36
A. SKRINING FITOKIMIA KARANG LUNAK (OCTOCORALLIA: ALCYONIINA) SEBAGAI POTENSI FARMASI DI DAERAH INTERTIDAL PERAIRAN TELUK MENTIGI LOMBOK UTARA, NTB B. LATAR BELAKANG MASALAH Karang lunak (Soft coral) kelompok alcyoniina, tersebar luas di seluruh dunia dan merupakan komponen penting ekosistem terumbu karang, terutama di daerah Indo-Pasifik (Chanmethakul, et al., 2010). Anggota karang ini ditemukan di perairan laut dari katulistiwa sampai ke perairan kutub, pada semua kedalaman dari daerah pasang surut (intertidal) sampai ke perairan terdalam (Manuputty, 1996). Kelompok ini menempati urutan kedua dalam ekosistem terumbu karang jika ditinjau dari jumlah serta ukuran koloninya. Ia memiliki tubuh yang lunak tetapi lentur. Jaringan tubuhnya disokong oleh kumpulan duri- duri kecil, mengandung kalsium karbonat yang disebut spikula. Disusun sedemikian rupa sehingga tubuhnya lentur dan tidak mudah sobek atau putus. Secara sepintas tampak seperti tumbuhan, karena bentuk koloninya bercabang seperti pohon, memiliki tangkai yang identik dengan batang dan tumbuh melekat pada substrat dasar yang keras (Manuputty, 1998). Kelompok karang ini umumnya bersifat allelofatik bagi lingkungannya, hal ini disebabkan oleh senyawa terpen (bioaktif) yang dikandungnya. Terpena adalah salah satu senyawa yang paling banyak ditemukan pada karang

Skrining Fitokimia Karang Lunak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Skrining Fitokimia Karang Lunak

A. SKRINING FITOKIMIA KARANG LUNAK (OCTOCORALLIA: ALCYONIINA) SEBAGAI POTENSI FARMASI DI DAERAH INTERTIDAL PERAIRAN TELUK MENTIGI LOMBOK UTARA, NTB

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Karang lunak (Soft coral) kelompok alcyoniina, tersebar luas di seluruh dunia

dan merupakan komponen penting ekosistem terumbu karang, terutama di daerah

Indo-Pasifik (Chanmethakul, et al., 2010). Anggota karang ini ditemukan di perairan

laut dari katulistiwa sampai ke perairan kutub, pada semua kedalaman dari daerah

pasang surut (intertidal) sampai ke perairan terdalam (Manuputty, 1996). Kelompok

ini menempati urutan kedua dalam ekosistem terumbu karang jika ditinjau dari

jumlah serta ukuran koloninya. Ia memiliki tubuh yang lunak tetapi lentur. Jaringan

tubuhnya disokong oleh kumpulan duri-duri kecil, mengandung kalsium karbonat

yang disebut spikula. Disusun sedemikian rupa sehingga tubuhnya lentur dan tidak

mudah sobek atau putus. Secara sepintas tampak seperti tumbuhan, karena bentuk

koloninya bercabang seperti pohon, memiliki tangkai yang identik dengan batang dan

tumbuh melekat pada substrat dasar yang keras (Manuputty, 1998).

Kelompok karang ini umumnya bersifat allelofatik bagi lingkungannya, hal ini

disebabkan oleh senyawa terpen (bioaktif) yang dikandungnya. Terpena adalah salah

satu senyawa yang paling banyak ditemukan pada karang lunak. Senyawa terpena

merupakan suatu kelompok senyawa kimia dari golongan hidrokarbon isometrik yang

mempunyai rumus molekul C10H16. Senyawa ini umumnya ditemukan dalam minyak

astiri dari tumbuhan yang berbau harum, seperti eucalyptus, pinus, damar dan

sebagainya. Senyawa ini digunakan dalam industri farmasi terutama dalam

pembuatan obat-obat antibiotik, antijamur dan antitumor. Secara alamiah senyawa

terpena digunakan oleh karang lunak itu sendiri sebagai penangkal terhadap serangan

predator, dalam hal memperebutkan ruang lingkup, dan dalam proses reproduksi

(Manuputty, 2002 dalam Fikri, 2007). Ia menghasilkan senyawa metabolit sekunder

selain untuk menghadapi serangan predator, juga menjadikannya media kompetisi,

mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi, dan mencegah sengatan sinar

ultra violet (Harper et al. 2001 dalam hardiningtiyas, 2009).

Page 2: Skrining Fitokimia Karang Lunak

Diantara organisme yang hidup di laut, karang lunak termasuk organisme

penghasil komponen bioaktif yang terbesar. Karang lunak merupakan sumber yang

kaya akan senyawa kimia, seperti terpenoid, steroid, steroid glykosida, racun lipoid

dan bahan bioaktif. Elyakov dan Stonik (2003) dalam Hardiningtyas (2009)

melaporkan bahwa karang lunak menghasilkan beberapa dari golongan senyawa hasil

metabolit sekunder, seperti alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid, fenol, saponin, dan

peptida. Umumnya senyawa-senyawa tersebut dikenal dengan senyawa fitokimia

karena seringkali ditemukan di dalam jaringan tumbuhan. Dalam dekade terakhir,

dilaporkan bahwa sebanyak 50 % senyawa bioaktif yang ditemukan dalam

invertebrata laut ini bersifat toksik (Radhika, 2006 dalam Fikri, 2007).

Beberapa komponen bioaktif yang dihasilkan oleh karang lunak meliputi

antibiotika, senyawa antitumor, antijamur dan antikanker (Manuputty 2002 dalam

Fikri, 2007). Selain itu juga diketahui bahwa karang lunak menghasilkan senyawa

antineoplastik, HIV-inhibitory (Rashid et al., 2000 dalam Fikri, 2007) dan anti-

inflammatory (Radhika, 2006 dalam Fikri, 2007). Pada beberapa penelitian juga

diketahui bahwa senyawa terpena yang dihasilkan oleh karang lunak dapat berpotensi

sebagai zat antimikroba.(Fikri, 2007).

Besarnya potensi yang ada pada karang lunak tersebut menjadikan senyawa

bioaktif yang dihasilkannya dapat dimanfaatkan terutama dalam industri farmasi,

yaitu dalam produksi obat-obatan seperti antibiotika, anti jamur dan anti kanker (Coll

dan Samarco, 1986 dalam Manuputty, 1989), dan masih berpotensi sebagai penghasil

senyawa-senyawa kimia bahan alam baru yang belum ditemukan. Disamping itu,

riset atau penelitian pada karang lunak Indonesia juga masih sangat sedikit. Dari

tahun 1997-2002, hanya 3 (tiga) studi yang melaporkan penemuan senyawa-senyawa

baru dari karang lunak Indonesia (Dewi dkk., 2008).

