116
FUNGSI UPACARA PAMALI MANGGODO DALAM AKTIVITAS PERTANIAN TRADISIONAL DI DESA SAMBORI KEC. LAMBITU KAB. BIMA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin OLEH: SARDANI E511 08 277 DEPARTEMEN ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

SKRIPSI - core.ac.uk · 1 Asal-usul Upacara ... masyarakat Indonesia hingga pada wilayah praktek keagamaan. ... mencegah terjadinya masalah semacam itu,

Embed Size (px)

Citation preview

FUNGSI UPACARA PAMALI MANGGODO DALAM AKTIVITAS

PERTANIAN TRADISIONAL DI DESA SAMBORI

KEC. LAMBITU KAB. BIMA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada

Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Hasanuddin

OLEH:

SARDANI

E511 08 277

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Judul skripsi : Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam Aktivitas

Pertanian Tradisional di Desa Sambori Kec. Lambitu

Kab. Bima

Nama : Sardani

NIM : E 511 08 277

Telah diperiksa dan disetujui pada ujian skripsi

Menyetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS Dra. Hj. Nurhadelia M.Si

NIP. 19501125 198003 1 001 NIP. 19600913 198702 2 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Antropologi FISIP UNHAS

DR. Munsi Lampe, MA NIP. 19561227 198612 1 001

iii

HALAMAN PENERIMAAN

Nama : Sardani

NIM : E 511 08 277

Judul Skripsi : Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam Aktivitas

Pertanian Tradisional di Desa Sambori Kec.

Lambitu Kab. Bima

Telah diterima oleh Panitia Ujian Sarjana Program Studi Antropologi

Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar

untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana.

Panitia Ujian

Ketua : Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA (………………….)

Sekertaris : Dr. Tasrifin Tahara, M.Si (………………….)

Anggota : Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS (………………….)

Dr. Munsi Lampe, MA (………………….)

Dr. Ansar Arifin, MS (………………….)

Dra. Hj. Nurhadelia FL, M.Si (………………….)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat, hidayah

serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam Aktivitas Pertanian Tradisional

di Desa Sambori Kec. Lambitu Kab. Bima” ini sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana (S1) pada Jurusan Antropologi, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Salawat

dan salam pada junjungan besar nabi Muhammad SAW. sebagai utusan-

Nya yang membawa cahaya petunjuk bagi seluruh umat.

Penulis menyadari dan mengakui penyelesaian skripsi ini tidak

dapat tercapai tanpa bantuan dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk

secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penulis merasa perlu

menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar beserta staf-staf

yang melaluinya penulis mengurus segala keperluan dalam

penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih atas

pelayanan yang diberikan.

2. Dr. Munsi Lampe, MA selaku Ketua Jurusan Antropologi Program

Studi S1 Universitas Hasanuddin yang melalui kritikan-kritikan

beliau membantu penulis menyadari kelemahan dan kekurangan

yang ada.

v

3. Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS sebagai Pembimbing I dan Dra.

Nurhadelia FL, M.Si selaku Pembimbing II yang sama-sama telah

mengarahkan penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Antropologi Universitas Hasanuddin yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis melalui

kegiatan-kegiatan akademik serta diskusi-diskusi di luar bangku

perkuliahan.

5. Aparat pemerintah pada umumnya se-Kabupaten Bima dan

khususnya di Desa Sambori, terkhusus lagi kepada Kepala Desa

Sambori, Bapak Muhtar, SE yang memberikan sambutan hangat

kepada penulis.

6. Rukiah Syam S.Sos, ibunda tercinta dengan segala kesabaran dan

jasa beliau yang amat besar dalam kehidupan penulis dan Ir.

Usman A. Gani, ayahanda yang juga tidak lepas dari partisipasi

kritik dan saran beliau terhadap tulisan ini dari awal hingga akhir.

Penulis merasa bersyukur sekaligus merasa bangga menjadi anak

yang dikaruniakan kepada kedua pasangan tersebut. Semoga Allah

SWT membuka pintu-pintu ramhmat dan ampunan-Nya untuk

mereka serta mendapatkan kebahagian semasa di dunia maupun di

akhirat kelak.

7. Saudara-saudara yang ku sayangi, Iwan Satyadi, Radius Adi

Saputra dan Mahardalis. Semoga kalian hidup bahagia dan

senantiasa memperoleh rezki dari Allah SWT.

vi

8. De Judin, kakanda yang banyak berjasa membantu peneliti selama

di lapangan. Tanpa beliau, penulis merasa amat kesulitan dalam hal

pengumpulan data.

9. Sahabat-sahabat yang menyempatkan diri untuk menemani peneliti

ke lokasi penelitian, Sofian, Roger, Masnoen dan Aron.

10. Teman-teman dan Kerabat Antropologi yang juga memberikan

dukungan serta inspirasi bagi penulis dalam setiap kesempatannya.

Akhir kata, penulis menyadari kekurangan-kekurangan yang ada

dalam setiap langkah dan tahap penyusunan skripsi ini. Karena itu penulis

membuka diri menerima segala bentuk kritik dan saran yang berkenaan

dengan tulisan ini.

Semoga segala sifat, ucapan, sikap dan tingkah laku penulis tiada

meninggalkan aib, kebencian serta kedengkian dari berbagai pihak.

Adapun jika terdapat kesalahan yang sengaja maupun tidak disengaja,

penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kebaikan yang

dicurahkan kepada penulis mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah

SWT.

Makassar, 28 Agustus 2013

Penulis

vii

ABSTRAK

E51108277. SARDANI. Skripsi ini berjudul “Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam Aktivitas Pertanian Tradisional di Desa Sambori Kec. Lambitu Kab. Bima”. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Penelitian ini mengkaji tentang upacara pamali manggodo sebagai

sebuah upacara dalam bidang pertanian masyarakat Sambori terutama

dari segi proses dan fungsinya terhadap masyarakat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif. Dalam proses pengumpulan

data, peneliti menggunakan teknik studi literature, observasi partisipasi

dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan berpedoman pada

interview guide yang telah dipersiapkan sebelumnya. Analisis data yang

digunakan adalah analisis data kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa upacara adat pamali

manggodo merupakan sebuah upacara yang melekat dalam kehidupan

masyarakat Sambori, khususnya dalam ranah pertanian. Upacara ini

didasari oleh kepercayaan masyarakat yang masih dipengaruhi oleh

kepercayaan Animisme sebagai kepercayaan asli dan pengaruh Hindu

yang kuat dari masa kerajaan. Hal ini dapat dilihat dari proses

pelaksanaan upacara yang juga menempatkan sesajen sebagai bentuk

penghormatan masyarakat terhadap dunia gaib.

Kesimpulan akhir dari penelitian ini menunjukkan kepada kita

bahwa upacara adat pamali manggodo muncul sebagai suatu sistem

tindakan yang memiliki fungsi bagi sistem sosial atau bagi masyarakat

Sambori sebagai sarana untuk mempertahankan keberlangsungan

anggotanya dan mencapai ekuilibrium.

viii

ABSTRACT

E51108277. SARDANI. This Thesis Entitled “Function Pamali Manggodo Ceremony in The Traditional Agricultural Activities in the Sambori Village Lambitu District Bima Regency”. Department of Anthropology Faculty of Social and Political Sciences Hasanuddin University.

This research investigate about the pamali manggodo ceremony as

a ritual in the agricultural field of Sambori society especially in terms of the

processes and functions to the community.

The method used in this research is a qualitative research method

with a descriptive type. In the processes of data collection, researcher

used a technique study of literature, participatory observation and in-depth

interview based on the interview guide that had been prepared advance.

Analysis method of data that used is the qualitative data analysis.

The results of research showed that the pamali manggodo is a ritual

that inherent in Sambori public life, especially in the realm of agriculture.

The ceremony is based on the belief of community are still influenced by

Animism as a indigenous belief and influenced by strong Hindu belief of

the Kingdom age. It can be seen from the process of the ceremony which

puts ritual offerings as a form of homage of the unseen world.

The final conclusion of this research shows us that traditional

ceremonies pamali mangodo appears as an action system that has

function for the social system or to Sambori society as a means to maintain

the sustainability of its members and to reach the equilibrium.

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................ ii

HALAMAN PENERIMAAN ............................................................... iii

KATA PENGANTAR ........................................................................ iv

ABSTRAK ........................................................................................ vii

ABSTRACT ...................................................................................... viii

DAFTAR ISI ...................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .............................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................... 1

B. Fokus Masalah ..................................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7

D. Tinjauan Konseptual ............................................................ 8

E. Metode dan Teknik Penelitian .............................................. 15

1. Metode Penelitian ........................................................... 15

2. Penentuan Lokasi Penelitian ......................................... 16

3. Teknik Pemilihan Informan ........................................... 17

4. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 17

5. Teknik Analisis Data ....................................................... 19

F. Hambatan Penelitian ............................................................ 19

G. Sistematika Penulisan ......................................................... 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi dan Sistem ................................................................ 22

B. Fungsi Upacara .................................................................... 25

C. Fungsionalisme .................................................................... 29

D. Petani dan Karakteristik Pertanian Tradisional ................. 38

x

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI

A. Sejarah Singkat Desa Sambori ........................................... 41

B. Kondisi Geografis ................................................................ 46

C. Demografi ............................................................................. 47

D. Mata Pencaharian Hidup ...................................................... 48

E. Agama dan Sistem Kepercayaan ........................................ 52

F. Kondisi Sosial-budaya ......................................................... 55

G. Pendidikan ............................................................................ 58

H. Kesehatan ............................................................................. 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Pertanian Tradisional .............................................. 62

1. Sistem Pemanfaatan dan Pembukaan Lahan ............... 65

2. Sistem Pengolahan Lahan ............................................. 71

B. Upacara Pamali Manggodo ................................................. 75

1 Asal-usul Upacara .......................................................... 75

2 Unsur-unsur Upacara ..................................................... 77

3 Proses Pelaksanaan Upacara ........................................ 81

C. Fungsi Upacara Pamali Manggodo ..................................... 86

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 94

B. Saran ..................................................................................... 95

DAFTAR PUSTAKA

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kebutuhan Instrumental Menurut Malinowski ............... 35

Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Sambori .................................... 48

Tabel 3. Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Lambitu

Kabupaten Bima Tahun 2007-2012 .................................. 50

Tabel 4. Produksi Sayur-sayuran Kecamatan Lambitu

Kabupaten Bima Tahun 2012 ........................................... 50

Tabel 5. Jumlah Ternak Penduduk Desa Sambori ........................ 51

Tabel 6. Sarana Keagamaan Desa Sambori .................................. 54

Tabel 7. Prasarana Pendidikan Desa Sambori ............................. 58

Tabel 8. Prasarana Kesehatan ....................................................... 61

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Masjid di Dua Dusun Desa Sambori ............................ 54

Gambar 2. Anak Sekolah Desa Sambori ....................................... 59

Gambar 3. Poskesdes Sambori ...................................................... 61

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman budaya

dan suku yang patut dibanggakan. Keanekaragaman ini memberikan

warna hidup yang berbeda-beda sebagai tradisi yang mencirikan suku

masing-masing. Pandangan dunia yang berbeda-beda tampak pada

praktek kehidupan sehari-hari baik dari segi ekonomi, sosial budaya

maupun politik. Tidak hanya itu, dari segi geografis, Indonesia juga

memperlihatkan perbedaan (diversitas). Sekian banyak pulaunya, besar

dan kecil, yang tersebar di atas permukaan laut yang luasnya melebihi

seluruh wilayah daratan Amerika Serikat mengakibatkan isolasi budaya,

walaupun budaya dari pulau-pulau yang berbeda di Indonesia itu

mempunyai akar yang sama (Wertheim 1999:1-2).

Kehidupan masyarakat Indonesia sampai sekarang ini telah banyak

dipengaruhi oleh kebudayaan luar baik dari zaman kolonial atau

sebelumnya. Pengaruh kebudayaan tersebut terutama masih banyak

dilihat pada sistem kepercayaan masyarakat yang mana kepercayaan

tersebut lambat laun dipengaruhi pula oleh kepercayaan lain. Seperti,

misalnya kebudayaan Hindu pada masa kerajaan dulu, memiliki pengaruh

yang amat besar di kalangan masyarakat Indonesia. Unsur-unsur budaya

Hindu diterima terutama pada kalangan menengah atas atau pada

masyarakat istana, sehingga juga mudah diterima oleh masyarakat

2

kalangan menengah dan bawah. Raja-raja pada zaman dahulu

mengundang ahli-ahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana

untuk menjadi konsultan dan penasehat mengenai struktur dan upacara-

upacara keagamaan dan juga mengenai sistem kenegaraan

(Koentjaraningrat, 2010:21). Hal ini menyiratkan bahwa unsur-unsur

kebudayaan luar, terutama pada sistem kepercayaan melekat pada

masyarakat Indonesia hingga pada wilayah praktek keagamaan.

Setiap masyarakat memiliki kepercayaan terhadap apa yang ada di

luar dirinya sebagai sesuatu yang melampaui kekuatan mereka. Kekuatan

semacam ini disebut juga dengan kekuatan supernatural, kekuatan

adikodrati, kekuatan gaib dan lain sebagainya. Pada masyarakat tertentu,

berbagai macam kejadian, seperti bencana alam, wabah penyakit yang

menyerang masyarakat atau lahan pertanian dan berbagai macam

kejadian lainnya diyakini bersumber dari kekuatan supernatural yang

menghuni tempat-tempat tertentu di sekitar mereka. Sehingga, untuk

mencegah terjadinya masalah semacam itu, masyarakat membuat

berbagai macam praktik ritual sebagai bentuk persembahan yang

diarahkan pada sumber atau pemilik kekuatan tersebut. Selain itu,

kepercayaan masyarakat akan kekuatan semacam ini membuat mereka

melakukan berbagai macam permintaan demi keuntungan atau

kesejahteraan dirinya.

Ada pula masyarakat yang menghendaki suatu kekuatan tertentu

yang dapat mereka pergunakan untuk berbagai macam hal di luar

3

“kemampuan normal” manusia. Demikian melalui aneka macam ritual,

kekuatan-kekuatan adikodrati atau supernatural tersebut mendapatkan

bentuk ungkapan publiknya (Eriksen, 2009:354).

Menurut perjalanan sejarah, daerah Asia Tenggara tercatat sebagai

salah satu daerah di mana kepandaian bercocok tanam muncul. Pada

masyarakat Indonesia sendiri tersebar macam-macam kegiatan yang

berhubungan dengan bercocok tanam. Kegiatan bercocok tanam tersebut

juga disertai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masyarakat

sebagai suatu aturan tradisional dengan cara-cara tertentu. Ialah upacara

adat dan ritual khusus mendapat tempat yang penting dalam kebiasaan

bercocok tanam ini yang juga memuat unsur-unsur kepercayaan. Dalam

hal ini, agama atau sistem kepercayaan juga mengejawantah dalam

aktivitas ekonomi masyarakat, atau berdasar atas pernyataan Eriksen tadi,

agama dan kepercayaan tersebut terungkap secara publik dalam kegiatan

bercocok tanam melalui ritual-ritual atau upacara.

Upacara adat tidak hanya menggambarkan sisi kehidupan

masyarakat dengan maksud tertentu saja, misalnya, hanya dengan

maksud ekonomi. Melainkan upacara adat dapat memuat berbagai

macam aspek kehidupan masyarakat, baik itu sosial, ekonomi, politik,

religi dan lain sebagainya.

Seperti halnya masyarakat Dayak di Kalimantan, upacara atau

ritual adat sangat banyak dan beraneka macam ditemukan pada setiap

peristiwa penting menyangkut kehidupan mereka. Khususnya pada

4

persoalan bercocok tanam atau kegiatan berladang, setiap sub suku

memiliki upacara dan ritual masing-masing. Pelaksanaan upacara

merupakan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun dan memuat

unsur kepercayaan yang sangat kental terhadap dunia mistik. Pada tradisi

membuka lahan sebagian masyarakat Dayak bahkan mengenal macam-

macam nama makhluk halus atau roh yang menghuni kawasan hutan

tempat lahan akan dibuka dan roh-roh tersebut juga berbeda-beda sesuai

dengan bentuk tanah yang ada. Dengan adanya makhluk berupa roh

tersebut, kegiatan berladang harus mendapatkan izin dengan

mengadakan ritual dan menyiapkan sesajen (Kusmiran, 2002).

Sama halnya pada masyarakat Dayak, di Bali terdapat banyak

upacara yang erat kaitanya dengan dunia pertanian, salah satunya yakni

Upacara Nagluk Merana. Upacara Nagluk Merana bermaksud untuk

menghindari segala mara bahaya atau gangguan yang menyerang lahan

pertanian atau perkebunan, seperti burung, monyet, lebah, tikus, belalang

sangit, ujung janur mati, dan mereng. Inti upacara ini adalah permohonan

kepada Tuhan agar keseimbangan alam tetap terjaga. Oleh sebab itu,

upacara Nangluk Merana, yang menurut sastra kuno adalah dipercaya

untuk penanggulangan secara 'niskala' atas hama yang datang

menyerang tanaman milik para petani.

Ada pula upacara yang disebut pasola di Sumba yang diadakan

pada bulan Februari atau Maret dalam rangka memohon restu para dewa

agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Di Indramayu, Jawa

5

Barat, dikenal istilah ngarot, yakni upacara yang digelar setiap akhir tahun

atau menjelang masa penggarapan sawah, musim tanam atau musim

penghujan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Di Asahan, Sumatra

Utara, dikenal tradisi bondang yang dilakukan saat musim tanam (buka

bondang) dan musim panen (tutup bondang).

Masih banyak lagi upacara adat yang tetap dipertahankan dalam

kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai macam ritual yang

berkaitan dengan lahan atau aktivitas pertanian entah itu dimaksud

sebagai ungkapan rasa syukur, permohonan akan keberhasilan atau

pencegahan hama tani dan lain sebagainya.

Di Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdapat pula

suatu upacara adat yang terejawantah dalam kehidupan ekonomi

masyarakat, yakni pada aktivitas pertanian. Upacara adat yang dimaksud

dikenal dengan istilah pamali manggodo yang menandakan event khusus

pada saat masyarakat akan membuka lahan untuk bercocok tanam.

Sebagaimana upacara-upacara adat lainnya, pamali manggodo

didasari oleh kepercayaan dan tradisi yang telah melekat sejak lama

dalam kehidupan masyarakat di desa Sambori. Setiap masyarakat

mempunyai alasan tersendiri mengapa mereka masih mempertahankan

adat istiadat yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Namun, pada

umumnya setiap upacara adat memiliki fungsi masing-masing yang dapat

memberikan keuntungan kepada masyarakat. Hal demikian dapat didasari

oleh pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

6

Bagaimanapun, aktivitas pertanian merupakan ranah penting dan

menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Untuk itu, upacara pamali

manggodo memiliki peran yang amat signifikan dalam aktivitas pertanian

masyarakat Sambori.

Mengikuti dasar pemikiran ini penulis mengangkat sebuah

penelitian dengan judul, “Fungsi Upacara Pamali Manggodo dalam

Aktivitas Pertanian Tradisional di Desa Sambori Kecamatan Lambitu

Kabupaten Bima”.

