Upload
maya-farahiya
View
29
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
n
Citation preview
K A T A P E N G A N T A R
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial kedua sebagai suatu laporan atas hasil
diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XVII semester VI ini. Pada
skenario yang berjudul “waduh,bibirku mencong…” kami membahas mengenai kelumpuhan
tipe LMN dan UMN, serta tentang penyakitnya kami membahas tentang stroke dan Bell’s Palsy.
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali
semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario kedua ini, baik
pada Learning Objective yang kami cari ataupun pada pembahasan yang kurang memuaskan.
Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia. Tetapi, kami berharap
laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada para pembaca.
Mataram, 7 Mei 2010
Kelompok 1
1
D A F T A R I S I
Kata Pengantar............................................................................................................ 1
Daftar Isi ..................................................................................................................... 2
Skenario II.................................................................................................................... 3
Concept Map............................................................................................................... 4
Learning Objective...................................................................................................... 5
Pendekatan Diagnosa.................................................................................................. 6
UMN............................................................................................................................ 9
LMN............................................................................................................................. 16
....................................................................................................................................
Ganglia Basalis............................................................................................................. 24
Serebelum................................................................................................................... 32
Sistem Vaskularisasi Otak............................................................................................ 34
Stroke.......................................................................................................................... 36
Stroke Iskemik............................................................................................................. 38
Stroke Hemoragik........................................................................................................ 44
TIA............................................................................................................................... 52
Anatomi Nervus Facialis.............................................................................................. 56
Bell’s Palsy................................................................................................................... 58
Daftar Pustaka............................................................................................................. 64
2
S K E N A R I O 2
“Waduh,bibirku mencong…”
Tn. Joni, 55 tahun, dibawa keluarganya ke UGD RSUP NTB dengan keluhan wajahnya tampak
asimetris. Dari anamnesis diketahui bahwa kondisi tersebut terjadi sejak 30 menit yang lalu.
Saat kejadian, salah satu anak Tn. Joni menemukan Tn. Joni dalam keadaan tersungkur di kamar
mandi. Saat disuruh meringis, tampak sudut bibir kanan tertinggal. Dari riwayat penyakit dahulu
diketahui Tn. Joni menderita hipertensi dan Diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu. Dokter
melakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan tipe lesi yang dialami Tn. Joni. Dokter
selanjutnya segera melakukan pemeriksaan lengkap dan merencanakan penatalaksanaan
segera terhadap penyakit Tn. Joni.
3
C O N C E P T M A P
4
Tn Joni, 55 tahun
Wajah asimetris
Kelumpuhan
UMN LMN NMJ Otot
Pemereiksaan Lanjutan
Karakteristik
Pemeriksaan Lanjutan
Anamnesis
Pendekatan diagnosa
DD
Pemeriksaan Fisik
L E A R N I N G O B J E C T I V E S
1. Perbedaan kelumpuhan tipe UMN dan LMN
2. Diagnosa Banding dari tiap kelemahan
UMN : Stroke, TIA
LMN : Bell’s Palsy
3. Patofisiologi tiap – tiap diagnose banding
4. Pendekatan diagnose di scenario
5. Pembahasan penyakit di scenario (Pemeriksaan lengkap dan tatalaksana)
6. Jaras N.VII dan vaskularisasi otak
5
Pendekatan Diagnosa
Anamnesis
a. Pasien datang dengan keluhan: “wajah tampak asimetris”, sudut bibir kanan tertinggal
Akibat gangguan Nervus VII Stroke, Bell’s palsy
b. “tersungkur di kamar mandi”
Bisa akibat terpleset trauma kepala lesi di N.VII paralisis otot wajah wajah asimetris
Serangan stroke terjadi kelumpuhan tiba-tiba (hemiparesis) jatuh tersungkur & wajah
menjadi asimetris
c. Sejak 30 menit yang lalu akut
Kemungkinan, jika akibat stroke, DD :
Stroke hemoragik
TIA
d. “Riwayat HT dan DM kronis”
kelainan struktur BV
Penting ditanyakan onset;
Bertahun-tahun ; Tumor jinak, degenerasi
Minggu-bulan ; Tumor ganas, inflamasi kronik
Hari-minggu ; Demyelinasi, CNS, Inflamasi akut
Jam-hari ; Inflamasi sangat akut
Tiba-tiba ; Kelainan vascular, trauma, Bell’s palsy
Untuk menentukan kemungkinan tempat terjadi kerusakan atau lesi perlu diketahui beberapa
karakteristik gejala yang bisa timbul apabila terjadi kerusakan pada bagian-bagian tertentu pada system
yang terkait;
1. Lesi pada Upper Motor Neuron
Tanda :
Kelemahan atau paralisis
Spastisitas
Peningkatan reflex tendon
Adanya reflex patologi(babinsi, Oppen heim, Gordon,dll)
Tidak adanya atrofi otot degenerative
6
Turun atau hilangnya reflek eksteroseptif(reflex abdominal, kremaster, plantar)
2. Lesi pada Lower Motor Neuron
Tanda:
Kelemahan atau paralisis
Hypotonia(Flaciditas)
Kelemahan dan hiporefleksia
Terjadi atrofi otot
Reflek abdomen dan plantar bisa normal sampai menurun
3. Lesi pada Cereblum(disfungsi Cereblum)
Tanda:
Hypotoni
Reflek tendon menurun
Ataxia(kehilangan keseimbangan)
Kelainan gaya berjalan(Langkah cepat)
Gangguan keseimbangan
Gangguan pergerakan mata
Dysarthria
4. Kelainan pada Neuromuscular-Transmision
Tanda:
Tonus otot bisa normal sampai menurun
Reflex tendon dan superficial bisa normal sampai menurun
Tidak ada perubahan sensory
Kelemahan tapi penyebarannya tidak lengkap (tidak sesuai dengan struktur anatomi yang
terkena)
Terutama berkaitan dengan tingkat aktivitas
5. Kelainan Pada Otot(Myopathi)
Tanda:
Kelemahan, biasanya lebih di proksimal daripada distal
Tidak ada kelumpuhan otot atau penurunan reflex tendon kecuali jika terjadi perburukan
Reflek abdomen dan plantar normal
Tidak ada gangguan sensory ataupun spingter.
7
Selain itu, perlu juga ditanyakan status pasien keseluruhan,termasuk tentang kelainan atau penyakit
yang pernah dialami pasien secara lengkap, tekanan darah, kadar gula darah, keadaan kardio-respirasi,
keadaan hidrasi, elektrolit, asam-basa, keadaan ginjal, dll.
Untuk memastikan letak, jenis dan luas lesi perlu dilakukan Pemeriksaan CT-scan, walaupun pada
beberapa keadaan sering tidak ditemukan tanda-tanda abnormal sehingga pemeriksaan ini perlu
diulang. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan MRI untuk lebih memastikan letak dan jenis lesi.
8
UMN
Pada pergerakan normal, dibutuhkan 4 komponen agar suatu pergerakan normal dapat berlangsung,
yaitu :
1. Upper Motor Neuron (UMN)
2. Lower Motor Neuron (LMN)
3. Neuro Muskular Junction (NMJ)
4. Otot
Tapi pada laporan kali ini, hanya akan dibahas mengenai UMN dan LMN beserta gangguannya.
Definisi UMN
Ialah semua neuron yang menyalurkan
impuls motorik ke lower motor neuron
(LMN).
Berdasarkan perbedaan susunan
anatomic dan fisiologik dibedakan
menjadi :
Traktus pyramidal
Traktus ekstrapiramidal.
Traktus piramidalis
9
Serabut sarafnya muncul sebagai sel pyramidal yang terletak di lapisan kelima korteks serebri. Sekitar
sepertiga serabut ini berasal dari korteks motorik primer (area 4), sepertiga dari korteks motorik
sekunder (area 6), dan sepertiga dari lobus parietalis (area 3, 1, dan 2); jadi dua pertiga serabut traktus
corticospinalis berasal dari gyrus precentralis. Serabut desendens mengumpul di korona radiata,
kemudian berjalan melalui capsula interna. Selanjutnya, traktus ini melanjutakn perjalanan perjalanan
melalui tiga perlima bagian medial basis pedunculi mesencephalon. Saat memasuki pons, traktus
terbagi menjadi banyak berkas oleh serabut pontocerebellaris transversal. Di dalam medulla oblongata,
berkas membentuk kelompok di sepanjang tepi anterior dan membentuk benjolan yang disebut
pyramid. Pada pertemuan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, hampir semua serabut
menyilang di decussatio pyramidum.
Traktus ekstrapiramidal
adalah semua traktus decendens
selain tractus corticospinalis.
10
Fungsi Traktus Piramidal dan Ekstrapiramidal
Tr Piramidal Tr Ekstrapiramidal
Impuls piramidalis : gerak fasik Gerak tonik
Gerakan halus, jitu, tangkas Gerakan massal
Menentukan ketangkasan gerakan Menentukan tonus otot, menentukan
kedudukan/postur tubuh dan anggota tubuh
Memberi landasan yang menentukan agar gerakan
tangkas itu daoat dilakukan
Tanda Klinis
Tanda-tanda kelumpuhan UMN
1. Tidak ada atrofi dan fasikulasi (gerakan kedutan singkat dan irregular yang terlihat melalui kulit)
11
2. Tonus otot meninggi (hipertoni)
- Karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsic
medulla spinalis
- Cirri khas disfungsi kompleks ekstrapramidalis
- Dapat muncul bila terjadi lesi di korteks motorik primer dan korteks tambahan
- Lesi yang mengganggu kompleks ektrapiramidal akan mengganggu kompleks
ekstrapiramdal juga
- Hipertonia tidak melibatkan semua otot skeletal, melainkan otot-otot fleksor seluruh
lengan serta otot-otot adductor bahu, dan pada tungkai, otot-otot ekstensornya serta
otot-otot plantarfleksinya
3. Hiperfleksia
- Refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa. Gerak otot bangkit secara berlebihan
meskipun perangsangan pada tendon lemah.
