kepada masyarakat
pemerintahan pun telah dikacaukan oleh masuknya perempuan. Seketika
terjadi perang dunia kedua, dikenal oleh umum bahwasanya kejatuhan
Perancis ke tangan Jerman, banyak benar sangkut pautnya dengan urusan
kekelaminan. Semangat berperang pemuda-pemuda telah kendor, karena
hidupnya telah tenggelam dalam paha perempuan. Pemimpin-pemimpin
politik yang tertinggi, yang diharapkan dapat menyelesaikan soal besar itu,
tidak dapat melepaskan dirinya daripada pengaruh "piaran-piaran", yang turut
mempengaruhi jalan pertimbangan pemerintahan. Seketika Jepang menyerang
Amerika di Pearl Harbour dengan tiba-tiba, serdadu-serdadu Amerika sedang
asyik berdansa! Ahli-ahli fikir Eropa dan Amerika sendiri, dan ahli-ahli
agamanya memandang bahwa corak masyarakat di bawah pengaruh kelamin,
atau seks, inilah pangkal kecelakaan besar sekarang ini. Sebab itu kalau di
Indonesia senantiasa ahli agama Islam bersorak-sorak dan parau suaranya
menyatakan bahaya ini, mereka dituduh fanatik, maka di Eropa dan Amerika
pun ahli-ahli agama dan ahli fikir itu dituduh fanatik juga!
Penyakit suatu masyarakat berasal daripada penyakit jiwa
perseorangan. Penyakit jiwa sekarang ini rupanya telah merata. Penyakit jiwa
itu dipancing dengan pakaian yang menimbulkan syahwat. Maka Islam
memberi batas-batas apa yang dinamai 'aurat, bukan pula dia menentukan
mode dan bentuk suatu pakaian. Islam tidak melarang berpakaian secara Eropa
78
dan Amerika. Islam tidak mewajibkan orang mesti memakai pakaian menurut
suatu corak. Karena itu adalah termasuk kebudayaan. Pakaian Eropa ada yang
sopan, tertutup 'aurat mengapa tidak itu yang ditiru? Islam tidak
memerintahkan perempuan menutup tubuhnya dengan goni dan matanya saja
yang keluar. Apa gunanya membungkus badan dengan goni itu, padahal mata
yang keluar sedikit itu penuh syahwat seakan-akan mengucapkan "pegang
aku'."
Di Timur, di negeri-negeri Islam, dan di Barat, di negeri-negeri
Kristen, ada pakaian yang sopan, dan bila dipakai oleh seorang perempuan
timbullah rasa hormat kita. Dia bercakap dengan terus terang dan jujur
sehingga akal-batin seorang laki-laki tidak terganggu. Dosa-dosa yang lain
pun sebahagian terbesar adalah karena "penyakit jiwa." Seorang yang bersifat
munafik, pepatah "di luar pancung di dalam, adalah .arena penyakit jiwa.
Seorang pengambil muka kepada orang besar-besar, sehingga mau
menggadaikan harga diri sendiri, adalah karena penyakit jiwa. Kadang-kadang
ia tidak merasa keberatan isterinya sendiri dijadikan "sunting" oleh tempatnya
menjilat itu, karena mengharapkan suatu pangkat atau kedudukan; inipun
penyakit jiwa. Mencuri harta orang lain, korupsi besar-besaran, hidup mewah
melebihi kemampuan diri, semuanya ini timbul daripada penyakit jiwa.
Seorang bekas pejuang, setelah selesai perjuangan bersenjata, menjadi orang
yang tidak beres ingatan, datang ke kota ramai, menuntut ke kantor ini dan
kementerian itu, meminta supaya jasanya dihargai. Meminta supaya seluruh
mata melihat kepadanya, bahwa dia seorang bekas pejuang yang berjasa. Ini
79
pun penyakit jiwa karena jiwa itu sendiri kotor. Jiwa yang seperti itu akan
tetap kotor dan bertambah kotor kalau tidak diobat dengan Iman dan Islam.
Tuhan berfirman:
Jiwa terancam oleh penyakit di mana-mana saja medan hidup. Setiap
hari dan setiap saat, penyakit itu mengancam. Kalau tidak awas menjaga diri,
"mawas diri" kata orang Jawa, jiwa akan merana sakit bertambah parah.
Kehidupan kita ini adalah pengendalian di antara akal-lahir dengan akal-batin.
Kita ini hidup di antara tiga keadaan; pertama akal-batin kita yang dekat
kepada binatang, kedua akal-lahir yang hidup di tengah-tengah pergaulan yang
penuh tata tertib dan kesopanan, dan yang ketiga ialah cita-cita kepada hidup
yang sempurna!
Ilmu jiwa ini sekarang menjadi perhatian penuh dalam sekolah-sekolah
ketika mendidik anak-anak. Menjadi perhatian besar seketika hakim
mempertimbangkan hukuman dalam satu perkara kejahatan. Di zaman Nabi
s.a.w. dibawa oranglah ke hadapan beliau seorang yang kedapatan mabuk.
Islam menentukan hukum "ta'zir" bagi siapa yang mabuk, yaitu dirotan.
Ketika dia dihukum ada beberapa orang yang sama duduk menonton
menyumpah-nyumpah kepadanya : "Laknat Allah atas engkau penjahat!" Nabi
murka kepada orang yang mengutuk itu seraya bersabda: "Jangan engkau
laknati dia. Demi Allah, engkau tidak tahu bahwa dia cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya." Dan dalam satu riwayat yang lain tersebut Nabi bersabda:
"Jangan kutuki dia, tetapi mohonkanlah supaya dia diberi ampun oleh Allah
dan diberi taubat."
80
Menilik kepada ini nampaklah bahwa di dalam perjalanan hidup,
mencari jalan yang lurus, memperimbangkan di antara akal-lahir dengan akal-
batin, kita senantiasa menghadapi kesulitan. Sebab itu hendaklah diukur
kepada diri bagaimana kesulitan yang dihadapi orang lain.
Maka tidaklah layak tertawa melihat seseorang yang jatuh, melainkan
berusahalah mencari sebab-sebab kejatuhan itu dan elakkanlah diri dari jalan
itu. Akan di dapat di dalam perjalanan hidup ialah karena perjuangan yang
hebat di dalam batin kita sendiri. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauyziyah menulis di
dalam kitabnya "Zadul Ma'ad (perbekalan menuju hari yang dijanjikan)
menyebut tingkat-tingkat perjuangan. Ada perjuangan ke luar, yaitu
menghadapi kaum kafir dan munafik dan ada perjuangan ke dalam yaitu
menghadapi setan, iblis dan hawa nafsu. Maka perjuangan menghadapi induk
dari segala perjuangan. Dari sanalah dimulai.
Di dalam menuju cita kemuliaan dan kemurnian jiwa, yang senantiasa
menjadi dasar kehidupan, kita akan berjumpa duri dan onak. Kita akan
dihalangi oleh berbagai kesulitan. Kehidupan yang tidak berjumpa dengan
kesulitan, bukanlah hidup. Bertambah tinggi nilai cita, bertambah tinggi pula
penghalangnya. Orang yang tidak berjumpa kesulitan, ialah orang yang tidak
pernah keluar dari rumahnya. Bertambah jauh perjalanan bertambah pula
kelihatan jauhnya yang akan ditempuh. Kadang-kadang terancamlah jiwa oleh
kelemahan dan timbullah putus asa, inilah alamat kematian. Apa yang akan
menuntun kekuatan batin kita? Apa, selain daripada pendirian yang teguh.
Selain dari pada nyatanya wajah kita. Dan di mana sumber telaga itu dapat
81
dicari, kalau bukan dengan agama? Dalam waktu keragu-raguan menempuh
kesulitan, agama ; memberikan kita jalan, sehingga iradah (kemauan) kita
hidup kembali dan kita bangun kembali dan meneruskan perjalanan. Jiwa kita
tidak boleh dibiarkan merana, dan penyakit jiwa tidak boleh dibiarkan
meliputi diri. Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi banyak terdapat,
memberikan dorongan kepada kita untuk tampil terus ke muka. Ada ayat
rahmat, ada ayat raja (menghara). Demikian juga hadis, sehingga terbukalah
mata kita yang tadinya tertutup, kuatlah hati yang nyaris ditimpa putus asa.
