178

SengsaraMembawaNikmat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sengsara Membawa Nikmat

Citation preview

  • 1. Bermain Sepak Raga

    WAKTU a sar sudah tib a. Am at ce rah hari petan g itu. Langit tidak beraw an, hening jernih san gat bagu snya. M atahari bersinar dengan terang, suatu pun tak ada yang mengalanginya. Lereng bukit dan puncak poho n-pohonan bagai disepuh rupa-nya. Tetapi lembah dan temp at y ang keren dahan bura m cahayanya. Demikianlah pula sebuah kampung y ang terletak pada sebuah lembah, tidak jauh dari Bukittinggi.

    Dalam sebuah surau, di t epi sungai y ang melalu i kampung itu, kedengaran orang berkasidah. Suaranya amat merdu, turun naik den gan beraturan. Apa-lagi karena su ara it u dirintangi bunyi air sungai yan g mengalir, makin enak dan sedap pada pendengaran. Seakan-akan dari d alam sung ai suara itu datangnya. Hilang-hilang timbul, antara ada dengan tiada.

    "Akan menjadi orang laratkah en gkau nanti, M idun?" ujar seseorang da ri hala man surau sambil naik. "Bukan kah berlagu itu mengibakan hati dan menjauhkan perasaan? Akhir kelaknya badan jauh jua karenanya."

    "Tidak, Maun ," jawab orang ya ng dipanggilkan Midun itu, seraya meletakkan tali yang dipintalnya, "saya berkasidah hanya perint ang-rintang duduk. Tidak masuk h ati, melaink an untuk memetahkan lidah dalam bahasa itu saja. Dari manakah engkau?"

    "Dari pasar. Tidakkah engkau tahu, bahwa petang i ni diada-kan permainan sepak raga? Mari k ita ke pasar, kabarnya sekali ini a mat ramai di sana, sebab b anyak oran g d atang d ari kampung lain!"

    "Sudah banyakkah orang di pasar engkau tinggalkan tadi?" "Banyak juga jenang pun suda h datang. Waktu saya tinggal-

    kan, orang sedang membersihkan medan." "Si Kacak, kemenakan Tuanku Laras, sudah datangkah?" "Belum, saya rasa tentu dia dat ang j uga, sebab dia suk a

    pula akan permainan sepak raga." Midun menarik napas. Maka ia pun berkata pula, k atanya,

    "Ah, tak usah saya pergi, Maun. Biarlah saya di surau saja menyudahkan memintal tali ini akan dibuat tangguk."

    "Apakah seb abnya engkau me narik napas? Bermu suhankah engkau dengan dia?" ujar Maun dengan herannya.

    "Tidak, kawan. Tapi kalau saya datang ke sana, bol eh jadi

    www.fotoselebriti.net

  • mendatangkan yang kurang baik." "Sungguh, ajaib. Bermusuh tidak, tapi bole h jadi

    mendatangkan yang tidak baik. Apa pula artinya itu?" "Begini! M aun! Waktu be rdua bel as d i masjid te mpo ha ri,

    bukankah engkau duduk dekat saya?" "Benar." "Nah, adak ah engkau melihat b agaimana pe mandangan

    Kacak kepada saya?" "Tidak." "Masa kenduri itu k ita duduk pada deretan yang di t engah.

    Kacak pada deret yan g k edua. Engkau send iri me lihat ket ika orang kampu ng meletakk an hidangan di hadapan kita. Ber-timbun-timbun, hingga hampir sama tinggi dengan duduk kita. Ada yan g meletakkan nasi, cuku p dengan lauk-pauknya pada sebuah talam. Ada pula yang meletakkan penganan dan lain -lain sebagainya, menuru t kesukaan orang yang hendak ber-sedekah. Te tapi kepad a Kaca k tidak seberapa, tak cukup sepertiga yang kepada kita itu."

    "Hal itu sudah sepatutnya, Midun. Pertama, engkau seorang alim. Kedu a, engkau di sukai dan d ikasihi orang ka mpung in i. Oleh Kacak hanya derajatnya jadi kemenak an Tuanku Laras saja yang dimegahkannya. Tent ang tingkah laku dan peran gai-nya tidak ad a yang akan dihar ap. Memang d ia kurang di sukai orang di seluruh kampung ini."

    "Sebab itulah, maka sur am saja mukanya melihat hidangan di muka kita. Ketika ia melayangkan pemandangannya kepada saya, nyat a benar terb ayang pa da muka Kac ak ke benciannya. Cemburu dan jijik agaknya dia kepada saya."

    "Suka hatinyalah. Bukankah hal itu kemauan orang kampung. Apa pula yang menyakitkan hatinya kepadamu?"

    "Benar kat amu, suka ha tinyalah. Ta pi haru s eng kau ingat pula sebaliknya. Kita ini h anya orang kebanyakan saja, tapi dia orang ban gsawan tinggi dan keme nakan raja k ita di kampung ini. Tidakkah hal itu boleh mendatangkan bahaya?"

    "Mendatangkan bahaya? Bahaya apa pulakah yang akan tiba karena itu? Segalanya ak an menjadi pikiran kepadamu. Apa gunanya dihiraukan, su dahlah. Marilah kita pergi ber sama-sama!"

    "Patut juga kita pikirk an, man a yan g rasanya bol eh men-datangkan yang kurang baik kepa da d iri. Tetapi k alau engkau keras juga hendak membawa saya, baiklah."

  • "Ah, belum tumbuh sudah engkau siangi. Terlampau arif diri binasa, kurang arif badan celaka . En gkau rupanya terlalu arif benar dalam hal ini. Lekaslah, ti dak lama lagi permainan ak an dimulai orang."

    Maka kelihatanlah dua orang sahabat berjalan men uju arah ke pasar di k ampung itu. Midun ialah seorang muda yang baru berumur lebih kurang 20 tahun. Ia tel ah menjadi guru tua di surau. Pak aiannya yang bersih dan sederhan a rupanya itu menunjukkan bahwa ia seorang yan g suci dan baik hati. Parasnya b aik, badannya kuat, b agus, dan sehat. Tiada lama berjalan me reka keduapu n samp ailah ke pasar. Didapat inya orang sudah banyak dan permainan sepak raga t idak lama lagi akan dimulai.

    Adapun pasar di kampun g itu terletak di tepi jal an besar. Pada seberang jalan di muka pasar, berderet be berapa bu ah rumah dan l epau nasi. Di belaka ng rumah-rumah itu mengal ir sebuah sungai, Pasar itu diramaikan hanya sekali sepekan, yaitu tiap-tiap hari Ju mat. Itu pun ramainya hanya hin gga tengah hari saja. O leh sebab i tu, segala dangau-d angau diangkat orang. Tetapi dangau-dangau yang sebelah ke tepi pasar dibiar-kan tertegak . Gunanya ialah untuk orang mu safir atau siapa saja yan g su ka bermalam di situ, at au untuk berlindung dari-pada panas akan melepaskan lelah dalam perjal anan dan lain-lain s ebagainya. La in. da ripada hari Jumat, pasar itu diper-gunakan orang juga untu k berm ain sepak raga, r apat neger i, dan lain-lain.

    Ketika Midun kelihatan oleh beberapa orang muda di pasar itu, mereka itu pun datanglah mendapatkannya. Mereka itu semuanya amat bergirang hati melihat Midun. Begitu pul a ketika ia be rsalam den gan or ang-orang tua yang duduk ber-kelompok-kelompok di situ, nyata terbayang pada muka orang-orang itu kesenangan hatinya.

    Apakah sebabnya demikian? Memang Midun seorang muda yang sangat digemari orang di

    kampungnya. Bud i peker tinya a mat baik d an te rtib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap di-dengar; tutur katanya lemah lembut . Ia gagah berani lagi baik hati, penyay ang dan pen gasih, jaran g orang yan g sebaik d ia hatinya. Sabar dan tak l ekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemau annya keras; apa yang di-maksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah

  • pula padany a su atu sifat yang baik, yakni b arang si apa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih hati olehny a. Karena itu, tua muda, kecil besar di k ampung itu kasih dan sayang kepada M idun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir orang banyak, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan.

    Orang sudah banyak di pasar, di san a-sini kelih atan orang duduk berkelompok-kelompok. Orang yang akan menonton per-mainan se pak raga pun sudah ba nyak pula datang. Anak-anak sudah berl arian ke san a kemar i, me ncari temp at yang baik untuk menonton. Ada pul a di an tara mereka itu yang be rmain-main, mi salnya berkucing -kucing, berk uda-kuda dan lain-lain, menanti permainan dimu lai. Segala orang di pasar itu rupanya gelisah, tidak senang diam. Sebe ntarsebentar melihat ke j alan besar, sebagai ada yang dinantikannya.

    Tidak ber apa lama ant aranya, k elihatan seorang muda datang menuju ke pasar itu. Ia bercelana batik, b erbaju Cina yang ber kerawang pad a saku dan punggungnya. Kopiahnya sutera selalu, berterompah dan bersarung kain Bugis. Sungguh, tampan dan alap benar kelihata nnya dari jauh. la berjalan dengan gagah dan kocak nya, apalag i diir ingkan oleh beberapa orang pengiringnya.

    "Itu dia Engku Muda Kacak sudah datang," kata Maun kepada kawan-kawannya.

    Mendengar perkataan Maun, oran g yang duduk ber-kelompok-kelompok itu berdiri. Setelah Kacak sampai ke pasar, semuanya d atang be rsalam kep adanya. Sungguh pun Kac ak masih berumur 21 tahun lebih, tetapi segala orang di pasar itu, baik tua ataupun muda, sangat hor mat kepadanya dan dengan sopan bersalam dengan dia. Tetapi mereka ber-salam tidak se-bagai kepad a Midun, melainka n kebalikannya. Mereka itu semuanya seolah-olah terpaksa, sebab ada yang ditakutkannya.

    Sudah padan benar nama itu di lekatkan kepadanya, karena bersesuaian dengan tingk ah lakuny a. la tinggi hati, sombong, dan congk ak. Matanya j uling, kemerah-merahan warnanya. Alisnya terjorok ke muk a, hidungnya panjang dan bu ngkuk. Hal itu sudah menyatakan, bahwa ia seorang yang bu suk hati. Di kampung itu ia sangat dibenci orang, karena sangat angkuhnya. Perkataannya kasar, selalu menyakit kan hati. Adat sopan santun sedikit pun tak ada pada Kacak. Ke mana-mana berjalan

  • selalu ia pakai pengiring. Bahkan di dalam pemerintahan ia pun campur pula, agaknya l ebih dar'r mamaknya. Sungguhpun demikian, seorang pun tak ada yang berani menegurnya, karena orang takut kepada Tuan ku Laras. Kacak pun seol ah-olah tahu pula siapa dia: karena itu ia selalu menggagahkan diri di kampung itu.

    "Sudah sepetang ini hari, belum ju gakah jenang datang k e medan?" ujar Kacak dengan agak keras, sa mbil m elayangkan pemandangannya, seakan-akan mencari seseorang dalam orang banyak yang datang bersalaman kepadanya itu.

    "Sudah, Engku Muda;" ujar Maun dengan sopan. "Itu beliau di dalam lepau nasi sed ang bercak ap-cakap. Agaknya beliau menantikan kedatangan Engku Muda saja lagi."

    "Katakanlah saya sudah datang !" ujar Kacak pula dengan pongahnya. " Sudah hampir terb enam matahari g ila me mbual juga."

    Tidak lama antaranya, keluarlah seorang yang agak tua dan bertubuh tegap dari d alam sebuah lepau nasi. Orang itu ialah jenang permainan sepak raga. Baru saja dilih atnya Kacak, segera ia datang mendapatkannya. S ambil bersal am jen ang berkata, katanya, "Sudah

    lama Engku Muda datang?". "Lama juga," jawab Kacak de ngan m uka ma sam. "Apak ah

    sebabnya tidak dimulai juga ber main sepak r aga? Akan dinantikan terbenamnya matahari dulu, maka dimulai?"

    "Ah, kami sudah dar i tadi da tang," ujar jenang dengan hormat, "hanya menantikan Engku Muda saja lagi."

    "Mengapa tidak dimul ai saja dulu? Sungguh, jika tak ada saya rupanya takkan jadi permainan ini."

    Segala pen onton sud ah duduk pada tempatny a masin g-masing, yan g telah disediak an oleh pengurus medan itu sebelum bermain. Maka j enang pun pe rgilah be rsalam ke pada beberapa or ang penonton yang t erpandang, y ang m aksudnya tidak saj a memberi selamat dat ang, tetapi seolah-ol ah meminta izin juga, bahwa permainan akan dimulai.

    "Rupanya banyak juga orang datang dari jorong lain hendak bermain hari ini," ujar seor ang penghulu ketika bersalam dengan jenang.

    "Benar, Datuk," ujar jenang. "Sungguh, luar biasa ramainya sekali ini."

    Setelah jenang masuk k e tengah medan, maka segala

  • pemain pun datangl ah bersalam de ngan ho rmatnya, akan mengenalkan diri ma sing-masing. Kemudian seg ala pemain berdiri berkeliling, mem buat sebuah bundaran di medan itu. Jenang yang berdiri di ten gah medan, lalu melihat berkeliling, memperhatikan pemain yang berdiri di medan itu.

    "Engku Muda Kacak!" k ata jenang sekonyong-konyong, "Per-mainan akan kita mulai."

