68
PRESENTASI KASUS Pembimbing: Dr. Riza Mansyoer, SP.A Disusun Oleh: Indra Sanjaya 030.98.102 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOJA PERIODE 29 MEI – 5 AGUSTUS 2006 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

SINDROM NEFROTIK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SINDROM NEFROTIK

PRESENTASI KASUS

Pembimbing:

Dr. Riza Mansyoer, SP.A

Disusun Oleh:

Indra Sanjaya

030.98.102

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD KOJA

PERIODE 29 MEI – 5 AGUSTUS 2006

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

Page 2: SINDROM NEFROTIK

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

Nama pasien : An. D

Umur : 11 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 16 Januari 1995

Orangtua Ayah Ibu

Nama : Tn.R Ny. S

Umur : 43 thn 40 thn

Pendidikan : SMP SD

Alamat : Jl. Podomoro 3 RT 07/07 No. 11

Jakarta utara

II. ANAMNESIS

Auto dan alloanamnesis (dengan ibu pasien ) dilakukan pada tanggal 3 Juni 2006.

A. Keluhan utama :

Bengkak di kaki, perut dan mata sejak 1 bulan SMRS

B. Keluhan tambahan : (-)

C. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke poliklinik anak dengan keluhan bengkak di kaki, perut

dan mata sejak 1 bulan SMRS. Awalnya bengkak dirasakan pasien di kedua mata

setiap bangun tidur. Bengkak juga timbul di kedua kaki pasien yang terjadi secara

cepat. Bengkak tersebut awalnya hilang timbul, tetapi kemudian bengkak bersifat

menetap, dan pasien menyangkal adanya rasa nyeri. Bengkak juga kemudian

timbul juga di perut dan semakin lama tambah membesar dan tegang. Pasien

mengatakan muka dan badan pasien bertambah gemuk walaupun nafsu makan

pasien tidak meningkat. Selain itu kantong kemaluan pasien juga bengkak Pasien

menyangkal adanya demam, sesak nafas (-), BAB mencret (-), BAK warna

Page 3: SINDROM NEFROTIK

kuning jernih, nyeri (-), rasa tidak puas saat BAK (-). Riwayat sakit tenggorok (-),

riwayat penyakit kulit (-)

Pasien menyangkal adanya riwayat penggunaan obat-obatan tertentu.

Pasien juga menyangkal adanya riwayat trauma. Selama ini pasien belum pernah

berobat dan baru pertama kali datang ke RSUD Koja.

D. Riwayat penyakit dahulu

Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat

alergi makanan dan obat (-).

E. Riwayat penyakit keluarga

Di dalam keluarga pasien tidak ada anggota keluarga pasien yang

menderita penyakit seperti ini.

F. Riwayat kehamilan dan persalinan

Selama kehamilan ibu pasien mengaku rutin kontrol ke bidan. Pasien lahir

spontan, ditolong oleh bidan, cukup bulan. Pada saat lahir pasien langsung

menangis, dengan BB 2800 gr dan panjang badan saat lahir 48 cm.

G. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

Gigi I : 6 bulan

Tengkurap : 3 bulan

Duduk : 6 bulan

Berdiri : 10 bulan

Berjalan : 11 bulan

Bicara : 14 bulan

Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik

H. Riwayat makanan

Page 4: SINDROM NEFROTIK

Pasien diberi ASI sampai usia 2 tahun, setelah itu diberikan susu

pengganti ASI. Bubur susu mulai diberikan pada usia 4-9 bulan dan mendapat

nasi pada usia 1,5 tahun.

I. Riwayat Imunisasi

BCG : 2 bulan

DPT : 3,4,5 bulan

Polio : 3,4,5 bulan

Campak : 9 bulan

Hepatitis : 3 dan 6 bulan

Kesan : - Imunisasi dasar tidak lengkap

- Imunisasi lanjutan belum didapat

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Nadi : 108 x/menit, reguler

RR : 28 x/menit

Suhu : 36,7 oC

Berat Badan : 32 kg

Berat Badan yang sebenarnya :

Pasien dengan asites, edema palpebra, edema tungkai → 30 %

32 Kg – (30%BB) = 32 – 9,6

= 22,4 Kg

Status generalis

Kepala : normocephali

Rambut : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.

Mata : CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat isokor, edema palpebra

Telinga : normotia, sekret -/-

Hidung : septum deviasi -, sekret -/-

Mulut : bibir kering (-), lidah kotor (-)

Page 5: SINDROM NEFROTIK

Tenggorok : T1-T1 tenang, tidak hiperemis

Thoraks : Paru

Ins : bentuk simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Pa : vokal fremitus sama kanan dan kiri

Per : sonor

Aus : suara nafas vesikuler, ronchi -/-

Jantung

Ins : ictus cordis tidak terlihat

Pa : teraba di ICS IV midclavikularis sinistra

Per : Jantung dalam batas normal

Aus : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : buncit, supel, NT (-), shifting dullness +, BU (+) normal

Ekstremitas :Atas : akral hangat, oedem +/+, sianosis -/-

Bawah : akral hangat, pitting oedem +/+, sianosis -/-

Genitalia eksterna : skrotum tampak membesar, licin, perabaan kenyal.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lab Tanggal 1 Juni 2006

Darah lengkap Fungsi ginjal

Hb : 15 g/dl Kreatinin : 0,7 mg/dL

Lekosit : 7400 /uL Ureum : 37 mg/dL

Ht : 45 %

Eritrosit : 4,95 juta/uL2 Fungsi hati

VER : 79 fl Albumin :1,13 g/dl

HER : 26 pg Globulin : 2,17 g/dl

KHER : 34 g/dL Total protein : 3,84 g/dl

Hitung jenis Lemak

Basofil : 1% kolesterol total : 517 mg/dL

Eosinofil : 0 %

Batang : 0 %

Limfosit : 46 %

Page 6: SINDROM NEFROTIK

Monosit : 44 %

Trombosit : 295.000 /uL

LED : 115 mm/jam

Immnuserologi

ASTO : negatif

Urine Lengkap

Warna : Kuning keruh Sedimen

Berat jenis : 1.030 Lekosit : 15-20

pH : 6,5 Eritrosit : 1-3

Albumin : 3+ Silinder : negatif

Glukosa : negatif Epitel : positif

Keton : negatif Bakteri : negatif

Bilirubin : negatif

Darah samar : 3+

Nitrit : negatif

Urobilinogen : 0,2

Kristal

Ca oksalat : negatif

Karbonat : negatif

Fosfat : negatif

Asam urat : negatif

Amorf : negatif

Sel ragi : negatif

V. RESUME

Pasien seorang anak laki-laki datang dengan keluhan bengkak di kaki, perut dan

mata sejak 1 bulan SMRS. Awalnya bengkak dirasakan pasien di kedua mata setiap

bangun tidur. Bengkak kemudian timbul di kaki, perut , dan kantong kemaluan. Pasien

mengatakan muka dan badan pasien bertambah gemuk walaupun nafsu makan pasien

tidak meningkat

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Page 7: SINDROM NEFROTIK

Keadaan Umum : sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Nadi : 108 x/menit, reguler

RR : 28 x/menit

Suhu : 36,7 oC

Berat Badan : 32 kg

Berat Badan yang sebenarnya :

Pasien dengan asites, edema palpebra, edema tungkai → 30 %

32 Kg – (30%BB) = 32 – 9,6

= 22,4 Kg

Status generalis

Mata : edema palpebra

Abdomen : buncit, supel, NT (-), shifting dullness +, BU (+) normal

Ekstremitas :

Bawah : akral hangat, pitting oedem +/+, sianosis -/-

Genitalia eksterna : skrotum tampak membesar, licin, perabaan kenyal.