4. Postur
- Tanda lain lesi ringan pada UMN di ekstremitas atas dapat dilihat dengan meluruskan
kedua lengan pasien, telapak tangan menghadap atas dan mata ditutup. Sisi yang
terkena akan lebih dahulu menjalani pronasi kemudian bergerak ke bawah.
5. Klonus
- Gerak otot refleks yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih
berlangsung.
Ciri kelumpuhan pada UMN
Kelumpuhan UMN Gambar
12
Monoparesis
Kontralateral
Lesi pada korteks serebri sebelum
masuk ke kapsula interna [Mis:
Stroke]
>> bisa Wajah, Tangan, Kaki
Monoparesis
Ipsilateral
Lesi pada medula spinalis pada salah
satu sisi di bawah segmen servikal
>> kaki
Hemiparesis
Kontralateral
Lesi pada Kapsula Interna
>> dari Wajah-Tangan-Kaki
Hemiparesis
Ipsilateral
Lesi pada medula spinalis pada salah
satu sisi di atas atau tepat pada
segmen servikal
>> dari tangan-kaki
Paraparesis Lesi pada segmen medulla spinalis
(terkena pada kedua kolumna
lateral) di bawah segmen serikal
>> bisa Kaki, Kaki+Tangan
13
Tetraparesis/
Quadriparesi
s
Lesi pada kedua sisi medulla spinalis
di atas level servikal atau tepat pada
medulla oblongata
>> dari Kaki-Tangan-Wajah
Lesi pada traktus pyramidalis
1. Terdapat tanda Babinski. Terjadi dorsofleksi ibu jari kaki dan jari lainnya bergerak keluar sebagai
respon terhadap goresan pada kulit telapak kaki sepanjang sisi lateral. Normalnya traktus
kortikospinalis menimbulkan plantarfleksi jari kaki sebagai respon terhadap stimulus sensorik
pada kulit telapak kaki, bila tidak berfungsi maka pengaruh traktus decendens lainnya akan
terlihat dan timbuk refleks withdrawal sebagai respon terhadap stimulus di telapak kaki. Namun
hal ini normal sampai setahun pertama kelahiran, karena tracrus corticospinal belum bermielin
sampai akhir tahun pertama kehidupan.
2. Tidak ada refleks abdominalis superficialis. Otot-otot abdomen tidak berkontraksi ketika kulit
abdomen digores. Refleks ini bergantung pada keutuhan traktus corticospinalis yang
menggunakan pengaruh eksitasi tonik terhadap neuron-neuron internunsial.
3. Tidak ada refleks kremaster. Oto-otot kremaster tidak dapat berkontraksi saat kulit sisi medial
paha digores. Lengkung refleks ini berjalan melalui segmen lumbalis I medulla spinalis. Refleks
ini bergantung pada keutuhan traktus corticospinalis yang menggunakan pengaruh eksitasi tonik
terhadap neuron-neuron internunsial.
4. Terjadi kehilangan penampilan gerakan- gerakan tangkas halus. Hal ini terutama terjadi pada
ujung-ujung distal ekstremitas.
Lesi pada traktus ekstrapiramidalis
1. Paralisis berat dengan sedikit atau tidak ada atrofi (kecuali karena disuse atrophy)
2. Spastisitas atau hipertonisitas otot. Ekstremitas inferior dipertahankan dalam posisi ekstensi dan
ekstremitas superior pada posisi fleksi
3. Peningkatan refleks otot dalam serta klonus dapat terjadi pada otot – otot fleksor jari-jari
tangan, m. quadriceps femoris, dan otot-otot betis.
14
4. Reaksi pisau lipat. Ketika dilakukan gerakan pasif pada sendi terdapat resitensi yang disebabkan
oleh spastisitas otot. Pada waktu diregangkan, tiba-tiba tahanan otot akan menghilang karena
adanya inhibisi pada organ neurotendinosa.
Manifestasi gangguan pada Tr Piramidal dan Tr Ekstrapiramidal
Sindrom Piramidal Sindrom Ekstrapiramidal
Sifat hipertonia Clasp – knife Rigiditas lead pipe & cogwheel
Otot yang hipertonik Fleksor lengan & ekstensor
tungkai
Fleksor lengan & tungkai
Gerakan involuntar (-) (+) : tremor, korea, atetosis, distonia
Refleks tendon Meningkat Normal/sedikit meningkat
Refleks Babinski (+) (-)
kelumpuhan (+) (-)
15
LMN
Kelumpuhan LMN
Kelumpuhan LMN timbul akibat kerusakan pada final common path, motor end plate dan otot.
Tanda
Kelemahan atau paralisis
Hipotonia
Kehilangan refleks tendon
Normal pada abdominal dan tendon refleks.
Kelumpuhan LMN di uraikan menurut komponen-komponen LMN :
Kelumpuhan LMN akibat lesi di motorneuron
1. Sindrom lesi di kornu anterius
Contohnya : pada poliomielitis anterior akut.
Gejala awal berupa gejala infeksi umum : demam, lesu, sakit kepala, berkeringat banyak,
anoreksia, sakit kerongkongan, muntah, diare, dan nyeri otot.
16
Tahap kelumpuhan bermula pada akhir tahap nyeri muskular. Anggota gerak yang mengalami
kelumpuhan adalah ekstremitas. Korban poliomyelitis anterior akut adalah terutama terjadi
pada anak-anak.
2. Sindrom lesi yang selektif merusak motorneuron dan jaras kortikospinalis
Karena sebab yang belum diketahui, motorneuron trunkus serebri dan medulla spinalis dalam
kombinasi dengan serabut-serabut kortikobulbar/kortikospinal dapat bergenerasi. Beberapa
patogenesis yang mungkin telah dikemukakan :
a. Poliomielitis kronik
b. Penyakit herediter
c. Slow viral infection
d. Akibat toksin yang berlokasi di substansia grisea sentralis.
Menimbulkan kelumpuhan yang disertai tanda LMN dan UMN secara berbauran. Namun pada
tahap lanjut hanya tanda LMN saja yang tertinggal. Di batang otak, inti-inti saraf otak motorik
terkena proses degeneratif itu juga, sehingga lidah dan otot-otot penelan lumpuh secara
bilateral. Atrofi dan fasikulasi tampak pada lidah dengan jelas. Namun bisa ditemukan refleks
maseter meninggi.
3. Sindrom lesi yang merusak motorneuron dan fusikulus anterolateralis.
Biasanya disebabkan oleh penyumbatan a.spinalis anterior. Penyumbatan ini mengakibatkan lesi
vaskular (infark) pada satu sampai beberapa segmen, sehingga menimbulkan :
1. Kelumpuhan LMN bilateral pada otot-otot yang disarafi oleh motorneuron yang terkena lesi
2. Hilangnya perasaan akan nyeri, suhu dan perabaan pada bagian tubuh secara bilateral dari
tingkat lesi ke bawah
3. Masih utuhnya kemampuan untuk merasakan rangsangan gerak, getar, sikap dan posisi
bagian tubuh.
Kelumpuhan LMN akibat lesi di radiks ventralis
1. Kelumpuhan akibat kerusakan pada seluruh radiks ventralis
Kelumpuhan LMN yang disebabkan oleh kerusakan pada radiks ventralis dicirikan oleh adanya
fibrilasi. Sebenarnya foramen elekromiografik itu mengungkapkan keadaan otot yang
mengalami denervasi.
Kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, berikut kelompok otot di
sekitar persendian bahu dan pinggul.
2. Kelumpuhan akibat kerusakan pada radiks ventralis setempat.
17
Kelumpuhan LMN yang terjadi akibat kerusakan radiks ventralis dari satu atau dua segmen saja,
tidak akan mempunyai arti, jika yang dilanda otot yang menyusun muskulatur toraks atau
abdomen. Lain halnya jika otot anggota gerak yang terkena kelumpuhan, kecanggungan gerakan
voluntar.
Proses patologik yang mengganggu radiks ventralis (dan dorsalis) setempat, pada umumnya
lebih jelas (dan juga lebih dini) diungkapkan oleh gangguan terhadap radiks dorsalisnya. Lesi
yang mengganggu satu radiks menimbulkan gejala motorik dan sensorik yang khas. Kelebihan
dan defisit sensoriknya atau nyerinya kedua-duanya menunjukkan sifat radikular, yang berarti,
yang terkena kelainan adalah kawasan satu dermatoma atau satu miotoma saja. Misalnya,
penekanan pada radiks ventralis C.5 dan C.6 menimbulkan atrofia dan kelemahan tenaga otot-
otot yang berasal dari miotoma C.5 dan C.6, yang menyusun otot-otot bahu (m.supraspinatus,
m.teres mayor, m.deltoideus, m.infraspinatus, m.subskapularis, dan m.teres mayor).
Kelumpuhan akibat kerusakan pada pleksus brakialis
Di tingkat torakal dan lumbal atas saraf spinal langsung berlanjut sebagai saraf perifer. Tetapi di
tingkat intumesensia servikalis dan lumbosakralis saraf spinal menghubungi satu dengan yang lain
melalui percabangan anastomosis masing-masing, sehingga membentuk anyaman, yang dinamakan
pleksus servikalis dan pleksus brakialis.
