13
Step 1 1. Batuk: - Adalah suatu refleks napas yang terjadi karena adanya reseptor rangsangan reseptor iritan yang terdapat diseluruh saluran napas (Sudoyo AW, 2006). - Batuk juga merupakan akibat dari penyakit telinga atau gangguan perut yang mengakibatkan iritasi diafagma (Sudoyo AW, 2006). Step 2 1. Anatomi, fisiologi dari sistem respirasi? 2. Bagaimana mekanisme batuk? 3. Bagaimana mekanisme demam sebagai akibat dari batuk? 4. Penegakkan diagnosis batuk Step 3 1. Secara anatomi, sistem respirasi dibagi menjadi dua yakni traktus respiratorius bagian atas dan traktus respiratorius bagian bawah. Traktus respiratorius bagian atas dimulai dari hidung, rongga hidung, sinus paranasal dan juga pharynx. Dibagian ini dimulailah proses penyaringan, penghangatan, dan juga pelembapan sehingga saat masuk ke alveoli, udara sudah menjadi bersih. Proses ini disebut “conditioning process” dan bergantung pada mukosa traktus respiratorius tersebut. Traktus respiratorius bagian bawah dimulai dari larynx, trachea, bronchi, bronchioles, dan alveoli. Sedangkan untuk jalur pernafasannya sendiri dimulai dari nares anterior, vestibulum nasi, cavum nasi, nares

Sken1 - Tutorial 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fk

Citation preview

Page 1: Sken1 - Tutorial 1

Step 1

1. Batuk:

- Adalah suatu refleks napas yang terjadi karena adanya reseptor rangsangan

reseptor iritan yang terdapat diseluruh saluran napas (Sudoyo AW, 2006).

- Batuk juga merupakan akibat dari penyakit telinga atau gangguan perut yang

mengakibatkan iritasi diafagma (Sudoyo AW, 2006).

Step 2

1. Anatomi, fisiologi dari sistem respirasi?

2. Bagaimana mekanisme batuk?

3. Bagaimana mekanisme demam sebagai akibat dari batuk?

4. Penegakkan diagnosis batuk

Step 3

1.

Secara anatomi, sistem respirasi dibagi menjadi dua yakni traktus respiratorius

bagian atas dan traktus respiratorius bagian bawah. Traktus respiratorius bagian atas

dimulai dari hidung, rongga hidung, sinus paranasal dan juga pharynx. Dibagian ini

dimulailah proses penyaringan, penghangatan, dan juga pelembapan sehingga saat

masuk ke alveoli, udara sudah menjadi bersih. Proses ini disebut “conditioning

process” dan bergantung pada mukosa traktus respiratorius tersebut.

Traktus respiratorius bagian bawah dimulai dari larynx, trachea, bronchi,

bronchioles, dan alveoli. Sedangkan untuk jalur pernafasannya sendiri dimulai dari

nares anterior, vestibulum nasi, cavum nasi, nares posterior, pharynx, larynx, tranhe,

brochus primer, bronchus sekunder, bronchus tersier. Dilanjutkan ke bronchiolus

terminal, bronchiolus respiratory, ductus alveolus, saccus alveolus, dan akhirnya

sampai ke alveolus. Di alveolus pertukaran yang terjadi sangatlah cepat dan efisien.

Hal ini dikarenakan jarak antara darah di kapiler alveolus dengan udara di alveolus

jaraknya kurang dari 0.1 mikro meter (Martini, 2006).

Sistem respiratori sendiri tentunya diatur oleh otak. Jadi medulla oblongata

dan pons di batang otak akan merangsang otak sebagai impuls untuk memerintahkan

tubuh untuk melakukan proses pernafasan. Pusat pengaturan sistem ini dibagi menjadi

3 bagian yaitu area medullary rhytmicity di medulla oblongata, dimana pada area ini

diatur ritme dasar dari proses inhalasi dan exhalasi.

Page 2: Sken1 - Tutorial 1

Kemudian ada area pneumotaxic dan apneustic area di pons. Kedua area ini

fungsinya sebagai pengatur transisi dari proses inhalasi dan exhalasi. Perbedaannya

adalah pada area apneustic hasilnya adalah inhalasi panjang yang dalam (Tortora,

2009).

2.

