Upload
psari19
View
69
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
SINDROM GUILLAIN BARRE
Pembimbing :
Dr. CYNTIA M. SAHETAPY, SpS
Disusun oleh
MAGGY A. SAMSON
98–137
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
PERIODE 09 JANUARI – 11 FEBRUARI 2006
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
SINDROM GUILLAIN BARRE
I. PENDAHULUAN
Sindrom Guillain Barre atau disebut acute inflamating
demyelinating polyneuropathy atau Landry’s ascending paralysis
atau acute ascending paralisis adalah suatu kelainan sistem saraf
akut dan difus yang mengenai radix spinalis dan saraf perifer,
dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul
setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah
suatu kelumpuhan tipe Lower Motor Neuron dari otot
ekstremitas, badan dan kadang–kadang juga wajah. SGB ini
adalah penyebab parese yang bersifat non traumatic. Sindrom ini
dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter.
Sindrom Guillain Barre merupakan suatu penyakit
autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai
sistem saraf perifer. Gejala dini pada kelainan ini dimulai dari
kelemahan atau sensasi pada tungkai bawah. Dalam waktu yang
berbeda kelemahan dan sensasi abnormal menyerang tungkai
bawah. Dalam waktu yang berbeda kelemahan dan sensasi
abnormal menyerang tungkai atas dan tubuh bagian atas. Gejala-
gejala ini dapat menyerang sampai otot-otot tertentu di tubuh
tidak bisa lagi berfungsi atau kalau sudah berat dapat terjadi
paralisis. Bila sudah terjadi hal ini maka mengancam jiwa,
karena dapat menganggu fungsi pernafasan dan sistem
kardiovaskuler dan bersifat kegawat daruratan.
1
II. INSIDEN
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia,
angka kejadian penyakit ini di seluruh dunia berkisar 1-15 kasus
per 100.00 penduduk pertahun.
Penyakit ini menyerang semua umur, tidak ada perbedaan
jenis kelamin. Tersering dikenai umur dewasa muda. Umur
termuda dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun.
Sekitar 74 % - 82 % kasus SGB terjadi setelah penderita
mengalami penyakit panas yang biasanya dari infeksi saluran
nafas atas. Dan insidensinya meningkat dengan tingginya infeksi
Cytomegalo virus.
III. ETIOLOGI
Penyebab dari SGB ini bisa dikatakan idiopatik atau dapat
dicetuskan oleh infeksi virus. Tetapi yang dianut sekarang ialah
penyakit SGB ini disebabkan oleh proses autoimun.
Keadaan dan penyakit-penyakit yang dapat dihubungkan
dengan penyakit SGB ini antara lain:
- Infeksi virus
Oleh Cytomegalo virus, Ebstein barr virus
- Infeksi bakteri
Seperti Campilobacter typhoid jejuni, Mycoplasma
penumoniae
- Pembedahan
- Penyakit sistemik
Seperti keganasan, SLE, transplantasi ginjal, t iroiditis dan
penyakit addison.
- Pasca vaksinasi
2
IV. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS
Belum dapat diketahui mengapa Sindrom Guillan Barre
(SGB) menyerang orang-orang tertentu saja. Tetapi yang
diketahui oleh para ilmuan – ilmuan pada saat ini adalah sistem
imun dalam tubuh menyerang dirinya sendiri disebut juga
autoimun.
Pada sindrom Guillain Barre imun mulai menghancurkan
selubung myelin yang menyelubungi axon dari saraf-saraf perifer
atau axon sendiri. Fungsi selubung myelin sendiri adalah
mempercepat transmisi sinyal-sinyal saraf atau menghantar
sinyal yang jauh jaraknya.
Karena selubung myelin saraf perifer cedera atau
terdegradasi maka saraf tersebut tidak bisa mentransmisi sinyal
secara efisien. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan merasakan
tekstur, panas, nyeri dan sensasi lainnya. Karena sinyal ke atas
dari ekstremitas atas dan ekstremitas bawah hancur berjalan
sangat jauh maka mereka sangat mungkin diinterupsi. Oleh
karena itu kelemahan otot-otot dan sensasi kebal biasanya
pertama kali muncul di tangan dan kaki yang kemudian berlanjut
ke atas.
Ketika SGB terjadi karena infeksi virus atau bakteri, hal
ini mungkin terjadi karena virus dan bakteri telah merubah
keadaan sel-sel dalam sistem saraf, sehingga sistem imun seperti
sel asing, menyebabkan beberapa komponen sel imun seperti
beberapa bentuk limfosit dan makrofag untuk menyerang myelin.
T-limfosit yang tersensitisasi bekerjasama dengan limfosit-B
untuk membentuk antibodi terhadap komponen-komponen
selubung myelin sehingga menyebabkan hancurnya atau rusaknya
myelin.
