Upload
abi-enzi
View
73
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM
PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Strata Satu
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh : Eka Fitriah Anggraini
05110166
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
April, 2009
2
KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM
PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Strata Satu
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh : Eka Fitriah Anggraini
05110166
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG
April, 2009
3
KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM
PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI
SKRIPSI
Oleh : Eka Fitriah Anggraini
05110166
Telah disetujui Pada Tanggal 31 Maret 2009
Oleh : Dosen Pembimbing
Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA.
NIP. 150 302 530
Mengetahui, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Drs. Moh. Padil, M.Pd.I
NIP. 150 267 235
4
KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM
PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI
SKRIPSI
Dipersiapkan dan disusun oleh Eka Fitriah Anggraini (05110166)
telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 13 April 2009 dengan nilai B+
dan telah dinyatakan diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
pada tanggal: 13 April 2009.
Panitia Ujian Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA. Drs. H. Asma’un Sahlan, M. Ag. NIP. 150 302 530 NIP. 150 215 372
Pembimbing, Penguji Utama,
Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA. Dr. M. Zainuddin, MA. NIP. 150 302 530 NIP. 150 275 502
Mengesahkan, Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Malang
Prof. Dr. H. M. Djunaidi Ghony NIP. 150 042 031
HALAMAN PERSEMBAHAN
5
Skripsi ini aku persembahkan untuk yang selalu hidup dalam jiwaku dan
menemaniku dalam setiap hela nafas:
Allah SWT dan Rasul-Nya Yang telah membuka hati dan fikiranku, memberiku kemudahan dan kelancaran. Terima Kasih Ya Rahman, Ya Rahim Ya Lathif, perjalanan ini memang sulit tapi dengan-Mu tidak ada yang sulit dan tidak ada yang tidak mungkin. Alhamdulillah ‘Ala Kulli Ni’amik.
Burhanuddin Al-Zarnuji yang karyanya telah memberiku inspirasi untuk melakukan pengkajian ini. Semoga dapat memberi manfaat padaku. Amin
Dua insan yang ku cintai dan ku sayangi setelah Allah dan Rasul-Nya Ummy tercinta (Yasminah ) dan Abah Tersayang (Anisul Muttaqin ) yang tanpa kenal lelah memberikan kasih sayang, motivasi serta dukungan demi keberhasilan puterinya untuk mewujudkan cita-citanya dan mencapai ridha Allah. Semoga amal Abah, Ummy diterima dan menjadi ahli surga. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Kholidatul Imaniyah, malaikat kecilku yang beranjak dewasa, yang selalu berdoa semoga kakak bahagia dan berhasil. Terima kasih atas semangat yang adik tularkan pada kakak. Semoga Allah menyiapkan masa depan yang indah buat Adik.
Seluruh Masyayikh dan Pahlawan tanpa tanda jasaku (Guru- Guruku) di Ma’had Tercinta Nurul Jadid Probolinggo dan Ma’had Sunan Ampel Al-Ali serta Dosen-Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang terutama Dosen pembimbing Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA, yang telah memberiku ilmu sebagai bekal dalam melakukan pengkajian ini.
Sahabat-sahabat dekatku (Mbak Anis, Mbak Lilis, Mbak Chikma dan Ashief) yang telah membuat hari-hariku begitu indah, terima kasih atas jalinan persaudaran ini. Semoga kita bisa sama-sama memperoleh kebahagiaan. Dimanapun nantinya kita, ingatlah bahwa kita pernah satu. I LOVE U ALL.
Teman-teman MAK Nurul Jadid angkatan 10 (Adz-DZikr dan Madhzab Community) Diamanapun kalian, terimakasih atas bantuan do’a dan dukungan yang belum bisa kubalas, semoga Allah jadikan kita ‘Ibad-Nya yang selalu bersyukur atas nikmat yang yang telah diberikan oleh-Nya.
Seluruh pencari dan pecinta ilmu, yang tak pernah lelah dalam belajar dan mengkaji. Semoga Allah mengangkat derajat kita dengan ilmu yang kita miliki.
6
MOTTO
#
#
7
Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA. Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang
NOTA DINAS PEMBIMBING
Hal : Skripsi Eka Fitriah Anggraini Malang, 31 Maret 2009 Lamp. : 5 (Lima) Eksemplar
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Malang Di
Malang Assalamu`alaikum Wr. Wb. Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan, baik dari segi isi, bahasa maupun teknik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa tersebut di bawah ini:
Nama : Eka Fitriah Anggraini NIM : 05110166 Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI) Judul Skripsi : Konsep Etika Peserta Didik Dalam Perspektif
Burhanuddin Al-Zarnuji
Maka selaku Pembimbing, kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak diajukan untuk diujikan.
Demikian, mohon dimaklumi adanya. Wassalamu`alaikum Wr. Wb.
Pembimbing,
Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA.
NIP. 150 302 530
8
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar rujukan.
Malang, 31 Maret 2009
Eka Fitriah Anggraini
9
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan-Nya sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan. Setelah itu, shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad sang Reformis, yang telah diutus untuk
membawa risalah dan membebaskan umat Islam dari belenggu kebodohan.
Selanjutnya, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dalam terselesaikannya skripsi ini, di
antara mereka adalah:
1. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku rektor UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang.
2. Bapak Prof. Dr. H. M. Djunaidi Ghony, selaku dekan Fakultas Tarbiyah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
3. Bapak Drs. Moh. Padil M.Pd.I, selaku ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
4. Bapak Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA. selaku dosen pembimbing yang
telah mencurahkan semua pikiran dan waktunya untuk memberikan arahan
dan bimbingan bagi penulisan skripsi ini.
5. Dr. H.Mudjab, selaku dosen wali akademik, terimakasih atas ketulusan
hati dan kesabaran serta arahan-arahan yang telah diberikan selama proses
perkuliahan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
6. Abah dan Ummy tercinta yang selalu memberikan dukungan moril
maupun materiil selama mununtut ilmu dari awal hingga akhir.
7. Adikku yang tersayang yang selalu memberikan dukungan dan motivasi
8. Keluarga besar “Nurul Ma’rifah” atas ketulusan do’a sehingga penulis
lancar dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Semua guru-guruku, dosen-dosenku yang selama ini memberikan ilmunya
padaku untuk kecerahan masa depanku.
10. Staf Perpustakaan, BAK, Bag. Keuangan UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang yang telah mencurahkan tenaganya untuk memberikan pelayanan
terbaik, sehingga penulis dapat menjalankan studi dengan lancar.
10
11. Seluruh Dewan Pengasuh, Murabbi, dan teman-teman Musyrif/ah Ma’had
Jami’ah Sunan Ampel Al-Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, atas
segala do’a dan semangat yang tak pernah henti. Terimakasih.
12. Teman Kamar (Mbak Fitro, Mbak Mudha, Icha, dan Dek Fida )yang selalu
menenangkanku dikala sedihku, membuatku tertawa dikala kalutku,
memberiku semangat di keterpurukanku. Terimakasih. Semoga Allah
selalu kabulkan permintaan dan impian-impian kita.
13. Teman-Teman angkatan 10 (Iis dan Ifa) atas do’a dan dukungannya,
Kakak-kakak kelas MAK (Mbak Rohil, Mbak Izza, Mbak NQ, Mbak Fitri,
Mbak Aisyah, Kak Idil, Kak Musthofa) atas bantuannya dan semangat
yang telah diberikan dan adik-adik kelas MAK NJ (Farih, Fir, Rinta dan
Linda) atas do’anya. Moga Allah membalasnya dengan balasan yang
sempurna.
14. Segenap sahabat/I dan semua pihak yang telah banyak memberikan
dukungan. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan sebaik-baik
balasan, amin
Sebagai manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, penulis menyadari
penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi diri penulis dan pembaca. Amin
Malang, 31 Maret 2009
Peneliti
11
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................. v HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vi HALAMAN NOTA DINAS PEMBIMBING .................................................... vii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ viii KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii ABSTRAK ........................................................................................................... xiv BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Fokus Penelitian .................................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8 E. Penegasan Istilah ................................................................................... 9 F. Batasan Masalah ................................................................................. 11 G. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 12 H. Desain Penulisan ................................................................................. 15 I. Sistematika Pembahasan ..................................................................... 21
BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Etika ................................................................................................... 23
1. Pengertian Etika ............................................................................ 23 2. Aliran-aliran Etika ........................................................................ 27 3. Ruang Lingkup Etika .................................................................... 32 4. Macam-Macam Etika.................................................................... 34 5. Metode Etika................................................................................. 37
B. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam .............................................. 40 1. Pengertian Peserta Didik .............................................................. 40 2. Etika Peserta Didik....................................................................... 51 3. Hakikat Pendidikan Islam ............................................................ 62 4. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam ............................................ 67
a. Tugas Pendidikan Islam.......................................................... 67 b. Fungsi Pendidikan Islam ........................................................ 71
5. Tujuan Pendidikan Islam .............................................................. 72
BAB III: BIOGRAFI SYEKH BURHAN AL-ISLAM AL-ZARNUJI A. Riwayat Hidup dan Kepribadiannya…………………………….79
12
B. Situasi Pendidikan pada Zaman Al-Zarnuji ............................... .....83 C. Sekilas Tentang Ta’lim al-Muta’allim.................................. ......... 85 D. Latar Belakang Penulisan Ta’lim al-Muta’allim .................. .........90
BAB IV: HASIL PENELITIAN A. Paparan Tentang Isi Ta’lim al-Muta’allim.................................. ....92 B. Etika Peserta Didik dalam Perspektif Burhanuddin al-Zarnuji ... ...114
1. Etika Peserta Didik Terhadap Tuhan ...................................... ...114 2. Etika Peserta Didik Terhadap Orang Tua ............................... ...119 3. Etika Peserta Didik Terhadap Guru ........................................ ...120 4. Etika Peserta Didik Terhadap Teman ..................................... ...121 5. Etika Peserta Didik Terhadap Kitab ....................................... ...122 6. Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya .................................... ...123 7. Etika Peserta Didik Ketika Belajar ........................................ ...126
C. Relevansi Konsep Etika Peserta Didik Perspektif Burhanuddin al-Zarnuji dengan Konteks Pendidikan Masa Kini.......................... ...134
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 141 B. Saran-saran ................................................................................... 142
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 145 LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................. 149
13
DAFTAR LAMPIRAN
1. Bukti Konsultasi
2. Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.
3. Biodata Peneliti.
14
ABSTRAK
Anggraini, Eka Fitriah. Konsep Etika Peserta Didik Dalam Perspektif Burhanuddin Al-Zarnuji. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA.
Peserta didik merupakan salah satu komponen dari pendidikan. Peserta didik memiliki potensi-potensi yang mapan untuk dikembangkan. Adapun faktor yang dapat pengembangkan potensi diri peserta didik adalah dirinya sendiri dan faktor diluar dirinya yang meliputi orang tua, lingkungan dan pendidikan. Fakta pendidikan yang tergambar saat ini menunjukkan adanya keterpurukan moral yang dimiliki oleh peserta didik. Hal ini dapat pula disebabkan oleh faktor interen peserta didik atau faktor diluar dirinya.
Kenyataan tersebut merupakan tugas besar yang harus diselesaikan oleh pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki tugas untuk menciptakan peserta didik mengerti akan tujuan penciptaannya (Ibad) dan memahami tugasnya di bumi (Khalifah). Oleh karenanya pendidikan Islam seharusnya tidak hanya bersifat teoritik dan dogmatik, akan tetapi adanya pengenalan secara konseptual. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan etika kehidupan yang harus dimiliki oleh peserta didik tersebut.
Mengingat sangat urgennya peran pendidikan bagi terbentuknya tabiat seorang peserta didik. Maka menjadi keharusan kepada seluruh elemen yang memegang kuasa pada sebuah instansi pendidikan untuk melibatkan pendidikan akhlak atau etika, baik secara teori terlebih dalam praktik. Karena sesungguhnya tujuan pendidikan Islam, adalah mencetak insan kaamil yang memiliki kecerdasan kognitif dan memiliki ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Mengingat betapa penciptaan etika bukanlah hal yang kecil dan mudah tercapai, maka muncullah konsep etika peserta didik yang dituangkan dari pemikiran atau ide tentang hal-hal yang berkaitan dengan etika peserta didik yang diuangkapkan oleh banyak tokoh muslim, salah satunya adalah pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, Burhanuddin al-Zarnuji.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian library research, dengan sumber data primer Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum karya al-Zarnuji. Sedangkan sumber data sekundernya adalah Pengantar Study Etika, karangan M. Yatim Abdullah, Filsafat Pendidikan Islam, karangan Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam karya Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Etika Pendidikan Islam, karangan KH. M. Hasyim Asy’ari. Dan data-data lain yang berupa jurnal-jurnal, majalah dan data-data lain yang membicarakan tentang tema yang dituliskan dalam skripsi ini.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menggugah kesadaran umat Islam akan kesesuaian pemikiran tokoh pendidikan Islam dan mengilhami munculnya penelitian yang lebih mendalam dan integral tentang etika peserta didik. Key word : Etika, Peserta Didik.
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang selalu memperhatikan semua urusan manusia,
baik secara khusus maupun umum. Selalu mengontrolnya dengan memberi
petunjuk dan mengevaluasi serta mengarahkan renik-renik kehidupannya, baik
yang kecil maupun besar. Berperan serta mengatur permasalahan-
permasalahan pribadi dengan penuh arahan dan perbaikan, sebagaimana
halnya Islam memperhatikan urusan-urusan kemanusiaan secara global atas
dasar persamaan. Meyakinkan manusia dalam hal ini bahwa masyarakat yang
baik berasal dari individu yang baik dan bangsa yang maju adalah mereka
yang mendasarkan kehidupannya pada kemajuan, peradaban dan keunggulan.
Karena itu, sudah menjadi maklum apabila seorang anak (peserta didik)
dalam agama Islam telah mendapatkan haknya dari pemeliharaan, perhatian
dan pendidikan. Hal ini telah ditegaskan dalam firman Allah dalam surat
Maryam: 12, bahwa pendidikan perlu dimulai sejak kecil.
Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh, dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.
16
Ayat tersebut juga menjadi isyarat untuk memberikan pengajaran Al-
Qur’an dan hikmah (pemahaman dan kedalaman agama) terhadap anak-anak.1
Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan
umat Islam tidak muncul secara spontan dan mendadak, namun kesadaran ini
merupakan efek dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal
Islam yaitu masa kerasulan Muhammad saw.2
Dalam sejarah pendidikan kita mencatat, paling kurang ada lima tahap
pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama,
pendidikan pada masa Rasulullah saw. (571-632 H), kedua, pendidikan pada
masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M), ketiga, pendidikan pada masa Bani
Umayyah di Damsyik (661-750 M), keempat, pendidikan pada masa
kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M) dan kelima, pendidikan pada
masa jatuhnya kekuasaan Khalifah di Baghdad (1250-sekarang).3 Dari
perkembangan pendidikan yang sudah berlangsung lama ini, sudah
menciptakan generasi-generasi yang pada setiap masanya memiliki keunikan
dan keberagaman pengetahuan.
