Upload
phamminh
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FUNGSI UPACARA PAMALI MANGGODO DALAM AKTIVITAS
PERTANIAN TRADISIONAL DI DESA SAMBORI
KEC. LAMBITU KAB. BIMA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada
Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
OLEH:
SARDANI
E511 08 277
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul skripsi : Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam Aktivitas
Pertanian Tradisional di Desa Sambori Kec. Lambitu
Kab. Bima
Nama : Sardani
NIM : E 511 08 277
Telah diperiksa dan disetujui pada ujian skripsi
Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS Dra. Hj. Nurhadelia M.Si
NIP. 19501125 198003 1 001 NIP. 19600913 198702 2 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Antropologi FISIP UNHAS
DR. Munsi Lampe, MA NIP. 19561227 198612 1 001
iii
HALAMAN PENERIMAAN
Nama : Sardani
NIM : E 511 08 277
Judul Skripsi : Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam Aktivitas
Pertanian Tradisional di Desa Sambori Kec.
Lambitu Kab. Bima
Telah diterima oleh Panitia Ujian Sarjana Program Studi Antropologi
Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar
untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana.
Panitia Ujian
Ketua : Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA (………………….)
Sekertaris : Dr. Tasrifin Tahara, M.Si (………………….)
Anggota : Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS (………………….)
Dr. Munsi Lampe, MA (………………….)
Dr. Ansar Arifin, MS (………………….)
Dra. Hj. Nurhadelia FL, M.Si (………………….)
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam Aktivitas Pertanian Tradisional
di Desa Sambori Kec. Lambitu Kab. Bima” ini sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada Jurusan Antropologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Salawat
dan salam pada junjungan besar nabi Muhammad SAW. sebagai utusan-
Nya yang membawa cahaya petunjuk bagi seluruh umat.
Penulis menyadari dan mengakui penyelesaian skripsi ini tidak
dapat tercapai tanpa bantuan dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penulis merasa perlu
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar beserta staf-staf
yang melaluinya penulis mengurus segala keperluan dalam
penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih atas
pelayanan yang diberikan.
2. Dr. Munsi Lampe, MA selaku Ketua Jurusan Antropologi Program
Studi S1 Universitas Hasanuddin yang melalui kritikan-kritikan
beliau membantu penulis menyadari kelemahan dan kekurangan
yang ada.
v
3. Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS sebagai Pembimbing I dan Dra.
Nurhadelia FL, M.Si selaku Pembimbing II yang sama-sama telah
mengarahkan penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Antropologi Universitas Hasanuddin yang telah
memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis melalui
kegiatan-kegiatan akademik serta diskusi-diskusi di luar bangku
perkuliahan.
5. Aparat pemerintah pada umumnya se-Kabupaten Bima dan
khususnya di Desa Sambori, terkhusus lagi kepada Kepala Desa
Sambori, Bapak Muhtar, SE yang memberikan sambutan hangat
kepada penulis.
6. Rukiah Syam S.Sos, ibunda tercinta dengan segala kesabaran dan
jasa beliau yang amat besar dalam kehidupan penulis dan Ir.
Usman A. Gani, ayahanda yang juga tidak lepas dari partisipasi
kritik dan saran beliau terhadap tulisan ini dari awal hingga akhir.
Penulis merasa bersyukur sekaligus merasa bangga menjadi anak
yang dikaruniakan kepada kedua pasangan tersebut. Semoga Allah
SWT membuka pintu-pintu ramhmat dan ampunan-Nya untuk
mereka serta mendapatkan kebahagian semasa di dunia maupun di
akhirat kelak.
7. Saudara-saudara yang ku sayangi, Iwan Satyadi, Radius Adi
Saputra dan Mahardalis. Semoga kalian hidup bahagia dan
senantiasa memperoleh rezki dari Allah SWT.
vi
8. De Judin, kakanda yang banyak berjasa membantu peneliti selama
di lapangan. Tanpa beliau, penulis merasa amat kesulitan dalam hal
pengumpulan data.
9. Sahabat-sahabat yang menyempatkan diri untuk menemani peneliti
ke lokasi penelitian, Sofian, Roger, Masnoen dan Aron.
10. Teman-teman dan Kerabat Antropologi yang juga memberikan
dukungan serta inspirasi bagi penulis dalam setiap kesempatannya.
Akhir kata, penulis menyadari kekurangan-kekurangan yang ada
dalam setiap langkah dan tahap penyusunan skripsi ini. Karena itu penulis
membuka diri menerima segala bentuk kritik dan saran yang berkenaan
dengan tulisan ini.
Semoga segala sifat, ucapan, sikap dan tingkah laku penulis tiada
meninggalkan aib, kebencian serta kedengkian dari berbagai pihak.
Adapun jika terdapat kesalahan yang sengaja maupun tidak disengaja,
penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kebaikan yang
dicurahkan kepada penulis mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah
SWT.
Makassar, 28 Agustus 2013
Penulis
vii
ABSTRAK
E51108277. SARDANI. Skripsi ini berjudul “Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam Aktivitas Pertanian Tradisional di Desa Sambori Kec. Lambitu Kab. Bima”. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Penelitian ini mengkaji tentang upacara pamali manggodo sebagai
sebuah upacara dalam bidang pertanian masyarakat Sambori terutama
dari segi proses dan fungsinya terhadap masyarakat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif. Dalam proses pengumpulan
data, peneliti menggunakan teknik studi literature, observasi partisipasi
dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan berpedoman pada
interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya. Analisis data yang
digunakan adalah analisis data kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upacara adat pamali
manggodo merupakan sebuah upacara yang melekat dalam kehidupan
masyarakat Sambori, khususnya dalam ranah pertanian. Upacara ini
didasari oleh kepercayaan masyarakat yang masih dipengaruhi oleh
kepercayaan Animisme sebagai kepercayaan asli dan pengaruh Hindu
yang kuat dari masa kerajaan. Hal ini dapat dilihat dari proses
pelaksanaan upacara yang juga menempatkan sesajen sebagai bentuk
penghormatan masyarakat terhadap dunia gaib.
Kesimpulan akhir dari penelitian ini menunjukkan kepada kita
bahwa upacara adat pamali manggodo muncul sebagai suatu sistem
tindakan yang memiliki fungsi bagi sistem sosial atau bagi masyarakat
Sambori sebagai sarana untuk mempertahankan keberlangsungan
anggotanya dan mencapai ekuilibrium.
viii
ABSTRACT
E51108277. SARDANI. This Thesis Entitled “Function Pamali Manggodo Ceremony in The Traditional Agricultural Activities in the Sambori Village Lambitu District Bima Regency”. Department of Anthropology Faculty of Social and Political Sciences Hasanuddin University.
This research investigate about the pamali manggodo ceremony as
a ritual in the agricultural field of Sambori society especially in terms of the
processes and functions to the community.
The method used in this research is a qualitative research method
with a descriptive type. In the processes of data collection, researcher
used a technique study of literature, participatory observation and in-depth
interview based on the interview guide that had been prepared advance.
Analysis method of data that used is the qualitative data analysis.
The results of research showed that the pamali manggodo is a ritual
that inherent in Sambori public life, especially in the realm of agriculture.
The ceremony is based on the belief of community are still influenced by
Animism as a indigenous belief and influenced by strong Hindu belief of
the Kingdom age. It can be seen from the process of the ceremony which
puts ritual offerings as a form of homage of the unseen world.
The final conclusion of this research shows us that traditional
ceremonies pamali mangodo appears as an action system that has
function for the social system or to Sambori society as a means to maintain
the sustainability of its members and to reach the equilibrium.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................ ii
HALAMAN PENERIMAAN ............................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................ vii
ABSTRACT ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Fokus Masalah ..................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7
D. Tinjauan Konseptual ............................................................ 8
E. Metode dan Teknik Penelitian .............................................. 15
1. Metode Penelitian ........................................................... 15
2. Penentuan Lokasi Penelitian ......................................... 16
3. Teknik Pemilihan Informan ........................................... 17
4. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 17
5. Teknik Analisis Data ....................................................... 19
F. Hambatan Penelitian ............................................................ 19
G. Sistematika Penulisan ......................................................... 20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Fungsi dan Sistem ................................................................ 22
B. Fungsi Upacara .................................................................... 25
C. Fungsionalisme .................................................................... 29
D. Petani dan Karakteristik Pertanian Tradisional ................. 38
x
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI
A. Sejarah Singkat Desa Sambori ........................................... 41
B. Kondisi Geografis ................................................................ 46
C. Demografi ............................................................................. 47
D. Mata Pencaharian Hidup ...................................................... 48
E. Agama dan Sistem Kepercayaan ........................................ 52
F. Kondisi Sosial-budaya ......................................................... 55
G. Pendidikan ............................................................................ 58
H. Kesehatan ............................................................................. 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sistem Pertanian Tradisional .............................................. 62
1. Sistem Pemanfaatan dan Pembukaan Lahan ............... 65
2. Sistem Pengolahan Lahan ............................................. 71
B. Upacara Pamali Manggodo ................................................. 75
1 Asal-usul Upacara .......................................................... 75
2 Unsur-unsur Upacara ..................................................... 77
3 Proses Pelaksanaan Upacara ........................................ 81
C. Fungsi Upacara Pamali Manggodo ..................................... 86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 94
B. Saran ..................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kebutuhan Instrumental Menurut Malinowski ............... 35
Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Sambori .................................... 48
Tabel 3. Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Lambitu
Kabupaten Bima Tahun 2007-2012 .................................. 50
Tabel 4. Produksi Sayur-sayuran Kecamatan Lambitu
Kabupaten Bima Tahun 2012 ........................................... 50
Tabel 5. Jumlah Ternak Penduduk Desa Sambori ........................ 51
Tabel 6. Sarana Keagamaan Desa Sambori .................................. 54
Tabel 7. Prasarana Pendidikan Desa Sambori ............................. 58
Tabel 8. Prasarana Kesehatan ....................................................... 61
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Masjid di Dua Dusun Desa Sambori ............................ 54
Gambar 2. Anak Sekolah Desa Sambori ....................................... 59
Gambar 3. Poskesdes Sambori ...................................................... 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman budaya
dan suku yang patut dibanggakan. Keanekaragaman ini memberikan
warna hidup yang berbeda-beda sebagai tradisi yang mencirikan suku
masing-masing. Pandangan dunia yang berbeda-beda tampak pada
praktek kehidupan sehari-hari baik dari segi ekonomi, sosial budaya
maupun politik. Tidak hanya itu, dari segi geografis, Indonesia juga
memperlihatkan perbedaan (diversitas). Sekian banyak pulaunya, besar
dan kecil, yang tersebar di atas permukaan laut yang luasnya melebihi
seluruh wilayah daratan Amerika Serikat mengakibatkan isolasi budaya,
walaupun budaya dari pulau-pulau yang berbeda di Indonesia itu
mempunyai akar yang sama (Wertheim 1999:1-2).
Kehidupan masyarakat Indonesia sampai sekarang ini telah banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan luar baik dari zaman kolonial atau
sebelumnya. Pengaruh kebudayaan tersebut terutama masih banyak
dilihat pada sistem kepercayaan masyarakat yang mana kepercayaan
tersebut lambat laun dipengaruhi pula oleh kepercayaan lain. Seperti,
misalnya kebudayaan Hindu pada masa kerajaan dulu, memiliki pengaruh
yang amat besar di kalangan masyarakat Indonesia. Unsur-unsur budaya
Hindu diterima terutama pada kalangan menengah atas atau pada
masyarakat istana, sehingga juga mudah diterima oleh masyarakat
2
kalangan menengah dan bawah. Raja-raja pada zaman dahulu
mengundang ahli-ahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana
untuk menjadi konsultan dan penasehat mengenai struktur dan upacara-
upacara keagamaan dan juga mengenai sistem kenegaraan
(Koentjaraningrat, 2010:21). Hal ini menyiratkan bahwa unsur-unsur
kebudayaan luar, terutama pada sistem kepercayaan melekat pada
masyarakat Indonesia hingga pada wilayah praktek keagamaan.
Setiap masyarakat memiliki kepercayaan terhadap apa yang ada di
luar dirinya sebagai sesuatu yang melampaui kekuatan mereka. Kekuatan
semacam ini disebut juga dengan kekuatan supernatural, kekuatan
adikodrati, kekuatan gaib dan lain sebagainya. Pada masyarakat tertentu,
berbagai macam kejadian, seperti bencana alam, wabah penyakit yang
menyerang masyarakat atau lahan pertanian dan berbagai macam
kejadian lainnya diyakini bersumber dari kekuatan supernatural yang
menghuni tempat-tempat tertentu di sekitar mereka. Sehingga, untuk
mencegah terjadinya masalah semacam itu, masyarakat membuat
berbagai macam praktik ritual sebagai bentuk persembahan yang
diarahkan pada sumber atau pemilik kekuatan tersebut. Selain itu,
kepercayaan masyarakat akan kekuatan semacam ini membuat mereka
melakukan berbagai macam permintaan demi keuntungan atau
kesejahteraan dirinya.
Ada pula masyarakat yang menghendaki suatu kekuatan tertentu
yang dapat mereka pergunakan untuk berbagai macam hal di luar
3
“kemampuan normal” manusia. Demikian melalui aneka macam ritual,
kekuatan-kekuatan adikodrati atau supernatural tersebut mendapatkan
bentuk ungkapan publiknya (Eriksen, 2009:354).
Menurut perjalanan sejarah, daerah Asia Tenggara tercatat sebagai
salah satu daerah di mana kepandaian bercocok tanam muncul. Pada
masyarakat Indonesia sendiri tersebar macam-macam kegiatan yang
berhubungan dengan bercocok tanam. Kegiatan bercocok tanam tersebut
juga disertai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masyarakat
sebagai suatu aturan tradisional dengan cara-cara tertentu. Ialah upacara
adat dan ritual khusus mendapat tempat yang penting dalam kebiasaan
bercocok tanam ini yang juga memuat unsur-unsur kepercayaan. Dalam
hal ini, agama atau sistem kepercayaan juga mengejawantah dalam
aktivitas ekonomi masyarakat, atau berdasar atas pernyataan Eriksen tadi,
agama dan kepercayaan tersebut terungkap secara publik dalam kegiatan
bercocok tanam melalui ritual-ritual atau upacara.
Upacara adat tidak hanya menggambarkan sisi kehidupan
masyarakat dengan maksud tertentu saja, misalnya, hanya dengan
maksud ekonomi. Melainkan upacara adat dapat memuat berbagai
macam aspek kehidupan masyarakat, baik itu sosial, ekonomi, politik,
religi dan lain sebagainya.
Seperti halnya masyarakat Dayak di Kalimantan, upacara atau
ritual adat sangat banyak dan beraneka macam ditemukan pada setiap
peristiwa penting menyangkut kehidupan mereka. Khususnya pada
4
persoalan bercocok tanam atau kegiatan berladang, setiap sub suku
memiliki upacara dan ritual masing-masing. Pelaksanaan upacara
merupakan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun dan memuat
unsur kepercayaan yang sangat kental terhadap dunia mistik. Pada tradisi
membuka lahan sebagian masyarakat Dayak bahkan mengenal macam-
macam nama makhluk halus atau roh yang menghuni kawasan hutan
tempat lahan akan dibuka dan roh-roh tersebut juga berbeda-beda sesuai
dengan bentuk tanah yang ada. Dengan adanya makhluk berupa roh
tersebut, kegiatan berladang harus mendapatkan izin dengan
mengadakan ritual dan menyiapkan sesajen (Kusmiran, 2002).
Sama halnya pada masyarakat Dayak, di Bali terdapat banyak
upacara yang erat kaitanya dengan dunia pertanian, salah satunya yakni
Upacara Nagluk Merana. Upacara Nagluk Merana bermaksud untuk
menghindari segala mara bahaya atau gangguan yang menyerang lahan
pertanian atau perkebunan, seperti burung, monyet, lebah, tikus, belalang
sangit, ujung janur mati, dan mereng. Inti upacara ini adalah permohonan
kepada Tuhan agar keseimbangan alam tetap terjaga. Oleh sebab itu,
upacara Nangluk Merana, yang menurut sastra kuno adalah dipercaya
untuk penanggulangan secara 'niskala' atas hama yang datang
menyerang tanaman milik para petani.
Ada pula upacara yang disebut pasola di Sumba yang diadakan
pada bulan Februari atau Maret dalam rangka memohon restu para dewa
agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Di Indramayu, Jawa
5
Barat, dikenal istilah ngarot, yakni upacara yang digelar setiap akhir tahun
atau menjelang masa penggarapan sawah, musim tanam atau musim
penghujan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Di Asahan, Sumatra
Utara, dikenal tradisi bondang yang dilakukan saat musim tanam (buka
bondang) dan musim panen (tutup bondang).
Masih banyak lagi upacara adat yang tetap dipertahankan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai macam ritual yang
berkaitan dengan lahan atau aktivitas pertanian entah itu dimaksud
sebagai ungkapan rasa syukur, permohonan akan keberhasilan atau
pencegahan hama tani dan lain sebagainya.
Di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdapat pula
suatu upacara adat yang terejawantah dalam kehidupan ekonomi
masyarakat, yakni pada aktivitas pertanian. Upacara adat yang dimaksud
dikenal dengan istilah pamali manggodo yang menandakan event khusus
pada saat masyarakat akan membuka lahan untuk bercocok tanam.
Sebagaimana upacara-upacara adat lainnya, pamali manggodo
didasari oleh kepercayaan dan tradisi yang telah melekat sejak lama
dalam kehidupan masyarakat di desa Sambori. Setiap masyarakat
mempunyai alasan tersendiri mengapa mereka masih mempertahankan
adat istiadat yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Namun, pada
umumnya setiap upacara adat memiliki fungsi masing-masing yang dapat
memberikan keuntungan kepada masyarakat. Hal demikian dapat didasari
oleh pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
6
Bagaimanapun, aktivitas pertanian merupakan ranah penting dan
menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Untuk itu, upacara pamali
manggodo memiliki peran yang amat signifikan dalam aktivitas pertanian
masyarakat Sambori.
Mengikuti dasar pemikiran ini penulis mengangkat sebuah
penelitian dengan judul, “Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam
Aktivitas Pertanian Tradisional di Desa Sambori Kecamatan Lambitu
Kabupaten Bima”.
B. Fokus Masalah
Setiap penelitian memiliki fokus masalah yang dijadikan sebagai
arah dalam menjalankan proses penelitian dan membatasi ruang lingkup
pembahasannya. Dalam penelitian ini upacara adat dilihat juga sebagai
ritual (yang pengertiannya akan disebutkan kemudian). Ritual
berhubungan erat dengan kepercayaan dan oleh karena itu, maka
upacara adat yang dimaksud dalam penelitian ini terkait dengan sistem
kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Sambori dalam usaha
menjelaskan fungsinya. Dengan begitu, fokus masalah dalam penelitian
ini dibatasi pada :
a. Bagaimana proses upacara Pamali Manggodo di Desa Sambori
Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima ?
b. Bagaimana fungsi upacara Pamali Manggodo di Desa Sambori
Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima ?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Penelitian ini berangkat dari dua tujuan pokok, yaitu :
a. Untuk menggambarkan proses upacara adat Pamali Manggodo
di Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima.
b. Untuk menjelaskan fungsi upacara adat Pamali Manggodo di
Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima.
2. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh melalui hasil penelitian ini
berdasarkan pada tujuan yang dicapai dan secara umum dibagi
menjadi dua bagian yakni wilayah akadamis dan wilayah praktis :
a. Secara akademis, hasil penelitian diharapkan dapat
memberikan informasi dan menjadi bahan kajian atau menjadi
bahan bandingan yang membahas tentang fungsi upacara adat
khususnya pada aktivitas pertanian masyarakat, terutama di
kalangan mahasiswa antropologi sebagai penggiat kajian
budaya yang menaruh perhatian pada tradisi-tradisi masyarakat
dan atau ritual adat yang berlaku di suatu masyarakat.
b. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
acuan, rujukan atau bahan pertimbangan dalam membuat
keputusan atau kebijakan pembangunan yang dapat
mempengaruhi kepercayaan, norma, adat-istiadat dan
kebudayaan yang berlaku pada masyarakat.
8
D. Tinjauan Konseptual
a. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan produk (hasil ciptaan) masyarakat
manusia. Dengan dan melalui kebudayaan, masyarakat membentuk
kehidupan mereka. Manusia berinteraksi dan terhubung satu dengan
lainnya dengan cara-cara tertentu seturut kebudayaan yang mereka
miliki.
Kebudayaan juga menandakan ciri khas suatu masyarakat,
bahwa apa yang menurut mereka “benar” membuat mereka berbeda
dengan masyarakat lainnya. Namun demikian, kebudayaan memiliki
suatu kesamaan yang berlaku pada setiap masyarakat. Kesamaan
yang berlaku universal ini dapat dilihat dari aksioma dasar
fungsionalisme tentang kebudayaan, yaitu: (a) budaya merupakan
sarana instrumental yang menempatkan manusia pada posisi istimewa
agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan
lingkungannya, (b) budaya merupakan sebuah sistem dari objek,
aktivitas, dan sikap yang bertujuan untuk mecapai sasaran tertentu, (c)
budaya merupakan bagian integral yang setiap unsur saling
tergantung, (d) aktivitas, sikap, dan obyek budaya akan terorganisir ke
dalam institusi, seperti keluarga, klan, politik, pendidikan, dan
sebaginya, (e) dari sudut pandang dinamika budaya, dapat dilihat pula
masing-masing institusi (Endraswara, 2006:101).
9
Bronislaw Molinowski berpendirian bahwa segala aktivitas
kebudayaan itu bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah
kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupannya. Namun, banyak juga aktivitas kebudayaan terjadi
karena kombinasi dari beberapa macam human needs itu
(Koentjaraningrat, 2010: 171).
Kebudayaan tidak hanya sekedar apa yang dimiliki oleh
masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dinamika
kehidupan masyarakat menciptakan berbagai bentuk tindakan yang
seringkali tidak disadari oleh mereka sendiri. Namun, di sinilah sumber
kekuatan yang menunjang keberlangsungan masyarakat. Parsons
menyebut kebudayaan sebagai kekuatan utama yang mengikat
berbagai elemen dunia sosial, atau dalam bahasanya, sistem tindakan
(Ritzer dan Goodman, 2011).
b. Upacara Adat dan Ritual
Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang
terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan
kepercayaan. Upacara adat adalah suatu upacara yang dilakukan
secara turun-temurun yang berlaku dalam suatu masyarakat. Upacara
memuat berbagai praktek ritual di mana proses ritual tersebut
mencerminkan arti yang dapat menjelaskan upacara yang diadakan.
Dalam Wikipedia, disebutkan bahwa “a ceremony is an event of ritual
significance, performed on a special occasion”. Jadi, upacara
10
merupakan ritual penting dalam momen tertentu. Sedangkan ritual
didefinisikan sebagai segi sosial dari agama. Seperti yang dapat kita
lihat dari penjelasan Eriksen berikut :
Bila kita bisa mendefinisikan agama sebagai sistem pemahaman
menyangkut yang adikodrati dan yang sakral, menyangkut kehidupan
sesudah kematian dan seterusnya (lengkap dengan berbagai
implikasi politiknya yang gamblang), maka ritual adalah berbagai
proses sosial yang memberi bentuk kongkret pada pemahaman
dimaksud. Secara sangat umum kita dapat mengatakan bahwa ritual
adalah rupa-rupa peristiwa publik yang terikat pada aturan, yang
dalam satu dan lain cara membuat tematisasi atas relasi antara
ranah duniawi dan ranah spiritual.
(Eriksen, 2009:365).
Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan
dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat
khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti
merupakan pengalaman suci (O‟Dea, 1995:5-36). Pengalaman
tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat dan dipergunakan oleh
manusia untuk menyatakan hubungan dengan alam transendental.
Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan sesuatu yang
umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa
sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna
melaksanakan hubungan atau pertemuan tersebut. Oleh karena itu
upacara ritual diselenggarakan pada waktu yang khusus, tempat yang
11
khusus, perbuatan yang luar biasa dengan dilengkapi berbagai
peralatan ritus yang bersifat sakral.
Menurut Koentjaraningrat (2000: 377-378), ada beberapa unsur
yang terkait dengan pelaksanaan upacara adat, keempat unsur
tersebut terdapat pada setiap macam upacara adat di manapun
berada :
a. Tempat berlangsungnya upacara
Bagi masyarakat bersangkutan, tempat yang digunakan untuk
melaksanakan suatu upacara biasanya adalah tempat keramat
atau bersifat sakral/suci, oleh karenanya tidak setiap orang
dapat mengunjungi tempat itu. Tempat tersebut hanya
digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan saja, dalam
hal ini adalah orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara
seperti pemimpin upacara.
b. Saat-saat berlangsungnya upacara/waktu pelaksanaan
Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang
dirasakan tepat untuk melangsungkan upacara. Dalam upacara
rutin yang diselenggarakan setiap tahun biasanya ada patokan
dari waktu pelaksanaan upacara yang lampau.
c. Benda-benda atau alat dalam upacara
Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah
sesuatu yang harus ada macam sesaji yang berfungsi sebagai
alat dalam pelaksanaan upacara adat tersebut.
12
d. Orang-orang yang terlibat di dalamnya
Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah
mereka yang bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan
beberapa orang yang paham dalam ritual upacara adat.
c. Sistem Kepercayaan dan Agama
Durkheim mendifinisikan fenomena agama sebagai fenomena
yang terdiri atas: (1) keyakinan tentang suatu wilayah yang sacral dan
adikodrati, dan (2) tata cara dan upacara yang ditujukan kepada
wilayah ini (Turner & Maryanski, 2010 : 40).
Dalam diri manusia terdapat suatu suasana spiritual yang
mendasari aktivitas menyangkut perihal-perihal keagamaan. Suasana
spiritual yang dimaksud adalah emosi keagamaan. Setiap manusia
setidaknya pernah mengalami emosi keagamaan tersebut, walau
hanya sesaat saja. Emosi keagamaan menyebabkan bahwa suatu
benda, suatu tindakan, atau gagasan-gagasan mendapat nilai keramat
(sacred value) sehingga menyebabkan ia berbeda dengan benda,
tindakan atau gagasan-gagasan lainnya.
Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai
ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di
antara penganutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan
unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lain, yaitu
; (a) sistem keyakinan; (b) sistem upacara keagamaan; (c) suatu umat
yang menganut religi itu. (Koentjaraningrat, 2009:295).
13
Kepercayaan masyarakat dapat berupa roh-roh atau
kepercayaan animisme yang dapat ditemukan di sekitar kehidupan
manusia. Mahluk-mahluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal
manusia itu, yang bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh
panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tak dapat
diperbuat manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, sehingga menjadi obyek penghormatan dan
penyembahannya, yang disertai berbagai upacara berupa doa, sajian,
atau korban. (Koentjaraningrat, 2010:49).
Aspek kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan begitu saja
dengan kehidupan duniawi di mana tempat manusia hidup, terlebih lagi
jika kita melihat manusia sebagai makhluk ekonomis yang sewaktu-
waktu membutuhkan berbagaimacam hal. Oleh karena itu, perilaku
atau pemikiran religius atau magi tidak pernah terpisah jauh dari
jangkauan tingkah laku berarah-tujuan (purposive conduct) sehari-hari,
khususnya jika tujuan dari tindakan keagamaan dan magi di dorong
faktor-faktor ekonomi (Weber, 2012:98).
Kebutuhan-kebutuhan kehidupan ekonomi membuat agama-
agama memanifestasikan entah lewat penginterpretasian ulang
perintah-perintah sakralnya, atau dengan menelan mentah-mentah
perintah-perintah itu, namun kedua prosedur ini sama-sama
termotivasikan oleh keinginan untuk mengaplikasikan moral (Weber,
2012:456).
14
d. Aktivitas Pertanian
Akivitas pertanian merpakan suatu aktivitas yang selalu
dihubung-hubungkan dengan tanah dan tanaman. Setidaknya,
terdapat pengertian mengenai pertanian yang biasa kita perhatikan
sebagai maksud dari penggunaan sehari-hari dan juga sebagai
maksud dari penggunaan secara ilmiah. Pertanian dalam pengertian
sehari-hari mengacu kepada suatu kegiatan bercocok tanam,
pengerjaan lahan sawah berupa padi, jagung, sayur, kacang-kacangan
dan lain sebagainya. Lebih dari itu, pertanian memiliki pengertian yang
lebih luas dari segi ilmiah yang meliputi: pertanian dalam arti sempit
atau pertanian dalam arti sehari-hari, yakni bercocok tanam (seperti
yang dijelaskan tadi), perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan,
pengolahan hasil bumi dan juga pemasaran hasil bumi (Tohir, 1991:1).
Pengertian dalam arti luas atau yang disebutkan terakhir yang
digunakan sebagai konsep pertanian dalam tulisan ini.
Kehidupan manusia semula bersifat berpindah-pindah dan
hanya mengandalkan pemberian alam yang tersedia secara langsung,
lambat laun berubah dengan penghidupan secara menetap. Pada
tingkat kehidupan ini, masyarakat mulai bercocok tanam di atas tanah
dan mulai membuka pekarangan yang terletak dekat tempat tinggal
mereka.
Bercocok tanam di ladang dengan cara berpindah-pindah
dilakukan dengan cara membuka sebidang tanah dengan memotong
15
belukar, dan menebang pohon-pohon, kemudian dahan-dahan dan
batang-batang yang jatuh bertebaran dibakar setelah kering. Setelah
itu ladang-ladang yang dibuka dengan cara itu kemudian ditanami
dengan pengolahan minimum dan tanpa irigasi. Setelah dua atau tiga
kali memungut hasilnya, tanah yang sudah kehilangan kesuburannya
itu ditinggalkan. Sebuah ladang baru dibuka dengan cara yang sama
yaitu dengan menebang dan membakar pohon-pohonnya. Setelah 10
hingga 12 tahun, mereka akan kembali lagi ke ladang pertama yang
sudah tertutup dengan hutan kembali.
Aktivitas bercocok tanam di ladang berpindah kemudian lambat
laun berubah menjadi pertanian menetap yang dilakukan dengan
irigasi dan pengolahan tanah dengan pencangkulan atau dengan bajak
serta pemupukan, sehingga kesuburan tanah dapat terjaga dan tidak
perlu lagi menunggu selama 10 hingga 12 tahun untuk melakukan
aktivitas pertanian.
E. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Layaknya penelitian antropologi pada umumnya, metode yang
digunakan dalam penelitian ini yakni metode kualitatif dengan tipe
penelitian deskriptif.
Metode penelitian kualitatif digunakan di sini sebagai suatu
metode yang menyiratkan tentang proses penelitian dengan
16
menekankan pemahaman terhadap fenomena sosial budaya dalam
masyarakat sesuai dengan latar dan fokus penelitian.
2. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sambori Kabupaten Bima yang
terletak di Kepulauan Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Adapun alasan peneliti dalam menentukan lokasi penelitian ini yaitu :
a. Desa Sambori merupakan daerah yang secara umum dianggap
sebagai daerah tradisional yang jauh dari kehidupan perkotaan
dan masyarakatnya masih merupakan keturunan asli
masyarakat Bima sehingga memiliki budaya dan adat yang
kental dengan tetap mempertahankan tradisi atau adat istiadat
yang diwariskan dari dahulu, terkhusus pada aktivitas pertanian
tradisional yang mereka lakukan.
b. Letak desa Sambori yang berada di wilayah pegunungan dan
karakteristik alam yang sesuai dengan kondisi pertanian serta
masyarakatnya yang masih memiliki keyakinan akan
keberadaan makhluk gaib di sekitar tempat tinggal mereka
mendukung reproduksi budaya dan kemungkinan-kemungkinan
penetrasi budaya luar yang sedikit.
c. Peneliti merasa tertarik dengan kebudayaan masyarakat Bima,
merupakan daerah kelahiran dan tumbuh menjadi dewasa di
Bima. Sehingga peneliti merasa mudah untuk memahami
kondisi masyarakat di sana.
17
3. Teknik Pemilihan Informan
Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik
snowball (bola salju) dengan terlebih dahulu menentukan informan
kunci (Key Informan) yang dianggap memiliki kecukupan informasi
mengenai masyarakat dan kebudayaan di daerah penelitian. Informan
kunci bisa saja merupakan tokoh adat setempat, tokoh agama, tokoh
masyarakat, kepala desa atau ketua bagian desa seperti Ketua RT,
Ketua RW, Kepala Dusun, dll. serta anggota masyarakat yang telah
hidup lama dan mengenal dengan baik ihwal sejarah dan kebudayaan
tempat lokasi penelitian berlangsung. Setelah informan kunci
ditentukan, sesuai dengan istilahnya, teknik snowball diterapkan
dengan cara “menggulir” informasi yang ditemukan sehingga dapat
menuntun peneliti menuju informan lainnya yang mampu memberikan
informasi/data yang dicari.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melaksanakan proses pengumpulan data, peneliti terlibat
dalam kehidupan keseharian masyarakat. Adapun teknik pengumpulan
data yang digunakan yaitu :
a. Studi Literatur (library Research)
Peneliti mengumpulkan data dengan mecari, mengumpulkan
dan menelaah informasi yang terdapat pada kepustakaan atau
kumpulan tulisan seperti, karya tulis ilmiah, koran, majalah dan
lain sebagainya yang berhubungan dengan topik atau fokus
18
penelitian. Data yang diambil dari studi literature tersebut pada
umumnya menjadi data sekunder yang dapat mendukung
temuan-temuan yang diperoleh di lapangan.
b. Pengamatan Terlibat (Observasi Partisipatif)
Peneliti mengumpulkan data dengan cara mengamati aktivitas
masyarakat baik yang berupa kebiasaan keseharian maupun
aktivitas khusus dalam momen-momen tertentu seperti interaksi
masyarakat pada saat berlangsungnya ritual atau upacara adat.
Selain itu peneliti juga mengamati berbagai macam hal lain yang
dapat ditangkap oleh panca indera peneliti seperti lingkungan
fisik tempat aktivitas masyarakat berlangsung, siapa saja yang
terlibat dalam upacara, waktu berlangsungnya upacara, alat-alat
dan jenis-jenis sajian yang digunakan dalam upacara dan lain
sebagainya.
Pengamatan terlibat atau observasi partisipatif dianggap cocok
dan sesuai untuk digunakan dalam seting penelitian ini dengan
maksud peneliti dapat ikut mengetahui dan merasakan secara
langsung apa, kenapa, bagaimana, kapan dan di mana
aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara
terjun langsung dan hidup di tengah-tengah masyarakat,
dengan begitu peneliti dapat memperoleh data yang lengkap
dan komprehensif di lapangan serta mengetahui sejauh mana
perkembangan data yang diperoleh.
19
c. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Peneliti mengumpulkan data dengan cara bercakap,
menanyakan kepada informan hal-hal yang berhubungan
dengan masalah penelitian. Wawancara mendalam atau indepth
interview digunakan dengan maksud memperoleh data yang
lengkap, konsisten, dan menggali informasi sampai pada
„kejenuhan‟, yakni data yang diperoleh tidak dapat lagi
dipertanyakan.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mengikuti sifat umum dalam
tahapan penelitian kualitatif sebagai berikut : (1) Mereduksi data, yakni
merumuskan secara singkat dengan klasifikasi tertentu sesuai dengan
informasi/data yang ditemukan di lapangan; (2) Penyajian data, yakni
memaparkan informasi/data dalam sebuah tulisan sesuai dengan data
yang telah direduksi pada tahap analisis pertama, dan tahap terakhir
adalah; (3) Penarikan kesimpulan, yakni menentukan pokok jawaban
sesuai dengan sajian data yang dilakukan pada tahap kedua.
F. Hambatan Penelitian
Dalam menjalani proses penelitian ini peneliti dihadapkan pada
berbagai macam persoalan baik yang berasal dari penulis sendiri maupun
dari kondisi lapangan tempat penelitian berlangsung.
Peneliti masih kurang menguasai bahasa yang digunakan oleh
penduduk setempat sehingga beberapa istilah lokal yang dilontarkan oleh
20
informan tidak dapat dimengerti dengan baik. Selain itu informan sendiri
tidak mampu menjelaskan dengan baik menggunakan bahasa Bima pada
umumnya ataupun dengan menggunakan bahasa Indonesia. Persoalan ini
disebabkan karena kebanyakan masyarakat tidak menguasai dengan baik
bahasa di luar bahasa lokal yang mereka miliki. Selain itu, hal ini juga
terjadi karena tidak terdapatnya padanan kata yang tepat untuk
menggantikan istilah-istilah yang dimaksud.
Kondisi alam yang terasa begitu dingin serta tingginya curah hujan
pada saat proses penelitian berlangsung membuat peneliti kesulitan untuk
beradaptasi dengan cepat dengan masyarakat setempat dan membuat
aktivitas pencarian data sedikit terhambat. Hal ini mengakibatkan peneliti
harus meluangkan waktu lebih dan mengeluarkan biaya lebih besar dari
yang semestinya.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang mana tiap bagiannya
tidak lepas dari masalah yang dibahas dan saling terkait antara satu
dengan yang lainnya. Penjelasan singkat mengenai komposisi tiap bab
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I : Berisikan tentang latar belakang penentuan masalah yang
akan dikaji hingga pada batasan masalahnya. Bab ini juga
menerangkan tujuan dan manfaat penelitian serta penjelasan
konsep-konsep pokok yang digunakan dalam skripsi ini. Di
21
akhir bab dijelaskan mengenai pendekatan, metode serta
teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian.
Bab II : Berisikan tentang kajian pustaka mengenai masalah yang
berkaitan dengan penelitian ini serta menjelaskan penelitian-
penelitian lain yang serupa sehingga dapat dilihat
perbedaannya dengan penelitian yang akan dibahas dalam
skripsi ini.