Pemeriksaan penunjang :

Darah lengkap : Urine Lengkap :

Albumin :1,13 g/dl Albumin : 3+

Globulin : 2,17 g/dl Darah samar : 3+

Total protein : 3,84 g/dl

Kolesterol total : 517 mg/dL

LED : 115 mm/jam

VI. DIAGNOSIS KERJA

Sindroma Nefrotik

VII. PENATALAKSANAAN

IVFD dextrose 5% 16 tetes/ mnt

Taxegram 2 x 1 g

Page 8: SINDROM NEFROTIK

Lasix 2 x 30 mg

Albumin 20 %

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia

Ad fungsionam : dubia

Ad sanationam : dubia

FOLLOW UP

3 juni 2006

S : bengkak berkurang

O : Keadaan umum : sakit sedang

Kesadaran : CM

Tanda Vital : TD : 110/70 mmHg N :112x/mnt,

RR : 28 x/mnt S : 36oC

Mata : edem palpebra (+)

Thorax :

C/ S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

P/ Suara nafas vesikuler, ronchi -/-

Abdomen : ascites (+), NT (-), shifting dullness (+), BU (+) normal

Ekstremitas :

Bawah : akral hangat, pitting oedem +/+, sianosis -/-

Genitalia eksterna : skrotum : edem (-)

A : SN

P: IVFD D5% 16 tts/m

Taxegram 2 x 1 g

Lasix 2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet

5 juni 2006

S: bengkak berkurang, BAK lancar

O:: sakit sedang/ CM

TD:110/70mmHg N:98x/mnt,

Page 9: SINDROM NEFROTIK

RR : 20 x/mnt S : 36oC

Mata : edem palpebra (+)

Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)

P/ Sn vesikuler, ronchi -/-

Abdomen: ascites (+)↓, NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N

Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+

Genitalia eks:skrotum : edem (-)

A : SN

P: IVFD D5% 16 tts/m

Taxegram 2 x 1 g

Lasix 2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet

Albumin (keluarga pasien menolak membeli albumin)

BB : 31 Kg, LP : 65 cm

Diuresis : 1 ml/KgBB/jam→22,4 ml/jam

Pada pasien ini :

Urin 750 ml/19 jam → 37,5 ml/jam

Kesan : diuresis baik

Lab

Darah lengkap

Hb : 13.7 g/dl Hitung jenis

Lekosit : 9400 /uL Basofil : 1%

Ht : 40 % Eosinofil : 2 %

Eritrosit : 5,14 juta/uL2 Batang : 0 %

VER : 78 fl Limfosit : 54 %

HER : 27 pg Monosit : 36 %

KHER : 34 g/dL

Trombosit : 352.000 /uL

LED : 89 mm/jam

6 juni 2006

S: bengkak berkurang, panas(+), batuk(+), BAK>>

O:: sakit sedang/ CM

Page 10: SINDROM NEFROTIK

TD:110/70mmHg N:98x/mnt,

RR : 20 x/mnt S : 37,8oC

Mata : edem palpebra (+)↓

Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)

P/ Sn vesikuler, ronchi -/-

Abdomen: ascites (+)↓, NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N

Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+

Genitalia eks:skrotum : edem (-)

A : SN

P: IVFD D5% 16 tts/m

Taxegram 2 x 1 g

Lasix 2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet

BB : 30 Kg, LP : 63,5 cm

7 juni 2006

S: panas(+), batuk(+), BAK>>

O:: sakit sedang/ CM

TD:110/70mmHg N:104x/mnt,

RR : 20 x/mnt S : 38oC

Mata : edem palpebra (+)

Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)

P/ Sn vesikuler, ronchi -/-

Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N

Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+

Genitalia eks:skrotum : edem (-)

A : SN

P: IVFD D5% 16 tts/m

Taxegram 2 x 1 g

Lasix 2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet

BB : 30 Kg, LP : 63,5 cm

8juni 2006

Page 11: SINDROM NEFROTIK

S: panas(+), batuk(+), BAK>>

O:: sakit sedang/ CM

TD:120/80mmHg N:120x/mnt,

RR : 20 x/mnt S : 38oC

Mata : edem palpebra (+)

Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)

P/ Sn vesikuler, ronchi -/-

Abdomen: ascites (+), NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N

Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+

Genitalia eks:skrotum : edem (-)

A : SN

P: IVFD D5% 16 tts/m

Taxegram 2 x 1 g

Lasix 2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet

Plasma 2 x 200cc

BB : 30 Kg, LP : 63,5 cm

Lab

Urine Lengkap

Warna : Kuning jernih Sedimen

Berat jenis : 1.025 Lekosit : 1-2

pH : 7 Eritrosit : 2-3

Albumin : 3+ Silinder : negatif

Glukosa : negatif Epitel : 1+

Keton : negatif Bakteri : negatif

Bilirubin : negatif

Darah samar : 1+

Nitrit : negatif

Urobilinogen : 0,2

Kristal

Ca oksalat : negatif

Karbonat : negatif

Fosfat : negatif

Page 12: SINDROM NEFROTIK

Asam urat : negatif

Amorf : negatif

Sel ragi : negatif

9juni 2006

S: bengkak berkurang, panas(-), batuk(+),

O:: sakit sedang/ CM

TD:110/70mmHg N:112x/mnt,

RR : 20 x/mnt S : 36,5oC

Mata : edem palpebra (+)↓↓

Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)

P/ Sn vesikuler, ronchi -/-

Abdomen: ascites (+)↓, NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N

Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+

Genitalia eks:skrotum : edem (-)

A : SN

P: IVFD D5% 16 tts/m

Taxegram 2 x 1 g

Lasix 2 x 30 g

Prednison 3 x 2 tablet

Plasma 2 x 200cc

BB : 29 Kg, LP : 60 cm

Lab

Hb : 12,1 g/dl Ht : 35 %

Lekosit : 10700 /uL Trombosit : 158.000 /uL

10juni 2006

S: -

O:: sakit sedang/ CM

TD:110/70mmHg N:88x/mnt,

RR : 20 x/mnt S : 37oC

Mata : edem palpebra (-)

Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)

Page 13: SINDROM NEFROTIK

P/ Sn vesikuler, ronchi -/-

Abdomen: ascites (+)↓↓, NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N

Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+↓

Genitalia eks:skrotum : edem (-)

A : SN

P: IVFD D5% 16 tts/m

Taxegram 2 x 1 g

Lasix 2 x 30 g → stop

Prednison 3 x 2 tablet

Plasma ke-III 200cc

BB : 28,5 Kg, LP : 58 cm

Lab

Rontgen thorax : kesan sugestif efusi pleura kiri

Hb : 10,6 g/dl

Lekosit : 7300 /uL

Ht : 34 %

Trombosit : 278.000 /uL

11juni 2006

S: -

O:: sakit sedang/ CM

TD:110/70mmHg N:120x/mnt,

RR : 20 x/mnt S : 38oC

Mata : edem palpebra (-)

Thorax : C/ S1S2 reguler,m (-), g (-)

P/ Sn vesikuler, ronchi -/-

Abdomen: ascites (+)↓↓, NT (-),shifting dullness (+), BU (+) N

Ekstremitas :Bawah:akral hangat, pitting oedem +/+↓↓

Genitalia eks:skrotum : edem (-)

A : SN

P: IVFD D5% 16 tts/m

Taxegram 2 x 1 g

Lasix 2 x 30 g → stop

Page 14: SINDROM NEFROTIK

Prednison 3 x 2 tablet

BB : 28,5 Kg, LP : 58 cm

Lab

Hb : 11,5 g/dl Ht : 33 %

Lekosit : 11300 /uL Trombosit : 351.000 /uL

Urine Lengkap

Warna : Kuning keruh Sedimen

Berat jenis : 1.025 Lekosit : 4-5

pH : 7,5 Eritrosit : 1-3

Albumin : 3+ Silinder : negatif

Glukosa : negatif Epitel : 1+

Keton : negatif Bakteri : negatif

Bilirubin : negatif

Darah samar : negatif

Nitrit : negatif

Urobilinogen : 0,2

Kristal

Ca oksalat : negatif

Karbonat : negatif

Fosfat : negatif

Asam urat : negatif

Amorf : negatif

Sel ragi : negatif

Page 15: SINDROM NEFROTIK

ANALISA KASUS

Pada pasien ini ditegakan diagnosis sindrom nefrotik berdasarkan :

Anamnesis

Adanya oedem di kaki, perut dan mata sejak 1 bulan SMRS.

Awalnya oedem dirasakan pasien di kedua mata setiap bangun tidur.

Oedem yang terjadi secara cepat.

Oedem tersebut awalnya hilang timbul, tetapi kemudian oedem bersifat menetap.

Berat badan Pasien bertambah gemuk walaupun nafsu makan tidak meningkat

Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya oedem di palpebra, preorbita, ascites, skrotum,

dan adanya pitting oedem pada ekstrimitas.

Hal ini sesuai dengan gejala klinis sindrom nefrotik :

Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema dapat menetap atau

bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Lambat

laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga

penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang

tua sering mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat

badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang

meningkat. Timbulnya edema pada anak dengan SN dapat bersifat perlahan-lahan, atau

timbul secara lebih cepat dan progresif dalam beberapa hari atau minggu. Edema

Page 16: SINDROM NEFROTIK

berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka

sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada

anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai lembek dan

pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang

menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan

dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan

menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka dan

tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti

malnutrisi sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya.

