Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SENI PAHAT JEPANG
(NATSUKE)
KERTAS KARYA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
ROHANI NAIBAHO
NIM : 142203013
PROGRAM STUDI DIII BAHASA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus, karena berkat
karunia dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini sebagai
syarat untuk melengkapi gelar Ahli Madya pada Universitas Sumatera Utara.
Dalam hal ini penulis menyadari bahwa apa yang telah tertulis dalam kertas
karya ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi dan pembahasan
masalah. Demi kesempurnaan, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca untuk kearah perbaikan.
Dalam kertas karya ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai
pihak yang cukup bernilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr.Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Diah Syafitri Handayani, M.Litt selaku Ketua Program Studi Bahasa
Jepang D3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Veryani Guniesti,S,S.,M.Hum selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
menyusun tugas akhir ini. Terimakasih untuk kesediaan sensei dengan
penuh kesabaran menuntun saya penulis lembar demi lembar tugas akhir
akhir ini, mengoreksi, memberi masukan.
4. Seluruh staf dan dosen-dosen pada program studi Bahasa Jepang Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera, terimakasi telah membimbing dan
memberi saya ilmu yang sangat berharga selama tiga tahun ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
5. Dari semua yang teristimewa untuk kedua orangtua saya, Ayahanda tercinta
Jayasan Niabaho dan Ibunda tersayang Benti Gultom yang telah
membesarkan, mendidik, dan selalu memberi arahan, dukungan motivasi
finansial, doa tulusnya, serta kasih kasih sayang yang begitu besar kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan kertas karya ini dengan baik.
6. Kepada seluruh teman teman ku tercinta, Karim sirait, Yuni purba, Sriulina
karo karo, Melinda sihotang. Mereka yang selalu memberi semangat kepada
penulis, yang selalu mengingatkan untuk tidak lupa mengerjain kertas karya
ini. Terima kasih buat kalian semua.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam kertas karya ini, sehingga
kritik dan saran sangat diharapkan oleh penulis. Akhir kata, penulis mengucapkan
terimakasih. Semoga Kertas Karya ini dapat berguna bagi kita semu dikemudian
hari.
Medan,
Penulis
Rohani Naibaho
NIM 14220301
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………....................…………………………………i
DAFTAR ISI………………………..................………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN ………...................………………………………….1
1.1. Alasan Pemilihan Judul ……...................………………………1
1.2. Tujuan Penulisan …………..................…………………......….1
1.3. Batasan Masalah ……….................…………………………... 2
1.4. Metode Penelitian ……….................…………………………. 3
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG SENI PAHAT ...............................4
2.1. Sejarah Seni Pahat di Jepang…………………….......................…...4
2.2. Seniman pemahat Jepang yang terkenal Unkei dan Kokei................9
2.3. Perkembangan Seniman Pemahat di Jepang....................................10
BAB III NETSUKE DI JEPANG ……………………………..........................11
3.1. Sejarah Netsuke……………………………….................….....…11
3.2. Jenis-Jenis Netsuke di Jepang ……………………...................…14
3.2.1. Netsuke berbentuk hewan dan tumbuhan............................14
3.2.2. Netsuke berbentuk dewa......................................................16
3.2.3. Netsuke berbentuk roh jahat.................................................18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN …………………………….................20
4.1. Kesimpulan …………………………………..............………….20
4.2. Saran ………………………………………........…..................…21
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul
Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan seni dan budaya yang
unik. Baik dari segi keindahan alamnya, maupun dari segi seni kerajinan
tradisionalnya. Negara yang terkenal unik membuat negara Sakura ini banyak
dikenal masyarakat dunia salah satunya Indonesia. Dikarenakan, masyarakat
Jepang mencintai kebudayaannya sendiri dan mau menjaganya. Begitu banyak
patung-patung pahatan kuno Jepang yang menjadi salah satu peninggalan agama
Buddha pada saat itu. Kesenian-kesenian tradisional masyarakat Jepang yang
sampai saat ini masih menjadi tradisi bagi kebudayaan masyarakat Jepang.
Perayaan-perayaan yang menjadi kebiasaan tahunan masyarakat Jepang seperti
salah satunya perayaan Hanami yang merupakan tradisi Jepang dalam menikmati
keindahan bunga sakura. Dimana perayaan ini menjadi salah satu perayaan yang
paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jepang karena disinilah mekarnya bunga
sakura yang setelah sekian lama mereka tunggu-tunggu yang tak kalah unik
adalah keseniaan memahat yang merupakan salah satu tradisi memahat dan
menjadikan pahatan tersebut menjadi sebuah pahatan yang sangat unik dan indah.
Dan biasanya hasil pahatan tersebut menjadi salah satu patung antik/unik yang
mungkin saat ini sangat banyak digemari oleh masyarkat yang berkenjung ke
negara sakura tersebut. Mereka bahkan tidak sungkan-sungkan untuk berfoto dan
beribadah dan bahkan ada yang menggangap patung-patung tersebut sebagai dewa
atau Tuhan khususnya masyarakat Jepang (Buddha). Salah satu jenis seni pahat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
yang terkenal di Jepang adalah Netsuke. Netsuke adalah seni pahat kuno Jepang
yang berkembang selama lebih dari 300 tahun.
