Upload
vothuan
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK TERSANGKA UNTUK
MEMPEROLEH INFORMASI DALAM PERKARA KORUPSI OLEH
KEJAKSAAN
(Studi Kasus Putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No.
05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043 K/PID.SUS/2012)
OLEH:
ANITA PRATIWI
B 111 09 161
BAGIAN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2 0 1 3
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK TERSANGKA UNTUK
MEMPEROLEH INFORMASI DALAM PERKARA KORUPSI OLEH
KEJAKSAAN
(Studi Kasus Putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No.
05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043 K/PID.SUS/2012)
Disusun dan Diajukan
Oleh
ANITA PRATIWI
B 111 09 161
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka
Penyelesaian Studi Sarjana Hukum Dalam Bagian Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI DALAM
PERKARA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN
(Studi Kasus Putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No. 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043 K/PID.SUS/2012)
Disusun dan diajukan oleh
ANITA PRATIWI B 111 09 161
Telah Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk dalam Rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Pada Hari Senin, 4 Maret 2013
Dan Dinyatakan Diterima
Panitia Ujian
Ketua
Sekretaris
H. M. Imran Arief, S.H.,M.S. NIP. 19470915 197901 1001
Kaisaruddin Kamaruddin, S.H. NIP. 19660320 199103 1 005
An. Dekan
Wakil Dekan Bidang Akademik,
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. NIP. 19630419 198903 1 003
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa Mahasiswa :
Nama : Anita Pratiwi
NIM : B 111 09 161
Program Studi : Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Pidana
Judul Skripsi :Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Tersangka Untuk
memperoleh Informasi Dalam perkara Korupsi Oleh
Kejaksaan
(Studi Kasus Putusan No. 469/pid.B/2011/PN.MKS jo.
Perkara No. 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No.
1043 K/PID.SUS/2012)
Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi :
Disetujui Oleh
Pembimbing I Pembimbing II
H.M.Imran Arief, S.H.,M.Si. Kaisaruddin Kamaruddin, S. H NIP.19470915 197901 1 001 NIP. 19660320 199103 1 005
v
ABSTRAK
ANITA PRATIWI (B11109161), Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Tersangka Untuk Memperoleh Informasi Terhadap Perkara Korupsi Oleh Kejaksaan Negeri (Studi Kasus Putusan No.469.pid.B/2011.PN.MKS jo. Perkara No 5/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks) dibimbing oleh H.M.Imran Arief sebagai pembimbing I dan Kaisaruddin Kamaruddin sebagai pembimbimg II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak tersangka dalam memperoleh informasi mengenai perkara korupsi oleh Kejaksaan Negeri dalam kasus putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No.5/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks dan untuk mengetahui proses pengawasan terhadap Kejaksaan Negeri dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi,apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan hukum acara pidana yang berlaku saat ini.
Penelitian ini dilakukan di Makassar yang lokasi penelitiannya bertempat di Kejaksaan Negeri Makassar dengan mengadakan wawancara dengan Joko B Darmawan,selaku Kepala Divisi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejaksaan Negeri Makassar,dan di Lembaga Pemasyarakatan Makassar dengan mewawancarai tersangka secara langsung.
Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1.) Menurut Kejaksaan Negeri Makassar segala sesuatu yang terkait dengan penyampaian informasi yang merupakan hak dari seorang tersangka telah disampaikan kepada tersangka langsung maupun kepada kuasa hukumnya tetapi menurut tersangka bahwa tersangka tidak memperoleh informasi yang lengkap dan mendetail dengan alasan kepentingan penyidikan dan tidak berdasarkan pada Pasal 51-57 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2.) menurut Kejaksaan Negeri Makassar sistem pengawasan di lembaga kejaksaan guna mencapai rencana stratejik secara efektif dan efisien,digunakan sistem pengawasan melekat. Sistem Pengawasan melekat adalah pengawasan yang dilaksanakan oleh pimpinan satuan kerja terhadap bawahannya untuk mengarahkan seluruh kegiatan pada setiap unit kerja.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirrabbil alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan kepada
ALLAH SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir untuk mencapai
gelar Sajana Hukum (S.H) Jurusan Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin.
Seluruh kegiatan penyusunan skripsi ini tentunya tidak akan berjalan lancar
tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Untuk itu, maka
izinkanlah penulis untuk menghaturkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Dengan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Rektor Universitas Hasanuddin, Prof.Dr.dr.Idrus
Paturusi,Sp.B.,Sp.BO beserta jajarannya.
2. Dekan Fakultas Hukum Unhas,
Prof.Dr.Aswanto,S.H.,M.Si.,DFM beserta jajarannya, Prof. Dr.
Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H., Dr. Anshory Ilyas, S.H., M.H.,
dan Bapak Romi Librayanto, S.H., M.H.
3. Terima Kasih untuk orang tua tercinta Ir. Tajuddin Lammase
dan Bonita Latief atas dukungan dan supportnya selama
vii
menjalani hidup. Serta adik adikku tercinta dan terkasih
aan,dini,dan dika. Hidupku tak kan sempurna tanpa kalian.
4. Terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak H.M Imran Arief
S.H.,M.S selaku dosen pembimbing I dan Bapak Kaisaruddin
Kamaruddin S.H selaku pembimbing II. Penulis sangat
beruntung bisa dibimbing oleh kedua dosen yang menurut
penulis sangat dedikatif, dan juga memberikan arahan, serta
support.
5. Terima kasih kepada tim penguji ujian skripsi dan ujian proposal
Prof.Dr.H.M.Said Karim,S.H M.H Prof.Dr.Andi Sofyan,S.H M.H
dan Nur Azisa,S.H M.H yang telah memeriksa dan memberikan
masukan positif sehingga penulisan skripsi ini jauh lebih baik.
6. Terima kasih kepada seluruh Dosen pengajar Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin atas ilmu yang telah diberikan kepada
penulis selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
7. Terima kasih penulis ucapkan kepada Mustafa Bola,S.H M.H
selaku Penasehat Akademik yang telah meluangkan waktu
untuk berkonsultasi mengenai perkuliahan.
viii
8. Terima Kasih saya ucapkan kepada Abdul Razaq Amir yang
telah membantu baik jiwa dan raga serta batin dan dukungan
moral serta material yang tiada putus-putusnya,you’re the best I
ever had.
9. My Soulmate in crime, geng SONS tercinta yg selalu break the
rule Dea
islami,Vivi,Andi,Ilham,Ayi’,Fauzi,Azlansyah,Firyal,Adiyath,Calvin
,Doni dan saudara-saudaraku yang lainnya yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu yang sudah menemani dari SMA hingga
sekarang.
10. Terima Kasih untuk geng BRIZIQQHH ku terkasih dan terheboh
Ima,Ocya,Mistri,Myla,Inyol,Dyla,Rinsy,Iona,Emon yang selalu
menemani dalam keadaan suka maupun duka selama kuliah.
11. Terima Kasih untuk geng FREAKZZ
Fya,Ibot,Afifah,Dinda,Adintya dan yang lainnya yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu yang selalu ada disaat lagi kosong
dirumah.
12. Terimakasih kepada teman-teman Fakultas Hukum lainnya
Amy, Kiham, Nunu, Novia, Aya,Adel, Irham, Fandy,Bon dan
ix
yang lainnya makasssiiiihhhhh bangeeettttt teman pelengkap
gossip di kampus.
13. Kakak-kakak seniorku yang paling the best sejagad raya kak
Eko Sapta Putra,kak Panjul,Kak Pendek,Kak Opha,Kak Acca dll
yang telah membantu penyelesaian skripsiku hihihi.
14. Keluarga besar Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) ku
tercinta yang memberikan pengalaman menarik dan tak
terlupakan selama masa kuliah. Yang merah memang lebih
asyik.
15. Teman-teman KKN 82 Posko Watang Suppa Pinrang
Echa,Acos,Kambu,Akbar,Ikhsan,Dede,dan lain lainnya. Mama
aji ku tersayang “Aku rindu udang buatanmu”.
16. Teman-teman DOKTRIN 2009 yang tidak dapat yang saya
sebutkan satu per satu, terima kasih telah sama-sama berjuang
untuk meraih gelar Sarjana Hukum.
17. Seluruh staff akademik Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, terima kasih atas bantuannya. Dan Hj. Sanny
sebagai pemilik Sunny Café yang dengan baik hati
membolehkan penulis beruhutang dikala kere.
x
Dan semua pihak yang tak dapat penulis tuliskan namanya satu persatu,
terima kasih atas segala bantuan dan sumbangsinya baik itu moral maupun
materil dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini. Dengan segala
keterbatasan penulis hanyalah manusia biasa dan tak dapat memberikan
yang setimpal atau membalasnya dengan apa-apa kecuali memohon
keridhoan yang maha kuasa agar kiranya bantuan tersebut dapat berbuah
pahala dan mendatangkan fitrah bagi kita semua.
Pada akhirnya semoga keikhlasan yang telah dipersembahkan kepada
penulis mendapat rahmat dan hidayah dari yang maha mengetahui.
Kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Karenanya, penulis membuka diri
terhadap kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini, sehingga dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Tak ada gading yang retak, tak ada manusia yang tak sempurna apabila
ada kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaafkan. Billahi taufik wal
hidayah.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar. Maret 2013
P e n u l i s
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………… . ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………… iii
LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ……………………… iv
ABSTRAK ……………………………………………………………………………... v
UCAPAN TERMA KASIH ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian-Pengertian ...................................................................... 9
1. Tindak Pidana ............................................................................... 9
2. Pidana Korupsi .............................................................................. 17
3. Penyidik dan Penyidikan .............................................................. 22
4 Hak Tersangka/Terdakwa dalam Peradilan Pidana ……………… 26
B. Peran dan wewenang Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana
korupsi ……….. ................................................................................... 30
1. Peran ……………………………………………………………… ....... 30
2. Wewenang ……………………………………………………… ......... 33
xii
C. Asas Asas Hukum Pidana ..................................................................... ….35
1. Percobaan ( Poging.Atemp) …………………………………… ........ 35
2. Penyertaan ( Deelneming ) ……………………………………. ........ 39
3. Perbarengan Tindak Pidana ( Concursus ) …………………….. ..... 44
4. Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ) ………………………. ..... 50
D. Pidana dan Pemidanaan …………………………………… ...................... 55
1. Pengertian Pidana ………………………………………………… ..... 55
2. Teori Pemidanaan ………………………………………………… ..... 56
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ................................................................................ 61
B. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 61
C. Jenis Dan Sumber Data...................................................................... 62
D.Teknik Analisis Data ............................................................................ 63
BAB VI HASIL PENELITIAN
A. Pemenuhan Hak Tersangka Dalam Memperoleh Informasi dalam
Penanganan Perkara Korupsi ………………………………………………. 64
B. Proses Pengawasan Terhadap Kejaksaan Negeri Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi ………………………………………………………. 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………. 70
B. Saran …………………………………………………………………………... 70
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 1 ayat (3). Hal ini berarti bahwa
seluruh aspek kehidupan di Negara ini diatur berdasarkan aturan hukum.
Dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum di
Indonesia,diperlukan produk hukum dalam hal ini undang-undang yang
berfungsi sebagai pengatur segala tindakan masyarakat sekaligus
sebagai alat paksa kepada masyarakat. Hal ini juga tentu saja
dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional tersebut di atas, maka
pemerintah Republik Indonesia sejak era orde lama sampai dengan era
2
reformasi sekarang ini telah melakukan langkah-langkah kongkret antara
lain senantiasa berupaya untuk mewujudkan penegakan supremasi
hukum di Indonesia. Salah satu wujud dari upaya penegakan supremasi
hukum tersebut adalah dengan terus berusaha mengoptimalkan kerja
aparat penegak hukum dan memproduksi Undang-Undang yang tentu
saja merupakan dasar dari pelaksanaan penerapan hukum itu sendiri.
Salah satu perubahan yang paling menonjol dalam upaya
penegakan supremasi hukum di Indonesia adalah mengenai penangan
tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi memang merupakan
masalah terbesar bangsa ini dan telah mengakibatkan kacaunya
perekonomian di Indonesia yang akhirnya berimbas pada menurunnya
tingkat kesejahteran masyarakat di negeri ini.
Korupsi bukanlah suatu hal yang asing bagi setiap kalangan
masyarakat di dunia. Bahkan hal ini merupakan masalah terbesar di
Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Definisi tentang korupsi
sendiri dapat dipandang dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin
ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste
(septachandrashmh.blogger), korupsi didefinisikan 4 jenis:
1. Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya
bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi.
3
2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu.
3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui, penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan.
4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary
yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Menurut Fockema Andrea kata korupsi berasal dari bahasa Latin
Corruptio atau Corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya
disebutkan bahwa Corruptio itu berasal pula dari kata asal Corrumpere,
suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak
bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, Corrupt; perancis yaitu
Corruption; Belanda yaitu Corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan
diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia,
yaitu “korupsi”. Arti harfiah dari kata ini adalah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan
dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Sementara itu di Indonesia pengertian korupsi secara normatif diatur
dalam UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat tentang
pengertian tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara
4
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan
atau perekonomian negara.
Indonesia memang sangat serius dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi, terbukti pada tahun 2003 berdasarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dibentuklah satu komisi yang khusus menangani tindak
pidana korupsi di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri diberi kewenangan yang begitu
luas, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak hanya memiliki
kewenangan untuk menyidik tetapi juga diberi kewenangan untuk
melakukan penuntutan.
Hal tersebut tentu saja menuai pro dan kontra di masyarakat,
khususnya mengenai eksistensi kewenangan penuntutan. Secara tidak
langsung, lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi memang sedikit
mengebiri kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia yang sebelumnya
merupakan satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenagan
untuk melakukan penuntutan.
Eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem
hukum nasional dapat dilihat dari Undang-undang Dasar 1945 yang
mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem
ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan
5
kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat
dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses
perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai
terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah
menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana
penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana. Selain itu
dapat pula dilihat dari Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-
undang untuk melakukan penuntutan dan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan
dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, kejaksaan memiliki 3 kewenangan dalam
penyelesaian tindak pidana korupsi, yaitu :
A. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi
B. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana
Korupsi
6
C. Kewenangan Kejaksaan Dalam Pelaksanaan Putusan
Pengadilan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya secara tegas telah
mengatur bahwa perkara korupsi yang ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah perkara korupsi yang nilainya di atas Rp.
500.000.000 atau perkara korupsi yang menjadi perhatian masyarakat
umum, selebihnya masih tetap ditangani oleh kejaksaan.
Kedua lembaga penegak hukum ini, baik Komisi Pemberantasan
Korupsi maupun Kejaksaan Republik Indonesia diharapkan dapat bekerja
maksimal untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia dengan
tetap mengedepankan asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia. Salah
satu asas yang dimaksud adalah asas transparansi.
Penerapan asas transparansi tentu saja menjadi penting guna
tetap menjaga seluruh hak dan kepentingan para pencari keadilan, baik
itu kepentingan masyarakat secara umum maupun kepentingan terdakwa
kasus korupsi itu sendiri. Hal ini demi menunjang terciptanya rasa
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Pada prakteknya sekarang ini, penanganan tindak pidana korupsi
khususnya di daerah yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri terkesan
sangat tertutup. Masyarakat sangat sulit untuk mengakses dan
memperoleh informasi terkait penanganan tindak pidana korupsi. Selain
7
masyarakat umum, terdakwa korupsi atau kuasa hukumnya terkadang
juga sangat sulit untuk memperoleh informasi perkembangan penanganan
perkaranya, padahal hal tersebut merupakan hak dari terdakwa itu sendiri.
Hal ini tentu saja tidak sejalan dan selaras dengan prinsip asas
transparansi yang menjamin bahwa setiap penanganan tindak pidana
harus senantiasa terbuka dan mudah diakses oleh siapa pun khususnya
oleh pihak terkait dalam hal ini terdakwa atau kuasa hukumnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Penulis kemudian tertarik
untuk membuat skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI DALAM
PERKARA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN dengan secara khusus
mengambil contoh kasus perkara Nomor : 469/pid.B/2011/PN.MKS jo.
Perkara No. 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043
K/PID.SUS/2012
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka Penulis
menarik rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemenuhan hak tersangka dalam memperoleh
informasi dalam perkara korupsi?
8
2. Bagaimana pelaksanaan pengawasan terhadap Kejaksaan dalam
penanganan tindak pidana korupsi?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Mengetahui hak tersangka dalam memperoleh informasi mengenai
penanganan perkara korupsi
2. Mengetahui pelaksanaan pengawasan terhadap Kejaksaan dalam
penanganan perkara tindak pidana korupsi di daerah.
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1 Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
pidana khususnya mengenai penerapan asas transparansi oleh
Kejaksaan Negeri dalam penanganan tindak pidana korupsi di
daerah
2 Sebagai sumbangan pemikiran/masukan kepada aparat penegak
hukum
3 Bagi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan
perbendaharaan perpustakaan yang diharapkan berguna bagi
mahasiswa dan mereka yang ingin mengetahui dan meneliti lebih
jauh tentang masalah ini
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A Pengetian - pengertian
1. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana (delik) berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam
Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia
Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang yang dimaksud
dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk
memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada
keseragaaman pendapat.
Adami Chazawi (2001:67-68) menerangkan bahwa di Indonesia sendiri
dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah
strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam
perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum
sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana,
peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum,
perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana.
10
Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh
istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata
straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar
diterjemahkan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan
dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Secara letterlijk, kata ”straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh
dan “feit” adalah perbuatan. Sedangkan dalam bahasa Belanda “feit” berarti
“sebagian dari suatu kenyataan” dan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”,
sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” dapat diterjemahkan
sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.
Adapun istilah yang dipakai Moeljatno dan Roeslan Saleh (Andi
Hamzah, 2008:86) dalam menerjemahkan strafbaar feit adalah istilah
perbuatan pidana, namun Ter Haar (R Moeljatno, 2008:18) memberi defenisi
untuk delik yang tiap-tiap pengganguan keseimbangan dari satu pihak atas
kepentingan penghidupan seseorang atau sekelompok orang.
Menurut Bambang Waluyo (2008:6), pengertian tindak pidana (delik)
adalah perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (strafbare feiten). R
Abdoel Djamali (2005:175) menambahkan bahwa peristiwa pidana yang juga
disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
yang dapat dikenakan pidana.
11
Selanjutnya menurut Pompe (Lamintang, 1997;182), perkataan “strafbaar
feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.