Adanya senyawa bioaktif sebagai salah satu potensi karang ini merupakan

mekanisme respon terhadap berbagai tantangan kehidupannya, dipengaruhi juga oleh

lingkungan tempat mereka hidup. Tursch et al (1978) dalam Manuputty (1990) dan

Haris (2001) menyebutkan bahwa untuk memproduksi senyawa-senyawa terpen yang

memiliki ciri khas kimiawi pada karang lunak banyak ditentukan oleh karakteristik

lingkungannya termasuk didalamnya adalah pengaruh faktor geografis. Sebagai

Page 3: Skrining Fitokimia Karang Lunak

contoh, Karang lunak (S. flexibilis) yang hidup di perairan Maluku dengan yang hidup

di perairan Great Barier Reef mengandung senyawa terpen yang berbeda (Tursch et

al, 1978 dalam Manuputty, 1990)

Dari semua zona laut yang ada, daerah litoral (intertidal) merupakan daerah

tempat hidup dengan variasi faktor lingkungan terbesar jika dibandingkan dengan

daerah bahari lainnya (Nybakken, 1992). Berdasarkan hasil analisis kandungan

bioaktif yang telah dilakukan pada karang lunak, sudharma dkk. (2004) pernah

menyimpulkan bahwa semakin menjauh dari daratan utama, bioaktifitas ekstrak

beberapa karang lunak semakin rendah, begitu juga dengan karang lunak yang

tumbuh pada kedalaman yang lebih dangkal memiliki bioaktifitas ekstrak yang lebih

tinggi dibanding dengan yang tumbuh di tempat lebih dalam.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan keberadaan

senyawa-senyawa fitokimia seperti apakah yang terkandung didalam jaringan tubuh

karang lunak yang tumbuh di sekitar daerah intertidal (litoral) perairan Teluk Mentigi,

kecamatan Pemenang, Lombok Utara, NTB yang diharapkan dapat menjadi

informasi awal bagi penelitian selanjutnya dalam upaya pemanfaatannya sebagai

salah satu sumber daya kelautan bagi para ahli biologi, kimia, farmasi ataupun

masyarakat lainnya.

C. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu

permasalahan yang akan dikaji adalah “Senyawa-senyawa fitokimia apa saja yang

terkandung dalam Karang Lunak (Alcyoniina) di sekitar daerah intertidal Teluk

Mentigi, Pemenang, Lombok Utara ?”

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelompok senyawa fitokimia

pada Karang lunak (Alcyoniina) yang ada di sekitar daerah intertidal perairan Teluk

Mentigi, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, NTB.

E. LUARAN YANG DIHARAPKAN

1. Diketahuinya kandungan senyawa fitokimia yang terkandung pada beberapa

Karang Lunak yang tumbuh di perairan Lombok.

Page 4: Skrining Fitokimia Karang Lunak

2. Ditemukannya Jenis-jenis karang lunak yang berpotensi untuk dikembangkan

lebih lanjut.

3. Pengembangan dan pemanfaatan Karang Lunak dalam bidang farmasi sebagai

sumber daya alam lokal sehingga dapat mengurangi atau menghentikan

ketergantungan terhadap sumber daya dari luar.

F. KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Memberikan informasi mengenai kehadiran beberapa karang lunak dan jenis

senyawa fitokimia yang dikandungnya, yang tumbuh di daerah intertidal perairan

Teluk Mentigi, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.

2. Sebagai data awal dan atau tambahan bagi penelitian serta pengembangan lebih

lanjut mengenai karang lunak .

G. TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Karang Lunak

Karang lunak (Soft coral) bersama-sama dengan karang keras (K. Batu)

termasuk dalam kingdom animalia, filum Cnidaria (Coelentrata), klas Anthozoa,

namun berbeda subklas dengan karang keras, yaitu subklas Octocoralia, sedangkan

karang keras masuk dalam subklas Hexacorallia (daly et.al, 2007; Rose, 2009).

Klasifikasi organisme-organisme pada anggota subklas Octocorallia masih terdapat

banyak keraguan jika dibandingkan dengan subklas Hexacorallia dan sampai saat

ini masih terjadi perubahan. Octocorallia tersusun dari tiga ordo, yaitu ordo

Alcyonacea (karang lunak), Helioporacea/Coenothecalia (blue corals), dan

Pennatulacea (sea pens dan sea pans) (Rose, 2009).

Alcyoniina merupakan salah satu subordo dari ordo Alcyonacea. Alcyonacea

adalah ordo yang dahulunya terbentuk dari 4 ordo (alcyonacea, gorgonacea,

stolonifera, dan telestacea) kemudian dikelompokkan menjadi satu ordo tunggal

(Alcyonacea) yang dibagi menjadi 5 subordo karang lunak, yaitu Calaxonia,

Holaxonia, Scleraxonia, Alcyoniina, dan Stolonifera. Subordo Alcyoniina atau

dikenal sebagai Karang Lunak Sejati dilengkapi dengan jaringan koenenkim

Page 5: Skrining Fitokimia Karang Lunak

berdaging dengan banyak sklerit-sklerit di dalamnya, menjadikannya memililki

bentuk yang beragam (Rose, 2009). Daly et al. (2007) mengklasifikasikan alcyoniina

menjadi grup yang terdiri dari 5 famili, yaitu alcyonidae terdiri dari 34 marga dan

diperkirakan ada 430 spesies, nephtheidae dengan 20 marga dan sekitar 500 spesies,

nidaliidae (7 marga dan sekitar 75 spesies), paralcyoniidae (4 marga, ± 10 sp), dan

xeniidae (14 marga, ± 130 spesies). Fabricius dan Alderslade (2001) dalam Fikri

(2007) mengklasifikasikan alcyoniina sebagai sub-ordo dengan 6 famili, yaitu 5

famili yang telah disebutkan sebelumnya ditambahkan dengan famili

Asterospiculaiidae. Beberapa contoh marga dari Alcyoniina antara lain Sinularia,

Sarcophyton, Xenia, Nephthea, Dendronephthya, dan Anthelia.

Pada prinsipnya yang termasuk dalam kelompok karang lunak (Soft coral)

adalah anggota Octocorallia atau dikenal juga dengan Alcyonaria yang memiliki

tekstur tubuh yang lunak, polip dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu antokodia,

kaliks dan antostela (Gambar 1). Antokodia merupakan bagian yang terdapat di

permukaan koloni dan bersifat retraktil, yaitu dapat ditarik masuk ke dalam jaringan

tubuh yang terdiri dari delapan tentakel dilanjutkan dengan delapan septa yang tidak

berupa kapur. Pada bagian kaliks berupa saluran faring, rongga gastrovaskuler dan

organ reproduksi. Bagian antostela merupakan dasar dari polip yang terdiri dari

jaringan solenia, jaringan inilah yang menghubungkan polip satu dengan yang lainnya

(Manuputty 2002 dalam Fikri 2007).

Gambar 1. Morfologi karang lunak (Manuputty 1986 ; Fikri 2007)

Page 6: Skrining Fitokimia Karang Lunak

Tubuh karang lunak lemah tetapi disokong oleh sejumlah besar duri-duri yang

kokoh, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga tubuhnya lentur dan

tidak mudah putus. Duri-duri ini mengandung kalsium karbonat yang disebut spikula.