    Perkataan jenang yang demik ian itu sudah cukup untuk menjadi sindiran kepada pemain, agar segera memperbaiki ke-salahannya. Kacak kemal u-maluan, te tapi ap a hen dak dikat a-kan, karena di medan itu jenang lebih berkuasa daripad a d ia. Dengan muk a merah dan menggi git bibir karena malu dapat teguran jenang, Kacak melihat ke k iri-ke kanan, k e muka dan ke belakang, lalu me mperbaiki teg aknya. Segala p emain yan g lain in saf p ula akan arti s indiran itu, lalu mereka mem-perhatikan betul tidaknya tempat ia berdiri. Syukurlah hanya Kacak seorang yang tidak sempurna tegaknya di medan itu.

    Sesudahnya jenang memperbahasak an tamu, yaitu mem-berikan raga supaya disepakkan lebih dulu, permainan pun di-mulailah. Jenang menyepak raga , lalu berkata, "Bagian Engku Muda Kacak!"

    Maka Kacak pun bersiap menanti raga. Dengan tangkas, raga itu disepaknya tinggi ke atas, lalu berkata, "Bagianmu, Midun!"

    Midun ber siap serta memandang ke ar ah suara itu datang. Nyata kepadanya, bahwa yang berseru itu Kacak. D engan tidak menanti anak raga, lalu Midun mempertubi-tubikan sepakny a sampai sepuluh kali. Sudah itu disepakkannya pu la ke arah Kacak, lalu berkata, "Sambutlah kembali, Engku Muda!"

    Kacak melihat hal Midun deng an kep andaiannya itu tidak bersenang hati. Ia berkata dalam hatinya, "Berapa kepandaian-mu, saya lebih lagi dari engkau."

    Ketika raga tinggi melambung, ia memandang ke atas serta menganjur l angkah ke belakang. M aksudnya akan men cari alamat, dan hendak melo mpat s ambil menyepak raga, tetap i celaka! Ket ika i a ak an m enyepak; kakinya yang sebelah kiri tergelincir, l alu Kacak... bab, j atuh terenyak. Segala y ang main, baik pun si pen onton se muanya tersen yum sa mbil membuang muka. Mereka itu seakan -akan menah an tertawa-nya. Oleh karena itu, tak ada ubahnya sebagai oran g sakit gigi tertawa. Sebabnya, ialah karena orang segan dan takut kepada kemenakan Tuanku Laras itu. Wakt u Kacak terduduk, dan

  • warna muk anya itu pucat menahan sakit, seorang daripada mereka yang ma in itu b ernama K adirun berkat a, katanya , "Cempedak hutan!"

    Adapun Kadirun itu ialah teman Midun semasa kecil. Ia amat pandai membuat orang tertawa. Tak ada ubahnya sebagai alan-alan (badut) pada komidi. Jangankan mendengar perkataannya, melihat rupanya saja pun orang sudah hendak tertawa. Kadirun adalah seorang mud a ya ng s abar. Biarpun b agaimana juga diolok-olokkan or ang, ia tertawa s aja. M eskipun o rang marah kepadanya, tetapi manakala berhadapan dengan dia, tak dapat tiada tertawa. Memang sudah menjadi sifat padanya tabiat itu sejak ke cil. Hamp ir semua orang di ka mpung itu su dah mengetahui perangai Kadirun yang demikian.

    Kawan-kawan Kadirun waktu masih k anak-kanak dahulu, lebih kurang ada sepuluh orang yang hadir di san a. Mereka itu mengerti ap a mak sud Kadirun be rkata beg itu. Semuanya terkenang akan kejadian semasa mereka masih kecil itu, ketika menggembalakan kerbau di hutan. Karena itu tid ak tertahan lagi perut mereka itu hendak tertawa. Kesudahannya lepas jua, mereka tertawa gelak-g elak mengenangkan perb uatan ma sa dahulu.

    Kacak bert ambah pucat muka nya karena malu. Apalagi dalam permainan itu, ia dialahkan Midun. Tubuhnya berasa sakit te rjatuh. Pada pikiran Ka cak or ang t ertawa itu mengejekkannya. Sekonyo ng-konyong merah pad am muk anya. Darahnya mendidih, sebab marah. Maka diturut nya Kadiru n akan menanyakan, ap a maksud perk ataan " cempedak hutan" itu. Kadirun anak muda yang sabar itu menjaw ab katanya, "Tanyakan kepada Midun apa maksudnya, Engku Muda!"

    Mendengar perkataan itu, Ka cak makin meradang. Hatinya bertambah panas, lebih-lebih mendengar nama oran g yang dikatakan Kadirun itu, oran g yang tidak disuk ainya. Sejak kenduri di masjid, hatiny a suda h mulai ben ci kepada M idun. Dengan tidak berkata-kata lagi, lalu diturutnya Midun.

    Ketika ia sampai di hadapan Midun, kebetulan Midun sedang tersenyum. Pada pikiran Kacak menertawakannya. Ia tidak ber-tanya lagi, terus ditinjun ya. Midun mengelak, ia tak kena. Kacak menyerang berturut -turut, tetapi Midun selalu mengelak diri, sambil undur ke belakang. Kesudahannya Midun tersesak ke balai-bal ai dangau, l alu bertal ian. Kacak menyerbukan diri dengan deras. Midun melompat dan mengelak ke kiri. Karena

  • deras datang, tanganny a tert umbuk ke tonggak dangau. Tonggak dangau itu reba h, Kacak ter dorong ke da lam, di impit oleh atap dangau itu. Orang tertawa karena geli melihat kepala Kacak tersembul pada atap rumbia. Jenang lalu melompat akan melerai perkelahian itu. Makin disabarkan, makin keras Kacak hendak men yerang. Midu n sabar saj a, sedikit pu n tak ada terbayang hati marah pada mukanya.

    Setelah Kacak disabark an, Mi dun disu ruh oran g menerang-kan apa arti kata "cempedak hutan" yang dikatakan Kadirun itu. Midun mencari Kadirun dengan matanya di dalam orang banyak, akan menyuruh menerangkan arti perkataan itu. Tetapi ket ika perkelahian terjadi, Kadirun sudah melarikan diri karena ketakutan.

    Midun berka ta, katanya, "Kawan-kaw an saya te rtawa itu sekali-kali t idak menertawakan Engku Muda K acak. Tentu saja mereka itu tidak berani menertaw akannya. Mereka tertawa karena men genangkan perangainya semasa k anak-kanak. Dahulu wakt u kami kecil- kecil, pergi menggembal akan kerbau ke hutan. Samp ai d alam hutan, k ami duduk saja di atas punggung k erbau masing-masing. Samb il m emberi makan kerbau kami bernyanyi d an ber senda gurau se suka-suka h ati. Karena pekerjaan itu tidak berfaedah, melainkan menghabiskan hari saj a, saya ajak kawan-kawan mu fakat di baw ah sepohon kayu yang rindang. Saya kata kan kepadanya, daripad a ber-nyanyi, lebih baik kita mencari hasil di hutan itu. Kawan-kawan tidak mau, karena mereka taku t kerbaunya diserang binatan g buas. Mak a saya teran gkanlah kepada merek a itu bagaiman a cerita ayah saya tentang keinginan kerbau menjaga diri d alam hutan. Saya katakan ju ga, man akala kerbau diserang harimau misalnya, ti daklah akan t erjaga, sebab kita s emuanya m asih kanak-kanak.

    Mendengar saya men gatakan 'har imau', apala gi d i dala m hutan, kawan-kawan say a ketaku tan. Mereka mel arang saya menyebut nama itu sek ali lagi. Jika saya hendak menyebut juga, disuruhnya panggilkan saja 'inyi!' Perkataan kawan-kawan saya itu saya bantah pula. Sedangkan nama Allah disebut orang, istimewa na ma b inatang. Apala gi bi natang itu tidak ak an mengerti perkataan orang.

    Dalam pada saya bercerita itu, tiba-tiba kedengaran bunyi sebagai barang jatuh dua kali. Bunyi itu kedengaran tidak jauh daripada kami. K awan-kawan saya terkejut dan k ecut hatinya.

  • Pada persangkaan mereka, tak d apat tia da h arimau yan g melompat. Mereka itu duduk berdesak-desak, masin g-masing hendak ke tengah ak an melindungi d iri. Berimpit-impit tid ak bertentu lagu. Kelihatan tak ada ubahnya sebagai on ggokan kecil. Seorang pun tak ada y ang berani mengeluarkan per-kataan, karena lidahnya sudah ka ku dan mulut terkatup. Say a pun sudah tersepit di tengah-tengah, hampir t idak dapat bernapas lagi. Dengan segera saya terangkan, bahwa hal itu tak usah ditakutkan sebelum diperi ksa dahulu. Lalu sayapun pergi-lah ke arah bunyi itu datang, akan melihat apa yang menyebab-kan bunyi itu.

    Amboi, bunyi yang kami takutkan it u, kiranya 'cempedak hutan' yang baru jatuh. Keti ka itu timbullah pikiran say a hendak memperolok-olokkan kaw an-kawan. Saya ambil kedua cempedak it u, lalu saya berjalan pe rlahan-lahan ke tempat kawan-kawan say a. Setelah de kat, saya lemparkan kedua cempedak itu, sambil berseru, 'Koyak, makan cempedak hutan!'

    Mereka itu b erjeritan dan bersiap hen dak lari. Tet api kak i mereka itu tak dap at lagi d iangkatnya, sebab sudah kaku karena ketakutan. Sekonyong-ko nyong Maun berseru, katanya, 'Jangan lari, kawan, cempedak hutan kiranya.'

    Sudah itu berbagai-bagail ah senda gurau untuk men ghilang-kan ketakutan kami. Lebih-lebi h Kadirun yang membuat ulah ini, sel alu kam i per olok-olokan dengan ce mpedak hutan itu. Sakit-sakit perut kami te rtawa melihat tingkah lakunya yang amat menggelikan hati itu.

    Demikianlah kisah kami dengan cempedak hutan masa kami kecil-kecil itu. Jadi nyatalah kepada Engku Muda Kacak ataupun sanak-saudara yang lain, ba hwa ka mi ti dak menertawakan Engku Muda, melainkan tertawa mengenangkan perangai dahulu jua."

    Segala orang yang mendengarkan cerita itu jangankan diam, semakin jad i tertawanya. Amat gel i hati or ang mendengar cerita Midun itu. Kacak mendengar orang makin bernyala-nyala. Rasakan hendak ditelannya Midun ketika itu. Pada pikirannya, jangankan M idun mend iamkan tertaw a oran g, tetapi se akan-akan men cari-cari perk ataan ak an m enggelikan hati, sup aya orang mak in jadi tertaw a. Tetapi apa hendak di katakan, i a terpaksa berjalan dari tempat itu karena malu. Akan berkelahi sekali lagi, tentu tidak dibiar kan orang. Dengan pemandangan yang am at tajam kep ada Mid un, Kacak pun pulanglah ke

  • rumahnya. Permainan sepak raga dihentik an, karena hari sudah jauh

    petang. Mak a or ang di p asar itu pun pulanglah k e rumahnya masing-masing. Midun pulang p ula ke surau. Sepan jang jalan tampaktampak olehnya pemandangan Kacak yang amat dalam pengertiannya itu. Hat inya berdeb ar-debar, khaw atir k alau-kalau hal itu menjadik an tida k baik kepadan ya. Tetapi kemudian timbul pula pikirannya, dan berkata dal am hati, "Ah, tidak berutang tak membayar, tidak berpiutang tak menerima, masakan saya akan dimusuhinya. Karena perangai Kadirun saya akan dimusuhinya, tidak boleh jadi. Lagi pula masakan perkara yang sekecil itu akan menjadikan dendam kepada Kacak."

  • 2. Senjata Hidup

    TIDAK lama antaranya, perkelahian Kacak dengan Midun sudah tersiar ke seluruh kampung. Di lepau-lepau nasi dan pada tiap-tiap ru mah, or ang memperkatakan perkelah ian itu s aja. Percakapan itu hanyak pula yang dil ebih-lebihi orang. Y ang sejengkal sudah menj adi seh asta. Dari seorang makin bertambah-tambah jua. Ada y ang mengatakan, Kacak a mat payah d alam perkelah ian itu, sehingga minta-minta a ir. Ada pula yang b erkata, Midu n minta ampun, sebab takut kepada Tuanku Lar as, ma mak s i Kacak. Be rbagai-bagailah perkataan orang, ad a y ang be gini, ada p ula y ang begitu, semau-maunya saja, ak an mempe rtahankan or ang yang disuka i dan dikasihinya.

    Anak-anak lebih-lebih lagi. Mere ka it u berlari-lari pulang akan memberitahukan apa yang telah terjadi di pasar hari itu. Baru saja sampai di rumah, dengan terengah-engah karen a lelah berlari, ia mence ritakan perkelahian itu kep ada ibu dan adiknya. Ada pula y ang menjadikan pertengkaran dan per-kelahian kepada merek a itu, ketika mempercakapkan hal itu dengan teman-temannya. Sebabnya, ialah k arena anak-an ak murid Midun mengaj i mengatak an, gurunya yan g menang. Tetapi yang bukan murid mengatakan Kacak yang berani. Belum lagi terbenam matahari, mereka itu sudah dat ang ke surau. Di halaman sur au merek a itu duduk berkelomp ok-kelompok mempercakapkan kebera nian gurunya . Kadang-kad ang kecek-nya itu disertai pula den gan langkah kaki dan gerak tangan, meniru-niru bagaimana perkelahian itu terjadi.