Menurut Samidjo (Pipin Syarifin, 2000:1),pengertian hukum pidana sendiri
secara tradisional adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang
mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam
dengan hukuman berupa siksa badan.
Sedangkan Moeljatno (Pipin Syarifin, 2000:1-2) menguraikan berdasarkan
dari pengertian istilah hukum pidana bahwa :
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.
Tindak pidana (delik) dalam Hukum Pidana yang merupakan salah satu
terjemahan dari istilah "strafbar feit” (Belanda). Istilah strafbaar feit
diterjemahkan secara berbeda-beda oleh sarjana hukum pidana antara lain
12
tindak pidana, perbuatan pidana atau pengabaian melawan hukum serta
beberapa istilah lain.
Untuk memberi gambaran secara jelas tentang pengertian tindak
pidana atau delik, berikut ini Penulis kemukakan beberapa pandangan ahli
hukum, antara lain:
Moeljatno (Adami Chazawi, 2001:71) menggunakan istilah perbuatan pidana,
yang didefinisikan beliau menyatakan bahwa:
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan
manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya.
Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.
2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman
pidana (yang ditujukan pada orang), ada hubungan yang erat. Oleh
karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang
ditimbulkan perbuatan tadi ada hubungannya erat pula.
3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih
tepat menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu pertama, adanya
orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.
13
Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana, seperti tercermin
dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya menampakkan
bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan
ini sering disebut pandangan dualisme juga dianut oleh banyak ahli,
misalnya:
Pompe (Lamintang, 1997 : 182) memberi pengertian straafbar feit itu
dari dua (2) segi, yaitu:
1. Dari segi teoritis, straafbaar feit itu dapat dirumuskan sebagai
suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib umum) yang
dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh
seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku
tersebut adalah perlu, demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum.
2. Dari segi hukum positif, straafbar feit itu sebenarnya adalah
tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum.
Selanjutnya, beliau menyatakan bahwa perbedaan antara segi teori
dan segi hukum positif tersebut hanya bersifat semu, oleh karena dari
segi teori tidak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakan itu
memang benar-benar bersifat melawan hukum dan telah dilakukan
dengan kesalahan (schuld), baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja.
Sedangkan dari segi hukum positif, tidak ada suatu kesalahan tanpa
adanya suatu ”wederrechtelikheid". Dengan kata lain untuk menjatuhkan
suatu hukuman (Pidana) tidaklah cukup apabila hanya perbuatan pidana,
14
melainkan juga harus ada kemampuan bertanggungjawab, atau
seseorang yang dapat dipidana apabila straafbaar feit yang telah ia
lakukan tidak bersifat "wederrechtelikheid" dan telah dilakukan, baik
dengan sengaja maupun tidak dengan disengaja.
Vos (Adami Chazawi, 2001:72) merumuskan bahwa suatu stratbaar
feit adalah suatu "kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan
perundang-undangan."
R. Tresna (Adami Chazawi, 2001:72-73) menyatakan walaupun sangat
sulit untuk merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa
pidana, namun beliau menarik satu definisi, yang menyatakan bahwa:
Peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan
manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakannya
tindakan penghukuman
Dapat dilihat bahwa rumusan itu tidak memasukkan unsur yang
berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya R. Tresna (Adami Chazawi,
2001:73) menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu mempunyai
syarat-syarat, yaitu:
1. Harus ada suatu perbuatan manusia;
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan umum;
15
3. Harus terbukti adanya "dosa" pada orang yang berbuat, yaitu
orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan ;
4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya
dalam undang-undang.
Dengan melihat pada syarat-syarat peristiwa pidana itu yang
dikatakan R. Tresna, ternyata terdapat syarat yang telah mengenai diri si
pelaku, seperti pada syarat ke-3. Tampak dengan jelas bahwa syarat itu
telah dihubungkan dengan adanya orang yang berbuat melanggar
larangan (peristiwa pidana) tersebut, yang sesungguhnya berupa syarat
untuk dipidananya bagi orang yang melakukan perbuatan itu bukan syarat
peristiwa pidana.
Jika di atas diterangkan tentang pandangan dualisme yang
memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang
melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana, ada pandangan lain
yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur
mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Ada
beberapa ahli hukum yang berpandangan monisme ini, dalam
pendekatan terhadap tindak pidana antara lain:
J.E Jonkers (Pipin Syarifin, 2000:53-54) memberikan defenisi strafbaar
feit menjadi dua pengertian yaitu sebagai berikut:
16
1. Definisi pendek strafbar feit adalah suatu kejadian (feit) yang
diancam pidana oleh undang-undang;
2. Defenisi panjang, strafbaar feit adalah suatu kelakuan melawan
hukum yang dilakukan dengan sengaja atau karena alpa oleh
orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Jalan pikiran menurut
definisi pendek hakikatnya menyatakan bahwa setiap delik yang
dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat
menyalahi ketetapan yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Adapun definisi yang panjang menitikberatkan pada sifat melawan
hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur
yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik, atau
unsur-unsur tersembunyi yang secara diam-diam dianggap ada.
Simons (Lamintang, 1997:185) telah merumuskan strafbaar feit itu
sebagai berikut:
Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Selanjutnya, Wirjono Prodjodikoro (Adami Chazawi, 2002:75)
menyatakan bahwa Tindak pidana itu adalah "suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.”.
17
Berdasarkan berbagai rumusan tentang tindak pidana, maka dapat
disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan
hukum yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana. Sehubungan
dengan apa yang diuraikan di atas, sangat penting artinya jika Penulis
menguraikan unsur-unsur tindak pidana.
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari
dua sudut pandang, yakni: dari sudut teoritis; dan dari sudut undang-
undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang
tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang
adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi
tindak pidana tertentu dalam Pasal-Pasal peraturan perundang-undangan
yang ada.
2. Pidana Korupsi
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai di
mana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara
dihadapkan dengan masalah korupsi, tidak berkelebihan jika
pengertian Korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan
perubahan zaman, bagaimana cara penanggulangannya demikian
pula perkembangannya.
18
Andi Hamzah, dalam bukunya yang berjudul Korupsi di
Indonesia (1984:9)menyebutkan bahwa:
kata Korupsi berasal dari kata latin “Corrupt io” (Fockema
Andreae; 1951) atau “Corruptus” (Webster Student Dictionary;
1960) selanjutnya disebutkan 'bahwa Corruptio itu berasal pula
dari kata asai Corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari
bahasa latin itulah turun kebahasa Eropa seperti Inggris
“Corruption”, Corrup, Prancis Corruption dan Belanda Corruptie
(Korruptie) dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan
sebutan Korupsi.
Selanjutnya Andi Hamzah, mengatakan bahwa :
arti Harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh
Poerwadarminta (1976) menyebutkan bahwa :
arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan
kata Bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta
dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi ialah
perbuatan yang buruk seperti Penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya.
Istilah korupsi sejak dahulu telah dikenal dari beberapa
perundang-undangan korupsi yang pernah berlaku di Indonesia yaitu :
Istilah Korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum
Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang No.
Prt/Perpu/013/1958, tentang Peraturan Pemberantasan
19
Korupsi, kemudian dimasukkan juga dalam Undang-Undang
No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini
kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang- Undang No.
3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang kemudian sejak tanggai 16 Agustus 1999 digantikan
dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan akan mulai
berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16
Agustus 2001), kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 tanggai 21 Nopember 2001.(Darwan
Prinst, 2002,1).
Jika dibandingkan dengan beberapa negara, maka istilah
korupsi mempunyai pengertian yang sedikit berbeda dengan Indonesia
karena:
istiiah Korupsi di beberapa negara, dipakai juga untuk
menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi
banyak dikaitkan dengan ketidak jujuran seseorang dibidang
keuangan. Banyak istiiah dibeberapa negara: “Gin moung”
(Muangthai), yang berarti makan bangsa, “tanwu”(Cina) yang
berarti keserakahan bernoda: Oshoku (Jepang) yang berarti
kerja kotor. (Martiman Prodjohamidjojo, 2001, 7-8).
Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan pengertian tentang korupsi
akan tetapi dalam undang-undang ini disebutkan delik korupsi (tindak
Pidana) yang dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu:
1. Tindak Pidana Korupsi.
20
Tindak Pidana Korupsi ini terdiri dari Pasal 2 sampai dengan
Pasal 20. Delik korupsi menurut undang-undang ini dapat
dikelompokan sebagai berikut:
(1) Delik korupsi dirumuskan normatif, dalam Pasal 2 (1) dan Pasal
3.
(2) Delik dalam KUHP Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418,
420, 423, 425, 435, yang diangkat menjadi delik korupsi
masing-masing dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.
(3) Delik Penyuapan aktif, dalam Pasal 13
(4) Delik korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain,
yang memberi kualifikasi sebagai delik korupsi dalam Pasal 14
(5) Delik korupsi percobaan, pemantauan, permufakatan dalam
Pasal 15.
(6) Delik korupsi dilakukan diluar teritori Negara Republik
Indonesia dalam Pasal 16.
(7) Delik korupsi dilakukan subjek badan hukum dalam Pasal 20.
(Martiman Prodjohamidjojo, 2001,19)
21
2. Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak Pidana Korupsi.
Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana
Korupsi terdiri dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 yaitu :
(1) Mencegah, merintangi, menggagalkan penyidikan/ penuntutan pengadilan. (Darwan Prinst, 2002, 75)
(2) Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang No. 31 tahun 1999. Pasal 22 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 mengkualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 , Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar (Darwan Prinst, 2002, 79).
