87
SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI DALAM PERKARA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN (Studi Kasus Putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No. 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043 K/PID.SUS/2012) OLEH: ANITA PRATIWI B 111 09 161 BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2 0 1 3

SKRIPSI - CORE · 2017-03-18 · kepentingan penyidikan dan tidak berdasarkan pada Pasal 51-57 Kitab Undang ... pahala dan mendatangkan fitrah bagi kita semua. ... kehidupan bangsa

  • Upload
    vothuan

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK TERSANGKA UNTUK

MEMPEROLEH INFORMASI DALAM PERKARA KORUPSI OLEH

KEJAKSAAN

(Studi Kasus Putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No.

05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043 K/PID.SUS/2012)

OLEH:

ANITA PRATIWI

B 111 09 161

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2 0 1 3

i

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK TERSANGKA UNTUK

MEMPEROLEH INFORMASI DALAM PERKARA KORUPSI OLEH

KEJAKSAAN

(Studi Kasus Putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No.

05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043 K/PID.SUS/2012)

Disusun dan Diajukan

Oleh

ANITA PRATIWI

B 111 09 161

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka

Penyelesaian Studi Sarjana Hukum Dalam Bagian Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI DALAM

PERKARA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN

(Studi Kasus Putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No. 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043 K/PID.SUS/2012)

Disusun dan diajukan oleh

ANITA PRATIWI B 111 09 161

Telah Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk dalam Rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Pada Hari Senin, 4 Maret 2013

Dan Dinyatakan Diterima

Panitia Ujian

Ketua

Sekretaris

H. M. Imran Arief, S.H.,M.S. NIP. 19470915 197901 1001

Kaisaruddin Kamaruddin, S.H. NIP. 19660320 199103 1 005

An. Dekan

Wakil Dekan Bidang Akademik,

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. NIP. 19630419 198903 1 003

iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa Mahasiswa :

Nama : Anita Pratiwi

NIM : B 111 09 161

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Judul Skripsi :Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Tersangka Untuk

memperoleh Informasi Dalam perkara Korupsi Oleh

Kejaksaan

(Studi Kasus Putusan No. 469/pid.B/2011/PN.MKS jo.

Perkara No. 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No.

1043 K/PID.SUS/2012)

Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi :

Disetujui Oleh

Pembimbing I Pembimbing II

H.M.Imran Arief, S.H.,M.Si. Kaisaruddin Kamaruddin, S. H NIP.19470915 197901 1 001 NIP. 19660320 199103 1 005

iv

v

ABSTRAK

ANITA PRATIWI (B11109161), Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Tersangka Untuk Memperoleh Informasi Terhadap Perkara Korupsi Oleh Kejaksaan Negeri (Studi Kasus Putusan No.469.pid.B/2011.PN.MKS jo. Perkara No 5/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks) dibimbing oleh H.M.Imran Arief sebagai pembimbing I dan Kaisaruddin Kamaruddin sebagai pembimbimg II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak tersangka dalam memperoleh informasi mengenai perkara korupsi oleh Kejaksaan Negeri dalam kasus putusan No.469/pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara No.5/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks dan untuk mengetahui proses pengawasan terhadap Kejaksaan Negeri dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi,apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan hukum acara pidana yang berlaku saat ini.

Penelitian ini dilakukan di Makassar yang lokasi penelitiannya bertempat di Kejaksaan Negeri Makassar dengan mengadakan wawancara dengan Joko B Darmawan,selaku Kepala Divisi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejaksaan Negeri Makassar,dan di Lembaga Pemasyarakatan Makassar dengan mewawancarai tersangka secara langsung.

Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1.) Menurut Kejaksaan Negeri Makassar segala sesuatu yang terkait dengan penyampaian informasi yang merupakan hak dari seorang tersangka telah disampaikan kepada tersangka langsung maupun kepada kuasa hukumnya tetapi menurut tersangka bahwa tersangka tidak memperoleh informasi yang lengkap dan mendetail dengan alasan kepentingan penyidikan dan tidak berdasarkan pada Pasal 51-57 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 2.) menurut Kejaksaan Negeri Makassar sistem pengawasan di lembaga kejaksaan guna mencapai rencana stratejik secara efektif dan efisien,digunakan sistem pengawasan melekat. Sistem Pengawasan melekat adalah pengawasan yang dilaksanakan oleh pimpinan satuan kerja terhadap bawahannya untuk mengarahkan seluruh kegiatan pada setiap unit kerja.

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirrabbil alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan kepada

ALLAH SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir untuk mencapai

gelar Sajana Hukum (S.H) Jurusan Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin.

Seluruh kegiatan penyusunan skripsi ini tentunya tidak akan berjalan lancar

tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Untuk itu, maka

izinkanlah penulis untuk menghaturkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak

yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Dengan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Rektor Universitas Hasanuddin, Prof.Dr.dr.Idrus

Paturusi,Sp.B.,Sp.BO beserta jajarannya.

2. Dekan Fakultas Hukum Unhas,

Prof.Dr.Aswanto,S.H.,M.Si.,DFM beserta jajarannya, Prof. Dr.

Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H., Dr. Anshory Ilyas, S.H., M.H.,

dan Bapak Romi Librayanto, S.H., M.H.

3. Terima Kasih untuk orang tua tercinta Ir. Tajuddin Lammase

dan Bonita Latief atas dukungan dan supportnya selama

vii

menjalani hidup. Serta adik adikku tercinta dan terkasih

aan,dini,dan dika. Hidupku tak kan sempurna tanpa kalian.

4. Terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak H.M Imran Arief

S.H.,M.S selaku dosen pembimbing I dan Bapak Kaisaruddin

Kamaruddin S.H selaku pembimbing II. Penulis sangat

beruntung bisa dibimbing oleh kedua dosen yang menurut

penulis sangat dedikatif, dan juga memberikan arahan, serta

support.

5. Terima kasih kepada tim penguji ujian skripsi dan ujian proposal

Prof.Dr.H.M.Said Karim,S.H M.H Prof.Dr.Andi Sofyan,S.H M.H

dan Nur Azisa,S.H M.H yang telah memeriksa dan memberikan

masukan positif sehingga penulisan skripsi ini jauh lebih baik.

6. Terima kasih kepada seluruh Dosen pengajar Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin atas ilmu yang telah diberikan kepada

penulis selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

7. Terima kasih penulis ucapkan kepada Mustafa Bola,S.H M.H

selaku Penasehat Akademik yang telah meluangkan waktu

untuk berkonsultasi mengenai perkuliahan.

viii

8. Terima Kasih saya ucapkan kepada Abdul Razaq Amir yang

telah membantu baik jiwa dan raga serta batin dan dukungan

moral serta material yang tiada putus-putusnya,you’re the best I

ever had.

9. My Soulmate in crime, geng SONS tercinta yg selalu break the

rule Dea

islami,Vivi,Andi,Ilham,Ayi’,Fauzi,Azlansyah,Firyal,Adiyath,Calvin

,Doni dan saudara-saudaraku yang lainnya yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu yang sudah menemani dari SMA hingga

sekarang.

10. Terima Kasih untuk geng BRIZIQQHH ku terkasih dan terheboh

Ima,Ocya,Mistri,Myla,Inyol,Dyla,Rinsy,Iona,Emon yang selalu

menemani dalam keadaan suka maupun duka selama kuliah.

11. Terima Kasih untuk geng FREAKZZ

Fya,Ibot,Afifah,Dinda,Adintya dan yang lainnya yang tidak bisa

saya sebutkan satu persatu yang selalu ada disaat lagi kosong

dirumah.

12. Terimakasih kepada teman-teman Fakultas Hukum lainnya

Amy, Kiham, Nunu, Novia, Aya,Adel, Irham, Fandy,Bon dan

ix

yang lainnya makasssiiiihhhhh bangeeettttt teman pelengkap

gossip di kampus.

13. Kakak-kakak seniorku yang paling the best sejagad raya kak

Eko Sapta Putra,kak Panjul,Kak Pendek,Kak Opha,Kak Acca dll

yang telah membantu penyelesaian skripsiku hihihi.

14. Keluarga besar Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) ku

tercinta yang memberikan pengalaman menarik dan tak

terlupakan selama masa kuliah. Yang merah memang lebih

asyik.

15. Teman-teman KKN 82 Posko Watang Suppa Pinrang

Echa,Acos,Kambu,Akbar,Ikhsan,Dede,dan lain lainnya. Mama

aji ku tersayang “Aku rindu udang buatanmu”.

16. Teman-teman DOKTRIN 2009 yang tidak dapat yang saya

sebutkan satu per satu, terima kasih telah sama-sama berjuang

untuk meraih gelar Sarjana Hukum.

17. Seluruh staff akademik Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, terima kasih atas bantuannya. Dan Hj. Sanny

sebagai pemilik Sunny Café yang dengan baik hati

membolehkan penulis beruhutang dikala kere.

x

Dan semua pihak yang tak dapat penulis tuliskan namanya satu persatu,

terima kasih atas segala bantuan dan sumbangsinya baik itu moral maupun

materil dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini. Dengan segala

keterbatasan penulis hanyalah manusia biasa dan tak dapat memberikan

yang setimpal atau membalasnya dengan apa-apa kecuali memohon

keridhoan yang maha kuasa agar kiranya bantuan tersebut dapat berbuah

pahala dan mendatangkan fitrah bagi kita semua.

Pada akhirnya semoga keikhlasan yang telah dipersembahkan kepada

penulis mendapat rahmat dan hidayah dari yang maha mengetahui.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Karenanya, penulis membuka diri

terhadap kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini, sehingga dapat

memberikan manfaat bagi kita semua.

