1
TANAH ABANG MULAI abad ke-17, nama Tanah Abang sudah mulai disebut. Ketika itu, Kota Batavia, sekarang Jakarta, diserang tentara Mataram. Saat ini, Ta- nah Abang yang berada di wilayah Jakarta Pusat, terkenal hingga Asia Tenggara sebagai pusat grosir besar. Di masa lampau, kawasan ini ada- lah daerah perkebunan. Tanahnya ditanami teh, kacang, jahe, melati, sirih, dan lain-lain. 1628: Tentara Mataram mengepung Batavia dari seluruh penjuru dan menggunakan Tanah Abang sebagai pangkalan. Terdapat banyak genangan rawa di sekitar lokasi tersebut sehingga dari warna tanahnya yang merah atau disebut abang dalam bahasa Jawa. Lahirlah nama Tanah Abang sebagai nama kawasan. Artinya, tanah merah. 1735: Tepatnya pada 30 Agustus, Justinus Vinck, seorang warga Belanda yang kaya raya, memperoleh izin dari Gubernur Jenderal Abra- ham Patram untuk membangun pasar di Tanah Abang. Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen yang dulu bernama Weltervreden dalam izin tersebut ditetapkan hari pasarnya setiap Sab- tu. Pasar Senen khusus menjual sayur-mayur, sedangkan Pasar Tanah Abang menjual tekstil dan kelontong. 1740: Lima tahun setelah Pasar Tanah Abang berdiri, terjadi pembantaian orang Tionghoa dan bangunan pasar terbakar. 1881: Pasar Tanah Abang dibangun kembali, kemudian mendapat tambahan hari pasar, yakni pada Rabu. 1926: Pasar dibangun permanen, terdiri dari tiga los panjang berdinding batu bata dan ber- atap genteng. 2003: Pasar terbakar lagi. Hampir seluruh kios hangus. 2005: Blok A Pasar Tanah Abang dibangun dengan konsep modern. Menyusul Blok B lima tahun kemudian. Keduanya menyerupai mal. (Ccr/N-2) Bekasem ala Keraton Kasepuhan TEMPO DOELOE & KINI DOK JAKARTA TEMPO DOELOE 9 N USANTARA SENIN, 14 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA NURUL HIDAYAH D UA gentong yang terbuat dari tanah liat diletakkan di halaman luar Pung- kuran Dalem Arum, tempat tinggal sultan Keraton Kase- puhan Cirebon di Jawa Barat. Lubangnya ditutup rapat- rapat penutup dan dilapisi lagi menggunakan kertas semen. Pinggirannya juga diikat kuat dengan tali. Bagian teratas gentong dilu- muri abu dari bakaran kayu. Permaisuri Keraton Kasepuh- an, Raden Ayu Syariefah Isye Natadiningrat, menjelaskan bahwa abu dipakai untuk menutup lubang agar udara tidak masuk ke gentong. Lalu apa isi gentong miste- rius tersebut? Permaisuri pun melepas semua ikatan gentong, lantas tampaklah potongan- potongan ikan yang warnanya kemerahan. Sering kali orang menyebutnya ikan bekasem. Ikan jenis ini dibuat dari kakap merah yang direndam dalam rempah, seperti bawang merah, bawang putih, kunyit, merica, ketumbar, kemiri, gula merah, dan bumbu lainnya. Tak ketinggalan asam jawa atau asam kawak yang meninggal- kan warna kemerahan pada ikan, serta berfungsi sebagai pengawet alami. Lama ikan direndam dan disimpan dalam gentong kira- kira sebulan. “Ikan bekasem yang ini dibuat pada 5 Safar atau sekitar sebulan lalu,” terang permaisuri, menunjuk isi gentong. Setelah sebulan, atau tepat- nya pada 5 Maulid yang jatuh pekan lalu, barulah isi gentong dikeluarkan lalu ikan bekasem dibilas menggunakan air ber- sih. Yang membersihkan ialah lima perempuan yang dipim- pin permaisuri. Kelimanya, dalam kepercayaan keraton, menyimbolkan lima rukun dalam Islam. Sekaligus per- lambang tanggal 5 pada bulan Maulid, saat gentong berisi bekasem dibuka. Ikan bekasem yang sudah dicuci bersih kemudian ditiris- kan di atas tampah yang sudah diberi tangkai padi. Barulah pada saat Malam Pelal, atau malam puncak peringatan la- hirnya Nabi Muhammad SAW, yang jatuh malam ini, ikan bekasem diolah dan dijadikan lauk-pauk nasi jimat. Resep kuno Bekasem merupakan resep pengolahan ikan yang sudah ada sejak zaman Syech Syarif Hidayatullah, atau Sunan Gu- nung Jati, salah satu ulama besar pada zaman penyebaran Islam di Jawa. “Ini resep turun- temurun,” kata permaisuri. Jenis lauk ini pun selalu ada setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Cirebon. Itu sebabnya kedua gentong yang digunakan untuk mengawetkan ikan bekasem di kediaman Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arif Natadingrat, bergelar Sultan Sepuh XIV, sudah dipakai sejak zaman Sultan Sepuh I. “Jadi memang sudah kuno sekali.” Menu ikan bekasem tetap dipertahankan karena sudah dianggap tradisi warisan nenek moyang. Selain itu, menurut permaisuri, resep mengolah bekasem itu sesungguhnya kearifan masyarakat di masa lampau yang mengawetkan ma- kanan tanpa bahan kimia ber- bahaya, untuk nantinya dibagi- bagikan kepada pengunjung yang berdoa di Masjid Agung pada saat Malam Pelal. Di Kota Cirebon, tradisi Pelal adalah tradisi tahunan yang hingga sekarang cukup fe- nomenal karena selalu dihadiri ribuan orang. Tidak hanya warga Cirebon, tapi juga dari Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga luar Jawa. Prosesi yang melambangkan kebesaran keraton pada masa lalu tersebut digelar berbareng- an di Keraton Kasepuhan beri- kut dua keraton lain, yakni Keraton Kanoman dan Keraton Cirebonan. Malam Pelal dimulai dengan iring-iringan pembawa Panjang Jimat yang di dalamnya mem- bawa berbagai benda-benda pusaka, perabotan keraton, ser- ta makanan berupa nasi jimat. Secara umum, ritual yang digelar sama. Hanya beberapa detail kecil yang berbeda, misal- nya mauludan di Keraton Ka- noman dimeriahkan pula oleh tabuhan gamelan Gong Sekati, yang merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati. (N-3) [email protected] Resep mengawetkan kakap ini sudah eksis di dapur Cirebon sejak zaman Syech Syarif Hidayatullah. MI/AGUNG WIBOWO FOTO-FOTO: MI/NURUL HIDAYAH Pada Malam Pelal, atau puncak peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW, ikan bekasem diolah dan dijadikan lauk pauk nasi jimat.’’ MENGAWETKAN IKAN: Dua gentong tanah liat yang bagian atasnya dilumuri abu dari bakaran kayu adalah tempat Keraton Kasepuhan Cirebon mengawetkan bekasem. DITIRISKAN: Bekasem yang sudah dicuci bersih ditiriskan di atas tampah yang sudah diberi tangkai padi. Saat Malam Pelal, atau malam puncak peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW, bekasem diolah untuk lauk nasi jimat.

SENIN, 14 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Bekasem ala ... · terkenal hingga Asia Tenggara sebagai pusat grosir besar. Di masa lampau, kawasan ini ada- ... pengolahan ikan yang sudah

Embed Size (px)

Citation preview

TANAH ABANGMULAI abad ke-17, nama Tanah Abang sudah mulai disebut. Ketika itu, Kota Batavia, sekarang Jakarta, diserang tentara Mataram. Saat ini, Ta-nah Abang yang berada di wilayah Jakarta Pusat, terkenal hingga Asia Tenggara sebagai pusat grosir besar. Di masa lampau, kawasan ini ada-lah daerah perkebunan. Tanahnya ditanami teh, kacang, jahe, melati, sirih, dan lain-lain.1628: Tentara Mataram me ngepung Batavia dari

seluruh penjuru dan menggunakan Tanah Abang sebagai pangkal an. Terdapat banyak genangan rawa di sekitar lokasi tersebut sehingga dari warna tanahnya yang merah atau disebut abang dalam bahasa Jawa. Lahirlah nama Tanah Abang sebagai nama kawasan. Artinya, tanah merah.1735: Tepatnya pada 30 Agustus, Justinus

Vinck, seorang warga Belanda yang kaya raya, memperoleh izin dari Gubernur Jenderal Abra-ham Patram untuk membangun pasar di Tanah Abang. Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen

yang dulu bernama Weltervreden dalam izin tersebut ditetapkan hari pasarnya setiap Sab-tu. Pasar Senen khusus menjual sayur-mayur, sedangkan Pasar Tanah Abang menjual tekstil dan kelontong.1740: Lima tahun setelah Pasar Tanah Abang

berdiri, terjadi pembantaian orang Tionghoa dan bangunan pasar terbakar.1881: Pasar Tanah Abang dibangun kembali,

kemudian mendapat tambahan hari pasar, yakni pada Rabu.1926: Pasar dibangun permanen, terdiri dari

tiga los panjang berdinding batu bata dan ber-atap genteng.2003: Pasar terbakar lagi. Hampir seluruh kios

hangus.2005: Blok A Pasar Tanah Abang dibangun

dengan konsep modern. Menyusul Blok B lima tahun kemudian. Keduanya menyerupai mal. (Ccr/N-2)

Bekasem ala Keraton Kasepuhan

TEMPO DOELOE & KINI

DOK JAKARTA TEMPO DOELOE

9NUSANTARASENIN, 14 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA

NURUL HIDAYAH

DUA gentong yang terbuat dari tanah liat diletakkan di halaman luar Pung-

kuran Dalem Arum, tempat tinggal sultan Keraton Kase-puhan Cirebon di Jawa Barat.