(3) Pelanggaran Pasal 23 Undang-Undang No. 31 tahun 1999. Pasal 23 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 mengatakan
bahwa Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasai
422, Pasal 429 atau PasaL 430 KUHP, dipidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) (Darwan Prinst, 2002, 82).
(4) Pelanggaran Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. Pasal 24 Undang-Undang No. 31 tahun 1999. mengancam dengan pidana saksi yang tidak memenuhi ketentuan pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. Pasal 31 melarang saksi atau orang yang bersangkutan dengan pidana korupsi menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemugkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (Darwan Prinst, 2002, 90),
Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat aktifitas yang
merupakan manifestasi dari perbuatan-peruatan korupsi dalam arti luas
mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang
22
pegawai negeri atau kedudukan yang istimewa yang dipunyai oleh seseorang
di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri
sendiri maupun orang yang menyuap sebagai dikualifisir sebagai delik (tindak
Pidana) korupsi dengan segala akibatnya yang berhubungan dengan hukum
pidana dan acaranya. (Martiman Prodjohamidjojo, 2001.20).
3. Penyidik dan Penyelidikan
Pengertian penyidik diatur dalam undang undang hukum acara pidana yang
terdapat pada Pasal 1 butir 1 yang rumusannya sebagai berikut ;
Penyidik adalah pejabat polisi Negara republik Indonesia atau PPNS
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk
melakukan penyidikan.
Dari pengertian penyidik di atas, dan penjelasan undang undang disimpulkan
mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan yaitu ;
Pejabat POLRI ; dan PPNS yang diberi wewenang khusus oleh Undang
undang, selain penyidik dalam KUHAP dikenal pula penyidik pembantu,
ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 1 butir 3 KUHAP, yang
menyebutkan bahwa :
23
Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Negara republik Indonesia yang diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang diatur dalam undang undang ini.
Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1
butir 12 undang undang nomor 2 tahun 2002, yang menyatakan bahwa :
Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Negara Indonesia yang diangkat oleh kepala kepolisian Negara republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang undang.
Hak yang diberikan kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 adalah hak untuk
membuka,memeriksa,dan menyita terhadap :
a. Surat yang dikirim melalui pos,telekomunikasi,atau alat lainnya,yang
dicuragai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi
yang sedang diperiksa
b. Kiriman yang dikirim melalui pos,telekomunikasi,atau alat lainnya yang
dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi
yang sedang diterima
Tugas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI adalah merupakan
penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai penyidik sangat
sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, karena penyidikan
merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana
yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.
24
Sedangkan pada Pasal 1 butir 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian
penyidikan, sebagai berikut ;
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Selanjutnya Andi Hamzah (2010:119) kembali menyatakan bahwa
penyidikan ialah suatu isitilah yang dimaksud sejajar dengan pengertian
opsporing (Belanda). Dan Investigation (Inggris) atau penyiasatan/siasat
(Malaysia). Definisi penyidikan dalam bahasa belanda adalah sama dengan
opsporing.
Dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2001 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai tugas melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dari ketentuan tersebut, bahwa penyidik dan penyelidik bukan hanya
polisi akan tetapi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana (KPK) diberi
wewenang juga untuk itu.
25
Penyidikan tidak terlepas dengan penyelidikan yang menurut Pasal 1
angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dan yang dimaksud dengan Penyelidik
menurut Pasal 1 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah
pejabat polisi negera Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penyelidikan dan menurut Pasal 6 Undang-Undang
No, 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
juga sebagai penyidik dan penyelidik.
Antara penyidikan dan penyelidikan adalah dua fase yang berwujud satu
antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan
pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian ditinjau dari beberapa
segi terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut yaitu dari segi
pejabat pelaksananya, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota Polri dan
pada dasamya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan
penyidik, wewenangnyapun sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan
atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga
merupakan tindak pidana, hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari
pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebutkan
26
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b yaitu penangkapan, larangan meninggalkan
tempat, penggeledahan, penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret
seorang, membawa dan ,menghadapkan seorang pada penyidik.
4. Hak Tersangka/Terdakwa dalam peradilan pidana
Menurut Pasal 1 butir 14 dan 15 KUHAP pengertian tersangka dan terdakwa
adalah :
a. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya,berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana
b. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut,diperiksa,dan diadili
di sidang pengadilan
Dari penjelasan di atas,baik tersangka maupun terdakwa adalah orang yang
diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti dan keadaan nyata
atau fakta.
Untuk kepentingan mempersiapkan hak pembelaan .
57), yang dapat dirinci :
a. Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya.
27
b. Berhak pemberitahuan yang demikian dilakukan pada waktuu
pemeriksaan mulai dilakukan terhadap tersangka.
c. Terdakwa juga berhak untuk diberitahukan dengan jelas dan dengan
bahasa yang dapat dimengerti tentang apa yang didakwakan
kepadanya.
d. Berhak memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat
pemeriksaan,mulai dari tingkat pemeriksaan penyidikan dan
pemeriksaan siding pengadilan. Hak kebebasan member
keterangan,dapat diartikan member keterangan yang dianggap
tersangka/terdakwa paling menguntungkan baginya.
e. Berhak mendapat juru bahasa.
Hak untuk mendapat juru bahasa berlaku dalam setiap tingkat
pemeriksaan baik pada pemeriksa penyidikan maupun dalam
pemeriksaan pengadilan. Adalah suatu hak yang tak mungkin bagi
seseorang tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya,
jika terhadap dirinya diajukan dan dituduhkan sangkaan dan dakwaan
yang tak dimengerti olehnya.
f. Berhak mendapat bantuan hokum.
Guna kepentingan pembelaan diri,tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum oleh seseorang atau beberapa orang
penasihat hukum,pada :
- Setiap tingkat pemeriksaan,dan
28
- Dalam setiap waktu yang diperlukan
g. Berhak secara bebas memilih penasihat penasihat hokum
Ketentuan Pasal 55 KUHAP ini pun bisa menimbulkan cacat dalam
praktek penegakan hukum, karena kebebasan dan hak memilih
penasihat hokum pasti akan menimbulkan praktek diskriminatif.
Tegasnya,dalam ketentuan Pasal 55 KUHAP ini hanya komoditi bagi
orang kaya yang punya duit
h. Dalam tindak pidana tertentu,hak mendapatkan bantuan hukum
berubah sifatnya menjadi “wajib”.
Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka atau
terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan diatur dalam Pasal 56
KUHAP:
a. Jika sangkaan atau dakwaan yang disangkakan atau didakwakan
diancam dengan tindak pidana:
- Hukuman mati
- Hukuman lima belas tahun atau lebih
Dalam kedua kategori ancaman hukuman ini,tidak dipersoalkan apakah
mereka mampu atau tidak. Jika mereka mampu boleh memilih dan
membiayai sendiri penasihat hukum yang dikehendakinya. Jika tidak mampu
menyediakan dan membiayai sendiri,pada saat itu timbul “kewajiban” bagi
29
pejabat yang bersangkutan untuk “menunjuk” penasihat hukum bagi
tersangka atau terdakwa.
b. Kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat
hokum bagi tersangka atau terdakwa,digantungkan pada dua
keadaan:
- Tersangka atau terdakwa “tidak mampu” menyediakan sendiri
penasihat hukumnya,dan
- Ancaman hukuman pidana yang bersangkutan atau didakwakan
lima tahun atau lebih
Kita lihat, pada kewajiban yang pertama tidak digantungkan pada
ketidakmampuan tersangka atau terdakwa mendapatkan penasihat hokum
digantungkan pada beratnya ancaman hukuman. Pokoknya jika tindak pidana
yang diancamkan kepadanya hukuman mati atau hukuman penjara lima
belas tahun atau lebih,tersangka atau terdakwa wajib mendapat bantuan
hukum dari penasihat hukum,baik atas usahanya sendiri maupun atas
penunjukan pejabat yang bersangkutan.
c. Penasihat hukum yang ditunjuk pejabat member bantuan hukum
adalah Cuma-Cuma
30
Dengan ketentuan ini,baik tersangka maupun terdakwa maupun Negara tidak
dibebani untuk membayar jasa bantuan yang diberikan penasihat hukum
yang ditunjuk.
B. Peran dan Wewenang Kejaksaan dalam penanganan tindak
pidana korupsi
1. Peran
Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan
kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang
berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh
Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan
kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya
merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang
menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan
sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan
dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,
penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI
sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
31
penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh
kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).
Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara yang merupakan
aparat pemerintah yang berwenang melimpahkan perkara pidana, menuntut
pelaku tindak pidana di pengadilan dan melaksanakan penetapan dan
putusan hakim pidana, kekuasaan ini merupakan ciri khas dari kejaksaan
yang membedakan lembaga-lembaga atau badan-badan penegak hukum
lain. Selain itu dalam tindak pidana umum Jaksa hanya sebagai penuntut
umum, tetapi dalam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa
berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka
diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari dan
mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan tersangkanya. Pada
dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan awal
dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana korupsi.
Sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi ,kejaksaan berwenang
untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan. Setelah penyidikan dirasa
oleh penyidik sudah selesai maka berkas perkaranya diserahkan kepada
kejaksaan selaku penuntut umum. Jaksa yang ditunjuk sebagai penuntut
umum setelah menerima berkas perkara segera memeriksa,apabila berkas
32
oleh penuntut umum dianggap kurang lengkap maka dalam waktu tujuh hari
atau sebelumnya, penuntut umum harus sudah mengembalikan berkas pada
penyidik disertai dengan petunjuk untuk kelengkapan berkas tersebut.
Apabila dalam waktu tujuh hari setelah menerima berkas perkara dari
penyidik penuntut umum tidak mengembalikan berkas, maka berkas tersebut
sudah lengkap. Dengan dikembalikannya berkas perkara oleh penuntut
umum pada penyidik disertai dengan petunjuk untuk kelengkapan berkas
maka penyidik harus mengadakan penyidikan lanjutan guna melengkapi
berkas selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari selesai dan dikirim
lagi pada penuntut umum bila penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan dari penyidik sudah lengkap maka penyidik selanjutnya
menyerahkan tanggung jawab atas barangbukti dan tersangkanya. Penuntut
umum selanjutnya memeriksa hasil penyidikandari penyidik apakah dapat
dilakukan penuntutan atau tidak, bila dapat maka ia dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan. Surat dakwaan ini sangat penting dalam
pemeriksaan perkara pidana. Sebab surat dakwaan merupakan dasar dan
menentukan batas-batas bagi pemeriksaan terdakwa dalam sidang.
2. Wewenang
Tugas dan Kewenangan Kejaksaan
Tugas dan kewenangan kejaksaan secara juridis formal terdapat didalam
undang-undang nomor 16 tahun 2004 yaitu Pasal 30 ayat 1-3. Dari isi Pasal
33
30 tersebut maka tugas dan kewenangan kejaksaan dapat dibagi kedalam
tiga bagian yaitu :
1. Dibidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang,
a. Melakukanpenuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan
dengan penyidik.
2. Dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa
khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan
atas nama Negara atau pemerintah.
3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan :
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
34
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengamanan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic criminal.
Disamping itu kejaksaan juga memiliki tugas-tugas lain yaitu seperti
diatur dalam Pasal 31, 33 dan 34 UU nomor 16 tahun 2004 yaitu :
a. kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang
terdakwa dirumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang
layak
b. Membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan badan
Negara lainnya;
c. Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya;
Disamping tugas dan kewenangan kejaksaan, khusus Jaksa Agung
oleh UU nomor 16 tahun 2004 juga mengatur tugas dan kewenangan Jaksa
Agung yaitu didalam Pasal 35, 36,37 UU nomor 16 tahun 2004.
Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan secara
eksplisit telah menyebutkan secara tegas bahwa kejaksaan memiliki
kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam
35
Pasal 30 ayat (1) huruf d yaitu melakukan penyelidikan terhadap tindak
pidana tertentu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana Korupsi dan Pelanggaran
HAM. Dengan bunyi Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 tahun 2004
maka secara juridis formil kejaksaan telah memiliki kewenangan dalam hal
melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM.
Adapun wewenang lain yang dimiliki Kejaksaan yaitu “ Wewenang
Rangkap/Ganda” yaitu “Wewenang penyidikan sekaligus penuntutan” dalam
proses hukum pidana sebagaimana bersumber pada Pasal 30 UU Nomor 16
Tahun 2004, maka dapat dipastikan bahwa mekanisme check and balances
dalam proses hukum tersebut telah terabaikan atau dengan kata lain
wewenang rangkap/ganda yang dimiliki Kejaksaan dimaksud terlaksana
tanpa kendali dan tanpa pengawasan horizontal maupun vertical sehingga
sangat rentan dan potensial untuk terjadinya kesewenang-wenangan dan
ketidakadilan serta ketidakpuasan hukum.
C. Asas Asas Hukum Pidana
1. Percobaan ( Poging,Atemp )
Pada umumnya,kata “Percobaan” atau poging berarti suatu upaya
mencapai suatu tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.
36
Dalam buku pidana,”Percobaan” merupakan suatu pengertian teknik yang
agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada
umumnya adalah bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal
“Percobaan”,maka sudah tetap bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak
tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada,dan maka dari itu tidak menjadi
persoalan.
Di dalam Bab IX Buku KUHP ( tentang arti beberapa istilah yang di pakai
dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi
“percobaan”. KUHP hanya merupakan batasan mengenai kapan dikatakan
ada percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal
53 (1) yang rumusannya sbb
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana/jika niat untuk itu telah ternyata/dari adanya permulaan pelaksanaan/dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata,mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Redaksi pasal di atas jelas tidak merupakan suatu definisi,tetapi hanya
merumuskah syarat-syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas antara
percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana.
Percobaan yang dapat dipidana menurut sistim KUHP bukanlah
percobaan terhadap semua jenis tindak pidana. Yang dapat dipidana
hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa “kejahatan”
saja,sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Hal ini
37
ditegaskan pula dalam Pasal 54 KUHP. Hanya perlu dicatat bahwa ketentuan
umum dalam Pasal 53 (1) di atas tidak berarti bahwa percobaan terhadap
semua kejahatan dapat dipidana. Ada percobaan terhadap kejahatan-
kejahatan tertentu yang tidak dipidana,misalnya :
1. Percobaan duel/ perkelahian tanding ( Pasal 184 ayat 5 KUHP);
2. Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan ( Pasal 302 ayat 4
KUHP);
3. Percobaan penganiayaan biasa ( Pasal 351 ayat 5 KUHP); dan
4. Percobaan penganiyaan ringan ( Pasal 352 ayat 2 KUHP);
Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang berdiri
sendiri ataukah hanya merupakan suatu delik yang tidak sempurna?
Mengenai sifat dari percobaan ini ada dua pandangan :
1. Percobaan dipandang sebagai strafausdehnungsgrund ( dasar/alasan
memperluas dapat dipidananya orang ). Menurut pandangan orang,
seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu tindak
pidana meskipun tidak memenuhi semua unsur delik,tetap dapat
dipidana apabila telah memenuhi rumusan Pasal 53 KUHP. Jadi sifat
percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang,bukan
memperluas rumusan-rumusan delik. Dengan demikian menurut
pandangan ini,percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk
38
delik yang tersendiri ( delictum sui genenis ) tetapi dipandang sebagai
bentuk delik yang tidak sempurna ( delictum sui genenis ). Termasuk
dalam pandangan pertama ini ialah Hazewinke Suringa dan Oemar
Seno Adji (Amir ilyas 2012:2)
2. Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund.
(dasar/alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan ). Menurut
Barda Nawawi Arief,percobaan melakukan suatu tindak pidana
merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan
bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna,tetapi merupakan delik
yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa. Jadi
merupakan delik tersendiri ( delictum sui generis ).
Termasuk dalam pandangan kedua ini ialah Pompe dan Moeljatno.
Alasan Moeljatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri,ialah :
1. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu delik;
2. Dalam konsepsi “perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran
suatu delik didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya
perbuatan itu sendiri bagi keselamatan masyarakat;
3. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan dalam bentuk delik yang
tidak sempurna ( onvolkomen delictsvorm ), yang ada hanya delik
selesai;
39
4. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik
yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai, walaupun
pelaksanaan dan perbuatan itu sebenarnya belum selesai, jadi baru
merupakan percobaan. Misalnya delik-delik makar ( aanslagdelicten )
dalam Pasal 104,106 dan 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Moeljatno terakhir ini, dapat pula
misalnya dikemukakan contoh adanya Pasal 163 bis KUHP. Menurut
pasal ini suatu percobaan untuk melakukan pembujukan (poging tot
uitlokking ) atau yang biasa juga disebut pembujukan yang gagal
(mislukte uitlokking) tetap dapat dipidana, jadi dipandang sebagai delik
yang berdiri sendiri.
2. Penyertaan (Deelneming)
Kata “Pesertaan” (Deelneming aan Strafbare Feiten) berarti turut sertanya
seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.
Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana
(strafbepaling) orang berkesimpulan bahwa dalam tiap tindak pidana hanya
ada seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana.
Dalam praktek ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam
peristiwa tindak pidana. Disamping itu si pelaku ada seorang atau beberapa
orang lain yang turut serta.
40
Hazewinkel-Suringa (Wirjono Prodjodikoro,2003:117) menceritakan
bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada si pelaku saja,dan
baru pada penghabisan abad ke-18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan
sampai dimana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat
dipertanggungjawabkan dan dikenai hukuman.
Hubungan antar peserta dalam penyelesaian Tindak Pidana tersebut dapat
bermacam-macam :
a. Bersama-sama melakukan sesuatu kejahatan
b. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu
kejahatan,sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk
melaksanakan tindak pidana tersebut.
c. Seorang saja yang melakukan/melaksanakan tindak pidana
sedangkan orang lain membantu dalam melaksanakan tindak pidana
tersebut.
Dalam beberapa literatur istilah Deelneming (Belanda); Complicity (Inggris);
Teilnahme/Tatermehrheit (Jerman); Participation (Perancis). Diartikan
sebagai:
1. Turut campur dalam peristiwa pidana ( Tresna )
2. Turut berbuat delik ( Karni )
3. Turut serta ( Utrecht )
41
4. Keturutsertaan ( Lamintang )
5. Pesertaan melakukan tindak pidana ( Wirjono Prodjodikoro)
Apa yang dimaksud dengan deelneming, tidak ada dijelaskan dalam
ketentuan umum Buku I KUHP. Dalam Pasal 55 KUHP hanya memberikan
kualifikasi siapa-siapa saja yang dapat digolongkan sebagai orang yang turut
melakukan tindak pidana, oleh karena itu dalam doktrin ada beberapa
pandangan tentang apa yang di maksud dengan Deelneming (Amir
Ilyas,2012:54).