Kelumpuhan akibat lesi di pleksus brakialis dapat disebabkan oleh lesi yang merusak secara
menyeluruh atau setempat. Proses degeneratif herediter, toksik, neoplamatik atau infeksi dapat
merusak secara menyeluruh. Lesi yang menduduki sebagian dari pleksus brakialis biasanya berupa
trauma, penekanan, dan penarikan setempat.
Pada sindrom pleksus brakialis akibat proses difus di seluruh pleksus brakialis terdapat kelumpuhan
LMN dengan fibrilasi dan nyeri spontan, yang dapat bergandengan dengan hipalgesia atau dengan
parastesia. Walaupun terdapat manifestasi yang menyeluruh pada lengan dan bahu, pada umumnya
gejala-gejala abnormal yang berat terdapat diarea sensorik dan motorik C.5 dan C.6 saja. Saraf
perifer yang terutama disusun oleh serabut-serabut radiks ventralis dan dorsalis C.5 dan C.6 itu ialah,
n.frenikus, n.torakalis longus, m.supraklavikularis, n.skapularis dorsalis dan n.ulnaris.
Kelumpuhan akibat lesi di pleksus lumbosakralis
Anyaman pleksus lumboskralis lebih sederhana daripada anyaman pleksus brakialis. Oleh karena
semua saraf perifer bagia tungkai merupakan lanjutan langsungnya. Kelumpuhan akibat lesi
18
setempat di pleksus lumbosakralis sukar dibedakan dari kelumpuhan akibat lesi di bagian proksimal
n.femoralis, n.obturatorius, dan n.iskiadikus.
Manifestasi sensorik akibat lesi di pleksus lumbosakralis lebih menonjol ketimbang manifestasi
motoriknya.
Kelumpuhan akibat lesi di fasikulus
Lesi di fasikulus lateralis dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus ke lateral dan menimbulkan
kelumpuhan LMN pada otot-otot biseps brakial, korakobrakial, dan lain-lain otot yang dipersarafi
oleh n.medianus, kecuali otot-otot intrinsik tangan.
Kerusakan pada fasikulus posterior jarang terjadi. Jika karena sebab yang tidak dapat dipastikan
lesi itu toh terjadi, maka kelumpuhan LMN dan defisit sensorik dapat dijumpai pada kawasan
n.radialis.
Lesi pada fasikulus medialis disebabkan oleh dislokasi humerus ke arah subkorakoid, sehingga
menimbulkan kelumpuhan LMN dan defisit sensorik di kawasan dan sensorik n.ulnaris. Paralisis
LMN akibat lesi di pleksus dan fasikulus tidak banyak berbeda dengan kelumpuhan yang terjadi
akibat lesi di n.radialis, n.ulnaris dan n.medianus
Kelumpuhan akibat lesi di saraf perifer
A. Kelumpuhan akibat lesi di saraf perifer yang berinduk pada pleksus brakialis
1. N. torakalis longus
Kerusakan pada n.torakalis longus menimbulkan gejala winging. Ini disebabkan oleh
kelumpuhan m.seratus anterior, yang bertugas untuk mengikat scapula pada dinding belakang
toraks, apabila lengan melakukan gerakan mendorong melawan suatu tahanan.
2. N. aksilaris
Lesi pada n.aksilaris jarang dijumpai, kecuali jika terpotong alat tajam, yang sekaligus merusak
otot-otot deltoid dan teres mayor.
Pasiennya mengeluh tentang kelemahan otot deltoid yang cepat menjadi atrofik. Kontur bahu
mendatar dan lengan tidak dapat diabduksikan dan dieksorotasikan. Defisit sensorik mungkin
dirasakan di daerah kecil di bagian lateral dari lengan.
3. N. radialis
N. radialis sering mengalami trauma pada 1/3 bagian bawahnya. Dalam hal itu m.triseps dan
m.brakioradialis ridak terkena kelumpuhan, sedangkan otot-otot lainnya yang dipersarafi
n.radialis menjadi lumpuh.
19
Lesi yang sering merusak bagian atas n.radialis adalah fraktur tulang humerus. Terutama
bagian n.radialis yang melilit di bagian dorsomedial tulang humerus ke bagian
ventrolateralnya.
Pada kelumpuhan n.radialis baik akibat lesi di bagian atas maupun di bagian bawahnya, yang
paling jelas adalah kelumpuhan yang diperlihatkan oleh tangan. Karena otot-otot ekstensor
karpi radialis dan ulnaris lumpuh, maka tangan tidak dapat melakukan gerakan dorsofleksi
pada sendi pergelangan tangan. Lagipula, karena otot-otot ekstensor segenap jari (m.ekstensor
digitorum, m.ekstensor digiti kuinti, m.ekstensor polisis longus/brevis, dan m.ekstensor indiksis
proprius) lumpuh, maka semua jari tangan tidak dapat diluruskan atau dikembangkan.
Keadaan ini dikenal sebagai drop fingers dan drop hand (seluruh tangan dan jari-jarinya
bersikap menjulai).
4. N. muskulokutaneus
Kelumpuhan akibat lesi pada n.muskulokutaneus sering terjadi secara bergandengan dengan
“kelumpuhan malam minggu”. Dalah hal itu, n.muskulokutaneus ditindihi oleh kepala (wanita)
yang jatuh tertidur dalam pelukan pacaranya, yang setelah mabuk alcohol tertidur duduk di
kursi dengan lengannya bersandar di atas sandaran kursi. Oleh karena sebagian dari m.biseps
lumpuh, namun m.brakioradialis tidak terkena kelumpuhan, maka lengan masih bisa
ditekukkan dipersendian siku, meskipun tidak sekuat sebagaimana mestinya.
5. N. medianus
N.medianus sering terjepit atau tertekan dalam perjalanannya melalui m.pronator teres, siku,
dan retinakulum pergelangan tangan. Pada luka di pergelangan tangan, n.medianus dapat
terpotong bersama dengan n.ulnaris. Hal itu sering terjadi pada kecelakaan dimana tangan
menerobos kaca. Kelumpuhan yang menyusulnya melanda ketiga jari sisi radial, sehingga ibu
jari, jari telunjuk dan jari tengah tidak dapat difleksikan, baik di sendi metakarpofalangeal,
maupun di sendi interfalangeal. Ibu jari tidak dapat melakukan oposisi dan abduksi. Atrofi otot-
otot tenar akan cepat menyusul kelumpuhan tersebut.
6. N. ulnaris
Lesi pada n.ulnaris dapat terjadi karena fraktur atau dislokasi siku. Oleh karena kubitus valgus
atau osteofit n.ulnaris dapat tergeser, sehingga pindah dari belakang kondilus humeri ke
depannya. Sering jumpa kita jumpai neuritis n.ulnaris karena kuman Hansen. Pada tahap
dininya dirasakan nyeri sepanjang jari kelingking, namun pada tahap lanjutnya terdapat
anesthesia dan clawhand.
20
B. Kelumpuhan akibat lesi di saraf perifer yang berinduk pada pleksus lumbosakralis.
1. N. femoralis
Kelumpuhan yang timbul akibat lesi di n.femoralis tampak jelas pada m.kuadriseps femoris.
Karena itu lutut tidak dapat diluruskan dan atrofia cepat tampak padanya. Lesi pada
n.femoralis dapat terjadi akibat abses psoas, karena tepat setinggi m.psoas, n.femoralis
berinduk pada pleksus lumbosakralis. Pada bagian-bagian yang lebih bawah letaknya dapat
terjadi kerusakan karena neoplasma di pelvis, fraktur dari pelvis atau femur, dan dislokasi
sendi panggul. Diabetes mellitus dapat mengakibatkan neuropati n.femoralis.
2. N. obturatorius
Kelumpuhan akibat lesi di n.obturatorius dapat diungkapkan pada waktu penderita tidur
telentang dengan kedua tungkai tertekuk di sendi lutut. Tungkai dengan
kelumpuhanm.aduktor longus/brevis dan m.grasilis tidak dapat mempertahankan sikap itu,
sehingga jatuh ke samping.
3. N. iskiadikus
N.iskiadikus dapat terusak oleh fraktur tulang pelvis, tulang femur, atau kolum femuris atau
pun suntikan yang tidak tepat. Penekanan/penarikan terhadap n.iskiadikus oleh neoplasma di
pelvis atau osteofit di spina iskiadika, atau pun perandangan yang melanda n.iskiadikus dapat
menimbulkan nyeri yang terasa menjalar sepanjang perjalanan n.iskiadikus berikut selanjutnya
(n.tibialis dan n.peroneus).
Lesi pada n.peroneus sering terjadi karena fraktur kaput tulang fibula. Di dekat kaput fibulae
itu n.peroneus bisa terjerat oleh jaringan pengikat. Kelumpuhan yang timbul terutama
melanda m.peroneus dan untuk sebagian kecil m.tibialis anterior. Gambaran “”drop foot”
sangat menonjol.
Lesi pada n.tibialis jarang terjadi. Karena peluru atau tusukan n.tibialis bisa putus.
M.gastroknemius, m.soleus, m.popliteus, m.plantaris, m.tibialis posterior berikut m.fleksor
digitorum longusdan m.fleksor haluksis longus lumpuh dan kemudian menjadi atrofik. Karena
itu kaki menunjukkan sikap yang khas, yaitu sikap “talipes kalkaneovalfus”, pada mana kaki
menapak terutama dengan tumit dan bagian samping kaki saja, tanpa dengan telapak kakinya.
Kelumpuhan akibat lesi pada “motor end plate”
Misalnya pada penyakit miastenia gravis, yaitu kelemahan otot yang berbahaya, telah ditemukan
adanya antibodi yang menduduki reseptor asetilkolin dari “motor end plate”, sehingga ia tidak dapat
21
menggalakkan serabut-serabut otot skeletal. Antibodi ini dikenal sebagai anti-acetylcholine receptor
antibody yang terbukti dibuat oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses imunologik. Menurut
konsep lama, membrane postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi imunologi. Karena
itu penyerapan asetilkolin sangat menurun. Lagi pula jarak antar membran ujung terminal akson
motorneuron dan membrane “motor end plaet” menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase
mendapat kesempatan lebih besar untuk menghancurkan lebih banyak asetilkolin sehingga potensial
aksi postsinaptik yang dicetuskannya menjadi lebih kecil. Konsep ini tampak sesuai dengan sifat khas
kelemahan otot pada miestenia gravis. Kontaksi otot skeletal pertama-tama berlangsnung normal,
namun berangsur-angsur melemah dan berakhir dengan kelumpuhan total. Setelah istrahat,
kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi. Kelemahan yang
bergelombang ibni dikenal sebagai kelemahan miastenik.
Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan miastenik adalah otot-otot ocular dan penelan. Otot-
otot anggota gerak dan pernapasan dapat terkena juga pada fase lanjut dari miastenia gravis.
Membrane “motor end plate” yang menghadap celah sinaptik
Kelumpuhan akibat lesi di otot. (kelumpuhan miogenik)
Lesi di otot dapat berupa kerusakan structural pada serabut otot atau selnya yang disebabkan oleh
infeksi, intoksikasi eksogenik/endogenik dan degenerasi herediter.
Klasifikasi penyakit otot yang kini dianut adalah sebagai beikut ;
a. Distrofia muskulorum. Segala macam penyakit otot yang disebabkan oleh faktor patologik
kromosomal dinamakan distrifia otot.
Factor patologik kromosomal mungkin mengganggu kegiatan enzim-enzim yang berperan dalam
metabolism otot. Enzim yang menghasilkan gaya besar untuk memungkinkan serabut otot
berkontraksi ialah Creatine phosphokinase (CPK) dan adenosine triphosphatase (ATP). Pada
penderita distrofia muskulorum terdapat CPK serum dalam jumlah besar.
b. Miopati. Penyakit-penyakit otot yang tidak herediter dan tidak disebabkan oleh proses infeksi
dinamakan miopati.
Kelainan morfologii yang terlihat pada kasus-kasus miopati berbeda-beda. Ada yang
memperlihatkan penimbunan mitokondria pada garis Z, vakuolisasi, penimbunan glikogen dan
banyak yang tidak memperlihatkan kelainan struktural.
Kita kenal miopati yang timbul pada tahap tertentu berbagai penyakit endokrin, seperti
tirotoksikosis, sindrom Cushing, penyakit Addison dan akromegalia.
22
Akibat gangguan metabolik dapat berkembang miopati, misalnya, pada steatore, hipoglikemik
kronik, mioglobinuria idiopatika, osteomalasia dan penimbunan glikogen.
Miopati iatrogenik dapat terjadi akibat penggunaan obat kortikostreoid yang berlebihan.
c. Miositis, ialah segala macam penyakit otot yang disebabkan oleh infeksi baik secara langsung
maupun tak langsung.
Miositis yang paling sering dijumpai adalah miositis reumatika atau polimiositis. Oleh karena
reumatik merupakan gangguan autoimun maka miositis dianggap sebagai manifestasi proses
autoimun juga. Demikian halnya dengan anggapan mengenai miopati yang timbul pada penderita-
penderita neoplasma ganas.
Miosistis infeksiosa adalah radang otot yang timbul bersama-sama dengan infeksi virus umum.
Nyeri otot dan kelemasan merupakan gejala utamanya. Infeksi banal jarang berkomplikasi pada
otot. Penyakit paralisis yang dapat menimbulkan miositis ialah trikinosis spiralis.
Perbedaan kelumpuhan UMN dan LMN
23
Ganglia Basalis
TERMINOLOGI
Istilah nuclei basalis diberikan kepada sekelompok massa substantia grisea yang terletak di dalam
setiap hemispherium cerebri. Massa-massa tersebut adalah corpus striatum, nucleus amygdala, dan
Claustrum.
CORPUS STRIATUM
24
Corpus striatum terletak di lateral talamus dan hampir terbagi secara lengkap oleh sebuah pita serabut
saraf—capsula interna—menjadi nucleus caudatus dan lentiformis.
Nucleus caudatus
Nucleus caudatus adalah massa substantia grisea berbentuk huruf-C yang berhubungan erat dengan
ventriculus lateralis dan terletak di lateral talamus. Permukaan lateral nucleus berhubungan dengan
capsula interna, yang memisahkannya dengan nucleus lentiformis. Untuk mendeskripsikannya, nucleus
caudatus terbagi menjadi Caput, corpus, dan cauda.
Nucleus Lentiformis
Nucleus lentiformis adalah massa substantia grisea berbentuk baji dengan dasarnya yang konveks meng-
hadap ke lateral dan ujungnya menghadap ke medial. Nucleus ini tertanam dalam di substantia alba
hemispehrium cerebri dan di bagian medial berhubungan dengan capsula interna, yang memisahkannya
dengan nucleus caudatus dan talamus.
NUCLEUS AMYGDALA
Nucleus amygdala terletak di dalam lobus temporalis dekat dengan uncus. Melalui hubungan-
hubungannya, nucleus ini dapat memengaruhi respons tubuh terhadap perubahan lingkungan. Misalnya,
sensasi takut sehingga nucleus amygdala dapat mengubah denyut jantung, tekanan darah, warna kulit,
25
dan laju pernapasan.
CLAUSTRUM
Claustrum merupakan selembar tipis substantia nigra yang dipisahkan dari permukaan lateral nucleus
lentiformis oleh capsula externa. Lateral terhadap claustrum terdapat substantia alba subkortikal insula.
Fungsi claustrum tidak diketahui.
26
FUNGSI NUCLEUS BASALIS
Nuclei basalis berhubungan satu dengan yang lain dan dihubungkan dengan berbagai area susunan
saraf pusat oleh neuron-neuron yang sangat kompleks.
Pada dasarnya, corpus striatum menerima informasi aferen dari hampir seluruh cortex cerebri, talamus,
subtalamus, dan batang otak, termasuk substantia nigra. Informasi diintegrasikan di dalam corpus
striatum dan aliran keluar berjalan kembali ke area-area yang disebutkan di atas. Lintasan sirkular ini
diduga berfungsi sebagai berikut :
Aktivitas nuclei basalis diinisiasi oleh informasi yang diterima dari area premotorik dan area korteks
motorik suplementer, korteks sensorik primer, talamus, dan batang otak. Aliran keluar dari nuclei basalis
dialirkan melalui globus pallidus, yang kemudian memengaruhi aktivitas area motorik cortex cerebri
atau pusat-pusat motorik lain di batang otak. Jadi, nuclei basalis mengendalikan gerakan otot dengar.
memengaruhi cortex cerebri dan tidak memiliki kontrol langsung jaras desendens ke batang otak dan
27
medulla spinalis. Dengan cara ini, nuclei basalis membantu regulasi gerakan voluntar dan pembelajaran
keterampilan motorik.
Kerusakan pada korteks primer menyebabkan seseorang sulit melakukan gerakan-gerakan halus dan
tangkas pada tangan dan kaki sisi tubuh yang berlawanan. Namun, gerakan umum yang kasar pada
ekstremitas, sisi kontralateral masih dapat dilakukan. Jika kemudian terjadi kerusakan corpus striatum,
timbul paralisis pada gerakan-gerakan kasar tersebut pada sisi ekstremitas yang berlawanan.
Nuclei basalis tidak hanya memengaruhi timbulnya sebuah gerakan tertentu - seperti pada
ekstremitas—tetapi juga membantu mempersiapkan gerakan. Hal ini dapat terjadi dengan
mengendalikan gerakan aksial dan gelang bahu/panggul serta penempatan bagian-bagian proksimal
ekstremitas. Aktivitas neuron-neuron tertentu di globus pallidus meningkat sebelum terjadi gerakan
aktif pada otot-otot ekstremitas bagian distal. Fungsi persiapan yang penting ini memungkinkan badan
dan ekstremitas berada dalam posisi yang sesuai sebelum bagian motorik primer cortex cerebri
mengaktifkan gerakan tertentu pada tangan dan kaki.
28
GANGGUAN PADA GANGLIA BASALIS
Gangguan pada nuclei basalis terdiri dari dua tipe umum. Gangguan hiperkinetik, yaitu gangguan dengan
gerakan-gerakan abnormal dan berlebihan, seperti korea, atetosis, dan ballismus. Gangguan hipokinetik,
yaitu gangguan dengan berkurangnya gerakan-gerakan atau gerakan menjadi lambat. Penyakit Parkinson
termasuk pada kedua tipe gangguan motorik.
KOREA
Pada sindrom ini, pasien menunjukkan gerakan-gerakan involuntar, cepat, menghentak, iregular dan
tidak berulang. Gerakan-gerakan meringis dan gerakan kepala atau ekstremitas yang tiba-tiba merupakan
contoh yang baik.
Penyakit Huntington
Penyakit Huntington adalah penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan dengan onset
tersering pada masa dewasa. Kematian terjadi 15-20 tahun setelah onset. Penyakit ini disebabkan
oleh sebuah defek pada gen kromosom 4. Gen ini mengkodekan protein—huntingtin—yang
fungsinya masih belum diketahui. Kodon (GAG) yang mengkodekan glutamin diulangi lebih banyak
daripada normal. Penyakit ini mengenai pria dan wanita dengan frekuensi yang sama dan
sayangnya sering ditemukan setelah mereka mempunyai anak.
