Upload
dewanto-sigit
View
326
Download
3
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
Sindrom Guillain Barre (SGB)
from: Adams and Victor's Principles of Neurology , 9 edition
PENDAHULUAN
Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan penyebab paling sering dari paralisis
generalisata akut atau subakut. SGB pertama kali dilaporkan pada tahun 1916 oleh Guillain,
Barre dan Strohl. SGB mempunyai karakteristik kelemahan anggota gerak simetris, progresif,
ascendens, akut/subakut dengan parestesi distal dan refleks tendo yang menurun atau
menghilang pada pasien yang sebelumnya sehat. Pada pemeriksaan LCS didapatkan disosiasi
sitoalbumin. Secara mikroskopis terjadi demielinisasi dan infiltrasi mononuklear pada radiks
dan rami saraf tepi.
Saat in SGB merupakan sebab terbanyak dari kasus paralisis akut di negara-
negara barat, setelah eradikasi polio melalui program-program vaksinasi. Dalam bentuk
klasik, SGB merupakan poliradikuloneuropati demyelinisasi karena proses inflamasi. Kriteria
diagnostik klinis yang telah ada mendeskripsikan penyakit SGB secara khas / tipikal (Tabel
3), tapi banyak kasus menyimpang dari definisi tersebut dan bukti elektrofisiologis neuropati
demyelinisasi akut merupakan gambaran penting untuk kepastian diganosis. Ahli neurologi
dapat dengan cepat mengidentifikasi kasus-kasus yang khas, namun kesulitan diagnosis
timbul dengan adanya sejumlah variasi regional atau fungsional yang ditemukan dalam
praktek klinis.
Imunoterapi dengan plasma tukar dan gamma globulin intra vena meningkatkan
hasil terapi pada banyak pasien SGB. Penggunaan kortikosteroid, yang dulu merupakan
standar terapi, sekarang mulai ditinggalkan. Penggunaaan imunoterapi pada SGB telah dapat
mengatasi komplikasi yang dijumpai pada manajemen penyakit ini dari hari ke hari, sehingga
berpengaruh langsung terhadap morbiditas dan mortalitas.
Insidensi
Insiden per tahun adalah 0,6-1,9 kasus per 100.000 populasi. SGB mengenai semua
pasien dari semua tingkat sosial ekonomi, ras dan umur, walaupun tidak lazim dijumpai pada
umur-umur ekstrim. Insiden sedikit memuncak pada usia 30 dan 50 tahun, dengan umur rata-
rata 45 tahun pada penelitian prospektif yang kami lakukan. Kulit putih tampaknya terkena
secara tak proporsional dan terdapat sedikit predominansi laki-laki pada laporan-laporan
penelitian yang ada. SGB tidak dipengaruhi oleh musim dan tidak epidemik, akan tetapi
pernah diketahui berjangkitnya SGB pada musim tertentu di daerah pedesaan China setelah
anak-anak terpapar C.jejuni melalui feses ayam yang ada di padi.
Tidak didapatkan faktor-faktor genetik yang meningkatkan kerentanan terhadap SGB,
juga tidak didapatkan bukti bahwa SGB menular. Penelitian-penelitian berbasis populasi
maupun rumah sakit tak menunjukkan variasi musiman, namun SGB motor aksonal akut yang
ditemukan secara terbatas di Cina utara, terjadi pada musim panas. SGB biasanya terjadi
secara sporadis, namun kadang-kadang dilaporkan terjadi pada kelompok tertentu walaupun
sumbernya tak jelas. Sulit untuk menentukan apakah laporan-laporan tersebut bermakna
sebagai variasi sebaran random yang selama ini dilaporkan. Terdapat laporan SGB epidemik
yang terjadi setelah vaksinasi terhadap influensa babi tahun 1976, namun terdapat ambiguitas
dalam definsi dan penentuan kasus tersebut, sehingga menimbulkan kontroversi menyangkut
validitas hubungan antara vaksinasi tersebut dan vaksinasi-vaksinasi lain dengan SGB.
Namun tetap disimpulkan bahwa terjadi peningkatan insiden SGB dewasa hampir 5 kali lipat
yang dihubungkan dengan vaksinasi flu babi. Data mutakhir mingindikasikan sedikit
peningkatan yang signifikan terhadap kasus-kasus SGB setelah vaksinasi influensa
(penambahan 1-2 kasus SGB per juta vaksinasi).
Faktor Pencetus
Infeksi respiratorik atau gastrointestinal ringan mendahului gejala neuropati selama
1-3 minggu pada 60% kasus. Yang khas adalah ISPA yang tidak dapat digolongkan, tetapi
hampir semua demam karena infeksi dan imunisasi dilaporkan mendahului SGB. Pada
beberapa tahun belakangan ini, dari studi serologis diketahui bahwa organisme C.jejuni
merupakan infeksi pendahulu SGB yang paling sering diidentifikasi. Hal-hal lain yang dapat
mendahului SGB atau penyakit yang berkaitan antara lain meliputi eksantema viral dan
penyakit viral lainnya (CMV, EBV, HIV), infeksi bakteri selain Campylobacter
(M.pneumoniae, penyakit Lyme), paparan terhadap agen trombolitik dan limfoma (terutama
penyakit Hodgkin). Pemberian vaksin antirabies yang kuno dan vaksin influenza A/ New
Jersey (babi) yang diberikan pada akhir tahun 1976, berkaitan dengan sedikit peningkatan
SGB dan setidaknya 1 program vaksinasi influenza berikutnya telah dikaitkan dengan sedikit
peningkatan kasus. Trauma dan operasi bedah dapat mendahului neuropati, tetapi penyebab
yang berkaitan belum diketahui secara pasti. Sedangkan pada sepertiga pasien tidak memiliki
pencetus/ penyakit yang mendahului. (Lihat Tabel 1)
Tabel 1. Penyakit-Penyakit yang Mendahului dan yang Dihubungkan dengan Sindroma Guillain Barré Akut
Infeksi ViralCytomegalovirus* Influenza CocksackieVirus Epstein Barré* Campak EchoHuman Immunodeficiency virus Gondong ParainfluenzaVirus Herpes simpleks Rubella Respiratory syncitial Herpes Zooster Hepatitis virusInfeksi BakterialCampylobacter jejuni* Brucellosis TularensisMycoplasma pneumoniae Legionella TuberculosisShigella SalmonellaTyphoid Yersinia enterocoliticaBorrelia burgdorferi (Penyakit Lyme)Listeria PasteurellaPenyakit SistemikLimfoma Penyakit tiroidSarkoidosis Penyakit AddisonLeukemiaTumor padat (kanker paru)Systemic lupus erythematosusLain-lainPembedahanTraumaVaksinasi
* : paling sering dalam kategori tersebut
Etiologi dan Patogenesis
Etiologi yang pasti sampai saat ini masih belum jelas. Infeksi diduga sebagai
pencetus Bukti-bukti mendukung adanya reaksi imunologi yang diperantarai oleh sel pada
nervus perifer. Waksman dan Adams menunjukkan penyakit nervus perifer yang ditimbulkan
pada eksperimen (EAN/ Experimental Allergic Neuritis), yang secara klinis dan patologis
tidak dapat dibedakan dengan SGB, timbul pada binatang 2 minggu setelah imunisasi dengan
keterlibatan nervus perifer yang sama. Brostoff dkk. menyarankan bahwa antigen pada reaksi
ini adalah protein dasar, disebut P2, hanya ditemukan pada mielin nervus perifer. Sebagian
penyelidikan oleh beberapa penulis mengindikasikan bahwa faktor neuritogenik dapat
merupakan peptida spesifik pada protein P2. Bagaimanapun, telah terbukti bahwa tidak ada
reaksi antigen-antibodi dominan pada SGB dan berapapun jumlahnya, elemen mielin dan
aksonal dapat menyebabkan timbulnya reaksi imun. Hartung dkk. telah menemukan reseptor
interleukin (IL-2) solubel tingkat tinggi, yang berasal dari sel T teraktivasi dan IL-2 itu sendiri
pada pasien dengan SGB akut, menggambarkan aktivasi sel ini. Komplemen tampaknya juga
merupakan faktor penting pada serangan awal mielin.
Walaupun transmisi EAN oleh sel T yang tersensitisasi mielin merupakan bukti kuat
peranannya pada SGB, antibodi antimielin mungkin terlibat pada bagian awal penyakit ini.
Serum yang berasal dari pasien SGB menyebabkan kerusakan mielin pada kultur jaringan
dan menginduksi bentuk karakteristik (vesikuler) dari destruksi mielin. Injeksi subepineural
serum yang berasal dari pasien SGB pada nervus sciatika tikus menyebabkan terjadinya
demielinisasi lokal dan hambatan konduksi elektrik. Studi oleh Koski dkk. tentang kerusakan
komplemen tergantung oleh antibodi antimielin IgM pada SGB, membuktikan bahwa
antibodi antimielin dapat menyebabkan destruksi mielin, walaupun sel T dan makrofag
merupakan efektor utama dari kerusakan. Terlebih, tanda paling awal yang dapat dideteksi
oleh Hafer-Macko dkk. adalah adanya deposisi komplemen pada lapisan dalam mielin.
Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler endoneurial dan demielinasi
multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf distal
(poliradikuloneuropati).
Sejumlah autoantibodi pada komponen serabut saraf gangliosida dideteksi secara
inkonsisten pada pasien dengan SGB, yang paling penting adalah anti GQ1b, antibodi yang
ditemukan pada hampir semua pasien dengan optalmoplegia. Sekitar 1/3 pasien memiliki anti
GM1 pada awal penyakit, berkaitan dengan presentasi motorik yang menonjol dan kerusakan
aksonal, titer paling tinggi biasanya berkaitan dengan kasus yang menyertai infeksi
Campylobacter. Antibodi langsung terhadap GD1a atau GT1b pada beberapa kasus berkaitan
dengan varian faringeal-brakial-servikal. Oleh karena itu, bila kita menyatakan SGB hanya
sebagai proses imun humoral atau seluler saja merupakan hal yang terlalu sederhana.