Batuk merupakan salah satu cara dari sistem respiratorius sebagai

pertahanannya. Batuk akan terjadi apabila ada rangsangan yang mengenai reseptor

batuknya. Reseptor batuk ini dapat dirangsang secara mekanis yaitu bila ada sekret

ataupun tekanan, kimiawi yaitu bila terdapat gas yang merangsang. Secara termsl

yaitu melalui udara dingin, dan secara lokal yaitu bila terdapat histamin,

prostaglandin, maupun leukotrien.

Reseptor batuk ini terdapat di sepanjang traktus respiratorius, tapi beberapa

juga terdapat di tempat lain seperti di lambung dan di cabang telinga tengah.

Kemudian, oleh saraf aferen impuls ini akan ditransfer menuju ke pusat batuk di

medulla oblongata dan pons dan selanjutnya dikirim melalui saraf eferen ke reseptor

yaitu otot-otot respiratorius.

a. Iritasi

Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea,

bronkus besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus

dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan

faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.

b. Inspirasi

Terjadi inspirasi dalam untuk meningkatkan volume gas yang

terinhalasi. Semakin dalam inspirasi semakin banyak gas yang terhirup,

teregang otot-otot napas dan semakin meningkat tekanan positif intratorakal.

c. Kompresi

Terjadi penutupan glotis setelah udara terhirup pada fase inspirasi.

Penutupan glotis kira-kira berlangsung selama 0.2 detik. Tujuan penutupan

glotis adalah untuk mempertahankan volume paru pada saat tekanan

intratorakal besar. Pada keadaan ini terjadi pemendekan otot ekspirasi dengan

Page 3: Sken1 - Tutorial 1

akibat kontraksi otot ekspirasi, sehingga akan meningkatkan tekanan

intratorakal dan juga intra abdomen.

d. Ekspirasi(eksplusif)

Pada fase ini glotis dibuka, dengan terbukanya glotis dan adanya

tekanan intratorakal dan intra abdomen yang tinggi maka terjadilah proses

ekspirasi yang cepat dan singkat (disebut juga ekspulsif). Derasnya aliran

udara yang sangat kuat dan cepat maka terjadilah pembersihan bahan-bahan

yang tidak diperlukan seperti mukus dll.

e. Relaksasi

Terjadi relaksasi dari otot-otot respiratorik. Waktu relaksasi dapat

terjadi singkat ataupun lama tergantung rangsangan pada reseptor batuk

berikutnya.

Sedangkan batuk berdahak akan terjadi saat ada alergen masuk yang mengiritasi

saluran pernapasan. Daluran pernapasan kemudian memproduksi mucus dalam jumlah besar

akibat kelenjar mucusnya yang membesar dan sel gobletnya yang menjadi banyak. Melalui

hal inilah maka akan timbul reflex batuk (Chung K.F., 2003).

3.

Batuk dengan sputum menunjukkan bahwa terjadi infeksi fari kuman yang masuk.

Apabila kuman tersebut berada di jaringan atau darah maka akan difagositosis oleh

leukosit dan limfosit pembunuh bergranula besar. Ketika bateri yang di fagosit pecah,

kemudian akan mengeluarkan interleukin-1 yang pada hasil akhirnya akan menyebabkan

penderita mengalami demam.

4.

Untuk penegakkan anamnesis tentunya harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan

fiik. Bila perlu ditambahkan juga dengan pemeriksaan penunjamg. Saat anamnesis dapat

ditanyakan lamanya, dahaknya, lingkungan, alergen, sakit telinga atau tidak, adakah

hidung tersumbat yang dikeluhkan.

Pada saat pemeriksaan fisik bisa dimulai dari telinga, dilihat adakah benda asing atau

tidak dan dilihat apakah ada peradangan pada membran timpani. Kemudian pemeriksaan

nasofaring dilakukan palpasi sinus untuk mencari nyeri dan ostia diperiksa untuk mencari

adanya ingus yang tersumbat.

Pemeriksaan leher dilakukan untuk melihat adakah vena-vena leher yang

menggelembung yang terlihat pada pasien dengan masa mediastinal. Sedangakan

pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah dengan cara

Page 4: Sken1 - Tutorial 1

pewarnaan gram dan pemeriksaan BTA, bisa juga dengan melakukan mikrobakteri dan

jamur. Biasanya hal ini dilakukan pada pasien yang imunokompremaise.