Komponen ini memegang peranan penting dalam proses identifikasi di laboratorium.

Karang lunak terlihat seperti tumbuhan karena bentuk koloninya yang bercabang-

cabang seperti pohon dan melekat pada substrat yang keras (Bayer 1956 dalam Fikri

2007).

Koloni karang lunak umumnya memiliki warna-warna yang sangat indah.

Warna ini disebabkan oleh sejumlah Zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan

tubuhnya, yang menghasilkan pigmen kuning, coklat, hijau dan sebagainya.

Zooxanthellae ini merupakan alga uniseluler yang bersifat mikroskopik, hidup

bersimbiosis pada jaringan polip karang sejak berbentuk telur atau larva yang baru

lahir. Polip menarik Zooxanthellae yang berenang bebas ke dalam rongga mesentri

lewat mulut, kemudian menginfeksinya (Manuputty 2002 dalam Fikri 2007).

Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan 95 %

energi hasil fotosintesis kepada karang. Asosiasi yang erat ini sangat efisien, sehingga

karang dapat bertahan hidup bahkan di perairan yang sangat miskin hara (Muscatine

1990 dalam Fikri 2007). Karang lunak bangsa (ordo) Alcyonacea yang mengandung

Zooxanthellae adalah genus Alcyonium, Lithophyton, Lobophytum, Sarcophyton,

Sinularia, Capnella, Cladiella, Lemnalia, Paralemnalia, sedangkan pada genus

Dendronephthya, Stereopnephthya dan Umbellulufera tidak ditemukan Zooxanthellae

(Sorokin 1989 dalam Fikri 2007).

Reproduksi dan Propagasi pada Karang Lunak

Organ tubuh Karang lunak masih sederhana, yaitu bagian mulut terdapat di

sebelah atas, dari bagian ini semua aktivitas dilakukan antara lain keluar masuknya

aliran air dan zat makanan, maupun pelepasan telur, sperma, atau larva kedalam

kolom air. Umumnya pada kebanyakan karang lunak, polip yang fertil (autosoid),

organ reproduksi (gonad) jantan dan betina terpisah, masing-masing berada pada

koloni jantan dan betina. Model seperti ini disebut gonokhorik. Sebaliknya beberapa

jenis karang lunak bersifat hermaprodit, yaitu seperti Heteroxenia dan xenia, karena

pada koloni dewasa ditemukan organ reproduksi jantan maupun betina (Benayahu &

Page 7: Skrining Fitokimia Karang Lunak

Loya, 1984 dalam Manuputty, 2005). Gonad yang berasal atau terbentuk dari lapisan

endodermis, terdapat pada masing-masing mesenteri (Manuputty, 2005).

Secara ringkas, Karang lunak diketahui berkembang biak dengan tiga cara,

yaitu fertilisasi internal, dimana telur yang dibuahi tetap tinggal pada permukaan

tubuh, fertilisasi eksternal yang terjadi diluar tubuh dimana larva yang terbentuk

memiliki silia atau bulu getar, kemudian berenang bebas mencari tempat perlekatan

berupa substrat dasar yang keras untuk selanjutnya tumbuh menjadi polip atau koloni

baru dan reproduksi secara aseksual yaitu peleburan atau pertumbuhan koloni dan

fragmentasi (Manuputty 2002 dalam Fikri 2007).

Manuputty (2005) telah menjelaskan beberapa proses reproduksi yang terjadi

pada karang lunak sebagai berikut:

a. Reproduksi Seksual

Proses ini meliputi pelepasan telur (oosit) yang berbentuk bulat dan

sperma oleh masing-masing polip ke dalam air laut. Kemudian disusul dengan

fertilisasi eksternal di luar tubuh. Secara berangsur telur yang sudah dibuahi akan

berubah bentuk. Larva yang terbentuk memiliki silia atau bulu getar, kemudian

berenang bebas atau melayang sebagai plankton untuk kurun waktu beberapa hari

sampai beberapa minggu, hingga mendapat tempat perlekatan di substrat dasar

yang keras untuk selanjutnya terus bermetamorfosis, tumbuh menjadi polip muda

kemudian membentuk koloni baru.

Koloni baru dapat terpisah sejauh 10 - 100 km dari induknya. Pelepasan

telur (spawning) kadang- kadang terjadi berdasarkan siklus bulan, beberapa jam

setelah matahari terbenam dan atau tergantung pada suhu air laut. Kesempatan

untuk terjadinya fertilisasi di air berlangsung sangat singkat, dan secara cepat pula

akan tersebar terbawa arus. Untuk larva yang dibuahi di dalam tubuh betina

(internal brooding), sejumlah kecil telur akan dibuahi berkembang menjadi larva

di dalam tubuh betina. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu larva akan

dilepaskan ke dalam air pada saat larva tersebut hampir siap untuk berubah bentuk

(metamorfosis). Sebagai contoh pada jenis Xenia dan Heteroxenia (BENAYAHU

et al., 1988; ZASLOW & BENAYAHU, 1996; dalam Manuputty, 2005). Untuk

larva yang dibuahi di luar tubuh, di dalam kolom air, telur yang sudah dibuahi

Page 8: Skrining Fitokimia Karang Lunak

akan berkembang menjadi larva di dalam kantong yang berlapis lendir, menetap

beberapa waktu di bagian permukaan koloni induknya, sampai fase akhir larva.

Larva seperti ini memiliki daya apung (bouyensi) yang negatif, sehingga akan

tenggelam dan biasanya hanya berjarak beberapa meter dari koloni induknya.

Sesudah fase planktonik, terjadi perubahan bentuk menjadi oval kemudian

memanjang seperti buah pir, melekat di dasar yang keras. Pemilihan dasar untuk

tempat melekat juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang cukup.

Alga berkapur yang sudah mengerak merupakan substrat yang paling disukai,

sedangkan patahan karang (rubble) atau dasar dengan sedimen yang tebal atau

juga dengan pertumbuhan alga yang seperti lumut (turf alga), tidak disukai.

Kadang-kadang untuk menghindari predator seperti ikan dan bulubabi, atau

pengikisan oleh sedimen, larva melekat pada substrat yang berbentuk seperti parit

ataupun pada bagian dalam dinding gua yang terlindung. Namun di tempat seperti

ini pertumbuhannya menjadi lambat terutama pada jenis yang memiliki

zooxanthellae karena kurangnya penetrasi cahaya matahari. Setelah melekat,

proses metamorfosis berjalan sangat cepat membentuk polip muda atau juvenil.