Tak ada gading yang retak, tak ada manusia yang tak sempurna apabila

ada kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaafkan. Billahi taufik wal

hidayah.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar. Maret 2013

P e n u l i s

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………… . ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………… iii

LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ……………………… iv

ABSTRAK ……………………………………………………………………………... v

UCAPAN TERMA KASIH ................................................................................... vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian-Pengertian ...................................................................... 9

1. Tindak Pidana ............................................................................... 9

2. Pidana Korupsi .............................................................................. 17

3. Penyidik dan Penyidikan .............................................................. 22

4 Hak Tersangka/Terdakwa dalam Peradilan Pidana ……………… 26

B. Peran dan wewenang Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana

korupsi ……….. ................................................................................... 30

1. Peran ……………………………………………………………… ....... 30

2. Wewenang ……………………………………………………… ......... 33

xii

C. Asas Asas Hukum Pidana ..................................................................... ….35

1. Percobaan ( Poging.Atemp) …………………………………… ........ 35

2. Penyertaan ( Deelneming ) ……………………………………. ........ 39

3. Perbarengan Tindak Pidana ( Concursus ) …………………….. ..... 44

4. Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ) ………………………. ..... 50

D. Pidana dan Pemidanaan …………………………………… ...................... 55

1. Pengertian Pidana ………………………………………………… ..... 55

2. Teori Pemidanaan ………………………………………………… ..... 56

BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian ................................................................................ 61

B. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 61

C. Jenis Dan Sumber Data...................................................................... 62

D.Teknik Analisis Data ............................................................................ 63

BAB VI HASIL PENELITIAN

A. Pemenuhan Hak Tersangka Dalam Memperoleh Informasi dalam

Penanganan Perkara Korupsi ………………………………………………. 64

B. Proses Pengawasan Terhadap Kejaksaan Negeri Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi ………………………………………………………. 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……………………………………………………………………. 70

B. Saran …………………………………………………………………………... 70

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 1 ayat (3). Hal ini berarti bahwa

seluruh aspek kehidupan di Negara ini diatur berdasarkan aturan hukum.

Dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum di

Indonesia,diperlukan produk hukum dalam hal ini undang-undang yang

berfungsi sebagai pengatur segala tindakan masyarakat sekaligus

sebagai alat paksa kepada masyarakat. Hal ini juga tentu saja

dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang telah

dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional tersebut di atas, maka

pemerintah Republik Indonesia sejak era orde lama sampai dengan era

2

reformasi sekarang ini telah melakukan langkah-langkah kongkret antara

lain senantiasa berupaya untuk mewujudkan penegakan supremasi

hukum di Indonesia. Salah satu wujud dari upaya penegakan supremasi

hukum tersebut adalah dengan terus berusaha mengoptimalkan kerja

aparat penegak hukum dan memproduksi Undang-Undang yang tentu

saja merupakan dasar dari pelaksanaan penerapan hukum itu sendiri.

Salah satu perubahan yang paling menonjol dalam upaya

penegakan supremasi hukum di Indonesia adalah mengenai penangan

tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi memang merupakan

masalah terbesar bangsa ini dan telah mengakibatkan kacaunya

perekonomian di Indonesia yang akhirnya berimbas pada menurunnya

tingkat kesejahteran masyarakat di negeri ini.

Korupsi bukanlah suatu hal yang asing bagi setiap kalangan

masyarakat di dunia. Bahkan hal ini merupakan masalah terbesar di

Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Definisi tentang korupsi

sendiri dapat dipandang dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin

ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste

(septachandrashmh.blogger), korupsi didefinisikan 4 jenis:

1. Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya

kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya

bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para

anggota organisasi.

3

2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud

mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan

regulasi tertentu.

3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud

untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui, penyalahgunaan

wewenang dan kekuasaan.

4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary

yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Menurut Fockema Andrea kata korupsi berasal dari bahasa Latin

Corruptio atau Corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya

disebutkan bahwa Corruptio itu berasal pula dari kata asal Corrumpere,

suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak

bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, Corrupt; perancis yaitu

Corruption; Belanda yaitu Corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan

diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia,

yaitu “korupsi”. Arti harfiah dari kata ini adalah kebusukan, keburukan,

kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan

dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Sementara itu di Indonesia pengertian korupsi secara normatif diatur

dalam UU No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat tentang

pengertian tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara

4

melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan

atau perekonomian negara.

Indonesia memang sangat serius dalam upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi, terbukti pada tahun 2003 berdasarkan Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dibentuklah satu komisi yang khusus menangani tindak

pidana korupsi di Indonesia yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri diberi kewenangan yang begitu

luas, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak hanya memiliki

kewenangan untuk menyidik tetapi juga diberi kewenangan untuk

melakukan penuntutan.

Hal tersebut tentu saja menuai pro dan kontra di masyarakat,

khususnya mengenai eksistensi kewenangan penuntutan. Secara tidak

langsung, lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi memang sedikit

mengebiri kewenangan Kejaksaan Republik Indonesia yang sebelumnya

merupakan satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenagan

untuk melakukan penuntutan.

Eksistensi kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan dalam sistem

hukum nasional dapat dilihat dari Undang-undang Dasar 1945 yang

mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem

ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan

5

kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun

2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat

dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses

perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai

terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah

menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana

penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana. Selain itu

dapat pula dilihat dari Pasal 1 butir 13 KUHAP yang menegaskan bahwa

Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-

undang untuk melakukan penuntutan dan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan

dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai

lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan, kejaksaan memiliki 3 kewenangan dalam

penyelesaian tindak pidana korupsi, yaitu :

A. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi

B. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana

Korupsi

6

C. Kewenangan Kejaksaan Dalam Pelaksanaan Putusan

Pengadilan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya secara tegas telah

mengatur bahwa perkara korupsi yang ditangani oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi adalah perkara korupsi yang nilainya di atas Rp.

500.000.000 atau perkara korupsi yang menjadi perhatian masyarakat

umum, selebihnya masih tetap ditangani oleh kejaksaan.

Kedua lembaga penegak hukum ini, baik Komisi Pemberantasan

Korupsi maupun Kejaksaan Republik Indonesia diharapkan dapat bekerja

maksimal untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia dengan

tetap mengedepankan asas-asas hukum yang berlaku di Indonesia. Salah

satu asas yang dimaksud adalah asas transparansi.

Penerapan asas transparansi tentu saja menjadi penting guna

tetap menjaga seluruh hak dan kepentingan para pencari keadilan, baik

itu kepentingan masyarakat secara umum maupun kepentingan terdakwa

kasus korupsi itu sendiri. Hal ini demi menunjang terciptanya rasa

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Pada prakteknya sekarang ini, penanganan tindak pidana korupsi

khususnya di daerah yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri terkesan

sangat tertutup. Masyarakat sangat sulit untuk mengakses dan

memperoleh informasi terkait penanganan tindak pidana korupsi. Selain

7

masyarakat umum, terdakwa korupsi atau kuasa hukumnya terkadang

juga sangat sulit untuk memperoleh informasi perkembangan penanganan

perkaranya, padahal hal tersebut merupakan hak dari terdakwa itu sendiri.

Hal ini tentu saja tidak sejalan dan selaras dengan prinsip asas

transparansi yang menjamin bahwa setiap penanganan tindak pidana

harus senantiasa terbuka dan mudah diakses oleh siapa pun khususnya

oleh pihak terkait dalam hal ini terdakwa atau kuasa hukumnya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Penulis kemudian tertarik

untuk membuat skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH INFORMASI DALAM

PERKARA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN dengan secara khusus

mengambil contoh kasus perkara Nomor : 469/pid.B/2011/PN.MKS jo.

Perkara No. 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks jo. Perkara No. 1043

K/PID.SUS/2012

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka Penulis

menarik rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pemenuhan hak tersangka dalam memperoleh

informasi dalam perkara korupsi?

8

2. Bagaimana pelaksanaan pengawasan terhadap Kejaksaan dalam

penanganan tindak pidana korupsi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Mengetahui hak tersangka dalam memperoleh informasi mengenai

penanganan perkara korupsi

2. Mengetahui pelaksanaan pengawasan terhadap Kejaksaan dalam

penanganan perkara tindak pidana korupsi di daerah.

Kegunaan dari penelitian ini adalah :

1 Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum

pidana khususnya mengenai penerapan asas transparansi oleh

Kejaksaan Negeri dalam penanganan tindak pidana korupsi di

daerah

2 Sebagai sumbangan pemikiran/masukan kepada aparat penegak

hukum

3 Bagi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, hasil

penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan

perbendaharaan perpustakaan yang diharapkan berguna bagi

mahasiswa dan mereka yang ingin mengetahui dan meneliti lebih

jauh tentang masalah ini

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A Pengetian - pengertian

1. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana (delik) berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam

Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia

Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang yang dimaksud

dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk

memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada

keseragaaman pendapat.

Adami Chazawi (2001:67-68) menerangkan bahwa di Indonesia sendiri

dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah

strafbaar feit (Belanda). Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam

perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum

sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit antara lain adalah tindak pidana,

peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum,

perbuatan yang dapat dihukum dan yang terakhir adalah perbuatan pidana.

10

Strafbaar feit, terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh

istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata

straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar

diterjemahkan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan

dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Secara letterlijk, kata ”straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh

dan “feit” adalah perbuatan. Sedangkan dalam bahasa Belanda “feit” berarti

“sebagian dari suatu kenyataan” dan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”,

sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” dapat diterjemahkan

sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.

Adapun istilah yang dipakai Moeljatno dan Roeslan Saleh (Andi

Hamzah, 2008:86) dalam menerjemahkan strafbaar feit adalah istilah

perbuatan pidana, namun Ter Haar (R Moeljatno, 2008:18) memberi defenisi

untuk delik yang tiap-tiap pengganguan keseimbangan dari satu pihak atas

kepentingan penghidupan seseorang atau sekelompok orang.

Menurut Bambang Waluyo (2008:6), pengertian tindak pidana (delik)

adalah perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (strafbare feiten). R

Abdoel Djamali (2005:175) menambahkan bahwa peristiwa pidana yang juga

disebut tindak pidana (delik) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan

yang dapat dikenakan pidana.

