Upload
dewandaru-i-a-b
View
223
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
fk
Citation preview
Step 1
1. Batuk:
- Adalah suatu refleks napas yang terjadi karena adanya reseptor rangsangan
reseptor iritan yang terdapat diseluruh saluran napas (Sudoyo AW, 2006).
- Batuk juga merupakan akibat dari penyakit telinga atau gangguan perut yang
mengakibatkan iritasi diafagma (Sudoyo AW, 2006).
Step 2
1. Anatomi, fisiologi dari sistem respirasi?
2. Bagaimana mekanisme batuk?
3. Bagaimana mekanisme demam sebagai akibat dari batuk?
4. Penegakkan diagnosis batuk
Step 3
1.
Secara anatomi, sistem respirasi dibagi menjadi dua yakni traktus respiratorius
bagian atas dan traktus respiratorius bagian bawah. Traktus respiratorius bagian atas
dimulai dari hidung, rongga hidung, sinus paranasal dan juga pharynx. Dibagian ini
dimulailah proses penyaringan, penghangatan, dan juga pelembapan sehingga saat
masuk ke alveoli, udara sudah menjadi bersih. Proses ini disebut “conditioning
process” dan bergantung pada mukosa traktus respiratorius tersebut.
Traktus respiratorius bagian bawah dimulai dari larynx, trachea, bronchi,
bronchioles, dan alveoli. Sedangkan untuk jalur pernafasannya sendiri dimulai dari
nares anterior, vestibulum nasi, cavum nasi, nares posterior, pharynx, larynx, tranhe,
brochus primer, bronchus sekunder, bronchus tersier. Dilanjutkan ke bronchiolus
terminal, bronchiolus respiratory, ductus alveolus, saccus alveolus, dan akhirnya
sampai ke alveolus. Di alveolus pertukaran yang terjadi sangatlah cepat dan efisien.
Hal ini dikarenakan jarak antara darah di kapiler alveolus dengan udara di alveolus
jaraknya kurang dari 0.1 mikro meter (Martini, 2006).
Sistem respiratori sendiri tentunya diatur oleh otak. Jadi medulla oblongata
dan pons di batang otak akan merangsang otak sebagai impuls untuk memerintahkan
tubuh untuk melakukan proses pernafasan. Pusat pengaturan sistem ini dibagi menjadi
3 bagian yaitu area medullary rhytmicity di medulla oblongata, dimana pada area ini
diatur ritme dasar dari proses inhalasi dan exhalasi.
Kemudian ada area pneumotaxic dan apneustic area di pons. Kedua area ini
fungsinya sebagai pengatur transisi dari proses inhalasi dan exhalasi. Perbedaannya
adalah pada area apneustic hasilnya adalah inhalasi panjang yang dalam (Tortora,
2009).
2.
Batuk merupakan salah satu cara dari sistem respiratorius sebagai
pertahanannya. Batuk akan terjadi apabila ada rangsangan yang mengenai reseptor
batuknya. Reseptor batuk ini dapat dirangsang secara mekanis yaitu bila ada sekret
ataupun tekanan, kimiawi yaitu bila terdapat gas yang merangsang. Secara termsl
yaitu melalui udara dingin, dan secara lokal yaitu bila terdapat histamin,
prostaglandin, maupun leukotrien.
Reseptor batuk ini terdapat di sepanjang traktus respiratorius, tapi beberapa
juga terdapat di tempat lain seperti di lambung dan di cabang telinga tengah.
Kemudian, oleh saraf aferen impuls ini akan ditransfer menuju ke pusat batuk di
medulla oblongata dan pons dan selanjutnya dikirim melalui saraf eferen ke reseptor
yaitu otot-otot respiratorius.
a. Iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea,
bronkus besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus
dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan
faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
b. Inspirasi
Terjadi inspirasi dalam untuk meningkatkan volume gas yang
terinhalasi. Semakin dalam inspirasi semakin banyak gas yang terhirup,
teregang otot-otot napas dan semakin meningkat tekanan positif intratorakal.
c. Kompresi
Terjadi penutupan glotis setelah udara terhirup pada fase inspirasi.