Tuhan yang memegang kehidupan kita ini, Maha Mengetahui di mana
kekurangan kita. Kita dilarang-Nya menganiaya di antara satu sama lain,
sebab Tuhan sendiri telah bersumpah dengan dirinya sendiri bahwa dia tidak
akan menganiaya. Terang sekali bahwasanya langkah dalam kehidupan ini
amat sukar dan sulit, penuh rimba dan belukar. Kita ini akan tersesat kalau
berjalan sendiri, hidup ini belum pernah kita tempuh dahulu dari ini. Dialah
hanya Tuhan Allah, yang akan dapat menjaga pandu petunjuk jalan kita dalam
perjalanan sulit jauh itu. Kita lapar, hanya dialah yang sanggup memberi
makan. Kita ini bertelanjang datang, hanya Dialah yang memberi kita pakaian.
Kita ini bersalah baik siang atau pun malam. Dia tahu kita bersalah, namun
Dia membuka pintu bagi kita memohonkan ampunan dengan taubat. Kita
disuruh memohonkan ampunan/taubat itu. Bagaimana pun gagah perkasa dan
kuat kuasa kita, kalau kita bermaksud hendak melakukan kejahatan terhadap
Allah, maka kejahatan itu akan membentur muka kita sendiri, laksana orang
meludah ke langit. Kalau kita berbuat taqwa, bukanlah itu untuk Tuhan.
82
Tidaklah akan bertambah kekayaan Tuhan lantaran ketaqwaan kita.
Ketaqwaan kita hanyalah semat-mata untuk kebahagiaan kita sendiri. Kalau
kita berbuat jahat, semua jahat, laki-laki dan perempuan, orang dahulu dan
orang kemudian, baik jin atau manusia, maka tidaklah akan rusak usai
kebesaran dan kekuasaan Tuhan lantaran kejahatan kita, bahkan diri kita
jugalah yang akan binasa. Walaupun kita berkongsi semuanya, orang dahulu
dan orang kemudian, laki-laki dan perempuan, manusia dan jin sekali pun, lalu
tegak membuat demonstrasi di atas sebuah bukit ketinggian, dan masing-
masing menyampaikan permintaannya, memajukan "resolusi" nya, lalu
permohonan masing-masing kita itu dikabulkan oleh Tuhan, maka tidaklah
akan rusak usia kekayaan Tuhan lantaran itu. Keadaannya hanyalah laksana
mencampakkan sebutir jarum kecil ke dalam lautan besar. Yang punya jarum
Dia, yang punya lautan pun Dia.
Kita berbuat suatu amal. Maka amal itu sejak sebesar-besarnya sampai
sekecil-kecilnya ada dalam ilmu dan catatan Tuhan, kelak akan kita jumpai
balik, tak ada yang luput dari catatan. Amalan baik tetap berjumpa baik, dan
pujilah Tuhan! Dan amal jahat, akan bertemu jahat juga, dan jangan orang lain
yang disalahkan, melainkan diri sendirilah yang akan disesali!
Hai orang yang lalai! Bagaimana perasaanmu dalam merenung ayat di
atas tadi dan hadis yang mengiringinya? Jika batinmu ditimpa penyakit lemah,
jika himmahmu rendah, ayat dan hadis ini akan engkau terima dengan salah.
Biarlah kita berbuat jahat, sebab kejahatan itu memang ada dalam diri Tuhan
'kan pengampun. Kita taubat kepada-Nya, niscaya diberi-Nya taubat!
83
Janganlah begitu memikirkan ayat dan hadis ini! Kalau begitu
memahamkannya, niscaya engkau akan jatuh tersungkur tak dapat bangkit
lagi. Ayat dan hadis ini adalah obat bagi si pejuang, yang sebagaimana kita
katakan tadi, benar-benar berjuang dalam kesulitan hidup dan sadar akan
sulitnya yang dilalui, tetapi dia ingin bangkit dan tegak juga. Ayat dan hadis
ini, beberapa ayat dan berpuluh hadis yang lain, adalah laksana tangan ghaib
yang menarik tangan orang yang hampir jatuh itu supaya meneruskan
perjalanan. Dan ayat dan hadis ini bukanlah resep untuk orang yang malas
tegak, lalu hendak membela kemalasannya. Bukan pula untuk orang yang
meninggalkan usaha lalu hendak berlindung ke dalam ampunan Tuhan.
Jangankan Tuhan, sedangkan hakim yang adil mestilah memberikan hukuman
yang setimpal kepada orang yang sia-sia ini.
Di sini nyatalah kembali hubungan di antara Iman dengan amal-saleh,
di antara kepercayaan dan usaha. Teruskan perjalanan dan atasi kesulitan!
Gunakan akal dan hendaklah bertawakkal!
Di dalam kita-kitab tasauf Islam tersebut perkataan Nabi Isa Almasih,
demikian bunyinya:
"Janganlah kamu melihat kepada amalan sesamamu manusia, seakan-akan kamu itu dewa-dewa! Tetapi lihatlah pada amalanmu sendiri, sebabkamu itu adalah budak Tuhan. Sesungguhnya manusia itu cuma dua macamsaja, orang yang ditimpa bencana dan orang yang terlepas dari bencana.Berilah kelapangan atas orang yang ditimpa bencana itu, dan pujilah Allahatas kelepasan daripada bencana." (Imam Malik di dalam Al-Muwath-tha').
Memang, di dalam kitab Injil pun ada dibicarakan tatkala beberapa
orang Yahudi yang mendakwakan dirinya sangat saleh dan teguh memegang
agama, datang kepada Nabi 'Isa membawa seorang perempuan yang dituduh
84
berbuat zina. Mereka minta, kalau benar 'Isa Almasih hendak menjalankan
hukum kitab Taurat, hendaklah perempuan itu dirajam. Karena demikian
tersebut dalam Taurat.
Nabi 'Isa Almasih mengajak mereka itu kembali kepada pokok ajaran
agama, kepada intisari agama. Memang perempuan itu mesti dirajam. Tetapi
siapa yang berhak merajamnya? Siapa yang berhak menghukum orang yang
berdosa? Tentu orang yang tidak berdosa, bukan? Nah! Silahkan, kalau ada di
antara mereka yang tidak pernah berbuat dosa, tampillah ke muka!
Lakukanlah rajam kepada perempuan yang berdosa itu!
Dengan cara yang seperti ini nyatalah bahwa Nabi 'Isa tidak berhak
merubah hukum Taurat, tetapi beliau menyerukan orang terlebih dahulu
kembali kepada intisari Taurat, jangan hanya berpegang di kuli-kulit Taurat.
Maksud kedatangan seluruh Nabi adalah satu. Bagi kita ummat Muslimin,
derajat Musa dan 'Isa dan Muhammad dan inti ajarannya adalah sama dan
satu. Di kala Nabi 'Isa masih hidup, sebelum dapat beliau melanjutkan
mengisikan intisari ke dalam jiwa raga kembali, beliau pun dipanggil Ilahi ke
hadirat-Nya. Tetapi beliau menjanjikan bahwa di belakangnya kelak akan
datang orang yang lebih sanggup menyempurnakan pekerjaannya yang
terbengkalai itu. Maka 6 abad sesudah itu, datanglah Nabi kita Muhammad
s.a.w; lalu dimasukkannya intisari keempat kitab suci itu kembali ke dalam
dada ummatnya, sampai berdiri masyarakat yang dicitakan oleh Nabi-nabi
yang sebelumnya. Setelah intisari itu tertanam dengan teguh", dan kendali
85
masyarakat dapat dipegangnya, barulah hukum berlaku. Barulah hukum'
Taurat tentang merajam yang berzina dijalankan kembali.