11

Selanjutnya menurut Pompe (Lamintang, 1997;182), perkataan “strafbaar

feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak

dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan

hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.

Menurut Samidjo (Pipin Syarifin, 2000:1),pengertian hukum pidana sendiri

secara tradisional adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang

mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam

dengan hukuman berupa siksa badan.

Sedangkan Moeljatno (Pipin Syarifin, 2000:1-2) menguraikan berdasarkan

dari pengertian istilah hukum pidana bahwa :

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.

Tindak pidana (delik) dalam Hukum Pidana yang merupakan salah satu

terjemahan dari istilah "strafbar feit” (Belanda). Istilah strafbaar feit

diterjemahkan secara berbeda-beda oleh sarjana hukum pidana antara lain

12

tindak pidana, perbuatan pidana atau pengabaian melawan hukum serta

beberapa istilah lain.

Untuk memberi gambaran secara jelas tentang pengertian tindak

pidana atau delik, berikut ini Penulis kemukakan beberapa pandangan ahli

hukum, antara lain:

Moeljatno (Adami Chazawi, 2001:71) menggunakan istilah perbuatan pidana,

yang didefinisikan beliau menyatakan bahwa:

Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut

Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut:

1. Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan

manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya.

Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman

pidana (yang ditujukan pada orang), ada hubungan yang erat. Oleh

karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang

ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang

ditimbulkan perbuatan tadi ada hubungannya erat pula.

3. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih

tepat menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu pertama, adanya

orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.

13

Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana, seperti tercermin

dalam istilah yang beliau gunakan dan rumusannya menampakkan

bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan

ini sering disebut pandangan dualisme juga dianut oleh banyak ahli,

misalnya:

Pompe (Lamintang, 1997 : 182) memberi pengertian straafbar feit itu

dari dua (2) segi, yaitu:

1. Dari segi teoritis, straafbaar feit itu dapat dirumuskan sebagai

suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib umum) yang

dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh

seseorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku

tersebut adalah perlu, demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum.

2. Dari segi hukum positif, straafbar feit itu sebenarnya adalah

tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan

undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat

dihukum.

Selanjutnya, beliau menyatakan bahwa perbedaan antara segi teori

dan segi hukum positif tersebut hanya bersifat semu, oleh karena dari

segi teori tidak seorangpun dapat dihukum kecuali apabila tindakan itu

memang benar-benar bersifat melawan hukum dan telah dilakukan

dengan kesalahan (schuld), baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja.

Sedangkan dari segi hukum positif, tidak ada suatu kesalahan tanpa

adanya suatu ”wederrechtelikheid". Dengan kata lain untuk menjatuhkan

suatu hukuman (Pidana) tidaklah cukup apabila hanya perbuatan pidana,

14

melainkan juga harus ada kemampuan bertanggungjawab, atau

seseorang yang dapat dipidana apabila straafbaar feit yang telah ia

lakukan tidak bersifat "wederrechtelikheid" dan telah dilakukan, baik

dengan sengaja maupun tidak dengan disengaja.

Vos (Adami Chazawi, 2001:72) merumuskan bahwa suatu stratbaar

feit adalah suatu "kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan

perundang-undangan."

R. Tresna (Adami Chazawi, 2001:72-73) menyatakan walaupun sangat

sulit untuk merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa

pidana, namun beliau menarik satu definisi, yang menyatakan bahwa:

Peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan

manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan

perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakannya

tindakan penghukuman

Dapat dilihat bahwa rumusan itu tidak memasukkan unsur yang

berkaitan dengan pelakunya. Selanjutnya R. Tresna (Adami Chazawi,

2001:73) menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu mempunyai

syarat-syarat, yaitu:

1. Harus ada suatu perbuatan manusia;

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam

ketentuan umum;

15

3. Harus terbukti adanya "dosa" pada orang yang berbuat, yaitu

orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan ;

4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya

dalam undang-undang.

Dengan melihat pada syarat-syarat peristiwa pidana itu yang

dikatakan R. Tresna, ternyata terdapat syarat yang telah mengenai diri si

pelaku, seperti pada syarat ke-3. Tampak dengan jelas bahwa syarat itu

telah dihubungkan dengan adanya orang yang berbuat melanggar

larangan (peristiwa pidana) tersebut, yang sesungguhnya berupa syarat

untuk dipidananya bagi orang yang melakukan perbuatan itu bukan syarat

peristiwa pidana.

Jika di atas diterangkan tentang pandangan dualisme yang

memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang

melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana, ada pandangan lain

yakni pandangan monisme yang tidak memisahkan antara unsur-unsur

mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Ada

beberapa ahli hukum yang berpandangan monisme ini, dalam

pendekatan terhadap tindak pidana antara lain:

J.E Jonkers (Pipin Syarifin, 2000:53-54) memberikan defenisi strafbaar

feit menjadi dua pengertian yaitu sebagai berikut:

16

1. Definisi pendek strafbar feit adalah suatu kejadian (feit) yang

diancam pidana oleh undang-undang;

2. Defenisi panjang, strafbaar feit adalah suatu kelakuan melawan

hukum yang dilakukan dengan sengaja atau karena alpa oleh

orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Jalan pikiran menurut

definisi pendek hakikatnya menyatakan bahwa setiap delik yang

dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat

oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat

menyalahi ketetapan yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Adapun definisi yang panjang menitikberatkan pada sifat melawan

hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur

yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik, atau

unsur-unsur tersembunyi yang secara diam-diam dianggap ada.

Simons (Lamintang, 1997:185) telah merumuskan strafbaar feit itu

sebagai berikut:

Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Selanjutnya, Wirjono Prodjodikoro (Adami Chazawi, 2002:75)

menyatakan bahwa Tindak pidana itu adalah "suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.”.

17

Berdasarkan berbagai rumusan tentang tindak pidana, maka dapat

disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan

hukum yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana. Sehubungan

dengan apa yang diuraikan di atas, sangat penting artinya jika Penulis

menguraikan unsur-unsur tindak pidana.

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari

dua sudut pandang, yakni: dari sudut teoritis; dan dari sudut undang-

undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang

tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang

adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi

tindak pidana tertentu dalam Pasal-Pasal peraturan perundang-undangan

yang ada.

2. Pidana Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai di

mana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara

dihadapkan dengan masalah korupsi, tidak berkelebihan jika

pengertian Korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan

perubahan zaman, bagaimana cara penanggulangannya demikian

pula perkembangannya.

18

Andi Hamzah, dalam bukunya yang berjudul Korupsi di

Indonesia (1984:9)menyebutkan bahwa:

kata Korupsi berasal dari kata latin “Corrupt io” (Fockema

Andreae; 1951) atau “Corruptus” (Webster Student Dictionary;

1960) selanjutnya disebutkan 'bahwa Corruptio itu berasal pula

dari kata asai Corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari

bahasa latin itulah turun kebahasa Eropa seperti Inggris

“Corruption”, Corrup, Prancis Corruption dan Belanda Corruptie

(Korruptie) dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan

sebutan Korupsi.

Selanjutnya Andi Hamzah, mengatakan bahwa :

arti Harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari

kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau

memfitnah.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh

Poerwadarminta (1976) menyebutkan bahwa :

arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan

kata Bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta

dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi ialah

perbuatan yang buruk seperti Penggelapan uang, penerimaan

uang sogok dan sebagainya.

Istilah korupsi sejak dahulu telah dikenal dari beberapa

perundang-undangan korupsi yang pernah berlaku di Indonesia yaitu :

Istilah Korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum

Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang No.

Prt/Perpu/013/1958, tentang Peraturan Pemberantasan

19

Korupsi, kemudian dimasukkan juga dalam Undang-Undang

No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan

Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini

kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang- Undang No.

3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

yang kemudian sejak tanggai 16 Agustus 1999 digantikan

dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan akan mulai

berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16

Agustus 2001), kemudian diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2001 tanggai 21 Nopember 2001.(Darwan

Prinst, 2002,1).

Jika dibandingkan dengan beberapa negara, maka istilah

korupsi mempunyai pengertian yang sedikit berbeda dengan Indonesia

karena:

istiiah Korupsi di beberapa negara, dipakai juga untuk

menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi

banyak dikaitkan dengan ketidak jujuran seseorang dibidang

keuangan. Banyak istiiah dibeberapa negara: “Gin moung”

(Muangthai), yang berarti makan bangsa, “tanwu”(Cina) yang

berarti keserakahan bernoda: Oshoku (Jepang) yang berarti

kerja kotor. (Martiman Prodjohamidjojo, 2001, 7-8).

Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi tidak memberikan pengertian tentang korupsi

akan tetapi dalam undang-undang ini disebutkan delik korupsi (tindak

Pidana) yang dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu:

1. Tindak Pidana Korupsi.

20

Tindak Pidana Korupsi ini terdiri dari Pasal 2 sampai dengan

Pasal 20. Delik korupsi menurut undang-undang ini dapat

dikelompokan sebagai berikut:

(1) Delik korupsi dirumuskan normatif, dalam Pasal 2 (1) dan Pasal

3.

(2) Delik dalam KUHP Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418,

420, 423, 425, 435, yang diangkat menjadi delik korupsi

masing-masing dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12.

(3) Delik Penyuapan aktif, dalam Pasal 13

(4) Delik korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain,

yang memberi kualifikasi sebagai delik korupsi dalam Pasal 14

(5) Delik korupsi percobaan, pemantauan, permufakatan dalam

Pasal 15.

(6) Delik korupsi dilakukan diluar teritori Negara Republik

Indonesia dalam Pasal 16.

(7) Delik korupsi dilakukan subjek badan hukum dalam Pasal 20.

(Martiman Prodjohamidjojo, 2001,19)

21

2. Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan tindak Pidana Korupsi.

Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana

Korupsi terdiri dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 yaitu :

(1) Mencegah, merintangi, menggagalkan penyidikan/ penuntutan pengadilan. (Darwan Prinst, 2002, 75)

(2) Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang No. 31 tahun 1999. Pasal 22 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 mengkualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 , Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar (Darwan Prinst, 2002, 79).

(3) Pelanggaran Pasal 23 Undang-Undang No. 31 tahun 1999. Pasal 23 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 mengatakan

bahwa Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasai

422, Pasal 429 atau PasaL 430 KUHP, dipidana penjara

paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun

dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga

ratus juta rupiah) (Darwan Prinst, 2002, 82).

(4) Pelanggaran Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. Pasal 24 Undang-Undang No. 31 tahun 1999. mengancam dengan pidana saksi yang tidak memenuhi ketentuan pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. Pasal 31 melarang saksi atau orang yang bersangkutan dengan pidana korupsi menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemugkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (Darwan Prinst, 2002, 90),

Tindak Pidana Korupsi pada umumnya memuat aktifitas yang

merupakan manifestasi dari perbuatan-peruatan korupsi dalam arti luas

mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang

22

pegawai negeri atau kedudukan yang istimewa yang dipunyai oleh seseorang

di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri

sendiri maupun orang yang menyuap sebagai dikualifisir sebagai delik (tindak

Pidana) korupsi dengan segala akibatnya yang berhubungan dengan hukum

pidana dan acaranya. (Martiman Prodjohamidjojo, 2001.20).

3. Penyidik dan Penyelidikan

Pengertian penyidik diatur dalam undang undang hukum acara pidana yang

terdapat pada Pasal 1 butir 1 yang rumusannya sebagai berikut ;

Penyidik adalah pejabat polisi Negara republik Indonesia atau PPNS

tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk

melakukan penyidikan.

Dari pengertian penyidik di atas, dan penjelasan undang undang disimpulkan

mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan yaitu ;

Pejabat POLRI ; dan PPNS yang diberi wewenang khusus oleh Undang

undang, selain penyidik dalam KUHAP dikenal pula penyidik pembantu,

ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 1 butir 3 KUHAP, yang

menyebutkan bahwa :

23

Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Negara republik Indonesia yang diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang diatur dalam undang undang ini.

Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1

butir 12 undang undang nomor 2 tahun 2002, yang menyatakan bahwa :

Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian Negara Indonesia yang diangkat oleh kepala kepolisian Negara republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang undang.

Hak yang diberikan kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30

Undang-Undang No 31 Tahun 1999 adalah hak untuk

membuka,memeriksa,dan menyita terhadap :

a. Surat yang dikirim melalui pos,telekomunikasi,atau alat lainnya,yang

dicuragai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi

yang sedang diperiksa

b. Kiriman yang dikirim melalui pos,telekomunikasi,atau alat lainnya yang

dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi

yang sedang diterima

Tugas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI adalah merupakan

penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai penyidik sangat

sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, karena penyidikan

merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana

yang nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.

24

Sedangkan pada Pasal 1 butir 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian

penyidikan, sebagai berikut ;

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk mencari

serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.

Selanjutnya Andi Hamzah (2010:119) kembali menyatakan bahwa

penyidikan ialah suatu isitilah yang dimaksud sejajar dengan pengertian

opsporing (Belanda). Dan Investigation (Inggris) atau penyiasatan/siasat

(Malaysia). Definisi penyidikan dalam bahasa belanda adalah sama dengan

opsporing.

Dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2001 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai tugas melakukan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dari ketentuan tersebut, bahwa penyidik dan penyelidik bukan hanya

polisi akan tetapi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana (KPK) diberi

wewenang juga untuk itu.

25

Penyidikan tidak terlepas dengan penyelidikan yang menurut Pasal 1

angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa

penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini dan yang dimaksud dengan Penyelidik

menurut Pasal 1 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah

pejabat polisi negera Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk melakukan penyelidikan dan menurut Pasal 6 Undang-Undang

No, 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

juga sebagai penyidik dan penyelidik.

Antara penyidikan dan penyelidikan adalah dua fase yang berwujud satu

antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan

pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian ditinjau dari beberapa

segi terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut yaitu dari segi

pejabat pelaksananya, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota Polri dan

pada dasamya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan

penyidik, wewenangnyapun sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan

atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga

merupakan tindak pidana, hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari

pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebutkan

26

dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b yaitu penangkapan, larangan meninggalkan

tempat, penggeledahan, penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret

seorang, membawa dan ,menghadapkan seorang pada penyidik.

4. Hak Tersangka/Terdakwa dalam peradilan pidana

Menurut Pasal 1 butir 14 dan 15 KUHAP pengertian tersangka dan terdakwa

adalah :

a. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya,berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai

pelaku tindak pidana

b. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut,diperiksa,dan diadili

di sidang pengadilan

Dari penjelasan di atas,baik tersangka maupun terdakwa adalah orang yang

diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti dan keadaan nyata

atau fakta.

Untuk kepentingan mempersiapkan hak pembelaan .

57), yang dapat dirinci :

a. Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang

dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya.

27

b. Berhak pemberitahuan yang demikian dilakukan pada waktuu

pemeriksaan mulai dilakukan terhadap tersangka.

c. Terdakwa juga berhak untuk diberitahukan dengan jelas dan dengan

bahasa yang dapat dimengerti tentang apa yang didakwakan

kepadanya.

d. Berhak memberi keterangan dengan bebas dalam segala tingkat

pemeriksaan,mulai dari tingkat pemeriksaan penyidikan dan

pemeriksaan siding pengadilan. Hak kebebasan member

keterangan,dapat diartikan member keterangan yang dianggap

tersangka/terdakwa paling menguntungkan baginya.

e. Berhak mendapat juru bahasa.

Hak untuk mendapat juru bahasa berlaku dalam setiap tingkat

pemeriksaan baik pada pemeriksa penyidikan maupun dalam

pemeriksaan pengadilan. Adalah suatu hak yang tak mungkin bagi

seseorang tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya,

jika terhadap dirinya diajukan dan dituduhkan sangkaan dan dakwaan

yang tak dimengerti olehnya.

f. Berhak mendapat bantuan hokum.

Guna kepentingan pembelaan diri,tersangka atau terdakwa berhak

mendapat bantuan hukum oleh seseorang atau beberapa orang

penasihat hukum,pada :

- Setiap tingkat pemeriksaan,dan

28

- Dalam setiap waktu yang diperlukan

g. Berhak secara bebas memilih penasihat penasihat hokum

Ketentuan Pasal 55 KUHAP ini pun bisa menimbulkan cacat dalam

praktek penegakan hukum, karena kebebasan dan hak memilih

penasihat hokum pasti akan menimbulkan praktek diskriminatif.

Tegasnya,dalam ketentuan Pasal 55 KUHAP ini hanya komoditi bagi

orang kaya yang punya duit

h. Dalam tindak pidana tertentu,hak mendapatkan bantuan hukum

berubah sifatnya menjadi “wajib”.

Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka atau

terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan diatur dalam Pasal 56

KUHAP:

a. Jika sangkaan atau dakwaan yang disangkakan atau didakwakan

diancam dengan tindak pidana:

- Hukuman mati

- Hukuman lima belas tahun atau lebih

Dalam kedua kategori ancaman hukuman ini,tidak dipersoalkan apakah

mereka mampu atau tidak. Jika mereka mampu boleh memilih dan

membiayai sendiri penasihat hukum yang dikehendakinya. Jika tidak mampu

menyediakan dan membiayai sendiri,pada saat itu timbul “kewajiban” bagi

29

pejabat yang bersangkutan untuk “menunjuk” penasihat hukum bagi

tersangka atau terdakwa.

b. Kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat

hokum bagi tersangka atau terdakwa,digantungkan pada dua

keadaan:

- Tersangka atau terdakwa “tidak mampu” menyediakan sendiri

penasihat hukumnya,dan

- Ancaman hukuman pidana yang bersangkutan atau didakwakan

lima tahun atau lebih

Kita lihat, pada kewajiban yang pertama tidak digantungkan pada

ketidakmampuan tersangka atau terdakwa mendapatkan penasihat hokum

digantungkan pada beratnya ancaman hukuman. Pokoknya jika tindak pidana

yang diancamkan kepadanya hukuman mati atau hukuman penjara lima

belas tahun atau lebih,tersangka atau terdakwa wajib mendapat bantuan

hukum dari penasihat hukum,baik atas usahanya sendiri maupun atas

penunjukan pejabat yang bersangkutan.

c. Penasihat hukum yang ditunjuk pejabat member bantuan hukum

adalah Cuma-Cuma

30

Dengan ketentuan ini,baik tersangka maupun terdakwa maupun Negara tidak

dibebani untuk membayar jasa bantuan yang diberikan penasihat hukum

yang ditunjuk.

B. Peran dan Wewenang Kejaksaan dalam penanganan tindak

pidana korupsi

1. Peran

Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan

kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang

berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh

Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan

kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya

merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang

menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan

sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan

dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,

penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI

sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

31

penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara

merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh

kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).

Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga negara yang merupakan

aparat pemerintah yang berwenang melimpahkan perkara pidana, menuntut

pelaku tindak pidana di pengadilan dan melaksanakan penetapan dan

putusan hakim pidana, kekuasaan ini merupakan ciri khas dari kejaksaan

yang membedakan lembaga-lembaga atau badan-badan penegak hukum

lain. Selain itu dalam tindak pidana umum Jaksa hanya sebagai penuntut

umum, tetapi dalam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa

berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka

diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari dan

mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan tersangkanya. Pada

dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan awal

dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana korupsi.

Sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi ,kejaksaan berwenang

untuk mengadakan penyelidikan dan penyidikan. Setelah penyidikan dirasa

oleh penyidik sudah selesai maka berkas perkaranya diserahkan kepada

kejaksaan selaku penuntut umum. Jaksa yang ditunjuk sebagai penuntut

umum setelah menerima berkas perkara segera memeriksa,apabila berkas

32

oleh penuntut umum dianggap kurang lengkap maka dalam waktu tujuh hari

atau sebelumnya, penuntut umum harus sudah mengembalikan berkas pada

penyidik disertai dengan petunjuk untuk kelengkapan berkas tersebut.

Apabila dalam waktu tujuh hari setelah menerima berkas perkara dari

penyidik penuntut umum tidak mengembalikan berkas, maka berkas tersebut

sudah lengkap. Dengan dikembalikannya berkas perkara oleh penuntut

umum pada penyidik disertai dengan petunjuk untuk kelengkapan berkas

maka penyidik harus mengadakan penyidikan lanjutan guna melengkapi

berkas selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari selesai dan dikirim

lagi pada penuntut umum bila penuntut umum berpendapat bahwa hasil

penyidikan dari penyidik sudah lengkap maka penyidik selanjutnya

menyerahkan tanggung jawab atas barangbukti dan tersangkanya. Penuntut

umum selanjutnya memeriksa hasil penyidikandari penyidik apakah dapat

dilakukan penuntutan atau tidak, bila dapat maka ia dalam waktu secepatnya

membuat surat dakwaan. Surat dakwaan ini sangat penting dalam

pemeriksaan perkara pidana. Sebab surat dakwaan merupakan dasar dan

menentukan batas-batas bagi pemeriksaan terdakwa dalam sidang.

2. Wewenang

Tugas dan Kewenangan Kejaksaan

Tugas dan kewenangan kejaksaan secara juridis formal terdapat didalam

undang-undang nomor 16 tahun 2004 yaitu Pasal 30 ayat 1-3. Dari isi Pasal

33

30 tersebut maka tugas dan kewenangan kejaksaan dapat dibagi kedalam

tiga bagian yaitu :

1. Dibidang Pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang,

a. Melakukanpenuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas

bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke

Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan

dengan penyidik.

2. Dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan dengan kuasa

khusus dapat bertindak didalam maupun diluar pengadilan untuk dan

atas nama Negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut

menyelenggarakan kegiatan :

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

34

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengamanan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic criminal.

Disamping itu kejaksaan juga memiliki tugas-tugas lain yaitu seperti

diatur dalam Pasal 31, 33 dan 34 UU nomor 16 tahun 2004 yaitu :

a. kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang

terdakwa dirumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang

layak

b. Membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan badan

Negara lainnya;

c. Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi

pemerintah lainnya;

Disamping tugas dan kewenangan kejaksaan, khusus Jaksa Agung

oleh UU nomor 16 tahun 2004 juga mengatur tugas dan kewenangan Jaksa

Agung yaitu didalam Pasal 35, 36,37 UU nomor 16 tahun 2004.

Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan secara

eksplisit telah menyebutkan secara tegas bahwa kejaksaan memiliki

kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam

35

Pasal 30 ayat (1) huruf d yaitu melakukan penyelidikan terhadap tindak

pidana tertentu. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan tindak pidana tertentu adalah tindak pidana Korupsi dan Pelanggaran

HAM. Dengan bunyi Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 tahun 2004

maka secara juridis formil kejaksaan telah memiliki kewenangan dalam hal

melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM.

Adapun wewenang lain yang dimiliki Kejaksaan yaitu “ Wewenang

Rangkap/Ganda” yaitu “Wewenang penyidikan sekaligus penuntutan” dalam

proses hukum pidana sebagaimana bersumber pada Pasal 30 UU Nomor 16

Tahun 2004, maka dapat dipastikan bahwa mekanisme check and balances

dalam proses hukum tersebut telah terabaikan atau dengan kata lain

wewenang rangkap/ganda yang dimiliki Kejaksaan dimaksud terlaksana

tanpa kendali dan tanpa pengawasan horizontal maupun vertical sehingga

sangat rentan dan potensial untuk terjadinya kesewenang-wenangan dan

ketidakadilan serta ketidakpuasan hukum.

C. Asas Asas Hukum Pidana

1. Percobaan ( Poging,Atemp )

Pada umumnya,kata “Percobaan” atau poging berarti suatu upaya

mencapai suatu tujuan yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.

36

Dalam buku pidana,”Percobaan” merupakan suatu pengertian teknik yang

agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada

umumnya adalah bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal

“Percobaan”,maka sudah tetap bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak

tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada,dan maka dari itu tidak menjadi

persoalan.

Di dalam Bab IX Buku KUHP ( tentang arti beberapa istilah yang di pakai

dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi

“percobaan”. KUHP hanya merupakan batasan mengenai kapan dikatakan

ada percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal

53 (1) yang rumusannya sbb

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana/jika niat untuk itu telah ternyata/dari adanya permulaan pelaksanaan/dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata,mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.

Redaksi pasal di atas jelas tidak merupakan suatu definisi,tetapi hanya

merumuskah syarat-syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas antara

percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana.

Percobaan yang dapat dipidana menurut sistim KUHP bukanlah

percobaan terhadap semua jenis tindak pidana. Yang dapat dipidana

hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa “kejahatan”

saja,sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana. Hal ini

37

ditegaskan pula dalam Pasal 54 KUHP. Hanya perlu dicatat bahwa ketentuan

umum dalam Pasal 53 (1) di atas tidak berarti bahwa percobaan terhadap

semua kejahatan dapat dipidana. Ada percobaan terhadap kejahatan-

kejahatan tertentu yang tidak dipidana,misalnya :

1. Percobaan duel/ perkelahian tanding ( Pasal 184 ayat 5 KUHP);

2. Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan ( Pasal 302 ayat 4

KUHP);

3. Percobaan penganiayaan biasa ( Pasal 351 ayat 5 KUHP); dan

4. Percobaan penganiyaan ringan ( Pasal 352 ayat 2 KUHP);

Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang berdiri

sendiri ataukah hanya merupakan suatu delik yang tidak sempurna?

Mengenai sifat dari percobaan ini ada dua pandangan :

1. Percobaan dipandang sebagai strafausdehnungsgrund ( dasar/alasan

memperluas dapat dipidananya orang ). Menurut pandangan orang,

seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu tindak

pidana meskipun tidak memenuhi semua unsur delik,tetap dapat

dipidana apabila telah memenuhi rumusan Pasal 53 KUHP. Jadi sifat

percobaan adalah untuk memperluas dapat dipidananya orang,bukan

memperluas rumusan-rumusan delik. Dengan demikian menurut

pandangan ini,percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk

38

delik yang tersendiri ( delictum sui genenis ) tetapi dipandang sebagai

bentuk delik yang tidak sempurna ( delictum sui genenis ). Termasuk

dalam pandangan pertama ini ialah Hazewinke Suringa dan Oemar

Seno Adji (Amir ilyas 2012:2)

2. Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund.

(dasar/alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan ). Menurut

Barda Nawawi Arief,percobaan melakukan suatu tindak pidana

merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan

bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna,tetapi merupakan delik

yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa. Jadi

merupakan delik tersendiri ( delictum sui generis ).

Termasuk dalam pandangan kedua ini ialah Pompe dan Moeljatno.

Alasan Moeljatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri,ialah :

1. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu delik;

2. Dalam konsepsi “perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran

suatu delik didasarkan pada pokok pikiran adanya sifat berbahayanya

perbuatan itu sendiri bagi keselamatan masyarakat;

3. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan dalam bentuk delik yang

tidak sempurna ( onvolkomen delictsvorm ), yang ada hanya delik

selesai;

39

4. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik

yang berdiri sendiri dan merupakan delik selesai, walaupun

pelaksanaan dan perbuatan itu sebenarnya belum selesai, jadi baru

merupakan percobaan. Misalnya delik-delik makar ( aanslagdelicten )

dalam Pasal 104,106 dan 107 KUHP.

Mengenai contoh yang dikemukakan Moeljatno terakhir ini, dapat pula

misalnya dikemukakan contoh adanya Pasal 163 bis KUHP. Menurut

pasal ini suatu percobaan untuk melakukan pembujukan (poging tot

uitlokking ) atau yang biasa juga disebut pembujukan yang gagal

(mislukte uitlokking) tetap dapat dipidana, jadi dipandang sebagai delik

yang berdiri sendiri.

2. Penyertaan (Deelneming)

Kata “Pesertaan” (Deelneming aan Strafbare Feiten) berarti turut sertanya

seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana.

Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan hukum pidana

(strafbepaling) orang berkesimpulan bahwa dalam tiap tindak pidana hanya

ada seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana.

Dalam praktek ternyata sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam

peristiwa tindak pidana. Disamping itu si pelaku ada seorang atau beberapa

orang lain yang turut serta.

40

Hazewinkel-Suringa (Wirjono Prodjodikoro,2003:117) menceritakan

bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada si pelaku saja,dan

baru pada penghabisan abad ke-18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan

sampai dimana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat

dipertanggungjawabkan dan dikenai hukuman.

Hubungan antar peserta dalam penyelesaian Tindak Pidana tersebut dapat

bermacam-macam :

a. Bersama-sama melakukan sesuatu kejahatan

b. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu

kejahatan,sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk

melaksanakan tindak pidana tersebut.

c. Seorang saja yang melakukan/melaksanakan tindak pidana

sedangkan orang lain membantu dalam melaksanakan tindak pidana

tersebut.

Dalam beberapa literatur istilah Deelneming (Belanda); Complicity (Inggris);

Teilnahme/Tatermehrheit (Jerman); Participation (Perancis). Diartikan

sebagai:

1. Turut campur dalam peristiwa pidana ( Tresna )

2. Turut berbuat delik ( Karni )

3. Turut serta ( Utrecht )

41

4. Keturutsertaan ( Lamintang )

5. Pesertaan melakukan tindak pidana ( Wirjono Prodjodikoro)

Apa yang dimaksud dengan deelneming, tidak ada dijelaskan dalam

ketentuan umum Buku I KUHP. Dalam Pasal 55 KUHP hanya memberikan

kualifikasi siapa-siapa saja yang dapat digolongkan sebagai orang yang turut

melakukan tindak pidana, oleh karena itu dalam doktrin ada beberapa

pandangan tentang apa yang di maksud dengan Deelneming (Amir

Ilyas,2012:54).

Menurut Satochid Kartanegara (Amir Ilyas,2012:54) mengatakan,deelneming

pada suatu delik terdapat apabila dalam satu delik tersangkut beberapa

orang atau lebih dari seorang.

Menurut S.R.Sianturi (Amir Ilyas,2012:54) mengatakan, deelneming ialah

ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan

kata lain perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk

mewujudkan suatu tindak pidana.

Sedangkan munurut Moeljatno berpendapat bahwa,ada penyertaan apabila

bukan satu orang saja yang tersangkut dalam terjadinya perbuatan pidana

akan tetapi beberapa orang. Tersangkutnya dua orang atau lebih dalam

suatu tindak pidana dapat terjadi dalam hal :

1. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik,atau

42

2. Mungkin hanya seorang saja yang berkehendak (berniat) dan

merencanakan delik,tetapi delik tersebut tidak dilakukannya tetapi ia

mempergunakan orang lain untuk mewujudkan delik tersebut,atau

3. Mungkin seorang saja yang melakukan delik sedang orang lain

membantu orang itu dalam mewujudkan delik.

Rumusan ini terlihat pada Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang

rumusannya:

1. Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum; Ke-1 : Mereka melakukan,menyuruh melakukan,atau turut melakukan perbuatan itu; Ke-2 : Mereka yang dengan pemberian,kesanggupan,penyalahgunaan kekuasaan atau martabat,dengan paksaan,ancaman,atau penipuan atau dengan memberikan kesempatan,sarana,atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu;

2. Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatan-perbuatan yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan,serta akibat-akibatnya dapat diperhatikan.

Pasal 56

Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum :

Ke-1 : Mereka yang dengan sengaja membantu pada kejahatan itu dilakukan.

Ke-2 : Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan,sarana,atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana,yaitu :

43

1. Yang melakukan perbuatan (pleger). Orang ini ialah seorang yang

sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari

peristiwa pidana.

2. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen). Disini sedikitnya

ada dua orang,yang menyuruh (doen plegen) dan yang disuruh

(pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa

pidana,akan tetapi ia menyuruh orang lain.

3. Yang turut melakukan perbuatan (medepleger). “Turut melakukan”

dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada

dua orang,ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut

melakukan (medepleger) peristiwa pidana itu.

4. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokker). Orang itu

harus sengaja membujuk orang lain,sedang membujuknya harus

memakai salah satu dari jalan-jalan seperti dengan pemberian,salah

memakai kekuasaan dsb.

5. Yang membantu perbuatan (medeplichtig). Jika ia sengaja

memberikan bantuan tersebut,pada waktu atau sebelum (jadi tidak

sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan

sesudah kejahatan itu dilakukan,maka orang salah melakukan

perbuatan sekongkol atau tadah.

44

3. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus)

Menurut Zainal Abidin Farid dalam hal penyertaan satu delik dilakukan

oleh beberapa orang,dalam gabungan delik satu orang melakukan beberapa

delik. Gabungan delik (yang penulis lain memakai istilah perbarengan

sebagai terjemahan istilah Belanda (samenloop), adalah tersangka

mewujudkan lebih dari delik dan antara satu delik dan perbuatan ini tidak ada

penjatuhan pidana. Memori van Toelichting (memori penjelasan) WvS

(KUHP) rumusannya sebagai berikut :

Dezelfde persoon schuldig is aan meer dan een vergrijnp tegen de strafwet,terwijl nog geen dezer her eener regtelijke besslissing heeft iutgemaakt (orang yang sama bersalah melakukan lebih dari satu pelanggaran terhadap undang-undang pidana,sedangkan belum ada putusan hakim yang dijatuhkan atas hal itu). ( Noyon-Langemeijer Remmelink : Komentar atas pasal 55 Ned. Wvs)

Jika perbuatan-perbuatan tersebut diantara oleh penjatuhan pidana, ia

bukan gabungan delik tetapi residive. Artinya setelah melakukan delik ia

dipidana,kemudian melakukan delik lain lagi. Dalam gabungan delik,tidak

perlu diadili sekaligus,dapat pula dilakukan bertahap. Artinya,satu persatu

perbuatan (delik) itu disidangkan dan diputus oleh hakim. Akan tetapi,pidana

yang akan dijatuhkan diperhitungkan dengan pidana yang dijatuhkan

sebelumnya,berdasarkan aturan gabungan delik (Pasal 71 KUHP).

45

Seringkali perkara concursus disidangkan bertahap karena baru

ketahuan tersangka telah mewujudkan delik lain setelah dia diadili untuk delik

pertama.

Perbarengan merupakan permasalahan yang bertalian dengan

pemberian pidana. Dalam ajaran umum tentang perbarengan dibicarakan

maksimal ancaman pidana yang hendak diterapkan.

Beberapa tindak pidana itu pada waktu yang sama atau secara

bertahap harus diadili. Bentuk perbarengan jangan dicampur aduk dengan

residif. Ada perbarengan apabila dilakukan beberapa tindak pidana sebelum

salah satu tindak pidana itu diajukan kepengadilan. Tidaklah penting apakah

tindak pidana – tindak pidana itu diajukan kepengadilan pada waktu yang

sama atau secara bertahap ( Pasal 63 SR dari Belanda diganti dengan Pasal

71 KUHP)

1. Menurut Rumusan KUHP

Menurut Barda Nawawi Arief (Amir Ilyas,2012:109),sebenarnya

didalam KUHP tidak ada definisi mengenai concursus,namun demikian dari

rumusan pasal-pasalnya diperoleh pengertian sebagai berikut;

a. Ada Concursus Idealis,apabila (Pasal 63)

- Suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana

b. Ada perbuatan berlanjut,apabila (Pasal 64)

46

- Seseorang melakukan beberapa perbuatan.

- Perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau

pelanggaran.

- Antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa

sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

Catatan :

Mengenai unsur “ada hubungan sedemikian rupa sehingga

harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”,MvT

memberikan tiga kriteria:

1. Harus ada satu keputusan kehendak.

2. Masing-masing perbuatan harus sejenis

3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak

terlampau lama.

c. Ada Concursus Realis,apabila (Pasal 65):

- Seseorang melakukan beberapa perbuatan.

- Masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri-sendiri sebagai

suatu tindak pidana (kejahatan/pelanggaran); jadi tidak perlu

sejenis atau berhubungan satu sama lain.

Catatan :

Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan (pada concursus

realis dan perbuatan perbuatan berlanjut) harus belum ada

keputusan hakim.

47

2. Menurut Pendapat Para Sarjana

Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam pasal-pasal di atas menimbulkan

masalah yang cukup sulit.khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan

satu perbuatan. Kesulitan ini timbul karena dalam ilmu pengetahuan hukum

pidana, “perbuatan” (feit) itu ada yang meninjaunya secara materiil,secara

fisik jasmaniah,yaitu dipikirkan terlepas dari akibatnya,terlepas dari unsur-

unsur subjektif dan unsur-unsur tambahan (dikenal dengan ajaran feit

meteriil); dan ada pula yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang

dihubungkan dengan adanya akibat/keadaan yang terlarang.

Sehubungan dengan kesulitan itu,maka para sarjana (Amir

Ilyas,2012:110) mengemukakan beberapa pendapat sebagai berikut :

a. HAZEWINKEL-SURINGA

Ada Concurcus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi

rumusan delik,mau tidak mau (eo ipso) masuk pula dalam peraturan

pidana lain.

Misal :

- Perkosaan dijalan umum,disamping masuk Pasal 285

(perkosaan) juga mau tidak mau masuk Pasal 281 ( melanggar

kesusilaan dimuka umum)

48

b. POMPE

Ada Concursus Idealis,apabila orang melakukan suatu perbuatan

konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan merupakan benda/objek

aturan hukum.

Misal :

- Bersetubuh dengan anaknya sendiri yang belum 15 tahun;

perbuatan ini masuk Pasal 294 (perbuatan cabul dengan

anaknya sendiri yang belum cukup umur) dan Pasal 287

(bersetubuh degan wanita yang belum 15 tahun diluar

perkawinan).

c. TAVERNE

Ada Concursus Idealis,apabila :

- Dipandang dari sudut hukum pidana ada dua perbuatan atau

lebih ; dan

- Antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas

satu sama lain.

Misal :

- Orang dalam keadaan mabuk mengendarai mobil diwaktu

malam tanpa lampu. Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu

“mengendarai mobil”,tetapi dilihat dari sudut hukum ada dua

perbuatan yang masing-masing dapat dipikirkan terlepas satu

49

sama lain,yaitu : pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan

mabuk” (menggambarkan orang/pelakunya) dan kedua

“mengendarai mobil tanpa lampu diwaktu malam”

(menggambarkan keadaan mobilnya). Jadi dalam hal ini ada

concurcus realis

d. VAN BEMMELEN

Ada concursus idealis,apabila :

- Dengan melanggar satu kepentingan hukum.

- Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.

Misal :

- Perkosaan dijalan umum (melanggar Pasal 285 dan Pasal 281

KUHP). Khusus mengenai penjelasan MvT mengenai kriteria

untuk adanya “perbuatan berlanjut” seperti dikemukakan

diatas,simons tidak berpendapat. Mengenai syarat “ada satu

keputusan kehendak”,simons mengartikannya secara umum

dan lebih luas yaitu “tidak berarti harus ada kehendak untuk

tiap-tiap kejahatan”. Berdasar pengertian yang luas ini,maka

tidak perlu perbuatan-perbuatan itu sejenis,asal perbuatan itu

dilakukan dalam rangka pelaksanaan satu tujuan.

