Click here to load reader
Upload
doanduong
View
298
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN DALAM
SYAIR JAHILIYAH
(KAJIAN HERMENEUTIK SASTRA)
Oleh: Dr. Cahya Buana, MA
KATA PENGANTAR
Sebagai manusia biasa, terkadang kesibukan selalu menjadi alasan kita agar
diberi maaf untuk menunda atau bahkan meninggalkan kewajiban. Di sisi lain, kita
juga terkadang tidak menyadari bahwa ada kekuatan lain di luar batas kemanusiaan
yang membantu kita dalam menyelesaikan segala beban kehidupan, selagi kita tetap
mau berusaha dan berdoa. Sebuah kekuatan supranatural yang diyakini oleh hampir
semua makhluk di muka bumi ini, kekuatan yang disebut dengan keyakinan Ilahiyah.
Untuk itulah puji dan syukur kami panjatkan pada Sang Empunya kekuatan
Allah SWT yang tidak pernah segan untuk membantu manusia yang dikehendakiNya
sehingga penulisan buku ini akhirnya dapat diselesaikan, meski jauh dari
kesempurnaan. Kebahagiaan dan kesejahteraan yang abadi semoga selalu tercurah
untuk hamba terbaikNya, Nabi Muhammad saw. yang telah membawa pesan dari
langit melalui simbol-simbol yang kita maknai sebagai ajaran agama.
Penelitian ini pada dasarnya tidak mungkin terealisasikan, tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih pada Dr. H. Abdul Wahid
Hasyim, MA selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora dan seluruh jajaran
dekanat periode 2010-2014 yang telah memberikan motivasi, baik secara mental
maupun financial pada kami untuk melakukan penelitian sebagai salah satu wujud
dari tridharma perguruan tinggi. Ucapan terima kasih ini juga kami sampaikan untuk
semua karyawan perpustakaan Utama dan fakultas yang telah membantu
memperlancar proses penelitian. Dan semua pihak yang telah membantu kelancaran
penelitian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap simbol-simbol agama yang
terdapat dalam syair-syair Jahiliyah, serta sejauh mana simbol-simbol tersebut
mampu mengungkap realitas kehidupan beragama masyarakat Arab pada masa
Jahiliyah.
Melalui kajian tafsir sastra atau yang lebih dikenal dengan istilah
hermeneutik sastra, penelitian ini berhasil mengungkapkan beberapa realitas
kehidupan beragama pada masa Jahiliyah, di antaranya, masyarakat Arab pada masa
Jahiliyah sudah memiliki keyakinan terhadap wujud supranatural, hal ini dibuktikan
dengan banyaknya simbol-simbol lafaz Allah yang digunakan dalam berbagai konteks dalam
syair mereka, seperti untuk bersumpah, mencela, berdoa, maupun sebagai kekuatan ghaib
yang mampu menolong mereka di saat sulit. Namun demikian, mereka khususnya
masyarakat Arab Badawi baru sampai pada tahap keyakinan dan emosional keagamaan
belum pada makna agama yang sebenarnya. Lafaz Allah yang sering mereka
ucapkan sepertinya hanya sebuah simbol bahasa yang mereka gunakan untuk wujud
supranatural yang dianggap memberikan kekuatan pada mereka, atau bila melihat
dari aspek sejarah, lafaz Allah telah familier di telinga mereka dengan telah
masuknya agama Yahudi dan Nasrani di wilayah Jazirah Arab, tanpa mereka
bermaksud untuk menganut kedua agama tersebut.
Di sisi lain, simbol-simbol kehidupan beragama dalam karya penyair Nasrani
dan Yahudi tampak jelas, dan membuktikan bahwa mereka adalah penganut ajaran
samawi. Hal ini terbukti dari simbol-simbol keagamaan yang mereka ungkapkan
dalam syair yang pada dasarnya hanya dapat diketahui melalui wahyu-wahyu ilahi,
seperti pemahaman akan takwa, akhirat, malaikat dan tugasnya, wahyu dan lain
sebagainya.
Kepercayaan bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah kepercayaan yang sangat
sederhana, sesederhana kehidupan mereka. Namun demikian, mereka adalah
manusia-manusia yang berakal yang mampu menangkap bahwa ada kekuatan lain di
luar kekuatan mereka.
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya. Amiiin!!!
Wassalam
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….....
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : AGAMA DAN HERMENEUTIKA SASTRA
A. Agama: Pengertian dan Ruang Lingkup ………………………
B. Hermeneutika dalam Kajian Sastra ………………………......
C. Bahasa Agama sebagai simbol……………………………..….
D. Posisi Hermeneutik dalam penelitian ini ……………………..
BAB III : SYAIR DALAM STRUKTUR SOSIAL BANGSA ARAB
JAHILIYAH
A. Syair Jahiliyah Sebagai Teks Sejarah …………………………….
B. Definisi dan Karakteristik Syair Jahiliyah …………………….....
BAB IV : SEJARAH SOSIAL BANGSA ARAB JAHILIYAH
A. Makna Jahiliyah ………………………………………………...
B. Letak dan Kondisi Geografi Bangsa Arab …………………..….
C. Asal Usul Bangsa Arab dan Bahasanya ……………………..….
D. Sistem Sosial Politik Bangsa Arab Jahiliyah …………………….
E. Kontak bangsa Arab dengan bangsa asing ………………………..
F. Tradisi Perang (Ayyâm al-Arab)………………………………...
G. Konstruksi Ekonomi dan Keilmuan pada Masa Jahiliyah ……...
BAB V : SIMBOL-SIMBOL AGAMA DALAM SYAIR JAHILIYAH
A. Kategorisasi Syair Jahiliyah………………………...……….
B. Simbol-simbol Agama Dalam Syair Badawi ……………….
C. Simbol-simbol Agama dalam syair Nasrani …………….....
D. Simbol-simbol Agama dalam Syair Yahudi …………….....
BAB VI : PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………....
BAB I
PENDAHULUAN
Menelusuri sejarah agama, tidak ubahnya dengan menelusuri kembali sejarah
penciptaan manusia. Sepertinya ada kesepakatan tidak tertulis, bahwa manusia tercipta
dan lahir dengan sebuah agama, meski tanpa disebutkan jenis agamanya. Bahkan sejak
penciptaan Adam sebagai manusia pertama, tercatat bahwa ia terlempar ke dunia
dengan berbekal sebuah keyakinan akan adanya sang Pencipta yang harus ia sembah.
Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan agama itu sendiri?
Kata agama pada dasarnya adalah sebuah kata yang sangat mudah diucapkan,
namun sulit untuk didefinisikan. Hal tersebut menurut W.H.Clark oleh karena
pengalaman beragama pada dasarnya lebih bersifat subyektif, intern dan individual,
sehingga setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang berbeda dengan orang
lain.1 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa agama bukanlah hak
mutlak suatu golongan atau kelompok, namun merupakan hak universal setiap manusia
di setiap masa.
Pada saat membicarakan tentang sejarah agama, maka bagi umat Islam masa
Jahiliyah adalah sebuah masa yang tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah Islam.
Dan mungkin yang terlintas pertama kali dalam benak kita tentang realitas keagamaan
pada masa Jahiliyah adalah sebuah masa di mana manusia tidak mengenal Tuhan
dengan baik. Hal ini dapat kita lihat dari ungkapan beberapa penulis seperti Philip K.
Hitti yang menyatakan bahwa berdasarkan syair-syair Jahiliyah, orang Arab Badawi
tidak banyak yang memeluk agama. Mereka kurang antusias, atau bahkan bersikap
tidak peduli terhadap nilai-nilai religius-spiritual. Ritual-ritual yang mereka lakukan
hanyalah untuk menuruti tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun
1 Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Press, 2007), hal. 3, dari Walter Housten Clark, The Psychology of Religion, (America: Macmilan Company). Meskipun kata agama itu sulit untuk didefinisikan, namun beberapa ahli teologi tetap berusaha memberikan pengertian dan batasan-batasan agama. Pembahasan ini akan dibahas pada bab berikutnya, sebagai batasan dari pengertian agama.
1
temurun.2 Selain itu penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, menganalogikan
masyarakat Arab Jahili dengan lautan yang bergelombang, atau bagai gunung berapi
yang mendidih, mereka tidak memeluk satu agama atau ideologi yang menjadi
pegangan. Sebagian menyembah matahari3, sebagian lainnya menyembah bulan4 dan
bintang5, ada juga yang menyembah malaikat atau dewa dan lain sebagainya, atau
bahkan ada yang tidak memegang kepercayaan apapun seperti atheis. Namun demikian
yang paling dominan adalah kepercayaan mereka terhadap berhala (watsaniyah).
Kehidupan bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh berhala-berhala tersebut. Untuk itu
mereka rela memberinya persembahan dan kurban, dan bersumpah atas namanya. Hal
itu berlangsung hingga kedatangan Islam. 6
Agama masyarakat Arab Badawi mempresentasikan pola keyakinan bangsa
Semit paling awal dan primitif. Sebagaimana keyakinan bangsa primitif, maka mereka
sesungguhnya adalah pemeluk kepercayaan animisme. Perbedaan yang nyata antara
kehidupan oasis dan gurun pasir, telah memberikan mereka konsep ideologi awal yang
paling penting, yaitu kepercayaan mereka terhadap dewa yang dianggap sebagai
penentu. Roh pemilik tanah yang subur kemudian dipandang sebagai dewa pemberi
kebajikan, sementara roh pemilik tanah yang gersang dipuja sebagai dewa jahat yang
harus ditakuti.7
Kondisi ideologi yang terdapat dalam masyarakat Arab ini tidak banyak
diceritakan dalam syair-syair Jahiliyah. Hal itu menurut penulis buku Buhûts fi al-Adab
al-Jâhili disebabkan para penyair lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat konkrit dan
kasat mata dan sulit untuk mempercayai hal-hal yang di luar kemampuan akal mereka.
Biasanya mereka menyebut berhala dalam syair untuk bersumpah, dan itu pun
2 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 120 3 Terkadang di dalam masyarakat Arab seseorang diberi nama Abd. Al-Syams (hambanya
matahari)4 kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinanah5 Sebagian dari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius (Dog Star)6 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
(tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 34
7 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 121
2
jumlahnya tidak banyak, seperti menyebut nama Latta dan Uzza dalam syair Aus ibn
Hajar berikut ini:
وبالله إنوباللتا والعزى ومن دان دينها
الله منهن أكبرDemi Latta dan Uzza dan orang yang mempercayainyaDemi Allah, sesungguhnya Allah lebih agung dari mereka (berhala-berhala itu) 8
Atau syair yang diungkapkan al-Nâbighah al-Dzubyâni berikut ini:
وليس وراءحلفت فلم أترك لنفسك ريبة
الله للمرء مذهبAku bersumpah tidak pernah aku ragu padamuKarena tidak ada yang bisa diyakini seseorang selain Allah9
Bait syair tersebut menunjukkan bahwa bersumpah dengan nama Allah tidak
berarti seseorang beriman dan mengesakan Allah, serta mengeluarkan mereka dari
kekafiran dan kemusyrikan. Untuk itu, sebagaimana diungkapkan Philip K. Hitti, salah
satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang
Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah adalah Tuhan yang paling utama, meskipun bukan
satu-satunya. Al-Ilah itu sendiri berasal dari bahasa kuno. Tulisannya banyak muncul
dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, yaitu tulisan orang Minea di al-Ula, dan tulisan
orang Saba, tetapi nama tersebut mulai berbentuk dengan untaian huruf HLH dalam
tulisan-tulisan Lihyan pada abad ke-5 S.M.10
Di samping kepercayaan yang telah disebutkan tersebut, ada juga beberapa
orang yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, hanya saja jumlah mereka sangat
sedikit dan jarang muncul di tengah khalayak. Pemeluk agama Yahudi menempati kota
8 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26
9 `Abbâs `Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1416 H/1996 M), cet. 3, hal. 27
10 dikutip oleh Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 126 dari Winnet
3
Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani
Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan
suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang
bermusuhan.11
Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian kabilah
Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa Romawi. Di
kerajaan Hirah sendiri dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat sebuah kabilah
Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al-‘Ibad’, yang merupakan keturunan Bani Taghlib
yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling terkenal yang tempati pemeluk
Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara penyair yang terkenal dari
wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu abi al-Shilat. Dari sekian
banyak penduduk Arab, terdapat kelompok yang mempercayai adanya Tuhan dan
menyembahnya secara murni tanpa menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal. 12
Menurut Zurji Zaedân ada tiga sumber rujukan (mashâdir akhbâr al-`Arab)
yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menelusuri sejarah bangsa Arab Jahiliyah,
pertama syair Jahiliyah, kedua peninggalan-peninggalan bangsa Himyar, ketiga sejarah
kaum Yahudi di Hijaz dan Yaman, serta gereja-gereja kristiani yang terdapat di Irak.
Dalam hal ini Jurji Zaedan menempatkan syair Arab Jahiliyah sebagai sumber rujukan
pertama sejarah bangsa Arab Jahiliyah. 13 Hal itu karena syair pada masa Jahiliyah
menempati posisi penting di kalangan masyarakat Arab, sehingga pada masa itu penyair
memperoleh penghormatan dari masyarakat lebih dari seorang orator (khâtib).14
Meskipun dalam paparan sebelumnya dijelaskan, bahwa bangsa Arab Jahiliyah
tidak begitu mengenal Tuhan dengan baik, namun hal itu bukan berarti mereka sama
sekali tidak menganut sistem ideologi, sebab berdasarkan contoh syair tersebut dan juga
11 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 26
12 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 27
13 Jurzi Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 19. Sesuai dengan judulbukunya yang membahas tentang kondisi bangsa Arab sebelum Islam, dalam bukunya pun Jurji Zaedân tidak mencantumkan dalil-dalil al-Qur’an sebagai sumber informasi sejarah bangsa Arab Jahiliyah.
14 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, hal. 340
4
syair sebelumnya, dapat dipastikan bahwa mereka memiliki sebuah keyakinan akan
sesuatu hal yang bersifat ghaib. Maka syair Jahiliyah, dalam hal ini adalah sebuah
media informasi yang dapat digunakan untuk meneliti berbagai aspek kehidupan bangsa
Arab termasuk aspek agama.
5
BAB II
AGAMA DAN HERMENEUTIKA SASTRA
A. Agama: Pengertian dan Ruang Lingkup
Para peneliti agama maupun para ahli agama, sepertinya sepakat untuk
mengatakan sulit ketika harus memberikan definisi yang tepat pada kata agama.
Menurut penulis Psikologi Agama, kesulitan tersebut disebabkan oleh karena, pertama
agama itu bersifat sangat etnosentris, yaitu selalu diterima dan dialami secara subyektif.
Oleh karena itu, orang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalaman dan
penghayatannya pada agama yang dianutnya. Kedua, agama bersifat kompleks, artinya
setiap definisi agama selalu tidak pernah komprehensif. Definisi-definisi yang ada
hanya menangkap sebagian dari realitas agama, sedangkan definisi adalah batasan
sesuatu, dan istilah agama sangat sulit untuk dibatasi.15
Dalam bahasa Indonesia, kata agama itu sendiri berasal dari bahasa Sangsakerta
yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa
yang diberi nama Agama. Akan tetapi saat ini, kata tersebut tidak lagi mengacu pada
kitab suci tersebut, namun dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu
yang dianut oleh suatu masyarakat, sebagaimana kata dharma yang juga dari bahasa
Sangsakerta, d nỉ dari bahasa Arab, dan religi dari bahasa Latin. Kata agama diambil
dari dua akar suku kata yakni a yang bertarti tidak dan gama yang berarti kacau. Untuk
itu, secara etimologi kata agama dalam bahasa Indonesia memiliki tiga arti, yaitu tidak
kacau16, tidak pergi17, dan jalan bepergian atau jalan hidup.18
15 Heni Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, (Ciputat: Lemlit UINJakarta, 2007), hal. 4-5.
16 Hal itu mengandung arti bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupanmanusia agar tidak kacau. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2002), cet. 2, hal.13
17 Yang dimaksud dengan tidak pergi yakni bersifat diwariskan secara turun temurun. Timpenulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 63
18 Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 63. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 13
6
Dalam bahasa Arab kata agama dikenal dengan istilah al-din dan al-millah.
Dalam kamus, kata al-din mengandung banyak arti, seperti: hukum, peraturan, undang-
undang, tuntunan, disiplin, tunduk, patuh, taat, tingkah laku, adat kebiasaan,
perhitungan, hutang, balasan, dan ibadat kepada Tuhan.19
Secara terminologi, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan agama
sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada yang Tuhan Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia dengan lingkungannya.20 Tidak jauh berbeda dengan Kamus
Besar bahasa Indonesia, Amsal Bahtiar dalam bukunya Filsafat Agama, menyebutkan
bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh
sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi denganNya. Adapun pokok
persoalan yang dibahas adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan manusia
dengan Tuhan.21 Sedangkan Mahmud Syaltut menyatakan bahwa agama adalah
ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabinya untuk menjadi pedoman
hidup manusia.22
Definisi-definisi tersebut pada dasarnya lebih bersifat theo-oriented, sehingga
apa yang telah disebutkan sebelumnya bahwa definisi agama biasanya sesuai dengan
pengalaman dan penghayatan si pembuat adalah benar. Maka ada baiknya juga penulis
mengemukakan definisi agama yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia
sebelum revisi terakhir pada tahun 2008, edisi cetak 1995, menurutnya agama adalah
sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa
atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan kepercayaan tersebut.23
Definisi lain yang lebih universal adalah definisi yang biasa diberikan oleh para
sosiolog. Menurut mereka agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
19 Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 218. Sa’di Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan waishthilahan, (Beirut: Dar al-Fikr: 1988), cet. 2, hal. 132. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, hal. 13
20 Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 1221 Amsal Bahtiar, Filsafat Agama, (Ciputat: Logos, 1999), hal. 222M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 209 23 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 10
7
penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya
dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas
umumnya.24 Dua definisi agama yang terakhir, baik yang dilontarkan oleh Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi lama maupun definisi yang diberikan para sosiolog, tampaknya
lebih bersifat terbuka dan tidak bersifat primordial.
Meskipun definisi agama sulit dipastikan, The Encyilopedi of Philoshophy
menyebutkan ciri-ciri dari agama sebagai berikut:
1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Perbedaan antara obyek sakral dan profane
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral
4. Tuntutan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5. Perasaan yang khas agama (ketakjuban, perasaan misteri, rasa bersalah,
pemujaan) yang cenderung bangkit di tengah-tengah obyek sakral atau
ketika menjalankan ritual, dan yang dihubungkan dengan gagasan ketuhanan
6. Sembahyang dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan.
7. Pandangan dunia atau gambaran umum tentang dunia secara keseluruhan
dan tempat individu di dalamnya.
8. Pengelolaan kehidupan yang bersifat menyeluruh yang didasarkan pada
pandangan dunia tersebut.
9. Kelompok sosial yang diikat bersama oleh hal-hal di atas.25
Berdasarkan hal tersebut, maka hampir semua agama mengandung empat (4)
unsur penting berikut:
1. Pengakuan bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi
kehidupan manusia.
2. Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya
hubungan baik antara manusia dengan kekuatan ghaib itu.
3. Sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan ghaib itu, seperti
sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah, dan lain-lain.
24 Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 34 25 Heny Narendrany, Psikologi Agama, hal. 5
8
4. Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti shalat, sembahyang, doa,
puasa, suka menolong, tidak korupsi dan lain-lain, sebagai buah dari tiga
unsur pertama.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, tiga unsur pertama itu merupakan jiwa
agama, sedangkan unsur keempat merupakan bentuk lahiriahnya.26
Pada intinya, manusia perlu beragama karena manusia memiliki kemampuan
terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa
ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari
sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam
sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-
Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa,
Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.27
Keyakinan atau pengakuan adanya kekuatan ghaib, merupakan keyakinan pokok
dalam semua agama, kecuali dalam agama Budha Hinayana. Masyarakat primitive
umumnya meyakini adanya tiga macam kekuatan ghaib, yaitu: kekuatan sakti (mana),
roh-roh (terutama roh-roh manusia yang telah wafat), dan dewa-dewa atau Tuhan.
Mereka dapat sekaligus berfaham dinamisme, yakni mempercayai bahwa tiap-tiap
benda dapat ditempati oleh kekuatan sakti, yang bias memberikan manfaat atau
malapetaka kepada manusia; berfaham animisme, yakni mempercayai bahwa tiap-tiap
benda dapat ditempati oleh ro-roh, terutama roh-roh manusia yang dapat menolong
atau mengganggu manusia; dan berfaham politeisme, yakni mempercayai dan
menyembah banyak dewa yang mereka anggap mempunyai kekuatan yang lebih besar
dari roh-roh; atau berfaham monoteisme, yakni menyembah satu dewa atau satu Tuhan,
tapi tidak mengingkari adanya para dewa atau Tuhan-tuhan lain yang menjadi saingan
bagi dewa atau Tuhan yang mereka sembah. Pada masyarakat primitive, sebenarnya
juga terdapat keyakinan tentang adanya dewa atau Tuhan tertinggi, yang menciptakan
para dewa dan alam semesta semuanya; akan tetapi sebagian mereka cenderung
26 Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1992), hal. 63
27 Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. Halaman terakhir diubah pada 20:16, 20Agustus 2010
9
menyembahnya dan sekaligus menyembah dewa-dewa yang lain, bahkan sebagian lagi
cenderung tidak menyembahnya, karena dianggap terlalu jauh untuk disembah, seperti
perlakuan masyarakat Arab Jahiliyah terhadap Allah.28
Masyarakat maju atau modern yang beragama, pada umumnya cenderung pada
faham monoteisme, yakni meyakini hanya ada satu Tuhan yang menciptakan segenap
alam; tidak ada Tuhan selain Dia, seperti rumusan Syahadat Umat Islam. Umat Islam,
Yahudi, Kristen, Hindu, Budha Mahayana, mengaku bahwa agama masing-masing
adalah agama monoteisme.
Secara teologis, ulama Islam membagi agama-agama yang ada di dunia ini
menjadi dua kelompok. Pertama, adalah agama wahyu, yakni agama yang diwahyukan
Tuhan kepada para Rasulnya yang banyak seperti kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa,
Daud, Isa, dan terakhir pada Nabi Muhammad SAW. Keyakinan sentral dalam agama
wahyu yang diajarkan para Rasul Tuhan itu, pada masa hidup masing-masing, tidak lain
dari Tauhidullah (mengesakan Allah), yakni mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan
hanya kepadanya saja ubudiyah serta ketaan ditunjukkan secara langsung. Kedua adalah
bukan wahyu, yakni agama-agama yang muncul sebagai hasil budaya imajinasi,
perasaan, atau fikiran manusia.29
Setiap agama, tentu saja memiliki cara atau dalam istilah Islam syariat tersendiri
dalam menjalankannya. Berdasarkan hasil penelitian, ada empat cara yang biasa
digunakan para penganut agama, yaitu:
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara
beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada
umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau
pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian
kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya
atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang
berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama.
28 Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 63-6429 Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 64
10
Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang
berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan
atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal
keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam
lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk
itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan
pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama
secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati
(perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).
Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu
agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya
semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar
(berpegang teguh) dengan itu semua.30
Menurut Prof. Dr. Koetjaraningrat yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor, ada
beberapa komponen yang terkait dengan sistem religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2)
sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, dan (5)
umat beragama.31
Hal-hal yang terkait dengan agama ini, sangat penting untuk dibahas oleh
peneliti, untuk dijadikan sebagai landasan teoritis dalam penelitian selanjutnya.
B. Hermeneutika dalam Kajian Sastra
a. Pengertian Hermeneutika dan Tokoh-tokohnya
Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani “hermeneuein” atau Ερμηνεύω
hermēneuō yang berarti menerangkan, atau menafsirkan, atau mengungkapkan pikiran
seseorang ke dalam kata-kata. Semula Hermeneutik digunakan untuk menafsirkan
30 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, Halaman terakhir diubah pada 20:16, 20 Agustus2010
31 Heny Narendrany, Psikologi Agama, hal. 6
11
Alkitab, sehingga lebih banyak berkembang di kalangan Gereja dan dikenal sebagai
gerakan eksegesis atau penafsiran teks-teks agama. Secara historis, kata hermeneutik
terkait erat dengan dewa Hermes, salah seorang dewa dalam mitologi Yunani yang
bertugas mentransfer pesan-pesan Tuhan yang notabene berbahasa langit kepada
manusia yang berbahasa bumi.32
Tuhan oleh masyarakat Yunani disimbolkan dengan nama Jupiter. Tugas Hermes
adalah menterjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa
yang dapat dimengerti manausia. Oleh karena itu, fungsi Hermes sangat penting sebab
bila terjadi kesalahfahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh
umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan
ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Dan sejak itu, Hermes menjadi
Simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi
tersebut, sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.33 Menurut
Seyyed Hossein Nasr, Hermes tersebut tiada lain adalah Nabi Idris as sebagai manusia
pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran dan astrologi.34
Dari latar belakang historis tersebut ditarik sebuah kesimpulan awal, bahwa
hermeneutik adalah proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti. Batasan umum ini menurut Richard E. Palmer selalu dianggap benar, baik
dalam pandangan hermeneutik klasik maupun modern.35 Menurut Palmer definisi
hermeneutika hingga saat ini masih terus berkembang. Definisi hermeneutika
setidaknya dapat dibagi menjadi enam:
32 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), hal. 307 .http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika dari Bernard Ramm, Protetant Biblical Interpretation, trans.Silas C.Y. Chan (Monterey Park, Ca.: Living Spring, 1983), hal. 10. Arndt and Gingrich, A Greek-EnglishLexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The Univ, of ChicagoPress, 1957), hal. 309-310. Petura Manuaba, Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (FSU: in theLimelight Vol. 8, No. 1, Juli 2001). Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalamWacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hal. 88
33 E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 2434 Pembahasan panjang mengenai hubungan Hermes dan Nabi Idris as, baca Komarudin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. Sukron Kamil, Teori KritikSastra Arab, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 221, dikutip dari Abdul Hadi WM, Hermeneutik,Estetika, dan Religiusitas, (Yogayakarta: Matahari, 2004), hal. 70-89
35 E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah Metode Filsafat, hal. 24
12
1) Pengertian yang paling populer adalah ilmu tentang penafsiran (science of
interpretation) atau lebih spesifik lagi yaitu teori penafsiran Kitab Suci
(theory of biblical exegesis). 2) Hermeneutika didefinisikan sebagai metodologi filologi umum (general
philological methodology). 3) Hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of
all linguistic understanding). 4) Hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan
(methodological foundation of Geisteswissenschaften).5) Hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi
(phenomenology of existence dan of existential understanding). 6) Hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation).36
Keenam definisi tersebut bukan sebatas urutan fase sejarah hermeneutika,
namun masing-masing menunjukkan pendekatan yang sangat penting dalam problem
penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai
dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa
yang berbeda, namun demikian dapat dipertanggungjawabkan pada saat seseorang
menafsirkan sesuatu, terutama dalam penafsiran teks.37
Definisi lain yang lebih konkrit diungkapkan oleh Habermas sebagaimana
dikutip MudjiaRahadjo, bahwa hermeneutika adalah suatu seni memahami makna
komunikasi linguistik dan menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang
diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya. Metode ini mensyaratkan
adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami untuk
kemudian dibawa ke masa sekarang.38 Berdasarkan pengertian tersebut, maka syair
Jahiliyah termasuk salah satu objek kajian dalam dunia hermeneutika.
E. Sumaryono dalam bukunya Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat,
menyebutkan sebanyak enam tokoh hermeneutik lengkap dengan konsep pemikiran
masing-masing, seperti F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer,
36 Reza Antonius Wattimena, Definisi Hermeneutika,(rezaantonius.multiply.com./jurnal/item/46) Rabu, 4 Nopember 2009.
37 Reza Antonius Wattimena, Definisi Hermeneutika, Rabu, 4 Nopember 200938 MudjiaRahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur,
(Malang: UIN-Malang Press, 2007), hal. 88
13
Jurgen Habermas, Paul Ricouer, dan Jacques Derrida. F.D.E. Schleiermacher39 yang
dianggap sebagai Bapak hermeneutik menggunakan hermeneutik sebagai landasan
filsafat dan teologi. Untuk itu bagi Schleiermacher hermeneutik adalah sebuah teori
tentang penjabaran dan interpretasi teks-teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab
suci dan dogma. Ia menerapkan metode philologi untuk membahas tulisan-tulisan
biblis40 dan menerapkan metode hermeneutik teologis untuk teks-teks yang tidak
berhubungan dengan Injil (Bible).41
Tokoh hermeneutik lainnya Wilhelm Dilthey42 seorang filsuf yang cukup
terkenal di Jerman lebih menekankan aspek historis dalam teori hermeneutiknya. Untuk
itu, ia berambisi untuk menyusun sebuah dasar epistemologis baru bagi pertimbangan
sejarah. Hermeneutik Dilthey meliputi interpretasi tentang objek dan subjek sejarah,
peristiwa dan pelaku sejarah, serta interpreter dan yang dinterpretasikannya. Menurut
Sumaryono, hal-hal tersebut semuanya dalam keadaan tumpang tindih dalam pengertian
dan pemahaman manusia.43
Hans-Georg Gadamer44 adalah tokoh hermeneutik yang cukup terkenal.
Karyanya Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode) menegaskan bahwa
hermeneutik bukanlah sebuah metode namun pemahaman. Pemahaman yang ia
inginkan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis.
Untuk itu, hermeneutik lebih merupakan usaha memahami dan menginterpretasi sebuah
teks. Hermeneutik merupakan bagian dari keseluruhan pengalaman mengenai dunia.
Hermeneutik berhubungan dengan suatu teknik atau teche tertentu, dan berusaha
kembali ke susunan tata bahasa, aspek kata-kata retorik dan aspek dialektik sesuatu
bahasa. Untuk itu pemahaman pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar makna
39 Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher dilahirkan di Breslau pada tanggal 21 November1768dari keluarga yang taat dalam agama Protestan. Di bawah bimbingan Johann August Eberhard, iamempelajari filsafat Kant melalui tulisannya yang berjudul Kritik atas Akal Murni dan mengevaluasinya.E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 35
40 Biblis adalah segala hal yang terkait dengan kitab suci Bible. 41 E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 3742 Wilhelm Dilthey lahir pada tanggal 19 November 1833. Ayahnya seorang pendeta Protestan
di Biebrich dan ibunya seorang putri dirigen yang mewarisinya bakan di bidang musik. 43 Lebih lengkap tentang pemikiran Wilhelm Dilthey, lih. E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah
Metode Filsafat, hal. 45-6544 Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900.
14
dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan.
Sumaryono menyebut Gademer dengan hermeneut sejati.45
Tokoh hermeneutik lainnya yang juga terkenal adalah Paul Ricoeur. Tokoh ini
banyak berbicara tentang teori simbol dalam hermeneutik. Untuk itu, peneliti membahas
secara khusus teori dan pemikirannya dalam ruang tersendiri.
b. Teori Simbol dalam hermeneutik Sastra
Penelitian ini diberi judul Simbol-simbol agama dalam syair Jahiliyah, untuk itu
kajian tentang simbol merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dikemukakan
terlebih dahulu sebagai landasan teoritis.
Sebagaimana diungkapkan Mudjirahardjo, istilah hermeneutika sebagai ilmu
tafsir pertama kali diperkenalkan oleh seorang teolog Jerman bernama Johann Konrad
Dannhauer (1603-1666), sekitar abad ke-17 dengan dua pengertian, yaitu hermeneutika
sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutik sebagai
penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan
memahami.46
Hermeneutik yang pada mulanya berkembang di kalangan gereja dan dikenal
sebagai gerakan eksegesis atau penafsiran teks-teks agama, kemudian berkembang
menjadi ‘filsafat penafsiran’ kehidupan sosial. Di kemudian hari F.D.E. Schleiermacher
yang dianggap sebagai Bapak Hermeneutika, membangkitkan kembali hermeneuitik
dan membakukannya sebagai metode interpretasi yang tidak hanya terbatas pada kitab
suci, tetapi juga seni, sastra dan juga sejarah.47
Sebagai bagian ilmu humaniora, sastra termasuk salah satu bidang yang sangat
membutuhkan konsep hermeneutika ini. Sebab, kajian sastra, apa pun bentuknya,
berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi
sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, terkait erat dengan karya sastra yang
harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra, terutama dalam
prosesnya, pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu,
45 Lebih lengkap tentang pemikiran Hans-Georg Gadamer, lih. E. Sumaryono, Hermeneutik;Sebuah Metode Filsafat, hal. 67-85
46 MudjiaRahardjo, Hermeneutika Gadamerian; hal. 8947 MudjiaRahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Ibid
15
hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan dalam penafsiran
teks sastra.48
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks,
tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu,
hermeneuitika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison
yang melingkupi teks tersebut, yakni horison teks, pengarang dan pembaca. Dengan
kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal
sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yakni teks, konteks, dan upaya
kontekstualisasi. Berdasarkan hal tersebut, hermeneutika menempatkan bahasa sebagai
bagian sangat penting dalam kajiannya. Sebab, bahasa dianggap sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan manusia.49
Menurut Paul Ricoeur50, Bahasa pada hakekatnya adalah simbol-simbol, karena
menggambarkan hal lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting serta
figuratif dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut. Oleh karena itu,
simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pruralitas
makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata, sehingga setiap kata
pada hakekatnya adalah sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang
tersembunyi. Untuk itu, menurut Ricoeur hermeneutik bertujuan untuk menghilangkan
misteri yang terdapat dalam simbol-simbol tersebut. 51
Menurut Ricoeur, salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam
hermeneutik adalah “perjuangan melawan distansi kultural” yaitu penafsir harus
mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Kita baru bisa
mengkritik jika kita membuat jarak dengan objek kritik. Namun demikian, orang yang
mengajukan kritik itu, tetap harus memiliki bekal awal yang berupa hipotesa sementara,
48 Putera Manuaba, Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (FSU in the Limelight), vol. 8, No. 1,Juli 2001
49 MudjiaRahardjo, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur,hal. 90-91
50 Paul Ricoeur lahir di Valence, Prancis Selatan pada tahun 1913. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dipandang sebagai cendekiawan Protestan terkemuka di Prancis.
51 E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 106
16
sehingga sebagaimana dikatakan Gadamer, pengkritik tidak sepenuhnya absurd atau
bahkan menipu.52
Syair sebagai sebuah seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya atau
menurut para pencinta sastra Arab adalah untaian kata (kalâm) yang fasih yang
berdasarkan pada wazan dan qâfiyah, dan biasanya mengungkapkan tentang gambaran-
gambaran imajinasi yang indah, pada hakekatnya adalah simbol-simbol yang dibuat
oleh penyair yang sarat akan makna dan membutuhkan penafsiran-penafsiran.
C. Bahasa Agama sebagai simbol
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa definisi keenam dari hermeneutika
menurut Richard E. Palmer adalah sebagai sistem penafsiran (system of interpretation).
Dan hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif
maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos
ataupun simbol-simbol.
Menurut Mudjahirin Thohir, agama dapat didefinisikan sebagai “seperangkat
aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya
dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia, dan mengatur
manusia dengan lingkungannya”. Sebagai seperangkat aturan dan peraturan, agama
menjadi pedoman moral dan etika yang terwujud sebagai nilai-nilai budaya, yang
mengintegrasikan dan menjiwai setiap upaya pemenuhan kebutuhan biologi dan sosial
dari warga masyarakat. Aturan dan peraturan itu diturunkan dan diperkenalkan ke
dalam sistem-sistem simbol.53
Simbol-simbol keagamaan itu menjadi perantara pemikiran manusia dengan
kenyataan yang ada di luarnya. Sebagai perantara, simbol-simbol keagamaan itu
diperlukan dan diperlakukan sebagai “model dari” (model of) dan “model untuk”
(model for). Sebagai “model dari”, simbol-simbol itu berisi nilai-nilai yang menyelimuti
perasaan-perasaan emotif, kognitif, dan evaluatif manusia sehingga mereka menerima
kenyataan. Berdasarkan pada pengetahuan dan keyakinan keagamaan seperti itu, maka
52 E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, hal. 10753 Mudjahirin Thohir, Agama dan Simbol, Posted on April 19th, 2009
17
agama lantas menjadi “model untuk” manusia mengekspresikan nilai-nilai keagamaan.
Apa yang diekspresikan dan bagaimana mengekspresikan, adalah melalui suatu proses
sembolik.54
Untuk itu, menurut Thohior, kajian mengenai simbol-simbol dan bagaimana
simbol-simbol itu dimanfaatkan untuk mengkaji masalah agama dan keagamaan, sangat
menarik dan penting. Menarik karena pendekatan sembolik terhadap masalah agama
dan keagamaan ternyata menghadirkan peluang yang sangat besar untuk lebih bisa
memahami makna-makna yang tersembunyi di balik simbol-simbol agama, baik yang
ada di balik isi teks-teks agama maupun dalam perilaku keagamaan. Penting karena
ternyata pendekatan semiotik ini bisa memberi suatu model pemecahan baru yang
berbeda dengan ketika agama dan keagamaan didekati secara normatif yang cenderung
doktriner.
Kesalahan terbesar manusia dalam memahami simbol adalah menganggap
bahwa simbol adalah substansi. Sehingga mereka kerap kali terjebak pada pembenaran
terhadap semua hal yang hanya bersifat kasat mata sebagai kebenaran hakiki. Muara
dari kesalahan itu adalah fanatisme. Contoh kasus: Agama X menyebut kata Tuhan
dengan sebutan X1, sedangkan agama Y menyebutnya dengan Y1. Masing-masing
agama mengklaim bahwa penyebutan yang benar adalah menurut cara mereka masing-
masing. Di luar penyebutan itu, dianggap sebagai ajaran sesat.
Begitu pula dengan bahasa yang dipakai. Agama A menggunakan bahasa A1
baik dalam kitab sucinya, maupun dalam tata cara ibadah. Di lain pihak, agama B
memilih menggunakan bahasa B1. Perbedaan simbolik yang hanya terletak pada
permukaan itu dijadikan alasan untuk saling membenci, dan memusuhi satu sama lain.55
Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang
tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun
hakikat pengalaman keagamaan selamanya tidak dapat diungkapkan. Ide tentang Tuhan
telah membantu member semangat kepada manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya
54 Mudjahirin Thohir, Agama dan Simbol, Staff.undip.ac.id weblog55 Mudjahirin Thohir, Ibid
18
sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik, atau bahkan berusaha mengatasi
kesukaran-kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya.56
Karena inti emosi keagamaan dipandang tidak dapat diekspresikan, maka semua
upaya untuk itu semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan yang bersifat simbolik.
Salah satu cara menghidupkan benda-benda dan makhluk sacral yang ghaib dalam
fikiran dan jiwa para pemeluk agama, maka simbolisme memiliki tempat yang
istimewa. Karena lambaing-lambang itu mampu membangkitkan perasaan dan
keterikatan lebih sekedar formulasi verbal dari benda-benda yang mereka percayai
sebagai lambing tersebut. Lambang-lambang tersebut sepanjang sejarah sampai
sekarang merupakan pendorong-pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan
manusia. Karena itu tidak sukar untuk difahami bahwa dimilikinya lambang bersama
merupakan cara yang sangat efektif untuk empererat persatuan di antara pemeluk.57
Terkait dengan bahasa agama, Komaruddin Hidayat membaginya ke dalam dua
bagian, pertama bersifat teologis (theo-oriented), bahwa yang dimaksud dengan bahasa
Agama adalah kalam ilahi yang kemudian terabadikan ke dalam Kitab suci. Dalam teori
ini, term Tuhan dan Kalamnya lebih ditekankan, sehingga pengertian bahasa Agama
yang paling mendasar adalah bahasa kitab suci. (h. 50) kedua, bersifat antropologis
(antropo-oriented), bahwa yang dimaksud dengan bahasa agama adalah ungkapan serta
perilaku keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok social. Dalam pengertian
yang kedua, bahasa agama merupakan wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat
beragama maupun sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta
menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci.58
Hampir tidak berbeda dengan Komarudin Hidayat, Akhmad Muzakki membuat
karakterisasi tentang bahasa agama, sebagai berikut, pertama, obyek bahasa agama
adalah metafisis, berpusat pada Tuhan dan kehidupan baru di balik kematian dunia.