Penggunaan Netsuke ini berkembang pesat selama periode Edo (1603-1868).
Pemakaian Netsuke dapat menunjukkan status sosial kaum pria di zaman Edo,
kurang lebih mirip dengan pemakaian arloji dan dasi pada masa kini. Dulunya,
kaum pria bersaing untuk tampil bergaya dengan menggunakan Netsuke yang
mereka miliki. Tetapi, kini muncul fenomena baru, Netsuke kini tidak hanya
dipopulerkan dikalangan kolektor masyarakat Jepang. Netsuke yang dahulunya
dikenakan hanya sebagai aksesoris kimono pada kaum pria di Jepang, kini
menjadi sebuah karya seni pahat yang mahal harganya. Karena kehalusan dan
rumitnya bentuk seni pahat ini. Walaupun Netsuke masih dapat ditemukan dan
didapatkan sekarang ini, tetapi bentuk dan fungsinya berbeda dari asalnya dulu.
Netsuke kini berbentuk aksesoris-aksesoris kecil, lebih berwarna dengan bentuk-
bentuk unik seperti aksesoris gantungan kunci, aksesoris handphone dan lainya.
Berdasarkan penjelasan mengenai Netsuke maka penulis menjadikannya sebagai
judul pembahan kertas karya.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis dan manfaat penuliasan kertas karya ini adalah :
1. Untuk mengetahui salah satu seni pahat yang dikembangkan di Jepang
(Netsuke)
2. Untuk mengetahui berbagai jenis Netsuke di Jepang
3. Mengetahui fungsi Netsuke bagi masyarakat Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
4. Menambah wawasan pengetahuan penulis dan setiap pembaca tentang Netsuke
5. Untuk memenuhi salah satu syarat pendidikan pada program studi bahasa
Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
1.3 Batasan Masalah
Pada kertas karya ini, penulis membatasi permasalahan pada pengertian
Netsuke, jenis – jenis Netsuke, dan fungsi Netsuke itu sendiri bagi masyarakat
Jepang
1.4 Metode Penulisan
Dala penulisan kertas karya ini, penulis menggunakan metode kepustakaan
(Library Research), yakni menggumpulkan sumber-sumber bacaan yang berupa
buku sebagai referensi yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas,
kemudian dirangkum dan di deskripsikan kedalam kertas karya ini. Selain itu
penulis juga memanfaatkan informasi dari teknologi internet sebagai sumber data
tambahan agar lebih akurat dan jelas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
BAB II
SENI PAHAT DI JEPANG
2.1. Sejarah seni pahat di Jepang
Seni pahat adalah cabang seni rupa yang hasil karyanya berwujud tiga
dimensi. Biasanya diciptakan dengan cara memahat, modeling (misalnya dengan
bahan tanah liat) atau casting (dengan cara cetakan). Seiring dengan
perkembangan seni patung modern, maka karya-karya seni patung menjadi
semakin beragam, baik bentuk maupun bahan dan teknik yang digunakan, sejalan
perkembangan teknologi serta penemuan bahan-bahan baru.
Seni pahat di Jepang dimulai pada jaman Jomon. Hal ini, ditandai dengan
ditemukannya banyak arca kecil yang dikenal sebagai dogu di Jepang bagian
timur. Sejak dulu, dogu digambarkan mempunyai mata besar berbentuk oval,
tubuh bagian depan setengah berlutut dan permukaannya terdapat ornamen rumit.
Dogu menghilang diakhir jaman Jomon dan muncul lagi pada jaman Kofun
yang merupakan lanjutan dari tradisi seni pahat Haniwa. Haniwa juga merupakan
ciri khas negara Jepang yang berbentuk silinder dan terbuat dari tanah liat yang
dibakar dengan api sedang, diletakkan disekitar tumuli (kuburan) untuk
memisahkan peninggalan keramat dari leluhur. Sebaliknya, mayoritas memiliki
struktur yang sederhana, terkadang berlubang-lubang. Yang lain dibatasi oleh
gambar burung dan hewan, topi baja, bejana makanan, rumah dan benda
keseharian lainnya. Atau berupa gambar manusia termasuk dukun dan manusia
bersenjata. Topeng mereka dibentuk dengan garis horizontal yang berlubang pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
mata dan mulut, hal ini sering berlawanan dengan pakaian atau ornamen yang
terperinci.
Seiring dengan transmisi Budha dari Asia pada abad ke-6. Jepang memasuki
saat bersejarah bagi seni pahat. Kerajaan Korea, Paekche, yang pertama sekali
mengirim patung Budha ke Jepang pada tahun 538 dan mengirim pemahat pada
tahun 577. Sejak itu Jepang tidak melanjutkan tradisi pengembangan seni pahat.