Pertanyaan yang belum terjawab adalah bagaimana reaksi imun bisa timbul pada
manusia. Segala usaha untuk mengisolasi agen virus atau mikrobial dari nervus atau
mendemonstrasikannya dengan mikroskop elektron telah gagal, dan tampaknya berbagai
variasi agen –viral, bakterial (t.u. C.jejuni), vaksin tertentu, dan mungkin trauma neural itu
sendiri– semuanya dapat, pada individu yang rentan, menimbulkan respon imun terhadap
komponen mielin perifer autologus. Terjadinya SGB pada pasien dengan AIDS atau dengan
infeksi EBV atau CMV menunjukkan bahwa agen ini juga menyebabkan respon autoimun
tanpa melibatkan infeksi virus langsung pada serabut saraf. Observasi dari salah satu dari
banyak individu yang terinfeksi dengan patogen partikuler yang menjadi SGB menunjukkan
bahwa faktor host memiliki peranan cukup penting (bagaimanapun, hanya sedikit konsistensi
HLA pada pasien SGB). Apakah antibodi terhadap berbagai gangliosida nervus perifer yang
telah disebutkan di atas bersifat aktif secara patogen juga belum jelas.
Beberapa penyakit hewan –paralisis anjing Coonhound, penyakit Marek pada ayam
(neuritis-viral), dan neuritis kauda ekuina pada kuda– semuanya menyerupai SGB superfisial
tetapi gambaran klinis atau patologisnya tidak sama.
Manifestasi Klinis
Pola Kelemahan
Walaupun SGB akut secara tipikal dimulai dengan parestesi pada ujung jari tangan
dan kaki, namun gambaran yang predominan adalah neuropati motorik. Parestesi biasanya
mengikuti dalam waktu beberapa hari dengan kelemahan tungkai bilateral, simetris, dengan
derajat bervariasi, ditandai dengan kesulitan berjalan dan pasien secara khas mengungkapkan
kesulitan saat menaiki tangga atau bangkit dari kursi. Kelemahan lengan, tangan dan wajah,
okuler atau otot-otot orofaring dapat terjadi sesuai dengan keparahan penyakit. Walaupun
ditekankan adanya kelemahan bilateral dan simetris, namun kami menemukan bahwa hampir
selalu terdapat kelemahan yang asimetris dengan derajat yang bervariasi. Walaupun
asimetrinya minimal, namun hal ini masih nyata pada pasien.
Secara jarang, sindrom dimulai dengan kelemahan hebat pada salah satu sisi anggota
gerak, yang berlangsung dalam jam, dan kadang-kadang beberapa hari sebelum anggota gerak
sisi lain pada segmen yang sama ikut terkena. Dahulu SGB dideskripsikan dengan
menekankan kelemahan tungkai yang diikuti dengan paralisis ascendens dengan predileksi
otot-otot anggota gerak distal, namun pengalaman kami menunjukkan bahwa kelemahan
proksimal lebih sering dan lebih nyata daripada distal. Berlawanan dengan sebagian besar
kelainan miopati dan neuromuscular junction lain, pada SGB otot-otot proksimal jarang
terkena secara tersendiri dalam jangka waktu yang lama. Lengan dan tangan biasanya ikut
terkena beberapa jam sampai hari setelah tungkai, walaupun kelemahan tungkai dan tangan
dapat terjadi secara bersamaan. Varian kasus menggambarkan kelemahan terbatas pada
tungkai, atau dimulai dari tangan atau bahu diikuti tungkai setelah beberapa hari. Pada
penelitian retrospektif kami, 14 % kasus merupakan kelemahan descendens, dimulai dari saraf
kranial atau dari lengan kemudian ke tungkai. Hampir 15 % kasus SGB yang berkembang
secara komplit mempunyai kelemahan lengan dan tungkai yang sama. Anggota gerak yang
lemah flaksid dan proporsional dengan kelemahannya. Fasikulasi atau myokimia terdapat
pada sebagian kecil kasus.
Keterlibatan saraf kranial umum dijumpai pada SGB dan telah diketahui secara luas
bahwa N VII adalah yang paling sering terkena pada 50 % kasus SGB tipikal / khas.
Kelemahan wajah terjadi lebih sering jika kelemahan anggota gerak berat, sehingga jika
didapatkan kuadriplegi tanpa kelemahan wajah, diagnosis SGB perlu dipertimbangkan
kembali. Seperti kelemahan anggota gerak, diplegia wajah sering asimetris dan kadang-
kadang unilateral. Adanya kelemahan wajah tidak otomatis menunjukkan keterlibatan saraf
kranial lain atau mengarah ke kegagalan nafas. Disfagia merupakan gejala yang jarang,
namun kelemahan orofaring terjadi pada sepertiga sampai setengah jumlah pasien selama
perjalanan penyakit, menyebabkan risiko aspirasi. Kelemahan wajah biasanya muncul jika
kemampuan menelan terganggu.
Oftalmoparesis dalam bentuk yang bervariasi terjadi pada 10 % sampai 20 % pasien,
kira-kira 3% sampai 5% saat onset; dan nervus abducens adalah yang paling sering terlibat.
Kelemahan abduksi okuler seringkali bilateral dan asimetris. Ptosis dan abnormalitas pupil
jarang didapatkan jika tidak ada oftalmoplegi. Pasien-pasien yang terkena SGB dalam bentuk
yang hebat dapat mengalami paralisis semua saraf kranial, biasanya disertai dengan gagal
nafas dan kuadriplegia sehingga menimbulkan keadaan locked-in.
Kegagalan nafas, terutama diakibatkan kelemahan diafragma, merupakan komplikasi
serius yang paling sering dijumpai pada SGB akut, dan ventilasi mekanik diperlukan pada
hampir sepertiga kasus. Pasien-pasien ini umumnya kuadriparesis. Kelemahan elevasi bahu
dan fleksi leher muncul paralel dengan kelemahan diafragma dan kegagalan nafas serta
kelemahan orofaring. Sebagai akibat kelemahan otot-otot respirasi, terdapat pengurangan
volume tidal dan kapasitas vital yang diikuti dengan atelektasis. Pasien dapat mengalami
kesulitan batuk dan mengeluarkan sekresi dahak, khususnya jika kelemahan orofaring juga
ada. Atelektasis menyebabkan shunting arterio-venosa dan hipoksia, diikuti peningkatan
frekuensi nafas dan penggunaan otot-otot pernafasan tambahan (sternokleidomastoideus dan
otot-otot tambahan pada toraks dan abdomen). Takipneu menurunkan kadar karbon dioksida,
sehingga pada kondisi kompensasi respiratorik awalnya ditemukan hipoksia ringan dengan
kadar karbondioksida yang nenurun. Hiperkapneu terus berlangsung sampai otot-otot respirasi
menjadi lelah. Dalam kondisi ini pasien dapat dengan cepat mengalami dekompensasi dan
terjadi henti nafas. Jika pasien tidak membutuhkan ventilator mekanik sampai 2 minggu
setelah onset penyakit, maka alat tersebut tidak diperlukan lagi jika tak ada komplikasi berat
lain yang terjadi. Pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan waktu perawatan lebih lama,
lebih lama waktu pulihnya, lebih tinggi angka kematiannya, dan lebih sering mengalami sisa
defisit secara signifikan jika dibandingkan mereka yang tidak membutuhkan respirasi
mekanik.
Abnormalitas Sensorik
Parestesi jari-jari tangan dan kaki merupakan gejala awal pada lebih dari setengah
kasus pasien SGB. Kebanyakan keluhan seperti kena paku dan jarum, ditusuk-tusuk, atau
sensasi geli, mirip dengan sensasi anggota gerak ‘jatuh tertidur.’ Gejala sensorik secara khas
mendahului 1-2 hari sebelum kelemahan dan menyebar ke pergelangan kaki dan pergelangan
tangan selama perjalanan penyakit. Selama parestesi berlangsung dan kehilangan rasa
sensorik terus berjalan, tangan dan kaki dideskripsikan pasien sebagai ‘tebal’ dan ‘mati rasa.’
Gejala sensorik lebih simetris dibandingkan dengan kelemahan motorik, dan ujung jari
umumnya mengalami pasrestesi segera setelah kedua kaki terkena. Parestesi wajah atau
trunkus dapat terjadi walaupun jarang. Sebagian kecil pasien mengalami hilang rasa yang
nyata pada trunkus, seringkali dalam pola eschutcheon atau pola seperti pita, tapi pernah
dilaporkan pula dalam pola diskret yang menyerupai kelainan medula spinalis. Pasien-pasien
ini umumnya tidak menyadari di tingkat mana dia mengalami hilang rasa, sampai dilakukan
pemeriksaan, dan hasil pemeriksaannya pun hanya samar-samar. Dalam praktek kami telah
dilakukan MRI secara rutin untuk menyingkirkan kemungkinan myelopati pada pasien-pasien
di mana level hilang rasanya jelas. Kelainan sensorik yang paling sering adalah terganggunya
rasa getar, dan sensasi posisi sendi tungkai dan kaki, walaupun sensasi ‘pinprick’ juga
berkurang jika jaras sensorik besar ikut terganggu. Hilang rasa proprioseptif yang hebat dapat
menimbulkan ataksia sensorik.
Nyeri adalah gejala yang umum dijumpai pada SGB, diderita oleh 60%-70% pasien.
Seringkali gejala ini tak diperhatikan oleh tenaga medis atau tersamar oleh kelemahan atau
masalah medis lain yang lebih serius. Nyeri dapat mendahului kelemahan dan parestesi,
karakteristiknya berupa nyeri di otot-otot besar panggul, tungkai atas atau punggung, nyeri
radikuler yang menyebar dari punggung ke salah satu atau kedua tungkai, atau rasa terbakar.
Sensasi disestesi di kaki atau tangan yang berhubungan dengan parestesi yang tak nyeri.