Penutupan glotis kira-kira berlangsung selama 0.2 detik. Tujuan penutupan
glotis adalah untuk mempertahankan volume paru pada saat tekanan
intratorakal besar. Pada keadaan ini terjadi pemendekan otot ekspirasi dengan
akibat kontraksi otot ekspirasi, sehingga akan meningkatkan tekanan
intratorakal dan juga intra abdomen.
d. Ekspirasi(eksplusif)
Pada fase ini glotis dibuka, dengan terbukanya glotis dan adanya
tekanan intratorakal dan intra abdomen yang tinggi maka terjadilah proses
ekspirasi yang cepat dan singkat (disebut juga ekspulsif). Derasnya aliran
udara yang sangat kuat dan cepat maka terjadilah pembersihan bahan-bahan
yang tidak diperlukan seperti mukus dll.
e. Relaksasi
Terjadi relaksasi dari otot-otot respiratorik. Waktu relaksasi dapat
terjadi singkat ataupun lama tergantung rangsangan pada reseptor batuk
berikutnya.
Sedangkan batuk berdahak akan terjadi saat ada alergen masuk yang mengiritasi
saluran pernapasan. Daluran pernapasan kemudian memproduksi mucus dalam jumlah besar
akibat kelenjar mucusnya yang membesar dan sel gobletnya yang menjadi banyak. Melalui
hal inilah maka akan timbul reflex batuk (Chung K.F., 2003).
3.
Batuk dengan sputum menunjukkan bahwa terjadi infeksi fari kuman yang masuk.
Apabila kuman tersebut berada di jaringan atau darah maka akan difagositosis oleh
leukosit dan limfosit pembunuh bergranula besar. Ketika bateri yang di fagosit pecah,
kemudian akan mengeluarkan interleukin-1 yang pada hasil akhirnya akan menyebabkan
penderita mengalami demam.
4.
Untuk penegakkan anamnesis tentunya harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fiik. Bila perlu ditambahkan juga dengan pemeriksaan penunjamg. Saat anamnesis dapat
ditanyakan lamanya, dahaknya, lingkungan, alergen, sakit telinga atau tidak, adakah
hidung tersumbat yang dikeluhkan.
Pada saat pemeriksaan fisik bisa dimulai dari telinga, dilihat adakah benda asing atau
tidak dan dilihat apakah ada peradangan pada membran timpani. Kemudian pemeriksaan
nasofaring dilakukan palpasi sinus untuk mencari nyeri dan ostia diperiksa untuk mencari
adanya ingus yang tersumbat.
Pemeriksaan leher dilakukan untuk melihat adakah vena-vena leher yang
menggelembung yang terlihat pada pasien dengan masa mediastinal. Sedangakan
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah dengan cara
pewarnaan gram dan pemeriksaan BTA, bisa juga dengan melakukan mikrobakteri dan
jamur. Biasanya hal ini dilakukan pada pasien yang imunokompremaise.
Selain itu, bisa dilakukan pencitraan yakni dengan melakukan foto toraks dan atau
foto sinus. Dengan melakukan foto toraks dapat dilihat ada tidaknya kelainan pleura,
parenkim, dan mediastinum. Sedangkan foto sinus untuk melihat adakah nyeri pada
palpasi sinus atau adakah ingus purulen dari ostium (Sudoyo AW, 2006).
Step 7
1.