Jepang memakai bentuk dan teknik dari dataran Cina. Contoh pertama yang
menyebarkan penampilan seni pahat dari dinasti Wei Utara yang ditafsirkan oleh
semenanjung Korea. Penampilan seni pahat Jepang kebanyakan diberi lapisan
perunggu yang mengkilat, dan terbuat dangan teknik penghilangan wax,
sementara itu yang lain dipahat dari kayu pohon champor. Dahulu, catatan
mengenai jumlah patung di Jepang dibuat oleh tiga pemahat imigran pada tahun
587, yang ahli untuk menyembuhkan Kaisar Yomei dari penyakitnya. Peristiwa
ini terjadi terus menerus pada abad 7 dan 8 peranan penting dimainkan oleh
seniman imigran dan pelatihan seni pahat untuk persiapan perbandingan ini sangat
menguntungkan dalam sejarah Jepang.
Pada akhir abad ke-8, Jepang mulai mengeksplorasi seni pahat dengan
ekspresi yang berasal dari pribumi yang telah mengalami kedewasaan pada
periode heian. Perubahan teknis seiring dengan pengenalan kayu menggantikan
sampang dan perunggu sebagai bahan yang sering digunakan dan seniman Jepang
mulai memanfaatkan bahan tersebut dengan cara yang berbeda. Daya tarik kayu
sendiri telah mendarah pada tradisi Shinto yang berpusat pada kesucian sebuah
pohon dan mungkin bukan suatu kebetulan jika seni pahat Shinto pertama muncul
pada jaman ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
Satu dari patung-patung yang pertama sekali mencerminkan perubahan
radikal yaitu pada patung Healing Budha yang berdiri pada Jingo-ji di Kyōto.
Patung itu dipahat dari satu balok pohon cemara dan pemahatnya mengutamakan
kualitas pada bahan dengan menambahkan aksen berupa pahatan pada permukaan
yang tidak dikenai cat. Beberapa pahatan wajah dan tubuh masih terpengaruh
gaya di akhir periode Tang, tapi mereka berhasil mencapai kehebatannya di
bawah seniman Jepang. Semenjak satu balok kayu dipakai pada pertengahan abad
ke-9 mulai dibelah, pemahat bertahap menemukan cara untuk membuang bagian
tengah kayu. Pertama, dicoba dengan melubangi belakang image dari bagian
pundak sampai pergelangan kaki, tetapi pada awal abad ke-10 metode ini berubah
dengan melubangi pohon terlebih dahulu, kemudian memahatnya. Lalu, dengan
cepat mereka mulai menggunakan beberapa pohon.
Perkembangan style tetap bisa dilacak dari akhir abad ke-9 sampai akhir abad
ke-11. Ini biasa disebut native style dari pertengahan abad 11 yang di-image-kan
dengan patung Budha Amida yang berada di Phoenix Hall dari Byodo in Kyoto
Selatan. Dikumpulkan oleh seniman Jocho pada tahun 1053, ekspresi wajah dan
tubuh masih diukur dan pakaiannya terlipat mencerminkan rumus dua dimensi.
Image itu dipahat memakai pohon cemara Jepang, yang secara teknik masih
menggabungkan beberapa kayu yang sebelumnya dilubangi terlebih dahulu
sebelum disatukan. Metode ini disempurnakan oleh Jocho dan asistennya, dengan
fasilitas yang lengkap dari gambar yang besar, sejak semua persiapan telah
dilakukan di tempat kerja.
Seni pahat di akhir jaman Heian didominasi oleh penampilan seantero Jepang
yang jumlah karyanya tak terhitung lagi yang merupakan tiruan dari Jocho. Secara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
garis besar, image tersebut diproduksi oleh seniman yang bersaing antar
keturunan, seperti In School dan En School, yang menerima komisi dari anggota
keluarga kerajaan dan aristokrat yang berkuasa. Sekitar tahun 1150, pemahat di
luar kota besar mencari cara lain untuk mengubah style asli. Perubahan pertama
muncul di Nara dengan patung seperti Amida triad pada Chogaku-ji (1151).
Seniman lainnya menyingkirkan lipatan dua dimensi dan menggantinya dengan
plastik sehingga menciptakan bentuk permukaan baru. Untuk memeriahkan
image-nya, seniman menatakan mata dari dalam dengan gelas kristal dan
mewarnai pupil dengan lingkaran berwarna merah untuk menambah kesan
alaminya.
Satu lagi kegiatan alami yang bisa menjadi suatu tanda langka bagi para
pemahat di Nara selama bekerja pada akhir jaman Heian dan awal periode
Kamakura. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Kokei (1175-95),
anaknya yang bernama Unkei (1223) dan kepala murid Kaikei (1189-1223).
Terbakarnya kuil Nara di Tōdai-ji dan Kofuku-ji pada tahun 1180 selama perang
sipil antara Taira dan Minamoto menyerang para pemahat di tengah kegiatan
mereka. Selama tahun 1180 dan 1190-an mereka membangun kembali semua
yang terbakar, dan banyak memasukkan style lama dalam prosesnya. Untuk
menyesuaikan pembaruan, mereka memodifikasi teknik menyambung kayu.
Mereka juga melubangi kayu lebih sedikit untuk memberi kerja maksimal pada
teknik pahatan alami mereka.