Berkurang atau menghilangnya refleks-refleks tendo dalam merupakan gambaran inti
SGB, hal ini mungkin merefleksikan proses demyelinisasi, dispersi, dan desinkronisasi saraf-
saraf aferen besar bermyelin yang merupakan bagian dari lengkung refleks. Hampir dua
pertiga pasien mengalami arefleks saat awal dirawat, walaupun hilangnya refleks dapat pula
tertunda sampai kelemahan dan parestesi menjadi nyata. Persistensi refleks selama perjalanan
penyakit ditemukan kurang 5 % dari keseluruhan kasus, dan bila ini ditemukan, sebaiknya
akurasi diagnosis perlu ditinjau kembali. Jika tungkai lebih lemah daripada lengan, refleks
tungkai lebih dulu menghilang. Refleks masih dijumpai pada anggota gerak yang
kelemahannya ringan, walaupun refleks selalu menghilang jika anggota gerak terlalu lemah
untuk melawan gravitasi, refleks yang meningkat pada anggota gerak yang lemah harus selalu
dicurigai sebagai mielopati.
Disfungsi Otonom
Sejumlah gangguan sistem saraf otonom terjadi pada SGB; beberapa bentuk terjadi
pada 65 % kasus dalam penelitian retrospektif yang kami lakukan. Disautonomia lebih
sering terjadi pada pasien dengan kelemahan hebat dan kegagalan respirasi, namun disfungsi
otonom dapat terjadi pada kasus-kasus yang ringan. Manifestasi yang paling sering diketahui
adalah sinus takikardi, bradikardi, dan aritmia supraventrikuler lain (jarang terjadi : aritmia
ventrikuler), hipertensi, hipotensi, vagal spells, ileus, dan retensi urine. Emboli
pulmoner,hipoksia, infeksi, dan komplikasi medis lain sebaiknya disingkirkan lebih dulu
sebelum menganggap gangguan kardiovaskuler yang dijumpai sebagai disautonomia.
Pada AwalPenyakit (%)
Pada Penyakit yang Telah Berkembang Penuh (%)
Parestesi 70 85KelemahanTungkai >lenganLengan>tungkaiHampir sama antara tungkai & lengan
541432
98
Oftalmoparesis 5 15Kelemahan wajah 35 50Kelemahan bulber 25 50Gagal nafas 10 30Ataksia 10 15Disfungsi sfingter 15 5Arefleksia 75 95Nyeri 25 30Hilang rasa 40 85
Tabel 2. Frekuensi masing-masing gambaran klinis pada Sindroma Guillain Barre
Tabel 3. Kriteria Diagnosis untuk Sindroma Guillain-Barré Tipikal / Khas
Gambaran KlinisGambaran yang harus ada untuk menegakkan diagnosis
Kelemahan progresif baik pada lengan maupun tungkaiArefleks
Gambaran yang sangat mendukung diagnosisPerkembangan gejala lebih dari 4 hariGejala relatif simetrisGejala atau tanda sensorik yang ringan Keterlibatan saraf kranial, terutama diplegia wajahKesembuhan dimulai 2 sampai 4 minggu setelah akhir perkembangan gejalaDisfungsi otonomTidak ada demam saat onset
Gambaran yang meragukan diagnosisGangguan sensorik yang jelas levelnyaGejala atau tanda asimetri yang jelas menetap Disfungsi miksi dan defekasi yang parah dan persisten
Gambaran yang menyingkirkan diagnosisDiagnosis botulismus, myastenia gravis, poliomyelitis, atau neuropati toksikMetabolisme porfiria yang abnormalDifteri akut
Kriteria LaboratoriumPeningkatan konsentrasi protein serebrospinal dengan jumlah sel kurang dari 10 sel per mm3
Kriteria Elektorofisiologis (paling sedikit 3 dari 4 kriteria)Perlambatan kecepatan konduksi dari dua atau lebih saraf motorik < 80% batas bawah normal(BBN) jika amplitudo >80% dari BBN; <70% dari BBN jika amplitudo <80% dari BBN.Pemanjangan latensi distal dari dua atau lebih saraf motorik > 125% dari batas atas normal(BAN) jika amplitudo > 80% dari BBN; >150% dari BAN jika amplitudo <80%.Tidak terdapatnya atau perlambatan gelombang F minimum pada 2 atau lebih saraf motorik >120% dari BAN jika amplitudo >80% dari BBN; >150% dari BAN jika amplitudo <80% dariBBN.Blok konduksi atau dispersi temporal abnormal (penurunan >20% amplitudo atau perubahan>15% lama antara tempat proksimal dan distal) pada satu atau lebih saraf motorik
Dikutip dengan ijin dari Asbury AK, Comblath DR. Assesment of current diagnostic criteria for Guillain-Barré Syndrome. Ann Neurol 1990;27[suppl];S21-S24
Variasi Sindrom Guillain-Barré (lihat tabel 4)
Sebagian gambaran klinis seringkali muncul dalam bentuk terisolasi atau abortif
sehingga membingungkan dalam mendiagnosa. Dimana pada sebagian besar pasien, paralisis
meningkat dari tungkai ke tubuh, lengan dan otot kranial, dan mencapai puncak yang paling
berat dalam 10-14 hari, terkadang otot faringeal-servikal-brakial terkena pada awal atau
keseluruhan penyakit, yang mengakibatkan kesulitan menelan, juga kelemahan leher dan
lengan proksimal (Ropper, 1986). Ptosis, terkadang dengan optalmoplegia juga dapat terjadi.
Pola seperti ini dapat bertahan tanpa melibatkan kelemahan tungkai. Diagnosis banding
meliputi miastenia gravis, dipteria, botulisme, dan lesi yang mengenai bagian tengah sumsum
tulang belakang dan batang otak bagian bawah.
Sindrom yang meliputi optalmoplegia virtual atau komplit dengan ataksia dan
arefleksia, dan menggambarkan varian SGB telah dijelaskan oleh Fisher (dan disebut sindrom
Fisher). Bentuk optalmoplegik murni juga ada, bisa terjadi bersama dengan pola faringeal-
servikal-brakial yang sudah disebutkan sebelumnya. Optalmoplegia, baik terjadi sendiri
maupun dengan kelemahan atau ataksia dari bagian tubuh lain, hampir selalu berkaitan
dengan antibodi antineural spesifik, anti GQ1b. Gambaran optalmoplegia meningkatkan
kemungkinan miastenia gravis, botulisme, dipteria, paralisistik, dan oklusi a.basilaris. Variasi
lain yang cukup sering terjadi menurut pengalaman kami (Ropper,1994) adalah kelemahan
n.fasialis dan n.abdusen yang bilateral tapi asimetris, yang terjadi dengan parestesia distal atau
dengan kelemahan tungkai proksimal. Refleks tendon dapat menghilang pada awalnya hanya
pada pergelangan kaki atau lutut. Penyakit Lyme dan sarkoidosis cukup dipertimbangkan
dalam menentukan diagnosis.
Bentuk penyakit paraparesis, ataksia, dan murni motorik atau murni sensorik juga
telah diamati. Diagnosa tidak begitu sulit jika ditemukan adanya parestesia pada akral
ekstremitas, refleks berkurang secara progresif atau menghilang, dan kelemahan yang relatif
simetris terjadi setelah beberapa hari timbulnya gejala. Tes laboratorium yang menegaskan
diagnosis SGB tipikal memberikan gambaran yang mirip tetapi biasanya lebih ringan jika
diperhatikan lebih seksama pada seluruh bentuk varian.
Belakangan ini terdapat kecenderungan untuk memisahkan kelompok kasus dengan
dugaan kerusakan akson difus pada onset yang tiba-tiba dan meledak, paralisis berat, gejala
sensorik minor, dan adanya elektrofisiologi pada nervus yang tidak dapat dirangsang. SGB
tipe aksonal ini mewakili 5% kasus (atau kurang) tetapi identifikasinya menunjukkan adanya
respon yang buruk terhadap perawatan dan penyembuhan yang sangat lama atau
berkepanjangan pada sebagian besar kasus. Varian ini akan dijelaskan belakangan.
Pada beberapa pasien, kelemahan terus berkembang selama 3-4 minggu atau bahkan
lebih lama. Dari kelompok ini, bentuk kronis neuropati demielinatif sering timbul (Chronic
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy, atau CIDP) dan kelompok menengah yang
berkembang selama 4-8 minggu kemudian membaik dapat diidentifikasi (lihat lebih lanjut).
Tabel 4. Variasi Sindrom Guillain-Barré
RegionalSindrom Fisher untuk optalmoplegia, ataksia, dan arefleksiaServiko-brakial-faringeal, sering dengan ptosisKelemahan okulofaringealParaparesis predominanKelemahan abdusens atau fasial bilateral dengan parestesia distalOptalmoplegia dengan autoantibodi GQ1b
FungsionalAtaksia generalisata tanpa disartria atau nistagmusSensorik murniMotorik murniPandisautonomiaAksonal
Sindrom Guillain-Barré Bentuk Aksonal Akut
Bentuk ini telah disinggung pada bagian sebelumnya. Feasby dkk. menunjukkan
perhatian terhadap polineuropati arefleksi akut yang secara klinis mirip dengan SGB tetapi
secara patologis ditandai dengan adanya degenerasi aksonal yang meluas dan berat. Pada
laporan awalnya, mereka menunjukkan adanya 5 orang pasien, semua dengan polineuropati
yang berkembang cepat dan penyembuhan yang sangat lambat dan buruk. Tidak seperti
bentuk SGB pada umumnya, atrofi otot pada pasien ini menjadi terlihat pada tahap yang
cukup awal pada penyakit ini (dalam beberapa minggu). Gambaran EMG menegaskan adanya
banyak sekali serabut saraf motorik yang tidak bisa dirangsang secara elektrik dan adanya
tanda-tanda denervasi luas. Yang lainnya, bagaimanapun mempertanyakan spesifisitas
penemuan ini karena ketidakmampuan untuk merangsang serabut saraf motorik dapat
menunjukkan adanya hambatan demielinisasi distal, sehingga kesembuhan total mungkin
terjadi (Triggs dkk.). Meskipun demikian, sebagian besar kasus paralisis denervasi yang
sangat tiba-tiba dan berat, terutama jika paska infeksi, disebabkan karena bentuk SGB ini
(Ropper 1986).