    Tetapi orang yang be rdiri sama tengah dan melihat dengan matanya sendiri perkelahian itu, memuji kesabaran hati Midun. Begitu pula ketangk asannya men gelakkan serangan K acak, sangat men gherankan hati orang. Mereka it u semu anya menyangka, tak dap at tiad a Mi dun ahli silat, k alau tidak masakan sepandai itu benar ia mengalahkan serangan Kacak. Tetapi di antara orang banyak yang melihat perselisihan Kacak dengan Midun di pasar itu, ada pula yang amat heran memikirkan kejadian itu . Apal agi m elihat ke marahan h ati Kacak dan caranya menyerang Midun, menakjubkan hati orang. Pada p ikiran merek a itu, ma sakan se suatu se bab yang sed ikit

  • saja, m enimbulkan ama rah Ka cak yang hampir tak ada hingganya. Tentu saja hal itu ada ekornya, kalau tidak takkan mungkin demikian benar kegusaran hati Kacak kepada Midun.

    Memang sebenarnyala h pikiran orang yang demik ian itu. Sejak waktu masih k anak-kanak, sebelum mamak K acak men-jadi Tuanku Laras, Midun dan Kacak sudah bermusuhan. Ketika mereka masih kecil-kec il, acap kali terjadi pe rtengkaran, karena berl ainan kemau an. Hampir setiap bulan ad a-ada saja yang menyebabkan hingga merek a itu keduanya terpaksa berkelahi, m engadu kekuatan ma sing-masing. Teta pi setelah muda remaja dan telah berpiki ran, maka keduanya sa ma-sama menarik diri. Apalagi sejak mamak Kacak sudah menjadi Tuanku Laras, Midun telah menj auhkan diri darip ada Kacak, dan ia sudah segan saja kepada kemenakan raj a di kampung itu.

    Sekonyong-konyong ketika berd ua bel as di masjid, Kacak sudah mulai benci kepada Midun. Kebencian itu lama-kelamaan berangsur-angsur menjadikan dendam. Tidak saja karena waktu berdua belas itu Kacak menaruh sakit hati kepada Midun, tetapi ada pula beb erapa sebab yang lain yang tidak me nyenangkan hatinya. Pe rtama, Midun dika sihi orang ka mpung, dia tid ak, padahal ia k emenakan k andung Tuan ku Laras. Kedua, Kacak mendengar kabar angin, bahwa M idun sudah mendapat keputusan sil at daripad a Haji Ab bas, tetapi di a se ndiri minta belajar, tidak diterima ol eh Ha ji Abbas. Ketiga, da lam segala hal kalau ada permufak atan pemuda-pemuda, Midun selalu dijadikan ketua, tetapi dia disisihkan orang saja. Pendeknya, di dalam pergaulan di kampung it u, Kacak terpen cil hidupnya, seakan-akan sengaja ia disisihkan orang.

    Oleh karen a itu pada pikiran Kacak, tak dapat tiada sekaliannya itu perbuatan Midun semata-mat a. Sesungguhnya, jika t idak dipisahkan orang dal am pe rkelahian di pasar itu, memang ia hendak menewaskan Midu n benar-benar. Kebencian dalam hatin ya sudah mulai be rkobar. Dan lagi karena mendengar kabar Midun p andai bersiIat, dan dia sudah paham pula dalam ilmu st arlak, menimbulkan kein ginan pula kepadanya hendak mencobakan ketangkasannya kepada Midun.

    Sebermula akan si Midun itu, ialah anak seorang peladang biasa saja. Sungguhpun ayah Mi dun oran g peladang, tetapi pemandangannya sudah l uas dan pen getahuannya pun dalam. Sudah banyak negeri y ang ditempuhnya, dan telah jauh rantau

  • dijalaninya semasa muda. Oleh sebab lama h idup banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat, maka ora ng tua itu dapatlah memperbandingkan mana ya ng baik dan mana yan g buruk. Tahu dan mengertilah P ak M idun bagaimana caranya yang baik menjalankan hidup dalam pergaulan bersama. Dengan pen getahuannya yang demikian itu, d ididiknyalah anaknya Mid un dengan hemat c ermat, agar menjadi s eorang yang berbahagia kelak.

    Setelah Midun akil balig, timbullah dalam pikiran Pak Midun hendak meny erahkan anaknya itu belajar silat. Ia amat ingin supaya Midun menjadi seorang yang tangkas dan cekatan. Pak Midun merasa, bahwa silat itu bergu na benar unt uk membela diri dalam ba haya da n pe rkelahian. La in da ripada i tu, a mat besar faedah silat itu untuk kesehatan badan. Karena Pak Midun sendiri dahulu seorang pandai silat, in saf benarlah ia bagaimana k ebaikan pergerakan badan itu untu k menjaga kesehatan tubuh.

    Ketika Pak Midun dahulu hendak menyerahkan anaknya, dicarinyalah seorang guru yang tel ah termasyhur k epandaian-nya dalam ilmu silat. M aka demikian, menurut pikiran Pak Midun, jika t anggung-tanggung kepandaian guru itu, lebih baik tak usah la gi anaknya bel ajar s ilat. Seorang pun ta k ada yang tampak ole h Pak M idun, guru yang bersesuaian dengan pikirannya di ne geri itu. Lain daripada Haji Abbas, guru Midun mengaji dan saudar a seb apak dengan dia, tak ada yang ber-kenan pada pikir annya. Tetapi sayang, sudah du a tiga kali maksudnya itu dikatakan nya, se lalu ditolak saja oleh Haj i Abbas. Haji Abbas me mberi nasihat: supaya M idun diserahkan kepada Pend ekar Sutan, adik kandungnya sendiri. Dikatakan-nya, bahwa sudah tua tidak ku at l agi. Dan kepandaiannya bersilat pun boleh dik atakan hampir bersamaan dengan Pendekar Sutan.

    Maka diserahkanlah Midun belajar silat oleh ayahnya kepada Pendekar Sutan. Karena P ak Midun seorang yang tabu dan alif, tiadalah d itinggalkannya syarat-syarat aturan ber guru, me ski-pun tempat anaknya berguru itu adik sebapak dia. Pendekar Sutan dipersinggah (dib awa, dijamu) oleh Pak Midun dengan murid-muridnya ke ru mahnya. Sesudah makan- minum, maka diketengahkannyalah oleh Pak Midun syarat-syarat berguru ilmu silat, seba gaimana yang sudah dilazimkan orang di Minang-kabau. Syarat berguru silat itu ialah: beras sesukat, kain putih

  • sekabung, besi sekerat (pisau sebuah), uang serupiah, penjahit (jarum) tujuh, dan sirih pinang selengkapnya.

    Segala barang-barang itu sebenarnya kiasan saja semuanya. Arti dan wujudnya:

    Beras se sukat, gunanya akan dimakan guru, s elama m eng-ajari anak muda yan g hendak bela jar itu; se olah-olah m e-ngatakan: perlukanlah mengajarnya, janganlah dilalaikan sebab hendak mencari penghidupan lain.

    Kain putih sekabung, "alas tobat" namanya; maksudnya dengan segal a putih hat i dan tulus an ak muda itu menerima pengajaran; samalah dengan kain itu putih dan bersih hati anak muda itu menerima b arang ap a yang diaj arkan guru. Ia akan menurut suruh dan menghentikan tegah. Dan lagi mujur tak boleh diraih, malang tak boleh ditolak, kalau sekiranya ia kena pisau atau apa saja sedang bela jar, kain itulah ak an kafannya kalau ia mati.

    Besi sekerat (pisau sebuah) itu maksu dnya, sepert i senjata itulah taj amnya pen gajaran yang diterimany a dan lagi janganlah ia dikenai senjata, apabil a telah tamat pengajarannya.

    Uang seru piah, ialah untuk pe mbeli te mbakau yang dii sap guru waktu melepaskan lelah dalam mengajar anak muda itu, hampir searti juga dengan beras sesukat tadi.

    Penjahit tujuh, artinya sepekan tujuh hari; hendakl ah guru itu tcru s mengajarnya, dengan pengajaran yang tajam seperti jarum itu. Dan me ski t ujuh mac amnya ma ra b ahaya yan g tajam-tajam menimpa dia, mudah-mudahan terel akkan oleh-nya, berkat pengajaran guru itu. Peng ajaran guru itu menjad i darah daging hendaknya kepada nya, jangan ad a yang meng-halangi, terus saja seperti jarum yang dijahitkan.

    Sirih pinang selengkapnya, artinya ialah akan dikunyah guru, waktu ia menghentikan l elah tiap-tiap sesudah mengajar anak muda itu, dan lagi sirih pinan g itu telah menj adi adat y ang biasa di tanah Minangkabau.

    Setelah beberapa laman ya Mi dun belajar silat kepada Pendekar Su tan, mak a t amatlah. Su ngguhpun demik ian P ak Midun belum lagi bersen ang hati . Pada pikirannya kepandaian Midun bersilat itu belum lagi mencukupi. Yang dikehendaki Pak Midun: belajar sampai k e pulau, berjalan sa mpai ke batas. Artinya silat Midun seboleh-bolehnya haruslah berkesudahan atau mend apat keputus an dari pada seor ang ah li silat yan g

  • sudah termasyhur. Oleh sebab itu, ingin benar ia hendak menyuruh menambah pengajaran Midun kepada Haji Abbas.

    Di dalam ilmu sil at, memang Haji Abbas sudah termasyhur semana-mana di seluruh tanah Minan gkabau. Sebelum ia pergi ke Mekkah, amat banyak muridnya bersilat. Di antara muridnya itu kebanyak an orang d atang da ri negeri lain. Tidak sedik it guru-guru sil at yang datang me ncoba ketangkasan Haji Abbas bersilat, semuanya kalah dan mengaku bahwa silat Haji Abbas sukar didapat, m ahal dic ari di tan ah Minangk abau. Karen a keahliannya di dalam ilmu si lat itu, kendatipun ia tidur nyenyak, jika dile mpar dengan puntung apiapi saja, tak dapat tiada barang itu dapat ditangkapnya.

    Tidak hal yang demik ian itu saja yang memasyhurkan nama Haji Abbas perkara silat, tetapi ada lagi beberapa hal yang lain. Semasa muda, ketika Haji A bbas d an Pak Midun berdagan g menjajah tanah Minangkabau, ti dak sedikit coba an yang telah dirasainya. Acap kali ia d isamun oran g di tengah perjalanan, diperkelahikan orang beramai-ramai. Tapi karena ketangkasan-nya, segala bahaya itu dapat di elakkan Haji Abbas. Lebih-lebih lagi yang makin menambah harum nama Haji Abbas, ketika ia disamun orang Baduwi antara Jeddah dan Mekkah waktu dalam perjalanan k e Tanah Suci. Lebih dari sepuluh orang, orang Baduwi yang memakai senjata tajam hendak merampoknya; dengan berteman hanya tiga orang saja dapat ditewaskannya. Sungguhpun berteman boleh dikat akan Haji Abbas seorangl ah yang berkelahi dengan Baduwi itu. Tak dibiarkannya sedikit jua segala Baduwi itu menyerang kawannya.

    Dalam ilmu akhirat pun Haji Abbas adalah seoran g ulama besar. M emang sud ah menjadi sifat pad a Haj i Abbas, jik a menuntut sesuatu il mu berpantang patah di tengah. Sebelum diketahuinya sampai ke urat-uratnya, belumlah ia bersen ang hati. Muridnya mengaji amat banyak. Baik anak-anak, baik pun orang tua, semuanya ke surau Haji Abbas belajar agama. Tidak orang kampung itu saja, bahkan banyak orang yan g datang dari negeri lain belajar men gaji kepada Haji Abbas. Oleh karena Haji Abbas adalah seorang tua, yang lubuk akal gudang bicara, laut pik iran tambunan budi, maka ia pun dimalui dan ditakuti orang di kampung itu.

    Keadaan yan g dem ikian i tu diketahui Pak Midun belaka. Itulah tali sebabnya maka besar benar kein ginannya hendak menambah pengajaran Midun ber silat kepada Haji Abbas.

  • Karena Haj i Abbas sel alu menolak permintaan Pak Midun, dengan tipu muslihat dapat juga diikhtiarkanny a Midun belajar silat dengan dia.

    Demikianlah ikhtiar Pak Midun: Mula-mula P ak Midun bermufak at den gan Pendekar Sutan.

    Dikatakanlah kepada Pendekar Sutan, bahwa ia hendak men ipu Haji Abb as. Sebabnya ial ah ka rena Midun ingin h endak men-dapat se suatu dar i Haj i Abbas, tet api selalu d itolaknya saja. Maka dicerit akannyalah oleh Pa k Midu n bagaiman a tipu y ang hendak disuruh lakukannya kepada Midun.

    "Biarlah, Pendekar Sutan! " ujar Pak Midun, "bukankah silat Midun sek arang sudah boleh di bawa ke teng ah. Tid ak ak an gampang l agi or ang da pat mengen alnya. Meskip un dua-tiga orang me mpersama-samakan dia, bel um tentu lagi i a akan roboh. Oleh sebab itu, ketika Haji Abbas sedang tidur nyenyak di surau, kit a suruh lempar oleh Midun dengan ranting k ayu. Manakala Haji Abbas terkejut dan men angkap ranting kayu itu, saat itulah Midun harus menyerang Haji Abbas."