Mengingat Unkei dan anaknya bekerja untuk bermacam-macam pelindung
dari Jepang Timur, seperti Nara dan Kyoto, Kaikei bekerja semata-mata hanya
untuk Chogen (1121-1206), biarawan mengorganisir rekonstruksi Todai-ji.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
Koleksi gambar Chogen di kuil, penting untuk realisme yang sulit dikompromi,
merupakan salah satu dari seni pahat Jepang pada abad ke-13. Unkei
menyeimbangkan naturalisme dengan idealisme untuk menciptakan dinamisme,
intensitas dan kekuatan dalam yang besar, sebagai bukti gambar dari Asanga dan
Vasubandhu di Kofuku-ji. Di lain pihak, Kaikei berusaha memperhalus unsur
alami dalam karyanya untuk menciptakan suatu karakteristik dengan
penyempurnaan eksterior. Kepopuleran style dari Kaikei antara komunitas Pure
Land yang terbentuk di sekitar Chogen yang telah diperlihatkan oleh banyaknya
karya Amida yang telah ia buat.
Setelah kematian Unkei, anaknya meneruskan karya ayahnya, tetapi pada
dekade terakhir abad ke-13, karya mereka sudah lazim dipakai. Murid Kaikei
berusaha untuk mengabadikan style-nya, tetapi sebagian besar dari seni pahat
yang dihasilkan kehilangan nilai agama dari karya gurunya. Dampak dari style
Song dapat dilihat di Kamakura yang mengarah ke China yang menggambarkan
tentang Sekte Zen; dibawah pengaruh Budha Zen, tipe baru dari gambar dikenal
sebagai chinsō, diperkenalkan. Pada image ini, yang mengingatkan pada pelajaran
yang diberikan oleh guru pada muridnya, bentuknya secara umum biasanya duduk
di kursi dengan kaki dilipat dibawahnya. Bentuknya telah distandarkan, namun
seni pahat mendapatkan perhatian besar pada bentuk fisiknya.
Perkembangan Seni Pahat Selanjutnya, seni pahat pada periode Muromachi,
Momoyama dan Tokugawa melakukan sedikit banyak peniruan pada style
awalnya, dan hasil karyanya mempunyai sedikit originalitas. Hanya pada sebagian
kecil pekerjaan dari pemahat yang memahat bagian dari religius menunjukkan
beberapa perkembangan diantaranya: Enkū (1695) yang melakukan perjalanan ke
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
seluruh Jepang menghasilkan kuantitas image. Para pemahat profesional secara
berkesinambungan membuat dekorasi secara arsitektural.
Pada saat Jepang melakukan politik terbuka kepada negara barat selama
periode Meiji pola-pola pahatan lama dihapuskan dan pemahat tradisional dipaksa
untuk memahat netsuke dan memahat pada gading untuk bertahan hidup. Lainnya,
seperti Takamura Kōun (1852-1934), yang secara sukses mengombinasikan
realisme Barat dengan budaya tradisional. Untuk perbandingan dengan seni lukis,
bagaimanapun, ideologi seni pahat Barat tidak berkembang selama periode Meiji,
sejak seni pahat para pemahat tidak menunjukkan karya seni yang tinggi.
Beberapa dari karya-karya pertama yang dihasilkan dengan style Barat adalah
sebagian image publik pada perunggu dari kultural pahlawan-pahlawan Jepang
yang penting untuk pemerintahan Meiji. Kebudayaan itu berlangsung selama
tahun 1950-an bahwa pemahat Jepang dapat mengasimilasi tradisi-tradisi Barat
dan menransformasikan melalui pilihan-pilihan estetika yang mereka lihat sebagai
akar budaya mereka dimasa lalu.
Pada perkembangannya seni pahat Jepang mengalami asimilasi dengan
budaya Barat dan mengalami perkembangan berdasarkan media yang gunakan
mulai dari kayu, gading, dan perunggu. Namun, asimilasi dengan budaya Barat
tidak dapat menghilangkan kebudayaan Jepang yang selalu mengandung estetika
dalam pembuatannya sehingga pembuatan seni pahat dengan budaya Jepang dapat
dipertahankan hingga saat ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
2.2. Seniman pemahat Kokei dan Unkei
1. Kokei
Pemahat Jepang yang terkenal yaitu Kokei (aktif pada akhir abad 12 dan
awal abad 13), dan putranya Unkei (wafat 1223) memproduksi pahatan kayu yang
sangat luar biasa dengan memasukkan kristal pada bagian matanya. Hasil
pahatannya tentang tokoh-tokoh penting dalam agam Buddha Jepang yang dikenal
dengan gaya ekspresis dan keras. Kokei bekerja pada periode Heian (794-1192)
dan pada awal periode Kamakura (1192-1333). Dia membuat pahatan patung
Buddha dari kayu Cypres. Dia sangat mahir dalam mengerjakan bentuk kerutan
pada pakaian dan bentuk telinga.
2. Unkei
Unkeihidup pada awal periode Kamakura. Tahun kelahirannya tidak
diketahui. Dia menciptakan gaya seni pahat Kamakura dan memimpin sekolah
seni pahat Buddha di Nara. Dia memainkan peran penting dalam membangun
kembali kuil-kuil besar yang hancur akibat peperangan pada periode Heian.