Pendidikan yang merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan
manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral,
untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba
1 Muhammad Khair Fatimah, Etika Muslim Sehari-hari (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), hlm.1-2.
2 Aria Nuruliman, Pendidikan Indonesia, (http: www.blogspot.com diakses 6 Januari 2009) 3 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendididikan
Islam (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2003), hlm. 105
17
‘abd (Q.S Al-Dzariyaat 51:56), Khaliq-nya (Q.S Al-Baqarah 02:30) dan
pengemban amanah memakmurkan kehidupan di dunia(Q.S Huud11:16).4
Pendidikan yang dilandasi oleh kehendak untuk hidup bermakna (the
will to meaning) menuju dambaan utama manusia untuk meraih kehidupan
yang bermakna (the meaningfull life) dalam setiap keadaan, termasuk dalam
penderitaan sekalipun, mempunyai tujuan akhir membentuk pribadi peserta
didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini
meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia
pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan potensi
yang dimilikinya secara maksimal. Karena secara alami, manusia dikaruniai
tiga nilai yang merupakan sumber makna hidup yang disebut; creative values
(nilai-nilai kreatif), experiental values (nilai-nilai penghayatan), attitudinal
values (nilai-nilai bersikap).
Sungguhpun demikian, ketiga nilai tersebut baru akan menjadi sumber
daya yang potensial bila diolah dan dikembangkan dengan tepat. Sumber-
sumber makna hidup tadi baru bisa menghasilkan individu dan masyarakat
yang berkualitas bila dibarengi dengan pendidikan yang ideal, yaitu sebuah
pendidikan yang mempertimbangkan faktor mentalitas, faktor spiritualitas dan
tentunya faktor tingkat intelegensia. Ketiga faktor tadi jika dikonsep dengan
baik maka akan menghasilkan apa yang disebut dengan kecerdasan intelektual
atau IQ (Intelligent Quotient), kecerdasan emosi atau EQ (Emotional
4 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 17-19.
18
Quotient) dan kecerdasan spiritual atau dalam istilah modern disebut dengan
SQ (Spiritual Quotient).
Kecerdasan intelektual terlahir ketika seseorang mau berkreasi atau
saat nilai-nilai kreatif dimanifestasikan dengan cara berkarya. Adapun
kecerdasan emosi bisa ditemukan manakala seseorang mampu memanage
kadar emosinya dengan seimbang atau ketika nilai-nilai penghayatan
diterapkan dalam kehidupan yaitu dengan cara memahami kepribadian.
Sementara itu, kecerdasan spiritual dapat terwujud ketika nilai-nilai bersikap
diimplementasikan dengan cara menerima dan menyikapinya dengan bijak
terhadap proses kehidupan bagaimanapun bentuknya.5
Apabila ketiga konsep tersebut diabaikan, maka sesungguhnya
pendidikan Islam belum dapat menuai hasil sempurna, atau bisa dikatakan
belum sampai pada tujuannya, yaitu pembentukan manusia seutuhnya yang
memiliki kecerdasan intelegensi, emosi dan spiritual. Dampak yang akan
ditimbulkan nantinya adalah keruntuhan bangsa yang dihuni oleh generasi
Islam yang hanya memiliki kesempurnaan dalam berfikir, tapi tidak dalam
akhlak dan kekuatan spiritualnya.
Dalam Al-Qur’an surat al-Tahrim: 06, Allah berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.6
5 Aria Nuruliman, op, cit., 6 Al-Qur’an dan Trejemahannya, op.cit. hlm. 560.
19
Dari ayat ini sahabat Ali Radhiyallahu Anhu menafsirkan ayat tersebut
dengan “Ajarilah dan didiklah dirimu dan keluargamu akan kebaikan”.
Kebaikan disini di identikkan dengan pemberian kecerdasan spiritual kepada
peserta didik. Dengan ini kemudian menjadi sesuatu yang wajib bagi para
pendidik untuk tidak hanya mengajarkan materi-materi yang bersifat akademis
semata, akan tetapi keharusan untuk mendidik dengan akhlaqul karimah, yang
salah satunya dengan membiasakan hidup dengan penuh etika. 7
Melihat harapan pendidikan Islam yang begitu utuh tersebut, banyak
sekali pakar-pakar pendidikan yang kemudian memiliki perhatian yang intens
terhadap peserta didik, khususnya dalam hal etika. Salah satunya Burhanuddin
al-Zarnuji, dengan karya monumentalnya “Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-
Ta’allum”. Latar belakang Pemilihan al-Zarnuji dalam penelitian ini
sesungguhnya didasarkan pada kepiawaian al-Zarnuji dalam menyampaikan
konsep pendidikan yang ditawarkan dengan bahasa yang sangat aplikatif dan
penuh etika.
Disamping itu, melihat kondisi pendidikan kita saat ini, peserta didik
tidak lagi memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, bahkan mereka tidak lagi
dapat memanfaatkan ilmu yang telah dimilikinya, kondisi ini merupakan
gambaran yang sama dengan yang terjadi pada masa Burhanuddin al-Zarnuji.
Selain karena fenomena tersebut, kehadiran kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq
al-Ta’allum layaknya membuka pintu baru bagi pendidikan Islam. Kitab
tersebut sudah menjadi kitab suci di instansi-instansi pendidikan Islam,
7 Muhammad Khair Fatimah. loc. cit.,
20
terutama dalam pesantren. Di dalamnya al-Zarnuji memaparkan beberapa hal
yang berkaitan dengan etika peserta didik serta konsekuensi jika etika tersebut
ditinggalkan.
Hal tersebut disikapi positif oleh para pemikir muslim dan Barat.
Karyanya menjadi bahan referensi di berbagai penelitian, terlebih dalam dunia
pendidikan. Sebut saja G. E. Von Grunebaum, salah satu ilmuan Barat yang
kagum dengan pemikiran yang dituangkan oleh Burhanuddin al-Zarnuji dalam
kitabnya Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.8
Oleh sebab itu, menjadi sangat menarik jika konsep etika peserta didik
yang ditawarkan oleh al-Zarnuji kembali kita ungkap dalam penelitian ataupun
penulisan-penulisan yang nantinya menjadi rujukan bagi kelangsungan
pendidikan, terutama pendidikan Islam. Karena pemikiran yang berkembang
kemudian adalah, jika dengan adanya etika dalam menuntut ilmu, maka akan
terbentuk akhlak yang baik pada peserta didik, dan hal ini akan menumbuhkan
generasi yang tidak hanya memiliki ilmu dan kecerdasan akademik saja, akan
tetapi dengan adanya pembiasaan etika yang baik dalam menuntut ilmu maka
akan tercipta internalisasi perbuatan baik yang nantinya dapat ditularkan pada
kehidupan sehari-hari.
Meminjam istilah yang dipakai oleh Ibnu Arabi dengan Insan
Kamilnya. Dan Al-Ghazali dengan tazkiyah an-nafsnya. Maka dengan adanya
etika peserta didik dalam menuntut ilmu, niscaya akan tercipta generasi baik
yang akan membangun negara dengan baik pula.
8 Abuddin Nata. op.cit. hlm. 105.
21
Dengan latar belakang yang telah terpapar sebelumnya, maka
merupakan suatu alasan yang mendasar apabila peneliti membahas
permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul: KONSEP ETIKA
PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF SYEKH BURHANUDDIN
AL-ZARNUJI dengan mencoba melakukan suatu analisis terhadap konsep
pemikiran Syekh Burhanuddin al-Zarnuji dengan karya monumentalnya
“Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum”.
Topik yang peneliti angkat di atas, bukanlah satu-satunya tulisan yang
membincangkan tentang pemikiran syekh Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji,
akan tetapi telah banyak peneliti-peneliti lain yang juga meneliti kitab yang
beliau tulis. Hanya saja sejauh peneliti ketahui, dari sekian banyak penelitian
yang telah dilakukan belum secara penuh menuliskan tentang etika peserta
didik yang diungkapkan oleh Syekh Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji yang
kemudian di selaraskan dengan fenomena pendidikan yang terjadi saat ini.
Di samping itu peneliti menganggap kajian ini relevan dengan
perkembangan pemikiran dan konsep pendidikan Islam pada masa sekarang,
terutama pada institusi pendidikan Islam di Indonesia yang sangat merindukan
dan membutuhkan sosok pelajar dan praktisi pendidikan yang pintar dan juga
beretika.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus penelitian yang akan
diteliti adalah:
22
1. Bagaimana konsep etika peserta didik dalam perspektif Syekh
Burhanuddin al-Zarnuji?
2. Bagaimana relevansi konsep etika peserta didik dalam perspektif Syekh
Burhanuddin al-Zarnuji dengan konteks pendidikan masa kini?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memahami konsep etika peserta didik perspektif Syekh Burhanuddin al-
Zarnuji.
2. Telaah kritis terhadap konsep etika peserta didik dalam pendidikan Islam
menurut Syekh Burhanuddin al-Zarnuji dan relevansinya dalam
pendidikan Islam dewasa ini.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan peneliti dalam penelitian skripsi ini adalah:
1. Manfaat bagi peneliti:
a. Mendapatkan data dan fakta yang sahih mengenai pokok-pokok
konsep etika peserta didik menurut Syekh Burhanuddin al-Zarnuji
dalam Kitab monumentalnya Ta’lim al-Muta’alim Tariq al- Ta’allum,
sehingga dapat menjawab permasalahan secara komprehensif terutama
yang terkait dengan etika peserta didik.
b. Menjadi pengetahuan baru yang akan memberikan manfaat bagi
kehidupan peneliti kedepan, terlebih ketika peneliti terjun di dunia
pendidikan.
23
2. Manfaat bagi lembaga:
a. Menambah perbendaharaan referensi di perpustakaan Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, terutama Fakultas Tarbiyah
jurusan Pendidikan Agama Islam.
b. Merupakan sumber referensi bagi Fakultas Tarbiyah, yang akan
meneliti lebih lanjut mengenai konsep etika peserta didik perspektif
Burhanuddin al-Zarnuji.
3. Manfaat bagi Masyarakat:
a. Memberikan masukan bagi para pakar di bidang pendidikan mengenai
keunggulan dan originalitas konsep etika Burhanuddin al-Zarnuji, yang
nantinya diharapkan dapat ditransfer ke dalam dunia pendidikan Islam
Indonesia pada umumnya dan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada khususnya.
b. Memberikan sumbangan bagi perkembangan khazanah ilmu
pengetahuan terutama bagi kemajuan ilmu pendidikan, khususnya
menyangkut konsep etika peserta didik dalam pendidikan Islam.
E. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penelitian skripsi
ini, ada baiknya peneliti menjelaskan terlebih dahulu kata kunci yang terdapat
dalam pembahasan ini, sekaligus penggunaan secara operasional.
1. Etika
Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang
segala kebaikan diseluruh aspek hidup manusia, mengenai gerak-gerik
24
pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai
mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Etika ini tidak
mempelajari atau membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata
adab, melainkan membahas tata sifat-sifat dasar, atau adat-istiadat yang
terkait dengan baik dan buruk dalam tingkah laku manusia.
Ahmad Amin menyatakan etika sebagai sesuatu yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat.9
2. Peserta Didik
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Peserta didik adalah
orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya
(potensi). Peserta didik adalah orang yang selalu mencari informasi untuk
mengambangkan potensi yang dimilikinya.10
3. Perspektif
Dalam kamus ilmiah populer perspektif berarti suatu peninjauan atau
tinjauan terhadap suatu hal.11
4. Burhanuddin Al-Zarnuji
Nama lengkap Burhanuddin al-Zarnuji adalah Syeikh Ibrahim bin
Ismail al-Zarnuji. Abuddin Nata dalam bukunya menyebutkan nama
9 Ahmad Amin, Etika (Ilmu akhlak), Terj. KH. Farid Ma’ruf, judul asli al-Akhlaq. Cet.3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 3
10 Samsul Nizar, op.cit., hlm. 48-50. 11 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkoala,
1994), hlm. 592
25
lengkap al-Zarnuji adalah Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji.12 Nama al-
Zarnuji adalah penyandaran kepada negerinya yaitu Zarnuj (Zurnuj) salah
satu daerah di Turki, Zurnuj termasuk dalam wilayah Ma Wara’a al-Nahar
(Transoxinia).13 Beliau adalah seorang ulama’ ahli fiqih yang bermadzhab
Hanafi dan sangat berpegang teguh pada mazhabnya. Hal ini tampak jelas
di dalam kitab karangannya yang berisikan dalil-dalil atau ucapan-ucapan
ulama’ dikalangan Hanafi yakni kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum.
F. Batasan Masalah
Agar lebih jelas dan tidak terjadi kesalah pahaman dalam penelitian skripsi
ini, maka peneliti perlu menjelaskan batasan pembahasannya. Dalam skripsi
ini peneliti akan membahas mengenai etika peserta didik dalam perspektif
Syekh Burhanuddin al-Zarnuji.
Sebelum jauh membicarakan masalah etika peserta didik, maka peneliti
menguraikan tentang makna etika dan peserta didik,serta hakikat, tugas,
fungsi, dan tujuan pendidikan yang diambil dari pemikiran beberapa tokoh
pendidikan. Yang mana pada akhir penelitian ini akan diungkapkan pemikiran
Syekh Burhanuddin al-Zarnuji tentang etika peserta didik dan relevansinya
dengan pendidikan masa kini.
12 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendididikan Islam, op. cit, hlm. 103
13 MN. Ary B, Uraian Terhadap Buku Ta’lim Muta’allim (http///www.altavista.com).
26
Dalam pembahasan nanti yang akan menjadi bahasan pokok adalah etika
dan peserta didik yang diungkapkan oleh Syekh Burhanuddin aL-Zarnuji
dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’llim Tariq al- Ta’allum.
G. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti penemukan ada
beberapa peneliti yang sebelumnya telah memperbincangkan pemikiran Syekh
Burhanuddin al-Zarnuji dari kitab “Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum”
yang beliau karang.
Kajian ini dimaksudkan untuk melengkapi kajian-kajian yang telah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang telah banyak membahas
tentang beberapa aspek pendidikan yang diangkat dari pendapat Syekh
Burhanuddin al-Zarnuji.
Di alenia berikut ini akan dipaparkan beberapa kajian dan penelitian yang
telah dilakukan sebelum peneliti melakukan penelitian ini.
1. RELEVANSI SISTEM PENDIDIKAN TRADISIONAL DI ERA
KONTEMPORER (Study kritis Kitab “Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum” karya Syekh al-Zarnuji).14 Skripsi ini dikarang oleh Istambul
Arifin, pada tahun 2003. Dalam penelitian ini menjelaskan tentang sistem
belajar dan pengajaran yang ditawarkan oleh Syekh al-Zarnuji dan
relevansinya dengan sistem pendidikan yang berjalan pada masa
kontemporer.
14 Istambul Arifin, “Relevansi Sistem Pendidikan Tradisional Di Era Kontemporer (Study kritis Kitab “Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum” karya Syekh Al-Zarnuji”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2003. Hlm. xiii.