    "Saya pun sesuai den gan pi kiran Pak Midun itu!" jawab Pendekar Sutan. "Tetapi hal ini tidak boleh kita permudah saja. Boleh j adi M idun dapat dikenalnya, karena Haji Abbas guru besar dan sudah termasyhur silatnya. Sungguh, sebenarnya saya agak khawatir memikirkannya."

    "Tak usah dikhawatirk an. Hal itu pun sudah saya pikirkan dalam-dalam. Tentu tidak akan k ita biarkan Midun seorang diri saja. Kita h arus sert a p ula menemaninya, ak an mengamat-amati kalau -kalau ada bahaya . Tetapi hen daklah kit a bersembunyi melihat kejadian itu."

    "Kalau demikian, baiklah," kata Pendekar Sutan pula sambil tersenyum. "Saya pun ingin benar hendak melihat k etangkasan Haji Abbas, sebab dari dahulu sa ya hendak belajar kepadanya, selalu dit olaknya pula, hingga terpaksa s aya be rjalan ki an kemari mencari guru silat."

    Pada su atu hari, sesudah sembahy ang lohor, kelihatanlah Pak Midun, Pendekar Sutan dan Mi dun di surau Haji Abbas. Pak Midun dan Pendekar Su tan bers embunyi di surau kecil d i sebelah. Waktu itu Haji Abbas sedang tidur nyenyak di mihrab, karena sudah larut malam pulang dari mendoa semalam. Midun pun bersiaplah, lalu melempar Haji Abbas dengan ranting kayu. Haji Abbas terkejut dan menangkap ranting kayu itu. Ketika itu Midun mel ompat dan dengan tang kas dise rangnya Haji Abbas.

  • Maka terj adilah pada k etika itu... ya, perkel ahian bapak dengan anak. Tangkap-menangkap, empas-mengempaskan, tak ubahnya sebagai orang yang berkelahi benar-benar.

    Setelah beberapa lamany a dengan hal yang demik ian itu, sekonyong-konyong Midun terempas agak jauh. Jika orang lain yang tak pandai bersilat terempas demikian itu, tak dapat tiada pecah kepal anya. Tetapi karena Midu n pandai silat pula, tak ada ubahnya sebagai kucing diempaskan saja. Ketika Haji Abbas bersiap akan menanti serangan, tampak olehnya Midun. Haji Abbas meng gosok mat anya, seolah-olah ia t idak percaya kepada matanya. Ia sebagai or ang be rmimpi, dan am at heran karena kej adian itu. Setelah beberapa l amanya, nyatalah kepadanya bahwa sebenarnyalah Midun yang menyerang dia.

    "Sudah bertukarkah pikiranmu, Midun?" ujar Haji Abbas tiba-tiba dengan marah. "Hendak membunuh bapakmukah engkau?"

    "Tidak, Bapak!" jatvab Midun dengan ketakutan. "Pikiran saya masih sehat; ayah dan Bap ak Pendekar ada d i surau kec il di sebelah."

    "O, jadi mereka itukah y ang menyuru h engkau melakukan pekerjaan ini?" kata Haji Abbas pula dengan sangat marah. "Apa maksudnya b erbuat de mikian in i? B osankah i a kep adamu atau bencikah kepadaku, supay a kita salah seorang binasa? Pan ggil dia, suruh datang keduanya kemari! Terlalu, sungguh terlalu!"

    Tidak lama antaranya Pak Midun dan Pendek ar Sutan naiklah ke surau. Baru saja ia sa mpai, Haji Abb as berkata dengan marahnya, "Perbuatan apa ini yang Pak Mid un suruhkan kepada anak saya? Apakah denda m kamu kedu a yang tid ak lepas, maka menyuruh l akukan perbuatan in i kepada M idun? Sungguh terlalu!"

    "Janganlah terburu nafsu saja Haji marah," ujar P ak Midun dengan agak ketakutan. "Kejadian ini ialah karen a kesal ahan Haji sendiri."

    "Kesalahan saya?" jawab Haji Abbas dengan heran. "Apa pula sebabnya say a yang Pak Midun salahkan? Buk ankah perbuat an Pak Midun ini sia-sia benar?"

    Ketika itu tampaklah kepada Pak Midun, marah Haj i Abbas sudah ag ak s urut. Pak Midun berkata sambil ber senda-gurau, "Selalu saya diusik anak Haji, supay a ia d apat menambah kepandaiannya dengan Haji. Be berapa kal i saya disuruhnya mengatakan kepada Haj i, karena ia in gin benar hendak men-dapat sesuatu tentang ilmu silat daripada Haji. Tetapi tiap-tiap

  • permintaannya itu s aya sa mpaikan, selalu saja Haji t olak. Kesudahannya terjadilah yang demikian ini. Sekarang kami yang Haji salahkan. Haji kat akan, apa dendam kami yang tak lepas. Kalau Haj i ingin hendak mencob a, berdirilah! M emang s aya sudah ingin hendak bersilat dengan Haji!"

    Pak Midun berdiri, l alu mengendangkan t angan dan melangkahan kaki. Sambil menari ia berkata pula dengan tertawa, katanya, "Bangunlah, Haji, menga pa duduk juga? Ah, jadi muda lagi perasaan saya"

    Melihat kelakuan Pak Midun ya ng jenaka itu, marah Haji Abbas pun surutlah. Hatinya tenang bagai semula, dan tertawa karena geli hatinya. Pak Midun duduk kembal i, lalu bermufakatlah ketiga bapak Midun itu. Maka dikabulkanlah oleh Haji Abbas permintaan Midun hendak belajar dengan dia.

    Haji Abbas mengajar Midun amat berlainan dengan Pendekar Sutan. Midun diajar Haji Abbas tid ak pada suatu tempat atau sa saran. Melainkan, tiap-tiap pulang dari mendoa atau pulang dari berjalan-jaIan, pada tempat yang sunyi, Midun sekonyong-konyong d iserang oleh Haji Abbas. Maka bersilatlah mereka itu d i sana beber apa lamanya. Demik ianlah diperbuat Haji Abbas ada enam bulan, lamanya. Setelah itu barulah Midun diberi keputusan silat oleh Haji Abbas.

    Pertama, Midun dibaw a Haji Abbas b ersilat pad a sebidang tanah yang jendul dan berbonggol. Di situ sama-sama berikhtiar mereka akan mengena i mas ing-masing. M aksud Haji Abb as membawa M idun bersilat pada tanah yang demikian, ialah supaya kukuh ia berdiri, jangan tangkas pada tanah yang datar saja.

    Kedua, atas papan, misalnya di ru mah yang berl antaikan papan. Bersilat di tempat itu sek ali-kali tidak boleh berbunyi langkah kaki. Sekalipun teremp as, h endaklah sebagai kucing diempaskan saja, tidak kera s bunyinya dan tidak boleh tertelentang.

    Ketiga, bersilat di dalam bencah atau pada se bidang tanah yang sudah dilicinkan. Midun tidak boleh jatuh, t etapi haru s menangkis serangan guru.

    Keempat, pada se bidang tanah yang diber i bergar is bundaran. M idun haru s bersilat den gan guru tidak boleh melewati garis, tetapi guru be rusaha, supaya Midun melewat i garis itu.

  • Kelima, bersilat di dalam gelap dan hendaklah dapat mengalahkan seran gan orang yan g memakai s enjata taja m. Bagian yang kelima inil ah ya ng sukar. Bagi Midun belu m sempurna benar dapatnya. Sebabnya, karena pad a bagian ini, haruslah tahu lebih dahulu gerak, angin, dan rasa. Hal itu tidak dipelajari, melainkan timbul sendiri, setelah beberapa lamanya pandai bersilat.

    Mengingat ke adaan yang demikian itul ah m aka Pak M idun amat terkej ut dan kha watir mendengar kab ar perkelahian anaknya den gan Ka cak. Dalam hat inya am at ma rah kepad a anaknya, karena yang dilawan Midun berkelahi itu kemenakan Tuanku Laras. Tetapi setelah mendengar kabar dari Maun, yang kebetulan lalu di muka rumahnya hendak ke surau, agak senang hatinya. Sungguhpun demikian, sebelum bertemu dengan Midun belum sen ang benar h atinya. Pak Midun ingin hendak men-dengar kabar itu daripada anaknya sendiri. Rasakan dicabutnya hari men anti waktu magrib habis, karena waktu itu anaknya pulang makan. Tegak resah, duduk pun gelisah, sebent ar-sebentar ia melihat ke jendela, kalau-kalau Midun datang.

    "Maun, suruh pulang anak-anak itu semua!" kata Haji Abbas. "Katakan kepada mereka itu, malam in i tidak mengaji. Malam besok saja suruh datang. Saya dengan Midun akan pergi mendoa malam in i. Engkau tinggal di surau dan kalau ada orang menanyakan kami, katakan kami pergi mendoa ke rumah Pakih Sutan."

    Sesudah sembahyang magrib, Haji Abbas dan Midun turunlah dari surau. S ebelum pergi mendoa, l ebih dahulu mereka itu singgah ke rumah Pak Midun. Setelah sudah minum dan mengisap rokok sebat ang seorang, Haji Abbas pun berkata, katanya, "Betulkah tadi engkau berkelahi dengan Kacak? Belum cukup sebulan engkau tamat be rsifat sudah berkelahi. Itu pun yang engkau lawan bukan sembarang orang pula."

    "Tidak, Bapak, tapi sudah umpama berkelahi juga namanya; bukan saya yang salah, melainkan dia," jawab Midun dengan ragu-ragu, se bab ia s endiri mer asa tid ak ada berk elahi. Akan dikatakannya berkelahi, ia tidak ada meninju Kacak, melainkan Kacak yang menyerang dia.

    "Ganjil ben ar jaw abmu! Apa m aksudmu men gatakan umpama berkelahi itu?"

    Midun melihat kedua bapaknya itu sebagai tidak bersenan g hati mendengar jawabnya. Tamp ak dan nyata kepa danya pada

  • muka merek a itu kekhawatiran atas kejadian hari itu. Maka Midun menerangkan dengan pa njang lebar asal mula per-selisihannya dengan Kacak waktu bermain sepak raga. Satu pun tak ada yan g dilampau inya, diterangkannya sejel as-jelasnya. Mendengar perkataan Midun, lega lah hati kedua bapaknya itu. Apalagi kete rangan itu, bers esuaian dengan berita orang kepada mereka, yang melihat se ndiri kejadian petang itu. Tidak lama kemudian Haji Abbas berkata pula, katanya,

    "Meskipun en gkau tid ak b ersalah, tapi percay alah engkau, bahwa kejadian petang ini tidak membaikkan kepada namamu. Biarpun tidak salahmu, t api ka ta orang keduanya salah. Tak mau bertepu k sebelah tangan. Yang akan datan g saya harap jangan hendaknya terjadi pula macam ini sekali lagi. Saya tidak sudi melihat orang suka berkelahi. Kebanyakan saya lihat anak-anak muda seba gai engkau ini, kalau sudah berilmu sedikit amat sombong dan c ongkak. Tidak ber pucuk di at as enau lagi. Pikirnya, tak ada yan g lebih daripada dia. Lebih-le bih kalau ia pandai ber silat. Dicari- carinya sel isih supay a ia berkelah i, hendak memperlih atkan kecekatann ya. Salah-salah sedikit hendak berkelahi saja. Begitulah yang kebanyakan saya lihat.

    Padamu kami harap jangan ad a tab iat yang demik ian. Hal itu se mata-mata mencelakakan d iri sendir i. Tid ak ada yan g selamat, binasa juga akhir kela knya. Daripada sahabat kenalan kita pun terj atuh pula. Contohnya ilmu padi, kian berisi kian runduk. Begitulah yang k ami su kai dalam pe rgaulan bersama. Satu pun tak ada fae dahnya meme gahkan diri, he ndak me m-perlihatkan pandai be gini, tahu be gitu. Asal t idak akan merusakkan kesopanan diri, d alam p ercakapan atau tingk ah laku, lebih baik merendah saja. Bukanlah hal itu menghabiskan waktu saja. Pergunakanlah waktu itu bagi yan g mendatangkan keselamatan dan keuntungan dirimu.

    Berani karena benar, takut karena salah. Akuilah kesalahan itu, jika sebenarnya be rsalah. Tetapi perlihatkan keberanian, akan menunjukkan kebenaran. Anak muda biasan ya lekas naik darah. Hal itu seboleh-bolehny a ditahan. Dalam segal a hal hendaklah berlaku sabar. Apalagi k alau dit impa malapetaka, haruslah diterima dengan tulus ikhlas, tetapi bil amana perlu janganlah u ndur baran g setapa k jua pun; itulah tandanya bahwa kita s eorang laki-laki. Begitu pula halnya dengan hawa nafsu. Hawa nafsu itu tak ada batasnya. Dialah yang kerap kali menjerumuskan orang ke dalam lembah kesengsaraan. Jika tak

  • pandai mengemudikan hawa nafs u, alamat badan akan bin asa. Jika diturutk an hawa nafsu, ma u ia sampai ke l angit y ang kedelapanjika ada langit yang kedel apan. Oleh karena itu, biasakan dir i me mandang ke bawah, jangan selalu ke ata s. Hendaklah pandai-pandai me- megang kendali hawa nafsu, supaya selamat d iri h idup di dunia ini. Pik ir itu pelita hat i. Karena itu pekerjaan yan g hendak dilakukan, pik irkan dalam-dalam, timbang dahulu buruk baiknya.