Hanya 13 karya positif yang di identifikasih sebagai hasil karya Unkei, 5 dari dari
hasil karyanya di jadikan sebagai kekayaan negara dan 7 karyanya sebagai aset
budaya. Unkei menjadi pemahat patung sebelum berusia 20 tahun dan ditugaskan
oleh Kamakura-shogun untuk membuat paung-patung Buddha di kuil Kofuku dan
kuil Todai di Nara. Dia melakukan tugas tersebut dengan bantuan Kaike yang
merupakan murid terbaik ayahnya, dan bersama dengan lebih dari 20 orang
asisten. Hasil kolaborasi antara Unkei dan Kokei adalah Kongo-rikyshi, patung
tinggi Nio yang tingginya mencapai 28 kaki (lebih dari 8 m), yang merupakan 2
raja penjaga dewa dalam mitologi agama Buddha di Jepang. Patung ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
ditempatkan pada sisi kiri kanan pintu masuk kuil Todai. Gaya realistis dan
dinamis dari patung-patung ini merupakan ciri khas dari seni pahat Unkei yang
kontras dengan gaya seni pahat Kaike yang terkenal dengan keanggunan dan
kelembutannya.
2.3. Perkembangan seniman pemahat di Jepang
Seiring berjalannya waktu seniman pahat di Jepang tidak terbatas dengan
hanya mengunakan bahan kayu saja, tetapin kini ada juga seniman pahat yang
menggunakan bahan selain kayu. Tema dalam seni pahat pun tidak hanya pada
patung Buddha saja tetapi dewasa ini ada seniman yang menggunakan tema
kehidupan, kematian, dan lain lain. Seperti seniman pahat berikut ini
1. Seniman pemahat pisang terkenal di Jepang
Salah satu seniman pemahat pisang (syokunin) yang terkanl di Jepang
bernama Keisuke Yamada. Dia memulai ide memahat dengan bahan pisang.
Awalnya ia bereksperimen dengan ukiran wajah dan secara bertahap
memperbanyak portofolionya dengan berbagai kreasi yang luar biasa mulai dari
objek hewan sampai karakter anime. Bahkan dirinya telah diundang ke berbagai
stasiun TV untuk menampilkan bakat uniknya tersebut.
Memahat dengan pisang jauh lebih sulit dan rumit, karena pisang mempunyai
tekstur yang lembut sehingga butuh kesabaran dan kontrol untuk membuat satu
karya.
2. Seniman pemahat kayu bertema unik di Jepang
Yoshitoshi Kanemaki adalah seniman pemahat patung kayu yang sebelumnya
pernah membuat karya bertema kematian, kini kembali dengan karya terbarunya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
yang tak kalah unik. Sedikit berbeda dari karyanya yang lalu, kali ini ia
menciptakan karya dengan berbagai kelainan berupa patung dengan wajah dan
mata yang diduplikasi. Patung-patung karyanya yang dibuat dari kayu kamper
mulai dari ukuran manusia asli hingga miniatur hasil karyanya ini mengeksplorasi
dualitas kepribadian dan deretan emosi manusia.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
BAB III
NETSUKE DI JEPANG
3.1 Sejarah Netsuke
Netsuke merupakan bentuk seni pahat Jepang yang dikembangkan selama
lebih dari tiga ratus tahun. Dahulu, Netsuke pertama sekali digunakan pada
pakaian tradisional Jepang (kimono). Pada abad 18 dan 19, kimono tidak memiliki
kantung dan biasanya si pemakai membawa sebuah kotak kecil (inro) yang terdiri
dari beberapa laci kecil sebagai tempat berbagai macam benda yang mereka
perlukan. Karena pakaian Jepang tidak memiliki kantung, kaum wanita Jepang
menyelipkan barang-barang pribadinya kedalam lengan baju mereka, sedangkan
kaum pria menaruh barang-barang pribadi dibelakang Obi dengan menggunakan
sagemono (alat pengantung). Agar sagemono dan lipatan kaum pria tersebut tidak
lepas, maka dipasanglah sebuah jangar kecil yang disebut dengan Netsuke.
Netsuke sendiri berfungsi sebagai pemberat untuk sagemono dan inro.
Namun, karena kaum pria Jepang yang menggunakan kimono dewasa ini
berkurang, Netsuke justru dijadikan barang koleksi berharga. Sekarang ini
Netsuke menjadi barang antik, yaitu patung miniature yang berharga yang lebih
dari sekedar aksesoris pakaian. Banyak Netsuke dipamerkan, diperdangkan,
dikumpulkan sebagai objek seni. Bahkan beberap set dari Netsuke ini juga bias
dilihat di museum, koleksi pribadi, galeri dan dipublikasi dengan macam tipe dan
bahan. Dua bahan paling umum yang digunakan untuk Netsuke adalah gading dan
kayu. Sekitar 80% dari Netsuke antik yang bertahan yang diukir dalam berbagai
jenis kayu asli Jepang seperti dari kayu pohon cemara, pohon sakura, pohon
kesemek hitam, dan lain sebagainya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
Bentuk Netsuke dalam ensiklopedia ini adalah bulat seperti pemutaran beras
dan biskuit yang terbuat dari kayu. Penggunaan Netsuke di kalangan petani
biasanya menggunakan Netsuke yang terbuat dari kuningan dan tembaga dan
terkadang juga menggunakan yang berasal dari akar labu yang sangat kecil. Untuk
pengguna Netsuke di bidang industri, biasanya menggunakan Netsuke yang
terbuat dari gading dan tanduk hewan.