Selain itu, bisa dilakukan pencitraan yakni dengan melakukan foto toraks dan atau

foto sinus. Dengan melakukan foto toraks dapat dilihat ada tidaknya kelainan pleura,

parenkim, dan mediastinum. Sedangkan foto sinus untuk melihat adakah nyeri pada

palpasi sinus atau adakah ingus purulen dari ostium (Sudoyo AW, 2006).

Step 7

1.

ISPA atau infeksi saluran pernafasan akut adalah penyakit yang mengenai

saluran pernafasan yang ditandai dengan batu, soutum, demam yang durasinya kurang

dari 14hari. ISPA sendiri secara anatomi dibagi menjadi dua yakni ISPA atas dan juga

ISPA bawah. ISPA atas lebih banyak disebabkan oleh infeksi dari virus, walaupun

tidak jarang juga yang disebabkan oleh bakteri. Contoh dari penyakit ISPA bagian

atas yakni seperti faringitis akut, uvulitis akut, dan juga sinusitis. ISPA bagian bawah

biasanya didahului dengan ISPA bagian atas karena etiologi terseringnya adalah

infeksi sekunder. Contoh penyakitnya yakni ada bronchitis akut, pneumonia, dan

abses paru. Untuk etiologi ISPA sendiri dari virus contohnya adalah parainfluenza,

adenovirus, rhinovirus, streptokokus, dll. Sedangkan dari perilaku individu yakni bisa

karena sanitasi dari fisik rumah dan kurangnya air bersih.

Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan

dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun:

a.Golongan Umur Kurang 2 Bulan

1) Pneumonia Berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian

bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2

bulan yaitu 6x per menit atau lebih.

2) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah

atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:

a) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun

sampai kurang dari ½ volume yang biasa diminum)

b) Kejang

c) Kesadaran menurun

Page 5: Sken1 - Tutorial 1

d) Stridor

e) Wheezing

f) Demam / dingin.

b.Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

1) Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian

bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak

harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).

2) Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

a) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

b) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

3) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :

a) Tidak bisa minum

b) Kejang

c) Kesadaran menurun

d) Stridor

e) Gizi buruk

Klasifikasi ISPA adalah :

a. ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek dan

sesak.

b. ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 390 C dan

bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.

c. ISPA berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan

menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan

Gelisah (Nelson, 2000).

ISPA bagian atas atau URTI (Upper Respiration Tractus Infection) contohnya

adalah common cold, pharyngitis, laryngitis, otitis media akut, dan juga sinusitis.

Page 6: Sken1 - Tutorial 1

Manifestasi dari ISPA bagian ini yakni nyeri tenggorokan, demam, hidung tersumbat

karena akibat dari vasodilatasi pembulu darah untuk mengantarkan leukosit ke tempat

radang, dan yang terakhir adalah batuk.

Akibat dari ISPA bagian atas ini bisa menyebabkan kesulitan menyusu pada

bayi karena hidung yang tersumbat yang juga mengakibatkan bayi sulit bernafas.

Kemudian bisa juga menimbulkan kejang demam dan juga merupakan factor pencetus

asma akut.

ISPA bagian bawah pada orang-orang yang memiliki pola hidup sehat tentu

sangat minim epidemiologinya. Karena saluran pernapasan atas adalah sangat tidak

steril, jadi jika orang tersebut menjaga saluran pernapasan atasnya secara otomatis dia

juga menjaga saluran pernapasan bagian bawahnya. Epidemiologi ISPA bagian bawah

yang terlihat yakni saat perang dunia pertama dimana banyak sekali prajurit yang

terdiagnosis terkena pneumonia.

ISPA bagian bawah bisa terjadi yang pertama karena sistem pembersihan paru

yang memang menurun seperti pada peyakit mukovisidosis. Kemudian bisa juga

karena defisiensi Ig A serta defisiensi komplemen C3 dan C4 yang sifatnya

kongenital. Menurunnya efektifitas sistem imunitas sistemik seperti pada penderita

AIDS, DM berat, dll. Serta tentunya yang paling tersering adalah infeksi sekunder.

Terapi umum yang biasa digunakan yakni antibiotika yang mempunyai

kemampuan bakterisidisis bisa diberikan sedini mungkin. Contohnya bisa

menggunakan amoksisilin ataupun cefalosporin. Kemudian untuk terapi suportifnya

bisa diberikan oksigen sesuai dengan hasil analisa gas darah atau dengan dosis umum

yakni 2l/menit. Terapi selanjutnya yaitu diberikan kalori dan protein untuk

mengembalikan keadaan umumnya. Bila dehidrasi, diatasi dengan infus penambahan

elektrolit darah. Terakhir, diupayakan untuk mengeluarkan dahaknya dengan

memberikan ekspektoran atau bisa menggunakan ambroxol HCL.