Pasien menunjukkan tanda dan gejala khas berikut:
1. Gerakan koreiform yang pertama kali muncul sebagai gerakan involuntar pada ekstremitas serta
kedutan pada wajah (facial grimacing). Selanjutnya, kelompok otot yang terlibat lebih banyak
sehingga pasien menjadi tidak dapat bergerak dan tidak dapat berbicara ataupun menelan.
2. Dementia progresif terjadi disertai kehilangan daya ingat dan kemampuan intelektual.
3. Pada penyakit ini, terjadi degenerasi neuron-neuron yang, mensekresi GABA (GABA-secreting),
substansi-P (substance P-secreting), dan asetilkolin (acetylcholine-secreting) di jaras inhibisi
striatonigra. Degenerasi ini mengakibatkan neuron-neuron di substantia nigra yang mensekresikan
dopamin menjadi lebih aktif sehingga jaras nigrostriata menginhibisi nucleus caudatus dan
putamen (Gambar 10-6). Inhibisi tersebut menimbulkan gerakan-gerakan abnormal yang terlihat
pada penyakit ini. Pemeriksaan melalui CT scan menunjukkan pembesaran ventriculus lateralis
yang terjadi akibat degenerasi nucleus caudatus. Terapi medis untuk korea Huntington me-
ngecewakan.
29
Korea Sydenham
Korea Sydenham (dansa St.Vitus) adalah penyakit pada anak yang ditandai dengan gerakan-
gerakan involuntar yang cepat dan iregular pada ekstremitas, wajah, dan badan. Kondisi ini
disebabkan oleh demam rematik. Struktur antigen bakteri streptokokus mirip dengan struktur
protein di membran neuron-neuron striata. Antibodi pejamu tidak hanya mengikat antigen bakteri,
tetapi juga menyerang membran neuron-neuron ganglia basalis. Hal ini menimbulkan gerakan-
gerakan koreiform, yang untungnya bersifat sementara, dan sembuh sempurna.
HEMIBALLISMUS
Kelainan ini merupakan bentuk gerakan involuntar yang mengenai satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada
otot-otot proksimal anggota gerak dan ekstremitas tiba-tiba bergerak ke segala arah tanpa dapat
dikendalikan. Lesi yang biasanya berupa stroke kecil terjadi pada nucleus subthalamicus sisi
kontralateral atau hubungan-hubungannya; gerakan-gerakan halus dari berbagai bagian tubuh
diintegrasikan di dalam nucleus subthalamicus.
PENYAKIT PARKINSON
Penyakit progresif yang belum diketahui penyebabnya ini dimulai pada usia antara 45 dan 55 tahun. Pe-
nyakit ini disebabkan oleh degenerasi neuron di dalam substantia nigra dan sedikit lebih luas pada globus
pallidus, putamen, dan nucleus caudatus. Penyakit ini mengenai sekitar satu juts orang di Amerika Serikat.
Degenerasi neuron substantia nigra yang mengirimkan akson ke corpus striatum mengakibatkan
berkurangnya pelepasan neurotransmiter dopamin di dalam corpus striatum. Hal ini mengakibatkan
hipersensitivitas reseptor dopamin pada neuron-neuron postsinaps di dalarn striatum.
Pasien memiliki tanda dan gejala khas sebagai berikut.
1. Tremor. Tremor terjadi akibat kontraksi agonis dan antagonis secara bergantian. Tremor laminar dan
paling jelas terlihat saat ekstremitas dalam keadaan istirahat. Tanda ini hilang pada tidur.
Tremor pada Parkinson harus dibedakan dengan intention tremor yang ditemukan pada penyakit
serebellar yang hanya timbul bila dillakukan gerakan yang bertujuan.
2. Rigiditas. Rigiditas pada penyakit Parkinson beda dengan rigiditas yang disebabkan oleh lesi upper
30
motor neuron; pada lesi upper motor neuron rigiditas pada kelompok otot yang berlawanan
mengalami tingkat rigiditas yang sama. Jika tre mor tidak ada, rigiditas dirasakan sebagai tensi
terhadap gerakan pasif dan kadang disebut rigiditas plastik. Jika terdapat tremor, tahanan otot
terlihat seperti serangkaian hentakan, yang disebut rigiditas roda besi (cogwheel rigidity).
3. Bradikinesia. Pasien sulit memulai (akinesia) dan melakukan gerakan-gerakan baru. Gerakannya
lambat, wajah tanpa ekspresi, serta suaranya tidak jelas dan tidak bertenaga. Ayunan lengan saat
berjalan hilang.
4. Gangguan postural. Pasien berdiri dengan membungkuk dan lengannya berada dalam keadaan fleksi.
la berjalan dengan langkah-langkah pendek dan sering tidak dapat berhenti. Bahkan, pasien tiba-tiba
dapat berlari dengan menyeret kakinya untuk mempertahankan keseimbangan.
5. Tidak terjadi penurunan kekuatan otot dan sensibilitas. Refleks abdomen superfisial normal dan tidak
terdapat respons Babinski karena tractus corticospinalis normal. Refleks tendon dalam normal.
A T E T O S I S
Atetosis terdiri dari gerakan-gerakan yang lambat, bergelombang, dan menggeliat (writhing), yang
hampir selalu mengenai segmen distal anggota gerak. Degenerasi globus pallidus terjadi akibat pemutusan
sirkuit yang melibatkan nuclei basalis dan cortex cerebri.
31
Serebelum
Serebelum mempunyai koneksi dua arah:
1. Koneksi yang pertama akan menghubungkan serebelum dan korteks serebri pada sisi
kontralateral
(Misal: hemisfer serebelum kiri akan berkomunikasi dengan hemisfer serebrum pada bagian
kanan)
2. Koneksi yang kedua menghubungkan serebelum dengan otot- otot pada sisi tubuh yang
sama yang melewati medulla oblongata dan medulla spinalis pada sisi ipsilateral
Fungsi dari serebelum adalah:
a. Untuk mengontrol pergerakan halus volunter
b. Mengkoordinasikan input sensoris dan output motorik.
Kelainan Serebelum
Karakteristik klinis jika terdapat lesi pada serebelum:
1. Aktivitas otot yang tidak terkoordinasi
32
Kepala Nystagmus, Disartria
Tangan Finger-nose ataxia, Tremor kinetik
Kaki Heel-knee-shin ataxia, Gait ataxia
2. Tidak ada kelumpuhan
3. Jika kelainan hanya terdapat pada satu hemisfer serebeli, maka sisi Ipsilateral yang
mengalami kelainan sedangkan sisi Kontralateral tetap normal.
33
Sistem Vaskularisasi Otak
Darah mengalir ke otak melalui 2 arteri karotis dan 2 arteri vertebralis, arteri karotis interna setelah
melepaskan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis
karotikus, kemudian berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri nervus optikus dan dan
retina, akhirnya bercabang dua : arteri serebri anterior dan arteri serebri media.
Arteri Karotis
Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi pada region sentral dan lateral hemisfer, arteri serebri
anterior memvaskularisasi korteks frontalis, parietalis bagian tengah, korpus kalosum, dan nukelus
kaudatus. Arteri serebri media memvaskularisasi korteks lobus frontalis, parietalis, dan temporalis.
Arteri Vertebralis
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia,
menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga
kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli
34
inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi arteri basilaris. Selanjutnya,
arteri Basilaris akan menjadi arteri serebri posterior.
35
Stroke
Definisi
Kehilangan fungsi neurologis secara tiba-tiba karena menurunnya/terputusnya aliran darah ke otak, yg menimbulkan gejala defisit neurologis yg bertahan lebih dari 24 jam.
Faktor resiko
1. HT2. Peny-Jantung3. DM4. Rokok5. Dislipidemia6. Kelainan Darah7. Kelainan Pembuluh Darah8. Stress9. Lansia
Klasifikasi Infark
1. TIA2. Stroke In Evolution3. Completed Stroke4. Lakunar Stroke Hemoragik
1. SAH (PSA) Perdarahan Sub-Araknoid 2. ICH (PIS) Perdarahan Intra-Serebr
Gejala Klinis (Penjelasan Kerusakan pada Tiap Arteri )
1. Arteri Serebral Media kehilangan fungsi kontralateral wajah dan tangan ; kehilangan sensoris
kontralateral pada wajah dan tangan; dysphasia; dyslexia; dysgraphia; dyscalculia.
2. Arteri Serebral Anterior kehilangan motor dan sensor tungkai kontralateral
3. Arteri Serebral Posterior hemianopia homonim kontralateral
4. Arteri Karotis Interna ada keterlibatan wajah, tangan, dan tungkai, atau tanpa hemianopia
homonim
5. Arteri Ophthalmic (cabang dari arteri carotis interna) kehilangan visual monokular
36
6. Arteri Vertebrobasilar :
Double vision(nervus III, IV, VI);
Kebas pada wajah (nervus V);
Kelemahan otot wajah (nervus VII);
Dysphagia (nervus IX, X);
Dysarthria (nervus XII);
Ataxia (cerebellum);
Kehilangan sensoris lengan dan kaki
7. Arteri Kecil / Arteriol Penetrating:
Pure Loss of motorik kontralateral tungkai;
Pure Loss of sensorik kontralateral tungkai
37
Stroke Iskemik
Reduksi atau penurunan darah ke bagian manapun pada otak dapat menyebabkan iskemia,
kehilangan fungsi yang reversible, dan kemudian apabila reduksi aliran darah ini berat dan lama,
akan terjadi infark dengan kematian sel ireversibel
Etiologi
Thrombosis arteri atau vena pada SSP dapat disebabkan ≥ 1 trias Virchow :
a. Abnormalitas dinding pembuluh darah, umumnya penyakit degenerative, dapat juga karena
inflamasi (vaskulitis), atau trauma (diseksi).
b. Abnormalitas darah, misalnya polisitemia.
c. Gangguan aliran darah.