27
Penelitian ini dilakukan untuk menyikapi pengaplikasian konsep yang
ditawarkan oleh al-Zarnuji pada pendidikan masa kini dalam hubungan
antara guru dan peserta didik yang dirasa tidak terlalu harmonis dalam
pembelajaran, dikarenakan siswa harus merasa pasif dalam pembelajaran.
Hal ini akan menyebabkan pendidikan mengalami ketidak berhasilan
dalam mencetak manusia yang benar-benar memiliki kecerdasan yang
utuh baik kognitif, psikomotik, dan afektik.
2. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SYEKH
AL-ZARNUJI (Study Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum).15
Penelitian yang ditulis oleh Unun Zumairoh Asr Himsyah pada tahun
2006. Penelitian ini mengungkap tentang Konsep Pendidikan menurut Al-
Zarnuji secara umum, mulai dari konsep ilmu, peserta didik, pendidik
hingga 13 pasal dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.
Dalam penelitian tersebut, diungkapkan bahwa konsep pendidikan al-
Zarnuji terdiri dari 13 pasal yang mana dalam penelitiannya dipengaruhi
oleh kondisi budaya, politik, dan pendidikan yang berjalan pada masa
Burhanuddin al-Zarnuji hidup. Hasil penelitian yang disampaikan dalam
skripsi ini merupakan salah satu revisi konsep pendidikan dari konsep al-
Zarnuji dan merupakan salah satu dari permasalahan kebobrokan moral
pelajar pada saat ini.
3. PEMIKIRAN PENDIDIKAN SYEKH AL-ZARNUJI (Study Tentang
Kedudukan dan Hubungan antara Guru dan Peserta didik dalam Kitab
15 Unun Zamriroh Asr Himsyah, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Syekh Al-Zarnuji (Study Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2006
28
Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum).16 Penelitian ini ditulis oleh
Suprihatin pada tahun 2004. Dalam penelitiannya dia mengungkap tentang
hubungan dan kedudukan guru yang diungkap oleh Syekh al-Zarnuji
dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.
Skripsi tersebut menyikapi tentang kedudukan guru yang diungkapkan
oleh al-Zarnuji dalam kitabnya. Di samping itu al-Zarnuji memandang
peserta didik itu hanya sebagai objek atau sasaran dalam pendidikan. Oleh
karena itu, seorang peserta didik harus tunduk dan patuh terhadap semua
hal yang dikehendak guru.
Dari sederetan penelitian terdahulu yang telah terpapar sebelumnya.
Belum ada penelitian yang secara a whole (menyeluruh) membahas
tentang etika peserta didik. Oleh sebab itu, pada penelitian ini peneliti akan
mengangkat judul konsep etika peserta didik dalam perspektif
Burhanuddin al-Zarnuji dan di relevansikan dengan pendidikan masa kini.
Selain sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, penelitian ini juga bertujuan agar konsep yang disampaikan
oleh al-Zarnuji tentang etika peserta didik dapat tersampaikan secara
menyeluruh dan dapat dijadikan bahan referensi bagi dunia pendidikan.
16 Suprihatin, “Pemikiran Pendidikan Syekh Al-Zarnuji (Study Tentang Kedudukan dan Hubungan antara Guru dan Peserta didik dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2004.
29
H. Desain Penelitian
1. Metode dan Jenis Penelitian
Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh untuk mencapai
tujuan tertentu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
merujuk pada metode yang dikembangkan oleh Jujun Suriasumantri17
yaitu deskriptif analitis kritis. Menurut Suriasumantri, metode ini
merupakan pengembangan dari metode deskriptif atau yang dikenal
dengan sebutan deskriptif analitis, yang mendeskripsikan gagasan manusia
tanpa suatu analisis yang bersifat kritis. Menurut Suriasumantri, metode
ini kurang menonjolkan aspek kritis yang justru sangat penting dalam
mengembangkan sintesis. Karena itu, menurut Jujun seharusnya yang
lengkap adalah metode deskriptis analisis kritis atau disingkat menjadi
analitis kritis.
Metode analitis kritis bertujuan untuk mengkaji gagasan primer
mengenai suatu “ruang lingkup permasalahan” yang diperkaya oleh
gagasan sekunder yang relevan. Adapun fokus penelitian analitis kritis
adalah mendeskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan primer yang
selanjutnya “dikonfrontasikan” dengan gagasan primer yang lain dalam
upaya melakukan studi berupa perbandingan, hubungan dan
pengembangan model
17 Jujun S. Sumantri, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Bersama dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu (Bandung: Nuansa bekerjasama dengan Pusjarlit Press,1998), hlm. 41-61.
30
Selain ini sebagai suatu analisis filosofis terhadap pemikiran
seorang tokoh dalam waktu tertentu dimasa yang lampau, maka secara
metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan historis (historical
research). Pendekatan tersebut mengingat salah satu jenis penelitian
sejarah adalah penelitian biografis, yaitu penelitian terhadap kehidupan
seorang tokoh dan pemikirannya dalam hubungannya dengan masyarakat,
sifat-sifat, watak, pengaruh pemikiran, ide-ide serta corak pemikirannya.18
Proses penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan
aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan
berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam
pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan
argumentasi berupa pengumpulan dan penyusunan data, serta analisis dan
penafsiran data tersebut untuk menjelaskan fenomena dengan aturan
berpikir ilmiah yang diterapkan secara sistematis. Dalam penjelasannya
lebih menekankan pada kekuatan analisis data pada sumber-sumber data
yang ada. Sumber-sumber tersebut diperoleh dari berbagai buku-buku dan
tulisan-tulisan lain dengan mengandalkan teori yang ada untuk
diinterpretasikan secara jelas dan mendalam untuk menghasilkan tesis dan
anti tesis .19
18 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Galia Indonesia, 1988), hlm. 62 19 Soejono dan Abdurrahman. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapannya (
Jakarta: Reneka Cipta, 1999). hlm. 25. penelitian kualitatif deskriptif secara khusus bertujuan untuk (1). Memecahkan masalah-masalah aktual yang dihadapi sekarang ini dan (2) mengumpulkan data atau informasi untuk disusun, dijelaskan dan dianalisis. Lihat S. Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2000) cet. Ke-2. hal. 8.
31
Studi ini mendasarkan kepada studi pustaka (library research), di
mana peneliti menggunakan penelitian deskriptif dengan lebih
menekankan pada kekuatan analisis sumber-sumber dan data-data yang
ada dengan mengandalkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada untuk
diintepretasikan dengan berdasarkan tulisan-tulisan yang mengarah kepada
pembahasan
2. Sumber Data
Sumber data berasal dari buku-buku, jurnal, dan karya ilmiah lain
yang relevan dengan pembahasan yang tentunya merupakan komponen
dasar. Dalam penelitian karya ilmiah ini, peneliti menggunakan personal
document sebagai sumber data penelitian ini, yaitu dokumen pribadi yang
berupa bahan-bahan tempat orang yang mengucapkan dengan kata-kata
mereka sendiri.20
Personal Document sebagai sumber dasar atau data primernya,
dalam hal ini adalah buku-buku yang berkaitan dengan Konsep Etika
Peserta Didik Dalam perspektif Burhanuddin Al-Zarnuji dalam Kitab
Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum dan relevansinya dalam
Pendidikan Islam Modern serta sumber-sumber lain dalam penelitian ini.
Sumber data tersebut dapat di bagi dalam:
a. Sumber primer terdiri dari karya yang di tulis oleh Burhanuddin Al-
Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum dan
terjemahannya.
20 Arief Furqan. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hlm. 23-24.
32
b. Sumber sekunder, mencakup publikasi ilmiah yang dan buku-buku
lain yang diterbitkan oleh studi selain bidang yang dikaji yang
membantu peneliti, yang berkaitan dengan konsep bidang yang dikaji.
Diantaranya adalah: Pengantar Study Etika, karangan M. Yatim
Abdullah, Filsafat Pendidikan Islam, karangan Abuddin Nata, Ilmu
Pendidikan Islam karya Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir Etika
Pendidikan Islam, karangan KH. M. Hasyim Asy’ari. Dan data-data
lain yang berupa jurnal-jurnal, majalah dan data-data lain yang
membicarakan tentang tema yang dituliskan dalam skripsi ini.
Data yang diperlukan dalam penelitian pustaka (library research)
pada penelitian ini bersifat kualitatif tekstual dengan menggunakan pijakan
terhadap statemen dan proporsi-proporsi ilmiah yang dikemukakan oleh
Burhanuddin Al-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum dan para pakar pendidikan dan akhlaq yang erat kaitannya
dengan pembahasan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebelum peneliti menjelaskan tehnik pengumpulan data dari
penelitian ini, perlu diketahui bahwa penelitian ini bersifat kepustakaan
(Library Research). Karena bersifat Library Research maka dalam
pengumpulan data peneliti menggunakan tehnik dokumentasi, artinya data
dikumpulkan dari dokumen-dokumen, baik yang berbentuk buku, jurnal,
majalah, artikel maupun karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan judul
yang diangkat oleh peneliti, yakni tentang etika peserta didik dalam
33
pendidikan Islam perspektif Syekh Burhanuddin Al-Zarnuji dan
relevansinya dengan pendidikan Islam masa kini.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul maka data tersebut
dianalisis untuk mendapatkan kongklusi, bentuk-bentuk dalam teknik
analisis data sebagai berikut:
a. Metode Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan
menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data
tersebut.21 Pendapat tersebut diatas diperkuat oleh Lexy J. Moloeng,
Analisis Data deskriptif tersebut adalah data yang dikumpulkan berupa
kata-kata dan gambar bukan dalam bentuk angka-angka. Hal ini
disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif, selain itu semua
yang dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang
sudah diteliti.22 Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi
kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan
tersebut.
b. Content Analysis atau Analisis Isi
Menurut Weber, Content Analisis adalah metodologi yang
memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang
shoheh dari sebuah dokumen. Menurut Hostli bahwa Content Analysis
21 Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik (Bandung: Tarsita, 1990) hlm. 139.
22 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002) Cet. Ke-16, hlm. 6.
34
adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan
melalui usaha untuk menemukan karekteristik pesan, dan dilakukan
secara objektif dan sistematis.23 Noeng Muhajir mengatakan bahwa
Content Analysis harus meliputi hal-hal berikut : objektif, sistematis,
dan general.24
Untuk mempermudah dalam penelitian ini, maka sangat
diperlukan pendekatan-pendekatan, di antaranya:
1) Induksi
Metode induktif adalah berangkat dari fakta-fakta atau
peristiwa-peristiwa khusus dan kongkrit, kemudian
digeneralisasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum.25
2) Deduksi
Metode deduksi adalah metode yang berangkat dari
pengetahuan yang bersifat umum itu hendak menilai sesuatu
kejadian yang sifatnya khusus.26
3) Komparasi
Metode komparasi adalah meneliti faktor-faktor tertentu
yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki
23 Ibid, hal 163 24 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Surasin, 1996) edisi
ke-III, Cet. Ke-7. Hlm. 69. 25 Sutrisno Hadi, Metode Research I, Afsed, Yogyakata, 1987. hlm. 42 26 Ibid. hlm.36
35
dan membandingkan satu faktor dengan yang lain, dan
penyelidikan bersifat komparatif.27
I. Sistematika Pembahasan
Dalam membahas penelitian ini, peneliti akan menyusun dalam lima Bab,
Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Bab III Biografi Syekh
Burhanuddin al-Zarnuji, Bab IV hasil penelitian dan Bab V Penutup.
1. Bab Pertama: Pendahuluan, yang berfungsi untuk mengantarkan
secara metodologis penelitian ini, berisi latar belakang masalah, Fokus
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, Penegasan Istilah,
Batasan masalah, penelitian terdahulu, desain penelitian dan sistematika
pembahasan.
2. Bab Kedua: Kajian Pustaka. Dalam kajian pustaka ini, peneliti akan
menjelaskan definisi etika, ruang lingkup etika, objek etika, pokok
bahasan, metode etika dan macam-macamnya, pengertian peserta didik,
Adab dan Tugas Peserta didik, Hakikat Pendidikan Islam, Fungsi dan
Tugas Pendidikan serta Tujuan Pendidikan.
3. Bab Ketiga: Biografi Syekh Burhanuddin al-Zarnuji. Memaparkan
biografi al-Zarnuji, situasi pendidikan pada masanya, sekilas tentang kitab
Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum dan latar belakang penulisan kitab
Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.
4. Bab Keempat: Hasil penelitian. Dalam bab ini, peneliti akan
melakukan analisis lebih mendalam konsep etika peserta didik dalam
27 Winarno Surachmad, op.cit., hlm. 142
36
pendidikan Islam, diawali dengan pemaparan isi Ta’lim al-Muta’allim
Tariq al-Ta’allum secara penyeluruh kemudian pada sub bab selanjutnya
adalah paparan tentang etika peserta didik yang diungkpakan oleh al-
Zarnuji dalam kitabnya, disertai dengan kutipan-kutipan menggunakan
bahasa yang digunakan al-Zarnuji dalam kitabnya. Dalam bab IV ini juga
akan diungkapkan relevansi konsep yang ditawarkan oleh al-Zarnuji
dengan pendidikan kekinian.
5. Bab Kelima: Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.
37
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Etika
1. Pengertian Etika
Menurut bahasa (etimologi) istilah etika berasal dari bahasa
Yunani, yaitu ethos yang berarti adat istiadat (kebiasaan), perasaan batin,
kecendrungan hati untuk melakukan perbuatan. Dalam kajian filsafat,
etika merupakan bagian dari filsafat yang mencakup metafisika,
kosmologi, psikologi, logika, hukum, sosiologi, ilmu sejarah, dan
estetika. Etika juga mengajarkan tentang keluhuran budi baik-buruk. 28
Banyak istilah yang menyangkut etika, dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti, yaitu tempat yang biasa, kandang, kebiasaan,
adat, watak, perasaan, sikap, cara pikir. Dalam bentuk jamak kata ta-etha
artinya kebiasaan. Arti ini menjadi bentuk dalam penjelasan etika yang
oleh Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukkan istilah etika. Jadi, jika
dibatasi asal-usul kata ini, etika berarti ilmu tentang apa yang bisa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Akan tetapi menelusuri arti
etimologi ini saja belum menunjukkan arti yang mendalam.
Etika termasuk ilmu pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku
yang berarti juga:
28 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Study Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.
38
a. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak dan
kewajiban.
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku
manusia.
c. Nilai mengenai benar-salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk dan
kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat.
Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang
segala kebaikan diseluruh aspek kehidupan manusia, mengenai gerak-
gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan perasaan sampai
mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
Ilmu etika ini tidak mempelajari atau membahas kebiasaan semata-
mata yang berdasarkan tata adab, melainkan membahas tata sifat-sifat
dasar, atau adat-istiadat yang terkait dengan baik dan buruk dalam tingkah
laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas
manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan
menerapkan pada situasi kehidupan konkret.29
Secara terminologi para ahli berbeda pendapat mengenai definisi
etika yang sesungguhnya. Masing-masing mempunyai pandangan sebagai
berikut:
a. Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
29 Ibid, hlm.5, Lihat Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah, 1996), hlm. 62.
39
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat.30
b. Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai,
kesusilaan tentang baik dan buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai
dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.31
c. Frans Magnis Susenuo mengartikan etika sebagai usaha manusia untuk
memakai budi dan daya untuk memecahkan masalah bagaimana ia
harus hidup apabila ia menjadi baik.32
d. M. Amin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari
tentang baik dan buruk. Jadi, bisa dikatakan etika berfungsi sebagai
teori perbuatan baik dan buruk (ethics atau ’ilm al-akhlakal al-
karimah), praktiknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.33
Dalam salah satu artikel yang ditulis oleh Gumgum Gumilar,
menyatakan bahwa Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya,
tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau
moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika
adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang
identik dengan etika, yaitu:
a. Susila (Sansekerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip,
aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
30 Ahmad Amin, loc. Cit., 31 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm. 82 32 M. Sastra Praja, Kamus Istilah Pendidikan Umum (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm.
144. 33 M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 15.
40
b. Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. 34
Meskipun pemakaian istilah etika sering disamakan dengan
pengertian ilmu akhlak, namun apabila diteliti secara seksama, maka
sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan dan
persamaan. Persamaannya terletak pada objeknya, baik objek material
maupun formal. Keduanya sama-sama membahas baik-buruk tingkah laku
manusia. Sedangkan perbedaannya, etika menentukan baik-buruk tingkah
laku manusia dengan tolok ukur akal pikiran, sedangkan ilmu akhlak
menentukannya dengan tolak ukur ajaran agama (Al-Qur’an dan Hadits).35
Filusuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan
tentang pembahasan etika, sebagai berikut:
a. Terminius Techicus
Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu
pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan
manusia.
b. Manner dan Custom
Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan
(adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature)
yang terikat dengan pengertian "baik dan buruk" suatu tingkah laku atau
perbuatan manusia.36
34 Gumgum Gumilar, Artikel, Etika Pergaulan, (http: www.pointeronline.org. Diakses 9 Februari 2009).
35 Huznithoyar, Etika Belajar Menurut al-Zarnuji, (http: www. blogspot.com diakses tanggal 12 Februari 2009).
36 Gumgum Gumilar, Etika Pergaulan, op. cit.,
41
2. Aliran-Aliran Etika
Sebelum membahas secara terperinci pokok-pokok bahasan etika
secara luas, terlebih dahulu dapat dilihat pandangan tentang filsafat etika
yang berkembang pada saat ini. Pada umumnya pendangan-pandangan
mengenai perkembangan dunia etika dikelompokkan menjadi tiga
golongan, yaitu:
a. Etika Hedonisme, aliran ini ditemukan sekitar 433-355 s.M, oleh
Aristippos dari Kyrene salah satu murid Sokrates. Menurut aliran ini
manusia menuruti kodratnya untuk mencari kesenangan dan berupaya
menghindari ketidaksenangan. Etika menurut aliran ini mengarahkan
kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya
kesenangan bagi manusia.37
b. Etika Eudemonisme, aliran ini berasal dari Yunani besar oleh
Aristoteles sekitar tahun 384-322 s.M. Dalam aliran ini menegaskan
bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan.
Makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia), akan
tetapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai
tujuan akhir kehidupan manusia, dirasa belum memecahkan semua
kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal
yang berbeda-beda. Ada sebagian orang yang berangkapan bahwa
kekayaan adalah sebuah kebahagiaan, dan sebagian yang lain
beranggapan bahwa kesenangan adalah sebuah kebahagiaan. Menurut
37 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama, 2002) hlm. 235-242.
42
Aristoteles, semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan akhir.
Aristoteles menambahkan bahwa seseorang akan mencapai tujuan
akhirnya dengan menjalankan fungsinya secara baik. Orang yang
bahagia menurut aliran ini adalah orang yang baik dalam arti moral
selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam
perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam
penalaran intelektual.38
c. Etika Utilitaristik, sebuah aliran yang berasal dari tradisi pemikiran
moral United Kingdom dan kemudian berpengaruh hingga keseluruh
kawasan yang berbahasa Inggris. Dipelopori oleh Filsuf Skotlandia,
David Hume (1711-1776 M) menurut aliran ini, mengoreksi aliran
sebelumnya dengan menambah bahwa kesenangan atau kebahagiaan
dihasilkan oleh etika yang baik dan merupakan kebahagiaan bagi
sebanyak mungkin orang.39
d. Etika deontologis, yaitu etika yang memandang bahwa sumber bagi
perbuatan etis adalah kewajiban. Baik buruknya sebuah perbuatan
dilihat dari konsekuensi yang ditimbulkan ketika perbuatan tersebut
dilaksanakan.40
Selanjutnya pokok-pokok pembahasan etika diperjelas secara luas
dengan mengemukakan pandangan-pandangan beberapa filosof etika,
sebagai berikut:
38 Ibid, hlm. 242-246. 39 Ibid, hlm. 246-254. 40 Ibid, hlm. 254.
43
a. Teori etika yang bersifat fitri. Teori ini dikemukakan oleh ahli filasafat
Yunani klasik, yaitu Sokrates. Selanjutnya dikemukakan oleh
muridnya Plato. Teori ini menyatakan bahwa etika bersifat fitri. Yaitu,
pengetahuan tentang baik dan buruk atau dorongan berbuat baik
sesungguhnya telah ada pada sifat alami pembawaan manusia.
b. Teori etika empiris klasik, Aristoteles (384-322 SM) murid Plato, yang
lebih dikenal sebagai ahli logika, tokoh peletak landasan prifatisme.
Sang guru berpendapat bahwa etika merupakan suatu keterampilan
semata dan tidak ada kaitannya sama sekali dangan alam idea platonik
yang bersifat supranatural. Keterampilan tersebut didapat dari hasil
latihan dan pengajaran. Artinya, seseorang harus berlatih dan belajar
untuk berbuat baik, maka ia pun akan menjadi orang yang beretika
baik. Penadapat Aristoteles (384-322 SM) lebih dikenal dengan teori
modorasi. Ia mengatakan bahwa etika baik sesungguhnya identik
dengan memilih sesuatu yang bersifat tengah-tengah. Artinya, etika
pada dasarnya perbuatan yang bersifat netral. Hakikatnya ketakutan
tidaklah jelek, begitupun dengan keberanian. Keberanian goa adalah
keberanian tidak mutlak. Demikian ketakutan tidak mutlak buruk,
keduanya bisa disebut baik jika menempatkan posisinya.
c. Teori etika modernisme. Awal pemikiran filosof modernisme ditandai
dengan pemikiran Descartes pada pertengahan abad ke-15. Dalam
permasalahan etika, corak pemikiran modernisme berbeda dari dua
teori di atas, tetapi pada saat yang sama mereka justru mempunyai
44
suatu etika yang bersifat rasional, absolut, dan universal yakni bisa
disepakati oleh sesama Muslim.
d. Teori etika Emmanuel Kant. Pandangan Immanuel Kant mengenai
etika tidak kalah menariknya. Menurutnya, etika bersifat fitri meskipun
demikian sumbernya tidak bersifat rasional. Bahkan, ia bukanlah
urusan nalar murni. Justru apabila manusia menggunakan nalarnya dan
berusaha merumuskan etika, ia dengan sendirinya tidak akan sampai
pada etika yang sesungguhnya. Di samping akan berselisih satu sama
lain mengenai makna baik dan makna buruk, etika yang bersifat
rasional bukan lagi etika melainkan bisa terjebak ke dalam perhitungan
untung dan rugi.
e. Teori Bertrand Russell. Berbeda dengan Emmanuel Kant, Bertrand
Russell berpendapat bahwa perbuatan etika bersifat rasional. Artinya,
justru karena rasional, ia melihat perlunya bertindak secara etis yang
pada akhirnya pasti mendukung pencapaian intertis (kepentingan) sang
pelaku. Baik intertis material maupun nonmaterial, dengan istilah lain
nilai-nilai etis bersifat pragmatis dan utilitaristik.
f. Teori etika posmodernisme. Secara umum etika posmodernisme dapat
dicirikan dengan hilangnya kepercayaan terhadap narasi-narasi besar
yang merincikan modernisme. Para tokoh posmodernisme berpendapat
bahwa kebenaran bersifat relatif, terhadap waktu, tempat, dan budaya.
Teori-teori yang memiliki keberlakuan terbatas bukan saja narasi-
narasi besar, bukan memiliki kebenaran yang bisa menyesatkan,
45
pemaksaan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara
indiskriminatif mengandung potensi menindas. Ada pemakasaan agar
objek disesuaikan dengan teori termasuk di dalamnya tentang hukum,
ekonomi, sejarah, ataupun etika.
g. Filsafat etika Islam. Setelah membahas berbagai wacana etika, maka
pada item ini merupakan pembahasan etika Islam. Perlu dipahami
bahwa upaya perumusan etika di dalam sejarah Islam dilakukan oleh
berbagai pemikiran dari berbagai cabang pemikiran termasuk di
dalamnya ulama, hukum, para teolog, para mestikus, dan pada filosof.
Islam berpihak para teori tentang etika yang bersifat fitri.41 Artinya,
semua manusia pada hakikatnya baik. Muslim maupun bukan,
memiliki pengertian fitri yang baik dan buruk. Di sinilah titik temu dari
filsafat Islam dengan berpegang teguh pada pandangan filsafat Yunani
era Sokrates, Plato dan Emmanuel Kant dari masa modern. Tampaknya
pemikir Islam dari berbagai pendekatan sama sepakatnya mengenai hal
ini. Muslim pada umumnya percaya bahwa manusia mampu
memperoleh pengertian tentang etika yang benar dari pemikiran
rasional mereka. Etika Islam didasarkan pada keadilan, yakni
menempatkan segala sesuatu pada posisinya. Di sini tampak
41 Al-Qur’an mengatakan: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sessungguhnya rugilaho orang yang mengotorinya (Q.S. Asy-Syams 8-10).
46
kesejalanan antara teori Aristoteles tentang moderasi (hadd alwasath)42
tanpa merelatifkan etika itu sendiri.43
Setelah melihat dari beberapa pemikiran aliran etika tersebut dapat
terbaca bahwa Burhanuddin al-Zarnuji mengikuti aliran filsafat yang
menyatakan bahwa sesungguhnya manusia pada hakikatnya baik, dan
dapat menyadari serta memilih perbuatan yang berdampak baik pada
dirinya dan orang lain.
Selain mendukung pemikiran yang dipelopori oleh Sokrates,
Burhanuddin al-Zarnuji menyetujui pendapat Aristoteles dengan empiris
klasiknya. Aristoteles berpendapat bahwa etika merupakan suatu
keterampilan semata dan tidak ada kaitannya sama sekali dangan alam
idea platonik yang bersifat supranatural. Keterampilan tersebut didapat
dari hasil latihan dan pengajaran. Hal ini terbaca sekali dalam penulisan
kitabnya yang diutarakan dengan bahasa aplikatif dan sarat dengan latihan
atau pembiasaan44 yang tidak hanya timbul dari kesadaran pribadi, akan
tetapi pengaruh dari luar dirinya.
3. Ruang Lingkup Etika
Dalam bukunya M. Yatimin Abdullah menyatakan, etika
menurutnya menyelidiki segala perbuatan manusia menetapkan hukum
dan baik. Akan tetapi, tidaklah semua perbuatan itu dapat diberi hukum.
42 Sesuai dengan ajaran Nabi saw., bahwa urusan yang terbaik adalah pertengahan. 43 M. Yatimin Abdullah, Op. Cit. hlm. 15-21
44 Pembiasaan yang dimaksud adalah timbulnya perilaku manusia (peserta didik) yang tidak spontan, ada pengaruh atau stimulus dari luar dirinya yang membuat pribadi peserta didik menyadari bahwa hal yang dinyakini dihatinya (supranatural) adalah baik, dengan adanya pengenalan melalui media mengajaran dan latihan. Baik dilakukan oleh diri sendiri aaupun orang lain.
47
Perbuatan manusia ada yang timbul bukan karena kehendak, seperti
bernapas, detak jantung, dan memicingkan mata dengan tiba-tiba waktu
berpindah dari gelap ke cahaya. Hal tersebut bukan persoalan etika dan
tidak dapat dihukumi etika.
Etika menaruh perhatian pada prinsip pembenaran tentang
keputusan yang telah ada. Etika tidak akan memberikan kepada manusia
arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang individu
hidup dengan kebaikan. Etika menaruh perhatian pada pembicaraan
mengenai prinsip pembenaran tentang keputusan yang telah ada.
Ruang lingkup etika tidak memberikan arahan yang khusus atau
pedoman yang tegas terhadap pokok-pokok bahasannya, tetapi secara
umum ruang lingkup etika adalah sebagai berikut:
a. Etika menyelidiki sejarah dalam berbagai aliran, lama dan baru
tentang tingkah laku manusia.
b. Etika membahas tentang cara-cara menghukum, menilai baik dan
buruknya suatu pekerjaan
c. Etika menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak,
memengaruhi, dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia,
meliputi faktor manusia itu sendiri, fitrahnya (nalurinya), adat
istiadatnya, lingkungannya, kehendak, cita-citanya, suara hatinya,
motif yang mendorong berbuat dan masalah pendidikan etika
d. Etika menerangkan mana yang baik dan mana pula yang buruk.
Menurut ajaran Islam etika yang baik itu harus bersumber pada al-
48
Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad. Ini tidak dapat ditawar-tawar
lagi, karena jika etika didasarkan pada pemikiran manusia (filsafat)
hasilnya sebagian selalu bertentangan dengan fitrah manusia
e. Etika mengajarkan cara-cara yang perlu ditempuh, juga untuk
meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemuliaan, misalnya dengan
cara melatih diri untuk mencapai perbaikan bagi kesempurnaan
pribadi. Latihan adalah cara yang sangat tepat untuk membiasakan
manusia beretika luhur bukan hanya teori saja, tetapi benar-benar
mengakar dalam hati sanubari setiap insan
f. Etika menegaskan arti dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga
dapatlah manusia terangsang secara aktif mengerjakan kebaikan dan
menjauhkan segala kelakuan yang buruk dan tercela.45
4. Macam- Macam Etika
Dalam membahas etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang
tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral
(mores). Manusia disebut etis, jika manusia secara utuh dan menyeluruh
mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan
antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani
dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan
penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-
45 M. Yatimin Abdullah, op. cit, hlm.12
49
norma yang dikaitkan dengan etika. Terdapat dua macam etika sebagai
berikut:46
a. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan
perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam
hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif
tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai
nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan
situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa
tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam
suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu
memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
b. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan
seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya
dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup
ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat
menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan
hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati
dan berlaku di masyarakat. Dari berbagai pembahasan definisi
tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3)
jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
46 Gumgum Gumilar, op. cit.,
50
1) Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang
khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku
manusia.
2) Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang
membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan
bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada
keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan
tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih
bersifat sosiologik.
3) Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang
bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik
buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu
menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan
merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif
dan reflektif.47
Di literatur lain disebutkan, etika hanya mengadakan kajian
terhadap sistem nilai atau moralitas. Sehingga macam etika ditentukan
oleh obyek kajian yang dilakukan. Burhanuddin Salam menyebutkan
beberapa macam etika yang meliputi:
a. Algedonsic Ethics (Etika yang memperbincangkan masalah
kesenangan dan penderitaan).
b. Business Ethics (Etika yang berlaku dalam perhubungan dagang).