Lubangnya ditutup rapat-rapat penutup dan dilapisi lagi menggunakan kertas semen. Pinggirannya juga diikat kuat dengan tali.

Bagian teratas gentong dilu-muri abu dari bakaran kayu. Permaisuri Keraton Kasepuh-an, Raden Ayu Syariefah Isye Natadi ningrat, menjelaskan bahwa abu dipakai untuk menutup lubang agar udara tidak masuk ke gentong.

Lalu apa isi gentong miste-rius tersebut? Permaisuri pun melepas semua ikatan gentong, lantas tampaklah potongan-potongan ikan yang warnanya kemerahan. Sering kali orang menyebutnya ikan bekasem.

Ikan jenis ini dibuat dari kakap merah yang direndam dalam rempah, seperti bawang merah, bawang putih, kunyit, merica, ketumbar, kemiri, gula merah, dan bumbu lainnya. Tak ketinggalan asam jawa atau

asam kawak yang meninggal-kan warna kemerahan pada ikan, serta berfungsi sebagai pengawet alami.

Lama ikan direndam dan disimpan dalam gentong kira-kira sebulan. “Ikan bekasem yang ini dibuat pada 5 Safar atau sekitar sebulan lalu,” terang permaisuri, menunjuk isi gentong.

Setelah sebulan, atau tepat-nya pada 5 Maulid yang jatuh pekan lalu, barulah isi gentong dikeluarkan lalu ikan bekasem dibilas menggunakan air ber-sih.

Yang membersihkan ialah lima perempuan yang dipim-pin permaisuri. Kelimanya, da lam kepercayaan keraton, menyimbolkan lima rukun da lam Islam. Sekaligus per-lambang tanggal 5 pada bulan Maulid, saat gentong berisi bekasem dibuka.

Ikan bekasem yang sudah dicuci bersih kemudian ditiris-kan di atas tampah yang sudah diberi tangkai padi. Barulah pada saat Malam Pelal, atau malam puncak peringatan la-hirnya Nabi Muhammad SAW, yang jatuh malam ini, ikan bekasem diolah dan dijadikan lauk-pauk nasi jimat.

Resep kunoBekasem merupakan resep

pengolahan ikan yang sudah ada sejak zaman Syech Syarif Hidayatullah, atau Sunan Gu-nung Jati, salah satu ulama besar pada zaman penyebaran Islam di Jawa. “Ini resep turun-temurun,” kata permaisuri.

Jenis lauk ini pun selalu ada setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Cirebon. Itu sebabnya kedua gentong yang digunakan untuk mengawetkan ikan bekasem di kediaman Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arif Natadingrat, bergelar Sultan Sepuh XIV, sudah dipakai sejak

zaman Sultan Sepuh I. “Jadi memang sudah kuno sekali.”

Menu ikan bekasem tetap dipertahankan karena sudah dianggap tradisi wa risan nenek moyang. Selain itu, menurut permaisuri, resep mengolah bekasem itu sesungguhnya

kearifan masyarakat di masa lampau yang mengawetkan ma-kanan tanpa bahan kimia ber-bahaya, untuk nantinya dibagi-bagikan kepada pe ngunjung yang berdoa di Masjid Agung pada saat Malam Pelal.

Di Kota Cirebon, tradisi Pe lal adalah tradisi tahunan yang hingga sekarang cukup fe-nome nal karena selalu dihadiri ribuan orang. Tidak hanya warga Cirebon, tapi juga dari Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga luar Jawa.

Prosesi yang melambangkan kebesaran keraton pada masa lalu tersebut digelar berbareng-an di Keraton Kasepuhan beri-

kut dua keraton lain, yakni Keraton Kanoman dan Keraton Cirebonan.

Malam Pelal dimulai dengan iring-iringan pembawa Panjang Jimat yang di dalamnya mem-bawa berbagai benda-benda pusaka, perabotan keraton, ser-ta makanan berupa nasi jimat.

Secara umum, ritual yang digelar sama. Hanya beberapa detail kecil yang berbeda, misal-nya mauludan di Keraton Ka-noman dimeriahkan pula oleh tabuhan gamelan Gong Sekati, yang merupakan pe ninggalan Sunan Gunung Jati. (N-3)

[email protected]

Resep mengawetkan

kakap ini sudah eksis di dapur Cirebon

sejak zaman Syech Syarif Hidayatullah.

MI/AGUNG WIBOWO

FOTO-FOTO: MI/NURUL HIDAYAH

Pada Malam Pelal, atau puncak

peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW, ikan bekasem diolah dan dijadikan lauk pauk nasi jimat.’’

MENGAWETKAN IKAN: Dua gentong tanah liat yang bagian atasnya dilumuri abu dari bakaran kayu adalah tempat Keraton Kasepuhan Cirebon mengawetkan bekasem.

DITIRISKAN: Bekasem yang sudah dicuci bersih ditiriskan di atas tampah yang sudah diberi tangkai padi. Saat Malam Pelal, atau malam puncak peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW, bekasem diolah untuk lauk nasi jimat.