Kedua, sebagai implikasi dari yang pertama, format dan materi pokok narasi keagamaan
56 Elizabeth K Nottingham (terjemah Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 4
57 Elizabeth K Nottingham (terjemah Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat, hal. 16-17
58 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hal. 50
19
adalah kitab suci. Ketiga, bahasa agama mencakup ungkapan dan ekspresi keagamaan
secara pribadi maupun kelompok, meskipun ungkapannya menggunakan bahasa ibu.59
Adapun yang dimaksud bahasa metafisik adalah bahasa ataupun ungkapan serta
pernyataan yang digunakan untuk menjelaskan obyek yang bersifat metafisikal,
terutama tentang Tuhan. Karena berbagai pernyataan tentang Tuhan tidak bisa
diverfikasi atau difalsivikasi secara obyektif dan empiris, maka dalam memahami kitab
suci seseorang cenderung menggunakan standar ganda. Yaitu, seseorang berfikir dalam
kapasitas dan berdasarkan pengalaman kemanusiaan namun diarahkan untuk suatu
obyek yang diimani yang berada di luar jangkauan nalar dan inderanya. Dengan kata
lain, ia berfikir dengan kerangkan iman dan dia beriman sambil mencoba mencari
dukungan dari pikirannya.60
Bahasa agama memiliki hakikat yang khusus, berbeda dengan bahasa-bahasa
lainnya. Bahasa agama bukan hanya mengacu pada dunia melainkan melampaui ruang
dan waktu, sehingga bahasa agama mengacu pada:
1. Dunia, yang meliputi dua hal, pertama dunia human, yang meliputi dunia
kemanusiaan. Kedua dunia infra human, yaitu yang berkaitan dengan dunia binatang,
tumbuhan dan dunia fisik lainnya, dengan segala hukum dan sifat masing-masing.
2. Aspek metafisik, yaitu suatu hakikat makna di balik hal-hal yang bersifat
fisik. Aspek metafisik ini tidak terjangkau oleh indera manusia, sehingga hanya dapat
dipahami, dipikirkan dan dihayati.
3. Adikodrati, yaitu suatu wilayah di balik dunia manusia yang hanya
diinformasikan oleh Tuhan, melalui wahyu, misalnya surga, neraka, ruh, hari kiamat,
dan sebagainya.
4. Ilahiyah, yaitu aspek yang berkaitan dengan hakikat Allah, bahwa Allah itu
memiliki asma al-husna, seperti al-‘Aziz, al-Hakim, al-Ghani, dan lain sebagainya.
59 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UINMalang Press, 2007), hal. 51
60 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UINMalang Press, 2007), hal. 51
20
5. Mengatasi dimensi ruang dan waktu, seperti yang berkaitan dengan waktu,
contohnya sejarah para Nabi dan RasulNya, atau yang berkaitan dengan dimensi ruang
seperti dunia jin, alam kubur, alam ruh, dan lain sebagainya.61
Teks-teks keagamaan pada hakekatnya adalah simbol-simbol yang dibuat untuk
membuat sesuatu yang dianggap absurd menjadi sesuatu yang dapat dirasa dan
dimakna. Dan kajian tentang simbol sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, adalah
bagian dari kajian hermeneutik. Dan syair adalah bagian dari Sastra, sehingga kajian ini
dinamakan dengan kajian hermeneutik Sastra.
D. Posisi Hermeneutik dalam penelitian ini
Berdasarkan pemaparan teori-teori di atas, dapat disimpulkan beberapa kaidah
umum tentang hermeneutik yang akan dijadikan landasan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Secara umum hermeneutik adalah ilmu yang secara khusus mengkaji teks.
Teks dalam penelitian ini adalah syair-syair hasil karya para penyair pada
masa Jahiliyah.2. Pembacaan teks dalam teori hermeneutik adalah dengan cara menafsirkan
teks-teks tersebut. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak
hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna
literalnya.3. Dalam hermeneutik ada beberapa cara untuk memahami kandungan makna
literal teks. Dalam kajian teks puisi Arab, bahasa tentu saja menjadi unsur
penting dalam memahami makna. Untuk itu pemahaman makna secara
gramatikal, leksikal dan juga kontekstual adalah sebuah keharusan dalam
kajian ini. 4. Di sisi lain, antara teks, pengarang dan pembaca dalam kajian hermeneutik
memiliki hubungan yang sangat erat. Teks dalam kajian ini adalah syair
Jahiliyah, sedangkan pengarang adalah penyair Arab Jahiliyah, adapun yang
61 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, hal. 52-53
21
dimaksud dengan pembaca adalah peneliti sendiri yang bertugas sebagai
penafsir. Jika pemahaman terhadap teks dapat dilakukan melalui pemahaman
secara gamatikal, leksikal dan kontekstual, maka pemahaman terhadap
pengarang dapat dilakukan melalui kajian sejarah yang melingkupinya. Dan
pembaca yang dalam hal ini peneliti memiliki peran besar dalam
menafsirkan teks yang dalam hal ini adalah teks-teks syair yang
mengandung simbol agama di dalamnya. 5. Syair adalah seni yang menggunakan bahasa sebagai media. Bahasa sendiri
terdiri dari rangkaian kata. Setiap kata pada hakekatnya adalah sebuah
simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Untuk itu,
hermeneutik bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam
simbol-simbol tersebut.6. Hermeneutik pada dasarnya adalah interpretasi tentang objek dan subjek
sejarah, peristiwa dan pelaku sejarah, serta interpreter dan yang
dinterpretasikannya.
Dari pointer-pointer tersebut, hermeneutika dianggap sebagai metode yang tepat
untuk menfasirkan simbol-simbol keagamaan yang terdapat pada masa Jahiliyah yang
terdapat dalam teks sastra yang ada saat itu yakni syair Jahiliyah yang dianggap sebagai
cermin kehidupan bangsa Arab saat itu.
22
BAB III
SYAIR DALAM STRUKTUR SOSIAL BANGSA
ARAB JAHILIYAH
Syair dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, selain sebagai karya sastra juga
sebagai fakta sejarah yang tak terbantahkan, hal ini semakin mengukuhkan bahwa syair
Jahiliyah selain sebagai karya sastra, juga sebagai teks sejarah bagi bangsa Arab
Jahiliyah. Meskipun demikian, wacana tentang kehidupan beragama dalam syair
Jahiliyah bukanlah suatu hal yang mudah ditemukan. Fenomena tersebut menunjukkan
dan menjadi simbol bahwa kehidupan mereka saat itu kurang bersentuhan dengan nilai-
nilai religius. Namun demikian, sampai sejauh mana kondisi kehidupan beragama
mereka saat itu, perlu dibuktikan melalui penelitian yang mendalam. Pentingnya
kedudukan syair sebagai media untuk menggali informasi kehidupan beragama pada
masa Jahiliyah, dalam bab ini secara khusus dibahas tentang berbagai hal yang terkait
dengan syair Jahiliyah, dimulai dari latar belakang sejarah, kedudukan dan fungsi syair
bagi bangsa Arab dan lain sebagainya.
E. Syair Jahiliyah Sebagai Teks Sejarah
Syair bagi bangsa Arab bukan semata-mata sebagai media untuk
mengekspresikan perasaan dan fikiran, lebih dari itu syair adalah kebanggaan dan
identitas mereka selama berabad-abad lamanya, sehingga tidak salah bila ada yang
menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak memiliki seni dan budaya apapun selain
dari syair. Syair, sebagaimana dinyatakan oleh Umar ibnu al-Khathâb, adalah
pengetahuan bangsa Arab dan tidak ada ilmu lain selain syair yang melebihi
kebenarannya.62 Maka syair selain sebagai karya sastra, bagi masyarakat Arab Jahiliyah
adalah representasi dari pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan. Sehingga
untuk mengetahui kondisi keagamaan pada masa Jahiliyah, pembahasan tentang syair
Jahiliyah itu sendiri adalah hal yang sangat urgen.
62 Badawi Thabâbah, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Enjelo al-Mishriyah,1965), cet. 4, hal. 43, dikutip dari Ibnu Salâm al-Jamahi, Thabaqât al-Syu’arâ, hal. 17
23
Syair selain berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan
emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga untuk menginformasikan hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti untuk melukiskan peperangan yang
mereka alami, kondisi lingkungan yang mereka tempati, hal-hal yang membanggakan,
dan lain sebagainya, sehingga selain disebut dengan istilah syair ia juga dinamakan
dengan dîwan al-Arab atau catatan sejarah bangsa Arab.63 Zurji Zaedân, sebagaimana
disebutkan dalam Pendahuluan, bahkan menempatkan syair Jahiliyah sebagai mashâdir
akhbâr al-`Arab (sumber rujukan sejarah bangsa Arab) yang pertama, di samping
peninggalan-peninggalan bangsa Himyar, sejarah kaum Yahudi di Hijaz dan Yaman,
serta gereja-gereja kristiani yang terdapat di Irak.64
a. Sejarah perkembangan Syair Jahiliyah dan kedudukannya bagi bangsa Arab
Syair Jahiliyah lahir dari atas punggung unta dan kuda, di bawah bayang-bayang
oase pohon kurma, di atas debu gurun pasir, di bawah naungan langit yang kering, serta
irama alam padang sahara lainnya.65 Menurut penulis buku al-Mufashshal fi Târikh al-
Adab al-Arabi, secara historis sangat sulit menentukan kapan syair Arab Jahili mulai
muncul dalam tradisi masyarakat Arab, sebab biasanya setiap ilmu atau suatu kreatifitas
seni, muncul pertama kalinya dalam ketidaksempurnaan dan banyak kekurangan yang
kemudian secara perlahan-lahan berproses menuju kesempurnaan, sedangkan syair
Jahiliyah sampai ke tangan kita dengan performa dan gaya bahasa yang matang dan
sempurna, baik dari aspek wazan (matra), lafaz, maupun maknanya.66
Tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab ini, diduga telah ada jauh sebelum
agama Islam lahir, sekitar dua abad sebelum Hijriyah, yang saat ini lebih dikenal
dengan istilah syair Jahiliyah.67 Menurut penulis al-Mufashshal, syair pertama yang
63 Zaghlûl Salâm, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-Râbi’al-Hijri, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961), hal. 193, lih. Juga Ensiklopedi Islam, , hal. 340
64 Jurzi Zaedân, al-`Arab Qabla al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Hilâl, tth), hal. 19. Sesuai dengan judulbukunya yang membahas tentang kondisi bangsa Arab sebelum Islam, dalam bukunya pun Jurji Zaedântidak mencantumkan dalil-dalil al-Qur’an sebagai sumber informasi sejarah bangsa Arab Jahiliyah.
65 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili,(Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 56
66 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 4167 .Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1999), jilid 4, hal. 340
24
sampai ke tangan kita adalah syair Ayyâm Harb al-Basûs atau kisah perang Basus. Dari
data tersebut, syair Jahiliyah diperkirakan lahir sekitar 130 tahun sebelum Hijrah
sebelum munculnya syair tersebut.68
Para penyair Arab Jahiliyah biasanya menggubah syair untuk mengungkapkan
peristiwa yang terjadi, atau perasaan yang mereka alami yang kemudian mereka
dendangkan. Menurut sebagian riwayat, penyair pertama Arab Jahiliyah yang
melakukan hal itu adalah al-Muhalhil ibn Rabî’ah paman Umru al-Qais dan Umru al-
Qais sendiri pada akhir abad ke-5 Masehi.69 Al-Muhalhil sendiri menggubah syairnya
untuk mengekspresikan perasaannya saat ditinggal saudaranya Kulaib dan korban
lainnya yang mati terbunuh pada perang yang terjadi antara Bani Bakr dan Taghlib.
Menurut pendapat lain, syair Jahiliyah awal menggunakan bahr Rajaz yang dianggap
sebagai performa syair yang paling sederhana, yaitu menggunakan wazan mustaf’ilun-
mustaf’ilun-mustaf’ilun, lalu setelah itu para penyair bereksplorasi dengan bahr-bahr
lainnya.70
Syair Arab selain berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan
emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga untuk menginformasikan hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti untuk melukiskan peperangan yang
mereka alami, kondisi lingkungan yang mereka tempati, hal-hal yang membanggakan,
dan lain sebagainya, sehingga sebagaimana telah disebutkan di atas, selain disebut
dengan istilah syair ia juga dinamakan dengan dîwan al-Arab atau catatan sejarah
bangsa Arab.71
Syair bagi bangsa Arab memiliki pengaruh yang sangat kuat, untuk itu
keberadaan penyair merupakan sebuah keharusan bagi setiap kabilah. Fungsinya adalah
untuk menginformasikan segala hal yang berhubungan dengan kabilah. Selain itu syair
68 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 4169 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.4170 Wazan dinamakan juga dengan bahar atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola
irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab. Wazan dinamakan denganbahr karena menyerupai lautan yang tidak pernah kehabisan meskipun terus dikuras, demikian pulahalnya dengan syair Arab. Ibrâhîm Anîs, Mûsiqâ al-Syi’r, hal. 50
71 Zaghlûl Salâm, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-Râbi’al-Hijri, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961), hal. 193
25
juga biasa digunakan untuk membalas intrik-intrik yang dilakukan musuh, menjadi
penyemangat dalam peperangan, dan juga untuk misi perdamaian. Kedudukan syair
pada masa Jahiliyah tidak ubahnya dengan media propaganda yang biasa digunakan
saat ini oleh partai-partai dalam rangka membentuk opini publik. Setiap media
menjelaskan pandangan partai masing-masing, mempertahankan pendapatnya, dan juga
membantah serangan lawan.72
Syair dalam budaya Arab Jahiliyah ibarat musik heroik yang mampu
membangkitkan semangat juang seorang prajurit, oleh karena itu, syair memberi effek
yang luar biasa, sebab ia mampu mengendalikan fikiran para prajurit untuk senantiasa
maju berperang, membunuh musuh-musuh lalu kembali dengan membawa
kemenangan. Untuk itu setiap kabilah pasti mengharapkan lahir darinya seorang penyair
yang kelak akan melindungi dan membela kabilahnya. Ibnu Rasyîq dalam kitab al-
Umdahnya menyatakan bahwa bila lahir seorang penyair dari suatu kabilah, maka
kabilah-kabilah lainnya akan berdatangan untuk merayakannya dan memberinya
selamat, lalu disedikan berbagai makanan untuk berpesta. Para gadis memainkan rebana
(semacam alat tabuh), seperti biasa mereka lakukan dalam pesta perkawinan. Kaum
laki-laki dan anak-anak laki-laki mereka bersuka ria dan bergembira dengan lahirnya
seorang penyair yang akan membela kabilahnya, melindungi keturunannya,
mengabadikan segala yang mereka miliki, serta menebar pujian untuk kabilahnya.73
Untuk itu, masyarakat Arab Jahili berlomba-lomba untuk menghormati dan memuliakan
para penyairnya.
Selain itu, para penyair juga dianggap sebagai manusia yang memiliki
kecerdasan di atas rata-rata dan juga memiliki sensitivitas yang tinggi, karena dipercaya
mampu mengetahui realitas kehidupan, dan merasakan apa yang mereka rasakan. Para
penyair pada masa itu, bagaikan filsuf dan cendekiawan pada masa modern yang dapat
membuka mata seseorang untuk mengetahui kebenaran dan realitas kehidupan di
sekitarnya.74
72 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.4273 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.4274 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.43
26
Hal lain yang tidak kalah urgen yang membuat seorang penyair Jahiliyah amat
dihormati dan dihargai adalah karena ia dianggap sebagai orang yang memiliki
kekuatan supernatural yang mereka yakini berasal dari Jin. Untuk itu mereka yakin
bahwa setiap penyair telah dibekali dengan kekuatan magis yang ia peroleh dari para Jin
dan melalui kemampuan seninya tersebut ia diberi tanggung jawab untuk
menyampaikan pesannya bagi manusia. Jika yang menguasainya merupakan Jin yang
baik, maka sang penyair akan mampu menggubah syair yang bagus dan menakjubkan,
namun sebaliknya bila yang menguasainya adalah jin yang jahat, maka yang
dihasilkannya pun syair-syair yang tidak bermutu dan buruk. Berdasarkan keyakinan
inilah yang kemudian menjadikan para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi
dalam tradisi masyarakat Jahili, yang bahkan saking tingginya kedudukannya terkadang
melebihi pemimpin kabilah itu sendiri. Penyair adalah tempat bertanya tentang segala
hal, baik persoalan publik maupun individu. 75
b. Peranan pasar ‘Ukâzh dan al-mu’allqât al-Sab’ah dalam Syair Jahiliyah
Sebagai media apresiasi dan ekspresi terhadap syair, pada masa tersebut dibuka
sebuah pasar sebagai ajang pentas syair. Pasar dalam tradisi masyarakat Arab Jahili
memiliki peranan sosial yang sangat besar. Selain dijadikan sebagai tempat transaksi,
pasar juga dijadikan sebagai tempat untuk unjuk kebolehan, seperti untuk berorasi,
berdebat, bermusyawarah, dan yang paling penting adalah unjuk kebolehan dalam
mendeklamasikan syair, sehingga mirip dengan pasar seni dan budaya.
Sûq (pasar) ‘Ukâzh adalah satu tempat pertemuan terpenting yang selenggarakan
oleh bangsa Arab untuk berbagai kepentingan. Diselenggarakan setiap awal bulan Dzul
Qa’dah hingga hari kedua puluh. Pasar ini didirikan setelah tahun Gajah,76 mampu
bertahan hingga lima belas tahun lamanya, hingga datangnya Islam, meskipun
kemudian fungsinya tidak seperti semula lagi. Biasanya di Pasar ini berkumpul para
pembesar Arab, baik untuk berniaga, menebus tawanan, menyelesaikan pertikaian,
75 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, (Kuala Lumpur: Utusan Publications &Distributors Sdn. Berhad, 1982), hal. 19-20, dari Hannâ al-Fakhûrî, Târikh al-Adab, (Beirut: Maktabahal-Buhutsiyah, 1965), hal. 65
76 Tahun Gajah adalah tahun yang bertepatan dengan dilahirkannya Nabi Muhammad saw., 571M, saat Abrahah raja kerajaan Habasyah menyerang Mekah untuk menghancurkan Ka’bah.
27
mendeklamasikan dan memamerkan syair, orasi tentang harta, keturunan, kehormatan,
kefasihan, kecantikan dan keberanian. Hal itu baru akan berhenti bila sudah ada
pemenangnya. Juri syair (muhâkim) yang paling terkenal saat itu adalah al-Nâbighah
al-Dzubyâni, sedangkan orator paling handal adalah Qissa bin Sâ’adah al-Iyâdi.77
Pasar ‘Ukazh sangat terkait erat dengan istilah al-Mu’allaqât78 yakni syair-syair
pemenang festifal yang biasa diadakan setiap tahun di pasar tersebut pada bulan Haram.
Syair-syair yang menang ditulis dengan tinta emas lalu digantungkan di dinding
Ka’bah. Syair-syair karya ketujuh orang penyair yang menjadi juara, dikenal dengan al-
sab’ al-mu’allaqât atau tujuh syair yang digantung.79
Dengan demikian Al-Mu’allaqât adalah julukan yang diberikan untuk syair
papan atas dan berkualitas pada masa Jahiliyah. Menurut sebagian riwayat, istilah
tersebut diberikan, karena kebiasaan bangsa Arab saat itu untuk memilih sebanyak tujuh
syair yang berkualitas lalu ditulis dengan tinta emas di atas kain Qibthi yang bagus, lalu
digantungkan di tirai Ka’bah. Maka timbullah istilah al-Mudzahhabât (karya emas)
Umru al-Qais, al-Mudzahhabât Zuhair dan al-Mudzahhabât tujuh lainnya.80
Al-Sab’ al-Mu’allaqât adalah syair-syair karya emas dari tujuh penyair Arab
Jahili, dan menjadi simbol kebesaran syair pada masa itu. Adapun penyair-penyair
tersebut adalah; Umru’ al-Qais, Tharfah ibn al-Abd, Zuhair ibn Abi Sulma, Labîd ibn
Rabî’ah, Amr ibn Kaltsûm, ‘Antarah ibn Syaddâd, dan al-Harits ibn Halzah.81
F. Definisi dan Karakteristik Syair Jahiliyah
77 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Mesir:Dâr al-Mâ’arif , tth), hal.12-13
78 Al-Mu’allaqâh, secara etimologis berarti yang tergantung. Al-Mu’allaqât itu sendiri memilikibanyak nama, seperti; al-Mudzahhabât, al-Sab’u al-Thiwâl, dan al-Samûth, namun nama yang palingterkenal adalah al-Mu’allaqât. Ada beberapa pendapat tentang penamaan al-Mu’allaqât itu sendiri,sebagian berpendapat bahwa dinamakan demikian syair-syair yang terbaik diumpamakan dengan benangmutiara yang tergantung di leher. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abd. Rabbah penulis al-‘Aqd al-Farid,Ibn al-Rasyiq penulis al-‘Umdah, dan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya.
79 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 100, footnot80 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 49. lih.
al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 61-6281 Kumpulan dari tujuh syair al-Mu’allaqât dapat dilihat pada Syarah al-Mu’allaqât al-Sab’
yang ditulis oleh Ibnu ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1405 H/1985 M)
28
a. Pengertian Syair
Syair adalah sebuah seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya,
sebagaimana musik dengan iramanya, gambar dengan aneka warnanya, tarian dengan
gerakannya, dan lain-lain.82 Banyak definisi diberikan oleh para kritikus sastra agar
dapat memahami syair dengan benar. Definisi klasik yang diberikan para sastrawan
Arab terhadap syair selalu merujuk pada makna yang diberikan para ahli Arûdh,83
sebagai contoh definisi yang diberikan oleh Qudâmah ibn Ja’far, yaitu ‘al-kalâm al-
mauzûn al-muqaffâ’, yakni untaian kata yang disusun dengan berdasarkan wazan dan
qâfiyah.84 Definisi ini pada dasarnya dibuat untuk membedakan antara jenis puisi dan
prosa dalam sastra Arab, sehingga hanya menampilkan aspek fisik semata.
Bila pada awal perkembangannya, definisi syair hanya mengacu pada bentuk
fisiknya saja, Setelah mengalami perkembangan, definisi tersebut ditambahkan dengan
aspek lainnya yang turut mempengaruhi syair. Definisi klasik oleh para fakar sastra
Arab dianggap kurang representatif, karena tidak menunjukkan makna syair yang
sebenarnya, namun hanya mengacu pada aspek bentuk semata. Untuk itu, beberapa
fakar sastra merumuskan definisi lain untuk menyempurnakannya, sehingga tidak
terbatas pada makna performa saja. Sebagai contoh, menurut al-Âmadi, syair tidak lain
adalah ungkapan yang bagus, mudah dipahami, pemilihan kata yang tepat, meletakkan
lafaz sesuai dengan maknanya, dan meletakkan makna sesuai dengan konteksnya, di
samping menggunakan metafora (isti’ârah) dan perumpamaan (tamtsîl) secara tepat.
Untuk itu, sebuah syair tidak dianggap bagus dan elegan bila belum memenuhi
persyaratan tersebut.85 Menurut Ahmad Hasan al-Zayyat, syair adalah ungkapan yang
82 Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, (al-Iskandariyah:Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), hal. 34
83 Arudh adalah ilmu yang mempelajari tentang wazan-wazan yang benar dan yang salah dalamsyair. Chatîb al-Umam, al-Muyassar fi ‘Ilm al-‘Arûdl, (Jakarta: Syirkat Hikmat Syahîd Indah, 1992),cet.2, hal. 4
84 Muhammad Zaghlûl Salâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, (Iskandariah:Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996), hal. 34. Definisi ini juga diadopsi oleh Emil Badi’ Ya’qub dalam al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-‘Arûdl wa al-Qûfiyah wa Funûn al-Syi’r, (Beirut: Dâr al-Kutubal-‘Ilmiyah, 1991 M/1411 H), hal. 376
85 Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, hal. 34
29
disusun dengan berdasarkan wazan dan qâfiyah, untuk menggambarkan imajinasi
dengan cara yang indah dan menarik”.86
Hal senada diungkapkan oleh penulis buku al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa
Târikhihi, bahwa syair adalah untaian kata (kalâm) yang fasih yang berdasarkan pada
wazan dan qâfiyah, dan biasanya mengungkapkan tentang gambaran-gambaran
imajinasi yang indah.87 Untuk itu menurut kesusateraan Arab, syair adalah ucapan atau
susunan kata-kata yang fasih yang terikat pada rima (pengulangan bunyi) dan matra
(unsur irama yang berpola tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah,
berkesan dan memikat.88
Definisi syair seperti di atas, tidak jauh berbeda dengan definisi yang diberikan
fakar sastra Indonesia, misalnya Herman J. Waluyo, menurutnya, puisi adalah salah satu
bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara
imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni
dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan stuktur batinnya. Untuk itu puisi terdiri
atas dua unsur pokok pembentuk yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian
itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur tersebut
membentuk totalitas makna yang utuh.89
Secara garis besar ada dua unsur pembangun sebuah puisi, yaitu unsur fisik dan
unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur estetik yang
membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur estetik tersebut pada dasarnya dapat
dikaji secara terpisah, meskipun merupakan satu kesatuan utuh. Menurut Herman J.
Waluyo, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu: diksi, pengimajian, kata
konkret, bahasa piguratif (majas), ferifikasi, dan tata wajah puisi.90
86 Ahmad Hasan al-Zayyât, Târikh al-Adab al-‘Arabi, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1422 H / 2001M), cet. 7, hal. 25
87 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Mesir:Dâr al-Mâ’arif , tth), hal. 42
88 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1999), jilid 4, hal. 340
89 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (ttp: Erlangga, 1995), hal. 28-2990 .Keterangan lengkap lih. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, hal. 71-101
30
Dengan demikian, syair dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek bentuk dan
aspek kandungan. Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa syair terbentuk dari
beberapa unsur, yaitu: wazan, qâfiyah, al-ghardh (tujuan) dan khayâl (imajinasi).
Wazan dan qafiyah, keduanya adalah unsur pembentuk syair dari aspek fisik atau
performace, sedangkan al-ghardh atau tema dan unsur khayal merupakan unsur
pembangun batin atau kandungan syair. Unsur-unsur inilah yang membangun sebuah
syair dan menjadi karakteristiknya.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan syair
Jahiliyah adalah ucapan atau susunan kata-kata yang fasih yang terikat pada rima
(pengulangan bunyi) dan matra (unsur irama yang berpola tetap) dan biasanya
mengungkapkan imajinasi yang indah, berkesan dan memikat yang ada pada masa
Jahiliyah.
b. Tema Dalam Syair Jahiliyah (Aghrâd al-Syi’r)
Para ahli sastra Eropa, biasanya membagi puisi ke dalam tiga jenis, yang
pertama adalah puisi kepahlawanan (syi’r a/-malhamah atau heroic poem) atau disebut
juga dengan epik (al-syi’r al-qashasi atau epic poetry) 91. Kedua adalah puisi lirik (al-
syi’r al-ghinâ’i / lyric, lirique)92, yaitu puisi dalam bentuk nyanyian yang digubah
penyair untuk mengekspresikan perasaannya dan segala emosi yang berkecamuk di
dadanya, seperti puisi ghazal (percintaan) dan fakhr (narsisisme)93 dalam sastra Arab.
Ketiga adalah puisi drama atau teatrikal (al-syi’r al-tamtsîli / dramatic poetry), yaitu
91 Epik (epic, epique) adalah sajak kisahan panjang yang bercerita tentang seorang pahlawan,biasanya berdasarkan peristiwa dalam sejarah. Ada yang termasuk tradisi lisan, ada yang termasuk sastratulisan. Beberapa cirri khasnya, tokoh utama yang harum namanya dan luar biasa sifatnya, petualanganyang berbahaya, pengaruh adikodrati yang menyelamatkan atau menghukum, pengulangan dalam uraian,digresi, gaya yang melambung. Istilah lain: epos dan wiracarita. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra,(Jakarta: UI-Press, 1990), hal. 28
92 Lirik (lyric, lirique) adalah (1) sajak yang merupakan susunan kata yang berbentuk nyanyian.(2) karya sastra yang berisi curahan perasaan pribadi yang mengutamakan lukisan perasaan. PanutiSudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 49
93 Narsisisme (narcissism) adalah kekaguman yang berlebih-lebihan akan sifat fisik atau watakdiri sendiri. Narcissus adalah nama seorang pemuda –dalam mitologi Barat klasik- yang tertarik sekalikepada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 54
31
puisi yang digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa yang diperankan oleh
berbagai tokoh atau lakon dengan menggunakan puisi sebagai alat komunikasinya.94
Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, bahwa kehidupan masyarakat Arab Jahili
tidak pernah terlepas dari peperangan antar kabilah, namun demikian, di dalam
khazanah sastra Arab tidak ditemukan puisi-puisi heroik (malhamah) yang panjang. Hal
ini menurut al-Iskandari dkk., disebabkan keterbatasan daya imajinasi dan pengetahuan
mereka, di samping peradaban mereka yang masih rendah, sehingga tidak semua orang
mampu mengungkapkan perasaan mereka ke dalam susunan puisi yang indah dan
berkesinambungan. Namun berdasarkan bentuknya yang lebih mengutamakan matra
dan rima, maka bisa dipastikan bahwa mayoritas syair Arab Jahili masuk ke dalam
kategori puisi lirik (al-syi’r al-ghina’i), yaitu puisi yang lebih mengutamakan aspek
keindahan irama dan musik.95
Para ahli sastra Arab biasanya membagi jenis syair Arab ke dalam beberapa
bagian yang dikenal dengan istilah aghradl al-syi’r. Adapun yang dimaksud dengan
aghrâd al-syi’r di dalam syair Jahili adalah tema yang dibuat para penyair yang
berkaitan dengan tujuan mereka dalam menggubah syairnya atau secara singkat tujuan
pembuatan syair. Sebagai contoh, jika penyair menggubah syairnya dengan tujuan untuk
meagung-agungkan dirinya atau sukunya, maka syairnya disebut dengan fakhr, namun
bila penyair menggubah syairnya untuk menyanjung dan mengagumi seseorang, baik
keberaniannya, kedermawanannya, atau sifat lainnya, maka syairnya tersebut disebut
madh, dan lainnya.96 Tema-tema tersebut terkait erat dengan kondisi sosiologi dan
budaya bangsa Arab saat itu. Ada beberapa tema yang biasanya digemari oleh penyair
Jahili, di antaranya; ghazal, madh, hijâ, hamâsah, ritsâ, fakhkhar, dan washaf.
94 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 4395 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 43 dan 45 96 Nabilah Lubis, al-Mu’în fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, (Jakarta: Kuliyyat al-Adab wa
al-‘Ulûm al-Insâniyah Jâmiah Syarîf Hidâyatullah, 2005), hal. 27
32
Ghazal97 merupakan salah satu tema syair Jahili yang sangat terkenal. Ghazal,
menurut Husein ‘Athwan merupakan muqadimah syair Jahili yang paling populer. Oleh
sebab itu, setiap penyair dianggap kurang afdal bila belum mengucapkan ghazal dalam
pembukaan syairnya.98 Ghazal sendiri secara bahasa mengandung arti menyebut atau
membicarakan tentang perempuan99, yang kemudian di dalam istilah sastra Arab lebih
cenderung pada rayuan, cinta dan asmara. Ghazal sangat erat kaitannya dengan nasîb
atau tasybîb. Ketiga istilah tersebut, sering kali dipadankan artinya. Ketiga istilah
tersebut secara semantik memiliki keterkaitan makna yaitu sama-sama membicarakan
berbagai hal tentang perempuan, baik kecantikannya maupun tingkah lakunya, lahir
maupun batin. Namun sebagian para kritikus berupaya membedakan kedua istilah
tersebut, sebagai contoh Qudâmah ibn Ja’far memberikan definisi ghazal dengan trik-
trik merayu perempuan dengan menggunakan elemen-elemen perempuan itu sendiri
sebagai mediatornya. Rayuan tersebut dimaksudkan untuk menarik perhatian
perempuan, sehingga akhirnya menyukainya. Adapun yang dimaksud dengan nasîb
adalah berbagai upaya yang dilakukan seorang laki-laki untuk memperoleh cinta
perempuan dengan menunjukkan bukti-bukti kecintaannya tersebut, seperti dengan cara
menyebutkan hal-hal yang berhubungan dengan kerinduan, mengingat tempat-tempat
percintaan dengan semilir angin, kilat yang berkilau, burung merpati pembawa kabar,
mimpi-mimpi yang hadir, puing-puing bangunan yang masih tersisa, serta benda-benda
lainnya yang mulai menghilang.100
Nasîb dalam literature sastra Arab Jahili memiliki peranan yang sangat penting,
dan menempati posisi awal dalam tema-tema syair lainnya. Sehingga meskipun yang
diinginkan adalah tema-tema lain, namun nasîb akan disajikan terlebih dahulu sebagai
97 Menurut Abu al-Faraj al-Ishfahâni, al-Muhalhil ibn Rabî’ah adalah orang yang pertama kalimenggunakan ghazal sebagai mukadimah dalam syairnya. Pendapat ini juga didukung oleh ‘Abd al-Qâdiral-Baghdâdi. Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâral-Ma’ârif, tth), hal. 92
98 Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, hal. 9299 Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lâm, hal. 550100 Muhammad Ridla Marawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah, 1411 H/ 1990 M), cet. 1, hal. 45-46
33
prolog101. Nasîb dianggap sebagai hiburan hati dan kesenangan jiwa, karena spiritnya
adalah cinta, dan cinta adalah rahasia dalam setiap kehidupan manusia. Dan masyarakat
Badawi adalah kelompok manusia yang paling merindukan cinta, karena perasaan sepi
yang selalu meliputi mereka, pertemuan dengan beraneka macam suku baik pada saat
musim panas maupun musim semi. Maka pada saat perpisahan terjadi, setiap pecinta
menguntai kata cintanya, lalu di kemudian hari mereka kembali ke tempat tersebut dan
membangkitkan perasaan duka akibat perpisahan, lalu kembali menguntai kata dengan
syair untuk mengingat kembali hal yang telah terjadi di antara mereka pada saat melihat
jejak-jejak dan puing-puing yang ditinggalkan kekasihnya.102
Untuk itu menurut Yusuf Khalif, perempuan menempati posisi yang sangat
penting dalam tradisi sastra Arab Jahili, sehingga dalam budaya tersebut, ia ibarat ruh
yang menghidupkan sebuah syair. Tasybîb103 dalam syair Jahili sudah dianggap sebagai
tardisi sakral yang tidak boleh terlewatkan.104 Syair dalam bentuk seperti ini sangat
disukai para penyair Arab Jahili bahkan hingga saat ini105
Tradisi ghazal, nasîb ataupun tasybîb ini, biasanya hanya dilakukan oleh para
penyair pria, untuk itu saya (penulis) menganggap bahwa inilah salah satu corak syair
feminis yang terdapat dalam syair Jahili, yaitu syair hasil karya kaum laki-laki yang
secara khusus berbicara tentang perempuan, sikap dan cara pandang mereka terhadap
perempuan, baik mewakili individu masing-masing ataupun hal-hal yang
menggambarkan perilaku sosial secara umum. Berikut ini contoh ghazal dari penyair
Badawi terkenal ‘Antarah ibn Syaddad untuk sang kekasih ‘Ablah:
101 Prolog (prologue) adalah pembukaan atau permulaan yang mengantarkan karya sastra danyang merupakan bagian karya sastra tersebut, namun sifatnya berbeda dari prakata. Dalam bahasa Arabdisebut dengan mukadimah.
102 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 47103 Yusuf Khalif menyebut al-tasybib dengan sebutan al-muqaddimat al-gharamiyah yang
artinya pendahuluan syair cinta.104 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al-Syi’r al-Jâhili, (ttp: Maktabah Gharîb, tth), hal. 74105 Muhammad Sa’ad ibnu Husain, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (al-Mamlakah al-‘Arabiyah
al-Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali, 1410 H), hal.
34
تت الفؤاد مليحة عذراء ظظ106رم لح بسهام
نن دواء 107ما له
Gadis cantik nan rupawan itu memanah hatikuDengan panah (kerlingan) matanya yang tidak ada obatnya
نن العيد بين نواهد نرتا أوا م108مثل
ظظهن ظباء للحا الشموس
Pada hari raya ia berjalan di antara gadis-gadisBagai mentari-mentari, kerlingan mata mereka bagaikan kijang
Madh adalah sejenis syair yang dibuat dengan tujuan untuk memuji sesuatu atau
seseorang. Pada dasarnya ada kemiripan antara syair madh dan fakhr, yaitu keduanya
sama-sama berisikan pujian. Akan tetapi jika madh merupakan pujian untuk orang lain,
fakhr adalah pujian yang digunakan untuk membanggakan diri sendiri (narsis).109
Di dalam syair Jahili, tradisi madh biasanya tidak dilakukan kecuali jika orang
yang dijadikan objek pujian itu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari sang penyair.
Untuk itu, madh seperti ini, biasanya dibuat secara berlebih-lebihan dengan tujuan
untuk mengambil hati seseorang atau mencari muka agar orang tersebut tertarik dan
memberikan imbalan padanya. Corak syair seperti ini, mayoritas dilakukan oleh para
penyair istana.110 Sebagai contoh, syair madh yang dibuat al-Nâbighah al-Dzubyâni
penyair istana (penyair komersil) yang ditujukan untuk al-Nu’mân ibn al-Mundzir saat
ia mohon pengampunan atas kesalahan yang ia lakukan, yang salah satunya bait berikut
ini:
106 ‘Adzrâ adalah gadis yang belum disentuh laki-laki (virgin)107 Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir108 Nawâhid adalah bentuk jamak dari nâhid atau nâhidah yang artinya anak gadis dengan
payudara yang bulat dan membusung, artinya gadis remaja yang sedang ranum.109 Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-
Jâhili, hal. 54110 Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-
Jâhili, hal. 55-56
35
نلألم تر أن الله أعطاك سورة ك ترى
ملك، دونها يتذبذبTidakkah engkau melihat, bahwa Allah telah memberikan kedudukan yang
tinggi padamu, Sehingga dengan itu semua, engkau dapat menyaksikan semua rajayang lebih rendah merasa tergoncang
تتفإنك شمس والملوك كواكب طلع إذا
نن كوكب 111لم يبد منه
Sesungguhnya engkau adalah mentari, dan raja-raja itu bintangnyaJika mentari terbit, tidak ada satupun bintang yang tampak Syair hijâ adalah syair yang dibuat untuk membangkitkan permusuhan,
kemarahan, kebencian, kedengkian, perselisihan, perpecahan, fanatisme kesukuan,
membela seseorang, dan yang paling popular pada masa Jahiliyah adalah untuk
mengobarkan api peperangan.112
Penulis buku al-Hija, membagi jenis syair ini ke dalam lima bagian, yaitu al-
hijâ al-syakhshî, al- hijâ al-akhlâqî, al- hijâ al-siyâsî, al- hijâ al-dînî, dan al- hijâ al-
ijtimâ’î. Al- hijâ al-syakhshî adalah syair yang dibuat untuk mengejek pribadi seseorang
dari segi fisik seperti mulut, gigi, mata, jenggot, rambut, kulit yang hitam, suara, dan
lain sebagainya. Al- hijâ al-akhlâqî digunakan untuk mengejek seseorang dari segi
mental, seperti sifat pengecut, pelit, dungu, dan sifat-sifat negative lainnya. Al- hijâ al-
siyâsî adalah syair yang dibuat untuk kepentingan politik. Pada masa Jahiliyah syair
seperti ini sangat digemari oleh masyarakat karena terkait erat dengan fanatisme
kesukuan sebagai salah satu sistem politik yang mereka anut, di samping itu tentu saja
untuk membangkitkan semangat peperangan dan balas dendam di antara mereka.
111 ‘Abbâs ‘Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah,1416 H/1996 M), hal. 28
112 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 56
36
Al- hijâ al-dînî adalah bentuk syair yang dibuat dalam rangka membela dan
mempertahankan agama. Jenis ini lebih banyak dilakukan pasca kedatangan agama
Islam, sebab pada masa Jahiliyah, agama bukanlah suatu elemen yang dapat memicu
suatu peperangan. Sebagaimana kita ketahui, peperangan pada masa itu biasanya lebih
disebabkan oleh persoalan ekonomi. Al- hijâ al-ijtimâ’î adalah syair yang dibuat untuk
mengkritisi kondisi sosial yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan
harapkan. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Arab Jahili memiliki tradisi yang
mengagungkan keberanian, kedermawanan, memelihara kehormatan tetangga, dan
membalas dendam, maka jika ada anggota masyarakat yang tidak melakukan hal-hal
seperti itu, inilah yang kemudian menjadi sasaran dari Al- hijâ al-ijtimâ’î (kritik
sosial).113
Sebagai contoh syair yang diucapkan oleh Ubaid ibn al-Abrash untuk Umru al-
Qais, setelah kaumnya membunuh ayah Ubaidh:
نجههم إلينانحن اللى فاجمع جمو عك ثم وKamilah yang terbaik, maka kumpulkanlah pasukanmuLalu hadapkan pada kami
لماولقد أبحنا ما حميـ ظمبيح ول نتا
114حمينا
Kami halalkan yang kamu lindungiNamun tidak halal (bagimu) apa yang kami lindungi
Syair ini adalah salah satu contoh dari al-hija al-siyasi yang dibuat oleh penyair
untuk menantang seseorang atau kelompoknya yang dalam hal ini adalah kaum dari
Umru al-Qais untuk berperang.