Bronchitis akut

Bronkitis akut dapat dibedakan menjadi dua kelompok yakni pada orang yang

tadinya sehat dan pada kelompok orang yang tadinya sudah mengalami bronkitis

kronis. Pada kelompok orang yang tadinya sehat manifestasi klinisnya seperti batuk

dengan dahak yang mikropurulen, peningkatan suhu tubuh, sesak napas ringan, dan

biasanya beberapa hari yang lalu memang sudah menderita ISPA.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara ronki basah dan juga wheezing.

Sedangkan pada pemeriksaan penunjang yakni dengan menggunakan foto paru dapat

Page 7: Sken1 - Tutorial 1

ditemukan infiltrat. Atau jika menggunakan pemeriksaan sputum biasanya dapat

ditemukan lekosit PMN dan bakteri yang menjadi etiologinya.

Penderita yang sebelumnya sudah mengalami bronkhitis kronis biasanya dapat

terserang bronkitis akut karena superinfeksi dengan kuman baru atau karena

eksaserbasi akut dari radang kronisnya. Biasanya pasien datang dengan keluhan

meningkat frekuensi batuk dan jumlah dahak, warna dahak yang lebih keruh dan

lengket (sulit dikeluarkan) bahkan hingga berbau busuk.

Terapi yang digunakan untuk kelomok orang yang tadinya sehat tentunya

adalah antibiotik. Begitu juga untuk kelompok orang tadinya sudah mengalami

bronkitis kronis, tapi perbedaannya harus diketahui terlebih dahulu apakah bronkitis

akut ini timbul karena eksaserbasi atau superinfeksi agar dapat dicarikan antibiotik

yang sesuai. Prognosis untuk golongan yang tadinya sehat adalah sangat baik. Namun

untuk orang yang tadinya sudah mengalami bronkitis kronis sebenarnya tidak

berakibat fatal. Hanya saja seringkali membuat kondisinya lebih buruk dari

sebelumnya.

Abses paru

Abses paru adalah suatu rongga berisi pus dengan diding tipis disekeliling

proses radang setempat. Karna didalam paru didapatkan banyak percabangan bronkus,

biasanya rongga abses behubungan dengan satu atau lebih bronkus, sehingga pus bisa

keluar melalui bronkus untuk dibatukkan. Karna itu pula, biasanya rongga terisi udara

juga. Dengan demikian biasanya akan tampak air fluid level (AFL).

Etiologi dari abses paru sendiri bisa karena makanan yang salah jalur

(biasanya kuman anaerob), darah yang teraspirasi, benda asing, dan juga sepsis.

Manifestasi klinisnya baisanya badannya panas tinggi hingga menggigil, kemudian

batuk dengan dahak purulen, kadang sputum hemoragis. Penderita juga sering

berkeringat banyak dan akhirnya tampak lelah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

suara timpani diatas rongga yang berisi udara, redup dipinggir udara, dan pada

auskultasi ditemukan suara bronkeal dibagian paru atas dengan infiltrat ditambah

dengan ronki basah halus.

Terapi yang diberikan tentunya bisa menggunakan antibiotika dan juga

drainase yang bisa juga ditambahkan dengan aspirasi melalui bromkoskopi. Untuk

prognosis abses paru sebenarnya baik asalakan pus sudah terevakuasi, maka akan

dimulai penyembuhan proses radang, dinding abses kemudian akan berkerut secara

progresif sehingga rongga abses bisa menutup kembali (Alsagaff, H. 2009).

Page 8: Sken1 - Tutorial 1

Daftar pustaka

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Martini, F.H. 2006. Fundamental of Anatomy & Phisiology. Seventh Edition.

San Francisco: Pearson

Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and

Physiology.Twelfth Edition. Asia: Wiley

Chung, K.F., Widdicombe, J.G., dan Boushey, H.A. 2003. Cough: Causes,

Mechanisms and Therapy. USA: Blackwell Publishing Ltd.

Nelson WE, ed. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik Wahab.

Jakarta: EGC, 2000

Alsagaff, H. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga

University Press