Pada prinsipnya polip muda membentuk tangkai pendek di bagian basal

tempat perlekatan koloni, dan di bagian ujung lainnya memipih kemudian

membagi diri menjadi 8 (delapan) tunas sebagai bakal tentakel dengan bagian

pangkal tunas membentuk lubang sebagai bakal mulut. Sesudah beberapa hari,

polip karang lunak berkembang dengan sempurna. Pada fase ini, beberapa jenis

yang mengandung zooxanthellae sudah dapat mulai mengambil zooxanthellae

planktonik melalui mulut, dan menimbunnya di dalam jaringan endodermis

(gastrodermis). Zooxanthellae ini akan memulai tugasnya sebagai simbion, yang

membantu karang dalam proses fotosintesis. Hanya beberapa jenis karang lunak

yang hidup di laut dalam yang hidupnya soliter dan tidak membentuk koloni,

bentuk dewasanya terdiri dari satu polip saja. Perkembangan jenis-jenis lainnya

berasal dari satu polip hasil fertilisasi kemudian berkembang menjadi koloni

dengan jalan membentuk tunas.

b. Reproduksi aseksual

Page 9: Skrining Fitokimia Karang Lunak

Cara reproduksi aseksual disebut sebagai propagasi (propagasi aseksual),

tujuannya untuk menambah atau memperluas koloni. Propagasi merupakan cara

reproduksi yang umum terjadi pada karang lunak, karena tekstur tubuhnya yang

lentur dan lunak sangat memungkinkan terjadinya cara reproduksi seperti ini.

Propagasi dapat terjadi dalam beberapa cara:

1) Dengan membentuk stolon (runner formation)

Pada koloni karang lunak, stolon merupakan jaringan berupa pita atau

pembuluh yang terletak di bagian basal koloni identik dengan akar rimpang pada

tumbuhan. Stolon tetap melekat pada substrat dasar. Pada jenis tertentu, panjang

stolon yang terjulur dapat mencapai 3-5 kali ukuran koloni asalnya. Koloni induk

kemudian melepaskan sebagian massa tubuhnya melalui stolon dan membentuk

koloni anakan. Kemudian stolon akan menghilang karena terabsorbsi. Koloni

anakan kemudian memisahkan diri dari koloni induk dan tumbuh menjadi koloni

baru yang lepas dengan ukuran yang sama dengan induknya.

2) Fragmentasi atau memisah (fragmentation, fission)

Terjadi pada beberapa jenis seperti Sarcophyton, Lobophytum, dan

beberapa Sinularia yang bercabang, Nephthea dan Xenia dapat membentuk massa

pembatas vertikal pada koloni induk, dan membagi koloni menjadi dua koloni

dewasa berukuran kecil (bukan koloni anakan). Umumnya pembatasan terjadi

pada bagian koloni induk yang menyempit. Selanjutnya masing-masing koloni

akan tumbuh membesar, kadang- kadang jembatan penghubungnya tidak putus

atau menghilang namun ikut tumbuh dan melebar.

Jenis Dendronephthya, dapat merontokkan beberapa kumpulan polipnya

(polyp bundles) yang terdiri dari 5-10 polip, dan akan melekat di dasar dengan

membentuk jaringan seperti akar, kemudian tumbuh terpisah dan lepas dari

induknya menjadi koloni baru.

3) Membentuk tunas (budding)

Jenis Sarcophyton gemmatum membentuk tunas pada bagian tepi

kapitulum (bagian atas koloni), biasanya di antara lekukan. Tunas akan

melepaskan diri dari koloni induk, kemudian melekat pada substrat dan tumbuh

menjadi koloni dewasa yang terpisah. Pada jenis Sinularia flexibilis, tunas muncul

Page 10: Skrining Fitokimia Karang Lunak

dari bagian pangkal tangkai induknya, kemudian tumbuh membesar di dekat

induknya.

Ekologi Karang Lunak

Kelompok karang lunak juga tergantung pada kondisi lingkungan di sekitar

tempat tumbuhnya, terutama substrat dasar yang keras untuk perlekatan larva.

Parameter lingkungan yang mempengaruhi adalah parameter fisika seperti cahaya

matahari, pergerakan air dan sedimentasi. Tingkat toleransi dan adaptasi terhadap

faktor-faktor lingkungan tersebut berbeda pada masing-masing individu, jenis

maupun marga (Fabricius dan de’ath, 2000 dalam Manuputty, 2008). Kebanyakan

marga yang hidup di lingkungan yang sering berubah-ubah kondisi fisik perairannya,

hanya menempati area yang sempit (Fabricius & De’ath, 1997 dalam Manuputty,

2008). Ada dua perubahan lingkungan yang berhubungan dengan tempat tumbuh dan

melekatnya koloni, yaitu secara vertikal (perubahan kedalaman), dan secara

horizontal (perubahan pada jarak antara tempat hidup koloni dengan daratan).

Perubahan horizontal berhubungan langsung dengan abrasi pantai akibat gelombang

(Fabricius, 1997 dalam manuputty, 2008).

Karang lunak merupakan kelompok organisme yang tersebar luas dan dari

segi ekologi menunjukkan variasi yang cukup tinggi, sebaliknya dalam kondisi

tertentu, seperti kekeringan, sedimentasi yang tinggi, rendahnya salinitas, biota

tersebut kurang mampu bertoleransi terutama dalam waktu lama. Hanya beberapa

jenis yang bisa bertahan dalam kondisi-kondisi tersebut bila terjadinya secara

beraturan (periodik). Kelompok karang lunak (Alcyonacea, alcyoniina) di perairan

tropis Pasifik dapat bertahan terhadap kekeringan pada saat surut terendah dan ini

terjadi secara periodik, karena pengaruh pasang surut. Sudah diketahui bahwa

beberapa jenis juga dapat hidup di bawah garis surut terendah, dan aman terhadap

kekeringan, tetapi umumnya ditemukan di perairan yang jernih dan dengan sedikit

sedimentasi.

Faktor-faktor Lingkungan Kehidupan Karang

Kondisi optimal lingkungan bagi kelangsungan hidup karang lunak hampir

sama dengan karang batu (Manuputty, 1986; Manuputty, 2002 dalam Fikri, 2007).

1. Ombak dan gelombang

Page 11: Skrining Fitokimia Karang Lunak

Karang lunak sangat rawan terhadap abrasi, atau bentuk kerusakan lain

yang diakibatkan oleh ombak dan gelombang terutama bila terjadi badai. Pada

saat gelombang besar, jenis-jenis yang bertahan ialah yang koloninya melekat

pada substrat yang keras, sedangkan yang tertanam di pasir akan tergerus oleh

ombak. Hanya sedikit dari kelompok karang lunak yang hidup di daerah

hempasan ombak. Beberapa jenis dapat hidup di tempat-tempat terbuka yang

menghadap arah datangnya gelombang, tetapi umumnya adalah jenis-jenis yang

memiliki bentuk pertumbuhan mengerak dan melekat kuat pada substrat, misalnya

marga Sinularia dan Cladiella. Atau jenis-jenis dengan koloni yang kecil, padat

dan kokoh seperti marga Capnella, Paralemnalia, Asterospicularia, dan Xenia

(Manuputty, 2008)..

2. Arus

Umumnya kelompok karang lunak melimpah di daerah yang memiliki

arus deras dan terlindung dari hempasan ombak. Kelompok hewan ini umumnya

cenderung konsisten pada perairan dengan kekuatan arus sedang, arahnya tidak

menentu, atau arus yang dapat membuat biota ini menangkap makanan secara

maksimal. Fungsi arus adalah untuk membawa zat makanan ke tubuh biota dan

membersihkan koloni dari partikel-partikel pengganggu selain juga dapat

merangsang terjadinya fotosintesis pada hewan yang berasosiasi dengan

zooxanthellae (Manuputty, 2008). Selain itu perairan yang berarus

memungkinkan karang memperoleh sumber air yang segar, memberi oksigen,

menghalangi pengendapan sedimen, sumber nutrien dan makanan (Nybakken,

1988 dan Birkeland, 1997 dalam Sugiyanto 2004)

3. Cahaya

Cahaya diperlukan dalam proses fotosintesis alga simbiotik zooxanthella

untuk memenuhi kebutuhan oksigen biota terumbu karang (Nybakken, 1992)

tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan

karang untuk menghasilkan kalium karbonat akan berkurang pula (Harahap,

2004).

Cahaya dapat membantu pertumbuhan jenis karang lunak yang

mengandung zooxanthella berdasarkan tingkat irradiasi yang akan mempercepat

Page 12: Skrining Fitokimia Karang Lunak

proses fotosintesis. Namun cahaya juga dapat menghambat pertumbuhan jenis-

jenis yang tidak mengandung zooxanthella, karena umumnya larva karang

cenderung mencari tempat gelap untuk melekatkan diri. Batas kedalaman untuk

pertumbuhan jenis-jenis karang lunak bertambah sejalan dengan bertambahnya

tingkat kecerahan suatu perairan (Fabricius & De’ath, 2000 dalam Manuputty,

2008)

Kisaran sebaran karang lunak bervariasi berdasarkan kemampuan

penetrasi cahaya matahari dan juga tergantung pada kedalaman, kecerahan air dan

derajat kemiringan dari lereng terumbu. Partikel yang ada dalam air laut tidak

hanya dapat membuat perairan keruh tapi juga menghambat penetrasi cahaya

matahari. Tingkat turbiditas yang tinggi ditemukan dirataan terumbu perairan

dangkal yang dekat dengan pantai atau muara sungai, dimana ombak dan arus

dapat mengaduk-aduk sedimen dan lumpur dari dasar perairan (Manuputty,

2008).

4. Nutrien

Nutrien yang berbentuk partikel atau terlarut di perairan terbuka (oceanic),

berasal dari berbagai sumber. Di perairan terbuka daerah tropis nutrien diperoleh

dari proses pertumbuhan plankton dan organisme pengurai lainnya, terutama di

perairan biru dan jernih. Di perairan pesisir, konsentrasi zat makanan yang terlarut

di dalam air lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan terbuka yang jauh dari

pantai. Di area pesisir yang dangkal, yang mana penetrasi sinar matahari

terhambat akibat keruhnya perairan, didominasi oleh kelompok karang lunak dari

suku Alcyoniidae. Umumnya karang lunak yang mengandung zooxanthella jarang

ada di lokasi dengan tingkat polusi yang tinggi (Manuputty, 2008).

5. Sedimentasi

Sedimentasi merupakan masalah yang umum di daerah tropis,

pembangunan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya seperti

pengerukan, pertambangan, aktivitas pertanian dan pembukaan hutan dapat

membebaskan sedimen ke perairan daerah terumbu karang. Pengaruh sedimen

terhadap pertumbuhan binatang karang dapat terjadi secara langsung maupun

tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan binatang karang, yaitu

Page 13: Skrining Fitokimia Karang Lunak

apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi

polyp atau mulut karang ((Hubbard dan Pocock, 1972; Bak dan Elgershuizen,

1976; Bak, 1978) dalam Supriharyono, 2000;2007). Pengaruh tidak langsungnya

adalah melalui turunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk

fotosintesis alga simbion karang (zooxanthella) dan banyaknya energi yang

dikeluarkan oleh hewan karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang

berakibat turunnya laju pertumbuhan (Pastorok dan Bilyard 1985 dalam

Supriharyono, 2000; 2007; Sugiyanto, 2004). Perairan yang sedimentasinya tinggi

atau keruh, keanekaragaman dan tutupan karang hidup cenderung rendah

(Supriharyono, 2000; 2007).

Sedimentasi yang terjadi secara alami pada terumbu karang bervariasi

secara signifikan. Pengaruh sedimentasi pada karang lunak juga bervariasi,

tergantung pada tingkat toleransi dari masing-masing jenis. Bila proses

sedimentasi terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi nutrien di

perairan, terutama bila perairan berdekatan dengan muara sungai yang melewati

daerah pertanian, akan mengganggu kesehatan koloni karang di dalam ekosistem

terumbu karang. Penimbunan sedimen yang cukup tebal akan mematikan koloni

karang yang kecil terutama yang baru tumbuh. Sedimen juga berpengaruh negatif

pada proses fotosintesis, karena disamping menutupi koloni karang juga

menghalangi penyerapan cahaya matahari dan akhirnya mengakibatkan koloni

karang menjadi stres. Kelompok karang lunak (Alcyoniina) dari suku Xeniidae

dan Nephtheidae, umumnya membutuhkan perairan yang jernih, sedangkan dari

suku Alcyoniidae terutama marga Sinularia, Lobophytum, Sarcophyton dan

Klyxum dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat di perairan yang tidak jernih

terutama di perairan pesisir (Manuputty, 2008).

6. Salinitas

Salinitas juga dapat menjadi faktor pembatas kehidupan hewan karang.

Hewan karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 o/oo (Kinsman,

1964 dalam Supriharyono, 2000; 2007). Namun pengaruh salinitas terhadap

kehidupan hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi periairan laut

setempat, bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum

Page 14: Skrining Fitokimia Karang Lunak

tersebut karang masih bisa hidup, demikian pula dengan pengaruh salinitas pada

tiap jenis terjadi variasi (Supriharyono, 2000; 2007).

Tidak banyak diketahui tentang pengaruh salinitas terhadap karang lunak

dalam hubungannya dengan toleransinya terhadap air tawar. Kadar salinitas

sekitar 35 ppt merupakan nilai yang normal bagi lingkungan perairan Indo-

Pasifik. Hasil penelitian membuktikan bahwa peningkatan kadar salinitas sampai

45 ppt, yang terjadi di perairan utara Laut Merah dan Teluk Persia tidak

mematikan koloni karang lunak di daerah itu (Fabricius & Alderslade, 2001

dalam Manuputty, 2008). Naiknya nilai salinitas sekitar 2 – 3 ppt di atas nilai

normal akibat penguapan air laut, masih dianggap normal. Sebaliknya, penurunan

kadar salinitas terutama di daerah rataan terumbu yang dapat mengalami

kekeringan akibat pasang surut, ditambah lagi dengan jika terjadinya di musim

hujan sehingga dipengaruhi oleh air tawar, dapat mengakibatkan kematian karang.

