Sindrom Nefrotik

Embed Size (px)

Citation preview

PENDAHULUAN

Ilmu Kesehatan Anak, Rs.Polri

1Periode Juni21th -August 28th 2010

Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME atas rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini. Karya tulis berjudul Sindrom Nefrotik ini dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Pusat Kepolisian Raden Said Sukanto, Jakarta. Dalam pembuatan karya tulis ini, saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.

Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing saya, dr.Pulung M. Silalahi, SpA, yang telah memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian karya tulis ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi yang lebih baik.

Selain itu, saya juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman saya yang berada dalam satu kelompok kepaniteraan yang sama, Jonathan, Herisa, Melissa, dan Henny atas dukungan dan bantuan mereka selama saya menjalani kepaniteraan ini. Pengalaman saya dalam kepaniteraan ini akan selalu menjadi suatu inspirasi yang unik. Saya juga mengucapkan rasa terimakasih yang mendalam kepada kedua orangtua saya atas bantuan, dukungan baik secara moril maupun materil, dan kasihnya.

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Penulis,

Anthony S. W.DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................1

Daftar Isi..........................................................................................................................2

Bab I

Pendahuluan...................................................................................................................3

Bab II

Definisi Sindrom Nefrotik ...............................................................................................4Epidemiologi...................................................................................................................4-5Etiologi ...........................................................................................................................5-7Patofisiologi .........................................................................7-11Diagnosis......................................................................................................................12-13 Manifestasi klinis

pemeriksaan penunjang

Komplikasi...............................................................................................................13-16Penatalaksanaan........................................................................................................16-19Prognosis.....................................19-20Bab III

Kesimpulan..................................................................................................................21-22Daftar Pustaka..............................................................................................................26

PENDAHULUAN

Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal1. Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang mendasarinya.2

Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta kortikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%. Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian turun mencapai 20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik.2

Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta histopatologinya.3 Dalam referat ini selanjutnya pembahasan mengenai maisfestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaan akan dititik beratkan pada sindrom nefrotik primer. Terutama sub kategori minimal change nephrotic syndrome (MCNS), fokal segmental glomerulosclerosis (FSGS) serta membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN).

BAB II

2.1Definisi

Sindrom Nefrotik (SN) adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (> 3,5g/ 24jam pada orang dewasa atau 40mg/m2/jam pada anak-anak), hipoalbuminemia (3,5g/ 24jam pada orang dewasa atau 40mg/m2/jam pada anak-anak) yang dapat disertai hematuria mikroskopis. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (200mg/dL), hierlipidemi, lipiduri dan kadang hiperkoagulabilitas.Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.

2.6 Komplikasi

1. Infeksi

Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh:2,4,5

penurunan kadar imunoglobulin

kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun, dimana pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan kadar IgM meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan ada kelainan pada konversi yang diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgM

cairan edema yang berperan sebagai media biakan.2 defisiensi protein,

penurunan aktivitas bakterisid leukosit,

imunosupresif karena pengobatan,

penurunan perfusi limpa karena hipovolemia,

kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang meng oponisasi bakteria tertentu.

Pada Sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteria tertentu seperti1 :

Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae,

Escherichia coli,

Dan bakteri gram negatif lain

Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas sebabnya. Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia, selulitis dan ISK. Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif dianggap penting untuk mencegah terjadinya peritonitis. 52. Kelainan koagulasi dan trombosis

Kelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada kelainan glomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan minimal jarang menimbulkan komplikasi tromboembolism1,2. Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VIII, dan X yang disebabkan oleh meningkatnya sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesis albumin serta lipoprotein. Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar plasminogen, fibrinogen plasma meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein C dan protein S meningkat dalam plasma4. Secara ringkas kelainan hemostatik pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda2:

peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:

meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti anti trombin III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin

hipoalbuminuria mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatkan sintesis protein pro koagulan karena hiporikia dan tekanan fibrinolisis.

Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

3. Pertumbuhan abnormal

Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure to thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi karena edem saluran gastrointestinal.1,2

Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula menyebabkan gangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat menghambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier; terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Walau selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat pengurangan produksi atau sekresi hormon pertumbuhan, tapi telah diketahui bahwa kortikosteroid mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat jaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin.

4. Perubahan hormon dan mineral

Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom nefrotik berkaitan dengan disebabkan oleh albumin serum yang rendah dan berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap normal dan menetap.25. Anemia

Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik. Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap prefarat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemia nya terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang sangat menurun, karena hilangnya protein ini dalam urin dalam jumlah besar.

2.7 Penatalaksanaan

1. Terapeutik

Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom nefrotik.

ISKDC melaporkan sekitar 91,8% pasien yang bererpon terhadap kotikosteroid mempunyai kelainan minimal glomeruloneprithis, dibandingkan dengan 25% pasien yang tidak respon. Pada pasien yang tidak berespon terhadap kortikosteroid dan berusia dibawah 6 tahun, 50 % merupakan kelainan minimal glomerulonepritis. Dan pada usia lebuh dari 6 tahun hanya 3,6% yang mempunyai kelainan minimal glomerulonepritis. The Southwest Pediatric Nephrology Study Group melaporkan sekitar 63% pasien dengan diffuse membranous hypercellularity, dan 30% pasien dengan focal glomeruralscerosis berespon terhadap kortikosteroid. 2,5Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m2/24jam (maksimum dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika anak berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan pemberian prednison dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid dan terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang tepat.

Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick), dosis prednison diubah menjadi 40mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang sehari tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak.

Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan keadaan ini menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil pasien yang berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari, penderita demikian disebut tergantung steroid.

Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid (muka cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno supresif lain.

Siklofosfamid, Dosis siklofosfamid 3 mg/kg/24jam sebagai dosis tunggal, selama total pemberian 12 minggu (8 minggu 1). Terapi prednison tetap diteruskan selama pemberian siklosfosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah 5000/mm3. komplikasi lain berupa supresi sumsum tulang,hair loss, azoospremia, hemorrhagic cystitis, keganasan, mutasi dan infertilitas.

Levamison, adalah imunosimultan dengan efek steroid-sparing yang lemah sehingga perlu penghentian terapi prednison. Dosis yang dipakai adalah 2,5 mg/kg selama 4-12 bulan. Efek samping jarang ditemukan, tetapi dilaporkan dapat terjadi neutropenia dan encelopathy. Obat ini tidak umum digunakan.

Cyclosporin, adalah inhibitor fungsi limfosit T dan diindikasikan bila terjadi relaps setelah terapi dengan cyclosfosfamid. Cyclosporin lebih disukai digunakan pada anak laki-laki dalam masa pubertas yang beresiko menjadi azoospermia akibat induksi siklosfosfamid. Cyclosporin dapat bersifat nefrotoksik, dan dapat menyebabkan hisurtism, hipertensi dan hipertropi ginggiva.

2. Pengobatan suportif

Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Tapi juga ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya. Pengobatan suportif sangat penting bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan imunosupresif dan karena itu mudah mendapat komplikasi Sindrom nefrotik yang berkepanjangan.

terapi dietetik 2 masukan garam dibatasi 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium yang positif

diet tinggi kalori, protein dibatasi 2 gram/kgBB/hari.

Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan hiperlipidemia.

Pengobatan terhadap edema.

Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium (spirinolakton, triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan furesemid, asam etekrinat atau bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/ hari dan paling sering dipakai karena toleransinya baik walau dengan dosis tinggi.

Proteinuria dan hipoalbuminemia

ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria, efek bergantung pada dosis, lama pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah dan secara progresif ditingkatkan sampai dosis toleransi maksimal.

Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan protreinuia sampai 50%, efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein, nenurunnya tekanan kapiler intraglomerural dan atau karena menurunnya luas permukaan filtrasi. Indometasin (150mg/hari) dan meklofenamat (200-300mg/hari) merupakan obat yang sering dipakai.

Hiperlipidemia

Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada sindrom nefrotik.

Hiperkoagulabilitas

Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko tromboemboli seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau saat pemberian kortikosteroid iv dosis tinggi.

2.8 Prognosis

Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal.

Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun.

Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun. 1BAB III

KESIMPULAN

Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal1

Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar 15,5/100.000.3

Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled dan teori overfille. Gejala awal pada sindroma nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropi dan urin berbusa.

Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan pada deskripsi histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3

Komplikasi pada sindromnrfrotik antara lain :

6. Infeksi

6. Kelainan koagulasi dan trombosis

6. Pertumbuhan abnormal

6. Perubahan hormon dan mineral

6. Anemia

Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis3

Penatalaksanaan4. Terapeutik, obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine.

4. Pengobatan supotif (Hiperlipidemia, Hiperkoagulabilitas, edema, Proteinuria dan hipoalbuminemi) serta terapi dietetik 1,2Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik

DAFTAR PUSTAKA

1. Bergsten Jerry M. Sindrom Nefrotik. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson

HB, penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15. 2000. h.1828-31..2. IGN Wila Wirya. Sindrom Nefrotik. Dalam: Husein Alatas, taralan Tambunan,

partini P.Trihono, Sudung O. Pardede. Buku Ajar Nefrologi Anak; Jakarta; Ikatan

Dokter Anak Indonesia, 2002; 381-426.3. Wo Prodjosudjasi. Sdrom Nefrotik. Dalam Sudoyo, Aryu W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. h.558-60.

4. Lane JC. Nephrotic Syndrome. Department of Pediatrics. Division of Kidney Disease Northwetern University medical school. Chicago 2009. Diunduh darihttp://www.emedicine.medscape.com , diakses tanggal 21 Mei 2010.

6. Noer MS, Soemyarso N. Sindrom Nefrotik. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FakultasKedokteran UNAIR Surabaya. Diunduh dari http://www.pediatrik.com , diakses tanggal 21 Mei 2010.

6. Husein Alatas. Anatomi dan Fisiologi Ginjal. Dalam: Husein Alatas, taralan Tambunan, partiniP.Trihono, Sudung O. Pardede. Buku Ajar Nefrologi Anak; Jakarta; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2002; 381-426.

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

SINDROM NEFROTIK

Nama Pembimbing: dr.Pulung M. Silalahi, SpANama Penyaji

: Anthony Surya Wibawa D

Nim

: 07120040014Edema

Volume plasma

Tekanan onkotik koloid plasma

Retensi Na di tubulus distal & sekresi ADH

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Kelainan Glomerulus

Edema

Volume plasma

Retensi Na renal primer

Kelainan Glomerulus

Albuminuria Hipoalbuminemia

ANTHONY SURYA WIBAWA

Referat SINDROM nEFROTIK