    Lihat-lihat k awan seiring, ka ta oran g. Dalam pergaulan hidup hendaknya ingat-ingat. Jauh i segala percederaan. Bercampur dengan orang alim. Tak d apat tiada kita alim pula. Bergaul dengan pemaling, sekurang-kurangnya jadi ajar. Sebab itu pand ai-pandai men cari sahabat k enalan. Jangan dengan sembarang orang saja berteman. Kerap kali sahabat itulah yang membinasakan kita. Dar ipada be rsahabat dengan seribu o rang bodoh, lebih baik bermusuh dengan seorang pandai.

    Nah, s aya ka takan terus terang kepa damu! Engkau adalah seorang anak muda yang cekatan. Budi pekertimu baik. Dalam segala hal engkau raj in dan pandai. Selama ini belum pernah engkau mengecewakan hati ka mi. Segala pekerj aanmu boleh dikatakan selalu menyenangkan hati kami. Tidak kami saja yang me muji engkau, ba hkan or ang kampung ini pun san gat memuji perangaimu. Oleh karena itu, peliharakanlah namamu yang baik selama ini. Pengetahuanmu untuk dunia dan akhirat sudah memadai. Tentu engkau lolah dapat memahamkan mana yang baik dan mana yang buruk wkianlah nasihat saya.

    Midun tepekur mendengar nasihat Haji Abbas itu. Diper-hatikannya dengan sungguh-sungguh. Satu pun tak ada yang dilupakannya. Masuk benar-benar nasihat itu ke dalam hat i Midun. Kemudian M idun berkata, katanya, "Saya minta ter ima kasih banyak -banyak ak an nas ihat Bapak itu. Selama hayat dikandung badan takk an saya lup a-lupakan. Segala pengajaran Bapak, set itik menjadi laut, se kepal menjadi gun unglah bagi saya hendaknya. Mudah-mudahan segala nasihat Bapak itu men-jadi darah daging saya."

    "Nasihat bapakmu itu sebenarnya," u jar Pak Midun pula, ingatlah dirimu yang akan datang. Siapa tahu karena Kacak tak dapat mengenai engkau, perkara itu menimbulkan sakit hat i kepadanya. Bukankah hal itu boleh mendatangkan yang t idak baik. Insaflah engkau, pikirkan siapa kita dan siapa orang itu."

    Setelah itu maka Haji Abbas dan Midun pergilah mendoa.

  • 3. Dimusuhi SUDAH umum pada orang ka mpung itu, man akala ada pekerjaan b erat, suk a bertolong-tolongan. P ekerjaan y ang dilakukan dengan upah hampir tak ada. Ap alagi di dala m bahaya, misalnya kebakaran, mere ka itu tidak sayang kepada dirinya untuk menolong orang sekampung. Tidak di kampung itu saja, melainkan di seluruh tanah Minangkabau, boleh disebutkan sudah turun -temurun pada anak ne geri, suk a bertolong-tolongan itu. Misalnya di dalam h al ke sawah, mendirikan rumah, dan lain-lain pekerjaan yang berat.

    Musim menyabit sudah hampir datang. Ketika itu tidak lama lagi har i akan puasa. Setiap har i tidak putus-putusnya bend i membawa orang da ri Bukittinggi, berh enti di p asar kampung itu. Mereka itu baru pul ang, kar ena sudah bebe rapa tahun lamanya berdagan g mencari pen ghidupan di negeri orang. Karena itu h ampir set iap hari oran g ram ai di p asar. Banyak orang men anti kaum kelu arganya yang baru dat ang. Tiap-tiap bendi kelihatan dari jauh, hati mereka itu harap-harap cemas, kalau-kalau di atas bendi itu sa nak, mamak, adiknya, dan lain-lain.

    Dalam beberapa hari saja kampung itu sudah ramai, karena orang yang pulang merantau itu. Lain tidak yang dipercakapkan orang, hal orang yan g baru p ulang saja. Begitu pula yang datang, menceritakan penanggungannya masing-masing, selama bercerai de ngan kaum keluargany a. Bahkan menceritakan keadaan negeri tempatnya berdagang itu, tidak pula dilupakan-nya. Tidak lama kemudian kedengaranlah si A yang pulang dari negeri Anu, sudah membeli saw ah untuk adik dan ibunya. Si B yang pulang dari negeri Anu pula, su dah membuatkan rumah untuk familinya dan lain -lain. B ermacam-macam kedengaran, banyak di antara merek a itu yang melekatkan uang pen-cahariannya kepada barang yang baik bakal hari tuanya kelak. Hal itu sangat men arik hati ke pada oran g yan g tinggal di kampung, ingin hendak pergi merantau pula. Tetapi ada pula yang misk in dan melarat pulang masa itu. Malah an ada yan g inembawa p enyakit dar i negeri o rang. M ereka yang demik ian itu, tentu saja karena ceroboh dan boros di negeri orang. Tidak hendak memikirkan h ari tua, hidup boros dan ban yak pelesir

  • memuaskan hawa nafsunya. Pada suatu malam Pak Midun berk ata kepada anaknya,

    "Midun! berit ahukanlah k epada kawan-kawanmu, bahwa hari Ahad yang akan dat ang ini kita ak an mengirik padi di s awah. Begitu pula kepada Pen dekar Sutan dengan murid-muridnya. Orang lain yang engkau rasa patut dipanggil, panggil lah! Sekali ini b iarlah kita memotong kambing untuk penjamu orang yang datang mengirik ke sa wah ki ta. Saya rasa takkan berapa bedanya menyembelih kambing dengan memb eli daging d i pasar."

    "Engkau pula, Polam," k ata Pak M idun sambil berpalin g kepada istrinya, "katakanlah kepada kaum keluarga, bahwa kita akan mengirik padi h ari Ahad itu. Ipar besan yang patut diberi tahu, orang sekampung yang akan dipanggil untuk mengirai dan mengangin padi dan orang-oran g yang akan men olong kerj a dapur. Hal itu semuanya pekerjaanmu."

    Ibu dan anak itu menganggukkan kepala, membenarkan per-kataan suami dan bapaknya. Kemudian Midun berkata, "Karena kita akan memotong kambing, tidak baikkah jika kita ramaikan kerja itu dengan puput, salung, dan pencak sekadarnya, Ayah?"

    "Hal itu leb ih baik engkau mu fakati dengan mamakmu, Datuk Paduka Raja. Saya tela h memberitahuk an kepadanya, hanya akan mengirik padi hari Ahad saja. Jika se pakat dengan mamakmu, apa salahnya, lebih baik lagi."

    "Baiklah, Ay ah! Sekarang juga saya cari beliau. Sudah itu saya pergi kepada Bapak Pendekar Sutan."

    Hari Ahad pagi-pagi, Midun sudah memikul tongkat pengirik padi ke sawah. Sampai di sawah iapun menebas tunggul batang padi untuk orang mengirik. Setelah it u dibuatnya pula sebuah dataran untu k orang bermain pencak, berpuput-salung, dan sebagainya. Maka dike mbangkannyalah tikar te mpat or ang mengirik. Su dah itu d iturunkannya s eonggok de mi seonggok padi itu daripada timbunannya.

    Tidak lama antaranya kelihata nlah orang datang ke sawah orang tua Midun. Berduyu n-duyun, sebondong-sebondong amat banyaknya. Segala orang itu dengan tertib sopan diterima oleh Midun beserta bapaknya, lalu dipersilakannya duduk dahulu ke tikar yang t elah disediakan untuk penerima tamu. Dengan hormat, Midun meletakkan cerana tempat sirih di muka o rang banyak. Rokok yang sudah disediakannya untuk itu, tidak pula dilupakannya.

  • Setelah bebe rapa l ama mereka itu ber cakap-cakap ini dan itu, mak a dimulail ah mengirik padi. Midun kerjan ya hanyalah mengambil padi y ang sudah diirik orang. Perempu an-perempuan sibuk mengirai jer ami y ang su dah d iirik. A mat ramai orang di sawah M idun. Sorak dan senda gurau orang-orang muda tidak ket inggalan. Tertawa dan cu mbu tidak kurang. Suka dan bersen ang hati benar rupanya orang mengirik padi di sawah Midun yan g baik hati itu. Bunyi hentam orang mengirik ak an menyataka n, bahwa pa di yang di iriknya sudah habis, seba gai or ang menumbuk padi. Belum tinggi matahari naik, selesailah diirik padi setimbunan besar itu.

    Sesudah itu maka segala orang itu dip ersilakan oleh M idun duduk menghentikan lelah ke medan te mpat orang memencak. Sudah mak an minu m, lalu dimulai pu la membunyikan salung dan puput yang disertai d engan nyanyi. Amat merdu bunyinya. Kemudian or ang ber andai, ber mencak, menar i p iring, dan sebagainya. Sementara itu, orang-orang perempuan mengangin padi jua, sambil menonton. Demikianlah halnya, hingga padi itu selesai diirik dan diangin orang. Setelah padi itu dimasukkan ke sumpit, permainan berh enti. Peralat an kecil itu pindah ke rumah. Wakt u mereka itu akan pulang ke rumah Pak Midun, pada bahunya masing-masing terletak sesumpit padi yang ak an dibawa ke lumbung. Sepanjang jalan, mereka itu bersalung dan berpuput jua, sambil bersenda gurau dengan riuhnya.

    Tidak jauh dari sawah orang tua Midun, ada pula, saw ah istri Kacak. Luas kedua sawah itu hampir sama. Kebetulan pada sawah istri Kacak, hari itu pula orang mengirik padi. Tetapi ke sawah istrinya tidak berapa oran g datang. Yang dat ang itu pun kebanyakan masuk b ilangan keluarganya juga. Kendatipun ada beberapa orang la in, ny ata p ada m uka or ang i tu, bahwa mereka han ya memandang karena sawah istri kemenakan Tuanku Laras saja. Mengirik ke s awah istr i Ka cak itu adal ah pada p ikirnya sebagai menjal ankan rodi. Di sawahnya tidak kedengaran orang bersorak, apalagi bersuka-sukaan. Mereka itu bekerja den gan muka muram s aja k elihatannya. Oleh orang bekerja kurang ber senang hati dan tidak seberapa pula, tidak dapat disud ahkan mengirik pada hari itu. Terpaksa haru s disambung pula pada keesokan harinya.

    Melihat orang ramai di sawah Midun, Kacak sangat iri hat i. Bencinya kepada Midun semak in berkobar. Apalagi mendengar sorak dan senda gurau orang di sawah Midun, amat sak it hat i

  • Kacak. Hatin ya sangat panas, hingga men imbulkan maksud jahat. Maka Kacak berk ata dal am h atinya, "J ika dibi arkan, akhirnya M idun mau men jadi raja di kampung ini. Kian seha ri kian bertambah juga temannya dan orang pun makin banyak yang suk a k epadanya. Orang ka mpung tua muda, laki-lak i perempuan kasih sayang kepadanya. Malahan dia dihormati dan dimalui orang pula. Hampir sama horm at or ang kepad a mamakku Tu anku Lar as dengan kepada Midun. Padahal ia adalah seorang anak peladang biasa saja.

    Saya se orang k emenakan T uanku Laras la gi b angsawan d i kampung in i, tidak demikian d ihormati orang. Kenalan saya tidak sebe rapa. Oran g kampung hampir tak ada yang suka kepada saya. Hal itu ny ata, kalau orang bertemu di jalan dengan saya. Seakan-akan dicarinya akal supaya ia dapat meng-hindarkan diri. Sekarang nyat alah kepadaku bahwa Midunlah rupanya yang menyebabkan hal itu. Ka rena dialah maka orang kampung benci kepadaku. Lihatlah buktinya, ke sawahnya amat banyak orang datang, tet api ke sawah istr iku tidak seber apa. Mulai dari sekarang ia kupandang musuhku.

    Sayang saya tidak dapat me ngenainya dalam perkelahian tempo hari, karena orang banyak. Jika dapat, sebelum muntah darah, tidaklah saya hen tikan. Saya tanggung, kalau hanya macam si Midun itu, sekali saj a saya masuki dengan starlakku, membuih air liurnya ke luar. Pe dih h atiku tid ak dapat saya mengenainya jika t idak t ewas ia oleh ku, saya berguru st arlak sekali lagi.

    Biarlah! Tidak akan terla mpau waktunya. Pada suatu masa, tentu akan dapat juga saya membalasnya s akit hati saya kepadanya. Ingatingat engkau, MidunP Tak dapat t iada engkau rasai juga bekas tanganku ini, bi arpun engkau sudah mendapat pelajaran dari Haji Abbas. Kita adu n anti silat mu itu dengan starlakku. Lagi pul a tidakkah en gkau ketahui bahwa di sin i kemenakan Tuanku Laras, boleh bersutan di mata, berada di hati? Tidakkah engkau in saf, bahwa di sini ke menakan raja di kampung in i, boleh merajalela berbuat sekehendak hati? Aha, rupanya dia mau tahu siapa saya."

