Sempajak_kerahasiaan Data WP

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kerahasiaan data WP

Citation preview

A. PENDAHULUAN Pajak merupakan instrumen vital bagi penerimaan suatu negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, baik yang sifatnya rutin maupun yang ditujukan bagi pembangunan nasional dan ekonomi. Namun untuk mengoptimalkan pemungutan pajak, otoritas pajak perlu dilengkapi dengan kemampuan dalam menghimpun berbagai data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan, agar dengan cepat dan efektif dapat melakukan identifikasi serta melakukan analisis risiko atas berbagai ketidakpatuhan Wajib Pajak.

Dengan demikian, data dan informasi Wajib Pajak ini dapat menjadi petunjuk dalam memberikan prediksi terhadap berbagai perkembangan dan peristiwa, sehingga dapat dilakukannya tindakan korektif yang harusdiambil sebagai upaya penegakkan hukum. Salah satu sumber data dan informasi yang sangat diperlukan oleh otoritas pajak adalah dari sektor perbankan atau lembaga keuangan. Namun permasalahannya, untuk memperoleh data dan informasi perbankan, kerapkali otoritas pajak suatu negara bersinggungan dengan ketentuan mengenai kerahasiaan perbankan.

Suatu negara seharusnya memberikan kontrol yang ketat mengenai bagaimana suatu otoritas pajak menggunakan semua informasi Wajib Pajak, termasuk informasi perbankan. Hal ini sangat penting, khususnya pada negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang bergantung pada hubungan saling mempercayai antara pemerintah (dalam hal ini otoritas pajak) dengan warga negaranya (dalam hal ini Wajib Pajak).Pengenaan pajak merupakan hak negara yang ditetapkan oleh undang-undang. Namun, hak untuk mengenakan pajak tersebut diperoleh dari pengakuan terhadap hak atas kekayaan individu. Dengan demikian, tanpa adanya pengakuan hak individual Wajib Pajak, negara tidak dapat menarik pajak. Hak-hak Wajib Pajak dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori besar, yaitu: hak-hak legal utama (primary legal rights) dan hak-hak legal sekunder (secondary legal rights). Salah satu bentuk dari hak-hak legal utama yang tercantum dan dijamin dalam konstitusi dan perjanjianperjanjian internasional adalah hak-hak atas privasi Wajib Pajak.

Dalam piagam hak-hak Wajib Pajak yang dikeluarkan oleh OECD yang membahas mengenai klausul-klausul Right to Privacy serta Right to Confidentiality and Secrecy disebutkan bahwa:

Right to PrivacyOtoritas pajak:1. Hanya mengajukan pertanyaan untuk memeriksa apakah Wajib Pajak telah memenuhi kewajiban perpajakannya; 2. Hanya mencari akses informasi yang relevan dengan pertanyaan yang diajukan oleh otoritas pajak;3. Memperlakukan setiap informasi Wajib Pajak sebagai suatu hal yang bersifat rahasia.

Right to Confidentiality and SecrecyOtoritas pajak:1. Tidak akan menggunakan atau membocorkan informasi pribadi atau keuangan Wajib Pajak, kecuali dalam situasi yang diperkenankan berdasarkan hukum; 2. Hanya mengizinkan petugas yang telah diberi kewenangan oleh hukum untuk mengakses data privasi atau informasi keuangan Wajib Pajak.

B. SEJARAHKetentuan tentang kerahasiaan data perpajakan di Indonesia, sebelumnya sudah ada sejak UU Pajak sebelum reformasi 1983, yaitu dalam Pasal 44 Ordonansi Pajak Perseroan (PPs) tahun 1925, pasal 21 dan 22 Ordonansi Pajak Pendapatan (PPd) tahun 1944 dan Pasal 33 Ordonansi Pajak Penjualan (PPn) tahun 1951.

UU KUP pun mengatur tentuan kewajiban mengenai kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak yang harus dilaksanakan oleh Peabat Pajak atau tenaga ahli. Perbedaan prisipil UU KUP tahun 2007 dengan UU sebelunya sebenarnya terletak di batang tubuh UU KUP tetap di bagian penjelasan. Berdasar UU KUP lama pun, pejabat dan tenaga ahli yang dapat memberikan informasi, termasuk kepada BKP, ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Hal ini dapat dimaklumi untuk ketertiban administrasi dan alat kontrol unutuk menjaga kerahasiaan.