50

- Untuk melampiaskan balas dendamnya kepada B,A melakukan

serangkaian perbuatan-perbuatan berupa meludahi,merobek

bajunya,memukul dan akhirnya membunuh.

4. Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)

Residive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang

yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu

putusan hakim yang tetap (inkracht van gewijsde),kemudian melakukan suatu

tindak pidana. Perbedaannya ialah bahwa pada residive sudah ada putusan

hakim yang berkekuatan tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak

pidana yang dilakukan terdahulu atau sebelumnya. Recidive merupakan

alasan untuk memperkuat pemidanaan ( Barda Nawawi Arief,1993:66 )

Ada dua sistem pemberatan pidana berdasar adanya residive,yaitu

sistem :

1. Recidive Umum

Menurut sistem ini,setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana

apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja,merupakan alasan

untuk pemberatan pidana. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana

yang dilakukan maupun tenggang waktu pengulangannya. Dengan

tidak ditentukan tenggang waktu pengulangannya,maka dalam sistem

ini tidak ada daluwarsa recidive.

51

2. Recidive Khusus

Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan

pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap

pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan

yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.

Recidive Menurut KUHP

Pengulangan tindak pidana dalam KUHP tidak diatur secara umum

dalam “aturan umum” Buku I,tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok

tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan didalam Buku II maupun

yang berupa pelanggaran didalam buku III.

Adapun syarat-syarat recidive untuk tiap-tiap tindak pidana,baik

terhadap kejahatan maupun pelanggaran,dibicarakan berturut-turut dibawah

ini.

1. Recidive Kejahatan

Dengan dianutnya sistem recidive khusus,maka recidive kejahatan

menurut KUHP adalah residive “kejahatan-kejahatan tertentu”.

Mengenai recidive kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP

membedakan antara lain :

52

a. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang “sejenis”

diatur secara tersebar dalam sebelas pasal tertentu Buku II KUHP

yaitu dalam Pasal 137 (2),144 (2),155 (2),157 (2),161 (2),163

(2),208 (2),216 (3),321 (2),393 (2) dan 303 bis (2).

b. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam

satu “kelompok jenis” diatur dalam Pasal 486,487 dan 488 KUHP

2. Recidive Pelanggaran.

Dengan dianutnya sistem recidive khusus,maka residive pelanggaran

menurut KUHP juga merupakan recidive terhadap pelanggaran-

pelanggaran tertentu saja yang disebut dalam buku III.

Ada 14 jenis pelanggaran didalam buku III KUHP yang apabila diulangi

dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana,yaitu

pelanggaran-pelanggaran terhadap :

a. Pasal 489 kenakalan terhadap orang atau barang;

b. Pasal 492 masuk dimuka umum merintangi lalu-lintas atau

mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain;

c. Pasal 495 memasang penangkap/alat untuk membunuh binatang

buas tanpa izin;

d. Pasal 501 menjual dan sebagainya makanan/minuman yang

dipalsu,busuk atau yang berasal dari ternak sakit atau mati;

e. Pasal 512 melakukan pencaharian tanpa keharusan/kewenangan

atau melampaui batas kewenangannya;

53

f. Pasal 516 mengusahakan tempat bermalam tanpa register/catatan

tamu atau tidak menunjukkan register tersebut kepada pejabat

yang memintanya;

g. Pasal 517 membeli dan sebagainya barang-barang anggota militer

tanpa izin;

h. Pasal 530 petugas agama yang melakukan upacara perkawinan

sebelum dinyatakan padanya bahwa pelangsungan dimuka pejabat

catatan sipil/B.S telah dilakukan;

i. Pasal 536 dalam keadaan mabuk berada dijalan umum;

j. Pasal 540 mempekerjakan hewan melebihi kekuatan atau

menyakitinya;

k. Pasal 541 menggunakan kuda muatan yang belum tukar gigi;

l. Pasal 544 mengadakan sabungan ayam/jangkrik dijalan umum

tanpa izin;

m. Pasal 545 melakukan pencaharian sebagai tukang ramal;

n. Pasal 549 membiarkan ternaknya berjalan dikebun/tanah yang

terlarang

Residive Diluar KUHP

1. Residive kejahatan diluar KUHP terdapat didalam Pasal 39 Undang-

Undang Narkotika (UU No.9 tahun 1976) yang berbunyi sebagai

berikut :

54

a. Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 16 ayat 1 sampai

dengan ayat 7 dapat ditambah dengan sepertiga jika terpidana

ketika melakukan kejahatan,belum lewat 2 (dua) tahun sejak

menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang

dijatuhkan padanya.

b. Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat 1

diancam dengan pidana denda,maka pidana denda tersebut

dikalikan dua.

Dari rumusan diatas terlihat,bahwa UU Narkotika menganut juga sistem

recidive khusus yaitu,baik tindak pidana yang diulangi maupun tenggang

waktu pengulangannya sudah tertentu.

2. Residive pelanggaran diluar KUHP terdapat antara lain didalam :

a. Pasal 11 (5) Ordonansi Perlindungan Cagar Alam

(Natuurbesehermingsondonnantie) S.1941 No 167;

b. Pasal 18 (2) Undang-undang kerja No.12 tahun 1948 jo UU No.1

tajin 1951;

c. Pasal 32 (2) dan 33 (2) Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan Raya No.3/1965.

Dalam peraturan-peraturan tersebut juga dianut sistem recidive khusus.

Tenggang waktu pengulangannya ada yang 1 tahun dan ada yang 2 tahun;

55

sedangkan pemberatan pidananya ada yang ditambah separuh,sepertiga dan

ada yang dilipatgandakan (dikalikan dua).

D.Pidana Dan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana

Muladi dan Barda Nawawi (1984: 4) menjelaskan bahwa pidana

mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang.

Lebih lanjut menurut Barda Nawawi Arief (1996: 136) menegaskan

bahwa apabila pengertian sistem pemidanaan diartikan secara luas sebagai

suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah

dikatakan bahwa sistem pemidanaan itu mencakup pengertian:

1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan.

56

2. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk

pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

3. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk

fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana.

4. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur

bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara

konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).

2. Teori Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya

diartikan sebagai hukum,sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai

penghukuman.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat,dapat

dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu

mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana,korban,dan

juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.

Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku

kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan

serupa.

57

Ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai

implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif

(retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view). Pandangan

retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap

perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga

pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap

kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-

masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat kebelakang (backward-

looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau

kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin

dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Disatu pihak, pemidanaan

dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di

pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari

kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan

berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat

pencegahan (detterence).

Adapun teori-teori pemidanaan dapat dibagi sebagai berikut :

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)

Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar

pembenaran dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada

penjahat. Negara berhak manjatuhkan pidana karena penjahat tersebut

58

telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan

kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah

dilindunginya.

Teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan

untuk praktis seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah

yang untuk dijatuhkannya pidana kepada pelanggar hukum.

Kant berpendapat bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana

terdapat di dalam apa yang disebut Kategorischen Imperative

menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu merupakan

suatu keharusan yang sifatnya mutlak, sehingga setiap pengecualian

atau setiap pembahasan yang semata-mata didasarkan pada suatu

tujuan itu harus dikesampingkan.

Dari teori tersebut , nampak jelas bahwa pidana merupakan suatu

tuntutan etika, dimana seseorang yang melakukan kejahatan akan

dihukum, dan hukuman itu merupakan suatu keharusan yang sifatnya

untuk membentuk sifat dan merubah etika dari yang jahat ke yang baik.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)

Dasar pemikirannya agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman,

artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya

mempebaiki sifat mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi,

59

dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Teori relatif atau teori

tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk

menegakkan tata tertib dalam masyarakat.

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu

mempunyai tiga macam sifat, yaitu :

1. Bersifat menakut-nakuti (Afscbrikking)

2. Bersifat memperbaiki (Verbetering/ reclasering)

3. Bersifat membinasakan (Onscbadelijk maken)

c. Teori Gabungan atau Teori Modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan adalah kombinasi dari teori absolut dan teori relatif,

teori ini mensyaratkan bahwa pemidanaan itu selain memberikan

penderitaan jasmani dan psikologis juga yang terpenting adalah

memberikan pemidanaan dan penderitaan.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hamel, dan Van List dengan

pandangan sebagai berikut (Djoko Prakoso,1988:47) :

a. Hal penting dalam pidana adalah memberantas kejahatan sebagai

suatu gejala masyarakat.

b. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus

bertujuan memperhatikan hasil studi antropologis dan sosiologis.

60

c. Pidana ialah satu dari yang paling efektif yang dapat digunakan

pemerintah untuk memberantas kejahatan.

61

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan objek penelitian yang

penulis kaji, Penulis memilih lokasi penelitian di Kota Makassar. Adapun

lokasi penelitian yaitu Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri

Makassar.

Penulis memilih tempat ini kerana sangat berhubungan dengan

penulisan skripsi utamanya dalam mengumpulkan serta mencari data yang

berhubungan dengan pengumpulan data yang penulis perlukan.

B. Teknik Pengumpulan Data

Agar suatu karya ilmiah dapat teruji secara ilmiah dan objektif, maka

dibutuhkan sarana untuk menemukan dan mengetahui lebih mendalam

gejala-gejala tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian

kebenaran karya ilmiah tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh data-data sebagaimana yang

diharapkan serta mempunyai ketertarikan dengan masalah yang penulis teliti,

maka adapun teknik pengumpulan data yang penulis lakukan yaitu berupa :

1) Penelitian Pustaka

62

Dalam penelitian ini penulis memperoleh data melalui jalan

membaca berbagai buku, majalah, Koran, jurnal ilmiah, dan

literature lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan materi

pembahasan, seperti mempelajari dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan penyelesaian perkara ini di pengadilan seperti

berita acara penyidik, penuntut umum, dan berita acara seperti

putusan.