3
Dari pemeriksaan patologi, diketahui bahwa Sindrom
Gullain Barre ditandai dengan proses radang non infeksi
didaerah radiks saraf tepi. Terdapat infiltrasi sel limfosit dan
makrofag, akibat infiltrasi sel radang tersebut kedalam membran
basal serabut saraf mengakibatkan kerusakan myelin dan
degenerasi wallerian.
V. PENCETUS DEMIELINIASI
75% dari sejumlah kasus SGB terjadi dalam 1-3 minggu
infeksi yang akut, biasanya infeksi saluran pernapasan atau
gastro intestinal. Kultur dan seroepidemiologi memperlihatkan
20 – 30% dari semua kasus yang terjadi di Amerika Utara, Eropa
dan Australia disebabkan oleh karena infeksi atau reinfeksi
dengan (Campylobacter jejuni). Pengkajian lebih difokuskan
terhadap infeksi Campylobacter jejuni yang secara klinik
bermanifestasi sebagai gastroenteritis. Bakteri ini muncul dan
mempunyai peranan penting dalam bentuk axonal akut dari SGB
yang terjadi epidemical didaerah Cina. Pencetus SGB lainnya
adalah infeksi virus (HIV, Ebstein Barr virus. Cytomegalo
virus). Mycoplasma pneumonial juga telah diidentifikasi sebagai
infeksi pencetus terjadinya demielinasi.
VI. GAMBARAN KLINIS
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal:
Pada 60-70 persen penderita gejala klinis SGB didahului
oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3
minggu sebelumnya. Sisanya oleh keadaan seperti berikut:
setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada
4
kulit, infeksi bakteri, infeksi jamur, penyakit limfoma, dan
setelah vaksinasi influenza.
Masa Laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodormal yang
mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya
masa laten ini berkisar antara 1 - 28 hari, rata-rata 9
hari. Pada masa lalen ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan Utama
Keluhan utama penderita adalah parestesi pada ujung-
ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau kedua-duanya.
Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi
serentak pada keempat anggota gerak.
Gejala Klinis
1. Kelumpuhan
Manifeslasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot
ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar
penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asendeen (paralisis ascenden) ke
badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang
juga bisa ke empat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan
otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi
dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari
bagian proksimal.
5
Kelemahan otot dapat berkembang sangat cepat sehingga
atrofi otot tidak terjadi. Tonus otot menurun, refleks-refleks
tendon menurun atau hilang, tidak terdapat refleks patologik.
Refleks kulit superfisial masih tetap ada atau sedikit
mengalami penurunan.
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas,
muka juga bisa, dikenal dengan distribusi sirkumoral. Defisit
sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan
distribusi seperti pola kaus kaki (stocking) dan sarung tangan
(glove). Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenai
daripada sensibililas proprioseplif. Rasa nyeri otot sering
ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
Nyeri dapat terlokalisasi pada punggung, paha bagian
posterior dan bahu. Nyeri mungkin diperkirakan sebagai
akibat dari inflamasi dan edema atau karena mionekrosis,
karena serum kreatin kinase sering meningkat pada penderita
yang mengalami nyeri berat. Kram otot dan otot sering
lembek bila diraba.
3. Saraf kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenai adalah N.VII.
Kelumpuhan otot-otol muka sering dimulai pada satu sisi tapi
kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan
perbedaan berat kelumpuhan antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VI. Diplopia bisa
terjadi akibat terkenanya N.VI atau N.III. Bila N.IX dan N X
terkena akan menyebabkan gangguan berupa disfagi, disfoni
disartri dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan
pernafasan karena paralisis N.Laringeus.
6
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25% penderita SGB.
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang
sini bradikardi sampai terjadi aritmia jantung, muka jadi
merah (flushing) , hipertensi (diduga ada kaitannya dengan
peningkatan aktivitas renin - angiotensin ) atau postural
hipotensi (merupakan gejala pokok), hilangnya keringat atau
episodic profuse diaphoresi Retensi urin atau inkontinensia
urin jarang dijumpai. Gangguan fungsi kandung kencing
mungkin oleh karena gangguan pada otot sfingter, tetapi
sangat jarang dan bersifat sementara. Gangguan otonom ini
jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang
dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik.
Kegagalan pernafasan ini di sebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan yang
dijumpai pada 10-33 % penderita.
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum
diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar
protein dalam cairan otak yang menyebabkan penyumbatan
villi arachnoid sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
7. Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit ini terdiri dari 1 fase. Fase progresif
dimulai dari onset penyakit, di mana selama fase ini
kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase
ini berlangsung beberapa hari sampai 4 minggu, jarang yang
melebihi 8 minggu. Segera setelah fase progresif diikuti oleh
7
fase plateau, di mana kelumpuhan telah mencapai maksimal
dan menetap. Fase ini berlangsung paling sering selama 3
minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu
Fase rekonvalesen ditandai oleh t imbulnya perbaikan
kelumpuha ekstremitas yang berlangsung selama beberapa
bulan.
Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam
waktu kurang dari 6 bulan.
8. Variasi klinis
Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita
temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh
panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological
and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) pada
tahun 1981 adalah sebagai berikut:
o Sindroma Miller-Fisher
o Defisit sensoris dan arefleksia
o Polineuritis kranialis
o Pandisautonomia murni
o Chronic acquired demyelinative
neuropathy
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian
kadar protein dalam cairan otak: > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh
peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut
disosiasi sito-albumini. Peninggian kadar protein dalam
cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit,
8
dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel
mononuklear <10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian
kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa
timbul hiponalremia pada beberapa penderita yang disebabkan
oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone)
2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB
adalah :
o Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
o Distal motor latensi memanjang
o Kecepatan hantaran gelombang-F melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
Di samping untuk mendukung diagnosis pemeriksaan
elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis
penyakit bila ditemukan. potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh
sempurna.
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis SGB berdasarkan gambaran klinis yang
spesifik, disosiasi sito-albumini, dan kelainan elektrofisiologis.
Kriteria diagnosis yang luas dipakai adalah kriteria diagnosis
dari National Institute of Neurological and Communicative
Disorder and Stroke (NINCDS) tahun 1981.
A. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis
1. Terjadinya kelemahan yang progresif dan menyangkut
lebih dari satu anggota gerak. Kelemahan bisa hanya
9
berupa paresis ringan pada kedua tungkai, dengan atau
tanpa ataksia ringan sampai lumpuh total pada keempat
otot ekstremitas, otot tubuh, otot bulbar, otot wajah dan
opthalmoplegia eksterna.
2. Arefleksia.
Biasanya terjadi a refleksia bagian distal dengan
hiporefleksia proksimal.
B. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis :
1. Ciri-ciri klinis
a. Progresivitas
Gejala kelumpuhan otot meluas secara cepat tapi
terhenti dalam 4 minggu.
b. Simetris
c. Gangguan sensorik hanya ringan
d. Ikut terkenanya saraf otak
Saraf otak VII terkena sekitar 50 % dan sering bilateral
e. Penyembuhan
Biasanya mulai 2 - 4 minggu sesudah terhentinya
progresi dari kelumpuhan.
f. Gangguan saraf otonom
Takikardia dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala gangguan vasomotor.
g. Tidak ada febris
Pada awal kelumpuhan pasien sudah tidak panas lagi.
Ciri-ciri lain :
a. Waktu mulai lumpuh masih ada febris
b. Adanya gangguan sensorik disertai nyeri
10
c. Sesudah 4 minggu masih terus bertambah
kelumpuhannya
d. Tidak memburuk terus tapi juga tidak timbul
kesembuhan
e. Bisa terdapat kelumpuhan kandung kencing sementara
atau tidak terganggu
f. Ikut terkenanya saraf pusat
2. Ciri-ciri kelainan cairan cerebrospinal yang sangat
memperkuat diagnosis
a. Jumlah protein dalam cairan cerebrospinal meningkat
sesudah minggu pertama dari timbulnya gejala.
b. Jumlah sel tidak melebihi 10/mm 3
Ciri-ciri lain :
a. Jumlah protein tidak meningkat 1 - 2 minggu sesudah
timbul kelemahan otot.
b. Jumlah sel 11 - 50 sel mononuklear/mm 3
3. Ciri-ciri pemeriksaan elektrodiagnostik yang sangat
menyokong diagnosis SGB
Perlambatan konduksi saraf atau bahkan blok.
C. Ciri-ciri yang membuat diagnosis diragukan
1. Kelemahan yang tetap asimetrik
2. Tetap adanya gangguan miksi dan defekasi
3. Adanya gangguan miksi dan defekasi sejak awal
4. Jumlah sel dalam cairan serebrospinal > 50/mm 3
5. Adanya sel PMN dalam cairan serebrospinal
6. Adanya batas gangguan sensibilitas yang jelas
11
D. Tanda-tanda yang menentang diagnosis SGB
1. Adanya anamnesis penggunaan senyawa hexacarbon,
misalnya ”glue sniffing”.
2. Adanya metabolisme porphyrin abnormal seperti ”acute
intermittent porphyria”.
3. Riwayat diphteri yang baru, dengan ataupun tanpa
myocarditis.
4. Tanda-tanda keracunan timah, ditandai dengan adanya
kelemahan ekstremitas atas dengan wrist drop.
5. Hanya didapat gangguan sensorik saja.
6. Adanya kepastian diagnosis lain seperti poliomielitis,
botulisme, polineuropati toksik.
IX. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari SGB adalah poliomielitis,
botulisme, hysterical paralysis, neuropati toksik (misalnya
karena nitrofurantoin, dapsone, organofosfat), diphtheritic
paralysis, porfiria interminen akut, neuropati karena timbal,
mielitis akut.