B. Fokus Masalah

Setiap penelitian memiliki fokus masalah yang dijadikan sebagai

arah dalam menjalankan proses penelitian dan membatasi ruang lingkup

pembahasannya. Dalam penelitian ini upacara adat dilihat juga sebagai

ritual (yang pengertiannya akan disebutkan kemudian). Ritual

berhubungan erat dengan kepercayaan dan oleh karena itu, maka

upacara adat yang dimaksud dalam penelitian ini terkait dengan sistem

kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Sambori dalam usaha

menjelaskan fungsinya. Dengan begitu, fokus masalah dalam penelitian

ini dibatasi pada :

a. Bagaimana proses upacara Pamali Manggodo di Desa Sambori

Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima ?

b. Bagaimana fungsi upacara Pamali Manggodo di Desa Sambori

Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima ?

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Penelitian ini berangkat dari dua tujuan pokok, yaitu :

a. Untuk menggambarkan proses upacara adat Pamali Manggodo

di Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima.

b. Untuk menjelaskan fungsi upacara adat Pamali Manggodo di

Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima.

2. Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh melalui hasil penelitian ini

berdasarkan pada tujuan yang dicapai dan secara umum dibagi

menjadi dua bagian yakni wilayah akadamis dan wilayah praktis :

a. Secara akademis, hasil penelitian diharapkan dapat

memberikan informasi dan menjadi bahan kajian atau menjadi

bahan bandingan yang membahas tentang fungsi upacara adat

khususnya pada aktivitas pertanian masyarakat, terutama di

kalangan mahasiswa antropologi sebagai penggiat kajian

budaya yang menaruh perhatian pada tradisi-tradisi masyarakat

dan atau ritual adat yang berlaku di suatu masyarakat.

b. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi

acuan, rujukan atau bahan pertimbangan dalam membuat

keputusan atau kebijakan pembangunan yang dapat

mempengaruhi kepercayaan, norma, adat-istiadat dan

kebudayaan yang berlaku pada masyarakat.

8

D. Tinjauan Konseptual

a. Kebudayaan

Kebudayaan merupakan produk (hasil ciptaan) masyarakat

manusia. Dengan dan melalui kebudayaan, masyarakat membentuk

kehidupan mereka. Manusia berinteraksi dan terhubung satu dengan

lainnya dengan cara-cara tertentu seturut kebudayaan yang mereka

miliki.

Kebudayaan juga menandakan ciri khas suatu masyarakat,

bahwa apa yang menurut mereka “benar” membuat mereka berbeda

dengan masyarakat lainnya. Namun demikian, kebudayaan memiliki

suatu kesamaan yang berlaku pada setiap masyarakat. Kesamaan

yang berlaku universal ini dapat dilihat dari aksioma dasar

fungsionalisme tentang kebudayaan, yaitu: (a) budaya merupakan

sarana instrumental yang menempatkan manusia pada posisi istimewa

agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan

lingkungannya, (b) budaya merupakan sebuah sistem dari objek,

aktivitas, dan sikap yang bertujuan untuk mecapai sasaran tertentu, (c)

budaya merupakan bagian integral yang setiap unsur saling

tergantung, (d) aktivitas, sikap, dan obyek budaya akan terorganisir ke

dalam institusi, seperti keluarga, klan, politik, pendidikan, dan

sebaginya, (e) dari sudut pandang dinamika budaya, dapat dilihat pula

masing-masing institusi (Endraswara, 2006:101).

9

Bronislaw Molinowski berpendirian bahwa segala aktivitas

kebudayaan itu bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah

kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh

kehidupannya. Namun, banyak juga aktivitas kebudayaan terjadi

karena kombinasi dari beberapa macam human needs itu

(Koentjaraningrat, 2010: 171).

Kebudayaan tidak hanya sekedar apa yang dimiliki oleh

masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dinamika

kehidupan masyarakat menciptakan berbagai bentuk tindakan yang

seringkali tidak disadari oleh mereka sendiri. Namun, di sinilah sumber

kekuatan yang menunjang keberlangsungan masyarakat. Parsons

menyebut kebudayaan sebagai kekuatan utama yang mengikat

berbagai elemen dunia sosial, atau dalam bahasanya, sistem tindakan

(Ritzer dan Goodman, 2011).

b. Upacara Adat dan Ritual

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang

terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan

kepercayaan. Upacara adat adalah suatu upacara yang dilakukan

secara turun-temurun yang berlaku dalam suatu masyarakat. Upacara

memuat berbagai praktek ritual di mana proses ritual tersebut

mencerminkan arti yang dapat menjelaskan upacara yang diadakan.

Dalam Wikipedia, disebutkan bahwa “a ceremony is an event of ritual

significance, performed on a special occasion”. Jadi, upacara

10

merupakan ritual penting dalam momen tertentu. Sedangkan ritual

didefinisikan sebagai segi sosial dari agama. Seperti yang dapat kita

lihat dari penjelasan Eriksen berikut :

Bila kita bisa mendefinisikan agama sebagai sistem pemahaman

menyangkut yang adikodrati dan yang sakral, menyangkut kehidupan

sesudah kematian dan seterusnya (lengkap dengan berbagai

implikasi politiknya yang gamblang), maka ritual adalah berbagai

proses sosial yang memberi bentuk kongkret pada pemahaman

dimaksud. Secara sangat umum kita dapat mengatakan bahwa ritual

adalah rupa-rupa peristiwa publik yang terikat pada aturan, yang

dalam satu dan lain cara membuat tematisasi atas relasi antara

ranah duniawi dan ranah spiritual.

(Eriksen, 2009:365).

Ritual merupakan suatu bentuk upacara yang berhubungan

dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat

khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti

merupakan pengalaman suci (O‟Dea, 1995:5-36). Pengalaman

tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat dan dipergunakan oleh

manusia untuk menyatakan hubungan dengan alam transendental.

Hubungan atau perjumpaan tersebut bukan merupakan sesuatu yang

umum atau biasa, tetapi sesuatu yang bersifat khusus dan istimewa

sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna

melaksanakan hubungan atau pertemuan tersebut. Oleh karena itu

upacara ritual diselenggarakan pada waktu yang khusus, tempat yang

11

khusus, perbuatan yang luar biasa dengan dilengkapi berbagai

peralatan ritus yang bersifat sakral.

Menurut Koentjaraningrat (2000: 377-378), ada beberapa unsur

yang terkait dengan pelaksanaan upacara adat, keempat unsur

tersebut terdapat pada setiap macam upacara adat di manapun

berada :

a. Tempat berlangsungnya upacara

Bagi masyarakat bersangkutan, tempat yang digunakan untuk

melaksanakan suatu upacara biasanya adalah tempat keramat

atau bersifat sakral/suci, oleh karenanya tidak setiap orang

dapat mengunjungi tempat itu. Tempat tersebut hanya

digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan saja, dalam

hal ini adalah orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara

seperti pemimpin upacara.

b. Saat-saat berlangsungnya upacara/waktu pelaksanaan

Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang

dirasakan tepat untuk melangsungkan upacara. Dalam upacara

rutin yang diselenggarakan setiap tahun biasanya ada patokan

dari waktu pelaksanaan upacara yang lampau.

c. Benda-benda atau alat dalam upacara

Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah

sesuatu yang harus ada macam sesaji yang berfungsi sebagai

alat dalam pelaksanaan upacara adat tersebut.

12

d. Orang-orang yang terlibat di dalamnya

Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah

mereka yang bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan

beberapa orang yang paham dalam ritual upacara adat.

c. Sistem Kepercayaan dan Agama

Durkheim mendifinisikan fenomena agama sebagai fenomena

yang terdiri atas: (1) keyakinan tentang suatu wilayah yang sacral dan

adikodrati, dan (2) tata cara dan upacara yang ditujukan kepada

wilayah ini (Turner & Maryanski, 2010 : 40).

Dalam diri manusia terdapat suatu suasana spiritual yang

mendasari aktivitas menyangkut perihal-perihal keagamaan. Suasana

spiritual yang dimaksud adalah emosi keagamaan. Setiap manusia

setidaknya pernah mengalami emosi keagamaan tersebut, walau

hanya sesaat saja. Emosi keagamaan menyebabkan bahwa suatu

benda, suatu tindakan, atau gagasan-gagasan mendapat nilai keramat

(sacred value) sehingga menyebabkan ia berbeda dengan benda,

tindakan atau gagasan-gagasan lainnya.

Suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai

ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di

antara penganutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan

unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lain, yaitu

; (a) sistem keyakinan; (b) sistem upacara keagamaan; (c) suatu umat

yang menganut religi itu. (Koentjaraningrat, 2009:295).

13

Kepercayaan masyarakat dapat berupa roh-roh atau

kepercayaan animisme yang dapat ditemukan di sekitar kehidupan

manusia. Mahluk-mahluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal

manusia itu, yang bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh

panca indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tak dapat

diperbuat manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam

kehidupan manusia, sehingga menjadi obyek penghormatan dan

penyembahannya, yang disertai berbagai upacara berupa doa, sajian,

atau korban. (Koentjaraningrat, 2010:49).

Aspek kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan begitu saja

dengan kehidupan duniawi di mana tempat manusia hidup, terlebih lagi

jika kita melihat manusia sebagai makhluk ekonomis yang sewaktu-

waktu membutuhkan berbagaimacam hal. Oleh karena itu, perilaku

atau pemikiran religius atau magi tidak pernah terpisah jauh dari

jangkauan tingkah laku berarah-tujuan (purposive conduct) sehari-hari,

khususnya jika tujuan dari tindakan keagamaan dan magi di dorong

faktor-faktor ekonomi (Weber, 2012:98).

Kebutuhan-kebutuhan kehidupan ekonomi membuat agama-

agama memanifestasikan entah lewat penginterpretasian ulang

perintah-perintah sakralnya, atau dengan menelan mentah-mentah

perintah-perintah itu, namun kedua prosedur ini sama-sama

termotivasikan oleh keinginan untuk mengaplikasikan moral (Weber,

2012:456).

14

d. Aktivitas Pertanian

Akivitas pertanian merpakan suatu aktivitas yang selalu

dihubung-hubungkan dengan tanah dan tanaman. Setidaknya,

terdapat pengertian mengenai pertanian yang biasa kita perhatikan

sebagai maksud dari penggunaan sehari-hari dan juga sebagai

maksud dari penggunaan secara ilmiah. Pertanian dalam pengertian

sehari-hari mengacu kepada suatu kegiatan bercocok tanam,

pengerjaan lahan sawah berupa padi, jagung, sayur, kacang-kacangan

dan lain sebagainya. Lebih dari itu, pertanian memiliki pengertian yang

lebih luas dari segi ilmiah yang meliputi: pertanian dalam arti sempit

atau pertanian dalam arti sehari-hari, yakni bercocok tanam (seperti

yang dijelaskan tadi), perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan,

pengolahan hasil bumi dan juga pemasaran hasil bumi (Tohir, 1991:1).

Pengertian dalam arti luas atau yang disebutkan terakhir yang

digunakan sebagai konsep pertanian dalam tulisan ini.

Kehidupan manusia semula bersifat berpindah-pindah dan

hanya mengandalkan pemberian alam yang tersedia secara langsung,

lambat laun berubah dengan penghidupan secara menetap. Pada

tingkat kehidupan ini, masyarakat mulai bercocok tanam di atas tanah

dan mulai membuka pekarangan yang terletak dekat tempat tinggal

mereka.

Bercocok tanam di ladang dengan cara berpindah-pindah

dilakukan dengan cara membuka sebidang tanah dengan memotong

15

belukar, dan menebang pohon-pohon, kemudian dahan-dahan dan

batang-batang yang jatuh bertebaran dibakar setelah kering. Setelah

itu ladang-ladang yang dibuka dengan cara itu kemudian ditanami

dengan pengolahan minimum dan tanpa irigasi. Setelah dua atau tiga

kali memungut hasilnya, tanah yang sudah kehilangan kesuburannya

itu ditinggalkan. Sebuah ladang baru dibuka dengan cara yang sama

yaitu dengan menebang dan membakar pohon-pohonnya. Setelah 10

hingga 12 tahun, mereka akan kembali lagi ke ladang pertama yang

sudah tertutup dengan hutan kembali.

Aktivitas bercocok tanam di ladang berpindah kemudian lambat

laun berubah menjadi pertanian menetap yang dilakukan dengan

irigasi dan pengolahan tanah dengan pencangkulan atau dengan bajak

serta pemupukan, sehingga kesuburan tanah dapat terjaga dan tidak

perlu lagi menunggu selama 10 hingga 12 tahun untuk melakukan

aktivitas pertanian.

E. Metode dan Teknik Penelitian

1. Metode Penelitian

Layaknya penelitian antropologi pada umumnya, metode yang

digunakan dalam penelitian ini yakni metode kualitatif dengan tipe

penelitian deskriptif.

Metode penelitian kualitatif digunakan di sini sebagai suatu

metode yang menyiratkan tentang proses penelitian dengan

16

menekankan pemahaman terhadap fenomena sosial budaya dalam

masyarakat sesuai dengan latar dan fokus penelitian.

2. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sambori Kabupaten Bima yang

terletak di Kepulauan Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Adapun alasan peneliti dalam menentukan lokasi penelitian ini yaitu :

a. Desa Sambori merupakan daerah yang secara umum dianggap

sebagai daerah tradisional yang jauh dari kehidupan perkotaan

dan masyarakatnya masih merupakan keturunan asli

masyarakat Bima sehingga memiliki budaya dan adat yang

kental dengan tetap mempertahankan tradisi atau adat istiadat

yang diwariskan dari dahulu, terkhusus pada aktivitas pertanian

tradisional yang mereka lakukan.

b. Letak desa Sambori yang berada di wilayah pegunungan dan

karakteristik alam yang sesuai dengan kondisi pertanian serta

masyarakatnya yang masih memiliki keyakinan akan

keberadaan makhluk gaib di sekitar tempat tinggal mereka

mendukung reproduksi budaya dan kemungkinan-kemungkinan

penetrasi budaya luar yang sedikit.

c. Peneliti merasa tertarik dengan kebudayaan masyarakat Bima,

merupakan daerah kelahiran dan tumbuh menjadi dewasa di

Bima. Sehingga peneliti merasa mudah untuk memahami

kondisi masyarakat di sana.

17

3. Teknik Pemilihan Informan

Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik

snowball (bola salju) dengan terlebih dahulu menentukan informan

kunci (Key Informan) yang dianggap memiliki kecukupan informasi

mengenai masyarakat dan kebudayaan di daerah penelitian. Informan

kunci bisa saja merupakan tokoh adat setempat, tokoh agama, tokoh

masyarakat, kepala desa atau ketua bagian desa seperti Ketua RT,

Ketua RW, Kepala Dusun, dll. serta anggota masyarakat yang telah

hidup lama dan mengenal dengan baik ihwal sejarah dan kebudayaan

tempat lokasi penelitian berlangsung. Setelah informan kunci

ditentukan, sesuai dengan istilahnya, teknik snowball diterapkan

dengan cara “menggulir” informasi yang ditemukan sehingga dapat

menuntun peneliti menuju informan lainnya yang mampu memberikan

informasi/data yang dicari.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melaksanakan proses pengumpulan data, peneliti terlibat

dalam kehidupan keseharian masyarakat. Adapun teknik pengumpulan

data yang digunakan yaitu :

a. Studi Literatur (library Research)

Peneliti mengumpulkan data dengan mecari, mengumpulkan

dan menelaah informasi yang terdapat pada kepustakaan atau

kumpulan tulisan seperti, karya tulis ilmiah, koran, majalah dan

lain sebagainya yang berhubungan dengan topik atau fokus

18

penelitian. Data yang diambil dari studi literature tersebut pada

umumnya menjadi data sekunder yang dapat mendukung

temuan-temuan yang diperoleh di lapangan.

b. Pengamatan Terlibat (Observasi Partisipatif)

Peneliti mengumpulkan data dengan cara mengamati aktivitas

masyarakat baik yang berupa kebiasaan keseharian maupun

aktivitas khusus dalam momen-momen tertentu seperti interaksi

masyarakat pada saat berlangsungnya ritual atau upacara adat.

Selain itu peneliti juga mengamati berbagai macam hal lain yang

dapat ditangkap oleh panca indera peneliti seperti lingkungan

fisik tempat aktivitas masyarakat berlangsung, siapa saja yang

terlibat dalam upacara, waktu berlangsungnya upacara, alat-alat

dan jenis-jenis sajian yang digunakan dalam upacara dan lain

sebagainya.

Pengamatan terlibat atau observasi partisipatif dianggap cocok

dan sesuai untuk digunakan dalam seting penelitian ini dengan

maksud peneliti dapat ikut mengetahui dan merasakan secara

langsung apa, kenapa, bagaimana, kapan dan di mana

aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara

terjun langsung dan hidup di tengah-tengah masyarakat,

dengan begitu peneliti dapat memperoleh data yang lengkap

dan komprehensif di lapangan serta mengetahui sejauh mana

perkembangan data yang diperoleh.

19

c. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Peneliti mengumpulkan data dengan cara bercakap,

menanyakan kepada informan hal-hal yang berhubungan

dengan masalah penelitian. Wawancara mendalam atau indepth

interview digunakan dengan maksud memperoleh data yang

lengkap, konsisten, dan menggali informasi sampai pada

„kejenuhan‟, yakni data yang diperoleh tidak dapat lagi

dipertanyakan.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan mengikuti sifat umum dalam

tahapan penelitian kualitatif sebagai berikut : (1) Mereduksi data, yakni

merumuskan secara singkat dengan klasifikasi tertentu sesuai dengan

informasi/data yang ditemukan di lapangan; (2) Penyajian data, yakni

memaparkan informasi/data dalam sebuah tulisan sesuai dengan data

yang telah direduksi pada tahap analisis pertama, dan tahap terakhir

adalah; (3) Penarikan kesimpulan, yakni menentukan pokok jawaban

sesuai dengan sajian data yang dilakukan pada tahap kedua.

F. Hambatan Penelitian

Dalam menjalani proses penelitian ini peneliti dihadapkan pada

berbagai macam persoalan baik yang berasal dari penulis sendiri maupun

dari kondisi lapangan tempat penelitian berlangsung.

Peneliti masih kurang menguasai bahasa yang digunakan oleh

penduduk setempat sehingga beberapa istilah lokal yang dilontarkan oleh

20

informan tidak dapat dimengerti dengan baik. Selain itu informan sendiri

tidak mampu menjelaskan dengan baik menggunakan bahasa Bima pada

umumnya ataupun dengan menggunakan bahasa Indonesia. Persoalan ini

disebabkan karena kebanyakan masyarakat tidak menguasai dengan baik

bahasa di luar bahasa lokal yang mereka miliki. Selain itu, hal ini juga

terjadi karena tidak terdapatnya padanan kata yang tepat untuk

menggantikan istilah-istilah yang dimaksud.

Kondisi alam yang terasa begitu dingin serta tingginya curah hujan

pada saat proses penelitian berlangsung membuat peneliti kesulitan untuk

beradaptasi dengan cepat dengan masyarakat setempat dan membuat

aktivitas pencarian data sedikit terhambat. Hal ini mengakibatkan peneliti

harus meluangkan waktu lebih dan mengeluarkan biaya lebih besar dari

yang semestinya.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang mana tiap bagiannya

tidak lepas dari masalah yang dibahas dan saling terkait antara satu

dengan yang lainnya. Penjelasan singkat mengenai komposisi tiap bab

dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Berisikan tentang latar belakang penentuan masalah yang

akan dikaji hingga pada batasan masalahnya. Bab ini juga

menerangkan tujuan dan manfaat penelitian serta penjelasan

konsep-konsep pokok yang digunakan dalam skripsi ini. Di

21

akhir bab dijelaskan mengenai pendekatan, metode serta

teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian.