ISPA atau infeksi saluran pernafasan akut adalah penyakit yang mengenai
saluran pernafasan yang ditandai dengan batu, soutum, demam yang durasinya kurang
dari 14hari. ISPA sendiri secara anatomi dibagi menjadi dua yakni ISPA atas dan juga
ISPA bawah. ISPA atas lebih banyak disebabkan oleh infeksi dari virus, walaupun
tidak jarang juga yang disebabkan oleh bakteri. Contoh dari penyakit ISPA bagian
atas yakni seperti faringitis akut, uvulitis akut, dan juga sinusitis. ISPA bagian bawah
biasanya didahului dengan ISPA bagian atas karena etiologi terseringnya adalah
infeksi sekunder. Contoh penyakitnya yakni ada bronchitis akut, pneumonia, dan
abses paru. Untuk etiologi ISPA sendiri dari virus contohnya adalah parainfluenza,
adenovirus, rhinovirus, streptokokus, dll. Sedangkan dari perilaku individu yakni bisa
karena sanitasi dari fisik rumah dan kurangnya air bersih.
Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan
dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun:
a.Golongan Umur Kurang 2 Bulan
1) Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian
bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2
bulan yaitu 6x per menit atau lebih.
2) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah
atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
a) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun
sampai kurang dari ½ volume yang biasa diminum)
b) Kejang
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
e) Wheezing
f) Demam / dingin.
b.Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun
1) Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak
harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).
2) Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
b) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
3) Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :
a) Tidak bisa minum
b) Kejang
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
e) Gizi buruk
Klasifikasi ISPA adalah :
a. ISPA ringan
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek dan
sesak.
b. ISPA sedang
ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 390 C dan
bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. ISPA berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan
menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan
Gelisah (Nelson, 2000).
ISPA bagian atas atau URTI (Upper Respiration Tractus Infection) contohnya
adalah common cold, pharyngitis, laryngitis, otitis media akut, dan juga sinusitis.
Manifestasi dari ISPA bagian ini yakni nyeri tenggorokan, demam, hidung tersumbat
karena akibat dari vasodilatasi pembulu darah untuk mengantarkan leukosit ke tempat
radang, dan yang terakhir adalah batuk.
Akibat dari ISPA bagian atas ini bisa menyebabkan kesulitan menyusu pada
bayi karena hidung yang tersumbat yang juga mengakibatkan bayi sulit bernafas.
Kemudian bisa juga menimbulkan kejang demam dan juga merupakan factor pencetus
asma akut.
ISPA bagian bawah pada orang-orang yang memiliki pola hidup sehat tentu
sangat minim epidemiologinya. Karena saluran pernapasan atas adalah sangat tidak
steril, jadi jika orang tersebut menjaga saluran pernapasan atasnya secara otomatis dia
juga menjaga saluran pernapasan bagian bawahnya. Epidemiologi ISPA bagian bawah
yang terlihat yakni saat perang dunia pertama dimana banyak sekali prajurit yang
terdiagnosis terkena pneumonia.
ISPA bagian bawah bisa terjadi yang pertama karena sistem pembersihan paru
yang memang menurun seperti pada peyakit mukovisidosis. Kemudian bisa juga
karena defisiensi Ig A serta defisiensi komplemen C3 dan C4 yang sifatnya
kongenital. Menurunnya efektifitas sistem imunitas sistemik seperti pada penderita
AIDS, DM berat, dll. Serta tentunya yang paling tersering adalah infeksi sekunder.
Terapi umum yang biasa digunakan yakni antibiotika yang mempunyai
kemampuan bakterisidisis bisa diberikan sedini mungkin. Contohnya bisa
menggunakan amoksisilin ataupun cefalosporin. Kemudian untuk terapi suportifnya
bisa diberikan oksigen sesuai dengan hasil analisa gas darah atau dengan dosis umum
yakni 2l/menit. Terapi selanjutnya yaitu diberikan kalori dan protein untuk
mengembalikan keadaan umumnya. Bila dehidrasi, diatasi dengan infus penambahan
elektrolit darah. Terakhir, diupayakan untuk mengeluarkan dahaknya dengan
memberikan ekspektoran atau bisa menggunakan ambroxol HCL.