X. TERAPI
1. Terapi umum meliputi pengawasan dan penanganan terhadap
penyulit-penyulit :
Gagal Nafas
- Gunakan ventilator
- Atasi hipoksia dengan pemberian oksigen
12
- Memberikan ventilasi untuk membuang CO 2 nya
Hipotensi
- Atasi dengan pemberian cairan
Hipertensi
- Bila ringan cukup dengan pemberian diuretik ringan
- Bila tinggi dan menetap dipakai Natrium nitropusid
injeksi IV
- Gunakan agonis beta adrenergik ( propanolol )
Aritmia
- Anti aritmia ( mexiletine HCl )
- Pemacu jantung (digitalis)
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
- NaCl 0,9 IV dengan 5% - 10% dextrose
- Potasium 100 mmol/hari
- Pemberian kalori 1500 - 2000 kalori/hari
Retensio urin dan inkontinensia urin
- Kateterisasi
2. Immunoterapi
Dengan tujuan untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukkan melalui sistem
imunitas.
Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid pada SGB dengan tujuan sebagai
anti inflamasi, melalui kemampuan imunologik, efek pada
metabolisme. Pengobatan ini hanya bersifat paliatif.
Plasmaferesis (Plasma exchange)
13
Suatu metode untuk memisahkan komponen darah dengan
menggunakan mesin sehingga plasma dipisahkan dari sel
darah merahnya, lalu plasma dibuang dan sel darah
merahnya dicampurkan dengan larutan koloid pengganti
yaitu albumin 4 % dalam larutan salin, lalu dimasukkan
kembali kedalam tubuh. Efek yang diperlihatkan
berdasarkan pada pengeluaran faktor autoantibodi yang
beredar.
3. Imunoglobulin intravena
Telah dilaporkan memberikan perbaikan terhadap penderita
SGB tanpa mengalami efek samping. Dosis yang paling sering
digunakan ialah 0,4 gr/kgBB/hari selama 5 sampai 7 hari.
4. Obat Sitotoksik
Obat-obat yang pernah dianjurkan adalah 6
mercaptopurin (6-MP), azathioprine dan cyclophasphamid.
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB,
pengobatan terutama secara simptomalis. Tujuan utama
pengobatan adalah perawatan yang baik dan memperbaiki
prognosisnya.
Fisioterapj yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi
dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah deep vein
thrombosis. Splint mungkin diperlukan untuk mempertahankan
posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah
dengan gerakan pasif.
XI. PROGNOSIS
14
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20%
penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang
ini kematian berkisar antara 2-10%, dengan penyebab kematian
oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonoin,
inleksi paru dan emboli paru.
Sebagian besar penderita (60-80%) sembuh secara
sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22%)
sembuh dalam waktu 1 - 2 bulan dengan kelainan motorik ringan
dan atrofi otot-otot kecil ditangan dan kaki. Kira-kira 3-5%
penderita mengalami relaps.
XII. PENUTUP
Sindrom Guillain Barre merupakan masalah neurologik
yang dapat terjadi semua umur. Angka kejadian Sindrom Gullain
Barre sangatlah jarang, tetap dengan pengenalan dini terhadap
gejala-gejala klinik haruslah diketahui. Dengan pengetahuan
yang baik akan patofisiologi dari Sindrom Gullain Barre akan
membantu kita dalam mengenal dan mengarahkan kita pada
prognosis yang akan terjadi serta penatalaksanaan yang kita
lakukan. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat akan
mempengaruhi tingkat kesembuhan serta tingkat mortalitas dari
penyakit ini.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Lidsay KW. Guillain-Barre Syndrome dalam Neurology and
Neurosurger Illustrated. 3th ed : 1997: 58, 164, 419, 420, 422, 424-
425.
2. Duss Peter. Sindrom Guillain-Barre dalam Diagnosis Topis
Neurolog Anatomy, Fisiologi, Tanda, Gejala, Edisi ke 2, Cetakan I.
EGG, Jakarta, 199 :51.
3. Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome : Historical Aspects. Ann
Neurol. 1990 27 (s): S2 - S6.
4. Parry GJ. Diagnosis of-Guillain-Barre Syndrome. In. Parry GJ.
Guillain-Barr Syndrome. Thieme Medical Publishers Inc, New
York. 1993 : 113-129.
5. Adams RD. Victor MR. Guillain Barre Syndrome. Diseases of the
Periphery Nerves. In Principles of Neurology. Chapter 46. Mcgraw-
Hill. New York. 1991 Page 1312-1318.
6. Johnson Richard T. Viral Infctions Of the Nervous Sistem. Raven
Pres, Nev York. 1984: 174
7. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre :
Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta,
2000 :42, 87,176,421.
16