Pada pemeriksaan penunjang :

Darah lengkap : Urine Lengkap :

Albumin : 1,13 g/dl Albumin : 3+

Globulin : 2,17 g/dl Darah samar : 3+

Total protein : 3,84 g/dl

Kolesterol total : 517 mg/dL

LED : 115 mm/jam

Hal tersebut sesuai dengan definisi Sindrom nefrotik,yaitu suatu sindrom klinis dengan

gejala :

1. Proteinuria masif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin

sewaktu >2mg/mg atau ≥2+)

2. Hipoalbuminemia ≤2.5 g/dl

3. Edema

4. Hiperkolesterolemia (>250 mg/dL)

Walaupun jarang, SN sering disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan

fungsi ginjal.

Penatalaksanaan sindrom nefrotik adalah dengan pengobatan imunosupresif

seperti kortikosteroid, obat sitotoksik dan siklosporin. Pengobatan suportif sangat penting

untuk pasien yang tidak memberikan respons terhadap obat-obat imunosupresif dan oleh

karena itu mudah mendapat komplikasi.

Pada kasus ini pasien diberikan prednison, karena merupakan kortikosteroid

pilihan pertama untuk kasus yang pertama kali terjadi. Dosis prednison yang diberikan

Page 17: SINDROM NEFROTIK

pada pasien ini masih kurang efektif. Seharusnya dosis yang diberikan adalah 45 mg

(2mg/kgBB/hr). Pengobatan imunosupresif diberikan dalam jangka panjang oleh karena

itu harus diperhatikan efek samping dari pemberian kortikosteroid.

Efek samping :

gastritis

ulkus peptikum

hipotrofi otot skelet

osteoporosis

penurunan daya tahan tubuh

hipotrofi korteks kelenjar adrenal

gangguan elektrolit : retensi Na dan kehilangan K

efek katabolik : kehilangan protein

edema

gangguan pertumbuhan

kulit :pioderma, dermatosis akneformis, hipotrofi, purpura, telangiektasi,

hiperpigmentasi

moon face

hipertrikosis

sindrom chusing

Pemberian antibiotic pada kasus ini bertujuan untuk mencegah adanya komplikasi

infeksi oleh karena hipoalbuminemia maupun karena paemberian steroid yang dapat

menurunkan daya tahan tubuh.

Pengobatan suportif dengan memberikan albumin atau plasma. Pasien ini

diberikan plasma 600 cc. Pemberian plasma pada pasien ini masih belum cukup. Karena

dengan kadar albumin 1,13 g/dl seharusnya pasien mendapatkan 860 cc.

0,8 x BB x ∆ Alb = 0,8 x 22,4 x (3,5 -1,1) = 43 g

Plasma → 5 gr/100cc

Jumlah pemberian plasma = 43/ 5 gr/100cc = 860 cc.

Page 18: SINDROM NEFROTIK

SINDROM NEFROTIK

SEJARAH

Pada tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk

membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus normal daripada nefritis yang

menunjukkan kelainan inflamasi glomerulus. Namun istilah nefrosis sekarang tidak

dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya butir-butir lipoid (Lipoid droplets)

dalam sedimen urin pasien dengan “nefritis parenkimatosa kronik”. Kelainan ini

ditemukan terutama atas dasar adanya lues dan diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah

sindrom nefrotik (SN) kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang

menunjukkan suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit

yang mendasari.

DEFINISI

Sindrom nefrotik adalah sindrom klinis dengan gejala :

5. Proteinuria masif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin

sewaktu >2mg/mg atau ≥2+)

6. Hipoalbuminemia ≤2.5 g/dl

7. Edema

8. Hiperkolesterolemia (>250 mg/dL)

Walaupun jarang, SN sering disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan

fungsi ginjal.

Remisi adalah proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut dalam satu minggu.

Relaps adalah timbulnya proteinuria kembali (≥40 mg/m2 LPB/jam atau ≥2+) 3 hari

berturut-turut dalam satu minggu.

Page 19: SINDROM NEFROTIK

Relaps jarang adalah relaps terjadi <2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal

atau < 4 kali dalam satu tahun.

Relaps sering adalah relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal

atau ≥ 4 kali dalam satu tahun.

Dependen steroid adalah SN yang mengalami relaps ketika dosis steroid diturunkan atau

dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut

Resisten steroid adalah SN yang tidak mengalami remisi dengan prednison dosis penuh

(full dose) 2 mg/kgBB/hr selama 4 minggu

EPIDEMIOLOGI

Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik

primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul

sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin

maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik primer ini 2

kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka

prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6 kasus

per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan

pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan duapertiga kasus anak

dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.

Pada penelitian di Jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2%

menunjukkan KM. Kelompok responsif steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak

dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)

ETIOLOGI

Sindom nefrotik pada anak sebagian besar disebabkan oleh SN primer (idiopatik):

Sindrom Nefrotik Kelainan minimal (SNKM) dan Glomerulosklerosis fokal segmental

(GSFS). Penyebab-penyebab lain dari sindrom nefrotik dikategorikan menjadi SN

sekunder dan genetic disorders .

Genetic disorders Nephrotic-syndrome typical :Finnish-type congenital Nephrotic syndromeFSGSDiffuse mesangeal sclerosis

Page 20: SINDROM NEFROTIK

Denys-Drash syndromeSchimke immuno-osseous dysplasia

Proteinuria with or without Nephrotic syndrom :Galloway-mowat syndromeCharcot-Marie tooth diseaseJeune’s syndrome Cockayne’s syndrome

Metabolic disorders with or without Nephrotic syndrom :Alagille syndromeα-1 antitrypsin defeciencyFabry diseaseGlutaric acidaemiaGycogen storage diseaseHurler’s syndromeLipoprotein disordersMithocondrial cytopathiesSickle-cell disease

SN primerMCNSFSGSMembranous nephropathy

SN sekunderInfeksi Immunological disorders Hepatitis B,C Castleman’s diseaseHIV Kimura’s diseaseMalaria Food allergensSfilisToxoplasmosis

Obat Malignant diseasePenicilamine LymphomaGold LeukemiaAINSPamidronateInterferonMercuryHeroinLithium

Klasifikasi Histopatologis

Page 21: SINDROM NEFROTIK

Klasifikasi kelainan histopatologis pada SN yang digunakan sesuai dengan

rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar

ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan

mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Pada tabel di bawah ini dipakai

istilah/terminologi yang sesuai dengan laporan ISKDC (1970) dan Habib dan

Kleinknecht (1971).

Tabel Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada SN Primer

Kelainan minimal (KM)

Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

Glomerulonefritis kresentik (GNK)

Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

GNMP tipe II dengan deposit intramembran

GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

Glomerulopati membranosa (GM)

Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik yang terjadi sebelum bayi berumur 3 bulan disebut sindrom

nefrotik kongenital (SNK), sedang SN yang menunjukkan gejala dalam tahun pertama

kehidupan (3-12 bulan) disebut sindrom nefrotik infantil (SNI). SNK adalah sindrom

nefrotik yang terdapat pada bayi pada saat lahir ataupun sebelum lahir. Namun gejala

proteinuria berat, edema dan hipoalbuminemia ditemukan beberapa minggu atau bahkan

beberapa bulan kemudian. Klasifikasi SN dengan awitan dini haruslah memenuhi

beberapa kriteria, termasuk riwayat keluarga, perjalanan penyakit, pemeriksaan

laboratorium dan histopatologi ginjal. Klasifikasi sindrom nefrotik kongenital dan

infantil.

Page 22: SINDROM NEFROTIK

Tabel Klasifikasi SN Kongenital dan Infantil

Idiopatik

Sindrom nefrotik kongenital tipe Finlandia

Sklerosis mesangial difus

Kelainan glomerulus lainnya

Sekunder

Sifilis kongenital

Infeksi perinatal lainnya

Intoksikasi merkuri

Sindromatik

Sindrom Drash

Sindrom malformasi lainnya

PATOFISIOLOGIProteinuria

Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan gejala

klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan “berat”

untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan

sindrom nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas

permukaan badan, dianggap proteinuria berat.

Selektivitas protein

Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada

kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri

atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan

glomerulus yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein

dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif.

Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio

IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM

Page 23: SINDROM NEFROTIK

88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN

dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.

Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk

membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini

sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.

Perubahan pada filter kapiler glomerulus

Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal tergantung pada

tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral

dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan

negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini

ialah hilangnya sawar muatan negatif selektif. Namun pada SN dengan glomerulonefritis

proliferatif klirens molekul kecil menurun dan yang bermolekul besar meningkat.

Keadaaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga

terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.

Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara

interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan

negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan heparitinase

mengakibatkan timbulnya albuminuria.

Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada

tonjolan kaki (foot procesus) sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di

daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-

tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut

podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak pada daerah ini.

Sialoprotein menurun ditemukan pada berbagai kelainan glomerulus termasuk kelainan

pada model eksperimental nefrosis aminonukleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein

kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya

proteinuria.

Page 24: SINDROM NEFROTIK

Hipoalbuminemia

Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan

pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal. Dalam

keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan adalah

seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein

urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak merupakan korelasi yang

ketat, terutama pada anak dengan proteinuria yang menetap lama dan tidak responsif

steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampir normal dengan atau tanpa

perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam keadaan

seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal. Satu penelitian pada

anak ditemukan kenaikan laju sintesis dua kali pada SN (dan pada anak dengan

hipoalbuminemia dengan penyebab non hepatik lainnya) menunjukkan bahwa kapasitas

meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak cukup untuk mengkompensasi laju

kehilangan albumin yang abnormal.

Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal,

walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka

katabolisme pool fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya

katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat

menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada

keadaan hipoalbuminemia yang menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah

tampaknya disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan

meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena

meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati.

Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya α globulin, α-1 globulin

(normal atau rendah), dan α-2 globulin, β globulin dan fibrinogen meningkat secara

relatif atau absolut. Meningkatnya α-2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein

berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada

beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG

menurun.

Kelainan metabolisme lipid

Page 25: SINDROM NEFROTIK

Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan

kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi

terbalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih

bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada

pasien dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang

menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakit ginjalnya

sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan

lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok.

Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak

dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti

pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat

atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal.

Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin

dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya

kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya

degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas

lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya α-

glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal,

baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan

lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin

serumnya, karena efek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus

polivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien,

HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan

LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuen yang menetap bahkan selama remisi. Lipid

dapat juga ditemukan di dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross.

Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese

cross tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah

apabila dilihat dengan cahaya polarisasi.

Edema

Page 26: SINDROM NEFROTIK

Keterangan klinik pembentukan edema pada sindrom nefrotik sudah dianggap

jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa

mekanisme hipotesis ini tidak dapat memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik

mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan

onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang interstitial. Dengan

meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar menimbulkan

albuminuria dan hipoalbuminemia (lihat gambar 16-1). Hipoalbuminemia menyebabkan

menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan

meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke

ruang interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.

Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma ↓

Volume plasma ↑

Retensi Na renal sekunder ↑

Edema

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri

dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya

volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air

dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga

volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa

kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume

plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian

menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke

ruang interstitial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan

hingga edema stabil.

Page 27: SINDROM NEFROTIK

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan

aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua

pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma

dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep

teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme

intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium

renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular.

Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstitial.

Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar

renin plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipovolemia.

Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer

Albuminuria

Volume plasma ↑ Hipoalbuminemia

Edema

Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe

nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer

dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG)

masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM.

Karakteristik patofisiologis kelompok ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu

retensi natrium dan air merupakan fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua

atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar

renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis.

Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif

rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok pertama. Karakteristik

patofisiologi kelompok kedua ini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan retensi

air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal.

Page 28: SINDROM NEFROTIK

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin

saja kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu

berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin

suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran

nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume intravaskular akan merangsang

keluarnya renin dan menimbulkan rangsangan nonosmotik untuk keluarnya hormon

antidiuretik. Dengan meningkatnya produksi renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin

angiotensin aldosteron. Akibat akhir ialah terjadinya retensi natrium dan air dengan

keluarnya volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit natrium. Berkaitan dengan

teori ini masih merupakan teka-teki bahwa pada pasien analbuminemia kongenital

terdapat sedikit atau tanpa edema dan umumnya diagnosis tidak dibuat sampai anak

menjadi dewasa.

Terjadinya edema pada pasien-pasien ini rupanya dapat dicegah dengan

menurunkan tekanan hidrostatik kapiler yang bersamaan. Hal ini menimbulkan

pertanyaan kenapa tidak terjadi mekanisme kompensasi yang sama pada SN? Apabila

volume plasma pada pasien diukur ternyata tidak menurun semua. Meltzer dkk

melaporkan pada dua kelompok pasien dewasa, yang pada satu kelompok keadaannya

sesuai dengan teori klasik dengan SNKM, hipovolemia, konsentrasi plasma renin dan

aldosteron tinggi dan responsif steroid. Kelompok kedua, volume darah meningkat

dengan renin dan aldosteron rendah dan pasien ini resisten steroid dengan kelainan BKM.

Penelitian lain memperkuat edema nefrotik dengan volume plasma renin dan aldosteron

yang meningkat normal atau rendah. Apabila diteliti selama retensi natrium dan

peningkatan berat badan yang progresif maka banyak pasien mempunyai konsentrasi

renin dan aldosteron yang normal atau rendah menunjukkan bahwa retensi natrium tidak

bergantung pada rangsangan sistem renin angiotensin aldosteron. Bahkan pada mereka

dengan renin dan aldosteron yang tinggi reabsorpsi natrium terus berlangsung walaupun

dilakukan supresi renin baik dengan infus albumin atau kaptopril. Bila reabsorpsi natrium

pada tubulus proksimal menurun maka seharusnya retensi natrium terjadi pada nefron

distal. Observasi ini menyokong observasi klinik yang menunjukkan bahwa retensi

natrium pada SN disebabkan oleh faktor-faktor intrarenal.

Page 29: SINDROM NEFROTIK

Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi

umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan

volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya

menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat

merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif

terhadap steroid atau tidak di samping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihnya

terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua kelompok

histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida natriuretik atrial (ANP)

dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti. Anak-anak dengan SN

responsif steroid dalam keadaan relaps dilaporkan mempunyai konsentrasi ANP yang

tidak berbeda dengan kontrol. Namun, dengan pemberian infus albumin atau imersi air

untuk ekspansi volume intravaskular akan terjadi diuresis yang diikuti dengan

peningkatan ANP sebanyak lima kali, yang menunjukkan bahwa ANP berperan pada

diuresis sesudah ekspansi volume.

GEJALA KLINIS

Di masa lalu orang tua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan

yang kurang, mudah terangsang, adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena

infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema,

sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Namun dengan pengobatan

kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN secara drastis dan dapat dikatakan

bahwa baik oleh anak, orang tua atau dokter SN bukan lagi merupakan masalah edema,

tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi anak-anak yang tidak responsif

terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan kira-kira 80% anak dengan SN menderita

SNKM, dan lebih dari 90% anak-anak ini bebas edema dan proteinuria dalam 4 minggu

sesudah pengobatan awal dengan kortikosteroid.

Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema dapat

dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten dengan

komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik utama bagi mereka yang

menjadi non responder dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi.

Kelompok ini hampir berjumlah ¼ dari semua pasien dengan SN primer. Edema

Page 30: SINDROM NEFROTIK

umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orang tua atau

anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan

kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat atau dapat

menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan

oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjad menyeluruh, yaitu ke

pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah

nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua sering mengeluh berat badan anak tidak

mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan terjadinya

pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningkat. Timbulnya edema pada

anak dengan SN disebutkan bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut jenis kelainan

glomerulusnya. Tampaknya sekarang pola timbulnya edema bervariasi pada pasien

dengan berbagai kelainan glomerulus. Pada anak dengan SNKM edema timbul secara

lebih cepat dan progresif dalam beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan

intermiten pada kelainan glomerulus jenis lainnya, terutama pada GN membrano-

proliferatif (GNMP). Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di

kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam

posisi berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan

sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan

kaos kaki yang menyempit. Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit

secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua

jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura.

Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan

jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya.

Gangguan gastrointestinal

Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering

dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan

dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali

dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang

meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-

kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya

Page 31: SINDROM NEFROTIK

abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak

diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati.

Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan

kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya.

Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang

kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan

asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.

Gangguan pernapasan

Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka

pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat

diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.

Gangguan fungsi psikososial

Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit berat

umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan

keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja

pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini

memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya. Kecemasan orang tua

dan perawatan yang sering dan lama menyebabkan anak berkembang menjadi berdikari

dan bertanggung jawab terhadap dirinya dan nasibnya. Perkembangan dunia sosial anak

menjadi terbatas. Anak dengan SN ini akhirnya menimbulkan beban pikiran karena akan

membentuk pengertian dan bayangan yang salah mengenai penyakitnya. Para dokter

yang sadar akan masalah ini dapat berbuat sesuatu untuk mencegahnya dan berusaha

mendorong meningkatkan perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta

berusaha menolong mengurangi cacat, kekhawatiran dan beban pikiran.

KOMPLIKASIKomplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau

sebagai akibat pengobatan :

Infeksi

Page 32: SINDROM NEFROTIK

Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis

Perubahan hormon dan mineral

Pertumbuhan abnormal dan nutrisi

Peritonitis

Anemia

Gangguan tubulus renal

PENGOBATAN

Pengobatan imunosupresif

Beberapa obat-obat imunosupresif seperti kortikosteroid, obat sitotoksik dan

siklosporin, dapat menimbulkan remisi proteinuria dan melindungi fungsi ginjal paling

tidak pada beberapa jenis glomerulonefritis primer.

Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)

SNKM merupakan kelompok yang terbesar meliputi 70-80% kasus dengan SN

pada anak. Menurut Brodehl ada 3 tujuan utama pengobatan pada KM adalah:

1. Membuat SN ini dalam keadaan remisi secepat mungkin untuk mencegah

komplikasi

2. Mencegah relaps, dan

3. Mencegah efek samping iatrogenik pada penyakit yang kambuh berulang dalam

waktu lama.

Kortikosteroid merupakan obat pilihan utama pengobatan awal SNKM.

Proteinuria menghilang 90% pada anak selama pengobatan 8 minggu dengan prednison,

dengan dosis 60 mg/m2/hari untuk 4 minggu, diikuti dengan 40 mg/m2/48 jam untuk 4

minggu berikutnya. Setengah dari pasien ini, remisinya terjadi dalam 4 minggu pertama

dan kebanyakan pasien lainnya terjadi remisi dalam 4 minggu berikutnya. Namun

sayangnya banyak pasien kambuh sesudah remisi. Laju relaps rupanya dipengaruhi oleh

lamanya pengobatan awal. Kira-kira 80% anak relaps dalam satu tahun apabila prednison

diberikan untuk 4 minggu, 60% relaps sesudah pengobatan 8 minggu, dan hanya 36%

Page 33: SINDROM NEFROTIK

relaps apabila prednison diberikan selama 12 minggu. Pada anak lamanya pengobatan

awal mempengaruhi risiko relaps. Untuk mengurangi risiko relaps pengobatan awal harus

diperpanjang. Di samping itu prednison dosisnya diturunkan secara perlahan, tidak

mendadak, untuk mencegah efek rebound yang dapat menimbulkan relaps. Dianjurkan

pemberian prednison dosis 60 mg/m2/hari sampai proteinuria hilang untuk 3 hari

berturut-turut. Kemudian pengobatan dilanjutkan dengan prednison selang sehari dengan

dosis 40 mg/m2/48 jam untuk sekurang-kurangnya 12 minggu dengan penurunan

prednison selanjutnya dengan 5-10 mg/m2/48 jam tiap bulan.

Umumnya kebanyakan anak memberi respons dalam 4 minggu pertama, namun

pada beberapa pasien responsnya dapat tertunda. Jadi pemberian prednison diperpanjang

untuk 8-12 minggu sebelum seorang anak dianggap resisten steroid. Pengobatan baku

ISKDC pada anak terdiri atas 60 mg/m2/hari (dengan maksimal 80 mg/hari) dan dosis ini

diberikan sampai urin bebas protein tiga hari berturut-turut. Kemudian prednison dapat

diberikan selang sehari selama 4 minggu dengan dosis 40 mg/m2/48 jam. Pemberian

prednison maksimum pada pasien yang tidak responsif dini harus sama dengan episode

pertama. Pasien dengan relaps dua kali atau lebih dalam 6 bulan sesudah episode pertama

atau empat kali atau lebih dalam 12 bulan disebut relaps frekuen. Pasien yang relaps

dalam 14 hari sesudah steroid dihentikan atau relaps bila dosis dikurangi disebut

dependen steroid. Pengobatan terhadap pasien ini susah karena pengobatan steroid jangka

lama akan menimbulkan efek samping, seperti hipertensi, kelainan psikiatris,

osteoporosis, obesitas, diabetes, muka cusingoid, infeksi, retardasi pertumbuhan dan lain-

lain. Siklofosfamid atau klorambusil dapat mengurangi frekuensi relaps pada pasien ini

secara bermakna. Hasil pengobatan sitostatik jelas bergantung pada lama pengobatan.

Barrat dkk membandingkan efek pengobatan siklofosfamid selama 2 minggu dan 8

minggu pada pasien SN sensitif steroid yang sering relaps dan menyimpulkan bahwa

pengobatan jangka lama ternyata lebih efektif.

Rance dkk melaporkan 27% angka remisi selama setahun terhadap anak yang

diberikan siklofosfamid kurang dari 6 minggu, sedangkan 66% pasien masih dalam

remisi apabila pengobatan diperpanjang sampai 12 minggu. Di sisi lain, apabila

pengobatan diberikan terlalu pendek kurang bermanfaat, sedangkan pemberian alkylating

jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Untuk mencegah

Page 34: SINDROM NEFROTIK

efek samping yang berat pada SNKM, maka banyak dokter di klinik memberikan

siklofosfamid atau klorambusil untuk tidak lebih dari 8 minggu. Dengan cara pengobatan

ini hampir 70% pasien relaps frekuen tetap remisi, namun kebanyakan pasien dependen

steroid cepat relaps sesudah pengobatan dihentikan. Namun apabila siklofosfamid

diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari untuk 12 minggu daripada seharusnya 8 minggu,

kira-kira 2/3 pasien dengan dependen steroid tetap dalam remisi sesudah 2 tahun. 10

dosis kumulatif ini masih di bawah ambang risiko terjadinya azoospermia.

Siklosporin-A (Cy-A) merupakan abat alternatif lain daripada steroid.

Kebanyakan pasien dependen steroid remisi dipertahankan dengan CyA, yang diberikan

sesudah terjadi remisi dengan steroid. Sesudah obat ini dihentikan, relaps dini terjadi

namun tidak pada semua pasien. Relaps ini tampaknya tidak akan terjadi jika CyA

diberikan dalam jangka waktu lama dan dosisnya diturunkan perlahan-lahan. Untuk

menguji keamanan dan diterimanya CyA sebagai obat pada pasien SN idiopatik, maka

dilakukan penelitian terhsdap 661 pasien pada 10 tempat studi. Efek samping non-renal

yang paling sering ditemukan adalah hipertrikosis (18%), hiperplasia gusi (16%), gejala

gastrointestinal (11%) dan hipertensi (9%). Di antara 225 pasien dengan SNKM yang

diobati dengan CyA, 3 menderita gagal ginjal terminal. Semua pasien ini resisten steroid

dan CyA yang menunjukkan evolusi yang kurang baik ini disebabkan oleh adanya

glomerulosklerosis fokal dan segmental yang mendasari penyakit ini daripada akibat

nefrotoksik CyA. Pada pasien lainnya kadar kreatinin serum rata-rata pada akhir tindak

lanjut tidak berbeda bermakna daripada nilai basalnya. Namun tampaknya kreatinin

serum bukan merupakan ukuran yang memadai untuk memonitor fungsi ginjal pada

pasien yang diberikan obat yang potensial nefrotoksik. Sebenarnya CyA dapat

menimbulkan kelainan histologis bahkan pada pasien dengan ginjal normal sekalipun.

Kasus dengan fibrosis interstitial pernah dilaporkan pada pasien yang diberikan CyA

karena penyakit autoimun nonrenal. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa belum

ada obat baku untuk pengobatan pasien dengan relaps frekuen atau dengan dependen

steroid maka diusulkan cara pengobatan terhadap pasien ini sesuai dengna algoritme.

Siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu

Page 35: SINDROM NEFROTIK

Relaps Tidak relaps

Prednison selang sehari

dosis efektif minimal

Toleransi baik Efek samping Siklosporin (CyA)

Relaps Tidak relaps

Pengobatan Dikurangi bertahap sampai dosis

simtomatik sampai dosis efektif minimal

Oleh karena siklofosfamid atau klorambusil dapat menimbulkan remisi yang

stabil pada sejumlah kasus, maka dianjurkan untuk pertama-tama memberikan salah satu

daripada obat-obat ini dalam waktu jangka pendek (8 minggu untuk pasien relaps

frekuen, dan 12 minggu untuk dependen steroid). Siklofosfamid dengan dosis 2

mg/kgbb/hari, kurang gonadotoksik dan lebih baik diberikan kepada anak dan remaja.

Klorambusil yang mungkin lebih efektif dan kurang toksik terhadap kandung kemih,

dapat digunakan untuk pasien lainnya dengan dosis 0.15 mg/kgbb/hari. Apabila terjadi

relaps maka sebaiknya jangan diobati lagi dengan obat alkil karena toksisitasnya akan

kumulatif. Umumnya pasien ini responsif lagi terhadap steroid.