47 Gumgum Gumilar, op, cit.,
51
c. Educational Ethics (Etika yang berlaku dalam perhubungan
pendidikan).
d. Hedonistic Ethics (Etika yang hanya mempersoalkan masalah
kesenangan dengan cabang-cabangnya).
e. Humanistic Ethics (Etika kemanusiaan, membicarakan norma-norma
hubungan antara manusia atau antar bangsa).
f. Idealistic Ethics (Etika yang membicarakan sejumlah teori-teori
etika yang pada umumnya berdasarkan psikologi dan filsafat).
g. Materialistic Ethics (Etika yang mempelajari segi-segi etik ditinjau
dari segi yang materialistik, lawan dari etika yang idealistik).
h. Epicuranism Ethics (Etika aliran epicurian, hampir sama ajarannya
dengan aliran materialistik).
i. Islamic Ethics, Cristian Ethics, Buddism Ethics dan sebagainya yang
membicarakan tentang etika agama.
j. Etika pendidikan Islam (Islamic educational ethics) adalah sub
sistem dari etika pendidikan (educational ethics) dan etika Islam
(Islamic ethics). 48
5. Metode Etika
a. Metode Pembinaan Etika
Metode pembinaan etika berarti suatu kegiatan yang menyangkut
pembinaan siswa, yang berhubungan dengan perkembangan kognitif,
afektif dan psikomotorik siswa, yaitu supaya siswa berpengetahuan,
48 Burhanuddin Salam, Etika Individual : Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka Cipta, Jakarta,2000, hal. 21.
52
cakap, berfikir kritis, sistematis, objektif, dan terampil dalam
mengerjakan sesuatu.
Ki Hajar Dewantara mengatakan, metode pembinaan etika ialah
salah satu bagian dari proses pendidikan, yaitu dengan cara
memberikan ilmu etika melalui pengetahuan dan kecakapan. Jadi,
pembinaan etika merupakan suatu usaha dalam membina etika siswa
sehingga tercipta kepribadian yang utama terhadap perkembangan
jasmani dan rohani bagi siswa. Banyak metode yang dapat digunakan
dalam metode pembinaan etika, diantaranya:
1) Metode Syariat (Doktrin)
Seorang peserta didik yang daya berfikir dan penalarannya
masih dalam perkembangan diperlukan adanya doktrin-doktrin
yang membiasakan perilaku agar anak menjadi baik. Doktrin yang
dimaksudkan adalah ajaran-ajaran agama yang sifatnya mengikat
dan harus dilakukan oleh anak. Maka di sini sebenarnya
diperlukan model atau contoh dari orang-orang yang ada di
dekatnya.
2) Metode Dialog
Anak dilahirkan dengan membawa berbagai macam
potensi, termasuk potensi etika yang dibawanya dari ibu dan
ayahnya. Potensi yang ada tersebut masih bersifat dasar, maka
pengembangannya dapat dilakukan dengan cara berdialog untuk
53
menggugah dan menyadarkan berdasarkan potensi yang
dimilikinya.
3) Metode Keteladanan
Pada diri manusia terutama pada usia anak-anak dan remaja
sifat menirunya sangat dominan. Di usia dewasa pun pengaruh
keteladanan dalam diri seseorang masih dapat ditemukan.
Sehingga Allah swt., mengutus Nabi Muhammad saw.,dengan
tugas utama memperbaiki etika manusia. Metode utama yang
dilakukan Nabi Muhammad saw., dalam berdakwah adalah
dengan keteladanan. Dengan Metode inilah nabi mendapatkan
keberhasilan dalam mengemban tugas mulianya.49
b. Metode Kritik dalam Etika
Franz Magnis Suseno dalam Etika Dasar menekankan bahwa
etika pada hakekatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika
tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-
kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan
moral secara kritis. Etika akan selalu menuntut setiap pemberlakuan
sistem moral dengan pertanggungjawaban. Berbagai pandangan
dalam metode etika, yang dituntut adalah sebuah pendekatan kritis.
Pendekatan kritis ini akan menjadikan kajian-kajian tentang
sistem nilai dan moralitas semakin progresif. Metode progresif ini
pulalah yang selama ini dipakai dalam banyak kajian fisafat etika,
49 Ibid, hlm. 21-30
54
yang juga oleh para filosuf terkemuka seperti sokrates dan Plato
selalu dijadikan sebagai metode berfilsafat.50
B. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
1. Pengertian Peserta Didik
Di antara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta
didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek
dan objek. Oleh karenanya, aktivitas kependidikan tidak akan terlaksana
tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang
konsep peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan
dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung
dalam proses pendidikan. Tanpa pemahaman yang utuh dan komprehensif
terhadap peserta didik, sulit rasanya bagi pendidik untuk dapat
menghantarkan peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang
yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang
masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk Allah
swt., yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai
taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-
bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak,
perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.51
50 Tabi’in, ”Etika peserta didik Perspektif K.H. Hasyim Asy’ary (Tela’ah Kritis Ktab Adab Li a’lim waa Muta’lim)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah, 2008. hlm. 21-22. Lihat Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 25
51 Samsul Nizar, op. cit.,hlm. 47.
55
Abuddin Nata dalam bukunya menyatakan, dilihat dari kedudukannya
peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik
optimal kemampuan fitrahnya.52
Dalam pandangan yang lebih modern, peserta didik tidak hanya
dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di
atas, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subjek pendidikan. Hal ini
antara lain dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan
masalah proses belajar mengajar. 53
Dalam Bahasa Indonesia ada tiga sebutan untuk orang yang sedang
menuntut ilmu atau peserta didik, yaitu dikenal dengan sebutan murid, anak
didik dan peserta didik. Peralihan-peralihan sebutan ini, melihat dari buku
Ahmad Tasir bahwa ada perbedaan prosentase yang dimiliki ketiganya.
Disebut guru-murid jika pengajaran 100 % menjadi milik guru (teacher
centred) dan 0 % dari murid. Sedangkan penyebutan guru-anak didik, maka
75 % pengajaran berpusat pada guru dan 25 % pada anak didik, dan
penggunaan istilah peserta didik, maka prosentase pengajaran 50 % untuk
guru dan 50 % untuk peserta didik 54
Sedangkan dalam bahasa Arab, dikenal tiga istilah yang sering
digunakan untuk menunjukkan pada peserta didik. Tiga istilah tersebut
52 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm.79 53 Ibid. hlm, 79 54 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu
Memanusiakan Manusia, Bandung: Rosdakarya Offset, 2006, H. 164-166
56
adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau
membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti peserta
didik, dan thalib al-ilm yang menuntut ilmu, peserta didik, atau
mahasiswa.55 Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang
yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaanya hanya terletak pada
penggunaannya. Pada sekolah yang tingkatannya rendah seperti Sekolah
Dasar (SD) digunakan istilah murid dan al-tilmidz, sedangkan pada sekolah
yang tingkatannya lebih tinggi seperti SLTP. SMA dan Perguruan Tinggi
digunakan istilah thalib al-ilm.56
Kata al-tilmidz tidak mempunyai akar kata dan berarti peserta didik.
Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di
madrasah. Istilah ini digunakan antara lain oleh ahmad tsalabi.
Selanjutnya terdapat pula kata al-mudarris, berasal dari bahasa Arab,
darrasa berarti orang yang mempeserta didiki sesuatu. Kata ini dekat
dengan kata madrasah dan seharusnya digunakan untuk arti peserta didik
pada suatu madrasah, namun dalam praktiknya tidak demikian. Istilah ini
antara lain digunakan oleh Anwar al-juhdi.
Ketiga kata tersebut (murid-al-tilmidz-dan al-mudarris) kelihatannya
digunakan untuk menunjukan pada peserta didik tingkat dasar dan lanjutan.
Karena semuanya itu menggambarkan sebagai orang yang baru belajar,
belum memiliki wawasan dan masih amat bergantung kepada guru dan
belum menggambarkan kemandirian.
55 Mahmud Yunus,Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) hlm. 79 dan 238.
56 Abuddin Nata, op. cit.,hlm 79-80.
57
Istilah lain yang berkenan dengan peserta didik (peserta didik) adalah al-
thalib kata ini berasal dari bahasa arab, thalaba, yathlubu, thalaban,
thaliban yang berarti orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini dapat
dipahami karena seorang peserta didik adalah orang yang tengah mencari
ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan pembentukan
kepribadiannnya untuk bekal kehidupannya di masa depan agar berbahagia
dunia dan akhirat. Sebagaimana yang diungkap sebelumnya, bahwa
penggunaan istilah ini banyak digunakan untuk peserta didik di perguruan
tinggi yang disebut mahasiswa.
Penggunaan mahasiswa untuk perguruan tinggi dapat dimengerti karena
seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar yang ia peroleh
dari tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, terutama pengetahuan tentang
membaca, menulis dan berhitung. Dengan bekal pengetahuan dasar ini, ia
diharapkan memiliki bekal untuk mencari, menggali dan mendalami bidang
kelimuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih
bahan-bahan bacaan, seperti buku, surat kabar, majalah, fenomena sosial
melalui berbagai peralatan dan saran pendidikan lainnya, terutama bahan
bacaan. Bahan bacaan tersebut setelah dibaca, ditelaah dan dianalisa
kemudian dituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel, makalah,
skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian dan sebagainya.
Dengan demikian dalam arti al-thalib seorang peserta didik lebih bersifat
aktif, mandiri, kreatif dan tidak banyak bergantung kepada guru. Bahkan
dalam beberapa hal ia dapat meringkas, mengkritik dan menambahkan
58
informasi yang disampaikan oleh guru atau yang lebih dikenal sebagai dosen
atau supervisor. Dalam konteks ini seorang dosen harus bersikap
demokratis, memberi kesempatan dan menciptakan suasana kelas yang
bebas untuk mendorong mahasiswa memecahkan masalah yang mereka
hadapi. Kesempatan belajar yang diciptakan dosen adalah agar merangsang
para mahasiswa belajar, berpikir, melakukan penalaran yang memungkinkan
para mahasiswa dan dosen tercipta hubungan sebagai mitra belajar. Minat
dan pemahaman, timbal balik antara dosen dan mahasiswa ini akan
memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar mengajar pada kelas
bersangkutan .
Istilah thalib selanjutnya banyak digunakan oleh para ahli pendidikan
Islam sejak zaman klasik sampai dengan zaman sekarang. Diantara yang
menggunakan istilah al-thalib adalah imam Al-Ghazali Dalam hubungan ini
ia mengatakan bahwa al-thalib adalah bukan kanak-kanak yang belum bisa
berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada
orang yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan
mendahulukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Bahwasanya ia adalah
seseorang yang telah mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan
baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seorang yang sudah
dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam melaksanakan kewajiban
agama yang dibebankan kepadanya sebagai fardhu ‘ain. Seorang al-thalib
adalah manusia yang telah memiliki kesanggupan memilih jalan kehidupan,
menentukan apa yang dinilainya baik dan tidak pula dibebankan kepadanya
59
untuk berusaha mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam mencarinya,
sebagaimana yang demikian itu dapat ia nilai sebagai yang buruk untuk
ditinggalkan dan menyucikan dirinya.
Pendapat al-Ghazali tersebut sejalan dengan ibnu jama’ah sebagaimana
dikemukakan Dr. Abd al-amir Syams al-Din yaitu bahwa yang dimaksud
dengan al-thalib adalah orang yang telah mencapai tingkatan dalam
kecerdasan, dapat berpikir dengan baik dan berusaha sejalan dengan
kepribadian dan kecerdasannya dalam memilih jalan dalam mendapatkan
ilmu dan upaya-upaya untuk mencapainya. Semua ini dihubungkan dengan
upaya pada setiap sesuatu yang diatur kearah tercapainya tujuan dan
keharusan, baik yang bersifat fisik, pemikiran, kehidupan, dan budi pekerti.
Istilah lainnya yang berhubung dengan peserta didik adalah al-
muta’allim. Kata ini berasal bahasa Arab allama, yuallimu, ta’liman yang
berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan. Istilah ini termasuk yang
paling banyak digunakan para ulama pendidikan dalam menjelaskan
pengertian peserta didik, dibandingkan dengan istilah lainnya, salah satunya
Burhanuddin al-Zarnuji.
Kemudian jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits dapat dijumpai
tentang penggunaan kata al-muta’allim untuk arti peserta didik atau orang
yang menuntut ilmu pengetahuan. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai kata
allama pada ayat 30 surat al-baqarah dan 5 ayat surat al-alaq. Kata allama
ini serumpun dengan kata muta’allim. Ayat-ayat tersebut misalnya:
60
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat” (QS. Al-Baqarah, 2; 31)57
Pada ayat tersebut Allah swt., bertindak sebagai yang mengajar ( al-
Mua’llim) dan Nabi Adam berada dalam posisi sebagai yang belajar (
Muta’allim). Terdapat juga dalam ayat berikut:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” ( QS. Al-Alaq, 1-5)58
Pada ayat tersebut lagi-lagi Allah swt., bertindak sebagai pengajar atau
pemberi ilmu, sedangkan manusia berada pada posisi sebagai yang diberi
peserta didik (al-Mutaallim).
Selanjutnya jika dibandingkan dengan istilah-istilah yang mengacu
pada pengertian peserta didik sebagaimana yang disebutkan diatas,
tampaklah bahwa penggunaan kata al-muta’alim jauh lebih banyak
digunakan dibandingkan kata peserta didik, tilmidz atau istilah lainnya.
Hal ini dapat dipahami mengingat kata al-muta’alim lebih bersifat
universal, yaitu mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua
57 Al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang: Menara Kudus,2006), hlm.6. 58 Ibid, hlm. 597.
61
tingkatan, mulai dari tingkatan dasar sampai dengan tingkat perguruan
tinggi. Dengan kata lain istilah al-muta’alim mencakup istilah pengertian
peserta didik, tilmidz, mudaris, thalib dan sebagainya. Sedangkan istilah-
istilah lainnya bersifat spesifik dan terbatas.59
Berdasarkan pengertian di atas, maka peserta didik dapat dicirikan
sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu,
bimbingan, dan pengarahan.60 Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum, Syekh Burhanuddin Al-Zarnuji menyebut peserta didik dengan
sebutan muta’allim sebagaimana dipaparkan sebelumnya.61
Dalam pandangan Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah swt.,
sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru.
Karena ilmu berasal dari Allah swt., maka membawa konsekuensi
perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah swt., atau
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia yang disukai Allah swt., dan
sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah swt..
Dalam hubungan ini muncullah aturan normatif tentang perlunya kesucian
jiwa, yang menurut istilah yang di paparkan Al-Ghazali adalah tazkiyah
an-nafs. Sebagai orang yang menuntut ilmu hal ini perlu dimiliki. Karena
ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah swt.. Hal
ini dapat dipahami dari ucapan Imam Syafi’i sebagai berikut:
59 Abuddin nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Peserta didik PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 49-54
60 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm 79-80. 61 Burhan al-Din al-Zarnuji, Tanpa tahun, Ta’lim al-Muta’aliim, cetakan Indonesia
(Surabaya: Dar al-ilm).
