50
Sindrom Guillain Barre (SGB) from: Adams and Victor's Principles of Neurology , 9 edition PENDAHULUAN Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan penyebab paling sering dari paralisis generalisata akut atau subakut. SGB pertama kali dilaporkan pada tahun 1916 oleh Guillain, Barre dan Strohl. SGB mempunyai karakteristik kelemahan anggota gerak simetris, progresif, ascendens, akut/subakut dengan parestesi distal dan refleks tendo yang menurun atau menghilang pada pasien yang sebelumnya sehat. Pada pemeriksaan LCS didapatkan disosiasi sitoalbumin. Secara mikroskopis terjadi demielinisasi dan infiltrasi mononuklear pada radiks dan rami saraf tepi. Saat in SGB merupakan sebab terbanyak dari kasus paralisis akut di negara-negara barat, setelah eradikasi polio melalui program-program vaksinasi. Dalam bentuk klasik, SGB merupakan poliradikuloneuropati demyelinisasi karena proses inflamasi. Kriteria diagnostik klinis yang telah ada mendeskripsikan penyakit SGB secara khas / tipikal (Tabel 3), tapi banyak kasus menyimpang dari definisi tersebut dan bukti elektrofisiologis neuropati demyelinisasi akut merupakan gambaran penting untuk kepastian diganosis. Ahli neurologi dapat dengan cepat mengidentifikasi kasus-kasus yang khas, namun kesulitan diagnosis timbul dengan adanya sejumlah

SGB

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SGB

Sindrom Guillain Barre (SGB)

from: Adams and Victor's Principles of Neurology , 9 edition

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan penyebab paling sering dari paralisis

generalisata akut atau subakut. SGB pertama kali dilaporkan pada tahun 1916 oleh Guillain,

Barre dan Strohl. SGB mempunyai karakteristik kelemahan anggota gerak simetris, progresif,

ascendens, akut/subakut dengan parestesi distal dan refleks tendo yang menurun atau

menghilang pada pasien yang sebelumnya sehat. Pada pemeriksaan LCS didapatkan disosiasi

sitoalbumin. Secara mikroskopis terjadi demielinisasi dan infiltrasi mononuklear pada radiks

dan rami saraf tepi.

Saat in SGB merupakan sebab terbanyak dari kasus paralisis akut di negara-

negara barat, setelah eradikasi polio melalui program-program vaksinasi. Dalam bentuk

klasik, SGB merupakan poliradikuloneuropati demyelinisasi karena proses inflamasi. Kriteria

diagnostik klinis yang telah ada mendeskripsikan penyakit SGB secara khas / tipikal (Tabel

3), tapi banyak kasus menyimpang dari definisi tersebut dan bukti elektrofisiologis neuropati

demyelinisasi akut merupakan gambaran penting untuk kepastian diganosis. Ahli neurologi

dapat dengan cepat mengidentifikasi kasus-kasus yang khas, namun kesulitan diagnosis

timbul dengan adanya sejumlah variasi regional atau fungsional yang ditemukan dalam

praktek klinis.

Imunoterapi dengan plasma tukar dan gamma globulin intra vena meningkatkan

hasil terapi pada banyak pasien SGB. Penggunaan kortikosteroid, yang dulu merupakan

standar terapi, sekarang mulai ditinggalkan. Penggunaaan imunoterapi pada SGB telah dapat

mengatasi komplikasi yang dijumpai pada manajemen penyakit ini dari hari ke hari, sehingga

berpengaruh langsung terhadap morbiditas dan mortalitas.

Page 2: SGB

Insidensi

Insiden per tahun adalah 0,6-1,9 kasus per 100.000 populasi. SGB mengenai semua

pasien dari semua tingkat sosial ekonomi, ras dan umur, walaupun tidak lazim dijumpai pada

umur-umur ekstrim. Insiden sedikit memuncak pada usia 30 dan 50 tahun, dengan umur rata-

rata 45 tahun pada penelitian prospektif yang kami lakukan. Kulit putih tampaknya terkena

secara tak proporsional dan terdapat sedikit predominansi laki-laki pada laporan-laporan

penelitian yang ada. SGB tidak dipengaruhi oleh musim dan tidak epidemik, akan tetapi

pernah diketahui berjangkitnya SGB pada musim tertentu di daerah pedesaan China setelah

anak-anak terpapar C.jejuni melalui feses ayam yang ada di padi.

Tidak didapatkan faktor-faktor genetik yang meningkatkan kerentanan terhadap SGB,

juga tidak didapatkan bukti bahwa SGB menular. Penelitian-penelitian berbasis populasi

maupun rumah sakit tak menunjukkan variasi musiman, namun SGB motor aksonal akut yang

ditemukan secara terbatas di Cina utara, terjadi pada musim panas. SGB biasanya terjadi

secara sporadis, namun kadang-kadang dilaporkan terjadi pada kelompok tertentu walaupun

sumbernya tak jelas. Sulit untuk menentukan apakah laporan-laporan tersebut bermakna

sebagai variasi sebaran random yang selama ini dilaporkan. Terdapat laporan SGB epidemik

yang terjadi setelah vaksinasi terhadap influensa babi tahun 1976, namun terdapat ambiguitas

dalam definsi dan penentuan kasus tersebut, sehingga menimbulkan kontroversi menyangkut

validitas hubungan antara vaksinasi tersebut dan vaksinasi-vaksinasi lain dengan SGB.

Namun tetap disimpulkan bahwa terjadi peningkatan insiden SGB dewasa hampir 5 kali lipat

yang dihubungkan dengan vaksinasi flu babi. Data mutakhir mingindikasikan sedikit

peningkatan yang signifikan terhadap kasus-kasus SGB setelah vaksinasi influensa

(penambahan 1-2 kasus SGB per juta vaksinasi).

Faktor Pencetus

Infeksi respiratorik atau gastrointestinal ringan mendahului gejala neuropati selama

1-3 minggu pada 60% kasus. Yang khas adalah ISPA yang tidak dapat digolongkan, tetapi

hampir semua demam karena infeksi dan imunisasi dilaporkan mendahului SGB. Pada

beberapa tahun belakangan ini, dari studi serologis diketahui bahwa organisme C.jejuni

Page 3: SGB

merupakan infeksi pendahulu SGB yang paling sering diidentifikasi. Hal-hal lain yang dapat

mendahului SGB atau penyakit yang berkaitan antara lain meliputi eksantema viral dan

penyakit viral lainnya (CMV, EBV, HIV), infeksi bakteri selain Campylobacter

(M.pneumoniae, penyakit Lyme), paparan terhadap agen trombolitik dan limfoma (terutama

penyakit Hodgkin). Pemberian vaksin antirabies yang kuno dan vaksin influenza A/ New

Jersey (babi) yang diberikan pada akhir tahun 1976, berkaitan dengan sedikit peningkatan

SGB dan setidaknya 1 program vaksinasi influenza berikutnya telah dikaitkan dengan sedikit

peningkatan kasus. Trauma dan operasi bedah dapat mendahului neuropati, tetapi penyebab

yang berkaitan belum diketahui secara pasti. Sedangkan pada sepertiga pasien tidak memiliki

pencetus/ penyakit yang mendahului. (Lihat Tabel 1)

Tabel 1. Penyakit-Penyakit yang Mendahului dan yang Dihubungkan dengan Sindroma Guillain Barré Akut

Infeksi ViralCytomegalovirus* Influenza CocksackieVirus Epstein Barré* Campak EchoHuman Immunodeficiency virus Gondong ParainfluenzaVirus Herpes simpleks Rubella Respiratory syncitial Herpes Zooster Hepatitis virusInfeksi BakterialCampylobacter jejuni* Brucellosis TularensisMycoplasma pneumoniae Legionella TuberculosisShigella SalmonellaTyphoid Yersinia enterocoliticaBorrelia burgdorferi (Penyakit Lyme)Listeria PasteurellaPenyakit SistemikLimfoma Penyakit tiroidSarkoidosis Penyakit AddisonLeukemiaTumor padat (kanker paru)Systemic lupus erythematosusLain-lainPembedahanTraumaVaksinasi

* : paling sering dalam kategori tersebut

Page 4: SGB

Etiologi dan Patogenesis

Etiologi yang pasti sampai saat ini masih belum jelas. Infeksi diduga sebagai

pencetus Bukti-bukti mendukung adanya reaksi imunologi yang diperantarai oleh sel pada

nervus perifer. Waksman dan Adams menunjukkan penyakit nervus perifer yang ditimbulkan

pada eksperimen (EAN/ Experimental Allergic Neuritis), yang secara klinis dan patologis

tidak dapat dibedakan dengan SGB, timbul pada binatang 2 minggu setelah imunisasi dengan

keterlibatan nervus perifer yang sama. Brostoff dkk. menyarankan bahwa antigen pada reaksi

ini adalah protein dasar, disebut P2, hanya ditemukan pada mielin nervus perifer. Sebagian

penyelidikan oleh beberapa penulis mengindikasikan bahwa faktor neuritogenik dapat

merupakan peptida spesifik pada protein P2. Bagaimanapun, telah terbukti bahwa tidak ada

reaksi antigen-antibodi dominan pada SGB dan berapapun jumlahnya, elemen mielin dan

aksonal dapat menyebabkan timbulnya reaksi imun. Hartung dkk. telah menemukan reseptor

interleukin (IL-2) solubel tingkat tinggi, yang berasal dari sel T teraktivasi dan IL-2 itu sendiri

pada pasien dengan SGB akut, menggambarkan aktivasi sel ini. Komplemen tampaknya juga

merupakan faktor penting pada serangan awal mielin.

Walaupun transmisi EAN oleh sel T yang tersensitisasi mielin merupakan bukti kuat

peranannya pada SGB, antibodi antimielin mungkin terlibat pada bagian awal penyakit ini.

Serum yang berasal dari pasien SGB menyebabkan kerusakan mielin pada kultur jaringan

dan menginduksi bentuk karakteristik (vesikuler) dari destruksi mielin. Injeksi subepineural

serum yang berasal dari pasien SGB pada nervus sciatika tikus menyebabkan terjadinya

demielinisasi lokal dan hambatan konduksi elektrik. Studi oleh Koski dkk. tentang kerusakan

komplemen tergantung oleh antibodi antimielin IgM pada SGB, membuktikan bahwa

antibodi antimielin dapat menyebabkan destruksi mielin, walaupun sel T dan makrofag

merupakan efektor utama dari kerusakan. Terlebih, tanda paling awal yang dapat dideteksi

oleh Hafer-Macko dkk. adalah adanya deposisi komplemen pada lapisan dalam mielin.

Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler endoneurial dan demielinasi

multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf distal

(poliradikuloneuropati).

Page 5: SGB

Sejumlah autoantibodi pada komponen serabut saraf gangliosida dideteksi secara

inkonsisten pada pasien dengan SGB, yang paling penting adalah anti GQ1b, antibodi yang

ditemukan pada hampir semua pasien dengan optalmoplegia. Sekitar 1/3 pasien memiliki anti

GM1 pada awal penyakit, berkaitan dengan presentasi motorik yang menonjol dan kerusakan

aksonal, titer paling tinggi biasanya berkaitan dengan kasus yang menyertai infeksi

Campylobacter. Antibodi langsung terhadap GD1a atau GT1b pada beberapa kasus berkaitan

dengan varian faringeal-brakial-servikal. Oleh karena itu, bila kita menyatakan SGB hanya

sebagai proses imun humoral atau seluler saja merupakan hal yang terlalu sederhana.

Pertanyaan yang belum terjawab adalah bagaimana reaksi imun bisa timbul pada

manusia. Segala usaha untuk mengisolasi agen virus atau mikrobial dari nervus atau

mendemonstrasikannya dengan mikroskop elektron telah gagal, dan tampaknya berbagai

variasi agen –viral, bakterial (t.u. C.jejuni), vaksin tertentu, dan mungkin trauma neural itu

sendiri– semuanya dapat, pada individu yang rentan, menimbulkan respon imun terhadap

komponen mielin perifer autologus. Terjadinya SGB pada pasien dengan AIDS atau dengan

infeksi EBV atau CMV menunjukkan bahwa agen ini juga menyebabkan respon autoimun

tanpa melibatkan infeksi virus langsung pada serabut saraf. Observasi dari salah satu dari

banyak individu yang terinfeksi dengan patogen partikuler yang menjadi SGB menunjukkan

bahwa faktor host memiliki peranan cukup penting (bagaimanapun, hanya sedikit konsistensi

HLA pada pasien SGB). Apakah antibodi terhadap berbagai gangliosida nervus perifer yang

telah disebutkan di atas bersifat aktif secara patogen juga belum jelas.

Beberapa penyakit hewan –paralisis anjing Coonhound, penyakit Marek pada ayam

(neuritis-viral), dan neuritis kauda ekuina pada kuda– semuanya menyerupai SGB superfisial

tetapi gambaran klinis atau patologisnya tidak sama.

Manifestasi Klinis

Pola Kelemahan

Walaupun SGB akut secara tipikal dimulai dengan parestesi pada ujung jari tangan

dan kaki, namun gambaran yang predominan adalah neuropati motorik. Parestesi biasanya

mengikuti dalam waktu beberapa hari dengan kelemahan tungkai bilateral, simetris, dengan

derajat bervariasi, ditandai dengan kesulitan berjalan dan pasien secara khas mengungkapkan

kesulitan saat menaiki tangga atau bangkit dari kursi. Kelemahan lengan, tangan dan wajah,

okuler atau otot-otot orofaring dapat terjadi sesuai dengan keparahan penyakit. Walaupun

Page 6: SGB

ditekankan adanya kelemahan bilateral dan simetris, namun kami menemukan bahwa hampir

selalu terdapat kelemahan yang asimetris dengan derajat yang bervariasi. Walaupun

asimetrinya minimal, namun hal ini masih nyata pada pasien.

Secara jarang, sindrom dimulai dengan kelemahan hebat pada salah satu sisi anggota

gerak, yang berlangsung dalam jam, dan kadang-kadang beberapa hari sebelum anggota gerak

sisi lain pada segmen yang sama ikut terkena. Dahulu SGB dideskripsikan dengan

menekankan kelemahan tungkai yang diikuti dengan paralisis ascendens dengan predileksi

otot-otot anggota gerak distal, namun pengalaman kami menunjukkan bahwa kelemahan

proksimal lebih sering dan lebih nyata daripada distal. Berlawanan dengan sebagian besar

kelainan miopati dan neuromuscular junction lain, pada SGB otot-otot proksimal jarang

terkena secara tersendiri dalam jangka waktu yang lama. Lengan dan tangan biasanya ikut

terkena beberapa jam sampai hari setelah tungkai, walaupun kelemahan tungkai dan tangan

dapat terjadi secara bersamaan. Varian kasus menggambarkan kelemahan terbatas pada

tungkai, atau dimulai dari tangan atau bahu diikuti tungkai setelah beberapa hari. Pada

penelitian retrospektif kami, 14 % kasus merupakan kelemahan descendens, dimulai dari saraf

kranial atau dari lengan kemudian ke tungkai. Hampir 15 % kasus SGB yang berkembang

secara komplit mempunyai kelemahan lengan dan tungkai yang sama. Anggota gerak yang

lemah flaksid dan proporsional dengan kelemahannya. Fasikulasi atau myokimia terdapat

pada sebagian kecil kasus.

Keterlibatan saraf kranial umum dijumpai pada SGB dan telah diketahui secara luas

bahwa N VII adalah yang paling sering terkena pada 50 % kasus SGB tipikal / khas.

Kelemahan wajah terjadi lebih sering jika kelemahan anggota gerak berat, sehingga jika

didapatkan kuadriplegi tanpa kelemahan wajah, diagnosis SGB perlu dipertimbangkan

kembali. Seperti kelemahan anggota gerak, diplegia wajah sering asimetris dan kadang-

kadang unilateral. Adanya kelemahan wajah tidak otomatis menunjukkan keterlibatan saraf

kranial lain atau mengarah ke kegagalan nafas. Disfagia merupakan gejala yang jarang,

namun kelemahan orofaring terjadi pada sepertiga sampai setengah jumlah pasien selama

perjalanan penyakit, menyebabkan risiko aspirasi. Kelemahan wajah biasanya muncul jika

kemampuan menelan terganggu.

Oftalmoparesis dalam bentuk yang bervariasi terjadi pada 10 % sampai 20 % pasien,

kira-kira 3% sampai 5% saat onset; dan nervus abducens adalah yang paling sering terlibat.

Page 7: SGB

Kelemahan abduksi okuler seringkali bilateral dan asimetris. Ptosis dan abnormalitas pupil

jarang didapatkan jika tidak ada oftalmoplegi. Pasien-pasien yang terkena SGB dalam bentuk

yang hebat dapat mengalami paralisis semua saraf kranial, biasanya disertai dengan gagal

nafas dan kuadriplegia sehingga menimbulkan keadaan locked-in.

Kegagalan nafas, terutama diakibatkan kelemahan diafragma, merupakan komplikasi

serius yang paling sering dijumpai pada SGB akut, dan ventilasi mekanik diperlukan pada

hampir sepertiga kasus. Pasien-pasien ini umumnya kuadriparesis. Kelemahan elevasi bahu

dan fleksi leher muncul paralel dengan kelemahan diafragma dan kegagalan nafas serta

kelemahan orofaring. Sebagai akibat kelemahan otot-otot respirasi, terdapat pengurangan

volume tidal dan kapasitas vital yang diikuti dengan atelektasis. Pasien dapat mengalami

kesulitan batuk dan mengeluarkan sekresi dahak, khususnya jika kelemahan orofaring juga

ada. Atelektasis menyebabkan shunting arterio-venosa dan hipoksia, diikuti peningkatan

frekuensi nafas dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan (sternokleidomastoideus dan

otot-otot tambahan pada toraks dan abdomen). Takipneu menurunkan kadar karbon dioksida,

sehingga pada kondisi kompensasi respiratorik awalnya ditemukan hipoksia ringan dengan

kadar karbondioksida yang nenurun. Hiperkapneu terus berlangsung sampai otot-otot respirasi

menjadi lelah. Dalam kondisi ini pasien dapat dengan cepat mengalami dekompensasi dan

terjadi henti nafas. Jika pasien tidak membutuhkan ventilator mekanik sampai 2 minggu

setelah onset penyakit, maka alat tersebut tidak diperlukan lagi jika tak ada komplikasi berat

lain yang terjadi. Pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan waktu perawatan lebih lama,

lebih lama waktu pulihnya, lebih tinggi angka kematiannya, dan lebih sering mengalami sisa

defisit secara signifikan jika dibandingkan mereka yang tidak membutuhkan respirasi

mekanik.

Abnormalitas Sensorik

Parestesi jari-jari tangan dan kaki merupakan gejala awal pada lebih dari setengah

kasus pasien SGB. Kebanyakan keluhan seperti kena paku dan jarum, ditusuk-tusuk, atau

sensasi geli, mirip dengan sensasi anggota gerak ‘jatuh tertidur.’ Gejala sensorik secara khas

mendahului 1-2 hari sebelum kelemahan dan menyebar ke pergelangan kaki dan pergelangan

tangan selama perjalanan penyakit. Selama parestesi berlangsung dan kehilangan rasa

sensorik terus berjalan, tangan dan kaki dideskripsikan pasien sebagai ‘tebal’ dan ‘mati rasa.’

Page 8: SGB

Gejala sensorik lebih simetris dibandingkan dengan kelemahan motorik, dan ujung jari

umumnya mengalami pasrestesi segera setelah kedua kaki terkena. Parestesi wajah atau

trunkus dapat terjadi walaupun jarang. Sebagian kecil pasien mengalami hilang rasa yang

nyata pada trunkus, seringkali dalam pola eschutcheon atau pola seperti pita, tapi pernah

dilaporkan pula dalam pola diskret yang menyerupai kelainan medula spinalis. Pasien-pasien

ini umumnya tidak menyadari di tingkat mana dia mengalami hilang rasa, sampai dilakukan

pemeriksaan, dan hasil pemeriksaannya pun hanya samar-samar. Dalam praktek kami telah

dilakukan MRI secara rutin untuk menyingkirkan kemungkinan myelopati pada pasien-pasien

di mana level hilang rasanya jelas. Kelainan sensorik yang paling sering adalah terganggunya

rasa getar, dan sensasi posisi sendi tungkai dan kaki, walaupun sensasi ‘pinprick’ juga

berkurang jika jaras sensorik besar ikut terganggu. Hilang rasa proprioseptif yang hebat dapat

menimbulkan ataksia sensorik.