Secara singkat ketentuan perlindungan kerahasiaan dapat diuraikan sebagai berikut:a. Terdapat kewajiban merahasian atas seluruh SPT, laporan keuangan dan lain-lain yan dilaporkan WP, data dan informasi yang diperoleh dalam rangka pemeriksaan, serta data dan informasi rahasia lainnya yang berkaitan dengan WP. b. Tanggung jawab dan kewajiban merahasiakan dibebankan kepada petugas dan pejabat pajak serta tenaga ahli yang membantu otoritas perpajakan termasuk akuntan dan pengacara. Tetapi ketentuan ini tidak meliputi pensiunan petugas pajak dan mereka yang diberi hak dan berwenang melakukan akses ke data dan informasi WP.c. Terdapat ancaman sanksi pidana yaitu bagi pejabat yang lalai diancam hukuman maksimal satu tahun benjara dan denda dua puluh lima juta rupiah. Sedangkan bagi pejabat yang sengaja melakukannnya, diancam hukuman pidana maksimal dua tahun penjara dan denda lima puluh juta rupiah. Pidana ini bersifat delik aduan sehingga diperlukan pengaduan dari pihak yang kerahasiaannya dilanggard. Tindakan yang digolongkan tindakan pidana adalah tindakan yang memberitahukan informasi WP. Seharusnya kewajiban merahasiakan termasuk kewajiban melindungi data dan informasi WP. Kelalaian yang menyebabkan orang lain dapat mengetahui informasi rahasia WP seharusnya juga digolongkan sebagai tindakan yang dapat diancam pidanae. UU KUP telah sangan membatasi pihak yang dapat memberitahukan informasi rahasia yaitu pejabat atau tenaga ahli yang telah memperoleh ijin dari Menteri Keuangan. Ijin ini pun mensyaratkan adanya kepentingan keuangan negara yaitu pemeriksaan oleh instansi atau lembaga negara yang berwenang memeriksa keuangan negara. Berkaitan dengan pembukaan informasi di pengadilan pun, informasi yang dibuka dibatasi hanya atas informasi yang berkaitan lagnsung dengan berkara yang bersangkutan dan yang mengenai tersangka tersebut. Ijin itu pun hanya diberikan setelah diperoleh permintaan tertulis dari hakim ketua dalam sidang pengadilan.

C. DASAR HUKUMWajib Pajak memiliki hak agar seluruh data yang berkaitan dengan diri dan usahanya dirahasiakan oleh pejabat pajak. Di beberapa negara aturan ini diatur dengan tegas. Data Wajib Pajak hanya bisa diberikan apabila data itu diperlukan untuk proses penyelidikan yang diperlukan sebagaimana diatur dalam Undang Undang. Dalam bahasan OECD Committee of Fiscal Affairs on Tax Administration :

All taxpayers have the right to expect that the tax authorities will not intrude unnecessarily upon their privacy. In practice, this is interpreted as avoiding unreasonable searches of their homes and requsets for information which is not relevant for determining the correct amount of tax due. In all countries very strict rules apply to the entry into a persons dwelling or business premises by a tax official in the course of a tax investigation and on obtaining information from third parties. In some countries visits to a taxpayer require the consent of the taxpayer; in the majority of countries a signed warrant is generally required to enter the home of a taxpayer who objects to a visit by the tax authority. Similarly, strict rules apply to obtainin information from third parties on the affairs of a taxpayer.

Bagi pejabat pajak yang melanggar, maka sanksi tegas akan diberlakukan terhadap pejabat pejabat pajak tersebut dalam rangka menjaga kepentingan Wajib Pajak :

Another basic taxpayers right is that the information available to the tax authorities on the affairs of a taxpayer is confidential and will only be used for the purposes specified in tax legislation. Tax legislation usually imposes very heavy penalties on tax officials who misuse confidential information and the confidentiality rules that apply to tax authorities are far stricter than those applying to other government departments.

Kerahasiaan mengenai data Wajib Pajak yang harus dijaga oleh pejabat pajak juga diatur dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 34 ayat (1) disebutkan: Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlalu juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

D. PENGECUALIAN DARI KETENTUAN KUPSelain itu ada pada pasal ini diatur tentang pengecualian untuk pejabat dalam menjaga kerahasiaan WP yang diatur dalam ayat (3) menyebutkan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah :1) Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan, atau2) Pejabat dan/ atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keunagan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negaara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana tersebut diatas, supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.41 Yang dimaksud untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Demikian pula untuk pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakin sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat. Kewajiban menjaga rahasia itu memang tetap memiliki pengecualian, dalam arti untuk kepentingan tertentu, maka rahasia itu dapat dibuka. Akan tetapi pengecualian itu harus jelas dan ditentukan secara tegas. Seperti misalnya untuk kepentingan pemeriksaan perkara perpajakan di depan persidangan di Pengadilan Pajak, atau juga untuk kepentingan lain yang dibenarkan Undang Undang. Tetapi pengecualian bersifat sangat terbatas. Untuk itu Menteri Keuangan mestinya juga meneliti dengan seksama sebelum memberikan izin tersebut. Dalam surat yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan juga harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak

Kewajiban menjaga rahasia memang tetap memiliki pengecualian, dalam arti untuk kepentingan tertentu maka rahasia itu bisa dibuka. Tetapi pengecualian ini harus diatur dengan jelas dan ditentukan secara tegas, misalnya untuk kepentingan pemeriksaan perkara perpajakan di depan persidangan di Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak atau kepentingan lain yang dibenarkan Undang Undang seperti penyampaian rahasia kepada lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

E. DATA WAJIB PAJAK YANG HARUS DIRAHASIAKANBerdasarkan Pasal 34 ayat (1) Undang Undang Nomer 28 Tahun 2007 yang berbunyi Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jelas diatur berkaitan dengan kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang berkaitan dengan Wajib Pajak diantaranya identitas Wajib Pajak dan informasi lain yang bersifat umum tentang dengan perpajakan.Dari penjelasan pasal ini disebutkan, Data Wajib Pajak merupakan rahasia. Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain :a) Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak,b) Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, c) Dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia,d) Dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.Dalam penjelasan Pasal 34 ayat (2a), yang termasuk dalam pengecualian yang bisa diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan. Identitas Wajib Pajak meliputi :a) Nama Wajib Pajakb) Nomor Pokok Wajib Pajakc) Alamat Wajib Pajakd) Alamat kegiatan usahae) Merek usaha; dan/atauf) Kegiatan usaha Wajib Pajak

Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:a) Penerimaan pajak secara nasional ;b) Penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak c) Penerimaan pajak per jenis pajak ;d) Penerimaan pajak per klarifikasi lapangan usaha ;e) Jumlah Wajib Pajak dan/atau pengusaha kena pajak terdaftar ;f) Register permohonan Wajib Pajak ; g) Tunggakan pajak secara nasional; dan/atauTunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.

F. DAMPAK DARI KEBOCORAN INFORMASI WAJIB PAJAKa) Bagi Wajib PajakSebelum membahas mengenai dampak terkuaknya kerahasiaan informasi perpajakan, kita perlu memahami alasan mengapa perlindungan kerahasiaan tersebut sangat penting dan bersifat mutlak. Untuk itu, kita harus berfikir dan mendudukkan diri sebagai pengusaha atau WP. Sebagai contoh, Anda mempunyai usaha pabrikan makanan ringan. Anda tentunya mempunyai informasi berupa metode produksi termasuk campuran bahan baku dan bahan pembantu. Dalam hal terjadi pemerikasaan pajak, Pemeriksa Pajak dapat dan acap kali melakukan pengujian penggunaan bahan baku dan pembantu untuk menemukan indikasi adanya produksi dan penjualan yang tidak dilaporkan. Apabila WP tidak percaya kepada petugas pajak maka sudah barang tentu WP tersebut tidak akan memberikan informasi yang krusial tersebut.

Oleh karena itu, perlindungan kerahasiaan informasi tidak hanya penting bagi WP. Perlindungan tersebut juga dimaksudkan untuk kepentingan kelancara pelaksanaan administrasi dan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan. Adapun dampak bagi WP apabila kerahasiaan informasi perpajakan itu terbuka yaitu:1. Apabila data Wajib Pajak diberitahukan kepada pihak lain, apalagi yang berkaitan dengan tunggakan, maka dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap perusahaan atau Wajib Pajak bersangkutan. Sehingga kemungkinan besar akan mempengaruhi kelangsungan usaha dari Wajib Pajak. Ini bisa dilihat dari menurunnya harga saham yang bersangkutan ataupun hilangnya kepercayaan dari mitra kerja maupun masyarakat.2. Apabila data Wajib Pajak yang berkaitan hal hal lain yang bersifat krusial dari suatu perusahaan juga sangat membahayakan perusahaan atau Wajib Pajak yang bersangkutan, sebab data ini bisa dimanfaatkan oleh competitor perusahaan atau Wajib Pajak tersebut, sehingga menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat.3. Akan mempengaruhi kredibilitas perusahaan mereka yang berakibat kepercayaan masyarakat dan rekan kerja perusahaan ini akan hilang. Selain menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap perusahaan yang bersangkutan, kerugian juga akan dialami oleh Negara. Dimana target untuk pencapaian penerimaan negara yang bersumber pada pajak tidak akan tercapai, sebagai dampak keengganan Wajib Pajak untuk membayarkan pajaknya.4. Keengganan Wajib Pajak untuk menyampaikan data atau keterangan berupa apa saja menyangkut diri, kekayaan dan kegiatan usahanya secara terbuka, jujur, dan tanpa perasaan was-was

b) Bagi Aparat

Setiap pejabat baik mereka petugas pajak ataupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak kepada pihak yang tidak berhak yang menyangkut masalah perpajakan. Tidak hanya pejabat ataupun petugas pajak yang tidak diperbolehkan membuka rahasia Wajib Pajak dalam Undang Undang ini, tetapi para Ahli seperti Ahli Bahasa, Akuntan, dan Pengacara yang ditunjuk oleh Pidana atas pelanggaran terhadap kewajiban merahasiakan Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan Undang Undang Perpajakan juga memiliki kewajiban yang sama, yakni menjaga rahasia Wajib Pajak.Apabila ketentuan ini dilanggar, maka ancaman pidana juga diatur secara tegas dalam Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 41 ayat (1) pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) . Hal ini dilakukan untuk menjamin kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang Undang Perpajakan. Pengungkapan kerahasiaan ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti bukti Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang Undang Perpajakan dilanggar. ayat (2) pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).Perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan sengaja ini dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak. Ayat (3) Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiannya dilanggar.Sehingga bagi perusahaan atau Wajib Pajak yang merasa dirugikan dan melaporkan, maka Pejabat Pajak bisa dipidanakan dan terancam hukuman pidana seperti yang telah diatur dalam Undang Undang Perpajakan. Tetapi apabila Wajib Pajak yang dibuka kerahasiaannya belum ada yang melaporkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak dan hanya merasa keberatan dengan keterbukaan informasi yang dilakukan oleh DJP maka kasusnya tidak dapat diteruskan.

G. FISHING EXPEDITIONSebagai bentuk perlindungan hak-hak privasi Wajib Pajak, maka terdapat larangan permintaan informasi perbankan yang bersifat spekulatif (fishing expeditions), di mana tidak ada tujuan yang relevan yang akan dicapai dari permintaan informasi tersebut. Untuk itu, dalam meminta informasi perbankan Wajib Pajak, otoritas pajak harus memiliki maksud dan tujuan yang jelas ataspemanfaatan informasi yang akan diperolehnya tersebut. Jika otoritas pajak dapat secara agresif dan tanpa kriteria yang jelas meminta informasi bank untuk sekedar mencari-cari kesalahan atau fishing expedition

Permintaan data oleh otoritas pajak pada umumnya tidak dapat langsung dipenuhi, karena hal tersebut tergantung pula dari maksudnya. Secara umum, otoritas pajak dapat meminta data perbankan dengan tujuan mendeteksi atau mengungkap kecurangan pajak (mulai dari penyelundupan pajak hingga dalam konteks transfer pricing). Hal ini pada umumnya diterima sebagai alasan utama.Walau demikian, seringkali aspek keterbukaan rahasia perbankan juga diatur di ketentuan lain di luar pajak, sehingga maksud atau tujuan di luar pajak dapat menjadi syarat dibukanya akses data tersebut. Dua tujuan lain yang cukup popular adalah: untuk menangkal aktivitas pencucian uang (money laundering) dan kegiatan kriminal lain (misalkan kegiatan terorisme).

H. KERAHASIAAN BANK UNTUK TUJUAN PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Ketentuan mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk mengakses informasi perbankan Wajib Pajak diatur melalui ketentuan Pasal 41 ayat (1) Undangundang Perbankan, sedangkan dalam Undangundang perpajakan diatur dalam Pasal 35 UU KUP. Dalam ketentuan Undang-undang Perbankan Pasal 41 ayat (1), mengatur bahwa untuk kepentingan perpajakan Ditjen Pajak dapat mengakses keterangan atau bukti mengenai keadaan keuangan Wajib Pajak. Klausul untuk kepentingan perpajakan ini dapat diartikan bahwa Undang-undang Perbankan yang berlaku saat ini telah memberikan akses yang luas bagi Ditjen Pajak untuk mendapatkan keterangan atau bukti perbankan Wajib Pajak. Ketentuan ini menjadi pintu masuk bagi Ditjen Pajak untuk dapat secara efektif melakukan pengawasan serta penggalian potensi pajak. Adapun ketentuan lebih lanjut yang mengatur secara rinci mengenai keseimbangan antara hak-hak Wajib Pajak dan penggalian potensi pajak, akan lebih tepat apabila diatur melalui UU KUP.

Selain itu, maksud dan tujuan dari Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Perbankan ini juga kompatibel dengan konteks implementasi secara global. Oleh karena faktanya saat ini negara-negara di dunia semakin gencar memerangi praktik penghindaran dan penggelapan pajak internasional yang membahayakan iklim perekonomian suatu negara, melalui kerjasama pertukaran informasi internasional di bidang perpajakan dengan menghilangkan hambatan akses terhadap informasi bank. Bahkan komitmen negara-negara di dunia (termasuk Indonesia) untuk semakin mendorong pertukaran informasi dan data perpajakan antar negara, dituangkan melalui suatu rekomendasikebijakan pertukaran informasi secara otomatis dan tidak lagi berdasarkan permintaan.

Lebih lanjut lagi, terkait amandemen Undangundang Perbankan yang telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR tahun 2014, untuk menjamin keseimbangan antara hak-hak Wajib Pajak dan penggalian potensi pajak serta lebih mencerminkan best practice-nya secara global, maka perlu dilakukan revisi UU KUP yang mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a) Akses Perolehan InformasiSebaiknya informasi data perbankan Wajib Pajak untuk tujuan perpajakan diperoleh melalui dua cara. Pertama, melalui permintaan. Jika sebelumnya permintaan diajukan secara tertulis oleh Menteri Keuangan, maka sebaiknya kewenangan tersebut dapat diberikan secara langsung kepada Ditjen Pajak. Artinya, Ditjen Pajak dapat mengajukan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan. Di berbagai negara, pihak yang berwenang untuk meminta informasi perbankan adalah competent authority yang biasanya mengacu pada otoritaspajak.

Kedua, informasi yang diberikan secara otomatis dalam hal telah terjadi kesepakatan antara Ditjen Pajak dengan Otoritas Jasa Keuangan. Kesepakatan tersebut dapat diimplementasikan dengan adanya pelaporan SPT yang dirancang secara khusus bagi bank, yang formatnya berbeda dengan SPT bagi nonbank. Misalnya, dalam melaporkan pemotongan pajak yang telah dilakukan oleh bank terhadap nasabahnya, tidak hanya mencantumkan berapa total keseluruhan pemotongan pajak yang telah dilakukan. Namun, dapat juga diketahui secara rinci berapa pemotongan yang telah dilakukan terhadap suatu nasabah.b) Data dan informasi yang dimintaSehubungan dengan permintaan data dan informasi perbankan, Ditjen Pajak harus mencantumkan maksud dan tujuan yang jelas. Misalnya, untuk mendeteksi dan menghindari praktik kecurangan pajak. Perlu juga diperhatikan bahwa dalam praktiknya, tidak diperkenankan terjadinya fishing expedition. Kemudian, jenis data yang dimintakan oleh Ditjen Pajak harus jelas dan sesuai dengan maksud dan tujuan digunakannya informasi tersebut. Misalnya: identitas, nomor rekening, jumlah transfer, tujuan transfer, dan sebagainya.c) Pada tingkat mana data dapat diakses Hal ini kembali pada tujuan semula dari maksud dan tujuan otoritas pajak untuk mengakses data dan informasi perbankan Wajib Pajak. Supaya Ditjen Pajak dapat secara efektif mendeteksi celah-celah kebocoran pajak dan melakukan upaya penegakkan hukum, maka akses untuk mendapatkan informasi perbankan dapat diperluas, sehingga tidak lagi dimulai pada tingkat pemeriksaan pajak dalam rangka menggali potensi penerimaan pajak.d) Penyebaran informasi nasabah oleh Ditjen PajakUntuk menjamin terpenuhinya hak-hak Wajib Pajak sekaligus menjaga kepercayaan terhadap otoritas pajak, maka perlu koridor yang jelas mengenai tidak diperbolehkannya otoritas pajak untuk menyebarkan informasi keuangannasabah kepada pihak lain. Koridor tersebut harus mencakup pengenaan sanksi yang tegas dalam hal terjadi pelanggaran.e) Kewajiban meninformasikan kepada nasabahBank memiliki kewajiban untuk menginformasikan kepada nasabah (Wajib Pajak) bahwa data dan informasinya akan diberikan kepada Ditjen Pajakf) Peraturan mana yang mengaturKetentuan mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk mengakses data dan informasi Wajib Pajak sebaiknya bermuara dari Undangundang Perbankan. Dengan demikian, Undangundang Perbankan menjadi pintu masuk bagi Ditjen Pajak dalam merumuskan detail teknis pengaksesan tersebut. Dalam konteks regulasi di Indonesia, seperti yang sebelumnya telah diuraikan penulis bahwa cakupan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana klausul yang termaktub dalam bunyi Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Perbankan sudah tepat dirumuskan. Namun, untuk menjamin keseimbangan antara hakhak Wajib Pajak dengan penggalian potensi pajak, perlu dilakukannya amandemen UU KUP.

I. PERLINDUNGAN KERAHASIAAN INFORMASI WAJIB PAJAK DI NEGARA LAINUntuk menilai kecukupa kerahasiaan data perpajakan di Indonesia dapat dilakukan dengan membandingkan dengan implementasi di negara lain. Kerahasiaan data perpajakan ternyata merupakan ketentuan yang berlaku universal. Pejabat institusi perpajakan maupun institusi atau pejabat terkait mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh data dan informasi berkaitan dengan WP. Beberapa ketentuan perlindungan terhadap kerahasiaan WP yang ada di negara lain:a) Seluruh surat pemberitahuan pajak (tax returns), data dan informasi yang diperoleh selama proses administasi perpajakan termasuk pemeriksaan pajak bersifat rahasia dan harus dilindung. Informasi tersebut meliputi tetapi tidak terbatas atas informasi sumber penghasilan, laba-rugi, pengeluaran, aspek operasional perusahaan, proses produksi dan proses bisnis, metode kerja, advance pricing agreemen, dan dokumen korespondensi antara WP dan otoritas perpajakanb) Tanggung jawab dan kewajiban merahasiakan tidak hanya dibebankan kepada petugas dan pejabat pajak. Kewajiban tersebut, d beberapa juridiksi, bahkan juga tetap diterapkan kepada mereka ang telah pension atau berhenti sebagai petugas pajak, dan setiap pihak yang berhak dan berwenang melakukan akses ke data dan informasi wajib pajakc) Adanya sanksi tindak pidana atas pelanggaran kerahasiaan bagi pejabat atau petugas pajak dan pihak terkai yang mempunyai akses ancaman sanksi pidana tersebut tidak hanya didasarkan atas adanya pengaduan dari WP atau pihak yang kerahasiaannya dilanggar. Tindak pidana tersebut bukanlah delik aduan. Ancaman sanksi pidana juga cukup berat misalnya penjara maksimal tiga tahun dan/atau denda uang.d) Tindakan yang digolongkan tindakan pidana tidak sekedar tindakan mengkomunikasikan atau menyebarluaskan data dan informasi. Adanya usaha untuk mengkomunikasikan sudah digolongkan tindakan pidana. Demikian juga, kelalaian membiarkan atau mengijinkan orang yang tidak berwenang untuk mempunyai akses ke data dan informasi WP juga merupakan tindakan pidanae) Adanya kontrol dan perkecualian kerahasiaan atau adanya otorisasi pembkaan kerahasiaan dalam hal-hal tertentu misalnya akses kepada penegak hukum dalam rangka pidana perpajakan. Ketentuan di SIngapura bahkan melarang pemberian informasi ke pengadilan manapun kecuali dalam rangka penuntutan tindak pidana berkaitan dengan pajak penghasilan WP yang bersangkutan.

J. KESIMPULAN