62
Aku mengadukan masalahku kepada guruku bernama Waki’,
karena kesulitan dalam mendapatkan ilmu (sulit menghafal). Guruku itu menasehatiku agar menjauhi perbuatan maksiat. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah swt., it tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.62
Samsul Nizar menegaskan dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam,
ada beberapa diskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya
terhadap pendidikan Islam, yaitu:
a. Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa akan tetapi
memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar
perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak
disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek
metode mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang
digunakan, dan lain sebagainya.
b. Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesiasi
perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk
diketahui agar aktifitas kependidikan Islam disesuaikan dengan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang umumnya dilalui oleh
peserta didik. Hal ini sangat beralasan, karena kadar kemampuan
peserta didik ditentukan oleh faktor usia dan periode perkembangan
atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c. Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang
menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
62 Abuddin Nata, op. cit, hlm.
63
Di antara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan biologis, kasih sayang,
rasa aman, harga diri, realisasi diri, dan lain sebagainya. Kesemuanya
itu perlu dipahami oleh pendidik agar tugas-tugas kependidikan dapat
berjalan secara baik dan lancar.
d. Peserta didik adalah makhluk Allah swt., yang memiliki perbedaan
individual (differensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor
pembawaan maupun lingkungan di mana dia berada. Pemahaman
tentang differensiasi individual peserta didik perlu untuk dipahami
oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan karena menyangkut
bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam
menghadapi ragam sikap perbedaan tersebut dalam suasana yang
dinamis, tanpa harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau
kelompok.
e. Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani
dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki
latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan.
Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan
daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan
hendaknya diarahkan untuk mengasah daya intelektualitasnya melalui
ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat
dilakukan melalui pendidikan akhlak dan Ibadah.
f. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas
64
pendidik adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan
perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang
diinginkan, tanpa melepaskan kemanusiaanya; baik secara vertical
maupun horizontal. Ibarat sebidang sawah, peserta didik adalah orang
yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi).
Sementara pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami
dan mengontrol tanaman agar tumbuh subur sebagaimana mestinya,
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.63
Peserta Didik sebagai subjek pendidikan Islam, sebagaimana
diungkapkan Asma Hasan Fahmi, sekurang-kurangnya harus
memperhatikan empat hal berikut:
a. Seorang peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan
penyakit jiwa sebelum melakukan proses belajar, karena belajar dalam
Islam merupakan ibadah yang menuntut adanya kebersihan hati.
b. Peserta didik harus menanamkan dalam dirinya bahwa tujuan
menuntut ilmu adalah meraih keutamaan akhlak, mendekatkan diri
kepada Allah swt., bukan untuk bermegah-megahan atau bahkan
mencari kedudukan.
c. Seorang peserta didik harus memiliki ketabahan dan kesabaran dalam
mencari ilmu, dan bila perlu melakukan perjalanan merantau untuk
mencari guru, atau apa yang disebut rihlah ilmiyyah.
d. Seorang peserta didik wajib menghormati gurunya, dan berusaha
63 Samsul Nizar, op. cit, hlm. 48-50.
65
semaksimal mungkin meraih kerelaannya dengan berbagai macam
cara yang terpuji.64
2. Etika Peserta Didik
Dalam beberapa literatur yang menuliskan tentang peserta didik,
menyatakan etika peserta didik dengan istilah tugas dan kewajiban. Akan
tetapi kebanyakan literatur yang peneliti baca, mengistilahkan tugas dan
kewajiban peserta didik dengan etika belajar. Salah satu literatur yang
menyebutkan etika peserta didik dengan sebutan tugas dan kewajiban adalah
seperti yang diungkapkan oleh Asma Hasan Fahmi, yang dikutip oleh
Samsul Nizar dalam bukunya filsafat pendidikan Islam pendekatan historis,
teoritis dan praktis, mengungkapkan bahwa, di antara tugas dan kewajiban
peserta didik yang perlu diperhatikan oleh peserta didik:
a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum
menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak
sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih.
b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan
berbagai sifat keutamaan.
c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari ilmu diberbagai tempat.
d. Menghormati pendidiknya.
e. Belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.65
Selanjutnya ditambahkan oleh Al-Abrasyi bahwa di antara tugas dan
kewajiban peserta didik adalah:
64 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006) hlm. 127-128 65 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 51
66
a. Sebelum belajar, hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari
segala sifat yang buruk.
b. Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai
fadhilah.
c. Tidak terlalu sering menukar guru, kecuali dengan pertimbangan yang
matang.
d. Tidak melakukan suatu aktivitas dalam belajar kecuali atas petunjuk dan
izin pendidik.
e. Memaafkan guru (pendidik) apabila mereka bersalah, terutama dalam
menggunakan lidahya.
f. Saling mengasihi dan menyayangi di antara sesamanya, sebagai wujud
untuk memperkuat rasa persaudaraan.
g. Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya.
h. Senantiasa mengulang pelajaran dan menyusun jadwal belajar yang baik
guna meningkatkan kedisiplinan belajarnya.
i. Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir
hayat.66
Kesemua hal di atas cukup penting untuk disadari oleh setiap
peserta didik. Di samping yang telah terpapar diatas, dalam kitab adab al-
‘Alim wa Al-Muta’llim karya KH. Hasyim Asy’ari yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, menambahkan bahwa selain memiliki etika yang
66 Samsul Nizar op. Cit, , hlm. 51-52
67
terpapar oleh tokoh-tokoh sebelumnya, peserta didik setidaknya memiliki
beberapa etika berikut:67
a. Sebelum mengawali proses mencari ilmu, seorang peserta didik hendaknya
membersihkan hati terlebih dahulu dari berbagai macam kotoran dan
penyakit hati, seperti kebohongan, prasangka buruk, hasut (dengki) serta
akhlak-akhlak atau akidah yang tidak terpuji. Yang demikian itu sangat
dianjurkan demi menyiapkan diri peserta didik yang bersangkutan di
dalam menerima, menghafal, serta memahami ilmu pengetahuan secara
lebih baik dan mendalam.
b. Membangun niat yang luhur. Yakni, mencari ilmu pengetahuan demi
semata-mata mencari ridho Allah swt., serta bertekad mengamalkannya
setelah ilmu itu diperoleh, mengembangkan syari’at Islam, mencerahkan
mata hati (batin), dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt.
Oleh karena itu, dalam upaya mencari ilmu pengetahuan seorang peserta
didik tidak sepantasnya menanamkan motivasi demi mencari
kesenangan-kesenangan duniawi seperti pangkat atau jabatan, kekayaan,
pengaruh, reputasi dan sebagainya.
c. Menyegerakan diri dan tidak menunda-nunda waktu dalam mencari ilmu
pengetahuan. Mengingat bahwa waktu (kesempatan) yang telah berlalu
mustahil akan terulang kembali. Mengesampingkan segala aktivitas lain
yang dapat mengurangi kesempurnaan dan kesungguhannya dalam
mempelajari sebuah ilmu pengetahuan.
67 KH. M Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam , terj.,Mohamad Kholil (Yogjakarta: Penebit Titian, 2007), hlm. 21-26
68
d. Rela, sabar, dan menerima keterbatasan (keprihatinan) dalam masa-masa
pencarian ilmu, baik yang menyangkut makanan, pakaian, dan
sebagainya. Imam Syafi’i mengungkapkan
“Tidaklah beruntung orang yang dalam mencari ilmu pengetahuan selalu mengedepankan kemuliaan dirinya dan hidup dalam keserba mewahan. Akan tetapi, orang yang beruntung dalam mencari ilmu pengetahuan adalah mereka yang senantiasa rela dan sabar dalam menjalankan kehinaan, kesusahan hidup, dan melayani kepada ulama (guru)”
e. Membagi dan memanfaatkan waktu serta tidak menyia-nyiakannya, karena
setiap sisa waktu (yang terbuang sia-sia) akan menjadi tidak bernilai
lagi. Mengetahui waktu-waktu yang terbaik (tepat) dalam melakukan
berbagai aktifitas belajar. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa waktu
terbaik untuk menghafal pelajaran adalah saat sahur (menjelang shubuh).
Sedangkan waktu terbaik untuk membahas pelajaran adalah pagi hari.
Adapun siang hari merupakan saat yang sangat tepat untuk beraktifitas
menulis. Kemudian untuk kegiatan muthola’ah (mengkaji pelajaran) dan
muzakarah (berdiskusi) akan sangat efektif jika dilakukan pada malam
hari. Selain soal waktu, peserta didik juga perlu memperhatikan masalah
tempat belajar.
f. Tidak berlebihan (terlampau kenyang) dalam mengonsumsi makanan dan
minuman. Karena, mengonsumsi makanan dan minuman terlalu banyak
dapat menghalangi seseorang dari melakukan ibadah kepada Allah swt.
Suatu syair menyatakan:
69
“Sungguh kebanyakan penyakit yang biasa kita temui disebabkan oleh faktor makanan dan minuman”.
Di sisi lain, sedikit mengonsumsi makanan dan minuman juga
dapat menjadikan hati seseorang terbebas dari aneka macam penyakit hati.
g. Bersikap wara’ (waspada) dan berhati-hati dalam setiap tindakan.
Seseorang yang sedang mencari ilmu pengetahuan sangat dianjurkan
selalu berusaha memperoleh segala sesuatunya dengan cara yang halal,
baik menyangkut makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain
sebagainya. Sungguh, yang demikian itu perlu untuk diperhatikan demi
menjaga cahaya hati agar senantiasa cemerlang dalam menerima ilmu
pengetahuan dan kemanfaatannya. Di samping itu, seorang peserta didik
juga hendaknya mengambil rukhshah (kemudahan-kemudahan hukum
yang diberikan Allah swt.,) dalam segala hal yang memang telah
diperkenankan oleh Allah swt., melaksanakan rukhshah tersebut. Karena
sesungguhnya Allah swt., sangat senang apabila rukhshah-Nya
dilaksanakan oleh hamba-Nya sebagaimana ia melaksanakan azimah
(perintah-perintah)-Nya.
h. Tidak mengonsumsi jenis-jenis makanan yang dapat menyebabkan akal
(kecerdasan) seseorang menjadi tumpul (bodoh) serta melemahkan
kekuatan organ-organ tubuh (panca indera). Jenis-jenis makanan tersebut
di antaranya adalah: buah apel yang rasanya kecut (asam), aneka kacang-
kacangan, air cuka, dan sebagainya.
70
i. Tidak terlalu lama tidur yakni selama itu membawa dampak negatif bagi
kesehatan jasmani maupun rohaninya. Idealnya, dalam sehari semalam
seorang peserta didik tidur tidak lebih dari 8 jam. Namun demikian,
apabila memungkinkan dan kiranya tidak terlalu memberatkan, tidur
kurang dari 8 jam dalam sehari semalam itu akan jauh lebih baik
baginya.
j. Menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak baik. Lebih-lebih dengan lawan
jenis. Efek negatif dari pergaulan semacam itu adalah, banyaknya waktu
yang terbuang sia-sia serta hilangnya rasa keagamaan seseorang yang
diakibatkan seringnya bergaul dengan orang-orang yang bukan ahli
agama. Oleh karenanya, apabila seorang peserta didik ingin bergaul
(berinteraksi) dengan orang lain, hendaknya ia memilih orang-orang
yang shohih, taat agama, bertaqwa kepada Allah swt., wara’, bersih,
memiliki banyak kebaikan, mempunyai reputasi (harga diri) yang baik,
tidak suka memusuhi orang lain, serta mau menasehati dan menolong
orang lain.
Selanjutnya, dalam hubungan dengan akhlak seorang peserta didik
khusunya dengan penghormatan terhadap guru, dijelaskan lebih lanjut oleh
Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
Sebagian dari hak guru itu janganlah seorang peserta didik banyak
bertanya kepadanya, dan jangan pula memaksanya agar menjawab berbagai
pertanyaan yang diajukan kepadanya. Selain itu seorang peserta didik jangan
pula banyak meminta sesuatu pada saat guru sedang letih, jangan menarik
71
kainnya jika ia sedang bergerak, jangan membuka rahasianya, jangan
mencela orang di depannya, jangan membuat ia jatuh atau terhina di depan
orang lain, dan kalau guru itu bersalah sebaiknya segera dimaafkan. Seorang
peserta didik wajib menghormati atau memuliyakannya, selama guru itu
tidak melanggar perintah Allah swt., atau melalaikannya. Selanjutnya
seorang peserta didik jangan pula duduk di depan guru, dan jika ia
membutuhkan sesuatu maka segeralah berlomba-lomba untuk
membantunya. 68
Sejalan dengan itu, al-Abadari, sebagaimana dikutip Asma Hasan
Fahmi, mengatakan agar seorang peserta didik tidak mengganggu gurunya
dengan cara memperbanyak pertanyaan, terutama pada saat gurunya itu
sedang dalam keadaan letih, dan jangan pula berlari-lari di belakang guru
yang sedang berjalan.69
Penghormatan peserta didik terhadap guru dijelaskan pula oleh al-
Ghazali. Menurutnya seorang peserta didik hendaknya mendahului
mengucapkan salam kepada gurunya dan jangan banyak berkata-kata di
depanya, dan jangan pula menyampaikan pendapat orang lain di hadapan
gurunya, dengan maksud mengadu domba antara gurunya dengan orang lain.
Selanjutnya etika peserta didik itu dijelaskan oleh Thasyi Kubra Zadah,
seorang peserta didik tidak boleh menilai rendah sedikitpun terhadap
pengetahuan-pengetahuan yang tidak diketahuinya. Sebaliknya, ia harus
68 Abuddin Nata, op. cit, hlm. , Lihat Al-Namiri Al-Qurthubi, Jami’al Bayan al-ilm wa Fadlihi, Juz I, Hlm. 129
69 Abuddin Nata, loc. Cit, Lihat Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (terjemahan Ibrahim Husen dari Mabadi’ al-Tarbiyah al-Islamiyah,) Jakarta: Bulan Bintang, 1974, cet ke-1, Hlm. 175.
72
menganggap bahwa ilmu yang tidak dikuasainya itu sama manfaatnya
dengan ilmu yang dikuasainya. Lebih lanjut Zadah mengatakan, seharusnya
peserta didik tidak mengikuti teman-temannya yang bodoh yang suka ilmu-
ilmu yang tidak dikuasainya, seperti filsafat. Selain itu ia harus pula
bertekad untuk belajar sampai akhir hayatnya, mau merantau ke negeri-
negeri jauh untuk mencari ilmu. Dengan cara demikian, ilmu yang
dimilikinya akan berkembang dan ia akan memiliki wawasan yang luas serta
tidak berpandangan sempit atau menganggap benar terhadap ilmu yang
dimilikinya saja.
Selain itu terdapat pula pendapat Athiyah al-Abrasy yang
mengungkapkan beberapa hal penting sebagaimana disebutkan di atas, juga
menambahkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, seorang peserta didik hendaknya tekun belajar bergadang
(bangun) di waktu malam. Kedua, ia harus saling menyanyangi dengan
sesama temannya, sehingga merupakan satu persaudaraan yang kokoh.