3.2.5. Kesehatan Mental Menurut Hamka
1. Bergaul dengan Orang Budiman
Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit
hati. Penyakit ini lebih lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang
ditimpa penyakit jiwa, akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup
yang abadi. Ia lebih berbahaya dari penyakit badan. Dokter mengobati
penyakit jasmani, menuruti syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya
kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah diutamakan
menjaga penyakit yang akan menimpa jiwa, penyakit yang akan
menghilangkan hidup yang kekal itu. Ilmu kedokteran yang telah maju
harus dipelajari oleh tiap-tiap orang yang berfikir karena tidak ada hati
yang sunyi dari penyakit yang berbahaya itu. Kalau dibiarkan saja dia
akan tambah menular, tertimpa penyakit atas penyakit. Penting sekali bagi
seorang hamba mempelajari sebab-sebab penyakit itu dan mengusahakan
sembuhnya serta memperbaiki jalanya kembali. Itulah yang dimaksud
sabda Tuhan.
Pergaulan mempengaruhi didikan otak. Pergaulan membentuk
kepercayaan dan keyakinan. Oleh karena itu maka, untuk kebersihan jiwa,
hendaklah bergaul dengan orang-orang yang berbudi, orang yang dapat
kita kutip manfa'at daripadanya. Jangan bergaul dengan orang yang
durjana, yang banyak omong-kosong, yang banyak gurau tak berfaedah,
86
yang selalu membanggakan kejahatan. Melainkan jika pada satu ketika
terpaksa bercampur dengan golongan itu, hendaklah membuat isyarat
yang bisa difahamkan mereka, bahwa kita tidak setuju dengan perbuatan
dan kelakuan mereka. Karena biasanya, kotoran budi mereka yang kita
saksikan itu bisa melekat kepada kita, amat susah buat membasuhnya
sekaligus. Bahkan kadang-kadang orang yang utama bisa tertarik oleh
orang yang tidak utama, apalagi kalau keutamaan baru saduran, belum
lekat sampai ke sanubari.
Untuk memperkuat pendapatnya di atas, Hamka lebih lanjut
menyatakan:
Orang-orang yang utama dan hendak menjaga budi-pekerti,terikat oleh budinya. Dia merasa berat mengerjakan kejahatankarena menyalahi keutamaan. Tetapi bila bertemu suatugolongan mengerjakan kejahatan dengan bebas, bermulut kotor,melangkahi peraturan budi kesopanan, mau tidak mau budi siutama yang telah lama terikat itu ingin pula hendak beristirahat.Hendak lepas sekali-sekali dari ikatan. Padahal pada langkahyang pertama bernama istirahat, maka pada langkah keduatimbul keinginan, dan langkah yang ketiga mulai berkisar darikedudukan mulia kepada kedudukan hina. Jatuhlah diri ke dalamjurang dalam. Diri sendiri merasa telah sesat, sadar dan insaf,tetapi sudah sukar mengangkat diri dari lobang itu. Tiap-tiaphendak memanjat tebing yang curam itu, senantiasa jatuhkembali, sebab licinnya dinding atau sebab dengkinya teman-teman yang hendak ditinggalkan, sehingga tiap- tiap hendakmendaki, dihelakannya kembali (Hamka, 1990: 139).
2. Membiasakan Pekerjaan Berfikir
Menurut Hamka kesehatan jiwa harus tetap dipelihara dengan
selalu mengasah otak setiap hari, meskipun latihan secara kecil-kecilan.
Bila otak dibiarkan menganggur berfikir, bisa pula ditimpa sakit, menjadi
bingung. Tiap hari otak mesti diperbaharui. Kalau otak malas berfikir, kita
87
menjadi dungu. Tumbuhnya pak turut adalah karena malas berfikir. Itulah
mati di dalam hidup. Haruslah diajar kekuatan berfikir sejak kecil, karena
orang yang kuat berfikirlah yang dapat menghasilkan hikmat. Jika besar
kelak dia akan menjadi bintang pergaulan yang gemerlapan, menjadi
garam, yang tanpa dia, sambal masyarakat tidak ada rasa. Pikir berdekat
dengan pengalaman. Seorang pemikir yang berpengalaman, bisa
mengambil natijah (kesimpulan) suatu perkara dengan segera, sedang
orang lain memandang perkara itu besar dan sulit. Sebab dari fikirannya
dan pengalamannya, dia sudah biasa melatih rasio dan logikanya. Dalam
perjalanan Sunnatullah ini tidaklah akan salah. Yang kadang salah ialah
jalan berfikir manusia yang terkadang sangat picik. Setiap orang yang
menjadi ahli fikir dan berpengalaman, maka nampak indah jika disertai
pula dengan ilmu. Laksana seorang yang mempunyai sebuah keris pusaka
yang tajam, senantiasa diasah dan digosoknya. Kalau keris itu disimpan
saja, tidak diasah, maka lambat laun akan berkarat, walaupun dahulu kala
dia bertuah, tapi bila otak statis maka kehebatan dimasa itu hanya tinggal
kenangan (Hamka, 1990: 140).
3. Menjaga Syahwat dan Kemarahan (Hamka, 1990: 141).
Hamka dalam Tafsir al-Azhar, menggambarkan tentang syahwat
atau nafsu secara jelas ia katakana bahwa al-Qur'an sendiri menyebutkan
tingkatan yang ditempuh. oleh nafsu atau diri manusia. Pertama 'Nafsul-
Ammarah, yang selalu mendorong akan berbuat sesuatu diluar
pertimbangan akal yang tenang. Maka keraplah manusia terjerumus ke
88
dalam lembah kesesatan karena nafsul-ammarah ini. Hamka merujuk pada
al-Qur'an surat Yusuf (12) ayat 53). Lebih lanjut Hamka menyatakan
bahwa bilamana langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri atas diri.
Itulah yang dinamai Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam bahasa kita
sehari-hari dinamai "tekanan bathin", atau merasa berdosa. Nafsul-
lawwamah ini dijadikan sumpah kedua oleh Allah, sesudah sumpah
pertama tentang ihwal hari qiyamat. Hamka merujuk pada surat ke-75, Al-
Qiyamah ayat 2).
Demikian pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita
telah sampai kepada Nafsul-Lawwamah, artinya kita telah tiba
dipersimpangan jalan atau akan menjadi orang baik, pengalaman mengajar
diri, atau menjadi orang celaka, karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan
pengajaran, lalu timbul sikap yang dinamai "keterlanjuran".
3.2.6. Taubat dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling Islam
Bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu
agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992:
5). Menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu
aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu
yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang
klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan
dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan
89
kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma
kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Berdasarkan pengertian tersebut, bimbingan Islam dapat dijadikan
salah satu upaya mendorong individu bertaubat untuk membersihkan dosanya
sehingga dapat dihindari gangguan kesehatan mental. Berdasarkan penjelasan
tersebut, bimbingan Islam bermaksud agar manusia memperoleh kebahagiaan
baik di dunia maupun akhirat, hal ini sebagaimana dikemukakan Musnamar
(1992: 5) bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap
individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah
yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
90
BAB IV
ANALISIS KONSEP TAUBAT MENURUT HAMKA DALAM
PERSPEKTIF KESEHATAN MENTAL
4.1. Analisis Konsep Taubat Menurut Hamka dalam Perspektif Kesehatan
Mental
Dalam perspektif Hamka bahwa manusia adalah makhluk yang tidak
terlepas dari dosa, karena itu untuk membersihkan dosa adalah dengan taubat.
Setiap manusia memiliki dosa baik dosa besar maupun kecil, dan manusia
yang baik bukanlah yang tak pernah bersalah, namun manusia yang baik
adalah yang ketika melakukan kesalahan ia tidak mengulangi untuk kedua
kalinya. Mengantisipasi keadaan yang demikian Allah SWT memberi jalan
untuk menghapus dosa melalui taubat. Untuk itu taubat merupakan keharusan
bagi setiap manusia yang menyadari bahwa hidup ini bersifat fana, dan tidak
bisa lepas dari pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT.