Embolisme dapat merupakan komplikasi dari penyakit degenerative arteri SSP, atau dapat juga berasal
dari jantung :
a. Penyakit katup jantung
b. Fibrilasi atrium
c. Infark miokard yang baru terjadi
Dua mekanisme patogenetik yang menyebabkan stroke iskemik :
1. Thrombosis dengan cara mengoklusi large cerebral arteries (terutama arteri carotis interna,
cereblar medial, atau basilar), arteri – arteri kecil (lacunar stroke), vena-vena cereblar, atau sinus
venosus. Gejala khasnya berkembang dari menit hingga berjam-jam, dan seringkali didahului
oleh TIA.
2. Embolisme menyebabkan stroke saat arteri cereblar teroklusi oleh embolus, bisa berasal dari
jantung, arkus aorta, atau large cerebral arteries. Karakteristik gejalanya adalah menyebabkan
defisit neurologis yang onsetnya maksimal.
Penyebab tersering stroke adalah penyakit degenerative arterial, baik arterosklerosis pada pembuluh
darah besar (dengan tromboemboli) maupun penyakit pembuluh darah kecil (lipohialinosis).
Kemungkinan berkembangnya penyakit degenerative arteri yang signifikan meningkat pada beberapa
factor resiko vascular.
38
Faktor Resiko Vaskular
1. Usia
2. Riwayat penyakit vascular/atheroma dalam keluarga
3. Hipertensi
4. Diabetes mellitus
5. Merokok
6. Hiperkolesterolemia
7. Alcohol
8. Kontrasepsi oral
9. Fibrinogen plasma
Patofisiologi
Insufisiensi hemodinamik
Autoregulasi cerebrovaskular secara normal mampu mempertahankan aliran darah cerebral (CBF)
konstan sebesar 50-69 ml/100 g jaringan otak/ menit sepanjang tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure - MAP) tetap berada dalam kisaran 50-150 mmHg. Apabila MAP turun hingga di bawah 50
mmHg, dan pada tingkat patologis tertentu (mis. Iskemia), maka autoregulasi akan jatuh dan CBF
menurun. Stenosis vascular atau oklusi akan menginduksi terjadinya kompensasi berupa vasodilatasi
downstream, yang meningkatkan volume darah cereblar dan CBF. Deficit neurologis mayor terjadi hanya
jika CBF jatuh di bawah ‘threshold iskemi’ kritis (20ml/100g/menit).
Hipoperfusi
Jika CBF yang adekuat tidak dikembalikan, terjadi disfungsi neurologis. Apabila terjadi lebih lama,
depresi berat CBF hingga di bawah ‘threshold infark’ (8-10ml/100g/menit) menyebabkan hilangnya
proses metabolic selular yang progresif dan ireversibel, diikuti oleh kerusakan structural/nekrosis.
Ischemic Penumbra, ialah area jaringan yang mengelilingi zona infark dimana CBF berada di antara
threshold iskemi dan infark. Area ini beresiko, namun berpotensial kembali sembuh. Semakin lama
terjadi iskemi, maka semakin besar kemungkinan terjadinya infark.
Manifestasi Klinis
Kehilangan fungsi yang terjadi tergantung dari area jaringan otak yang terlibat dalam proses iskemik.
1. Menunjukkan iskemia pada arteri cerebral medial :
- Kehilangan fungsi pada kontralateral wajah dan lengan
- Kehilangan rasa pada kontralateral wajah dan lengan
39
- Dysphasia
- Dyslexia, dysgraphia, dyscalculia
2. Menunjukkan iskemia pada arteri cerebral anterior :
- Kehilangan fungsi dan/atau rasa pada kontralateral tungkai
3. Menunjukkan iskemia pada arteri cereblar posterior :
- Contralateral homonymous hemianopia
4. Menunjukkan oklusi pada arteri carotis interna :
- Keterlibatan wajah, lengan, dan tungkai dengan atau tanpa homonymous hemianopia
5. Menunjukkan iskemia pada arteri ophthalmicus :
- Monocular loss of vision
6. Menunjukkan iskemia pada arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior):
- Double vision (nervus cranialis III, IV, dan VI dan koneksinya)
- Kelumpuhan facial (nervus cranialis V)
- Kelemahan facial (nervus cranialis VII)
- Vertigo (nervus cranialis VIII)
- Dysphagia (nervus cranialis IX, dan X)
- Dysarthria
- Ataxia
- Kehilangan fungsi atau rasa pada kedua lengan dan tungkai
- Tanda-tanda lesi batang otak (vertigo, diplopia, perubahan kesadaran).
7. Menunjukkan iskemia pada pembuluh darah kecil (stroke lacunar) :
- Stroke murni/ kehilangan murni fungsi dari kontralateral lengan dan tungkai
- Stroke murni/ kehilangan murni rasa dari kontralateral lengan dan tungkai
- Infark lakunar multiple dapat menyebabkan deficit neurologis multiple termasuk gangguan
kognitif (demensia multi – infark) dan gangguan pola berjalan yang karakteristiknya seperti
langkah-langkah kecil dan kesulitan untuk mulai berjalan.
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Stroke merupakan diagnosis klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk :
a. Mencari penyebab
b. Mencegah rekurensi dan, pada pasien yang berat, mengidentifikasi factor-faktor yang dapat
menyebabkan perburukan fungsi SSP.
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada pasien stroke :
40
a. Darah lengkap dan LED
b. Ureum, elektrolit, glukosa, dan lipid
c. Rontgen dada dan EKG
d. CT scan kepala terutama dilakukan apabila diagnosis klinis sudah jelas, tetapi pemeriksaan ini
berguna untuk membedakan infark serebri atau perdarahan, yang berguna dalam menentukan
tatalaksana awal. Pemeriksaan ini juga menyingkirkan diagnosis banding yang penting seperti
tumor intracranial atau hematoma subdural.
Komplikasi dan Prognosis
Pasien yang mengalami gejala berat seperti imobilisasi dengan hemiplegia berat, rentan terhadap
komplikasi yang dapat menyebabkan kematian lebih awal, yaitu :
- Pneumonia, septikrmia (akibat ulkus dekubitus atau infeksi saluran kemih)
- Deep vein thrombosis dan emboli paru.
- Infark miokard, aritmia jantung, dan gagal jantung.
- Ketidakseimbangan cairan.
Sekitar 10% pasien dengan infark serebri meninggal pada 30 hari pertama. Hingga 50% pasien yang
bertahan akan membutuhkan bantuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Factor-faktor yang berkontribusi pada disabilitas (ketidakmampuan) jangka panjang a.l :
- Ulkus dekubitus
- Epilepsy
- Jatuh berulang dan fraktur
- Spastisitas, dengan nyeri kontraktur dan kekakuan sendi bahu.
- Depresi
Terapi
Hingga saat ini belum ada terapi medikamentosa yang pasti efektif untuk memulihkan stroke.
Medical support
- Untuk mengoptimalkan perfusi serebral
- Menurunkan tekanan darah jika terdapat hipertensi maligna atau iskemi miokard yang
bersamaan atau jika TD > 185/110 mmHg dan jika diantisipasi untuk pemberian trombolitik
β1 adrenergik blocker.
- Glukosa serum harus di monitor dan dijaga < 6,1 mmol/L (110 mg/dL) menggunakan infus
insulin.
41
- Pencegahan terjadinya komplikasi
Terapi trombolitik, misalnya dengan activator plasminogen jaringan (tissue plasminogen activator – tPA)
telah terbukti memperbaiki outcome jika diberikan dalam 3 jam onset gejala. Dapat diberikan secara
intra vena.
Administration of Intravenous Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rtPA) for Acute Ischemic
Stroke
Indication
Clinical diagnosis of stroke
Onset of symptoms to time of drug
administration ≤3 h
CT scan showing no hemorrhage or
edema of >⅓ of the MCA territory
Age ≥18 years
Consent by patient or surrogate
Contraindication
Sustained BP >185/110 despite treatment
Platelets <100,000; HCT <25%; glucose <50
or >400 mg/dL
Use of heparin within 48 h and prolonged
PTT, or elevated INR
Rapidly improving symptoms
Prior stroke or head injury within 3 months;
prior intracranial hemorrhage
Major surgery in preceding 14 days
Minor stroke symptoms
Gastrointestinal bleeding in preceding 21
days
Recent myocardial infarction
Coma or stupor
Administration of rtPA
Intravenous access with two peripheral IV lines (avoid arterial or central line placement)
Review eligibility for rtPA
Administer 0.9 mg/kg intravenously (maximum 90 mg) IV as 10% of total dose by bolus,
followed by remainder of total dose over 1 h
Frequent cuff blood pressure monitoring
No other antithrombotic treatment for 24 h
For decline in neurologic status or uncontrolled blood pressure, stop infusion, give
cryoprecipitate, and reimage brain emergently
Avoid urethral catheterization for ≥2 h
42
Stroke,TIA
ABCs; glukosa
Obtain brain imaging
Stroke iskemik/TIA 85%
Stroke hemoragik 15%
Consider trombolisis/ trombectomy
Establish cause
Atrial fibtillation
17%
Carotid disease
4%
others 64%
Consider BP lowering
Establish cause
AneurismSAH 4%
HipertensiICH, 7%
others , 4%
Consider warfarin
Consider CEA / stent
Treat specific cause
Clip or coil Consider surgery
Treat specific cause
Deep venous thrombosis prophylaxisPhysical, occupational, speech therapyEvaluate for rehab, discharge planning
Secondary prevention based on disease
Antitrombosis
- Inhibisi Platelet aspirin, satu-satunya agen yang telah terbukti efektif untuk terapi akut
stroke iskemik. Aspirin diberikan 300mg per hari.