Bronchitis akut
Bronkitis akut dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni pada orang yang
tadinya sehat dan pada kelompok orang yang tadinya sudah mengalami bronkitis
kronis. Pada kelompok orang yang tadinya sehat manifestasi klinisnya seperti batuk
dengan dahak yang mikropurulen, peningkatan suhu tubuh, sesak napas ringan, dan
biasanya beberapa hari yang lalu memang sudah menderita ISPA.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara ronki basah dan juga wheezing.
Sedangkan pada pemeriksaan penunjang yakni dengan menggunakan foto paru dapat
ditemukan infiltrat. Atau jika menggunakan pemeriksaan sputum biasanya dapat
ditemukan lekosit PMN dan bakteri yang menjadi etiologinya.
Penderita yang sebelumnya sudah mengalami bronkhitis kronis biasanya dapat
terserang bronkitis akut karena superinfeksi dengan kuman baru atau karena
eksaserbasi akut dari radang kronisnya. Biasanya pasien datang dengan keluhan
meningkat frekuensi batuk dan jumlah dahak, warna dahak yang lebih keruh dan
lengket (sulit dikeluarkan) bahkan hingga berbau busuk.
Terapi yang digunakan untuk kelomok orang yang tadinya sehat tentunya
adalah antibiotik. Begitu juga untuk kelompok orang tadinya sudah mengalami
bronkitis kronis, tapi perbedaannya harus diketahui terlebih dahulu apakah bronkitis
akut ini timbul karena eksaserbasi atau superinfeksi agar dapat dicarikan antibiotik
yang sesuai. Prognosis untuk golongan yang tadinya sehat adalah sangat baik. Namun
untuk orang yang tadinya sudah mengalami bronkitis kronis sebenarnya tidak
berakibat fatal. Hanya saja seringkali membuat kondisinya lebih buruk dari
sebelumnya.
Abses paru
Abses paru adalah suatu rongga berisi pus dengan diding tipis disekeliling
proses radang setempat. Karna didalam paru didapatkan banyak percabangan bronkus,
biasanya rongga abses behubungan dengan satu atau lebih bronkus, sehingga pus bisa
keluar melalui bronkus untuk dibatukkan. Karna itu pula, biasanya rongga terisi udara
juga. Dengan demikian biasanya akan tampak air fluid level (AFL).
Etiologi dari abses paru sendiri bisa karena makanan yang salah jalur
(biasanya kuman anaerob), darah yang teraspirasi, benda asing, dan juga sepsis.
Manifestasi klinisnya baisanya badannya panas tinggi hingga menggigil, kemudian
batuk dengan dahak purulen, kadang sputum hemoragis. Penderita juga sering
berkeringat banyak dan akhirnya tampak lelah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
suara timpani diatas rongga yang berisi udara, redup dipinggir udara, dan pada
auskultasi ditemukan suara bronkeal dibagian paru atas dengan infiltrat ditambah
dengan ronki basah halus.
Terapi yang diberikan tentunya bisa menggunakan antibiotika dan juga
drainase yang bisa juga ditambahkan dengan aspirasi melalui bromkoskopi. Untuk
prognosis abses paru sebenarnya baik asalakan pus sudah terevakuasi, maka akan
dimulai penyembuhan proses radang, dinding abses kemudian akan berkerut secara
progresif sehingga rongga abses bisa menutup kembali (Alsagaff, H. 2009).
Daftar pustaka
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Martini, F.H. 2006. Fundamental of Anatomy & Phisiology. Seventh Edition.
San Francisco: Pearson
Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and
Physiology.Twelfth Edition. Asia: Wiley
Chung, K.F., Widdicombe, J.G., dan Boushey, H.A. 2003. Cough: Causes,
Mechanisms and Therapy. USA: Blackwell Publishing Ltd.
Nelson WE, ed. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik Wahab.
Jakarta: EGC, 2000
Alsagaff, H. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press