Nyeri adalah gejala yang umum dijumpai pada SGB, diderita oleh 60%-70% pasien.

Seringkali gejala ini tak diperhatikan oleh tenaga medis atau tersamar oleh kelemahan atau

masalah medis lain yang lebih serius. Nyeri dapat mendahului kelemahan dan parestesi,

karakteristiknya berupa nyeri di otot-otot besar panggul, tungkai atas atau punggung, nyeri

radikuler yang menyebar dari punggung ke salah satu atau kedua tungkai, atau rasa terbakar.

Sensasi disestesi di kaki atau tangan yang berhubungan dengan parestesi yang tak nyeri.

Berkurang atau menghilangnya refleks-refleks tendo dalam merupakan gambaran inti

SGB, hal ini mungkin merefleksikan proses demyelinisasi, dispersi, dan desinkronisasi saraf-

saraf aferen besar bermyelin yang merupakan bagian dari lengkung refleks. Hampir dua

pertiga pasien mengalami arefleks saat awal dirawat, walaupun hilangnya refleks dapat pula

tertunda sampai kelemahan dan parestesi menjadi nyata. Persistensi refleks selama perjalanan

penyakit ditemukan kurang 5 % dari keseluruhan kasus, dan bila ini ditemukan, sebaiknya

akurasi diagnosis perlu ditinjau kembali. Jika tungkai lebih lemah daripada lengan, refleks

tungkai lebih dulu menghilang. Refleks masih dijumpai pada anggota gerak yang

kelemahannya ringan, walaupun refleks selalu menghilang jika anggota gerak terlalu lemah

untuk melawan gravitasi, refleks yang meningkat pada anggota gerak yang lemah harus selalu

dicurigai sebagai mielopati.

Page 9: SGB

Disfungsi Otonom

Sejumlah gangguan sistem saraf otonom terjadi pada SGB; beberapa bentuk terjadi

pada 65 % kasus dalam penelitian retrospektif yang kami lakukan. Disautonomia lebih

sering terjadi pada pasien dengan kelemahan hebat dan kegagalan respirasi, namun disfungsi

otonom dapat terjadi pada kasus-kasus yang ringan. Manifestasi yang paling sering diketahui

adalah sinus takikardi, bradikardi, dan aritmia supraventrikuler lain (jarang terjadi : aritmia

ventrikuler), hipertensi, hipotensi, vagal spells, ileus, dan retensi urine. Emboli

pulmoner,hipoksia, infeksi, dan komplikasi medis lain sebaiknya disingkirkan lebih dulu

sebelum menganggap gangguan kardiovaskuler yang dijumpai sebagai disautonomia.

Pada AwalPenyakit (%)

Pada Penyakit yang Telah Berkembang Penuh (%)

Parestesi 70 85KelemahanTungkai >lenganLengan>tungkaiHampir sama antara tungkai & lengan

541432

98

Oftalmoparesis 5 15Kelemahan wajah 35 50Kelemahan bulber 25 50Gagal nafas 10 30Ataksia 10 15Disfungsi sfingter 15 5Arefleksia 75 95Nyeri 25 30Hilang rasa 40 85

Tabel 2. Frekuensi masing-masing gambaran klinis pada Sindroma Guillain Barre

Page 10: SGB

Tabel 3. Kriteria Diagnosis untuk Sindroma Guillain-Barré Tipikal / Khas

Gambaran KlinisGambaran yang harus ada untuk menegakkan diagnosis

Kelemahan progresif baik pada lengan maupun tungkaiArefleks

Gambaran yang sangat mendukung diagnosisPerkembangan gejala lebih dari 4 hariGejala relatif simetrisGejala atau tanda sensorik yang ringan Keterlibatan saraf kranial, terutama diplegia wajahKesembuhan dimulai 2 sampai 4 minggu setelah akhir perkembangan gejalaDisfungsi otonomTidak ada demam saat onset

Gambaran yang meragukan diagnosisGangguan sensorik yang jelas levelnyaGejala atau tanda asimetri yang jelas menetap Disfungsi miksi dan defekasi yang parah dan persisten

Gambaran yang menyingkirkan diagnosisDiagnosis botulismus, myastenia gravis, poliomyelitis, atau neuropati toksikMetabolisme porfiria yang abnormalDifteri akut

Kriteria LaboratoriumPeningkatan konsentrasi protein serebrospinal dengan jumlah sel kurang dari 10 sel per mm3

Kriteria Elektorofisiologis (paling sedikit 3 dari 4 kriteria)Perlambatan kecepatan konduksi dari dua atau lebih saraf motorik < 80% batas bawah normal(BBN) jika amplitudo >80% dari BBN; <70% dari BBN jika amplitudo <80% dari BBN.Pemanjangan latensi distal dari dua atau lebih saraf motorik > 125% dari batas atas normal(BAN) jika amplitudo > 80% dari BBN; >150% dari BAN jika amplitudo <80%.Tidak terdapatnya atau perlambatan gelombang F minimum pada 2 atau lebih saraf motorik >120% dari BAN jika amplitudo >80% dari BBN; >150% dari BAN jika amplitudo <80% dariBBN.Blok konduksi atau dispersi temporal abnormal (penurunan >20% amplitudo atau perubahan>15% lama antara tempat proksimal dan distal) pada satu atau lebih saraf motorik

Dikutip dengan ijin dari Asbury AK, Comblath DR. Assesment of current diagnostic criteria for Guillain-Barré Syndrome. Ann Neurol 1990;27[suppl];S21-S24

Variasi Sindrom Guillain-Barré (lihat tabel 4)

Page 11: SGB

Sebagian gambaran klinis seringkali muncul dalam bentuk terisolasi atau abortif

sehingga membingungkan dalam mendiagnosa. Dimana pada sebagian besar pasien, paralisis

meningkat dari tungkai ke tubuh, lengan dan otot kranial, dan mencapai puncak yang paling

berat dalam 10-14 hari, terkadang otot faringeal-servikal-brakial terkena pada awal atau

keseluruhan penyakit, yang mengakibatkan kesulitan menelan, juga kelemahan leher dan

lengan proksimal (Ropper, 1986). Ptosis, terkadang dengan optalmoplegia juga dapat terjadi.

Pola seperti ini dapat bertahan tanpa melibatkan kelemahan tungkai. Diagnosis banding

meliputi miastenia gravis, dipteria, botulisme, dan lesi yang mengenai bagian tengah sumsum

tulang belakang dan batang otak bagian bawah.

Sindrom yang meliputi optalmoplegia virtual atau komplit dengan ataksia dan

arefleksia, dan menggambarkan varian SGB telah dijelaskan oleh Fisher (dan disebut sindrom

Fisher). Bentuk optalmoplegik murni juga ada, bisa terjadi bersama dengan pola faringeal-

servikal-brakial yang sudah disebutkan sebelumnya. Optalmoplegia, baik terjadi sendiri

maupun dengan kelemahan atau ataksia dari bagian tubuh lain, hampir selalu berkaitan

dengan antibodi antineural spesifik, anti GQ1b. Gambaran optalmoplegia meningkatkan

kemungkinan miastenia gravis, botulisme, dipteria, paralisistik, dan oklusi a.basilaris. Variasi

lain yang cukup sering terjadi menurut pengalaman kami (Ropper,1994) adalah kelemahan

n.fasialis dan n.abdusen yang bilateral tapi asimetris, yang terjadi dengan parestesia distal atau

dengan kelemahan tungkai proksimal. Refleks tendon dapat menghilang pada awalnya hanya

pada pergelangan kaki atau lutut. Penyakit Lyme dan sarkoidosis cukup dipertimbangkan

dalam menentukan diagnosis.

Bentuk penyakit paraparesis, ataksia, dan murni motorik atau murni sensorik juga

telah diamati. Diagnosa tidak begitu sulit jika ditemukan adanya parestesia pada akral

ekstremitas, refleks berkurang secara progresif atau menghilang, dan kelemahan yang relatif

simetris terjadi setelah beberapa hari timbulnya gejala. Tes laboratorium yang menegaskan

diagnosis SGB tipikal memberikan gambaran yang mirip tetapi biasanya lebih ringan jika

diperhatikan lebih seksama pada seluruh bentuk varian.

Belakangan ini terdapat kecenderungan untuk memisahkan kelompok kasus dengan

dugaan kerusakan akson difus pada onset yang tiba-tiba dan meledak, paralisis berat, gejala

sensorik minor, dan adanya elektrofisiologi pada nervus yang tidak dapat dirangsang. SGB

tipe aksonal ini mewakili 5% kasus (atau kurang) tetapi identifikasinya menunjukkan adanya

Page 12: SGB

respon yang buruk terhadap perawatan dan penyembuhan yang sangat lama atau

berkepanjangan pada sebagian besar kasus. Varian ini akan dijelaskan belakangan.

Pada beberapa pasien, kelemahan terus berkembang selama 3-4 minggu atau bahkan

lebih lama. Dari kelompok ini, bentuk kronis neuropati demielinatif sering timbul (Chronic

Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy, atau CIDP) dan kelompok menengah yang

berkembang selama 4-8 minggu kemudian membaik dapat diidentifikasi (lihat lebih lanjut).