Bab II : Berisikan tentang kajian pustaka mengenai masalah yang

berkaitan dengan penelitian ini serta menjelaskan penelitian-

penelitian lain yang serupa sehingga dapat dilihat

perbedaannya dengan penelitian yang akan dibahas dalam

skripsi ini.

Bab III : Berisikan gambaran umum lokasi penelitian, letak geografis

dan demografi desa Sambori, kondisi sosial ekonomi, sistem

kepercayaan masyarakat, serta gambaran tentang

pendidikan dan kondisi kesehatan yang ada dalam kehidupan

masyarakat.

Bab IV : Berisikan hasil dan pembahasan mengenai sistem pertanian

masyarakat Sambori, praktik upacara adat pamali manggodo

beserta fungsinya dalam kehidupan masyarakat.

Bab V : Berisi kesimpulan akhir yang ditarik dari bahasan mengenai

hasil penelitian yang diperoleh di lapangan serta memuat

saran dan masukan dari penulis.

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fungsi dan Sistem

Fungsi, dalam ilmu sosial dan kebudayaan merupakan salah satu

aspek yang dijadikan sebagai titik fokus dalam melihat gejala sosial

budaya. Pandangan tentang fungsi tidak dapat dilepaskaitkan dengan

sistem di mana ia ditempatkan. Fungsi diartikankan sebagai “segala

kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan-

kebutuhan dari sebuah sistem” (Roen, 2011). Senada dengan pengertian

di atas, menurut Rocher, fungsi adalah “suatu gugusan aktivitas yang

diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan sistem”

(Rocher dalam Ritzer & Goodman, 2011).

Adapun istilah „fungsi‟ itu dapat dipakai dalam bahasa sehari-hari

maupun dalam bahasa ilmiah dengan arti yang berbeda. M.E. Spiro,

pernah mendapatkan bahwa dalam karangan ilmiah ada tiga cara

pemakaian kata fungsi itu, ialah (Koentjaraningrat, 2000:212-213) :

1) Pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna

antara sesuatu hal dengan sesuatu tujuan yang tertentu (misalnya

mobil mempunyai fungsi sebagai alat untuk mentranspor manusia

atau barang dari satu tempat ke tempat lain)

2) Pemakaian yang menerangkan kaitan korelasi antara satu hal

dengan hal yang lain (kalau nilai dari satu hal x itu berubah, maka

nilai dari satu hal lain yang ditentukan oleh x tadi, juga berubah)

23

3) Pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu

hal dengan hal-hal lain dalam suatu system yang terintegrasi (suatu

bagian dari suatu organisme yang berubah, menyebabkan

perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan

perubahan dalam seluruh organisme).

Pandangan fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah

sistem organ yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Organisme

dijadikan sebagai model untuk melihat kenyataan sosial masyarakat

beserta dinamika yang terjadi. Seperti yang dapat kita lihat unsur-unsur

utama yang diusung Spencer ke fungsionalisme dari penganalogian

organismiknya bisa diuraikan sebagai berikut (Turner&Maryanski, 2010 :

23-24) :

1. Masyarakat merupakan suatu sistem, dan merupakan suatu

keutuhan yang koheren atas bagian-bagian yang saling

berhubungan.

2. Sistem ini hanya bisa dipahami berdasarkan cara kerja struktur

khusus, yang masing-masing berfungsi untuk mempertahankan

keutuhan sosial.

3. Sistem memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi jika

sistem tersebut ingin tetap hidup. Oleh sebab itu, fungsi suatu

struktur hendaknya ditentukan oleh menemukan kebutuhan-

kebutuhan yang harus dipenuhinya.

24

Di lain pihak Parsosns mengemukakan beberapa asusmsi dasar

dalam melihat sistem (Ritzer dan Goodman, 2011:258-259) :

1. Sistem memiliki tatanan dan bagian-bagian yang tergantung satu

sama lain.

2. Sistem cenderung menjadi tatanan yang memelihara dirinya, atau

ekuilibrium.

3. Sistem bisa jadi statis atau mengalami proses perubahan secara

tertata.

4. Sifat atau bagian sistem berdampak pada kemungkinan bentuk

bagian lain.

5. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungan mereka.

6. Alokasi dan integrasi adalah dua proses fundamental yang

diperlukan bagi kondisi ekuilibrium sistem.

7. Sistem cenderung memelihara dirinya yang meliputi pemeliharaan

batas dan hubungan bagian-bagian dengan keseluruhan, kontrol

variasi lingkungan, dan kontrol kecenderungan untuk mengubah

sistem dari dalam.

Sementara itu, sistem sosial dapat didefinisikan sebagai

serangkaian relasi sosial yang secara berkala diwujudkan dan dengan

demikian direproduksi sebagai sebuah sistem melalui interaksi. Sebuah

sistem sosial lebih jauh dicirikan oleh satu sistem normative yang (kurang-

lebih) dimiliki bersama dan berfungsinya seperangkat sanksi; artinya,

terdapat kadar kesepakatan tertentu atau kompromi yang dipaksakan

25

menyangkut “mesti” dan “jangan” diinteraksikan dalam batasan sistem

(Eriksen, 2009:129).

Sistem sosial terdiri dari beragam aktor individual yang berinteraksi

satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik

atau lingkungan, aktor yang cenderung termotivasi ke arah “optimasi

kepuasan” dan yang hubungannya dengan situasi mereka, termasuk

hubungan satu sama lain, didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk

sistem simbol yang terstuktur secara kultural dan dimiliki bersama.

(Ritzer dan Goodman, 2011:259)

B. Fungsi Upacara

Upacara adat dimiliki oleh setiap masyarakat, terlebih lagi yang

masih menggunakan aturan atau hukum adat dalam berbagai aspek

kehidupan mereka. Berbagai macam upacara adat tentunya memiliki

keistimewaan masing-masing yang muncul dari kebudayaan yang dimiliki

oleh masyarakat bersangkutan. Namun kehidupan masyarakat adat yang

berbeda dengan masyarakat yang hidup di perkotaan, misalnya, tidak

berarti membuat bentuk upacara adat yang mereka miliki dipandang

secara berbeda.

Parsons (dalam Robertson 1988:53) sepakat dengan pernyataan

Malinowski yang menunjukkan dengan sangat jelas bahwa tidak ada

praktek ritual, magik, atau agama, juga tidak ada kepercayaan mengenai

kekuatan-kekuatan supernatural dan unsur-unsurnya yang terintegrasi

dengan komponen-komponen tersebut dapat semata-mata dilihat sebagai

bentuk primitif yang tidak dapat dilihat dari teknik-teknik rasional atau

26

pengetahuan ilmiah; semuanya adalah masalah kualitas dan memiliki

signifikansi fungsional yang amat berlainan dalam sistem tindakan.

Ritual dapat berfungsi sebagai suatu cara untuk bernegosiasi

dengan roh agar tidak menganggu hidup manusia atau sebagai wadah

aktivitas untuk meminta keselamatan atau terhindar dari berbagai macam

bala bencana. Dalam hal ini, fungsi ritual terletak pada hubungan antara

manusia dengan kehidupan yang tidak kasat mata di sekitar kehidupan

mereka.

Upacara menjadi media interaksi yang melebur masyarakat dalam

satu sistem tindakan yang terlembaga. Karena itu, Durkheim dan

Redcliffe-Brown menganggap upacara dapat mempertebal perasaan

kolektif dan integrasi sosial.

Endraswara (2006:175), mengemukakan fungsi ritual yiaitu: (1)

mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan

nilai utama kebudayan melampaui dan di atas individu dan kelompok.

Berarti ritual menjadi alat pemersatu atau integrasi; (2) ritual menjadi

sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-

nafsu negatif; (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.

Pada masyarakat Ndembu, fungsi upacara dapat dilihat dari segi

yang berlainan pada ranah individual dan struktur sosialnya (Turner dalam

Winangun, 1990 : 15-29). Terdapat empat fungsi dalam upacara

masyarakat Ndembu yaitu: (1) upacara sebagai resolusi konflik; (2)

upacara dapat mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas

27

masyarakat; (3) upacara bertujuan untuk mempersatukan dua prinsip yang

bertentangan dalam masyarakat Ndembu, misalnya prinsip matrilineal dan

virilokal; dan (4) dengan upacara orang mendapat kekuatan motivasi baru

untuk hidup dalam masyarakat sehari-hari.

Analisis Stuart Piddocke terhadap upacara Potlatch di Southern

Kwakiutl mencoba memberikan penjelasan fungsional. Potlatch adalah

upacara yang didakan dimana orang-orang dari kelompok-kelompok yang

berbeda bersaing untuk saling memberikan hadiah barang-barang

berharganya. Semakin banyak yang diberikan dan semakin berharga

hadiahnya, semakin tinggi prestise pemberinya. “Pemenang” dalam

kompetesi ini adalah orang yang mampu memberi lebih banyak dari yang

diterimanya.

Piddocke mengemukakan argumennya untuk menjelaskan upacara

adat Potlatch ini sebagai berikut (Turner & Maryanski, 2010 : 150) :

1. Di masa lalu, kelangkaan di antara beberapa kelompok Kwakiutl

menciptakan masalah kelangsungan hidup bagi sub-subpopulasi.

2. Upacara Potlatch di zaman dahuhlu terbatas pada para ketua

kolompok kekerabatan lokal.

3. Melalui kompetisi di antara para kepala, “obyek kekayaan” seperti

kano, budak, dan selimut bisa dipertukarkan dengan sumber daya

makanan yang diperlukan oleh suatu kelompok yang kekurangan

makanan.

28

4. Dengan cara seperti ini, tingkat ketahanan hidup di antara semua

orang Kwakiutl dipelihara. Mereka yang memiliki benda kekayaan

dan mempertukarkannya dengan makanan akan memdapatkan

prestise karena tindakan itu (dengan begitu agaknya mengurangi

terjadinya tindakan minta-minta makanan, atau menghilangkan

gangguan yang berupa usaha merebut makanan). Tentu saja,

karena menerima benda kekayaan yang dipertukarkan dengan

makanan, si penerima suatu saat bisa menghadiahkan benda itu

demi prestisenya atau untuk mendapatkan makanan (jika

diperlukan).

5. Persaingan di antara pemimpin-pemimpin demi mendaptkan

prestise itu diadopsi oleh penduduk suku itu secara umum di masa-

masa mendatang, dengan begitu menjamin kelancaran arus

sumberdaya makanan pokok.

Upacara menjadi wahana yang mengantar penduduk untuk

mencapai atau memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang

bernuansa religi menjadikan upacara sebagai sarana untuk mendapatkan

ketenteraman dan kedamaian dalam menjalani kehidupan dalam

komunitas. Hal ini dapat terjadi karena upacara religi tersebut mampu

menjadikan roh-roh halus atau kekuatan-kekuatan supranatural yang

mendapat sesajian atau persembahan akan memberikan perlindungan.

Emile Durkheim, memiliki minat dan ketertarikan yang besar

terhadap persoalan moralitas dan agama. Bukunya The Elementary

29

Forms of the Religious Life yang terbit pada 1912 membahas tentang

agama beserta fungsinya bagi masyarakat. Dengan memfokuskan pada

bentuk-bentuk elementernya, Durkheim mencoba mengupas sebab-sebab

dan fungsi agama. Menurutnya, agama telah ada di sepanjang sejarah

manusia dan merupakan salah satu fungsi pengatur utama masyarakat

(Turner&Maryanski, 2010 : 38).

Karya Evans Pritchard “Witchcraft, Oracles and Magic among the

Azande” (1983) memadukan sejumlah besar analisis fungsionalis-

struktural mengenai integrasi sosial dengan sebuah laporan interpretative

tentang sistem kepercayaan dan kosmologi, seraya memperlihatkan saling

keterkaitan antara struktur sosial dan kebudayaan tanpa mereduksi yang

satu ke dalam yang lain (Eriksen, 2009:277).

Tokoh lain yang juga dikenal sangat piawai dalam memadukan

warisan fungsionlisme struktural dengan kajian-kajian tentang simbol dan

makna Mary Douglas dan Victor Turner. Turner mengembangkan sebuah

analisis yang rumit tentang ritus-ritus inisiasi di kalangan suku Ndembu di

Zambia, sembari memperlihatkan segi-segi fungsionalnya yang

mempersatukan kebermaknaannya bagi para peserta serta makna

simboliknya yang lebih dalam.

C. Fungsionalisme

Pada dasarnya fungsionalisme melakukan studi untuk menemukan

prinsip-prinsip umum yang sama. Dalam melihat sebuah masyarakat,

kaum fungsionalisme menggunakan model organisme yang terdiri dari

30

perangkat-perangkat yang saling berhubungan dan membentuk sebuah

sistem.

Dalam sebuah karangan yang berjudul Argonauts of the Western

Pacific, Bronislaw Malinowski mengeksplorasi suatu pranata sosial yang

terkenal dengan perdagangan kula, yakni sistem perdagangan seputar

gelang dan kalung kerang. Ia memperlihatkan kegiatan ekonomi yang

terjadi di kalangan penduduk Kepulaunan Trobriand tidak hanya

merupakan fenomena pemenuhan kebutuhan biologis semata. Orang-

orang Trobriand, menurut Malinowski sama sekali tidak didorong oleh

kebutuhan-kebutuhan materiil rendah dalam segala sesuatu yang mereka

kerjakan, mereka memiliki sebuah agama yang canggih dan sistem

kekerabatan yang kompleks serta aneka ragam praktik yang teratur dan

karena itu, mereka bukanlah “orang-orang biadab” sebagai sekumpulan

individu yang bertindak melulu demi kepentingan diri sendiri (Eriksen,

2009: 301).

Malinowski berpendapat bahwa ada suatu dasar universal yang

sama antara masyarakat bernegara dan masyarakat terbelakang. Semua

aktivitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi serangkaian hasrat naluri

manusia. Adapun di antara berbagai macam aktivitas kebudayaan itu ada

yang berfungsi memenuhi hasrat naluri manusia untuk secara timbal balik

memberi dan menerima dari sesamanya, berdasarkan prinsip yang

disebut oleh Malinowski the principle of reciprocity. (Koentjaraningrat,

2000 : 199)

31

Penelitian Malinowski selama dua tahun (antara tahun 1914 dan

1918) di Kepulauan Trobriand memberi suatu penekanan yang luar biasa

pada individu yang sedang bertindak, seraya melihat struktur sosial bukan

sebagai penentu bagi melainkan sebagai bingkai untuk tindakan, dan ia

menulis tentang cakupan luas tema, mulai dari sihir kebun, ekonomi,

teknologi dan seks hingga perniagaan kula. Malinowski berkeyakinan

bahwa berbagai kebutuhan bawaan manusia merupakan daya dorong di

balik perkembangan berbagai pranata sosial (Eriksen, 2009 : 26).

Pandangan Malinowski mengenai teori kebudayaan, berpangkal

pada konsep bahwa kebudayaan harus diamati sebagai tingkah laku yang

terorganisasi (organized behavior) yang diwadahi oleh pranata-pranata,

yaitu suatu kompleks nilai-nilai budaya dan norma-norma yang menata

dan mengatur tingkah laku dan seringkali dirumuskan dalam mitologi

suatu masyarakat yang melaksanakan aktivitas berfungsi beserta segala

sarana dan peralatan yang digunakannya. Semua tingkah laku manusia

yang terorganisir dalam pranata-pranata itu mempunyai “fungsi” usaha

mana disebutnya sebagai function analysis of culture. Di situlah ia

menghubungkan tingkahlaku manusia terorganisasi tadi dengan suatu

rangkaian kebutuhan naluri organisme manusia.

Menurut Redcliffe-Brown, fungsi dari setiap kegiatan yang selalu

berulang merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial

sebagai keseluruhan dan karena itu merupakan sumbangan yang

diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural. Brown juga

32

menjelaskan eksistensi (dan juga persistensi) upacara keagamaan itu bagi

kerekatan sosial (Kaplan dan Mamer, 1999 : 139).

Malinowski memahami semua pranata dalam sebuah masyarakat

sebagai yang secara intrinsik berkaitan satu sama lain, dan menekankan

bahwa setiap fenomena sosial atau budaya mesti dipelajari dalam

konteksnya yang seutuhnya. Ia juga berkeyakinan bahwa berbagai

kebutuhan bawaan manusia merupakan daya dorong dibalik

perkembangan berbagai pranata social dan karenanya corak

fungsionalisme yang dikembangkannya sering kali dijuluki sebagai

“fungsionalisme biopsikologis” (Eriksen, 2009 : 26).

Kesadaran akan metode untuk memandang suatu kebudayaan

yang hidup sebagai suatu sistem yang terintegrasi timbul setelah 1925 di

saat mencuatnya buku etnografi karangan Malinowski, The Argonauts of

Western Pacific (Koentjaraningrat, 2000:213)

Malinowski menekankan pentingnya kebutuhan biologis dalam

membentuk budaya, karena “manusia pertama-tama dan paling penting

harus memenuhi semua kebutuhan organismenya”. Namun, begitu

manusia bertindak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, dia

menciptakan pola-pola organisasi sosial dan sistem symbol yang

mewujudkan kebutuhan baru, atau apa yang oleh Malinowski diistilahkan

dengan “kebutuhan turunan” (derived need) (Turner & Maryanski, 2010 :

84).

33

Malinowski berusaha untuk mengklasifikasikan jenis-jenis

kebutuhan yang ada pada tiga tataran yang berbeda: tataran biologis,

tataran struktur sosial dan tataran simbolis. Malinowski menekankan pusat

perhatian antropologi pada dua tataran terakhir. Abstraksi tersebut juga

didasari pada pendapat bahwa fenomena budaya sekecil apapun pasti

ada makna dan fungsinya bagi pendukung budaya tersebut.

Kebutuhan Biologis.

Di berbagai tempat, Malinowski menyebut kebutuhan biologis

sebagai kebutuhan “primer”. Ia membuat daftar kebutuhan universal yang

dimiliki oleh setiap individu dalam masyarakat. Pemikiran Malinowski

dalam tataran kebutuhan biologis ini menggambarkan proses pemenuhan

kebutuhan individu yang lambat laun terpola menjadi suatu rangkaian

kolektif dan terpadu secara simbolis. Bagi Malinowski, jika saja kebutuhan-

kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka budaya akan “mati”.

Kebutuhan Struktur Sosial atau “Kebutuhan Instrumental”

Bagi Malinowski, semua lembaga memiliki unsur bersama tertentu

yang dapat dilihat pada semua budaya. Masing-masing memiliki suatu

personil, yakni orang. Masing-masing memiliki alasan, tujuan dan sasaran

tertentu atas partisipasi para anggotanya. Masing-masing mempunyai

seperangkat norma atau kaidah tentang bagaimana para personil itu

harus berperilaku. Dan demikian Malinowski menganggap lembaga

sebagai alat yang digunakan oleh manusia untuk memperoleh sesuatu.