Pemeriksaan mayat pada kasus ini menunjukkan adanya degenerasi aksonal berat
pada nervus dan akarnya, dengan perubahan inflamasi minimal dan sedikit demielinisasi,
bahkan pada awal penyakit. Berdasarkan deposit komplemen yang menonjol dan adanya
makrofag pada rongga periaksonal, adanya antibodi humoral terhadap beberapa komplemen
aksolemma telah dikemukakan oleh Griffin dkk. Visser dan kolega melaporkan penemuan
yang sama pada serangkaian polineuropati motorik akut dari Belanda. Berjangkitnya
neuropati motorik yang terjadi musiman di daerah pedesaan China memiliki banyak
karakteristik yang serupa. Kasus ini tampaknya sebagian besar dipicu oleh infeksi C.jejuni.
Beberapa tapi tidak semua kasus sporadik SGB aksonal akut didahului oleh infeksi yang
sama. Bagaimanapun patut dicatat bahwa infeksi bakteri yang sama dapat menyebabkan
terjadinya bentuk SGB demielinisasi tipikal. Sekitar seperempat kasus berkaitan dengan
antibodi sirkulasi terhadap gangliosida GM1 dari nervus perifer, dan beberapa dari ini
kemudian menggambarkan infeksi pendahuluan dengan C.jejuni. Istilah singkatan AMAN
(acute motor) dan AMSAN (acute motor-sensory axonal neuropathy) setara dengan SGB
aksonal.
Beberapa varian penyakit ini yang telah kami lihat menunjukkan adanya neuropati
multifokal akut dengan hambatan konduksi motorik elektrofisiologis yang meyebabkan
refleks tidak berubah dan berkaitan dengan antibody anti GM1 (Capasso dkk.). Bentuk kronik
penyakit ini, disebut neuropati motorik multifokal dan lebih sering terjadi.
Kebanyakan pengalaman dengan SGB bentuk aksonal secara umum menunjukkan
bahwa penyembuhan lambat terjadi dan resolusi kelemahan yang lengkap jarang terjadi.
Pemberian Imunoglobulin Intravena (IVIG) dan Plasma Exchange (PE), merupakan terapi
yang biasa digunakan untuk SGB, memiliki sedikit efek menguntungkan tetapi
penggunaannya tidak berkaitan dengan derajat perbaikan yang terlihat pada kasus
demielinisasi.
Apakah polineuropati aksonal akut merupakan suatu kelompok penyakit tersendiri
atau merupakan varian dari SGB belum diketahui secara pasti. Hal ini dapat berkaitan dengan
batasan definisi klinis, imunologis, dan patologis dari SGB. Tentunya pada semua kasus SGB
berat terdapat derajat kerusakan aksonal, bahkan jika kasus yang menonjol adalah
demielinisasi. Sekarang ini kami lebih memilih untuk membedakan kasus ini dengan SGB
tipikal untuk mengurangi ekspektasi respon terhadap terapi imun dan penyembuhan klinis.
Harus ditekankan lagi bahwa adanya serabut saraf yang tidak dapat dirangsang secara elektrik
saja dapat disebabkan karena hambatan konduksi dan dapat memberikan kesan yang salah
tentang kerusakan aksonal; prognosis untuk kasus hambatan konduksi dapat cukup baik.
Diagnosis banding meliputi polineuropati dan yang lebih jarang neuropati porfirik dan
paralisis tik.
Diagnosis Diferensial
SGB bukan hanya merupakan tipe polineuropati generalisata akut yang paling sering
terjadi tetapi juga merupakan bentuk yang paling cepat berkembang dan berpotensi menjadi
fatal. Polineuropati apapun yang dapat membawa pasien ke jurang kematian atau kegagalan
pernafasan dalam beberapa hari, biasanya berasal dari varian ini. Bagaimanapun, beberapa
kondisi neurologis lainnya harus dipertimbangkan. Masalah yang segera muncul adalah
bagaimana caranya membedakan SGB dari penyakit tulang belakang akut yang ditandai
dengan paralisis sensorimotorik di bawah batas yang ditentukan dan dengan gangguan
sfingter yang jelas. Mungkin terdapat beberapa kesulitan pada kasus lesi akut pada cord
dimana releks tendon menghilang (shock spinal), atau dengan necrotizing myelopathy,
dimana kehilangan refleks tendon permanen mengikuti destruksi luas area abu-abu tulang
belakang.
Gejala klinis yang juga membingungkan adalah retrensio urin yang lebih awal dan
bersifat sementara pada sebagian pasien SGB. Beberapa aturan penting yang berguna untuk
membedakan penyakit ini dengan mielopati servikal: pada SGB, biasanya otot wajah dan
pernafasan terlibat bila ada paralisis generalisata; ujung-ujung jari menjadi parestesi jika
gejala sensorik telah naik ke tingkat midcalves; kehilangan gangguan sensorik yang jelas pada
proksimal tangan atau kaki atau hanya pada tubuh jarang terjadi pada awal penyakit; refleks
tendon biasanya hilang pada tungkai yang terlalu lemah untuk melawan graviatsi.
Paralisis motorik yang predominan merupakan karakteristik utama dari SGB, oleh
karena itu diagnosis banding juga mencakup poliomielitis, yang sekarang ini juga disebabkan
oleh virus West Nile dan enterovirus selain karena polio. Pada semua kasus infeksius ini,
penyakitnya ditandai dengan demam, gejala meningnoensefalitis, pleositosis awal pada cairan
spinal, dan paralisis motorik murni dan biasanya arefleksi asimetris.
Beberapa kali kami keliru dengan meningitis karsinomatosa yang menyebabkan
kelemahan distal subakut dan simetris dan tampak mirip dengan SGB. Distribusi kelemahan
yang ireguler antara bagian proksimal dan distal, tidak adanya kelemahan wajah dan adanya
gejala pada satu tungkai setelah yang lainnya selalu dianggap sebagai tipe infiltrasi neoplastik
pada akar serabut saraf. Sciatika dapat terjadi pada salah satu proses tetapi nyeri radikuler
pada lengan jarang terjadi pada SGB. Pemeriksaan cairan spinal biasanya dapat
menyelesaikan masalah ini.
Masalah lain muncul dalam membedakan SGB generalisata dengan optalmoparesis
atau trombosis a.basiler varian Fisher. Adanya pupil reaktif, arefleksi dan abnormalitas
gelombang F pada SGB, sedangkan refleks dan tanda Babinsky positif pada kasus infark
batang otak, membedakan kelainan-kelainan tersebut. Ptosis dan kelemahan okulomotorik,
kelainan SGB pada beberapa kasus generalisata berat dan pada sindroma Fisher, dapat
dibandingkan dengan miastenia gravis, tapi pada penyakit ini tidak ada gejala sensorik dan
refleks tendon tidak terganggu. Otot mandibular tetap relatif kuat pada SGB, sedangkan
rahang yang bekerja dapat terbuka pada miastenia gravis. Botulisme juga dapat memicu SGB,
tetapi refleks pupil hilang pada awal botulisme (paralisis pupil terjadi terutama pada kasus
SGB lanjut), dan biasanya ada bradikardi, yang biasanya jarang terjadi pada SGB. Paralisis
tik, penyakit yang terjadi pada anak-anak di Amerika Serikat tetapi terjadi pada anak dan
orang dewasa di Australia, hampir tidak mungkin untuk dibedakan dengan SGB kecuali
ditemukan tik (hal.1034). Sebagai tambahan pada paralisis asending, keduanya juga terkadang
menyebabkan ataksia dan dapat melumpuhkan gerakan mata, tetapi kehilangan sensorik
biasanya bukan merupakan gambaran dari paralisis tik dan protein CSS tetap normal.
Menelan kerang atau ikan karang yang terkontaminasi dengan saxitoksin, ciguatoksin, atau
tetrodotoksin (ciguatera, keracunan kerang neurotoksik) merupakan penyebab lain parestesi
fasial-brakial akut, kelemahan, takipneu, dan iridoplegia yang bertahan selama beberapa hari
gejala yang menyerupai varian SGB pada saraf kranial.
Sejumlah gangguan neuromuskular pada pasien yang sakit berat dengan gangguan
sistemik dapat sulit dibedakan dengan SGB. Hal ini meliputi polineuropati pada penyakit
kritis (lihat lebih lanjut); gagal ginjal dengan akselerasi neuropati yang sering terlihat pada
pasien diabetes dengan dialisis peritoneal (keduanya didiskusikan lebih lanjut);
hipofosfatemia akut yang disebabkan hiperalimentasi; polimiopati yang disebabkan karena
pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan efek berkepanjangan dari obat
penghambatneuromuskular, menyebabkan akumulasi metabolit pada pasien dengan gagal
ginjal dan asidosis. Episode porfiria paralitik yang nyeri memberikan sedikit kesamaan
dengan SGB.
Diagnosis SGB seringkali dapat langsung dibuat pada kasus-kasus yang khas, namun
gambaran yang tidak lazim memperluas pertimbangan diagnosis ke banyak penyakit
neuropati dan neuromuskuler lain (Tabel 4.5). Yang perlu diperhatikan adalah bentuk varian
SGB lebih sering ditemukan daripada kelainan tak umum lain yang menyerupai SGB.
Tabel 5. Diagnosis diferensial Sindroma Guillain Barré
Kelainan batang otakTrombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*Sindroma Locked InEnsefalomielitis batang otak
Kelainan medulla spinalisMielitis transversalMielopati nekrotik akutKompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnumMielopati akut lain
Kelainan sel kornu anteriorPoliomielitisRabiesTetanus
PoliradikulopatiDifteriParalisis TickNeuropati BuckthornKeracunan CiguateraPenyakit LymeLogam berat : arsen, timbal, thallium, emasKeracunan organofosfatHeksakarbon (neuropati penghirup lem)PerhexilineObat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoinPorfiria intermiten akutNeuropati vaskulitik*Critical illness polyneuropathy
Kelainan transmisi neuromuskulerMyastenia gravisBotulismusHipermagnesemi
Paralisis yang diinduksi antibiotikaBisa gigitan ular
MiopatiPolimiositisMiopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
Abnormalitas metabolikHipokalemiHipermagnesemiaHipofosfatemia
Lain-lainHisteriMalingering
* : Penyebab tersering dari sindroma-sindroma yang mirip dengan SGB pada masing-masing kategori
Histeria adalah kesalahan diagnosis yang paling sering terjadi pada awal perjalanan
penyakit jika parestesi merupakan satu-satunya gejala, dan jika masih terdapat refleks tendo.
Pasien-pasien seperti ini sering dipulangkan dari unit gawat darurat dan kembali lagi dengan
kelemahan menyeluruh dan gagal nafas. Jika didapatkan kelemahan asimetris dan tak
didapatkan kelemahan wajah pada kelemahan anggota gerak yang hebat, maka perlu
dipertimbangkan alternatif diagnosis lain khususnya mielopati akut. Neuropati vaskulitis,
polio, rabies, difteri, penyakit Lyme, dan meningitis karsinomatosa dapat menyerupai SGB,
namun biasanya didapatkan kelemahan yang tak proporsional dari satu regio atau terdapat
beberapa asimetri. Keterlibatan saraf kranial pada SGB umumnya simetris, dan jika ada tanda
saraf kranial yang asimetris dan menetap harus dipertimbangkan diagnosis lain seperti
sarkoidosis, oklusi arteri basilaris, lesi foramen magnum, difteri, atau rabies. Gejala dan tanda
sensorik yang tidak proporsional tidak lazim pada SGB. Seperti misalnya parestesi wajah
yang menonjol, mengarah ke hipofosfatemia, neuropati toksik akut (arsenik, Vacor,
perhexilline, thallium), keracunan ikan neurotoksik, atau sindroma neuronopati sensorik akut.
Pada pasien-pasien dengan sindroma motorik murni, keracunan timbal, poliomyelitis,
botulisme, myastenia gravis, hipermagnesemia, keracunan organofosfat, atau miopati akut
dapat menunjukkan gejala seperti SGB.
Infark batang otak akibat oklusi arteri basilaris dapat menimbulkan paralisis flaksid
dan kelumpuhan bulber yang secara sepintas mirip SGB. Kelemahan muncul saat onset, dan
tak ada riwayat sakit demam sebelumnya. Walaupun refleks-refleks dapat menghilang secara
akut, respon ekstensor plantar dan hiperefleksia akan berkembang setelah beberapa hari
sampai minggu. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi, tapi biasanya asimetris dan gerakan
vertikal mata masih bisa dilakukan. Tidak seperti SGB, pasien biasanya obtunded dan
menurun kesadarannya akibat iskemia atau infark ARAS, walaupun jarang terdapat pasien
yang masih sadar dalam kondisi “locked in.”
Myelitis transversal servikal akut muncul sebagai kuadriplegia progresif cepat,
namun disfungsi sfingter merupakan tanda dini dan menonjol. Kelemahan umumnya
asimetris. Mungkin didapatkan arefleksia yang berkaitan dengan syok spinal akut, walaupun
satu-dua refleks masih dipertahankan pada anggota gerak yang lemah dan masih terdapat
respon ekstensor plantar. Pemeriksaan sensorik seksama mestinya dapat menentukan tingkat
lesi sensorik spinal dan saraf-saraf kranial yang terlibat. Sering didapatkan respon seluler pada
LCS, dan MRI servikal atau torakal umumnya dapat menentukan diagnosis, menunjukkan
gambaran abnormal parenkim medulla spinalis pada pencitraan T2-weighted.
Beberapa toksin dapat menyebabkan neuropati, yang segera terjadi setelah paparan,
memberikan gambaran mirip SGB, terutama jika tidak didapatkan riwayat menelan toksin.
Contohnya a.l timbal, arsenik, thalium, n-hexane (neuropati penghirup lem) dan organofosfat.
Gejala awal keracunan arsenik, thallium, atau organofosfat berupa keluhan gastrointestinal
dan mungkin mengakibatkan salah interpretasi karena dianggap sebagai penyakit prodromal
SGB, sering kali diagnosis neuropati toksik akut diperjelas dengan keterlibatan sistem organ
lain, abnormalitas mukokutaneus, atau bukti toksisitas pada SSP (ensefalopati, kejang, koma).
SGB dapat disingkirkan dengan terdeteksinya toksin yang dicurigai dalam serum atau urine.
Porfiria intermiten akut (PIA) dapat memunculkan neuropati yang sangat mirip
dengan SGB. Berbagai jenis obat, infeksi intercurrent, atau puasa dapat memicu serangan
akut. Gejala pertama adalah nyeri abdomen, yang sering dihubungkan dengan rasa mual,
muntah dan konstipasi. Sindroma-sindroma psikiatri atau konfusi terjadi pada sebagian besar
kasus, dengan kejang pada 10%-20% pasien. Kelemahan pada neuropati porfiria bersifat
simetris dan mulai pada lengan atas, walaupun semua anggota gerak dapat terkena.
Keterlibatan saraf kranial tidak lazim, tapi sering terjadi disfungsi otonom, umumnya berupa
sinus takikardi atau hipertensi. PIA dapat dibedakan dengan SGB tipikal dengan pemeriksaan
elektrodiagnosis di mana PIA lebih menunjukkan gambaran aksonopati daripada
demyelinisasi. Selama serangan PIA, terdapat peningkatan eksresi asam delta aminolvulinic
dan porfobilinogen dalam urin.
Neuritis yang berhubungan dengan vaskulitis sistemik biasanya terjadi secara
subakut, namun mononeuritis multipleks akut dapat menjadi fulminan dan memberikan
gambaran polineuropati. Pasien-pasien dengan mononeuritis multipleks ekstensif sulit
dibedakan dengan SGB, namun nyeri anggota gerak fokal, persisten dan asimetri yang nyata
adanya keterlibatan saraf kranialis dan otot-otot pernafasan, konsentrasi protein LCS yang
normal dan pemeriksaan elektrodiagnostik yang menggambarkan pola multifokal dengan
kerusakan aksonal primer merupakan petunjuk neuropati vaskulitis. Diagnosis pasti dapat
ditegakkan dengan adanya keterlibatan organ multisistem dan terdapatnya vaskulitis pada
material biopsi. Kami sudah mendapatkan contoh-contoh kasus vaskulitis saraf perifer murni,
tapi tidak terlalu fulminan dan menyeluruh, sehingga tidak sulit dibedakan dengan SGB.
Critical illness polyneuropathy (CIP), miopati penyakit kritis atau paralisis
berkepanjangan setelah paparan obat atau bahan yang memblokade neuromuskuler dapat
dirancukan dengan SGB pada pasien-pasien di perawatan intensif. CIP merupakan komplikasi
yang umum terjadi pada pasien sepsis dan kegagalan multi organ serta sering ditemukan saat
ventilator dilepas. Kelemahan otot-otot dan atrofi dengan refleks tendo yang menurun atau
menghilang ditemukan pada sebagian besar pasien, saraf kranial pada umumnya juga ikut
terkena. Sering terjadi kehilangan seluruh modalitas sensorik distal, tapi disfungsi otonom tak
didapatkan. Konsentrasi protein LCS normal dan pemeriksaan EMG menunjukkan kerusakan
aksonal dengan denervasi menyeluruh tanpa demyelinisasi.
Botulismus pada awalnya menunjukkan gejala seperti SGB varian orofaring dan
okuler, tapi pada perjalanan penyakit kelemahan menyeluruh terjadi belakangan. Penyakit
dimulai dalam waktu jam sampai hari setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi. Mual
dan muntah diikuti oleh konstipasi dan gejala neurologis lain. Pandangan kabur terjadi pada
tahap awal, diikuti ptosis dan kelemahan orofaring. Dilatasi pupil dengan akomodasi refleks
cahaya yang berkurang merupakan tanda khas botulisme, namun tanda ini dapat tidak ada atau
timbul terlambat. Bertentangan dengan SGB, kelemahan otot respirasi sering tidak
proporsional dengan kelemahan otot anggota gerak, dan refleks-refleks biasanya masih ada.
LCS normal dan pemeriksaan elektrodiagnosis menunjukkan rendahnya amplitudo potensial
aksi otot campuran dengan peningkatan respon pada stimulasi saraf repetitif frekuensi tinggi,
menggambarkan adanya gangguan transmisi neuromuskuler presinaptik. Diagnosis
ditegakkan dengan deteksi toksin botulinus dalam serum atau kultur Clostridium botulinum
dari feses.
Polio dan difteri sekarang jarang dijumpai sebagai penyebab paralisis akut flaksid.
Paralisis tick merupakan paralisis asenden progresif cepat yang menyerupai SGB. Kelainan
ini jarang, terjadi umumnya pada anak-anak bagian barat laut Amerika Serikat dan Kanada
utara. Kunci diagnosisnya adalah pemeriksaan yang teliti dan hati-hati untuk menemukan tick,
khususnya di daerah kulit kepala, batas rambut, leher dan pubis. Hilangnya tick diikuti dengan
kesembuhan cepat. Seperti telah disebutkan sebelumnya, penyakit Lyme dipertimbangkan
pada kasus SGB yang menunjukkan diplegia wajah atau jika didapatkan pleositosis LCS.
Hipokalemia berat (Kalium serum kurang dari 2 mEq/l), hipermagnesemia, atau
hipofosfatemia dapat menyebabkan kelemahan otot generalisata yang mirip SGB.
Pendekatan Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tambahan yang paling penting adalah elektrodiagnostik
dan pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS). CSS berada di bawah tekanan normal dan
aseluler, atau mengandung hanya beberapa limfosit kecuali pada sekitar 10% pasien, dapat
ditemukan 10-50 sel (terkadang lebih) per mm3, terutama limfosit. Jumlah sel kemudian
menurun secara cepat dalam 2-3 hari, pleositosis persisten memberikan diagnosis alternatif
atau tambahan seperti meningitis neoplastik, HIV, atau infeksi Lyme. Kami masih belum
dapat mengaitkan hubungan pleositosis pada cairan spinal dengan berbagai gejala klinis SGB
atau dengan beratnya penyakit. Biasanya kandungan protein normal selama beberapa hari
pertama timbulnya gejala, tetapi kemudian mulai meningkat, mencapai puncaknya dalam 4-6
minggu dan bertahan pada level meningkat yang bervariasi selama beberapa minggu.
Peningkatan protein CSS mungkin merupakan refleksi dari adanya penyakit inflamasi luas
pada akar serabut saraf, tetapi nilai yang tinggi tidak memiliki tanda klinis atau prognostik
yang jelas, mungkin berbeda dengan beberapa kasus pseudotumor serebri pengecualian
(Ropper & Marmarou). Pada beberapa pasien (<10%) nilai protein CSS tetap normal selama
penyakit berlangsung. Dari pengalaman kami patut dikatakan bahwa, di antara pasien dengan
sindrom Fisher dan SGB bentuk aksonal atau terbatas lainnya terdapat proporsi yang lebih
tinggi dengan nilai protein yang normal atau hanya sedikit meningkat.
Abnormalitas konduksi saraf merupakan indikator diagnosis SGB yang awal dan
dapat diandalkan. Pada kasus dengan klinis dan gambaran EMG yang khas dapat diberikan
analisa CSS sebagai tes konfirmasi. Hasil elektrodiagnosa awal yang paling sering adalah
adanya pengurangan amplitudo potensial aksi otot, melambatnya kecepatan konduksi, dan
hambatan konduksi pada serabut saraf motorik sendiri atau dengan kombinasi. Latensi distal
yang memanjang (menggambarkan hambatan konduksi distal) dan respon F yang memanjang
atau menghilang (menunjukkan keterlibatan bagian proksimal serabut saraf dan akarnya)
merupakan gambaran diagnosis penting lainnya, semuanya menggambarkan demielinisasi
fokal. Reflex H hampir selalu sangat memanjang, atau lebih sering menghilang, tetapi ini
tidak mengonfirmasi hilangnya reflex pergelangan kaki. Walaupun pemeriksaan
elektrodiagnostik terbatas dapat normal pada awal penyakit, studi lebih lanjut yang mencakup
pengukuran respon lambat, hampir bervariasi menunjukkan gangguan konduksi pada tungkai
yang terkena dalam beberapa hari timbulnya gejala. Lebih lanjut, gambaran yang
menunjukkan kerusakan aksonal yang luas menandakan penyembuhan yang buruk dan
berkepanjangan pada pasien muda dan tua.
Kriteria klinis, CSS dan elektrodiagnostik untuk SGB telah ditinjau kembali oleh
Asbury dan Cornblath dan didiskusikan lebih detil dalam monograf yang dibuat oleh Ropper
dkk.
Kebanyakan pasien dengan SGB akut menunjukkan adanya peningkatan gadolinium
pada akar kauda ekuina pada MRI (MRI; 21 dari 24 pasien pada studi kami), dan ini dapat
menjadi tes yang sangat berguna pada kasus dengan komplikasi (Gorson, Ropper,dkk.).
Abnormalitas fungsi hati terjadi pada kurang dari 10% pasien, mungkin
menunjukkan adanya hepatitis viral yang baru terjadi atau sedang berlangsung, biasanya
disebabkan oleh infeksi CMV atau EBV (jarang disebabkan oleh salah satu virus hepatitis).
Perubahan gelombang T dan elektrokardiografi (EKG) lainnya pada derajat ringan
sering dilaporkan tetapi hanya sementara. Rasio sedimentasi normal, kecuali bila ada
tambahan proses infeksi, neoplastik, atau autoimun, yang dapat terjadi bersamaan dengan
SGB. Hiponatremia terjadi pada sebagian kasus setelah minggu pertama, terutama pada
pasien dengan ventilator. Biasanya hal ini disebabkan oleh syndrome of inappropriate
antidiuretic hormone secretion (SIADH), tetapi tipe natriuretik juga dapat terjadi, dari
kelebihan faktor natriuretik atrial. Diabetes insipidus transien merupakan komplikasi yang
jarang dan tidak dapat dijelaskan. Kami tidak dapat menjelaskan adanya proteinuria rasio
tinggi dan glomerulonefritis yang dilaporkan pada beberapa kelompok kasus SGB, tetapi
pernah menemukannya walaupun jarang sekali.
Terapi
Aspek medis umum
Pada kasus berat, bantuan pernafasan dan perawatan yang teliti merupakan hal yang
paling penting, karena penyakitnya bisa sembuh alami dan memiliki harapan kesembuhan
yang baik pada sebagian besar kasus. Sekitar seperempat pasien kami pada masa sekarang ini
membutuhkan ventilasi mekanik. Karena kondisi pasien dapat berubah di luar perkiraan dan
secara cepat pada beberapa hari pertama penyakit, sebenarnya semua kasus harus masuk ke
RS untuk observasi respiratorik, otonomik, dan fungsi motorik. Kondisi ini juga berlaku pada
sebagian besar kegagalan pernafassan neuromuskular akut dan subakut lainnya, seperti
miastenia gravis.
Pengukuran kekuatan inspirasi maksimal dan kapasitas vital ekspirasi cukup
memadai untuk memperkirakan adekuasi kekuatan diafragma dan fungsi respirasi.
Pengukuran ini merupakan petunjuk terhadap kemungkinan kegagalan pernafasan. Pada
poliomielitis, kekuatan otot leher dan trapezius, yang memiliki persarafan yang sama dengan
diafragma, cenderung paralel dengan kekuatan diafragmatik. Perkiraan kasar terhadap
kapasitas pernafasan dapat diperoleh dengan meminta pasien untuk menghitung secara cepat
pada satu kali nafas dalam. Kemampuan untuk mencapai angka 20 secara umum
menggambarkan kapasitas vital yang lebih besar dari 1,5 liter. Jika diketahui adanya
kecenderungan menurun pada pemeriksaan ini dan kapasitas vital berkurang hingga berada di
bawah 10ml/kg, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik. Perlu dicatat bahwa derajat kerusakan ventilasi yang cukup berat dapat terjadi
sebelum tanda awal dispneu muncul dan bahkan sebelum adanya peningkatan kadar CO2
arteri. Kegagalan pernafasan yang baru mulai timbul biasanya diiringi dengan takipneu dan
sedikit penurunan tekanan O2 arteri (PO2<85mmHg) menunjukkan adanya atelektasis
pulmoner. Jika kegagalan pernafasan timbul secara gradual, selama beberapa hari atau lebih
lama, terdapat sedikit takikardi, diaforesis, gelisah, dan takipneu. Usaha untuk mencegah
penggunaan ventilator tekanan-positif dengan menggunakan alat tipe-cuirass tekanan-negatif
memberikan hasil yang tidak memuaskan pada pengalaman kami. Pasien dengan kelemahan
orofaringeal membutuhkan intubasi bahkan lebih awal untuk mencegah terjadinya aspirasi,
tetapi ventilasi mekanik tidak selalu dibutuhkan pada saat yang sama. Terapi ini sangat rumit
sehingga pasien seharusnya dimasukkan ke ICU yang memiliki staf yang sangat terlatih
dalam memelihara ventilasi dan patensi jalan nafas.
Aspek penting lain dalam penanganan pasien dengan sakit berat meliputi penanganan
instabilitas otonomik kardiovaskuler dan pencegahan masalah kesehatan umum yang terjadi
pada penyakit kritis imobilisasi manapun. Hipotensi karena disautonomia, yang terjadi pada
sekitar 10% pasien sakit berat, diterapi dengan infus volume intravena dan dengan
menggunakan agen vasopresor untuk periode singkat. Hipertensi ekstrim ditangani dengan
menggunakan obat anti hipertensi yang masa kerjanya pendek dan dapat dititrasi, seperti
labetalol intravena. Pemilihan dan pemberian dosis obat anti hipertensi merupakan hal yang
penting, karena episode ini dapat berhasil dengan cepat dengan penurunan tekanan yang
tajam. Masih belum diketahui dengan jelas apakah perubahan autonomik berat dapat
diantisipasi, tetapi berbagai manuver provokatif seperti tekanan okuler untuk memicu
hambatan jantung memang digunakan pada beberapa unit; kami mengabaikannya.
Pencegahan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, perdarahan
gastrointestinal, dan terutama emboli paru pada pasien yang harus berbaring (karena
penggunaan heparin subkutan atau kompresi pneumatik), semuanya memerlukan perhatian
penuh. Ileus adinamik merupakan masalah pada beberapa kasus, ditandai dengan nyeri
abdomen bersamaan dengan pemberian NGT dan adanya kembung; dapat menyebabkan
terjadinya perforasi usus bahkan jika proses makan dihentikan. Seperti sudah disebutkan,
sejumlah pasien menjadi hiponatremia, biasanya karena SIADH tetapi terkadang dari
natriuresis, dan penurunan sodium dapat disebabkan atau dipicu oleh ventilasi mekanik
tekanan positif. Perbedaan antara 2 kondisi yang menyebabkan hiponatremia membedakan
metode penanganannya: restriksi cairan pada kasus SIADH atau penggantian garam pada
kasus kehilangan sodium.
Banyak pasien mengalami mimpi buruk atau halusinasi yang parah setelah
imobilisasi selama beberapa minggu. Harus dilakukan komunikasi oleh staf perawat, terutama
sebelum pasien diintubasi.
