Upload
vonga
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
63
SIPENDIKUM 2018
QUO VADIS: PENEGAKAN HUKUM KEPADA APARATUR SIPIL NEGARA
MELALUI PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA.
Ida Zuraida
1
Email: [email protected]
Abstrak
Perdebatan pendapat terkait dapat atau tidaknya Aparatur Sipil Negara (ASN)
dipidana dalam hal terjadi kesalahan administrasi menjadi polemik sampai
dengan saat ini. Pendapat pertama menyatakan penerapan sanksi administrasi
lebih utama dibandingkan dengan sanksi pidana (ultimum remedium). Sementara,
pendapat kedua menyatakan penerapan sanksi pidana lebih didahulukan dari
penerapan sanksi administrasi (premum remedium). Apabila perbedaan pendapat
ini tidak segera diselesaikan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ketikdakpastian hukum dapat menurunkan “trust” masyarakat kepada
pemerintah dan dapat menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
kewajibannya sebagai warga negara. Rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat
kepada hukum dapat mengganggu jalannya pemerintahan dan selanjutnya akan
mengganggu pembangunan di segala bidang. Paper ini menggunakan metode
penelitian hukum normatif. Kesimpulan paper apabila ASN melakukan kesalahan
administrasi karena kekhilafan akan dikenakan sanksi administrasi, sementara
apabila ASN melakukan kesalahan administrasi karena penipuan akan dikenakan
sanksi pidana. Paper ini terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu: pendahuluan, rumusan masalah, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan.
Kata kunci: ASN, konsep kesalahan, sanksi administrasi, sanksi pidana
Pendahuluan
Perdebatan pendapat terkait dapat atau tidaknya Aparatur Sipil Negara (ASN)
dipidana dalam hal terjadi kesalahan administrasi menjadi polemik sampai dengan saat
ini. Pendapat pertama menyatakan penerapan sanksi administrasi lebih utama
dibandingkan dengan sanksi pidana (ultimum remedium). Sementara, pendapat kedua
menyatakan penerapan sanksi pidana lebih didahulukan dari penerapan sanksi
administrasi (premum remedium). Apabila perbedaan pendapat ini tidak segera
diselesaikan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketikdakpastian hukum dapat
menurunkan “trust” masyarakat kepada pemerintah dan dapat menurunkan tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap kewajibannya sebagai warga negara. Rendahnya tingkat
1Penulis adalah Widyaiswara pada Pusdiklat Pajak, Badan Diklat Keuangan, Kementerian Keuangan RI.
64
SIPENDIKUM 2018
kepatuhan masyarakat kepada hukum dapat mengganggu jalannya pemerintahan dan
selanjutnya akan mengganggu pembangunan di segala bidang.
PAF. Lamintang (1983 : 16-17) menjelaskan pengertian ultimum remedium yaitu
menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir yang harus dipergunakan untuk
memperbaiki tingkah laku manusia, setelah sanksi administrasi tidak mampu mengubah
perilaku manusia. Sementara, premum remedium menempatkan sanksi pidana sebagai
upaya awal dalam melakukan penegakan hukum kepada masyarakat, setelah itu baru
sanksi administrasi.
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan pada asas
legalitas, yang berarti harus berdasarkan undang-undang (hukum tertulis), namun dalam
praktiknya peraturan perundang-undangan tidak cukup memadai apalagi di tengah
masyarakat yang memiliki dinamika cukup tinggi. Menurut Baghir Manan, hukum
tertulis memiliki kelemahan mengingat peraturan perundang-undangan memiliki
jangkauan yang terbatas. Bahkan, Baghir Manan menyatakan: pertama, hukum tertulis
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang mencakup semua aspek kehidupan
yang sangat luas dan kompleks, sehingga tidak mungkin peraturan perundang-undangan
mengatur seluruh aspek kehidupan. Kedua, peraturan perundang-undangan sebagai
hukum tertulis sifatnya statis (pada umumnya), sehingga peraturan tidak dapat dengan
cepat mengikuti perkembangan masyarakat (Ridwan, 2006: 98-99).
Untuk mengatasi ketiadaan atau ketidakjelasan suatu peraturan perundangan-
undangan terkait tindakan pejabat pemerintah, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan memperkenankan pejabat pemerintah untuk
menggunakan diskresi.