Pada abad 19, Netsuke sudah berkembang pesat. Komposisi pembuatannya
sudah sangat canggih dan terkadang dibuat dengan ukuran yang sangat mini. Pada
abad 19 sudah didasarkan pada gambaran kehidupan perkotaan seperti toko
seniman, actor jalanan, pekerja perempuan, dan pekerja rumah tangga.
Pada abad 19, banyak Netsuke yang sudah dibuat dalam bentuk masker teater.
Seiring berkembangnya, sebagian Netsuke sudah dibuat dari bahan emas, namun
dengan ukuran yang sangat kecil dengan alasan jika terlalu banyak akan membuat
si pemilik tidak nyaman saat berjalan. Netsuke dalam dunia teater juga biasanya
disandingkan denga puisi dan musik sendiri. Pada abad ini, Netsuke akhirnya
menjadi sebuah hiasan yang akhirnya diakui menjadi karya seni. Di Eropa juga
sudai mulai mengumpulkan Netsuke selama abad ke 19 dan terus melakukannya
dalam jumlah banyak. Berikut adalah bentuk-bentuk Netsuke yang ada di Jepang :
Sebuah Netsuke mempunyai panjang yang bervariasi antara 1 dan 6 inci, diikat
dengan tali sebagai selempang pengikat kekimono. Netsuke diikat dengan seutas
tali tunggal berulir yang dimasukkan melalui lubang dari salah satu sisi wadah
yang dingantungkan, kemudian menembus lubang sisi lain wadah, dan diikat
dibagian bawah wadah. Lalu, sebuah maik-manik dekoratif atau ojime diselipkna
ditali antara netsuke dan sagemono, yang memungkinkan pengguna membuka dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
menutup wadah. Alat pembuka wadah netsuke himotoshe yang membentuk
menyerupai kucing. Seiring berjalannya waktu, pembuka Netsuke yang awalnya
sederhana ini, berkembang menjadi lebih variasi dan mempunyai banyak motif.
Bentuk dan motif dari Netsuke yang beranekaragam ini menjadi cara bagi orang
Jepang untuk menunujukkan status sosialnya dimasyarakat.
Proses pembuatan Netsuke bisa memakan waktu 2-3 minggu. Ukiran pada
Netsuke nampak rumit tetapi terlihat sangat halus dan indah karena menggunakan
bahan yang langkah dan eksotis. Biasanya Netsuke dibentuk dengan banyak
penyesuain. Bentuk-bentuk Netsuke menggambarkan subjek-subjek yang dekat
dengan kehidupan masyarakat Jepang. Subjek Netsuke ini todak terbatas hanya
pada legenda, cerita rakyat dan tumbuhan saja. Tetapi, bentuk dewa-dewa dan roh
jahat juga menjadi subjek dalam Netsuke. Penikmat netsuke akan melihat netsuke
sebagai miniature dunia dimana filosofi, kebiasaan dan kebudayaan bersatu
didalam sebuah karya seni yang sangat indah dan penuh nilai estetika. Tambahan
lagi, netsuke juga berasal dari nilai nyata atau realistis diubah menjadi abstrak
dalam sebuah karya pahat. Banyak dari netsuke diyakini memiliki kekuatan mistis
dan dapat dijadikan jimat. Hal ini yang akhirnya berkembang dikalangan
pengemar netsuke dan menjadikannya karya seni yang sangat didambakan untuk
dimiliki oleh para kolektornya. Bagi pemilik netsuke biasanya terdapat hubungan
erat antara fisik dan spiritual yang tidak terdapat pada karya seni lainnya.
Dimasa sekarang ini umumnya netsuke diukir dari kayu keras dan gading.
Bahan dari logam dan batu mulia, varnish, tanduk kerbau, tanduk rusa dan tanah
liat sudah jarang digunakan. Nilai dan kualitas dari netsuke itu sendiri dapat diliat
dari sentuhan pada permukaan pahatannya. Pemahat Jepang biasanya memahatnya
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
pada segala sisi, bagian atas dan bawah tanpa ada sisi tajam agar tidak merusak
baju atau merobeknya. Netsuke dibentuk sedemikian kecil agar mudah dibawa.
Meskipun demikian, pahatan kecil ini sangat kokoh dan kuat. Pahatan ini biasanya
sangat nyaman untuk digenggam dengan ukuran antara 1 sampai dengan 3 inchi.
3.2 Jenis-Jenis Netsuke
3.2.1 Netsuke berbentuk hewan dan tumbuhan
1. Katabori Netsuke
Katabori Netsuke merupakan tipe yang paling sering dipahat. Kategori
Netsuke berbentuk dalam pahatan 3 dimensi, tipe Netsuke ini berbentuk secara
melengkung dan pada umumnya tingginya hanya berukuran sekitar 1 atau 3 inci.
Katabori Netsuke juga biasanya berbentuk pahatan seranga atau burung.