Di perairan Indo-Pasifik, kadar salinitas di bawah 30 ppt dapat mempengaruhi

anggota suku Xeniidae, dan dengan kadar 25 ppt bahkan dapat mematikan jenis-

jenis karang (Manuputty, 2008).

7. Temperatur

Suhu air atau temperatur merupakan faktor penting yang menentukan

kehidupan karang. Menurut Wells (1954) dalam supriharyono (2000; 2007) suhu

yang baik adalah berkisar antara 25-29 oC. sedangkan batas minimum dan

maksimum suhu berkisar antara 16-17 oC dan sekitar 36 oC (Kinsman, 1964 dalam

supriharyono, 2000; 2007). Di beberapa tempat, karang masih bisa hidup dengan

toleransi 36-40 oC (Nybakken, 1988 dalam sugiyanto, 2004).

Lebih lanjut dilaporkan mengenai pengaruh suhu terhadap hewan karang,

suhu yang mematikan hewan karang bukan suhu yang ekstrem, yaitu suhu

minimum atau maksimum saja, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu

secara mendadak dari suhu alami. Menurut Coles dan Jokiel (1978) dan

Neudecker (1981) dalam Supriharyono (2000; 2007) perubahan suhu secara

mendadak sekitar 4-6 oC di bawah atau di atas “suhu alami” dapat mengurangi

pertumbuhan karang bahkan mematikannya.

Page 15: Skrining Fitokimia Karang Lunak

Temperatur yang hangat pada suatu perairan merupakan faktor pembatas

bagi pertumbuhan maupun sebaran karang batu dan karang lunak yang

mengandung zooxanthella. Terbatasnya sebaran jenis yang mengandung

zooxanthella disebabkan oleh kecilnya kemampuan bertoleransi alga ini terhadap

temperatur. Penurunan air laut sampai di bawah 18 oC untuk jangka waktu yang

panjang merupakan ancaman bagi jenis karang lunak yang mengandung

zooxanthella. Di lokasi seperti ini hanya ditemukan sedikit koloni karang lunak.

Hanya kelompok yang tidak mengandung zooxanthella yang dapat tumbuh di

perairan dengan temperatur dingin, atau di perairan yang dalam.

Naiknya temperatur walaupun hanya satu atau dua derajat saja dapat

mempengaruhi konsentrasi zooxanthella di dalam jaringn karang. Bila kenaikan

temperatur terlalu tinggi, jaringan karang akan mengerut, dan zooxanthella akan

keluar ke air laut. Dengan demikian, pada jenis yang mengandung zooxanthella

tidak ada proses fotosintesis dan dalam waktu lama karang akan mati. Akibat

keluarnya zooxanthella, pigmen pada karang akan hilang dan koloni karang

menjadi berwarna putih. Proses ini dikenal dengan “bleaching”. Populasi karang

lunak menjadi berkurang pada waktu terjadi proses tersebut secara besar-besaran

pada tahun 1998, dan kesempatan untuk bertahan hidup pada waktu itu bervariasi

pada masing-masing jenis (Manuputty, 2008).

8. Kedalaman

Perumbuhan karang juga dapat dipengaruhi oleh faktor kedalaman.

Pengaruh kedalaman biasanya berhubungan dengan faktor lingkungan lain seperti

cahaya, pergerakan air dan bahkan di beberapa tempat lainnya dengan suhu dan

atau salinitas (Supriharyono 2000 dalam Sugiyanto, 2004; harahap, 2004).

Pertumbuhan karang yang dipengaruhi kedalaman tergantung juga pada spesies

dan faktor lingkungan lainnya. Semakin dalam laju pertumbuhan semakin turun.

Pertumbuhan optimum karang pada umumnya terjadi pada kedalaman di bawah

permukaan, hal ini kemungkinan berkaitan dengan cahaya (Harahap, 2004) dan

zooxanthella di jaringannya.

9. pH (Derajat keasaman)

Page 16: Skrining Fitokimia Karang Lunak

Skala pH menunjukkan perbandingan konsentrasi antara ion H+ dan OH-.

Sistem kerbondioksida-asam askorbat-bikarbonat berfungsi sebagai buffer yang

dapat mempertahankan pH air laut dalam suatu kisaran yang sempit (Nybakken

1988 dalam Sugiyanto, 2004). Menurut Tomascik dkk (1997) dalam Harahap

(2004) dan Sugiyanto (2004), habitat yang cocok bagi pertumbuhan terumbu

karang yaitu habitat yang memiliki kisaran pH 8,2 – 8,5.

Komponen Bioaktif dan Manfaat Karang Lunak

Senyawa bioaktif adalah senyawa kimia aktif yang dihasilkan oleh organisme

melalui jalur biosintetik metabolit sekunder. (Khatab et al., 2008 dalam

Hardiningtyas, 2009). Metabolit sekunder (natural product) tersebut diproduksi oleh

organisme pada saat kebutuhan metabolisme primer sudah terpenuhi dan digunakan

dalam mekanisme evolusi atau strategi adaptasi lingkungan yang penting dalam

ekologi (Muniarsih, 2005 dalam Hardiningtyas, 2009).

Karang lunak merupakan sumber yang kaya akan senyawa kimia, seperti

terpenoid, steroid, steroid glykosida, racun lipoid dan bahan bioaktif. Senyawa kimia

ini dihasilkan secara alamiah melalui proses metabolisme tubuh. Pernah dilaporkan

bahwa sebanyak 50 % senyawa bioaktif ditemukan dalam invertebrata laut ini bersifat

toksik (Radhika, 2006 dalam Fikri, 2007).

Menurut Khatab et al. (2008) dalam Hardiningtyas (2009), metabolit sekunder

yang dihasilkan oleh karang lunak memiliki keragaman yang tinggi dan struktur

kimia yang unik. Muniarsih (2005) dalam Hardiningtyas (2009) berpendapat bahwa

hal tersebut dipengaruhi oleh tingginya keanekaragaman organisme laut dan pengaruh

lingkungan laut, seperti kadar garam, rendahnya intensitas cahaya, adanya arus

maupun kompetisi yang kuat sehingga mendorong organisme laut menghasilkan

metabolit sekunder yang mempunyai struktur kimia relatif berbeda dengan organisme

darat.

Karang lunak menghasilkan senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk

menghadapi serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri,

membantu proses reproduksi, dan mencegah sengatan sinar ultra violet (Harper et al.

2001 dalam hardiningtiyas, 2009). Elyakov dan Stonik (2003) dalam Hardiningtyas

(2009) melaporkan bahwa karang lunak menghasilkan beberapa dari golongan

Page 17: Skrining Fitokimia Karang Lunak

senyawa hasil metabolit sekunder, seperti alkaloid, terpenoid, steroid, flavonoid,

fenol, saponin, dan peptida.