Diskresi menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 (UU
30/2014) adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan.
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang 30/2014 mengatur diskresi hanya dapat
dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang dengan tujuan sebagaimana
diatur dalam pasal 22 ayat (2), yakni: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan,
65
SIPENDIKUM 2018
mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi
pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Yang
dimaksud dengan “stagnasi pemerintahan” adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas
pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Selain itu, pelaksanaan diskresi pun harus dilakukan tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB), berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak
menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.
Pengertian diskresi dalam Undang-Undang 30/2014 tersebut sejalan dengan
pendapat Marbun dan Mahfud MD (1987:46). Diskresi adalah kewenangan yang sah
untuk ikut dalam kegiatan sosial masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas
menyelenggarakan kepentingan umum, tercakup di dalamnya adalah membuat
peraturan terhadap hal-hal yang belum ada peraturannya (terjadi kekosongan hukum)
atau dalam hal mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan,
yang mana kemudian kewenangan dan/atau kekuasaan ini disebut dengan descretionary
power.
Apabila dalam dalam pelaksanaan tugasnya ASN melakukan kesalahan, Undang-
Undang 30/2014 mengatur kepada ASN akan dikenakan sanksi administrasi atau
pidana. Undang-Undang tersebut tidak mengatur secara jelas kesalahan mana yang
bersifat administrasi, sehingga kepada ASN dikenakan sanksi administasi dan kesalahan
mana yang bersifat pidana, sehingga kepada ASN dikenakan sanksi pidana. Undang-
Undang hanya mengatur adanya kesalahan bersifat administrasi dan kesalahan
kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.
Salah satu tujuan pembentukan Undang-Undang 30/2014 adalah untuk
menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga
pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam
memberikan pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat
pemerintahan. Dengan demikian, Undang-Undang 30/2014 menuntut hubungan hukum
antara pemerintah dengan warga masyarakat harus mampu dijalankan dalam rangka
mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai implementasi dari Asas-Asasa
Umum Pemerintahan yang Baik, serta dalam rangka menciptakan kepastian hukum.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat masalah tersebut
dan memberi judul penelitian ini “QUO VADIS: PENEGAKAN HUKUM KEPADA
APARATUR SIPIL NEGARA MELALUI PENERAPAN SANKSI
ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA.”
Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian adalah bagaimana pengertian kesalahan (perbuatan
melawan hukum) yang dilakukan oleh ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2)
Undang-Undang 30/2014 ?
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum. Penelitian
66
SIPENDIKUM 2018
hukum adalah suatu penelitian ilmiah yang mempelajari suatu gejala hukum tertentu
dengan menganalisisnya atau melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap suatu
fakta hukum untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang
timbul dari gejala tersebut. Penelitian hukum dibagi menjadi 2 (dua) yaitu penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum empiris (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad,
2010:27).
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang meletakkan hukum sebagai
sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-
asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta
doktrin. Sementara, penelitian hukum empiris adalah penelitian yang memahami
kondisi dan situasi sosial kemasyarakatan dimana hukum tersebut diterapkan, sehingga
penelitian hukum empiris memberikan pemahaman utuh terhadap suatu hukum ketika
diterapkan di masyarakat (Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010:44-45).
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, penelitian hukum
normatif digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. Penelitian hukum
normatif menggunakan asas-asas hukum, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan atau doktrin. Penelitian ini menggunakan asas-asas hukum dan doktrin. Hasil
pengujian atas asas-asas hukum dan doktrin dapat membantu Peneliti dalam mencari
pengertian perbuatan melawan hukum (kesalahan) ASN mana yang bersifat administrasi
dan mana yang bersifat pidana, sehingga pemberian sanksi kepada ASN sesuai dengan
kesalahan yang dilakukannya..
67
SIPENDIKUM 2018
Johnny Ibrahim (2005:444) menyatakan dalam penelitian hukum normatif
digunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan
konsep, pendekatan analitis, pendekatan perbandingan, pendekatan sejarah, pendekatan
filsafat, dan pendekatan kasus.
Adapun penjelasan masing-masing pendekatan sebagai berikut:
a. pendekatan perundang-undangan (statute approach). Dalam hal ini, peraturan
perundang-undangan dijadikan dasar untuk melakukan analisis awal. Peraturan
perundang-undangan menjadi titik fokus dari penelitian, ini sesuai dengan sifat
hukum mempunyai ciri-ciri comprehensive (koneksitvitas antarnorma hukum), all-
inclusive (berupa kumpulan norma sehingga tidak ada kekosongan hukum),
systematic (pertautan antarnorma secara hierarkhis).
b. pendekatan konsep (conceptual approach). Dalam hal ini analisis didasarkan pada
konsep-konsep ilmu hukum, yang berkembang dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin, sehingga peneliti menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti, serta membentuk argumentasi hukum untuk menjawab
permasalahan hukum yang diajukan.
c. pendekatan analitis (analytical approach). Analisis dilakukan dengan mencari makna
pada istilah-istilah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
sehingga diperoleh pengertian atau makna baru dari istilah tersebut dan mengujinya
secara praktis melalui putusan-putusan hukum. Pendekatan ini biasanya dilakukan
untuk melihat fenomena kasus yang telah diputus oleh pengadilan dengan cara
melihat analisis yang dilakukan oleh ahli hukum. Tapi dapat juga digunakan untuk
menganalisis fenomena lain.
d. pendekatan perbandingan (comparative approach). Dilakukan dengan cara
membandingkan bisa berupa peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, lembaga hukum dari sistem hukum.
Pendekatan perbandingan dapat digunakan untuk mengisi kekosongan hukum.
e. pendekatan sejarah (historical approach). Dilakukan dengan menelaah latar belakang
dan perkembangan dari materi yang diteliti mulai dari masa lalu sampai saat ini. Hal
ini dilakukan karena dianggap mempunyai relevansi dalam mengungkap atau
menjawab permasalahan yang diajukan.
68
SIPENDIKUM 2018
f. pendekatan filsafat (philosophical approach). Dalam hal ini peneliti ingin melakukan
penelaahan materi secara mendalam. Hal ini sesuai dengan sifat filsafat yaitu
mendasar, menyeluruh dan spekulatif, sehingga akan mengupas isu hukum atau
materi penelitian secara menyeluruh, radikal dan mendalam.
g. pendekatan kasus (case approach). Pendekatan ini bertujuan untuk mempelajari
norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang 30/2014 membagi 2 (dua) jenis kesalahan
ASN dalam pelaksanaan tugasnya dan penyelesaian atas pelanggaran tersebut, yaitu:
(1) kesalahan administratif diselesaikan secara administratif melalui penyempurnaan
administrasi;
(2) kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara apabila
terdapat unsur penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang diselesaikan melalui
proses pidana.
Penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan konsep (conceptual
approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Mengingat Undang-Undang
30/2014 tidak mengatur secara jelas konsep kesalahan mana yang bersifat administratif
dan mana yang bersifat pidana, pendekatan konsep digunakan untuk menganalisis
konsep kesalahan dari berbagai pendapat ahli di bidang hukum perdata, administrasi dan
pidana. Berdasarkan pendekatan para ahli hukum diperoleh pengertian atau pemahaman
terkait konsep kesalahan dari berbagai sudut pandang hukum. Pendekatan yang sesuai
dengan kesalahan ASN atau pejabat publik akan berdampak pada pemberian sanksi
yang sesuai dengan kesalahan ASN.
Pendekatan analitis dilakukan dengan melakukan analisa terhadap sistematika
hukum yaitu perbuatan hukum berupa sikap tindak atau perilaku yang melanggar
hukum. Kedua proses pendekatan tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk
menentukan kesalahan ASN, sehingga pemberian sanksi akan sesuai dengan kesalahan
yang dilakukan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum dalam penelitian
hukum berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder. Yang dimaksud bahan
hukum primer, sekunder adalah (Mukti Fajar, 2010:157):
69
SIPENDIKUM 2018
a. bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma
atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, dan
yurisprudensi. Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan dan pidana.
b. bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri dari semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Dalam penelitian ini
digunakan buku-buku teks hukum atau jurnal terkait administrasi negara dan pidana
yang menunjang permasalahan yang hendak diteliti.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian terkait penerapan sanksi administrasi atau pidana terhadap pelanggaran
perundang-undangan administrasi pernah dilakukan oleh Bambang Suheryadi dalam
tesisnya berjudul “Kedudukan Sanksi Pidana dan Sanksi/Tindakan Administrasi dalam
Sistem Pemidanaan di Indonesia” (Universitas Diponegoro, Semarang tahun 2002).
Penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan sanksi pidana dalam hukum administrasi
bertujuan mengoptimalkan pidana dalam hukum administrasi.
Andreas Eno Tirtakusuma pun pernah melakukan penelitian dalam tesis yang
berjudul “Penyelesaian Pelanggaran Prinsip Keterbukaan di Pasar Modal Indonesia
(Tinjauan Penggunaan Sarana Hukum Administrasi dan Sarana Hukum Pidana)”
(Universitas Indonesia). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa BAPEPAM diberikan
diskresi untuk melakukan penerapan sanksi administrasi atau sanksi pidana kepada
pelanggar prinsip Keterbukan sebagaimana diatur Undang-Undang Pasar Modal. Hasil
penelitian menunjukkan BAPEPAM lebih mengedepankan penerapan sanksi
administrasi dibanding sanksi pidana mengingat pelanggaran prinsip keterbukaan
apabila dilanjutkan ke tahap penyidikan akan menghambat kegiatan pasar modal.
Merujuk pada hasil penelusuran di atas, peneliti belum menemukan penelitian
dalam hukum administrasi terkait konsep atau pengertian kesalahan ASN mana yang
bersifat administratif dan pidana serta konsep pemberian sanksi bagi ASN yang
pelanggar ketentuan, sehingga penelitian ini dapat diyakini keasliannya. Melalui
penelitian ini, peneliti berharap dapat membantu para penegak hukum untuk mendalami
motif atau kehendak ASN pada saat melakukan pelanggaran, sehingga pemberian sanksi
diberikan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
70
SIPENDIKUM 2018
Motif atau kehendak ASN dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan
tidak boleh mengandung cacat seperti kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), paksaan
(dwang), dan lain-lain yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang timbul dalam
pelaksanaan tugasnya menjadi tidak sah. Mengingat setiap tindakan ASN harus
berdasarkan pada ketentuan dan perbuatan tersebut tidak boleh menyimpang atau
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku (Ridwan, 2006:115).
1. Landasan Teori
Pengertian Sanksi Administrasi
P. De Han (Ridwan, 2006:32) memberikan pengertian hukum administrasi
berhubungan dengan organisasi dan fungsionalisasi pemerintahan umum dalam
hubungannya dengan masyarakat. Pengertian hukum administrasi menurut H.D. van
Wijk adalah keseluruhan hukum yang berkaitan dengan administrasi, pemerintah, dan
pemerintahan. Sementara, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang 30/2014 menyatakan
administrasi pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau
tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Philipus M. Hadjon memberikan pengertian sanksi administrasi dalam hukum
administrasi adalah merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang
digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum
administrasi (Suheryadi, 2002 : 86).
Tujuan Sanksi Administrasi
Menurut J.B.J.M. ten Berge tujuan pemberian sanksi adalah untuk menegakkan
hukum administrasi. Menurut P de Haan dkk tujuan pemberian sanksi adalah untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan, mengingat kewenangan ini berasal dari
aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis (Ridwan, 2006: 315). Tujuan
pemberian sanksi administrasi lebih mengedepankan proses pengembalian kepada
keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran.
Pengertian Sanksi Pidana
Perbuatan pidana menurut Simmons (Hiariej, 2014:13) merupakan suatu
perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang tersebut dianggap bertanggungjawab
atas perbuatannya. Seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana sesuai dengan
rumusan delik dan dapat dimintai pertanggungjawaban akan dikenakan sanksi pidana.
71
SIPENDIKUM 2018
Pengertian sanksi pidana menurut van Hamel (Hiariej, 2014:30) adalah suatu
penderitaan yang bersifat khusus dan dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang
sebagai penanggung jawab ketertiban hukum umum terhadap seorang pelanggar karena
telah melanggar peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. Sudarto
memberikan pengertian sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan dan memenuhi syarat tertentu (Hiariej,
2014:13).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan sanksi pidana lebih
mengedepankan pada adanya unsur pemenuhan rumusan suatu delik dan sanksi pidana
bertujuan memberikan suatu penderitaan atau nestapa bagi pelaku.
Tujuan Sanksi Pidana.
Menurut Lafave, tujuan pidana sebagai pengendalian sosial, artinya pelaku
kejahatan diisolasi agar tindakan berbahaya yang dilakukannya tidak merugikan
masyarakat dan tujuan pidana adalah untuk memulihkan keadilan yang dikenal dengan
istilah restorative justice atau keadilan restoratif (bentuk pendekatan penyelesaian
perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban keluarga
atau pelaku atau pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan).
Selanjutnya, Ancel menyatakan tujuan pidana adalah melindungi tatanan masyarakat
dengan tekanan pada resosialisasi atau pemasyarakatan kembali dengan penegakkan
hukum yang tidak menitikberatkan hanya pada yuridis formal tetapi juga bernuansa
sosial (Hiariej, 2014: 36).
Perbedaan Sanksi Administrasi dan Pidana
Berdasarkan penjelasan di atas perbedaan sanksi administrasi atau sanksi pidana
adalah:
Tabel 1
Perbedaan Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana
sanksi administrasi sanksi pidana
lebih mengedepankan proses
pengawasan daripada penegakan
hukum, demi pemulihan kondisi
sebelum pelanggaran tersebut terjadi
(reparatoir).
lebih menekankan penegakan hukum
kepada pelaku yang telah melanggar
suatu rumusan delik dan kepadanya
patut untuk dimintakan
pertanggungjawaban.
72
SIPENDIKUM 2018
sanksi administrasi ditujukan kepada
perbuatan pelaku
pidana ditujukan kepada pelaku
pelanggaran dengan pemberian hukum
berupa penderitaan atau nestapa.
Sumber: (Ridwan, 2006:317-318).
Berdasarkan pengertian di atas baik berdasarkan ketentuan administrasi maupun
pendapat ahli hukum administrasi dapat diambil kesimpulan, hukum administrasi
adalah: (1) sekumpulan aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana alat
perlengkapan negara berfungsi untuk melaksanakan tugas pemerintahan; (2)
sekumpulan aturan-aturan hukum di bidang pemerintahan yang mengatur hubungan
antara pemerintah dengan warga negaranya. Kesimpulan tersebut sejalan dengan
pendapat Soehino (1982:9).
2. Pengertian Konsep Kesalahan Menurut Hukum Perdata, Pidana, Dan
Administrasi
Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang 30/2014 konsep kesalahan dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu:
kesalahan administratif tindak lanjut melalui penyelesaian administratif;
kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara (tindak lanjut berupa
pidana).
Namun, Undang-Undang 30/2014 tidak memberikan penjelasan terkait pengertian
kesalahan administratif, sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan doktrin
hukum administrasi, perdata maupun pidana. Kriteria kesalahan berdasarkan ilmu
hukum administrasi dibagi 3 (tiga) kriteria yaitu: kekhilafan, penipuan atau pemaksaan,
pengertian (1) kekhilafan atau kelalaian (salah kira, dwalling) terjadi apabila seseorang
(subjek hukum) menghendaki sesuatu sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak
tersebut didasarkan atas sesuatu bayangan tentang sesuatu hal yang salah; (2)
kekurangan yuridis paksaan (dwang) adalah keputusan yang dibuat berdasarkan
paksaan, terhadap keputusan ini dapat dibatalkan, bahkan paksaan dapat menjadi sebab
keputusan tadi batal mutlak.
Akibat dari perbuatan yang dibuat berdasarkan paksaan dapat menjadi sebab
dibatalkannnya (batal untuk sebagian) keputusan tersebut. Bahkan paksaan secara keras
dapat menyebabkan keputusan menjadi batal karena hukum; (3) kekurangan yuridis
tipuan (bedrog) adalah keputusan yang dilakukan berdasarkan penipuan. Dikatakan
73
SIPENDIKUM 2018
penipuan apabila kehendak dan kenyataan berbeda, disebabkan karena adanya
serangkaian tipu muslihat yang disengaja, sehingga si pembuat keputusan terpengaruh.
Kriteria kesalahan dalam hukum administrasi, ternyata ditemukan pula pada
hukum perdata dengan isitlah cacat pada kehendak (wilsgebreken) dalam tulisan
Wibowo Tunardy dengan judul “Cacat pada Kehendak (Wilsgebreken)” Adanya cacat
pada kehendak tersebut menyebabkan suatu tindakan hukum dapat dibatalkan.