Tabel 4. Variasi Sindrom Guillain-Barré

RegionalSindrom Fisher untuk optalmoplegia, ataksia, dan arefleksiaServiko-brakial-faringeal, sering dengan ptosisKelemahan okulofaringealParaparesis predominanKelemahan abdusens atau fasial bilateral dengan parestesia distalOptalmoplegia dengan autoantibodi GQ1b

FungsionalAtaksia generalisata tanpa disartria atau nistagmusSensorik murniMotorik murniPandisautonomiaAksonal

Sindrom Guillain-Barré Bentuk Aksonal Akut

Bentuk ini telah disinggung pada bagian sebelumnya. Feasby dkk. menunjukkan

perhatian terhadap polineuropati arefleksi akut yang secara klinis mirip dengan SGB tetapi

secara patologis ditandai dengan adanya degenerasi aksonal yang meluas dan berat. Pada

laporan awalnya, mereka menunjukkan adanya 5 orang pasien, semua dengan polineuropati

yang berkembang cepat dan penyembuhan yang sangat lambat dan buruk. Tidak seperti

bentuk SGB pada umumnya, atrofi otot pada pasien ini menjadi terlihat pada tahap yang

cukup awal pada penyakit ini (dalam beberapa minggu). Gambaran EMG menegaskan adanya

banyak sekali serabut saraf motorik yang tidak bisa dirangsang secara elektrik dan adanya

tanda-tanda denervasi luas. Yang lainnya, bagaimanapun mempertanyakan spesifisitas

penemuan ini karena ketidakmampuan untuk merangsang serabut saraf motorik dapat

menunjukkan adanya hambatan demielinisasi distal, sehingga kesembuhan total mungkin

Page 13: SGB

terjadi (Triggs dkk.). Meskipun demikian, sebagian besar kasus paralisis denervasi yang

sangat tiba-tiba dan berat, terutama jika paska infeksi, disebabkan karena bentuk SGB ini

(Ropper 1986).

Pemeriksaan mayat pada kasus ini menunjukkan adanya degenerasi aksonal berat

pada nervus dan akarnya, dengan perubahan inflamasi minimal dan sedikit demielinisasi,

bahkan pada awal penyakit. Berdasarkan deposit komplemen yang menonjol dan adanya

makrofag pada rongga periaksonal, adanya antibodi humoral terhadap beberapa komplemen

aksolemma telah dikemukakan oleh Griffin dkk. Visser dan kolega melaporkan penemuan

yang sama pada serangkaian polineuropati motorik akut dari Belanda. Berjangkitnya

neuropati motorik yang terjadi musiman di daerah pedesaan China memiliki banyak

karakteristik yang serupa. Kasus ini tampaknya sebagian besar dipicu oleh infeksi C.jejuni.

Beberapa tapi tidak semua kasus sporadik SGB aksonal akut didahului oleh infeksi yang

sama. Bagaimanapun patut dicatat bahwa infeksi bakteri yang sama dapat menyebabkan

terjadinya bentuk SGB demielinisasi tipikal. Sekitar seperempat kasus berkaitan dengan

antibodi sirkulasi terhadap gangliosida GM1 dari nervus perifer, dan beberapa dari ini

kemudian menggambarkan infeksi pendahuluan dengan C.jejuni. Istilah singkatan AMAN

(acute motor) dan AMSAN (acute motor-sensory axonal neuropathy) setara dengan SGB

aksonal.

Beberapa varian penyakit ini yang telah kami lihat menunjukkan adanya neuropati

multifokal akut dengan hambatan konduksi motorik elektrofisiologis yang meyebabkan

refleks tidak berubah dan berkaitan dengan antibody anti GM1 (Capasso dkk.). Bentuk kronik

penyakit ini, disebut neuropati motorik multifokal dan lebih sering terjadi.

Kebanyakan pengalaman dengan SGB bentuk aksonal secara umum menunjukkan

bahwa penyembuhan lambat terjadi dan resolusi kelemahan yang lengkap jarang terjadi.

Pemberian Imunoglobulin Intravena (IVIG) dan Plasma Exchange (PE), merupakan terapi

yang biasa digunakan untuk SGB, memiliki sedikit efek menguntungkan tetapi

penggunaannya tidak berkaitan dengan derajat perbaikan yang terlihat pada kasus

demielinisasi.

Apakah polineuropati aksonal akut merupakan suatu kelompok penyakit tersendiri

atau merupakan varian dari SGB belum diketahui secara pasti. Hal ini dapat berkaitan dengan

batasan definisi klinis, imunologis, dan patologis dari SGB. Tentunya pada semua kasus SGB

Page 14: SGB

berat terdapat derajat kerusakan aksonal, bahkan jika kasus yang menonjol adalah

demielinisasi. Sekarang ini kami lebih memilih untuk membedakan kasus ini dengan SGB

tipikal untuk mengurangi ekspektasi respon terhadap terapi imun dan penyembuhan klinis.

Harus ditekankan lagi bahwa adanya serabut saraf yang tidak dapat dirangsang secara elektrik

saja dapat disebabkan karena hambatan konduksi dan dapat memberikan kesan yang salah

tentang kerusakan aksonal; prognosis untuk kasus hambatan konduksi dapat cukup baik.

Diagnosis banding meliputi polineuropati dan yang lebih jarang neuropati porfirik dan

paralisis tik.

Diagnosis Diferensial

SGB bukan hanya merupakan tipe polineuropati generalisata akut yang paling sering

terjadi tetapi juga merupakan bentuk yang paling cepat berkembang dan berpotensi menjadi

fatal. Polineuropati apapun yang dapat membawa pasien ke jurang kematian atau kegagalan

pernafasan dalam beberapa hari, biasanya berasal dari varian ini. Bagaimanapun, beberapa

kondisi neurologis lainnya harus dipertimbangkan. Masalah yang segera muncul adalah

bagaimana caranya membedakan SGB dari penyakit tulang belakang akut yang ditandai

dengan paralisis sensorimotorik di bawah batas yang ditentukan dan dengan gangguan

sfingter yang jelas. Mungkin terdapat beberapa kesulitan pada kasus lesi akut pada cord

dimana releks tendon menghilang (shock spinal), atau dengan necrotizing myelopathy,

dimana kehilangan refleks tendon permanen mengikuti destruksi luas area abu-abu tulang

belakang.

Gejala klinis yang juga membingungkan adalah retrensio urin yang lebih awal dan

bersifat sementara pada sebagian pasien SGB. Beberapa aturan penting yang berguna untuk

membedakan penyakit ini dengan mielopati servikal: pada SGB, biasanya otot wajah dan

pernafasan terlibat bila ada paralisis generalisata; ujung-ujung jari menjadi parestesi jika

gejala sensorik telah naik ke tingkat midcalves; kehilangan gangguan sensorik yang jelas pada

proksimal tangan atau kaki atau hanya pada tubuh jarang terjadi pada awal penyakit; refleks

tendon biasanya hilang pada tungkai yang terlalu lemah untuk melawan graviatsi.

Paralisis motorik yang predominan merupakan karakteristik utama dari SGB, oleh

karena itu diagnosis banding juga mencakup poliomielitis, yang sekarang ini juga disebabkan

Page 15: SGB

oleh virus West Nile dan enterovirus selain karena polio. Pada semua kasus infeksius ini,

penyakitnya ditandai dengan demam, gejala meningnoensefalitis, pleositosis awal pada cairan

spinal, dan paralisis motorik murni dan biasanya arefleksi asimetris.

Beberapa kali kami keliru dengan meningitis karsinomatosa yang menyebabkan

kelemahan distal subakut dan simetris dan tampak mirip dengan SGB. Distribusi kelemahan

yang ireguler antara bagian proksimal dan distal, tidak adanya kelemahan wajah dan adanya

gejala pada satu tungkai setelah yang lainnya selalu dianggap sebagai tipe infiltrasi neoplastik

pada akar serabut saraf. Sciatika dapat terjadi pada salah satu proses tetapi nyeri radikuler

pada lengan jarang terjadi pada SGB. Pemeriksaan cairan spinal biasanya dapat

menyelesaikan masalah ini.

Masalah lain muncul dalam membedakan SGB generalisata dengan optalmoparesis

atau trombosis a.basiler varian Fisher. Adanya pupil reaktif, arefleksi dan abnormalitas

gelombang F pada SGB, sedangkan refleks dan tanda Babinsky positif pada kasus infark

batang otak, membedakan kelainan-kelainan tersebut. Ptosis dan kelemahan okulomotorik,

kelainan SGB pada beberapa kasus generalisata berat dan pada sindroma Fisher, dapat

dibandingkan dengan miastenia gravis, tapi pada penyakit ini tidak ada gejala sensorik dan

refleks tendon tidak terganggu. Otot mandibular tetap relatif kuat pada SGB, sedangkan

rahang yang bekerja dapat terbuka pada miastenia gravis. Botulisme juga dapat memicu SGB,

tetapi refleks pupil hilang pada awal botulisme (paralisis pupil terjadi terutama pada kasus

SGB lanjut), dan biasanya ada bradikardi, yang biasanya jarang terjadi pada SGB. Paralisis

tik, penyakit yang terjadi pada anak-anak di Amerika Serikat tetapi terjadi pada anak dan

orang dewasa di Australia, hampir tidak mungkin untuk dibedakan dengan SGB kecuali

ditemukan tik (hal.1034). Sebagai tambahan pada paralisis asending, keduanya juga terkadang

menyebabkan ataksia dan dapat melumpuhkan gerakan mata, tetapi kehilangan sensorik

biasanya bukan merupakan gambaran dari paralisis tik dan protein CSS tetap normal.

Menelan kerang atau ikan karang yang terkontaminasi dengan saxitoksin, ciguatoksin, atau

tetrodotoksin (ciguatera, keracunan kerang neurotoksik) merupakan penyebab lain parestesi

fasial-brakial akut, kelemahan, takipneu, dan iridoplegia yang bertahan selama beberapa hari

gejala yang menyerupai varian SGB pada saraf kranial.

Sejumlah gangguan neuromuskular pada pasien yang sakit berat dengan gangguan

sistemik dapat sulit dibedakan dengan SGB. Hal ini meliputi polineuropati pada penyakit

Page 16: SGB

kritis (lihat lebih lanjut); gagal ginjal dengan akselerasi neuropati yang sering terlihat pada

pasien diabetes dengan dialisis peritoneal (keduanya didiskusikan lebih lanjut);

hipofosfatemia akut yang disebabkan hiperalimentasi; polimiopati yang disebabkan karena

pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan efek berkepanjangan dari obat

penghambatneuromuskular, menyebabkan akumulasi metabolit pada pasien dengan gagal

ginjal dan asidosis. Episode porfiria paralitik yang nyeri memberikan sedikit kesamaan

dengan SGB.

Diagnosis SGB seringkali dapat langsung dibuat pada kasus-kasus yang khas, namun

gambaran yang tidak lazim memperluas pertimbangan diagnosis ke banyak penyakit

neuropati dan neuromuskuler lain (Tabel 4.5). Yang perlu diperhatikan adalah bentuk varian

SGB lebih sering ditemukan daripada kelainan tak umum lain yang menyerupai SGB.