34

Ketika manusia telah menjadi terorganisasi dalam upaya memenuhi

kebutuhan biologisnya, mereka menciptakan lembaga sosial. Konsep

lembaga merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam pandangan

Malinowski tentang budaya, karena merupakan kategori struktur utama

analisisnya. Bagi Malinowski, lembaga merupakan aktivitas terorganisasi

di antara manusia yang mengungkapkan sesuatu struktur yang jelas.

(Turner & Maryanski, 2010 : 86)

Pada satu tataran, lembaga menggabungkan rangkaian penting

yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup organisme manusia.

Akan tetapi, bagitu orang-orang mengorganisasikan rangkaian biologisnya

ke dalam lembaga, muncullah kebutuhan-kebutuhan baru yang harus

dipenuhi agar memungkinkan lahirnya organisasi kolektif manusia. Di

sinilah kemunculan struktur sosial atau lembaga menjadi penting bagi

keberlangsungan hidup manusia layaknya kebutuhan yang harus dipenuhi

pada organisme individu.

Malinowski mengembangkan daftar empat “kebutuhan

instrumental” yang mendasar bagi pola kolektif organisasi sosial. Masing-

masing lembaga sosial, agar strukturnya masih tetap jelas, harus

memenuhi keempat kebutuhan atau prasyarat tersebut.

35

Tabel 1

Kebutuhan Instrumental Menurut Malinowski

1. peranti budaya dan barang konsumsi harus diproduksi, digunakan, dipertahankan dan digantikan oleh produksi yang baru

ekonomi

3. sumber daya manusia yang mempertahankan lembaga harus diperbarui, dibentuk, dilatih dan dilengkapi dengan pengetahuan penuh tentang tradisi suku

pendidikan

2. perilaku manusia, terkait dengan peraturan teknis, adat-istiadat, hukum atau moralnya harus dikodifikasi, diatur agar bisa berjalan dan ditetapkan sangsinya

kontrol sosial

4. otoritas dalam masing-masing lembaga harus ditetapkan, dilengkapi dengan kekuasaan, dan diberi alat yang kuat untuk melaksanakan peraturan-peraturannya

organisasi politik

(Malinowski dalam Turner & Maryanski, 2010 : 94)

Kita bisa melihat analisis kebutuhan di atas sedemikian mirip

dengan analisis Parsons yang muncul belakangan. Hanya saja, perhatian

yang dominan dalam teori fungsional parsons terletak pada sistem sosial,

yakni bagaimana suatu sistem menentukan berbagai struktur sosial

memenuhi kebutuhan adaptif (A), pencapaian tujuan (G), integrasi (I) dan

kebutuhan latensi (L).

Sebagai seorang fungsionalis struktural, Parsons membedakan

empat struktur, atau subsistem, dalam masyarakat menurut fungsi (AGIL)

yang dijalankan. Ekonomi adalah subsistem yang dapat difungsikan

masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan melalui kerja, produksi

dan alokasi. Melalui kerja, ekonomi menyesuaikan lingkungan dengan

pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan ia membantu masyarakat

beradaptasi dengan realitas-realitas eksternal ini. Politik (atau sistem

36

politik) digunakan masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan mereka serta

memobilisasi aktor dan sumberdaya untuk mencapai tujuan tersebut.

Sistem pengasuhan (misalnya sekolah, keluarga) menangani fungsi

latensi dengan mengajarkan kebudayaan (norma dan nilai) kepada aktor

dan menginternalisasikannya kepada mereka. Akhirnya, fungsi integrasi

dijalankan oleh komunitas masyarakat (misalnya, hukum), yang mengatur

beragam komponen masyarakat (Ritzer & Goodman, 2011).

Menurut cara kerja Malinowski, untuk menggeneralisasikan dan

menemukan hukum organisasi budaya maka kita harus menguraikan : (a)

siapa yang terlibat dalam suatu lembaga (b) apa tujuannya (c) apa norma

utamanya (d) apa hakikat peralatan dan fasilitasnya (e) apa hakikat dan

pembagian aktivitasnya (f) kebutuhan instrumental apa yang paling

banyak terlibat (Turner & Maryanski, 2010 : 95).

Kebutuhan Simbolik atau Integratif

Ketika manusia secara kolektif berusaha mengatasi kebutuhan

biologis dan instrumentalnya, mereka juga telah menciptakan sistem

lambang. Selama aktivitas mereka sehari-hari, mereka menghasilkan

sistem gagasan yang mereka pakai untuk mengabsahkan, mengatur dan

menuntun perilaku mereka. Oleh sebab itu, lambang-lambang digunakan

untuk memadukan, merekatkan bersama lembaga dan kumpulan lembaga

ke dalam suatu keutuhan.

Masing-masing tingkatan sistem harus ditelaah secara terpisah

berdasarkan kebutuhan atau persyaratannya bagi kelangsugnan hidup

37

dan dengan begitu saling ketergantungan sistem dalam “jaringan

kehidupan” itu juga harus dipahami. Maka demikianlah, Malinowski

menyajikan fungsionalisme sosiologis dengan disertai banyak titik

penekanan utamanya, yakni (Turner & Maryanski, 2010 : 101-102) :

1. realitas sosial itu ada dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda,

minimal tingkatan biologis, psikologis, sosial dan budaya (simbolis).

2. sifat tingkatan-tingkatan tersebut harus dipahami oleh ilmu

pengetahuan yang terpisah, tetapi keterkaitan antara tingkatan-

tingkatan tersebut memaksa penganalisis tingkatan sosial atau

institusional untuk harus menyadari bagaimana kebutuhan biologis,

psikologis, dan budaya (simbolis) itu memengaruhi susunan struktur

sosial.

3. sistem dapat dianlisis berdasarkan kebutuhannya. Bagian dalam

suatu sistem itu hadir karena bagian tersebut telah memiliki

keunggulan selektif dibandingkan bagian-bagian lain dalam

memenuhi kebutuhan. Oleh sebab itu, penganalisis dapat

dibenarkan untuk mencari upaya memahami hubungan antara suatu

bagian dengan kebutuhan-kebutuhan sistemik.

4. pada tingkatan sistem sosial, kebutuhan akan adaptasi ekonomi,

kendali politik, integrasi hukum dan moral, dan sosialisasi

kependidikan sangatlah penting dalam upaya memahami tempat

dan cara kerja lembaga-lembaga yang ada dalam sistem sosial.

38

D. Petani dan Karakteristik Pertanian Tradisional

Salah satu hal yang membedakan pertanian tradisional dengan

pertanian modern adalah teknologi yang digunakan. Dalam pertanian

tradisional, teknologi yang digunakan belum tersentuh dengan mesin

seperti traktor yang telah banyak digunakan oleh petani modern seperti

sekarang ini. Sebelum adanya traktor, masyarakat petani masih

menggunakan bajak yang dikendalikan melalui binatang ternak seperti

kerbau atau sapi, bahkan mereka hanya menggunakan alat seperti

cangkul. Selain itu, petani tradisional masih banyak yang belum

menggunakan bibit unggul. Bibit yang mereka tanam adalah bibit lokal

yang dari turun-temurun digunakan oleh nenek moyang mereka yang lebih

tahan terhadap serangan hama. Karena itu, petani tradisional tidak

menggunakan pupuk pestisida yang terbuat dari bahan kimia, melainkan

pupuk kandang yang terbuat dari kotoran hewan. Hal demikian juga

menuntut mereka memiliki hewan ternak dan memanfaatkannya dalam

pemeliharaan pertanian mereka.

Sistem pertanian tradisional tidak dilakukan secara sembarangan,

petani memiliki pengetahuan lokal yang tidak diperoleh melalui jenjang

pendidikan formal, melainkan telah ada sejak dahulu. Seperti pada saat

musim tanam tiba, mereka tidak secara langsung turun kesawah untuk

menanam tanaman pertanian mereka, melainkan akan terlebih dahulu

menentukan hari baik untuk menanam. Karena itu, biasanya petani

tradsional tidak melakukan segala aktivitas pertanian mereka dengan cara

39

sendiri-sendiri tetapi secara berkolompok. Karena untuk menentukan hari

baik bukanlah dilakukan oleh masyarakat biasa, tapi menjadi tugas

sesepuh atau orang-orang tertentu yang dianggap memiliki kemampuan

khusus. Selanjutnya, mereka akan mengadakan ritual-ritual yang

berkaitan keselamtan pertanian mereka secara bersama-sama.

Petani memiliki keterikatan yang erat dengan lingkungan alam.

Hubungan petani dan ekosistem, digambarkan sebagai hubungan yang

integral antara manusia dengan alam. Alam berada di luar kendali

manusia dan karenanya seringkali dilihat sebagai gejala yang muncul dari

kekuatan adikodrati.

Bagi petani, tanah menjadi wahana untuk berhubungan dengan

hal-hal yang bersifat supranatural. Hal ini disebabkan, bahwa tanah yang

mereka tempati bermukim atau tanah yang mereka harus garap dan

memberinya kehidupan, diyakini dikuasai oleh entitas-entitas yang

berbentuk makhluk-makhluk gaib sehingga hal itu menyebabkan tanah

memiliki posisi tinggi. Friedmann (dalam Redfield, 1981) mengemukakan

tentang adanya persamaan sikap dalam masyarakat petani, yakni sikap

yang intim dan hormat terhadap tanah.

Salah satu hal yang menyebabkan petani merasa berkewajiban

untuk melakukan upacara-upacara berkenaan dengan tanah atau

peristiwa-peristiwa tertentu di luar dirinya adalah titik berat terhadap

keseimbangan kosmos dan keharmonisan rohani. Karena itu, mencoba

memahami dunia petani mengharuskan kita untuk memahami dimensi

40

hubungan-hubungan mereka dengan alam (infrastruktur), di samping

hubungan petani dengan orang lain dalam dimensi struktur sosial dan

dimensi berkenaan dengan hal-hal yang bersifat suprastruktur (Sani dan

Nurhaedar dalam Akhmar & Syarifuddin, 2007 : 28).

41

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI

A. Sejarah Singkat Desa Sambori

Secara hirstoris, penduduk Sambori dan desa-desa sekitarnya tidak

terlepas dari dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya

masyarakat Bima pada umumnya. Hal demikian disebabkan karena pada

awalnya mereka merupakan penghuni dataran rendah (Sudarsono, dkk.

1999:57).

Menciptakan alur sejarah masyarakat Bima yang memberikan

penjelasan yang gamlang memang diakui menjadi kesulitan bagi para

ilmuan khususnya dari Bima sendiri. Kitab Bo yang biasanya menjadi

rujukan para pakar sejarah untuk memperoleh gambaran kehidupan

masyarakat tidak sepenuhnya dapat diandalkan. Masa Naka (zaman batu)

misalnya, yang merupakan masa pra sejarah Bima sebelum masa

kerajaan dimulai tidak terdapat dengan jelas pada kitab Bo, melainkan

hanya sedikit disinggung sebagai masa nenek moyang masyarakat Bima

(Maryam dkk., 2013:8).

Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa orang Bima atau yang

biasa disebut dengan Dou Mbojo, merupakan hasil akulturasi masyarakat

asli dan masyarakat pendatang dari berbagai macam suku luar yang

berpusat di teluk Bima. Para pendatang memberikan pengaruh besar

terhadap kebudayaan masyarakat Bima yang lambat laun menciptakan

banyak perubahan. Sebagian penduduk asli yang tidak menerima

42

perbedaan tersebut dan tidak mampu bersaing secara ekonomi mencari

tempat-tempat baru terutama di kawasan pegunungan. Penduduk yang

bermukim di pegunungan itu kemudian disebut sebagai Dou Donggo

(orang gunung/penghuni dataran tinggi).

Sampai sekarang Dou Donggo yang dikenal terbagi ke dalam dua

wilayah, yakni Donggo Ipa (gugusan pegunungan Soromandi) yang

terletak di sebelah barat teluk Bima dan Donggo Ele (wilayah pegunungan

sekitar gunung Lambitu) yang terletak di sebelah timur teluk Bima. Dari

sini muncul pandangan yang mengkhususkan masyarakat asli untuk

disebut Dou Donggo dan bukan lagi Dou Mbojo (namun realita

masyarakat pada umumnya masih menyebut keseluruhan masyarakat

Bima sebagai Dou Mbojo).

Kata „mbojo‟ berasal dari kata „babuju‟ yang berarti tanah yang

menonjol dan/atau berbukit, tempat raja-raja ketika dilantik dan disumpah

yang terletak di Dara (kini dekat makam pahlawan di Bima). Sedangkan

istilah „bima‟ diambil dari nama „sang bima‟ yang merupakan julukan dari

seorang pahlawan dari Jawa yang memiliki peran penting dalam sejarah

Bima di awal masa kerajaan (Amin, dalam Maryam dkk., 2013).

Sebelum dikenal sebagai masa kerajaan, Bima pada masa

prasejarah disebut dengan masa Naka. Pada masa ini ditemukan

berbagai macam peninggalan sejarah seperti alat-alat dari batu, tempat-

tempat pemujaan, peninggalan-peninggalan dan kuburan-kuburan

purbakala.

43

Setelah masa Naka, dikenal masa Ncuhi yang mana kehidupan

masyarakat pada saat itu dipimpin oleh beberapa ketua dengan masing-

masing anggota atau pengikutnya. Pada saat itu dikenal lima orang Ncuhi

(tetua/pemimpin/pemuka) yang masing-masing memegang bagian wilayah

teritorial Bima, yaitu bagian Selatan oleh Ncuhi Parewa, Barat oleh Ncuhi

Bolo, Utara oleh Ncuhi Dorowoni, Timur oleh Ncuhi Panggapupa dan

Tengah oleh Ncuhi Dara yang sekaligus sebagai pemimpin para Ncuhi

(Maryam, dkk., 2013 : 9-10).

Kehidupan masyarakat pada masa Naka ini selalu berkelompok

dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka hidup

terpencar-pencar di daerah pesisir, lembah dan pegunungan. Namun,

belum dapat diidentifikasi tempat mereka bermukim apakah di goa-goa

atau di bawah pepohonan. Mereka kemudian hidup berkelompok

berdasarkan ikatan keluarga dan membentuk masyarakat paguyuban.

Dinamika hidup berkelompok ini diikuti dengan terbentuknya adat-istiadat

yang melandasi interaksi sosial antar mereka. Salah satu peran Ncuhi di

sini adalah menjembatani hubungan antar kelompok. Pengaruh Ncuhi

amat besar dalam kehidupan masyarakat Bima, sampai-sampai mereka

juga digambarkan sebagai pemimpin yang tetap hidup dalam wujud roh

parafu (Tajib dalam Sudarsono dkk., 1999 : 58).

Dalam catatan kitab Bo pada masa kerajaan, para Ncuhi tetap

memiliki otonomi untuk memerintah federasi ncuhi. Mereka diberikan hak-

hak istimewa dari raja, seperti tidak boleh mengambil harta benda milik

44

mereka, tidak boleh diperintah bepergian oleh raja dan tidak boleh

mengambil keturunan ncuhi untuk dijadikan sebagai pelayan atau

pengasuh. Bahkan Ncuhi yang melantik setiap pergantian raja baru

Kesultanan Bima.

Sekitar abad ke 14 M, Bima ditaklukkan oleh Majapahit (Gajah

Mada) dalam rangka mewujudkan sumpah palapa. Sejak pertengahan

abad itu, masyarakat Bima sudah dipengaruhi oleh Hindu. Pengaruh

Hindu tersebut terbukti dari adanya situs-situs berupa wadu pa‟a, wadu

tunti, lingga dan batu berukir corak Hindu (Maryam dkk., 2013:10).

Berakhirnya masa Kerajaan digantikan oleh masa Kesultanan

bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke 17 M. Pada

masa kesultanan inilah kepercayaan masyarakat mulai berubah seiring

penyebaran agama yang dilakukan.

Sebagian masyarakat mengatakan bahwa pada zaman Naka

terdapat kerajaan Kalepe yang terletak di sekitar pegunungan Parado

dimana kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Ncuhi Dara beserta

pengikutnya. Orang-orang yang hidup di kerajaan Kalepe lari berpencar

ke berbagai daerah dan sebagian orang yang tidak sanggup lagi untuk

melarikan diri tinggal menetap di wilayah Sambori.

Nama „sambori‟ sendiri berawal dari dua versi sejarah, namun

kedua versi tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Sambori

merupakan masyarakat Bima yang pada mulanya hidup bersama-sama

secara berkelompok dengan cara berpindah-pindah. Versi pertama

45

mengemukakan asal mula kata „sambori‟ adalah „sambore‟ (palu), yang

berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng

Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kesepekatan

bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah sambore (palu)

sebagai simbol dari kesepakatan tersebut. Versi kedua, „sambori‟ berasal

dari kata „sampori‟ yang dalam bahasa Bima berarti „terlepas‟. Karena

setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam

yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka

memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.

Kedatangan penduduk ke desa Sambori berlangsung secara

bergelombang, sebagian penduduk berasal dari Temba Na‟e kecamatan

Belo. Mereka melakukan eksodus pertama menuju Manggeparaja, desa

Ngali. Dalam perjalanannya mereka melakukan eksodus kedua dari

Manggeparaja ke Sambori. Hal ini dapat dilihat dari adanya ikatan

kekeluargaan antara penduduk Sambori dengan beberapa masyarkat di

Manggeparaja. Ada dua versi yang mendorong mereka berpindah dari

Ngali ke Sambori. Pertama, mereka merasa tidak mampu bersaing

dengan para pendatang dalam kegiatan ekonomi. Kedua, mereka

merupakan pelarian dari kerajaan pemerintah kolonial Belanda. Alasan

kedua kemungkinan berkaitan dengan adanya perang Ngali pada tahun

1908-1909, ketika itu terjadi perlawanan sengit terhadap pemerintah

kolonial Belanda (Sudarsono dkk., 1999:58).

46

B. Kondisi Geografis

Secara geografis, desa Sambori berada di dataran tinggi dengan

ketinggian rata-rata ±700 mdpl. Sebagian besar kawasannya berupa

perbukitan dan berlereng. Desa Sambori berada pada tempat tertinggi di

antara desa-desa sekitarnya yang terletak di sekitar pegunungan Lambitu

(Donggo Ele) atau di sebelah Tenggara Kota Bima.

Desa Sambori dulunya merupakan daerah yang termasuk dalam

wilayah administrasi kecamatan Wawo. Akibat pemekaran dari

Pemerintah Kabupaten Bima yang termuat dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Bima Nomor 2 Tahun 2006 Tentang “Pembentukan

Kecamatan Soromandi, Kecamatan Parado, Kecamatan Lambitu dan

Kecamatan Palibelo Di Kabupaten Bima”, Sambori merupakan salah satu

dari lima desa yang berada di sekitar pegunungan Lambitu yang termasuk

ke dalam wilayah administrasi kecamatan Lambitu. Kelima desa tersebut

adalah Kuta, Sambori, Kaboro, Ka‟owa dan Teta.

Setelah mengalami pemekaran pada tahun 2006, pada tahun 2012

Kecamatan Lambitu dimekarkan lagi menjadi enam desa dengan

menambahkan desa Londo melalui Peraturan Daerah Kabupaten Bima

Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pemekaran Desa.