Taubat kepada Allah mengandung arti antara lain datang atau kembali
kepada-Nya dengan perasaan menyesal atas perbuatan atau sikap diri yang
tidak benar di masa lalu dan dengan tekad untuk taat kepada-Nya; dengan kata
lain ia mengandung arti kembali kepada sikap, perbuatan, atau pendirian yang
lebih baik dan benar. Taubat dari dosa yang dilakukan orang Mukmin dalam
perjalanannya kepada Allah, merupakan kewajiban beragama, diperintahkan
Al-Qur'anul-Karim dan hadis.
91
Taubat mendapat porsi perhatian yang sangat besar dalam Al-Qur'an,
sebagaimana yang tertuang di berbagai ayat dari surat Makkiyah maupun
Madaniyah. Di antaranya yang paling jelas dan nyata adalah,
):(
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengantaubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akanmenghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hariketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang berimanbersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapandan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, 'WahaiRabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilahkami, sesungguhnya Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu." (At-Tahrim (66): 8).
Ini sekaligus merupakan seruan di dalam Al-Qur'an yang ditujukan
kepada orang-orang mukmin. Dia memerintahkan agar mereka bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya dan semurni-murninya,
tulus dan benar. Dasar hukum perintah dari Allah yang termuat di dalam Al-
Qur'an menunjukkan kepada wajib, selagi tidak ada hal lain yang
mengalihkannya dari dasar ini. Sementara dalam masalah ini tidak ada yang
mengalihkannya. Yang demikian ini diharapkan agar mereka mengharapkan
dua tujuan yang fundamental, yang setiap orang mukmin berusaha untuk
meraihnya, yaitu:
92
1. Penghapusan kesalahan-kesalahan.
2. Masuk ke surga.
Setiap orang Mukmin juga sangat memerlukan kedua hal di atas, yaitu
pengampunan dosa dan penghapusan kesalahan. Sebab tidak ada seorang pun
yang terlepas dari dosa dan kesalahan, selaras dengan kontruksi
kemanusiaannya, yang di dalam dirinya terkandung dua unsur yang saling
berbeda: Unsur tanah bumi dan unsur ruh langit. Yang satu membelenggu
untuk dibawa ke bawah, dan satunya lagi melepaskannya untuk dibawa ke
atas. Yang pertama memungkinkan untuk menurunkannya ke kubangan
binatang atau bahkan lebih sesat lagi jalannya, sedangkan yang kedua
memungkinkan untuk mengangkatnya ke ufuk alam malaikat atau bahkan
lebih baik lagi. Karena itu setiap manusia mempunyai peluang untuk
melakukan keburukan dan berbuat dosa. Maka dia sangat membutuhkan
taubatan nashuhan (taubat semurni-murninya), agar kesalahan-kesalahan
yang telah dilakukannya terhapuskan (Tatapangarsa, 1980: 43-69).
Tujuan lain adalah harapan untuk masuk surga, karena tak ada orang
yang tidak menginginkannya. Pertanyaan yang muncul dari setiap orang
Mukmin adalah nasib perjalanannya di hari kemudian, apakah dia akan
selamat pada hari kiamat ataukah akan celaka? Apakah dia beruntung dan
bahagia ataukah menyesal dan menderita? Keselamatan, keberuntungan dan
kebahagiaan ada di surga, sedangkan kecelakaan, penyesalan dan penderitaan
ada di neraka. Firman Allah :
93
) :(
Artinya : "Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,maka sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia ini tidak lainhanyalah kesenangan yang memperdayakan." (Ali Imran (3):185).
Ayat lain yang disebutkan dalam Al-Qur'an sehubungan dengan taubat
adalah firman-Nya,
) :(
Artinya: "Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orangyang beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur, (24): 31).
Di dalam ayat ini Allah memerintahkan agar semua orang Mukmin
mau bertaubat dan tidak ada pengecualian bagi siapa pun di antara mereka,
seperti apa pun tingkat istiqamahnya, seperti apa pun derajatnya sebagai orang
yang bertakwa. Siapa pun perlu bertaubat. Di antara orang Mukmin ada yang
bertaubat dari dosa besar, karena dia merasa tersiksa dengan dosa yang
dilakukannya dan dia bukan orang yang terlindung dari dosa (ma 'shum). Di
antara mereka ada yang bertaubat dari dosa-dosa kecil yang diharamkan, dan
jarang sekali orang yang selamat dari dosa-dosa kecil ini. Di antara mereka
ada yang bertaubat dari syubhat. Sementara siapa yang menjauhi syubhat,
berarti telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya. Di antara mereka
ada yang bertaubat dari hal-hal yang dimakruhkan. Di antara mereka ada
yang bertaubat dari kelalaian yang selalu menghantui hati. Di antara mereka
94
ada yang bertaubat dari kondisinya yang senantiasa di bawah dan tak pernah
naik ke tingkatan yang lebih tinggi lagi.
Taubatnya orang-orang awam tidak sama dengan taubatnya orang-
orang khusus, terlebih lagi taubatnya orang-orang yang lebih khusus lagi.
Karena itu ada yang berkata, "Kebaikan orang-orang yang berbuat bajik sama
dengan keburukan orang-orang yang melakukan taqarrub." Tapi seperti yang
disebutkan di dalam ayat ini, semua orang dituntut untuk bertaubat, agar
mereka mendapatkan keberuntungan (Hawa, 2002: 400-412).
Ayat ini terdapat dalam surat Madaniyah, yang di dalamnya Allah
berseru kepada orang-orang yang beriman dan makhluk-makhluk pilihan-Nya,
agar mereka bertaubat kepada-Nya setelah mereka beriman, bersabar,
berhijrah dan berjihad. Kemudian Dia mengaitkan keberuntungan dengan
taubat, seperti kaitan sebab-akibat. Di sini digunakan kata "Supaya", yang
menggambarkan sebuah harapan. Dengan kata lain, jika kalian bertaubat,
berarti kalian berada dalam harapan untuk beruntung. Sementara tidak ada
yang mengharap keberuntungan kecuali orang-orang yang bertaubat.
Sebagian ulama pemerhati perilaku berkata, "Taubat itu hukumnya
wajib bagi setiap orang, termasuk pula para nabi dan wali. Jangan
beranggapan bahwa taubat itu hanya dikhususkan bagi Adam Alaihis-Salam,
sebagaimana firman-Nya,
...):-(
95
Artinya: "…Dan, durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia.Kemudian Rabbnya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya danmemberinya petunjuk." (Thaha (20): 121-122).
Kesalahan dan kedurhakaan ini merupakan hukum azaly yang sudah
ditetapkan terhadap jenis manusia, yang tidak bisa dirubah dan ditentang,
kecuali jika ada perubahan sunnah Ilahy yang melepaskan dirinya dari
ketamakan, andaikan Dia ingin merubahnya. Sementara bertaubat kepada
Allah yang menjadi hak setiap manusia, amat diperlukan, entah oleh nabi
maupun orang bodoh, wali maupun orang sesat.
Sebagaimana taubat yang diwajibkan kepada semua orang, ia juga
diwajibkan dalam keadaan bagaimana pun. Dengan kata lain, taubat ini harus
dilakukan secara berkelanjutan. Pengertian ini ditunjukkan keumuman dalil-
dalil yang ada, seperti firman Allah, "Bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah ". Setiap orang tidak lepas dari kedurhakaan yang dilakukan anggota
tubuhnya. Bahkan para nabi dan orang-orang pilihan pun tidak lepas dari
kedurhakaan ini, seperti yang disebutkan Al-Qur'an dan berbagai pengabaran.
Mereka tidak lepas dari kesalahan, lalu mereka bertaubat, menyesalinya dan
membebaskan diri darinya (al-Ghazali, tth: 10-13).
Kalaupun pada kondisi tertentu seseorang terbebas dari kedurhakaan
dengan anggota tubuhnya, toh belum tentu dia terbebas dari hasrat di dalam
hati untuk berbuat dosa. Kalau pun dia terbebas dari hasrat ini, belum tentu
dia terbebas dari bisikan-bisikan syetan, yang membuatnya lupa mengingat
Allah. Jika dia terbebas dari bisikan syetan ini, belum tentu dia terbebas dari
kelalaian dan pengabaian ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya. Semua ini
96
merupakan kekurangan dan masing-masing ada sebabnya. Meninggalkan
sebab-sebabnya lalu menyibukkan diri dengan kebalikannya, sama dengan
meninggalkan jalan itu dan beralih ke jalan kebalikannya. Manusia saling
berbeda dalam kadar kekurangannya dan bukan dalam dasarnya (TM. Hasbi
Ash-Shiddiqi, 1971: 465-475).