    Sejak hari itu Kacak sangat be nci kepada Midun. la sudah berjanji den gan dirinya, akan meng ajar Midun pada suatu waktu. Makin sehari makin bert ambah bencinya. Bila bertemu dengan M idun di j alan, meskipun dit egurnya t idak disahuti Kacak. Adakalanya ia mel udah-ludah, akan menunj ukkan benci

  • dan jijiknya kepada M idun. Ka cak selalu mencari-cari jal an, supaya ia dapat berkelahi dengan Midun. Dengan kiasan itu Midun maklum atas kebencian Kacak kepadanya. Tetapi ia amat heran, apa sebabnya Kacak jadi begitu kepadanya. Padahal ia merasa belu m ber salah k epada ke menakan Tuank u Laras itu. Dalam perkelahian waktu bermain sepak raga pun, ia tidak ada mengenai Kacak. Dan lagi hal itu bukan karenany a, melainkan tersebab ole h Kadirun. K emudian timbul pula pik iran Midun, boleh jadi K acak meludah-ludah itu tidak disen gajanya. Oleh sebab i tu ti dak d ihiraukan amat oleh Midun. T idak s edikit jua masuk pada pikirannya, bahwa Kacak akan memusuhinya.

  • 4. Membalas Dendam PADA su atu hari, pasar di kamp ung itu sangat ramai. Dari segala tempat banyak o rang datang. Ada yang berbelanja, ada pula yang menjual hasil tanamannya. Saudagar- saudagar kecil banyak pula datang dari Bukittin ggi ke pasar itu. Mereka per gi menjual k ain-kain dan ada pula yan g membel i hasil tanah. Tidak heran pekan seramai itu, ka rena tak lama lagi hari akan puasa. Peka n sedang ra mai, or ang wdang sibuk berjual-beli, sekonyong-konyong kede ngaran te riak or ang mengatakan, "Awas, Pak Inuh lepas! Pak Inuh lepas! Dia membawa pisau!"

    Orang di pasar be rlarian ke san a ke mari. Mereka l ari me-nyembunyikan diri, karena ta kut k epada Pak Inuh. Yang berkedai meninggalk an kedainya, yan g berbelanj a meninggal-kan barang yang telah dibelinya. Sangat sibuk di pasar ketika itu. Berkacau-balau tidak berketentuan lagi.

    Adapun Pak Inuh itu, i alah seorang kampung di san a, keluarga Tuanku Laras. Ia sudah beru mur lebih dari 45 tahun. Semasa mu da, Pak Inuh seoran g yang gagah berani. Lain daripada Haj i Abbas, se orang pun tak ada yang dise ganinya masa itu. Orang k ampung seg an dan t akut kepadanya. Ketika Tuanku Laras menjadi Pen ghulu Kepala di kampung itu, timbul perusuhan. Waktu itu boleh dikatakan Pak In uhlah yang mengamankan negeri. Dengan t idak meminta ban tuan kepada pemerintah, diamankan Pak Inuh kampung itu kembali.

    Apakah sebabnya orang takut Pak Inuh datang ke pasar itu? Pak Inuh sekarang sudah bertukar pikiran. Ia sudah menjadi

    gila. Sudah empat tahun sampai kepada masa itu pikirannya tak sempurna lagi. Dalam empat ta hun itu Pak Inuh tidak dibiark an keluar lagi oleh Tuanku Laras. Jika dilepaskan selalu meng-ganggu orang. Maka oleh Tuanku Laras dibuatkan sebuah rumah untuk tempat Pak Inuh tinggal. Entah apa sebabny a hari itu ia dapat melepaskan diri. Hal itu te rjadi sudah y ang kedu a kalinya. jika datang ke pasar ia merajalela saja. Barang-barang orang dipe rserak-serakkannya. Disepakkannya ke s ana kemari, orang d i p asar d iburunya sa mbil be rteriak-teriak. J ika dapat orang olehnya, dipukul dan diterjangkannya.

    Sekarang Pak Inuh datang ke pasar membawa pisau. Hal itu

  • lebih men akutkan lagi. Seorang pun tak ada y ang berani mendekati, apalagi akan menangkap, karena Pak Inuh berpisau, lagi seorang yang berani. Meskipun ada yang akan menangk ap, takut kepada Tuanku Laras. Ma ka dibiarkan orang saj a ia mengacau di tengah pasar itu. Ji ka tidak Tuanku Laras sendiri, sukarlah ak an menangkapnya. Tetapi Tuanku Laras tak ada beliau pergi ke Bukittinggi. Pa k Inuh makin ganas lakunya di tengah pasar. Sungguh amat sedi h hati melih at kejadian itu. Laki-laki perempuan tunggang-langgan g mel arikan diri. An ak-anak banyak yang terinjak, ka rena terjatuh. Di sana sini kedengaran jerit orang, mengaduh karena sakit sebab terantuk atau jatuh. Lebih- lebih lagi melihat perempu an-perempuan yang sedang mendukung anak. Anak dipangku, beban dijunjung sambil melarikan diri jua.

    Midun ketika itu ada pul a di pasar. Dia sed ang duduk di dalam sebuah lepau nasi. Kejadian itu nyata kelihatan olehnya. Midun hampir-hampir tak dapat menahan hatinya. Amat sedih hatinya melihat perempuan-perempuan berlarian ke sana-kemari. Pik irnya, "Aka n diberitahukan kepada Tu anku Laras, beliau pergi ke Bukittin ggi. Tentu saj a Pak Inuh merusakkan orang di pasar in i. Pada tangannya ada sebuah p isau. T akkan satu bangkai terhantar karena dia. Hal ini tidak boleh dibiarkan saja."

    Ketika Midun melihat seorang perempuan diinjak-injak oleh Pak Inuh, ia pun melompat ke tengah pasar mengejar Pak Inuh. Baru saja Pak Inuh melihat Midun, ia berkata, "Heh, anak kecil, ini dia makanan pisauku!"

    Sambil melompat lalu diamukny a Midun. Midun sedikit pu n tidak berubah warna mukanya. Kedatangan Pak Inuh dinantinya dengan sabar. Segala orang yang mel ihat keadaan itu sangat ngeri. Lebih- lebih perempuan-perempuan, berteriak menyuruh Midun lari, karena cemas dan takut. Dengan tangkas Midun menyambut pisau itu. D alam sesaat saja pisau Pak Inuh dapat diambilnya. Pisau itu segera di lemparkan Midun jauh-jauh, dan disuruhnya pungut kepada orang. Pak Inuh sangat marah, l alu menyerang Midun seku at-kuatnya. Dengan mudah dapat ia menjatuhkan Pak Inuh, lalu dita ngkapnya. Bagaimana pun Pak Inuh hendak melepaskan diri, tidak dapat. Midun berkata, "Sabarlah, M amak, takkan terlepask an tangkapan ku ini oleh Mamak."

    Maka Midun menyuruh mengambi l tal i untuk pengikat Pak

  • Inuh. Setelah sudah diikat , lalu ditipunya. Dibawanya ke lepau nasi, diberik annya makan . Luka pada kening Pak I nuh karena terjerumus, dibebat Midun. Kemudian diantarkannya pulang ke rumah famili Pak Inuh.

    Sehari-hari dan itu Midun saja yang dipercakapk an orang. Tua mud a, kecil be sar, l aki-laki p erempuan d i pa sar memuji keberanian dan ketangkasan Midun menangkap Pak Inuh. Ketiga bapak Midun amat heran mendengar kabar itu. Mereka ketiga maklum bagaimana keberanian dan pendekar Pak Inuh. Perbuatan Midun itu dipuj i oleh merek a ketiga. Hanya merek a itu khawati r, kalau-kalau fam ili Tu anku Lar as tak bersenan g hati, karena Pak Inuh l uka. Te tapi ketiganya percaya pula, kalau Tuank u Laras berpikir panjan g, hal itu tidak ak an menimbulkan amarah, melainkan menyenangkan hati beliau. Bukankah perbuatan Midu n menjaga keamanan dan keselamat-an negeri.

    Kacak ada pula mendengar kabar itu. Waktu hal itu terjadi, ia ada di ka ntor Tuanku Lar as. Dengan segera i a berlari ak an melihat Pak Inuh. Didapatinya Midun tak ada lagi. Pak Inuh, yakni jalan mamak kepada Kacak, telah ada di rumah. Tatkala Kacak melihat Pak Inuh lu ka pada ken ingnya, lalu ia bertanya kepada seseorang, bagaimana M idun menangk ap mamaknya. Orang itu menceritakan bagaimana penglihat annya ketika Midun menangkap Pak Inuh.

    "Jika t ak ad a Midun," ujar o rang itu, "barangk ali banyak bangkai terh antar di ten gah pasar. Untung, pisau yang di tangan Pak Inuh lekas dapat diambil Midun."

    "Apakah sebabnya, mak a Pak Inuh sampai luka ini?" ujar Kacak dengan marah.

    Jawab oran g itu, "Karena tersungkur waktu Midun me-nyalahkan tikaman Pak Inuh."

    Kacak j angankan me muji Midun mendengar perkat aan itu, makin sakit hatinya. Ia sangat marah karena Midun beran i melukai famili Tuanku Laras.

    "Sekarang nyata, bahwa Midun musuhku," kata Kacak dalam hatinya. "Sudah engkau lukai mamakku, engkau bebat. Maksud-mu tentu su paya kami jangan marah. Kurang aj ar sungguh! Hati-hati engkau, besok dapat bagian daripadaku. Bila Tuanku Laras pulan g dari Bukittinggi, kuceritakan hal itu kepadanya. Anak si pel adang jahanam, berani melukai famili raja di kampung ini?!"

  • Pada keesokan harinya pagi-pagi datanglah dubalang Tuanku Laras, memanggil Midun ke rumah orang tu anya. Midun didapatinya sedang makan. Dubalang b erkata, "Midun, Tuanku Laras memanggil engkau sekarang juga!"

    "Baiklah, Mamak, say a suda h dulu makan," jawab Midun. "Berhenti makan! Beliau menyuruh lekas datang!" ujar dubalang dengan hardiknya. ,

    Dengan ter gopoh-gopoh M idun mencuci tan gan, lalu berangkat ke kantor Tuanku Laras.

    "Tunggu," kata dubalang pula, "engkau mesti dibelenggu, karena begitu perintah saya terima."

    "Apakah kesalahan saya, maka dibele nggu macam se orang perampok, Mamak!" kata Midun.

    "Saya tidak tahu, di sana nanti jawab," ujar dubalang. Midun amat heran, apa sebabnya ia dibelenggu itu. Pikiran-

    nya berkacau, karena ia tidak tahu akan kesalahannya. Dengan tangan dibelenggu, ia diiringkan dubalang melalui pasar. Sangat malu Midun, tak ada ubahnya se bagai seorang y ang ber salah besar. Tetapi apa hendak dibuat, terpaksa mesti menurut. Ber-macam-macam t imbul pi kirannya sepanjang j alan ke kant or Tuanku La ras. Ke mudian ma klum juga ia, bahwa yang menyebabkan ia dipanggil itu, tak dapat tiada perkara Pak Inuh kemarin. Karena lain daripada itu Midun merasa dirinya t idak bersalah. M aka tet aplah pik irannya, bahwa i a difitnahkan orang. Mengerti pula ia masa itu, apa sebabnya ia dibelen ggu dan dikerasi. Tentu Pak I nuh luk a itu diambilnya j adi senjata untuk memfitnahkan. Ketika itu terbayang kepada Midun orang yang empun ya perbuat an itu. Maka terkenanglah ia ak an pemandangan Kacak yang berarti dahulu.

    "Tidak men gapa," kata Midun dalam hatinya. "Asal Tuanku Laras sudi mendengar keterangan saya, tentu beliau insaf, bahwa saya berbuat baik. Dan pasti beliau ak an memuji saya, karena pekerjaan saya itu menjaga keamanan negeri."

    Midun berbesar hati, lalu berjalan dengan senangnya. Tidak terasa Iagi oleh Midun tangann ya dibelen ggu, sebab pekerjaannya kemarin itu baik semata-mata. Orang di pa sar heran melihat Midun dibelenggu . Mereka takjub mel ihat Midun sebagai pencuri tertangkap, padahal ia seor ang alim dan ber-budi. Seorang bertanya kepada seorang, akan hal Midun dibawa dubalang itu . Ada satu-dua oran g berkata bahw a Midun di-panggil, berhubung dengan pe nangkapan Pak Inu h kemarin.

  • tetapi perkataan itu disangkal orang pula mengatakan, bahasa hal itu tidak boleh jadi, kare na perbuatan M idun kemarin mendatangkan kebaikan. Kalau karena perkara P ak Inuh tentu ia tidak d ibelenggu. Be rmacam-macam per sangkaan or ang tentang Midu n dibelenggu itu. Karen a itu banyak orang yang mengiringkannya ke k antor Tu anku Laras, in gin tahu apa sebabnya Midun dipanggil itu.

    Ayah bunda Midun amat gusar melihat kedatangan dubalang dan anaknya dibelenggu itu. Lebi h-lebih ibu Midun , hampir ia berteriak menangis, karena amat sedih hatinya melihat anak kesayangannya itu dibelenggu se bagai seorang per ampok baru tertangkap. Untunglah Pak Mid un lekas menyabarkannya, dan menerangkan a pa s ebabnya Mi dun dipanggil itu. Pak Midun mengerti apa yang dipanggilkan Tuanku Laras kepada anaknya. Lain tidak tentang perkara Pa k Inuh ditangkap Midun kemarin itu. Tetapi ia amat heran, karena an aknya dibelenggu dengan kekerasan. Dengan terge sa-gesa Pak Midun mak an. Setelah itu ia pun pergi ke kantor Tuanku Laras menden garkan perkara anaknya. Di jalan Pak Midun sebagai orang bingung saj a, pikirannya melayang entah ke mana. Jika i a dit egur oran g hendak bert anyakan hal anaknya, seol ah-olah t idak terdengar olehnya, karena kepalanya penuh dengan pikiran.