Diantara berbagai cara pemberian, prednison selang sehari sering dipakai secara

luas dan aman untuk beberapa bulan. Apabila timbul gejala hiperkortisisme, steroid

dihentikan dan diganti dengan CyA. Apabila pasien tetap dalam remisi, CyA dapat

diturunkan sesudah 6 sampai 12 bulan sebanyak 25% tiap 2 bulan untuk menetapkan

dosis efektif minimal. Beberapa peneliti meneruskan pemakaian obat ini untuk bertahun-

tahun. Sebaiknya pemberian CyA perlahan-lahan dihentikan sesudah 2 tahun. Apabila

pasien relaps lagi maka pemberian steroid diulang lagi selama 6-12 bulan dan kemudian

diberikan CyA lagi untuk 1-2 tahun yaitu untuk toksisitas potensial pada pemakaian obat-

obat ini dalam jangka panjang. Beberapa pasien (10%) dengan diagnosis histologis

SNKM tidak memberikan respons terhadap pengobatan baku dengan steroid.

Page 36: SINDROM NEFROTIK

Kebanyakan dari mereka ini, cepat atau lambat menunjukkan gambaran

glomerulosklerosis fokal segmental pada biopsi ginjalnya dan harus diobati sesuai dengan

kelainan tersebut.

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

GSFS merupakan penyakit klinikopatologis yang heterogen yang merupakan

komplikasi beberapa penyakit. Dalam bentuk idiopatik, GSFS umumnya dikaitkan

dengan SN. Kebanyakan pasien nefrotik dengan GSFS berlanjut menjadi gagal ginjal

kronik terminal dalam 10 tahun sesudah awitan klinis. Nasib kelainan ginjal GSFS pada

anak dan orang dewasa adalah sama, walaupun anak kadang-kadang menunjukkan

respons lebih baik terhadap pengobatan. Adanya kelainan tubulointerstitial pada sediaan

biopsi menunjukkan prognosis yang kurang baik, sedangkan peran prognostik kelainan

glomerulus seperti kelainan hilus, proliferasi mesangial dan glomerulus kolaps masih

diperbincangkan. Belum ada penelitian prospektif terkontrol dengan pemakaian obat

kortikosteroid atau sitostatik pada penyakit ini. Kebanyakan literatur didasarkan pada

penelitian retrospektif, dan mungkin beberapa makalah dengan hasil yang kurang baik

namun belum dipublikasi. Kesan umum ialah bahwa hanya sebagian kecil pasien dengan

GSFS mencapai remisi komplit dengan prednison dosis tinggi dalam pemberian jangka

pendek. Berdasarkan respons yang kurang baik ini banyak ahli klinik enggan untu

mengobati pasien dengan GSFS.

CyA juga mulai dipakai untuk mengobati GSFS. dari kepustakaan dilaporkan

40% pasien dipertahankan tanpa SN dengan pengobatan CyA. Tidak jelas apakah CyA

merusak atau melindungi fungsi ginjal pada GSFS. Beberapa penelitian melaporkan

memburuknya kelainan histologis pada beberapa pasien yang mendapat CyA. Untuk

pasien nefrotik dengan GSFS tindakan pertama adalah memberikan prednison dosis

tinggi (60 mg/m2/hari) selama 2 bulan untuk mengetahui berapa pasien yang responsif.

Prednison selama 2 bulan (60 mg/m2/hari)

Page 37: SINDROM NEFROTIK

Respons Tidak responsif

Tidak relaps Relaps Pengobatan Prednison selang Prednison

sehari selama dan obat

4-6 bulan sitotoksik

selama 6

bulan

Respons tidak responsif

Pengobatan Siklosporin

simtomatik (CyA)

Tidak responsif responsif

Untuk pasien ini pengobatan selanjutnya sama dengan SNKM, termasuk

penanganannya bila ada relaps. Apa yang harus diperbuat terhadap pasien yang tidak

responsif masih kontroversial. Banyak dokter tidak mau memberi pengobatan, namun

dari data menunjukkan pemberian obat yang lebih lama dapat menimbulkan remisi SN-

nya dan fungsi ginjalnya tetap stabil pada ± 50% pasien. Dianjurkan pemberian steroid

diteruskan sesudah tidak memberikan respons selama 2 bulan. Apabila tidak terdapat

toksisitas steroid, prednison diteruskan selang sehari dengan penurunan dosis selama 4-6

bulan. Dapat juga digunakan sebagai alternatif protokol pengobatan dengan

kortikosteroid selang sehari dengan obat sitostatik selama 6 bulan. Apabila SN menetap

dengan kedua cara pengobatan tersebut, maka pengobatan diubah dengan memberikan

CyA kecuali ditemukan fungsi ginjal dan tekanan darah yang abnormal, atau bila

ditemukan fibrosis interstitial pada biopsi ginjal. Apabila tidak terdapat remisi dalam 3

bulan, maka pasien tersebut selanjutnya tidak akan responsif dan sebaiknya CyA

dihentikan. Terhadap pasien yang responsif CyA dosis diturunkan perlahan-lahan dalam

beberapa bulan untuk mengetahui dosis efektif yang paling kecil. Sesudah pengobatan 1

Page 38: SINDROM NEFROTIK

atau 2 tahun biopsi renal dianggap perlu untuk mengetahui kelainan histologis yang

disebabkan oleh CyA.

Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)

GNMP merupakan penyakit yang jarang pada anak. Umumnya penyakit terjadi

pada semua umur tetapi sering terjadi pada umumr 8-30 tahun. GNMP dibagi dalam tipe

I, II dan III atas dasar gambaran yang berbeda di bawah mikroskop cahaya,

imunofluoresensi dan mikroskop elektron, tetapi prognosis dan perjalanan penyakit dari

ketiga tipe ini sama. Prognosisnya sering kurang baik terhadap pasien dengan insufisiensi

ginjal dan atau adanya gejala SN. Lebih dari 50% pasien dengan SN berlanjut menjadi

gagal ginjal terminal dalam 10 tahun sesudah awitan klinis. Umumnya penyakit lebih

berat pada orang dewasa. McEnery dkk menekankan peran yang menguntungkan dengan

memberikan prednison dosis tinggi jangka panjang selang sehari (2-2,5 mg/kgbb/48 jam)

pada GNMP. ISKDC menyimpulkan dalam penelitian terkontrol bahwa pengobatan

steroid selang sehari dapat mengurangi laju progresivitas GNMP tipe I, namun

pengobatan jangka panjang diikuti hipertensi berat dan kejang-kejang pada beberapa

pasien. Penelitian terkontrol lainnya, Donadio dan Offord melaporkan bahwa pasien

GNMP tipe I dengan kombinasi aspirin (975 mg/hari) dan dipiridamol (225 mg/hari)

menurunkan laju gagal ginjal sampai 4 tahun namun pada analisis 10 tahun tidak terdapat

perbedaan antara pasien yang diobati (49%) dan tidak (41%) mengenai kerusakan

ginjalnya.

Sebagai ringkasan pengobatan terhadap GNMP masih belum jelas. Pengobatan

simtomatik dan pengawasan yang baik terhadap tekanan darah merupakan hal yang

penting. Cara ini dapat menyelamatkan pasien sampai 10 tahun, sesuai dengan harapan

pada populasi umumnya. Pada kasus dengan SN yang mempunyai prognosis ginjal yang

buruk, pengobatan dengan steroid dapat dicoba. Dalam hal demikian lebih dini diberikan

pengobatan hasilnya lebih baik. Dianjurkan pengobatan dengan prednison selang sehari

dengan dosis 2.0 mg/kgbb/48 jam untuk 2 bulan, dengan penurunan dosis secara

berangsur pada periode berikutnya. Apabila tidak terdapat respons dalam waktu 4-6

bulan, obat steroid harus dihentikan. Apabila terdapat perbaikan proteinuria yang

bermakna pengobatan steroid dapat diteruskan dengan dosis efektif minimal. Beberapa

Page 39: SINDROM NEFROTIK

pasien dengan GNMP dapat terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif cepat, yang

kadang-kadang didorong oleh infeksi atau oleh pemberian obat-obatan. Untuk pasien

demikian perlu dilakukan biopsi ginjal. Pada pasien dengan glomerulonefritis

ekstrakapiler atau bila disertai dengan nefritis interstitial, pengobatan yang lebih agresif

dengan pulse metil-prednisolon dosis tinggi secara intravena, ditambah dengan prednison

oral dengan siklofosfamid dapat dicapai perbaikan fungsi ginjal yang bermakna pada

beberapa pasien.