Bab III : Berisikan gambaran umum lokasi penelitian, letak geografis
dan demografi desa Sambori, kondisi sosial ekonomi, sistem
kepercayaan masyarakat, serta gambaran tentang
pendidikan dan kondisi kesehatan yang ada dalam kehidupan
masyarakat.
Bab IV : Berisikan hasil dan pembahasan mengenai sistem pertanian
masyarakat Sambori, praktik upacara adat pamali manggodo
beserta fungsinya dalam kehidupan masyarakat.
Bab V : Berisi kesimpulan akhir yang ditarik dari bahasan mengenai
hasil penelitian yang diperoleh di lapangan serta memuat
saran dan masukan dari penulis.
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fungsi dan Sistem
Fungsi, dalam ilmu sosial dan kebudayaan merupakan salah satu
aspek yang dijadikan sebagai titik fokus dalam melihat gejala sosial
budaya. Pandangan tentang fungsi tidak dapat dilepaskaitkan dengan
sistem di mana ia ditempatkan. Fungsi diartikankan sebagai “segala
kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan-
kebutuhan dari sebuah sistem” (Roen, 2011). Senada dengan pengertian
di atas, menurut Rocher, fungsi adalah “suatu gugusan aktivitas yang
diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan sistem”
(Rocher dalam Ritzer & Goodman, 2011).
Adapun istilah „fungsi‟ itu dapat dipakai dalam bahasa sehari-hari
maupun dalam bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda. M.E. Spiro,
pernah mendapatkan bahwa dalam karangan ilmiah ada tiga cara
pemakaian kata fungsi itu, ialah (Koentjaraningrat, 2000:212-213) :
1) Pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna
antara sesuatu hal dengan sesuatu tujuan yang tertentu (misalnya
mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mentranspor manusia
atau barang dari satu tempat ke tempat lain)
2) Pemakaian yang menerangkan kaitan korelasi antara satu hal
dengan hal yang lain (kalau nilai dari satu hal x itu berubah, maka
nilai dari satu hal lain yang ditentukan oleh x tadi, juga berubah)
23
3) Pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu
hal dengan hal-hal lain dalam suatu system yang terintegrasi (suatu
bagian dari suatu organisme yang berubah, menyebabkan
perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan
perubahan dalam seluruh organisme).
Pandangan fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah
sistem organ yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Organisme
dijadikan sebagai model untuk melihat kenyataan sosial masyarakat
beserta dinamika yang terjadi. Seperti yang dapat kita lihat unsur-unsur
utama yang diusung Spencer ke fungsionalisme dari penganalogian
organismiknya bisa diuraikan sebagai berikut (Turner&Maryanski, 2010 :
23-24) :
1. Masyarakat merupakan suatu sistem, dan merupakan suatu
keutuhan yang koheren atas bagian-bagian yang saling
berhubungan.
2. Sistem ini hanya bisa dipahami berdasarkan cara kerja struktur
khusus, yang masing-masing berfungsi untuk mempertahankan
keutuhan sosial.
3. Sistem memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi jika
sistem tersebut ingin tetap hidup. Oleh sebab itu, fungsi suatu
struktur hendaknya ditentukan oleh menemukan kebutuhan-
kebutuhan yang harus dipenuhinya.
24
Di lain pihak Parsosns mengemukakan beberapa asusmsi dasar
dalam melihat sistem (Ritzer dan Goodman, 2011:258-259) :
1. Sistem memiliki tatanan dan bagian-bagian yang tergantung satu
sama lain.
2. Sistem cenderung menjadi tatanan yang memelihara dirinya, atau
ekuilibrium.
3. Sistem bisa jadi statis atau mengalami proses perubahan secara
tertata.
4. Sifat atau bagian sistem berdampak pada kemungkinan bentuk
bagian lain.
5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungan mereka.
6. Alokasi dan integrasi adalah dua proses fundamental yang
diperlukan bagi kondisi ekuilibrium sistem.
7. Sistem cenderung memelihara dirinya yang meliputi pemeliharaan
batas dan hubungan bagian-bagian dengan keseluruhan, kontrol
variasi lingkungan, dan kontrol kecenderungan untuk mengubah
sistem dari dalam.
Sementara itu, sistem sosial dapat didefinisikan sebagai
serangkaian relasi sosial yang secara berkala diwujudkan dan dengan
demikian direproduksi sebagai sebuah sistem melalui interaksi. Sebuah
sistem sosial lebih jauh dicirikan oleh satu sistem normative yang (kurang-
lebih) dimiliki bersama dan berfungsinya seperangkat sanksi; artinya,
terdapat kadar kesepakatan tertentu atau kompromi yang dipaksakan
25
menyangkut “mesti” dan “jangan” diinteraksikan dalam batasan sistem
(Eriksen, 2009:129).
Sistem sosial terdiri dari beragam aktor individual yang berinteraksi
satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik
atau lingkungan, aktor yang cenderung termotivasi ke arah “optimasi
kepuasan” dan yang hubungannya dengan situasi mereka, termasuk
hubungan satu sama lain, didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk
sistem simbol yang terstuktur secara kultural dan dimiliki bersama.
(Ritzer dan Goodman, 2011:259)
B. Fungsi Upacara
Upacara adat dimiliki oleh setiap masyarakat, terlebih lagi yang
masih menggunakan aturan atau hukum adat dalam berbagai aspek
kehidupan mereka. Berbagai macam upacara adat tentunya memiliki
keistimewaan masing-masing yang muncul dari kebudayaan yang dimiliki
oleh masyarakat bersangkutan. Namun kehidupan masyarakat adat yang
berbeda dengan masyarakat yang hidup di perkotaan, misalnya, tidak
berarti membuat bentuk upacara adat yang mereka miliki dipandang
secara berbeda.
Parsons (dalam Robertson 1988:53) sepakat dengan pernyataan
Malinowski yang menunjukkan dengan sangat jelas bahwa tidak ada
praktek ritual, magik, atau agama, juga tidak ada kepercayaan mengenai
kekuatan-kekuatan supernatural dan unsur-unsurnya yang terintegrasi
dengan komponen-komponen tersebut dapat semata-mata dilihat sebagai
bentuk primitif yang tidak dapat dilihat dari teknik-teknik rasional atau
26
pengetahuan ilmiah; semuanya adalah masalah kualitas dan memiliki
signifikansi fungsional yang amat berlainan dalam sistem tindakan.
Ritual dapat berfungsi sebagai suatu cara untuk bernegosiasi
dengan roh agar tidak menganggu hidup manusia atau sebagai wadah
aktivitas untuk meminta keselamatan atau terhindar dari berbagai macam
bala bencana. Dalam hal ini, fungsi ritual terletak pada hubungan antara
manusia dengan kehidupan yang tidak kasat mata di sekitar kehidupan
mereka.
Upacara menjadi media interaksi yang melebur masyarakat dalam
satu sistem tindakan yang terlembaga. Karena itu, Durkheim dan
Redcliffe-Brown menganggap upacara dapat mempertebal perasaan
kolektif dan integrasi sosial.
Endraswara (2006:175), mengemukakan fungsi ritual yiaitu: (1)
mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan
nilai utama kebudayan melampaui dan di atas individu dan kelompok.
Berarti ritual menjadi alat pemersatu atau integrasi; (2) ritual menjadi
sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-
nafsu negatif; (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.
Pada masyarakat Ndembu, fungsi upacara dapat dilihat dari segi
yang berlainan pada ranah individual dan struktur sosialnya (Turner dalam
Winangun, 1990 : 15-29). Terdapat empat fungsi dalam upacara
masyarakat Ndembu yaitu: (1) upacara sebagai resolusi konflik; (2)
upacara dapat mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas
27
masyarakat; (3) upacara bertujuan untuk mempersatukan dua prinsip yang
bertentangan dalam masyarakat Ndembu, misalnya prinsip matrilineal dan
virilokal; dan (4) dengan upacara orang mendapat kekuatan motivasi baru
untuk hidup dalam masyarakat sehari-hari.
Analisis Stuart Piddocke terhadap upacara Potlatch di Southern
Kwakiutl mencoba memberikan penjelasan fungsional. Potlatch adalah
upacara yang didakan dimana orang-orang dari kelompok-kelompok yang
berbeda bersaing untuk saling memberikan hadiah barang-barang
berharganya. Semakin banyak yang diberikan dan semakin berharga
hadiahnya, semakin tinggi prestise pemberinya. “Pemenang” dalam
kompetesi ini adalah orang yang mampu memberi lebih banyak dari yang
diterimanya.
Piddocke mengemukakan argumennya untuk menjelaskan upacara
adat Potlatch ini sebagai berikut (Turner & Maryanski, 2010 : 150) :
1. Di masa lalu, kelangkaan di antara beberapa kelompok Kwakiutl
menciptakan masalah kelangsungan hidup bagi sub-subpopulasi.
2. Upacara Potlatch di zaman dahuhlu terbatas pada para ketua
kolompok kekerabatan lokal.
3. Melalui kompetisi di antara para kepala, “obyek kekayaan” seperti
kano, budak, dan selimut bisa dipertukarkan dengan sumber daya
makanan yang diperlukan oleh suatu kelompok yang kekurangan
makanan.
28
4. Dengan cara seperti ini, tingkat ketahanan hidup di antara semua
orang Kwakiutl dipelihara. Mereka yang memiliki benda kekayaan
dan mempertukarkannya dengan makanan akan memdapatkan
prestise karena tindakan itu (dengan begitu agaknya mengurangi
terjadinya tindakan minta-minta makanan, atau menghilangkan
gangguan yang berupa usaha merebut makanan). Tentu saja,
karena menerima benda kekayaan yang dipertukarkan dengan
makanan, si penerima suatu saat bisa menghadiahkan benda itu
demi prestisenya atau untuk mendapatkan makanan (jika
diperlukan).
5. Persaingan di antara pemimpin-pemimpin demi mendaptkan
prestise itu diadopsi oleh penduduk suku itu secara umum di masa-
masa mendatang, dengan begitu menjamin kelancaran arus
sumberdaya makanan pokok.
Upacara menjadi wahana yang mengantar penduduk untuk
mencapai atau memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang
bernuansa religi menjadikan upacara sebagai sarana untuk mendapatkan
ketenteraman dan kedamaian dalam menjalani kehidupan dalam
komunitas. Hal ini dapat terjadi karena upacara religi tersebut mampu
menjadikan roh-roh halus atau kekuatan-kekuatan supranatural yang
mendapat sesajian atau persembahan akan memberikan perlindungan.
Emile Durkheim, memiliki minat dan ketertarikan yang besar
terhadap persoalan moralitas dan agama. Bukunya The Elementary
29
Forms of the Religious Life yang terbit pada 1912 membahas tentang
agama beserta fungsinya bagi masyarakat. Dengan memfokuskan pada
bentuk-bentuk elementernya, Durkheim mencoba mengupas sebab-sebab
dan fungsi agama. Menurutnya, agama telah ada di sepanjang sejarah
manusia dan merupakan salah satu fungsi pengatur utama masyarakat
(Turner&Maryanski, 2010 : 38).
Karya Evans Pritchard “Witchcraft, Oracles and Magic among the
Azande” (1983) memadukan sejumlah besar analisis fungsionalis-
struktural mengenai integrasi sosial dengan sebuah laporan interpretative
tentang sistem kepercayaan dan kosmologi, seraya memperlihatkan saling
keterkaitan antara struktur sosial dan kebudayaan tanpa mereduksi yang
satu ke dalam yang lain (Eriksen, 2009:277).
Tokoh lain yang juga dikenal sangat piawai dalam memadukan
warisan fungsionlisme struktural dengan kajian-kajian tentang simbol dan
makna Mary Douglas dan Victor Turner. Turner mengembangkan sebuah
analisis yang rumit tentang ritus-ritus inisiasi di kalangan suku Ndembu di
Zambia, sembari memperlihatkan segi-segi fungsionalnya yang
mempersatukan kebermaknaannya bagi para peserta serta makna
simboliknya yang lebih dalam.
C. Fungsionalisme
Pada dasarnya fungsionalisme melakukan studi untuk menemukan
prinsip-prinsip umum yang sama. Dalam melihat sebuah masyarakat,
kaum fungsionalisme menggunakan model organisme yang terdiri dari
30
perangkat-perangkat yang saling berhubungan dan membentuk sebuah
sistem.
Dalam sebuah karangan yang berjudul Argonauts of the Western
Pacific, Bronislaw Malinowski mengeksplorasi suatu pranata sosial yang
terkenal dengan perdagangan kula, yakni sistem perdagangan seputar
gelang dan kalung kerang. Ia memperlihatkan kegiatan ekonomi yang
terjadi di kalangan penduduk Kepulaunan Trobriand tidak hanya
merupakan fenomena pemenuhan kebutuhan biologis semata. Orang-
orang Trobriand, menurut Malinowski sama sekali tidak didorong oleh
kebutuhan-kebutuhan materiil rendah dalam segala sesuatu yang mereka
kerjakan, mereka memiliki sebuah agama yang canggih dan sistem
kekerabatan yang kompleks serta aneka ragam praktik yang teratur dan
karena itu, mereka bukanlah “orang-orang biadab” sebagai sekumpulan
individu yang bertindak melulu demi kepentingan diri sendiri (Eriksen,
2009: 301).
Malinowski berpendapat bahwa ada suatu dasar universal yang
sama antara masyarakat bernegara dan masyarakat terbelakang. Semua
aktivitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi serangkaian hasrat naluri
manusia. Adapun di antara berbagai macam aktivitas kebudayaan itu ada
yang berfungsi memenuhi hasrat naluri manusia untuk secara timbal balik
memberi dan menerima dari sesamanya, berdasarkan prinsip yang
disebut oleh Malinowski the principle of reciprocity. (Koentjaraningrat,
2000 : 199)
31
Penelitian Malinowski selama dua tahun (antara tahun 1914 dan
1918) di Kepulauan Trobriand memberi suatu penekanan yang luar biasa
pada individu yang sedang bertindak, seraya melihat struktur sosial bukan
sebagai penentu bagi melainkan sebagai bingkai untuk tindakan, dan ia
menulis tentang cakupan luas tema, mulai dari sihir kebun, ekonomi,
teknologi dan seks hingga perniagaan kula. Malinowski berkeyakinan
bahwa berbagai kebutuhan bawaan manusia merupakan daya dorong di
balik perkembangan berbagai pranata sosial (Eriksen, 2009 : 26).
Pandangan Malinowski mengenai teori kebudayaan, berpangkal
pada konsep bahwa kebudayaan harus diamati sebagai tingkah laku yang
terorganisasi (organized behavior) yang diwadahi oleh pranata-pranata,
yaitu suatu kompleks nilai-nilai budaya dan norma-norma yang menata
dan mengatur tingkah laku dan seringkali dirumuskan dalam mitologi
suatu masyarakat yang melaksanakan aktivitas berfungsi beserta segala
sarana dan peralatan yang digunakannya. Semua tingkah laku manusia
yang terorganisir dalam pranata-pranata itu mempunyai “fungsi” usaha
mana disebutnya sebagai function analysis of culture. Di situlah ia
menghubungkan tingkahlaku manusia terorganisasi tadi dengan suatu
rangkaian kebutuhan naluri organisme manusia.
Menurut Redcliffe-Brown, fungsi dari setiap kegiatan yang selalu
berulang merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial
sebagai keseluruhan dan karena itu merupakan sumbangan yang
diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural. Brown juga
32
menjelaskan eksistensi (dan juga persistensi) upacara keagamaan itu bagi
kerekatan sosial (Kaplan dan Mamer, 1999 : 139).
Malinowski memahami semua pranata dalam sebuah masyarakat
sebagai yang secara intrinsik berkaitan satu sama lain, dan menekankan
bahwa setiap fenomena sosial atau budaya mesti dipelajari dalam
konteksnya yang seutuhnya. Ia juga berkeyakinan bahwa berbagai
kebutuhan bawaan manusia merupakan daya dorong dibalik
perkembangan berbagai pranata social dan karenanya corak
fungsionalisme yang dikembangkannya sering kali dijuluki sebagai
“fungsionalisme biopsikologis” (Eriksen, 2009 : 26).
Kesadaran akan metode untuk memandang suatu kebudayaan
yang hidup sebagai suatu sistem yang terintegrasi timbul setelah 1925 di
saat mencuatnya buku etnografi karangan Malinowski, The Argonauts of
Western Pacific (Koentjaraningrat, 2000:213)
Malinowski menekankan pentingnya kebutuhan biologis dalam
membentuk budaya, karena “manusia pertama-tama dan paling penting
harus memenuhi semua kebutuhan organismenya”. Namun, begitu
manusia bertindak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, dia
menciptakan pola-pola organisasi sosial dan sistem symbol yang
mewujudkan kebutuhan baru, atau apa yang oleh Malinowski diistilahkan
dengan “kebutuhan turunan” (derived need) (Turner & Maryanski, 2010 :
84).
33
Malinowski berusaha untuk mengklasifikasikan jenis-jenis
kebutuhan yang ada pada tiga tataran yang berbeda: tataran biologis,
tataran struktur sosial dan tataran simbolis. Malinowski menekankan pusat
perhatian antropologi pada dua tataran terakhir. Abstraksi tersebut juga
didasari pada pendapat bahwa fenomena budaya sekecil apapun pasti
ada makna dan fungsinya bagi pendukung budaya tersebut.
Kebutuhan Biologis.
Di berbagai tempat, Malinowski menyebut kebutuhan biologis
sebagai kebutuhan “primer”. Ia membuat daftar kebutuhan universal yang
dimiliki oleh setiap individu dalam masyarakat. Pemikiran Malinowski
dalam tataran kebutuhan biologis ini menggambarkan proses pemenuhan
kebutuhan individu yang lambat laun terpola menjadi suatu rangkaian
kolektif dan terpadu secara simbolis. Bagi Malinowski, jika saja kebutuhan-
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka budaya akan “mati”.
Kebutuhan Struktur Sosial atau “Kebutuhan Instrumental”
Bagi Malinowski, semua lembaga memiliki unsur bersama tertentu
yang dapat dilihat pada semua budaya. Masing-masing memiliki suatu
personil, yakni orang. Masing-masing memiliki alasan, tujuan dan sasaran
tertentu atas partisipasi para anggotanya. Masing-masing mempunyai
seperangkat norma atau kaidah tentang bagaimana para personil itu
harus berperilaku. Dan demikian Malinowski menganggap lembaga
sebagai alat yang digunakan oleh manusia untuk memperoleh sesuatu.
34
Ketika manusia telah menjadi terorganisasi dalam upaya memenuhi
kebutuhan biologisnya, mereka menciptakan lembaga sosial. Konsep
lembaga merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam pandangan
Malinowski tentang budaya, karena merupakan kategori struktur utama
analisisnya. Bagi Malinowski, lembaga merupakan aktivitas terorganisasi
di antara manusia yang mengungkapkan sesuatu struktur yang jelas.
(Turner & Maryanski, 2010 : 86)
Pada satu tataran, lembaga menggabungkan rangkaian penting
yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup organisme manusia.