Desa Sambori memiliki luas sekitar 1.802 Ha atau sekitar 33,58 %

dari luas wilayah kecamatan Lambitu. Sekitar 1.260 Ha adalah lahan

Sawah dan tegalan. Sisanya diperuntukkan untuk pemukiman dan

prasarana umum, perkebunan rakyat dan kawasan lindung seluas 736 Ha.

47

Topografi wilayah Sambori dan sekitarnya berbukit-bukit dan datar yang

menyebar di sepanjang lereng Gunung Lambitu. Suhu udara di Sambori

rata-rata antara 20 hingga 25 ºC.

Ada empat wilayah yang membatasi administrasi Desa Sambori,

yaitu :

Sebelah Utara : Desa Kuta

Sebelah Selatan : Desa Kawuwu Langgudu

Sebelah Barat : Desa Renda Kecamatan Belo

Sebelah Timur : Hutan Tutupan Arambolo

Kondisi geografis sebagai daerah pegunungan dan berbukit-bukit

membuat perumahan warga Sambori tidak merata. Kondisi alam

perbukitan seperti ini mendorong penduduk setempat mendirikan

pemukiman di lereng-lereng bukit dengan rumah khas setempat, uma

lengge dan rumah panggung. Kondisi alam seperti ini pula yang

mempengaruhi pola bercocok tanam masyarakat Sambori. Penduduk

Sambori membuka lahan di lembah-lembah dan di lereng-lereng

perbukitan dengan frekuensi satu sampai dua kali musim tanam.

C. Demografi

Desa Sambori terbagi menjadi 3 dusun, yaitu dusun Lambitu, dusun

Lengge 1 dan dusun Lengge 2) yang mana dari keseluruhan dusun

tersebut terdapat 4 RW dan 10 RT. Jumlah keseluruhan masyarakat

Sambori adalah sebanyak 1.906 jiwa yang terbagi ke dalam Dusun

48

Lambitu dan Dusun Lengge. Sedangkan jumlah kepala keluarganya

adalah sebanyak 456 KK.

Sebagian besar di antaranya bertempat tinggal di Sambori Ntoi

yang merupakan perkampungan lama desa Sambori. Kepadatan

perkampungan lama mendorong sebagian masyarakat untuk membangun

Sambori „Bou yang merupakan perkampungan Sambori Baru.

Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Sambori

Dusun Penduduk

Lambitu 1014

Lengge 892

Total 1906

(Sumber : Data Administrasi Desa Sambori)

Penduduk Sambori memiliki kebiasaan merantau yang cukup tinggi

ke luar daerah. Kegiatan merantau penduduk Sambori terutama banyak

dilakukan oleh kaum laki-laki. Kebiasaan tersebut mulai banyak dilakukan

sejak tahun 1980-an. Motivasi mereka biasanya keluar untuk sekolah atau

mencari lapangan kerja. Setelah sekolah atau bekerja, mereka

kebanyakan menetap di luar desa. Biasanya mereka merantau setelah

melulusi jenjang SLTA atau SLTP.

D. Mata Pencaharian Hidup

Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Lambitu, termasuk

Sambori adalah petani. Mereka memiliki lahan pertanian masing-masing.

Adapun yang tidak memiliki lahan pertanian, mereka biasanya bekerja

membantu petani yang memiliki lahan sendiri demi mendapatkan upah

49

yang tidak seberapa dan tidak menentu, tergantung keikhlasan pemilik

lahan pertanian.

Selain tanaman hutan, ada dua vegetasi yang dapat dijumpai di

sekitar Desa Sambori, yaitu vegetasi pekarangan dan vegetasi sawah

atau ladang. Vegetasi pekarangn berupa nangka, mangga, jeruk, pisang,

cabe, dan sebagainya. Sedangkan vegetasi sawah atau ladang

didominasi oleh padi, bawang, kacang-kacangan, labu, jagung, dan lain-

lain. Vegetasi perkebunan yang pernah diperkenalkan adalah kopi dan

vanili. Pada umumnya tanaman palawija dan perkebunan jarang ditanami

oleh penduduk.

Sekitar 20 Hektar lahan tegalan di Sambori dimanfaatkan warga

untuk menanam kunyit. Ada juga sekitar 7 Hektar lahan yang

dimanfaatkan untuk menanam Tempuyang. Sejak dulu, orang-orang

Sambori dikenal sebagai penjual Kunyit dan Tempuyang bahkan sampai

di kota Bima dan Dompu. Proses produksi dan pemasaran warga Sambori

terhadap tanaman obat ini masih sangat sederhana dan tradisional yaitu

dengan menjajakan dari kampung ke kampung, disamping dimanfaatkan

untuk kebutuhan pribadi.

Di Sambori masih dijumpai beberapa varietas padi lokal seperti

sawuku yang terdiri dari dua jenis, yaitu berumur 3 dan 5 bulan. Varietas

padi sawuku lebih tahan panas, sehingga banyak ditanam penduduk.

Varietas padi lokal lainnya adalah manda berumur sekitar 4 bulan. Di

samping itu ada ada varietas padi lokal lainnya, misalnya njompa yang

50

terdiri dari dua jenis, yaitu berusia 3 dan 5 bulan dan mangge berusia 5

bulan. Padi-padi tersebut biasanya ditanam di lereng-lereng bukit.

Tabel 3. Produksi Tanaman Pangan Kecamatan Lambitu

Kabupaten Bima Tahun 2007-2012

Komoditi Produksi (Ton)

2007 2008 2009 2010 2011 2012

Padi Sawah 155 2.405 3.932 2.656 3.666 4.603

Padi Ladang 2.514 3.243 3.120 1.758 1.365 1.742

Jagung 139 33 851 2.562 654 1.157

Kacang Hijau 8 13 0 0 0 0

Ubi Kayu 721 662 83 13 0 0

Kedelai 35 0 0 0 0 65

Kacang Tanah 47 25 8 1 95 285

Ubi Jalar 600 159 23 23 0 179

(Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bima)

Tabel 4. Produksi Sayur-sayuran Kecamatan Lambitu Kabupaten

Bima Tahun 2012

Komoditi Produksi (Ton)

Bawang Merah 319

Bawang Putih 67

Cabe Rawit 8

(Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bima)

Selain mengelola lahan pertanian, masyarakat Sambori juga tidak

sedikit yang memelihara binatang ternak sebagai mata pencaharian

lainnya. Ada beberap ternak yang dipelihara penduduk, seperti kerbau,

sapi, kambing, itik, ayam, dll. Penduduk melihara sapi dengan cara

51

melepas begitu saja di gunung. Hanya sekali waktu penduduk

mengumpulkannya untuk mengetahui apakah sapi mereka baik-baik saja

atau mengalami sakit. Sementara kambing dan ayam dipelihara secara

intensif di rumah.

Tabel 5. Jumlah Ternak Penduduk Desa Sambori

Jenis Ternak Jumlah (ekor)

Kuda 12

Sapi 716

Kerbau 143

Kambing 809

Domba 121

Kelinci 16

Ayam buras 3871

Itik 198

(Sumber : BPS Kabupaten Bima Tahun 2012)

Sebelumnya, kuda dan kerbau merupakan ternak utama yang

banyak dipelihara penduduk. Kini kuda tidak banyak dijumpai di desa

Sambori. Hewan kuda yang dulu digunakan sebagai alat angkut barang

dan transportasi, kini digantikan oleh mobil yang setiap hari menuju ke

desa Sambori.

Di desa Sambori tidak terdapat pasar, untuk memperjual belikan

barang dan kebutuhan pokok sehari-hari mereka melakukannya di pasar

Tente. Namun demikian ada beberapa penduduk luar yang bertandang ke

desa Sambori untuk memperjual belikan barang, seperti kebutuhan sehari-

hari, buah-buahan, bawang dan lain sebagainya.

52

E. Agama dan Sistem Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Sambori pada mulanya adalah ma rapo

ro ma kimbi atau ma kakamba ma kakimbi yang merupakan kepercayaan

asli masyarakat Bima. Kepercayaan ini menunjukkan bahwa keberadaan

segala sesuatu yang hidup dan yang mati memiliki roh baik itu manusia

maupun benda-benda.

Hal-hal mengenai kekuatan gaib dan penunggu yang ada di

Sambori masih kental dalam kepercayaan masyarakat. Hampir setiap

pendatang diberikan nasehat agar tidak mengalami musibah atau bala.

Hal-hal yang dinasehati oleh masyarakat terutama untuk tidak terlalu

bahagia bersenda gurau, berteriak atau tertawa dengan keras, jangan

menginjak gundukan tanah yang berada di uma lengge dan tetap selalu

waspada atau berada dalam keadaan sadar (kawara weki).

Pamali merupakan persoalan yang sering muncul dalam kehidupan

masyarakat Sambori, kepercayaan mereka terhadap hal-hal gaib

membuat mereka sangat menjaga larangan-larangan atau pantangan

adat.

Desa Sambori dikenal oleh masyarakat sekitarnya memiliki

berbagai macam hal yang dianggap sakral, seperti tempat-tempat tertentu,

peralatan-peralatan atau senjata. Ada pula masyarakat dari desa lain

sengaja mendatangi desa Sambori untuk mengambil racun yang berasal

dari tanah Sambori dan digunakan sebagai senjata untuk melukai atau

membunuh lawan.

53

Dalam rumah lengge terdapat tombak yang dianggap memiliki

kekuatan gaib dan tidak boleh diganggu. Tombak tersebut tidak dapat

miring atau dibaringkan, jika itu terjadi, maka akan mengakibatkan

bencana. Bisa saja orang yang melakukan itu mati atau ketika tombak itu

dijatuhkan maka akan ada orang yang mati di arah mata tombak itu

menunjuk. Selain itu, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh

anggota masyarakat dapat menyebabkan kesurupan masal.

Kesurupan masal juga terjadi jika ada anggota masyarakat yang

menebang pohon-pohon di kawasan tertentu sekitar desa. Contohnya

yang berada di sekitar kolam (sekarang berada di wilayah desa Kuta).

Menurut cerita masyarakat, hal itu pernah terjadi menimpa hampir semua

masyarakat, mereka berbaris bagaikan prajurit kemudian bersama-sama

membersihkan sampah dan semak-semak yang berada di sekitar kolam

tersebut. Kolam itu berisi belut besar yang tidak boleh dimakan dan

memiliki bentuk yang berbeda dengan belut-belut pada umumnya.

Tidak diketahui kapan tepatnya Islam mulai masuk ke Sambori.

Namun, penyebaran agama Islam dalam kehidupan masyarakat Bima

pada umumnya melalui kerajaan pada masa kesultanan yang dimulai

sekitar tahun 1640 M. Hingga kini, 100 % warga Sambori dan sekitarnya

beragama Islam.

54

Tabel 6. Sarana Keagamaan Desa Sambori

Sarana Jumlah

Masjid 2

Musolah/Langgar 1

Total 3

(Sumber : Data Administrasi Desa Sambori)

Untuk peribadatan masyarakat sekarang ini telah dibangun dua

bangunan Masjid masing-masing di dusun Lengge dan dusun Lambitu

dan satu bangunan Musollah/Langgar. Dilihat dari kondisi fisik bangunan

masjid tersebut tampak bahwa masjid yang berada di perkampungan

Sambori lama/dusun Lengge tidak terurus dengan baik dibandingkan

dengan masjid yang berada di perkampungan Sambori baru/dusun

Lambitu.

Aktivitas ibadah masyarakat juga tidak begitu intensif dilakukan di

dalam masjid. Masjid tampak kosong dan jarang terpakai. Masyarakat

lebih banyak disibukkan oleh urusan-urusan pertanian mereka.

Gambar 1. Masjid di Dua Dusun Desa Sambori

55

Akhir--akhir ini pengaruh islam semakin dirasakan oleh masyarakat

terutama melalui kalangan Muhammadiyah dan NU serta berbagai

kalangan lainnya. Beberapa ustadz terkadang dengan sengaja

mengunjungi masyarakat dan melakukan ceramah perihal kepercayaan

dan tradisi masyarakat yang menurut mereka bertentangan dengan

agama dan berbau syirik. Hal ini mengakibatkan sebagian masyarakat

enggan untuk mengikuti upacara-upacara adat. Ditambah lagi adanya

larangan dari seorang tokoh masyarakat yang terbilang sangat

berpengaruh di kalangan masyarakat Sambori, sehingga keberadaan

upacara adat pamali manggodo semakin melemah.

F. Kondisi Sosial Budaya

Ketika awal-awal memasuki desa Sambori, nampak raut wajah

masyarakat yang seakan penuh tanya dengan terus memperhatikan

kedatangan saya bersama empat orang teman. Ibu-ibu dan nenek yang

duduk di atas tangga depan rumah mereka, ada pula yang duduk di

serambi-serambi, anak-anak yang sedang bermain sepedah, bermain bola

dan sebagainya tiba-tiba menghentikan aktivitas mereka sesaat karena

melihat kami sebagai pendatang yang baru mereka lihat.

Sambori baru memiliki banyak perbedaan dengan Sambori lama,

Sambori baru telah memiliki jalan beraspal sedangkan Sambori lama jalan

utamanya masih berupa tanah berbatu dan bergelombang, sebagian jalan

di tengah-tengah desa bercuram. Tidak hanya dari segi fisik, masyarakat

yang bermukim di Sambori lama memiliki perbedaan dari segi

56

kepercayaan yang lebih kental dibandingkan dengan masayrakat Sambori

baru. Walaupun tidak semua perbedaan ini ada pada masyarakat,

sebagian masyarakat Sambori baru mengakui perubahan-perubahan yang

mereka alami, sebagian lagi menganggap masyarakat Sambori Lama

masih kolot dan sulit diatur, hal demikian nampaknya disebabkan karena

mereka lebih menjaga jarak dengan para pendatang dan belum begitu

memahami hal-hal baru yang muncul.

Rumah kebanyakan masyarakat adalah rumah panggung yang

masing-masing ditinggali oleh satu keluarga, yakni keluarga batih/inti.

Mama ro‟o nahi atau mengunyah daun sirih merupakan kebiasaan sehari-

hari masyarakat Sambori. Daun sirih juga menjadi suguhan bagi tamu

yang berkunjung ke rumah mereka. Bagi mereka, mama ro‟o nahi memiliki

banyak manfaat, di antaranya menyembuhkan penyakit, memberi

kehangatan tubuh dan juga menguatkan gigi.

Tidak sedikit masyarakat Sambori yang memiliki lebih dari satu istri

dan memiliki banyak anak. Mereka masih memiliki pemahaman bahwa

memiliki banyak anak akan mendatangkan rezeki yang banyak pula.

Mengingat pertanian merupakan mata pencaharian utama maka anak

juga dapat membantu orang tua mereka dalam bekerja di sawah.

Salah satu karakteristik fisik masyarakat Sambori ditandai oleh

bangunan uma lengge (rumah lumbung) yang hanya ditopang oleh empat

tiang. Rumah tanpa paku yang beratapkan alang-alang ini memiliki dua

fungsi yaitu, sebagai tempat tinggal (to‟o kai) sekaligus lumbung padi

57

(pompa). Uma lengge merupakan rumah panggung yang terdiri dari tiga

tingkat setinggi sekitar 12 m dengan bentuk kerucut. Tingkat pertama

digunakan sebagai tempat duduk dan memiliki fungsi sosial, seperti untuk

upacara-upacara adat, berinteraksi dengan tetangga atau bercengkrama

dengan anggota keluarga. Tingkat ketiga merupakan ruang utama

berukuran sekitar 4x4 m yang dipakai untuk tempat tidur sekaligus dapur.

Paling atas merupakan lumbung untuk menyimpan padi dan hasil bumi

lainnya.

Uma lengge telah ada di desa Sambori sejak 300 tahun yang lalu.

Namun, sekarang hanya tersisa satu bangunan uma lengge yang asli.

Beberapa uma lengge baru-baru ini dibangun, namun telah mengalami

perubahan dari segi ukuran dan bentuknya. Pembangunan rumah di desa

Sambori harus didahului dengan ritual khusus dengan berbagai macam

sesajen. Jika hal ini tidak dilakukan, maka rumah yang dibangun tidak

akan bertahan lama.

Karena dianggap tidak praktis, penduduk Sambori tidak berminat lagi

membangun uma lengge. Sehingga keberadaannya semakin punah.

Mereka lebih memilih mendirikan rumah panggung dari kayu (uma ceko

dan pa‟a sakolo) yang bercirikan bangunan rumah Makasar. Rumah

panggung dapat menampung anggota keluarga lebih besar dan dari segi

privasi lebih terjaga. Seiring dengan perubahan masyarakat setempat,

secara perlahan uma lengge mulai ditinggalkan. Sebagian masyarakat

menganggap uma lengge mewakili status sosial lebih rendah.

58

G. Pendidikan

Masyarakat Sambori terbilang masih sangat minim dari segi

pendidikan. Institusi pendidikan formal yang terdapat di desa Sambori

hanya setinggi Sekolah Dasar, sedangkan SMP dan SMA sekecamatan

Lambitu hanya terdapat di desa Kuta.

Tabel 7. Prasarana Pendidikan Desa Sambori

Prasarana Jumlah

TK 2

SD 2

(Sumber : BPS Kabupaten Bima Tahun 2012)

Untuk pergi ke sekolah, anak-anak masyarakat Sambori harus

bangun pagi-pagi sekali. Sebelum berangkat sekolah, anak-anak diberikan

sarapan pagi terlebih dahulu, terkadang juga anak-anak membawa bekal

makanan seperti jagung, kacang-kacangan, jambu dan lain sebagainya

untuk mereka konsumsi di sekolah.

Anak-anak penduduk Sambori Lama lebih kesulitan untuk

mendatangi sekolah mereka dibandingkan dengan anak-anak penduduk

Sambori Baru disebabkan karena lokasi Sambori Lama yang lebih jauh

dari pusat kecamatan dan juga akses jalan yang belum beraspal, pada

saat hujan jalanan pun becek. Hanya sekolah dasar yang terdapat di desa

Sambori, sedangkan untuk SMP dan SMA mereka harus sekolah di pusat

kecamatan yang jaraknya lebih kurang 3 kilo meter dari Sambori Lama.

59

Gambar 2. Anak Sekolah Desa Sambori

Dengan membawa anak-anak mereka ke sawah/ladang semenjak

kecil, bahkan anak yang masih berusia balita, dengan begitu pengetahuan

tentang aktivitas pertanian ditanamkan sejak dini. Ketika orang tua

bekerja, anak-anak mereka bermain di sekitar mereka. Anak yang masih

berusia balita di bawa kemana-mana oleh ibunya.

H. Kesehatan

Ketika anak-anak menderita sakit, mereka tidak langsung

membawanya ke rumah sakit atau puskesmas, akan tetapi ada upaya

permulaan dari orang tua mereka tanpa harus mengeluarkan biaya. Orang

tua akan mengunjungi pihak kerabat yang dianggap dapat melakukan

sesuatu demi kesembuhan penyakit yang diderita anaknya. Hal yang pada

umumnya dilakukan di kalangan keluarga untuk menyembuhkan penyakit

seperti sakit kepala, demam, sakit gigi dan berbagai penyakit ringan

lainnya adalah dengan cara ufi, yakni membacakan do‟a seraya meniup

60

bagian anggota tubuh anak yang dianggap sakit dan mengusap-

ngusapnya secara halus.

Sedangkan untuk mengobati penyakit yang lebih berbahaya seperti

penyakit cacar atau penyakit menahun lainnya, masyarakat akan

mengadakan suatu pengobatan khusus dengan nyanyian. Nanyian ini

sekaligus menjadi mantra untuk memohon kesembuhan kepada Sang

Khalik. Biasanya anak-anak yang kena cacar ditidurkan, kemudian para

perempuan/kaum ibu duduk melingkar di sekeliling si sakit dan

melantunkan syair Mangge Ila dan Bola La Mbali.

Syair Bola La Mbali :

E, hai Bola La Mbali

Ndo Au La Mbali

Sima Kaila

Ei la dei bola

Ngau ndaina, e bola la mbali

Syair Mengge Ila :

Mangge ila nai 2 x

Ilae bala mange

E Ruma ra ndaita Ruma

Ruma ndaita su‟u kai ruma

Ila e Mangge….!

61

Tabel 8. Prasarana Kesehatan

Jenis Jumlah

Rumah Bersalin 1

Puskesmas Pembantu 2

Polindes/Poskesdes 1

Praktek Bidan 1

Posyandu 2

Total 7

(Sumber : BPS Kabupaten Bima Tahun 2012)

Di desa Sambori terdapat beberapa orang yang memiliki pekerjaan

dalam bidang kesehatan. Untuk anggota masyarakat yang biasanya

melakukan praktek kesehatan di desa Sambori, tercatat 2 orang Bidan

Desa, 3 orang Dukun bayi dan 3 orang Dukun sunat.

Dari segi ketersediaan air untuk MCK, masyarakat Sambori hanya

memiliki 4 buah sumur galian yang dapat di manfaatkan. Untuk jamban,

terdapat 328 buah milik keluarga, 71 buah milik bersama, 22 buah jamban

umum.

Gambar 3. Poskesdes Sambori

62

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Pertanian Tradisional

Dalam keseharian masyarakat terbentuk berbagai macam struktur

sosial yang lambat laun menetap dan digunakan sebagai ciri atau adat

milik mereka. Struktur sosial tersebut ada dalam berbagai macam aspek

kehidupan masyarakat. Dalam aktivitas pertanian masyarakat Sambori,

struktur sosial telah terbentuk sejak lama.

Petani umumnya dikenal sebagai masyarakat yang hidup dan

tinggal di pedesaan. Kehidupan masyarakat petani tidak hanya terbentuk

dari lingkungan sosial mereka, melainkan juga berkaitan erat dengan

lingkungan alam di sekitar mereka.

Dalam keseharian masyarakat Sambori, orang-orang tua, pemuda,

remaja pagi-pagi telah berangkat menuju sawah mereka, bagi yang

memiliki anak ia akan membawanya pula ke sawah. Warga Sambori

memiliki semangat kerja yang tinggi. Sejak kecil mereka telah terbiasa

mengikuti orang tua mereka ke sawah atau ladang dengan berjalan

hingga beberapa kilometer. Masyarakat yang telah beranjak dewasa akan

merasa minder/malu jika tidak bekerja di sawah tanpa pekerjaan lainnya.

Pada musim tanam, kaum laki-laki Sambori banyak menghabiskan

waktunya di ladang atau sawah. Terutama saat padi mulai hamil sampai

panen usai, kaum laki-laki menginap di sawah untuk mejaga tanaman padi

dari gangguan babi hutan. Mereka bekerja dari pagi hingga sore hari.

63

Bahkan beberapa di antaranya menetap di sawah, terutama bagi yang

sudah berkeluarga. Hanya sekali waktu mereka pulang untuk mengambil

bekal makanan. Pada saat-saat seperti ini mereka enggan di ganggu

dengan kegiatan-kegiatan di luar kegiatan mereka di sawah atau di

ladang.

Sedangkan kegiatan kaum perempuan banyak dicurahkan di sektor

domestik. Mereka menyiapkan makanan pagi pada sekitar jam 5 pagi

untuk sarapan anak-anak sekolah dan suami ke sawah. Jika tidak ada

pekerjaan lagi di rumah mereka mengiringi suaminya ke sawah. Tidak

jarang di antaranya harus menemani suaminya menginap di sawah

beserta anggota keluarga yang masih kecil, di sela-sela itu kaum

perempuan mencari kayu bakar, menumbuk padi, mengambil air minum

dan lain-lain.

Para wanita juga berperan dalam proses pemanenan sawah.

Mereka memotong padi menggunakan sabit dan memisahkan padi dari

batangnya untuk dimasukkan ke dalam karung. Setelah selesai bekerja

biasanya pihak wanita menyiapkan makanan untuk dikonsumsi bersama

sehabis bekerja atau saat istirahat. Beberapa tempat di areal persawahan

mamiliki mata air yang digunakan untuk memasak, sebagai air minum, dll.

Saat panen, padi yang telah dipotong dengan sabit dimasukkan ke

dalam karung. Padi dalam karung yang masih berada di sawah tersebut

perlu diangkat satu-persatu untuk di bawa ke rumah dengan cara

meletakkannya di pundak/punggung mereka. Sekarang, di beberapa area

64

persawahan, untuk membawa padi tersebut dapat dilakukan dengan mobil

karena akses jalan untuk dilewati kendaraan sudah terbuka. Namun, jalan

tersebut juga tidak begitu dekat dengan persawahan dan untuk

membawanya ke mobil masih perlu diangkat oleh petani melalui jalan

berkelok dan mendaki.

Tanaman padi dilakukan sekali hingga dua kali setahun. Jika telah

mencapai masa panen, lahan sawah dibiarkan sampai memasuki musim

hujan berikutnya terkadang juga selama satu tahun untuk kemudian

ditanami lagi.

Para pemilik sawah mengerjakan lahan mereka masing-masing.

Biasanya bagi pemilik sawah lain yang walaupun lahan mereka belum

sepenuhnya selesai dikerjakan, mereka juga turut membantu mengerjakan

lahan yang lainnya milik tetangga atau pun milik kerabat mereka.

Terkadang, pemilik sawah yang merasa tidak mampu untuk

menyelesaikan sawahnya sendiri akan memanggil petani lain di sekitar

lahan mereka untuk membantu.

Masyarakat Sambori mengenal prinsip resiprositas yang

termanifestasi dalam tradisi weha rima (ambil tangan) dan mbei rima

(memberikan tangan) yang berarti menerima bantuan dan memberikan

bantuan. Tradisi semacam ini menggambarkan semangat kerja dan

kebersamaan masyarakat dalam bertani. Ketika pihak lain membantu

meringankan beban kerja mereka, maka disaat itu pula mereka merasa

harus membalas jasa. Balas jasa tidak perlu dilakukan hari itu juga,

65

melainkan pada hari-hari berikutnya, terkadang satu keluarga yang akan

membalas jasa mereka lakukan setelah semua hasil panen mereka

selesai dikerjakan. Prinsip tersebut juga tidak hanya dilakukan pada saat

mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian, tetapi dalam

kesibukan apapun mereka tetap menerapkannya.

Di sawah/ladang masyarakat memiliki salaja (berugak) atau

bangunan berupa panggung dengan empat atau enam tiang beratap

berbentuk seperti lumbung yang dibangun di sekitar lahan sawah untuk

dijadikan sebagai tempat tidur atau istirahat, serta memasak dan

menyimpan peralatan dan makanan. Sering juga petani bermalam di

salaja menjaga sawah mereka dari gangguan babi. Bermalam di salaja

semakin intens dilakukan oleh masyarakat di saat musim panen tiba.

1. Sistem Pemanfaatan dan Pembukaan Lahan

Dalam tata kehidupan manusia yang bermasyarakat, fungsi

lahan baik dalam arti media tanam (soil) maupun ruang (space) sangat

kompleks. Misalnya ketika manusia mengenal usaha tani monokultur,

fungsi lahan tidak hanya untuk bercocok tanam secara subsisten saja.

Namun lebih jauh lagi untuk membentuk struktur sosial petani,

kebudayaan petani dan sebagai media transformasi energi antara

sistem sosial petani dengan ekosistem pertaniannya.

Setiap masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman

masing-masing mengenai dunia tempat mereka hidup dan dunia

sekitar kehidupan mereka dapat dimaknai seturut bingkai kebudayaan

66

yang mereka miliki. Masyarakat desa Sambori mengenal klasifikasi

lahan yang memilki kategori dan fungsi masing-masing. Berbagai

klasifikasi lahan tersebut berdasarkan pola pemanfaatan yang berbeda

oleh masyarakat.

Woha’arak

Woha‟arak meliputi kawasan hutan yang saat ini disebut

masyarakat sebagai hutan Negara. Masyarakat setempat tidak

mengenal hutan adat, tetapi mereka mengenal hutan yang

dikeramatkan, terutama yang terdapat parafu atau makam ncuhi,

seperti bukit Tuki, Jo dan Lambitu.

Parafu merupakan sumber air yang disucikan karena parafu

diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur mereka. Sebutan

parafu juga dipakai untuk suatu tempat yang ada makam leluhur dan di

sekelilingnya terdapat pepohonan. Pepohonan yang terdapat dikelilingi

parafu atau makam leluhur dilarang keras di tebang, sekalipun hanya

mengambil rantingnya. Mereka meyakini malapetaka akan datang jika

seseorang menebang pohon di sekitar parafu atau di makam leluhur.

Keyakinan pada kesucian parafu juga terlihat dari prosesi

adanya upacara ngaha ncore (tolak bala). Upacara ngaha ncore

merupakan upacara ritual yang dilakukan pada saat terjadi wabah

penyakit baik yang dialami manusia dan hewan peliharaan. Upacara

ngaha ncore dipimpin oleh sando (dukun). Penyelenggraan upacara ini

diawali dengan mengambil air di tempat-tempat tertentu yang disebut

67

parafu yang berarti pantangan atau yang disucikan. Pengambilan air

dilakukan oleh tokoh adat diikuti oleh beberapa orang perempuan

sebagai pengiring perempuan. Dalam perjalanan wanita tersebut

sambil melantunkan lagu ritual disebut “mangge ila”. Pada saat yang

sama semua warga masyarakat baik laki-laki, perempuan, tua-muda

dan anak-anak menunggu di tempat yang ditentukan sambil menunggu

air parafu dari sumber air. Upacara ini dilakukan selama empat hari

berturut-turut di setiap sudut kampung. Apabila terjadi wabah yang

besar, upacara dilakukan selama lima hari di tengah-tengah kampung.

Setelah mengambil air parafu dan melakukan sesaji, pemimpin

upacara memercikkan air parafu ke seluruh warga yang hadir. Upacara

Ngaha Ncore ditutup dengan makan nasi bersama yang dibawa dari

rumah masing-masing. Makanan yang mereka makan tidak boleh dari

makhluk hidup yang berdarah.

Di Woha‟arak penduduk melakukan aktifitas berburu dan

meramu. Penduduk tidak melakukan banyak kegiatan di hutan. Di

samping mencari madu dan berburu, mereka mencari kayu bakar,

rotan, tanaman obat dan hasil hutan lainnya. Sesekali waktu mereka

menebang pohon untuk membangun rumah. Woha‟arak juga

merupakan tempat mengembala ternak. Penduduk memelihara ternak

dengan cara melepaskan di hutan dan di sekitar kampung.

68

So

So, berupa kawasan kegiatan pertanian yang berada di lereng-

lereng bukit dan lembah. Biasanya, lokasi So merujuk pada nama

gunung, misalnya So Lambitu untuk menunjuk areal perladangan di

sekitar punggung gunung Lambitu. Ada beberapa nama So yang

menunjuk pada areal perladangan, seperti So Lambitu, So Ratu, So

Tuki, dan So Ibobora.

Sebelum mengenal sistem pertanian sawah, masyarakat

Sambori melakukan aktifitas agrarisnya di sekitar perbukitan. Mereka

menanam tanaman tahunan, palawija dan padi lokal. Penduduk

memanfaatkan So untuk kabore, yaitu lahan pertanian yang ditanami

tanaman tahunan, seperti nangka, mangga, jambu, dan tanaman

lainnya. Di daerah So juga dimanfaatkan untuk nggaro, yaitu lahan

yang ditanami tanaman semusim, terutama palawija.

Bangga

Bangga merupakan lahan persawahan di mana penduduk biasa

menanam padi. Padi pada lahan persawahan tertentu mereka memberi

nama, seperti So Ratu, Mambeko, Lena, dan lain-lain. Bangga terletak

di lembah-lembah dan ngarai-ngarai yang dapat dijangkau air sungai.

Penduduk mengairi sawah dari sungai dengan membuat parit-parit

kecil. Di musim kemarau mereka menanami lahan bangga dengan

palawija, labu dan tanaman produktif lainnya. Belakangan mereka juga

mereka juga mengembangkan tanaman bawang putih.

69

Oma

Oma, berupa tempat perladangan berpindah yang biasanya

dilakukan di daerah So. Pembukaan oma pertama kali dilakukan

secara bekelompok yang didahului dengan kegiatan membersihkan

semak dan membakar. Untuk memudahkan pengaturan pengelolaan,

mereka memagari Oma dengan tumpukan batu dan memberi nama.

Sebelum merencanakan membuka Oma, mereka meminta ijin

kepada Ncuhi. Mereka kemudian berkumpul bersama tokoh-tokoh adat

untuk merencanakan upacara Wea Oha Dana atau Wea Oha Oma

untuk meminta keselamatan dari wabah atas tanaman ladang mereka.

Sebelumnya mereka mengumpulkan benih secara bersama dan akan

dibagikan setelah upacara selesai. Orang yang dianggap dituakan

akan memulai penanaman tanaman ladang.

Upacara Wea Oha Dana dipimpin oleh Panggita Oma yang

didampingi oleh Ncuhi dan Gelarang Na‟e beserta pembantunya. Di

Sambori ada beberapa Panggita Oma dan setiap upacara Wea Oha

Dana tidak selalu dipimpin oleh Panggita Oma. Pembuka ladang baru

akan memlih salah seorang Panggita Oma yang dianggap dipercayai

untuk melaksanakan upacara Wea Oha Dana. Ketika menjelang panen

tiba, mereka melakukan upacara Palosa Su‟a atau Mara Menta untuk

meminta keselamatan pada saat memungut hasil panen.

Sistem pertanian berpindah juga dilakukan masyarakat

Sambori, terutama di daerah perbukitan yang tidak terjangkau oleh

70

aliran sungai. Lahan yang sudah ditanami beberapa kali akan

dibiarkan ditumbuhi tanaman perdu dan dialihkan di lan tempat. Lahan

tidur tersebut akan ditanami kembali setelah jangka waktu empat

sampai lima tahun. Mereka melakukan perladangan perindah di

kawasan So. Untuk memudahkan batas kepemilikan, mereka

memagari lahan dengan tumpukan bebatuan atau dengan

menanaminya dengan tanaman tertentu.

Merupakan pantangan (pamali) membuka di dekat pemukiman

ncuhi dan parafu. Terdapat kepercayaan, tanaman tidak akan tumbuh

dengan baik dan tidak akan memetik hasil panen bagi mereka yang

membuka ladang di daerah ini. Pada jarak tertentu dari parafu dan

pemukiman para ncuhi mereka dapat membuka ladang. Pembukaan

ladang dilakukan secara berkelompok. Mereka mulai membuka ladang

dari atas, kemudian menurun. Setelah melewati 3 atau 5 musim tanam,

mereka akan kembali memulai membuka ladang dari atas.

Rasa

Rasa atau kampung adalah lahan yang dipergunakan untuk

perkampungan penduduk. Masyarakat Sambori pada awalnya hidup

dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka diikat oleh hubungan

keluarga atau klan, seperti orang tua dan anak beserta anggota

keluarga lainnya. Sebelum mengenal uma lengge, mereka tinggal di

rumah menyerupai gubuk atau disebut sapo. Mereka menguasai tanah

di sekitar di mana mereka tinggal bersama anggota keluarga. Apabila

71

salah satu anggota keluarga mereka menikah, orang tua akan

memberikan lahan untuk membangun rumah di dekat rumah orang tua.

Untuk membangun rumah ini mereka tidak perlu meminta ijin kepada

ncuhi.

Setelah berinteraksi antarkelompok, mereka menjadi kelompok

yang lebih besar dan berkembang menjadi sebuah perkampungan

(rasa). Perkampungan-perkampungan kecil yang letaknya terpisah,

seperti Due dan Tuki, berbaur menjadi perkampungan lebih besar. Kini

perkampungan tersebut dinamakan Sambori Ntoi (Sambori Lama). Di

sinilah terdapat perkampungan tua, seperti Due, Sengari Me‟e, Mundu

dan Kakeru. Mereka kini berbaur antara penghuni perkampungan satu

dengan yang lainnya. Meski di Sambori Ntoi masih dijumpai

pengelompokan penduduk lama.

2. Sistem Pengolahan Lahan

Telah dijelaskan bahwa masyarakat Sambori pada mulanya

merupakan penduduk yang hidup di dataran rendah. Hal ini membuat

persamaan cara-cara pertanian yang tidak dapat dilepaskaitkan

dengan masyarakat Bima pada umumnya.

Tidak hanya di desa Sambori, di beberapa bagian wilayah

kabupaten maupun kota Bima memiliki beberapa pola pertanian yang

serupa dalam membuka lahan. Daerah kabupaten di antaranya Wera,

Donggo, Wawo, Sape, Parado. Daerah kota seperti halnya di

Lelamase, Jati Baru dan Desa.

72

Dikala memasuki musim tanam, masyarakat mulai sibuk untuk

mempersiapkan segala keperluan pertanian. Interaksi antar

masyarakat berlangsung berkenaan dengan perencanaan yang diawali

dengan musyawarah. Laki-laki mulai sibuk mempersiapkan seluruh

peralatan seperti cila (parang), ponggo (kapak), cu‟a (tembilang), dan

kamalo (batu asah) yang dperlukan untuk membuka lahan dan

perempuannya menyiapkan bekal untuk makan dan minum.

Secara umum, pola pembukaan lahan masyarakat diawali

dengan melakukan mbolo, setelah mbolo dilanjutkan dengan proses

udu, ma‟a, note, do‟a dan terakhir nggu‟da.

Mbolo (musyawarah) :

Sebelum membuka lahan, diadakan musyawarah untuk

menentukan hari yang dianggap tepat untuk membuka lahan, siapa

saja yang akan memiliki lahan yang akan dibuka serta aturan-

aturan yang berlaku saat proses buka lahan berlangsung. Setelah

memperoleh kesepakatan musyawarah, diadakan penandaan

lahan oleh masyarakat yang akan memperoleh lahan. Penandaan

dilakukan dengan cara meletakkan atau menancapkan kayu atau

batu pada batas-batas yang telah ditetapkan.

Setelah masyarakat menandai lahan yang akan mereka peroleh,

diadakan musyawarah kedua untuk menentukan kebutuhan-

kebutuhan dan besarnya biaya yang akan dihabiskan pada saat

proses buka lahan dilaksanakan.

73

Ngoho (membuka lahan) :

Buka lahan pertama, pada tahap ini masyarakat menebang pohon

dan semak-semak yang berada di lahan yang ingin dibuka saat

pertama kali membuka lahan. Setelah ngoho, lahan dibiarkan

kering selama 1 minggu atau lebih, tergantung cuaca.

Peralatan yang digunakan pada saat ngoho adalah : ponggo

(kapak) dan cila (parang).