Menurut Satochid Kartanegara (Amir Ilyas,2012:54) mengatakan,deelneming
pada suatu delik terdapat apabila dalam satu delik tersangkut beberapa
orang atau lebih dari seorang.
Menurut S.R.Sianturi (Amir Ilyas,2012:54) mengatakan, deelneming ialah
ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan
kata lain perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk
mewujudkan suatu tindak pidana.
Sedangkan munurut Moeljatno berpendapat bahwa,ada penyertaan apabila
bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana
akan tetapi beberapa orang. Tersangkutnya dua orang atau lebih dalam
suatu tindak pidana dapat terjadi dalam hal :
1. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik,atau
42
2. Mungkin hanya seorang saja yang berkehendak (berniat) dan
merencanakan delik,tetapi delik tersebut tidak dilakukannya tetapi ia
mempergunakan orang lain untuk mewujudkan delik tersebut,atau
3. Mungkin seorang saja yang melakukan delik sedang orang lain
membantu orang itu dalam mewujudkan delik.
Rumusan ini terlihat pada Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang
rumusannya:
1. Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum; Ke-1 : Mereka melakukan,menyuruh melakukan,atau turut melakukan perbuatan itu; Ke-2 : Mereka yang dengan pemberian,kesanggupan,penyalahgunaan kekuasaan atau martabat,dengan paksaan,ancaman,atau penipuan atau dengan memberikan kesempatan,sarana,atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu;
2. Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatan-perbuatan yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan,serta akibat-akibatnya dapat diperhatikan.
Pasal 56
Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum :
Ke-1 : Mereka yang dengan sengaja membantu pada kejahatan itu dilakukan.
Ke-2 : Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan,sarana,atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana,yaitu :
43
1. Yang melakukan perbuatan (pleger). Orang ini ialah seorang yang
sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari
peristiwa pidana.
2. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen). Disini sedikitnya
ada dua orang,yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh
(pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa
pidana,akan tetapi ia menyuruh orang lain.
3. Yang turut melakukan perbuatan (medepleger). “Turut melakukan”
dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada
dua orang,ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut
melakukan (medepleger) peristiwa pidana itu.
4. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokker). Orang itu
harus sengaja membujuk orang lain,sedang membujuknya harus
memakai salah satu dari jalan-jalan seperti dengan pemberian,salah
memakai kekuasaan dsb.
5. Yang membantu perbuatan (medeplichtig). Jika ia sengaja
memberikan bantuan tersebut,pada waktu atau sebelum (jadi tidak
sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan
sesudah kejahatan itu dilakukan,maka orang salah melakukan
perbuatan sekongkol atau tadah.
44
3. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus)
Menurut Zainal Abidin Farid dalam hal penyertaan satu delik dilakukan
oleh beberapa orang,dalam gabungan delik satu orang melakukan beberapa
delik. Gabungan delik (yang penulis lain memakai istilah perbarengan
sebagai terjemahan istilah Belanda (samenloop), adalah tersangka
mewujudkan lebih dari delik dan antara satu delik dan perbuatan ini tidak ada
penjatuhan pidana. Memori van Toelichting (memori penjelasan) WvS
(KUHP) rumusannya sebagai berikut :
Dezelfde persoon schuldig is aan meer dan een vergrijnp tegen de strafwet,terwijl nog geen dezer her eener regtelijke besslissing heeft iutgemaakt (orang yang sama bersalah melakukan lebih dari satu pelanggaran terhadap undang-undang pidana,sedangkan belum ada putusan hakim yang dijatuhkan atas hal itu). ( Noyon-Langemeijer Remmelink : Komentar atas pasal 55 Ned. Wvs)
Jika perbuatan-perbuatan tersebut diantara oleh penjatuhan pidana, ia
bukan gabungan delik tetapi residive. Artinya setelah melakukan delik ia
dipidana,kemudian melakukan delik lain lagi. Dalam gabungan delik,tidak
perlu diadili sekaligus,dapat pula dilakukan bertahap. Artinya,satu persatu
perbuatan (delik) itu disidangkan dan diputus oleh hakim. Akan tetapi,pidana
yang akan dijatuhkan diperhitungkan dengan pidana yang dijatuhkan
sebelumnya,berdasarkan aturan gabungan delik (Pasal 71 KUHP).
45
Seringkali perkara concursus disidangkan bertahap karena baru
ketahuan tersangka telah mewujudkan delik lain setelah dia diadili untuk delik
pertama.
Perbarengan merupakan permasalahan yang bertalian dengan
pemberian pidana. Dalam ajaran umum tentang perbarengan dibicarakan
maksimal ancaman pidana yang hendak diterapkan.
Beberapa tindak pidana itu pada waktu yang sama atau secara
bertahap harus diadili. Bentuk perbarengan jangan dicampur aduk dengan
residif. Ada perbarengan apabila dilakukan beberapa tindak pidana sebelum
salah satu tindak pidana itu diajukan kepengadilan. Tidaklah penting apakah
tindak pidana – tindak pidana itu diajukan kepengadilan pada waktu yang
sama atau secara bertahap ( Pasal 63 SR dari Belanda diganti dengan Pasal
71 KUHP)
1. Menurut Rumusan KUHP
Menurut Barda Nawawi Arief (Amir Ilyas,2012:109),sebenarnya
didalam KUHP tidak ada definisi mengenai concursus,namun demikian dari
rumusan pasal-pasalnya diperoleh pengertian sebagai berikut;
a. Ada Concursus Idealis,apabila (Pasal 63)
- Suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana
b. Ada perbuatan berlanjut,apabila (Pasal 64)
46
- Seseorang melakukan beberapa perbuatan.
- Perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran.
- Antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Catatan :
Mengenai unsur “ada hubungan sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”,MvT
memberikan tiga kriteria:
1. Harus ada satu keputusan kehendak.
2. Masing-masing perbuatan harus sejenis
3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak
terlampau lama.
c. Ada Concursus Realis,apabila (Pasal 65):
- Seseorang melakukan beberapa perbuatan.
- Masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri-sendiri sebagai
suatu tindak pidana (kejahatan/pelanggaran); jadi tidak perlu
sejenis atau berhubungan satu sama lain.
Catatan :
Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan (pada concursus
realis dan perbuatan perbuatan berlanjut) harus belum ada
keputusan hakim.
47
2. Menurut Pendapat Para Sarjana
Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam pasal-pasal di atas menimbulkan
masalah yang cukup sulit.khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan
satu perbuatan. Kesulitan ini timbul karena dalam ilmu pengetahuan hukum
pidana, “perbuatan” (feit) itu ada yang meninjaunya secara materiil,secara
fisik jasmaniah,yaitu dipikirkan terlepas dari akibatnya,terlepas dari unsur-
unsur subjektif dan unsur-unsur tambahan (dikenal dengan ajaran feit
meteriil); dan ada pula yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang
dihubungkan dengan adanya akibat/keadaan yang terlarang.
Sehubungan dengan kesulitan itu,maka para sarjana (Amir
Ilyas,2012:110) mengemukakan beberapa pendapat sebagai berikut :
a. HAZEWINKEL-SURINGA
Ada Concurcus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi
rumusan delik,mau tidak mau (eo ipso) masuk pula dalam peraturan
pidana lain.
Misal :
- Perkosaan dijalan umum,disamping masuk Pasal 285
(perkosaan) juga mau tidak mau masuk Pasal 281 ( melanggar
kesusilaan dimuka umum)
48
b. POMPE
Ada Concursus Idealis,apabila orang melakukan suatu perbuatan
konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda/objek
aturan hukum.
Misal :
- Bersetubuh dengan anaknya sendiri yang belum 15 tahun;
perbuatan ini masuk Pasal 294 (perbuatan cabul dengan
anaknya sendiri yang belum cukup umur) dan Pasal 287
(bersetubuh degan wanita yang belum 15 tahun diluar
perkawinan).
c. TAVERNE
Ada Concursus Idealis,apabila :
- Dipandang dari sudut hukum pidana ada dua perbuatan atau
lebih ; dan
- Antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas
satu sama lain.
Misal :
- Orang dalam keadaan mabuk mengendarai mobil diwaktu
malam tanpa lampu. Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu
“mengendarai mobil”,tetapi dilihat dari sudut hukum ada dua
perbuatan yang masing-masing dapat dipikirkan terlepas satu
49
sama lain,yaitu : pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan
mabuk” (menggambarkan orang/pelakunya) dan kedua
“mengendarai mobil tanpa lampu diwaktu malam”
(menggambarkan keadaan mobilnya). Jadi dalam hal ini ada
concurcus realis
d. VAN BEMMELEN
Ada concursus idealis,apabila :
- Dengan melanggar satu kepentingan hukum.
- Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.