- Penggunaan heparin serta antikoagulan lainnya tidak direkomendasikan karena resiko
perdarahan intracranial dan ekstrakranial dan pengobatan ini tidak menunjukkan manfaat
yang signifikan terhadap stroke iskemik.
Skema Tatalaksana
43
Stroke Hemoragik
Ialah perdarahan spontan pada parenkim otak (intracerebral hemorrhage) atau ruang cairan
cerebrosvinal (subarachnoid hemorrhage).
Merupakan 15-20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vakular intraserebrum mengalami
rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
Factor predisposisi utama yang menyebabkan stroke perdarahan adalah usia dan hipertensi, penyebab
lainnya adalah aneurysma, malformasi arteriovenous, penyakit koagulasi, erosi pembuluh darah
karena tumor dan vaskulitis.
Patogenesis
Faktor Resiko rupture pembuluh darah otak perdarahan ke ruang intracranial edema .
Penekanan jaringan otak sekitar + hambatan aliran darah karena vasokonstriksi ischemic dan infark
sel-sel otak stroke
Faktor Resiko
44
Usia, seiring bertambahnya usia terjadi degradasi fungsi dan dtruktur organ tubuh termasuk
pembuluh darah otak.
Hipertensi, aliran darah otak yang cukup deras pada pasien hipertensi dapat menyebabkan lesi
pembuluh darah, memperparah lesi yang sudah ada dan menginduksi rupture pembuluh yang
sejak awal sudah memiliki lesi.
Aneurysma terutama terjadi pada bifurcation/percabangan pembuluh dimana pembuluh
mengalami dilatasi abnormal dan dindingnya menipis sehingga mudah rupture.
Malformasi arteriovena adalah keadaan dimana ada kelainan dinding pembuluh.
Penyakit koagulasi dimana terdapat gangguan koagulasi sehingga pada cedera endotel karena
stress aliran darah dapat menghasilkan koagulasi yang tidak sempurna dan menyebabkan
kerusakan dinding sehingga mudah erdarahan.
Tumor mengerosi pembuluh darah sehingga dinding pembuluh darah semakin menipis.
Vaskulitis/ inflamasi pada pembuluh dapat memicu kerusakan pembuluh.
Selain defek vascular, factor resiko non-vaskular yang juga berkontribusi dalam mengeksaserbasi
stroke perdarahan adalah penggunaan obat antikoagulan (ditemukan pada 10% kasus) dan
trombolisis (ditemukan pada 1-2% kasus). Kokain, amphetamine dan Phenylpropanolamine juga
dapat menginduksi stroke perdaraan dengan efek peningkatan TD dan induksi vaskulitis.
Berdasarkan lokasi terjadinya perdarahan, stroke perdarahan diklasifikasikan menjadi dua yaitu stroke
intracerebral/intraparenchymal dan sroke subdural. Perbadaan kedua stroke ini terletak pada
manifestasi klinik yang ditampilkan.
Stroke Intracerebral
Perdarahan banyak ditemukan pada daerah putamen, pons, kapsula interna, thalamus, nucleus
kaudatus, dan serebellum dimana pembuluh darah kecil mudah rupture karena HT kronis atau penyakit
pembuluh darah primer. Perdaraham kedalam hemisphere parenkimal lebih jarang ditemukan dan
umumnya disebabkan malformasi arteriovenous dan hemangioma vena.
45
Etiologi
Ruptur lesi vascular akibat hipertensi, aneurisme, atau malformasi arterivenosus
Komplikasi antikoagulasi
Amyloid angiopathy
46
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang umum ditemukan ialah:
Sakit kepala berat dengan onset yang tiba-tiba, sering disertai mual, muntah,
diaphoresis, dan gangguan kesadaran.
Leher kaku, dan sakit saat di fleksikan.
Dapat terdapat tanda-tanda neurologis fokal, photophobia, dan atau sakit punggung.
Penggunaan tenaga berlebih seringkali memicu timbulnya gejala
Perdarahan yang terlokalisasi pada putamen, thalamus, pons, dan cerebellum yang akan
menghasilkan gejala deficit neurologis sesuai tempat dan luas daerah yang mengalami
infark
Dapat terjadi gaze palsies dan meningkatnya stupor
Diagnosis
Penemuan karakteristik klinis
Konfirmasi adanya darah pada pemeriksaan CT atau MRI
CT scan dengan melihat lokasi perdarahan dan luasnya edema.
47
Terapi
Perdarahan intraserebral sering diterapi secara konservatif, kecuali jika merusak kesadaran atau
menyebabkan defisit neurologis yang progresif. Perdarahan cerebellar mayor ( 3 cm) dapat mengancam
kehidupan kecuali dengan neurosurgically.
Lesi di Internal capsule
1. Terapi awal yang optimal juga masih dalam penelitian. Misalnya dengan manitol atau dengan
menghilangkan hematoma, kadang-kadang dapat membantu untuk mengurangi tekanan
intrakranial.
2. Hipertensi harus ditangani dengan gentle pada awalnya, dan lebih penuh semangat setelah
beberapa minggu.
3. Rehabilitasi: defisit neurologis yang besar dan terus-menerus diperkirakan akan terjadi.
Lesi di Pons-Mortalitas dan morbiditas lesi di pons adalah seperti membuat terapi aktif apapun
diragukan secara medis.
Lesi di Cerebral cortex-Jika terdapat perdarahan cortikal tunggal, terutama pada pasien yang lebih
muda, maka dipertimbangkan untuk mencari kelainan pembuluh darah arteri yang mendasarinya.
Hal ini dapat dilakukan dengan MRI sekali hematoma telah ditangani. Beberapa perdarahan cortikal
pada orang tua biasanya karena angiopathy amyloid cerebral dan paling baik ditangani secara
konservatif.
Terapi ideal untuk perdarahan intraserebral adalah profilaksis. Perdarahan intraserebral merupakan
salah satu komplikasi utama dari hipertensi yang tidak diobati. Ada bukti yang baik menunjukkan
bahwa terapi yang serius pada tekanan darah tinggi dapat mengurangi insidensi perdarahan
intraserebral pada pasien hipertensi.
Perdarahan subaraknoid
Merupakan perdarahan spontan pada subarachnoid space. Dapat terjadi pada semua usia, Puncak
insidensi usia 50 th, Jarang terjadi pada anak-anak.
Etiologi
Biasanya disebabkan ruptur spontan aneurisme saccular pada arteri dasar otak, biasanya salah satu
arteri yang membentuk sirkulus wilisi.
Jarang : malformasi arteriovenosus, vasculophaties, coagulopathies, dan trauma.
Tanda dan gejala klinis
48
o Sakit kepala hebat yang ekstrim, onset tiba-tiba, sering dideskripsikan sebagai sakit kepala terburuk
dalam hidupnya. (diffuse atau bioccipital)
o seringkali pada tahap awal gangguan kesadaran
o Mual & muntah
o Jarang cranial nerve palsies atau defisit neurologis fokal lainnya
o Tanda dan gejala klasik
o Nyeri kepala yang hebat
o Hilangnya kesadaran
Fotofobia
Meningismus
Mual
muntah
o Tanda peringatan
o Nyeri kepala yang mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya
o Nyeri kepala disertai mual
o Nyeri tengkuk dan fotofobia ( 40-50%)
o Mengalami serangan seperti disambar petir
o Tanda Aneurisma
o Defek medan pengelihatan
o Gangguan gerak bola mata
o Nyeri wajah
o Nyeri orbital atau nyeri kepala yang terlokalisasi.
o Aneurisma yang berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan efek medan
pengelihatan, disfungsi pengelihatan, disfungsi endokrin atau nyeri kepala di daerah
frontal.
o Aneurisma pada arteri carotis internus: menimbulkan paresis okulomotorius defek
medan pengelihatan, penurunan visus, nyeri wajah disatu tempat.
o Aneurisma arteri carotis internus didalam sinus kavernosus: menimbulkan fistula
karotika-kavernosus, menimbulkan sindrom sinus kavernosus.
o Aneurisma pada arteri serebri media: menimbulkan disfasia, kelemahan lengan fokal
atau baal.
49
o Aneurisma pada bifurkasio basilar: menimbulkan paresis okulomotorius.
Terapi
Awal tatalaksana : Perawatan intensif yang terpantau secara baik.
Goal of treatment :
mengeksklusi aneurisme dari sirkulasi sesegera mungkin untuk mencegah potensi perdarahan
berulang yang fatal neosurgical clipping
General measures:
• Bed rest
• Stabilisasi fungsi cardiovascular
• Pemberian cairan dan elektrolit
• Analgesi
• Sedasi
• Pemberian calcium-channel blocker (nimodipine)
Pemberian obat anti hipertensi yang bersifat jangka pendek – untuk pasien hipertensi.
Prognosis
10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS
40% meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan
Tingkat mortalitas pada tahun pertama sekitar 60%
Apabila tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar 70%
Tidak ada intervensi bedah maka sekitar 30%-pasien meninggal dalam 2 hari pertama.
50% dalam 2 minggu pertama
60% dalam 2 bulan pertama.
PERBEDAAN STROKE ISKEMIK DAN HEMORRHAGIC
50
51
Alur Tatalaksana
52
TIA
Merupakaan keadaan dimana hilangnya fungsi system saraf pusat fokal secara cepat yang berlangsung
kurang dari 24 jam, dan diduga diakibatkan oleh mekanisme vascular emboli, thrombosis, atau
hemodinamik. Beberapa episode transien/sementara berlangsung lebih dari 24 jam, tetapi pasien
mengalami pemulihan sempurna yang disebut reversible ischemic neurological deficits (RIND).
Etiologi
Etiologi tersering adalah akibat tromboemboli dari ateroma pembuluh darah leher. Penyebab lain
adalah lipohialinosis pembuluh darah kecil intracranial dan emboli kardiogenik. Etiologi yang lebih jarang
adalah vaskulitis atau kelainan hematologis.
Gambaran Klinis
Tanda khas TIA adalah hilangnya fungsi fokal SSP secara mendadak, gejala seperti sinkop, bingung,
dan pusing tidak cukup untuk menegakan diagnosis. TIA biasanya berlangsung beberapa menit saja,
jarang berjam-jam. Daerah arteri yang kena menentukan gejala yang terjadi:
Karotis (paling sering):
- Hemiparesis
- Hilangnya sensasi hemisensorik
- Disfasia
- Kebutaan monocular (amaurosis fugax) yang disebabkan oleh iskemia retina
Vertebrobasalis
- Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternative
- Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia lanjut)
- Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia (setidaknya dua dari gejala ini terjadi bersamaan).
Beberapa gejala tidak menunjukan lokasi daerah arteri spesifik yang akurat, seperti hemianopia atau
disartria saja, walaupun umumnya oleh kelainan ini disebabkan kelainan vertebrobasilar. Tanda-tanda
neurologis biasanya tidak ada saat pasien diperiksa oleh dokter, tetapi emboli kolestrol dapat dilihat
melalui funduskopi pada pasien amaurosis fugax. Dapat pula terdengar bruit karotis dan mempunyai
53
hubungan tertentu bila terdapat pada sisi lesi TIA. Murmur dan aritmia jantung menunjukkan
kemungkinan penyebab emboli kardiak.
Penyebab TIA vertebrobasilar yang jarang adalah subclavian steal syndrome. Pada sindrom ini terjadi
stenosis pada bagian proksimal arteri subklavia (kadang dengan bruit pada leher bawah dan penurunan
tekanan darah dan volume nadi lengan ipsilateral) yang dapat menyebabkan aliran retrograde arteri
vertebralis ke bawah saat lengan digerakkan.
Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk mendeteksi penyebab sehingga dapat mencegah rekurensi
yang lebih serius, yaitu stroke:
Pemeriksaan darah rutin, LED
Glukosa darah dan kolestrol
Serologi sifilis
EKG
Dari pemeriksaan dasar dan kondisi pasien, mungkin diperlukan pemeriksaan lebih lanjut:
Rontgen toraks, ekokardiogram jika diduga terdapat emboli kardiogenik
CT scan cranial untuk mendeteksi penyakit serebrovaskular yang telah ada sebelumnya, dan
menyingkirkan kemungkinan lesi structural seperti tumor yang menunjukan gejala seperti TIA
USG karotis atau angiografi untuk mendeteksi stenosis karotis pada pasien TIA dengan lokasi lesi
karotis
Kultur darah jika terdapat dugaan endokarditis infektif
Diagnosa banding TIA
Migren disertai aura
Epilepsy parsial
Tumor intracranial, malformasi vascular, atau hematoma subdural kronik
Sklerosis multiple
Gangguan vestibular
Lesi saraf perifer atau radiks saraf (misalnya palsi nervus kranialis)
Hipoglikemia
Hiperventilasi dan proses psikogenik lainnya
54
Prognosis dan Terapi
Risiko stroke dalam lima tahun pertama setelah TIA adalah 7% per tahun, sedangkan risiko terbesar
adalah pada tahun pertama. Bersamaan dengan peningkatan risiko infark miokard setelah TIA, maka
risiko gabungan stroke, infark miokard atau penyakit vascular berat lainnya adalah 9% per tahun. Hingga
15% pasien dengan stroke pertama kali memiliki riwayat TIA.
Cara-cara untuk mencegah stroke:
Memodifikasi factor risiko
- Menangani hipertensi
- Berhenti merokok
- Menurunkan kolestrol serum dengan diet dan obat-obatan
Obat anti platelet (aspirin dosis rendah):
- Kontraindikasi pada pasien ulkus peptikum aktif
- Beberapa bukti menganjurkan kombinasi aspirin dan dipiridamol yang lebih efektif daripada
pengobatan tunggal
- Klopidogrel merupakan obat antiplatelet pilihan untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi
aspirin
Antikoagulan (warfarin):
- Jika diketahui sumber emboli dari jantung, meliputi fibrilasi atrium nonreumatik
Endarterektomi karotis:
- Setelah terjadi TIA atau stroke minor, mungkin diperlukan intervensi bedah untuk
membersihkan ateroma pada arteri karotis interna pada kasus stenosis karotis berat yang
simtomatik (stenosis lebih dari 70%).
Peran pembedahan untuk kasus stenosis karotis yang lebih ringan atau asimtomatik masih belum
ditetapkan. Sat ini, tidak ada pilihan pembedahan untuk TIA vertebrobasilar.
55
Skema Tatalaksana
56
Anatomi N. VII
Nervus Fasialis memiliki 2 nukleus yaitu nukleus superior (homo dan kontralateral) dan inferior
(heterolateral) yaitu dari gyrus presentralis. Kemudian mengelilingi N.VI (disebut genu internum),
kemudian ke cerebelopontin angle, kemudian ke MAI (meatus akustikus interna) bersama dengan N VIII,
kemudian membentuk ganlion genikulatum yang mempercabangkan n. petrosus superfisialis mayor,
bersama dengan N.V yang mencabangkan N. lakrimalis. Kemudian membentuk pleksus timpani menuju
ke lidah dan kelenjar sub mandibula dan sub lingua (disebut pars horisontalis). Sedangkan pars
desenden keluar ke foramen stilomastoideus yang mempercabangkan N.Stapeideus ( pars desenden
atau mastoidea).Tepat sebelum keluar dari foramen stilomastoideus mempercabangkan korda timpani
menuju ke interkordae posterior (antara krus longus inkudis dan manubrioum malei). N. VII berlanjut ke
parotis menjadi ramus zygomatico temoralis dan ramus mandibulo servikalis.
Secara singkat,perjalanan N.VII ialah sebagai berikut :
Pons (cerebellopontine angle) above the olive internal acoustic meatus petrous pyramid (canal of
facial nerve) geniculum of facial nerve ( nervus intermedius/greater petrosal nerve gustatory
fibers) medial wall of the tympanic cavity stylomastoid foramen muscles of facial expression
57
58
Bell’s Palsy
Definisi
Merupakan paralisis fasialis Lower Moto Neuron unilateral akibat paralisis nervus fasial perifer yang
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai
adanya penyakit neurologis lainnya
Factor resiko
- wanita hamil
- penderita diabetes
- penderita hipertensi
Epidemiologi Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden
tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun
1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita
diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan
wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih
rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Etiologi
- Dulu dianggap idiopatik
- Sekarang terbukti Infeksi atau pasca infeksi virus (virus herpes simpleks
Patofisiologi
- Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum
- Inflamasi penigkatan diameter nervus fasialiskompresi nervus fasialis di dalam foramen
stilomastoideum dan saat melalui tulang temporalkelumpuhan Fasialis lower
motoneuronbell’s palsy.
59
- Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai
bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan
bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear
bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di
lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik
primer
- Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-
pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-
cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia
(tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah)
Gejala klinis
- Onsetnya cepat, dalam jam atau hari
- kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya
terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan fenomena Bell
- Nyeri pada atau dibagian belakang telinga
- Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh
- Dahi tidak bisa dikerutkan
- Fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha memejamkan mata terlihat bola mata yang
berbalik ke atas
- Sudut mulut tidak bisa diangkat
- Bibir tidak dapat dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan
- Lagoftalmus maka airmata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi les :
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
60
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi
dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang
terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada point (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan
lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan
pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada point (a) dan (b) ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti point (a), (b) dan (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay
Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti point (a), (b), (c) dan (d) ditambah dengan tuli sebagi akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus,
nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus
hipoglosus.
61
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan
pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat
penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius
submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya
terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
62
Diagnosis
Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada
pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan
bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga
dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN
Pemeriksaan fisik
Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus diteliti
lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis. Pada lesi
supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka lesinya bersifat UMN. Pada
kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal, sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami
paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal
63
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan
AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya
penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum
Tatalaksana
- Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan kortikosteroid dan obat-obat antivirus (Acyclovir
(400 mg selama 10 hari) pada 48 jam pertama setelah onset
- Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1 mg/kgBB/hari
selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya
dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang
kesembuhan pasien
- Pada pasien dengan kelemahan fasialis LMN berat mungkin membutuhkan tarsorafi lateral
(penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah) untuk melindungi kornea.
Komplikasi
Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi motorik dan sensorik
yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik. Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu
disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang
menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.
Prognosis
- 85-90% pasien akan mengalami perbaikan total dalam hitungan mionggu atau bulan walau
tanpa pengobatan
- Sisanya mungkin mengalami perbaikan parsial yang memuaskan
- Hanya sebagian kecil yang tetap mengalami kelainan wajah
64
Daftar Pustaka
Fauci, Longo. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition. United states of America : The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Mardjono, Mahar. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta
Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. 2006. Fundamentals of neurology. Stuttgart: Georg Thieme Verlag
Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC
Rohkamm R. 2004. Color Atlas of Neurology. 2nd ed. Stuttgart: Georg Thieme Verlag
Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Wilkinson I, Lennox G. 2005. Essential Neurology. 4th ed. Oxford: Blacwell Publishing Ltd.
65