    Waktu Midun hampir sampai di kantor, dari j auh sudah ke-lihatan olehnya Tuanku Laras berdiri di beranda kantor. Setelah dekat Midun tidak b erani melihat muk a Tuanku Lar as, k arena dilihatnya Tuanku Laras sebaga i orang hendak marah. Dengan suara menggelegar sebab menahan marah, Tu anku Laras be r-kata, "Awak yang bernama Midun?"

    "Hamba, Tuanku," jawab Midun. "Masuk ke dalam," kata Tuanku Laras dengan hardiknya. Setelah Midun masuk ke dalam, oran g lain disuruh pergi.

    Maka Tuanku Laras bertanya p ula dengan marahn ya, "Berani benar rupanya awak memukul orang gila, sampai luka-luka. Apa yang awak sakitkan hat i kepada P ak Inuh yang tak sempu rna akal itu? Kurang ajar betul awak, ya kerbau!"

    "Bukannya demik ian, Tuanku!" jawab Midun. Lalu dicerita-kanlah oleh Midun dari bermula sampai pengh abisan kejadian kemarin itu. Tetapi Tuanku Laras sedikit pun t idak meng-indahkan pe rkataan Mid un. Jang ankan Tuanku Laras reda marahnya, melainkan bertambah-tambah. Midun menundukkan kepala saja, karena Tuanku La ras me maki di a de ngan tid ak

  • berhenti-henti. Setelah puas Tuanku Lara s berkata, m aka Midun m enjawab

    pula dengan sabar, katanya, "L uka Pak Inuh itu karena beliau jatuh sendiri. Sekali-kali tida k hamba yang melukai beliau, Tuanku. J ika tidak ada hamba kemarin, entah be rapa bangkai bergulingan, karena beliau meme gang senjata. Jika Tuanku kurang per caya ata s kete rangan h amba itu, c obalah Tuanku tanyakan ke pada orang l ain. Tetap i jika ha mba b ersalah ber-buat demikian, ampunilah kiranya hamba, Tuanku."

    Mendengar perkataan itu, adalah agak kurang marah Tuanku Laras sedik it. Tetapi kare na pengaduan Kacak termasuk benar ke dalam hatinya, lalu ia be rkata, " Sebetulnya awak mesti diproses perbal dan dibawa ke Bukittinggi* (ke kant or Tuan Assist ent Resident Fort de Kock). Tetapi sekali in i say a maafkan. Sebagai ajaran supaya jangan te rbiasa, aw ak dapat hukuman ena m hari. Awak mesti mengadakan rumput kuda empat rajut sehari. Sudah meny abit ru mput, awak beke rja di kant or ini dan jag a malam."

    Midun berdiam diri saja mend engar putusan itu . Ia tak berani menjawab l agi, sebab d ilihatnya Tuanku Laras marah. Waktu ia akan ke luar kantor, lalu ia berkata, "Bolehkah hari ini hamba jalani hukuman itu, Tuanku?"

    "Ya, boleh, hari ini mul ai, " uj ar Tuanku Laras dengan sungutnya.

    Midun segera ke luar, lalu dice ritakannya kepada ay ahnya, apa sebab ia dipanggil, dan hukuman yan g diterimany a. Mendengar putusan itu, l apang ju ga dada P ak Midun, karena anaknya tid ak masuk prose s perb al dan tidak dibawa ke Bukittinggi. Maka Pak Midun herkata, "Terimalah dengan sabar, Midun! Asal di kampung ini, ap a pun juga m acam hukuman tidak mengapa. Besar h ati saya en gkau tidak dibawa ke Bukittinggi. Tetapi t idak patu t engk au menerima hukuman, karena engkau tidak bersalah. Engkau berbuat pekerjaan baik, tetapi hukuman yang diterima ; apa boleh buat. Bukankah Tuanku Laras raja kita dapat menghitamputihkan negeri ini."

    Midun berdiam diri saja mendengar kata ayahnya. Tetapi orang yang mengiringkannya be rsungut-sungut semuanya men-dengar putusan itu. Midun teru s pulang mengambil sabit dan rajut rumput. Sampai di pasar, banyak orang mengerumuninya, akan bert anyakan perk aranya dipanggil itu. Midun menerang-kan, bahwa ia dihukum enam hari karena menangkap dan

  • melukai Pak Inuh. Dan hal itu menurut pikiran Midun sudah patut, sebab ia meluk ai orang. Tet api s egala orang yang mendengar menggigit bibi r, ka rena pada pik iran mereka itu, tak patut Midun dihuku m. Mereka itu berkata dalam hati, "Tidak adil! Untung luka sedikit, sebetulnya harus dibunuh serigala itu. Kalau t ak ada Mid un, barangkali banj ir darah di pasar ke marin. Kurang t imbangan, t entu beliau mendengar asutan orang."

    Banyak orang kampung itu yang suka menggantikan hukuman Midun. Ada pula yang mau menyabit ru mput sepuluh rajut seh ari dan menjaga kant or siang-malam, asal Midun dilepaskan. Tetapi permintaan me reka itu sama sekali d itolak oleh Midun. Katanya, "Siapa ya ng beru tang dial ah yang mem-bayar, dan s iapa yang ber salah di a me nerima hukuman. Saya yang bersal ah, saudara-saudara yang akan dihukum, itu mustahil. Biarlah saya dihukum, tak usah dit olong. Atas keikhlasan hati sanak-sau dara itu, say a ucapk an terima kasih banyak-banyak."

    Sesudah M idun menyabit rumput, lal u bekerja lain pula. Membersihkan kandang k uda, mencabut rumput di halaman kantor. Hab is sebu ah, sebuah lagi dengan tid ak berhenti-hentinya. Segala pekerj aan itu di mandori oleh Kacak. Ada-ada saja yang disuruhkan Kacak. Se hari-harian itu Midun tak meng-hentikan tan gan. Untuk membuat rokok saja, h ampir t ak sempat. J ika M idun berh enti se bentar karena lelah, Kacak sudah menghardik, ditambah p ula dengan pe rkataan y ang sangat kasar. Mengambil air ma ndi dan mencuci kakus, Midun juga disuruhnya. Pada malam hari Midun tak dapat sedikit juga menutup mata sampai-sampai pagi. Tiap-tiap jam Kacak datang memeriksa Midun berjaga atau tidaknya.

    Demikianlah penanggun gan Mid un dari sehari k e sehari. Dengan sabar dan tulus, hal itu dideritanya. Apa saja yan g disuruhkan Kacak, ditu rut Midun dengan ikhlas. Berbagai-bagai siksaan Kacak kepada Midun, hingga pekerjaan yang berat, yang tak patut dikerjakan Midun disuruhnya kerjakan. S iang bekerja keras, malam tak dapat tidur. Hampir Midun tidak kuat lagi bekerja. Dal am t iga har i saja, M idun tak tegap d an subur itu sudah agak kurus dan pucat.

    Orang di kampung itu sangat kasihan melihat Midun telah jauh kurusnya. Apalagi ibu Midun, selalu menangis bila melihat rupa Midun y ang sudah berubah itu. Tetapi pada Midun hal itu

  • tidak menjadi apa-apa. Ia, selalu memohonkan rah mat Tuhan, agar kekuat annya bert ambah, sampai kepada hukumannya habis dijalan inya. Dipohonkannya pula, moga-moga hati Kacak disabarkan Allah daripada meng aniaya sesama makhluk. Bila ibunya menangis mel ihat dia, Midun berkata, "S abarlah, Ibu, jangan menangis juga. Ini baru siksaan dunia yang hamba rasai, di akhirat nanti entah lebih da ripada ini penanggungan kita. Bukankah tiap-tiap sesuatu itu telah takdir Tuhan, Ibu! Jadi apa yang terjadi atas diri k ita tak boleh disesali, karena perbuatan itu sama h alnya dengan mengumpat Tuhan jua. Oleh karena itu, senangkanlah hati Ibu , takkan apa-apa. Tuhan ada beserta hamba. Hamba pucat dan kurus ini, karena baru bekerja berat. Hal ini bukankah baik untuk pelajaran hidup, Ibu!"

    Pada h ari yang kelima M idun hampir-hampir tak berdaya lagi. Ketika ia membaw a rumput ke kandang kuda, lalu jatuh tersungkur. Kacak melompat, lalu berkata sambil memukul, "Inilah balasan engkau melukai mamakku. Rasai oleh mu sekarang! Jangan pura-pura jatuh, bangun apa tidak!?"

    Par! Pukulan Kacak tiba di.punggung Midun. Midun hampir gelap pemandangannya. Kalau tidak lekas ia menyabarkan hatinya, tak dapat t iada sabitnya masuk perut Kacak. Dengan perlahan-lahan ia ban gun, lalu berk ata, "J anganlah terlalu amat menyiksa say a, Engku Muda! Kesalahan saya tidak seberapa, t idak be rpadanan dengan siksaan yang saya tanggung. Saya lihat Engku Muda seperti membalaskan dendam. Apakah d osa say a kepa da En gku Mu da? Terangk anlah, kalau nyata saya bersalah, ap a pun juga hukuman yang Engku jatuhkan, saya terima."

    "Memang en gkau mu suhku, jahanam!" ujar Kacak dengan bengis. "Engkaulah yang meng asut orang benci kepadaku . Engkau hendak jadi raja di kampung ini, binatang!"

    Dengan m arah amat sangat Mi dun dipukul, ditinju dan di-terajangkan o leh Kacak. Di balaskannya sakit h atinya yang selama ini. Untunglah hal itu le kas dilihat Tuanku Laras dari beranda k antor. Tuank u Laras segera memisahkan, dan berkata, "Hendak membunuh orang engkau, Kacak?"

    Mendengar suara itu, baru Kacak berhenti daripada memukul Midun. Jika tak ada Tuanku Laras, entah apa jadinya. Boleh jadi Midun membalas, bo leh jadi pula Midun binasa, sebab sudah tidak berdaya lagi.

    Pada keesokan harinya, Midun ja tuh sakit. Hari itu ia tidak

  • kuat lagi me nyabit rump ut. Pa gi-pagi benar Pak Midun telah pergi menggantikan an aknya menyabit rumput. Belum lagi matahari terbit, rumput empat rajut itu telah diantarkannya ke kandang ku da. Kemudian ia pergi kepada Tu anku Lar as menerangkan, bahwa an aknya sak it keras. Ia m emohonkan hukuman yang tinggal sehari itu, dia saja menjalankannya. Baru saja Tuanku Lar as akan m enjawab, Haji Abbas datang pula ke kantor itu. Atas nama guru dan bapak Midun, ia memintakan ampun muridnya. Apalagi Midun ketika itu di dalam sakit.

    Maka Tuanku Lar as berk ata, katanya, "Karena per mintaan Haji, saya ampuni Midun . Tetapi say a harap an ak itu diajar sedikit, jangan sampai begitu kurang ajar. Terlalu, ya, sungguh terlalu, mel ukai orang g ila. O rang yang tak sempurna ak al, tentu tidak mengert i apa-apa. Kalau dilawan, ten tu kita j adi gila juga."

    Haji Abbas dan Pak Midun d iam saja mendengar perkataan itu. Kemudian mereka bermohon diri dan meminta terima kasih atas ampunan yang dilimpahkan kepada Mi dun i tu. Di j alan sampai pula ng, keduany a tid ak ber cakap-cakap sepatah jua pun. Mereka tahu ba hwa perkat aan Tuanku Lar as itu kepadanyalah tujuannya. Karena itu amat pedih hati mereka, padahal anaknya tidak bersalah. Tetapi apa hendak dikatakan, mereka bert entangan dengan raj a di kampung itu. Setelah sampai di rumah, lama mer eka itu duduk berpandan g-pandangan. Haji Abbas amat sedih hatinya melihat Midun yang telah kurus dan pucat itu. Dengan tak diketahui, air mata Haji Abbas telah berleleran di pipiny a. T idak lama antaranya, Haji Abbas berkat a, "Apamukah yang sakit, Nak? Apak ah sebabnya maka engkau sakit ini?"

    Dengan perl ahan-lahan Midun menj awab,"... Bapak...! Karena bekerja terlalu berat. Ka lau saya tahu akan begini, mau saya dibawa ke B ukittinggi da ripada d ihukum di s ini. K acak rupanya musuh dalam sel imut bagiku. Entah apa dibencikan-nya, tiadalah saya t ahu. Malah sepe rti orang melepaskan sakit hati ia ru panya. Tetapi saya belum merasa ber salah kep ada Kacak. Tak boleh jadi k arena saya melukai P ak Inuh, Kacak menyiksa say a. Seakan-ak an sudah l ama ia menaruh dendam kepada say a. Biarlah, Bapak, karena ti ap-tiap sesuatu itu dengan kehendak Tuhan. Siksaan kepada saya itu saya serahkan kepada Y ang Mahaku asa. Peny akit say a ini tidakl ah membahayakan. Selama sakit akan sembuh, selama susah akan

  • senang." Lama Haj i Abbas termen ung memikirkan perkataan Midun

    itu. Kemud ian ia berkat a kepa da Pak Midun, kat anya, "Anak kita dikasihi orang di kampung ini; tetapi Kacak dibenci orang, karena tin gkah lakunya tidak senonoh. Tidak ada ubahny a sebagai anak yang tidak bertunjuk berajari. Karena angkaranya, orang lain ini binatang saja pada pemandangannya. Boleh jadi ia sakit hati, karena Midu n ba nyak sa habat k enalannya. S iapa tahu Midun dihukum ini, barangkali karena perbu atan Kacak. Tetapi itu menurut persangk aan saya saj a. Tentu dengan gampang saja ia melepaskan dendam, sebab ada Tuanku Laras yang akan dipanggakkannya* (Dimegahkannya)."