Kesalahan tersebut: (1) kekeliruan/kesesatan/kekhilafan (dwalling) adalah adanya
kesesuaian antara kehendak dengan pernyataan, namun kehendak salah satu atau kedua
belah pihak terbentuk secara cacat. Akibat adanya kekeliruan tersebut harus ditanggung
oleh dan menjadi risiko pihak yang membuatnya; (2) ancaman/paksaan (dwang) adalah
ancaman terjadi apabila seseorang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan hukum dengan menggunakan cara yang melawan hukum. Perbuatan tersebut
menimbulkan kerugian pada orang tersebut atau kebendaan miliknya atau terhadap
pihak ketiga dan kebendaan milik pihak ketiga. Ancaman ini dapat terjadi dengan
menggunakan sarana yang legal maupun ilegal; (3) penipuan (bedrog) adalah apabila
seseorang dengan kehendak dan pengetahuan menimbulkan kesesatan pada orang lain.
Penipuan dapat terjadi karena adanya fakta yang sengaja disembunyikan; (4)
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandikheden) adalah apabila seseorang
tergerak karena keadaan khusus untuk melakukan suatu perbuatan hukum dan pihak
lawan menyalahgunakan hal tersebut.
Pendekatan secara normatif dapat dilakukan terkait kesalahan yang daitur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP membagi 2 (dua) kesalahan
pelaku pelanggaran yaitu kealpaan atau sengaja, namun pengertian kealpaan atau
sengaja tidak ditemukan dalam KUHP. Ketiadaan kejelasan terkait kealpaan atau
sengaja dapat menggunakan pendekatan doktrin hukum pidana.
Menurut Poernomo, pengertian kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dapat
disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban pidana yang mengandung makna
dapat dicelanya si pelaku atas perbuatannya (Poernomo, 1997: 145). Kesalahan
mengandung segi psikologis dan segi yuridis. Segi psikologis merupakan dasar untuk
mengadakan pencelaan yang harus ada terlebih dahulu, baru kemudian segi yang kedua
untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar kesalahan yang harus dicari
74
SIPENDIKUM 2018
dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu dengan menyelidiki bagaimana
hubungan batinnya dengan apa yang telah diperbuat.
Menurut Moeljatno, kriteria kesalahan dalam hukum pidana dapat dibedakan
dalam dua bentuk yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) dan
kesalahan dalam bentuk kealpaan (culpa). Moeljatno menyatakan bahwa Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian kesengajaan. Namun Pasal 18
KUHP negara Swiss memberikan penergertian sengaja sebagai perbuatan dengan
mengetahui dan menghendakinya, maka pelaku melakukan perbuatan dengan sengaja
(2009: 171). Pengertian kesengajaan menurut MvT (Memorie van Toelichting), yang
memberikan arti kesengajaan sebagai “menghendaki dan mengetahui”.
Selanjutnya, hukum pidana mengenal beberapa teori yang berkaitan dengan
kesengajaan (dolus/opzet) yaitu: (1) teori kehendak (wilstheorie), inti dari kesengajaan
ini adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan Undang-
Undang; (2) teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellingtheorie). Sengaja
berarti membayangkan akan timbulnya suatu perbuatan, orang tidak bisa menghendaki
akibat melainkan hanya dapat membayangkannya.
Berdasarkan penjelasan terkait pengertian konsep kesalahan secara normatif dan
doktrin hukum, pengertian kesalahan yang tepat digunakan sebagai kriteria adalah
kesalahan karena kekhilafan/kesesatan/kelalaian dan kesalahan karena penipuan,
sementara pengertian kesalahan karena pemaksaan tidak dapat digunakan dalam
penelitian ini, mengingat yang dibebani untuk melakukan kewajiban perpajakan adalah
wajib pajak.
Sebagai kesimpulan dari pendekatan doktrin hukum dibagi 2 (dua), kriteria
kesalahan ASN dibagi 2 (dua) yaitu: (1) kekhilafan/kesesatan/kelalaian merupakan
kesalahan yang bersifat administratif dan tindak lanjut kepada ASN diselesaikan melalui
proses administratif; (2) kesalahan yang mengandung unsur penipuan dan pemaksaan
merupakan kesalahan pidana dan diselesaikan diselesaikan secara pidana.