Tidak ada suatu kebaikan yang tidak disertai rintangan dan tantangan.
Demikian pun orang yang melakukan taubat akan mengalami berbagai
kendala. Lalu apa yang menghambat manusia untuk bertaubat dan
menundanya? Padahal dalam taubat inilah terdapat keselamatan dan
kebahagiaannya.
Tidak dapat diragukan bahwa memang di sana ada beberapa macam
penghalang dan penghambat bagi manusia untuk bertaubat kepada Allah.
Maka dari itu kita perlu mengalihkan teropong ke masalah ini, sebagai upaya
untuk mengidentifikasinya. Sebab tidak ada yang mustahil selagi ada usaha
yang sungguh-sungguh, tekad yang bulat dan arah yang benar.
Dalam hubungannya dengan kesehatan mental, Hamka menyatakan:
Kebahagiaan itu dapat diraih dengan beberapa faktor. Salah satu faktoryang tidak kalah pentingnya dari yang lain adalah kesehatan; yaitukesehatan jiwa dan kesehatan badan. Kalau jiwa sehat, dengansendirinya memancarlah bayangan kesehatan itu kepada mata, darisana memancar Nur yang gemilang, timbul dari sukma yang tiadasakit. Demikian juga kesehatan badan, membukakan fikiran,mencerdaskan akal, menyebabkan juga kebersihan jiwa. Kalau jiwasakit, misalnya ditimpa penyakit marah, penyakit duka, penyakit kesal,terus dia membayang kepada badan kasar, tiba di mata merah, tiba ditubuh gemetar. Kalau badan ditimpa sakit, jiwa pun turut merasakan,fikiran tidak berjalan lagi, akal pun tumpul (Hamka, 1990: 138).
97
Karena itu menurut Hamka, hendaklah dijaga sebab-sebab penyakit
dan biasakan beberapa pekerjaan yang dapat memelihara kesehatan. Jika jiwa,
jiwa yang utama, tentulah kehendaknya utama pula, mencari ilmu dan hikmat
dan segala jalan untuk menjaga kebersihan diri. Supaya tercapai maksud yang
demikian perlu diperhatikan 5 (lima) perkara: (1) Bergaul dengan orang-orang
budiman; (2) membiasakan pekerjaan berfikir; (3) menahan syahwat dan
marah; (4) bekerja dengan teratur; (5) memeriksa cacat-cacat diri sendiri
(Hamka, 1990: 138).
Menurut analisis penulis bahwa konsep taubat Hamka dalam perspektif
kesehatan mental telah menerangkan tentang lima cara untuk memelihara
kesehatan jiwa. Kelima cara itu dalam pandangan penulis sesuai dengan era
modern dimana manusia ditawarkan sejuta maksiat, sehingga manusia tidak
luput dari berbuat dosa. Manusia yang memiliki banyak dosa akan merasa
dirinya gelisah, ini berarti berpengaruh pada kesehatan mental seseorang. Jika
dosa itu terus menghantui jiwanya maka orang tersebut sangat mungkin
terganggu kesehatan mentalnya. Karena itu taubat sebagai salah satu upaya
untuk memperoleh kesehatan mental.
Rasa berdosa dan bersalah merupakan salah satu penyebab gangguan
kejiwaan. Cara terbaik untuk membersihkan diri dari rasa berdosa dan
bersalah adalah taubat. Taubat adalah suatu usaha pribadi setiap orang untuk
mengadakan perbaikan terhadap dirinya sendiri. Taubat dalam hubungannya
dengan kebersihan jiwa berarti mengosongkan hati dari dosa dan maksiat, dan
menyesali diri melakukan perbuatan tersebut, serta bertekad untuk tidak
98
memperbuatnya lagi sepanjang umur. Dengan pengertian ini besar
kemungkinan orang yang bertaubat memperoleh kebersihan jiwanya kembali
serta tidak akan berbuat dosa dan maksiat lagi. Dengan demikian jiwanya
menjadi tenteram, karena telah bersih dari noda dan dosa yang
menggelisahkan.
4.2. Analisis Konsep Taubat Menurut Hamka dalam Perspektif Kesehatan
Mental Ditinjau dari Bimbingan dan Konseling Islam
Setiap orang mukmin juga sangat memerlukan pengampunan dosa
dan penghapusan kesalahan. Sebab tidak ada seorang pun yang terlepas dari
dosa dan kesalahan, selaras dengan kontruksi kemanusiaannya, yang di
dalam dirinya terkandung dua unsur yang saling berbeda: unsur tanah bumi
dan unsur ruh langit. Yang satu membelenggu untuk dibawa ke bawah, dan
satunya lagi melepaskannya untuk dibawa ke atas. Yang pertama
memungkinkan untuk menurunkannya ke kubangan binatang atau bahkan
lebih sesat lagi jalannya, sedangkan yang kedua memungkinkan untuk
mengangkatnya ke ufuk alam malaikat atau bahkan lebih baik lagi. Karena
itu setiap manusia mempunyai peluang untuk melakukan keburukan dan
berbuat dosa. Maka dia sangat membutuhkan taubatan nashuha (taubat
semurni-murninya), agar kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya
terhapuskan. Sejalan dengan itu, Menurut Hamka (1989: 390)
Rasulullah s.a.w. sendiri menganjurkan kita selalu memohonkantaubat kepada Allah. Bahkan beliau sendiri senantiasa memohonkantaubat, tidak kurang dari pada 70 kali sehari semalam. Dengansenantfasa taubat dan istighfar kepada Dahi, artinya kita selalumelengkapkan diri, tidak mau terlepas dari penjagaan Tuhan, bahkan
99
menunta diaku tetap dalani perlindungan-Nya, dan Tuhan menjadiWali (pelindung) kita.
) :(
Artinya: "Allah-lah Pelindung orang yang beriman, yang mengeluarkanmereka dari gelap gulita kepada cahaya. Dan orang yang kafir,pelindungnya ialah thaqhut, yang mengeluarkan mereka daripadacahaya kepada, gelap-gulita." (QS. Al-Baqarah; S. 2: 257).
Dalam pergulatan yang sedemikian hebat menegakkan Iman, kadang-
kadang kita kalah dengan tidak disengaja, dan kadang-kadang kita menang
dan dapat meneruskan langkah, tahulah kita bagaimana sulitnya perjalanan
yang kita tempuh. Kalau bukan karena kesulitan itu tidaklah akan terasa
nikmatnya menjadi seorang Mu'min. Cuma satu modal pangkal dan
bagaimana pun sulitnya, yang satu itu tidak boleh dilepaskan, yaitu
kepercayaan akan ke-Esaan Ilahi. Tidak ada tempat berlindung melainkan Dia.
Yang ini sedikit pun tidak boleh sumbing (Hamka,1989: 391) Kalau sumbing
sedikit saja kepercayaan kepada ke-Esaan Ilahi, tidaklah dosa akan diampuni.
) :(
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidaklah akan mengampuni jika diadisekutukan dengan yang lain. Dan yang lain dari itu akandiampuni bagi barangsiapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nisa; S. 4: 48).
Kalau Allah sudah dipersekutukan dengan yang lain, sudah mulai
syirk, kita sendirilah yang telah memutuskan perhubungan dengan Dia.
Tamatlah ceritanya. Tidak ada lagi perjuangan di dalam Islam. Kita sudah
100
terhitung orang luar. Soal-soal tentang dosa dan pahala ini di zaman dahulu
kala telah menjadi perdebatan yang hangat sekali di antara ahli-ahli fikir
Islam, sehingga telah menimbulkan yang tidak diingini, yaitu perpecahan dan
bergolong-golongan (Hamka, 1989: 390).