Misal :
- Perkosaan dijalan umum (melanggar Pasal 285 dan Pasal 281
KUHP). Khusus mengenai penjelasan MvT mengenai kriteria
untuk adanya “perbuatan berlanjut” seperti dikemukakan
diatas,simons tidak berpendapat. Mengenai syarat “ada satu
keputusan kehendak”,simons mengartikannya secara umum
dan lebih luas yaitu “tidak berarti harus ada kehendak untuk
tiap-tiap kejahatan”. Berdasar pengertian yang luas ini,maka
tidak perlu perbuatan-perbuatan itu sejenis,asal perbuatan itu
dilakukan dalam rangka pelaksanaan satu tujuan.
50
- Untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B,A melakukan
serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi,merobek
bajunya,memukul dan akhirnya membunuh.
4. Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)
Residive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang
yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu
putusan hakim yang tetap (inkracht van gewijsde),kemudian melakukan suatu
tindak pidana. Perbedaannya ialah bahwa pada residive sudah ada putusan
hakim yang berkekuatan tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak
pidana yang dilakukan terdahulu atau sebelumnya. Recidive merupakan
alasan untuk memperkuat pemidanaan ( Barda Nawawi Arief,1993:66 )
Ada dua sistem pemberatan pidana berdasar adanya residive,yaitu
sistem :
1. Recidive Umum
Menurut sistem ini,setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana
apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja,merupakan alasan
untuk pemberatan pidana. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana
yang dilakukan maupun tenggang waktu pengulangannya. Dengan
tidak ditentukan tenggang waktu pengulangannya,maka dalam sistem
ini tidak ada daluwarsa recidive.
51
2. Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan
pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan
yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
Recidive Menurut KUHP
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP tidak diatur secara umum
dalam “aturan umum” Buku I,tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok
tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan didalam Buku II maupun
yang berupa pelanggaran didalam buku III.
Adapun syarat-syarat recidive untuk tiap-tiap tindak pidana,baik
terhadap kejahatan maupun pelanggaran,dibicarakan berturut-turut dibawah
ini.
1. Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem recidive khusus,maka recidive kejahatan
menurut KUHP adalah residive “kejahatan-kejahatan tertentu”.
Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP
membedakan antara lain :
52
a. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”
diatur secara tersebar dalam sebelas pasal tertentu Buku II KUHP
yaitu dalam Pasal 137 (2),144 (2),155 (2),157 (2),161 (2),163
(2),208 (2),216 (3),321 (2),393 (2) dan 303 bis (2).
b. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam
satu “kelompok jenis” diatur dalam Pasal 486,487 dan 488 KUHP
2. Recidive Pelanggaran.
Dengan dianutnya sistem recidive khusus,maka residive pelanggaran
menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-
pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam buku III.
Ada 14 jenis pelanggaran didalam buku III KUHP yang apabila diulangi
dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana,yaitu
pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Pasal 489 kenakalan terhadap orang atau barang;
b. Pasal 492 masuk dimuka umum merintangi lalu-lintas atau
mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain;
c. Pasal 495 memasang penangkap/alat untuk membunuh binatang
buas tanpa izin;
d. Pasal 501 menjual dan sebagainya makanan/minuman yang
dipalsu,busuk atau yang berasal dari ternak sakit atau mati;
e. Pasal 512 melakukan pencaharian tanpa keharusan/kewenangan
atau melampaui batas kewenangannya;
53
f. Pasal 516 mengusahakan tempat bermalam tanpa register/catatan
tamu atau tidak menunjukkan register tersebut kepada pejabat
yang memintanya;
g. Pasal 517 membeli dan sebagainya barang-barang anggota militer
tanpa izin;
h. Pasal 530 petugas agama yang melakukan upacara perkawinan
sebelum dinyatakan padanya bahwa pelangsungan dimuka pejabat
catatan sipil/B.S telah dilakukan;
i. Pasal 536 dalam keadaan mabuk berada dijalan umum;
j. Pasal 540 mempekerjakan hewan melebihi kekuatan atau
menyakitinya;
k. Pasal 541 menggunakan kuda muatan yang belum tukar gigi;
l. Pasal 544 mengadakan sabungan ayam/jangkrik dijalan umum
tanpa izin;
m. Pasal 545 melakukan pencaharian sebagai tukang ramal;
n. Pasal 549 membiarkan ternaknya berjalan dikebun/tanah yang
terlarang
Residive Diluar KUHP
1. Residive kejahatan diluar KUHP terdapat didalam Pasal 39 Undang-
Undang Narkotika (UU No.9 tahun 1976) yang berbunyi sebagai
berikut :
54
a. Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 16 ayat 1 sampai
dengan ayat 7 dapat ditambah dengan sepertiga jika terpidana
ketika melakukan kejahatan,belum lewat 2 (dua) tahun sejak
menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang
dijatuhkan padanya.
b. Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat 1
diancam dengan pidana denda,maka pidana denda tersebut
dikalikan dua.
Dari rumusan diatas terlihat,bahwa UU Narkotika menganut juga sistem
recidive khusus yaitu,baik tindak pidana yang diulangi maupun tenggang
waktu pengulangannya sudah tertentu.
2. Residive pelanggaran diluar KUHP terdapat antara lain didalam :
a. Pasal 11 (5) Ordonansi Perlindungan Cagar Alam
(Natuurbesehermingsondonnantie) S.1941 No 167;
b. Pasal 18 (2) Undang-undang kerja No.12 tahun 1948 jo UU No.1
tajin 1951;
c. Pasal 32 (2) dan 33 (2) Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya No.3/1965.
Dalam peraturan-peraturan tersebut juga dianut sistem recidive khusus.
Tenggang waktu pengulangannya ada yang 1 tahun dan ada yang 2 tahun;
55
sedangkan pemberatan pidananya ada yang ditambah separuh,sepertiga dan
ada yang dilipatgandakan (dikalikan dua).
D.Pidana Dan Pemidanaan
1. Pengertian Pidana
Muladi dan Barda Nawawi (1984: 4) menjelaskan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
Lebih lanjut menurut Barda Nawawi Arief (1996: 136) menegaskan
bahwa apabila pengertian sistem pemidanaan diartikan secara luas sebagai
suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah
dikatakan bahwa sistem pemidanaan itu mencakup pengertian:
1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan.
56
2. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.
3. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana.
4. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur
bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara
konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).
2. Teori Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga
tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya
diartikan sebagai hukum,sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai
penghukuman.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat,dapat
dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu
mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana,korban,dan
juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.
Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku
kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan
serupa.
57
Ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai
implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif
(retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view). Pandangan
retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga
pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap
kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-
masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat kebelakang (backward-
looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau
kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin
dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Disatu pihak, pemidanaan
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di
pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari
kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan
berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat
pencegahan (detterence).
Adapun teori-teori pemidanaan dapat dibagi sebagai berikut :
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)
Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar
pembenaran dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada
penjahat. Negara berhak manjatuhkan pidana karena penjahat tersebut
58
telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan
kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah
dilindunginya.
Teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan
untuk praktis seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah
yang untuk dijatuhkannya pidana kepada pelanggar hukum.
Kant berpendapat bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana
terdapat di dalam apa yang disebut Kategorischen Imperative
menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan
suatu keharusan yang sifatnya mutlak, sehingga setiap pengecualian
atau setiap pembahasan yang semata-mata didasarkan pada suatu
tujuan itu harus dikesampingkan.
Dari teori tersebut , nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu
tuntutan etika, dimana seseorang yang melakukan kejahatan akan
dihukum, dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya
untuk membentuk sifat dan merubah etika dari yang jahat ke yang baik.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Dasar pemikirannya agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman,
artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya
mempebaiki sifat mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi,
59
dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Teori relatif atau teori
tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib dalam masyarakat.
Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu
mempunyai tiga macam sifat, yaitu :
1. Bersifat menakut-nakuti (Afscbrikking)
2. Bersifat memperbaiki (Verbetering/ reclasering)
3. Bersifat membinasakan (Onscbadelijk maken)
c. Teori Gabungan atau Teori Modern (Vereningings Theorien)
Teori gabungan adalah kombinasi dari teori absolut dan teori relatif,
teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan
penderitaan jasmani dan psikologis juga yang terpenting adalah
memberikan pemidanaan dan penderitaan.
Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hamel, dan Van List dengan
pandangan sebagai berikut (Djoko Prakoso,1988:47) :
a. Hal penting dalam pidana adalah memberantas kejahatan sebagai
suatu gejala masyarakat.
b. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus
bertujuan memperhatikan hasil studi antropologis dan sosiologis.
60
c. Pidana ialah satu dari yang paling efektif yang dapat digunakan
pemerintah untuk memberantas kejahatan.
61
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan objek penelitian yang
penulis kaji, Penulis memilih lokasi penelitian di Kota Makassar. Adapun
lokasi penelitian yaitu Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri
Makassar.
Penulis memilih tempat ini kerana sangat berhubungan dengan
penulisan skripsi utamanya dalam mengumpulkan serta mencari data yang
berhubungan dengan pengumpulan data yang penulis perlukan.
B. Teknik Pengumpulan Data
Agar suatu karya ilmiah dapat teruji secara ilmiah dan objektif, maka
dibutuhkan sarana untuk menemukan dan mengetahui lebih mendalam
gejala-gejala tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian
kebenaran karya ilmiah tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh data-data sebagaimana yang
diharapkan serta mempunyai ketertarikan dengan masalah yang penulis teliti,
maka adapun teknik pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu berupa :
1) Penelitian Pustaka
62
Dalam penelitian ini penulis memperoleh data melalui jalan
membaca berbagai buku, majalah, Koran, jurnal ilmiah, dan
literature lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan materi
pembahasan, seperti mempelajari dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan penyelesaian perkara ini di pengadilan seperti
berita acara penyidik, penuntut umum, dan berita acara seperti
putusan.