Glomerulopati membranosa (GM)

Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa. Prognosisnya sulit diduga

sebelumnya, karena kadang-kadang fungsi ginjal tetap normal dan bahkan dapat terjadi

remisi spontan, sedangkan 30-50% berlanjut menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu

10 tahun sejak awitan klinis. Proteinuria berat yang menetap dan adanya kelainan

tubulointerstitial pada biopsi awal merupakan faktor yang berhubungan dengan

menurunnya fungsi ginjal secara progresif. Sebaliknya pasien dengan remisi proteinuria

komplit mempunyai prognosis lebih baik walaupun dalam jangka lama. Penelitian

dengan kontrol menggunakan obat sitotoksik juga memberikan hasil yang bertentangan

walaupun menunjukkan efek perbaikan terhadap proteinurianya. Ada anggapan bahwa

GM secara alamiah mempunyai perjalanan penyakit yang lebih baik dan diberikan

pengobatan simtomatik saja. Yang lain mengkhawatirkan terhadap toksisitas potensial

dan lebih suka memakai kortikosteroid saja, sedang yang lain menggunakan kombinasi

kortikosteroid dan obat alkil. Berdasarkan data dari literatur dianjurkan algoritme di

bawah ini dengan fungsi ginjal normal.

Diagnosis GM Idiopatik

A B C

Prednisolon Metilprednisolon Pengobatan

selama 6 bln selama 6 bulan < simtomatik

Responsif Tidak Tidak responsif responsif Remisi SN menetap

Page 40: SINDROM NEFROTIK

responsif atau insufisiensi

Terapi CyA Tidak Relaps ginjal

Relaps Tidak simtomatik relaps

relaps Obati dengan

Tidak responsif Respons A atau B

Kurangi CyA

Kapan pengobatan dimulai masih merupakan masalah yang diperdebatkan.

Beberapa ahli klinik menganjurkan untuk menunggu 1 atau 2 tahun sesudah timbulnya

gejala klinik SN untuk mencegah pengobatan bagi pasien yang mungkin timbul remisi

spontan. Ada yang berpendapat lebih baik menunggu sampai timbul insufisiensi ginjal.

Anjuran yang baik adalah memulai pengobatan dini yaitu dengan beberapa alasan:

1. Pengobatan yang efektif akan mencegah timbulnya komplikasi SN

2. Kemungkinan timbulnya respons lebih besar untuk pasien yang belum timbul

kelainan glomerulus dan tubulointerstitial yang lanjut.

3. Pengobatan lebih baik ditoleransi oleh pasien dengan fungsi ginjal yang normal,

dan

4. Pasien yang telah menderita gagal ginjal akan tidak mempan terhadap pengobatan

atau responsnya tidak lengkap.

Sekarang apa yang harus diperbuat terhadap pasien dengan fungsi ginjal yang

menurun? Pertama diusahakan untuk mendeteksi dan mengobati semua komplikasi yang

mungkin ada, seperti trombosis vena, nefritis interstitial, glomerulonefritis ekstrakapiler,

dan sebagainya. Jenis pengobatan apa yang digunakan terhadap pasien dengan gagal

ginjal progresif? Banyak laporan di dalam kepustakaan, namun yang terbaik diantaranya

ialah penelitian Reichert Koene dan Wetzels yang memberikan metil prednisolon dan

klorambusil untuk 6 bulan. Anjuran dosis klorambusil tidak melebihi 0,1 mg/kg/hari,

karena pada insufisiensi ginjal efek sampingnya meningkat.

Pengobatan Suportif

Page 41: SINDROM NEFROTIK

Dalam penanganan pasien SN harus diperhatikan tidak saja pendekatan

farmakologis khusus terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya tetapi juga

tindakan yang ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele klinis oleh

proteinuria yang masif. Pengobatan suportif sangat penting untuk pasien yang tidak

memberikan respons terhadap obat-obat imunosupresif dan oleh karena itu mudah

mendapat komplikasi SN yang berkepanjangan.

Pengobatan diitetik

Masukan natrium harus dibatasi ± 2 gram/hari untuk mengurangi keseimbangan

natrium yang positif. Dari sudut praktis umumnya cukup dengan menganjurkan tidak

menambahkan garam ke dalam makanan. Pembatasan garam yang ketat hanya diperlukan

terhadap pasien yang tidak memberi respons terhadap diuretika. Dahulu masukan protein

tinggi dianjurkan untuk mengimbangi keluarnya protein dalam urin. Namun cara ini akan

meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul yang berakibat

peningkatan proteinuria lebih lanjut sedangkan keseimbangan protein tetap negatif dan

kadar albumin serum yang rendah akan menetap. Di pihak lain penelitian dengan diit

rendah protein memberikan hasil yang bertentangan. Telah dilaporkan oleh beberapa

peneliti bahwa ekskresi albumin urin menurun dan kadar albumin serum meningkat,

sedangkan peneliti lain tidak menemukan adanya penurunan proteinuria, setidaknya pada

GM.

Bila kadar ureum dan kreatinin normal diberikan diet nefrotik dengan protein 2-3

g/kg/hari, rendah garam 1 g/hari. Bila kadar ureum dan kreatinin tinggi diberikan diet

nefrotik dengan protein 1 g/kg/hari, rendah garam 1 g/hari.

Sambil menunggu hasil penelitian jangka panjang sebaiknya pemberian diit

protein tinggi pada SN dicegah dan menganjurkan diit yang mengandung protein 2

gram/kgbb/hari. Diit penurunan lipid (<200 mg/hari kolesterol, jumlah lemak <30% dari

kalori total dan asam lemak tidak jenuh 10% dari jumlah seluruh kalori), umumnya

dianjurkan untuk pasien dengan hiperkolesterolemia. Namun respons individu terhadap

diit ini agak susah bahkan tidak mungkin untuk menduga penurunan sekurang-kurangnya

Page 42: SINDROM NEFROTIK

15-20% kadar kolesterol LDL. Di samping itu makin ketat regimen makanan makin tidak

patuh pasien, terutama untuk jangka waktu lama. Oleh karena itu agak susah untuk

menangani hiperlipidemia pada SN dengan diit saja. Akhir-akhir ini diit vegetarian yang

mengandung kedelai yang ditambah dengan asam amino esensial tampaknya lebih efektif

menurunkan hiperlipidemia, daripada diit menurunkan lipid secara tradisional. Penurunan

proteinuria juga dijumpai, namun tidak terdapat data mengenai kepatuhan jangka lama,

efisiensi dan toleransi terhadap diit demikian.

Edema

Apabila edema tidak memberikan respons dengan membatasi pemasukan garam

dalam makanan, maka sering diperlukan pemberian diuretika. Langkah pertama dapat

diberikan obat tiazid, sebaiknya dikombinasi dengan obat penahan kalium, seperti

spironolakton atau triamteren. Namun banyak pasien terutama dengan anasarka, volume

berlebih, atau dengan kongesti paru-paru tidak memberikan respons terhadap obat tiazid.

Untuk keadaan ini diperlukan pemberian furosemid, asam etakrin atau bumetamid. Di

antara obat-obatan ini furosemid yang paling sering dipakai karena toleransi yang baik

bahkan dengan dosis yang sangat tinggi. Furosemid dapat diberikan baik secara intravena

ataupun oral, dengan dosis berkisar antara 25-1000 mg/hari, bergantung pada beratnya

edema dan respons pengobatan. Oleh karena terikatnya obat ini dengan cairan tubulus

albumin dapat mengganggu respons dan dosis furosemid tinggi sering diperlukan untuk

mengatasi berkurangnya efek ikatan senyawa ini. Terhadap pasien yang refrakter

terhadap furosemid sebagai monoterapi, kombinasi obat diuretika yang bekerja pada

tingkat lain dari furosemid, seperti hidroklortiazid (25-50 mg/hari) atau metolazon (2.5-

10 mg/hari) dapat meningkatkan respons diuretika. Selama pengobatan diuretika, pasien

harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi seperti misalnya

hipokalemia, alkalosis metabolik atau kehilangan cairan intravaskular berat.