Beberapa komponen bioaktif yang dihasilkan oleh karang lunak meliputi

antibiotika, senyawa antitumor, antijamur dan antikanker (Manuputty 2002 dalam

Fikri, 2007). Selain itu juga diketahui bahwa karang lunak menghasilkan senyawa

antineoplastik, HIV-inhibitory (Rashid et al., 2000 dalam Fikri, 2007) dan anti-

inflammatory (Radhika, 2006 dalam Fikri, 2007).

Salah satu senyawa yang paling banyak ditemukan pada karang lunak adalah

terpena. Senyawa terpena merupakan suatu kelompok senyawa kimia dari golongan

hidrokarbon isometrik yang mempunyai rumus molekul C10H16. Senyawa ini

umumnya ditemukan dalam minyak astiri dari tumbuhan yang berbau harum, seperti

eucalyptus, pinus, damar dan sebagainya. Senyawa ini digunakan dalam industri

farmasi terutama dalam pembuatan obat-obat antibiotik, antijamur dan antitumor.

Secara alamiah senyawa terpena digunakan oleh karang lunak itu sendiri sebagai

penangkal terhadap serangan predator, dalam hal memperebutkan ruang lingkup, dan

dalam proses reproduksi (Manuputty, 2002 dalam Fikri, 2007). Pada beberapa

penelitian diketahui bahwa senyawa terpena yang dihasilkan oleh karang lunak juga

berpotensi sebagai zat antimikroba.(Fikri, 2007).

Menurut Coll dan Sammarco (1983) dalam Hardiningtyas (2009), terpenoid

merupakan senyawa kimia yang memiliki aroma atau bau yang harum. Senyawa

terpen dapat digunakan dalam bidang farmasi sebagai antibiotika, anti jamur, dan

senyawa anti tumor. Kegunaan senyawa terpen bagi karang lunak itu sendiri ialah

sebagai penangkal terhadap serangan predator, media untuk memperebutkan ruang

lingkup, dan membantu proses reproduksi. Steroid merupakan golongan senyawa

triterpenoid. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena,

yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan

dasar pembuatan obat (Harborne, 1987 dalam Hardiningtyas, 2009).

Handayani et.al.(1997) dalam Dewi dkk. (2008) menemukan 2 jenis

sesquiterpen baru dari karang lunak nephtea chabrolli yang memperlihatkan aktivitas

insektisidal. Pada lobophytum sp juga pernah dilaporkan adanya senyawa antitumor

dan aktifitas antileukimia yang mampu melawan tumor ovarium dan sel leukemia

Page 18: Skrining Fitokimia Karang Lunak

pada manusia (Morris et.al, 1998 dalam Dewi dkk., 2008), dan ditemukannya

senyawa diterpenoid dari xenia sp yang tumbuh di perairan Indonesia, yaitu xenolides

pada tahun 2002 oleh Anta et.al (Dewi dkk., 2008).

Alkaloid sebagai senyawa metabolit karang lunak pada umumnya mencakup

senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya

dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid banyak yang mempunyai

kegiatan fisiologis sehingga digunakan secara luas dalam bidang pengobatan

(Harborne, 1987 dalam Hardiningtyas, 2009). Alkaloid memiliki efek farmakologi

sebagai analgesik (pereda nyeri) dan anestetik (pembius) (Hardiningtyas, 2009).

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol yang larut dalam

air. Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas

antimikroba yang luas dan dapat mengurangi kekebalan pada organisme sasaran

(Naidu, 2002 dalam Hardiningtyas, 2009).

Saponin merupakan golongan triterpenoid yang mempunyai kerangka karbon

berdasarkan isoprena. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, dan sering

mempunyai titik lebur tinggi (Harborne 1987 dalam Hardiningtyas, 2009). Saponin

merupakan golongan senyawa yang dapat menghambat atau membunuh mikroba

dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap

bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel (Zablotowics et al.,

2002 dalam Hardiningtyas, 2009).

Dipeptida dihasilkan oleh gugus karboksil suatu asam amino yang berkaitan

dengan gugus amino dari molekul asam amino lain dan diikuti dengan melepaskan

molekul air. Dipeptida masih mempunyai gugus amino dan karboksil bebas sehingga

dapat bereaksi dengan dipeptida-dipeptida lainnya membentuk peptida dan akhirnya

membentuk molekul protein (Winarno, 1997 dalam Hardiningtyas, 2009).

Kawasan Intertidal

Zona Intertidal (pasang surut) merupakan daerah terkecil dari semua daerah

yang terdapat di samudra dunia, merupakan pinggiran yang sempit sekali, biasanya

hanya beberapa meter luasnya dan terletak di antara air-tinggi dan air-rendah.

Meskipun luas daerah ini sangat terbatas, tetapi disini terdapat variasi faktor

lingkungan yang terbesar dibandingkan dengan daerah bahari lainnya, dan variasi ini

Page 19: Skrining Fitokimia Karang Lunak

dapat terjadi pada daerah yang hanya berbeda jarak beberapa sentimeter saja

(Nybakken, 1992). Zona pasang surut dikenal juga dengan zona litoral (mintakat

litoral) dan menjadi bagian dari lingkungan bentik yang merupakan bentangan pantai

yang terletak antara paras air tertinggi dari pasut purnama kearah daratan dan paras

air terendah dari pasut purnama ke arah laut. Berdasarkan bagian yang terkena

perendaman dan pengeringan, zona litoral dibagi menjadi tiga bagian utama yang

menghubungkan daratan dengan lautan, yakni litoral, atas-litoral (supralittoral) dan

bawah-litoral (sublittoral) (Romimohtarto dan Juwana, 2007).

Daerah ini benar-benar merupakan perluasan dari lingkungan bahari dan

dihuni oleh organisme yang hampir semuanya merupakan organisme bahari. Susunan

faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai di zona intertidal sebagian

disebabkan zona ini berada diudara terbuka selama waktu tertentu dalam setahun, dan

kebanyakan faktor fisiknya menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara daripada

di air. Pasang-surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang

mempengaruhi kehidupan di zona Intertidal. Tanpa adanya pasang surut atau hal-hal

lain yang menyebabkan naik-turunnya permukaan air secara periodik, zona ini tidak

akan seperti itu, dan faktor-faktor lain akan kehilangan pengaruhnya (Nybakken,

1992).

H. METODE PELAKSANAAN

I. JADWAL KEGIATAN

J. RANCANGAN BIAYA

Page 20: Skrining Fitokimia Karang Lunak

K. DAFTAR PUSTAKA

Borneman,E. 2008. Taxonomy in Awuarium Corals: Part 3-Everithing Else – Soft Corals, Zoanthids, and Corallimorpharians. Reefkeeping – An Online Magazine for The Marine Aquarist. http://www.reefkeeping.com [akses: April 2010]

Cesnales,A. Dichotomous Key for Soft Coral Identification [online]. http: //www.utahreefs.com/article/dichotomous key for soft corals.pdf

Chanmethakul,T., H.Chansang, and S.Watanasit. 2010. Soft Coral (Cnidaria: Alcyonacea) Distribution Patterns in Thai Water. Zoological Studies 49 (1): 72-84

Dewi,A.S, K.Tarman, dan A.R.Uria. 2008. Marine Natural Products: Prospects and Impacts on The Sustainable Development in Indonesia. Proceeding of Indonesian Students Scientific Meeting, DELFT, The Nederlands. [on line]. http://lppm.ipb.ac.id/download/Marine_natural_product.pdf [3 Mei 2010].

Daly,M., et al. 2007. The Phylum Cnidaria: A Review of Phylogenetic Patterns and Diversity 300 Years After Linnaeus. Zootaxa 1668: 127-182 [online]. http://www.nhm.ku.edu/.../daly et al Zootaxa.pdf

Ellis,S.C. and L.Sharron. 1999. The culture of soft corals (Order: Alcyonacea) for the marine aquarium trade. Center for Tropical and Subtropical Aquaculture, Publication Number 137. Waimanalo, Hawaii, USA [online]. http:// www.ctsa.org

Fikri,M. 2007. Penapisan Inhibitor Protease dari Ekstrak Karang Lunak Asal Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu dan Potensi Daya Hambatnya Terhadap Bakteri Patogen [Skripsi]. FPIK – IPB, Bogor [online]. http://iirc.ipb.ac.id/.../ C07mfi.pdf [4 Mei 2010]

Fachrul,MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Eds.1, Cet. 1. Bumi Aksara, Jakarta

Haris, A. 2001. Hubungan Karakteristik Lingkungan Dengan Ciri Khas Kimiawi Senyawa Terpen Karang Lunak Sinularia fleksibilis Quoy & Gaimard (Octocorallia: Alcyonacea) di Perairan Pulau Barang Lompo Sulawesi Selatan. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana/S3-IPB [online]. http://www.rudyct.com/.../a_haris.htm

Heriyanto, dkk. 2009. Ekologi Tumbuhan-Laporan Praktikum Lapang Ekologi Tumbuhan. PS. Pendidikan Biologi Univ. Muhammadiyah Malang. http://heriyanto-riyan.blogspot.com

Page 21: Skrining Fitokimia Karang Lunak

Harahap,A.K. 2004. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Sekitar Pulau Batam, Riau [Skripsi]. FPIK – IPB, Bogor [online]. http://iirc.ipb.ac.id [Mei 2010]

Hardiningtyas,S.D. 2009. Aktivitas Anti Bakteri Ekstrak Karang Lunak Sarcophyton sp. yang Difragmentasi dan Tidak Difragmentasi di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [Skripsi]. FPIK – IPB, Bogor [online]. http://iirc.ipb.ac.id. [Mei 2010]

Janes,M.P. 2008. Laboratory methods for the identification or soft corals (Octocorallia : Alcyonacea) on Advances in Coral Husbandary in Public Aquariums-chapter 46. Public Aquarium Husbandry Series, vol.2 R.J. Leewis and M. Janse (eds), pp.413-426

Janes,M.P and L.M.Wah. 2007. Octocoral Taxonomy Laboratory Manual. Results of the International Workshop on the Taxonomy of Octocorals, March 20-26, 2005. University of Kerala, India.

Michael,P. 1995. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta: UI Press.

Manuputty,A.E.W. 1986. Karang Lunak, Salah Satu Penyusun Terumbu Karang. Oseana Vol. XI. No.4: 131 – 141 [online]. P2O LIPI, Jakarta. http://www.coremap.or.id/download/1203.pdf

----------------. 1989. Kondisi Terumbu Karang di Lombok Barat dan Permasalahannya. Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia, Buku I: Biologi, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi, . hal: 12-21. P3O-LIPI, Jakarta

----------------. 1990. Senyawa Terpen Dalam Karang Lunak (Octocorallia: Alcyonacea). Oseana, Vol. XV No. 2: 77-84. Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta.

----------------. 1989. Karang Lunak, Sinularia flexibilis (Quoy & Gaimard) Penghasil Senyawa Anti Kanker, Biologi, Ekologi dan Sebarannya di Pulau Pari, Pulau-pulau Seribu. Seminar Nasional Obat dan Pangan – Kesehatan dari Laut, Jakarta 26-27 Juni 1989. Kerjasama FSIK-IPB dan Laboratorium Biologi Kelautan FMIPA-UI.

----------------. 1998. Beberapa Karang Lunak (Alcyonaria) Penghasil Substansi Bioaktif. Seminar Potensi Farmasitik & Bioaktif Sumber Daya Hayati Terumbu Karang. Manado 10-11 Maret 1998.

----------------. 2005. Reproduksi dan Propagasi pada Octocorallia. Oceana, Vol.XXX, No.1 hal: 21-27. P2O-LIPI, Jakarta.

Page 22: Skrining Fitokimia Karang Lunak

----------------. 2008. Beberapa Aspek Ekologi Oktokoral. Oseana – Majalah Ilmiah Semi Populer, Vol. XXXIII No.2 hal: 33-42. P2O-LIPI, Jakarta.

Nybakken,J.W. 1992. Biologi Laut – Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta.

Romimohtarto,K., dan S.Juwana. 2007. Biologi Laut – Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan, Jakarta.

Rogers,C.S, et al. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for The Carribean and Western Atlantic. National Park Service- Virgin Islands National Park [online]. http: //fl.biology.usgs.gov/…/Monitoring_Manual.pdf

Rose,A. 2009. Coral Taxonomy [online]. http://coralscience.org [3 Mei 2010]

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan, Jakarta.

----------------. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Edisi Revisi. Djambatan, Jakarta.

Sugiyanto,G. 2004. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang (Caulastrea furcata) Dengan Fragmentasi Buatan di Perairan Pulai Pari Kepulauan Seribu [Skripsi]. FPIK – IPB, Bogor.

Soedharma,D., M.Kawaroe, dan A.Harris. 2004. Kajian Potensi Bioaktif Karang Lunak (Octocorallia: Alcyonacea) di Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Ringkasan Hasil Penelitian Pengkajian Kebaharian Tahun 2004 [online]. http: //iirc.ipb.ac.id/.../2004dso_dedis.pdf [3 Mei 2010].

Suripto, A.Jupri, dan B.Farista. 2009. Ekologi Tumbuhan – Penuntun Praktikum. PS Biologi Fak. MIPA Universitas Mataram

Wing,B.L., and D.R.Barnard. 2004. A Field to Alaskan Corals. U.S. Dep. Commer., NOAA Tech. Memo. NMFS – AFSC – 146, 67p.

Yusuf,S. 2004. Kajian Ekologis dan Pendugaan Stok dalam Penentuan Kuota Perdagangan Karang (Scleractinia) di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana – IPB, Bogor [online]. http://iirc.ipb.ac.id/.../2004syu.pdf