Kriteria kesalahan mana yang bersifat administrasi dan mana yang bersifat pidana
diharapkan dapat membantu penegak hukum dalam rangka mengawasi kewajiban dan
tugas ASN, sehingga penentuan kriteria kesalahan tidak semata-mata diserahkan kepada
penegak hukum tanpa adanya ukuran kesalahan mana yang bersifat administrasi dan
pidana.
75
SIPENDIKUM 2018
Tabel 2
Kriteria Kesalahan dalam Hukum Perdata, Pidana, dan Hukum Administrasi
Hukum perdata Hukum pidana Hukum administrasi
1) kekeliruan/kesesatan/kekhilafa
n (dwalling)
2) ancaman/paksaan (dwang)
3) penipuan (bedrog)
4) penyalahgunaan keadaan
(misbruik van
omstandikheden)
1) kealpaan
2) sengaja
1) kekeliruan/kesesatan/kekhilaf
an (dwalling)
2) ancaman/paksaan (dwang)
3) penipuan (bedrog)
Sumber: diolah dari buku Poernomo, Indroharto, dan artikel Wibowo Tunardy
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan kriteria kesalahan menurut hukum perdata,
pidana dan administrasi hampir sama yaitu kekeliruan/kesesatan/kekhilafan (dwalling),
ancaman/paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog). Apabila kriteria kesalahan dalam
hukum perdata, pidana dan administrasi disederhanakan, kriteria tersebut dibagi 2 (dua)
yaitu kesalahan karena kekeliruan/kesesatan/kekhilafan dan kesalahan karena adanya
ancaman/paksaan dan penipuan.
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang 30/2014 kriteria kesalahan berupa
kekeliruan/kesesatan/kekhilafan diselesaikan dengan proses administrasi, sedangkan
kesalahan karena adanya ancaman/paksaan dan penipuan diselesaikan melalui proses
pidana.
Berdasarkan pendekatan doktrin hukum tersebut, penentuan kriteria kesalahan ASN
menggunakan 2 (dua) pendekatan tersebut, apabila tidak terdapat unsur penipuan dalam
melakukan tugas pemerintahan kepada ASN diselesaikan melalui proses penerapan
sanksi administrasi. Sementara apabila dalam pelaksanaan tugasnya ASN tersebut
melakukan penipuan, kepada ASN dikenakan sanksi pidana.
Kesimpulan
Perlindungan hukum bagi ASN pada saat pelaksanaan fungsi pemerintahan
mutlak diperlukan, mengingat dalam pelaksanaan tugasnya mungkin saja terjadi
kesalahan administrasi yang dilakukan oleh ASN. Melalui pendekatan konsep kesalahan
sesuai doktrin hukum administrasi, perdata maupun pidana diharapkan dapat
memberikan penegasan terkait kesalahan ASN menurut Undang-Undang 30/2014.
Mengingat Undang-Undang tidak menjelaskan pengertian kesalahan administrasi mana
yang bersifat administratif dan pidana. Penelitian ini menyimpulkan apabila ASN
76
SIPENDIKUM 2018
melakukan kesalahan karena kekhilafan/kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya terhadap
ASN tersebut dikenakan sanksi secara administrasi. Apabila dalam pelaksanaan
tugasnya ASN melakukan penipuan kepada ASN dikenakan sanksi pidana.
Daftar Pustaka
Buku
Bambang Poernomo, (1997), Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Ghalia Indonesia.
Eddy O.S. Hiariej, (2014), Prinsip-Prinsip Hukum Pidana,Yogyakarta: Cahya Atma
Pustaka.
Johnny Ibrahim, (2007), Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing.
Marbun dan Mahfud MD, (1987), Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Yogyakarta: Liberty.
Moeljatno, (2005), Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, (2010), Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PAF Lamintang, (1983), Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar
Baru.
Ridwan HR, (2006), Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Tesis/Artikel
Andreas Eno Tirtakusuma, Penyelesaian Pelanggaran Prinsip Keterbukaan di Pasar
Modal Indonesia, Depok: Universitas Indonesia.
Bambang Suheryadi, (2002), Kedudukan Sanksi Pidana dan Sanksi/Tindakan
Administrasi dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Semarang: Universitas
Diponegoro.