2) Penelitian Lapangan
Dalam hal ini penulis mengadakan pengumpulan data dengan
wawancara langsung dengan objek yang terkait dengan penelitian,
dalam hal ini melakukan teknik interview (wawancara)..
C. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan data yang mempunyai
hubungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, adapun jenis
sumber data yang penulis gunakan dibagi kedalam dua jenis yaitu :
1) Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara
secara langsung dengan pihak terkait sehubungan dengan
penulisan skripsi, dalam hal ini hakim Pengadilan Negeri
Makassar, jaksa, terdakwa maupun kuasa hukumnya
2) Data Sekunder
63
Data sekunder yaitu data yang penulis peroleh melalui bahan-
bahan laporan dan dokumen lain yang telah ada serta
mempunyai hubungan dengan masalah yang Penulis bahas
dalam penulisan skripsi.
D. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian dianalisis secara
kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menguraikan,
menjelaskan dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat
dengan penelitian ini.
Penggunaan teknik analisis kualitatif mencakup semua data yang telah
diperolah, sehingga membentuk deskripsi yang mendukung kualifikasi kajian
ini. Teknik analisis data yang digunakan dengan pendekatan kualitatif,
menjawab dan memecahkan serta pendalaman secara menyeluruh dan utuh
dari objek yang diteliti.
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. PEMENUHAN HAK TERSANGKA DALAM MEMPEROLEH
INFORMASI PENANGANAN PERKARA KORUPSI
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,hak tersangka
adalah sebagai berikut :
1. Hak untuk segera diperiksa,diajukan ke pengadilan,dan diadili.
(Pasal 50 ayat (1),(2), dan (3) sebagaimana penulis kutip
sebagai berikut :
Pasal 50
1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum
2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum
3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan
2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa
yang didakwakan. (Pasal 51 butir a dan b) sebagaimana penulis
kutip sebagai berikut:
Pasal 51
a. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa
65
yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
b. Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya
3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada
penyidik dan hakim seperti tersebut di muka. (Pasal 52)
sebagaimana penulis kutip sebagai berikut :
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
4. Hak untuk mendapat juru bahasa. (Pasal 53 ayat (1)) Hak untuk
mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
(Pasal 54) sebagaimana kami kutip sebagai berikut:
Pasal 53
1). Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177. 2). Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178. Pasal 54 Guna kepentingan pembelaan,tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
66
5. Hak untuk mendapat nasihat hukum dan penasihat hukum yang
ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam
pidana mati dengan biaya Cuma-Cuma.
6. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk
menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya.
(Pasal 57 ayat (2)) sebagaimana dikutip sebagai berikut :
Pasal 57
1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan
berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai
dengan ketentuan undang-undang ini
2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing
yang dikenakan panahanan berhak menguhubungi dan
berbicara dengan perwakilan negaranya dalam
menghadapi proses perkaranya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap Joko
B Darmawan (wawancara dilakukan pada tanggal 13 Desember 2012).
Selaku Kepala Divisi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejaksaan Negeri
Makassar, terkhusus mengenani penanganan perkara korupsi nomor :
469/Pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara Nomor : 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks
untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak tersangka dalam memperoleh
informasi penanganan perkara korupsi, maka diperoleh keterangan bahwa
67
menurut pihak Kejaksaan Negeri Makassar segala sesuatu yang terkait
dengan penyampaian informasi yang merupakan hak dari seorang tersangka
telah disampaikan kepada tersangka langsung maupun kepada kuasa
hukumnya.
Adapun informasi-informasi yang telah disampaikan kepada tersangka
sebagaimana dimaksud antara lain adalah sebagai berikut :
a. Pemberitahuan mengenai pelimpahan berkas perkara dari tahap
penyidikan ke penuntutan;
b. Pemberitahuan mengenai pelimpahan berkas perkara dari jaksa
penuntut umum ke Pengadilan Negeri Makassar;
c. Pemberitahuan pada saat pelaksanaan Putusan.
Setelah melakukan wawancara dengan pihak Kejaksaan Negeri
Makassar,penulis juga melakukan wawancara dengan tersangka yaitu bapak
Ir.. TL (wawancara dilakukan pada tanggal 14 Desember 2012) Dari hasil
wawancara tersebut penulis memperoleh informasi bahwa tersangka tidak
memperoleh informasi yang lengkap dan mendetail.
Menurut penjelasan yang disampaikan kepada penulis, Bapak Ir. TL
telah berulangkali berusaha untuk memperoleh informasi dari Kejaksaan
maupun melalui kuasa kuasa hukumnya, namun tidak diberikan dengan
alasan kepentingan penyidikan. Bahkan ketika tersangka mengajukan
permohonan penangguhan penahanan yang kemudian ditolak,tersangka
sama sekali tidak memperoleh penjelasan mengenai alasan penolakan
68
Tersangka melalui kuasa hukumnya sebenarnya telah mengajukan
permohonan keberatan yang ditujukan langsung kepada Kejaksaan Agung
Republik Indonesia namun surat tersebut sama sekali tidak mendapat respon
dari pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
B. PROSES PENGAWASAN TERHADAP KEJAKSAAN NEGERI
DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :
PER-038/A/JA/12/2009 tentang perubahan atas Peraturan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor : PER-069/A/JA/07/2007 tentang ketentuan-
ketentuan Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia
tujuan dari pelaksanaan pengawasan tersebut adalah :
Agar Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
mampu mewujudkan kepastian hukum,ketertiban
hukum,keadilan,kebenaran berdasarkan hukum,dengan
mengindahkan norma keagamaan,kosapanan dan kesusilaan;
Agar setiap pegawai Kejaksaan mengemban tugasnya dengan baik
dan penuh rasa tanggung jawab serta menghindarkan diri dari
sikap,prilaku dan tutur kata yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
69
Sementara secara fungsi dari pengawasan melekat secara khusus diatur
dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-
038/A/JA/12/2009 tentang perubahan atas Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor : PER-069/A/JA/07/2007 tentang ketentuan-ketentuan
Penyelenggaran Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia adalah
melaksankan pengawasan secara preventif agar tugas rutin dan
pembangunan serta sikap,prilaku dan tutur kata pegawai kejaksaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, rencana stratejik serta kebijakan
yang ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.
Terkait dengan perkara Nomor : 469/Pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara
Nomor : 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks yang ditangani oleh
kejaksaan,berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis, perkara
tersebut telah berulangkali dilaporkan kepada pengawas kejaksaan dan
berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh
kejaksaan tidak terdapat kesalahan prosedural yang dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum.
Menurut Joko B Darmawan keberatan yang diajukan oleh tersangka
bapak Ir. TL melalui kuasa hukumnya adalah informasi-informasi yang pada
dasarnya tidak dapat diberitahukan kepada tersangka karena hal tersebut
terkait dengan kepentingan penyidikan.
70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis,maka ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kejaksaan Negeri Makassar dalam menangani perkara Nomor :
469/Pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara Nomor : 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks
telah memenuhi segala hak tersangka terkait penyampaian informasi;
2. Sistem pengawasan di Kejaksaan Negeri Makassar terhadap pelaksanaan
fungsi masing-masing unit kerja telah berjalan sebagaimana mestinya.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka penulis menyarankan hal-
hal sebagai berikut :
1. Aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Negeri Kota Makassar dapat
memperhatikan dan memenuhi seluruh hak-hak tersangka/terdakwa dalam
penanganan perkara.
2. Agar sistem pengawasan internal Kejaksaan terhadap kinerja para jaksa
dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya dapat lebih diperkuat lagi
sehingga tidak ada lagi oknum jaksa yang bertindak tidak sesuai dengan
fungsi dan kewenangannya.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdoel R Djamali 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Adami Chazawi. 2001. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1).Malang : PT Rajagrafindo persada. Andi Hamzah.1983. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta : PT
Pradya Pramita. ____________. 2008. Asas - Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta ____________. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika ____________. 1984. Korupsi Di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Amir Ilyas. Asas Asas Hukum Pidana. Yogyakarta : Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta Amir Ilyas., Haeranah., Nur azizah., Dan Kaisaruddin. 2012. Asas Asas Hukum Pidana II. Yogyakarta : Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta Bambang Waluyo. 2008. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika Darwan Prinst. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT.
Citra Aditia Bakti Lamintang, P.A.F 1997. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana
Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung : 1997 Martiman Prodjohamidjojo. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam
Delik Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999). Bandung : Mandar Maju
73
Pipin Syarifin.2000 Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Pustaka Setia R Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta R Wiyono. 2005. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika Wirjono Prodjodikoro Asas Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung : PT Refika Aditama Perundang- Undangan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Sumber Lain Putusan Mahkamah Konstitusi No 28/ PUU-V/ 2007 tentang Kewenangan Kejaksaan Menyidik Perkara Tindak Pidana Korupsi
http://ajhieb.blogspot.com/2010/11/tahap-penyidikan-dan-penuntutan.html
http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=1
www.hukumonline.com http://www.scribd.com/doc/83288291/Keterbukaan-Dan-Keadilan-Dalam
74
http://www.scribd.com/doc/47011271/Peranan-Kejaksaan-Dalam-Korupsi