Menurut Hamka (1989: 390) menjaga kebersihan jiwa sama juga
dengan menjaga kebersihan badan. Salah satu upaya membersihkan jiwa dari
kotoran berupa dosa adalah dengan taubat. Rasulullah s.a.w. sendiri
menganjurkan kita selalu memohonkan taubat kepada Allah. Dengan
senantiasa taubat dan istighfar kepada Ilahi, artinya kita selalu melengkapkan
diri, tidak mau terlepas dari penjagaan Tuhan, bahkan meminta diaku tetap
dalam perlindungan-Nya, dan Tuhan menjadi Wali (pelindung) kita.
Berpijak pada pendapat Hamka, maka menurut analisis penulis, bahwa
pada hakikatnya taubat dilihat dari segi kejiwaan adalah suatu kombinasi dari
fungsi-fungsi kejiwaan yang terdiri atas kesadaran sepenuhnya tentang
jeleknya dosa dan maksiat yang diperbuat dengan sepenuh hati yang disertai
dengan rasa sedih dan takut kepada Allah; keinginan kuat untuk meninggalkan
perbuatan dosa dengan segera; tekad yang kuat untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa dan maksiat, dan perbaikan diri di masa yang akan datang;
melakukan perbuatan baik dan ketaatan secara terus menerus; kembali kepada
Allah dengan penuh keimanan, ketakwaan dan ketaatan; serta terjalinnya
kembali hubungan yang baik dengan sesama manusia kalau dosa dan
kesalahan ada hubungannya dengan manusia.
101
Apabila unsur-unsur taubat di atas terjalin dalam kepribadian orang
yang bertaubat, maka taubat akan memainkan peranannya yang besar dalam
kehidupan dan kesehatan mental orang yang berdosa dan bersalah. la akan
mengubah jiwa yang terganggu menjadi sehat, tenang, dan sejahtera kembali.
la akan dapat mengubah kejahatan menjadi kebaikan, kegelapan menjadi
cahaya, dan kebingungan menjadi hidayah dan taufik. Inilah yang dimaksud
dengan taubat nashuha. Orang yang sampai pada taubat nashuha memiliki
jiwa yang tenang.
Peranan taubat dalam mencegah timbulnya gangguan kejiwaan terletak
pada usaha orang yang bertaubat untuk menghindarkan dirinya dari dosa-dosa
lahir dan batin serta pengaruh-pengaruh dosanya pada masa lalu. Dengan
terhindarnya orang dari dosa-dosa ini dapat diharapkan berkemampuan
menjaga dirinya dari kemungkinan jatuh kepada keadaan kesehatan mental
yang buruk.
Dalam usaha menjauhkan orang yang bertaubat kembali berbuat dosa
atau terpengaruh dari dosa masa lalunya, maka taubat mementingkan peranan
pengendalian diri, kebersihan dan kesucian jiwa, serta peranan hati nurani
dalam diri orang yang bertaubat.
Ajaran Islam tidak saja berfungsi sebagai pengobatan dan pencegahan
terhadap gangguan kejiwaan, tetapi juga merupakan faktor pembinaan bagi
kesehatan mental manusia pada umumnya, karena tujuan agama Islam itu
diturunkan Allah adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia
di dunia dan di akhirat.
102
Taubat sebagai salah satu ajaran Islam di bidang akhlak juga
merupakan faktor pembinaan kesehatan mental. Misalnya zikir dan doa dalam
taubat dapat memperkuat ingatan dan rasa cinta kepada Allah; ketaatan dapat
membina dan mempertinggi kesehatan mental; ibadah dapat menghidupkan
hati nurani; keimanan dan ketakwaan dapat memperbaharui dan
mengendalikan perbuatan; al-muraqabat dapat mengendalikan kemauan dan
mengarahkannya kepada yang baik; al-nadam dapat menjadikan orang
gembira dan penuh harap (optimis) kembali, kebersihan jiwa meningkatkan
kesejahteraan mentalnya; kesadaran dan pengakuan dosa memperbaiki dirinya
dan mengenal Allah, dan lain sebagainya.
Berdasarkan keterangan di atas, menjadi petunjuk bahwa konsep
Hamka tentang taubat apabila diamalkan maka akan membentuk mental
seseorang menjadi sehat. Atas dasar itu perlu adanya bimbingan dan konseling
Islam untuk membantu individu mau melakukan taubat sehingga daoat
membangun kesehatan mental individu dari perasaan berdosa. Peranan
bimbingan dan konseling Islam sangat penting untuk membantu individu
memahami peran, fungsi dan arti pentingnya taubat dalam memelihara
kesehatan mental.
Bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu
agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992:
5). Menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu
aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu
103
yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang
klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan
dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan
kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma
kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Berdasarkan pengertian tersebut, bimbingan Islam dapat dijadikan
salah satu upaya mendorong individu bertaubat untuk membersihkan dosanya
sehingga dapat dihindari gangguan kesehatan mental. Berdasarkan penjelasan
tersebut, bimbingan Islam bermaksud agar manusia memperoleh kebahagiaan
baik di dunia maupun akhirat, hal ini sebagaimana dikemukakan Musnamar
(1992: 5) bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap
individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah
yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga
dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Bimbingan dan konsoleng Islam dapat mengupayakan agar seseorang
tidak melakukan perbuatan dosa. Secara garis besar atau secara umum tujuan
bimbingan Islam itu dapat dirumuskan sebagai membantu individu
mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
Bimbingan sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini sudah diketahui
dari pengertian atau definisinya. Individu yang dimaksudkan di sini adalah
orang yang dibimbing atau diberi konseling, baik orang perorangan maupun
kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan
104
diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang
selaras perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau
kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu,
makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya.
Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia bisa
seperti yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain yang bersangkutan
berhadapan dengan masalah atau problem, yaitu menghadapi adanya
kesenjangan antara seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang
menghadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak
merasa bahagia. Bimbingan Islam berusaha membantu individu agar bisa
hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat. Karena itu,
tujuan akhir bimbingan Islam adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Bimbingan berusaha membantu jangan sampai individu menghadapi
atau menemui masalah. Dengan kata lain membantu individu mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan pencegahan masalah ini merupakan
salah satu fungsi bimbingan. Karena berbagai faktor, individu bisa juga
terpaksa menghadapi masalah dan kerap kali pula individu tidak mampu
memecahkan masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha membantu
memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini
merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya merupakan fungsi
konseling sebagai bagian sekaligus teknik bimbingan.(Musnamar, 1992: 33-
34)
105
Dengan memperhatikan tujuan umum dan khusus bimbingan Islam
tersebut, dapatlah dirumuskan fungsi (kelompok tugas atau kegiatan sejenis)
dari bimbingan itu sebagai berikut:
1. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau mencegah
timbulnya masalah bagi dirinya.
2. Fungsi kuratif atau korektif; yakni membantu individu memecahkan
masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya.
3. Fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi dan
kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik
(terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in state of good).
4. Fungsi developmental atau pengembangan; yakni membantu individu
memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar
tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya
menjadi sebab munculnya masalah baginya (Rahim, 2001: 37-41).
Untuk mencapai tujuan seperti disebutkan di muka, dan sejalan dengan
fungsi-fungsi bimbingan Islam tersebut, maka bimbingan Islam melakukan
kegiatan yang dalam garis besarnya dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Membantu individu mengetahui, mengenal dan memahami keadaan
dirinya sesuai dengan hakekatnya, atau memahami kembali keadaan
dirinya, sebab dalam keadaan tertentu dapat terjadi individu tidak
mengenal atau tidak menyadari keadaan dirinya yang sebenarnya. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa bimbingan Islam mengingatkan kembali
individu akan fitrahnya.
106
):(Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusiamenurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(Q.S. Ar Rum, 30: 30).
Fitrah Allah dimaksudkan bahwa manusia itu membawa fitrah
ketauhidan, yakni mengetahui Allah SWT Yang Maha Esa, mengakui
dirinya sebagai ciptaan-Nya, yang harus tunduk dan patuh pada ketentuan
dan petunjuk-Nya. Manusia ciptaan Allah yang dibekali berbagai hal dan
kemampuan, termasuk naluri beragama tauhid (agama Islam). Mengenal
fitrah berarti sekaligus memahami dirinya yang memiliki berbagai potensi
dan kelemahan, memahami dirinya sebagai makhluk Tuhan atau makhluk
religius, makhluk individu, makhluk sosial dan juga makhluk pengelola
alam semesta atau makhluk berbudaya. Dengan mengenal dirinya sendiri
atau mengenal fitrahnya itu individu akan lebih mudah mencegah
timbulnya masalah, memecahkan masalah, dan menjaga berbagai
kemungkinan timbulnya kembali masalah (Musnamar, 1992: 35).
2. Membantu individu menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya, segi-
segi baik dan buruknya, kekuatan serta kelemahannya, sebagai sesuatu
yang memang telah ditetapkan Allah (nasib atau taqdir), tetapi juga
menyadari bahwa manusia diwajibkan untuk berikhtiar, kelemahan yang
ada pada dirinya bukan untuk terus menerus disesali, dan kekuatan atau
107
kelebihan bukan pula untuk membuatnya lupa diri (Rahim, 2001: 39).
Dalam satu kalimat singkat dapatlah dikatakan sebagai membantu
individu tawakal atau berserah diri kepada Allah. Dengan tawakal atau
berserah diri kepada Allah berarti meyakini bahwa nasib baik buruk
dirinya itu ada hikmahnya yang bisa jadi manusia tidak tahu.
... ):(
Artinya: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimudan boleh jadi juga kamu menyukai sesuatu, padahal ia amatburuk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidakmengetahui. (Q.S. Al Baqarah, 2 : 216).
):(Artinya: (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri
kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka baginyapahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadapmereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al Baqarah, 2: 112).
):(
Artinya: Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapatmengalahkanmu. Jika Allah membiarkanmu (tidak memberipertolongan), siapakah gerangan yang dapat menolong kamu(selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allahsajalah orang-orang mukmin bertawakkal. (Q.S. Ali lmran, 3:160).
108
} {
) :-(Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sesungguhnya
akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi didalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Merekakekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, yaitu yang bersabar dan bertawakkal kepadaTuhannya (Q..S. Al-Ankabut, 29: 58- 59).
3. Membantu individu memahami keadaan (situasi dan kondisi) yang
dihadapi saat ini. Kerapkali masalah yang dihadapi individu tidak
dipahami si individu itu sendiri, atau individu tidak merasakan atau tidak
menyadari bahwa dirinya sedang menghadapi masalah, tertimpa masalah.
Bimbingan Islam membantu individu merumuskan masalah yang
dihadapinya dan membantunya mendiagnosis masalah yang sedang
dihadapinya itu. Masalah bisa timbul dari bermacam faktor. Bimbingan
Islam membantu individu melihat faktor-faktor penyebab timbulnya
masalah tersebut.
} {):-(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, makaberhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkandan tak memarahi serta mengampuni (mereka) makasesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Sesungguhnya hartamu, dan anak-anakmu hanyalah cobaan
109
(bagimu), dan disisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S.AtTagabun, 64:14-15).
) :(
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepadaapa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yangbanyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatangternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga). (Q.S. Ali Imran,3 :14).
) :(Artinya: Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan. (Q.S. Al-Fajr.89:20).
Sumber masalah demikian banyaknya antara lain disebutkan dalam
firman-firman Tuhan tersebut, yakni tidak selaras antara dunia dan akhirat,
antara kebutuhan keduniaan dengan mental spiritual (ukhrawi). Dengan
memahami keadaan yang dihadapi dan memahami sumber masalah, individu
akan dapat lebih mudah mengatasi masalahnya (Rahim, 2001: 41).
Setiap manusia pasti memiliki dosa dan dosa itu seringkali membuat
orang menjadi gelisah dan cemas. Hal ini berakibat terganggunya jiwa
seseorang. Namun bila ia menganggap taubat adalah sebuah kesempatan yang
tidak boleh ditunda maka jiwanya akan merasa tenang. Setiap manusia yang
terperosok dan tergelincir dalam berbuat kesalahan dan maksiat. Maka Allah
menghendaki untuk segera bertaubat, memohon ampun dan kasih sayang-Nya.
110
Agar manusia tidak terbentuk oleh karakter maksiat dan tidak jauh dari posisi
naungan-Nya.
Urgensi dakwah dengan konsep taubat yaitu dakwah dapat
memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana taubat
yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah maka
kekeliruan dalam memaknai taubat dapat dikurangi karena dakwah adalah
mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan
agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang
(Umary, 1980: 52). Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan,
dakwah adalah usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat,
memperbaiki kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan
ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas
yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi),
rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama
dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan
untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).
Dengan dakwah maka kekeliruan persepsi dapat diluruskan, dalam hal
ini persepsi tentang taubat. Atas dasar itu untuk mewujudkan dakwah tentang
taubat yang benar maka perlu adanya pemahaman konsep taubat yang jelas
dan sesuai dengan al-Qur'an dan hadis.
111
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab satu sampai dengan bab empat
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
5.1.1. Konsep taubat menurut Hamka dalam perspektif kesehatan mental
yaitu taubat pada hakikatnya adalah suatu penyesalan dengan cara
berbuat baik dan menjauhi segala dosa serta selalu memohon ampun
kepada Allah. Dengan membersihkan diri dari dosa, maka orang
tersebut akan memiliki jiwa yang tentang. Dosa dapat membuat orang
gelisah, sedangkan taubat dapat membuat hati tentram. Pada hati yang
tentram akan menimbulkan jiwa yang tenang dan pada jiwa yang
tenang akan membentuk mental yang sehat. Dengan demikian taubat
sangat erat kaitannya dengan kesehatan mental. Karena salah satu ciri
mental yang sehat yaitu terdapatnya jiwa yang tenang dan berpikir
positif. Berdasarkan hal itu maka menurut Hamka, taubat adalah
membersihkan hati, serupa mandi atau berwudhuk guna membersihkan
badan. Menurut Hamka, menjaga kebersihan jiwa sama juga dengan
menjaga kebersihan badan. Salah satu upaya membersihkan jiwa dari
kotoran berupa dosa adalah dengan taubat. Konsep Hamka tentang
taubat apabila diamalkan maka akan membentuk mental seseorang
menjadi sehat.
112
5.1.2. Konsep taubat menurut Hamka dalam perspektif kesehatan mental
ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam yaitu taubat dapat
membentuk mental yang sehat karena dengan taubat maka seluruh
dosa menjadi hapus. Dengan hapusnya dosa maka jiwa menjadi bersih.
Namun demikian agar setiap individu mau bertobat maka individu itu
harus dibimbing tentang manfaat dan pentingnya taubat, cara bertaubat
dan syarat bertaubat. Atas dasar itu perlu adanya bimbingan dan
konseling Islam untuk membantu individu mau melakukan taubat
sehingga daoat membangun kesehatan mental individu dari perasaan
berdosa. Peranan bimbingan dan konseling Islam sangat penting untuk
membantu individu memahami peran, fungsi dan arti pentingnya
taubat dalam memelihara kesehatan mental.
5.2 Saran-saran
Implementasi konsep taubat Hamka sangat efektif untuk memelihara
kesehatan jiwa manusia. Meskipun uraiannya terasa masih bersifat umum
tetapi cukup baik sebagai sebuah pengantar dalam membangun jiwa yang
sehat. Atas dasar itu maka penelitian terhadap pemikiran Hamka dapat lebih
diperdalam oleh peneliti lainnya.
113
5.3 Penutup
Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah
Swt yang dengan karunia dan rahmat-Nya telah mendorong penulis hingga
dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat
disadari sedalam-dalamnya bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi
materinya jauh dari kata sempurna.
114
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Albahy, Muhammad, 1988. Islam dan Sekularisme Antara Cita dan Fakta, Alihbahasa: Hadi Mulyo, Solo: Ramadhani,
Amirin, Tatang M., 1995. Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3, Jakarta: PTRaja Grafindo Persada,
Arifin, M., 2000, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Asad, Mohammad, 1988. Filsafat Taubat, Solo: Studia.
Ash Shiddieqy, T.M.Hasbi, 1995. Tafsir al-Qur anul Majid an-Nur jilid 4, PTPustaka Rizki Putra, Semarang,
-------, 2001. Al-Islam, PT Pustaka Rizki Putra,
Asmaran, As. 2002. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Asy-Syarif, Muhammad bin Hasan, 2004. Manajemen Hati, Terj. AkhmadSyaikhu, Jakarta: Darul Haq,
Az-Zahabi, Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Usman, 1993. Dosa-Dosa Besar, Terj. Mu'amal Hamidy, et al, Surabaya: PT Bina Ilmu,
Bakran adz-Dzaky, M. Hamdani. 2002. Konseling dan Psikoterapi IslamPenerapan Metode Sufistik, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Bakry, Hasbullah, 1988. Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: UI Press.
Damami, Mohammad. 2000. Tasawuf Positif Dalam Pemikiran Hamka,Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Daradjat, H. Zakiah. 1983. Kesehatan Mental, Cet. 10, Jakarta: PT GunungAgung,
-------, 1983. Islam dan Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung.
Depdiknas, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka.
Fahmi, Musthafa, 1977. Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah danMasyarakat, jilid 1, alih bahasa, Zakiah Daradjat, Jakarta: Bulan Bintang.
Faqih, Aunur Rahim, 2001, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, Yogyakarta:UII Press.
115
Farida. 2007, Studi Komparasi Pendapat Hamka dan Dadang Hawari dalamMemelihara Kesehatan Jiwa (Analisis Bimbingan dan Konseling Islam)(Skripsi Fakultas Dakwah: Tidak diterbitkan), IAIN Walisongo.
Ghazali, Imam, 2003. Rahasia Taubat, terj, Muhammad al-Baqir, Bandung:Karisma,
-------, Muhtasar Ihya Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
-------, 1986. Minhaj al-'Abidin, Beirut: Dar al-Fikr.
--------, tth. Ihya 'Ulum Ad-Din, Juz IV, Mesir: Masyhad al-Husaini.
Hamka. 1989. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Hanna Djumhana Bastaman, 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam MenujuPsikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harahap, Syahrin. 2006. Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, Jakarta:Istiqamah Mulya Press.
Hawa, Sa’id, 2002. Intisari Ihya Ulumuddin al-Ghazali, Mensucikan Jiwa,
Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, alih bahasa, Aunur Rafiq Shaleh
Tamhid, Jakarta: Robbani Press,
Hawari, Dadang, 2002. Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi, Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Ibrahim, Lutpi, “Konsep Dosa Dalam Pandangan Islam”, Studia Islamika No.13/1980.
Ilyas, Yunahar, 2004. Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: PPI UMY.
Jaelani, A.F, 2000. Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental,Jakarta: Penerbit Amzah,
Jailani, Syeikh Abdul Qadir, 2002. Percikan Cahaya Ilahi: Petuah-Petuah SyeikhAbdul Qadir Jailani, Terj. Arief B. Iskandar, Pustaka Hidayah,
Jalaluddin, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Jauziyah, Ibnu Qayyim, 2003. Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah:Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. Terj. KathurSuhardi, Pustaka al-Kautsar, Jakarta,
Jaya, Yahya, 1995. Peranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, Jakarta:Ruhama.
116
Jaya, Yahya, 1995. Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental,Bandung: Remaja Rosdakarya,
Kalabadzi, 1990. Ajaran Kaum Sufi, Terj. Rahman Astuti, Bandung: MizanAnggota Ikapi.
Kartono, Kartini dan Andari, Jenny, 1989, Hygine Mental dan Kesehatan Mental,Maju Mundur.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Dâr al-Masyriq, Beirut, 1986.
Marbawi, Muhammad Idris Abd al-Ro’uf, tth. Kamus Idris Al-Marbawi, juz 1,Dar Ihya al-Kutub al-arabiyah,
Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Rosda Karya.
Mubarok, Achmad, 2000. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalamAl-Qur an, Jakarta: Paramadina,
Muhadjir, Noeng. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: RakeSarasin.
Munawwir, Ahmad Warson, 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-IndonesiaTerlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif,
Musnamar, Thohari, (eds), 1992, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Bimbingandan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press.
Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi, 2002. al-Risalah al-Qusyairiyah, terj. Umar Faruq, Jakarta: Pustaka amani,
-------, tth. Sahih Muslim, juz 2, Mesir: Tijariah Kubra,
Nasir, Buldan. 2003. Konsep Taubat dalam Agama Islam dan Kristen (StudiKomperatif Teologis). (Skripsi Fakultas Ushuluddin: Tidak diterbitkan),IAIN Walisongo
Nasution, Harun, 1973. Falsafat dan Misitisme dalam Islam, Jakarta: BulanBintang.
Nata, Abuddin, 2002. Akhlaq Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nawawi, Imam, , tth. Riyad as-Salihin, Beirut: al Ijtimaiyah,
117
Notosoedirjo, Moeljono dan Latipun, 1999. Kesehatan Mental Konsep &Penerapan, Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang,
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika Teori Baru mengenai Interpretasi. Terj.Musnur Hery & Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat, Jalaluddin. 1995, Metode Penelitian Komunikasi, Dilengkapi ContohAnalisis Statistik, Bandung: Remaja Rosdakarya
Riyani, Santi. 2002. Konsep Taubat dalam Perspektif Islam dan Katholik (StudiKomperatif Antara Islam dan Katholik) (Skripsi Fakultas Ushuludin:Tidak diterbitkan), IAIN Walisongo.
Sanusi, Salahuddin. 1964. Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Dakwah Islam.Semarang: CV.Ramadhani.
Shihab, M. Quraish, 2003. Wawasan Al-Qur an: Tafsir Maudhu i Atas BerbagaiPersoalan Umat, Bandung: PT. Mizan Pustaka anggota IKAPI.
Sholeh, Moh. dan Imam Musbikin, 2005. Agama Sebagai Terapi: Telaah MenujuIlmu Kedokteran Holistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Simuh, 2007. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
Solihin, M., 2003. Tashawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting Tashawuf,
Bandung: CV. Pustaka Setia.
-------, dan Rosihon Anwar, 2002. Kamus Tasawuf, Bandung: PT RemajaRosdakarya,
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Metodologi Penelitian, Cet. 11, PT. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Taftazani, Abul al-Wafa' Al-Ghanimi, 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj.Ahmad Rofi Utsmani, Bandung: Balai Pustaka,
Taimiyyah, Ibnu, 2003. Memuliakan Diri dengan Taubat, Terj. Muzammal Noer,Yogyakarta: Mitra Pustaka,
Tatapangarsa, Humaidi, 1980. Akhlaq Yang Mulia, Surabaya: PT.Bina Ilmu.
118
Thabbarah, Afif Abdullah Fattah, 1980. Dosa Dalam Pandangan Islam, terj.Bahrun Abubakar dan Anwar Rasyidi, Bandung: Risalah,
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:Djambatan, Anggota IKAPI, 1992.
Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani
Yakub, Hamzah, 1978. Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mu min (UraianTasawuf dan Takorub), Bandung: PT. Al-Ma’arif,
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1979. Al-Qur andan Terjemahnya, DEPAG RI,
Yunus, Mahmud, 1973. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan PenyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,
Yusuf, Syamsu, 2004. Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalamKajian Psikologi dan Agama, Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Zahri, Mustafa, 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu.
119
AFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muhamad Sukamdi
Tempat/Tanggal Lahir : Grobogan, 28 Desember 1986
Alamat Asal : Desa Dimoro Dsn Toro Kec. Toroh
Pendidikan : - SDN 4 Grobogan lulus th 1998
- MTs Al-Hidayah Grobogan lulus th 2001
- MA Manbaul a'laa Grobogan lulus th 2004
- Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2004
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Muhamad Sukamdi
120
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA
Nama : Muhamad Sukamdi
NIM : 1104021
Alamat : Desa Dimoro Dsn Toro Kec. Toroh
Nama orang tua : Bapak Kasmuri dan Ibu Siswati
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Desa Dimoro Dsn Toro Kec. Toroh