Udu (mengumpulkan) :

Setelah masyarakat melakukan penebangan di lahan, proses

berikutnya yang harus dilakukan adalah udu. Pada tahap ini

masyarakat melakukan pembakaran semak-semak atau pohon-

pohon yang telah kering setelah ditebang.

Kepercayaan masyarakat pada umumnya dalam proses

pembakaran ini yakni apabila asap yang muncul pada saat proses

pembakaran terlihat banyak, maka diyakini bahwa curah hujan

akan tinggi. Begitu pula sebaliknya, apabila asapnya sedikit maka

curah hujan rendah dan hal demikian akan mempengaruhi

kesuburan atau kesuksesan pertanian masyarakat kelak.

Ma‟a :

Proses ma‟a dilakukan dengan cara mengambil dan membakar

kembali sisa-sisa pepohonan dan semak-semak yang belum

terbakar sepenuhnya setelah udu. Setelah ma‟a, lahan kembali

74

dibiarkan untuk menunggu benih-benih atau tumbuhan yang masih

bisa tumbuh.

Peralatan yang digunakan pada saat Ma‟a yaitu : Cu‟a (tembilang)

dan cila (parang)

Note :

Tahap yang kemudian dilakukan adalah mengambil atau

membersihkan tumbuhan baru atau tumbuhan muda yang masih

dapat muncul setelah dilakukan proses ma‟a. Sekarang note

banyak dilakukan dengan cara menggunakan obat-obatan pestisida

untuk menghilangkan tumbuhan baru dengan cara menyirami

tumbuh-tumbuhan muda tersebut.

Do‟a :

Setelah note, dilakukan baca do‟a dengan tujuan untuk memohon

keselamatan atau keberkahan lahan.

Pembuatan salaja dilakukan pada saat proses ma‟a, Seringkali

pembuatan salaja diselesaikan setelah note.

Salaja ada dua jenis, yaitu salaja na‟e dan salaja to‟i, Untuk posisi

salaja, biasanya tergantung pada posisi lahan masyarakat. Lahan

yang berada di tengah-tengah lahan lainnya tidak perlu membuat

salaja to‟i. Salaja na‟e dibuat di tengah-tengah persawahan agar

dapat menjangkau atau mengintai musuh. Salaja to‟i di pasang di

pinggir sawah.

Proses ngoho sampai note biasanya dilakukan oleh kaum pria

75

Nggu‟da (penanaman)

Setelah masyarakat melakukan do‟a barulah dapat dilakukan

penanaman (nggu‟da). Penanaman benih biasanya dilakukan oleh

kaum wanita. Dalam proses nggu‟da ini masyarakat mengiringinya

dengan kesenian arugele.

Alat yang biasa digunakan adalah Cu‟a Nggu‟da (tembilang khusus

untuk menanam).

Dalam proses buka lahan masyarakat menerapkan sistem weha

rima yang mana pemilik lahan membantu pemilik lahan lainnya

untuk ngoho, pemilik lahan yang dibantu juga dapat melakukan

cepe rima yang mana ia membalas budi dari pemilik lahan yang

melakukan weha rima tadi.

B. Upacara Pamali Manggodo

1. Asal Usul Upacara

Dunia pertanian telah sejak lama dikenal oleh masyarakat Bima

sebagai mata pencaharian utama. Keberhasilan dalam dunia pertanian

telah diakui sejak masa kerajaan. Pada masa itu, Bima mengalami

perkembangan pesat dalam bidang pertanian yang menjadikan daerah

tersebut sebagai tempat perdagangan pertanian maju bersama

dengan kerajaan Goa.

Hama dianggap sebagai musuh yang dapat merugikan

masyarakat karena dapat mengurangi hasil panen. Hama yang biasa

mengganggu pertanian masyarakat Sambori di antaranya adalah

76

monyet, babi, burung, ulat, tikus dan berbagai macam hama padi

lainnya.

Dari penjelasan yang disampaikan oleh masyarakat dan

kenyataan yang ada dalam kehidupan mereka, manggodo juga dapat

dikategorikan sebagai sebuah status sosial. Dalam kehidupan

masyarakat Sambori, terdapat suatu golongan masyarakat yang

disebut-sebut sebagai dou manggodo („dou‟ berarti „orang‟). Manggodo

dimaknai hampir sama dengan parafu. Sedangkan parafu sendiri

merupakan penghuni yang mendiami tempat-tempat tertentu. Parafu

juga diartikan sebagai tempat itu sendiri, khususnya untuk

menunjukkan tempat keramat yang memiliki penunggu.

Masyarakat dalam menjelaskan istilah manggodo sering kali

menggantikannya dengan istilah parafu, hal ini dikarenakan bahwa

istilah manggodo tidak banyak dikenal oleh masyarakat.

Dilihat dari unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, upacara

pamali manggodo bukan berawal dari masa kesultanan, melainkan

jauh sebelum munculnya pengaruh islam di tanah Bima. Dapat kita

perhatikan bahwa unsur budaya hindu lebih kental menyelimuti

pelaksanaan ritual.

Jika upacara pamali manggodo tidak dilakukan atau terlambat,

maka akan ada makhluk halus yang mendatangi masyarakat untuk

memerintahkan mereka melakukan upacara secepatnya. Biasanya

penyampaian pesan ini terjadi melalui kondisi kesurupan dari anggota

77

masyarakat yang mana diyakini bahwa yang memasuki tubuh anggota

masyarakat tersebut adalah parafu.

2. Unsur-unsur Upacara

a. Pelaksana Upacara

Di Sambori dikenal berbagai macam status yang memiliki

peran masing-masing dalam proses pelaksanaan upacara-upacra

adat. Para pelaku upacara tersebut bukanlah „orang-orang biasa‟,

melainkan mereka memiliki kemampuan tertentu yang tidak ada

atau hanya sedikit orang saja yang memilikinya.

Dalam upacara pamali manggodo ada empat tokoh yang

memiliki peranan penting. Pertama, Panggawa yang merupakan

pemimpin upacara. Kedua, Panggita yang memimpin upacara sore.

Ketiga, Pamali Lawo yang memimpin tolak bala hama tikus.

Keempat, Pamali Kari‟i yang memimpin tolak bala burung pipit.

b. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Desa Sambori memiliki tempat-tempat sakral yang

dipercayai masyarakat merupakan tempat keramat. Sehingga ada

pantangan-pantangan masyarakat yang berkaitan dengan tempat-

tempat tertentu yang ada di desa Sambori.

Masyarakat Sambori percaya bahwa beberapa mata air yang

ada di sekitar mereka memiliki penghuni yang tidak boleh diganggu.

Karena itu muncul larangan-larangan untuk menebang pepohonan

78

di sekitar mata air tersebut. Selain itu, ada pula tempat seperti

gundukan tanah yang tidak boleh diinjak atau dilewati.

Dalam memulai upacara pamali manggodo, masyarakat

tidak menentukan dengan pasti kapan tepatnya akan dilakukan.

Akan tetapi upacara tersebut dilakukan selalu saat memasuki

musim tanam antara bulan 12 atau bulan 1. Tempat yang

dukunjungi pertama kali oleh masyarakat adalah uma manggodo

yang mana merupakan tempat parafu.

c. Peralatan dan Sajian

Peralatan dan sesaji atau sesajen merupakan suatu

perangkat yang biasanya ada di dalam berbagai kegiatan ritual.

Perangkat itu harus lengkap, dan setiap perangkat mewakili suatu

makna tertentu. Kelengkapan dari sesajen menjadi prasyarat dari

keputusan pihak yang diberikan sesajen dan di sisi lain merupakan

wujud kepercayaan dari pihak yang memberi sesaji.

Bagi beberapa kelompok masyarakat, sesajen merupakan

simbol dari pengakuan akan adanya kuasa yang harus dia puaskan

supaya memberi keamanan dan ketenangan di dalam hidup

mereka, dan yang akan mejawab semua permohonan mereka.

Seberapa lengkap dan sempurna sesajen yang telah diuasahkan

dan dipersembahkan merupakan sumber ketenangan dan

keamanannya.

79

Pada upacara pamali manggodo proses yang memuat unsur

sesaji bersama dengan perangkat peralatan upacara dapat

ditemukan di awal upacara. Yakni pada saat masyarakat

mendatangi uma manggodo untuk meminta izin pada parafu.

d. Kesenian

Nyanyian memiliki arti penting bagi masyarakat Sambori.

Ada banyak nyanyian yang terdapat di desa Sambori yang terwujud

dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Nyanyian juga dapat

berfungi sebagai penyembuhan penyakit tertentu. Nyanyian Bola

La Mbali dan Mangge Ila misalnya, termasuk dalam proses

pengobatan penyakit menahun seperti cacar. Nyanyian ini

dilantunkan sebagai mantra untuk meminta kesembuhan pada

sang Khalik.

Dalam pertanian masyarakat Sambori, dikenal kesenian

yang disebut Arugele. Secara umum Arugele adalah tarian dan

nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh

karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah dan huma ketika

mulai menanam maupun pada saat panen. Tarian dan nyanyian

Arugele dibawakan oleh 6 sampai 8 orang perempuan baik dewasa

maupun para gadis. Sambil menyanyi mereka memegang tongkat

kayu yang ujungnya telah dibuat runcing dan ditancapkan ke tanah.

Mereka berbaris dan melakukan gerakan menancapkan kayu yang

diruncingkan itu kemudian menaburkan butir-butir padi, jagung atau

80

kedelai ke tanah yang telah mereka lubangi dengan kayu runcing

tadi. Sementara kaum lelaki mengikuti alunan langkah mereka

untuk merapikan dan menutup kembali tanah yang telah ditaburi

bibit tadi.

Seperti halnya Belaleha, Arugele pun berkembang dan

dilantunkan bukan hanya pada saat menanam atau panen, tapi

nyanyian Arugele juga dilantunkan pada saat acara khitanan

maupun pernikahan.

Syair Arugele Ngguda (Arugele Untuk Menanam)

Gele Arugele

Gele Badoca

Lirina Pana Liro

Kone di sarei todu kai sarau

Jagaku palona pahumu piri pela

Bohasi baliro pahu me‟e taluru

Gele Arugele

Lino na tolo lino ntauka kantolo

Linona moti lino ntau balata

Linona ade tiwara dou ma eda

Gele Arugele

Ura bura aka main onto doro

Madama dodo dasaina tolo

Jagaku mbeca tembe do‟o ra cepe

Gele Arugele

Papa pai la tana‟u ra nefa

Campo konci la sabua mafaka

Musyawara kabou mampasa

Syair ini menggambarkan suasana di sawah ladang ketika

menanam, hijaunya alam, terik mentari, nyanyian burung,

81

kebersamaan dan seluruh aktifitas para petani di sawah/ladang dan

huma.

Di kalangan masyarakat Bima ada sejenis tari yang mirip

dengan arugele Donggo Ele, yaitu tari sagele, yang biasanya

dipentaskan ketika menanam padi di sawah ladang, kemungkinan

tari Sagele berasal dari tari Arugele Donggo Ele. Tari sagele hanya

dikenal oleh Orang Bima di kecamatan Wawo dan sekitarnya, serta

di kelurahan Lelamase Kota Bima.

3. Proses Pelaksanaan Upacara Pamali Manggodo

Setiap peristiwa-peristiwa penting selalu diikuti dengan

serangkaian upacara. Seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan

pertanian. Sebelum membuka ladang, dilakukan upacara khusus

dilahan yang akan dibuka untuk meminta agar tanaman ladang mereka

tidak diserang oleh wabah yang dapat merusak pertanian, seperti ulat,

tikus, burung, babi, dan sebagainya.

Upacara pembukaan lahan di Sambori disebut Pamali

Manggodo yang hingga saat ini masih dilakukan oleh penduduk

setempat. Ada beberapa tahap yang dilakukan pada Upacara Pamali

Manggodo. Tahap pertama yang dilakukan dalam penyelenggaraan

pamali manggodo adalah mbolo. Mbolo menggambarkan aktivitas

beberapa tokoh masyarakat yang melakukan musyawarah untuk

menetapkan kesepakatan mengenai rencana dan penetapan waktu

82

upacara serta aturan-aturan yang ada pada saat proses upacara

berlangsung.

Setelah musyawarah selesai dilakukan, penduduk akan

melakukan kunjungan di parafu untuk meminta izin melakukan

kegiatan di ladang. Pada saat panenpun mereka melakukan upacara

sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang mereka peroleh.

Dalam kunjungan ini masyarakat membawa seperangkat sesajen yang

kemudian diletakkan di rumah manggo‟do. Masyarakat sering

menyebut proses ini sebagai lao paha manggo‟do (memberi makan

manggo‟do).

Adapun sesajen yang disebutkan terdiri dari :

oha monca (nasi kuning)

oha bura (nasi putih)

oha santa (nasi santan)

kalo (pisang) matang

ni‟u (kelapa) yang masih utuh

karo‟do (beras yang sudah direndam kemudian dihaluskan dan

dicampur dengan kelapa)

mangge mada (asam)

janga (ayam) putih & hitam

nahi (daun sirih)

u‟a (pinang), serta

tambaku (tembakau).

83

Proses upacara Pamali Manggodo berikutnya adalah upacara

sore, yaitu upacara pembakaran ilalang atau semak-semak di sebuah

tempat yang telah ditetapkan dengan perangkat sesajen. Upacara sore

dipimpin oleh panggita. Upacara sore diyakini dapat melihat curah

hujan pada musim tanam. Apabila ilalang dan semak yang terbakar

banyak, mereka percaya pada musim tanam tersebut curah hujan akan

melimpah dan begitu pula sebaliknya.

Upacara Pamali Manggodo dipimpin oleh seorang tokoh yang

disebut Panggawa. Selain Panggawa upacra ini juga diikuti oleh

beberapa tokoh adat yang memiliki tugas masing-masing untuk

memimpin upacara tolak bala. Di antaranya adalah Pamali

Lawo/Lancole yang memimpin tolak bala hama tikus dan Pamali Kari‟i

memimpin tolak bala burung pipit.

Prosesi Upacara Pamali Manggodo selanjutnya adalah kegiatan

berburu yang dipimpin oleh Pamali Lawo yang diikuti oleh anggota

masyarakat. Mereka pergi ke hutan berburu rusa selama tiga hari

berturut-turut. Mereka secara bersama-sama berburu dengan bekal

ketupat. Selama berburu mereka tidak diperbolehkan membuang

bungkus ketupat. Bungkus-bungkus ketupat akan dikumpulkan dalam

keranjang yang dibawa oleh Pamali Lawo.

Selama Upacara Pamali Manggodo tidak seorangpun

diperbolehkan untuk malakukan kegiatan apapun di lokasi

persawahan. Jika ada warga masyarakat yang melanggar ketentuan,

84

mereka akan didenda seekor ayam dan gabah satu ganta. Dan

upacara dianggap tidak syah serta harus diulang. Bersamaan dengan

itu, warga masyarakat juga dilarang membuat suara gaduh atau suara

lain yang mengganggu ritualitas upacara.

Prosesi Upacara Pamali Manggodo selanjutnya adalah upacara

tolak bala burung pipit. Upacara ini dipimpin oleh Pamali Kari‟i dengan

perangkat sesajen yang bertujuan untuk mengusir hama burung pipit.

Ritual tolak bala burung pipit ini dilakukan dengan cara

menyemprotkan air bersama dengan beras, tawoa, daun jambu, daun

sirih dan kelapa muda yang telah dikunyah melalui mulut (sampuru)

pamali kari‟i dari kejauhan dengan disertai mantra. Sampuru dilakukan

pertama kali di atas bukit pegunungan, jika tidak mampan dilakukan

dari kejauhan baru dilakukan dari dekat dengan langsung mendatangi

areal persawahan. Prosesi ini juga diikuti oleh tembang-tembang asli

Sambori, Belaleha. Tembang ini hanya dilantunkan kaum perempuan.

Dengan demikian tembang Belaleha merupakan lagu sakral. Tembang

Belaleha juga digunakan untuk upacara tolak bala jika terjadi wabah

penyakit di desa.

Setelah upacara tolak bala burung pipit usai, tibalah waktunya

membagi-bagikan semua hasil buruan kepada seluruh warga

masyarakat di rumah Pamali Lawo. Penduduk datang ke rumah Pamali

Lawo dengan membawa sewa (tempurung kelapa) untuk meminta

daging hewan buruan untuk dibawa pulang. Untuk mengatur

85

pembagian, setiap warga yang ingin mendapatkan bagian

menyerahkan potongan bambu kecil kepada Pamali Lawo.

Syair nyanyian Bela Leha adalah sebagai berikut :

Belaleha,

Alona Tembe Kala

Aloyilana matiri nggunggu

Ndoo poda dikatente Cepe

Belaleha

Ria Ese Tolo Reo

Mamuna Tembe me‟e ma riu

Dodoku di salampe cempe

Belaleha

Nuri se tolo naru

Manangi la ntonggu tolu

Oi oluna sacanggi moro

Bela leha

Aka‟du la joa

Makidi katake hidi

Rasa pana ra ngari dompo

Belaleha

Aka‟du dou matua

Ma wi‟ina nggahi karenda

Karenda da mbali mbua

Sebagai penutup Upacara Pamali Manggodo, Pamali Lawo

akan membuat ramuan obat penangkal hama dari bungkus ketupat

yang dikumpulkan selama melakukan perburuan. Dengan disertai doa-

doa, bungkus ketupat dibakar dan abunya dibagi-bagikan kepada

semua warga masyarakat sebagi obat tolak bala dengan cara

86

menaburkan di sawah masing-masing sekaligus untuk menandai

dimulainya masa tanam.

C. Fungsi Upacara Pamali Manggodo

Aktivitas pertanian merupakan sesuatu yang telah dilakukan oleh

masyarakat sejak berabad-abad lamanya. Berawal dari pemenuhan

kebutuhan dasar manusia menjadikan aspek pertanian begitu penting di

mata masyarakat maupun di mata dunia.

Pertumbuhan tanaman pertanian memiliki kesamaan dalam siklus

kehidupan organisme manusia. Sejak pertama kali dilahirkan ke bumi,

manusia harus melalui ritual inisiasi untuk memasuki tahap kehidupan

baru. Selanjutnya, tanaman padi juga melalui berbagai macam krisis

pertumbuhan yang dapat mengakibatkannya tidak mampu untuk bertahan

hingga usia matang. Ancaman-ancaman penyakit atau gangguan-

gangguan hama, tingkat kesuburan lahan dan lain sebagainya menjadikan

tahap pertumbuhan tanaman padi semakin sulit. Dengan demikian, hal

tersebut lambat laun membuat masyarakat menyadari akan masalah

tersebut dan untuk itu diperlukan jalan/upaya guna mempermudah atau

melancarkan pertumbuhan tanaman pertanian mereka.

Serangan hama merupakan persoalan yang amat krusial dan lazim

bagi tanaman pertanian pada umumnya. Penyakit yang diakibatkan oleh

hama membuat dampak pada hasil panen. Jika lahan pertanian

masyarakat diserang oleh hama, maka akan sulit untuk menciptakan hasil

panen yang maksimal dan berkualitas. Gangguan hama tentunya amat

87

meresahkan masyarakat petani karena dapat menyebabkan ekonomi

mereka terpuruk. Hal ini berarti bahwa masyarakat mengalami kerugian

yang amat signifikan dari segi penghidupan mereka.