Kegagalan untuk membersihkan jalan nafas secara efektif dan kebutuhan untuk
ventilasi mekanik yang berkepanjangan merupakan indikasi untuk trakeostomi. Pada sebagian
besar kasus, prosedur ini bisa ditunda hingga akhir minggu ketiga intubasi. Bagaimanapun,
pasien yang cepat menjadi kuadriplegia dan tergantung pada ventilator membutuhkan
trakeostomi lebih awal. Sekali trakeostomi sudah dilakukan, perlu diberikan antibiotika yang
sesuai untuk memperhatikan kebersihan trakea dan perawatan infeksi paru dan traktus
urinarius. Pemberian antibiotik profilaktik tidak dianjurkan. Dengan trakeostomi dan
perawatan intensif, mortalitas penyakit ini bisa dikurangi hingga 3% (Ropper & Kehne). (lihat
lebih lanjut pada bagian prognosis)
Keputusan untuk mengurangi lalu menghentikan penggunaan alat bantu pernafasan
dan untuk melepaskan endotracheal/ tracheostomy tube berdasarkan derajat dan waktu
penyembuhan fungsi respirasi. Proses pengurangan biasanya dimulai ketika kapasitas vital
mencapai sekitar 10ml/kg dan pasien dapat bernafas dengan nyaman selama beberapa menit.
Manfaat relatif dari beberapa metode pemberian ventilasi siklus-volume takanan positif dan
penghentiannya secara gradual terlalu kompleks untuk dijelaskan di sini tetapi pembaca
dianjurkan untuk membaca monograf pada buku “Neurological and Neurosurgical Intensive
Care” oleh Ropper dkk.
Terapi fisik (gerakan pasif dan meletakkan tungkai untuk mencegah kelumpuhan
karena tekanan, dan kemudian latihan ketahanan ringan) sebaiknya dimulai ketika pasien bisa
berjalan dengan nyaman.
Plasma Exchange dan Immune Globulin
Terapi spesifik terhadap dugaan gangguan imunitas yang menyebabkan SGB
meliputi Plasma Exchange (PE) dan Intravenous Immunoglobulin (IVIG). Penerapan yang
kami lakukan adalah dengan melakukan observasi ketat terhadap pasien yang masih dapat
berjalan selama beberapa hari. Jika pasien menjadi tidak dapat berjalan tanpa dibantu atau
menunjukkan adanya pengurangan signifikan pada kapasitas vital atau ada tanda-tanda
kelemahan orofaringeal berat, PE atau IVIG (tidak keduanya) diberikan dengan segera.
Biasanya hal ini terjadi pada hari ke lima sampai ke sepuluh setelah munculnya gejala awal,
tetapi dapat lebih cepat (pada hari pertama) atau lebih lambat (hingga 3 minggu).
Tiga kelompok besar percobaan acak yang melibatkan lebih dari 500 pasien telah
menunjukkan manfaat pemberian PE selama fase perkembangan SGB. Pada pasien yang
diobati dalam 2 minggu sejak onset, kira-kira hampir mengurangi separuh dari periode
perawatan RS, durasi ventilasi mekanik, dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan
ambulasi independen. Bagaimanapun, pada percobaan yang paling besar, jika pemberian PE
pertama ditunda selama 2 minggu atau lebih setelah onset terjadinya penyakit, prosedur ini
tidak begitu bermanfaat. Meskipun demikian, jika pasien terus berlanjut pada minggu ke tiga
atau ke empat penyakit, mungkin masih perlu untuk diberikan PE. Faktor paling penting yang
mempengaruhi respon terhadap pemberian PE adalah usia pasien (yang lebih merespon adalah
yang lebih muda) dan pemeliharaan amplitudo potensial aksi otot dan motorik, sebelum
memberikan perawatan (McKhann et al.). Salah satu studi menunjukkan bahwa secara
keseluruhan kondisi pasien menjadi lebih baik setelah perawatan selama 6 dan 12 bulan
dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi; studi lain menunjukkan hasil yang
meragukan.
Pemberian PE yang dianjurkan menggantikan sejumlah 200-250 ml/kg plasma dalam
4-6 kali perawatan pada hari yang berselang-seling, atau dalam periode yang lebih singkat
jika tidak ada koagulopati. Cairan pengganti yang diberikan adalah salin dikombinasikan
dengan albumin 5%. Kebutuhan akses vena yang besar biasanya memerlukan pemberian
kateter subklavia atau jugularis interna lubang ganda dan hal ini bisa menjadi sumber utama
komplikasi (pneumotoraks, infeksi, perdarahan). Pada beberapa pasien, perawatan dapat
diberikan dan terkadang seluruhnya diselesaikan melalui v.antekubiti. Selama dan sesudah
prosedur dilakukan, dapat terjadi hipotensi., hipoprotrombinemia dengan perdarahan (mis.
epistaksis), dan aritmia jantung. Beberapa unit memilih untuk mengukur kadar fibrinogen,
yang banyak berkurang karena PE, sebelum PE berikutnya sebagai alat pengukur terhadap
resiko terjadinya perdarahan. Reaksi terhadap sitrat yang digunakan untuk mencegah darah
menggumpal pada mesin PE sering terjadi, tetapi dapat dihindari dengan pemberian kalsium
secara hati-hati pada aliran intravena. Hepatitis dan AIDS bukan merupakan resiko jika
plasma digantikan dengan albumin dan salin daripada dengan pooled plasma.
Yang sama efektifnya dengan PE adalah IVIG (0,4g/kg per hari selama 5 hari
berturut-turut), dimana lebih mudah untuk diberikan dan mungkin lebih aman karena tidak
diperlukan akses intravena yang besar. Hasil dari percobaan awal yang dilakukan oleh Van
der Meche dkk. telah bergabung dengan studi internasional yang dipimpin oleh Hughes,
dimana kami juga berpartisipasi. Studi terakhir membandingkan antara PE dan IVIG dan juga
mengevaluasi penggunaannya secara berkala. Ada sedikit kecenderungan mengarah ke hasil
yang lebih baik pada pasien yang mendapat PE, dan hasilnya mungkin sedikit lebih baik pada
kelompok yang diterapi dengan PE yang segera diikuti dengan infus IG selama 5 hari; pada
kedua kasus, bagaimanapun, perbedaan ini tidak berhasil mendapatkan hasil yang signifikan
secara statistik dan ketiga metode perawatan dikatakan serupa. Gagal ginjal, proteinuria, dan
meningitis aseptik paling sering ditandai dengan sakit kepala berat, merupakan komplikasi
IVIG yang jarang terjadi. Satu-satunya reaksi serius yang kami hadapi yaitu pada sangat
sedikit pasien yang secara kongenital kekurangan IgA dan pada pasien yang terjadi
pengumpulan gama globulin menyebabkan terjadinya anafilaksis. Kami juga menghadapi
beberapa kasus dengan trombosis vena lokal dengan inflamasi yang jelas pada area lokasi
infus.
Setelah penggunaan PE maupun IVIG, 5-10% pasien yang pada awalnya membaik
akan mengalami relaps yang menjadi nyata dalam beberapa hari atau sampai 3 minggu setelah
terapi selesai. Jika didapatkan respon yang baik pada terapi awal, perawatan yang sama dapat
diulang atau perawatan alternatif dapat dicoba; salah satu dapat berhasil. Beberapa pasien
tertentu mengalami relaps berulang dan memiliki indikasi untuk inflamasi demielinisasi
polineuropati kronik (lihat lebih lanjut). Pada beberapa pasien dalam penanganan kami,
penyakit menjadi stabil setelah beberapa bulan sebagai respon terhadap pemberian
kortikosteroid dengan penurunan dosis secara bertahap selama beberapa bulan, atau
dikombinasi dengan pemberian ulang IVIG atau PE.
Harus ditekankan bahwa perbaikan klinis pada pemberian IVIG atau PE biasanya
tidak dapat dilihat dengan mudah pada pasien individual, maksudnya bahwa hal ini hanya
terlihat dengan membandingkan kelompok besar yang diterapi dan yang tidak diterapi.
Karena alasan tersebut tidak mungkin untuk menilai bahwa seorang pasien yang kondisinya
tidak membaik atau memburuk selama periode perawatan benar-benar tidak mendapatkan
keuntungan dari terapi tersebut. Meskipun demikian muncul pertanyaan terhadap penggunaan
PE lebih lanjut atau melanjutkan infus imunoglobulin pada kasus yang terus memburuk atau
tidak ada perbaikan. Yang lebih memperberat masalah adalah sedikitnya harapan untuk
perbaikan awal pada kasus SGB aksonal. Saran kami adalah untuk mengulangi salah satu dari
dua perawatan jika kondisi pasien benar-benar menurun, terutama jika ada bukti penyakit
demielinisasi pada EMG, dan jika durasi penyakitnya tidak lebih dari 3 minggu. Memberikan
PE setelah penggunaan IVIG merupakan hal yang tidak masuk akal bagi kami (tetapi
pendapat ini belum dites); oleh karena itu, biasanya kami melanjutkan PE dengan IVIG, atau
lebih sering, mengulangi pemberian IVIG seperti disarankan oleh Farcas dkk.
Nilai kortikosteroid sendiri pada perawatan SGB telah diperdebatkan selama
beberapa dekade. Banyak dokter telah terbujuk dengan manfaatnya. Bagaimanapun, dari 2
studi terkontrol acak, satu dengan prednisolon dosis konvensional dan lainnya dengan
metilprednisolon dosis tinggi, tidak dapat menunjukkan adanya efek yang menguntungkan
(Hughes dkk.). Walaupun kortikosteroid tidak lagi dapat direkomendasikan sebagai perawatan
rutin untuk SGB akut, kami telah mengamati beberapa instansi dimana pemberian intravena
kortikosteroid dosis tinggi tampaknya menghentikan perkembangan penyakit akut.
Perawatan Unit Intensif Pada Sindroma Guillain-Barre
Manajemen SGB memerlukan pengalaman khusus dalam perawatan intensif di
bidang medis maupun neurologis, diperlukan kesabaran serta kepekaan untuk mengetahui
kebutuhan kecil sehari-hari dari pasien dan keluarganya. Neurolog yang merawat pasien SGB
harus mengetahui terapi infeksi, nutrisi dan manajemen keseimbangan cairan dan aspek-aspek
pengetahuan tertentu bidang pulmoner. Keterampilan ini menyumbangkan hasil yang sesuai
dengan outcome secara umum pada individu pasien, seperti terapi imunomodulator spesifik.