Proteinuria dan hipoalbuminemia

Pemberian albumin per intravena kepada pasien nefrotik merupakan prosedur

yang mahal dan meningkatkan klirens albumin ginjal dan menaikkan konsentrasi albumin

Page 43: SINDROM NEFROTIK

plasma hanya sedikit dan bersifat sementara. Infus albumin hanya diberikan untuk pasien

dengan deplesi volume plasma simtomatik dengan hipotensi. Beberapa obat dapat

mengurangi keluarnya protein di dalam urin antara lain ACE inhibitor mempunyai efek

antiproteinuria yang penting. Walaupun ACE inhibitor secara teoritis menurunkan

tekanan darah dan vasodilatasi pascaglomerulus dapat memberi efek antiproteinuria

namun efek ini mungkin berkaitan dengan adanya perubahan pada permeabilitas

glomerulus terhadap makromolekul. Efek antiproteinuria ini bergantung pada dosis, lama

pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan dengan ACE inhibitor umumnya dapat

ditoleransi oleh beberapa pasien namun dapat timbul anemia, hipotensi atau batuk kering.

Dalam praktek, untuk mendapat efek antiproteinuria yang maksimal pasien diminta untuk

mengikuti diet rendah garam. Pemberian ACE inhibitor dimulai dengan dosis rendah

untuk menguji toleransinya. Kemudian dosis dinaikkan secara progresif sampai dosis

toleransi maksimal. Pengobatan diperpanjang untuk beberapa minggu sebelum dinilai

hasilnya. Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid dapat menurunkan proteinuria sampai 50%

atau lebih. Efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap

protein, menurunnya tekanan kapiler intraglomerulus dan/atau karena menurunnya luas

permukaan filtrasi. Pada kebanyakan pasien efeknya cepat (dalam 1 minggu) dan kembali

lagi setelah pengobatan dihentikan.

Indometasin (150 mg/hari) dan meklofenamat (200-300 mg/hari) merupakan dua

obat yang sering dipakai. Obat-obat ini dapat menimbulkan hiperkalemia dan pada SN,

dapat memperberat retensi natrium, menurunkan respons terhadap diuretika dan

mengganggu hipertensi arteri. Di samping itu obat-obat ini dapat menyebabkan gagal

ginjal akut karena gangguan hemodinamik, nefritis interstitial akut atau kerusakan ginjal

kronik. Karena itu pemantauan fungsi ginjal yang ketat diperlukan selama pengobatan

pada pasien nefrotik. Obat-obat ini tidak boleh diberikan apabila klirens kreatinin lebih

rendah dari 50 ml/menit. Akhir-akhir ini pengobatan selama 6 minggu dengan dosis

tinggi n-3 asam lemak tak jenuh (poly-unsaturated fatty acid) dapat mengurangi

proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.

Hiperlipidemia

Page 44: SINDROM NEFROTIK

Pada kebanyakan pasien SN, diet saja tidak cukup menurunkan hiperlipidemia.

Berbagai obat penurun lipid seperti probukol, asam nikotinat, resin, derivat asam fibrik,

dan akhir-akhir ini hidroksimetil glutaril ko-enzim A (HGM-A) penghambat reduktase,

telah digunakan pada SN. Probukol tidak begitu efektif dan dapat menurunkan tidak

hanya LDL tetapi juga HDL lipoprotein. Asam nikotinat dapat menurunkan semua

lipoprotein aterogenik bersikulasi secara efektif. Namun ada efek vasodilatasi kulit dan

iritasi gaster dan hepatotoksik. Resin sering menimbulkan gejala abdomen dan

mengganggu absorpsi vitamin larut lemak dan obat-obat lain. Derivat asam fibrik seperti

klofibrat, bezafibrat dan gemfibrozil lebih efektif menurunkan trigliserid daripada

kolesterol. Pada pasien SN klofibrat dapat menimbulkan rabdomiolisis dan gagal ginjal

akut. Di samping itu obat-obat ini mengandung risiko timbulnya miopati dan batu

empedu.

Pada saat ini, penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan

simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada SN. Obat-obat

ini menghambat enzim dalam biosintesis kolesterol. Pada pasien SN obat penghambat

HMG-CoA menurunkan secara bermakna pada kolesterol serum (36%), lipoprotein

densitas rendah (LDL)-(43%) dan apolipoprotein B (30%). Demikian juga terhadap

trigliserid juga terjadi penurunan. Walaupun terjadi perbaikan terhadap komposisi

lipoprotein, namun meningkatnya kadar lipoprotein aterogenik (Lpa) tidak dipengaruhi

oleh penghambat HMG-CoA. Pengobatan dengan penghambat HMG-CoA umumnya

ditoleransi baik oleh pasien SN, walaupun dapat terjadi kenaikan transaminase serum

pada bulan pertama pengobatan. Jarang terjadi miositis dan mialgia, namun ada baiknya

diperiksa fosfokinase kreatinin secara teratur.

Hiperkoagulabilitas

Tromboemboli merupakan komplikasi yang serius dan sering dijumpai pada SN.

Obat-obat anti koagulan dapat menurunkan terjadinya risiko trombosis namun

mengandung risiko timbulnya komplikasi perdarahan. Pemakaiannya terbatas pada

keadaan terjadinya risiko trombosis seperti pada tirah baring yang lama, pembedahan,

saat dehidrasi atau saat pemberian kortikosteroid i.v. dosis tinggi. Namun sekarang

keuntungan pemberian anti-koagulan profilaktik lebih besar pada pasien GM daripada

Page 45: SINDROM NEFROTIK

risiko trombosis intravaskular. Kapan obat harus dihentikan masih belum jelas. Oleh

karena risiko trombosis tetap tinggi selama SN menetap maka secara teoritis pemberian

antikoagulan diteruskan sampai remisi atau diberikan seumur hidup. Pemberian

antikoagulan jangka lama ini merupakan keharusan untuk pasien yang mengalami dua

atau lebih episode trombosis atau satu episode yang mengancam kehidupannya.

Pemantauan (Monitoring)

Terapi dengan pemberian prednison atau imunosupresan lain dalam jangka lama,

maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping obat.

Prednison dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain, dan siklofosfamid dapat

menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek samping lain. Pemeriksaan tekanan darah

perlu dilakukan secara rutin. Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin.

Pada pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu. Apabila

terjadi hipertensi, prednison dihentikan dan diganti dengan imunosupresan lain, dan

hipertensi diatasi dengan obat antihipertensi. Jika terjadi depresi sumsum tulang (leukosit

<3.000/ul) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi jika leukosit ≥5.000/ul.

Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom

nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednison secara berulang dalam

jangka lama. Selain itu, penyakit ini merupakan keadaan imunokompromais sehingga

sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi yang berulang dapat mengganggu tumbuh

kembang pasien.

Dosis pemberian albumin, bila kadar albumin serum 1-2 g/dl : diberikan 0,5 g/

kgBB/hari; bila kadar albumin < 1 g/dl diberikan 1 g/kgBB/hari.

Page 46: SINDROM NEFROTIK

DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein dkk, Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2, Ikatan Dokter Anak

Indonesia, 2002, Jakarta, hlm. 381 – 422.

2. Allison A Eddy, Jordan M Symons, Nephrotic syndrom in chilhood, The Lancet, vol :

362, august 2003, page : 629-639.

3. Darmawan John, Remisi lengkap proteinuria dan remisi bebas-terapi sindrom

nefrotik, Majalah kedokteran Indonesia, Vol: 50, No.6, Juni 2000, hal: 312-316.

4. Hutagalung. P, Sindrom nefrotik, Majalah Kedokteran FK. UKI XVIII, No. 44,

Jakarta, September 2000, hal: 1-10.

5. Pardede O. Sudung, Miklofenolat Mofetil sebagai Terapi Sindrom Nefrotik pada

Anak, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume : 54, No:10, Jakarta, Oktober 2004,

hal : 431-437.

6. Pardede O. Sudung, Sindrom Nefrotik Infantil, Cermin Dunia Kedokteran No. 134,

Jakarta, 2002, hal: 32-38.

7. Subandiyah Krisni, outcome Sindrom nefrotik pada anak, Journal Kedokteran

Brawijaya, Vol. XX, No. 3, Malang, Desember 2004, hal: 147-151.

8. William W. Hay, Jr., Jessie R, CURRENT Pediatric Diagnosis & Treatment, a

LANGE medical book, 13th edition, Aplleton & Lange, Stamford, Connecticut, 1997,

page: 607-616.

Page 47: SINDROM NEFROTIK

9. www.pediatrics.com , Efficacy of albumin and diuretic therapy in children with

nephrotic syndrome, 2006

10. www.pediatriconcall.com/forpatients/CommonChild/nephroticsyndrome.asp Diet in

Nephrotic Syndrome

11. www.ikcc.com treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children

12. www.pediatrics.com , predicting first-year relapses in children with nephrotic

syndrome

13. www.Eurepean Renal Association.com, Mechanisms of oedema in nephrotic

syndrome

14. www. NEJM.com, Nephrotic Syndrome

15. www. Pubmed .com, the nephrotic syndrom