2) Penelitian Lapangan

Dalam hal ini penulis mengadakan pengumpulan data dengan

wawancara langsung dengan objek yang terkait dengan penelitian,

dalam hal ini melakukan teknik interview (wawancara)..

C. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini Penulis menggunakan data yang mempunyai

hubungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, adapun jenis

sumber data yang penulis gunakan dibagi kedalam dua jenis yaitu :

1) Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara

secara langsung dengan pihak terkait sehubungan dengan

penulisan skripsi, dalam hal ini hakim Pengadilan Negeri

Makassar, jaksa, terdakwa maupun kuasa hukumnya

2) Data Sekunder

63

Data sekunder yaitu data yang penulis peroleh melalui bahan-

bahan laporan dan dokumen lain yang telah ada serta

mempunyai hubungan dengan masalah yang Penulis bahas

dalam penulisan skripsi.

D. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian dianalisis secara

kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menguraikan,

menjelaskan dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat

dengan penelitian ini.

Penggunaan teknik analisis kualitatif mencakup semua data yang telah

diperolah, sehingga membentuk deskripsi yang mendukung kualifikasi kajian

ini. Teknik analisis data yang digunakan dengan pendekatan kualitatif,

menjawab dan memecahkan serta pendalaman secara menyeluruh dan utuh

dari objek yang diteliti.

64

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. PEMENUHAN HAK TERSANGKA DALAM MEMPEROLEH

INFORMASI PENANGANAN PERKARA KORUPSI

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,hak tersangka

adalah sebagai berikut :

1. Hak untuk segera diperiksa,diajukan ke pengadilan,dan diadili.

(Pasal 50 ayat (1),(2), dan (3) sebagaimana penulis kutip

sebagai berikut :

Pasal 50

1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum

2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum

3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan

2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang

dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa

yang didakwakan. (Pasal 51 butir a dan b) sebagaimana penulis

kutip sebagai berikut:

Pasal 51

a. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa

65

yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.

b. Terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya

3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada

penyidik dan hakim seperti tersebut di muka. (Pasal 52)

sebagaimana penulis kutip sebagai berikut :

Pasal 52

Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.

4. Hak untuk mendapat juru bahasa. (Pasal 53 ayat (1)) Hak untuk

mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.

(Pasal 54) sebagaimana kami kutip sebagai berikut:

Pasal 53

1). Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177. 2). Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178. Pasal 54 Guna kepentingan pembelaan,tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

66

5. Hak untuk mendapat nasihat hukum dan penasihat hukum yang

ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat

pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam

pidana mati dengan biaya Cuma-Cuma.

6. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk

menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya.

(Pasal 57 ayat (2)) sebagaimana dikutip sebagai berikut :

Pasal 57

1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan

berhak menghubungi penasihat hukumnya sesuai

dengan ketentuan undang-undang ini

2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing

yang dikenakan panahanan berhak menguhubungi dan

berbicara dengan perwakilan negaranya dalam

menghadapi proses perkaranya.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap Joko

B Darmawan (wawancara dilakukan pada tanggal 13 Desember 2012).

Selaku Kepala Divisi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejaksaan Negeri

Makassar, terkhusus mengenani penanganan perkara korupsi nomor :

469/Pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara Nomor : 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks

untuk mengetahui bagaimana pemenuhan hak tersangka dalam memperoleh

informasi penanganan perkara korupsi, maka diperoleh keterangan bahwa

67

menurut pihak Kejaksaan Negeri Makassar segala sesuatu yang terkait

dengan penyampaian informasi yang merupakan hak dari seorang tersangka

telah disampaikan kepada tersangka langsung maupun kepada kuasa

hukumnya.

Adapun informasi-informasi yang telah disampaikan kepada tersangka

sebagaimana dimaksud antara lain adalah sebagai berikut :

a. Pemberitahuan mengenai pelimpahan berkas perkara dari tahap

penyidikan ke penuntutan;

b. Pemberitahuan mengenai pelimpahan berkas perkara dari jaksa

penuntut umum ke Pengadilan Negeri Makassar;

c. Pemberitahuan pada saat pelaksanaan Putusan.

Setelah melakukan wawancara dengan pihak Kejaksaan Negeri

Makassar,penulis juga melakukan wawancara dengan tersangka yaitu bapak

Ir.. TL (wawancara dilakukan pada tanggal 14 Desember 2012) Dari hasil

wawancara tersebut penulis memperoleh informasi bahwa tersangka tidak

memperoleh informasi yang lengkap dan mendetail.

Menurut penjelasan yang disampaikan kepada penulis, Bapak Ir. TL

telah berulangkali berusaha untuk memperoleh informasi dari Kejaksaan

maupun melalui kuasa kuasa hukumnya, namun tidak diberikan dengan

alasan kepentingan penyidikan. Bahkan ketika tersangka mengajukan

permohonan penangguhan penahanan yang kemudian ditolak,tersangka

sama sekali tidak memperoleh penjelasan mengenai alasan penolakan

68

Tersangka melalui kuasa hukumnya sebenarnya telah mengajukan

permohonan keberatan yang ditujukan langsung kepada Kejaksaan Agung

Republik Indonesia namun surat tersebut sama sekali tidak mendapat respon

dari pihak Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

B. PROSES PENGAWASAN TERHADAP KEJAKSAAN NEGERI

DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :

PER-038/A/JA/12/2009 tentang perubahan atas Peraturan Jaksa Agung

Republik Indonesia Nomor : PER-069/A/JA/07/2007 tentang ketentuan-

ketentuan Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia

tujuan dari pelaksanaan pengawasan tersebut adalah :

Agar Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

mampu mewujudkan kepastian hukum,ketertiban

hukum,keadilan,kebenaran berdasarkan hukum,dengan

mengindahkan norma keagamaan,kosapanan dan kesusilaan;

Agar setiap pegawai Kejaksaan mengemban tugasnya dengan baik

dan penuh rasa tanggung jawab serta menghindarkan diri dari

sikap,prilaku dan tutur kata yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

69

Sementara secara fungsi dari pengawasan melekat secara khusus diatur

dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-

038/A/JA/12/2009 tentang perubahan atas Peraturan Jaksa Agung Republik

Indonesia Nomor : PER-069/A/JA/07/2007 tentang ketentuan-ketentuan

Penyelenggaran Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia adalah

melaksankan pengawasan secara preventif agar tugas rutin dan

pembangunan serta sikap,prilaku dan tutur kata pegawai kejaksaan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan, rencana stratejik serta kebijakan

yang ditetapkan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.

Terkait dengan perkara Nomor : 469/Pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara

Nomor : 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks yang ditangani oleh

kejaksaan,berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis, perkara

tersebut telah berulangkali dilaporkan kepada pengawas kejaksaan dan

berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh

kejaksaan tidak terdapat kesalahan prosedural yang dilakukan oleh Jaksa

Penuntut Umum.

Menurut Joko B Darmawan keberatan yang diajukan oleh tersangka

bapak Ir. TL melalui kuasa hukumnya adalah informasi-informasi yang pada

dasarnya tidak dapat diberitahukan kepada tersangka karena hal tersebut

terkait dengan kepentingan penyidikan.

70

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis,maka ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Kejaksaan Negeri Makassar dalam menangani perkara Nomor :

469/Pid.B/2011/PN.MKS jo. Perkara Nomor : 05/Pid.Sus.Kor/2012/PT.Mks

telah memenuhi segala hak tersangka terkait penyampaian informasi;

2. Sistem pengawasan di Kejaksaan Negeri Makassar terhadap pelaksanaan

fungsi masing-masing unit kerja telah berjalan sebagaimana mestinya.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka penulis menyarankan hal-

hal sebagai berikut :

1. Aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Negeri Kota Makassar dapat

memperhatikan dan memenuhi seluruh hak-hak tersangka/terdakwa dalam

penanganan perkara.

2. Agar sistem pengawasan internal Kejaksaan terhadap kinerja para jaksa

dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya dapat lebih diperkuat lagi

sehingga tidak ada lagi oknum jaksa yang bertindak tidak sesuai dengan

fungsi dan kewenangannya.

71

3. Tersangka/terdakwa dapat senantiasa diberikan pemahaman dan

pengertian terhadap hak-haknya.

72

DAFTAR PUSTAKA

Abdoel R Djamali 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers Adami Chazawi. 2001. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 1).Malang : PT Rajagrafindo persada. Andi Hamzah.1983. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta : PT

Pradya Pramita. ____________. 2008. Asas - Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta ____________. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika ____________. 1984. Korupsi Di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Amir Ilyas. Asas Asas Hukum Pidana. Yogyakarta : Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta Amir Ilyas., Haeranah., Nur azizah., Dan Kaisaruddin. 2012. Asas Asas Hukum Pidana II. Yogyakarta : Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta Bambang Waluyo. 2008. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika Darwan Prinst. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT.

Citra Aditia Bakti Lamintang, P.A.F 1997. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana

Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung : 1997 Martiman Prodjohamidjojo. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam

Delik Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999). Bandung : Mandar Maju

73

Pipin Syarifin.2000 Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Pustaka Setia R Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta R Wiyono. 2005. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika Wirjono Prodjodikoro Asas Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung : PT Refika Aditama Perundang- Undangan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia

Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber Lain Putusan Mahkamah Konstitusi No 28/ PUU-V/ 2007 tentang Kewenangan Kejaksaan Menyidik Perkara Tindak Pidana Korupsi

http://ajhieb.blogspot.com/2010/11/tahap-penyidikan-dan-penuntutan.html

http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=1

www.hukumonline.com http://www.scribd.com/doc/83288291/Keterbukaan-Dan-Keadilan-Dalam

74

http://www.scribd.com/doc/47011271/Peranan-Kejaksaan-Dalam-Korupsi