Hal yang penting pada terapi SGB adalah bahwa morbiditas dan mortalitas tergantung pada
perawatan ICU dan penanganan masalah-masalah medis.
Kelemahan diafragma merupakan problem medis yang mendasar akibat semua
kelainan yang menyebabkan paralisis neuromuskuler berat seperti SGB. Tanda dini kegagalan
nafas mungkin disebabkan atelektasis. Akibat utama atelektasis dini ini adalah hipoksemia
ringan, bukan hiperkarbi. Analisis gas arterial mungkin menunjukkan hipoksemia ringan,
namun kapasitas vital dan volume tidal merupakan tes-tes bedside untuk memeriksa fungsi
respirasi secara lebih sensitif, dan harus dimonitor secara teratur pada pasien SGB, terutama
saat awal perjalanan penyakit. Pasien-pasien dengan fungsi respirasi yang menurun harus
diobservasi di unit perawatan intensif. Kami memberikan intubasi dini dan ventilasi mekanik
jika kapasitas vital mendekati 15 mL/kg, yaitu saat dimana pasien merasa tidak nyaman.
Trakeostomi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien-pasien gagal nafas yang tidak membaik
setelah 2 atau 3 minggu atau kelemahannya begitu berat sehingga pulihnya kekuatan
diafragma sepertinya tidak akan tercapai pada saat tersebut. Pasien yang mempunyai riwayat
gangguan paru tampaknya lebih banyak yang membutuhkan trakeostomi. Kelemahan
orofaring memperburuk kemampuan melindungi jalan nafas, dan meningkatkan risiko aspirasi
serta gagal nafas. Pasien-pasien dengan kelemahan orofaring membutuhkan isap lendir lebih
sering untuk meminimalkan penumpukan sekresi dan mencegah aspirasi. Selang makan
nasogastrik sebaiknya dipasang pada pasien-pasien ini untuk mempertahankan dukungan
nutrisi yang adekuat dan lebih disarankan daripada hiperalimentasi. Selang gastrostomi tidak
diperlukan pada kebanyakan pasien kami.
Tabel 6. Komplikasi Sindroma Guillain Barré
Gagal nafasAspirasiPneumoniaEmboli pulmonerPneumothoraksStenosis trakhea*Sepsis karena kateter intravena*Infeksi saluran kemihDekubitus kulitTukak stres, perdarahan gastrointestinalKonstipasi dan ileusObstruksi ususMalnutrisiTrombosis vena dalamHiponatremiaHiperkalsemiaAnemiaDisautonomiaHipertensiHipotensiAritmia jantungIleusNyeriDepresiAnsietas Gangguan tidurEnsefalopati
* : Berhubungan dengan intervensi iatrogenik
Takikardi saat istirahat yang persisten mungkin merupakan kelainan otonom yang
paling banyak dijumpai pada SGB dan kondisi ini tak memerlukan terapi. Disautonomia
umumnya membaik saat gambaran SGB lain muncul, namun tekanan darah yang labil
mungkin menetap selama beberapa minggu atau lebih lama. Karena hipertensi pada SGB
umumnya singkat, maka terapi hanya diberikan pada hipertensi berat, atau pada keadaan
tertentu seperti misalnya pasien dengan penyakit arteri koroner. Obat-obat beta bloker atau
ACE inhibitor lebih dipilih pada pasien dengan hipertensi berkepanjangan dan secara umum
ditoleransi dengan baik. Jika diperlukan penurunan tekanan darah segera, obat-obat short
acting yang dapat dititrasi seperti esmolol atau nitropruside dapat digunakan. Hipotensi
postural merupakan kondisi yang menimbulkan kesulitan, dan termasuk aspek disautonomia
kardiovaskuler yang berat. Beberapa episode hipotensif diawali dengan stimuli ‘vagotonik’
seperti intubasi, isap lendir lewat trakhea, atau pemberian obat. Hipotensi dapat diatasi dengan
ekspansi volume, dan pemberian vasopresor harus dihindari kecuali rata-rata tekanan darah
turun di bawah 75 mmHg karena adanya kecenderungan untuk mempresipitasi hipertensi pada
pasien-pasien dengan instabilitas otonom. Aritmia yang dimediasi lewat mekanisme vagal
merupakan salah satu bentuk komplikasi SGB. “Vagal spells” berupa episode bradikardi,
sinus arrest, atau asistol yang dapat terjadi dengan atau tanpa stimulus ‘vagotonik’ yang jelas.
Kondisi tersebut biasanya muncul selama periode puncak disabilitas dan bersifat sementara,
berhenti spontan atau setelah pemberian atropin intra vena. Kadang-kadang pasien dengan
episode berulang memerlukan pacu jantung. Retensi urine dapat dikelola dengan pemasangan
kateter kemih. Kateterisasi intermiten lebih disarankan dan meminimalkan risiko infeksi
nosokomial, walaupun kateter menetap biasanya dibutuhkan pada pasien yang diintubasi.
Pasien SGB di ICU berisiko tinggi terkena infeksi nosokomial. Infeksi yang lazim
berupa infeksi respirasi (pneumonia dan trakheobronkitis), infeksi saluran kemih, dan yang
lebih jarang adalah sepsis ringan atau generalisata. Infeksi urine terjadi belakangan setelah
infeksi pulmoner, sehingga sangat bermanfaat untuk memeriksa kultur urine mingguan dan
sputum dengan pengecatan gram, kultur sebaiknya diperiksa periodik pada pasien yang
diintubasi. Bakteriuri tanpa piuri biasanya tidak memerlukan terapi. Pemisahan antara
kolonisasi dan infeksi nosokomial seringkali sulit, dan institusi yang tidak proporsional atau
profilaksis untuk kolonisasi trakheobronkhial mungkin menimbulkan predisposisi super
infeksi dengan patogen resisten. Antibiotik diindikasikan pada trakheitis jika ada demam
disertai dengan sputum yang purulen dan gambaran foto sinar X dada yang normal. Emboli
pulmoner harus dicurigai pada pasien dengan hipoksemia atau nyeri dada pleuritis, bahkan
tanpa disertai sesak nafas. Periode imobilisasi sampai 10 hari sudah cukup signifikan sebagai
predisposisi komplikasi ini. Desaturasi oksigen arterial dalam minggu pertama atau kedua
secara umum lebih dikaitkan dengan sumbatan jalan nafas daripada emboli pulmoner.
Profilaksis memakai heparin subkutan atau alat kompresi pneumatik intermiten sebaiknya
dipakai secara rutin untuk menurunkan insidens trombosis vena, dan warfarin lebih dipilih
pada pasien yang akan imobilisasi total dalam jangka waktu yang lama. Narkotik hampir
selalu diperlukan untuk mengatasi nyeri. Alternatif lain untuk mengatasi nyeri hebat di
punggung adalah dengan analgesia epidural.
Prognosis
Seperti sudah dijelaskan, sekitar 3-5% pasien tidak bisa selamat dari penyakit ini,
bahkan di RS yang memiliki peralatan terbaik. Pada stadium awal, kematian paling sering
disebabkan karena cardiac arrest, mungkin berkaitan dengan disautonomia, adult respiratory
distress syndrome, pneumo/ hemothorax, atau beberapa tipe kegagalan mesin kerana
ketidaksengajaan. Lebih lanjut pada penyakit ini, emboli paru dan komplikasi medis lainnya
(biasanya bakterial) dari imobilisasi terus-menerus dan kegagalan pernafasan merupakan
penyebab utamanya.
Sebagian besar pasien sembuh hampir sempurna (dengan defisit motorik ringan atau
keluhan sensorik pada kaki atau tungkai). Bagaimanapun, pada sekitar 10% terdapat
disabilitas residual; hal ini terjadi pada kasus yang paling berat dan cepat berkembang; jika
ada bukti penyebaran kerusakan aksonal (lihat kemudian), dan pada kasus yang membutuhkan
bantuan ventilasi mekanik lebih awal dan terus-menerus. Hal penanda konsisten terhadap
kelemahan residual adalah pada EMG ditemukan amplitudo potensial aksi otot sangat
berkurang dan denervasi yang meluas, keduanya mengindikasikan kerusakan aksonal. Pada
pasien dengan gagal nafas, waktu rata-rata respirasi dengan bantuan mesin adalah sekitar 22
hari dan waktu untuk perawatan adalah sekitar 50 hari (dulu lamanya 2x lipat sebelum adanya
PE dan IVIG). Sebagai aturan, orang yang lebih tua penyembuhannya lebih lambat dari yang
lebih muda dan anak-anak, dan lebih banyak mengalami kelemahan residual.
Kesulitan residual yang paling sering terjadi adalah kelemahan pada otot tungkai
bawah, rasa baal pada kaki dan jari-jari kaki, dan kelemahan bifasial ringan. Beberapa pasien
dapat mengalami ataksia sensorik; jika hal ini terjadi, cenderung menjadi berat dan cukup
menyebabkan disabilitas. Nyeri neuropati distal dan masalah otonomik persisten dapat terjadi
tetapi tidak sering. Segala macam gejala lanjut lainnya dianggap berasal dari kelainan
penyakit dan dikaitkan dengan manfaatnya – letih dan lemah, kram otot, pening, nyeri, dan
tidak dapat bernafas. Depresi jarang terjadi.
Kecepatan penyembuhan bervariasi tetapi langkahnya tetap. Kadang terjadi dalam
beberapa minggu atau bulan; bagaimanapun, jika akson mengalami degenerasi, regenerasinya
membutuhkan 6-18 bulan atau lebih lama. Pada pengalaman kami, sedikit perbaikan dapat
diharapkan pada disabilitas yang telah bertahan selama 3 tahun atau lebih.
Sekitar 5-10% pasien menderita 1 atau lebih rekurensi polineuropati akut. Penyakit
yang pada awalnya tampak sebagai inflamasi polineuropati akut dapat menjadi tidak stabil
dan kemudian berkembang dengan tetap atau dapat terjadi remisi tidak sempurna yang diikuti
dengan neuropati kronis, berfluktuasi, progresif lambat.