    "Benar pe rkataan Bapak itu," ujar Midun pula. "Saya ras a begitulah. W aktu berdua belas di masjid dahulu, sudah sal ah juga pengl ihatannya kepada saya. Ketika ia melihat hidangan bertimbun-timbun d i hadapan saya, tampak kebenciannya kepada saya. Be gitu pula ketika ia salah meny abut raga y ang saya berikan kepadanya, say a hendak ditinjunya. Dan dalam mengirik baru-baru ini, makin nyata juga i ri hatinya itu. Sejak itu saya tegur dia tidak menyahut lagi. Bila melihat saya ia meludah-ludah dan muram saja mukanya."

    "Boleh j adi," kata P ak Mi dun, "dubalang Lingkik ada mengatakan, bahwa Kacak benci benar melihat orang banyak di sawah Midun. Lebih-lebih melihat orang di sawah itu bergurau senda, marah ia rupanya."

    "Nah, sebab itu ingatlah engkau yang akan datang, Midun!" ujar Haji Abbas. "Dia itu keme nakan raja kit a. Tiba di pe rut dikempiskannya, tiba di mata dipej amkannya. Insaflah engkau akan perbuatanmu yang sudah it u. Sama sek ali or ang memuji perbuatanmu, tetapi hasilnya engkau dapat hukuman."

    Ada kira-kira sebulan, baru Midun sembuh daripada sakit. Badannya se gar, kemb ali bagai s emula. Sejak itu Midun tidak kerap kali lagi ke pasar. Jika tidak perlu benar, tidaklah ia pergi. Sedan gkan rokok, ibunya saja yang m embelikan d ia d i pasar. Malam mengaji, siang ke huma, demikianlah kerja Midun setiap hari. Pulang dari hum a, ia menge rjakan pekerjaan tangan. Sekali-sek ali ia menolon g adiknya m enggembalakan ternak.

  • 5. Berkelahi SEKALI per istiwa p ada suatu pe tang Midun pergi ke sungai hendak man di. Tidak jauh ke sebel ah hulu, tepian mandi perempuan. Pada m asa itu amat bany ak orang mandi, baik d i tepian perempuan, baik pun di tepian laki-laki. M ereka mandi sambil bersenda gurau. Ada yang berketimbung sambil tertawa gelak-gelak. B ermacam-macam tingkahnya, menurut kesukaan masing-masing. Sekonyon g-konyong datanglah air besar dari hulu. Sangat deras air mengalir, karen a hujan lebar di mudik . Batu yang besar-besar, pohon-po hon kayu dan lain-lain banyak dihanyutkan air. Mereka yang mandi pada kedua tepian itu berlompatan ke darat. S angat k etakutan me reka itu rupanya. Masing-masing men olong diri se ndiri-sendiri. Ad a yang jau h juga d ibawa a ir, te tapi d apat melepaskan di ri. Tetapi ya ng mandi jauh k e tengah, apalagi tak pandai berenang, tak dap at tiada bin asalah. Sibuk or ang di tepian, ada yan g me mekik sebab nger i, ada pul a yang be rteriak menyuruh kawan segera ke darat. Bunyi air yang deras itu sangat menakutkan. Tiba-tiba kedengaran teriak orang mengatakan, "Tolong, tol ong! Katijah hanyut! Katijah hanyut!"

    Tidak lama kelihatan rambut seorang perempuan d i dalam air. Timbul-tenggelam dibawa air. Midun ketika itu ada pula di sana, tetapi ia sudah mandi dan hendak berangkat pulang. Banyak oran g lari ke hilir akan men olong yang hanyut itu. Segala orang di p asar be rlarian, dahu lu-mendahului akan me-lihat atau menolong yang hanyut . Mereka tanya-bertanya siapa yang hanyut itu. Katijah, yaitu nama perempuan yang hanyut itu, ialah istri Kacak yang baru dua bu lan dikawininya. Banyak sungguh orang berdiri di tepi sungai. Orang itu semuanya hanya kadar melihat yang hany ut saja. Seorang pun tak ada yan g berani menolong. Mereka takut dirinya akan binasa, sebab air terlalu deras. Di dalam orang banyak itu Midun serta pula melihat. K asihan benar ia melih at jiw a perempuan yang ter-ancam itu. K arena dil ihatnya ti dak seorang juga y ang hendak menolong. Midun bersiap, hendak terjun. Pakaiannya ditanggalkannya, hingga tingga l cel ana pendek saj a lagi. Dengan tidak berpikir lagi, Midun lari ke hilir dan melompat ke dalam sung ai. Am at suka r ia akan mencapai perempuan itu,

  • karena air makin de ras. Kayu-kayu besar yang h anyut sangat mengalangi Midun akan mencapai Katijah. Setelah ia dekat kepada perempuan yang hendak ditolongnya itu, terpaksa pula Midun meny elam, karen a beberapa alangan. D engan su sah payah d apat juga d itangkapnya pinggang K atijah, lalu ber-hanyut-hanyut ke hilir sambil menepi sungai. D engan cara demikian d apatlah Midun mencapai d aratan. S ampai d i darat dipegangnya kaki perempuan itu lalu dipertunggangnya* (Kaki ke at as kepala ke bawah), agar keluar air yang terminum oleh perempuan itu. Katijah sudah pingsan, tidak tahu akan diri lagi. Kain di badan tak ada, telanjang bulat.

    Maka datan glah oran g berlari-lari membawa kain untu k Katijah. Bersama itu pula Kaca k dengan dua oran g kawannya. Di belakang itu orang ban yak yang ingin melihat kejadian itu, bagaimana k esudahannya. Midun be rusaha se dapat-dapatnya supaya K atijah yang pin gsan itu siuman akan d irinya. Setelah orang b anyak datan g, maka K atijah diserahkan oleh Midun kepada p erempuan, supaya dibel a dan diber i pak aian. K acak masam saja mukanya mel ihat Midun. Jangankan minta terima kasih, melainkan panas hatinya kepada Midun. Benar, sepatut-nya ia minta syukur istrinya telah ditolong. Tetapi apakah sebabnya maka si Midun, oran g yang sangat dibencinya itu pula yang menolongnya. Lebih panas lagi h atinya ket ika diketahu i-nya istrinya itu dalam bertelanjang pul a. Maka tidak tertahan panas hatinya lagi, l alu iapun be rkata, "Midun, ad akah dihalal-kan dalam agama bahw a orang l aki-laki itu boleh menyentuh kulit perempuan orang lain?"

    Orang banyak sangat heran dan amat sakit h atinya men-dengar perkataan Kacak i tu. Ja ngankan ia minta t erima kasih atas kebaktian Midun, malaha n perkataannya sangat melukai hati orang. Midun sendiri takju b dan tercengang, karena tidak disangkanya perkataan macam itu akan keluar dari mulut Kacak. Maka Midun menjawab, katanya, "Engku Muda, saya menolong k arena Allah. Jika Engku Mu da hendak bertanyakan terlarang atau tidaknya dalam agama, me mang hal itu tersuruh, tak ada l arangannya. Jika tidak ada saya, barangk ali istri Engku berkubur di dalam sungai ini."

    "Kurang ajar, berani engkau berkata begitu kepadaku?" ujar Kacak dengan marah. "Engkau kira saya in i patung saja, t idak tahu men olong ist ri dalam ba haya? Lancang benar mulutnya menghinakan daku, seorang kemenak an Tuanku Laras, di muka

  • khalayak sebanyak ini. H endak engkau rasai pulak ah tanganku sekali lagi?"

    "Saya maklum Engku Muda keme nakan Tuanku Laras," ujar Midun dengan sabar. "Saya pun tidak menghinakan Engku Muda, karena perkataan saya itu sebenar-benarnya. Tadi setelah saya lihat tidak seoran g jua yang ak an menolong, saya terus saja terjun ke ai r akan membela i stri Engku. Saya harap janganl ah Engku terlalu benar men gatakan oran g 'kurang aj ar' sebelu m dipikirkan lebih dahulu."

    "Jika bena r engkau s aya katak an kurang aj ar, a pa pikiranmu, anjing!" ujar Kaca k den gan sangat marah. "Akan saya sembahkah engkau hendaknya, binatang!"

    Kacak melompat hendak menyerang Midun, tetapi ditahan orang, lalu disabark an. Makin disabarkan, mak in jadi, dipe r-kitar-kitarkannya oran g yang me megang di a. Or ang bany ak berkerumun melihat pertengkaran Kacak dengan Midun. Midun tidak da pat la gi menahan h ati. Apalagi mend engar perkata an "binatang" dan "anjing" itu di muka orang banyak. Ada juga ia hendak menyabarkan hatinya, tetapi t iada dapat. M aka ia pun berkata, " Lepaskanlah, Saudar a-saudara, tak us ah dis abarkan lagi! S anak saudara sek alianlah y ang akan menj adi saksiku kelak, bahwa saya dal am hal ini tidak bersalah. Terlalu benar, sementang kemenakan Tuanku Laras. Datan gilah Kacak, lepaskan dendammu! Menanti atau mendatang?"

    Orang banyak rupanya menanti perk ataan Midun saja lagi. Memang orang sang at be nci kepa da K acak yan g s ombong itu. Mereka telah berjanji dengan dirinya ma sing-masing, apa pun akan terjad i lamun ia te tap akan me njadi s aksi Midun kelak. Kacak segera dilepaskan orang dan melapangkan tempat untuk berkelahi. Dalam perkelahian itu, sekali pun tidak dapat K acak mengenai Midun. Tiap- tiap Kacak menyerang selalu jatuh ter-sungkur. Kacak hanya berani membabi buta s aja, mukanya berlumur darah. Midun sekali pun t idak mengenai Kacak. Kacak tersungkur k arena deras datang yang selalu dielak kan Midun. Sedapat-dapatnya Midun menah an hatinya akan melekatkan tangan kepada Kacak. Kacak payah, akan lari malu, orang satu pun tiada yang men olong. Akan minta ampun lebih malu l agi, namanya an ak laki-laki. Ia hampir t idak berg aya lagi. Maka katanya, "Tolonglah saya, kawan! jasamu tidak akan saya lupa-kan. Engkau biarkan sajakah saya seorang?"

    Teman Ka cak yang du a orang tad i maju ke ten gah, lalu

  • berkata, "Ini dia lawanmu Midun, tahanlah!" Maun melompat lalu berkata, "Satu lawan satu. Engkau

    berdua. Sama menolong teman, di sini juga begitu." "Engkau jangan campu r, Maun!" ujar Midun. "Biark an saya

    sendiri, biarpun sepuluh orang. Kal au saya kena atau mat i baru engkau tunt utkan balas. Adat laki-l aki berpanj ang minta tolong. Cobakanlah beranimu!"

    Maun mengundurkan diri mendengar perkataan sah abatnya itu. Ia tiada berani membantah, sebab Maun sudah tahu sejak dari kecil akan t abiat Midun. Midun sekaran g melepas kekuatannya. Dalam sesaat saja kedua orang itu jatuh. Mereka kedua tak dapat bangun lagi karena tepat benar kenanya. Melihat hal itu, Kacak melompat m enyerang d engan p isau. Kacak te rjatuh pula, tidak dapa t bangun lagi. Ketika ia men-coba hendak bangkit pula, du balang Lingk ik datang dan menangkap pisau di tangan Kacak, lalu berkata, "Sabar, Engku Muda, malu kita kepada orang."

    Dubalang Lingkik datang itu bersama dengan Penghulu Kepala. Midu n, Kacak, d an dua oran g temanny a dibaw a ke kantor Tuanku Laras. Kacak di papah orang sebab sudah payah dan kesakitan, dan muk anya su dah b ersimbah darah. O rang banyak yang melihat perk elahian itu dibawa se muanya sebagai saksi. Di mu ka Tuanku Laras, dubalang Lingk ik menerangkan dengan sebenarnya. Dikatakanny a, bahwa pisau it u ditangkap-nya di tangan Kacak. Dan dika takannya pula Kacak melawan Midun tiga orang dengan temannya. Kemudian Midun dan Kacak ditanyai pul a oleh Tu anku Laras. Saksi -saksi dipan ggil semuanya, lalu ditany ai. Dengan berani, mereka itu menerangkan dari awal sampai ke akhir peristiwa itu. Meskipun Kacak kemenakan Tuanku Laras, tetapi semu a berpihak kepada Midun. Setelah sudah pemerik saan it u, Midun disuruh pulang. begitu pula segala sak si-saksi semuanya pulang. Tu anku Laras mengatakan, bahwa bila nant i d ipanggil mesti dat ang sekaliannya.

    Tuanku Laras berk ata kepada Penghu lu Kepala, k atanya, "Perkara in i saya pulan gkan kepada Penghulu Kepala dan kerapatan penghulu. Kurang pant as dan tidak laik rupanya, kalau saya y ang memerik sa. Sungguhpun demik ian, Penghulu Kepala tentu maklum."

    "Baiklah Tuanku; " jawab Penghulu Kepala. "