Ketiga, seorang peserta didik harus tekun belajar, mengulangi pelajaran di
waktu senja dan menjelang subuh. Waktu di antara isya dan sahur adalah
waktu yang penuh berkah.70
Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir, menambahkan tentang kode etik seorang peserta didik yang
beliau sadur dari pendapat al-Ghozali dan dikutip oleh Fathiyah Hasan
Sulaiman dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam menyebutkan, seorang
70 Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,(terjemahan Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry dari Al-Tarbiyah al-Islamiyah, 1974), cet ke-2, hlm. 141.
73
peserta didik setidaknya memiliki beberapa kode etik dan sifat-sifat yang
baik, di antara kode etik tersebut adalah:
a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah swt.,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dan akhlak yang rendah dan watak yang tercela
(takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli) sesuai dengan
firman Allah swt., dalam Q.S Al-An’am: 162, dan Al-Dzariyat: 56.
b. Mengurangi kecendrungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrowi
(Q.S Adh-Dhuha: 4).
Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).71
Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi juga
belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat
kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia terlebih di hadapan
Allah swt.
c. Bersikap Tawadhu (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan
pribadinya untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia
bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk
juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah dari
padanya.
71 Ibid, hlm. 596.
74
d. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran,
sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh
dan mendalam dalam belajar.
e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrowi
maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang terscela
(madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.,
sementara ilmu tercela akan menjauhkan dirinya dari Allah swt., dan
mendatangkan permusuhan antar sesamanya.
f. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang
mudah (konkret) kepada pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu
yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah (Q.S. al-Insyiqaq: 19).
Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).72
g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang
lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan
secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan
agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (Q.S. al-
Insyirah: 7).
h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari,
sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
i. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai
makhluk Allah swt., sebelum memasuki ilmu duniawi
72 Ibid,hlm.596.
75
j. Mengenal nilai-nilai pragmatis sebagai suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta
memberi keselamatan hidup dunia akhirat
k. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana
tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur
dan metode madzab yang dianjurkan oleh pendidik-pendidik pada
umumnya (selama tidak bertentangan dengan syari’at yang
diperintahkan oleh Allah), serta diperkenankan bagi peserta didik untuk
mengikuti kesenian yang baik.73
Lebih lanjut menurut Ibnu Jama’ah yang dikutip oleh Abd al-Amir
Syams al-Din, etika peserta didik terbagi atas tiga macam, yaitu: (1) terkait
dengan diri sendiri, meliputi membersihkan hati, memperbaiki niat atau
motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud
(tidak materialis), dan penuh kesederhanaan; (2) terkait dengan pendidik,
meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan, dan menghormatinya,
senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau
hukuman darinya; (3) terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh
secara utuh pada pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa
henti, mempraktekkan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh
suatu ilmu.74
73 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 113-114, lihat fathiyah Hasan Sulaiman, al-Madzhab al-Tarbawi ‘inda al-Ghazali, (Cairo, Maktabah Misriyah, 1964), hlm. 52-58
74 Ibid, hlm. 115, lihat Abd al-Amir Syams al-Din, al-Madzhab al-Tarbawi ‘inda Ibn Jama’ah (Beirut: Dar Iqra’, 1984), hlm. 28-40.
76
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan
enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan demi
tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam
syairnya yang dituliskan oleh Syekh al-Islam Burhanuddin Al-Zarnuji
dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum, yaitu:
“Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat: aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu:kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinu) ”
Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat para pencari
ilmu, yang juga merupakan etika peserta didik adalah mencakup enam hal,
yaitu: Memiliki kecerdasan (dzaka’), Memiliki Hasrat (hirsh), Bersabar
dan Tabah, Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah), Petunjuk
pendidik (irsyad ustadz) dan masa yang panjang (thuwl al-zaman).
Nadham tersebut juga dituliskan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq
al-Ta’allum oleh Burhanuddin al-Zarnuji.75
3. Hakikat Pendidikan Islam
Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan
untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh
potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh
suburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia,
dan alam semesta. Potensi jasmaniah manusia adalah yang berkenaan
75 Ibid, hlm. 115-119.
77
dengan seluruh organ-organ fisik manusia. Sedangkan potensi rohaniah
manusia meliputi kekuatan yang terdapat di dalam batin manusia, yakni
akal, nafsu, roh, fitrah.
Asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia itu memiliki potensi yang
meliputi badan, akal dan roh, ketiga-tiganya persis seperti segitiga yang
sama panjang sisi-sisinya.76 Sedangkan Hasan Langgulung menyebutkan
potensi manusia itu meliputi fitrah, roh, kemauan bebas, dan akal.77 Potensi
ini semua ada pada batin manusia sejak manusia itu lahir ke dunia dan telah
build in alam pribadi manusia.
Secara garis besar Pendidikan Islam merupakan suatu proses
pembentukan individu berdasarkan ajaran–ajaran Islam yang diwahyukan
Allah SWT kepada Nabi Muhammmad melalui proses di mana individu
dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu
menunaikan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi, yang dalam rangka
lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.78 Tegasnya,
sebagaimana yang dikemukakan Ahmad D. Mariba bahwa Pendidikan Islam
adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.79
76 Ibid, hlm. 3. Lihat Asy-Syaibani, Umar Muhammad at-Taumy, Falsafah at Tarbiyah al-Islamiyah, (Tabulus: Asy-Syirkah al-Ammah, 1975).
77 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988) hlm, 58-59.
78 Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980) Hal 94.
79 Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980) hal. 23.
78
M.Kanal Hasan sebagaimana dikutip Syamsul Nizar mendefinisikan
pendidikan Islam adalah ”suatu proses yang komprehensif dari
pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan yang meliputi aspek
intelektual, spiritual, emosi, dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan
dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya di sisi Allah sebagai
’abd dan khalifah-Nya dimuka bumi.80
Atas dasar itulah, apabila dikaitkan hakikat pendidikan yang berperan
untuk mengembangkan potensi manusia maka sudah pada tempatnyalah
seluruh potensi manusia itu dikembangkan semaksimal mungkin. Bertolak
dari potensi manusia tersebut di atas maka paling tidak ada beberapa aspek
pendidikan yang perlu dididikkan kepada manusia yaitu aspek pendidikan
ketuhanan dan akhlak, pendidikan akal dan ilmu pengetahuan, pendidikan
kejasmanian, kemasyarakatan, kejiwaan, keindahan, dan keterampilan.
Kesemuanya diaplikasikan secara seimbang.
Seluruh aspek yang perlu diajarkan pada peserta didik tersebut di atas,
sesungguhnya mengaju pada pembelajaran dan ajaran-ajaran pada masa
Rasulullah saw., yang dapat menciptakan masyarakat Madani. Menurut
Nurcholis, masyarakat madani itu adalah masyarakat yang mengacu kepada
masyarakat Madinah yang berada di bawah pimpinan Rasulullah saw.,
ketika Rasulullah saw., hijrah ke Madinah. Beliau membangun tatanan
kehidupan masyarakat yang berperadapan. Jika masyarakat Madinah di
bawah pimpinan Rasulullah saw., yang menjadi acunan dari keinginan
80 Syamsul Nizar, Op. Cit., Hlm.93-94
79
pendidikan untuk kembali menciptakan generasi yang dapat menciptakan
negara madani, maka perlulah diketahui beberapa ciri-ciri dari masyarakat
Madinah tersebut.
Pertama, masyarakat Rabbaniyah, semangat berketuhanan dilandasi
tiga pilar, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiga pilar menyatu menjadi
satu ibarat tali berpilin tiga yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
yang lain dan saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnya pula. Di
zaman Rasulullah saw., setiap pribadi muslim memanisfestasikannya dalam
pribadi masing-masing.
Kedua, Masyarakat yang demokratis, di mana Rasullullah saw., dan
para sahabatnya mentradisikan musyarawah dalam segala persoalan dan
Rasullullah saw., tidak berkeberatan menarik pendapatnya apabila ada
pendapat yang lebih baik. Masyarakat egalitarian, memandang sama
manusia di depan hukum, bahkan beliau pernah bersabda ”Seandainya
Fatimah mencuri, niscaya akan kupotong tangannya”. Masyarakat
demokrasi dan egalitarian itu juga tercermin dalam sikap kaum muslimin,
dicerminkan dengan pemilihan khalifah yang tidak berdasarkan kepada
sistem monarki, tetapi lebih condong kepada sistem demokrasi yang
dilakukan oleh negara-negara modern sekarang, termasuk Indonesia.
Ketiga, masyarakat yang toleran, masyarakat Madinah adalah
masyarakat yang plural, dari segi suku mereka terdiri dari berbagai etnik.
Qabilah Auz dan Khazraj adalah suku guru dari kelompok Ansor, sedangkan
suku Quraish yang berasal dari Makkah adalah orang-orang Muhajirin. Dari
80
sisi agama, selain dari Islam ada juga Yahudi dan lain sebagainya.
Kehidupan toleran itu diikat oleh Rasulullah saw., dalam satu ikatan yang
disebut dengan Constitution of Madinah (Piagam Madinah atau Mistaqul
Madinah). Piagam ini mengatur tanggung jawab seluruh warga Madinah
untuk terciptanya persatuan dan kesatuan di kalangan mereka. Beberapa isi
terpenting Piagam Madinah adalah:
a. Nabi Muhammad pemimpin bagi semua penduduk Madinah
b. Semua penduduk Madinah tidak boleh bermusuhan
c. Semua penduduk Madinah bebas mengamalkan agamanya masing-
masing
d. Semua penduduk Madinah hendaknya bekerja sama dalam bidang
ekonomi dan pertahanan
e. Keselamatan orang Yahudi terjamin selagi mereka taat kepada perjanjian
yang tercatat pada Piagam Madinah.
Keempat, Berkeadilan, Al-Qur’an dalam banyak tempat menjelaskan
tentang keadilan. Karena begitu pentingnya keadilan sampai-sampai Al-
Qur’an menjelaskan bahwa keadilan itu mendekati takwa, firman-Nya dalam
Q.S. Al-Maidah: 8.
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu
81
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kelima, masyarakat berilmu, ilmu merupakan salah satu pilar yang
ditegakkan Rasulullah saw., dalam membangun mayarakat Madinah.
Penerapan masyarakat berilmu ini telah dimulai oleh Rasulullah saw.,
dengan memberantas buta aksara di kalangan kaum muslimin dengan cara
membebaskan tawanan perang yang mampu mengajari kaum muslimin
menulis dan membaca sebagai tebusannya.
Semangat keilmuwan ini pulalah yang mendorong kaum muslimin
yang terdiri dari sahabat-sahabat Rasul untuk menimba ilmu aqliyah
(IPTEK) tatkala mereka menaklukkan wilayah-wilayah yang menjadi pusat-
pusat peradaan Yunani di Asia, yakni wilayah Syam, (Syiria), Irak, dan
Iran.81
Dengan semangat Rasulullah saw., tersebut, dan peradaban yang telah
dibangun oleh Rasullullah saw., pada masa kenabiannya, maka
sesungguhnya hakikat dari pendidikan Islam adalah mencetak generasi-
generasi Muslim untuk kembali bisa seperti pada masa Rasulullah saw.,
dengan cara memberikan fasilitas yang memadai dan mendukung untuk
perkembangan seluruh potensi yang telah dimiliki oleh anak didik.
4. Tugas dan Fungsi Pendidikan
a. Tugas Pendidikan
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap
81 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam SIstem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006). Hlm. 31-34
82
kehidupannya sampai mencapai tingkat kemampuan optimal. Sementara
fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas
pendidikan berjalan dengan lancar.
Pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara
kontinyu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan
fungsi yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan
manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini
bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada
peserta didik yang senantiasa tumbuh berkembang secara dinamis, mulai
dari kandungan sampai akhir hayatnya.82
Dalam sebuah hadist Nabi saw., pendidikan yang terus menerus ini
dikenal dengan istilah “ Min al-Mahdi Ila al-Lahd” (dari buaian sampai
liang lahad) atau dalam istilah lain: “long life education” (pendidikan
sepanjang hayat dikandung badan). Dalam surat al-Hijr ayat 99 Allah
berfirman: 83
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).84
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan
al-Kaylani, 85 tugas pendidikan Islam pada hakikatnya tertumpu pada dua
aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabiat
82 M. Arifin, filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 33-34. 83 Samsul Nizar, op. Cit, hlm 51 84 Al-Quran dan Terjemahannya,op, cit., hlm.262. 85 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, loc. It. Lihat, Majid ‘Irsan al-Kaylani,al-Fikr al-
Tarbawi ‘inda Ibn taymiyah, (al-Madinah aal-Munawwarah: Maktabah Dar al-Tarats, 1986), hlm. 91-103.
83
peserta didik. Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemberian pemahaman
terhadap dua kalimat syahadat, pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid
(rububiyah, uluhiyah, sifat dan asma); ketundukan, kepatuhan, dan
keikhlasan menjalankan Islam; dan menghindarkan dari segala bentuk
kemusyrikan. Sedang pendidikan pengembangan tabiat peserta didik
adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan
penciptaanya, yaitu beribadah kepada Allah swt., dan menyediakan bekal
untuk beribadah, seperti makan dan minum.
Menurut Ibnu taimiyah manusia yang sempurna adalah mereka yang
senantiasa beribadah baik beribadah diniyyah maupun beribadah kauniyah.
Ibadah diniyyah adalah ibadah yang berhubungan dengan Pencipta
(ta’abbudi) dan sesama manusia (ijtima’i). Sedangkan ibadah kauniyah
adalah ibadah manusia kepada Allah swt., setelah memahami hukum-
hukum alam dan hukum-hukum sosial kemasyarakatan.
Tela’ah liter di atas, dapat difahami bahwa, tugas pendidikan Islam
setidaknya dapat dilihat dari tiga pendekatan. Ketiga pendekatan tersebut
adalah: pendidikan Islam sebagai pengembangan potensi, proses
pewarisan budaya serta interaksi antara potensi dan budaya. Sebagai
pengembangan potensi, tugas pendidikan Islam adalah menemukan dan
mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik, sehingga
dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.86
86 Hasan Langgulung, op,cit, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988) hlm, 57.
84
Sementara sebagai pewaris budaya, tugas pendidikan Islam adalah alat
tranmisi unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya, sehingga identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam
tantangan zaman. Adapun sebagai interaksi antara potensi dan budaya,
tugas pendidikan Islam adalah sebagai proses transaksi (memberi dan
mengadopsi) antara manusia dan lingkungannya. Dengan proses ini,
peserta didik (manusia) akan dapat menciptakan dan mengembangkan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengubah atau
memperbaiki kondisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya.
Untuk menjamin terlaksananya tugas pendidikan Islam secara baik,
hendaknya terlebih dahulu dipersiapkan situasi kondisi pendidikan yang
bernuansa elastis, dinamis, dan kondusif yang memungkinkan bagi
pencapaian tugas tersebut. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam dituntut
untuk dapat menjalankan fungsinya, baik secara struktural maupun
institusional.