113 Keterangan lengkap tentang syair hijâ , lih., Tim Penulis, al-Hijâ, (ttp: Dâr al-Ma’arif, tth),hal. 5-91
114 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 57
37
Secara umum yang dimaksud dengan hamâsah adalah syair kepahlawanan. Di
dalam sastra Arab yang dimaksud dengan hamâsah adalah salah satu jenis syair yang
bertemakan tentang peristiwa peperangan yang sangat terkenal, tempat peristiwa
peperangan, kisah kepahlawanan yang fenomenal, kemenangan yang terus menerus,
kekuatan dan keberanian, intrik dan strategi perang, pertahanan dan perlindungan
terhadap kabilah, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia perang. Dunia
padang pasir yang sangat keras juga tradisi mereka yang suka berperang, menjadikan
hamâsah sebagai salah satu corak syair yang digemari di kalangan masyarakat Arab
Jahili.115
Syair hamâsah terkait erat dengan syair fakhr, bedanya adalah jika fakhr
merupakan syair yang digunakan untuk membanggakan diri secara umum, sedangkan
hamâsah digubah secara khusus sebagai spirit saat maju ke medan perang, mengahadapi
marabahaya. Sebagai contoh syair Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibâniyah yang
bergelar al-Hujajiyah116, saat ia datang pada Kabilah Dzuhl mengajak mereka untuk
memerangi Kisrâ117 berikut ini:
نز ل يوم الندم وجياداليوم يوم الع رماح يوم
تم وخدHari ini adalah hari kemenangan, bukan hari penyesalanHari bagi orang-orang yang bersenjata lembing, para pahlawan, dan prajurit
ترىيوم به الرواح جهرا تصطلم سوف
تم نس نت تب ظم نض غداة ال البيHari di mana para arwah terpisah dengan jelasKalian pasti akan melihat bangsa ini esok pagi tersenyum bahagia
115 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 61
116 al-Hujajiyyah berasal dari kata hujjah yang berarti argumen. Gelar ini diberikan padaShafiyyah karena kemampuannya dalam berdiplomasi politik, sehingga ia mampu mempersatukankabilah-kabilah Arab untuk menyerang raja Persia.
117 Gelar bagi raja Persia
38
مم نزى اليوم ت ظل فع ته تتا ذ إن صبرAndai Bani Dzuhl bersabar, pasti kemenangan hari ini akan sempurna
Jenis syair ritsâ telah dikenal lama di dalam perjalanan sastra Arab Jahili. Di
dalam sastra dunia, ritsâ dikenal dengan istilah elegi, yaitu sajak atau lagu yang
mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung, terutama
karena kematian seseorang.118 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan ritsâ dalam syair Arab adalah syair ratapan. Syair ini biasanya
digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang menyedihkan.
Menurut tim penulis buku al-Ritsâ119, ada tiga jenis ritsâ yang biasanya dibuat
oleh penyair, yaitu al-nadb, al-ta’bîn, dan al-‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang dibuat
untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita,
dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh
hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana tidak, sebab biasanya
ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan dengan suara yang keras dan
menyayat hati, disertai dengan cucuran air mata yang tiada henti. Al-nadb banyak
dijumpai dalam syair-syair Jahili. Biasanya para perempuan sengaja berkumpul untuk
meratapi mayat, tradisi ini masih dilakukan setelah datangnya Islam. Pada masa
Jahiliyah, para penyair perempuan biasa membuat syair jenis ini untuk meratapi
kematian seseorang.120
Fakhr121 adalah jenis syair yang digubah untuk tujuan membanggakan diri,
nasab, keluarga, maupun kabilah, serta sifat-sifat istimewa yang mereka miliki. Sebagai
contoh syair fakhr ‘Antarah ibn Syaddad, saat membanggakan dirinya sebagai prajurit
yang gagah berani:
118 Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah puisi ratapan atau sajak ratap. Panuti Sudjiman,Kamus Istilah Sastra, hal. 27
119 Tim Penulis, al-Ritsâ, (ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth). Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapatdilihat dalam buku tersebut.
120 al-Ritsâ, hal. 12121 Di dalam satra dunia dikenal dengan istilah narsisisme (narcissism), yaitu kekaguman yang
berlebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama pemuda dalam mitologi Baratklasik yang tertarik sekali pada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Kamus Istilah Sastra, hal. 54
39
الرأس وكم من فارس أضحى بسيفى هشيم
مخضوب اليدينBerapa banyak prajurit yang kubunuh dengan pedangkuDengan kepala yang remuk dan tangan terpenggal
حولهيحوم عليه عقبان المنايا ظجل وتح
122غربان بين
Ia dikelilingi rajawali kematian Dan sekelilingnya berlalu lalang gagak-gagak kematian
Washf adalah jenis syair yang dibuat untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan sesuatu, seperti keindahan alam, pemandangan, kehancuran,
peperangan, dan lain sebagainya. Pada masa Jahiliyah, selain alam, objek lain yang
paling dominan dalam washf adalah perempuan.123 Tema ini termasuk tema yang sangat
disukai dan biasanya dijadikan sebagai mukadimah (prolog) syair, sebelum
membicarakan tema-tema lainnya. Syair ini banyak berkembang dari waktu ke waktu
karena lebih imajinatif dan inspiratif. Untuk itu, gaya bahasa pada syair washf banyak
menggunakan tasybih, majas dan isti’arah. Sebagai contoh, syair Amru al-Qais berikut
ini:
ةة بيضاء غير مفاضة نف نه تف نه رائبهاظم
نجل تن نج 124مصقولة كالس
Langsing, putih, rampingDadanya berkilau bagai cermin
122 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 172-173123 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-
Jâhili, hal. 64124 Sajanjal: Kaca (Yunani)
40
ند وتبدى عن أسيل وتتقى بناظرة منتص
لفل ظمط وحش وجرة Ia berpaling, menampakan pipinya yang ranum, dan ia jauhkan pandangannyadari buasnya mata sapi ( yang telah beranak)125
ظد كجيد الرئم ليس بفاحش ذا هى نصتهوجي
مطل ول بمعLehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, Saat ia biarkan terbuka dengan perhiasan yang menghiasinya
c. Bahasa Dan Karakteristik Syair Jahiliyah Lainnya.
Pada saat membicarakan bahasa yang digunakan dalam syair Jahiliyah, maka hal
yang perlu diketahui adalah, bahwa syair Jahiliyah yang sampai ke tangan kita,
semuanya menggunakan bahasa Adnan, dan tidak ada satupun yang menggunakan
bahasa Yaman. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa bahasa Adnan sangat
berbeda dengan bahasa Yaman dalam segala hal. Penyeragaman bahasa ini diduga
terjadi oleh karena pusat-pusat syair Jahiliyah terletak di bagian Utara Jazirah,
sedangkan Yaman terletak di bagian Selatan. Selain itu, jauh sebelum Islam lahir,
terdapat faktor-faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya penyeragaman dialek ini,
sehingga mengerucut pada dialek Quraisy. Di antara faktor-faktor tersebut adalah:
1. Hijrahnya sebagian besar bangsa Yaman (selatan) ke dalam Kabilah Mudlar
(utara) yang kemudian menggunakan bahasa Mudlar sebagai bahasa
komunikasi. Kabilah-kabilah yang beragam tersebut, terbiasa datang ke
Mekah untuk mengunjungi Ka’bah.
2. Kabilah-kabilah yang datang dari seluruh penjuru Jazirah tersebut terbiasa
berkumpul di pasar-pasar, selain untuk berniaga juga untuk
125 dalam bait ini perempuan diumpamakan bagai kijang yang sedang melihat sapi yang galak,lalu dengan perlahan-lahan ia memalingkan lehernya darinya.
41
memperdengarkan syair-syair dan orasi-orasi dari masing-masing kabilah.
Pasar terbesar dan sangat terkenal yaitu pasar Ukazh yang letaknya tidak
jauh dari Mekah.
3. Tidak adanya atensi terhadap periwayatan syair berbahasa Yaman, karena
bahasanya dianggap tidak mencerminkan bahasa al-Qur’an, dan dianggap
tidak bermanfaat ketika menjadikannya sebagai argumen kebahasaan, sebab
bahasa Himyar (Yaman) oleh bangsa Arab Utara dianggap sebagai bahasa
asing termasuk oleh kabilah Mudlar sendiri yang menampung mereka saat
migrasi. Sedangkan syair orang-orang Yaman tidak terlepas dari bahasa
Himyar, seperti ucapan Imru al-Qais, berikut ini: عبرة) وإن شفائى
kata ,(مهراقة muharâqah berasal dari kata kerja (fi’il) ,(Himyar) هراق
sedangkan dalam bahasa Mudlar adalah أراق.
Faktor-faktor tersebut perlahan tapi pasti membawa bahasa Arab pada satu
dialek.126 Untuk itu, bisa dipastikan bahwa bahasa yang digunakan di dalam syair Jahili,
adalah gabungan dialek yang ada di Jazirah Arab, dan yang paling banyak digunakan
adalah dialek Quraisy.
Syair Arab Jahili dianggap sebagai catatan sejarah (dîwan) bangsa Arab pada
masa Jahiliyah yang menggambarkan perjalanan hidup mereka, dari tradisi, norma
maupun budaya. Secara bahasa, syair Arab Jahili memiliki karakteristik tersendiri,
seperti bersifat natural dan tidak terkesan dipaksakan. Hal ini merupakan cermin
kehidupan masyarakat badawi yang biasa hidup bebas tanpa ada aturan yang
mengikatnya. Untuk itu jarang sekali didapati suatu syair yang terlihat dipaksakan,
kalau pun ada hanyalah untuk mubâlaghah (hiperbola).
Penyair Arab Jahili cenderung memilih kata-kata yang simpel, singkat, dan
padat (ijâz). Untuk menggambarkan suatu objek, biasanya mereka mengambil kata yang
terdekat maknanya sehingga tidak terasa asing di telinga. Jika ditemukan kata-kata
126 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.48
42
asing di telinga kita, hal itu disebabkan jarak waktu yang memisahkan antara masa itu
dengan masa sekarang, di samping kita tidak mengetahui dengan pasti kehidupan yang
bagaimana yang mereka jalani selama ini, selain dari peninggalan yang mereka
tinggalkan yang tidak mungkin bisa dipahami secara utuh. Syair Jahiliyah tidak banyak
yang memperdulikan aksesoris-aksesoris seni yang menambah keindahan, untuk itu
tidak banyak digunakan jinâs127 maupun aksesoris badi’ lainnya. 128
Ciri khas lainnya yang tedapat dalam syair Jahili adalah hampir selalu didahului
dengan kata-kata rayuan untuk perempuan atau menyebutkan hal-hal yang berbau
perempuan (tasybîb), dengan melukiskan perempuan saat bepergian dan berpindah dari
satu tempat ke tempat lain, kemudian penyair berhenti di atas puing-puing yang
ditinggalkannya dan menangisinya. Terkadang tasybîb tersebut digunakan untuk
melukiskan kecantikan perempuan dan perasaan cinta sang penyair pada perempuan
tersebut. Selanjutnya penyair melukiskan kuda dan unta yang dikendarai perempuan,
serta cepat maupun mudahnya perjalanan mereka. Terkadang para penyair tersebut
mengibaratkan perempuan dengan binatang-binatang liar seperti kambing hutan, kijang
dan lain sebagainya. Untuk itu mereka terbiasa membuat perumpamaan-perumpamaan
untuk perempuan sesuai dengan tradisi dan adat istiadat mereka.
Penulis buku Buhuts fi al-Adab al-Jahili secara singkat menyebutkan
karakteristik bahasa yang terdapat pada syair Jahili sebagai berikut, pertama
menggunakan bahasa yang simpel terutama pada syair-syair hamasah (patriotisme),
fakhr (membanggakan diri) dan tawa’ud (ancaman). Kedua, konten pembicaraan
didominasi tentang kehidupan badawi, seperti, binatang buruan, kijang, binatang buas,
gunung, di samping itu hal-hal yang berkaitan dengan kedermawanan, perlindungan,
bepergian, dan lain sebagainya. Ketiga, dari segi gaya bahasa, banyak digunakan
kosakata-kosakata asing jika dibandingkan dengan bahasa saat ini. Keempat daya
imajinasi mereka yang masih sangat minim, menjadikan makna yang mereka gunakan
mudah untuk dipahami. Selain hal tersebut, syair Jahili adalah syair yang natural tidak
127 Penggunaan lafaz yang sama atau serupa, namun untuk makna yang berbeda (homonim),seperti kata sâ’ah yang bermakna waktu dan hari kiamat.
128 al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 47
43
banyak yang dipaksakan seperti pada syair-syair setelahnya. Hal ini mencerminkan
kehidupan mereka yang bebas alamiah.129
129 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 47
44
BAB IV
SEJARAH SOSIAL BANGSA
ARAB JAHILIYAH
Mengkaji simbol-simbol agama yang terdapat dalam syair Jahiliyah, pada
hakekatnya adalah mengkaji bahasa yang terdapat dalam syair itu sendiri. Komaruddin
Hidayat, mengutip dari apa yang dikatakan Trigg menyatakan bahwa dunia di sekitar
kita mempunyai makna karena diberi makna oleh sistem bahasa yang dimiliki manusia.
Untuk itu, bahasa dan pemikiran membentuk kategori-kategori untuk membangun dan
kemudian menafsirkan realitas di sekeliling kita. Konsekuensinya, jika bahasa dan
pemikiran menentukan pemaknaan terhadap dunia sekelilingnya, maka memahami
sebuah teks mensyaratkan untuk juga memahami tradisi di mana teks itu dilahirkan.130
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis dalam bab ini secara khusus mengkaji
tradisi dan kondisi sosiologis bangsa Arab pada masa Jahiliyah.
A. Makna Jahiliyah
Para sejarawan sepakat bahwa yang dimaksud dengan Jahiliyah adalah periode
sejarah bangsa Arab sebelum datangnya agama Islam. Definisi ini dijumpai di hampir
setiap buku yang membahas tentang sejarah Islam maupun sejarah sastra Arab. Istilah
Jahiliyah itu sendiri muncul setelah agama Islam datang. Definisi ini disimpulkan dari
beberapa ungkapan yang beredar di kalangan masyarakat Arab sendiri, seperti ungkapan
Umar Ibn al-Khathab ra., إنى نذرتا فى الجاهلية أن أعتكف , “aku bernazar
pada saat Jahiliyah untuk melaksanakan i’tikaf131 ”. Ungkapan lain disampaikan oleh
Aisyah ra., كان النكاح فى الجاهلية على أربعة أنحاء, “ Nikah pada masa
Jahliyah dilakukan dengan empat cara”, dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri
banyak ayat yang menyebutkan kata jahiliyah seperti “أفحكم الجاهلية تبغون “,
130 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hal. 128131 I’tikaf adalah mengasingkan diri dengan tujuan beribadah
45
Apa hukum Jahiliyah yang kamu inginkan?. Istilah yang muncul tersebut selanjutnya
disimpulkan bahwa Jahiliyah adalah sebuah masa di mana bangsa Arab tidak mengenal
Tuhan dan ajaran-ajaran Agama yang benar.132
Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat ketika istilah tersebut lalu
diartikan sebagai masa kebodohan dan kebiadaban (time of ignorance and barbarism)
sebagaimana dipahami dari maknanya secara leksikologi yang berasal dari kata ja-hi-la
yang berarti bodoh dan tidak berperadaban. Pemahaman seperti ini menjadikan
masyarakat Arab Jahiliyah secara umum identik dengan masyarakat yang bodoh, biadab
dan tanpa peradaban. Padahal menurut Philip K. Hitti sebagaimana dikutip oleh Ismail
Hamid, istilah Jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. menjadi
Rasul dan belum memiliki Kitab suci sebagai pedoman hidup. Apabila Jahiliyah
dimaknai sebagai jaman kebodohan, hal itu jelas tidak relevan dengan situasi dan
kondisi Arab bagian selatan yang sangat maju dan memiliki peradaban yang tinggi.133
Menurut Goldziher, mengartikan zaman Jahiliyah dengan zaman kebodohan adalah
sebuah konsepsi yang salah dan tidak beralasan, sebab apa yang diekpresikan oleh Nabi
Muhammad dengan istilah tersebut tidak lebih dari kondisi masyarakat Arab
sebagaimana yang terdokumentasi dalam puisi-puisi Arab Jahili. Nabi Muhammad saw.
diutus bukan untuk menghapus tradisi dan budaya bangsa Arab, namun untuk
memperbaiki moral mereka, seperti kesombongan kabilah, permusuhan yang terus
menerus, memuja dendam, tidak mau memaafkan dan watak buruk lainnya sebelum
kedatangan Islam. Menurut Goldziher, istilah Jahiliyah diberikan oleh Nabi Muhammad
saw. hanya untuk membedakan waktu sebelum dan sesudah kedatangan agama Islam.134
Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Goldziher memberikan argumentasi
lain dari sisi kebahasaan. Menurutnya dalam dokumen bahasa Arab klasik terdapat kata
ilm (knowladege) yang dikonfrontasikan dengan kata jahl (ignorance), sehingga jahl
merupakan antonim dari ilm. Namun istilah ilm hanyalah makna antonim kedua dari
132 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 12
133 Yang dimaksud dengan Arab bagian selatan adalah negeri Yaman. Ismail Hamid, Arabic andIslamic Literary Tradtion, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Berhad, 1982), hal. 1
134 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, hal. 2
46
suku kata ja-hi-la, sebab makna antonim yang pertama adalah hilm, yang berarti tegas,
kuat, kekuatan fisik, sehat, integritas moral, stabil, matang, sikap yang halus. Maka
seorang halîm secara singkat diartikan sebagai seseorang yang berperadaban.135
Namun Ibrâhîm Ali al-Khasyab dan Ahmad Abd. Al-Mun’im al-Bahâ
berpendapat, bahwa sama saja apakah Jahiliyah itu diartikan sebagai antonim kata ilm
(knowledge), hilm (firmness) atau diartikan langsung dengan kebodohan, karena hal
tersebut memang pantas untuk orang-orang yang hidup di sebuah jazirah, menyembah
berhala, mengotori akidah, dan menyekutukan Allah, memuja hawa nafsu, senang
menumpahkan darah, fanatik kesukuan yang amat berlebihan, dan sifat biadab
lainnya.136
Menurut penulis kedua pendapat tersebut adalah benar, hanya persepsi sejarah
dan sudut pandang mereka yang berbeda. Jika istilah Jahiliyah diberlakukan kepada
bangsa Arab secara luas, meliputi semua keturunan Semit (Qahthân dan Adnân), jelas
kata Jahiliyah itu tidak tepat, karena salah satu keturunannya yaitu Qahthan yang lebih
dikenal dengan bangsa Arab Selatan menempati suatu wilayah yang memiliki peradaban
yang tinggi yaitu Yaman dan sebagian dari mereka sudah memeluk agama Samawi.
Sedangkan argumen yang menyatakan bahwa istilah Jahiliyah adalah tepat bagi bangsa
Arab, maka sesungguhnya bangsa Arab yang dimaksud adalah bangsa Arab Utara
keturunan Adnan yang menempati Jazirah Arab dan wilayah Hijaz lainnya tempat Nabi
Muhammad saw. dilahirkan. Kedua ras besar tersebut memiliki garis kehidupan yang
berbeda satu sama lain, baik secara sosiologi, ekonomi, politik, maupun tingkat
intelektual.
B. Letak dan Kondisi Geografi Bangsa Arab
Jazirah Arab, demikian Bangsa Arab menamakan negeri mereka atau terkadang
mereka cukup menyebutnya dengan ‘al-Jazîrah’. Istilah Jazirah pada dasarnya kurang
tepat diberikan pada negeri ini, sebab ia bukanlah sebuah pulau melainkan hanya
sebuah semenanjung, karena sebelah utara negeri ini tidak dibatasi oleh perairan (laut).
135 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, hal. 1136 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-
Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 11
47
Bangsa Arab menamakannya demikian hanya sekedar tajâwuz (melebih-lebihkan).137
Jazirah adalah satu-satunya tempat yang dihuni oleh bangsa Arab asli.138
Jazirah Arab terletak di sebelah selatan benua Asia. Sebelah Utara negeri ini
berbatasan dengan negeri Syam, Jazirah, dan Irak, sedangkan bagian Timur berbatasan
dengan Teluk Persia (the Persian Gulf) dan Laut Oman, sebelah selatan dibatasi oleh
Samudera Hindia, dan bagian Barat dibatasi oleh Teluk Arab atau yang dikenal dengan
Laut Merah. Luasnya sekitar seperempat luas Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika,
atau dua setengah kali lipat luas Mesir.139
Para geolog Arab membagi Jazirah ke dalam lima bagian, yang berbeda satu
dengan lainnya, baik dari segi kondisi geografi, iklim, maupun tradisi penduduknya.
yaitu:
a. Yaman di sebelah Selatan, disebut juga dengan al-Khadlra’ (negeri Hijau)
dan al-Sa’îdah (negeri menyenangkan) karena banyak ladang, perkebunan,
pepohonan, padang rumput, dan mata air. Wilayah ini terdiri dari Hadramaut,
Mehra, Syahr, Oman, dan Nejran.
b. al-Arudl140, meliputi Yamamah dan Bahrain. Wilayah ini dinamakan dengan
al-‘Arudl karena terletak memanjang membentang antara Yaman dan Najed.
Wilayah ini memiliki banyak sumber air, terutama di daerah Ihsa’.
Penduduknya terkenal sebagai penambak garam dan penyelam mutiara.
c. Tihamah. Terletak di tepi pantai Laut Merah antara Yaman dan Hijâz. Di
wilyah ini terdapat sebuah jalan yang biasa dilintasi Kafilah dagang menuju
Syam. Kotanya yang terkenal adalah Mekah yang di dalamnya terdapat
137 .Jazirah sebenarnya adalah terjemahan dari pulau yang biasanya seluruh wilayahnya dibatasiperairan/laut. Oleh karena itu sebenarnya wilayah Arab tidak dapat disebut sebagai pulau (jazirah)melainkan hanya sebuah peninsula (semenanjung) yang menyerupai pulau, karena sebelah Utara tidakdibatasi oleh laut melainkan berbatasan dengan negeri lain. Lih. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 5
138 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 7
139 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 7, lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi,hal. 5. lihat juga Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7, lih.juga Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), cet. 1, hal. 3
140 Secara bahasa Arudl berarti sesuatu yang lebar dan memanjang
48
Ka’bah dan Gua Hira yang sangat terkenal dalam sejarah Islam. Wilayah ini
memiliki tanah yang sangat gersang dan penuh dengan pasir dengan cuaca
yang sangat panas.
d. Hijâz. Terletak antara Najed dan Tihâmah. Kotanya yang sangat terkenal
adalah Yatsrib (Madinah), Thâif, dan Khaibar. Selain itu juga terdapat pasar
‘Ukazh yang terkenal dan Sumur Badar.
e. Najed. Terletak antara Irak di sebelah Timur, gurun Syâm di sebelah Utara,
Hijâz sebelah Barat dan Yamâmah sebelah Selatan. Najed adalah sebuah
wilayah yang terletak di dataran tinggi dengan kondisi hawa yang sejuk.141
Secara umum, para sejarawan Arab biasanya membagi Jazirah Arab ke dalam
dua wilayah besar, yakni Hijaz di sebelah Utara, dan Yaman di sebelah selatan. Hijaz
dinamakan demikian karena di dalamnya terdapat gunung Sarah yang terbentang mulai
dari Yaman hingga ujung kota Syam, sehingga orang Arab menyebutnya dengan hijâz
yang berarti pembatas, karena gunung tersebut membatasi negeri-negeri Mekah.
Gunung tersebut terbentang hingga tepi pantai, menjulang tinggi, mengelilingi Hijaz
dan kota-kota sekitarnya yang berada di dataran rendah, yang disebut dengan negeri
Mekah (Tihâmah).142
Hijaz merupakan kota yang gersang, tidak subur dan jarang hujan, namun
terkadang muncul air bah memenuhi lembah-lembah, lalu mengalir dan selanjutnya
tumpah ke laut. Di Hijaz juga terdapat beberapa padang pasir- terutama sekitar Mekah-
di mana cahaya matahari langsung menyengatnya sehingga memberi efek panas yang
sangat luar biasa. Selain itu terdapat pula lembah-lembah kering yang terkadang
ditumbuhi rerumputan tempat digembalakannya binatang ternak. Ada juga tempat yang
sangat subur dan biasanya dijadikan tempat tinggal oleh kelompok tertentu. Di tempat
seperti ini tumbuh tumbuh-tumbuhan, seperti pohon tin, anggur, delima dan zaitun.143
Salah satu kota yang sangat terkenal di Hijaz adalah Mekah yang terletak di
sebuah lembah tanpa tumbuhan. Panjang antara utara dan selatan sekitar dua mil,
141 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7-8, lihat jugaMuhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7-8
142 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 5143 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 5-6
49
sedangkan lebarnya sekitar satu mil, sebelah timur dimulai dari kaki gunung Abi Qubais
hingga gunung Qu’aiqi’an di sebelah barat.144
Di kota Mekah terdapat Ka’bah (Baitul Haram) tempat ibadah haji masyarakat
Arab Jahili, yang kemudian diwajibkan dalam Islam dan menjadi kiblat shalat kaum
muslimin. Di Mekah juga terdapat sebuah sumur yang memancarkan air Zamzam yang
sangat terkenal. Di situ pula lahir nabi Muhammad saw. Tempat yang sangat terkenal
yang ada di kota Mekah adalah Shafa dan Marwah, keduanya merupakan tempat tinggi
yang terletak di gunung Qubais. Kota lainnya adalah Wadi Mina, Jabal Arafat, dan
Muzdalifah. Semuanya merupakan tempat yang biasa disebut-sebut dalam ibadah
haji.145
Selain Mekah, kota lain yang terletak di Hijaz adalah Madinah yang sebelumnya
lebih dikenal dengan sebutan Yatsrib. Kota ini terletak di tengah-tengah lembah yang
sangat luas. Sebelah Utaranya gunung Uhud. Kota ini banyak ditumbuhi pohon korma
dan memiliki banyak sumur yang dijadikan sebagai sumber air mereka. Madinah adalah
tempat yang dituju Nabi saw saat hijrah dari Mekah dan juga tempat Nabi
menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelah Barat kota Madinah adalah kota
Khaibar yang didiami oleh kaum Yahudi, sebagaimana terdapat di sebagian kota
Madinah lainnya.146
Dengan demikian, Hijaz ditempati oleh beberapa kabilah Arab, di Madinah
ditempati oleh Kabilah Arab dari suku Aus dan Khazraj, sedangkan di Mekah oleh suku
Quraisy, di Thaif oleh suku Tsaqif, sedangkan suku Hudzail menempati bukit-bukit di
sebelah selatan kota Mekah. Suku Hudzail ini terkenal dengan syair-syairnya yang
halus.147
Bagian selatan Jazirah Arab adalah Yaman sebuah negeri lama yang terkenal
dengan kekayaan dan peradabannya. Kota ini seperti juga Hijaz terdiri dari dataran-
dataran rendah yang terletak di tepi pantai, yang terkadang disebut juga dengan
Tihâmah (negeri Mekah), sedangkan dataran tingginya disebut dengan Najed al-Yaman.
144 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6145 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6146 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6147 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6
50
Di antara kota-kotanya adalah Nejran sebelah timur Yaman yang dikenal pada masa
Jahiliyah sebagai tempat pemeluk agama kristiani. Di sana terdapat uskup-uskup dan
juga Ka’bah yang mereka agungkan menyerupai Ka’bah yang ada di Mekah.
Tersebarnya agama Nasrani di Nejran menjadi salah satu faktor terjadinya hubungan
bilateral antara Habasyah dan Nejran, hal itu dikarenakan keduanya merasa disatukan
oleh ideologi yang sama.148
Di Yaman terdapat sebuah kota yang disebut Ma’rab, terletak di sebelah Timur
Laut kota Shan’a bernama Saba’. Penduduknya dinamakan juga dengan Saba. Kota
lainnya yang terkenal adalah Shan’a itu sendiri. Kota ini terletak di tengah-tengah dekat
dengan istana yang megah yang disebut Ghumdan. Sejarah menyebutkan bahwa Saef
ibn Dzi Yazn pada masa Jahiliyah meminta istana tersebut dikembalikan dari Habasyah,
pada saat mereka menguasai negeri Yaman.149
Di sebelah selatan kota Shan’a terdapat reruntuhan kota yang diduga sebagai
peninggalan kaum Himyar. Reruntuhan ini dinamakan dengan Zhaffar. Dari istilah
tersebut muncul sebuah peribahasa (amtsâl) terkenal ‘نر yang ’من دخل ظفار حم
artinya ‘siapa yang masuk ke Zhaffar maka ia telah menjadi Himyar’, atau berarti ia
mampu berbahasa Himyar.150
Kabilah terbesar bangsa Arab yang mendiami negeri Yaman adalah Hamdan
yang terkenal pada masa Jahiliyah karena menyembah dua berhala yang bernama
Yagûts dan Ya’ûq sebagaimana diceritakan dalam al-Qur’an al-Karim. Selain kabilah
Hamdan, kabilah lainnya yang mendiami Yaman adalah kabilah Madzhij dan Murâd.151
Sebelah selatan Jazirah Arab terdapat negeri Hadramaut. Sebuah daerah
pegunungan yang di sela-selanya terdapat banyak lembah. Penduduknya dinamakan
dengan al-Hadhâramah yang terkenal dengan keuletan dan kegigihannya dalam
berdagang. Pada saat penaklukan Islam (al-fath al-islâmi) di antara mereka banyak yang
148 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 6-7149 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7150 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7151 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7
51
datang ke Mesir. Penduduk yang paling terkenal pada masa Jahiliyah yang menempati
wilayah ini adalah keturunan Kindah yang dikenal dengan sebutan ‘Tujîb’.152
Perbatasan sebelah Utara Hadramaut adalah negeri Ahqâf yang didiami oleh
kaum ‘Âd. Kisah tentang Negeri ini diceritakan dalam al-Qur’an berulang kali, di
antaranya “ dan ceritakanlah tentang (Hud) saudara ‘Âd pada saat ia memberi
peringatan pada kaumnya di al-Ahqâf”.153 Dan salah satu surat dalam al-Qur’an diberi
nama al-Ahqaf.154
Di sudut bagian tenggara al-Jazirah adalah Oman, sebuah wilayah pegunungan
di pinggir pantai. Penduduknya terkenal sebagai nelayan. Diceritakan bahwa setelah
hancurnya Saddama’rab, sebagian kabilah bani Azad masuk ke Oman dan
mendiaminya. Selain kabilah Azad wilayah ini juga ditempati oleh sebagian bangsa
Thoyy, dan yang paling terkenal adalah kabilah Nabhân.155
Bagian yang terbentang di timur al-Jazirah yang dimulai dari Oman hingga
perbatasan Irak dinamakan ‘Bahrain’. Di antara kotanya yang terkenal adalah Hajar.
Kota ini banyak menghasilkan korma, sehingga muncul ungkapan ‘laksana orang yang
membawa korma ke kota Hajar’.156 Selain Hajar, kota lainnya adalah Qatar.
Penduduknya terkenal sebagai penyelam dan penghasil mutiara. Bahrain itu sendiri
didiami oleh kabilah-kabilah dari Bani Abd al-Qais dan Tamîm.157
Di sisi lain, berbicara tentang kondisi geografi Jazirah Arab, berarti
membicarakan situasi dan kondisi tanah dan cuaca yang dimilikinya. Jazirah bagian
tengah terdiri dari gurun pasir (sahara) yang jarang dicurahi hujan, sehingga sedikit
sekali tumbuhan yang tumbuh. Di sela-sela padang pasir tersebut banyak dijumpai
wahah yakni tanah subur di tengah padang pasir. Di tanah seperti ini dalam bulan-bulan
tertentu tumbuh rerumputan yang biasanya dijadikan sebagai tempat menggembalakan
ternak. Ada beberapa jenis padang pasir, setiap jenis memiliki nama tersendiri. Padang
152 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7153 QS. Al-Ahqaf ayat 21154 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 7155 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 8156 Istilah ini mungkin berarti pekerjaan yang sia-sia atau kurang bermanfaat. 157 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 8
52
pasir yang terletak antara Timur Yaman dan Barat Laut Hadramaut dinamakan
‘Shaihada’, sedangkan yang terletak di utara Hadramaut dinamakan ‘al-Ahqâf’, dan
yang ada di utara Mehra dinamakan ‘al-Dahnâ’.158
Sebelah utara gurun pasir terbentang dataran tinggi yang disebut ‘Najda’, sebuah
tempat terbaik yang dimiliki bangsa Arab karena udaranya yang sejuk dan
pemandangannya yang indah.
Bagian lain yang terletak di sebelah tenggara Najed adalah Yamamah, sebuah
tempat yang paling subur di wilayah Arab. Diriwayatkan bahwa tempat ini adalah
tempat tinggal Thasm dan Jadwis. Jika Yamamah dan Bahrain keduanya digabungkan,
namanya menjadi ‘al-Arûdh’.159
Gurun pasir bagian utara yang letaknya berdekatan dengan Syam dinamakan
dengan Gurun Syam, sedangkan yang berdekatan dengan Irak dinamakan Gurun Irak,
dan yang berdekatan dengan al-Jazirah (Utara Irak) dinamakan dengan Gurun Jazirah.160
Adapun cuaca, sebagian besar Jazirah Arab memiliki cuaca yang sangat panas.
Namun demikian, di dataran-dataran tinggi meskipun musim panas pada malam harinya
udara terasa sejuk dan pada musim dingin udara sangat dingin sehingga terkadang
disertai turunnya salju di sebagian puncak gunung seperti di Thaif. Puncak-puncak
gunung diselimuti salju dan air pun membeku. Selanjutnya panas melelehkan kembali
gumpalan salju tersebut, dan terciptalah dari balik gunung-gunung tersebut aliran-aliran
sungai kecil yang mengairi kebun dan sawah mereka.161
Adapun angin, para penyair membaginya ke dalam dua tipe, yakni angin Timur
(shabâ) dan angin panas (samûm). Adapun yang dimaksud angin shaba yakni angin
sejuk yang berhembus dari arah Timur. Para penyair sangat suka menjadikannya sebagai
bahan rayuan karena kesejukkan dan kelembutan semilirnya. Dari kata tersebut
terbentuk sebuah derivasi, untuk itu mereka mengatakan: صبت الريح-تصـبو
158 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 8159 menurut Muhammad Ali Shabbah dinamakan dengan ‘Arudl (penghalang) karena kedua
kota ini jika disatukan menjadi pembatas antara Yaman dan Najed. Muhammad ‘Ali al-Shabbah,‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 8
160 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 8161 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 9
53
نو اصب “ Angin Timur bertiup meniupkan kasih sayang”. Bila shabâ adalah angin sejuk,
sebaliknya samûm, ia adalah angin panas. Dari kata tersebut muncul derivasi dalam
bentuk ungkapan: نم و مسموم Hari yang berangin panas”.162 “يوم سا
Wilayah Arab sama sekali tidak memiliki sungai besar yang mengalir, kecuali
anak-anak sungai yang airnya terkadang mengalir namun terkadang kering. Untuk itu
mereka sangat tergantung pada curah hujan, yang mereka sebut dengan ‘al-ghaits’163.
Musim semi adalah saat-saat terbaik mereka, pada saat di mana tumbuh-tumbuhan
mulai bersemi setelah musim hujan berlalu. Pada saat seperti itu, mereka keluar menuju
ke ghaits (tempat subur yang ditumbuhi banyak pepohonan) dengan unta dan binatang
ternak lainnya. Beberapa gunung dan lembah tampak terlihat indah setelah mendapat
curahan hujan. Di atasnya tumbuh phon-pohon dan rerumputan. Di antara nama pohon
yang terkenal adalah ‘al-thalh164, al-atsl165, al-sidr (bidara), al-hinâ’ (pacar), al-rummân
(delima), al-tuffâh (apel), al-Lemûn (lemon), dan yang paling banyak adalah pohon
korma yang biasa mereka konsumsi.166
Adapun daerah yang paling subur tanahnya adalah Yaman, hal itu sebabkan oleh
karena Yaman memiliki curah hujan yang banyak dan kondisi tanah yang subur, oleh
karena itu pula orang Yunani dan Romawi menyebutnya dengan negeri hijau (al-
Hadhrâ) atau ‘negeri Arab yang menyenangkan (al-sa’îdah) untuk membedakannya
dengan negeri-negeri Arab Timur lainnya yang tandus.167
Dari gambaran tersebut tampak perbedaan-perbedaan yang nyata antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya, di mana sebagian wilayah berada di lokasi dataran dan
yang lainnya berada di daerah pegunungan, bagian lain memiliki tanah yang subur dan
162 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 9163 Ada dua makna dari al-ghaits, yaitu hujan dan rerumputan yang tumbuh setelah turun hujan.164 Thalh adalah sebangsa pohon besar yang berduri. Thalhah: sepohon thalh.165 Atsl, atslah jamak Atslât, âtsâl, atsûl adalah sejenis tumbuhan yang banyak tumbuh dekat air
di daerah-daerah padang pasir, daunnya tipis dengan bunga yang berbentuk gugusan atau serangkai,biasanya dijadikan sebagai hiasan. Kayunya sangat keras dan bagus, dan biasanya digunakan untukmembuat pasu atau piring dan mangkuk besar.
166 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 9167 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 9, lihat juga Muhammad ‘Ali al-
Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7
54
yang lainnya tandus, sebagian beriklim panas dan sebagian dingin, beberapa wilayah
terletak di tepi pantai dan sebagian lainnya jauh dari lautan, sebagian negeri berbatasan
dengan penduduk berperadaban dan berinteraksi dengan mereka, sedangkan lainnya
tertahan di padang pasir, ataupun bila ada interaksi dengan wilayah yang berperadaban
itu pun dengan alasan tertentu. Dan perbedaan-perbedaan ini pada akhirnya sangat
berpengaruh terhadap kondisi intelektual, cara pandang, tradisi, bahasa, dialek, agama
serta sistem politik penduduknya.
C. Asal Usul Bangsa Arab dan Bahasanya
Adapun yang dimaksud dengan Bangsa Arab yaitu sebuah bangsa yang berasal
dari dua orang keturunan Semit (Sam),168 yaitu Qahthan dan Ismail. Untuk itu dalam
catatan sejarah, bangsa Arab terbagi menjadi dua bagian yaitu Arab Qahthan
(Qahthâniyyin) atau disebut juga dengan Arab ‘Âribah, dan Arab keturunan Ismail atau
Arab Musta’ribah yang disebut juga dengan Arab Adnaniyah. Keturunan Qahthan
menempati sebelah selatan semenanjung Arab, sehingga mereka dinamakan juga
dengan Arab Selatan. Dua dari keturunannya sangat terkenal yakni Bani Jurhum dan
Bani Ya’rub. Sebagian riwayat mengatakan bahwa kata Arab dinisbatkan pada Ya’rub,
dan Ya’rub merupakan moyang dari Arab Yaman, yang kemudian regenerasi dan
melahirkan Yasyjub. Yasyjub melahirkan Saba yang kemudian berkembang darinya
seluruh kabilah Arab Qahthan.169
Berdasarkan hal itu, bangsa Arab terbagi ke dalam dua ras besar, yaitu Arab
bagian Utara atau disebut juga dengan bangsa Hijaz dan Arab bagian Selatan atau
168 Menurut Philip K. Hitti, istilah Semit berasal dari kata Syem yang tertera pada perjanjianlama (Kitab Kejadian, 10: 1) dengan menggunakan bahasa Latin dalam Vulgate. Menurut al-Iskandaridkk., Sam sendiri adalah nama yang diberikan oleh para sejarawan bagi keturunan Sam bin Nuh. Ras inimencakup etnik Babilonia, Suriah, Ibrani, Poenik, Armenia, Habsyi, Saba dan Arab, Sebenarnya para ahlisejarah masih berbeda pendapat tentang keturunan Sam ini, sebagaimana mereka juga berbeda pendapattentang di mana letak geografi sesungguhnya dari masing-masing ras tersebut sebelum mereka terpisah-pisah. Sebagian berpendapat bahwa mereka pertama kali tinggal di wilayah Asia. Asia sendiri masihdiperselisihkan apakah yang dimaksud adalah jazirah Arab, Armenia, ataukah di bagian paling bawahEuphrat. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa mereka berdomisili di Afrika lalu berimigran ke Asia.Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10, lihat juga Muhammad ‘Ali al-Shabbah,‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 7
169 Tim penulis (Lajnah), al-Mâjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi; al-Adab al-Jâhili,(Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 9
55
disebut dengan bangsa Yaman. Arab bagian Utara biasanya disebut juga dengan kaum
Adnan karena mereka –sebagaimana disebutkan para genealogis- berasal dari keturunan
Adnan, dan Adnan keturunan Ismail bin Ibrahim as. Selain itu dinamakan juga dengan
Arab musta’ribah170 (Arabist), karena Ismail bukan keturunan asli bangsa Arab dan
bahasanya pun bukan bahasa Arab original. Ia mulai berbahasa Arab pada saat
melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Hijaz dan menikahi keturunan Jurhum yang
berasal dari Kabilah Yamâniyah, lalu mempelajari bahasa mereka dan berkomunikasi
dengan bahasa mereka.171
Adapun Arab bagian Selatan dinamakan dengan kaum Qahthan. Hal ini
berdasarkan keterangan para geneologis yang menyebutkan bahwa Arab Yaman
seluruhnya berasal dari keturunan Qahthan, dan mereka juga menyebutnya dengan
‘Arab Âribah’(Arab murni), karena bahasa Arab pada dasarnya adalah bahasa asli dan
alat komunikasi mereka.172
Secara garis besar dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bangsa Arab berasal
dari dua ras besar yakni keturunan Adnan dan Qahthan. Kaum Adnan kemudian terbagi
menjadi dua cabang besar, yaitu: Rabi’ah dan Mudhar, dan dari keduanya lahir kabilah-
kabilah.
Antara kedua suku tersebut yakni Rabî’ah dan Mudhar terjadi permusuhan yang
sangat tajam selama berabad-abad lamanya, sampai-sampai suku Rabî’ah mengadakan
persekutuan dengan Yaman demi mengalahkan suku Mudhar.
Kelompok ini dinamakan Bani Adnan dinisbatkan pada ‘Adnan bin Udad. Dari
‘Adnan lahir ‘Akk dan Ma’add. Dari Ma’add lahir delapan orang anak dan yang paling
terkenal adalah Nizâr. Dari Nizâr lahir Iyâd, Anmâr, Rabî’ah dan Mudhar. Dari Rabî’ah
lahir di antaranya Dhabî’ah dan Asad. Dari Asad lahir di antaranya Wâ’il bin Qâsith,
dari Wa’il lahir Bakr dan Taghlib. Sedangkan dari Mudhar yang terkenal adalah
Khindif, Qais ‘Ailan. Dari keduanya lahir Ghathfan yang melahirkan ‘Abas, Dzubyan,
170 Orang di luar Arab yang masuk ke dalam lingkungan Arab atau disebut Arab keturunan.171 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10172 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10, lihat juga Muhammad ‘Ali al-
Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 10
56
Tamim, Hudzail, dan Kinanah. Dari Kinanah inilah lahir suku Quraisy. Suku Yaman dan
Qahthan pun terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Kahlan dan Himyar.
Semua suku tersebut menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi,
baik lisan maupun tulisan. Bahasa Arab merupakan salah satu cabang bahasa Semit
(Sâmiyah). Menurut penulis al-Mufashshal dinamakan bahasa Semit untuk
membedakannya dari bahasa Hamiyah dan Ariyah.173
Berdasarkan ras di atas, bahasa Arab secara garis besar terbagi dua bagian, yaitu
bahasa Arab Selatan yang terdapat di Yaman dan bahasa Arab Utara yaitu yang terdapat
di Hijâz. Bahasa Arab Selatan meliputi bahasa Saba dan Himyar, namun untuk
memudahkan biasanya mereka cukup menyebutnya dengan bahasa Himyar. Bahasa ini
dianggap lebih dulu eksis dibandingkan dengan bahasa Utara. Fakta adanya bahasa ini
ditemukan pertama kali di Yaman melalui prasasti yang bertuliskan bahasa Himyar
tahun 80 SM dengan tulisan (khat) Musnad. Bahasa Himyar memiliki huruf yang
berbeda dengan bahasa Arab yang selama ini dikenal. Bangsa Yaman menggunakan
bahasa ini sebagai alat komunikasi baik lisan maupun tulisan hingga kedatangan
Islam.174
Karena bahasa-bahasa Semit berasal dari satu rumpun –sebagaimana
diperkirakan- banyak di antara lafaz-lafaznya yang sama, atau terkadang hanya berbeda
sedikit saja, seperti yang terdapat dalam bahasa Ibrani (Ibriyah) dan Arab. Sebagian
lafaz yang menggunakan syin dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan
sin, sedangkan alîf yang ada dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan
waw. Kata salâm dalam bahasa Arab menjadi syalûm dalam bahasa Ibrani, dan tsa
menjadi syin, sehingga kata tsaur menjadi syaur. Sedangkan yang di dalam bahasa Arab
menggunakan dlad, di dalam bahasa Ibrani menggunakan shad, seperti ardh menjadi
arsh, dan lain sebagainya. Akibat kedekatan genetik tersebut terjadi asimilasi antar
bahasa. Maka oleh karena berdekatan dan sering berinteraksi, penduduk Yaman
173 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 15174 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 15,
lihat juga Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, (Jakarta: Kuliyyah al-Adab waal-‘Ulum al-Insaniyah Jami’ah Syarif Hidayatullah, 2005), hal. 15
57
terpengaruh oleh bahasa Habsyi, seperti halnya penduduk Hijaz terpengaruh oleh
bahasa Ibrani.175
Bahasa Semit memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dari
bahasa lainnya, seperti; tulisannya yang bersifat limited yaitu hanya berupa huruf tanpa
harakat, tanpa fathah, kasrah ataupun dhammah, seperti yang terdapat dalam bahasa
Aria. Selain itu bahasa Arab juga memiliki jumlah huruf yang lebih banyak
dibandingkan dengan bahasa Aria, selain memiliki bentuk derivasi (isytiqâq) yang lebih
banyak. Namun demikian, bahasa-bahasa Semit tersebut memiliki persamaan dalam
gaya bahasa, struktur kalimat, dan kosakata yang berhubungan dengan anggota badan
dan kata ganti orang (dhamîr).176
Bahasa Arab itu sendiri terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu bahasa Arab
Yaman yang ada di sebelah Selatan, dan bahasa Arab Hijaz yang terdapat di Utara.
Bahasa Selatan (Yaman) meliputi bahasa Saba dan Himyar. Untuk mempermudah
penyebutan mereka cukup menyebutnya dengan bahasa Himyar. Bahasa Himyar
dianggap lebih dulu keberadaannya dibanding bahasa Utara (Hijaz). Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya lukisan yang bertuliskan bahasa Himyar. Bahasa Himyar
memiliki huruf-huruf yang berbeda dengan bahasa Arab yang kita kenal sekarang.
Selain itu ia juga memiliki pola tanwîn, jama’mudzakar salîm, adât ma’rifah, dan lain
sebagainya yang berbeda dengan bahasa Arab Hijaz. Contoh lainnya adalah adanya
perbedaan pada huruf-huruf kata, seperti, hamzah pada kata af’ala (أفعل) di sebagian
bahasa Himyar menggunakan ha (هـ). Keberadaan bahasa Himyar dan Saba ini
diketahui melalui hasil penemuan para ilmuwan modern yang diperoleh dari hasil
tulisan dan tempat tinggal mereka, sehingga diketahui struktur bahasa masing-masing.177
Adapun bahasa Utara (Hijaz) merupakan bahasa kabilah Adnan. Bahasa ini lebih
muda keberadaannya dibandingkan bahasa Himyar. Perlu diketahui bahwa bahasa yang
digunakan dalam syi’ir-syi’ir Arab Jahili yang sampai ke tangan kita menggunakan
bahasa ini. Hal ini diketahui dari ungkapan para penyair yang menyatakan bahwa syair
175 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.15176 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.15177 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.15-16
58
ini berasal dari Rabi’ah atau Mudhar. Sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa
kedua nama tersebut adalah cabang dari Kabilah Adnan. Atau juga yang berasal dari
kabilah-kabilah Yaman yang rihlah ke Utara seperti kabilah Tha’i, Kindah dan
Tanukh.178
Bahasa Arab Adnani –sebagaimana dikemukakan oleh para ahli bahasa Semit-
merupakan cabang bahasa Semit yang tingkat orisinilitas paling dekat dibandingkan
cabang-cabang lainnya. Hal itu disebabkan oleh karena bangsa Arab adalah bangsa yang
tidak banyak terkontaminasi oleh bangsa lainnya, tidak pernah dijajah dan diperintah
bangsa lain seperti yang terjadi pada bangsa-bangsa Semit lainnya, seperti kaum Ibrani,
Babilonia, dan Assyiria. Bangsa Arab dilindungi oleh gurun pasir dari serbuan musuh
dan penjajahan bangsa asing, sehingga bahasa mereka pun tetap terjaga tanpa banyak
dipengaruhi bahasa asing lainnya.
Bahasa Arab juga dianggap sebagai bahasa Semit yang sangat progresif, karena
memiliki karakteristik yang fleksibel, derivatif, dan kaya akan makna. Mereka tidak
hanya membuat satu kata untuk satu makna, namun banyak kata. Mereka ciptakan kata
baru setiap mendapatkan makna baru. Kondisi seperti ini dilegitimasi dan
dikembangkan dengan diturunkannya al-Qur’an al-Karim, yang kemudian eksistensinya
mulai meluas ke seluruh penjuru dunia.179
Berkaitan dengan tulisan, berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ditemukan,
maupun argumentasi-argumentasi logis pada masa kenabian, maka bisa dipastikan
bahwa pada dasarnya bangsa Arab Jahili telah mengenal tulisan secara baik.180 Untuk
mendukung pendapat tersebut, penulis kemukakan syair berikut ini:
178 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.16179 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal.16180 Ada tiga pendapat tentang asal usul tulisan Arab, pertama berpendapat bahwa tulisan
tersebut didapat secara tauqifi (wahyu Ilahi) yang diajarkan langsung oleh Allah pada Adam as. lalumengenai Nabi isma`il as., setelah terjadinya bencana yang menenggelamkan kaum Nuh. Ibn Fâris, al-Shâhibi, hal. 7. kedua berpendapat bahwa bahasa Arab merupakan hasil kreativitas bangsa Arab, namunia juga dipengaruhi oleh tulisan kerajaan Hîrah, Hîrah mengadopsi dari Anbar, dan Anbar dari Yaman. Halini berarti bahasa Arab diadopsi dari bahasa Arab `Aribah yang penduduknya eksodus ke negeri Adnan.Ibn Nadm, al-Fahrasât, hal. 6-7. Pendapat terakhir yang diusung oleh kaum orientalis adalah bahwabahasa Arab adalah pecahan dari Khath Arami dan khat Nabathi. Nâshir al-Dîn al-Asad, Mashâdir al-syi`r al-Jâhili wa Qîmatuhâ al-Târikhiyyah, (Beirut: Dâr al-Jail, 1988), hal. 24
59
أعطكمأبا منذر! كانت غرورا صحيفتى ولم
181بالطوع مالى ول عرضى
Wahai Abu Mundzir, suratku ini adalah bukti penipuanDan aku tak akan menuruti perintah kalian, tidak dengan harta maupun kehormatanku
Syair ini digubah oleh Tharfah ibn al-`Abd dan ditujukan kepada `Amr ibn Hind
yang bergelar Abu Mundzir. Shahîfah yang terdapat dalam syair tersebut adalah surat
yang dititipkan Abu Mundzir pada Tharfah untuk Mak`abar Abu Karb Rabi’ah ibn al-
Harits, pemimpin salah satu wilayah kekuasaannya yang terletak di Bahrain. Di dalam
surat tersebut, Abu Mundzir menyuruh bawahannya tersebut untuk membunuh Tharfah
setibanya di tempat. Tharfah mengetahui isi surat tersebut dan membuat syair yang ia
tujukan kepada ibn Mundzir yang salah satu baitnya tertulis di atas.
Dari bukti tersebut, maka dapat dipastikan bahwa tulisan pada masa Jahiliyah
telah dikenal luas terutama di kalangan kerajaan.
D. Sistem Sosial Politik Bangsa Arab Jahiliyah
Di sisi lain, masyarakat Arab Jahili memiliki dua struktur sosial yang sangat
kontradiktif satu sama lain. Pertama penduduk perkotaan (hadhari) yang hidup
menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan, kurang memiliki
keberanian, dan lebih mencintai kekayaan, mereka terutama penduduk Yaman yang
menurut sejarawan lebih suka bersenang-senang dan berpoya-poya, bangga
menggunakan kain sutra, makan di piring emas dan perak, yang biasa mereka peroleh
dari hasil berbisnis dan pertanian.182 Bangsa Arab Yaman pada dasarnya adalah
masyarakat holtikultural yaitu masyarakat yang sudah menetap dan menggunakan
sistem bercocok tanam di ladang.
Kedua adalah masyarakat nomaden (badawi), yang memiliki kehidupan
sebaliknya, mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak
181 Mahdi Muhammad Nâshir al-Dîn, Dîwan Tharfah ibn al-`Abd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1407 H/1987 M), hal. 53
182 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24
60
pernah lepas dari gejolak. Hal itu disebabkan oleh karena kondisi tanah Arab yang
tandus, tidak ada mata air maupun sungai yang mengalir, sehingga tidak cocok untuk
bercocok tanam. Kondisi seperti ini memaksa penduduk Arab Badawi untuk selalu
mencari sungai-sungai dan daerah-daerah yang dicurahi hujan yang terdapat di gurun
pasir, yang banyak ditumbuhi rerumputan, sehingga pada saat menemukan tempat
seperti itu, seluruh kabilah keluar untuk mendapatkannya. Bila sudah habis, mereka
mulai mencari tempat lain sebagai penggantinya. Kondisi seperti ini banyak
digambarkan dalam syair-syair Arab Jahili. Para penyair banyak menyenandungkan
tentang tumbuh-tumbuhan, musim semi, rerumputan, dan bunga, yang mampu
membakar semangat bagaikan rasa panas yang menyengat.183
Kondisi seperti itu mengharuskan mereka untuk selalu membangun
perkemahan-perkemahan sebagai tempat tinggal sementara yang selalu mereka bawa
setiap berpindah tempat. Kemah-kemah tersebut biasanya terbuat dari bulu unta dan
kambing. Dalam syair Jahili, tema tentang kemah menjadi topik yang banyak
dibicarakan, seperti pada saat mereka menangisi bakas-bekas yang mereka tinggalkan
atau puing-puing yang memberikan mereka kenangan.184
Karena mereka selalu berpindah-pindah tempat, maka unta merupakan tonggak
kehidupan bangsa Arab Badawi, baik sebagai kendaraan maupun untuk dikonsumsi
susunya. Mereka dalam istilah sosiologi termasuk dalam kategori masyarakat pastoral,
yaitu masyarakat yang menggembala sekawanan binatang ternak.185 Unta termasuk
binatang yang paling tahan haus dan lapar, untuk itu dibandingkan binatang lainnya,
unta memiliki makna tersendiri bagi bangsa Arab, karena selain digunakan sebagai
183 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24. Menurut K.Hitti, pada dasarnya tidak ada garis tegasyang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban, sebab selalu ada tahapan seminomadendan tahapan semi urban. Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan orang-orang Baduimenyangkal asal usul nomaden mereka, sementara di sisi lain, beberapa kelompok Badui lainnyaberusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Sehingga dengan demikian, darah orang-orang perkotaanterus mendapat penyegaran dari darah-darah orang nomad. Philip K. Hitti, History of the Arabs,(terjemah), hal. 28
184 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24
185 Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1,hal. 39
61
kendaraan, unta juga digunakan untuk aktivitas kehidupan mereka sehari-hari lainnya,
seperti untuk menebus tawanan, membayar diyat dalam kasus pembunuhan, dijadikan
sebagai mahar perkawinan, dan lain sebagainnya. Untuk itu bangsa Arab dalam syair-
syairnya juga banyak berbicara tentang unta, perjalanan bersamanya,
menggembalakannya, atau juga tentang kesetiaannya. Selain unta mereka juga memiliki
kuda, hanya saja hewan ini jarang dimiliki karena termasuk kendaraan mewah yang
mungkin hanya bisa dimiliki oleh kaum bangsawan saja. Untuk itu wacana tentang kuda
tidak banyak didapati dalam bahasa dan sastra Arab, seperti halnya wacana unta.186
Masyarakat pastoral biasanya tetap hidup secara nomadik, sementara masyarakat
holtikultural menjalani kehidupannya dengan cara menetap.187
Selain sistem sosial hadlari dan badawi, sistem sosial lainnya yang tidak kalah
penting dalam struktur sosial bangsa Arab adalah sistem kabilah. Kabilah adalah
kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah
merupakan keluarga besar yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang
sama.188 Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rubai’ah, Mudhar,
Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul
generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan
hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah.
Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh,
kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah
Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilahnya pada ayah.189
Terkadang pemimpin kabilah memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul
darinya kabilah-kabilah baru dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya.
186 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25
187 Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1,hal. 117
188 Dalam ilmu sosiologi pola hubungan antar masyarakat seperti ini disebut dengan kinship(kekerabatan) yaitu ikatan sosial di antara individu yang terbentuk karena adanya hubungan perkawinanatau karena adanya pertalian darah melalui garis keturunan.
189 Berdasarkan hal itu maka bangsa Arab Jahili pada dasarnya merupakan sebuah bangsapenganut patrialkal murni yaitu sebuah keyakinan bahwa suami atau anak laki-laki tertua adalah penentukebijakan keluarga
62
Kemudian antara kabilah inti dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan
kekerabatan yang erat. Adapun faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam
kabilah adalah popularitas yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena
kepemimpinannya, keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak.190
Di dalam sistem kabilah itu terdiri dari beberapa stratifikasi191, yaitu:
1. Abnâ al-Qabîlah, yaitu anggota kabilah yang memiliki ikatan darah
dan keturunan. Kelompok ini merupakan ujung tonggak suatu kabilah.
2. Abîd, yaitu hamba sahaya yang biasanya sengaja didatangkan dari
Negeri tetangga terutama dari Habasyah.
3. al-Mawâli, yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan termasuk
al-Khulâ`a (orang-orang yang dikeluarkan dari kabilah) seperti kelompok
Sha`âlik yang sangat terkenal.192
Adanya masyarakat hadlari dan badawi, serta stratifikasi sosial dalam kabilah,
memegang peranan penting terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa Arab Jahili,
termasuk cara pandang mereka terhadap kaum perempuan.193
Stratifikasi sosial tersebut sangat mempengaruhi sistem Politik Masyarakat Arab
Jahiliyah.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Bangsa Arab adalah sebuah bangsa
yang berasal dari dua orang keturunan Semit (Sam), yaitu Qahthan dan Ismail atau lebih
dikenal dengan keturunan Adnan. Dari Adnan dan Qahthan selanjutnya terbagi menjadi
beberapa kabilah seperti telah dijelaskan sebelumnnya.
190 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11191 Stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh
perbedaan privilege/property (kekayaan), pertige (kehormatan), dan power (kekuasaan).192 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965), cet. 2,
hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Amru al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9
193 Sistem stratifikasi seperti ini hampir sama dengan sistem stratifikasi kasta yang bersifattertutup dan berdasarkan prestise. Stratifikasi tertutup biasanya membuat sebagian golongan kehilanganhak-hak politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya, seperti halnya yang terjadi pada minoritas kulit putihyang berkuasa karena prestise rasial, di sisi lain mayoritas kulit hitam kehilangan hak-hak politik,ekonomi, dan pendidikan. Sistem seperti ini dikenal dengan istilah apartheid. Lih. Amin Nurdin danAhmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Press, 2006), cet. 1, hal. 117
63
Di dalam kabilah terdapat seorang tetua (syaikh) yang diangkat sebagai
pemimpin kabilah. Ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan setiap perbedaan atau
pertikaian yang terjadi dengan berdasarkan kepada adat dan tradisi yang dibuat kabilah.
Pemimpin diangkat berdasarkan kemuliaan dan rasa hormat dari anggota kelompok.
Sedikit sekali yang dibangun dengan berdasarkan pemaksaan dan penindasan. Oleh
karena itu sikap berpura-pura para pemimpin lebih banyak dibanding sikap berpura-
pura anggota terhadap para pemimpinnya. Dalam bingkai sistem seperti ini, kebebasan
individu terhadap sistem kepemimpinan menjadi lebih leluasa. Selain ketua, terdapat
hakim-hakim agung dari kaum pria yang memiliki kecerdasan dan kecermatan.
Terkadang mereka juga dihadapkan pada persoalan pertikaian di dunia sastra, seperti
saling membanggakan keturunan dan lain sebagainya. 194
Setiap kabilah mempunyai penyair tersendiri yang secara khusus
mendendangkan puji-puijian untuk kabilahnya serta menginformasikan sifat-sifat dan
kebaikan yang dimiliki kabilahnya. Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
bahwa hubungan yang terjadi di antara mereka adalah hubungan darah, oleh karena itu
mereka sangat fanatik terhadap kabilah masing-masing, untuk itu mereka selalu memuji
dan membanggakannya serta menyebarkan berbagai kebaikan yang mereka miliki.
Setiap anggota kabilah wajib menjaga anggota kabilah lainnya, dan
mempertahankannya, serta berhak menuntut dengan darahnya. Mereka juga berhak
meminta perlindungan terhadap kabilahnya di saat mengahadapi marabahaya dan
kesulitan. Terkadang di antara anggota kabilah didapati seseorang yang banyak
melakukan kesalahan (dosa-dosa), sehingga menimbulkan berbagai persoalan bagi
kabilahnya. Untuk anggota seperti itu, kabilah segera mengambil tindakan dengan tidak
mengakui lagi sebagai anggota. Anggota kabilah yang mendapat sangsi seperti itu
disebut dengan ‘al-khalî’, atau yang terbuang. Terkadang orang seperti ini meminta
perlindungan kepada kabilah lain, sehingga dinamakan dengan ‘halîf (yang bersekutu)
atau ‘maulâ’ (sekutu).195
194 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11195 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11-12
64
Bila hubungan di dalam kabilah adalah hubungan darah, maka hubungan yang
terjadi antar kabilah biasanya hubungan permusuhan. Kemungkinan yang terjadi antara
kabilah tersebut hanya dua, menyerang atau diserang, kecuali kabilah-kabilah yang
mengadakan perjanjian dan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu kisah peperangan
antar kabilah ini menyita sebagian besar sejarah bangsa Arab, sehingga diriwayatkan
bahwasanya Duraid ibn al-Shamah berusia hingga seratus tahun dan ia mengalami
peperangan sebanyak seratus kali pula. Oleh karena itu pula tema-tema tentang perang,
kemenangan, penyerangan, dan lain sebagainya, mendominasi sebagian besar syair-
syair jahili. Oleh karena itu pula, untuk memahami syair dan peristiwa-peristiwa
bersejarah yang terjadi pada masa Arab Jahili seseorang harus memahami benar
kabilah-kabilah yang ada di wilayah Arab, termasuk semua bentuk permusuhan dan
perjanjian perdamaian antar mereka.196
Tidak adanya stabilitas kehidupan, ketentraman dan keamanan yang selalu
mengancam, kesulitan dan kekurangan yang mengintai, serta rintangan dan tantangan
yang selalu mereka hadapi, maka demi mempertahankan eksistensi kehidupannya,
bangsa Arab Badawi hidup dengan cara saling menyerang dan merampas. Hubungan
yang terjadi antar kabilah adalah hubungan permusuhan dan peperangan, meskipun
terkadang ada angin segar yang menghembuskan perdamaian, sebagaimana terdapat
dalam mu’alaqahnya syair Zuhair ibnu Abi Sulma. Oleh karena itu syair-syair yang
mereka gubah biasanya tidak terlepas dari gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi
antar mereka, seperti menuntut balas, bangga karena menang, memberi julukan pada
senjata-senjata yang digunakan perang, seperti panah, baju besi, dan pedang. Pola hidup
yang seperti ini sangat mempengaruhi karakteristik mereka dan membuat mereka
bangga dengan watak-watak peperangan, seperti kekuatan, keberanian, menepati janji,
dan menjaga harga diri. Hal itu juga menjadikan sebagian dari mereka hobi berburu.197
196 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 12197 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-
Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25
65
Gambaran tersebut adalah gambaran umum bangsa Arab Jahiliyah, namun
demikian gambaran tersebut cenderung pada kehidupan masyarakat Badawi atau
kelompok Bani Adnan. Lalu bagaimana sistem politik bangsa Arab Yaman.
Bangsa Arab Yaman (Selatan) seluruhnya dinasabkan pada Qahthan. Bangsa
Arab Yaman ini pada mulanya terbagi ke dalam beberapa kelompok yang tersebar di
beberapa wilayah. Setiap kelompok menempati sebuah wilayah semacam propinsi yang
disebut dengan “mikhlâf”, yaitu wilayah yang terdiri dari beberapa kota kecil (qura) dan
desa-desa. Setiap mikhlaf dipimpin oleh seorang pemimpin yang mereka sebut dengan
qail. Masing-masing qail tidak ada hubungannya dengan qail-qail lainnya. Terkadang
jika ada qail yang kuat, ia akan menyerang qail lainnya dan mengalahkannya lalu
merampas kekayaannya, dan kembali ke wilayahnya semula sebagaimana kehidupan
badawi lainnya.198
Seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban, atau mungkin juga hasil
seleksi alam siapa yang kuat dia yang menang, di Yaman kemudian muncul sebuah
kerajaan yang dikenal dengan nama Saba’. Kerajaan ini banyak diberitakan baik dalam
Taurat, maupun dalam buku-buku geografi Yunani dan Romawi, bahkan diceritakan
juga dalam al-Qur’an. Kerajaan ini mengalami masa kejayaannya sekitar beberapa abad
sebelum masehi tepatnya pada abad ke-8 sebelum masehi, sebagaimana terdapat dalam
prasasti peninggalan masa itu.199
Selain kerajaan Saba’, di Yaman juga muncul kerajaan Himyar dengan Zhafar
sebagai pusat ibukotanya . Bangsa Himyar pada dasarnya adalah pecahan atau cabang
dari kaum Saba’. Kerajaan ini berlangsung dari akhir abad kedua sebelum Masehi
hingga awal abad keenam Masehi. Kerajaan ini sangat terkenal dengan ekspansi dan
serbuannya ke kerajaan Persia dan Habasyah.200 Kerajaan Himyar di dalam sejarah
dikenal juga dengan sebutan al-Tabâbi’ah (jamak dari Tubba’). Rajanya yang terakhir
198 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 18199 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 18200 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20
66
bernama Dzû Nuwâs seorang Yahudi yang sangat fanatik dan hidup pada masa Jahiliyah
menjelang datangnya Islam.201
Pada masa kepemimpinannya tersebut agama Kristen sudah mulai tersebar di
Jazirah Arab terutama di Nejran. Untuk mengantisipasi tersebarnya agama Kristen lebih
jauh, ia memerintahkan agar mengusir pemeluknya, membakar buku-bukunya, serta
menyiksa para pemeluknya dengan cara dibakar. Dialah yang dimaksud dalam al-
Qur’ân al-Karîm dengan Shâhib al-Ukhdûd.202 Habasyah kemudian menyerang Yaman
(kerajaan Himyar) untuk membantu kaum Nasrani, dan akhirnya Dzû Nuwâs dapat
dikalahkan dan Yaman dikuasai kerajaan Habasyah. Kerajaan mereka pun akhirnya
dihancurkan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 525 M.203
Bila bangsa Arab Selatan yang merupakan keturunan Qahthan dan lebih dikenal
dengan bangsa Yaman sempat memiliki beberapa kerajaan dan sistem pemerintahan
yang permanen, tidak demikian halnya dengan bangsa Arab Utara yang merupakan
keturunan ‘Adnan mereka sama sekali tidak memiliki sistem pemerintahan.
Masyarakat Arab badawi selain berdampingan dengan kerajaan Habasyah di
Yaman dan sekitarnya, juga berdampingan dengan dua kerajaan besar lainnnya, yaitu
kerajaan Romawi yang berkedudukan di Syam dan sekitarnya dan kerajaan Persia di
Irak dan sekitarnya. Untuk itu arus politik mereka tergantung pada angin yang
berhembus, terkadang masuk di bawah kekuasaan Irak, namun terkadang masuk di
bawah kekuasaan Syam sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal itu disebabkan
karena Jazirah Arab saat itu tidak memiliki pemerintahan yang permanen yang bisa
memimpin, mengarahkan, dan menyatukan keanekaragaman mereka. Tidak adanya
pemerintahan yang permanen dalam kehidupan mereka disebabkan banyak faktor, di
antaranya adalah kehidupan mereka yang bersifat kesukuan, persaingan antar suku, dan
senang memamerkan kekuatan satu sama lain, sehingga siapa kuat dia menang dan pada
akhirnya timbul dendam yang berkepanjangan.204
201 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20, lih. Juga Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, hal. 20
202 Nabilah Lubis, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 20203 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 20-21204 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, , hal. 26
67
Meskipun demikian, beberapa kabilah yang berada di sekitar Hijaz memiliki
sebuah pemerintahan kecil, yang dikenal dengan pemerintahan Quraisy. Pemerintahan
ini berfungsi untuk mengatur pemeliharaan Masjid al-Haram, menjaga berhala dan
patung mereka, mengatur ibadah haji, serta menjaga Baitullah. Hanya saja pemerintahan
ini tidak terlalu kuat untuk dapat mempengaruhi kehidupan bangsa Arab. Bahkan
ketidakberdayaannya tersebut tampak nyata pada saat kerajaan Habasyah bermaksud
menyerang dan menghancurkan Ka’bah. Meskipun pada akhirnya peristiwa ini
memberi dampak politik yang positif bagi bangsa Arab, sebab dengan adanya kejadian
tersebut mereka berbondong-bondong menuju al-Haram demi mempertahankan Ka’bah
dari serangan Abrahah.205
Kekuasaan dalam pemerintahan Quraisy yang berada di Mekah ini terbagi
menjadi dua bagian yang pertama bagian yang mengurus masalah keagamaan dan yang
kedua bagian yang mengurus urusan umum (duniawi).
E. Kontak bangsa Arab dengan bangsa asing
Pada saat membahas kontak bangsa Arab dengan bangsa lainnya, maka
pembahasan tidak bisa dilepaskan dari tiga kerajaan kecil (imârah), yang terletak di
wilayah Utara dan Tengah, yaitu; kerajaan Ghassan yang merupakan aliansi dari
Binzantium (Romawi), kerajaan Manâdzirah/Lakhmi (Hirah) di Irak yang merupakan
protektorat kerajaan Persia, serta kerajaan Kindah yang merupakan protetorat kerajaan
Himyar di Yaman.206
Bangsa Arab kontak dengan bangsa asing melalui berbagai cara, pertama,
melalui jalur perdagangan, terutama bangsa Yaman dan suku Quraisy di Mekah. Bangsa
Yaman telah lama mengenal sistem perdagangan, mereka mengangkut hasil pertanian
dari Hadramaut dan Zhaffar, dan menyalurkan produk-produk India ke Syam dan Mesir.
Dari India, mereka biasanya mengangkut emas, batu mulia, kayu cendana, rempah-
rempah, dan bahan-bahan pewangi. Selain itu mereka juga mengangkut minyak wangi,
kayu hitam, dan emas dari pinggir kota Afrika. Di samping itu, mereka juga menjual
205 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, , hal. 26206 Muhammad Ridla Marawwah, Imru al-Qais; al-Malik al-Dlalil, hal. 7
68
hasil produksi negerinya seperti kemenyan dan minyak wangi, serta mutiara yang
mereka datangkan dari Bahrain. Begitulah bangsa Yaman berinteraksi dengan bangsa
lain yang ada di sekitarnya.207
Pada saat perekonomian Arab Yaman mengalami kemunduran, posisi tersebut
diambil alih oleh Arab Hijaz. Hal ini terjadi pada abad ke-6 Masehi. Kabilah Quraisy
pun akhirnya mengambil alih jalur perdagangan tersebut, mereka mulai membeli
barang-barang dari Yaman dan Habasyah, lalu menjualnya kembali di pasar-pasar yang
ada di Mesir dan Syam. Pada saat permusuhan antara Romawi dan Persia semakin
memuncak – menjelang datangnya Islam- Mekah telah menjadi pusat perdagangan yang
besar. Pada saat itu roda pemerintahan bangsa Romawi sangat mengandalkan hasil
perniagaan kerajaan hingga hal-hal yang menyangkut persoalan kemewahan. Kaum
Quraisy memiliki dua corak perniagaan, yaitu perjalanan musim dingin ke negeri
Yaman dan perjalanan musim panas ke Syam. Kaum Quraisy selalu merasa nyaman dan
aman dalam melakukan perjalanan niaganya, hal ini disebabkan karena kaum Quraisy
sebagai ahl al-harâm (keluarga Bait al-Haram) dan penjaga Ka’bah merupakan kabilah
yang sangat dihormati oleh bangsa Arab.208
Perdagangan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kontak bangsa Arab
dengan bangsa asing di sekitarnya. Dari sinilah, para pedagang Arab akhirnya banyak
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan urusan kerajaan dan pemerintahan. Untuk
itu, selain membawa barang dagangan, mereka juga kembali dengan membawa bahasa
asing seperti Persia, Romawi, Mesir, dan Habasyah yang kemudian diserap ke dalam
bahasa Arab dan disesuaikan dengan kaidahnya.209
Kedua, kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar perbatasan merupakan faktor
kedua terjadinya kontak bangsa Arab dengan bangsa asing, seperti kerajaan Lakhmi di
Hirah yang bertetangga dengan Persia dan kerajaan Gassan di Syam yang
berdampingan dengan Romawi. Kedua kerajaan tersebut (Lakhmi dan Gassan) menurut
para geneolog adalah keturunan bangsa Yaman.210
207 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25208 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25209 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25210 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 25-26
69
Dibangunnya kedua kerajaan tersebut bukan tanpa alasan. Sebagaimana
diketahui bahwa kerajaan Persia dan Romawi berbatasan dengan bangsa Arab. Bangsa
Arab ini selalu mengancam kedua kerajaan tersebut dengan peperangan yang dirancang
secara teratur, tiba-tiba menyerang, lalu merampas dan kembali. Tidak mudah bagi
kedua kerajaan tersebut menghadapi serangan-serangan bangsa Arab yang seperti itu
dan menaklukkannya, karena sulitnya perjalanan di atas gurun pasir. Selain itu kedua
kerajaan tersebut tidak tertarik untuk menaklukkannya, karena di dalamnya tidak ada
kekayaan yang menarik yang menguntungkan bagi mereka. Untuk itu, mereka
beranggapan bahwa dengan membangun kerajaan Arab di perbatasan akan dapat
menghalangi kedua kerajaan tersebut dari serangan-serangan mereka dan akan aman
dari tipu dayanya, lalu membuat perjanjian dengan kabilah-kabilah di sekitarnya. Untuk
itulah kemudian Persia membangun kerajaan Hirah, dan Romawi membangun kerajaan
Gassan.211
Kerajaan Hirah terletak sekitar tiga mil dari Kufah, di ujung kota Irak. Irak pada
masa pemerintahan kerajaan Lakhmi merupakan kota yang sangat ramai. Di sana
terdapat istana-istana yang megah. Kota ini terkenal dengan udaranya yang sejuk,
karena dekat dengan padang pasir. Raja pertama yang menduduki tahta kerajaan
Lakhmi di Hirah adalah Umar ibn ‘Addi sekitar tahun 268 M pada masa Sabur ibn
Ordesyir pertama. Kerajaan ini bertahan hingga tahun 633 M, berakhir dengan
penaklukan Khâlid ibn al-Walîd.212
Raja Hirah didukung oleh raja-raja Persia dari kabilah Lakhm. Kerajaan Lakhmi
bersifat semi independen, sebab sistem pemerintahan Persia mirip dengan system
feodalisme. Kerajaan Arab Hirah dalam hal ini dijadikan sebagai connecting link
(penghubung) antara Persia dan bangsa Arab Jazirah, menghubungkan perdagangan
antara keduanya, memperkenalkan Persia dengan segala kebudayaannya, serta
menceritakan informasi dan kisah-kisah tentang mereka. Dan hal ini menjadikan sastra
Arab sangat terpengaruh oleh segala hal yang berkaitan dengan kerajaan Hirah. Salah
seorang raja Hirah yang sangat terkenal adalah al-Nu’mân kelima, suami dari Hindun
211 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26212 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26
70
yang bergelar Abu Qabûs yang banyak dipuji oleh al-Nâbighah al-Dzubyâni dalam
syair-syairnya. Bangsa Arab banyak membicarakan tentang al-Khawarnaq dan al-Sadir,
keduanya adalah istana yang mirip benteng yang terletak di dekat kerajaan Hirah,
sebagaimana mereka juga sering membicarakan tentang Sinimar arsitek dari istana al-
Khawarnaq, yang kemudian dijadikan sebagai perumpamaan oleh bangsa Arab. Mereka
juga mengenal dua hari al-Nu’man (gelar raja Hirah), yaitu hari keberuntungan dan hari
sial, sebagaimana bangsa Hirah juga yang mengajarkan suku Quraisy untuk berbuat
zindik (ingkar terhadap agama) pada masa Jahiliyah, di samping mereka pula yang
mengajarkan Tulisan pada masa awal Islam.213
Penyair yang terkenal dari Hirah adalah ‘Addi ibn Zaid al-‘Ibadi yang
dinasabkan pada ‘Ibad, salah satu kabilah yang ada di Hirah yang menyebarkan agama
Nasrani.
Jika Persia mendirikan kerajaan Hirah, Romawi mendirikan sebuah kerajaan di
perbatasan Syam yang dinamakan dengan kerajaan Gassan. Kekuasaan kerajaan ini
mencakup dua wilayah, yaitu Hauran dan Balqa. Dibandingkan dengan sejarah bangsa
Lakhmi, sejarah kerajaan Gassan lebih kabur lagi, sebab bangsa Persia banyak
merampas sejarah setiap wilayah yang berdekatan dengannya. Namun dari ungkapan
para penyair terkadang disebutkan bahwa ibukota kerajaan ini adalah Joulan atau
Jayyah, namun terkadang mereka menyebutkan nama Jilq sebuah wilayah dekat
Damaskus.214
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-enam Masehi. Pada
abad ini, al-Harits II yakni Ibnu Jabalah dari kerajaan Gassan, dan Ibn al-Mundzir III
yakni Ibn Mâ’ al-Sama’ dari Hirah (Alamundarus, w. 554 M) mendominasi sejarah
Arab. Al-Harits yang dijuluki dengan al-A’raj (si cacat) oleh para sejarawan Arab adalah
nama pertama yang otentik dan hingga kini dianggap nama yang paling terkenal dalam
catatan sejarah Jafna. Sebagai hadiah atas keberhasilannya mengalahkan musuh
besarnya dari kerajaan Lakhmi (al-Mundzir III), Justine melantiknya (529) sebagai
penguasa atas seluruh suku Arab di Suriah dan mengangkatnya sebagai patrik dan raja
213 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 26-27214 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 27
71
kecil (jabatan tertinggi setelah raja), yang dalam bahasa Arab gelar ini sederajat dengan
malik.215
Jika kerajaan Gassan menjadi sekutu dan protektorat Binzantium (Romawi) dan
kerajaan Lakhmi menjadi sekutu Persia, kerajaan Kindah yang terletak di bagian tengah
Arab, menjalin hubungan politik dengan kerajaan Tubba’, kerajaan terakhir di Yaman.
Kerajaan Kindah dipimpin seorang raja yang bergelar malik. Kindah satu-satunya
kerajaan yang menggunakan gelar malik untuk para penguasanya, biasanya gelar malik
digunakan oleh bangsa Arab untuk para penguasa asing.216
Meskipun berasal dari Arab Selatan dan –menjelang masa kelahiran Islam-
mendiami kawasan sebelah barat Hadramaut, bangsa Kindah yang kuat itu tidak
disebutkan dalam berbagai tulisan-tulisan Arab Selatan paling awal; mereka pertama
kali disebutkan dalam sejarah pada abad keempat Masehi. Pendirinya yang terkenal,
Hujr, yang dijuluki Akil al-Murar, menurut sebuah riwayat adalah saudara tiri Hassan
ibn Tubba` dari Himyar, dan diangkat olehnya pada 480 M. sebagai penguasa suku-suku
tertentu yang telah ditaklukkan oleh Tubba` di Arab bagian tengah.217 Hujr kemudian
digantikan oleh anaknya, `Amr. Selanjutnya anak `Amr, al-Harits, raja Kindah paling
bengis, menjadi raja yang setelah meninggalnya raja Persia, Qubadz, segera
mengangkat dirinya sebagai penguasa Hirah, yang kemudian (sekitar 529) jatuh ke
tangan al-Mundzir II dari kerajaan Lakhmi. Al-Mundzir menghukum mati al-Harits
(529) beserta sekitar 50 anggota keluarga kerajaan, yang kemudian menjadi pukulan
mematikan terhadap kekuasaan Kindah. Al-Harits mungkin pernah menetap di al-
Anbar, sebuah kota di kawasan Efrat sekitar 40 mil sebelah barat laut Baghdad.218
Sengketa di antara anak-anak al-Harits, yang masing-masing memimpin suku,
mengakibatkan pecahnya konfederasi dan jatuhnya kerajaan itu. Sisa-sisa kekuatan
kerajaan Kindah terpaksa mundur ke pemukiman mereka semula di Hadramaut.
Peristiwa itu menandai berakhirnya salah satu kerajaan pesaing Hirah dalam perebutan
supremasi antara tiga kerajaan di kawasan Arab Utara; pesaing lainnya adalah kerajaan
215 Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terjemah), hal. 97216 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105217 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105218 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 105
72
Gassan. Penyair terkenal, Umru` al-Qays, salah satu penyair emas,219 adalah keturunan
keluarga kerajaan Kindah, yang berkali-kali gagal untuk memperoleh kembali
warisannya. Puisi-puisi bernada pedas, memancarkan nuansa perlawanan pada kerajaan
Lakhmi. Dalam rangka mencari bantuan, ia pergi ke Konstantinopel, berharap
memperoleh simpati Justine, musuh Hirah. Dalam perjalanan pulang, demikian menurut
riwayat, ia di racun (sekitar 540) di Ankara oleh seorang utusan kaisar.220
Pada awal Islam, sejumlah orang Kindah memiliki peran penting. Salah seorang
yang paling penting di antara mereka adalah al-Asy`ats ibn Qays, seorang pemimpin
suku Hadramaut yang kondang pada masa penaklukan Suriah dan Irak. Berkat jasa-
jasanya ia diangkat sebagai gubernur di salah satu provinsi Persia. Keturunan al-Asy`ats
menduduki jabatan penting pada pemerintahan Dinasti Umayah di Suriah. Al-
Muqanna`,221 seorang Khurasan yang mengaku nabi, dan inkarnasi dewa, serta selama
bertahun-tahun menentang khalifah Abbasiyah, al-Mahdi, kemungkinan adalah orang
Persia, bukan orang Kindah. Selain itu, suku ini juga melahirkan seorang filsuf Arab
paling awal yaitu Ya`kub ibn Ishaq al-Kindi.222 Pada 1962, satu millenium kelahirannya
diperingati di Baghdad.
Kemunculan Kindah dianggap menarik tidak hanya karena sejarahnya sendiri,
tetapi juga menggambarkan upaya pertama orang-orang Arab untuk menyatukan
sejumlah suku ke dalam sebuah kepemimpinan tunggal yang terpusat. Dengan
demikian, pengalaman itu menjadi contoh bagi Hijaz dan Muhammad.
F. Tradisi Perang (Ayyâm al-Arab)
Menurut Philip K. Hitti, salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab
menjelang kelahiran agama Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan Ayyâm al-
Arab. Ayyâm al-Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi
orang-orang Badui yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah
menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat ayyâm al-Arab itulah
219 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 106220 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 106.221 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 107.222 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 107.
73
pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan
mereka.223
Perang bagi bangsa Arab Jahili adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar
kabilah. Tercatat dalam sejarah mereka bermacam-macam perang yang dipicu oleh
berbagai faktor. Untuk itu, sebelum datangnya Islam, perang merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat Arab Jahili. Diriwayatkan bahwa, Duraid yang berumur hingga
seratus tahun menyatakan bahwa ia ikut berperang sebanyak hampir seratus kali pula.
Perang telah menyita separuh dari hidupnya. Setiap tahun ia ikut berperang sebanyak
dua kali.224 Namun demikian, dalam bulan-bulan tertentu yang dianggap suci mereka
menghentikan peperangan, meski terkadang kesepakatan ini mereka langgar sendiri.225
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa bangsa Adnan terbagi menjadi
beberapa kelompok yang disebut kabilah. Kabilah terbesar adalah cabang dari Rabî’ah
dan Mudhar. Kabilah Rabî’ah dan Mudhar adalah dua kabilah terkuat sepanjang dua
abad terakhir sebelum datangnya Islam. Antara kedua kabilah besar ini terjadi
perseteruan yang berkepanjangan. Perseteruan tersebut bisa terjadi antara kabilah
Rabi’ah dan Mudhar atau pun sesama cabang kabilah, baik dalam rumpun kabilah yang
sama atau pun berbeda.226
Perang Basus adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi di
Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini terjadi antara Kabilah Bakr dan
Taghlib227, dua kabilah besar dalam rumpun Rabi’ah. Perang ini berlangsung hampir
empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi. Adapun faktor penyebab
perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka Bani Taghlib karena
kebesarannya, ia memiliki sebuah tempat terlarang (himâ) yang disebut dengan
223 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 110224 Sebagaimana dikutip oleh K. Hitti dari Charles James Lyall, Ancient Arabian Poetry,
(London: William & Norgate, 1985), hal. xxii225 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition, (Kuala Lumpur: Utusan Publications
& Distributors SDN. BHD, 1982), hal. 7226 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22227 Taghlib ibn Wâ’il adalah anak keturunan dari Rabi’ah dari Adnan. Ia adalah saudara
kandung dari Bakr. Di antara penyair kabilah Taghlib yang sangat terkenal adalah al-Muhalhil, Amr ibnKultsum dan al-Akhthal. Kabilah ini menganut agama Nasrani. Ferdinand, Al-Munjid fi al-Lughah waal-‘Alâm, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), hal. 177
74
al-‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya. Tidak seorang pun diperbolehkan
minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api dari apinya. Kulaib menikahi
seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang keturunan Bâkr. Basûs bibi dari
Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor onta yang diberi nama Sarâbi. Pada
suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat onta tersebut berada di himânya dan
menghancurkan telur burung merpati yang telah ia selamatkan. Lalu ia pun melepaskan
anak panahnya tepat di susu onta tersebut. Pada saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia
meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak itu perang antara kedua kabilah tersebut
terus berkecamuk, sehingga menjadi legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa
tersebut dijadikan sebuah perumpamaan.228
Selain perang-perang tersebut, masih banyak perang-perang lainnya yang terjadi
di dalam kabilah Rabi’ah dan Mudlar, atau antara Tamim (Mudlar) dan Bakr ibn Wa’il
(Rabi’ah). Perang tersebut saling bergantian, sehari untuk kabilah Tamim dan hari
lainnya untuk kabilah Bakr. Peperangan yang terjadi di dalam kabilah-kabilah Arab ini
didokumentasikan dalam buku-buku sejarah dan sastra, dan banyak cerita yang dilebih-
lebihkan. Dalam sastra Arab Jahili, kisah tentang perang mendominasi tema-tema yang
terdapat dalam syair.229
Selain perang Basus, perang yang sangat terkenal lainnya adalah perang Dâhis
wa al- Ghabrâ’, yakni peristiwa peperangan yang terjadi dalam kabilah Mudlar, antara
Bani ‘Abs dan Dzubyân. Faktor penyebabnya adalah Qais ibn Zuhair bertaruh dengan
Hudzaifah ibn Badr al-Fazari dalam sebuah perlombaan semacam pacuan kuda. Al-
Fazari melepaskan kudanya yang bernama al- Ghabrâ’, sedangkan al-‘Absi melepaskan
kudanya yang bernama Dâhis. Pada pertandingan tersebut, Dahis seharusnya
memenangkan perlombaan, kalau saja bukan karena jebakan yang dipasang oleh Bani
Fazarah sebelum mencapai garis finis. Masing-masing pihak akhirnya mengaku sebagai
228 Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi al-syi’r al-Jâhili, (Kairo: Maktabah Gharib, 1981), hal. 200-202, atau lih. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adabal-‘Arabi, hal. 22
229 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 23
75
pemenang, dan sejak itu peperangan antar dua kabilah mulai berlangsung hingga empat
puluh tahun lamanya.230
Selain perang Dâhis wa al- Ghabrâ’, perang lainnya yang terjadi di dalam
kabilah Mudlar adalah perang Fijâr. Perang ini terjadi antara suku Quraisy dengan
Kinanah yang terjadi menjelang lahirnya Islam. Perang ini terjadi selama empat kali,
pertama disebabkan oleh peristiwa saling membangga-banggakan diri antara keduanya
di Pasar Ukazh. Kedua terjadi akibat seorang pemudi Quraisy menyindir perempuan
lain dari Bani ‘Âmir ibn Sha’sha’ah di Pasar Ukazh. Penyebab ketiga masih di Pasar
Ukzh, seseorang menagih hutang dengan disertai hinaan. Penyebab terakhir yaitu bahwa
Urwah al-Rahhal (orang yang biasa bepergian), menjamin barang dagangan al-Nu’man
ibn al-Mundzir tiba di Pasar Ukazh dengan selamat, namun pada kenyataannya di jalan
ia dibunuh oleh al-Barâdl.
G. Konstruksi Ekonomi dan Keilmuan pada Masa Jahiliyah
Kehidupan sosial bangsa Arab Jahiliyah yang terbagi ke dalam masyarakat
perkotaan (hadlari) dan masyarakat pedesaan (badawi), turut mempengaruhi sistem
perekonomian yang mereka jalani. Perekonomian Arab Badawi sangat bergantung pada
pemeliharaan unta, selain dari mengandalkan hasil perang, berburu, dan mengawal
kafilah (rombongan pedagang). Adapun penduduk perkotaan, mata pencaharian mereka
lebih luas. Mereka telah mengenal tiga prinsip dasar ekonomi, yakni: perdagangan
(tijârah), pertanian (zirâ’ah) dan industri/profesi keahlian (shinâah).
Pada saat itu, Yaman adalah negeri yang paling maju dan makmur. Sedangkan
penduduk Arab Utara meskipun kehidupan mereka nomaden dan keras, namun mereka
tidak menghindar dari aktivitas perdagangan. Untuk itu Mekah yang terletak di tengah-
tengah dan menjadi pusat keagamaan, menjadi tempat persinggahan para kafilah yang
berasal dari Syam maupun Yaman dan juga menjadi pasar yang menguntungkan untuk
dijadikan ajang pameran barang dagangan. Suku Quraisy sebagai penduduk asli kota
Mekah sangat terkenal dengan perjalanan niaga mereka. Dalam setahun mereka
memiliki dua macam perjalanan niaga yang dikenal dengan istilah rihlah al-Syitâ’
230 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22-23
76
(perjalanan niaga di waktu musim hujan) dan rihlah al-Shaif (perjalanan niaga di musim
panas). Begitu pula halnya dengan penduduk Madinah, terutama kaum Yahudinya.231
Di Mekah sendiri terdapat beberapa pasar yang biasa diselenggarakan pada
waktu-waktu tertentu. Pasar tersebut biasa digunakan untuk transaksi jual beli dan
demonstrasi puisi. Pasar terbesar adalah Pasar ‘Ukâzh232, Daumat al- Jandal, Dzû Majâz,
dan al-Majnah. Di pasar-pasar tersebut bangsa Arab Hirah biasanya bertransaksi dengan
pedagang Persia atau menawarkan jasa untuk menjadi pengawal kafilah dalam
menghadapi kerasnya gurun pasir.233
Pertanian juga merupakan andalan sebagian penduduk Arab perkotaan bagian
utara seperti, Thaif, Yatsrib, Khaibar, Wadi al-Qura, dan Tîma’. Adapun profesi keahlian
penduduk badawi sangat minim dan terbatas, bahkan menurut Ibnu Khaldun mereka
adalah bangsa yang sangat jauh dari hal-hal seperti itu. Namun meskipun demikian
mereka telah mengenal pandai besi, seni pahat, menjahit dan pandai emas. Hal itu bisa
ditemui di beberapa lokasi yang ramai seperti Mekah, Yatsrib dan Thaif.234
Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa kondisi perekonomian dan
peradaban penduduk Arab Utara secara global tidak sama dengan penduduk Arab
Selatan (Yaman). Faktor penyebabnya adalah tingkat kemakmuran yang sangat berbeda
antara keduanya. Untuk itu, masyarakat Arab Badawi berusaha mengatasi dengan jalan
perang, merampas, menawan, dan memelihara unta dengan sebaik mungkin. Karena
unta bagi penduduk Arab Badawi adalah problem solver yang membantu menyelesaikan
setiap persoalan, seperti digunakan sebagai alat transportasi, dikonsumsi daging dan
susunya, bulunya digunakan untuk membuat pakaian dan membangun kemah-kemah,
menebus tawanan, transaksi jual beli, sebagai mahar perkawinan, membayar diyat serta
untuk membayar utang.235
231 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21232 Pasar Ukazh selain digunakan sebagai tempat transaksi jual beli, ia juga berfungsi sebagai
tempat untuk berorasi dan mendeklamasikan puisi. Tempat ini adalah tempat pertemuan para pembesarArab dalam membicarakan berbagai persoalan mereka. Tidak jauh dari pasar Ukazh terdapat pasar Dzual-Majâz. Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 13
233 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21234 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21-22235 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 22
77
Bebicara tentang kondisi intelektualitas bangsa Arab, pada hakekatnya adalah
hal yang aneh dan mengherankan. Karena konstruksi intelektualitas suatu bangsa erat
kaitannya dengan ilmu dan wawasan yang mereka miliki. Dan hal itu biasanya hanya
dimiliki oleh bangsa yang berperadaban. Menurut Muhammad Hasyim ‘Athiyyah: Para
peneliti memastikan bahwa penduduk Utara dari kerajaan Ghasâsinah, Manâdzirah, dan
penduduk Yaman seperti kerajaan tababi’ah, mereka memiliki peradaban sesuai dengan
kerajaan yang mereka dirikan. Mereka memiliki ilmu arsitektur, pengairan, bangunan-
bangunan, kedokteran, matematika, pertanian, kedokteran hewan, meskipun tidak
banyak peninggalan peradaban tersebut yang dapat disaksikan.
Penulis al-Wasîth fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, menyebutkan beberapa
ilmu yang berkembang di masyarakat Arab Jahili, yaitu:
1. Ilmu Nujum, yaitu ilmu perbintangan yang digunakan
dengan cara mengetahui kondisi bintang pada saat terbit dan terbenam,
warna dan jenisnya, posisi dan hubungannya dengan yang lain, juga pada
saat sendiri maupun berkumpul dengan yang lainnya. Kondisi bintang
tersebut kemudian dihubungkan dengan kondisi negeri saat itu, dari panas
dan dingin, hujan dan angin, ketenangan dan kedamaian, binatang
melahirkan, dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dibandingkan dengan ilmu lainnya, ilmu Nujum adalah ilmu yang paling
menonjol di kalangan masyarakat Arab dan hampir dikuasai oleh semua
orang, namun yang paling terkenal adalah Banu Hâritsah ibn Kalb dan Banu
Murrah ibn Hammâm al-Syaibani.
2. Ilmu kedokteran dan ilmu Kesehatan hewan (al-thibb wa al-
baitharah). Ilmu ini banyak dikuasai oleh bangsa Arab yang mereka peroleh
dari kecerdasan dan eksperimen mereka sendiri atau dari bangsa lainnya. Hal
ini terbukti dengan banyaknya kosakata yang berkaitan dengan dunia
kesehatan seperti nama-nama obat, nama-nama penyakit, nama-nama
anggota tubuh bagian luar maupun dalam, serta bagian masing-masing
anggota tersebut. Mereka terbiasa mengobati pasien dengan ramuan
78
tumbuhan, benda pusaka atau azimat, mantera atau ruqiyyah, bekam, dan
dipanaskan dengan api. Tokoh pengobatan yang paling terkenal adalah al-
Harits ibn Kildah al-Tsaqafi dan Ibnu Hudzaim al-Taimi.
3. Ilmu Nasab (Genealogi), yaitu ilmu yang secara khusus
mempelajari silsilah keluarga atau keturunan dalam kabilah untuk
mengetahui asal usul suatu kabilah. Tujuannya adalah untuk menjaga
fanatisme kabilah, sehingga satu sama lain bias saling membantu dalam
peperangan. Tokoh yang paling terkenal dalam ilmu nasab adalah Daghfal
ibn Hanzhalah al-Syaibâni, Zaid ibn al-Kabsy al-Namari, dan Ibnu Lisân al-
Hummarah.
4. Ilmu sejarah dan kisah, yaitu ilmu yang digunakan untuk
mengetahui hal ihwal orang-orang terdahulu dan peristiwa-peristiwa penting
yang terjadi pada para leluhurnya. Namun, sebagaimana sejarah klasik
lainnya, beritanya terkadang benar namun terkadang hanyalah sebuah
khurafat atau dongeng belaka. Hal ini terbukti dengan banyaknya puisi,
prosa, maupun amtsal yang berbicara tentang hal tersebut. Seperti kisah al-
fîl (gajah) yang sangat terkenal, perang Dâhis dan Ghubarâ, perang Basûs,
kisah hari Dzî Qâr, dan perang Fijâr.
5. Ilmu bumi (geografi). Ilmu ini mereka gunakan untuk
mengetahui kondisi tanah yang subur dan cara mencapainya. Hal ini terlihat
dari syair-syair yang mereka buat yang menceritakan tentang musim hujan,
tumbuhan, puing-puing yang mereka singgahi dan lain sebagainya.
6. Ilmu firasat atau physiognomi, yaitu mencari petunjuk dari
kondisi manusia, bentuk, warna, dan ucapan yang dihubungkan dengan
tingkah lakunya baik yang positif maupun negatif. Bangsa Arab sangat
menyukai ilmu ini, sehingga tidak terhitung jumlahnya yang menguasai ilmu
ini.
7. ilmu qiyafah. Ilmu ini pada dasarnya adalah bagian dari ilmu
firasat, hanya saja lebih mengandalkan kekuatan imajinasi, ingatan dan
79
kecerdasan. Seperti mencari petunjuk dari jejak kaki pemiliknya, atau
mengidentifikasi seseorang dari cirri-ciri yang dimiliki keluarganya.
Tokohnya yang terkenal adalah Bani Mudlaj dan Bani Lahab. Ilmu ini
hingga kini masih bertahan, terutama di Arab Bawadi.
8. Ramalan (kahânah dan ‘arâfah), yaitu mengetahui hal-hal
yang gaib. Kahânah ramalan untuk masa yang akan datang, sedangkan
‘arâfah terawang terhadap hal-hal yang sudah berlalu. Tokoh kahânah yang
terkenal adalah Tharifah al-Khair dan Salma al-Hamdaniyah, sedangkan
tokoh ‘arâfah adalah al-Ablaq al-Asadi dari Najed dan Rabbâh ibn ‘Ajalah
dari Yamamah.
9. al-Jazar, yaitu meramal dengan suara dan gerakan binatang,
atau segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku binatang yang kemudian
dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi dengan kekuatan imajinasi.
Tokoh yang terkenal adalah bani Lahab, Abu Dzuaib al-Hudzaili, dan
Murrah al-Asadi.236
Demikian, sekilas tentang pembahasan kondisi sosiologis bangsa Arab Jahiliyah
yang dimulai dari makna Jahiliyah, latar belakang sosial politik, kondisi keilmuan
mereka. Hal ini perlu diungkapkan di sini sebagai gambaran awal dari kehidupan
bangsa Arab Jahiliyah.
236 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-“Arabi wa Târikhihi,(Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth), hal. 38-41
80
BAB V
SIMBOL-SIMBOL AGAMA DALAM SYAIR JAHILIYAH
Bagi bangsa Arab Jahiliyah, persoalan agama mungkin bukan termasuk
persoalan yang sangat urgen dalam kehidupan mereka, sehingga tidak banyak, atau
bahkan jarang sekali syair-syair Jahiliyah yang berbicara tentang kehidupan beragama.
Kemungkinan lainnya adalah, ajaran agama saat itu belum sampai ke tangan mereka.
Namun demikian, hal ini tidak berarti mereka sama sekali tidak menganut sistem
kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat ghaib, sebab terbukti dalam syair mereka
dijumpai beberapa simbol keagamaan meski dalam bentuk yang paling sederhana.
Namun sebelum membahas lebih lanjut tentang simbol-simbol keagamaan dalam syair
Jahiliyah, terlebih dahulu dibahas tentang kategorisasi syair Jahiliyah. Masing-masing
kategori mewakili struktur sosial yang berkembang di kehidupan masyarakat Arab
Jahiliyah saat itu.
A. Kategorisasi Syair Jahiliyah
Berdasarkan struktur sosial, masyarakat Arab Jahiliyah terbagi ke dalam dua
unsur yang satu sama lain sangat kontradiktif. Pertama penduduk perkotaan (Hadhari)
yang hidup menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan.237
Kedua adalah masyarakat pedesaan (Badawi), yang memiliki kehidupan sebaliknya.
Mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak pernah lepas dari
gejolak.238 Sedangkan secara genealogis239 dan geografis, bangsa Arab terbagi ke dalam
237 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24
238 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24. Menurut K.Hitti, pada dasarnya tidak ada garis tegasyang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban, sebab selalu ada tahapan seminomadendan tahapan semi urban. Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan orang-orang Baduimenyangkal asal usul nomaden mereka, sementara di sisi lain, beberapa kelompok Badui lainnyaberusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Sehingga dengan demikian, darah orang-orang perkotaanterus mendapat penyegaran dari darah-darah orang nomad. Philip K. Hitti, History of the Arabs,(terjemah), hal. 28
239 Genealogis atau ilmu nasab, yaitu Ilmu yang digunakan untuk mengetahui silsilah atauketurunan seseorang.
81
dua ras besar, yaitu Arab bagian Utara yang disebut juga dengan bangsa Hijaz dan Arab
bagian Selatan yang disebut dengan bangsa Yaman. Arab bagian Utara biasanya disebut
juga dengan kaum Adnan karena mereka berasal dari keturunan Adnan, dan Adnan
keturunan Ismail bin Ibrahim as.240 Bangsa Yaman (Arab Selatan) inilah yang oleh
penulis buku ‘Buhûts fi al-Adab al-Jâhili’ dikategorikan sebagai kelompok hadlari
dalam struktur sosial bangsa Arab.241 Sedangkan bangsa Arab Utara (Hijaz) meskipun di
dalamnya terdapat beberapa kerajaan kecil (keturunan Adnan) seperti; kerajaan Gassan
di Syam (protektorat kerajaan Romawi), kerajaan Hirah di Irak (protektorat kerajaan
Persia), dan kerajaan Kindah di Hadlramaut (Arab Tengah), menurut Jurji Zaidan
sebagian besar kabilahnya masih bersifat badawi, kecuali yang berada di pusat-pusat
kerajaan.242 Berdasarkan hal tersebut, maka bisa dipastikan bahwa mayoritas penduduk
Arab Jahili, selain bangsa Yaman adalah masyarakat yang hidup secara nomaden
(badawi).
Penduduk badawi sendiri, oleh sejarawan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Ghair Sha`âlîk dan Sha`âlîk. Pembagian seperti ini terkait erat dengan sistem kabilah
yang mereka anut, yaitu adanya stratifikasi sosial antara satu golongan dengan golongan
lainnya, yang terdiri dari; abnâ’ al-qabîlah243, abîd244, dan al-mawâlî.245 Al-mawâlî
sendiri terdiri dari hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan juga al-Khulâ’â (orang-
orang yang dikeluarkan dari kabilah) yang di antaranya adalah kelompok Sha’alik.246
Berdasarkan kategorisasi-kategorisasi sosiologi di atas, para ahli sastra Arab
akhirnya mengklasifikasikan para penyair Jahili ke dalam beberapa kelompok, sebagai
240 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 10241 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-
Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24242 Keterangan lengkap mengenai ketiga kerajaan tersebut, lih. Jurji Zaidan, Al-‘Arab Qabla al-
Islam, (tp: Dar al-Hilal, tth), hal. 185-248243 Kelas tertinggi dalam struktur kabilah, dan menjadi ujung tombak setiap kabilah. 244 Abîd atau hamba sahaya merupakan kelas paling rendah dalam struktur kabilah, karena
kelompok ini tidak memiliki kemerdekaan dan berhak diperjual belikan, biasanya mereka diimpor darinegeri Habasyah (Ethiopia). Sedangkan dari Arab sendiri, biasanya budak berasal dari hasil tawananperang.
245 Keterangan lengkap lih. bab III, hal. 21246 Syauqi Dlaif, Tarikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jahili, (tp: Dar al-Ma’arif, 1965), cet. 2,
hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Imru al-Qais al-Malik al-Dlalil, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9
82
contoh penulis buku Al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi menyebutkan sebanyak
delapan belas penyair Arab Jahili yang kemudian ia bagi ke dalam enam kategori, yaitu:
penyair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk,
penyair bangsawan, penyair istana atau penyair komersil, penyair filsuf (hikmah),
penyair religi (madzhab), dan penyair perempuan.247 Selain berdasarkan pertimbangan
kandungan syair, tampak jelas bahwa pembagian tersebut juga terutama didasarkan
pada aspek-aspek sosial dan budaya.
Adapun yang dimaksud dengan penyair bangsawan atau Raja, yaitu penyair
yang berasal dari kalangan atas dan keturunan kerajaan, bukan penyair kerajaan yang
biasanya menjadikan syair sebagai alat mencari nafkah. Para ahli sastra biasanya hanya
menyebutkan satu nama untuk kategori ini, yaitu Umru al-Qais248 (500-540 M).
Meskipun kurang representatif249, Umru al-Qais dapat mewakili satu sisi kehidupan
kelompok hadlari. Ia mewakili sisi gelap kehidupan istana yang serba gemerlap dan
hidup bersenang-senang.
Dalam dunia sastra, Umru al-Qais memiliki sejumlah syair yang terangkum
dalam Dîwan Umru al-Qais. Syair-syair Umru al-Qais sendiri banyak yang dijadikan
sebagai syair al-mu’allaqat. Dalam syairnya Umru al-Qais memiliki karakteristik
tersendiri seperti, banyak menggunakan tasybîh, isti’ârah, dan kinâyah250.
Kategori penyair yang kedua adalah penyair Sha’alik. Masyarakat Badawi
merupakan mayoritas penduduk bangsa Arab Jahiliyah. Mereka adalah kabilah yang
247 Karl Brookman, dikutip oleh Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi waTârikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif, 1962), hal. 64
248 Nama lengkapnya adalah Umru al-Qais ibn Hujr ibn al-Harits ibn ‘Amr ibn Hujr Âkil al-Murâr ibn Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar (yang agung) ibn Ya’rab ibn Tsaur ibn Murti’ ibnMu’awiyah ibn Kindah. Sebagian mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun namaUmru al-Qais lebih dikenal di masyarakat baik dulu maupun sekarang. Ia dijuluki dengan al-Malik al-Dlillîl atau raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, AbuZaid, Abu Harits, dan Dzu al-Qurûh.
249 Umru al-Qais -menurut penulis - tidak bisa mewakili cara pandang seluruh unsur kelompokhigh class (kerajaan), karena berdasarkan biografinya, ia termasuk salah seorang raja yang kurang baik,bahkan ia dijuluki sebagai al-Malik al-Dlillil, yaitu raja yang sesat, karena banyak melakukan banyakkesalahan, dan semasa hidupnya selalu dihabiskan untuk bersenang-senang dan berpoya-poya.
250 Kinayah adalah gaya bahasa sejenis kiasan yang tidak menutup kemungkinan untukdiartikan sebagaimana makna aslinya, seperti kata panjang tangan yang dapat diartikan sebagai kebiasaanseseorang yang suka mencuri atau makna yang sesungguhnya yaitu seseorang yang memiliki tangan yangpanjang.
83
biasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya yang dianggap subur
dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kondisi seperti ini menimbulkan fanatisme
kesukuan yang sangat berlebihan, sehingga ketika bersentuhan dengan kabilah lain dan
merasa dirugikan yang terjadi adalah perang antar kabilah. Perang bagi mereka adalah
makanan sehari-hari.
Di antara masyarakat Badawi ini muncul kelompok baru yang disebut dengan
al- Sha’âlîk yang memiliki norma dan aturan tersendiri. Sebagaimana disebutkan dalam
bab tiga sebelumnya bahwa, di suatu kabilah terdiri dari beberapa stratifikasi sosial,
yaitu: abnâ al-qabîlah, yakni anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan
keturunan dan merupakan pilar kabilah, Abîd atau hamba sahaya, al-Mawâlî yaitu
hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan termasuk dalam kelompok ini al-Khulâ`â
yaitu orang-orang yang dikeluarkan atau diusir dari kabilah karena melanggar norma-
norma yang ditetapkan kabilah. Di antara al-Khula’a adalah kelompok Sha’âlîk yang
sangat terkenal.251
Secara terminologi kata Sha’lakah berarti fakir atau kondisi di bawah garis
kemiskinan. Sha’lûk (singular) atau Sha’âlîk (plural) dalam Lisân al-Arab diartikan
sebagai orang-orang fakir yang tidak memiliki harta benda.252 Dalam sejarah sastra Arab
kata Sha’âlîk bukan semata-mata diartikan sebagai orang-orang fakir, namun di
samping itu ia juga memiliki makna tambahan yaitu orang-orang yang fakir namun
memiliki keberanian dan kekuatan yang luar biasa serta perasaan dan fikiran yang
sangat sensitif yang timbul karena faktor perbedaan antara kehidupan mereka yang
sangat miskin di satu sisi dengan orang-orang kaya di sisi lain. Hal inilah yang
kemudian menjadikan mereka berada dalam perasaan sakit dan teraniaya yang tumbuh
karena ketiadaan harta benda dan tidak mampu memperoleh kehidupan yang mereka
impikan.253
251 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’arif, 1965), cet. 2,hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9
252 Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, materi pembahasan -dikutip oleh Yûsuf Khalîf, al ,صعلك Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, (Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth), cet. 2, hal. 21
253 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut: Dâral-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M), cet. 1, hal. 34
84
Penulis buku Dîwan Urwah ibn al-Ward menyebutkan beberapa karekateristik
syair Sha’âlîk, seperti:
1. Dari segi isi, syair Sha’âlîk adalah gambaran dari tingkah laku, sikap dan
kepribadian, serta tendensi mereka.
2. Syair Sha’âlîk menggambarkan aspek psikologis yang dirasakan oleh kaum
Sha’alik
3. Syair Sha’âlîk menggambarkan realitas kehidupan mereka dari aspek
pekerjaan dan perbuatan.
4. Syair mereka terkenal dengan tema tunggal, atau kesatuan tema. Di
dalamnya tidak terdapat muqadimah (pendahuluan syair), seperti ghazal
(rayuan), bukâ’ al-athlal (menangisi puing-puing kenangan), washaf li al-
rahîl (menggambarkan orang yang sedang bepergian), dan lainnya.
5. Mayoritas syair Sha’âlîk berbentuk maqtha`ât (penggalan-penggalan), bukan
qashîdah (rangkaian syair). Hal ini memberi gambaran tentang kehidupan
mereka yang tidak suka bertele-tele, namun lugas sesuai sasaran.
6. Dalam syair Sha’âlîk tidak terdapat ghazal atau rayuan terhadap perempuan.
7. Mayoritas syair yang berbicara tentang perempuan, adalah pembicaraan
suami terhadap istrinya.254
Beberapa penyair Sha’âlîk yang sangat terkenal adalah Ta’abbath Syarran255,
Syanfara256, dan ‘Urwah ibn al-Ward.
Selain penyair sha’alik, kategori yang juga tidak kalah terkenalnya adalah
penyair Badawi Ghair Sha`âlîk. Berdasarkan kategorisasi sosial yang membagi
masyarakat Arab Jahili ke dalam kelompok hadlari (perkotaan) dan badawi (nomaden)
dan juga komponen kabilah yang terdiri dari abnâ’ al-qabîlah, abd, dan mawâlî, juga
klasifikasi syair sebelumnya, maka bisa dipastikan bahwa yang dimaksud dengan syair
254 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal., 40-41255 Ta’abbath Syarran adalah Tsabit ibn Jabir al-Fahmi. Fahm adalah salah satu kabilah
keturunan Qais ‘Aylan al-Mudlariyah. Banyak mitos seputar kehidupannya, namun yang pasti ia adalahseorang Arab Badawi dari kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal karena sifat-sifat antagonisnya.
256 Syanfara (diperkirakan hidup pada akhir abad ke-5 hingga awal abad ke-6 Masehi).Namanya adalah Tsâbit ibn Aus al-Azadi yang bergelar al-Syanfara.
85
ghair Sha`âlîk adalah syair-syair yang lahir dari kelompok badawi murni, bukan berasal
dari kelompok kerajaan, Sha`âlîk, maupun para penyair kerajaan dan juga penyair filsuf.
Biasanya penyair Ghair Sha`âlîk merupakan abnâ’ al-qabîlah (anggota kabilah papan
atas).
Tim penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, menyebutkan
sebanyak empat orang penyair Badawi Ghair Sha`âlîk, yaitu; al-Muhalhil257, al-Harits
ibn Halzah258, Amr ibn Kaltsum259 dan ‘Antarah ibn Syaddad.260 Keempatnya adalah
Shâhib al-Mu’allaqât (tokoh syair Mu’allaqah) yang syairnya digantungkan di atas
Ka’bah.261
Di antara keempat penyair badawi tersebut, Antarah adalah penyair yang paling
terkenal dan memiliki dîwan syair. Antarah262 ibn ‘Amr ibn Syaddâd al-‘Abasi adalah
seorang panglima perang dan penyair Arab yang sangat terkenal. Lahir di Najed.
Ayahnya, adalah salah seorang tetua Bani Abas263, sedangkan ibunya seorang budak
berkulit hitam yang berasal dari Habasyah bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah
memiliki kulit hitam legam seperti ibunya, sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al-
arab’ (burung Jalak dari Arab).264
257 Al-Muhalhil (wafat sekitar tahun 531 M), ia adalah ‘Addi ibn Rabî’ah al-Taghlibi, paman dari Umrual-Qais. Ia dijuluki dengan al-Muhalhil karena syair-syairnya dianggap mudah. Selain al-Muhalhil,julukan lain yang diberikan untuknya adalah al-Zir (orang yang lancung dan banyak berbuat maksiat),karena hobinya yang berlebihan bersama perempuan di kedai-kedai minuman. Ia juga terkenal sebagaipahlawan dalam perang Basus yang terjadi antara kabilah Taghlib dan Bakr.
258 Harits ibn Halzah al-Yasykuri al-Bakri diperkirakan wafat pada akhir abad ke 6 M.Diriwayatkan bahwa saat ia mendendangkan syair mu’allaqahnya ia berusia 135 tahun.
259 Ia adalah Abu al-Aswad ‘Amr ibn Kaltsum ibn Malik al-Taghlibi. Ibunya Lalila binti al-Muhalhil saudara dari Kulaib. Ia adalah salah seorang panglima perang dan termasuk pemuka kabilahyang disegani. Ia diperkirakan wafat pada tahun 600 M di usianya yang ke-150.
260 Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 80261 Keempat penyair tersebut dapat dilihat dalam Syarah al-Mu’allaqat al-Sab’ yang ditulis
oleh Ibn `Abdillah al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1985 M)262 Sebagian orang menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah (ة) seperti ia menyebutkan
dirinya dalam syair, namun mayoritas menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah (ة) lebih valid. 263 Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah
inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyan kabilah daripenyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibnSa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar.(Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45
264 Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, (Libanon: Dâr al-Ma’ârif,1962), hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal.
86
Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang
sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamasah (spirit
dalam berperang), fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan ghazl yang menceritakan
penderitaannya dalam bercinta yang sangat halus. Syair-syairnya banyak yang menjadi
syair Mu’allaqah.
Pada masa Jahiliyah, keberadaan penyair Istana merupakan suatu keharusan.
Bagi sebagian penyair Jahiliyah, komersialisasi syair (al-takassub bi al-syi’r) dan
kehidupan mewah dalam istana (al-bilâth) adalah keuntungan lain yang dapat diperoleh
dari kemahiran mereka dalam menggubah syair. Hal ini terjadi, karena tingginya nilai
jual syair dalam tradisi dan budaya bangsa Arab Jahili. Syair pada saat itu dianggap
mampu menunjukkan kehebatan dan kewibawaan para raja, sekaligus menjadi alat
propaganda dan media diplomasi kerajaan. Damai atau perang, maju atau mundur, kalah
atau menang, semuanya tergantung dari kehebatan para penyair. Kebutuhan akan
adanya penyair dalam setiap kabilah, adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi. Hal
inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian penyair untuk mengais rizki dari
kepandaian mereka dalam bersyair. Adanya hubungan komersialisme antara penyair dan
para pejabat kerajaan, sebagian penyair memilih syair sebagai profesi yang
menjanjikan.265
Sebanyak lima nama disebutkan oleh tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi
wa Târikhihi, yaitu Tharfah ibn al-‘Abd266, ‘Ubeid ibn al-Abrash267, al-Nâbighah al-
50, atau Abd. Al-Mun’im Abd. Al-Ra’uf Sulma dan Ibrahim al-Ibyari, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd,(Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1400 H/1980 M), hal. tha
265 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 74
266 Nama aslinya adalah ‘Amr ibn al-‘Abd al-Bakri. Lahir di Bahrain, keturunan dari kabilahBakr ibn Wâ’il dari Rabî’ah. Tharfah merupakan penyair andalan kabilah Rabî’ah.
267 ‘Ubeid ibn al-Abrash al-Asadi, sebagai penyair istana, semasa hidupnya ia hilir mudikantara istana Hujr al-Kindi ayah Umru al-Qais dan istana kerajaan Hirah. Ia mati terbunuh sekitar tahun554 M oleh al-Mundzir ibn Mâ’ al-Samâ’ pada saat perang Bu’sah.
87
Dzubyâni, al-A’syâ al-Akbar268, dan al-Huthai’ah269.270 Secara kuantitatif jumlah penyair
istana yang disebutkan relative lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok
penyair lainnya.
Al-Nâbighah al-Dzubyâni adalah penyair yang sangat terkenal dalam kelompok
ini. Nama lengkapnya Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal
dengan nama al-Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân271 yang
menghabiskan hidupnya dengan mondar mandir antara kabilahnya dan dua istana
kerajaan, Hîrah dan Ghassan. Memiliki penampilan yang menawan, cerdas dan
berbakat. Ia adalah salah seorang penyair yang diuntungkan akibat terjadinya pertikaian
yang berkepanjangan antara kerajaan Hirah dan Gassan.272
Syair-syair al-Nabighah terkenal sangat elegan dan indah, bahasa yang padat
berisi, dan tidak banyak takalluf (dipaksakan). Syair-syairnya merupakan cermin dari
perjalanan hidupnya. Di kalangan para penyair, syair i’tidzâr273 al-Nâbighah sangat
terkenal dan dianggap tidak ada yang menyamainya. Selain itu ia juga terkenal dengan
syair washfnya.274 Demikian sekilas tentang gambaran penyair istana dan penyair
komersil.
Kategori yang erat hubungannya dengan kajian ini sebenarnya ada pada kategori
penyair filsuf (hikmah) dan penyair madzhab (religi). Di dalam syair Jahiliyah, ada dua
268 Al-A’sya al-Akbar, nama lengkapnya adalah Abu Bushair Maimun ibn Qais al-Bikri yanglebih dikenal dengan julukan al-A’sya. Ia lahir di sebuah kampung kecil di Yamamah. Masa remajanya iahabiskan untuk bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Al-A’sya adalah penyair yang memiliki diwansyair yang banyak di samping al-Nabighah al-Dzubyani. Ia juga salah seorang dari al-Sab’ al-Mu’allaqat.
269 Nama lengkapnya Abû Malîkah Jarwal, lebih dikenal dengan julukan al-Huthai’ah. Iamerupakan keturunan dari kabilah Abas. Lahir dari seorang budak perempuan bernama al-Dlarra,sehingga ia akhirnya menjadi seorang budak pula.
270 Keterangan lengkap tentang para penyair, lih. Lajnah (tim penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 127-171
271 Kabilah Dzubyân merupakan turunan dari kabilah Qais, dan Qais adalah turunan darikabilah Mudlar.
272 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili,(Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962), hal. 143
273 Syair i’tidzâr adalah salah satu jenis syair yang digunakan untuk memohon pengampunandan maaf seseorang. Di dalam syair Jahili, corak ini tidak terlalu disukai, karena menunjukkan kelemahandan kekurangan seseorang, sehingga tidak sesuai dengan watak bangsa Arab yang keras. Satu-satunyapenyair yang memiliki banyak syair i;tidzar adalah al-Nâbighah al-Dzubyâni saat ia memohonpengampunan pada al-Nu’mân al-Mundzir. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 67
274 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 79
88
nama yang biasanya dikategorikan sebagai penyair hikmah, yaitu Zuhair ibn Abî Sulmâ
dan Labîda ibn Rabî’ah al-‘Âmirî275. Di antara keduanya yang paling terkenal adalah
Zuhair ibn Abi Sulma. Sedangkan pada penyair madzhab (penyair religi)276, ada tiga
nama yang disebutkan dalam buku tersebut, yaitu; al-Samual277, ‘Iddi ibn Zaid278, dan
Umayyah ibn Abi al-Shalt.279
Agar lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan penyair madzhab oleh
penulis, sebagai sampel, berikut gambaran salah seorang penyair madzhab, yaitu
Umayyah ibn Abi al-Shalt wafat pada tahun 624 M. Umayyah ibn Abi al-Shalt ibn Abi
Rabî`ah dari Qais ‘Ailan, seorang penyair Jahiliyah yang banyak mendedikasikan
hidupnya untuk mengkaji buku-buku klasik terutama Kitab Taurat. Ia adalah orang yang
sangat terbuka terhadap agama, hal itu terbukti pada saat ia melakukan perjalanan niaga
ke Syam dan bertemu dengan sejumlah ahli agama, yang menganjurkannya agar
menjauhi dunia. Ia akhirnya memilih jalan zuhud (hidup sederhana), mensucikan diri
dan mengabdi pada Tuhan. Dalam syair-syairnya ia menyebutkan nama-nama seperti
Ibrahim, Isma’il, dan agama hanif, selain itu ia juga menyebutkan hal-hal seperti surga
275 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Uqail Labida ibn Rabi’ah al-‘Amiri, satu dari tujuh ashabal-mu’allaqat. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang terhormat, suka menolong orang yang lemah.Pada saat Islam datang, ia memeluk agama Islam pada tahun 629, lalu pindah ke Kufah danmenghabiskan waktunya di sana hingga akhir hayatnya.
276 Tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, sebagaimana pada kategorisasisebelumnya, sama sekali tidak menyebutkan alasan mengapa ada kategorisasi penyair religi. Namunberdasarkan nama-nama yang disebutkan, latar belakang kehidupan mereka, serta contoh-contohsyairnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penyair madzhab adalah parapenyair yang berasal dari kalangan ahli agama, seperti Yahudi Nasrani maupun agama hanîf (Ibrahim).
277 Al-Samual ibn Gharîdl ibn ‘Âdiyâ’, seorang penyair beragama Yahûdi, pemilik kuda pacuanyang diberi nama Ablaq yang sangat terkenal di Taimâ. Ia sangat terkenal dengan sifatnya yang selalumenjaga amanah, sehingga namanya menjadi perumpamaan bagi orang yang selalu menjaga amanah (al-wafa’). Ia wafat sekitar tahun 560 M. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal.191
278 ‘Addi ibn Zaid ibn Hamâd ibn Ayyûb, dari keturunan Zaid Munât ibn Tamîm. Ia seorangpenyair yang beragama Nasrani dan tinggal di kerajaan Hirah. Ia sering berhubungan dengan kerajaanPersia dan banyak mempelajari bahasa Persia, sehingga syair-syairnya banyak terkontaminasi bahasaPersia. Untuk itu para ulama bahasa Arab, biasanya tidak menjadikan syair-syair ‘Addi sebagai argumenkebahasaan. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 195
279 Keterangan lengkap mengenai penyair-penyair tersebut, lih. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjazfi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 191-204
89
dan neraka, larangan untuk meminum khamr, meragukan keberadaan berhala-berhala,
dan juga rindu akan nubuwwat (kenabian).280
Kategorisasi penyair yang terakhir adalah penyair perempuan. Dalam buku al-
Mûjaz ada satu nama penyair perempuan yang disebutkan yaitu al-Khansa. Al-Khansa
memang memiliki sebuah dîwan syair, hanya saja ia lebih banyak bercerita tentang
kesedihannya saat ditinggalkan kedua saudara laki-laki yang mati terbunuh dalam
peperangan. Untuk itu, penulis mengambil beberapa sampel lain yang termuat dalam
Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm yang banyak menulis tentang
syair-syair perempuan Jahiliyah, seperti Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibaniyah yang
bergelar al-Hujaijah281 (ahli debat), dua bersaudara Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss
yang juga banyak menggubah syair-syair hikmah, dan tidak kalah penting adalah
Aminah binti Abd al-Wahab Ibunda dari Rasulullah saw, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan kategorisasi tersebut, agar penelitian ini lebih komprehensif dan
mendalam, penulis berusaha mengambil sampel dari masing-masing kelompok yang
berbeda latar belakang sosialnya dan menjadikan karya mereka sebagai pintu masuk
untuk menganalis kehidupan beragama saat itu.
B. Simbol-simbol Agama Dalam Syair Badawi
a. Latar Belakang sejarah agama masyarakat Arab Jahiliyah
Sebelum Islam lahir, di Jazirah Arab telah berkembang berbagai jenis agama,
baik agama asli maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah lain, seperti Yahudi
dan Nasrani. Namun demikian, bedasarkan data sejarah, kedua agama tersebut tidak
berpengaruh banyak pada sistem kepercayaan bangsa Arab Jahiliyah yang tinggal di
Mekah tempat agama Islam lahir. Masyarakat Arab pada masa Jahiliyah mempercayai
agama pagan, yakni penyembahan berhala. Kepercayaan asli mereka pada dasarnya
adalah gabungan antara pengkultusan nenek moyang, fetisisme, totemisme, dan
animisme.282
280 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 201 الحجيجة 281282 Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2002), hal. 27
90
Fetisisme adalah suatu kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk
penyembahan terhadap benda, seperti kayu dan batu. Oleh bangsa Arab, batu diyakini
mempunyai kekuatan berupa roh yang menempati batu. Rohlah yang disembah mereka,
bukan batunya. Batu dan benda lainnya, hanyalah tempat bersemayam roh. Maka dapat
dipahami ketika Aus ibn Hajar dalam syairnya menyebut nama Latta dan Uzza dengan
didahului kata Allah:
وبالله إنوباللتا والعزى ومن دان دينها
283الله منهن أكبر
Demi Latta dan Uzza dan orang yang mempercayainyaDemi Allah, sesungguhnya Allah lebih agung dari mereka (berhala-berhala itu)
284
Hal ini membuktikan bahwa pada dasarnya mereka percaya pada kekuatan yang
ada dalam batu (berhala-berhala), bukan pada berhala itu sendiri. Fetisisme adalah
kepercayaan Arab kuno yang paling banyak berkembang di Jazirah Arab.
Selain fetisisme, kepercayaan lain yang juga berkembang di Jazirah Arab kuno
adalah totemisme. Totemisme adalah pengkultusan terhadap hewan dan tumbuhan yang
dianggap suci. Pengkultusan ini mungkin disebabkan oleh ketergantungan mereka
terhadap hewan dan tumbuhan-tumbuhan yang dianggap suci. Oleh karena itu, mereka
melarang membunuh, memotong, atau makan daging hewan dan tmbuh-tumbuhan
tersebut. Salah satu bentuk pengkultusan mereka terhadap binatang dan tumbuhan,
tampak pada pemberian nama Kabilah yang disandarkan pada hewan dan tumbuhan,
seperti Bani Asad (keturunan Singa), Bani Fahd (singa), Bani Namir (harimau), Bani
Dhabbah (Biawak), Bani Kalb (anjing), Bani Handalah (Timun) dan lain sebagainya.285
Kepercayaan lainnya yang dianut masyarakat Arab Kuno adalah animisme,
yakni kepercayaan terhadap roh. Mereka percaya bahwa roh itu ada yang baik dan ada
283 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26
284 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26
285 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, hal. 28
91
yang jahat, sehingga baik air, udara, api, kayu, dan lainnya memiliki roh baik dan buruk.
Keyakinan lainnya adalah percaya terhadap Jin, bintang, matahari, dan bulan.286
Namun apakah yang digambarkan dalam Ensiklopedi Dunia Islam tersebut,
seluruhnya benar dan terbukti dalam syair-syair Jahiliyah, maka perlu sebuah kajian
mendalam terhadap syair-syair yang berkembang saat itu.
b. Simbol-simbol ketuhanan Dalam syair Jahiliyah
Bila di atas, bebicara banyak mengenai kondisi keagamaan dan keyakinan
masyarakat Jazirah Arab pada masa Pra Islam, dalam syair-syair Jahiliyah sendiri tidak
banyak simbol keagamaan yang bisa kita temukan, padahal sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa syair adalah satu dari tiga bukti sejarah yang tertinggal
dari masa pra Islam. Hal ini membuktikan, bahwa kehidupan beragama pada saat itu
belum banyak dikenal oleh bangsa Arab. Namun demikian, hal ini bukan berarti bangsa
Arab Jahiliyah sama sekali tidak memiliki kepercayaan terhadap wujud supranatural.
Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya ungkapan yang menggunakan kata Allah (الله)
dalam syair mereka.
Kata Allah (الله) dalam bahasa Arab berasal dari kata a-la-ha (أله). Menurut ibnu
al-Manzhur dalam kitab Lisan al-‘Arab disebutkan bahwa al-Ilah (الله) berarti Allah (
,(الله dan setiap yang disembah oleh selainnya, maka ia adalah Tuhan bagi
penyembahnya. Jamak dari Ilah (إله) adalah alihah (آلهة). Dan al-Alihah (اللهة)
diartikan oleh Ibnu al-Manzhur dengan berhala (الصنام). Dinamakan demikian, karena
keyakinan bangsa Arab saat itu, bahwa yang berhak disembah adalah berhala. Nama
tersebut mengikuti keyakinan mereka, bukan pada makna yang ada dalam hakekatnya.
Kata Allah menurut Ibnu Atsir diambil dari kata Ilah dari wazan ulhaniyah (ألهانية)
dengan asal kata aliha ya’lahu ( يأله - نير) yang berarti tahayyara ,(أله Kata tersebut .(تح
berarti apabila seseorang terjatuh dalam pengagungan Allah atau sifat-sifat ketuhanan
lainnya, atau seseorang yang abghadha (أبغض) sehingga hatinya tidak pernah berpaling
pada yang lain.287
286 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, hal. 28-29287 Lebih lengkap tentang asal-usul dan makna kata Allah, lih. Ibnu al-Mazhur, Lisan al-Arab,
(Beirut: Dar Shadir, tth), Jilid, 13, hal. 467-470
92
Dalam syair Jahiliyah, kata Allah cukup banyak ditemukan di hampir setiap
kategorisasi sebagaimana disebutkan di atas. Penggunaan lafaz Allah digunakan untuk
berbagai konteks, di antaranya:
1. Alat sumpah. Ada beberapa jenis sumpah yang diidhafatkan (disandarkan)
pada lafaz Allah, seperti yang terdapat dalam syair Imru al-Qais berikut ini:
ظتا إليها والنجوم كأنها رهباننظر مصابيح
نفال بب لق نش ظتKutatap dia, bintang-bintangpun bagaikan pelita para Rahib yang menerangi mereka yang kembali dari perang
ظتا إليها بعد ما نام أهلها تو نم نو حباب الماءنس ظم س
حال على حالAkupun bangkit menuju padanya, setelah keluarganya terlelapseperti buih air yang semakin meninggi
السمارفقالت سباك الله إنك فاضحى نت ألس
والناس أحوالىIapun berkata, semoga Allah melemparmu, engkau sungguh memalukanBukankah engkau salah seorang sumar288, dan orang-orang ada di sekitarku
ظت قطعوا أبرح قاعدايمين اللهفقل ولو
رأسى لديك أوصالىAkupun berkata; Demi Allah aku masih duduk di siniAndai mereka memotong kepalaku, pasti tidak sampai
288 Samar adalah percakapan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab di malam hari, jugadiartikan sebagai tempat melakukan percakapan. Sedangkan Summar adalah orang yang bercakap-cakapdalam kelompok tersebut.
93
ظت لها إن حلفة فاجرباللهحلف فما لناموا
289من حديث ول صال
Aku bersumpah padanya layaknya sumpah orang fasiq290
Bahwa mereka semua telah terlelap, dan tak ada seorangpun yang bercakap-cakap dan berdiang291
Dalam syair tersebut, sebanyak tiga kali kata Allah digunakan. Yang pertama
diungkapkan oleh seorang tokoh perempuan yang terdapat dalam syair Imru al-Qais
dalam ungkapannya الله yang artinya semoga Allah menjauhkanmu dariku dan سباك
melemparkanmu. Tokoh perempuan dalam syair tersebut sepertinya tahu betul
karakteristik Imru al-Qais yang selalu tergila-gila dan bermain-main dengan perempuan.292 Untuk itu penyebutan kata Allah dalam ungkapan tersebut pada hakekatnya adalah
sebuah wujud kejijikan dan keheranannya akan kenekatan Imru al-Qais dalam
mendekati perempuan. Untuk itu, penyebutan kata Allah dalam ungkapan tersebut
sepertinya hanyalah retorika percakapan yang biasa mereka gunakan dalam ungkapan-
ungkapan hiperbola, tanpa merujuk pada makna metafisik, seperti halnya ungkapan
dalam bahasa Inggris oh my God, yang tidak memiliki tendensi pada makna baik atau
buruk.
Berikutnya, masih dalam syair yang sama, kita menemukan dua ungkapan
sumpah yang disandarkan pada kata Allah yaitu يمين الله dan ظت بالله yang حلف
artinya sama-sama sumpah demi Allah. Tidak jauh berbeda dari kata الله ,سباك
kedua ungkapan inipun hanyalah sebuah retorika bahasa yang tidak memiliki makna
spiritual bagi penggunanya, selain untuk meyakinkan lawan bicaranya. Dan hal ini lebih
ditegaskan lagi oleh ungkapan penyair sendiri, bahwa sumpahnya tidak lebih dari
289 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hal124-125
290 sumpah yang dilakukan oleh orang fasiq atau orang-orang yang banyak melakukan dosa dankebohongan, bukan sumpah yang sebenarnya.
291 Berdiang atau menghangatkan tubuh di depan perapian292 Untuk memahami latar belakang gaya kehidupan Imru al-Qais dapat dilihat pada penjelasan
sebelumnya.
94
sumpah seorang keparat yang biasa berdusta dan berbuat dosa. Hal ini berarti, bahwa
lafaz Allah dalam syair tersebut, bukanlah sebuah simbol keagungan Tuhan, namun
lebih merujuk pada makna budaya berbahasa yang biasa menjadikan kata Allah sebagai
media untuk bersumpah.
Selain itu, masih banyak lagi syair Imru al-Qais yang menggunakan lafaz Allah
sebagai media sumpahnya, seperti yang terdapat dalam syair berikut ini:
يذهبتاللهيا لهف هند إذ خطئن كاهل ل
شيخى باطلSungguh engkau rugi hai Hindun293, karena telah menyerang Bani KahilDemi Tuhan, masa tuaku tidak akan berlalu dengan sia-sia
الملكحتى أبير مالكا وكاهل القاتلين
294الحلحل
Hingga Raja dari Bani Kahil yang menyerang sang Raja yang mulia295 hancur
Bait syair di atas, diungkapkan oleh Imru al-Qais pada saat menyerang Bani
(suku) Asad yang menyerang Bani Kinanah. Ketika Bani Asad mengetahui, bahwa Imru
al-Qais sangat menginginkan mereka untuk membalaskan dendam, mereka kabur pada
malam harinya, sehingga Imru al-Qais tidak menemukan seorang pun di antara mereka.
Maka iapun melampiaskan kemarahannya melalui bait syair di atas.296
Dalam bait syair tersebut, Imru al-Qais menggunakan kata تالله (tallahi) sebagai
alat sumpah. Ia menggunakan lafaz Allah sebagai alat untuk melampiaskan segala
bentuk kekecewaan, kekesalan dan kemarahannya atas semua kenyataan yang tidak
diinginkannya. Tuhan dalam hal ini menjadi simbol kemarahan dan kekecewaan
293 Dalam syarah diwan Imri al-Qais dijelaskan bahwa Hindun adalah nama saudara perempuanImru al-Qais, namun ada juga yang menyatakan bahwa ia adalah istri dari ayahnya.
294 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, hal. 136295 Yang dimaksud denga Al-Halahil (Raja yang mulia nan suci) oleh Imru al-Qais adalah
ayanya sendiri. 296 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, hal. 136
95
Bentuk sumpah lainnya yang disandarkan pada lafaz Allah adalah kata wallahi (
له :sebagaimana yang terdapat dalam syair Antarah berikut ini (والل
لت واجهدى فى عدواتى وعنادى ههأن لموالل
ممى ببالى 297تل
Teruslah memusuhiku dan menentangkuEngkau (Ablah) 298 Demi Allah tak akan pernah menyakiti perasaanku
Ada kemiripan antara sumpah yang dibuat oleh Imru al-Qais dengan sumpah
yang dibuat oleh Antarah, yaitu kedua-duanya sama-sama menggunakan sumpah atas
nama Tuhan untuk meyakinkan perasaan mereka terhadap perempuan. Namun demikian
apabila kita merujuk pada latar belakang historis kedua penyair tersebut, maka diketahui
perbedaan makna dari kedua sumpah tersebut. Imru al-Qais menggunakan sumpah
hanya sebatas retorika sebagai seorang playboy, sedangkan Antarah menjadikan sumpah
sebagai wujud kesungguhan perasaannya yang mendalam terhadap kekasihnya.
Lepas dari persoalan apakah sumpah atas nama Allah yang dilakukan oleh
bangsa Arab pada masa Jahiliyah adalah sebuah bentuk keseriusan tentang apa yang
disampaikannya, atau hanya sebatas retorika dalam percakapan, namun demikian kita
dapat menyimpulkan bahwa ada 4 bentuk sumpah yang biasa digunakan oleh bangsa
Arab pada masa Jahiliyah yang disandarkan pada lafaz Allah, yaitu kata , الله يمين
بالله ظت تالله, atau cukup حلف له dan ,بالله .yang semuanya berarti sumpah demi Allah والل
2. Simbol do’a dan cerca.
Selain digunakan untuk bersumpah, lafaz Allah oleh bangsa Arab Jahiliyah juga
biasa digunakan dalam retorika bersyair. Lafaz ini ada yang mengandung makna do’a,
namun tidak sedikit yang mengandung makna cerca. Artinya lafaz tersebut digunakan
tergantung dari niat pembicara. Hal ini tampak dalam beberapa syair di bawah ini:
297 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 136298 Ungkapan ini ditujukan Antarah untuk seorang gadis yang sangat ia cintai yang bernama
‘Ablah
96
من لى على كؤوسنديمى -رعاك الله- قم غ
ظم حين أشرب 299المنايا من د
Kawanku –semoga Allah menjagamu- bangunlah, bernyanyilah untukkuDi atas gelas-gelas kematian dari darah yang kuminum
بم - أنى300ألم تعلم -لحاك الله نج 301أ
ظت ذوى الرماح 302إذا لقي
Tidakkah engkau tahu –semoga Allah menghancurkanmu dan melaknatmu- bahwa aku, tak perlu bersenjata saat bertemu dengan mereka yang bersenjata
نتفقالت -سباك الله- إنك فاضحى ألس
303السمار والناس أحوالى
Iapun berkata - semoga Allah melemparmu- engkau sungguh memalukanBukankah engkau salah seorang sumar304, dan orang-orang ada di sekitarku
Pada ketiga syair di atas ada tiga lafaz Allah yang disandarkan pada kata kerja (
(فعل yaitu الله الله, رعاك لحاك , dan الله .سباك Yang pertama diartikan
sebagai (semoga) Allah menjagamu, yang kedua (semoga) Allah menghancurkanmu dan
malaknatimu, dan yang ketiga (semoga) Allah menjauhkanmu (dari) dan
melemparkanmu. Arti sesungguhnya dari ketiga istilah tersebut, pada dasarnya terlepas
299 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 15300 Dalam Syarah Diwan ‘Antarah dijelaskan bahwa kata الله diartikan dengan لحاك أهللك
.yang artinya semoga Allah menghancurkanmu dan melaknatimu ولعنه301 Kata dalam Syarah Diwan ‘Antarah diartikan dengan seseorang yang tanpa senjata saat
berperang. Penyair dalam hal ini ingin menegaskan bahwa dirinya adalah seorang pemberani yang takperlu senjata untuk maju ke medan perang.
302 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 41303 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hal
124-125304 Samar adalah percakapan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab di malam hari, juga
diartikan sebagai tempat melakukan percakapan. Sedangkan Summar adalah orang yang bercakap-cakapdalam kelompok tersebut.
97
dari kata semoga. Kata ini diartikan oleh penulis dengan menggunakan semoga
berdasarkan pada konteks kalimat pada syair tersebut.
Dalam struktur tata bahasa Arab ketiga istilah tersebut dikategorikan sebagai al-
jumlah al-I’tiradhiyyah yaitu kalimat yang menyelip di antara dua unsur kalimat yang
tidak dapat dipisahkan seperti antara subjek dengan predikat, syarat dan jawab, subjek
dan objek, dan lain sebagainya.
Ketiga ungkapan jumlah I’tiradhiyyah di atas yang di dalamnya terdapat lafaz
Allah, oleh para penyair Arab Jahiliyah digunakan sebagai simbol-simbol do’a dan
cerca. Artinya bisa dijadikan sebagai simbol do’a dan harapan yang baik untuk lawan
bicara atau juga sebagai alat untuk melaknatnya.
3. Simbol keyakinan dan pengakuan akan adanya kekuatan ghaib yang
menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia.
Bangsa Arab Jahiliyah memang dikenal sebagai bangsa yang belum banyak
tersentuh ajaran-ajaran agama Samawi. Namun demikian, sebagaimana dituliskan oleh
para sejarawan muslim, bahwa di antara mereka sudah ada yang menganut suatu
keyakinan ilahiyah. Namun demikian, syair-syair di bawah ini bukan berarti sebuah
bukti bahwa para penyairnya adalah para penganut agama samawi (wahyu), akan tetapi
hal ini membuktikan akan adanya suatu keyakinan pada suatu hal yang ghaib yang
mereka panggil dengan nama Allah. Berikut ini beberapa syair
ندرإذا كان أمر الله أمر نر يق فكيف يف
المرء منه ويحذرJika ketentuan Allah itu suatu hal yang pastiLalu mengapa seseorang harus lari dan takut darinya
ند القضا أو يدفع المرء منه الموتاومن ذا ير
تربته 305 ليس تعثرمحتومةوض
305 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 82
98
Siapa yang dapat menolak kematian atau menghalangi qadhanya (ketentuannya)
Terjadinya adalah sebuah kepastian yang tidak dapat dihindari
بل الناسوكان نل قتيل وقد غداقدرا أج أج
306زار أهل المقابر
Ajal manusia adalah sebuah takdirSeorang yang terbunuh (pada hakekatnya) mengunjungi kuburan lebih dahulu
Ada dua hal penting dalam bait-bait syair di atas yang menyangkut simbol
keagamaan, yaitu istilah qadla dan qadar. Sepertinya penyair paham betul tentang
qadla dan qadar sebagaimana diimani oleh kaum muslimin. Penyair dalam syairnya
jelas-jelas menyandarkan kepastian akan kematian dengan ketentuan Tuhan, sehingga
manusia tidak perlu untuk merasa takut atau menghindar darinya.
Qadla secara bahasa berarti menentukan, memutuskan dan memerintahkan
sesuatu. Istilah qadla dalam agama Islam didapati dalam dua terma, yakni terma ibadat
khususnya di bidang fikih307 dan terma aqidah (keyakinan). Syair di atas terkait erat
dengan keyakinan yang ada masyarakat Arab pra Islam, sehingga term Qadla dalam hal
ini lebih pada makna akidah. Yang dimaksud dengan qadla dalam akidah keagamaan
adalah ketentuan Tuhan. Kata ini menurut Ensiklopedi Aqidah Islam, sering
digandengkan dengan kata qadar atau lebih popular dengan kata takdir.308
Berdasarkan pada makna qadha tersebut, maka makna qadar sebenarnya
merupakan sinonim dari kata qadha. Namun demikian, dalam aqidah Islam kedua
istilah tersebut dibedakan, qadha adalah keputusan Tuhan dan ketetapannya, yang
berarti manusia tidak punya harapan untuk campur tangan di dalamnya. Sedangkan
qadar atau takdir adalah rencana atau keadaan yang dikehendaki Allah kepada umat
manusia. Sehingga qadha adalah sebuah istilah yang dimaksudkan untuk ketentuan
306 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 84307 Salah satu ibadah yang menggunakan terma qadha dalam fikih adalah puasa. 308 Tim penyusun, Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution (Editor), Ensiklopedi Aqidah
Islam, (Jakarta: Kencana: 2003), hal. 325
99
Tuhan yang tidak akan berubah, sedangkan qadar adalah ketentuan Tuhan yang
sewaktu-waktu dapat berubah.
Merujuk pada apa yang dijelaskan dalam Ensiklopedi tersebut, maka dalam
syair di atas tampak jelas penggunaan kata qadla, qadar, dan yuqaddir yang
bergandengan antara satu dengan yang lainnya, merujuk pada kata al-maut (kematian)
dan ajal al-nas (ajal manusia). Kedua kata ini kemudian ditegaskan dalam bait yang
lainnya dengan kata yang محتوـمـة berarti sesuatu yang dipastikan. Hal ini
membuktikan bahwa keyakinan akan adanya ketentuan dari yang Maha Kuasa (Tuhan)
telah ada sejak masa sebelum Islam datang. Namun demikian, baik pemahaman
terhadap qadha maupun qadar dalam syair tersebut adalah sama, belum pada makna
seperti yang dipahami dalam aqidah Islam. Dalam syair di atas, kematian manusia
(maut atau ajal) merupakan qadha sekaligus qadar Tuhan.
Namun, demikian ada hal penting yang perlu dicermati, berdasarkan latar
belakang kehidupan penyair, Antarah ibn Abi Syadad, meskipun Ayahnya tetua Bani
Abas309 seorang Arab tulen, namun ibunya yang bernama Zabibah seorang budak
berkulit hitam yang berasal dari Habasyah. Dan dari fakta sejarah, Habasyah (sekarang
Ethopia) saat itu sudah memeluk agama Nasarani. Sehingga bukan suatu hal yang
mustahil, jika kemudian anaknya diajarkan nilai-nilai agama Nasrani oleh ibunya,
meskipun kemudian tidak menjadikannya sebagai penganut agama Nasrani, namun
nilai-nilai kristiani pada dasarnya telah sampai pada sebagian masyarakat Arab Badawi.
Hal ini tampak dalam syair-syair lainnya, seperti:
ظس لقد نسلوا نر بنى عب الكارملله د من
ظسل العرب ما قد تنKabilah Bani Abas adalah milik Allah, terlahir
309 Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilahinilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyan kabilah daripenyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibnSa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar.(Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiya, 1411 H/ 1990 M), hal. 45
100
dari orang-orang mulia yang darinya bangsa Arab lahir
لللئن يعيبوا سوادى فهو لى نسب النزا يوم
310إذا ما فاتنى النسب
Jika mereka menghina kehitamanku, aku ini punya nasabSaat aku dilahirkan, meskipun nasab itu meninggalkanku311
لن بفضلها ظنعمى واث نى فل تكفر ال تن مال نن ول تأم
يحدث الله فى غدJanganlah kamu mengingkari nikmat, tapi syukurilahDan janganlah kamu berharap pada apa yang akan Allah berikan esok hari
يردون خالفإن يك عبد الله لقى فوارسا
312العارض المتوقد
Jika seorang hamba Allah bertemu dengan pasukan perangMempertahankan bendera pasukan simbol semangat
Makna pada bait syair di atas, pada hakekatnya adalah sama dengan ajaran Islam
yang menyuruh manusia untuk selalu mensyukuri nikmat yang dianugerahkan pada
mereka dan tidak mengingkarinya, sebab dengan itu seseorang tidak berfikir tentang apa
yang akan Tuhan berikan esok hari. Pada bait selanjutnya, Antarah lebih menegaskan
keyakinannya dengan menamakan dan mengibaratkan dirinya sebagai abdullah yang
berarti hamba Allah, dan hal ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang meyakini
akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan.
310 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 10311 Antarah Ibn Syadad meski dilahirkan dari seorang ayah yang asli keturunan Arab, namun ibunyaadalah seorang budak yang berkulit hitam yang diimpor dari Habasyah. Berdasarkan latar belakangtersebut, maka ketika ia diejek sebagai seorang kulit hitam yang juga konotasinya adalah budak, iamembalas ejekan tersebut dengan menyebutkan asal usul keturunannya yang dianggap oleh bangsa Arabsebagai kabilah yang terhormat yakni Bani Abbas. Lebih jelas lagi lihat biografi antarah sebelumnya.
312 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 46
101
Bila dalam Ensiklopedi Islam Indonesia disebutkan empat (4) unsur penting
dalam agama, yaitu:
5. Pengakuan bahwa ada kekuatan ghaib yang menguasai atau mempengaruhi
kehidupan manusia.
6. Keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya
hubungan baik antara manusia dengan kekuatan ghaib itu.
7. Sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan ghaib itu, seperti
sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah, dan lain-lain.
8. Tingkah laku tertentu yang dapat diamati seperti shalat, sembahyang, doa,
puasa, suka menolong, tidak korupsi dan lain-lain, sebagai buah dari tiga
unsur pertama.
Maka sesungguhnya sebagian dari masyarakat Arab pada masa Jahiliyah baru
sampai pada tahapan yang ketiga, yakni timbulnya sikap emosional pada hati mereka
terhadap kekuatan ghaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harapan, pasrah,
dan lain-lain. Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, tiga unsur pertama itu merupakan
jiwa agama, sedangkan unsur keempat pada dasarnya merupakan bentuk lahiriahnya.313
Bentuk keempat ini pada dasarnya hanya bisa dilakukan bila wahyu telah sampai pada
manusia.
Salah satu contoh sikap emosional yang ada pada hati manusia terhadap
kekuatan ghaib sebagaimana diungkapkan oleh Antarah dalam syairnya:
إذ لمإلى الله أشكو جور قومى وظلمهم
نل على البعد يعضد 314أجد خ
Kuadukan semua perlakuan jahat kaumku pada TuhanTak kutemukan seorang pun teman yang dapat menolong
313 Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1992), hal. 63
314 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 74
102
Pernyataannya إلى الله أشكو (pada Allah aku mengadu) yang dilontarkan
penyair adalah suatu simbol kelemahan yang dimiliki manusia, dan juga simbol akan
kebutuhan pada sesuatu yang gaib yang dapat menolongnya dan memberinya kekuatan
yang tidak dapat diberikan oleh manusia. Dalam syair Antarah, sangat jelas kalau
penyair merasa sangat lemah dan butuh terhadap kekuatan gaib atas segala persoalan
yang ia hadapi dan ia merasa bahwa hanya kekuatan gaib yang ia seru yang dapat
merasakan penderitaannya.
Menurut Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekuatan ghaib adalah kondisi
manusia yang merasa lemah dan butuh pada kekuatan gaib sebagai tempat meminta
tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan
kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah
dan larangan kekuatan gaib tersebut.315
Bangsa Arab Jahiliyah sebagaimana tersirat dalam syair tersebut, tampaknya
baru sampai pada tahapan lemah dan butuh pada kekuatan gaib, namun belum sampai
pada tahap mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut yang diwujudkan
dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib tersebut, karena wahyu pada
hakikatnya belum sampai pada mereka.
4. Alat pujian dan simbol-simbol agama Samawi
Selain digunakan untuk bersumpah, berdoa, dan juga mencerca, lafaz Allah
dalam syair Jahiliyah juga dijadikan sebagai alat untuk memuji seseorang. Sebagai
contoh syair yang digubah oleh al-Nabighah al-Dzubyani berikut ini:
فضل على الناسفتلك تبلغنى النعمان، إن له
فى الدنى وفى البعدSemua itu telah sampai kepadaku, bahwa yang Mulia (raja) punyakeistimewaan di banding manusia lainnya, (di kalangan) dekat maupun jauh
315 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985), hal. 11
103
ول أحاشى منول أرى فاعل فى الناس يشبههالقوام من أحد
Dan aku tidak menemukan seorang pun yang menyamainyaDari kaum manapun tanpa kecuali
قم فى البريةإل سليمان إذ قال الله له
فأحددها عن الفندSelain Nabi Sulaiman, saat Tuhan bersabda padanyaJadilah pemimpin manusia, maka Aku jauhkan meraka dari kufur nikmat
يبنون تدمروخيس الجن! إنى أذنت لهم
بالصفاح والعمدTundukkankah jin! Telah Kuijinkan mereka membangun Tadmur dengan Dengan rusuk dan tiang316
كما أطاعكفمن أطاعك فانفعه بطاعته
تلــــه على الرشد وادلـSiapa yang taat padamu, manfaatkanlah ketaatannyaDan tunjukkanlah ia pada jalan kebenaran
تنهى الظلوم ولومن عصاك فعاقبه معاقبة
317تقعد على ضمد
Dan bagi yang mendurhakaimu, hukumlah ia dengan hukuman yang Dapat mencegahnya dari berbuat jahat, dan janganlah kamu merendahkan diri
316 Yang dimaksud dengan rusuk di sini adalah batu-batu yang disusun dengan rapid an kokohlayaknya tulang rusuk manusia.
317 ‘Abbas Abd al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), hal. 12-13
104
Jika dianalisis berdasarkan aghrad al-syi’ir (tujuan syair), bait-bait syair al-
Nabighah al-Dzubyani di atas jelas dibuat untuk memuji al-Nu’man. 318Maka kata Ilâh
(Tuhan) dalam syair tersebut jelas-jelas digunakan sebagai alat untuk memuji penguasa
saat itu, meskipun penyair menggunakannya dalam gaya bahasa perumpamaan. Sang
penyair mengumpamakan al-Nu’man (Sang raja) dengan Nabi Sulaiman as dengan
segala keistimewaan yang diberikan oleh Allah.
Selain lafaz Allah, hal lain yang menarik dalam bait-bait syair di atas adalah
kisah tentang Nabi Sulaiman as yang juga banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Dalam
al-Qur’an kisah Nabi Sulaiman as selalu dibahas dengan keistimewaannya sebagai
seorang raja yang juga juga mampu menundukkan bangsa Jin. Dan apa yang
disampaikan dalam al-Qur’an tentang Nabi Sulaiman as, pada hakekatnya sama dengan
apa yang disampaikan al-Nabighah al-Dzubyani penyair Arab Jahiliyah, meskipun ia
menceritakannya sebagai perumpamaan bagi al-Nu’man.
Berdasarkan hal tersebut, timbul dalam benak kita pertanyaan besar, jika
demikian mungkinkah bangsa Arab Jahiliyah itu telah mengenal Tuhan dan juga cerita-
cerita tentang kenabian? Jawabannya tidak dapat dijawab secara langsung, namun harus
ditelusuri berdasarkan latar belakang penyair itu sendiri. Apakah ia seorang Arab
Badawi tulen ataukah bukan. Berdasarkan riwayat hidup al-Nabighah al-Dzubyani
sebelumnya, diketahui bahwa ia termasuk ke dalam kategori penyair kerajaan yang
kehidupannya ia habiskan untuk mondar-mandir antara dua kerajaan besar yaitu Hîrah
dan Ghassan. Menurut para sejarawan, sebagian dari raja Hirah memeluk agama
Nasrani. Dan Ghassan menurut para sejarawan adalah pintu masuk agama Kristiani di
Jazirah Arab.319 Berdasarkan hal tersebut, bukanlah suatu hal yang mustahil bila ternyata
al-Nabighah al-Dzubayani banyak mengenal ajaran-ajaran Nasrani, meskipun ia tidak
menobatkan dirinya sebagai seorang penganut agama Nasrani, namun ia banyak bergaul
dengan para penganut agama Nasrani terutama di kalangan pembesar kerajaan. Dan
sebagai seorang penyair komersil, ia harus benar-benar memahami apa yang diinginkan
318 Al-Nu’man adalah gelar raja pada kerajaan Hirah di zaman Pra Islam.319 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31
105
oleh para penguasa saat itu, sehingga ketika ia menggubah syairnya, mengenai sasaran
dengan tepat.
Syair lainnya yang menggunakan lafaz Allah sebagai alat pujian, tampak dalam
bait-bait berikut ini:
ملكألم تر أن الله أعطاك سورة نل ك ترى
دونها يتذبذبTidakkah engkau menyadari bahwa Allah telah memberimu kekuasaanDengan itu engkau melihat setiap raja di bawah kekuasaanmu terguncang
تت لم يبدفإنك شمس والملوك كواكب إذا طلع
320منهن كوكب
Engkau itu ibarat matahari, dan raja-raja itu adalah bintangJika matahari muncul, maka tak satupun bintang yang tampak
الجودلهم شيمة لم يعطها الله غيرهم من
والحلم غير عوازبMereka memiliki sifat mulia yang tidak dimiliki orang lainKedermawan dan kecerdasan
قويم فما يرجونمجلتهم ذاتا الله ودينهم
321غير العواقب
Kitab sucinya berasal dari Tuhan dan agama merekaLurus, dan mereka tidak berharap selain pahala
Pada bait syair yang pertama dan kedua, lafaz Allah jelas digunakan oleh
penyair sebagai alat untuk memuji penguasa. Namun pada bait keempat yaitu:
320 ‘Abbas Abd al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal.27-28
321 Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal. 32
106
قويم فما يرجونمجلتهم ذاتا الله ودينهم
322غير العواقب
Kitab sucinya berasal dari Tuhan dan agama merekaLurus, dan mereka tidak berharap selain balasan
Tampak dalam bait tersebut istilah tertentu yang menunjuk pada sebuah simbol
keagamaan. Kata majallah dalam syair tersebut dalam syarah diwan al-Nabighah
dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah kitab suci para penguasa. Dan sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa para penguasa tempat al-Nabighah mencari nafkah
beragamakan Nasrani. Meskipun dalam syair tersebut, entah dengan alasan apa tidak
disebutkan secara jelas kitab sucinya, namun mengisyaratkan bahwa ada kitab suci yang
dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah terutama kaum Nasrani.
Simbol agama lainnya adalah kata din yang berarti keyakinan atau agama yang
dianut. Hal penting yang patut dicermati adalah baik pada penyebutan majallah (kitab
suci) maupun din (agama), penyair menggabungkannya dengan dhamir (kata ganti
orang) هم yang artinya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Sang penyair dalam hal
ini al-Nabighah menganut keyakinan di luar keyakinan yang dianut oleh para penguasa
di mana ia berada, atau dengan kata lain ia bukanlah seorang Nasrani, namun demi
kepentingan profesi ia banyak mengenal ajaran Nasrani.
Dalam syair yang sama, penyair juga menyebutkan kata العواقب yang kami
artikan dengan balasan atau pahala. Bentuk tunggal dari kata adalah العواقب
.yang artinya akibat atau balasan dari suatu perbuatan عاقبة Dalam syair tersebut
dinyatakan bahwa mereka tidak mengharapkan selain pahala. Konotasi dari ungkapan
tersebut adalah mereka dalam melakukan segala hal hanya dilandasi oleh keyakinan
pada sang Maha kuasa (Allah) dan hanya mengharap balasan dariNya. Dan keyakinan
ini hanya ada pada penganut agama Samawi, atau dalam hal ini lebih tepatnya penganut
322 Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal. 32
107
agama Kristiani yang sudah meyakini akan adanya Tuhan melalui wahyu yang dalam
syair tersebut diistilahkan dengan kata majallah. Dan masih banyak lagi syair-syair al-
Nabighah yang menyebutkan lafaz Allah di dalamnya. Dan hampir semua lafaz Allah
yang ia sebutkan dalam syairnya berhubungan dengan keyakinan para penguasa atau
raja-raja di sekitarnya, yaitu raja-raja dari kerajaan Hirah dan Gassaniah yang menurut
para sejarawan beragama Nasrani. Di dalam syair-syairnya, al-Nabighah tidak pernah
menisbatkan kata Allah untuk keyakinannya sendiri, melainkan selalu dirangkai dengan
ungkapan-ungkapan lain terutama pujian untuk para pembesar kerajaan.
Itulah beberapa ungkapan syair tentang ketuhanan yang ada pada masa Jahiliyah
yang di dalamnya menggunakan lafaz Allah.
Selain kata Allah, kata lainnya yang terkait dengan keyakinan pada masa
Jahiliyah adalah kata rabb (نب Namun apakah kata ini sebagaimana diyakini oleh .(ر
kaum Muslimin berarti sama dengan Tuhan, ataukah pada masa Jahiliyah memiliki
konotasi lain, atau menjadi simbol selain symbol Tuhan.
Kata Rabb نب) (ر oleh Ibnu Manzhur diartikan sebagai Allah SWT (الله)
pemiliknya, memiliki sifat memiliki terhadap seluruh ciptaannya, tidak ada sekutu
baginya, dan dia adalah الله. Kata Rabb khusus bagi Allah, namun kata al-Rabb (نب (الر
tanpa alif dan lam digunakan untuk selain Allah. Pada masa Jahiliyah istilah ini sering
digunakan untuk Raja atau para pembesar lainnya.323
Berikut ini beberapa syair yang menggunakan kata rabb di dalamnya:
أربابنالجللها فتمايلت ربهاسجدتا تعظم
324العظماء
Ia (Ablah)325 bersujud mengagungkan Tuhannya, dan karenakeaggunannya itu para penguasa kami yang agung berpaling
323 Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, hal. 398-399324 ‘Abdul al-Mun’im ‘Abd al-Rauf Syulma (Tahqiq) dan Ibrahim al-Abyari, Syarah Diwan
‘Antarah, hal. 6325 Ablah adalah nama perempuan yang sangat dicintai oleh Antarah ibnu Abi Syaddad
108
Dalam syair tersebut kata rabb disebutkan sebanyak dua kali, yang pertama
dalam bentuk mufrad (tunggal) yaitu kata rabb sendiri, dan yang kedua dalam bentuk
jamak yaitu kata arbâb. Dalam kamus bahasa Arab, kata rabb diartikan dengan pemilik
atau penguasa. Untuk itu dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah adalah penguasa
sekalian alam (rabb al-‘Alamin). Dalam syair di atas, kata rabb dalam bentuk tunggal
diartikan dengan Tuhan, hal ini berdasarkan pada konteks kalimat yang menyertainya
yaitu kata sajadat yang artinya bersujud. Dalam bentuk jamak kami artikan sebagai
makna aslinya yaitu para penguasa, hal ini terkait dengan keanggunan atau kecantikan
yang dimiliki oleh Ablah, perempuan yang ada dalam syair tersebut sebagaimana
digambarkan oleh penyair.
Dalam syair berikutnya tampak makna rabb yang sesungguhnya:
نت نباإذا كن تعر نقلوص ل تد رفيقك يمشى لل
326خلفها غير راكب
Jika kamu mengaku sebagai pemilik unta tersebutJangan biarkan kawanmu berjalan di belakangmu, tanpa ikut mengendarainya
Dalam masyarakat Arab Jahiliyah, Hatim al-Tha’i dikenal sebagai pribadi yang
sangat dermawan dan memiliki rasa solidaritas yang sangat tinggi. Hal ini lahir dari
latar belakang kehidupannya sebagai seorang sha’alik. Ia tidak membedakan antara
yang kaya dengan yang miskin. Hal ini tampak pada syairnya di atas, yang melarang
seseorang mengendarai kendaraannya (unta), sedangkan orang lain berjalan di
belakangnya dengan kelelahan. Kata rabb di atas jelas-jelas mengandung makna
pemilik sesuatu yang dalam hal ini adalah pemilik unta yang masih muda dan kuat (al-
qalûsh).
Kata rabb yang terkait erat dengan makna ketuhanan tampak dalam bait-bait
syair berikut ini:
326 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 9
109
ظت ل أرسو ولإلههم ربى وربى إلههم فأقسم
نعد 327أتم
Tuhan mereka adalah Tuhanku, juga Tuhanku adalah Tuhan merekaUntuk itu aku bersumpah akan tetap seperti ini dan tidak akan memakai pakaian khusus
نب عليه الله أحسن صنعه وكان له علىور328البرية ناصرا
Allah memelihara ciptaan terbaikNyaDan Dia adalah penolong bagi manusia
Kata rabb dalam kedua bait syair di atas terkait erat dengan simbol keyakinan
terhadap Tuhan. Pada bait pertama kata rabb disandingkan dengan kata ilah. Dalam
syair tersebut, penyair menyampaikan keyakinannya bahwa manusia di mata Tuhan
adalah sama. Untuk itu, ia tidak akan memperlakukan seseorang secara khusus dengan
berpenampilan di luar kebiasaannya. Pada bait pertama, kata rabb sudah memiliki
makna khusus yaitu sama dengan ilâh (Tuhan), dan pada bait kedua, kata rabb terkait
erat dengan fungsi ketuhanan yaitu menjaga, memelihara, dan menolong makhlukNya.
Makna dari kata rabb lainnya yang juga digunakan oleh masyarakat Arab
Jahiliyah tampak dalam syair berikut ini:
خيرنزور يزيد وعبد المسيح هم وقيسا
329أربابها
Kami mengunjungi Yazid, Abdul Masih, dan QaisMereka para pemimpin terbaik kami
Dalam syair tersebut, penyair menggunakan kata arbâb sebagai bentuk jamak
dari rabb. Makna Arbâb dalam syair tersebut jelas merujuk pada para penguasa yang
327 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 16328 Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal.45 dan 48329 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal.30
110
disebutkan oleh penyair. Pengagungan yang sangat luar biasa terhadap para penguasa,
membuat masyarakat Arab pada masa Jahiliyah banyak menggunakan kata rabb sebagai
simbol penguasa yang mengatur kehidupan mereka.
Berdasarkan hal tersebut, Allah SWT menegaskan dalam al-Qur’an surat al-
Fatihah dengan pernyataaNya: Alhamdulillah Rabb al-Alamin. Bahwa Allahlah
pengatur dan penguasa seluruh alam. Ayat tersebut berisikan penegasan Tuhan tentang
eksistensiNya. Yang pertama adalah pengakuan mutlak akan namaNya yakni melalui
kata Allah, dan yang kedua menegaskan tentang sifat dann fungsinya. Sehingga makna
yang tepat adalah segala puji bagi Allah, Penguasa sekalian Alam.
Adapun simbol keyakinan lainnya yang dianut oleh bangsa Arab pada masa
Jahiliyah adalah kepercayaan pada hal-hal ghaib seperti terdapat dalam fakhr330 Antarah
berikut ini:
الرأسوكم من فارس أضحى بسيفى هشيم
مخضوب اليدينBerapa banyak prajurit yang kubunuh dengan pedangkuDengan kepala yang remuk dan tangan terpenggal
حولهيحوم عليه عقبان المنايا ظجل وتح
331غربان بين
Ia dikelilingi rajawali kematian Dan sekelilingnya berlalu lalang gagak-gagak kematian
Dalam syair di atas, terlihat kepercayaan lain dari masyarakat Arab pada masa
Jahiliyah, yaitu kepercayaan pada tanda-tanda yang tampak oleh mata yang dalam hal
ini kepercayaan pada burung gagak. Burung gagak dalam hal ini diyakini sebagai
330 Fakhr adalah jenis syair yang digubah untuk tujuan membanggakan diri, nasab, keluarga,maupun kabilah, serta sifat-sifat istimewa yang mereka miliki. Di dalam sastra dunia dikenal denganistilah narsisisme (narcissism), yaitu kekaguman yang berlebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri.Narcissus adalah nama pemuda dalam mitologi Barat klasik yang tertarik sekali pada bayangannyasendiri dalam sebuah kolam. Kamus Istilah Sastra, hal. 54
331 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 172-173
111
symbol kematian bagi seseorang. Kepercayaan seperti ini, sepertinya sama saja dengan
kepercayaan yang dianut sebagian masyarakat Indonesia dulu dan sekarang yang tetap
percaya pada tanda-tanda atau ramalan-ramalan tentang sesuatu.
Selain itu juga, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa bangsa Arab
juga meyakini matahari, bintang dan benda-benda lainnya sebagai kekuatan yang
disembah. Namun berdasarkan pengamatan terhadap beberapa syair Jahailiyah,
tampaknya istilah-istilah syams (matahari), kaukab (planet atau benda angkasa lainnya),
nujum (bintang), dan lain-lain yang terdapat dalam syair Jahiliyah, bukanlah sebuah
bentuk penyembahan terhadap benda-benda tersebut, namun lebih pada simbol
kekaguman pada hal-hal yang dikagumi, seperti perempuan, pemimpin, orang tua, dan
lain sebagainya. Sebagai contoh tampak dalam syair al-Nabighah al-Dzubyani berikut
ini:
تت لم يبدفإنك شمس والملوك كواكب إذا طلع
332منهن كوكب
Engkau itu ibarat matahari, dan raja-raja itu adalah bintangJika matahari muncul, maka tak satupun bintang yang tampak
Atau dalam syair Antarah ibn Syaddad berikut ini:
نرتا أوان العيد بين نواهد الشموسم مثل
لحاظهن ظباءDi hari raya, ia berlalu di antara gadis-gadis bagai mentari-mentari, kerlingan mereka bagai kijang
نمه ظت البدر ليلة ت تتا فقل نمهاوبد نجو ظه تت نلد ق فقد
الجوزاءIa (Ablah) pun muncul, lalu aku katakan, rembulan saat purnama
332 ‘Abbas Abd al-Satir (Penghimpun dan pensyarah), Diwan al-Nabighah al-Dzubyani, hal.27-28
112
Bintang kejorapun melingkari bintang-bintangnya
Dalam syair di atas, ada beberapa simbol alam yang disebutkan oleh penyair,
yaitu syams (matahari), kaukab (planet), badr (bulan purnama), nujum (bintang-bintang)
dan al-jauza (bintang kejora). Kata syams pada syair al-Nabighah digunakan untuk
memuji (madh) orang yang dikaguminya yakni al-Nu’mân al-Mundzir raja dari kerajaan
Hirah. Ia menggunakan kata syams sebagai perumpamaan (tasybih) orang yang
dipujinya. Adapun kata kaukab ia gunakan sebagai perumpamaan bagi raja-raja kecil
yang tunduk di bawah kekuasaan al-Nu’man, sehingga ketikan matahari muncul dengan
sinarnya yang sangat terang dan kuat, benda-benda angkasa seperti bulan, bintang dan
planet lainnya (kaukab) yang semula terlihat, jadi tidak tampak.
Pada syair Antarah, kata al-syumûs yang merupakan jamak dari syams adalah
simbol perumpamaan dari perempuan-perempuan cantik. Dan al-badr (bulan purnama)
adalah simbol dari kekasih hatinya yang bernama Ablah. Oleh karena itu, kata al-badr
ia rangkai dengan kata nujûm dan al-jauzâ. Al- jauzâ adalah bintang yang paling terang
di antara bintang-bintang yang lainnya atau biasa diterjemahkan dengan bintang kejora.
Bintang ini biasanya tampak mencolok dibandingkan dengan bintang-bintang lainnya
yang ada di sekitarnya. Semua simbol-simbol alam tersebut oleh penyair dijadikan
sebagai perumpamaan bagi perempuan-perempuan cantik yang dikaguminya.
Dari contoh-contoh tersebut, maka pendapat yang menyatakan bahwa bangsa
Arab pada masa Jahiliyah adalah penyembah matahari, bulan, bintang dan lain
sebagainya diragukan, sebab simbol-simbol tersebut lebih banyak digunakan sebagai
bentuk kekaguman terhadap sesuatu, dan kagum bukan berarti menyembah. Maka
ketika ada nama yang disandarkan pada simbol-simbol tersebut, mungkin saja hanya
berupa kekaguman pada benda tersebut karena memberikan manfaat yang sangat luar
biasa dalam kehidupan mereka.
C. Simbol-simbol Agama dalam Syair Nasrani a. Asal-usul Agama Nasrani di Jazirah Arab
Agama Nasrani adalah satu di antara agama yang berkembang pada masa
Jahiliyah di Jazirah Arab. Agama Nasrani pertama kali muncul di Palestina pada
113
pertengahan abad ke-1 Masehi. Dari Palestina, agama ini menyebar ke Yunani dan
Italia, melalui para penyebar agama. Pada mulanya, penganut agama Nasrani terdiri dari
lapisan masyarakat fakir miskin. Kemudian lapisan atas ikut memeluk agama ini,
termasuk para pembesar Negara. Salah satu alas an kenapa kaum papa memeluk agama
Nasrani adalah karena agama ini mengajarkan kasih dan damai di dalamnya.333
Pada awal abad ke-4 M, imperium Palestina memproklamirkan agama Nasrani
sebagai agama resmi Negara. Mulailah agama Nasrani yang semula sebagai agama yang
dianut oleh golongan tertindas menjadi institusi yang digunakan oleh kaum imperium
untuk bertindak sesuai dengan kemauan mereka atas nama agama.334
Berdasarkan catatan sejarah agama Yahudi masuk ke Jazirah Arab melalui
imigrasi dan perdagangan, sedangkan agama Nasrani masuk ke Jazirah Arab melalui
misionaris, pedagang dan budak, terutama yang diimpor dari wilayah Binzantium dan
Sasaniah. Hal ini terkait erat dengan ambisi imperium Romawi dan Sasaniah untuk
melebarkan kekuasaannya ke wilayah Arabia Timur yang pada mulanya terkonsentrasi
pada Iran dengan misi untuk menguasai perdagangan sutra. Salah satu upaya yang
mereka lakukan agar tercapai misinya adalah dengan cara mengirim para misionaris dan
mengirim berbagai bantuan guna mendirikan geraja yang megah seperti yang terdapat
di Aden dan Hormuz.335
Pada akhirnya Nasrani menemukan jalan di antara Arabia, Syam dan Irak,
sehingga agama ini kemudian muncul di Ghassaniah, Bahra, dan Taghlib. Syam sendiri
saat itu berada di bawah kekuasaan Binzantium, dan Nasrani menjadi agama resmi di
wilayah tersebut. Untuk itu, penduduk Syam ikut menyebarkan agama Nasrani di
kalangan masyarakat yang berada di bawah kekuasaan Binzantium maupun di luar itu.
Orang Syam menganut Nasrani yang beraliran Monofizi (Monofisit), yaitu aliran alam
(kodrat) yang satu (esa). Aliran ini mengatakan bahwa Isa al-Masih itu esa, dan al-
Masih itu sendiri adalah Allah. Di sisi lain, sebagian orang Hirah memeluk aliran al-
Nasthuriyah (Nestorian), yang dinisbahkan kepada Nestorius seorang patriakh (kepala
333 Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,2002), hal. 30
334 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30335 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30
114
agama) untuk wilayah Konstantinopel yang hidup pada tahun 428-451 M. Aliran ini
mengatakan bahwa al-Masih adalah dua karakter yang berbeda yang terpisah satu
dengan yang lainnya, yang satu karakter Ilahiyah (ketuhanan) dan yang kedua karakter
basyariyah (kemanusiaan).336
Menurut para sejarawan, sebagian dari raja Hirah memeluk agama Nasrani,
dengan alasan di Hirah terdapat gereja. Di antara penganut agama tersebut adalah Hani
bin Qabisyah al-Syaibani, salah seorang pemuka Bani Syaiban. Ia meninggal sebagai
penganut Nasrani. Di Irak salah satu penganut agama Nasrani adalah Bani Ajam bin
Lujaim dari kabilah Bakr bin Wail. Pemimpin suku ini adalah Handalah bin Tsa’labah
bin Sayyar al-Ajali. Agama Nasrani kemudian menyusup ke Jazirah Arabia melalui
Syam, Irak, dan Ethiopia melalui misionaris, pedagang, para kafilah baik di darat
maupun di laut yang memeluk Nasrani. Di antara tempat yang memungkinkan untuk
menjadi jalan ke Arabia adalah Ailah dan Dumat al-Jandal. Mayoritas penduduk Dumat
al-Jandal adalah dari Bani Suhun dan Bani Kalb yang mayoritas beragama Nasrani.337
Di Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah, terdapat sejumlah kecil pemeluk
agama Yahudi. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah.
Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan Khazraj.
Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan.338
Sedangkan di Mekah terdapat sejumlah besar penganut agama Nasrani, terutama di
kalangan budak. Budak-budak ini diimpor dari Ethiopia untuk bekerja bagi kepentingan
saudagar Mekah. Di antara penganut Nasrani dari kalangan Mekah ialah sebagian suku
quraisy dari Bani Asad bin abdul ‘Uzza. Di Thaif terdapat beberapa orang budak yang
menganut agama Nasrani. Di daerah Najed, suku Ta’I dan Kindah tercatat oleh sejarah
sebagai pemeluk agama Nasrani. Kemudian agama inipun berhasil masuk ke Yamamah,
daerah yang sangat terkenal dengan kemajuan pertanian dan industrinya, juga peradaban
penduduknya yang relative tinggi. 339
336 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31337 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31338 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-
Jâhili, hal. 26339 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31
115
Salah satu suku yang menempati wilayah Yamamah dan menganut ajaran
Nasrani menjelang kedatangan Islam adalah Bani Hanifah. Dalam syair al-A’sya salah
seorang penyair pada masa itu disebutkan beberapa bait syair yang mengandung pujian
terhadap Hamzah bin Ali al-Hanafi salah seorang pemuka kabilah Bani Hanifah yang
juga memeluk agama Nasrani.340
Berdasarkan hal ini, untuk memudahkan proses penelitian tentang simbol-
simbol keagamaan pada masa Jahiliyah terutama yang berhubungan dengan ajaran
Nasrani, penulis mengambil sampel dari bait-bait syair yang digubah oleh al-A’sya al-
Kabir salah seorang penyair Nasrani yang hidup pada masa Jahiliyah menjelang
kelahiran agama Islam. Selain al-A’sya, penulis juga memberikan contoh dari syair-
syair Hatim al-Tha’I yang meskipun tidak didaulat sebagai penyair Nasrani, namun dari
latar belakang sejarahnya, ia banyak mengenal ajaran Nasrani.
b. Simbol-simbol agama Nasrani
Sebagaimana disebutkan dalam kategorisasi syair Jahiliyah di atas, bahwa pada
masa Jahiliyah muncul beberapa penyair madzhab Nasrani341 atau penyair-penyair
keagamaan Nasrani, seperti ‘Iddi ibn Zaed dan Umayyah ibn al-Shult. Di samping
kedua penyair tersebut, penyair lainnya yang juga dikenal sebagai penganut Nasrani
adalah al-A’sya al-Kabir. Bila melihat pada latar belakang kehidupan Al-A’sya al-
Kabir342, sebenarnya ia lebih tepat masuk pada katergori penyair kerajaan sebagaimana
dikategorikan oleh kitab al-Mujaz. Namun berdasarkan latar belakang agama yang
340 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 31341 Istilah yang digunakan dalam kitab al-Mujaz fi al-Adab al-‘Arabi; al-Adab al-Jahili, hal.
191342 Nama lengkapnya Maimun ibnu Qais ibn Jandal ibn Syarahabil ibn ‘Auf ibn Sa’ad ibn
Dhabi’ah ibn Qais ibn Tsa’labah. Lahir di sebuah kampung bernama Manfûhah di wilayah Yamamah. Iadikenal dengan nama al-A’sya sebagai julukannya, karena keterbatasannya dalam penglihatan, hinggapada akhirnya mengalami kebutaan. Gambaran tentang kondisi fisik dirinya ini dapat ditemukan dalambeberapa bait syairnya, seperti:
حوارى منى بسامع يراهوليس شيئا بمبصر ظت فلسAku tidak melihat sesuatupun yang ia lihatDan ia juga tidak mendengar apa yang saya perbincangkanAtau dalam bait lainnya:
الوافديـ غائب رجل تتا ضريرا رأ أعشى الخلق مختلف نIa melihat seorang laki-laki yang kehilangan penglihatanMakhluk yang berbeda, A’sya yang buta
116
dianutnya, tidak ada salahnya kalau dalam kajian ini dimasukkan dalam kategori
penyair religi. Selain itu, dalam syair-syairnya pun ia banyak menggunakan simbol-
simbol keagamaan, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan analisis. Berdasarkan hal
tersebut, penulis menganalisis simbol-simbol agama Nasrani yang ada pada masa
Jahiliyah berdasarkan pada simbol-simbol yang terdapat dalam syair al-A’sya al-Kabir
berikut ini:
1. Simbol-simbol Keyakinan
Sebagai penganut agama Kristiani dan juga sebagai penyair kerajaan,
merupakan sebuah kewajaran bila al-A’sya memiliki banyak informasi dan juga
wawasan yang lebih dari yang lainnya. Sebab sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bagi
bangsa Arab penyair dianggap bagai dewa yang tahu segalanya. Hal ini pun tampak
pada syair al-A’sya yang banyak berbicara tentang informasi keagamaan yang pernah
ada sebelum Nabi Isa diutus. Seperti yang terdapat dalam syair berikut ini:
تبر بيـ ةة بحسن كتابهاأولن ترى فى الز نTidakkah kau lihat segala penjelasan yang ada pada kitab ZaburDengan segala kebaikan Kitabnya
نق عذابهاإن القرى يوما ستهـ نلك قبل ح
Bahwa kota ini suatu hari akan musnah,Sebelum azab yang sebenarnya datang
يوما لمر خرابهاوتصير بعد عمارة Lalu (kota) itu yang semula ramaiMenjadi hancur
لتا حكيمة ولما بهاأولم ترى حجرا – وأنـTidakkah kamu melihat kota HijrDan kamu adalah seorang pemimpin di sana
117
Pada mashra’343 pertama, penyair dengan jelas menyebutkan kata al-Zubr (تبر ظز (ال
yang kemudian ia tegaskan dengan mashra’ yang kedua dengan kata Kitab pada
ujungnya. Dari rangkaian bait tersebut, makna al-zubr berorientasi pada kitab suci yang
dikenal dengan nama Zabur. Zabur sebagaimana yang disebutkan dalam bait syair al-
A’sya adalah sebuah nama kitab suci yang diberikan kepada nabi Daud as. Zabur
berasal dari kata zabûr yang diambil dari kata kerja (fi’il) zabara-yazburu-zabr (-نر نب ز
تبرا- ز ظبر Secara etimologi kata zabur dalam bentuk .(يز mufrad (tunggal), berarti kitab
tertulis. Jamak dari kata zabur adalah zubur. Dalam al-Qur’an kata zabur dan jamaknya
zubur disebutkan pada sembilan ayat, sedangkan yang disebutkan mufradnya saja
terdapat dalam tiga ayat.344 Berdasarkan hasil analisa, ayat yang merujuk pada kitab
Zabur yang diturunkan Tuhan pada Nabi Daud as, ternyata hanya yang berbentuk
mufradnya (tunggal). Sedangkan dalam bentuk zamak, istilah zabur lebih merujuk pada
seluruh kitab suci yang diwahyukan pada nabi-nabi terdahulu. Adapun Zabur dengan
arti kitab yang diwahyukan kepada Nabi Daud as, dalam bahasa Arab disebut dengan
mazmûr (مزمور) dan jamaknya mazâmîr (مزامير). Mazmur dalam bahasa Ibrani disebut
Mizmor, dalam bahasa Suriani disebut Mazmor, dan dalam bahasa Ethiopia disebut
mazmûr.345
Berdasarkan hal tersebut, Zabur Nabi Daud as adalah kumpulan mazmur,
nyanyian rohani yang dianggap suci346 yang berasal dari Nabi Daud as. Zabur Nabi
Daud as berisikan nyanyian rohani yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya, dosa-
dosanya, kejatuhannya, pengampunan dosanya oleh Allah, sukacita kemenangannya
atas musuh Allah, dan kemuliaa Mesiah yang akan datang. Zabur yang merupakan
mazmur berisikan lima macam nyanyian, yaitu, nyanyian liturgi untuk memuji Tuhan,
nyanyian perorangan sebagai rasa syukur, ratapan-ratapan jemaat, ratapan dan do’a
individu, serta nyayian untuk raja.347
343 Bagian pertama dalam bait344 Nama-nama surat dan ayatnya yang mengandung kata zabur dan jamaknya zubur lihat di
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jilid. 5, hal. 219345 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hal. 219346 Kumpulan nyanyian rohani dalam bahasa Inggris disebut dengan Psalms.347 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hal. 219
118
Berdasarkan pada penjelasan di atas, syair di atas menggunakan kata Zabur
dalam bentuk tunggal, sehingga makna yang diinginkan lebih dekat pada kitab Zabur
yang diturunkan pada Nabi Daud as. Hal ini juga ditegaskan oleh bait berikutnya yang
menjelaskan sebagian isi dari kitab Zabur tentang ramalannya terhadap kota –pada bait
selanjutnya kota ini disebutkan namanya yaitu Hijr- yang ditempatinya, bahwa kota
tersebut suatu hari akan musnah, sebelum azab yang sesungguhnya datang. Artinya
kehancuran kota Hijr sudah di ambang pintu yang diakibatkan oleh ulah mereka sendiri,
bukan diakibatkan oleh azab yang sudah dijanjikan Tuhan. Berdasarkan hal ini, maka
dapat dipastikan bahwa kaum Nasrani pada masa Jahiliyah telah mengenal kitab Zabur,
sebagai salah satu kitab suci agama Samawi sebelum agama Nasrani. Penyebutan kata
Zabur pada syair tersebut menjadi simbol, bahwa umat Nasrani pada masa Jahiliyah
telah mengenal ajaran-ajaran Samawi melalui kitab Zaburnya, penyebutan kitab Zabur
dalam syair tersebut juga menunjukkan akan adanya sistem keyakinan terhadap kitab
suci yang dianutnya.
Hal menarik lainnya dalam rangkaian bait syair di atas adalah disebutkannya
kata Hijr, nama sebuah kota yang juga disebutkan dalam al-Qur’an:
نذب أصحاب الحجر المرسلين ولقد كDan sungguh, penduduk negeri Hijr itu telah mendustakan para Rasul.
Ramalan yang ada dalam kitab Zabur, sebagaimana disebutkan dalam syair al-
A’sya tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an. Tentang
pendustaan kaum Hijr terhadap para utusan Tuhan di negeri tersebut. Penyebutan kata
Hijr dalam syair tersebut menjadi simbol akan adanya pengingkaran terhadap ajaran
agama yang disampaikan oleh para utusan Tuhan yang dilakukan oleh kaum terdahulu,
yang mungkin juga dilakukan oleh kaum setelahnya yang kemudian menjadi penyebab
kehancuran suatu bangsa. Hijr adalah simbol pengingkaran manusia masa lalu terhadap
Tuhan yang dijelaskan baik dalam kitab Zabur, maupun ayat al-Qur’an. Berita tentang
kaum Hijr hanyalah salah satu symbol keyakinan tentang berita masa lalu yang diyakini
oleh penyair.
119
2. Peralatan ritus dan upacara
Simbol lainnya yang terkait dengan kehidupan beragama kaum Nasrani tampak
pada peralatan ritus yang digunakan saat itu. Hal ini tampak pada bait syair berikut ini:
نن فى محرابهاإن الثعالب بالضحى يلعبDi pagi hari, orang Bani Tsa’labah 348 bermain-main Di mihrabnya
349من وقتها وحسابهافخل لذلك ما خل
Untuk itu ia berkhalwat (mengasingkan diri)Menghindar dari saatnya dan hisabnya
Dalam bait syair yang pertama, terdapat kata mihrab, sebuah istilah yang identik
dengan tempat beribadat, baik dalam agama Nasrani, Yahudi, maupun Islam. Tempat ini
biasanya menjadi arah kiblat dalam beribadah, atau tempat imam berdiri saat memimpin
jama’ah. 350 Mihrab dalam syair tersebut merupakan simbol ritus agama Nasrani.
Adapun simbol upacara atau tata cara peribadatan penganut agama Nasrani
tampak pada syair berikutnya:
ظحبش فى محرابهاوالجن تعزف حولها كالDan Jin bernyanyi di sekelilingnyaSeperti kaum Habasyah di Mihrabnya
Syair ini merupakan lanjutan bait sebelumnya. Pada bait sebelumnya penyair
menggambarkan ritual yang dilakukan oleh Bani Tsa’labah di mihrab. Dalam bait ini,
tampak penyair menggambarkan situasi ritual di dalam mihrab tersebut, di mana di
348 Kata tsa’alib adalah jamak dari tsa’labah. Dalam bahasa kamus kata ini diartikan dengankancil, namun selain kata tersebut dalam sejarah bangsa Arab dikenal juga nama Bani Tsa’labah, sebuahnama kabilah yang ada di Jazirah Arab. Arti yang kedua mungkin lebih dekat, penegasan kata ini dapatkita lihat pada bait setelahnya:
قبابها حول بعد سعــد بن نة ثعلب وجميعsedangkan semua Bani Tsa’labah, setelah ituDi sekeliling kubah-kubahnya
349 Mahdi Muhammad Nashiruddin (penyusun dan pensyarah), Diwan al-‘A’sya al-Kabir,(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987 M/1407 H), hal. 16
350 Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, hal. 124-125
120
dalamnya para jin ikut bernyanyi. Namun hal penting dari bait syair tersebut adalah
perumpamaan (tasybih) yang digunakan penyair untuk menggambarkan ritual kaum
Habasyah yang notabene beragama Nasrani dengan ibadat yang dilakukan oleh para jin
dari Bani Tsa’labah, yaitu sama-sama menyanyi (تعزف) yang mungkin kita kenal
dengan istilah nyanyian kebaktian.
Simbol ritus dan ajaran Nasrani lainnya dapat dilihat dalam syair berikut ini:
نة بن سعـ ـد بعد حول قبابهاوجميع ثعلبsedangkan semua Bani Tsa’labah, setelah ituDi sekeliling kubah-kubahnya
نء ما اسـ نزا ظت منمن شربها الم ـتبطن
إشرابهاSambil meminum khamr (arak) yang aku sendiriTak ingin meminumnya351
ظت أن الله عمـ نسها وأرى بهاوعلم 352ـدا ح
Sebab aku tahu bahwa Allah telah dengan sengaja menetapkan hina (najis) pada arak itu
Selain kata Mihrab, simbol peralatan ritual lainnya yang juga ada hubungannya
dengan mihrab adalah kata qibbab yang merupakan jamak dari qubbah. Dalam kamus
kata tersebut diartikan dengan kata yang sama yaitu kubah, sebuah atap bangunan
berbentuk bundar dan melengkung. Berdasarkan syair di atas, kubah ini dijadikan
sebagai tempat berkumpul masyarakat Arab saat itu, sambil berpesta minuman arak.
351 Kandungannya syair ini sangat bertentangan dengan kebiasaan al-A’sya yang menurutbeberapa riwayat adalah orang yang gemar mabuk. Hal ini bisa dipahami, karena ia adalah seorangpenyair kerajaan yang banyak bergaul dengan kalangan atas yang menjadikan minum arak sebagai sebuahtradisi. Namun demikian, syair di atas bisa dipahami bila berbicara berbicara dalam konteks agama yangmelarang umatnya untuk meminum arak.
352 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal. 18-19
121
Berkaitan dengan minum arak, penyair sebagai penganut agama Nasrani dengan
tegas menyatakan bahwa ia sendiri tidak meminumnya. Alasan ketidakikutsertaan
penyair dalam minum arak sangat jelas termaktub dalam syairnya, “Sebab aku tahu
bahwa Allah telah dengan sengaja menetapkan hina (najis) pada arak itu”. Landasan
keyakinan akan agama yang dianutnya jelas menjadi alasan penyair untuk tidak
meminum arak. Ungkapan ini juga menjadi simbol salah satu ajaran Nasrani yang
mengharamkan umatnya untuk meminum minuman keras yang dalam syair disebut
dengan istilah syurb al-muza ( نء شرب نزا الم ).
س ناقتى ولماوردتا على سعيد بن قيـ
بهاUntaku datang pada Sa’id bin QaisDengan segala tujuannya353
ةف نك مسك على أنصابهافإذا عبيد عTiba-tiba seorang ahli ibadah (pendeta)melarang memberikan apapun pada berhala-berhalanya
Pada bait-bait syair di atas terdapat banyak simbol keagamaan nasrani, baik
yang bersifat materi maupun dalam bentuk ajaran agama. Sebagai contoh pada bait
pertama terdapat kata ‘abîd (عبيد) yang dirangkai dengan ‘ukkaf (عكف). Keduanya
menunjukkan simbol keagamaan, sebab ‘abid bila diartikan adalah seorang ahli ibadah
atau dalam agama Nasarani lebih tepatnya pendeta. Kata ‘ukkaf diambil dari suku kata
‘a-ka-fa yang artinya beri’tikaf atau berdiam diri dengan sengaja di tempat ibadah untuk
untuk beribadah. Kata ‘ukkaf sendiri merupakan isim fa’il (pelaku) dari I’tikaf. Kedua
kata tersebut berarti ahli ibadah yang sedang beribadah. Dari kedua kata ini muncul
symbol lain yang berbentuk ajaran Nasrani. Ajaran ini tampak pada apa yang dilakukan
oleh ahli ibadah Nasrani tersebut yang terlihat dalam ungkapan mumsik ‘ala anshabiha
353 Dhamir (kata ganti) nya dalam syair tersebut adalah untuk tokoh perempuan yang bernamaSulma yang ada dalam syair al-A’sya sebagaimana yang terdapat dalam muqadimah syairnya.
122
(مسك عـلـى أنـصـابها) yang dalam syarah diwan al-A’sya diartikan dengan
seseorang yang melarang orang lain dari memberi makanan atau sesaji pada berhala-
berhala. Dari syair di atas, tampak jelas bahwa agama Nasrani pada saat itu telah
berupaya untuk menghilangkan tradisi bangsa Arab yang suka menyembah berhala.
Anshab atau berhala sebagaimana digambarkan dalam syair tersebut jelas menjadi salah
satu peralatan ritus bangsa Arab pada masa Jahiliyah.
3. Simbol Keyakinan
Selain simbol-simbol yang berbentuk fisik dan ajaran, dalam syair al-A’sya juga
terdapat simbol-simbol keyakinan yang tampak dalam konteks syairnya seperti berikut
ini:
فلله هذاشباب وشيب وافتقار وثروة
نددا الدهر كيف ترMuda dan Tua, miskin dan kayaSemua (masa) itu milik Allah, bagaimana engkau bisa ragu
ظت أبغى المال مذ أنا يافع وليدا وكهلوما زل
ظت وأمردا حين شبAku akan tetap mencari harta (bekerja), selagi masih mudaKetika rambut bercampur uban maka aku telah tua (tak mampu bekerja)
Dalam syair tersebut terlihat simbol-simbol keyakinan yang dianut oleh penyair,
bahwa segala hal yang terjadi pada manusia, baik masa muda, menjadi tua, keadaan
miskin, maupun kaya, pada hakekatnya adalah takdir Tuhan dan kehendaknya yang
tidak boleh diragukan lagi. Namun demikian, meskipun semua yang disebutkan tersebut
adalah kehendak Tuhan, bukan berarti manusia harus berpangku tangan tanpa usaha.
Untuk itu ia tegaskan dengan bait “Selagi masih muda, Aku akan tetap mencari harta
(bekerja), dan ketika rambut bercampur uban itu berarti aku telah tua (tak mampu
123
bekerja lagi)”. Berdasarkan syair tersebut, kita tentu ingat apa yang dikatakan oleh
Rasulullah SAW pada umat Islam:
لخيرتكاعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل
كأنك تموتا غداBekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanyaDan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari
Berdasarkan hal tersebut, maka tampak persamaan ajaran antara kedua agama
Samawi, Islam dan Nasrani.
Al-A’sya adalah penyair Nasrani Jahiliyah, namun sempat mengalami hidup
semasa dengan Rasulullah SAW.354 Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa
ia sempat hendak memeluk Islam, namun dihalangi oleh kaum kafir Quraisy, sehingga
ia memutuskan untuk tidak meneruskan keinginannya tersebut. Namun demikian, ia
mengakui akan kebenaran ajaran Muhammad SAW.355 Beberapa pengakuannya terhadap
kebenaran ajaran Islam dapat kita saksikan dalam syair-syairnya berikut ini:
تريحىمتى ما تناخى عند باب ابن هاشم
وتلقى من فواضله يدا
Kapan saja kamu memohon keberkahan di depan pintu Ibnu Hasyim (Muhammad Saw)Pasti kamu merasa damai dan memperoleh keberkahan tangannya.
ني يرى ما لترون وذكره نعمرىنب أغار، ل
فى البلد وأنجداSeorang Nabi yang dapat melihat apa yang tidak dapat kalian lihat dan –demi agamaku- menyebut-nyebutnya adalah sebuah kemuliaan di kota ini
354 Al-A’sya al-Kabir wafat pada tahun 629 M, sedangkan Nabi Muhammad SAW wafat padatahun 632 M.
355 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal. 8
124
بب ونائل وليس عطاء اليومله صدقاتا ما تغ
مانعه غداShadaqahnya tak pernah berhentiMemberi hari ini tidah menghalanginya untuk bersedekah esok hari
ندك لم تسمع وصاة محمد ني اللهأج نب
حين أوصى وأشهداSungguh engkau belum mendengar ajaran MuhammadSeorang Nabi Allah ketika ia berwasiat dan bersaksi
نت لم ترحل بزاد من التقى نت بعدإذا أن ولقي
نودا الموتا من قد تزJika kamu hidup tidak berbekal takwaLalu setelah mati berjumpa dengan orang yang bertakwa
نت على أن تكون كمثله وأنك لم ترصدندم
لما كان أرصداKamu pasti menyesal karena tidak seperti diaDan kamu tidak bersiap-siap seperti yang ia lakukan
منها تن سهمافإيك والميتاتا ل تأكل ول تأخذ
حديدا لتفصداJauhilah bangkai dan janganlah kamu sekali-kali memakannyaDan jangan pula melempar panah besi untuk mengundi nasib
125
منه ظتنسك ول تعبد الوثانوذا النصب المنصوب ل
والله فاعبداPatung yang disembah-sembah itu, janganlah kamu sembahDan janganlah menyembah berhala, namun sembahlah Allah
نياتا والضحى مل على حين العش ول تحمدوص
356الشيطان والله فاحمدا
Shalatlah pada waktu malam dan siang hariDan janganlah memuji Syetan, pujilah Allah
Dalam rangkaian syair madah (pujian) yang ditujukan pada Nabi Muhammad
SAW tersebut, terdapat beberapa simbol keagamaan yang ia utarakan, seperti kemuliaan
dan keistimewaan Nabi Muhammad SAW, pengakuan akan kenabian Muhammad SAW,
keistimewaan sedekah, anjuran untuk hidup berbekal takwa, larangan memakan bangkai
dan mengundi nasib (judi), larangan menyembah berhala, dan keharusan untuk
menyembah Allah SWT, perintah untuk menjalankan shalat dan memuji Tuhan, serta
larangan untuk memuji syetan. Dari syair tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa
semua hal yang diungkapkan penyair, pada dasarnya adalah simbol-simbol ajaran Islam
yang mungkin ia yakini kebenarannya, sebab pada prinsipnya adalah sama.
Dari keyakinan tersebut, sebagaimana terdapat dalam syair-syair Jahiliyah yang
lain, al-A’sya pun sebagai penyair Nasrani terbiasa menggunakan sumpah atas nama
Allah untuk menegaska sesuatu yang diyakininya. Hal ini membuktikan bahwa tradisi
bersumpah dengan nama Allah sudah menjadi budaya masyarakat Jahiliyah. Hal
tersebut dapat kita saksikan dalam contoh syair berikut ini:
تنزلوا ظت نل، يمين الله حتى من رأس شاهقةك
إلينا "السودا"356 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal. 50-51
126
Ingatlah, Demi Allah, hingga kalian melepaskan “Aswad” 357dari ketinggian
تت نيل من لمنلنقاتلنكم على ما خ ولنجعل
نردا 358بغى وتم
Akan kuperangi kalian, seperti yang dibayangkanKuperuntukkan bagi yang menentang dan melawan
Kata الله dalam syair يمين di atas adalah salah satu gaya bahasa dalam
bersumpah yang biasa dilakukan oleh masyarakat Arab di samping wallahi, tallahi,
halaftu billahi, dan lain sebagainya. Persoalannya apakah lafaz Allah tersebut, berasal
dari bahasa Arab atau diadopsi dari bahasa Agama sebelumnya, hal ini perlu
argumentasi yang lebih banyak lagi.
Simbol keyakinan pada Yang Maha pemberi rizki tampak dalam syair di bawah
ini:
رزقا تضمنه لناوجعل الله طعامنا فى مالنا
359لن ينفدا
Allah telah menjadikan makanan dalam harta kitaSebagai rizki yang tak pernah salah
وقيسا هم خيرنزور يزيد وعبد المسيح
360أربابها
Kami mengunjungi Yazid dan Abdul MasihJuga Qais, mereka semua pemimpin kami yang terbaik
357 Dalam Diwan al-‘A’sya al-Kabir dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Aswad adalahsaudara kandung Haufzan yang sedang ditawan oleh Kisra (raja).
358 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal.54359 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal.54360 Diwan al-‘A’sya al-Kabir, hal.30
127
Syair pertama menyatakan adanya keyakinan pada Sang pemberi rizki dengan
menyandarkannya pada lafaz Allah, sedangkan pada bait kedua, menjadi bukti adanya
keyakinan umat Nasrani atas ketuhanan Isa al-Masih. Hal ini terbukti dari nama yang
disebut oleh penyair yaitu Abd al-Masih yang artinya hamba al-Masih, dan al-Masih
adalah nama lain dari nabi Isa as. Dalam bahasa Arab, pengidhafatan (penyandaran)
kata abd (hamba) biasanya dirangkai dengan sesuatu yang dianggap sakral dan suci atau
memiliki makna penyembahan, seperti Abdullah yang artinya hamba Allah, abd al-
syams (hamba matahari), abd al-Uzza (hamba Uzza/berhala bernama Uzza), dan lain
sebagainya.
Selain al-A’sya al-Kabir yang sudah dikenal sebagai penganut Nasrani, simbol-
simbol agama Kristiani juga tampak pada bait-bait syair yang digubah oleh Hatim al-
Tha’i361. Hatim al-Tha’I, memang dalam buku-buku sejarah Sastra Arab tidak
dikategorikan sebagai penyair religi, namun demikian sebagaiman disebutkan di atas
bahwa suku Tha’i dan Kindah yang terletak di daerah Najed, tercatat sebagai pemeluk
agama Nasrani. Hatim sebagaimana julukan populernya al-Tha’I, adalah penyair
kelahiran Najed dari suku Tha’i yang mayoritas adalah pemeluk agama Nasrani. Hal ini
juga diperkuat dengan bukti sejarah lainnya yang mengatakan ia juga tinggal di wilayah
Syam karena menikah dengan Mawiyah binti Hajar seorang putrid dari kerajaan
Sasaniah (Ghasaniah). Dan Syam sebagaimana disebutkan di atas salah satu pusat
perkembangan agama Kristiani. Untuk itu, besar kemungkinan Hatim telah banyak
mengenal ajaran-ajaran Kristiani dan menjadi salah seorang penganutnya. Hal ini
tampak dalam beberapa bait syairnya yang mengandung jaran-ajaran agama:
بهفلو كان ما يعطى رياء لمسكت
ظتا اللوم يجذبنه جذبا جنباAndai apa yang diberikan ini sebuah bentuk keriyaan (pamer), maka sesungguhnya celaan itu akan menahannya dengan kuat
361 Nama lengkapnya Hatim ibn Abdillah ibn Sa’ad ibn al-Hasyraj al-Tha’I al-Qahthani.Seorang penyair Jahiliyah yang terkenal dengan kedrmawannya.
128
Yakni apabila seseorang memberikan sesuatu hanya untuk tujuan riya (pamer),
maka yang ia dapatkan sesungguhnya hanyalah sebuah kehinaan.
فأعط فقدولكنما يبغى به الله وحده
نت فى البيعة الكسبا 362أربح
Akan tetapi hendaklah berbuat karena Allah semata(Jika sudah berniat seperti itu), berikanlah, maka engkau sesungguhnya telah beruntung dalam perniagaan.
Bila diperhatikan, sungguh erat kaitannya antara penyebutan kata Allah pada
bait kedua dengan sikap riya pada bait sebelumnya. Sikap riya dalam berderma
sepertinya sangat ditentang oleh penyair, bahkan pada bait selanjutnya ia tegaskan
bahwa segala perbuatan khususnya berderma hendaknya hanya karena Allah semata dan
mencari keridhaanNya. Syair tersebut menjadi simbol bahwa agama Nasrani pada
hakekatnya telah mengajarkan nilai-nilai keikhlasan dalam beramal sebagaimana juga
yang diajarkan oleh agama Islam.
Bait syair ini sungguh mengingatkan kita pada ajaran-ajaran Islam tentang nilai-
nilai shadaqah. Sebuah ajaran yang sama-sama mengajarkan kasih dan keikhlasan
dalam beramal. Istilah الله به yang يبغى berarti berbuat sesuatu karena Allah,
dalam al-Qur’an disebutkan secara berulang-ulang, dengan berbagai ungkapan, seperti
يبتغون فضل من الله , لتبتغوا فـضـل ـمـن ربـكـم , ابتـغـاء وـجـه الـلـه
الله مرضاة dan ,ابتغاء masih banyak lagi yang semuanya menunjukkan pada
makna perbuatan yang hanya dilakukan atas nama Allah dan hanya mencari
keridhaanNya.
فإن علىكلوا الن من رزق الله وأيسروا
363الرحمان رزقكم غدا
362 Ahmad Rasyad (Penghimpun dan pesyarah), Diwan Hatim al-Tha’i, (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyah), 1986 M/1406 H), hal. 9
363 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 18
129
Nikmatilah rizki Allah saat ini, dan permudahlahKarena sang Maha pengasihlah yang akan memberi kalian rizki esok Hari
Sebuah konsep keyakinan yang biasa diyakini oleh pemeluk agama Samawi
bahwa Allahlah pemberi rizki makhluknya, sekarang dan esok hari. Tidak perlu ada ada
rasa ketakutan akan lapar yang akan menimpa esok hari, karena rizki itu di atur oleh
sang Maha kasih (al-Rahman). Nama al-Rahman sebagaimana yang kita ketahui adalah
salah satu Nama Allah yang ada dalam al-asma al-husna (Nama-nama Allah yang baik).
Selain yang terkait dengan ajaran-ajaran di atas, lafaz Allah juga seperti
penduduk Arab lainnya, dalam syair Hatim juga digunakan untuk bersumpah.
Bersumpah dengan menggunakan lafaz Allah sepertinya sudah menjadi kebiasaan
masyarakat Arab Jahiliyah dan menjadi retorika dalam percakapan bahasa Arab.
Terbukti sumpah-sumpah dengan diidhafatkan pada nama Allah dilakukan oleh semua
kalangan masyarakat Arab pada masa itu, seperti halnya juga dilakukan oleh penganut
agama Nasrani seperti dalam syair Hatim al-Tha’i beirikut ini:
ةة نية غدو ند القر تت باللهوتواعدوا ور وحلف
نبس ظنح العزيز لMereka saling berjanji di sebuah sumur air di pagi hariDan aku bersumpah atas nama Allah yang Maha Agung, kami akan menahan diri
طرف الجريضوالله يعلم لو أتى بسلفهم
ةم مشكس مل يو 364لظ
Dan Allah tahu, jika datang para pembawa kehancuran dengan membawa arak-arak mereka Hari-hari akan terus dalam kesulitan
Sungguh menarik syair Hatim al-Tha’i ini, dan hal ini semakin membuat kita
yakin kalau ia adalah seorang yang religius. Maka tidak salah jika ia kemudian
364 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 33
130
dimasukkan dalam kategori penyair religi Nasrani. Dalam syairnya tersebut ia
bersumpah atas nama Allah bahwa ia akan menahan diri dari minum-minuman keras
yang ia sebut dengan nama sulâf,365 meskipun di tempat pertemuan yang ia sebut
dengan wird al-qaryah semua orang meminum arak. Larangan meminum khamr
tersebut, sangat jelas dinyatakan oleh Hatim al-Thai’I bahwa landasannya adalah
agama, meski tidak dinyatakan secara inplisit bahwa agama Nasranilah yang
melarangnya. Dari caranya menyandarkan sebuah ajaran atau prinsip hidup dengan atas
nama Allah adalah sebuah bukti bahwa meminum khamr bukan hanya dilarang bagi
umat Islam, namun juga sudah dilarang oleh agama sebelum Islam, terutama oleh
agama samawi seperti agama Nasrani. Dalam syair tersebut juga jelas disebutkan akibat
yang akan terjadi jika mereka tetap tidak berhenti meminum-minuman keras, yakni
akan muncul berbagai kesulitan yang ia namakan dengan kata musykis.
معاذ اللهأأفضح جارتى وأخون جارى
ظت 366أفعل ما حيي
Apakah aku pantas membuka aib tetangga perempuanku dan menghianati tetangga laki-lakikuAku berlindung pada Allah dari melakukan hal seperti itu
Selain ajaran tentang larangan meminum arak, dalam syairnya, Hatim juga
mengucapkan kata ma’adzallah ( الله yang artinya aku mohon perlindungan dari (معاذ
Allah. Kata tersebut ia ucapkan sebagai permohonan kepada Allah agar ia tidak pernah
menyebarkan aib seseorang atau juga menghianatinya. Dua ajaran moral yang juga
menjadi ajaran Nabi Muhammad SAW yang sangat ditekankan, bahkan dalam al-
Qur’an dinyatakan bahwa siapapun yang menyebarkan aib orang lain, ibarat memakan
bangkai saudaranya sendiri. Dan perintah untuk selalu menjaga amanat dan larangan
untuk tidak melanggar perjanjian, dalam al-Qur’an ditekankan secara berulang-ulang,
begitu pula dalam berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. Jika semua ini syair di atas
365 Dalam Diwan Hatim al-Tha’I disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sulâf adalahkhamrah atau arak.
366 Diwan Hatim al-Tha’i, hal. 10
131
adalah sebuah kebenaran, maka sesungguhnya ajaran agama Samawi pada hakekatnya
satu.
Menurut Prof. Dr. Koetjaraningrat yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor, ada
beberapa komponen yang terkait dengan sistem religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2)
sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, dan (5)
umat beragama.367 Dari simbol-simbol agama yang telah disebutkan di atas, maka
Nasrani pada masa Jahiliyah sudah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi sebuah
agama karena di dalamnya sudah tercermin emosi keagamaan, keyakinan, ritus dan
peratalannya, serta penganut agama itu sendiri
367 Heny Narendrany, Psikologi Agama, hal. 6
132
D. Simbol-simbol keagamaan dalam syair Yahudi
a. Latar Belakang Sejarah Agama Yahudi pada Masa Jahiliyah
Yahudi adalah salah satu agama Samawi yang berkembang di Jazirah Arab.
Penganut agama Yahudi yang masuk ke Jazirah ini berasal dari Suriah, Paletina, dan
Irak. Agama yahudi akhirnya mendapatkan penganut yang kuat di Yaman. Perpindahan
orang Yahudi ke Yaman ini disebabkan oleh adanya peperangan yang terus-menerus di
Pelastina pada abad pertama Masehi. Hal tersebut mendorong pindahnya orang Yahudi
dari tanah air mereka untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian, di Yaman mereka
juga mendapatkan kesulitan karena Yaman tetap menjadi ajang pertikaian antara dua
kekuatan besar, yakni Binzantium yang beragama Nasrani dan Sasaniah yang beragama
Zoroaster. Kedua imperium ini menggunakan agama sebagai alat pembenaran bagi
ekspansi mereka ke Yaman, wilayah yang memiliki sumber alam potensial.368
Di samping Yaman, daerah yang menjadi tujuan pengikut Yahudi ialah Madinah,
Lembah al-Qura’, Khaibar dan Taima. Penganut agama Yahudi juga terdapat di Bahrein.
Ketika Nabi Muhammad SAW mengajak penduduk wilayah ini untuk masuk Islam,
ternyata mereka beragama Yahudi. Pengikut Yahudi bekerja di sektor perdagangan,
pertanian, dan industri, di samping sebagai rentenir di kalangan masyarakat miskin. Di
Nejran sebuah wilayah pertanian yang subur, para penganut Yahudi mendirikan
pemukiman dan tempat tinggal bersama penduduk Arab asli yang menyembah berhala,
dan pemeluk agama Nasrani. Berbeda dengan orang Nasrani, orang Yahudi tidak
menekankan bimbingan agama untuk sesama Yahudi atau menyebarkan agamanya bagi
masyarakat lain. Mereka juga tidak memiliki fasilitas khusus untuk kepentingan agama
Yahudi. Oleh karena itu, orang Yahudi biasanya hanya mendiami tempat-tempat yang
dapat dijangkau transportasi. Mereka lebih mementingkan pengumpulan harta
sebanyak-banyaknya.369
Hal yang paling penting yang perlu diketahui bahwa meskipun kaum Yahudi itu
lebih mementingkan materi, namun demikian berkat tangan mereka, pemikiran tentang
368 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30369 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30
133
ketuhanan, termasuk ajaran-ajaran tentang kejadian alam, kebangkitan, perhitungan
amal di akhirat, surga, neraka, setan dan iblis di Jazirah Arab mulai dikenal.370
Kaum Yahudi pada masa Jahiliyah tidak mengembangkan karakteristik tertentu
dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, nama orang, keluarga, maupun kabilah diambil
dari nama-nama Arab. Dan syair yang digubah oleh penyair Yahudi pun memiliki cirri-
ciri khas Arab pada masa itu.Begitu juga halnya dalam kehidupan sosial politik, tidak
terdapat perbedaan yang menonjol antara kaum Yahudi dengan bangsa Arab pada
umumnya. Untuk itu, banyak orang Arab yang memeluk agama Yahudi, sehingga istilah
Yahudi pada saat itu lebih berkonotasi agama.371
b. Simbol-simbol Agama dalam syair Umayyah Ibn Abi al-Shult372
Agama Yahudi adalah agama yang sempat berkembang pada masa Jahiliyah,
seperti halnya agama Kristen. Pemeluk agama Yahudi menempati kota Yatsrib yang
kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan
Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan
Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan.
Sebagaimana agama Samawi lainnya, simbol-simbol keagamaan dalam kehidupan
mereka tampak jelas. Sebagai contoh syair religi yang digubah oleh Umayyah ibn Abi
al-Shult Penyair Yahudi berikut ini:
نحنا ظمصب ظممسانا و صبحناالحمد لله بالخير
نسنا نبى وم رSegala puji bagi Allah di pagi hari dan sore hariWahai Tuhanku, berikan kami kebajikan di pagi dan sore hari
370 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30371 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 30372 Umayyah ibn Abi al-Shult ibn Abi Rabi’ah berasal dari suku Qais ‘Ailan. Ia banyak
mempelajari kitab-kitab kuno terutama Taurat. Untuk itu ia termasuk penyair yang sangat religius, bahkantermasuk seorang zahid.
134
نب الحنيفة لم تنفذ خزائنها طبقر مملوءة
الفاق سلطانا Tuhan (pemilik agama) Hanif yang kekayaannya tidak pernah habis Kuasanya meliputi seluruh lapisan cakrawala
Pada bait pertama, tampak nyata simbol keyakinan yang dianut oleh penyair,
yaitu keyakinan pada Allah SWT yang mengatur roda kehidupan alam ini. Silih
bergantinya siang dan malam, adalah sebuah bukti akan kekuasaan Allah yang harus
disyukuri. Dalam syair tersebut juga terselip sebuah doa pada Allah agar senantiasa
memberikan kebaikan dari setiap pergantian masa, baik pagi hari maupun sore hari.
Sebagai seorang muslim, mungkin hapal atau miminimal pernah mendengar doa dari
Rasulullah berikut ini:
اللـهـم ـبـك أـصـبحنا وـبـك أمـسـينا وـبـك نحـيـا وـبـك
نموتا وإليك النشورYa Allah bersamaMu kami jalani pagi ini dan bersamaMu pula kami jalani sore
inibersamaMu hidup dan mati kami, dan padaMulah kami kembali
Inti dari do’a tersebut hampir sama dengan syair Umayyah Ibn Abi al-Shult
sebelumnya, bahkan dari segi bahasa ada beberapa kemiripan antara keduanya, yaitu
pada kata pagi dan sore hari yang dirangkai dengan permohonan pada Tuhan untuk
mendapat kebaikan di dalamnya. Hal yang membedakan antara keduanya terletak pada
penambahan kata akhir sebagai penyempurna do’a bagi umat Islam, yaitu pada kata
denganMu hidup dan mati kami, serta padaMu kami kembali.
Pada bait berikutnya, kata hanifah yang terdapat dalah syair tersebut adalah
simbol agama samawi. Hanifah secara bahasa berarti condong ke jalan yang lurus
(benar). Yakni sikap yang berpihak pada kebenaran yang datang dari Allah SWT
melalui ajaran agama Islam yang dibawa Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad SAW.
135
Di dalam al-Qur’an terdapat 12 kata hanif dan kata-kata lain yang berasal dari
derivasi yang sama. Dari syair Abu al-Shult di atas, terbukti bahwa istilah hanif sudah
dikenal sejak zaman pra Islam. Memang dalam bait tersebut tidak disebutkan apakah
yang ia maksudkan dengan kata hanifah adalah agama Nabi Ibrahim as atau bukan,
namun dari mashra’ berikutnya dapat diketahui bahwa ada sebuah keyakinan agung
dari sang penyair akan adanya penguasa yang menguasai jagat raya ini, sebagaimana
keyakinan agama hanif yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Sebagaimana terdapat dalam
bait syair:
يي لنا منا فيخبرنا منأل نب غايتنا بعد ما رأس محيانا
(ingatlah Ia telah mengutus) Seorang Nabi dari (golongan) kita untuk kita, untuk memberitahukan kita, tentang tujuan akhir kehidupan kita.
نبنا آباءنا هلكوا الولدبينا يرب تقتنى وبينما افنانا
Apa yang diajarkan oleh nenek moyang kita pasti hancurDan apa yang didapat oleh anak-anak akan berkembang
يلحقوقد علمنا لو أن العلم ينفعنا سوف أن 373أخرانا بأولنا
Kita tahu, bahwa ilmu itu bermanfaat (dengan itu pasti kita juga tahu), bahwa kehidupan akhir adalah awalperjumpaan dengan kehidupan awal lainnya.
Dari bait-bait syair di atas, tampak jelas bahwa kata rabb al-hanifah (Tuhan
pemiliki agama yang lurus), terkait erat dengan kata nabi yang diutus untuk umat
manusia yang berasal dari kelompoknya masing-masing. Untuk itu perlu diperhatikan
syair ini:
يي لنا منا فيخبرنا رأسأل نب من غايتنا بعد ما
محيان373 Al-Mujaz fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 202
136
(ingatlah Ia telah mengutus) Seorang Nabi dari (golongan) kita untuk kita, untuk memberitahukan kita, tentang tujuan akhir kehidupan kita.
Kata nabi pada bait syair tersebut tidak ditujukan pada satu nama nabi, tidak
Ibrahim, tidak Isa, tidak juga Muhammad. Hal ini terlihat dari kata Nabi yang
menggunakan isim nakirah bukan ma’rifah.374 Hal ini sudah ditegaskan dalam syair
sebelumnya bahwa rabb al-hanifah (Tuhan pemilik agama yang hanif), Dialah yang
mengutus Nabi kepada setiap umat yang akan menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan yang
sebenarnya, yang akan memberitahukan tentang akhir tujuan hidup ini.
Pada bait selanjutnya disebutkan:
يلحقوقد علمنا لو أن العلم ينفعنا سوف أن 375أخرانا بأولنا
Kita tahu, bahwa ilmu itu bermanfaat (dengan itu pasti kita juga tahu), bahwa kehidupan akhir adalah awalperjumpaan dengan kehidupan awal lainnya.
Syair ini menunjukkan adanya keyakinan pada penyair tentang adanya
kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini yang dinyatakan dengan kata ukhrâna dan
ulâna. Yang pertama berarti akhir dari kehidupan (dunia) dan yang kedua awal dari
kehidupan (akhirat).
Pada syair berikutnya, Abu al-Shult menyebutkan berbagai simbol keyakinan
seperti terdapat pada bait-bait berikut ini:
الله وملئاكته
أعلىلك الحمد والنعماء والملك ربنا شيء فل
ظد منك مجدا وأمجWahai Tuhan kami, bagiMu segala puji, kenikmatan dan kekuasaan
374 Nakirah adalah isim (kata benda) yang belum pasti, biasanya ditandai dengan tanwin padaakhir katanya, sedangkan ma’rifah adalah isim yang sudah jelas. Dalam bahasa inggris nakirah biasanyaditandai dengan artikel a atau an, sedangkan untuk ma’rifah diberi tanda artikel the.
375 Al-Mujaz fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 202
137
Tak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dan mulia dari-Mu
ةة أقدامهم تحت عرشه اللهوملئك لول بكفيه
نلوا وأبلدوا ك
Di bawah ArsyNya kaki-kaki MalaikatDemi kedua telapak tanganNya, jika bukan karena Allah, mereka pasti letih danlemah
ةم على القدام عانين تحته فرائصهمقيا
من شدة الخوف ترعد
Tampak nyata berdiri dengan kaki di bawah ArasyTubuhnya bergetar karena sangat takut376
يصيخونوسبط صفوف ينظرون قضاءه
مكد ظر بالسماع للوحي Berbaris dengan rapi, menunggu keputusannyaMendengarkan wahyu dengan tenang
تدس جبريل فيهم ةن لوحي الق ذوأمي ظل وميكا
ظد ند ني المس الروح القوYang dapat dipercaya untuk (mengemban) wahyu yang suci, di antara mereka Jibril dan Mikail yang memiliki ruh yang sangat kuat lagi benar
376 Fara’ish jamak dari farishah artinya bagian tubuh (daging) antara bahu dan ketiak. Ungkapan ini digunakan untuk ketakutan atau keterkejutan yang hebat.
138
نراس أبواب السمواتا دونهم ظح عليهاو قيام
ظد نص 377بالمقاليد ر
Dan para Malaikat penjaga pintu-pintu langit di bawahnyaBerdiri di atasnya, mengawasi dengan cermat
Pada syair di atas, selain menyebutkan keyakinan penyair terhadap adanya
Tuhan dan kekuasaanNya, penyair juga menyebutkan simbol lainnya yang terkait
dengan keyakinan, terutama keyakinan pada hal-hal yang bersifat gaib, seperti
keyakinan akan adanya malaikat dan tugas-tugasnya serta Arsy (singgasana Tuhan). Ada
dua nama malaikat yang secara jelas dinyatakan dalam syair tersebut, yaitu Jibril dan
Mikail. Adapun di antara tugas malaikat disebutkan di antaranya sebagai penopang
Arsy, melaksanakan titah Tuhan, mendengarkan wahyu-wahyu Tuhan, serta menjaga
pintu-pintu langit dan mengawasinya.
Menurut Fazlur Rahman sebagaimana dikutip oleh Ensiklopedi Islam, malaikat
yang sering dinyatakan dalam al-Qur’an adalah makhluk-makhluk langit yang
mengabdi kepada Allah SWT. Mereka melakukan berbagai kewajiban, dari mencabut
nyawa hingga memikul arsy Allah SWT. Di dalam ensiklopedi Islam juga disebutkan
bahwa di antara ciri-ciri malaikat adalah tidak pernah mengingkari Allah SWT atau
berbuat dosa kepadanya, mereka juga hanya mengerjakan apa yang diperintahkan tanpa
ada inisiatif untuk berbuat yang lain, dan mereka secara khusus diciptakan Allah untuk
melakukan tugas-tugas tertentu.378 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan penyair
di atas bahwa ada malaikat yang secara khusus memikul singgasana Allah SWT yang
karena kuasa-Nya tidak merasa letih dan lelah, setia mendengarkan titah-titah-Nya
(wahyu), serta selalu takut pada-Nya.
Dalam ajaran Islam, percaya akan adanya malaikat adalah salah satu rukun
Iman. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an: Kebaktian itu bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat, namun kebaktian yang sebenarnya
377 Tim Penyusun, al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu: al-Adab al-Jahili, hal. 202378 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, hal. 135
139
adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi,
…(QS.2:177). Sebagaimana agama samawi lainnya, istilah malaikat dalam agama
Yahudi telah sangat dikenal pada masa Jahiliyah. Hal ini terbukti dengan disebutkannya
di dalam syair dua nama malaikat yang juga sangat dikenal dalam ajaran Islam, yaitu
Jibril dan Mikail.
Jibril dan Mikail sebagaimana disebutkan dalam syair, adalah dua dari sepuluh
malaikat yang wajib diimani keberadaannya dalam agama Islam. Jibril, sebagaimana
diyakini oleh umat Islam selain bertugas mengepalai seluruh malaikat, ia juga bertugas
menyampaikan wahyu pada para nabi. Tugasnya berakhir hingga kenabian Muhammad
SAW. Adapun malaikat Mikail adalah malaikat yang bertugas membagi rizki pada
seluruh makhluk, memberi makanan, minuman, dan menurunkan hujan.379 Dalam al-
Qur’an kedua malaikat ini disebutkan secara berulang kali, terutama malaikat Jibril
yang bertugas menyampaikan wahyu Allah SWT melalui lisan Nabi Muhammad SAW.
Simbol agama lainnya yang terdapat dalam syair Jahiliyah yang juga sangat
familier di telinga umat Islam adalah kata arasy. Kata Arasy secara bahasa berarti
singgasana. Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata arsyuhu yang artinya
singgasana Tuhan. Para ulama sepakat bahwa arasy atau singgasana Tuhan itu tidaklah
sama dengan singgasana apapun yang dipunyai makhlukNya. Namun demikian,
sebagian ulama meyakini bahwa arasy yang dimaksud terkait dengan kekuasaan Tuhan,
sehingga Rabb al-arsy al-azhim diartikan dengan pengatur kerajaan yang agung. 380
Namun melihat pada apa yang diungkapkan dalam syair Abu al-Shult penyair Yahudi di
atas, tampak jelas bahwa istilah arasy bukanlah semata-mata milik umat Islam dan
hanya diinformasikan pada kaum Muslimin. Sebab sangat jelas dalam syair tersebut,
bahwa kaum Yahudi pun sebagai penganut agama samawi telah terlebih dahulu
mengetahui informasi tentang arasy Tuhan dengan segala hal yang ada di sekitarnya,
persis sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an. Berdasarkan fakta
tersebut, maka dari segi ideologi tidak tampak perbedaan antara Islam dan Yahudi.
379 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, hal. 136380 Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 126
140
Yahudi sebagai sebuah agama, tampak telah menganut suatu kepercayaan
kepada wujud supranatural (Tuhan) dan berbagai hal gaib lainnya, serta telah memiliki
nilai-nilai emosi keagamaan seperti pengagungan pada yang Maha Kuasa, keyakinan
akan adanya kehidupan setelah ini, dan lainnya. Sayangnya, karena berbagai
keterbatasan, penulis belum sempat menyajikan secara menyeluruh simbol-simbol
lainnya yang pada dasarnya masih banyak lagi.
Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan sebelumnya, terlihat jelas bahwa pada
masa Jahiliyah, sebagian dari ajaran agama Nasrani maupun Yahudi pada dasarnya telah
sampai ke Jazirah Arab, sayangnya, karena berbagai hal, ajaran kedua agama ini masih
belum menyentuh bagian dalam masyarakat Arab terutama masyarakat badawi. Untuk
itu Allah SWT mengutus nabi Muhammad SAW yang berasal dari golongan mereka
sendiri untuk menyampaikan wahyu-wahyu Ilahi sebagai pesan dari langit yang disebut
dengan agama hanif (agama yang lurus)
Berdasarkan fakta yang terdapat dalam syair-syair di atas, maka apa yang
dinyatakan dalam Ensiklopedi Dunia Islam bahwa masyarakat Arab sesungguhnya telah
memiliki bentuk kepercayaan asli yang bersifat sederhana, sesederhana kehidupan
mereka381 adalah benar. Hanya saja sampai sejauh mana keyakinan sederhana tersebut,
sebagiannya tampak pada syair-syair yang telah disebutkan di atas.
Demikianlah beberapa fakta tentang simbol-simbol keagamaan yang ada pada
masa Jahiliyah yang terungkap dari syair-syair Jahiliyah. Karena keterbatasan penulis,
data tersebut mungkin hanya sebagian kecil saja, sebab masih banyak simbol-simbol
keagamaan lainnya yang masih belum terungkap ke permukaan.
BAB VI
PENUTUP
Sudah menjadi kayakinan umum, bahwa bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah
bangsa yang tidak begitu mengenal Tuhan dengan baik. Namun berdasarkan
381 Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,2002), hal. 27
141
pembahasan sebelumnya, beberapa syair Jahiliyah terbukti menggunakan simbol-simbol
agama dalam-syair-syairnya. Dalam syair Badawi, ada beberapa simbol agama yang
digunakan yaitu kata Allah, rabb, qadha, qadar, nabi Sulaiman, majallah, dîn, dan
awâqib. Kata Allah dalam syair Jahiliyah digunakan dalam berbagai konteks kalimat,
seperti dijadikan alat sumpah, berdoa, mencerca, memuji, sumber kepasrahan, dan lain
sebagainya. Sedangkan kata rabb, selain digunakan sebagai makna lain dari Allah, juga
digunakan dalam makna asalnya yaitu pemilik, dan juga pemimpin. Dua istilah yang
juga menjadi rukun iman bagi umat Islam, yakni kata qadhâ dan qadar juga telah
diyakini adanya oleh bangsa Arab Jahiliyah, meski dengan makna yang sama yakni
ketentuan Tuhan yang tidak bisa dirubah. Penyebutan nama nabi Sulaiman dalam syair
Jahiliyah adalah simbol bahwa telah sampai pada mereka berita kenabian pada masa
lalu. Sedangkan istilah majallah digunakan oleh penyair sebagai simbol kitab suci yang
diyakini penganut agama saat itu. Selain itu, mereka juga sudah mengenal istilah dîn
yaitu keyakinan tertentu yang biasanya mengacu pada agama samawi. Simbol agama
lainnya yang juga terkait dengan keyakinan adalah kata awâqib yang berarti balasan
atau pahala dari Tuhan. Semua simbol keagamaan tersebut hanya dapat dipahami dari
konteks kalimat yang terdapat dalam syair.
Jika yang dinamakan agama itu adalah terpenuhinya unsur-unsur seperti; emosi
keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan upacara, peralatan ritus dan upacara, dan
penganut agama itu sendiri, maka masyarakat Arab Badawi baru berada pada tahap
emosi keagamaan yakni sikap-sikap emosional terhadap kekuatan ghaib dan keyakinan
pada kekuatan ghaib itu sendiri.
Lafaz Allah yang sering mereka ucapkan sepertinya hanyalah sebuah simbol
bahasa yang mereka gunakan untuk wujud supranatural yang dianggap memberikan
kekuatan pada mereka, atau bila melihat dari aspek sejarah, lafaz Allah sepertinya telah
familier di telinga mereka dengan telah masuknya agama Yahudi dan Nasrani di
wilayah Jazirah Arab. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa pasar Ukazh
sebagai pasar sastra adalah tempat bertemunya semua sastrawan Arab dan juga
masayarakat lainnya pada masa Jahiliyah. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya
142
unsur keterpengaruhan dalam penggunaan bahasa, sehingga beberapa symbol agama
samawi yang notabene adalah wahyu telah sampai ke hadapan mereka, meski tidak
menjadikan mereka sebagai penganutnya. Di sisi lain, para penyair biasanya adalah
manusia luar biasa yang memiliki wawasan yang lain dari yang lain, sehingga mereka
pada dasarnya lebih mudah beradaptasi dengan sesuatu hal yang baru. Selain itu,
pergaulan mereka juga lebih luas, dan hal ini memudahkan mereka terkontaminasi
dengan keyakinan-keyakinan baru yang sering mereka lihat.
Sedangkan pada syair Nasrani, selain lafaz Allah, juga ditemukan simbol-simbol
keagamaan lainnya yang cukup banyak, seperti kata zabur, Hijr, mihrab, nyanyian
kebaktian (al-‘azf), qubbah, pengharaman khamr, ‘abîd, ‘ukkaf, anjuran untuk selalu
berusaha dan bekerja, ibn Hasyim (Muhammad), keistimewaan Muhammad, makna
taqwa, larangan untuk riya, sifat Tuhan sebagai al-Rahman, dan lain sebagainya.
Dari simbol-simbol agama yang ditemukan dalam syair Jahiliyah, maka Nasrani
pada masa Jahiliyah pada dasarnya sudah memenuhi semua persyaratan untuk menjadi
sebuah agama karena di dalamnya sudah tercermin emosi keagamaan, keyakinan, ritus
dan peratalannya, serta penganut agama itu sendiri.
Dalam syair-syair karya penyair Yahudi, simbol-simbol agama pada dasarnya
tidak kalah banyak dari syair Badawi dan Nasrani, namun karena keterbatasan waktu,
penulis hanya menyajikan sedikit dari simbol-simbol tersebut, seperti penggunaan lafaz
Allah yang dihubungkan dengan kehidupan ghaib lainnya seperti malaikat, arasy,
akhirat, dan lainnya. Dalam syair-syair Yahudi, gaya bahasa yang mengandung simbol-
simbol agama tampak lebih tegas dan jelas dibandingkan dengan syair-syair Nasrani.
Dari penelitian ini, kami meyakini bahwa sesungguhnya lafaz Allah pada
hakekatnya adalah wahyu bukan persoalan bahasa. Adapun sebagian masyarakat Arab
sebelum Islam sudah menggunakan istilah tersebut, kemungkinannya adalah karena
mereka sudah mendengar dari kaum Nasrani dan Yahudi hidup dan bergaul bersama
mereka dan selalu mengucapkan lafaz Allah untuk keyakinan mereka terhadap wujud
supranatural. Fakta sejarah ini semakin mengukuhkan firman-Nya bahwa sesungguhnya
Aku adalah Allah. Yang artinya penamaan diri Tuhan dengan Allah adalah sebuah
143
wahyu Ilahi. Demikian kesimpulan akhir dari penelitian ini. Wallâhu a’lam bi al-
Shawâb!!!!
144
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989
Abdullah, Muhammad Hasan, Muqaddimah fi al-Naqd al-Adabi, ttp: Dâr al-Buhûts al-
Ilmiyah, tth.
Abd Al-Bâqi, Zaedan, Qawâid al-Bahtsi al-Ijtimâ’i, Kairo: Mathba’ah al-Sa’âdah, 1980
M/1400 H, cet. 3
Abu al-Khasab, Ibrâhîm ‘Ali dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-
Jâhili, tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961
Abd al-Lathîf al-Sahratî, Mushtafâ, Dirâsât Naqdiyyah fi al-Adab al-Mu`âshir, Mesir:
al-Hai’at al-Mishriyat al-`Âmah li al-Kitâb, 1979
`Abd al-Ra’ûf Syulmâ, `Abd al-Mun`im, dan Ibrâhîm al-Ibyâri, Syarh Dîwân `Antarah
ibn Syaddâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1400 H / 1980 M, cet. 1
`Abd al-Sâtir, `Abbâs, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, Beirut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyyah, 1416 H/1996 M, cet. 3
‘Ali al-Shabbah, Muhammad, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M
‘Abd al-Syafi’, Musthafa, Diwan Imri al-Qais, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth
Allen, Roger, An Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press, 2000
Amîn, Ahmad, al-Naqd al-Adabi, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1972,
cet. 4
Anshari, Endang Saefuddin, Wawasan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993
Al-Asad, Nâshir al-Dîn, Mashâdir al-Syi`r al-Jâhili wa Qîmatuhâ al-Târikhiyah, Beirut:
Dâr al-Jail, 1988, cet. 8
`Athwân, Husein, Muqaddimah al-Qashîdah al-`Arabiyah fi al-Syi`r al-Jâhili, Mesir:
Dâr al-Ma`ârif, tth
Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990
Bahtiar, Amsal, Filsafat Agama, Ciputat: Logos, 1999
145
Bennet, Andrew and Royle, Nocholas, Literature, Criticism and Theory, Longman:
Pearson, 2004
Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1999
Djoko Damono, Sapardi, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1984
Dlaif, Syauqi, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan
Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama 2003
al-Fakhûrî, Hannâ, Târikh al-Adab, (Beirut: Maktabah al-Buhutsiyah, 1965
Farkhan, Muhammad, An Introduction To Linguistik, Jakarta: UIN Press, 2006
Farran, Yusuf, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah, 1411 H/1990 M
Fâ`ûr, `Ali Hasan (syarah), Dîwân Zuhair ibn Abî Sulmâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyyah, 1408 H/ 1988 M, cet. 1
Hamid, Ismail, Arabic and Islamic Literary Tradition, Kuala Lumpur: Tass Sdn Bhn,
1982
Al-Hamid, Abdullah, al-Syi`r al-Islâmi fi Shadr al-Islâm, (penerbit pribadi, 1980)
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Harahap, Syahrin, dan Hasan Bakti Nasution (Editor), Ensiklopedi Aqidah Islam,
Jakarta: Kencana: 2003
Al-Hâsyimi, Ahmad, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’,
(Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1379 H/ 1960 M
Al-Haufi, `Abd al-Salâm, Dîwan al-Khansâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1405
H/1985 M
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000
146
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik,
Hidayati, Heny Narendrany dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, Jakarta: UIN
Press, 2007
Hitti, Philip K., History of the Arabs, (terjemah), Jakarta: Serambi, 2006, cet. 1
Husein, ibnu Muhammad ibnu Sa’id, al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, al-Mamlakah al-
Arabiyah al-Su’udiyah: Jami’ah al-Imam Muhammad ibnu Su’ud al-Islamiyah,
1410 H
Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, Jakarta: Rajawali Pers,
2009, cet. 1
Ibrâhîm, Rajab ‘Abd al-Jawâd, Fi al-Dilâlah wa al-Mu’jam, Kairo: Maktabah al-Adab,
2001
Al-Iskandari, Ahmad, dkk., al-Mufashshal fi Târikh al-Adab al-‘Arabî, tp: Maktabah al-
adab, tth
Al-Iskandari, Ahmad dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi,
Mesir: Dâr al-Mâ’arif , tth
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung: Rosdakarya, 2002
Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Khalîf, Yûsuf, al-Syu’arâ al-Sha’âlîk fi al-‘Ashr al-Jâhili, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1966
------, Dirâsat fi al-Syi`r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, tth
Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Pt Raja
Grafindo, 2000
Lajnah (Tim Penulis), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, Libanon: Dâr al-
Ma’arif, 1962, jilid 1-6
Lois & Ferdinand, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘A’lâm, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1992
Nabilah Lubis, al-Mu’în fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, Jakarta: Kuliyyat al-Adab
wa al-‘Ulûm al-Insâniyah Jâmiah Syarîf Hidâyatullah, 2005
Mahhana, Abd, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, Beirut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiyah, 1990 M/1410 H
147
Mahayana, Maman S., Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007
Mahmud Khalil, Ibrahim, al-Naqd al-Hadits min al-Muhakah ila al-Tafkik, Oman: Dar
al-Masira, 1424 H/ 2003 M
Manuaba, Petura, Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, FSU: in the Limelight Vol. 8,
No. 1, Juli 2001
al-Mazhur, Ibnu, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tth Marwah, Muhammad Ridla,
Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/
1990 M
Muhammad, Asmâ’ Abu Bakr, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H/1992 M
Muzakki, Akhmad, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, Malang:
UIN Malang Press, 2007
Narendra Hidayati, Heny dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, Jakarta: UIN Press,
2007
Nâshif, Mushthafâ, Dr., Dirâsat al-Adab al-Arabî, Kairo: al-Dâr al-Qawmiyah, tth
Nâshir al-Dîn, Mahdi Muhammad, Dîwan Tharfah ibn al-`Abd, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-Ilmiyah, 1407 H/1987 M
Nashr, Muhammad Ibrahim, al-Naqd al-Adabi fi al-`Ashr al-Jâhili wa Shadr al-Islâm,
Riyadh: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1398 H
Al-Nawaihi, Muhammad, al-Syi’r al-Jahili; Manhaj fi Dirâsatihi wa Taqwîmihi, Kairo:
al-Dar al-Qaumiyah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, tth.
Nottingham, Elizabeth K, (terjemah Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994
Nurdin, Amin, dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006
Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam 2007/2008, Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007
Pateda, Mansoer, Sosiolinguistik, Bandung: Angkasa, 1992
148
Rahardjo, Mudjia, Hermeneutika Gadamerian; Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik
Gus Dur, Malang: UIN-Malang Press, 2007
Sa’ad ibnu Husain, Muhammad, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, al-Mamlakah
al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali, 1410 H
Salâm, Zaghlûl, Atsâr al-Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-
Râbi’ al-Hijri, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif , 1961
Semi, Atar, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, tth
------, Metode penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, tth
Shihab, Quraish M., Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1993
Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990
Sumaryono, E., Hermeneutik; sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Thabâbah, Badawi, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, Kairo: Maktabah al-Enjelo al-
Mishriyah, 1965
Thohir, Mudjahirin, Agama dan Simbol, Posted on April 19th, 2009
Tim Penulis, al-Ritsâ, ttp: Dâr al-Ma’ârif, tth
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1992
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan: Balai Pustaka, 1995, edisi ke-2, cet. 5
Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar dan Awal, Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002
Wâfî, `Alî Abd al-Wâhid, al-Lughah wa al-Mujtama`, Kairo: Dâr al-Nahdlah Mashra`
al-Mathba` wa al-Nasyr, 1971
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995
Wattimena, Reza Antonius, Definisi Hermeneutika,
rezaantonius.multiply.com./jurnal/item/46
Wellek, Renne dan Austin Warren, Teori kesusastraan, Jakarta: Gramedia, 1995
WM, Abdul Hadi, Hermeneutik, Estetika, dan Religiusitas, Yogayakarta: Matahari,
2004
149
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, cet.
3
Yusuf Farran, Muhammad, Zuhair ibn Abi Sulma; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M
Al-Zauzani, Ibn `Abdillah al-Husein, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab`, Beirut: Dâr al-Kutub
al-`Ilmiyah
Al-Zayyât, Ahmad Hasan, Târikh al-Adab al-‘Arabi, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1422 H /
2001 M
Zaedân, Jurzi, al-`Arab Qabla al-Islâm, Kairo: Dâr al-Hilâl, tth
150
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Cahya Buana, lahir di desa Sirnasari kecamatan Agrabinta kabupaten Cianjur
pada tanggal 30 Juni 1975 dari seorang ayah berprofesi guru dan ibu petani. SDN
Sirnasari adalah pendidikan formal pertama yang dikecap oleh penulis antara tahun
1982-1988. Pada tahun yang 1988 penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah di
MTsN Tanggeung yang masih terletak di kabupaten Cianjur dan menjadi alumni pada
tahun 1991. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Daarul
Ulum Bantar Kemang Bogor selama empat tahun dan menjadi alumni pada tahun 1995.
Pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Adab IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta jurusan Bahasa dan Sastra Arab dan menyelesaikan studi selama 8
semester atau tepatnya hingga tahun 1999 dengan predikat terbaik fakultas. Pada tahun
2001, penulis melanjutkan ke tingkat Magister (S2) di Pascasarjana UIN Syairif
Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab hingga tahun 2003.
Pada tahun 2003 pula penulis mulai mengajar sebagai tenaga honorer di Fakultas Adab
dan Humaniora dan pada akhir tahun 2003 diangkat menjadi CPNS di fakultas yang
sama. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi Doktoral (S3) di Sekolah Pasacasarja
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi yang sama selama 5 semester dan
lulus pada tahun 2009 sebagai mahasiswa tercepat studi. Saat ini penulis aktif sebagai
salah seorang pengajar dan Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
303