Seorang anggota masyarakat menunjukkan bahwa upacara pamali

manggodo memiliki dampak positif atau manfaat yang besar terutama

dalam hal menyelamatkan padi dari hama. Apa yang dimaksudkan terletak

pada proses sampuru yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan

hama. MM (40 thn) mengemukakan :

“indo wa‟u ba sampro fare ma bou doho aka, ngaha ba sampuru aka na

mbora mpa si ma ndede doho re, de lo‟i aka watisi na losa wa‟u kako aka

fare de watipu ngawana made ni, kone ede na loa mpa mai mbali.

Nggara sampuru dekam de ti kone wara sisa na”.

“tidak seperti semprot padi yang baru-baru ini ada, dilakukan dengan

sampuru akan hilang begitu saja jenis-jenis hama padi itu, obat-obatan

(pestisida) itu kalau tidak dikeluarkan ulat yang ada pada padi tersebut

tidak akan mati, itu pun masih bisa kembali lagi. Sedangkan jika

dilakukan sampuru tidak akan ada biar sisanya”

(Wawancara 4 Mei 2013)

Sampuru juga dilakukan pada saat diketahui bahwa padi yang

ditanam terdapat ulat. Ini dilakukan oleh pamali kari‟i di atas pegunungan

dengan berbagai macam ramuan obat-obatan yang dipersiapkan sejak

dari awal dimulainya upacara. Ramuan tersebut terdiri dari beras, tawoa,

air, daun jambu, daun sirih dan kelapa muda.

“Ndawi lo‟i de aka uma lengge aka wali mpa. Wunga sampuru ede da loa

kai lampa rero tudu tolo reni. Warasi dou ma lu‟u tolo aip kanta kain de

bata kura”

88

“Pembuatan obat dilakukan di tempat khusus yaitu di uma lengge. Saat

proses sampuru inilah masyarakat dilarang untuk mengunjungi lahan

persawahan. Jika ada yang melanggarnya, maka upacara akan dianggap

batal dan harus diulangi.”

(Wawancara 20 April 2013)

Putnam (dalam Field, 2005:45) mengklaim bahwa masyarakat yang

berhubungan dengan baik dapat melaksanakan ekonomi secara

menyeluruh dari pada masyarakat yang tidak saling berhubungan.

Dengan kata lain, hubungan sosial yang baik di antara masyarakat

meningkatkan semangat kerja dan berpotensi untuk menyelesaikan

pekerjaan dengan cepat. Dengan adanya hubungan tersebut, masyarakat

dapat saling membantu satu sama lainnya tanpa adanya kecemburuan

dan arogansi sosial yang dapat menghambat kepedulian antarsesama.

Sangat jelas bahwa hubungan sosial dapat mempermudah

dan/atau meringankan usaha-usaha untuk menyelesaikan proses

pertanian mulai dari penanaman sampai pada panen, dalam hal produksi

maupun distribusi.

Masyarakat Sambori yang sebagian besar sebagai petani tentunya

memiliki kemampuan sebagai proses adaptasi mereka dengan lingkungan

yang menghubungkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Untuk memperoleh

apa yang mereka inginkan sebagai penopang kehidupan tersebut,

masyarakat akan membentuk struktur tindakan yang terlembaga yang

memuat upaya-upaya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Masyarakat Sambori membentuk lingkungan dan sistem pertanian mereka

sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, adanya upacara pamali

89

manggodo sebagai salah satu contoh mengenai fakta yang dikemukakan

ini. Sistem pertanian masyarakat Sambori bisa dikatakan akan pincang

jika upacara pamali manggodo ini tidak ada. Dalam struktur tindakan yang

terlembaga ini, penyesuaian atau proses adaptasi dibentuk sebagai “kerja-

kerja ekonomi”, dalam hal ini pertanian.

Kebutuhan-kebutuhan individu maupun kelompok dalam

masyarakat tidak dapat dicapai tanpa bantuan lembaga yang mengatur

hubungan-hubungan dalam sistem sosial. Semakin sering masyarakat

berinteraksi dalam suatu masyarakat maka solidaritas sosial akan

semakin terbentuk. Sifat-sifat kebersamaan ini ditampung oleh masyarakat

dalam media upacara pamali manggodo.

Terdapat segi-segi kehidupan yang hanya dapat dibagikan dengan

pasangannya, dan juga ada peristiwa-peristiwa lain (seperti ritus-ritus

publik) yang menjadi nirmakna kecuali peristiwa-peristiwa itu berlangsung

secara publik. Maka, kebudayaan boleh dipahami sebagai hal yang

memungkinkan dua atau beberapa pelaku untuk memahami satu sama

lain.

(Eriksen, 2009: 130).

Upacara ini melibatkan semua lapisan masyarakat Sambori,

sehingga mereka memiliki hubungan yang erat untuk saling membutuhkan

dan berkesinambungan. Kesinambungan yang tercipta di dalam

komunitas masyarakat terpelihara oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh

keluarga dengan membiarkan anak-anak mereka juga ikut terlibat dalam

upacara pamali manggodo, selain itu masyarakat juga memberikan

pengetahuan mereka mengenai aturan-aturan adat yang berlaku.

90

Upacara pamali manggodo memiliki fungsi sosial yang dapat

mengait masyarakat dalam kebersamaan. Ada beberapa aspek dalam

upacara pamali manggodo yang dapat kita lihat memiliki fungsi sosial bagi

masyarakat Sambori. Proses yang menggambarkan nuansa sosial yang

erat dalam upacara pamali manggodo terletak pada proses nggalo.

Nggalo merupakan proses dimana masyarakat bersama-sama melakukan

aktivitas berburu di hutan selama tiga hari berturut-turut. Nggalo juga

dianggap sebagai proses pengusiran hama atau dengan istilah

masyarakat, “lao wa‟a paki hama”.

Dalam cerita yang dikemukakan MM (40 thn) proses nggalo

menggambarkan kebersamaan yang cukup berkesan bagi masyarakat

Sambori :

“Nggori ba pamali kari‟i kalampa rawi na re, lao sama menara nggalo

wa‟a katupa labo lako ra sarente, de di nggalo kai maju. Raka si re de

ngaha sama mena rani ”

“Setelah pamali kari‟i melakukan tugasnya, kami bersama-sama

mengadakan nggalo (berburu) dengan bekal ketupat dengan membawa

anjing dan alat pengait besi (sarente), binatang buruan kami biasanya

adalah rusa dan hasilnya untuk disantap bersama-sama”.

(Wawancara 9 Mei 2013)

Masyarakat menempatkan upacara pamali manggodo dalam posisi

penting bagi keberlangsungan penghidupan mereka. Bahaya kerentanan

yang terjadi dalam sistem pertanian mereka membuat mereka takut untuk

menyepelekan aturan-aturan yang berlaku saat upacara berlangsung. Hal

ini dapat mengikat masyarakat dalam keadaan fungsional sebagai

91

kepatuhan atau ketaatan mereka pada lembaga hukum yang juga sangat

berperan dalam menciptakan integrasi masyarakat.

Upacara pamali manggodo memuat atau didasari pula oleh

kepercayaan dan agama yang merupakan unsur penting dari terciptanya

solidaritas sosial. Fungsi umum agama, diyakini terletak dalam

kemampuannya untuk menciptakan kesetiakawanan serta cita rasa

kebersamaan, dan melegitimasi perbedaan-perbedaan kekuasaan

(Eriksen, 2009:126).

Menurut Fukuyama (2002), Kepercayaan adalah salah satu unsur

penting dalam sebuah lembaga sosial yang merupakan tali pengikat

antara satu sama lain sehingga tercipta suatu dukungan yang solid dan

tahan lama. Trust adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah

komunitas yang berperilaku jujur, kooperatif, berdasarkan norma-norma

yang dimiliki bersama, dan kepentingan anggota yang lain dari komunitas

itu. Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar

manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya

memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur .

Pendapat lain, seperti yang dikemukakan oleh Robert D. Putnam,

menjelaskan bahwa trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu

bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan

sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan

melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa

bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak

92

yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya

(Hasbullah, 2006:11).

Kepercayaan masyarakat yang ditandai oleh kedatangan makhluk

halus yang merasuki anggota masyarakat dalam menyampaikan pesan

untuk mengadakan upacara pamali manggodo menyiratkan hubungan

timbal-balik antara masyarakat dengan alam gaib di sekita mereka.

Hubungan ini memiliki implikasi terhadap harmonisasi dengan alam.

Dengan menjaga hubungan tersebut maka mereka merasa terselamatkan

dari macam-macam bencana yang dapat mengancam keselamatan

lingkungan maupun keselamatan mereka sendiri.

Kesadaran masyarakat terhadap aturan atau larangan adat yang

mengharuskan mereka menjalankan ritual pamali manggodo pada

akhirnya membangun konstruk indentitas masyarakat yang semakin kuat.

Apa yang menjadi tradisi tersebut lambat laun, disadari atau tidak, dapat

membentuk kesadaran masyarakat akan keberadaan mereka sebagai

sebuah kesatuan dan ini menandakan bahwa upacara adat yang mereka

lakukan tidak dapat dipisahkan dari identitas budaya yang mereka miliki.

Masyarakat juga memahami bahwa di samping hama, ada hal lain

yang dapat merugikan aktivitas pertanian mereka, yaitu bencana alam.

Dalam proses akhir pamali manggodo, ketika masyarakat pertama kali

turun untuk menanam, ada suatu usaha penyelamatan diri agar terhindar

dari bencana seperti petir. SD (54 thn) mengisahkan :

93

“Katu‟u dekamu acara aka ka, ti kone wara maina si karece ai doho ka.

Pala watisi katu‟umu, na wara ku maina karece ai ka. Bune ainare hina

lalo na sabua dou ara ake made lalo kaina ba da katu‟u mena acara ma

ndede reni”.

“Jika kita menjalankan upacara itu, tidak ada petir yang datang

menyambar. Namun, jika tidak dilakukan, akan ada petir yang

menyambar. Suatu ketika disambarlah seseorang di sini hingga

menyebabkan ia meninggal disebabkan karena tidak mengadakan

upacara tersebut”

(Wawancara 10 Mei 2013)

Di samping kepercayaan, hal lain yang terkandung dalam proses

upacara pamali manggodo adalah seni. Unsur seni tersebut tampak pada

lantunan-lantunan syair belaleha. Syair belaleha memiliki fungsi sosial

yang tidak dapat kita acuhkan. Nyanyian yang dilantunkan bersama oleh

masyarakat tersebut memberikan nuansa kekuatan spiritual dan sosial

yang cukup besar.

Proses upacara pamali manggodo di Sambori memiliki pengaruh

yang amat mendalam bagi masyarakat terlebih bagi orang tua yang telah

sejak lama mengalami dan merasakan nuansa yang ada pada saat

upacara berlangsung. Perasaan-perasaan itu pula berkembang dari

kenyataan atau kejadian yang mereka hadapi menyangkut upacara pamali

manggodo hingga keyakinan mereka mengenai hal tersebut semakin

bertambah.

94

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Upacara pamali manggodo merupakan suatu upacara adat yang

melekat dalam kehidupan masyarakat Sambori, khususnya pada ranah

pertanian. Upacara adat Pamali Manggodo merupakan aktivitas

masyarakat Sambori yang dilakukan secara turun-temurun atau menjadi

tradisi dari nenek moyang mereka. Dalam upacara ini masih terkandung

unsur kepercayaan asli masyarakat yang juga mengalami sinkretis dengan

kepercayaan islam yang masuk belakangan.

Unsur-unsur upacara adat dapat kita katakan sama di setiap

masyarakat. Berbagai macam praktik ritual memiliki suatu tendensi yang

bersifat religius. Namun, pada kenyataannya hal ini bukanlah penentu

bagi dasar keberlangsungan suatu sistem. Kepercayaan dalam

masyarakat tidak dapat kita letakkan sebagai dasar dari setiap sistem

tindakan. Hanya saja, sistem tindakan tersebut memiliki pengaruh yang

relatif lebih besar jika ia didasari dengan sistem kepercayaan masyarakat.

Dalam upacara adat pamali manggodo, dasar kepercayaan itu ada.

Unsur kepercayaan yang mengejawantah dalam struktur tindakan

masyarakat tertata dalam upacara pamali manggodo. Struktur tindakan

yang muncul dalam upacara adat ini memberikan kontribusi yang bahkan

tidak disadari sendiri oleh anggota masyarakat.

95

Intensitas hubungan sosial, kepekaan, solidaritas, pengusiran

hama, menjadi suatu bukti bahwa upacara pamali manggodo memiliki

signifikansi fungsional bagi masyarakat Sambori. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa upacara adat pamali manggodo muncul karena

dibutuhkan oleh masyarakat. Upacara ini memiliki fungsi yang dibutuhkan

demi keberlangsungan hidup masyarakat Sambori.

Peran penting yang dapat dilihat dari terciptanya upacara adat

pamali manggodo adalah pemeliharaan pola. Struktur tindakan

masyarakat yang bermuara pada stabilitas sosial dan kebersamaan ini

terbangun sebagai lembaga yang dapat menyalurkan kebutuhan hidup

masyarakat Sambori.

B. Saran

Kebutuhan akan suatu sistem tindakan yang memberikan fungsi

bagi masyarakat tidak selamanya bersifat paten. Suatu sistem sosial akan

tumbuh berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan dari setiap

perkembangan. Organisme sosial akan beradaptasi dalam ruang di mana

ia hidup dan akan selalu berusaha untuk mencapai ekuilibrium. Namun hal

ini bukanlah terlepas dari masalah. Yang mana kebutuhan-kebutuhan

tersebut senantiasa mendapatkan benturan-benturan dalam berbagai

perkembangannya. Untuk itu, syarat-syarat fungsional juga perlu

diperhatikan dan dievaluasi oleh berbagai kalangan.

Adapun saran penulis berkaitan dengan masalah yang telah

dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

96

1. Pemerintah kabupaten maupun desa kiranya dapat lebih ketat

menjaga adat istiadat masyarakat Sambori demi keberlangsungan

dan keseimbangan sistem sosial.

2. Sekiranya dapat diberikan penjelasan terhadap masyarakat akan

pentingnya menjaga norma dan nilai-nilai budaya yang terkandung

dalam tradisi atau adat istiadat mereka demi kepentingan bersama.

3. Perlu dievaluasi kembali hal-hal yang dapat mengakibatkan

perubahan sosial budaya masyarakat. Baik jika hal itu, misalnya

berhubungan dengan sistem kepercayaan ataupun kesehatan,

tidak semestinya merombak atau menghapus keseluruhan adat

yang berlaku.

97

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Akhmar & Syarifuddin (ed). 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. Makassar : PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua Kementrian Negara Lingkungan Hidup RI Bekerja Sama dengan Masagena Press

Alfian (ed). 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT

Gramedia. Arif, Saiful. 2010. Refilosofi Kebudayaan; Pergeseran Pasca Struktural.

Jogjakarta: Ar-ruzz Media Budhisantosa, S. 1981. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Informasi

Kebudayaan, Analisis Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud. Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman

Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

---------------- (Ed.). 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi

Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press. Eriksen, T. H. 2009. Antropologi Sosial dan Budaya; Sebuah Pengantar.

Maumere : Ledalero. Field, John. 2005. Modal Sosial. Medan : Penerbit Bina Media Perintis

Fukuyama, Francis. 2002. Trust: Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Penerjemah Ruslani. Qalam.

Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital : Menuju Keunggulan Budaya

Manusia Indonesia. Jakarta : MR-United Press.

Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

----------------. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

98

---------------. 2010. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Kusmiran, Tony. 2002. Upacara Adat Berladang Dayak Bukit. Majalah

Kalimantan Review Edisi Reguler Nomor 86 Tahun XI Oktober. Maryam, S. dkk. 2013. Aksara Bima; Peradaban Lokal yang Sempat

Hilang. Mataram: Alam Tara Institure Bekerja Sama Dengan Samparaja Kota Bima.

O‟Dea, Thomas F. 1995. Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal.

Terjemahan: Yasogama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Poloma, M. Margaret. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada. Redfield, Robert. 1981. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: CV

Rajawali Ritzer, George and Goodman J. Douglas. 2011. Teori Sosiologi ; Dari

Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul : Kreasi Wacana.

Robertson, Roland (ed.). 1988. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi

Sosiologis. Jakarta: CV Rajawali. Sani, Yamin M. & Nurhaedar. 2007. Imperatif Sosial dalam Tradisi

Pertanian Padi Sawah Orang Bugis Di Belawa Wajo, dalam Akhmar & Syarifuddin (Ed.). Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. Makassar: Masagena Press.

Sudarsono, Dwi. dkk. 1999. Dari Pelestarian Hingga Pembusukan: Hasil

Studi Dampak Pariwisata Terhadap Hak Masyarakat Adat di NTB. Mataram: Yayasan Koslata-NTB Bekerja Sama Dengan INPI-Pact.

Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. 2010. Teori-Teori Kebudayaan.

Yogyakarta: Kanisius. Tohir. A. Kaslan. 1991. Seuntai Pengetahuan Usaha Tani Indonesia.

Jakarta : PT Rineka Cipta. Turner & Maryanski. 2010. Fungsionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Weber, Max. 2012. Sosiologi Agama, A Handbook. Jokjakarta : IRCiSoD

99

Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi. Yogyakarta : PT. Tiara WacanaYogya

Winangun, Y. W. Wartaya. 1990. “Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner”. Kanisius. Yogyakarta.

Sumber Internet

Kelompok Ternak Pucak Manik. 2012. Upacara "Nangluk Merana" Di Bali.

http://kelompokternakpucakmanik.blogspot.com/2012/01/upacara-

nagluk-merana-di-bali.html Diakses pada tanggal 02 Februari 2013,

pukul 23.00

Roen, Ferry. 2011. Talcott Parsons: Teori Struktur Fungsional.

http://perilakuorganisasi.com/talcott-parsons-teori-struktur-fungsional.html Diakses pada Tanggal 04 Februari 2013

Tugino. 2012. Upacara Adat Di Indonesia.

http://mastugino.blogspot.com/2012/09/upacara-adat-di-indonesia.html. diakses pada tanggal 10-02-2013

Yulistyani, Winda. 2012. Sistem Sosial dan Struktur Sosial. http://pertanianunpad.wordpress.com/2012/12/21/sistem-sosial-dan-struktur-sosial/ diakses pada tanggal 22-06-2013

http://en.wikipedia.org/wiki/Ceremony Diakses pada tanggal 20-01-2013,

pukul 20.00 http://www.sentra-edukasi.com/2011/08/upacara-adat.html#.UPB_8e-xfDc

Diakses pada tanggal 03-02-2013, pukul 23.30

100

DOKUMENTASI

Gambar : Kondisi Uma Lengge Dulu dan Sekarang

Gambar : Area Sawah Masyarakat

101

Gambar : Kondisi Bukit dan Ladang Masyarakat

Gambar : Wawancara Dengan Informan

Gambar : Kantor Desa Sambori

102

Gambar : Salah Seorang Informan

Gambar : Kantor Desa Sambori

103

Gambar : Warga Memikul Padi Dari Sawah

Gambar : Menumbuk Beras Tanpa Digiling

104

Gambar : Kepala Desa Sambori

Gambar : Jalan Memasuki Sambori Lama