Tabel 5. Diagnosis diferensial Sindroma Guillain Barré

Kelainan batang otakTrombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*Sindroma Locked InEnsefalomielitis batang otak

Kelainan medulla spinalisMielitis transversalMielopati nekrotik akutKompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnumMielopati akut lain

Kelainan sel kornu anteriorPoliomielitisRabiesTetanus

PoliradikulopatiDifteriParalisis TickNeuropati BuckthornKeracunan CiguateraPenyakit LymeLogam berat : arsen, timbal, thallium, emasKeracunan organofosfatHeksakarbon (neuropati penghirup lem)PerhexilineObat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoinPorfiria intermiten akutNeuropati vaskulitik*Critical illness polyneuropathy

Kelainan transmisi neuromuskulerMyastenia gravisBotulismusHipermagnesemi

Page 17: SGB

Paralisis yang diinduksi antibiotikaBisa gigitan ular

MiopatiPolimiositisMiopati akut lain, misalnya akibat induksi obat

Abnormalitas metabolikHipokalemiHipermagnesemiaHipofosfatemia

Lain-lainHisteriMalingering

* : Penyebab tersering dari sindroma-sindroma yang mirip dengan SGB pada masing-masing kategori

Histeria adalah kesalahan diagnosis yang paling sering terjadi pada awal perjalanan

penyakit jika parestesi merupakan satu-satunya gejala, dan jika masih terdapat refleks tendo.

Pasien-pasien seperti ini sering dipulangkan dari unit gawat darurat dan kembali lagi dengan

kelemahan menyeluruh dan gagal nafas. Jika didapatkan kelemahan asimetris dan tak

didapatkan kelemahan wajah pada kelemahan anggota gerak yang hebat, maka perlu

dipertimbangkan alternatif diagnosis lain khususnya mielopati akut. Neuropati vaskulitis,

polio, rabies, difteri, penyakit Lyme, dan meningitis karsinomatosa dapat menyerupai SGB,

namun biasanya didapatkan kelemahan yang tak proporsional dari satu regio atau terdapat

beberapa asimetri. Keterlibatan saraf kranial pada SGB umumnya simetris, dan jika ada tanda

saraf kranial yang asimetris dan menetap harus dipertimbangkan diagnosis lain seperti

sarkoidosis, oklusi arteri basilaris, lesi foramen magnum, difteri, atau rabies. Gejala dan tanda

sensorik yang tidak proporsional tidak lazim pada SGB. Seperti misalnya parestesi wajah

yang menonjol, mengarah ke hipofosfatemia, neuropati toksik akut (arsenik, Vacor,

perhexilline, thallium), keracunan ikan neurotoksik, atau sindroma neuronopati sensorik akut.

Pada pasien-pasien dengan sindroma motorik murni, keracunan timbal, poliomyelitis,

botulisme, myastenia gravis, hipermagnesemia, keracunan organofosfat, atau miopati akut

dapat menunjukkan gejala seperti SGB.

Infark batang otak akibat oklusi arteri basilaris dapat menimbulkan paralisis flaksid

dan kelumpuhan bulber yang secara sepintas mirip SGB. Kelemahan muncul saat onset, dan

tak ada riwayat sakit demam sebelumnya. Walaupun refleks-refleks dapat menghilang secara

akut, respon ekstensor plantar dan hiperefleksia akan berkembang setelah beberapa hari

Page 18: SGB

sampai minggu. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi, tapi biasanya asimetris dan gerakan

vertikal mata masih bisa dilakukan. Tidak seperti SGB, pasien biasanya obtunded dan

menurun kesadarannya akibat iskemia atau infark ARAS, walaupun jarang terdapat pasien

yang masih sadar dalam kondisi “locked in.”

Myelitis transversal servikal akut muncul sebagai kuadriplegia progresif cepat,

namun disfungsi sfingter merupakan tanda dini dan menonjol. Kelemahan umumnya

asimetris. Mungkin didapatkan arefleksia yang berkaitan dengan syok spinal akut, walaupun

satu-dua refleks masih dipertahankan pada anggota gerak yang lemah dan masih terdapat

respon ekstensor plantar. Pemeriksaan sensorik seksama mestinya dapat menentukan tingkat

lesi sensorik spinal dan saraf-saraf kranial yang terlibat. Sering didapatkan respon seluler pada

LCS, dan MRI servikal atau torakal umumnya dapat menentukan diagnosis, menunjukkan

gambaran abnormal parenkim medulla spinalis pada pencitraan T2-weighted.

Beberapa toksin dapat menyebabkan neuropati, yang segera terjadi setelah paparan,

memberikan gambaran mirip SGB, terutama jika tidak didapatkan riwayat menelan toksin.

Contohnya a.l timbal, arsenik, thalium, n-hexane (neuropati penghirup lem) dan organofosfat.

Gejala awal keracunan arsenik, thallium, atau organofosfat berupa keluhan gastrointestinal

dan mungkin mengakibatkan salah interpretasi karena dianggap sebagai penyakit prodromal

SGB, sering kali diagnosis neuropati toksik akut diperjelas dengan keterlibatan sistem organ

lain, abnormalitas mukokutaneus, atau bukti toksisitas pada SSP (ensefalopati, kejang, koma).

SGB dapat disingkirkan dengan terdeteksinya toksin yang dicurigai dalam serum atau urine.

Porfiria intermiten akut (PIA) dapat memunculkan neuropati yang sangat mirip

dengan SGB. Berbagai jenis obat, infeksi intercurrent, atau puasa dapat memicu serangan

akut. Gejala pertama adalah nyeri abdomen, yang sering dihubungkan dengan rasa mual,

muntah dan konstipasi. Sindroma-sindroma psikiatri atau konfusi terjadi pada sebagian besar

kasus, dengan kejang pada 10%-20% pasien. Kelemahan pada neuropati porfiria bersifat

simetris dan mulai pada lengan atas, walaupun semua anggota gerak dapat terkena.

Keterlibatan saraf kranial tidak lazim, tapi sering terjadi disfungsi otonom, umumnya berupa

sinus takikardi atau hipertensi. PIA dapat dibedakan dengan SGB tipikal dengan pemeriksaan

elektrodiagnosis di mana PIA lebih menunjukkan gambaran aksonopati daripada

demyelinisasi. Selama serangan PIA, terdapat peningkatan eksresi asam delta aminolvulinic

dan porfobilinogen dalam urin.

Page 19: SGB

Neuritis yang berhubungan dengan vaskulitis sistemik biasanya terjadi secara

subakut, namun mononeuritis multipleks akut dapat menjadi fulminan dan memberikan

gambaran polineuropati. Pasien-pasien dengan mononeuritis multipleks ekstensif sulit

dibedakan dengan SGB, namun nyeri anggota gerak fokal, persisten dan asimetri yang nyata

adanya keterlibatan saraf kranialis dan otot-otot pernafasan, konsentrasi protein LCS yang

normal dan pemeriksaan elektrodiagnostik yang menggambarkan pola multifokal dengan

kerusakan aksonal primer merupakan petunjuk neuropati vaskulitis. Diagnosis pasti dapat

ditegakkan dengan adanya keterlibatan organ multisistem dan terdapatnya vaskulitis pada

material biopsi. Kami sudah mendapatkan contoh-contoh kasus vaskulitis saraf perifer murni,

tapi tidak terlalu fulminan dan menyeluruh, sehingga tidak sulit dibedakan dengan SGB.

Critical illness polyneuropathy (CIP), miopati penyakit kritis atau paralisis

berkepanjangan setelah paparan obat atau bahan yang memblokade neuromuskuler dapat

dirancukan dengan SGB pada pasien-pasien di perawatan intensif. CIP merupakan komplikasi

yang umum terjadi pada pasien sepsis dan kegagalan multi organ serta sering ditemukan saat

ventilator dilepas. Kelemahan otot-otot dan atrofi dengan refleks tendo yang menurun atau

menghilang ditemukan pada sebagian besar pasien, saraf kranial pada umumnya juga ikut

terkena. Sering terjadi kehilangan seluruh modalitas sensorik distal, tapi disfungsi otonom tak

didapatkan. Konsentrasi protein LCS normal dan pemeriksaan EMG menunjukkan kerusakan

aksonal dengan denervasi menyeluruh tanpa demyelinisasi.

Botulismus pada awalnya menunjukkan gejala seperti SGB varian orofaring dan

okuler, tapi pada perjalanan penyakit kelemahan menyeluruh terjadi belakangan. Penyakit

dimulai dalam waktu jam sampai hari setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi. Mual

dan muntah diikuti oleh konstipasi dan gejala neurologis lain. Pandangan kabur terjadi pada

tahap awal, diikuti ptosis dan kelemahan orofaring. Dilatasi pupil dengan akomodasi refleks

cahaya yang berkurang merupakan tanda khas botulisme, namun tanda ini dapat tidak ada atau

timbul terlambat. Bertentangan dengan SGB, kelemahan otot respirasi sering tidak

proporsional dengan kelemahan otot anggota gerak, dan refleks-refleks biasanya masih ada.

LCS normal dan pemeriksaan elektrodiagnosis menunjukkan rendahnya amplitudo potensial

aksi otot campuran dengan peningkatan respon pada stimulasi saraf repetitif frekuensi tinggi,

menggambarkan adanya gangguan transmisi neuromuskuler presinaptik. Diagnosis

Page 20: SGB

ditegakkan dengan deteksi toksin botulinus dalam serum atau kultur Clostridium botulinum

dari feses.

Polio dan difteri sekarang jarang dijumpai sebagai penyebab paralisis akut flaksid.

Paralisis tick merupakan paralisis asenden progresif cepat yang menyerupai SGB. Kelainan

ini jarang, terjadi umumnya pada anak-anak bagian barat laut Amerika Serikat dan Kanada

utara. Kunci diagnosisnya adalah pemeriksaan yang teliti dan hati-hati untuk menemukan tick,

khususnya di daerah kulit kepala, batas rambut, leher dan pubis. Hilangnya tick diikuti dengan

kesembuhan cepat. Seperti telah disebutkan sebelumnya, penyakit Lyme dipertimbangkan

pada kasus SGB yang menunjukkan diplegia wajah atau jika didapatkan pleositosis LCS.

Hipokalemia berat (Kalium serum kurang dari 2 mEq/l), hipermagnesemia, atau

hipofosfatemia dapat menyebabkan kelemahan otot generalisata yang mirip SGB.