2. Anabori Netsuke
Anabori atau Netsuke cekung merupakan salah satu bagian dari Katabori yang
dipahat dengan memiliki cekungan pada bagian tengah pahatan. Motif terang
merupakan yang paling sering digunakan dalam tipe Netsuke ini. Bagian rumit
juga terdapat dalam penggunaan Netsuke ini.
3. Manju Netsuke
Manju Netsuke merupakan pahatan tebal, datar, dan berbentuk bulat dan
terkadang dibentuk dengan motif tertentu dan biasanya dibuat dari motif gading.
Netsuke ini berbentuk seperti Manju, yaitu sebuah kue tradisional Jepang.
Biasanya Netsuke ini berbentuk bunga atau tumbuhan kecil.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
4. Ryusa Netsuke
Ryusa Netsuke sama seperti Manju Ntesuke, dimana setiap pahatannya
terdapat bentuk bunga dan tumbuhan kecil. Namun terdapat perbedaan pada
Netsuke jenis ini, yaitu Netsuke tipe ini diukir seperti renda sehingga cahaya dapat
tembus melalui item ini
5. Kagamibuta Netsuke
Netsuke jenis ini juga dikenal sebagai Netsuke tutup kaca. Disebut seperti itu
karena Netsuke ini berbentuk sebagai cakram logam yang berfungsi sebagai
penungkup mangkuk kecil, biasanya terbuat dari kayu dan gading. Selain itu pada
Netsuke jenis ini terdapat juga banyak pahatan berbentuk tumbuhan. Netsuke tipe
tutup mangkuk ini sering dihiasi dengan teknik metalurgi.
3.2.2 Netsuke berbentuk dewa
1. Hotei
Pelindung yang menyenangkan, sukacita, komunikasi dan kesejahteraan. Hal ini
diyakini bahwa ia menentukan nasib manusia dan membantu dalam melaksanakan
keinginannya. Jika sosok Hotei ditepukan diperut 300 kali, dan ketika kita berfikir
tentang sesuatu yang baik, maka yang kita pikirkan akan terjadi. Di Jepang setiap
rumah dipercayai harus memiliki 7 Hotei agar rumahnya bahagia.
2. Daikoku
Adalah dewa kekayaan dan kemakmuran. Yang bertindak sebagai pelindung
rumah. Netsuke jenis ini digambarkan dengan palu, tikus, tas ajaib, dan beras.
Daikoku juga menunjukkan symbol kekayaan dan kemakmuran.
3. Ebisu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
Pelindung keberuntungan. Digambarkan dalam topi tinggi dengan pancing dan
ikan Thai. Thai adalah ikan sudi yang dianggap sebagai symbol keberuntungan
dan prestasi spiritual. Menurut legenda sangat sulit untuk menangkap ikan mas
suci dengan tangan kosong dengan air surgawi. Kadang-kadang Ebisu berfungsi
sebagai pelayan dan pelindung nelayan di laut.
4. Fukurokudzyu
Fukurokudzyu adalah dewa kebijaksanaan. Kepala memiliki ukuran
memanjang, dan dahi ada kerutan melintang yang dalam. Kadang-kadang
Fukurokudzyu digambarkan berubah menjadi kura-kura, Fukurokudzyu juga
menunjukkan symbol panjang umur, kebijaksanaan, dan alam semesta.
5. Bisyamonten
Merupakan pelindung tentara. Yang digambarkan sebagai pejuang tangguh,
dengan baju besi dan pedang atau trisula ditangannya juga pagoda. Sebagai dewa
kebahagiaan, Bisyamonten berjuang hanya untuk membela yang baik. Motto nya
“Loyalitas, tugas, Pelindung tentara” dipercayai dapat membantu untuk
menemukan kekuatan luar biasa, semangat, dan keberanian, kebijaksanaan dan
keadilan.
6. Bendzayten
Adalah dewi cinta dan seni. Kadang-kadang dianggap sebagai dewi pelindung
air dan music. Bendzayten digambaran dengan kecapi “Biwa” ditangan mereka.
Diwilayah Timur, wanita akan meminta akan cinta dan perikahan yang abadi
kepada dewa ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
3.2.3 Netsuke berbentuk roh jahat
1. Shoki Netsuke
Shoki Netsuke merupakan pahatan yang menggambarkan dewa Shoki yakni
sosok dewa jahat yang membunuh semua dewa dan siluman lainnya dengan
menggunakan pedang datarnya. Shoki biasanya digambarkan berjanggut dan
menunggangi siluman kecil sebagai kendaraannya.
2. Oni Netsuke
Oni Netsuke merupakan siluman atau iblis kecil yang bias anya digambarkan
memiliki tanduk, dan bulu sekujur tubuhnya. Oni merupakan musuh kecil para
dewa yang sering digunakan para dewa sebgai budak atau kendaraan.
3. Shojo Netsuke
Shojo Netsuke merupakan Netsuke yang dipahat menggambarkan sebuah
patung dewi minuman yang berwajah manusia. Shojo biasanya berambut panjang
berwarna menjuntai sepanjang bahunya. Shojo biasanya terlihat apabila seseorang
telah meminum arak dapat melihatnya disekitar laut.