Akan tetapi, bagitu orang-orang mengorganisasikan rangkaian biologisnya
ke dalam lembaga, muncullah kebutuhan-kebutuhan baru yang harus
dipenuhi agar memungkinkan lahirnya organisasi kolektif manusia. Di
sinilah kemunculan struktur sosial atau lembaga menjadi penting bagi
keberlangsungan hidup manusia layaknya kebutuhan yang harus dipenuhi
pada organisme individu.
Malinowski mengembangkan daftar empat “kebutuhan
instrumental” yang mendasar bagi pola kolektif organisasi sosial. Masing-
masing lembaga sosial, agar strukturnya masih tetap jelas, harus
memenuhi keempat kebutuhan atau prasyarat tersebut.
35
Tabel 1
Kebutuhan Instrumental Menurut Malinowski
1. peranti budaya dan barang konsumsi harus diproduksi, digunakan, dipertahankan dan digantikan oleh produksi yang baru
ekonomi
3. sumber daya manusia yang mempertahankan lembaga harus diperbarui, dibentuk, dilatih dan dilengkapi dengan pengetahuan penuh tentang tradisi suku
pendidikan
2. perilaku manusia, terkait dengan peraturan teknis, adat-istiadat, hukum atau moralnya harus dikodifikasi, diatur agar bisa berjalan dan ditetapkan sangsinya
kontrol sosial
4. otoritas dalam masing-masing lembaga harus ditetapkan, dilengkapi dengan kekuasaan, dan diberi alat yang kuat untuk melaksanakan peraturan-peraturannya
organisasi politik
(Malinowski dalam Turner & Maryanski, 2010 : 94)
Kita bisa melihat analisis kebutuhan di atas sedemikian mirip
dengan analisis Parsons yang muncul belakangan. Hanya saja, perhatian
yang dominan dalam teori fungsional parsons terletak pada sistem sosial,
yakni bagaimana suatu sistem menentukan berbagai struktur sosial
memenuhi kebutuhan adaptif (A), pencapaian tujuan (G), integrasi (I) dan
kebutuhan latensi (L).
Sebagai seorang fungsionalis struktural, Parsons membedakan
empat struktur, atau subsistem, dalam masyarakat menurut fungsi (AGIL)
yang dijalankan. Ekonomi adalah subsistem yang dapat difungsikan
masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan melalui kerja, produksi
dan alokasi. Melalui kerja, ekonomi menyesuaikan lingkungan dengan
pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan ia membantu masyarakat
beradaptasi dengan realitas-realitas eksternal ini. Politik (atau sistem
36
politik) digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan mereka serta
memobilisasi aktor dan sumberdaya untuk mencapai tujuan tersebut.
Sistem pengasuhan (misalnya sekolah, keluarga) menangani fungsi
latensi dengan mengajarkan kebudayaan (norma dan nilai) kepada aktor
dan menginternalisasikannya kepada mereka. Akhirnya, fungsi integrasi
dijalankan oleh komunitas masyarakat (misalnya, hukum), yang mengatur
beragam komponen masyarakat (Ritzer & Goodman, 2011).
Menurut cara kerja Malinowski, untuk menggeneralisasikan dan
menemukan hukum organisasi budaya maka kita harus menguraikan : (a)
siapa yang terlibat dalam suatu lembaga (b) apa tujuannya (c) apa norma
utamanya (d) apa hakikat peralatan dan fasilitasnya (e) apa hakikat dan
pembagian aktivitasnya (f) kebutuhan instrumental apa yang paling
banyak terlibat (Turner & Maryanski, 2010 : 95).
Kebutuhan Simbolik atau Integratif
Ketika manusia secara kolektif berusaha mengatasi kebutuhan
biologis dan instrumentalnya, mereka juga telah menciptakan sistem
lambang. Selama aktivitas mereka sehari-hari, mereka menghasilkan
sistem gagasan yang mereka pakai untuk mengabsahkan, mengatur dan
menuntun perilaku mereka. Oleh sebab itu, lambang-lambang digunakan
untuk memadukan, merekatkan bersama lembaga dan kumpulan lembaga
ke dalam suatu keutuhan.
Masing-masing tingkatan sistem harus ditelaah secara terpisah
berdasarkan kebutuhan atau persyaratannya bagi kelangsugnan hidup
37
dan dengan begitu saling ketergantungan sistem dalam “jaringan
kehidupan” itu juga harus dipahami. Maka demikianlah, Malinowski
menyajikan fungsionalisme sosiologis dengan disertai banyak titik
penekanan utamanya, yakni (Turner & Maryanski, 2010 : 101-102) :
1. realitas sosial itu ada dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda,
minimal tingkatan biologis, psikologis, sosial dan budaya (simbolis).
2. sifat tingkatan-tingkatan tersebut harus dipahami oleh ilmu
pengetahuan yang terpisah, tetapi keterkaitan antara tingkatan-
tingkatan tersebut memaksa penganalisis tingkatan sosial atau
institusional untuk harus menyadari bagaimana kebutuhan biologis,
psikologis, dan budaya (simbolis) itu memengaruhi susunan struktur
sosial.
3. sistem dapat dianlisis berdasarkan kebutuhannya. Bagian dalam
suatu sistem itu hadir karena bagian tersebut telah memiliki
keunggulan selektif dibandingkan bagian-bagian lain dalam
memenuhi kebutuhan. Oleh sebab itu, penganalisis dapat
dibenarkan untuk mencari upaya memahami hubungan antara suatu
bagian dengan kebutuhan-kebutuhan sistemik.
4. pada tingkatan sistem sosial, kebutuhan akan adaptasi ekonomi,
kendali politik, integrasi hukum dan moral, dan sosialisasi
kependidikan sangatlah penting dalam upaya memahami tempat
dan cara kerja lembaga-lembaga yang ada dalam sistem sosial.
38
D. Petani dan Karakteristik Pertanian Tradisional
Salah satu hal yang membedakan pertanian tradisional dengan
pertanian modern adalah teknologi yang digunakan. Dalam pertanian
tradisional, teknologi yang digunakan belum tersentuh dengan mesin
seperti traktor yang telah banyak digunakan oleh petani modern seperti
sekarang ini. Sebelum adanya traktor, masyarakat petani masih
menggunakan bajak yang dikendalikan melalui binatang ternak seperti
kerbau atau sapi, bahkan mereka hanya menggunakan alat seperti
cangkul. Selain itu, petani tradisional masih banyak yang belum
menggunakan bibit unggul. Bibit yang mereka tanam adalah bibit lokal
yang dari turun-temurun digunakan oleh nenek moyang mereka yang lebih
tahan terhadap serangan hama. Karena itu, petani tradisional tidak
menggunakan pupuk pestisida yang terbuat dari bahan kimia, melainkan
pupuk kandang yang terbuat dari kotoran hewan. Hal demikian juga
menuntut mereka memiliki hewan ternak dan memanfaatkannya dalam
pemeliharaan pertanian mereka.
Sistem pertanian tradisional tidak dilakukan secara sembarangan,
petani memiliki pengetahuan lokal yang tidak diperoleh melalui jenjang
pendidikan formal, melainkan telah ada sejak dahulu. Seperti pada saat
musim tanam tiba, mereka tidak secara langsung turun kesawah untuk
menanam tanaman pertanian mereka, melainkan akan terlebih dahulu
menentukan hari baik untuk menanam. Karena itu, biasanya petani
tradsional tidak melakukan segala aktivitas pertanian mereka dengan cara
39
sendiri-sendiri tetapi secara berkolompok. Karena untuk menentukan hari
baik bukanlah dilakukan oleh masyarakat biasa, tapi menjadi tugas
sesepuh atau orang-orang tertentu yang dianggap memiliki kemampuan
khusus. Selanjutnya, mereka akan mengadakan ritual-ritual yang
berkaitan keselamtan pertanian mereka secara bersama-sama.
Petani memiliki keterikatan yang erat dengan lingkungan alam.
Hubungan petani dan ekosistem, digambarkan sebagai hubungan yang
integral antara manusia dengan alam. Alam berada di luar kendali
manusia dan karenanya seringkali dilihat sebagai gejala yang muncul dari
kekuatan adikodrati.
Bagi petani, tanah menjadi wahana untuk berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat supranatural. Hal ini disebabkan, bahwa tanah yang
mereka tempati bermukim atau tanah yang mereka harus garap dan
memberinya kehidupan, diyakini dikuasai oleh entitas-entitas yang
berbentuk makhluk-makhluk gaib sehingga hal itu menyebabkan tanah
memiliki posisi tinggi. Friedmann (dalam Redfield, 1981) mengemukakan
tentang adanya persamaan sikap dalam masyarakat petani, yakni sikap
yang intim dan hormat terhadap tanah.
Salah satu hal yang menyebabkan petani merasa berkewajiban
untuk melakukan upacara-upacara berkenaan dengan tanah atau
peristiwa-peristiwa tertentu di luar dirinya adalah titik berat terhadap
keseimbangan kosmos dan keharmonisan rohani. Karena itu, mencoba
memahami dunia petani mengharuskan kita untuk memahami dimensi
40
hubungan-hubungan mereka dengan alam (infrastruktur), di samping
hubungan petani dengan orang lain dalam dimensi struktur sosial dan
dimensi berkenaan dengan hal-hal yang bersifat suprastruktur (Sani dan
Nurhaedar dalam Akhmar & Syarifuddin, 2007 : 28).
41
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
A. Sejarah Singkat Desa Sambori
Secara hirstoris, penduduk Sambori dan desa-desa sekitarnya tidak
terlepas dari dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya
masyarakat Bima pada umumnya. Hal demikian disebabkan karena pada
awalnya mereka merupakan penghuni dataran rendah (Sudarsono, dkk.
1999:57).
Menciptakan alur sejarah masyarakat Bima yang memberikan
penjelasan yang gamlang memang diakui menjadi kesulitan bagi para
ilmuan khususnya dari Bima sendiri. Kitab Bo yang biasanya menjadi
rujukan para pakar sejarah untuk memperoleh gambaran kehidupan
masyarakat tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Masa Naka (zaman batu)
misalnya, yang merupakan masa pra sejarah Bima sebelum masa
kerajaan dimulai tidak terdapat dengan jelas pada kitab Bo, melainkan
hanya sedikit disinggung sebagai masa nenek moyang masyarakat Bima
(Maryam dkk., 2013:8).
Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa orang Bima atau yang
biasa disebut dengan Dou Mbojo, merupakan hasil akulturasi masyarakat
asli dan masyarakat pendatang dari berbagai macam suku luar yang
berpusat di teluk Bima. Para pendatang memberikan pengaruh besar
terhadap kebudayaan masyarakat Bima yang lambat laun menciptakan
banyak perubahan. Sebagian penduduk asli yang tidak menerima
42
perbedaan tersebut dan tidak mampu bersaing secara ekonomi mencari
tempat-tempat baru terutama di kawasan pegunungan. Penduduk yang
bermukim di pegunungan itu kemudian disebut sebagai Dou Donggo
(orang gunung/penghuni dataran tinggi).
Sampai sekarang Dou Donggo yang dikenal terbagi ke dalam dua
wilayah, yakni Donggo Ipa (gugusan pegunungan Soromandi) yang
terletak di sebelah barat teluk Bima dan Donggo Ele (wilayah pegunungan
sekitar gunung Lambitu) yang terletak di sebelah timur teluk Bima. Dari
sini muncul pandangan yang mengkhususkan masyarakat asli untuk
disebut Dou Donggo dan bukan lagi Dou Mbojo (namun realita
masyarakat pada umumnya masih menyebut keseluruhan masyarakat
Bima sebagai Dou Mbojo).
Kata „mbojo‟ berasal dari kata „babuju‟ yang berarti tanah yang
menonjol dan/atau berbukit, tempat raja-raja ketika dilantik dan disumpah
yang terletak di Dara (kini dekat makam pahlawan di Bima). Sedangkan
istilah „bima‟ diambil dari nama „sang bima‟ yang merupakan julukan dari
seorang pahlawan dari Jawa yang memiliki peran penting dalam sejarah
Bima di awal masa kerajaan (Amin, dalam Maryam dkk., 2013).
Sebelum dikenal sebagai masa kerajaan, Bima pada masa
prasejarah disebut dengan masa Naka. Pada masa ini ditemukan
berbagai macam peninggalan sejarah seperti alat-alat dari batu, tempat-
tempat pemujaan, peninggalan-peninggalan dan kuburan-kuburan
purbakala.
43
Setelah masa Naka, dikenal masa Ncuhi yang mana kehidupan
masyarakat pada saat itu dipimpin oleh beberapa ketua dengan masing-
masing anggota atau pengikutnya. Pada saat itu dikenal lima orang Ncuhi
(tetua/pemimpin/pemuka) yang masing-masing memegang bagian wilayah
teritorial Bima, yaitu bagian Selatan oleh Ncuhi Parewa, Barat oleh Ncuhi
Bolo, Utara oleh Ncuhi Dorowoni, Timur oleh Ncuhi Panggapupa dan
Tengah oleh Ncuhi Dara yang sekaligus sebagai pemimpin para Ncuhi
(Maryam, dkk., 2013 : 9-10).
Kehidupan masyarakat pada masa Naka ini selalu berkelompok
dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka hidup
terpencar-pencar di daerah pesisir, lembah dan pegunungan. Namun,
belum dapat diidentifikasi tempat mereka bermukim apakah di goa-goa
atau di bawah pepohonan. Mereka kemudian hidup berkelompok
berdasarkan ikatan keluarga dan membentuk masyarakat paguyuban.
Dinamika hidup berkelompok ini diikuti dengan terbentuknya adat-istiadat
yang melandasi interaksi sosial antar mereka. Salah satu peran Ncuhi di
sini adalah menjembatani hubungan antar kelompok. Pengaruh Ncuhi
amat besar dalam kehidupan masyarakat Bima, sampai-sampai mereka
juga digambarkan sebagai pemimpin yang tetap hidup dalam wujud roh
parafu (Tajib dalam Sudarsono dkk., 1999 : 58).
Dalam catatan kitab Bo pada masa kerajaan, para Ncuhi tetap
memiliki otonomi untuk memerintah federasi ncuhi. Mereka diberikan hak-
hak istimewa dari raja, seperti tidak boleh mengambil harta benda milik
44
mereka, tidak boleh diperintah bepergian oleh raja dan tidak boleh
mengambil keturunan ncuhi untuk dijadikan sebagai pelayan atau
pengasuh. Bahkan Ncuhi yang melantik setiap pergantian raja baru
Kesultanan Bima.
Sekitar abad ke 14 M, Bima ditaklukkan oleh Majapahit (Gajah
Mada) dalam rangka mewujudkan sumpah palapa. Sejak pertengahan
abad itu, masyarakat Bima sudah dipengaruhi oleh Hindu. Pengaruh
Hindu tersebut terbukti dari adanya situs-situs berupa wadu pa‟a, wadu
tunti, lingga dan batu berukir corak Hindu (Maryam dkk., 2013:10).
Berakhirnya masa Kerajaan digantikan oleh masa Kesultanan
bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke 17 M. Pada
masa kesultanan inilah kepercayaan masyarakat mulai berubah seiring
penyebaran agama yang dilakukan.
Sebagian masyarakat mengatakan bahwa pada zaman Naka
terdapat kerajaan Kalepe yang terletak di sekitar pegunungan Parado
dimana kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Ncuhi Dara beserta
pengikutnya. Orang-orang yang hidup di kerajaan Kalepe lari berpencar
ke berbagai daerah dan sebagian orang yang tidak sanggup lagi untuk
melarikan diri tinggal menetap di wilayah Sambori.
Nama „sambori‟ sendiri berawal dari dua versi sejarah, namun
kedua versi tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Sambori
merupakan masyarakat Bima yang pada mulanya hidup bersama-sama
secara berkelompok dengan cara berpindah-pindah. Versi pertama
45
mengemukakan asal mula kata „sambori‟ adalah „sambore‟ (palu), yang
berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng
Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kesepekatan
bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah sambore (palu)
sebagai simbol dari kesepakatan tersebut. Versi kedua, „sambori‟ berasal
dari kata „sampori‟ yang dalam bahasa Bima berarti „terlepas‟. Karena
setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam
yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka
memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.
Kedatangan penduduk ke desa Sambori berlangsung secara
bergelombang, sebagian penduduk berasal dari Temba Na‟e kecamatan
Belo. Mereka melakukan eksodus pertama menuju Manggeparaja, desa
Ngali. Dalam perjalanannya mereka melakukan eksodus kedua dari
Manggeparaja ke Sambori. Hal ini dapat dilihat dari adanya ikatan
kekeluargaan antara penduduk Sambori dengan beberapa masyarkat di
Manggeparaja. Ada dua versi yang mendorong mereka berpindah dari
Ngali ke Sambori. Pertama, mereka merasa tidak mampu bersaing
dengan para pendatang dalam kegiatan ekonomi. Kedua, mereka
merupakan pelarian dari kerajaan pemerintah kolonial Belanda. Alasan
kedua kemungkinan berkaitan dengan adanya perang Ngali pada tahun
1908-1909, ketika itu terjadi perlawanan sengit terhadap pemerintah
kolonial Belanda (Sudarsono dkk., 1999:58).
46
B. Kondisi Geografis
Secara geografis, desa Sambori berada di dataran tinggi dengan
ketinggian rata-rata ±700 mdpl. Sebagian besar kawasannya berupa
perbukitan dan berlereng. Desa Sambori berada pada tempat tertinggi di
antara desa-desa sekitarnya yang terletak di sekitar pegunungan Lambitu
(Donggo Ele) atau di sebelah Tenggara Kota Bima.
Desa Sambori dulunya merupakan daerah yang termasuk dalam
wilayah administrasi kecamatan Wawo. Akibat pemekaran dari
Pemerintah Kabupaten Bima yang termuat dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2006 Tentang “Pembentukan
Kecamatan Soromandi, Kecamatan Parado, Kecamatan Lambitu dan
Kecamatan Palibelo Di Kabupaten Bima”, Sambori merupakan salah satu
dari lima desa yang berada di sekitar pegunungan Lambitu yang termasuk
ke dalam wilayah administrasi kecamatan Lambitu. Kelima desa tersebut
adalah Kuta, Sambori, Kaboro, Ka‟owa dan Teta.
Setelah mengalami pemekaran pada tahun 2006, pada tahun 2012
Kecamatan Lambitu dimekarkan lagi menjadi enam desa dengan
menambahkan desa Londo melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bima
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pemekaran Desa.
Desa Sambori memiliki luas sekitar 1.802 Ha atau sekitar 33,58 %
dari luas wilayah kecamatan Lambitu. Sekitar 1.260 Ha adalah lahan
Sawah dan tegalan. Sisanya diperuntukkan untuk pemukiman dan
prasarana umum, perkebunan rakyat dan kawasan lindung seluas 736 Ha.
47
Topografi wilayah Sambori dan sekitarnya berbukit-bukit dan datar yang
menyebar di sepanjang lereng Gunung Lambitu. Suhu udara di Sambori
rata-rata antara 20 hingga 25 ºC.
Ada empat wilayah yang membatasi administrasi Desa Sambori,
yaitu :
Sebelah Utara : Desa Kuta
Sebelah Selatan : Desa Kawuwu Langgudu
Sebelah Barat : Desa Renda Kecamatan Belo
Sebelah Timur : Hutan Tutupan Arambolo
Kondisi geografis sebagai daerah pegunungan dan berbukit-bukit
membuat perumahan warga Sambori tidak merata. Kondisi alam
perbukitan seperti ini mendorong penduduk setempat mendirikan
pemukiman di lereng-lereng bukit dengan rumah khas setempat, uma
lengge dan rumah panggung. Kondisi alam seperti ini pula yang
mempengaruhi pola bercocok tanam masyarakat Sambori. Penduduk
Sambori membuka lahan di lembah-lembah dan di lereng-lereng
perbukitan dengan frekuensi satu sampai dua kali musim tanam.
C. Demografi
Desa Sambori terbagi menjadi 3 dusun, yaitu dusun Lambitu, dusun
Lengge 1 dan dusun Lengge 2) yang mana dari keseluruhan dusun
tersebut terdapat 4 RW dan 10 RT. Jumlah keseluruhan masyarakat
Sambori adalah sebanyak 1.906 jiwa yang terbagi ke dalam Dusun
48
Lambitu dan Dusun Lengge. Sedangkan jumlah kepala keluarganya
adalah sebanyak 456 KK.
Sebagian besar di antaranya bertempat tinggal di Sambori Ntoi
yang merupakan perkampungan lama desa Sambori. Kepadatan
perkampungan lama mendorong sebagian masyarakat untuk membangun
Sambori „Bou yang merupakan perkampungan Sambori Baru.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Sambori
Dusun Penduduk
Lambitu 1014
Lengge 892
Total 1906
(Sumber : Data Administrasi Desa Sambori)
Penduduk Sambori memiliki kebiasaan merantau yang cukup tinggi
ke luar daerah. Kegiatan merantau penduduk Sambori terutama banyak
dilakukan oleh kaum laki-laki. Kebiasaan tersebut mulai banyak dilakukan
sejak tahun 1980-an. Motivasi mereka biasanya keluar untuk sekolah atau
mencari lapangan kerja. Setelah sekolah atau bekerja, mereka
kebanyakan menetap di luar desa. Biasanya mereka merantau setelah
melulusi jenjang SLTA atau SLTP.
D. Mata Pencaharian Hidup
Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Lambitu, termasuk
Sambori adalah petani. Mereka memiliki lahan pertanian masing-masing.
Adapun yang tidak memiliki lahan pertanian, mereka biasanya bekerja
membantu petani yang memiliki lahan sendiri demi mendapatkan upah
49
yang tidak seberapa dan tidak menentu, tergantung keikhlasan pemilik
lahan pertanian.
Selain tanaman hutan, ada dua vegetasi yang dapat dijumpai di
sekitar Desa Sambori, yaitu vegetasi pekarangan dan vegetasi sawah
atau ladang. Vegetasi pekarangn berupa nangka, mangga, jeruk, pisang,
cabe, dan sebagainya. Sedangkan vegetasi sawah atau ladang
didominasi oleh padi, bawang, kacang-kacangan, labu, jagung, dan lain-
lain. Vegetasi perkebunan yang pernah diperkenalkan adalah kopi dan
vanili. Pada umumnya tanaman palawija dan perkebunan jarang ditanami
oleh penduduk.
Sekitar 20 Hektar lahan tegalan di Sambori dimanfaatkan warga
untuk menanam kunyit. Ada juga sekitar 7 Hektar lahan yang
dimanfaatkan untuk menanam Tempuyang. Sejak dulu, orang-orang
Sambori dikenal sebagai penjual Kunyit dan Tempuyang bahkan sampai
di kota Bima dan Dompu. Proses produksi dan pemasaran warga Sambori
terhadap tanaman obat ini masih sangat sederhana dan tradisional yaitu
dengan menjajakan dari kampung ke kampung, disamping dimanfaatkan
untuk kebutuhan pribadi.
Di Sambori masih dijumpai beberapa varietas padi lokal seperti
sawuku yang terdiri dari dua jenis, yaitu berumur 3 dan 5 bulan. Varietas
padi sawuku lebih tahan panas, sehingga banyak ditanam penduduk.
Varietas padi lokal lainnya adalah manda berumur sekitar 4 bulan. Di
samping itu ada ada varietas padi lokal lainnya, misalnya njompa yang
50
terdiri dari dua jenis, yaitu berusia 3 dan 5 bulan dan mangge berusia 5
bulan. Padi-padi tersebut biasanya ditanam di lereng-lereng bukit.
Tabel 3. Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Lambitu
Kabupaten Bima Tahun 2007-2012
Komoditi Produksi (Ton)
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Padi Sawah 155 2.405 3.932 2.656 3.666 4.603
Padi Ladang 2.514 3.243 3.120 1.758 1.365 1.742
Jagung 139 33 851 2.562 654 1.157
Kacang Hijau 8 13 0 0 0 0
Ubi Kayu 721 662 83 13 0 0
Kedelai 35 0 0 0 0 65
Kacang Tanah 47 25 8 1 95 285
Ubi Jalar 600 159 23 23 0 179
(Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bima)
Tabel 4. Produksi Sayur-sayuran Kecamatan Lambitu Kabupaten
Bima Tahun 2012
Komoditi Produksi (Ton)
Bawang Merah 319
Bawang Putih 67
Cabe Rawit 8
(Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bima)
Selain mengelola lahan pertanian, masyarakat Sambori juga tidak
sedikit yang memelihara binatang ternak sebagai mata pencaharian
lainnya. Ada beberap ternak yang dipelihara penduduk, seperti kerbau,
sapi, kambing, itik, ayam, dll. Penduduk melihara sapi dengan cara
51
melepas begitu saja di gunung. Hanya sekali waktu penduduk
mengumpulkannya untuk mengetahui apakah sapi mereka baik-baik saja
atau mengalami sakit. Sementara kambing dan ayam dipelihara secara
intensif di rumah.
Tabel 5. Jumlah Ternak Penduduk Desa Sambori
Jenis Ternak Jumlah (ekor)
Kuda 12
Sapi 716
Kerbau 143
Kambing 809
Domba 121
Kelinci 16
Ayam buras 3871
Itik 198
(Sumber : BPS Kabupaten Bima Tahun 2012)
Sebelumnya, kuda dan kerbau merupakan ternak utama yang
banyak dipelihara penduduk. Kini kuda tidak banyak dijumpai di desa
Sambori. Hewan kuda yang dulu digunakan sebagai alat angkut barang
dan transportasi, kini digantikan oleh mobil yang setiap hari menuju ke
desa Sambori.
Di desa Sambori tidak terdapat pasar, untuk memperjual belikan
barang dan kebutuhan pokok sehari-hari mereka melakukannya di pasar
Tente. Namun demikian ada beberapa penduduk luar yang bertandang ke
desa Sambori untuk memperjual belikan barang, seperti kebutuhan sehari-
hari, buah-buahan, bawang dan lain sebagainya.
52
E. Agama dan Sistem Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Sambori pada mulanya adalah ma rapo
ro ma kimbi atau ma kakamba ma kakimbi yang merupakan kepercayaan
asli masyarakat Bima. Kepercayaan ini menunjukkan bahwa keberadaan
segala sesuatu yang hidup dan yang mati memiliki roh baik itu manusia
maupun benda-benda.
Hal-hal mengenai kekuatan gaib dan penunggu yang ada di
Sambori masih kental dalam kepercayaan masyarakat. Hampir setiap
pendatang diberikan nasehat agar tidak mengalami musibah atau bala.
Hal-hal yang dinasehati oleh masyarakat terutama untuk tidak terlalu
bahagia bersenda gurau, berteriak atau tertawa dengan keras, jangan
menginjak gundukan tanah yang berada di uma lengge dan tetap selalu
waspada atau berada dalam keadaan sadar (kawara weki).
Pamali merupakan persoalan yang sering muncul dalam kehidupan
masyarakat Sambori, kepercayaan mereka terhadap hal-hal gaib
membuat mereka sangat menjaga larangan-larangan atau pantangan
adat.
Desa Sambori dikenal oleh masyarakat sekitarnya memiliki
berbagai macam hal yang dianggap sakral, seperti tempat-tempat tertentu,
peralatan-peralatan atau senjata. Ada pula masyarakat dari desa lain
sengaja mendatangi desa Sambori untuk mengambil racun yang berasal
dari tanah Sambori dan digunakan sebagai senjata untuk melukai atau
membunuh lawan.
53
Dalam rumah lengge terdapat tombak yang dianggap memiliki
kekuatan gaib dan tidak boleh diganggu. Tombak tersebut tidak dapat
miring atau dibaringkan, jika itu terjadi, maka akan mengakibatkan
bencana. Bisa saja orang yang melakukan itu mati atau ketika tombak itu
dijatuhkan maka akan ada orang yang mati di arah mata tombak itu
menunjuk. Selain itu, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota masyarakat dapat menyebabkan kesurupan masal.
Kesurupan masal juga terjadi jika ada anggota masyarakat yang
menebang pohon-pohon di kawasan tertentu sekitar desa. Contohnya
yang berada di sekitar kolam (sekarang berada di wilayah desa Kuta).
Menurut cerita masyarakat, hal itu pernah terjadi menimpa hampir semua
masyarakat, mereka berbaris bagaikan prajurit kemudian bersama-sama
membersihkan sampah dan semak-semak yang berada di sekitar kolam
tersebut. Kolam itu berisi belut besar yang tidak boleh dimakan dan
memiliki bentuk yang berbeda dengan belut-belut pada umumnya.
Tidak diketahui kapan tepatnya Islam mulai masuk ke Sambori.
Namun, penyebaran agama Islam dalam kehidupan masyarakat Bima
pada umumnya melalui kerajaan pada masa kesultanan yang dimulai
sekitar tahun 1640 M. Hingga kini, 100 % warga Sambori dan sekitarnya
beragama Islam.
54
Tabel 6. Sarana Keagamaan Desa Sambori
Sarana Jumlah
Masjid 2
Musolah/Langgar 1
Total 3
(Sumber : Data Administrasi Desa Sambori)
Untuk peribadatan masyarakat sekarang ini telah dibangun dua
bangunan Masjid masing-masing di dusun Lengge dan dusun Lambitu
dan satu bangunan Musollah/Langgar. Dilihat dari kondisi fisik bangunan
masjid tersebut tampak bahwa masjid yang berada di perkampungan
Sambori lama/dusun Lengge tidak terurus dengan baik dibandingkan
dengan masjid yang berada di perkampungan Sambori baru/dusun
Lambitu.
Aktivitas ibadah masyarakat juga tidak begitu intensif dilakukan di
dalam masjid. Masjid tampak kosong dan jarang terpakai. Masyarakat
lebih banyak disibukkan oleh urusan-urusan pertanian mereka.
Gambar 1. Masjid di Dua Dusun Desa Sambori
55
Akhir--akhir ini pengaruh islam semakin dirasakan oleh masyarakat
terutama melalui kalangan Muhammadiyah dan NU serta berbagai
kalangan lainnya. Beberapa ustadz terkadang dengan sengaja
mengunjungi masyarakat dan melakukan ceramah perihal kepercayaan
dan tradisi masyarakat yang menurut mereka bertentangan dengan
agama dan berbau syirik. Hal ini mengakibatkan sebagian masyarakat
enggan untuk mengikuti upacara-upacara adat. Ditambah lagi adanya
larangan dari seorang tokoh masyarakat yang terbilang sangat
berpengaruh di kalangan masyarakat Sambori, sehingga keberadaan
upacara adat pamali manggodo semakin melemah.
F. Kondisi Sosial Budaya
Ketika awal-awal memasuki desa Sambori, nampak raut wajah
masyarakat yang seakan penuh tanya dengan terus memperhatikan
kedatangan saya bersama empat orang teman. Ibu-ibu dan nenek yang
duduk di atas tangga depan rumah mereka, ada pula yang duduk di
serambi-serambi, anak-anak yang sedang bermain sepedah, bermain bola
dan sebagainya tiba-tiba menghentikan aktivitas mereka sesaat karena
melihat kami sebagai pendatang yang baru mereka lihat.
Sambori baru memiliki banyak perbedaan dengan Sambori lama,
Sambori baru telah memiliki jalan beraspal sedangkan Sambori lama jalan
utamanya masih berupa tanah berbatu dan bergelombang, sebagian jalan
di tengah-tengah desa bercuram. Tidak hanya dari segi fisik, masyarakat
yang bermukim di Sambori lama memiliki perbedaan dari segi
56
kepercayaan yang lebih kental dibandingkan dengan masayrakat Sambori
baru. Walaupun tidak semua perbedaan ini ada pada masyarakat,
sebagian masyarakat Sambori baru mengakui perubahan-perubahan yang
mereka alami, sebagian lagi menganggap masyarakat Sambori Lama
masih kolot dan sulit diatur, hal demikian nampaknya disebabkan karena
mereka lebih menjaga jarak dengan para pendatang dan belum begitu
memahami hal-hal baru yang muncul.
Rumah kebanyakan masyarakat adalah rumah panggung yang
masing-masing ditinggali oleh satu keluarga, yakni keluarga batih/inti.
Mama ro‟o nahi atau mengunyah daun sirih merupakan kebiasaan sehari-
hari masyarakat Sambori. Daun sirih juga menjadi suguhan bagi tamu
yang berkunjung ke rumah mereka. Bagi mereka, mama ro‟o nahi memiliki
banyak manfaat, di antaranya menyembuhkan penyakit, memberi
kehangatan tubuh dan juga menguatkan gigi.
Tidak sedikit masyarakat Sambori yang memiliki lebih dari satu istri
dan memiliki banyak anak. Mereka masih memiliki pemahaman bahwa
memiliki banyak anak akan mendatangkan rezeki yang banyak pula.
Mengingat pertanian merupakan mata pencaharian utama maka anak
juga dapat membantu orang tua mereka dalam bekerja di sawah.
Salah satu karakteristik fisik masyarakat Sambori ditandai oleh
bangunan uma lengge (rumah lumbung) yang hanya ditopang oleh empat
tiang. Rumah tanpa paku yang beratapkan alang-alang ini memiliki dua
fungsi yaitu, sebagai tempat tinggal (to‟o kai) sekaligus lumbung padi
57
(pompa). Uma lengge merupakan rumah panggung yang terdiri dari tiga
tingkat setinggi sekitar 12 m dengan bentuk kerucut. Tingkat pertama
digunakan sebagai tempat duduk dan memiliki fungsi sosial, seperti untuk
upacara-upacara adat, berinteraksi dengan tetangga atau bercengkrama
dengan anggota keluarga. Tingkat ketiga merupakan ruang utama
berukuran sekitar 4x4 m yang dipakai untuk tempat tidur sekaligus dapur.
Paling atas merupakan lumbung untuk menyimpan padi dan hasil bumi
lainnya.
Uma lengge telah ada di desa Sambori sejak 300 tahun yang lalu.
Namun, sekarang hanya tersisa satu bangunan uma lengge yang asli.
Beberapa uma lengge baru-baru ini dibangun, namun telah mengalami
perubahan dari segi ukuran dan bentuknya. Pembangunan rumah di desa
Sambori harus didahului dengan ritual khusus dengan berbagai macam
sesajen. Jika hal ini tidak dilakukan, maka rumah yang dibangun tidak
akan bertahan lama.
Karena dianggap tidak praktis, penduduk Sambori tidak berminat lagi
membangun uma lengge. Sehingga keberadaannya semakin punah.
Mereka lebih memilih mendirikan rumah panggung dari kayu (uma ceko
dan pa‟a sakolo) yang bercirikan bangunan rumah Makasar. Rumah
panggung dapat menampung anggota keluarga lebih besar dan dari segi
privasi lebih terjaga. Seiring dengan perubahan masyarakat setempat,
secara perlahan uma lengge mulai ditinggalkan. Sebagian masyarakat
menganggap uma lengge mewakili status sosial lebih rendah.
58
G. Pendidikan
Masyarakat Sambori terbilang masih sangat minim dari segi
pendidikan. Institusi pendidikan formal yang terdapat di desa Sambori
hanya setinggi Sekolah Dasar, sedangkan SMP dan SMA sekecamatan
Lambitu hanya terdapat di desa Kuta.
Tabel 7. Prasarana Pendidikan Desa Sambori
Prasarana Jumlah
TK 2
SD 2
(Sumber : BPS Kabupaten Bima Tahun 2012)
Untuk pergi ke sekolah, anak-anak masyarakat Sambori harus
bangun pagi-pagi sekali. Sebelum berangkat sekolah, anak-anak diberikan
sarapan pagi terlebih dahulu, terkadang juga anak-anak membawa bekal
makanan seperti jagung, kacang-kacangan, jambu dan lain sebagainya
untuk mereka konsumsi di sekolah.
Anak-anak penduduk Sambori Lama lebih kesulitan untuk
mendatangi sekolah mereka dibandingkan dengan anak-anak penduduk
Sambori Baru disebabkan karena lokasi Sambori Lama yang lebih jauh
dari pusat kecamatan dan juga akses jalan yang belum beraspal, pada
saat hujan jalanan pun becek. Hanya sekolah dasar yang terdapat di desa
Sambori, sedangkan untuk SMP dan SMA mereka harus sekolah di pusat
kecamatan yang jaraknya lebih kurang 3 kilo meter dari Sambori Lama.
59
Gambar 2. Anak Sekolah Desa Sambori
Dengan membawa anak-anak mereka ke sawah/ladang semenjak
kecil, bahkan anak yang masih berusia balita, dengan begitu pengetahuan
tentang aktivitas pertanian ditanamkan sejak dini. Ketika orang tua
bekerja, anak-anak mereka bermain di sekitar mereka. Anak yang masih
berusia balita di bawa kemana-mana oleh ibunya.
H. Kesehatan
Ketika anak-anak menderita sakit, mereka tidak langsung
membawanya ke rumah sakit atau puskesmas, akan tetapi ada upaya
permulaan dari orang tua mereka tanpa harus mengeluarkan biaya. Orang
tua akan mengunjungi pihak kerabat yang dianggap dapat melakukan
sesuatu demi kesembuhan penyakit yang diderita anaknya. Hal yang pada
umumnya dilakukan di kalangan keluarga untuk menyembuhkan penyakit
seperti sakit kepala, demam, sakit gigi dan berbagai penyakit ringan
lainnya adalah dengan cara ufi, yakni membacakan do‟a seraya meniup
60
bagian anggota tubuh anak yang dianggap sakit dan mengusap-
ngusapnya secara halus.
Sedangkan untuk mengobati penyakit yang lebih berbahaya seperti
penyakit cacar atau penyakit menahun lainnya, masyarakat akan
mengadakan suatu pengobatan khusus dengan nyanyian. Nanyian ini
sekaligus menjadi mantra untuk memohon kesembuhan kepada Sang
Khalik. Biasanya anak-anak yang kena cacar ditidurkan, kemudian para
perempuan/kaum ibu duduk melingkar di sekeliling si sakit dan
melantunkan syair Mangge Ila dan Bola La Mbali.
Syair Bola La Mbali :
E, hai Bola La Mbali
Ndo Au La Mbali
Sima Kaila
Ei la dei bola
Ngau ndaina, e bola la mbali
Syair Mengge Ila :
Mangge ila nai 2 x
Ilae bala mange
E Ruma ra ndaita Ruma
Ruma ndaita su‟u kai ruma
Ila e Mangge….!
61
Tabel 8. Prasarana Kesehatan
Jenis Jumlah
Rumah Bersalin 1
Puskesmas Pembantu 2
Polindes/Poskesdes 1
Praktek Bidan 1
Posyandu 2
Total 7
(Sumber : BPS Kabupaten Bima Tahun 2012)
Di desa Sambori terdapat beberapa orang yang memiliki pekerjaan
dalam bidang kesehatan. Untuk anggota masyarakat yang biasanya
melakukan praktek kesehatan di desa Sambori, tercatat 2 orang Bidan
Desa, 3 orang Dukun bayi dan 3 orang Dukun sunat.
Dari segi ketersediaan air untuk MCK, masyarakat Sambori hanya
memiliki 4 buah sumur galian yang dapat di manfaatkan. Untuk jamban,
terdapat 328 buah milik keluarga, 71 buah milik bersama, 22 buah jamban
umum.
Gambar 3. Poskesdes Sambori
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sistem Pertanian Tradisional
Dalam keseharian masyarakat terbentuk berbagai macam struktur
sosial yang lambat laun menetap dan digunakan sebagai ciri atau adat
milik mereka. Struktur sosial tersebut ada dalam berbagai macam aspek
kehidupan masyarakat. Dalam aktivitas pertanian masyarakat Sambori,
struktur sosial telah terbentuk sejak lama.
Petani umumnya dikenal sebagai masyarakat yang hidup dan
tinggal di pedesaan. Kehidupan masyarakat petani tidak hanya terbentuk
dari lingkungan sosial mereka, melainkan juga berkaitan erat dengan
lingkungan alam di sekitar mereka.
Dalam keseharian masyarakat Sambori, orang-orang tua, pemuda,
remaja pagi-pagi telah berangkat menuju sawah mereka, bagi yang
memiliki anak ia akan membawanya pula ke sawah. Warga Sambori
memiliki semangat kerja yang tinggi. Sejak kecil mereka telah terbiasa
mengikuti orang tua mereka ke sawah atau ladang dengan berjalan
hingga beberapa kilometer. Masyarakat yang telah beranjak dewasa akan
merasa minder/malu jika tidak bekerja di sawah tanpa pekerjaan lainnya.
Pada musim tanam, kaum laki-laki Sambori banyak menghabiskan
waktunya di ladang atau sawah. Terutama saat padi mulai hamil sampai
panen usai, kaum laki-laki menginap di sawah untuk mejaga tanaman padi
dari gangguan babi hutan. Mereka bekerja dari pagi hingga sore hari.
63
Bahkan beberapa di antaranya menetap di sawah, terutama bagi yang
sudah berkeluarga. Hanya sekali waktu mereka pulang untuk mengambil
bekal makanan. Pada saat-saat seperti ini mereka enggan di ganggu
dengan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan mereka di sawah atau di
ladang.
Sedangkan kegiatan kaum perempuan banyak dicurahkan di sektor
domestik. Mereka menyiapkan makanan pagi pada sekitar jam 5 pagi
untuk sarapan anak-anak sekolah dan suami ke sawah. Jika tidak ada
pekerjaan lagi di rumah mereka mengiringi suaminya ke sawah. Tidak
jarang di antaranya harus menemani suaminya menginap di sawah
beserta anggota keluarga yang masih kecil, di sela-sela itu kaum
perempuan mencari kayu bakar, menumbuk padi, mengambil air minum
dan lain-lain.
Para wanita juga berperan dalam proses pemanenan sawah.
Mereka memotong padi menggunakan sabit dan memisahkan padi dari
batangnya untuk dimasukkan ke dalam karung. Setelah selesai bekerja
biasanya pihak wanita menyiapkan makanan untuk dikonsumsi bersama
sehabis bekerja atau saat istirahat. Beberapa tempat di areal persawahan
mamiliki mata air yang digunakan untuk memasak, sebagai air minum, dll.
Saat panen, padi yang telah dipotong dengan sabit dimasukkan ke
dalam karung. Padi dalam karung yang masih berada di sawah tersebut
perlu diangkat satu-persatu untuk di bawa ke rumah dengan cara
meletakkannya di pundak/punggung mereka. Sekarang, di beberapa area
64
persawahan, untuk membawa padi tersebut dapat dilakukan dengan mobil
karena akses jalan untuk dilewati kendaraan sudah terbuka. Namun, jalan
tersebut juga tidak begitu dekat dengan persawahan dan untuk
membawanya ke mobil masih perlu diangkat oleh petani melalui jalan
berkelok dan mendaki.
Tanaman padi dilakukan sekali hingga dua kali setahun. Jika telah
mencapai masa panen, lahan sawah dibiarkan sampai memasuki musim
hujan berikutnya terkadang juga selama satu tahun untuk kemudian
ditanami lagi.
Para pemilik sawah mengerjakan lahan mereka masing-masing.
Biasanya bagi pemilik sawah lain yang walaupun lahan mereka belum
sepenuhnya selesai dikerjakan, mereka juga turut membantu mengerjakan
lahan yang lainnya milik tetangga atau pun milik kerabat mereka.
Terkadang, pemilik sawah yang merasa tidak mampu untuk
menyelesaikan sawahnya sendiri akan memanggil petani lain di sekitar
lahan mereka untuk membantu.
Masyarakat Sambori mengenal prinsip resiprositas yang
termanifestasi dalam tradisi weha rima (ambil tangan) dan mbei rima
(memberikan tangan) yang berarti menerima bantuan dan memberikan
bantuan. Tradisi semacam ini menggambarkan semangat kerja dan
kebersamaan masyarakat dalam bertani. Ketika pihak lain membantu
meringankan beban kerja mereka, maka disaat itu pula mereka merasa
harus membalas jasa. Balas jasa tidak perlu dilakukan hari itu juga,
65
melainkan pada hari-hari berikutnya, terkadang satu keluarga yang akan
membalas jasa mereka lakukan setelah semua hasil panen mereka
selesai dikerjakan. Prinsip tersebut juga tidak hanya dilakukan pada saat
mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian, tetapi dalam
kesibukan apapun mereka tetap menerapkannya.
Di sawah/ladang masyarakat memiliki salaja (berugak) atau
bangunan berupa panggung dengan empat atau enam tiang beratap
berbentuk seperti lumbung yang dibangun di sekitar lahan sawah untuk
dijadikan sebagai tempat tidur atau istirahat, serta memasak dan
menyimpan peralatan dan makanan. Sering juga petani bermalam di
salaja menjaga sawah mereka dari gangguan babi. Bermalam di salaja
semakin intens dilakukan oleh masyarakat di saat musim panen tiba.
1. Sistem Pemanfaatan dan Pembukaan Lahan
Dalam tata kehidupan manusia yang bermasyarakat, fungsi
lahan baik dalam arti media tanam (soil) maupun ruang (space) sangat
kompleks. Misalnya ketika manusia mengenal usaha tani monokultur,
fungsi lahan tidak hanya untuk bercocok tanam secara subsisten saja.
Namun lebih jauh lagi untuk membentuk struktur sosial petani,
kebudayaan petani dan sebagai media transformasi energi antara
sistem sosial petani dengan ekosistem pertaniannya.
Setiap masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman
masing-masing mengenai dunia tempat mereka hidup dan dunia
sekitar kehidupan mereka dapat dimaknai seturut bingkai kebudayaan
66
yang mereka miliki. Masyarakat desa Sambori mengenal klasifikasi
lahan yang memilki kategori dan fungsi masing-masing. Berbagai
klasifikasi lahan tersebut berdasarkan pola pemanfaatan yang berbeda
oleh masyarakat.
Woha’arak
Woha‟arak meliputi kawasan hutan yang saat ini disebut
masyarakat sebagai hutan Negara. Masyarakat setempat tidak
mengenal hutan adat, tetapi mereka mengenal hutan yang
dikeramatkan, terutama yang terdapat parafu atau makam ncuhi,
seperti bukit Tuki, Jo dan Lambitu.
Parafu merupakan sumber air yang disucikan karena parafu
diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur mereka. Sebutan
parafu juga dipakai untuk suatu tempat yang ada makam leluhur dan di
sekelilingnya terdapat pepohonan. Pepohonan yang terdapat dikelilingi
parafu atau makam leluhur dilarang keras di tebang, sekalipun hanya
mengambil rantingnya. Mereka meyakini malapetaka akan datang jika
seseorang menebang pohon di sekitar parafu atau di makam leluhur.
Keyakinan pada kesucian parafu juga terlihat dari prosesi
adanya upacara ngaha ncore (tolak bala). Upacara ngaha ncore
merupakan upacara ritual yang dilakukan pada saat terjadi wabah
penyakit baik yang dialami manusia dan hewan peliharaan. Upacara
ngaha ncore dipimpin oleh sando (dukun). Penyelenggraan upacara ini
diawali dengan mengambil air di tempat-tempat tertentu yang disebut
67
parafu yang berarti pantangan atau yang disucikan. Pengambilan air
dilakukan oleh tokoh adat diikuti oleh beberapa orang perempuan
sebagai pengiring perempuan. Dalam perjalanan wanita tersebut
sambil melantunkan lagu ritual disebut “mangge ila”. Pada saat yang
sama semua warga masyarakat baik laki-laki, perempuan, tua-muda
dan anak-anak menunggu di tempat yang ditentukan sambil menunggu
air parafu dari sumber air. Upacara ini dilakukan selama empat hari
berturut-turut di setiap sudut kampung. Apabila terjadi wabah yang
besar, upacara dilakukan selama lima hari di tengah-tengah kampung.
Setelah mengambil air parafu dan melakukan sesaji, pemimpin
upacara memercikkan air parafu ke seluruh warga yang hadir. Upacara
Ngaha Ncore ditutup dengan makan nasi bersama yang dibawa dari
rumah masing-masing. Makanan yang mereka makan tidak boleh dari
makhluk hidup yang berdarah.
Di Woha‟arak penduduk melakukan aktifitas berburu dan
meramu. Penduduk tidak melakukan banyak kegiatan di hutan. Di
samping mencari madu dan berburu, mereka mencari kayu bakar,
rotan, tanaman obat dan hasil hutan lainnya. Sesekali waktu mereka
menebang pohon untuk membangun rumah. Woha‟arak juga
merupakan tempat mengembala ternak. Penduduk memelihara ternak
dengan cara melepaskan di hutan dan di sekitar kampung.
68
So
So, berupa kawasan kegiatan pertanian yang berada di lereng-
lereng bukit dan lembah. Biasanya, lokasi So merujuk pada nama
gunung, misalnya So Lambitu untuk menunjuk areal perladangan di
sekitar punggung gunung Lambitu. Ada beberapa nama So yang
menunjuk pada areal perladangan, seperti So Lambitu, So Ratu, So
Tuki, dan So Ibobora.
Sebelum mengenal sistem pertanian sawah, masyarakat
Sambori melakukan aktifitas agrarisnya di sekitar perbukitan. Mereka
menanam tanaman tahunan, palawija dan padi lokal. Penduduk
memanfaatkan So untuk kabore, yaitu lahan pertanian yang ditanami
tanaman tahunan, seperti nangka, mangga, jambu, dan tanaman
lainnya. Di daerah So juga dimanfaatkan untuk nggaro, yaitu lahan
yang ditanami tanaman semusim, terutama palawija.
Bangga
Bangga merupakan lahan persawahan di mana penduduk biasa
menanam padi. Padi pada lahan persawahan tertentu mereka memberi
nama, seperti So Ratu, Mambeko, Lena, dan lain-lain. Bangga terletak
di lembah-lembah dan ngarai-ngarai yang dapat dijangkau air sungai.
Penduduk mengairi sawah dari sungai dengan membuat parit-parit
kecil. Di musim kemarau mereka menanami lahan bangga dengan
palawija, labu dan tanaman produktif lainnya. Belakangan mereka juga
mereka juga mengembangkan tanaman bawang putih.
69
Oma
Oma, berupa tempat perladangan berpindah yang biasanya
dilakukan di daerah So. Pembukaan oma pertama kali dilakukan
secara bekelompok yang didahului dengan kegiatan membersihkan
semak dan membakar. Untuk memudahkan pengaturan pengelolaan,
mereka memagari Oma dengan tumpukan batu dan memberi nama.
Sebelum merencanakan membuka Oma, mereka meminta ijin
kepada Ncuhi. Mereka kemudian berkumpul bersama tokoh-tokoh adat
untuk merencanakan upacara Wea Oha Dana atau Wea Oha Oma
untuk meminta keselamatan dari wabah atas tanaman ladang mereka.
Sebelumnya mereka mengumpulkan benih secara bersama dan akan
dibagikan setelah upacara selesai. Orang yang dianggap dituakan
akan memulai penanaman tanaman ladang.
Upacara Wea Oha Dana dipimpin oleh Panggita Oma yang
didampingi oleh Ncuhi dan Gelarang Na‟e beserta pembantunya. Di
Sambori ada beberapa Panggita Oma dan setiap upacara Wea Oha
Dana tidak selalu dipimpin oleh Panggita Oma. Pembuka ladang baru
akan memlih salah seorang Panggita Oma yang dianggap dipercayai
untuk melaksanakan upacara Wea Oha Dana. Ketika menjelang panen
tiba, mereka melakukan upacara Palosa Su‟a atau Mara Menta untuk
meminta keselamatan pada saat memungut hasil panen.
Sistem pertanian berpindah juga dilakukan masyarakat
Sambori, terutama di daerah perbukitan yang tidak terjangkau oleh
70
aliran sungai. Lahan yang sudah ditanami beberapa kali akan
dibiarkan ditumbuhi tanaman perdu dan dialihkan di lan tempat. Lahan
tidur tersebut akan ditanami kembali setelah jangka waktu empat
sampai lima tahun. Mereka melakukan perladangan perindah di
kawasan So. Untuk memudahkan batas kepemilikan, mereka
memagari lahan dengan tumpukan bebatuan atau dengan
menanaminya dengan tanaman tertentu.
Merupakan pantangan (pamali) membuka di dekat pemukiman
ncuhi dan parafu. Terdapat kepercayaan, tanaman tidak akan tumbuh
dengan baik dan tidak akan memetik hasil panen bagi mereka yang
membuka ladang di daerah ini. Pada jarak tertentu dari parafu dan
pemukiman para ncuhi mereka dapat membuka ladang. Pembukaan
ladang dilakukan secara berkelompok. Mereka mulai membuka ladang
dari atas, kemudian menurun. Setelah melewati 3 atau 5 musim tanam,
mereka akan kembali memulai membuka ladang dari atas.
Rasa
Rasa atau kampung adalah lahan yang dipergunakan untuk
perkampungan penduduk. Masyarakat Sambori pada awalnya hidup
dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka diikat oleh hubungan
keluarga atau klan, seperti orang tua dan anak beserta anggota
keluarga lainnya. Sebelum mengenal uma lengge, mereka tinggal di
rumah menyerupai gubuk atau disebut sapo. Mereka menguasai tanah
di sekitar di mana mereka tinggal bersama anggota keluarga. Apabila
71
salah satu anggota keluarga mereka menikah, orang tua akan
memberikan lahan untuk membangun rumah di dekat rumah orang tua.
Untuk membangun rumah ini mereka tidak perlu meminta ijin kepada
ncuhi.
Setelah berinteraksi antarkelompok, mereka menjadi kelompok
yang lebih besar dan berkembang menjadi sebuah perkampungan
(rasa). Perkampungan-perkampungan kecil yang letaknya terpisah,
seperti Due dan Tuki, berbaur menjadi perkampungan lebih besar. Kini
perkampungan tersebut dinamakan Sambori Ntoi (Sambori Lama). Di
sinilah terdapat perkampungan tua, seperti Due, Sengari Me‟e, Mundu
dan Kakeru. Mereka kini berbaur antara penghuni perkampungan satu
dengan yang lainnya. Meski di Sambori Ntoi masih dijumpai
pengelompokan penduduk lama.
2. Sistem Pengolahan Lahan
Telah dijelaskan bahwa masyarakat Sambori pada mulanya
merupakan penduduk yang hidup di dataran rendah. Hal ini membuat
persamaan cara-cara pertanian yang tidak dapat dilepaskaitkan
dengan masyarakat Bima pada umumnya.
Tidak hanya di desa Sambori, di beberapa bagian wilayah
kabupaten maupun kota Bima memiliki beberapa pola pertanian yang
serupa dalam membuka lahan. Daerah kabupaten di antaranya Wera,
Donggo, Wawo, Sape, Parado. Daerah kota seperti halnya di
Lelamase, Jati Baru dan Desa.
72
Dikala memasuki musim tanam, masyarakat mulai sibuk untuk
mempersiapkan segala keperluan pertanian. Interaksi antar
masyarakat berlangsung berkenaan dengan perencanaan yang diawali
dengan musyawarah. Laki-laki mulai sibuk mempersiapkan seluruh
peralatan seperti cila (parang), ponggo (kapak), cu‟a (tembilang), dan
kamalo (batu asah) yang dperlukan untuk membuka lahan dan
perempuannya menyiapkan bekal untuk makan dan minum.
Secara umum, pola pembukaan lahan masyarakat diawali
dengan melakukan mbolo, setelah mbolo dilanjutkan dengan proses
udu, ma‟a, note, do‟a dan terakhir nggu‟da.
Mbolo (musyawarah) :
Sebelum membuka lahan, diadakan musyawarah untuk
menentukan hari yang dianggap tepat untuk membuka lahan, siapa
saja yang akan memiliki lahan yang akan dibuka serta aturan-
aturan yang berlaku saat proses buka lahan berlangsung. Setelah
memperoleh kesepakatan musyawarah, diadakan penandaan
lahan oleh masyarakat yang akan memperoleh lahan. Penandaan
dilakukan dengan cara meletakkan atau menancapkan kayu atau
batu pada batas-batas yang telah ditetapkan.
Setelah masyarakat menandai lahan yang akan mereka peroleh,
diadakan musyawarah kedua untuk menentukan kebutuhan-
kebutuhan dan besarnya biaya yang akan dihabiskan pada saat
proses buka lahan dilaksanakan.
73
Ngoho (membuka lahan) :
Buka lahan pertama, pada tahap ini masyarakat menebang pohon
dan semak-semak yang berada di lahan yang ingin dibuka saat
pertama kali membuka lahan. Setelah ngoho, lahan dibiarkan
kering selama 1 minggu atau lebih, tergantung cuaca.
Peralatan yang digunakan pada saat ngoho adalah : ponggo
(kapak) dan cila (parang).
Udu (mengumpulkan) :
Setelah masyarakat melakukan penebangan di lahan, proses
berikutnya yang harus dilakukan adalah udu. Pada tahap ini
masyarakat melakukan pembakaran semak-semak atau pohon-
pohon yang telah kering setelah ditebang.
Kepercayaan masyarakat pada umumnya dalam proses
pembakaran ini yakni apabila asap yang muncul pada saat proses
pembakaran terlihat banyak, maka diyakini bahwa curah hujan
akan tinggi. Begitu pula sebaliknya, apabila asapnya sedikit maka
curah hujan rendah dan hal demikian akan mempengaruhi
kesuburan atau kesuksesan pertanian masyarakat kelak.
Ma‟a :
Proses ma‟a dilakukan dengan cara mengambil dan membakar
kembali sisa-sisa pepohonan dan semak-semak yang belum
terbakar sepenuhnya setelah udu. Setelah ma‟a, lahan kembali
74
dibiarkan untuk menunggu benih-benih atau tumbuhan yang masih
bisa tumbuh.
Peralatan yang digunakan pada saat Ma‟a yaitu : Cu‟a (tembilang)
dan cila (parang)
Note :
Tahap yang kemudian dilakukan adalah mengambil atau
membersihkan tumbuhan baru atau tumbuhan muda yang masih
dapat muncul setelah dilakukan proses ma‟a. Sekarang note
banyak dilakukan dengan cara menggunakan obat-obatan pestisida
untuk menghilangkan tumbuhan baru dengan cara menyirami
tumbuh-tumbuhan muda tersebut.
Do‟a :
Setelah note, dilakukan baca do‟a dengan tujuan untuk memohon
keselamatan atau keberkahan lahan.
Pembuatan salaja dilakukan pada saat proses ma‟a, Seringkali
pembuatan salaja diselesaikan setelah note.
Salaja ada dua jenis, yaitu salaja na‟e dan salaja to‟i, Untuk posisi
salaja, biasanya tergantung pada posisi lahan masyarakat. Lahan
yang berada di tengah-tengah lahan lainnya tidak perlu membuat
salaja to‟i. Salaja na‟e dibuat di tengah-tengah persawahan agar
dapat menjangkau atau mengintai musuh. Salaja to‟i di pasang di
pinggir sawah.
Proses ngoho sampai note biasanya dilakukan oleh kaum pria
75
Nggu‟da (penanaman)
Setelah masyarakat melakukan do‟a barulah dapat dilakukan
penanaman (nggu‟da). Penanaman benih biasanya dilakukan oleh
kaum wanita. Dalam proses nggu‟da ini masyarakat mengiringinya
dengan kesenian arugele.
Alat yang biasa digunakan adalah Cu‟a Nggu‟da (tembilang khusus
untuk menanam).
Dalam proses buka lahan masyarakat menerapkan sistem weha
rima yang mana pemilik lahan membantu pemilik lahan lainnya
untuk ngoho, pemilik lahan yang dibantu juga dapat melakukan
cepe rima yang mana ia membalas budi dari pemilik lahan yang
melakukan weha rima tadi.
B. Upacara Pamali Manggodo
1. Asal Usul Upacara
Dunia pertanian telah sejak lama dikenal oleh masyarakat Bima
sebagai mata pencaharian utama. Keberhasilan dalam dunia pertanian
telah diakui sejak masa kerajaan. Pada masa itu, Bima mengalami
perkembangan pesat dalam bidang pertanian yang menjadikan daerah
tersebut sebagai tempat perdagangan pertanian maju bersama
dengan kerajaan Goa.
Hama dianggap sebagai musuh yang dapat merugikan
masyarakat karena dapat mengurangi hasil panen. Hama yang biasa
mengganggu pertanian masyarakat Sambori di antaranya adalah
76
monyet, babi, burung, ulat, tikus dan berbagai macam hama padi
lainnya.
Dari penjelasan yang disampaikan oleh masyarakat dan
kenyataan yang ada dalam kehidupan mereka, manggodo juga dapat
dikategorikan sebagai sebuah status sosial. Dalam kehidupan
masyarakat Sambori, terdapat suatu golongan masyarakat yang
disebut-sebut sebagai dou manggodo („dou‟ berarti „orang‟). Manggodo
dimaknai hampir sama dengan parafu. Sedangkan parafu sendiri
merupakan penghuni yang mendiami tempat-tempat tertentu. Parafu
juga diartikan sebagai tempat itu sendiri, khususnya untuk
menunjukkan tempat keramat yang memiliki penunggu.
Masyarakat dalam menjelaskan istilah manggodo sering kali
menggantikannya dengan istilah parafu, hal ini dikarenakan bahwa
istilah manggodo tidak banyak dikenal oleh masyarakat.
Dilihat dari unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, upacara
pamali manggodo bukan berawal dari masa kesultanan, melainkan
jauh sebelum munculnya pengaruh islam di tanah Bima. Dapat kita
perhatikan bahwa unsur budaya hindu lebih kental menyelimuti
pelaksanaan ritual.
Jika upacara pamali manggodo tidak dilakukan atau terlambat,
maka akan ada makhluk halus yang mendatangi masyarakat untuk
memerintahkan mereka melakukan upacara secepatnya. Biasanya
penyampaian pesan ini terjadi melalui kondisi kesurupan dari anggota
77
masyarakat yang mana diyakini bahwa yang memasuki tubuh anggota
masyarakat tersebut adalah parafu.
2. Unsur-unsur Upacara
a. Pelaksana Upacara
Di Sambori dikenal berbagai macam status yang memiliki
peran masing-masing dalam proses pelaksanaan upacara-upacra
adat. Para pelaku upacara tersebut bukanlah „orang-orang biasa‟,
melainkan mereka memiliki kemampuan tertentu yang tidak ada
atau hanya sedikit orang saja yang memilikinya.
Dalam upacara pamali manggodo ada empat tokoh yang
memiliki peranan penting. Pertama, Panggawa yang merupakan
pemimpin upacara. Kedua, Panggita yang memimpin upacara sore.
Ketiga, Pamali Lawo yang memimpin tolak bala hama tikus.
Keempat, Pamali Kari‟i yang memimpin tolak bala burung pipit.
b. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Desa Sambori memiliki tempat-tempat sakral yang
dipercayai masyarakat merupakan tempat keramat. Sehingga ada
pantangan-pantangan masyarakat yang berkaitan dengan tempat-
tempat tertentu yang ada di desa Sambori.
Masyarakat Sambori percaya bahwa beberapa mata air yang
ada di sekitar mereka memiliki penghuni yang tidak boleh diganggu.
Karena itu muncul larangan-larangan untuk menebang pepohonan
78
di sekitar mata air tersebut. Selain itu, ada pula tempat seperti
gundukan tanah yang tidak boleh diinjak atau dilewati.
Dalam memulai upacara pamali manggodo, masyarakat
tidak menentukan dengan pasti kapan tepatnya akan dilakukan.
Akan tetapi upacara tersebut dilakukan selalu saat memasuki
musim tanam antara bulan 12 atau bulan 1. Tempat yang
dukunjungi pertama kali oleh masyarakat adalah uma manggodo
yang mana merupakan tempat parafu.
c. Peralatan dan Sajian
Peralatan dan sesaji atau sesajen merupakan suatu
perangkat yang biasanya ada di dalam berbagai kegiatan ritual.
Perangkat itu harus lengkap, dan setiap perangkat mewakili suatu
makna tertentu. Kelengkapan dari sesajen menjadi prasyarat dari
keputusan pihak yang diberikan sesajen dan di sisi lain merupakan
wujud kepercayaan dari pihak yang memberi sesaji.
Bagi beberapa kelompok masyarakat, sesajen merupakan
simbol dari pengakuan akan adanya kuasa yang harus dia puaskan
supaya memberi keamanan dan ketenangan di dalam hidup
mereka, dan yang akan mejawab semua permohonan mereka.
Seberapa lengkap dan sempurna sesajen yang telah diuasahkan
dan dipersembahkan merupakan sumber ketenangan dan
keamanannya.
79
Pada upacara pamali manggodo proses yang memuat unsur
sesaji bersama dengan perangkat peralatan upacara dapat
ditemukan di awal upacara. Yakni pada saat masyarakat
mendatangi uma manggodo untuk meminta izin pada parafu.
d. Kesenian
Nyanyian memiliki arti penting bagi masyarakat Sambori.
Ada banyak nyanyian yang terdapat di desa Sambori yang terwujud
dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Nyanyian juga dapat
berfungi sebagai penyembuhan penyakit tertentu. Nyanyian Bola
La Mbali dan Mangge Ila misalnya, termasuk dalam proses
pengobatan penyakit menahun seperti cacar. Nyanyian ini
dilantunkan sebagai mantra untuk meminta kesembuhan pada
sang Khalik.
Dalam pertanian masyarakat Sambori, dikenal kesenian
yang disebut Arugele. Secara umum Arugele adalah tarian dan
nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh
karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah dan huma ketika
mulai menanam maupun pada saat panen. Tarian dan nyanyian
Arugele dibawakan oleh 6 sampai 8 orang perempuan baik dewasa
maupun para gadis. Sambil menyanyi mereka memegang tongkat
kayu yang ujungnya telah dibuat runcing dan ditancapkan ke tanah.
Mereka berbaris dan melakukan gerakan menancapkan kayu yang
diruncingkan itu kemudian menaburkan butir-butir padi, jagung atau
80
kedelai ke tanah yang telah mereka lubangi dengan kayu runcing
tadi. Sementara kaum lelaki mengikuti alunan langkah mereka
untuk merapikan dan menutup kembali tanah yang telah ditaburi
bibit tadi.
Seperti halnya Belaleha, Arugele pun berkembang dan
dilantunkan bukan hanya pada saat menanam atau panen, tapi
nyanyian Arugele juga dilantunkan pada saat acara khitanan
maupun pernikahan.
Syair Arugele Ngguda (Arugele Untuk Menanam)
Gele Arugele
Gele Badoca
Lirina Pana Liro
Kone di sarei todu kai sarau
Jagaku palona pahumu piri pela
Bohasi baliro pahu me‟e taluru
Gele Arugele
Lino na tolo lino ntauka kantolo
Linona moti lino ntau balata
Linona ade tiwara dou ma eda
Gele Arugele
Ura bura aka main onto doro
Madama dodo dasaina tolo
Jagaku mbeca tembe do‟o ra cepe
Gele Arugele
Papa pai la tana‟u ra nefa
Campo konci la sabua mafaka
Musyawara kabou mampasa
Syair ini menggambarkan suasana di sawah ladang ketika
menanam, hijaunya alam, terik mentari, nyanyian burung,
81
kebersamaan dan seluruh aktifitas para petani di sawah/ladang dan
huma.
Di kalangan masyarakat Bima ada sejenis tari yang mirip
dengan arugele Donggo Ele, yaitu tari sagele, yang biasanya
dipentaskan ketika menanam padi di sawah ladang, kemungkinan
tari Sagele berasal dari tari Arugele Donggo Ele. Tari sagele hanya
dikenal oleh Orang Bima di kecamatan Wawo dan sekitarnya, serta
di kelurahan Lelamase Kota Bima.
3. Proses Pelaksanaan Upacara Pamali Manggodo
Setiap peristiwa-peristiwa penting selalu diikuti dengan
serangkaian upacara. Seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan
pertanian. Sebelum membuka ladang, dilakukan upacara khusus
dilahan yang akan dibuka untuk meminta agar tanaman ladang mereka
tidak diserang oleh wabah yang dapat merusak pertanian, seperti ulat,
tikus, burung, babi, dan sebagainya.
Upacara pembukaan lahan di Sambori disebut Pamali
Manggodo yang hingga saat ini masih dilakukan oleh penduduk
setempat. Ada beberapa tahap yang dilakukan pada Upacara Pamali
Manggodo. Tahap pertama yang dilakukan dalam penyelenggaraan
pamali manggodo adalah mbolo. Mbolo menggambarkan aktivitas
beberapa tokoh masyarakat yang melakukan musyawarah untuk
menetapkan kesepakatan mengenai rencana dan penetapan waktu
82
upacara serta aturan-aturan yang ada pada saat proses upacara
berlangsung.
Setelah musyawarah selesai dilakukan, penduduk akan
melakukan kunjungan di parafu untuk meminta izin melakukan
kegiatan di ladang. Pada saat panenpun mereka melakukan upacara
sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang mereka peroleh.
Dalam kunjungan ini masyarakat membawa seperangkat sesajen yang
kemudian diletakkan di rumah manggo‟do. Masyarakat sering
menyebut proses ini sebagai lao paha manggo‟do (memberi makan
manggo‟do).
Adapun sesajen yang disebutkan terdiri dari :
oha monca (nasi kuning)
oha bura (nasi putih)
oha santa (nasi santan)
kalo (pisang) matang
ni‟u (kelapa) yang masih utuh
karo‟do (beras yang sudah direndam kemudian dihaluskan dan
dicampur dengan kelapa)
mangge mada (asam)
janga (ayam) putih & hitam
nahi (daun sirih)
u‟a (pinang), serta
tambaku (tembakau).
83
Proses upacara Pamali Manggodo berikutnya adalah upacara
sore, yaitu upacara pembakaran ilalang atau semak-semak di sebuah
tempat yang telah ditetapkan dengan perangkat sesajen. Upacara sore
dipimpin oleh panggita. Upacara sore diyakini dapat melihat curah
hujan pada musim tanam. Apabila ilalang dan semak yang terbakar
banyak, mereka percaya pada musim tanam tersebut curah hujan akan
melimpah dan begitu pula sebaliknya.
Upacara Pamali Manggodo dipimpin oleh seorang tokoh yang
disebut Panggawa. Selain Panggawa upacra ini juga diikuti oleh
beberapa tokoh adat yang memiliki tugas masing-masing untuk
memimpin upacara tolak bala. Di antaranya adalah Pamali
Lawo/Lancole yang memimpin tolak bala hama tikus dan Pamali Kari‟i
memimpin tolak bala burung pipit.
Prosesi Upacara Pamali Manggodo selanjutnya adalah kegiatan
berburu yang dipimpin oleh Pamali Lawo yang diikuti oleh anggota
masyarakat. Mereka pergi ke hutan berburu rusa selama tiga hari
berturut-turut. Mereka secara bersama-sama berburu dengan bekal
ketupat. Selama berburu mereka tidak diperbolehkan membuang
bungkus ketupat. Bungkus-bungkus ketupat akan dikumpulkan dalam
keranjang yang dibawa oleh Pamali Lawo.
Selama Upacara Pamali Manggodo tidak seorangpun
diperbolehkan untuk malakukan kegiatan apapun di lokasi
persawahan. Jika ada warga masyarakat yang melanggar ketentuan,
84
mereka akan didenda seekor ayam dan gabah satu ganta. Dan
upacara dianggap tidak syah serta harus diulang. Bersamaan dengan
itu, warga masyarakat juga dilarang membuat suara gaduh atau suara
lain yang mengganggu ritualitas upacara.
Prosesi Upacara Pamali Manggodo selanjutnya adalah upacara
tolak bala burung pipit. Upacara ini dipimpin oleh Pamali Kari‟i dengan
perangkat sesajen yang bertujuan untuk mengusir hama burung pipit.
Ritual tolak bala burung pipit ini dilakukan dengan cara
menyemprotkan air bersama dengan beras, tawoa, daun jambu, daun
sirih dan kelapa muda yang telah dikunyah melalui mulut (sampuru)
pamali kari‟i dari kejauhan dengan disertai mantra. Sampuru dilakukan
pertama kali di atas bukit pegunungan, jika tidak mampan dilakukan
dari kejauhan baru dilakukan dari dekat dengan langsung mendatangi
areal persawahan. Prosesi ini juga diikuti oleh tembang-tembang asli
Sambori, Belaleha. Tembang ini hanya dilantunkan kaum perempuan.
Dengan demikian tembang Belaleha merupakan lagu sakral. Tembang
Belaleha juga digunakan untuk upacara tolak bala jika terjadi wabah
penyakit di desa.
Setelah upacara tolak bala burung pipit usai, tibalah waktunya
membagi-bagikan semua hasil buruan kepada seluruh warga
masyarakat di rumah Pamali Lawo. Penduduk datang ke rumah Pamali
Lawo dengan membawa sewa (tempurung kelapa) untuk meminta
daging hewan buruan untuk dibawa pulang. Untuk mengatur
85
pembagian, setiap warga yang ingin mendapatkan bagian
menyerahkan potongan bambu kecil kepada Pamali Lawo.
Syair nyanyian Bela Leha adalah sebagai berikut :
Belaleha,
Alona Tembe Kala
Aloyilana matiri nggunggu
Ndoo poda dikatente Cepe
Belaleha
Ria Ese Tolo Reo
Mamuna Tembe me‟e ma riu
Dodoku di salampe cempe
Belaleha
Nuri se tolo naru
Manangi la ntonggu tolu
Oi oluna sacanggi moro
Bela leha
Aka‟du la joa
Makidi katake hidi
Rasa pana ra ngari dompo
Belaleha
Aka‟du dou matua
Ma wi‟ina nggahi karenda
Karenda da mbali mbua
Sebagai penutup Upacara Pamali Manggodo, Pamali Lawo
akan membuat ramuan obat penangkal hama dari bungkus ketupat
yang dikumpulkan selama melakukan perburuan. Dengan disertai doa-
doa, bungkus ketupat dibakar dan abunya dibagi-bagikan kepada
semua warga masyarakat sebagi obat tolak bala dengan cara
86
menaburkan di sawah masing-masing sekaligus untuk menandai
dimulainya masa tanam.
C. Fungsi Upacara Pamali Manggodo
Aktivitas pertanian merupakan sesuatu yang telah dilakukan oleh
masyarakat sejak berabad-abad lamanya. Berawal dari pemenuhan
kebutuhan dasar manusia menjadikan aspek pertanian begitu penting di
mata masyarakat maupun di mata dunia.
Pertumbuhan tanaman pertanian memiliki kesamaan dalam siklus
kehidupan organisme manusia. Sejak pertama kali dilahirkan ke bumi,
manusia harus melalui ritual inisiasi untuk memasuki tahap kehidupan
baru. Selanjutnya, tanaman padi juga melalui berbagai macam krisis
pertumbuhan yang dapat mengakibatkannya tidak mampu untuk bertahan
hingga usia matang. Ancaman-ancaman penyakit atau gangguan-
gangguan hama, tingkat kesuburan lahan dan lain sebagainya menjadikan
tahap pertumbuhan tanaman padi semakin sulit. Dengan demikian, hal
tersebut lambat laun membuat masyarakat menyadari akan masalah
tersebut dan untuk itu diperlukan jalan/upaya guna mempermudah atau
melancarkan pertumbuhan tanaman pertanian mereka.
Serangan hama merupakan persoalan yang amat krusial dan lazim
bagi tanaman pertanian pada umumnya. Penyakit yang diakibatkan oleh
hama membuat dampak pada hasil panen. Jika lahan pertanian
masyarakat diserang oleh hama, maka akan sulit untuk menciptakan hasil
panen yang maksimal dan berkualitas. Gangguan hama tentunya amat
87
meresahkan masyarakat petani karena dapat menyebabkan ekonomi
mereka terpuruk. Hal ini berarti bahwa masyarakat mengalami kerugian
yang amat signifikan dari segi penghidupan mereka.
Seorang anggota masyarakat menunjukkan bahwa upacara pamali
manggodo memiliki dampak positif atau manfaat yang besar terutama
dalam hal menyelamatkan padi dari hama. Apa yang dimaksudkan terletak
pada proses sampuru yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan
hama. MM (40 thn) mengemukakan :
“indo wa‟u ba sampro fare ma bou doho aka, ngaha ba sampuru aka na
mbora mpa si ma ndede doho re, de lo‟i aka watisi na losa wa‟u kako aka
fare de watipu ngawana made ni, kone ede na loa mpa mai mbali.
Nggara sampuru dekam de ti kone wara sisa na”.
“tidak seperti semprot padi yang baru-baru ini ada, dilakukan dengan
sampuru akan hilang begitu saja jenis-jenis hama padi itu, obat-obatan
(pestisida) itu kalau tidak dikeluarkan ulat yang ada pada padi tersebut
tidak akan mati, itu pun masih bisa kembali lagi. Sedangkan jika
dilakukan sampuru tidak akan ada biar sisanya”
(Wawancara 4 Mei 2013)
Sampuru juga dilakukan pada saat diketahui bahwa padi yang
ditanam terdapat ulat. Ini dilakukan oleh pamali kari‟i di atas pegunungan
dengan berbagai macam ramuan obat-obatan yang dipersiapkan sejak
dari awal dimulainya upacara. Ramuan tersebut terdiri dari beras, tawoa,
air, daun jambu, daun sirih dan kelapa muda.
“Ndawi lo‟i de aka uma lengge aka wali mpa. Wunga sampuru ede da loa
kai lampa rero tudu tolo reni. Warasi dou ma lu‟u tolo aip kanta kain de
bata kura”
88
“Pembuatan obat dilakukan di tempat khusus yaitu di uma lengge. Saat
proses sampuru inilah masyarakat dilarang untuk mengunjungi lahan
persawahan. Jika ada yang melanggarnya, maka upacara akan dianggap
batal dan harus diulangi.”
(Wawancara 20 April 2013)
Putnam (dalam Field, 2005:45) mengklaim bahwa masyarakat yang
berhubungan dengan baik dapat melaksanakan ekonomi secara
menyeluruh dari pada masyarakat yang tidak saling berhubungan.
Dengan kata lain, hubungan sosial yang baik di antara masyarakat
meningkatkan semangat kerja dan berpotensi untuk menyelesaikan
pekerjaan dengan cepat. Dengan adanya hubungan tersebut, masyarakat
dapat saling membantu satu sama lainnya tanpa adanya kecemburuan
dan arogansi sosial yang dapat menghambat kepedulian antarsesama.
Sangat jelas bahwa hubungan sosial dapat mempermudah
dan/atau meringankan usaha-usaha untuk menyelesaikan proses
pertanian mulai dari penanaman sampai pada panen, dalam hal produksi
maupun distribusi.
Masyarakat Sambori yang sebagian besar sebagai petani tentunya
memiliki kemampuan sebagai proses adaptasi mereka dengan lingkungan
yang menghubungkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Untuk memperoleh
apa yang mereka inginkan sebagai penopang kehidupan tersebut,
masyarakat akan membentuk struktur tindakan yang terlembaga yang
memuat upaya-upaya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Masyarakat Sambori membentuk lingkungan dan sistem pertanian mereka
sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, adanya upacara pamali
89
manggodo sebagai salah satu contoh mengenai fakta yang dikemukakan
ini. Sistem pertanian masyarakat Sambori bisa dikatakan akan pincang
jika upacara pamali manggodo ini tidak ada. Dalam struktur tindakan yang
terlembaga ini, penyesuaian atau proses adaptasi dibentuk sebagai “kerja-
kerja ekonomi”, dalam hal ini pertanian.
Kebutuhan-kebutuhan individu maupun kelompok dalam
masyarakat tidak dapat dicapai tanpa bantuan lembaga yang mengatur
hubungan-hubungan dalam sistem sosial. Semakin sering masyarakat
berinteraksi dalam suatu masyarakat maka solidaritas sosial akan
semakin terbentuk. Sifat-sifat kebersamaan ini ditampung oleh masyarakat
dalam media upacara pamali manggodo.
Terdapat segi-segi kehidupan yang hanya dapat dibagikan dengan
pasangannya, dan juga ada peristiwa-peristiwa lain (seperti ritus-ritus
publik) yang menjadi nirmakna kecuali peristiwa-peristiwa itu berlangsung
secara publik. Maka, kebudayaan boleh dipahami sebagai hal yang
memungkinkan dua atau beberapa pelaku untuk memahami satu sama
lain.
(Eriksen, 2009: 130).
Upacara ini melibatkan semua lapisan masyarakat Sambori,
sehingga mereka memiliki hubungan yang erat untuk saling membutuhkan
dan berkesinambungan. Kesinambungan yang tercipta di dalam
komunitas masyarakat terpelihara oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh
keluarga dengan membiarkan anak-anak mereka juga ikut terlibat dalam
upacara pamali manggodo, selain itu masyarakat juga memberikan
pengetahuan mereka mengenai aturan-aturan adat yang berlaku.
90
Upacara pamali manggodo memiliki fungsi sosial yang dapat
mengait masyarakat dalam kebersamaan. Ada beberapa aspek dalam
upacara pamali manggodo yang dapat kita lihat memiliki fungsi sosial bagi
masyarakat Sambori. Proses yang menggambarkan nuansa sosial yang
erat dalam upacara pamali manggodo terletak pada proses nggalo.
Nggalo merupakan proses dimana masyarakat bersama-sama melakukan
aktivitas berburu di hutan selama tiga hari berturut-turut. Nggalo juga
dianggap sebagai proses pengusiran hama atau dengan istilah
masyarakat, “lao wa‟a paki hama”.
Dalam cerita yang dikemukakan MM (40 thn) proses nggalo
menggambarkan kebersamaan yang cukup berkesan bagi masyarakat
Sambori :
“Nggori ba pamali kari‟i kalampa rawi na re, lao sama menara nggalo
wa‟a katupa labo lako ra sarente, de di nggalo kai maju. Raka si re de
ngaha sama mena rani ”
“Setelah pamali kari‟i melakukan tugasnya, kami bersama-sama
mengadakan nggalo (berburu) dengan bekal ketupat dengan membawa
anjing dan alat pengait besi (sarente), binatang buruan kami biasanya
adalah rusa dan hasilnya untuk disantap bersama-sama”.
(Wawancara 9 Mei 2013)
Masyarakat menempatkan upacara pamali manggodo dalam posisi
penting bagi keberlangsungan penghidupan mereka. Bahaya kerentanan
yang terjadi dalam sistem pertanian mereka membuat mereka takut untuk
menyepelekan aturan-aturan yang berlaku saat upacara berlangsung. Hal
ini dapat mengikat masyarakat dalam keadaan fungsional sebagai
91
kepatuhan atau ketaatan mereka pada lembaga hukum yang juga sangat
berperan dalam menciptakan integrasi masyarakat.
Upacara pamali manggodo memuat atau didasari pula oleh
kepercayaan dan agama yang merupakan unsur penting dari terciptanya
solidaritas sosial. Fungsi umum agama, diyakini terletak dalam
kemampuannya untuk menciptakan kesetiakawanan serta cita rasa
kebersamaan, dan melegitimasi perbedaan-perbedaan kekuasaan
(Eriksen, 2009:126).
Menurut Fukuyama (2002), Kepercayaan adalah salah satu unsur
penting dalam sebuah lembaga sosial yang merupakan tali pengikat
antara satu sama lain sehingga tercipta suatu dukungan yang solid dan
tahan lama. Trust adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah
komunitas yang berperilaku jujur, kooperatif, berdasarkan norma-norma
yang dimiliki bersama, dan kepentingan anggota yang lain dari komunitas
itu. Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar
manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya
memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur .
Pendapat lain, seperti yang dikemukakan oleh Robert D. Putnam,
menjelaskan bahwa trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu
bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan
sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan
melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa
bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak
92
yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya
(Hasbullah, 2006:11).
Kepercayaan masyarakat yang ditandai oleh kedatangan makhluk
halus yang merasuki anggota masyarakat dalam menyampaikan pesan
untuk mengadakan upacara pamali manggodo menyiratkan hubungan
timbal-balik antara masyarakat dengan alam gaib di sekita mereka.
Hubungan ini memiliki implikasi terhadap harmonisasi dengan alam.
Dengan menjaga hubungan tersebut maka mereka merasa terselamatkan
dari macam-macam bencana yang dapat mengancam keselamatan
lingkungan maupun keselamatan mereka sendiri.
Kesadaran masyarakat terhadap aturan atau larangan adat yang
mengharuskan mereka menjalankan ritual pamali manggodo pada
akhirnya membangun konstruk indentitas masyarakat yang semakin kuat.
Apa yang menjadi tradisi tersebut lambat laun, disadari atau tidak, dapat
membentuk kesadaran masyarakat akan keberadaan mereka sebagai
sebuah kesatuan dan ini menandakan bahwa upacara adat yang mereka
lakukan tidak dapat dipisahkan dari identitas budaya yang mereka miliki.
Masyarakat juga memahami bahwa di samping hama, ada hal lain
yang dapat merugikan aktivitas pertanian mereka, yaitu bencana alam.
Dalam proses akhir pamali manggodo, ketika masyarakat pertama kali
turun untuk menanam, ada suatu usaha penyelamatan diri agar terhindar
dari bencana seperti petir. SD (54 thn) mengisahkan :
93
“Katu‟u dekamu acara aka ka, ti kone wara maina si karece ai doho ka.
Pala watisi katu‟umu, na wara ku maina karece ai ka. Bune ainare hina
lalo na sabua dou ara ake made lalo kaina ba da katu‟u mena acara ma
ndede reni”.
“Jika kita menjalankan upacara itu, tidak ada petir yang datang
menyambar. Namun, jika tidak dilakukan, akan ada petir yang
menyambar. Suatu ketika disambarlah seseorang di sini hingga
menyebabkan ia meninggal disebabkan karena tidak mengadakan
upacara tersebut”
(Wawancara 10 Mei 2013)
Di samping kepercayaan, hal lain yang terkandung dalam proses
upacara pamali manggodo adalah seni. Unsur seni tersebut tampak pada
lantunan-lantunan syair belaleha. Syair belaleha memiliki fungsi sosial
yang tidak dapat kita acuhkan. Nyanyian yang dilantunkan bersama oleh
masyarakat tersebut memberikan nuansa kekuatan spiritual dan sosial
yang cukup besar.
Proses upacara pamali manggodo di Sambori memiliki pengaruh
yang amat mendalam bagi masyarakat terlebih bagi orang tua yang telah
sejak lama mengalami dan merasakan nuansa yang ada pada saat
upacara berlangsung. Perasaan-perasaan itu pula berkembang dari
kenyataan atau kejadian yang mereka hadapi menyangkut upacara pamali
manggodo hingga keyakinan mereka mengenai hal tersebut semakin
bertambah.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upacara pamali manggodo merupakan suatu upacara adat yang
melekat dalam kehidupan masyarakat Sambori, khususnya pada ranah
pertanian. Upacara adat Pamali Manggodo merupakan aktivitas
masyarakat Sambori yang dilakukan secara turun-temurun atau menjadi
tradisi dari nenek moyang mereka. Dalam upacara ini masih terkandung
unsur kepercayaan asli masyarakat yang juga mengalami sinkretis dengan
kepercayaan islam yang masuk belakangan.
Unsur-unsur upacara adat dapat kita katakan sama di setiap
masyarakat. Berbagai macam praktik ritual memiliki suatu tendensi yang
bersifat religius. Namun, pada kenyataannya hal ini bukanlah penentu
bagi dasar keberlangsungan suatu sistem. Kepercayaan dalam
masyarakat tidak dapat kita letakkan sebagai dasar dari setiap sistem
tindakan. Hanya saja, sistem tindakan tersebut memiliki pengaruh yang
relatif lebih besar jika ia didasari dengan sistem kepercayaan masyarakat.
Dalam upacara adat pamali manggodo, dasar kepercayaan itu ada.
Unsur kepercayaan yang mengejawantah dalam struktur tindakan
masyarakat tertata dalam upacara pamali manggodo. Struktur tindakan
yang muncul dalam upacara adat ini memberikan kontribusi yang bahkan
tidak disadari sendiri oleh anggota masyarakat.
95
Intensitas hubungan sosial, kepekaan, solidaritas, pengusiran
hama, menjadi suatu bukti bahwa upacara pamali manggodo memiliki
signifikansi fungsional bagi masyarakat Sambori. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa upacara adat pamali manggodo muncul karena
dibutuhkan oleh masyarakat. Upacara ini memiliki fungsi yang dibutuhkan
demi keberlangsungan hidup masyarakat Sambori.
Peran penting yang dapat dilihat dari terciptanya upacara adat
pamali manggodo adalah pemeliharaan pola. Struktur tindakan
masyarakat yang bermuara pada stabilitas sosial dan kebersamaan ini
terbangun sebagai lembaga yang dapat menyalurkan kebutuhan hidup
masyarakat Sambori.
B. Saran
Kebutuhan akan suatu sistem tindakan yang memberikan fungsi
bagi masyarakat tidak selamanya bersifat paten. Suatu sistem sosial akan
tumbuh berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan dari setiap
perkembangan. Organisme sosial akan beradaptasi dalam ruang di mana
ia hidup dan akan selalu berusaha untuk mencapai ekuilibrium. Namun hal
ini bukanlah terlepas dari masalah. Yang mana kebutuhan-kebutuhan
tersebut senantiasa mendapatkan benturan-benturan dalam berbagai
perkembangannya. Untuk itu, syarat-syarat fungsional juga perlu
diperhatikan dan dievaluasi oleh berbagai kalangan.
Adapun saran penulis berkaitan dengan masalah yang telah
dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
96
1. Pemerintah kabupaten maupun desa kiranya dapat lebih ketat
menjaga adat istiadat masyarakat Sambori demi keberlangsungan
dan keseimbangan sistem sosial.
2. Sekiranya dapat diberikan penjelasan terhadap masyarakat akan
pentingnya menjaga norma dan nilai-nilai budaya yang terkandung
dalam tradisi atau adat istiadat mereka demi kepentingan bersama.
3. Perlu dievaluasi kembali hal-hal yang dapat mengakibatkan
perubahan sosial budaya masyarakat. Baik jika hal itu, misalnya
berhubungan dengan sistem kepercayaan ataupun kesehatan,
tidak semestinya merombak atau menghapus keseluruhan adat
yang berlaku.
97
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Akhmar & Syarifuddin (ed). 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. Makassar : PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua Kementrian Negara Lingkungan Hidup RI Bekerja Sama dengan Masagena Press
Alfian (ed). 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT
Gramedia. Arif, Saiful. 2010. Refilosofi Kebudayaan; Pergeseran Pasca Struktural.
Jogjakarta: Ar-ruzz Media Budhisantosa, S. 1981. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Informasi
Kebudayaan, Analisis Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud. Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman
Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
---------------- (Ed.). 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. Eriksen, T. H. 2009. Antropologi Sosial dan Budaya; Sebuah Pengantar.
Maumere : Ledalero. Field, John. 2005. Modal Sosial. Medan : Penerbit Bina Media Perintis
Fukuyama, Francis. 2002. Trust: Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Penerjemah Ruslani. Qalam.
Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital : Menuju Keunggulan Budaya
Manusia Indonesia. Jakarta : MR-United Press.
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
----------------. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
98
---------------. 2010. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Kusmiran, Tony. 2002. Upacara Adat Berladang Dayak Bukit. Majalah
Kalimantan Review Edisi Reguler Nomor 86 Tahun XI Oktober. Maryam, S. dkk. 2013. Aksara Bima; Peradaban Lokal yang Sempat
Hilang. Mataram: Alam Tara Institure Bekerja Sama Dengan Samparaja Kota Bima.
O‟Dea, Thomas F. 1995. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal.
Terjemahan: Yasogama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Poloma, M. Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. Redfield, Robert. 1981. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: CV
Rajawali Ritzer, George and Goodman J. Douglas. 2011. Teori Sosiologi ; Dari
Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul : Kreasi Wacana.
Robertson, Roland (ed.). 1988. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi
Sosiologis. Jakarta: CV Rajawali. Sani, Yamin M. & Nurhaedar. 2007. Imperatif Sosial dalam Tradisi
Pertanian Padi Sawah Orang Bugis Di Belawa Wajo, dalam Akhmar & Syarifuddin (Ed.). Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. Makassar: Masagena Press.
Sudarsono, Dwi. dkk. 1999. Dari Pelestarian Hingga Pembusukan: Hasil
Studi Dampak Pariwisata Terhadap Hak Masyarakat Adat di NTB. Mataram: Yayasan Koslata-NTB Bekerja Sama Dengan INPI-Pact.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. 2010. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius. Tohir. A. Kaslan. 1991. Seuntai Pengetahuan Usaha Tani Indonesia.
Jakarta : PT Rineka Cipta. Turner & Maryanski. 2010. Fungsionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Weber, Max. 2012. Sosiologi Agama, A Handbook. Jokjakarta : IRCiSoD
99
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi. Yogyakarta : PT. Tiara WacanaYogya
Winangun, Y. W. Wartaya. 1990. “Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner”. Kanisius. Yogyakarta.
Sumber Internet
Kelompok Ternak Pucak Manik. 2012. Upacara "Nangluk Merana" Di Bali.
http://kelompokternakpucakmanik.blogspot.com/2012/01/upacara-
nagluk-merana-di-bali.html Diakses pada tanggal 02 Februari 2013,
pukul 23.00
Roen, Ferry. 2011. Talcott Parsons: Teori Struktur Fungsional.
http://perilakuorganisasi.com/talcott-parsons-teori-struktur-fungsional.html Diakses pada Tanggal 04 Februari 2013
Tugino. 2012. Upacara Adat Di Indonesia.
http://mastugino.blogspot.com/2012/09/upacara-adat-di-indonesia.html. diakses pada tanggal 10-02-2013
Yulistyani, Winda. 2012. Sistem Sosial dan Struktur Sosial. http://pertanianunpad.wordpress.com/2012/12/21/sistem-sosial-dan-struktur-sosial/ diakses pada tanggal 22-06-2013
http://en.wikipedia.org/wiki/Ceremony Diakses pada tanggal 20-01-2013,
pukul 20.00 http://www.sentra-edukasi.com/2011/08/upacara-adat.html#.UPB_8e-xfDc
Diakses pada tanggal 03-02-2013, pukul 23.30
101
Gambar : Kondisi Bukit dan Ladang Masyarakat
Gambar : Wawancara Dengan Informan
Gambar : Kantor Desa Sambori