Pendekatan Diagnosis

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tambahan yang paling penting adalah elektrodiagnostik

dan pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS). CSS berada di bawah tekanan normal dan

aseluler, atau mengandung hanya beberapa limfosit kecuali pada sekitar 10% pasien, dapat

ditemukan 10-50 sel (terkadang lebih) per mm3, terutama limfosit. Jumlah sel kemudian

menurun secara cepat dalam 2-3 hari, pleositosis persisten memberikan diagnosis alternatif

atau tambahan seperti meningitis neoplastik, HIV, atau infeksi Lyme. Kami masih belum

dapat mengaitkan hubungan pleositosis pada cairan spinal dengan berbagai gejala klinis SGB

atau dengan beratnya penyakit. Biasanya kandungan protein normal selama beberapa hari

pertama timbulnya gejala, tetapi kemudian mulai meningkat, mencapai puncaknya dalam 4-6

minggu dan bertahan pada level meningkat yang bervariasi selama beberapa minggu.

Peningkatan protein CSS mungkin merupakan refleksi dari adanya penyakit inflamasi luas

pada akar serabut saraf, tetapi nilai yang tinggi tidak memiliki tanda klinis atau prognostik

yang jelas, mungkin berbeda dengan beberapa kasus pseudotumor serebri pengecualian

(Ropper & Marmarou). Pada beberapa pasien (<10%) nilai protein CSS tetap normal selama

penyakit berlangsung. Dari pengalaman kami patut dikatakan bahwa, di antara pasien dengan

sindrom Fisher dan SGB bentuk aksonal atau terbatas lainnya terdapat proporsi yang lebih

tinggi dengan nilai protein yang normal atau hanya sedikit meningkat.

Page 21: SGB

Abnormalitas konduksi saraf merupakan indikator diagnosis SGB yang awal dan

dapat diandalkan. Pada kasus dengan klinis dan gambaran EMG yang khas dapat diberikan

analisa CSS sebagai tes konfirmasi. Hasil elektrodiagnosa awal yang paling sering adalah

adanya pengurangan amplitudo potensial aksi otot, melambatnya kecepatan konduksi, dan

hambatan konduksi pada serabut saraf motorik sendiri atau dengan kombinasi. Latensi distal

yang memanjang (menggambarkan hambatan konduksi distal) dan respon F yang memanjang

atau menghilang (menunjukkan keterlibatan bagian proksimal serabut saraf dan akarnya)

merupakan gambaran diagnosis penting lainnya, semuanya menggambarkan demielinisasi

fokal. Reflex H hampir selalu sangat memanjang, atau lebih sering menghilang, tetapi ini

tidak mengonfirmasi hilangnya reflex pergelangan kaki. Walaupun pemeriksaan

elektrodiagnostik terbatas dapat normal pada awal penyakit, studi lebih lanjut yang mencakup

pengukuran respon lambat, hampir bervariasi menunjukkan gangguan konduksi pada tungkai

yang terkena dalam beberapa hari timbulnya gejala. Lebih lanjut, gambaran yang

menunjukkan kerusakan aksonal yang luas menandakan penyembuhan yang buruk dan

berkepanjangan pada pasien muda dan tua.

Kriteria klinis, CSS dan elektrodiagnostik untuk SGB telah ditinjau kembali oleh

Asbury dan Cornblath dan didiskusikan lebih detil dalam monograf yang dibuat oleh Ropper

dkk.

Kebanyakan pasien dengan SGB akut menunjukkan adanya peningkatan gadolinium

pada akar kauda ekuina pada MRI (MRI; 21 dari 24 pasien pada studi kami), dan ini dapat

menjadi tes yang sangat berguna pada kasus dengan komplikasi (Gorson, Ropper,dkk.).

Abnormalitas fungsi hati terjadi pada kurang dari 10% pasien, mungkin

menunjukkan adanya hepatitis viral yang baru terjadi atau sedang berlangsung, biasanya

disebabkan oleh infeksi CMV atau EBV (jarang disebabkan oleh salah satu virus hepatitis).

Perubahan gelombang T dan elektrokardiografi (EKG) lainnya pada derajat ringan

sering dilaporkan tetapi hanya sementara. Rasio sedimentasi normal, kecuali bila ada

tambahan proses infeksi, neoplastik, atau autoimun, yang dapat terjadi bersamaan dengan

SGB. Hiponatremia terjadi pada sebagian kasus setelah minggu pertama, terutama pada

pasien dengan ventilator. Biasanya hal ini disebabkan oleh syndrome of inappropriate

antidiuretic hormone secretion (SIADH), tetapi tipe natriuretik juga dapat terjadi, dari

kelebihan faktor natriuretik atrial. Diabetes insipidus transien merupakan komplikasi yang

Page 22: SGB

jarang dan tidak dapat dijelaskan. Kami tidak dapat menjelaskan adanya proteinuria rasio

tinggi dan glomerulonefritis yang dilaporkan pada beberapa kelompok kasus SGB, tetapi

pernah menemukannya walaupun jarang sekali.

Terapi

Aspek medis umum

Pada kasus berat, bantuan pernafasan dan perawatan yang teliti merupakan hal yang

paling penting, karena penyakitnya bisa sembuh alami dan memiliki harapan kesembuhan

yang baik pada sebagian besar kasus. Sekitar seperempat pasien kami pada masa sekarang ini

membutuhkan ventilasi mekanik. Karena kondisi pasien dapat berubah di luar perkiraan dan

secara cepat pada beberapa hari pertama penyakit, sebenarnya semua kasus harus masuk ke

RS untuk observasi respiratorik, otonomik, dan fungsi motorik. Kondisi ini juga berlaku pada

sebagian besar kegagalan pernafassan neuromuskular akut dan subakut lainnya, seperti

miastenia gravis.

Pengukuran kekuatan inspirasi maksimal dan kapasitas vital ekspirasi cukup

memadai untuk memperkirakan adekuasi kekuatan diafragma dan fungsi respirasi.

Pengukuran ini merupakan petunjuk terhadap kemungkinan kegagalan pernafasan. Pada

poliomielitis, kekuatan otot leher dan trapezius, yang memiliki persarafan yang sama dengan

diafragma, cenderung paralel dengan kekuatan diafragmatik. Perkiraan kasar terhadap

kapasitas pernafasan dapat diperoleh dengan meminta pasien untuk menghitung secara cepat

pada satu kali nafas dalam. Kemampuan untuk mencapai angka 20 secara umum

menggambarkan kapasitas vital yang lebih besar dari 1,5 liter. Jika diketahui adanya

kecenderungan menurun pada pemeriksaan ini dan kapasitas vital berkurang hingga berada di

bawah 10ml/kg, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi

mekanik. Perlu dicatat bahwa derajat kerusakan ventilasi yang cukup berat dapat terjadi

sebelum tanda awal dispneu muncul dan bahkan sebelum adanya peningkatan kadar CO2

arteri. Kegagalan pernafasan yang baru mulai timbul biasanya diiringi dengan takipneu dan

sedikit penurunan tekanan O2 arteri (PO2<85mmHg) menunjukkan adanya atelektasis

pulmoner. Jika kegagalan pernafasan timbul secara gradual, selama beberapa hari atau lebih

lama, terdapat sedikit takikardi, diaforesis, gelisah, dan takipneu. Usaha untuk mencegah

penggunaan ventilator tekanan-positif dengan menggunakan alat tipe-cuirass tekanan-negatif

Page 23: SGB

memberikan hasil yang tidak memuaskan pada pengalaman kami. Pasien dengan kelemahan

orofaringeal membutuhkan intubasi bahkan lebih awal untuk mencegah terjadinya aspirasi,

tetapi ventilasi mekanik tidak selalu dibutuhkan pada saat yang sama. Terapi ini sangat rumit

sehingga pasien seharusnya dimasukkan ke ICU yang memiliki staf yang sangat terlatih

dalam memelihara ventilasi dan patensi jalan nafas.

Aspek penting lain dalam penanganan pasien dengan sakit berat meliputi penanganan

instabilitas otonomik kardiovaskuler dan pencegahan masalah kesehatan umum yang terjadi

pada penyakit kritis imobilisasi manapun. Hipotensi karena disautonomia, yang terjadi pada

sekitar 10% pasien sakit berat, diterapi dengan infus volume intravena dan dengan

menggunakan agen vasopresor untuk periode singkat. Hipertensi ekstrim ditangani dengan

menggunakan obat anti hipertensi yang masa kerjanya pendek dan dapat dititrasi, seperti

labetalol intravena. Pemilihan dan pemberian dosis obat anti hipertensi merupakan hal yang

penting, karena episode ini dapat berhasil dengan cepat dengan penurunan tekanan yang

tajam. Masih belum diketahui dengan jelas apakah perubahan autonomik berat dapat

diantisipasi, tetapi berbagai manuver provokatif seperti tekanan okuler untuk memicu

hambatan jantung memang digunakan pada beberapa unit; kami mengabaikannya.

Pencegahan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, perdarahan

gastrointestinal, dan terutama emboli paru pada pasien yang harus berbaring (karena

penggunaan heparin subkutan atau kompresi pneumatik), semuanya memerlukan perhatian

penuh. Ileus adinamik merupakan masalah pada beberapa kasus, ditandai dengan nyeri

abdomen bersamaan dengan pemberian NGT dan adanya kembung; dapat menyebabkan

terjadinya perforasi usus bahkan jika proses makan dihentikan. Seperti sudah disebutkan,

sejumlah pasien menjadi hiponatremia, biasanya karena SIADH tetapi terkadang dari

natriuresis, dan penurunan sodium dapat disebabkan atau dipicu oleh ventilasi mekanik

tekanan positif. Perbedaan antara 2 kondisi yang menyebabkan hiponatremia membedakan

metode penanganannya: restriksi cairan pada kasus SIADH atau penggantian garam pada

kasus kehilangan sodium.

Banyak pasien mengalami mimpi buruk atau halusinasi yang parah setelah

imobilisasi selama beberapa minggu. Harus dilakukan komunikasi oleh staf perawat, terutama

sebelum pasien diintubasi.

Page 24: SGB

Kegagalan untuk membersihkan jalan nafas secara efektif dan kebutuhan untuk

ventilasi mekanik yang berkepanjangan merupakan indikasi untuk trakeostomi. Pada sebagian

besar kasus, prosedur ini bisa ditunda hingga akhir minggu ketiga intubasi. Bagaimanapun,

pasien yang cepat menjadi kuadriplegia dan tergantung pada ventilator membutuhkan

trakeostomi lebih awal. Sekali trakeostomi sudah dilakukan, perlu diberikan antibiotika yang

sesuai untuk memperhatikan kebersihan trakea dan perawatan infeksi paru dan traktus

urinarius. Pemberian antibiotik profilaktik tidak dianjurkan. Dengan trakeostomi dan

perawatan intensif, mortalitas penyakit ini bisa dikurangi hingga 3% (Ropper & Kehne). (lihat

lebih lanjut pada bagian prognosis)

Keputusan untuk mengurangi lalu menghentikan penggunaan alat bantu pernafasan

dan untuk melepaskan endotracheal/ tracheostomy tube berdasarkan derajat dan waktu

penyembuhan fungsi respirasi. Proses pengurangan biasanya dimulai ketika kapasitas vital

mencapai sekitar 10ml/kg dan pasien dapat bernafas dengan nyaman selama beberapa menit.

Manfaat relatif dari beberapa metode pemberian ventilasi siklus-volume takanan positif dan

penghentiannya secara gradual terlalu kompleks untuk dijelaskan di sini tetapi pembaca

dianjurkan untuk membaca monograf pada buku “Neurological and Neurosurgical Intensive

Care” oleh Ropper dkk.

Terapi fisik (gerakan pasif dan meletakkan tungkai untuk mencegah kelumpuhan

karena tekanan, dan kemudian latihan ketahanan ringan) sebaiknya dimulai ketika pasien bisa

berjalan dengan nyaman.

Plasma Exchange dan Immune Globulin

Terapi spesifik terhadap dugaan gangguan imunitas yang menyebabkan SGB

meliputi Plasma Exchange (PE) dan Intravenous Immunoglobulin (IVIG). Penerapan yang

kami lakukan adalah dengan melakukan observasi ketat terhadap pasien yang masih dapat

berjalan selama beberapa hari. Jika pasien menjadi tidak dapat berjalan tanpa dibantu atau

menunjukkan adanya pengurangan signifikan pada kapasitas vital atau ada tanda-tanda

kelemahan orofaringeal berat, PE atau IVIG (tidak keduanya) diberikan dengan segera.

Biasanya hal ini terjadi pada hari ke lima sampai ke sepuluh setelah munculnya gejala awal,

tetapi dapat lebih cepat (pada hari pertama) atau lebih lambat (hingga 3 minggu).

Page 25: SGB

Tiga kelompok besar percobaan acak yang melibatkan lebih dari 500 pasien telah

menunjukkan manfaat pemberian PE selama fase perkembangan SGB. Pada pasien yang

diobati dalam 2 minggu sejak onset, kira-kira hampir mengurangi separuh dari periode

perawatan RS, durasi ventilasi mekanik, dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan

ambulasi independen. Bagaimanapun, pada percobaan yang paling besar, jika pemberian PE

pertama ditunda selama 2 minggu atau lebih setelah onset terjadinya penyakit, prosedur ini

tidak begitu bermanfaat. Meskipun demikian, jika pasien terus berlanjut pada minggu ke tiga

atau ke empat penyakit, mungkin masih perlu untuk diberikan PE. Faktor paling penting yang

mempengaruhi respon terhadap pemberian PE adalah usia pasien (yang lebih merespon adalah

yang lebih muda) dan pemeliharaan amplitudo potensial aksi otot dan motorik, sebelum

memberikan perawatan (McKhann et al.). Salah satu studi menunjukkan bahwa secara

keseluruhan kondisi pasien menjadi lebih baik setelah perawatan selama 6 dan 12 bulan

dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi; studi lain menunjukkan hasil yang

meragukan.

Pemberian PE yang dianjurkan menggantikan sejumlah 200-250 ml/kg plasma dalam

4-6 kali perawatan pada hari yang berselang-seling, atau dalam periode yang lebih singkat

jika tidak ada koagulopati. Cairan pengganti yang diberikan adalah salin dikombinasikan

dengan albumin 5%. Kebutuhan akses vena yang besar biasanya memerlukan pemberian

kateter subklavia atau jugularis interna lubang ganda dan hal ini bisa menjadi sumber utama

komplikasi (pneumotoraks, infeksi, perdarahan). Pada beberapa pasien, perawatan dapat

diberikan dan terkadang seluruhnya diselesaikan melalui v.antekubiti. Selama dan sesudah

prosedur dilakukan, dapat terjadi hipotensi., hipoprotrombinemia dengan perdarahan (mis.

epistaksis), dan aritmia jantung. Beberapa unit memilih untuk mengukur kadar fibrinogen,

yang banyak berkurang karena PE, sebelum PE berikutnya sebagai alat pengukur terhadap

resiko terjadinya perdarahan. Reaksi terhadap sitrat yang digunakan untuk mencegah darah

menggumpal pada mesin PE sering terjadi, tetapi dapat dihindari dengan pemberian kalsium

secara hati-hati pada aliran intravena. Hepatitis dan AIDS bukan merupakan resiko jika

plasma digantikan dengan albumin dan salin daripada dengan pooled plasma.

Yang sama efektifnya dengan PE adalah IVIG (0,4g/kg per hari selama 5 hari

berturut-turut), dimana lebih mudah untuk diberikan dan mungkin lebih aman karena tidak

diperlukan akses intravena yang besar. Hasil dari percobaan awal yang dilakukan oleh Van

Page 26: SGB

der Meche dkk. telah bergabung dengan studi internasional yang dipimpin oleh Hughes,

dimana kami juga berpartisipasi. Studi terakhir membandingkan antara PE dan IVIG dan juga

mengevaluasi penggunaannya secara berkala. Ada sedikit kecenderungan mengarah ke hasil

yang lebih baik pada pasien yang mendapat PE, dan hasilnya mungkin sedikit lebih baik pada

kelompok yang diterapi dengan PE yang segera diikuti dengan infus IG selama 5 hari; pada

kedua kasus, bagaimanapun, perbedaan ini tidak berhasil mendapatkan hasil yang signifikan

secara statistik dan ketiga metode perawatan dikatakan serupa. Gagal ginjal, proteinuria, dan

meningitis aseptik paling sering ditandai dengan sakit kepala berat, merupakan komplikasi

IVIG yang jarang terjadi. Satu-satunya reaksi serius yang kami hadapi yaitu pada sangat

sedikit pasien yang secara kongenital kekurangan IgA dan pada pasien yang terjadi

pengumpulan gama globulin menyebabkan terjadinya anafilaksis. Kami juga menghadapi

beberapa kasus dengan trombosis vena lokal dengan inflamasi yang jelas pada area lokasi

infus.

Setelah penggunaan PE maupun IVIG, 5-10% pasien yang pada awalnya membaik

akan mengalami relaps yang menjadi nyata dalam beberapa hari atau sampai 3 minggu setelah

terapi selesai. Jika didapatkan respon yang baik pada terapi awal, perawatan yang sama dapat

diulang atau perawatan alternatif dapat dicoba; salah satu dapat berhasil. Beberapa pasien

tertentu mengalami relaps berulang dan memiliki indikasi untuk inflamasi demielinisasi

polineuropati kronik (lihat lebih lanjut). Pada beberapa pasien dalam penanganan kami,

penyakit menjadi stabil setelah beberapa bulan sebagai respon terhadap pemberian

kortikosteroid dengan penurunan dosis secara bertahap selama beberapa bulan, atau

dikombinasi dengan pemberian ulang IVIG atau PE.

Harus ditekankan bahwa perbaikan klinis pada pemberian IVIG atau PE biasanya

tidak dapat dilihat dengan mudah pada pasien individual, maksudnya bahwa hal ini hanya

terlihat dengan membandingkan kelompok besar yang diterapi dan yang tidak diterapi.

Karena alasan tersebut tidak mungkin untuk menilai bahwa seorang pasien yang kondisinya

tidak membaik atau memburuk selama periode perawatan benar-benar tidak mendapatkan

keuntungan dari terapi tersebut. Meskipun demikian muncul pertanyaan terhadap penggunaan

PE lebih lanjut atau melanjutkan infus imunoglobulin pada kasus yang terus memburuk atau

tidak ada perbaikan. Yang lebih memperberat masalah adalah sedikitnya harapan untuk

perbaikan awal pada kasus SGB aksonal. Saran kami adalah untuk mengulangi salah satu dari

Page 27: SGB

dua perawatan jika kondisi pasien benar-benar menurun, terutama jika ada bukti penyakit

demielinisasi pada EMG, dan jika durasi penyakitnya tidak lebih dari 3 minggu. Memberikan

PE setelah penggunaan IVIG merupakan hal yang tidak masuk akal bagi kami (tetapi

pendapat ini belum dites); oleh karena itu, biasanya kami melanjutkan PE dengan IVIG, atau

lebih sering, mengulangi pemberian IVIG seperti disarankan oleh Farcas dkk.

Nilai kortikosteroid sendiri pada perawatan SGB telah diperdebatkan selama

beberapa dekade. Banyak dokter telah terbujuk dengan manfaatnya. Bagaimanapun, dari 2

studi terkontrol acak, satu dengan prednisolon dosis konvensional dan lainnya dengan

metilprednisolon dosis tinggi, tidak dapat menunjukkan adanya efek yang menguntungkan

(Hughes dkk.). Walaupun kortikosteroid tidak lagi dapat direkomendasikan sebagai perawatan

rutin untuk SGB akut, kami telah mengamati beberapa instansi dimana pemberian intravena

kortikosteroid dosis tinggi tampaknya menghentikan perkembangan penyakit akut.

Perawatan Unit Intensif Pada Sindroma Guillain-Barre

Manajemen SGB memerlukan pengalaman khusus dalam perawatan intensif di

bidang medis maupun neurologis, diperlukan kesabaran serta kepekaan untuk mengetahui

kebutuhan kecil sehari-hari dari pasien dan keluarganya. Neurolog yang merawat pasien SGB

harus mengetahui terapi infeksi, nutrisi dan manajemen keseimbangan cairan dan aspek-aspek

pengetahuan tertentu bidang pulmoner. Keterampilan ini menyumbangkan hasil yang sesuai

dengan outcome secara umum pada individu pasien, seperti terapi imunomodulator spesifik.

Hal yang penting pada terapi SGB adalah bahwa morbiditas dan mortalitas tergantung pada

perawatan ICU dan penanganan masalah-masalah medis.

Kelemahan diafragma merupakan problem medis yang mendasar akibat semua

kelainan yang menyebabkan paralisis neuromuskuler berat seperti SGB. Tanda dini kegagalan

nafas mungkin disebabkan atelektasis. Akibat utama atelektasis dini ini adalah hipoksemia

ringan, bukan hiperkarbi. Analisis gas arterial mungkin menunjukkan hipoksemia ringan,

namun kapasitas vital dan volume tidal merupakan tes-tes bedside untuk memeriksa fungsi

respirasi secara lebih sensitif, dan harus dimonitor secara teratur pada pasien SGB, terutama

saat awal perjalanan penyakit. Pasien-pasien dengan fungsi respirasi yang menurun harus

diobservasi di unit perawatan intensif. Kami memberikan intubasi dini dan ventilasi mekanik

jika kapasitas vital mendekati 15 mL/kg, yaitu saat dimana pasien merasa tidak nyaman.

Page 28: SGB

Trakeostomi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien-pasien gagal nafas yang tidak membaik

setelah 2 atau 3 minggu atau kelemahannya begitu berat sehingga pulihnya kekuatan

diafragma sepertinya tidak akan tercapai pada saat tersebut. Pasien yang mempunyai riwayat

gangguan paru tampaknya lebih banyak yang membutuhkan trakeostomi. Kelemahan

orofaring memperburuk kemampuan melindungi jalan nafas, dan meningkatkan risiko aspirasi

serta gagal nafas. Pasien-pasien dengan kelemahan orofaring membutuhkan isap lendir lebih

sering untuk meminimalkan penumpukan sekresi dan mencegah aspirasi. Selang makan

nasogastrik sebaiknya dipasang pada pasien-pasien ini untuk mempertahankan dukungan

nutrisi yang adekuat dan lebih disarankan daripada hiperalimentasi. Selang gastrostomi tidak

diperlukan pada kebanyakan pasien kami.

Tabel 6. Komplikasi Sindroma Guillain Barré

Gagal nafasAspirasiPneumoniaEmboli pulmonerPneumothoraksStenosis trakhea*Sepsis karena kateter intravena*Infeksi saluran kemihDekubitus kulitTukak stres, perdarahan gastrointestinalKonstipasi dan ileusObstruksi ususMalnutrisiTrombosis vena dalamHiponatremiaHiperkalsemiaAnemiaDisautonomiaHipertensiHipotensiAritmia jantungIleusNyeriDepresiAnsietas Gangguan tidurEnsefalopati

* : Berhubungan dengan intervensi iatrogenik

Page 29: SGB

Takikardi saat istirahat yang persisten mungkin merupakan kelainan otonom yang

paling banyak dijumpai pada SGB dan kondisi ini tak memerlukan terapi. Disautonomia

umumnya membaik saat gambaran SGB lain muncul, namun tekanan darah yang labil

mungkin menetap selama beberapa minggu atau lebih lama. Karena hipertensi pada SGB

umumnya singkat, maka terapi hanya diberikan pada hipertensi berat, atau pada keadaan

tertentu seperti misalnya pasien dengan penyakit arteri koroner. Obat-obat beta bloker atau

ACE inhibitor lebih dipilih pada pasien dengan hipertensi berkepanjangan dan secara umum

ditoleransi dengan baik. Jika diperlukan penurunan tekanan darah segera, obat-obat short

acting yang dapat dititrasi seperti esmolol atau nitropruside dapat digunakan. Hipotensi

postural merupakan kondisi yang menimbulkan kesulitan, dan termasuk aspek disautonomia

kardiovaskuler yang berat. Beberapa episode hipotensif diawali dengan stimuli ‘vagotonik’

seperti intubasi, isap lendir lewat trakhea, atau pemberian obat. Hipotensi dapat diatasi dengan

ekspansi volume, dan pemberian vasopresor harus dihindari kecuali rata-rata tekanan darah

turun di bawah 75 mmHg karena adanya kecenderungan untuk mempresipitasi hipertensi pada

pasien-pasien dengan instabilitas otonom. Aritmia yang dimediasi lewat mekanisme vagal

merupakan salah satu bentuk komplikasi SGB. “Vagal spells” berupa episode bradikardi,

sinus arrest, atau asistol yang dapat terjadi dengan atau tanpa stimulus ‘vagotonik’ yang jelas.

Kondisi tersebut biasanya muncul selama periode puncak disabilitas dan bersifat sementara,

berhenti spontan atau setelah pemberian atropin intra vena. Kadang-kadang pasien dengan

episode berulang memerlukan pacu jantung. Retensi urine dapat dikelola dengan pemasangan

kateter kemih. Kateterisasi intermiten lebih disarankan dan meminimalkan risiko infeksi

nosokomial, walaupun kateter menetap biasanya dibutuhkan pada pasien yang diintubasi.

Pasien SGB di ICU berisiko tinggi terkena infeksi nosokomial. Infeksi yang lazim

berupa infeksi respirasi (pneumonia dan trakheobronkitis), infeksi saluran kemih, dan yang

lebih jarang adalah sepsis ringan atau generalisata. Infeksi urine terjadi belakangan setelah

infeksi pulmoner, sehingga sangat bermanfaat untuk memeriksa kultur urine mingguan dan

sputum dengan pengecatan gram, kultur sebaiknya diperiksa periodik pada pasien yang

diintubasi. Bakteriuri tanpa piuri biasanya tidak memerlukan terapi. Pemisahan antara

kolonisasi dan infeksi nosokomial seringkali sulit, dan institusi yang tidak proporsional atau

profilaksis untuk kolonisasi trakheobronkhial mungkin menimbulkan predisposisi super

Page 30: SGB

infeksi dengan patogen resisten. Antibiotik diindikasikan pada trakheitis jika ada demam

disertai dengan sputum yang purulen dan gambaran foto sinar X dada yang normal. Emboli

pulmoner harus dicurigai pada pasien dengan hipoksemia atau nyeri dada pleuritis, bahkan

tanpa disertai sesak nafas. Periode imobilisasi sampai 10 hari sudah cukup signifikan sebagai

predisposisi komplikasi ini. Desaturasi oksigen arterial dalam minggu pertama atau kedua

secara umum lebih dikaitkan dengan sumbatan jalan nafas daripada emboli pulmoner.

Profilaksis memakai heparin subkutan atau alat kompresi pneumatik intermiten sebaiknya

dipakai secara rutin untuk menurunkan insidens trombosis vena, dan warfarin lebih dipilih

pada pasien yang akan imobilisasi total dalam jangka waktu yang lama. Narkotik hampir

selalu diperlukan untuk mengatasi nyeri. Alternatif lain untuk mengatasi nyeri hebat di

punggung adalah dengan analgesia epidural.

Prognosis

Seperti sudah dijelaskan, sekitar 3-5% pasien tidak bisa selamat dari penyakit ini,

bahkan di RS yang memiliki peralatan terbaik. Pada stadium awal, kematian paling sering

disebabkan karena cardiac arrest, mungkin berkaitan dengan disautonomia, adult respiratory

distress syndrome, pneumo/ hemothorax, atau beberapa tipe kegagalan mesin kerana

ketidaksengajaan. Lebih lanjut pada penyakit ini, emboli paru dan komplikasi medis lainnya

(biasanya bakterial) dari imobilisasi terus-menerus dan kegagalan pernafasan merupakan

penyebab utamanya.

Sebagian besar pasien sembuh hampir sempurna (dengan defisit motorik ringan atau

keluhan sensorik pada kaki atau tungkai). Bagaimanapun, pada sekitar 10% terdapat

disabilitas residual; hal ini terjadi pada kasus yang paling berat dan cepat berkembang; jika

ada bukti penyebaran kerusakan aksonal (lihat kemudian), dan pada kasus yang membutuhkan

bantuan ventilasi mekanik lebih awal dan terus-menerus. Hal penanda konsisten terhadap

kelemahan residual adalah pada EMG ditemukan amplitudo potensial aksi otot sangat

berkurang dan denervasi yang meluas, keduanya mengindikasikan kerusakan aksonal. Pada

pasien dengan gagal nafas, waktu rata-rata respirasi dengan bantuan mesin adalah sekitar 22

hari dan waktu untuk perawatan adalah sekitar 50 hari (dulu lamanya 2x lipat sebelum adanya

PE dan IVIG). Sebagai aturan, orang yang lebih tua penyembuhannya lebih lambat dari yang

lebih muda dan anak-anak, dan lebih banyak mengalami kelemahan residual.

Page 31: SGB

Kesulitan residual yang paling sering terjadi adalah kelemahan pada otot tungkai

bawah, rasa baal pada kaki dan jari-jari kaki, dan kelemahan bifasial ringan. Beberapa pasien

dapat mengalami ataksia sensorik; jika hal ini terjadi, cenderung menjadi berat dan cukup

menyebabkan disabilitas. Nyeri neuropati distal dan masalah otonomik persisten dapat terjadi

tetapi tidak sering. Segala macam gejala lanjut lainnya dianggap berasal dari kelainan

penyakit dan dikaitkan dengan manfaatnya – letih dan lemah, kram otot, pening, nyeri, dan

tidak dapat bernafas. Depresi jarang terjadi.

Kecepatan penyembuhan bervariasi tetapi langkahnya tetap. Kadang terjadi dalam

beberapa minggu atau bulan; bagaimanapun, jika akson mengalami degenerasi, regenerasinya

membutuhkan 6-18 bulan atau lebih lama. Pada pengalaman kami, sedikit perbaikan dapat

diharapkan pada disabilitas yang telah bertahan selama 3 tahun atau lebih.

Sekitar 5-10% pasien menderita 1 atau lebih rekurensi polineuropati akut. Penyakit

yang pada awalnya tampak sebagai inflamasi polineuropati akut dapat menjadi tidak stabil

dan kemudian berkembang dengan tetap atau dapat terjadi remisi tidak sempurna yang diikuti

dengan neuropati kronis, berfluktuasi, progresif lambat.