4. Shashiki Netsuke
Sahshiki Netsuke merupakan musuh dari Buddha yang membawa lari
Deityidaten pada sebuah kotak kawan dengan sebuah kotak simpanan curian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai Netsuke pada bab-bab sebelumnya, maka penulis
dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Netsuke mulai digunakan sejak abad ke 16, selain berfungsi sebagai
pemberat sagemono dan inro, juga dapat menjadi aksesoris ketika
mengenakan kimono pada kaum pria jepang.
2. Status sosial seorang pemakai Netsuke didalam masyarakat dapat diketahui
berdasarkan bahan pembuat dan desain Netsuke yang dipakainya
3. Dua bahan yang paling umum digunakan untuk Netsuke adalah gading dan
kayu, tetapi ada juga yang terbuat dari emas.
4. Pada masa sekarang ini, Netsuke menjadi barang antik yang mempunyai
nilai karya seni yang tinggi dengan harga yang cukup fantastis. Para
kolektor Netsuke tidak hanya dikalangan masyarakat Jepang sendiri, tetapi
juga berasal dari luar negeri
5. Sekitar 80 % Netsuke antik yang bertahan hingga sekarang ini diukir
dalam berbagai jenis kayu asli Jepang seperti pohon kayu cemara, bunga
sakura, kesemek hitam, dan sebagainya. Subjek dari bentuk-bentuk
Netsuke diantaranya ialah : bentuk dewa, roh jahat, tumbuhan, hewan dan
bentuk-bentuk yang berasal dari mitos-mitos Jepang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
4. 2 Saran
Setelah mengumpulkan data-data mengenai Netsuke, maka penulis, Menemui
banyak sekali keunikan dari Netsuke tersebut. Oleh karena itu Penulis ingin
mengemukan beberapa saran yaitu,
Kepada mahasiswa yang mempelajari bahasa jepang, penulis mengharapkan
agar lebih banyak lagi mengenal tentang seni dan kebudayaan, serta adat istiadat
masyaraka Jepang agar wawasan ke-Jepangannya semakin bertambah, tidak hanya
mengetahui bahasanya tetapi mengetahui semua tentang Jepang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Kertas karya ini membahas tentang seni pahat jepang (Netsuke). Netsuke
merupakan bentuk seni pahat kuno Jepang berukuran kecil dan terlihat indah.
Disebabkan oleh pakaian tradisional Jepang (kimono) tidak memiliki kantung,
biasanya kaum wanita Jepang menyelipkan barang-barang pribadinya ke dalam
lengan baju mereka, sedangkan kaum pria menaruh barang-barang pribadinya
dibelakang obi dengan menggunakan sagemono. Agar sagemono dan lipatan baju
kaum pria tersebut tidak lepas, maka dipasanglah sebuah jangkar kecil yang
disebut dengan Netsuke.
Melalui metode kepustakaan, semua data informasi dan buku-buku yang
berhubungan topik penelitian kertas karya ini dikumpulkan dan dirangkumkan.
Berdasarkan hasil pengamatan, Netsuke telah dikenal dan digunakan oleh
masyarakat Jepang sejak abad 16 dan terus berkembang hingga kini. Kemudian,
bentuk-bentuk Netsuke yang dihasilkan menggambarkan subjek-subjek yang dekat
dengan kehidupan masyarakat Jepang. Subjek Netsuke ini tidak terbatas hanya
pada legenda, mitos, cerita rakyat, binatang dan tumbuhan saja, tetapi, ada juga
bentuk dewa-dewa dan roh jahat yang menjadi subjek dalam Netsuke.
Kaum pria Jepang dewasa ini mulai meninggalkan kebiasaan memakai
kimono di dalam kehidupan sehari-harinya. Namun pada kenyataannya,
masyarakat Jepang tetap gemar akan Netsuke. Netsuke justru, dijadikannya
sebagai miniatur seni pahat patung berharga yang lebih dari sekedar aksesoris
pakaian. Peminat Netsuke melihat Netsuke sebagai patung miniatur dunia dimana
filosofi, kebiasaan, dan kebudayaan bersatu di dalam sebuah karya seni yang
sangat indah dan penuh nilai estetika. Sekitaran 80% dari Netsuke antik yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bertahan sekarang ini, diukir dalam berbagai jenis kayu asli Jepang seperti dari
kayu pohon cemara, dari pohon sakura, kesemek hitam, dan sebagainya. Nilai
tambah keindahan dari Netsuke juga berasal dari nilai nyata atau realistis diubah
menjadi abstrak dalam sebuah karya pahat. Meskipun demikian, nilai dan kualitas
Netsuke itu sendiri dapat dilihat dari sentuhan pada permukaan pahatannya.
Dikatakan demikian, bagi pemilik Netsuke, biasanya terdapat hubungan erat
antara fisik dan spiritual yang tidak terdapat pada karya seni lainnya.
Netsuke yang pada awalnya berfungsi sebagai pelekat sagemono, kini sudah
menjadi barang antik. Banyak Netsuke yang dipemerkan, diperdagangkan,
dikumpulkan sebagai objek independen dengan harga yang cukup
mencengangkan. Beberapa set dari Netsuke juga bisa dilihat di museum, koleksi
pribadi, dan dipublikasi dengan bermacam-macam tipe dan bahannya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA