Upload
duongphuc
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
EFEKTIVITAS SALEP EKSTRAK BATANG PATAH TULANG
(Euphorbia tirucalli) PADA PENYEMBUHAN LUKA SAYAT
TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
skripsi
disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Biologi
Oleh
Siti Qomariah
4450408029
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul
“Efektivitas Salep Ekstrak Batang Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) Pada
Penyembuhan Luka Sayat Tikus Putih (Rattus norvegicus)” disusun berdasarkan hasil
penelitian saya dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi atau kutipan
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini. Skripsi ini belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar dalam program sejenis di perguruan tinggi
manapun.
Semarang, Agustus 2014
Siti Qomariah
4450408029
iii
iv
ABSTRAK
Qomariah, Siti. 2014. Efektivitas Salep Ekatrak Batang Patah Tulang
(Euphorbia tirucalli) Pada Penyambuhan Luka Sayat Tikus Putih (Rattus
norvegicus). Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Dr.
Lisdiana, M. Si dan drh. Wulan Christijanti, M. Si.
Patah tulang (Euphorbia tirucalli) merupakan tanaman pagar yang
digunakan sebagai obat tradisional secara turun-temurun oleh masyarakat. Senyawa
aktif yang terkandung dalam batang patah tulang yaitu glikosida, sapogenin dan asam
elagat. Senyawa yang membantu mempercepat penyembuhan luka sayat yaitu
senyawa sapogenin, karena senyawa sapogenin bermanfaat mempengaruhi
pembentukan kolagen (tahap awal perbaikan jaringan). Tujuan penelitian adalah
mengkaji ekstrak batang patah tulang dalam bentuk salep pada penyembuhan luka
sayat tikus putih serta menentukan dosis dan waktu tercepat pada penyembuhan luka
sayat.
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Sampel yang
digunakan yaitu 20 ekor tikus putih jantan galur Wistar umur 2 bulan yang dibagi
menjadi 4 kelompok yaitu dengan poviodin iodine 10% sebagai kontrol positif, salep
dengan dosis 5%, 10% dan 20%. Perlakuan diberikan selama 13 hari. Pengambilan
data dengan mendokumentasikan dan mencatat waktu penyembuhan luka sayat. Data
dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan waktu tercepat pada
penyembuhan luka sayat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa salep dosis 5% dan 10% hasilnya tidak
ada perbedaan. perlakuan salep dosis 10% lebih optimal dalam mempercepat
penyembuhan luka sayat tikus putih dilihat pada hari ke-9 luka sudah sembuh dengan
adanya jaringan baru. Sedangkan pada dosis 20% kurang optimal dalam mempercepat
penyembuhan luka sayat dilihat pada hari ke-13.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa salep yang
mengandung ekstrak batang patah tulang (Euphorbia tirucalli) pada dosis 10%
mampu mempercepat penyembuhan luka sayat tikus putih.
Kata Kunci : Euphorbia tirucalli, luka sayat, Rattus norvegicus.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah segala puji syukur kehadirat allah SWT atas limpahan nikmat,
karunia dan hidayahNya yang tak terhingga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
Skripsi dengan judul Efektivitas Salep Ekstrak Batng Patah Tulang
(Euphorbia tirucalli)Pada Penyembuhan Luka Sayat Tikus Putih (Rattus norvegicus)
ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Biologi.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi
ini yaitu kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan segala fasilitas dan
kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya.
2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah memberi izin penulis
sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Ketua Jurusan Biologi yang memudahkan jalan penulis dalam menyusun skripsi.
4. Dr. drh R. Susanti, M.P, selaku dosen wali terima kasih untuk dukungan dan
perhatiannya.
5. Dr. Lisdiana, M.Si dan drh. Wulan Christijanti, M.Si, selaku dosen pembimbing I
dan pembimbing II terima kasih atas bimbingan, pengarahan dan dorongannya
selama ini.
6. Dr. dr. Nugrahaningsih W. H., M. Kes, selaku dosen penguji yang dengan sabar
telah banyak memberikan dorongan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi
ini.
7. Bapak Ibu dosen dan seluruh staf pengajar Jurusan Biologi, untuk ilmu yang
diberikan pada penulis.
8. Ayah Sudikan, Ibu Yayuk Sri Wahyuni dan ke-2 adik saya Muhammad Busro dan
Siti Kumaidah serta Mbah Kakung dan Mbah Putri atas do’a yang tak pernah
putus.
vi
9. Mbak Tika, mbak Fitri, Dhurotun Nafisah, Fiasri, Umi Atiqoh, Nurul Hidayah,
Anis Maftuhah, Meris Okana Mutiara, Septi Jayanti, Yulia Astriana, Ngaliyatun,
Umarudin dan teman-teman seperjuangan Bio’08 (BIPANNES) terima kasih
untuk semangat dan dukungannya.
10. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini,
maka segala kritik maupun saran yang bersifat membangun akan penulis terima
dengan senang hati. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna
bagi semua pihak yang membutuhkan.
Semarang, Agustus 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .... ........................................................ ii
PENGESAHAN .................................................................................................. iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Penegasan Istilah ..................................................................................... 2
D. Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
E. Manfaat Penelitian .................................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 4
1. Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) ................................... 4
2. Jaringan Kulit .................................................................................... 6
3. Proses Penyembuhan Luka Sayat ..................................................... 8
B. Kerangka Berfikir dan Hipotesis ............................................................. 12
BAB II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ..................................................................................... 13
B. Populasi dan Sampel ............................................................................... 13
C. Variabel Penelitian .................................................................................. 13
D. Rancangan Penelitian .............................................................................. 13
viii
E. Alat dan Bahan ........................................................................................ 14
1. Alat .................................................................................................... 14
2. Bahan................................................................................................. 15
F. Prosedur Penelitian.................................................................................. 15
1. Tahap Persiapan ................................................................................ 15
a. Pembuatan Ekstrak Batang Patah Tulang ................................... 15
b. Pembuatan Salep dengan Ekstrak Batang Patah Tulang ............. 15
2. Tahap Pelaksanaan ............................................................................ 16
G. Metode Analisis Data .............................................................................. 19
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ........................................................................................................ 20
B. Pembahasan ............................................................................................. 22
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ................................................................................................. 26
B. Saran ........................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 27
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 29
ix
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Alat yang digunakan untuk membuat salep .................................................. 14
2. Alat yang digunakan untuk menyayat tikus ................................................ 14
3. Bahan yang digunakan dalam penelitian....................................................... 15
4. Formula salep dari tanaman patah tulang...................................................... 16
5. Tabel Pengamatan penyembuhan luka sayat pada hari ke-1 sampai hari
ke-13 pasca pemberian perlakuan ................................................................ 20
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Morfologi tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli) ................................ 5
2. Struktur kimia senyawa sapogenin, glikosida dan asam elagat .................... 6
3. Histologi kulit ............................................................................................... 8
4. Diagram alur penyembuhan luka sayat dengan senyawa sapogenin ........... 11
5. Alur kerangka berfikir penelitian ................................................................. 12
6. Alur penelitian .............................................................................................. 18
7. Gambar luka sayat tikus putih pada hari ke-7 pasca perlakuan .................... 21
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lampiran 1. Dokumentasi penelitian ........................................................... 30
2. Lampiran 2. Gambar alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ...... 34
3. Lampiran 3. Tabel data pengamatan ........................................................... 36
4. Lampiran 4. Surat ijin penelitian ................................................................. 49
5. Lampiran 5. Surat Ujian Skripsi ................................................................. 50
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia kaya akan sumber bahan obat tradisional yang digunakan sebagian
besar masyarakat Indonesia secara turun temurun. Tumbuhan obat adalah semua jenis
tumbuhan yang dapat digunakan sebagai ramuan obat, baik secara tunggal maupun
campuran yang dianggap dan dipercaya dapat menyembuhkan suatu penyakit atau
dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan. Keuntungan tanaman obat
tradisional yaitu mudah diperoleh dan dapat ditanam di pekarangan rumah sendiri
(Rahayu., et al. 2006). Sebagian masyarakat Indonesia menggunakan obat tradisional
untuk mengobati penyakit yang timbul pada tubuh. Seperti tanaman patah tulang
dikenal sebagai salah satu jenis tanaman yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk
obat tradisional. Tanaman patah tulang yang mempunyai nama latin Euphorbia
tirucalli dari Famili euphorbiaceae ini sangat mudah tumbuh di daerah tropis dan
dapat dikembangkan secara stek. Tanaman Euphorbia tirucalli merupakan salah satu
tumbuhan yang mempunyai sifat toksik terhadap kulit dari lapisan lendir. Getahnya
yang berwarna putih seperti susu, bersifat toksik (Julianus., et al. 2011).
Ranting Euphorbia tirucalli mengandung glikosida, sapogenin, dan asam elagat
(Dalimartha, 2003). Dari beberapa senyawa Euphorbia tirucalli yang digunakan
adalah sapogenin, salah satu manfaat sapogenin adalah mempengaruhi kolagen (tahap
awal perbaikan jaringan) dengan cara menghambat produksi jaringan luka yang
berlebihan (Setyoadi dan Sartika, 2010).
Dalam pekerjaan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan pada bahaya-bahaya
tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik dan peralatan listrik dan
gelas yang digunakan sehari-hari sehingga berpotensi mengalami resiko luka. Pada
kasus luka terbuka sering terjadi infeksi yang disebabkan masuknya kuman pada
luka, keadaan akan lebih buruk bila tidak segera diberi antiseptik dengan segera.
Antiseptik yang bersifat kimia seperti povidon iodine memiliki dampak menyerap
langsung kedalam tubuh melalui luka dan sirkulasi pembuluh darah (Purbani, 2009).
2
Luka diklasifikasikan dalam dua bagian yaitu luka akut dan luka kronik. Luka akut
memiliki serangan yang cepat dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang
diperkirakan. Contoh luka akut adalah luka jahit karena pembedahan, luka sayat,
luka bakar, luka tusuk dan crush injury. Sedangkan luka kronik, luka yang gagal
sembuh pada waktu yang diperkirakan. Contoh ulkus diabetes, ulkus venous
(Perdanakusuma, 2007).
Penyembuhan luka yang normal merupakan suatu proses kompleks dan
dinamis. Proses penyembuhan luka berlangsung secara alami maupun dengan
bantuan kimiawi, seperti dengan zat-zat obat, salep dan lain-lain. Pada masyarakat
masih banyak yang menggunakan tanaman-tanaman sebagai obat diantaranya yaitu
tanaman Euphorbia tirucalli yang mengandung senyawa salah satunya sapogenin
bermanfaat untuk membantu penyembuhan luka sayat. Namun sampai saat ini belum
pernah dilakukan penelitian tentang efektivitas senyawa batang patah tulang
(Euphorbia tirucalli) terhadap penyembuhan luka sayat.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pengaruh ekstrak batang patah tulang dalam bentuk salep terhadap
penyembuhan luka sayat tikus putih?
2. Berapa dosis optimal salep dan waktu tercepat pada penyembuhan luka sayat?
C. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas dan menghindari perbedaan pengertian dalam penelitian ini,
perlu diberikan penjelasan tentang beberapa istilah, sebagai berikut:
1. Ekstrak batang tanaman Euphorbia tirucalli
Ekstrak merupakan proses pemisahan suatu zat padat atau cair dengan
bantuan pelarut (Sugiarto, 2008). Dalam penelitian ini ekstrak batang Euphorbia
tirucalli dilakukan estraksi simplisia dengan metode perkolasi menggunakan
pelarut alkohol 70% (Suratman., et al. 2004). Ekstrak dioven pada suhu 400 C
3
hingga diperoleh ekstrak kering kemudian dicampur dengan vaselin sesuai dosis
yang diperlukan sehingga terbentuk sediaan salep.
2. Luka sayat
Luka sayat dikategorikan kedalam luka akut yang berupa trauma, baru,
mendadak dan cepat penyembuhannya (Perdanakusuma, 2007). Dalam penelitian
ini luka sayat adalah luka yang sengaja dibuat pada punggung tikus putih dengan
menyayat menggunakan scalpel steril sepanjang 1 cm.
3. Penyembuhan luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses untuk memperbaiki kerusakan
yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen
disamping sel epitel (Perdanakusuma, 2007). Pada penelitian ini suatu luka
dikatakan sembuh apabila luka mengalami perubahan pada kulit, seperti tidak
adanya aritema (kemerahan), tidak adanya pembengkakan, dan luka menutup.
D. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengkaji ekstrak batang patah tulang dalam bentuk salep pada penyembuhan
luka sayat tikus putih.
2. Menentukan penyesuaian dosis dan waktu tercepat pada penyembuhan luka
sayat.
E. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui senyawa aktif ekstrak batang patah tulang dalam mempercepat
penyembuhan luka sayat.
2. Untuk mengetahui berapa waktu tercepat pada proses penyembuhannya.
3. Untuk mengetahui pada dosis berapa salep mempercepat penyembuhan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
a. Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli)
Tanaman Euphorbia tirucalli merupakan tanaman perdu yang banyak
dimanfaatkan sebagai tanaman pagar. Sebagian besar bentuknya hanya berupa batang
berbentuk bulat panjang seperti pensil dengan warna hijau tua. Dibagian ujung batang
terbentuk 2-3 cabang, diujung cabang paling muda muncul daun-daun kecil yang
berumur pendek. Batangnya mudah patah dan mengandung getah, getah tersebut
beracun sehingga bila digunakan sebagai obat hanya untuk obat luar. Cabang-
cabangnya bisa dijadikan tanaman baru bila ditanam di dalam tanah. Tanaman
Euphorbia tirucalli mengandung eufol, traksaterin, tiru-kalol, dan sapogenin.
Tanaman Euphorbia tirucalli berkhasiat mengobati kesisipan duri, tahi lalat dan
patah tulang (Mursito., et al. 2011).
Tanaman Eurphorbia tirucalli berasal dari Afrika Tropis. Tinggi tumbuhan 2-6
m dengan pangkal berkayu, bercabang banyak dan bergetah seperti susu yang
beracun. Getah sifatnya asam (acid latex) mengandung senyawa euphorbone,
taraksasterol, α-laktucerol, euphol, senyawa damar (Julianus., et al.2011). Tanaman
Euphorbia tirucalli dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Euphorbia
Spesies : Euphorbia tirucalli (Robins, 2003).
5
Gambar 1. Morfologi tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli).
Soen (1994), menyatakan getah pada tanaman patah tulang yang berasal dari
potongan dahan dan ranting mengandung triterpen, setelah dilakukan pemurniaan
dengan cara kromatografi kolom. Triterpen ini sangat merusak lapisan lendir dan
apabila mengenai mata bisa menyebabkan kebutaan. Namun, justru sifat toksik inilah
yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat untuk berbagai penyakit kulit
seperti obat luar untuk kutil, kapalen, mengeluarkan duri yang tertingal di kulit, tahi
lalat yang membesar. Absor (2006), menyatakan ranting patah tulang mengandung
alkaloid, saponin dan tanin setelah di uji dengan fitokimia.
Ranting Euphorbia tirucalli mengandung glikosida, sapogenin dan asam elagat.
Glikosida merupakan senyawa yang terbentuk dari kondensasi dari gugus hidroksil
pada karbon anomerik monosakarida atau residu monosakarida dengan senyawa
kedua yang dapat bukan monosakarida lain (aglikon). Senyawa glikosida ditemukan
dalam sejumlah besar obat serta rempah dan dalam unsur-unsur pembentuk jaringan.
Senyawa aglikon dapat berupa metanol, gliserol, sterol, fenol, atau basa seperti
adenin. Sapogenin merupakan bagian aglikon dari saponin yang diperoleh dengan
cara hidrolisis. Sapogenin terdiri struktur terpen atau steroid. Sapogenin ditemukan
dalam tanaman dan salah satunya adalah ginseng. Asam elagat adalah senyawa fenol
alam yang ditemukan dalam bentuk elagitanin pada tanaman. Asam elagat berpotensi
6
sebagai antikanker dan antioksidan. Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat
adalah akar, batang kayu, ranting, dan getahnya. Akar dan ranting dapat digunakan
untuk nyeri lambung, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri syaraf,
wasir, dan sifilis. Batang kayu digunakan untuk sakit kulit, kusta, dan kaki dan tangan
mati rasa (Dalimartha 2003). Struktur senyawa-senyawa yang terkandung dalam
ranting Euphorbia tirucalli dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia senyawa sapogenin, glikosida dan asam elagat.
b. Jaringan Kulit
Kulit adalah suatu jaringan pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Struktur
kulit tersusun atas 2 lapis yaitu epidermis dan dermis. Kedua lapisan ini bersama-
sama membentuk membran yang sangat erat melekat yang terletak diatas lapisan
jaringan ikat longgar yaitu lapisan subkutan mempunyai banyak lemak dan
menghubungkan kulit dangan struktur yang lebih dalam.
7
1. Epidermis
Epidermis adalah lapisan terluar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari
epitel berlapis gepeng, bertanduk, mengandung sel melanosit, lagerhans dan sel
merkel. Fungsi utamanya adalah sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis
vitamin D dan sitoksin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan
pengenalan alergen (sel lagerhans) (Perdanakusuma, 2007). Epidermis mempunyai
melanocytes yang membuat melanin dan memberikan warna pada kulit. Fungsi pada
lapisan epidermis adalah melindungi dari masuknya bakteri, toksin, untuk
keseimbangan cairan yaitu menghindari pengeluaran cairan secara berlebihan
(Suriadi, 2004). Genester (1994), menyatakan epidermis dapat berperan dalam
mekanisme penyembuhan karena epidermis pada lapisan luar membentuk selaput
yang terdiri atas sel-sel mati, lapisan tanduk atau stratum korneum, yang berisi
protein keratin dan campuran kompleks lipid.
2. Dermis
Dermis atau korium adalah lapisan tebal jaringan ikat tempat melekatnya
epidermis dan lapisan terdalamnya melanjutkan diri ke jaringan subkutan yang berisi
lemak tanpa suatu batas yang jelas. Dermis terletak dibawah epidermis dan dibatasi
oleh lamina basalis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3
mm (Perdanakusuma, 2007). Suriadi (2004), menyatakan lapisan dermis lebih tebal
dari pada lapisan epidermis. Fungsi utamanya sebagai penyokong epidermis. Lapisan
dermis strukturnya lebih kompleks dan terdapat dua lapisan bagian superficial
papillary dan bagian dalam reticular dermis.
Regenerasi merupakan proses penyembuhan dari sel parenkim terjadi dengan
mengganti sel yang rusak dengan sel yang baru dan sama sehingga fungsi tubuh atau
jaringan akan pulih kembali dengan sempurna. Sedangkan regenerasi secara fisiologi
disebut juga dengan sel labil karena pada proses ini sel yang pada saat tertentu
mengalami nekrosis tetapi akan mengalami pembaharuan yang terjadi secara periodik
dan sel akan terganti dengan sel yang sama (Sudiono., et al. 2003).
8
Gambar 3. Histologi kulit (Somantri, 2007)
Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari
elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi
mikroorganisme patogen. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan
cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer
mengalami proses keseimbangan melalui keringat, paru-paru dan mukosa bukal.
Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila
temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh akan
mengurangi temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal
kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun,
pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan
panas (Perdanakusuma, 2007).
c. Proses penyembuhan luka sayat
Perdanakusuma (2007), menyatakan penyembuhan luka adalah suatu bentuk
proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam
9
proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel
yang bertanggung jawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara
alami akan mengalami fase-fase seperti dibawah ini:
1. Fase inflamasi
Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Setelah terjadinya
luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi
hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah.
Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi
Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived
Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan
fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi
vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit
akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1)
yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi fibroblas
untuk mensintesis kolagen (Perdanakusuma, 2007).
Pada fase inflamasi terjadi proses angiogenesis, dimana pembuluh-pembuluh
darah yang baru mulai tumbuh dalam luka injuri dan sangat penting peranannya
dalam fase proliferasi. Fibroblas dan sel endothelial mengubah oksigen molekular dan
larut dengan superoxide yang merupakan senyawa penting dalam resistensi terhadap
infeksi maupun pemberian insyarat oxidative dalam menstimulasi produksi growth
factor lebih lanjut. Dalam proses inflamasi adalah suatu perlawanan terhadap infeksi
dan sebagai jembatan antara jaringan yang mengalami injury dan untuk pertumbuhan
sel-sel baru (Suriadi, 2004).
2. Fase proliferasi
Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam luka,
pada fase ini makrofag dan limfosit masih ikut berperan, tipe sel predominan
mengalami proliferasi dan migrasi termasuk sel epithelial, fibroblas, dan sel
endothelial. Proses ini tergantung pada metabolik, konsentrasi oksigen dan faktor
10
pertumbuhan. Dalam beberapa jam setelah injury, terjadi epitelialisasi dimana
epidermal yang mencakup sebagian besar keratin mulai bermigrasi dan mulai
stratifikasi dan deferensiasi untuk menyusun kembali fungsi barrier epidermis. Pada
proses ini diketahui sebagai epitelialisasi, juga meningkatkan produksi extraseluler
matrik (promotes-extracelluler matrix atau singkat ECM), growth factor, sitokin dan
angiogenesis melalui pelepasan faktor pertumbuhan seperti keratinocyte growth
factor (KGF).Pada fase proliferasi fibroblas merupakan elemen sintetik utama dalam
proses perbaikan dan berperan dalam produksi struktur protein yang digunakan
selama rekonstruksi jaringan. Secara khusus fibroblas menghasilkan sejumlah
kolagen yang banyak. Fibroblas biasanya akan tampak pada sekeliling luka. Pada fase
ini juga terjadi angiogenesis yaitu suatu proses dimana kapiler-kapiler pembuluh
darah yang baru tumbuh atau pembentukan jaringan baru (granulasi tissue). Secara
klinis akan tampak kemerahan pada luka. Kemudian pada fase kontraksi luka,
kontraksi disini adalah berfungsi dalam memfasilitasi penutupan luka (Suriadi, 2004).
Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka
mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa
perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di
matrik jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari
jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi)
serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin,
dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru
(Shukla., et al. 1999).
3. Fase maturasi
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan
luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen, kontraksi luka dan
pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam
keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Akhir dari
penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80%
dari kulit normal (Perdanakusuma, 2007).
11
Pada fase maturasi atau remodeling yaitu banyak terdapat komponen matrik.
Komponen hyaluronic acid, proteoglycan, dan kolagen yang berdeposit selama
perbaikan untuk memudahkan perekatan pada migrasi seluler dan menyokong
jaringan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara bertahap dan bertambah tebal
kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan sepanjang garis luka. Kolagen
menjadi unsur yang palin utama pada matrik. Serabut kolagen menyebar dengan
saling tertarik dan menyatu, berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan.
Remodeling kolagen selama pembentukan skar terjadi pada sintesis dan katabolisme
kolagen secara terus menerus (Suriadi, 2004).
Peranan senyawa sapogenin pada proses penyembuhan luka sayat tikus putih.
Beberapa sapogenin bekerja sebagai antimikroba (anti-bakteri dan anti virus)
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, kadar gula dalam darah, mengurangi
penggumpalan darah, dan sapogenin juga bermanfaat mempengaruhi pembentukan
kolagen (tahap awal perbaikan jaringan) yaitu dengan menghambat produksi jaringan
luka yang berlebihan (Setyoadi dan sartika, 2010). Kandungan senyawa sapogenin
yang terkandung dalam getah merangsang pembentukan sel epitel yang baru dan
mendukung proses re-epitelisasi, karena semakin cepat proses re-epitelisasi maka
semakin cepat pula berkurang ukuran luka sehingga mempersingkan proses
penyembuhan luka (Prasetyo., et al. 2010). Untuk lebih rinci dijelaskan pada gambar
4. Diagram alur penyembuhan luka sayat dengan senyawa sapogenin.
Gambar 4. Diagram alur penyembuhan luka sayat dengan senyawa sapogenin.
Senyawa sapogenin yang
terkandung pada tanaman
patah tulang
Mempersingkat
penyembuhan luka sayat
Terjadi proses re-
epitelisasi
Merangsang
pembentukan sel
epitel yang baru
Memacu pertumbuhan
kolagen
12
B. Kerangka Berfikir dan Hipotesis
a. Kerangka Berfikir
Gambar 5. Alur kerangka berfikir penelitian.
b. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diajukan hipotesis bahwa ekstrak batang
patah tulang dalam bentuk salep dapat mempercepat menyembuhkan luka sayat.
Tikus dilukai dengan
menyayat bagian punggung
Indikator dengan melihat tidak
adanya eritema, pembengkakan
dan luka menutup.
Senyawa sapogenin
Mempercepat penyembuhan
luka sayat.
Ekstrak dari batang
tanaman patah tulang
Regenerasi sel dengan cara
merangsang pembentukan sel
epitel yang baru dan mendukung
proses re-epitelisasi.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Biologi Universitas Negeri
Semarang selama 6 bulan dari bulan Januari – Juni 2014.
B. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar
yang dilukai pada bagian punggung. Sampel yang digunakan adalah 20 ekor tikus
putih jantan dengan umur 2 bulan dan berat badan kira-kira 150 gr - 200 gr dari LPPT
Farmasi UGM.
C. Variable Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi ekstrak batang patah
tulang dengan vaselin dosis 5%, 10%, 20% dan Povidone Iodine 10%.
2. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah lama penyembuhan luka dengan
indikator tidak adanya eritrema, tidak adanya pembengkakan, dan luka menutup.
3. Variabel kendali
Variabel kendali dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, jenis
pakan dan ukuran kandang.
D. Rancangan Penelitian
Menggunakan penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) karena sampel yang digunakan relatif sama (homogen) dari aspek umur dan
berat badan (Gomes, 1995). Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dengan 5 kali
ulangan, dimana setiap ulangan berisi 1 ekor tikus putih jantan. Pada kelompok K1
dengan perlakuan Povidon Iodine 10% sebanyak 2 tetes, PI dengan salep dosis 5%,
14
PII dengan salep dosis 10% dan PIII dengan salep dosis 20% (Modifikasi dari
Suratman., et al. 2004 ).
E. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian dapat dilihat. Pada Tabel 2. Alat
yang digunakan untuk membuat salep, Tabel 3. Alat yang digunakan untuk menyayat
tikus putih dan Tabel 4. Bahan yang digunakan pada saat penelitian.
1. Alat
Tabel 2. Alat yang digunakan untuk pembuatan salep.
No Nama alat Kegunaan
1. Sarung tangan Memegang tikus
2. Alat gelas Mencampur ekstrak dan vaselin
3. Tempat berbahan
plastic
Membuat ekstrak
4. Saringan Menyaring ekstrak
5. Hotplat Membantu mencampur vaselin dan
ekstrak
6. Timbangan analitik Menimbang bahan buat salep
7. Oven Mengeringkan ekstrak
8. Mortar dan penggerus Menghaluskan ekstrak
9. Pengaduk Mengaduk vaselin dan ekstrak
10. Blander Menghaluskan batang patah tulang
11. Kandang Menempatkan tikus
Tabel 3. Alat yang digunakan untuk menyayat tikus putih
No. Nama alat Keterangan
1. Gunting Mencukur rambut punggung tikus putih
2. Mata pisau (scapel steril) Membuat luka pada punggung tikus
3. Sarung tangan Memegang tikus
4. Kamera digital Memfoto luka sayat
5. Cuttonbud Mengoleskan sediaan
6. Masker Menutup mulut
15
2. Bahan
Tabel 4. Bahan yang digunakan pada penelitian.
No. Nama bahan
1. Alkohol 70 %
2. Vaselin
3. Poviodin Iodine 10%
4. Tikus
5. Pakan
6. Minum
7. Ekstrak batang patah tulang
F. Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan
a. Pembuatan ekstrak batang patah tulang
Pada penelitian ini pembuatan ekstrak batang patah tulang dengan mengambil
batang patah tulang yang masih muda dan dikering anginkan pada ruangan yang tidak
terkena sinar matahari langsung. Batang patah tulang yang sudah kering di blender
untuk mempermudah dalam mengekstrak, setelah itu bubuk ekstrak diberi alkohol 70
% sebagai pelarut dan didiamkan selama 2 hari untuk terjadinya homogenitas ekstrak.
Setelah 2 hari ekstrak disaring dan di oven dengan suhu 40 0C. Bubuk ekstrak yang
sudah kering dihaluskan dengan mortar dan penggerus kemudian disaring, ekstrak
yang sudah halus dicampur dengan vaselin yang dipanaskan untuk mempermudah
pencampuran ekstrak dengan vaselin, setelah ekstrak dan vaselin tercampur
didinginkan dan salep dari ekstrak batang patah tulang dapat digunakan untuk
penelitian.
b. Pembuatan salep dengan ekstrak batang patah tulang
Pembuatan salep ekstrak batang patah tulang dengan konsentrasi perbandingan
yang sesuai dengan prosedur penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.
16
Tabel 5. Formula salep dari tanaman patah tulang
Jenis Bahan (gram)
5% 10% 20% PI*
Ekstrak patah tulang 1,5 3 6 2 tetes
Vaselin 28,5 27 24
Keterangan : * : Poviodine Iodine 10%
2. Tahap pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan dimulai dengan menyiapkan 20 ekor tikus putih jantan.
Yang dibagi secara acak menjadi 4 kelompok dengan masing-masing kelompok
terdiri dari 5 ekor. Tikus putih ditempatkan dengan kandang individu dan diaklimasi
selama 5 hari. Perlakuan penelitian secara rinci seperti dibawah ini.
a. Pengelompokan hewan coba
1) 20 ekor tikus putih dibagi menjadi 4 kelompok setiap kelompok terdiri dari
5 ekor. Masing-masing kelompok disebut kelompok K1, PI, PII, PIII, sesuai
dengan matrik penelitian (Tabel 1).
2) Tikus ditempatkan kandang individu dengan diberikan makan dan minum
secara adlibitum.
3) Punggung tikus dilukai dengan mata pisau (scalpel) sepanjang 1 cm.
4) Luka sayat pada punggung tikus diolesi dengan Povidon Iodine 10% dan
salep, sesuai dengan matrik penelitian.
5) Perlakuan diberikan sampai luka dinyatakan sembuh.
6) Pengamatan dilakukan 2x/hari pada pagi dan sore dan mendokumentasikan
dengan camera digital.
b. Prosedur pengujian efek penyembuhan luka sayat
Rambut tikus dibersihkan sampai bersih kemudian dicukur bagian
punggungnya dan dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian disayat dengan
panjang 1 cm dengan mata pisau (scalpel). Luka yang terjadi diolesi dengan
sediaan uji (salep ekstrak batang patah tulang). Hari berikutnya mengamati dan
17
mendokumentasikan kondisi luka sayat. Dilakukan 2x/hari sampai luka sembuh
(bila luka sudah tertutup dengan jaringan baru) atau dengan adanya indikator
tidak adanya eritema, pembengkakan dan luka menutup.
18
Gambar 6. Alur penelitian.
20 ekor tikus putih jantan
Poviodin
Iodin 10%
5% 10% 20%
Observasi 2x/hari
Luka menutup/ dikatakan
sembuh :
Eritema
Bengkak
Luka menutup
Data di analisis secara
deskriptif
Dilukai dengan sayatan
pada punggung
Ditempatkan pada kandang
individual
Di bagi 4 kelompok
Ekstrak batang
patah tulang
19
G. Metode Analisis Data
Untuk mengetahui efektifitas salep ekstrak batang patah tulang pada
penyembuhan luka sayat tikus putih data dianalisis dengan cara deskriptif dengan
melihat tidak adanya eritema, pembengkakan dan luka menutup pada luka sayat.
Luka sayat dikatakan sembuh apabila luka tertutup oleh jaringan baru.
20
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian berupa lama waktu yang menunjukan tahapan luka yang
ditunjukan pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengamatan penyembuhan luka sayat pada hari ke-1 sampai hari ke-13 pasca
pemberian perlakuan.
Kel. Ulangan Penyembuhan luka (Hari)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
K1 1
2
3
4
5
PI 1
2
3
4
5
PII 1
2
3
4
5
PIII 1
2
3
4
5
Keterangan :
: Eritema * : Pembengkakan
: Luka mulai menutup : Luka menutup
Penutupan luka mulai hari ke-7, proses-proses penyembuhan luka dilihat dari
eritema atau kemerahan, pembengkakan dan luka mulai menutup. Tabel diatas
menunjukkan bahwa pemberian salep dari ekstrak batang patah tulang dengan dosis
21
5% memberikan efek penutupan luka sayat paling cepat pada hari ke-8, sedangkan
paling lama penyembuhan luka sayat pada hari ke-10 dari ke-5 ulangan. Dosis 10%
memberikan efek penutupan luka paling cepat pada hari ke-8, sedangkan paling lama
penyembuhan luka pada hari ke-9. Dosis 20% memberikan efek penutupan luka
paling cepat pada hari ke-7, sedangkan penyembuhan luka sayat paling lama pada
hari ke-13, dan pada perlakuan kontrol positif dengan povidon iodine 10%
memberikan efek penutupan luka paling cepat pada hari ke-7, sedangkan
penyembuhan luka sayat paling lama pada hari ke-13.
Gambar 7. Gambaran luka sayat tikus putih pada hari ke-7 pasca
perlakuan.
Keterangan :
A : Awal sayatan C : Pembengkakan
B : Eritema D : Luka menutup
Gambar diatas menjelaskan bahwa tahapan penyembuhan luka sayat yaitu
dilihat dari (A) mulai penyayatan pada tikus putih, (B) setelat perlakuan dengan dosis
salep 5%, 10%, 20% dan povidon iodine 10% terjadi eritema, (C) setelah terjadinya
A
C D
B
22
eritema maka luka sayat mengalami pembengkakan, (D) dan selanjutnya akan terjadi
penutupan luka dengan adanya jaringan baru pada luka sayat.
B. Pembahasan
Ekstrak batang patah tulang mengandung senyawa glikosida, sapogenin dan
asam elagat (Dalimartha, 2003). Pada penelitian Absor (2006) menyatakan bahwa
ranting patah tulang mengandung senyawa alkaloid, sapogenin dan tannin setelah di
uji dengan fitokimia. Sapogenin bermanfaat untuk mempengaruhi kolagen (tahap
awal perbaikan jaringan) dengan menghambat produksi jaringan luka yang berlebihan
(Setyoadi dan Sartika, 2010). Peranan senyawa sapogenin pada penyembuhan luka
sayat tikus putih yaitu sebagai antimikroba (anti-bakteri dan anti virus) dimana
senyawa sapogenin meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengoptimalkan kadar
gula dalam darah dan mengurangi penggumpalan darah. Senyawa sapogenin juga
membantu merangsang pembentukan sel epitel yang baru dan mendukung proses re-
epitelisasi, karena semakin cepat proses re-epitelisasi maka semakin cepat proses
penyembuhan luka (Prasetyo., et al. 2010).
Selain sapogenin senyawa tannin juga berperan dalam proses penyembuhan
luka sayat tikus putih karena, tannin bermanfaat sebagai astrigen dimana astrigen
akan menyebabkan permeabilitas mukosa akan berkurang dan ikatan antar mukosa
menjadi kuat sehingga mikroorganisme dan zat kimia iritan tidak dapat masuk ke
dalam luka (Suprapto, 2012). Tannin berperan menghambat hipersekresi cairan
mukosa dan menetralisir protein inflamasi. Ajizah (2004), menyatakan bahwa
senyawa tannin mengandung senyawa anti-bakteri dimana senyawa tersebut
membantu mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga menghambat
permeabilitas bakteri untuk berkembang.
Parameter pada penelitian ini yaitu dengan melihat adanya eritema,
pembengkakan dan luka menutup. Kemerahan (eritema) merupakan hal pertama yang
terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Pada saat reaksi peradangan timbul,
23
terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga
lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal, dan kapiler merenggang dengan
cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut juga hiperemia atau kongesti,
penyebab warna merah lokal karena peradangan akut. Menurut Argamula (2008),
warna merah pada luka tikus merupakan hasil dari suatu peradangan terhadap luka.
Reaksi ini berupa vasokonstriksi dari pembuluh darah yang segera diikuti oleh
vasodilatasi. Adanya gumpalan darah merupakan reaksi platelet yang teraktivasi dan
protein fibrinogen yang banyak dikeluarkan oleh pembuluh darah. Platelet akan
teraktivasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang akan menghentikan
hemoraghi dan akan terlihat berupa gumpalan darah.
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian dari 20 ekor tikus putih luka
sayat terlihat eritrema pada hari ke-1 sampai hari ke-4 setelah dilakukan perlakuan
dengan Povidon Iodine 10% dan salep dengan dosis 5%, 10% dan 20%. Akan tetapi
pada hari ke-9 dosis salep 5% dan 10% ke-5 tikus tidak mengalami eritrema.
Suprapto (2012), menyatakan bahwa senyawa tannin yang mampu menghambat
hipersekresi cairan mukosa dan menetralisir protein inflamasi. Tannin memiliki
afinitas terhadap protein sehingga dapat terkonsentrasi pada area luka.
Pembengkakan terjadi pada hari ke-1 sampai ke-4, dimana luka sayat masih
mengalami eritema. Menurut Luviana (2009), pembengkakan disebabkan hiperemi
dan sebagaian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi
darah ke jaringan-jaringan interstitial.
Sperling (1984), menyatakan bahwa semua senyawa kimia mempunyai
kecenderungan untuk menghasilkan beberapa reaksi ketika terdapat kontak dengan
kulit. Respon dapat di sebabkan oleh aberasi fisik oleh partikel. Walaupun sebentar
waktu kontaknya dan sedikit dalam tingkatannya. Interaksi kimia dari substansi asing,
cairan atau solid dengan kulit juga dapat menimbulkan respon pada kulit. Hal ini
mengakibatkan tingkatan yang bervariasi dari eritem dan edema pada sisi kontak. Jika
respon ini terjadi, maka menunjukkan substansi kimia tersebut menekan stratum
24
korneum dan masuk ke lapisan epidermis dari kulit. Penyerapan dapat terjadi melalui
sel epidermis.
Pada penelitian ini luka menutup terlihat dari hari ke-7 pada perlakuan Povidon
iodine tikus ke-1 dan salep dosis 20% tikus ke-5, sedangkan ke-4 tikus yang lain
masih mengalami kemerahan dan pembengkakan. Pada perlakuan salep dosis 5% dan
10% luka sayat sudah ada yang mengalami penutupan luka akan tetapi belum
menutup dengan sempurna. Dari ke 4 perlakuan luka sayat paling cepat menutup
sempurna yaitu pada perlakuan salep dosis 10% dimana ke-5 tikus luka sayat sudah
sembuh sempurna pada hari ke-9, kemudian diikuti oleh perlakuan salep dosis 5%
dimana luka sayat sembuh pada hari ke-10 dari ke-5 tikus putih. Sedangkan luka
sayat sembuh paling lama hari ke-13 pada perlakuan povidon Iodine 10% dan salep
dosis 20%, meskipun pada perlakuan Povidon Iodine 10% dan salep dosis 20% ada
salah satu tikus yang sudah sembuh. Menurut Argamula (2008), mengatakan bahwa
proses luka menutup setelah luka mengalami proses lepasnya keropeng. Hal ini
menandakan sudah terjadi pertumbuhan sel-sel baru dengan merapatnya tepi luka.
Proses keropeng terlepas dimana jaringan dibawahnya sudah kering dan tepi-tepi luka
mulai tertarik ke tengah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian salep ekstrak batang patah tulang
yang diberi perlakuan dengan mengoleskan 2x/hari pada bagian punggung tikus putih
pada jam 7 pagi dan jam 5 sore dengan konsentrasi dosis salep 5%, 10%, 20% dan
povidon iodine 10% sebagai kontrol positif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
dengan dosis 10% salep ekstrak batang patah tulang mampu mempercepat
penyembuhan luka sayat tikus putih. Hal ini dikarenakan ekstrak batang patah tulang
mengandung sapogenin yang mampu mengurangi permeabilitas lapisan mukosa
sehingga ikatan antar sel pada lapisan mukosa lebih luas. Lapisan menjadi besar bagi
mikroorganisme dan zat-zat kimia iritan tidak dapat masuk ke dalam luka. Selain
senyawa sapogenin juga terdapat senyawa tannin yang mampu memberikan efek pada
penyembuhan luka di dukung oleh Suprapto (2012), menyatakan bahwa salep ekstrak
methanol dan serbuk daun sosor bebek pada dosis 10 % merupakan dosis paling
25
optimal dalam mempercepat waktu penyembuhan luka sayat. Senyawa tannin
berfungsi sebagai astringen dalam proses penyembuhan luka.
26
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa salep yang mengandung
ekstrak batang patah tulang (Euphorbia tirucalli) pada dosis 10% mampu
mempercepat penyembuhan luka sayat tikus putih.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah di laksanakan, maka diajuakan saran
sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan informasi perlu diadakan penelitian lebih lanjut terkait
efektifitas ekstrak batang patah tulang terhadap perlakuan yang lain seperti
luka bakar.
2. Perlu dikaji penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi yang bervariasi dan di
uji cobakan pada hewan yang berbeda.
27
DAFTAR PUSTAKA
Absor U. 2006. Aktifitas Antibakteri Ranting Patah Tulang (Euphorbia tirucalli
Linn) (Skripsi). Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertania Bogor.
Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun
Psidium Guajava L. Bioscientiae. 1 (1).
Argamula G. 2008. Aktivitas Sediaan Salep Batang Pohon Pisang Ambon (Musa
paradisiaca var sapientum) Dalam Proses Penyembuhan Luka Pada Mencit
(Mus musculus albinus) (Skripsi). Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Jakarta: Pustaka Bunda.
Ganeser F. 1994. Textbook of Histology. Munksgaard, Copenhagen, Denmark.
Gates dan Holloway. 2002. Economic Effectiveness Modern Versus Traditional
dressing. Journal Of Wound Care. 27 (9).
Gomez KA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian Edisi kedua.
Filipina: The International Rice Research Institute.
Julianus K, Diah IDA, Supratman T, Harwiyadin K, Yermias K, Syamsir S dan
Moody CK. 2011. Tumbuhan Obat Tradisional Di Sulawesi Utara Jilid 1.
Manado. ISBN: 978-602-98144-1-5
Luviana LAI. 2009. Pengaruh Pemberian Getah Tanaman Patah Tulang Secara
Topikal Terhadap Gambaran Histopatologis dan Ketebalan Lapisan Keratin
Kulit (Skripsi). Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Negeri Semarang.
Mursito B, Prihmantoro H. 2011. Tanaman Hias Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Perdanakusuma D. S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka.
Surabaya: Airlangga University School of Medicine.
Prasetyo BF, Wientarsih I, Priosoeryanto BP. 2010. Aktivitas Sediaan Gel Ekstrak
Batang Pohon Pisang Ambon Dalam Proses Penyembuhan Luka Pada
Mencit. Jurnal Veteriner 11 (2): 70-73.
28
Purbani. 2009. Menguat Khasiat Jarak Pagar. Jakarta: PT. Argo Media Pustaka.
Rahayu M, Sunarti S, Sulistiarini D, Prawiroatmodjo S. 2006. Pemanfaatan
Tumbuhan Obat Secara Tradisional Oleh Masyarakat Lokal Di Pulau
Wawonii Sulawesi Tenggara. Jurnal Biodiversitas 7 (3): 245-250.
Setyoadi dan Sartika DD. 2010. Efek Lumatan Daun Dewa (Gynura segetum) Dalam
Memperpendek Waktu Penyembuhan Luka Bersih Pada Tikus Putih. Jurnal
Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nurcing) 5 (3): 127-
135.
Shukla A, Rasik AM, Jain GK, Shankar R. 1999. In Vitro and In Vivo Wound
Healing Activity of Asiaticoside Isolated from Cantella Asiatica. Journal of
Ethnopharmacology 65, 1-11
Soen. 1994. Isolasi Triterpen dari Euphorbia tirucalli L (Skripsi). Jakarta: Fakultas
Farmasi UNIKA WIDMAN.
Sperling F. 1984. Toxicologi: Principal and Practice. New York: Jhon Willey &
Sons, Ins.
Sudiono J, Kurniadi B, Hendrawan A, Djimantoro B. 2003. Ilmu Patologi. Jakarta:
EGC.
Sugiarto A. 2008. 273 Ramuan Tradisional untuk Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Suprapto AK. 2012. Efek Salep Ekstrak Metanoldan Salep Serbuk Daun Sosor Bebek
(Kalanchoe pinnata (Lamk)) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat Pada
Mencit (Karya Tulis Ilmiah). Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Maranatha.
Suratman, Sumiwi AS dan Gozali D. 2004. Pengaruh Ekstrak Antanan dalam
Bentuk Salep, Krim dan Jelly terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Jurnal
Cermin Kedokteran 108,
Suriadi. 2004. Perawatan Luka Edisi 1. Jakarta: CV. Sagung Seto.
29
30
LAMPIRAN 1
1. Gambar dokumentasi penelitian.
A. Gambar penutupan luka pada Povidon Iodine 10%.
Hari ke-1 Hari ke-2
Hari ke-3 Hari ke-4
Hari ke-5 Hari ke-6
Hari ke-7
Keterangan :
Penutupan luka pada perlakuan Povidon iodine 10% luka menutup paling
cepat pada hari ke-7 sedangkan paling lama pada hari ke-13 dari ke-5 tikus.
31
B. Gambar penutupan luka pada salep dosis 5%
Hari ke-1 Hari ke-2
Hari ke-3 Hari ke-4
Hari ke-5 Hari ke-6
Hari ke-7 Hari ke-8
Keterangan :
Penutupan luka pada perlakuan salep dosis 5% paling cepat luka meutup pada
hari ke-8 sedangkan paling lama pada hari ke-10 dari ke-5 tikus.
32
C. Gambar penutupan luka pada salep dosis 10%
Hari ke-1 Hari ke-2
Hari ke-3 Hari ke-4
Hari ke-5 Hari ke-6
Hari ke-7 Hari ke-8
Keterangan :
Penutupan luka pada perlakuan salep dosis 10% luka menutup paling cepat pada
hari ke-8 sedangkan paling lama pada hari ke-9 dari ke-5 tikus.
33
D. Gambar penutupan luka pada salep dosis 20%
Hari ke-1 Hari ke-2
Hari ke-3 Hari ke-4
Hari ke-5 Hari ke-6
Hari ke-7
Keterangan :
Penutupan luka pada perlakuan salep dosis 20% luka menutup paling cepat pada
hari ke-7 sedangkan paling lama hari ke-13 dari ke-5 tikus.
34
LAMPIRAN 2
1. Gambar alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
a. Alat yang digunakan
Toples Saringan
Timbangan Analitik Hotplate
Timbangan Blander
35
Alat cukur dan scalpel cuttonbud dan gunting
b. Bahan yang digunakan
Povidone iodine Salep
Tikus Ekstrak Patah tulang
27
DATA PENGAMATAN
Hari/tanggal
11-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Hari/tanggal
11-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
28
Hari/tanggal
12-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Hari/tanggal
12-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
29
Hari/tanggal
13-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Hari/tanggal
13-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
30
Hari/tanggal
14-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak * * * * *
Luka
menutup
Hari/tanggal
14-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak * * * * *
Luka
menutup
Keterangan :
: Kemerahan : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
31
Hari/tanggal
15-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak * * * * * * * * * * * * * * *
Luka
menutup
Hari/tanggal
15-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak * * * * * * * * * * * * * * *
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
32
Hari/tanggal
16-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak * * * * * *
Luka
menutup
Hari/tanggal
16-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak * * * * * *
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Sedikit bengkak : Luka menutup
33
Hari/tanggal
17-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak * * * * *
Luka
menutup
Hari/tanggal
17-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema * *
Bengkak * * * * *
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
34
Hari/tanggal
18-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak * * *
Luka
menutup
Hari/tanggal
18-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak * * *
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
35
Hari/tanggal
19-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak * *
Luka
menutup
Hari/tanggal
19-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak * *
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
36
Hari/tanggal
20-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak * *
Luka
menutup
Hari/tanggal
20-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak * *
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
37
Hari/tanggal
21-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Hari/tanggal
21-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
38
Hari/tanggal
22-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Hari/tanggal
22-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak
Luka
menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
39
Hari/tanggal
23-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Pagi
Jam 07.00
Eritema
Bengkak
Luka menutup
Hari/tanggal
23-02-2014
Pengamatan Perlakuan
Poviodin Iodin 10% Salep 5% Salep 10% Salep 20%
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Sore
Jam 05.00
Eritema
Bengkak
Luka menutup
Keterangan :
: Eritema : Luka mulai menutup
* : Bengkak : Luka menutup
27
28