Selain itu, menurut Abd al-Rahman al-Bani,yang dikutip al-Nahlawi,87
dalam buku yang ditulis oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir
menyebutkan bahwa, tugas pendidikan Islam adalah menjaga dan
memelihara fitrah peserta didik, mengembangkan dan mempersiapkan
segala potensi yang dimiliki, dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut
menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan program secara
bertahap.
87 Abd Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op. cit, hlm 57 Lihat Abd al-Rahman al-nahlawi,Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuhan,(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 13.
85
Menanggapi hal tersebut, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir
menuliskan dalam bukunya, pengembangan berbagai potensi manusia
(fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui berbagai
institusi. Belajar yang dimaksud tidak terfokus melalui pendidikan di
sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam
keluarga, masyarakat, maupun lewat institusi sosial keagamaan yang ada.
Menurut pendapat ahli sosiologi, secara sosiologis, institusi-institusi sosial
itu dapat dikelompokkan menjadi delapan macam, yaitu keluarga,
keagamaan, pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan, keolahragaan,
dan media massa. Setiap institusi ini mempunyai simbol, identitas fisik,
dan nilai-nilai hidup yang menjadi pedoman perilaku anggotanya.88
b. Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang
dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan
berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan
tujuan yang bersifat struktural dan institusional.
Arti dan tujuan struktural adalah menuntut terwujudnya struktur
organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses kependidikan, baik
dilihat dari segi vertikal maupun horizontal. Faktor-faktor pendidikan bisa
berfungsi secara interaksional (saling mempengaruhi) yang bermuara pada
tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebaliknya, arti tujuan institusional
mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam
88 Ibid, hlm. 58.
86
organisasi itu dilembagakan untuk menjamin proses pendidikan yang
berjalan secara konsisten dan berkesinambungan yang mengikuti
kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung ke arah tingkat
kemampuan yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis dan
jalur kependidikan yang formal, informal, dan nonformal dalam
masyarakat.89
Menurut Kurshid Ahmad, yang dikutib Ramayulis,90 fungsi
pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1) Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-
tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide
masyarakat dan bangsa.
2) Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembanagn yang
secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru
ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk
menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.
5. Tujuan Pendidikan
Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa “al-umur bi
maqashidiha”, bahwa tindakan dan aktivitas harus berorentasi pada tujuan
atau rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini menunjukkan bahwa
pendidikan seharusnya berorentasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan
semata-mata berorentasi pada sederetan materi. Karena itulah, tujuan
pendidikan Islam menjadi komponen pendidikan yang harus dirumuskan
89 M. Arifin, op.cit., hlm.34. 90 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 19-
20.
87
terlebih dahulu sebelum merumuskan komponen-komponen pendidikan
yang lain.
Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta
mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk
mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang
gerak usaha, agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan
yang terpenting lagi adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi pada
usaha-usaha pendidikan.
Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorentasi pada hakikat
pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang: Pertama,
tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan
sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu.
Seperti yang di firmankan oleh Allah swt., dalam (Q.S. al-Imran:191).
Tujuan diciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah swt..
Indikasi tugasnya berupa ibadah (sebagai ‘abd Allah) dan tugas sebagai
wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah), sebagaimana firman Allah swt.,
Q.S. al-An’am: 162
Kedua, memerhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep
tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensi
bawaan, seperti fitrah, bakat, minat, sifat, dan karakter, yang
berkecendrungan pada al-Hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa
88
agama Islam (Q.S. al-Kahfi: 29) sebatas kemampuan, kapasitas, dan ukuran
yang ada.91
Ketiga, tuntutan masyarakat. Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-
nilai yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun
pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi
perkembangan dunia modern.
Keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dimensi kehidupan
dunia ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai
bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia
berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih
membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh
rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki. Namun demikian,
kemelaratan dan kemiskinan di dunia harus diberantas, sebab kemelaratan
dunia menjadikan ancaman yang menjerumuskan manusia pada kekufuran.
Dalam hadits disebutkan: “kada al-faqr an yakuna kufran”, kemelaratan itu
hampir saja mendatangkan kekafiran. Dimensi tersebut dapat memadukan
antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrowi (Q.S. al-Qashash:77).
Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi
daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak
kehidupan yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomi, maupun ideologis
dalam hidup pribadi manusia.
91 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologis dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), hlm. 33.
89
Menurut Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, bahwa yang
dimaksud dengan konsep tujuan pendidikan Islam adalah:
” Perubahan yang diinginkan dan diusahakan pencapaiannya oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan masyarakat dan pada kehidupan alam sekitar tentang individu itu hidup, atau pada proses pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat”.92
Bertitik tolak dari pengertian tersebut maka tujuan yang dipaparkan oleh
Omar Muhammad al-Taomy al-Syaibani mencakup beberapa perubahan yang
diinginkan dalam tiga aspek. Di antaranya:
a. Tujuan Individual yang berkaitan dengan individu, pelajaran dengan
pribadi-pribadi mereka. Perubahan yang diinginkan meliputi: tingkah
laku, aktivitas dan pencapaiannya, pertumbuhan pribadi mereka serta
persiapan untuk kehidupan di dunia dan akhirat.
b. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, baik tingkah
laku masyarakat umumnya, maupun pertumbuhan, memperkaya
pengalaman dan kemajuan-kemajuan yang diinginkan.
c. Tujuan Profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagai suatu aktifitas di antara aktivitas-
aktivitas.93
Sedangkan dalam buku Ilmu pendidikan Islam karangan Abdul Mujib dan
Jusuf Mudzakkir, menyebutkan bahwa komponen tujuan akhir dari
pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:94
92 Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, alih bahasa Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang: 1979), hlm. 399
93 Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal pondok pesantren ditengah Arus Perubahan. ( Yogjakarta: Pustaka Belajar, 2005). hlm. 63.
90
a. Tujuan normatif. Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma
yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi,
misalnya:
1) Tujuan formatif yang bersifat memberi persiapan dasar yang korektif
2) Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk
membedakan hal-hal yang benar dan yang salah
3) Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan untuk
mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejajar dengan proses
kependidikan.
4) Tujuan integratif yang bersifat memberi kemampuan untuk
memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan
nafsu) ke arah tujuan akhir.
5) Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan
segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam pengalaman
pendidikan.
b. Tujuan fungsional. Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan
peserta didik untuk memfungsikan daya kognitif, afeksi, dan
psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang
ditetapkan. Tujuan ini meliputi:95
1) Tujuan individual, yang sasarannya pada pemberian kemampuan
individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah
diinternalisasikan ke dalam pribadi berupa moral, intelektual dan skill.
94 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir , op, cit. hlm. 76, 95 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir ,op, cit. hlm. 77-78,
91
2) Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan
pengamalan nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial, interpersonal, dan
interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.
3) Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk
berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan-dorongan
sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan
dorongan biologis (biogenetis).
4) Tujuan profesional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan
untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan kompetensi yang
dimiliki.
c. Tujuan Operasional. Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial.
Menurut Langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu:
1) Tujuan umum (tujuan total). Menurut Kohnstam dan Guning, tujuan
ini mengupayakan bentuk menusia kaamil. Yaitu manusia yang dapat
menunjukkan keselarasan dan keharmonisan antara jasmani dan
rohani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk
kehidupan bersama yang menjadikan integrasi ketiga inti hakikat
manusia.
2) Tujuan khusus. Tujuan ini sebagai indikasi tercapainya tujuan umum,
yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu,
baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, tugas dari
suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta
didik, seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
92
peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus
merupakan dasar persiapan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
berikutnya.
3) Tujuan tidak lengkap. Tujuan ini berkaitan dengan kepribadian
manusia dari suatu aspek saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai
hidup tertentu, misalnya kesusilaan, keagamaan, keindahan,
kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya. Setiap aspek ini
mendapat giliran penanganan (prioritas) dalam usaha pendidikan atau
maju bersama-sama secara terpisah.
4) Tujuan insedental (tujuan seketika). Tujuan ini timbul karena
kebetulan, bersifat mendadak, dan bersifat sesaat, misalnya
mengadakan sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
5) Tujuan sementara. Tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu
dari tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan belajranya adalah
dapat membaca dan menulis, sedangkan pada fase manula yang
tujuannya adalah membekali diri untuk menghadap Ilahi, dan
sebagainya.
6) Tujuan intermedier. Tujuan yang berkaitan dengan penguasaan suatu
pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya tujuan sementara,
misalnya anak belajar membaca dan menulis, berhitung, dan
sebagainya.96
96 Arifin HM, op. cit, hlm. 127-128.
93
BAB III
BIOGRAFI SYEKH BURHANUDDIN AL-ISLAM AL-ZARNUJI
A. Riwayat Hidup dan Kepribadiannya
Nama lengkap Burhanuddin al-Zarnuji adalah Syekh Ibrahim bin Ismail
al-Zarnuji. Abuddin Nata dalam bukunya menyebutkan nama lengkap al-
Zarnuji adalah Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji.97 Nama al-Zarnuji adalah
penyandaran kepada negerinya yaitu Zarnuj (Zurnuj) salah satu daerah di
Turki, Zurnuj termasuk dalam wilayah Ma Wara’a al-Nahar (Transoxinia).98
Burhan al-Din adalah gelar al-Zarnuji. Burhan al-Din artinya adalah dalil
agama. Adapula yang menyebut gelarnya dengan Burhan al-Islam (Dalil
Islam). Gelar ini mirip dengan Hujjat al-Islam yang disandang oleh Imam Abu
Hamid al-Ghazali.99
Daerah Ma Wara’a al-Nahar adalah suatu daerah yang terletak dibalik
sungai Jaihun di daerah Kurasan Iran memiliki tanah subur dan berpanorama
indah. Kota tersebut ditaklukkan olah al-Hajaj bin Yusuf atas perintah khalifah
Abdul Malik bin Marwan al-Hakam. Al-Zarnuji adalah seorang ulama’ ahli
fiqih bermadzhab Hanafi yang berpegang teguh pada madzhabnya. Hal ini
tampak jelas di dalam kitab karangannya yang berisikan dalil-dalil atau
97 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, op. Cit,hlm. 103 98 MN. Ary B, Uraian Terhadap Buku Ta’lim al-Muta’aliim (http: www.altavista.com
diakses 9 februari 2009). 99 “Al-Zarnuji: Loyalis Madzhab Hanafi”, Buletin Istinbat, 02 Mei 2004/Shafar 1425. (http:
www. Sidogiri.com. diakses 19 Februari 2009).
94
ucapan-ucapan ulama’ dikalangan Hanafi yakni kitab Ta’lim al-Muta’allim
Tariq al-Ta’allum.100
Mengenai riwayat pendidikannya, dapat diketahui dari keterangan yang
dikemukakan para peneliti. Djudi misalnya, mengatakan bahwa al-Zarnuji
menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand. Yaitu kota yang menjadi pusat
kegiatan keilmuan dan pengajaran. Masjid-masjid di kedua kota tersebut
dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh oleh beberapa
ulama seperti Burhanuddin al-Marginani, Syamsuddin Abd al-Wajidi
Muhammad bin Muhammad bin ’Abd as-Sattar al-Amidi.
Selain itu, Burhanuddin al-Zarnuji juga belajar kepada Rukhuddin al-
Firginani, seorang ahl Fiqh, sastrawan, dan penyair yang wafat tahun 594 H/
1196 M; Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam yang wafat tahun 594
H; Rukn al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama
Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqih, sastra dan
syair yang wafat tahun 573 H/1171 M. 101
Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum tersebut merupakan satu-
satunya kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji dalam bidang pendidikan.
Bersamaan dengan itu, yang ditulis oleh orientalis Barat Plesser di dalam
kitabnya al-Mausurah al-Islamiah bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum adalah satu-satunya kitab karangan al-Zarnuji yang tersisa,
mendorong pemahaman bahwa di sana terdapat karangan-karangan yang lain
hasil karya al-Zarnuji akan tetapi hilang atau lenyap, akibat dari serangan
100 Elok Tsuroyyah Imron,” Analisis Komparasi KonsepBelajar dan Pembelajaran Menurut Al-Ghozaly dan al-Zarnuji”, op, cit., hlm. 62.
101 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, op. cit, hlm. 104
95
tentara Mongol yang terjadi di masa akhir kehidupan al-Zarnuji yang juga
terjadi di negerinya yang memungkinkan menjadi penyebaba hilangnya
karangan al-Zarnuji selain kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.102
Dalam tulisan akhir-akhir ini yang membahas al-Zarnuji disebutkan bahwa
tahun kematiannya adalah pada tahun 591 H/593 H/597 H. Akan tetapi
pernyataan tersebut tanpa disertai bukti kuat, ada juga yang menyebutkan
bahwa al-Zarnuji hidup di abad ke 6 H, tanpa menyebutkan secara jelas tahun
berapa. Di kalangan para ulama belum ada kepastian mengenai tanggal
kelahirannya. Adapun mengenai kewafatannya, setidaknya ada dua pendapat
yang dikemukakan di sini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa al-
Zarnuji wafat pada tahun 591 H/1195 M. Sedangkan pendapat yang kedua,
mengatakan bahwa ia wafat tahun 840 H/1243 M. Sementara itu ada pula yang
mengatakan bahwa al-Zarnuji hidup semasa dengan Rida ad-Din an-Nasaiburi
yang hidup antara tahun 500-600 H.103 Al-Wart menyebutkan bahwa wafatnya
al-Zarnuji di tahun 620 H/1223 M dikuatkan oleh al-Qursy di dalam kitab al-
Jawahir al-Mudhiah bahwa al-Zarnuji sezaman dengan al-Luqman bin
Ibrahim pengarang kitab al-Muadha yang wafat tahun 640 H/ 1242 M, jadi
ada kemungkinan wafat pada tahun tersebut, kalaupun tidak ada kemungkinan
kematiannya di tahun itu karena dia sezaman dengan an-Nu’man.104
Kitabnya dikarang sekitar abad pertengahan. Tidak ada informasi yang
jelas tentang tahun penciptaannya. Data yang ditemukan hanya menyebut
tahun penerbitannya, yaitu 1203 M.
102 Elok Tsuroyyah Imron, op,cit. Lihat kitab Jawahirul Mudhiah juz 2, hlm.364. 103 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, op. cit, hlm. 103. 104 Elok Tsuroyyah Imron, op. cit, hlm. 65
96
Berdasarkan informasi tentang jenjang pendidikan seorang al-Zarnuji,
diperoleh kesimpulan bahwa al-Zarnuji selain ahli pendidikan, dia juga ahli
dalam bidang tasawwuf, sastra, fiqh, dan ilmu kalam. Sekalipun belum
diketahui pasti bahwa untuk bidang tasawwuf ia memiliki seorang guru.
Namun, dapat diduga bahwa dengan memiliki pengetahuan yang luas dalam
bidang fiqh dan ilmu kalam disertai jiwa sastra yang halus dan mendalam,
seseorang telah memperoleh akses yang tinggi untuk masuk ke dalam dunia
tasawwuf.105
Selain karena faktor latar belakang pendidikan dan keilmuan yang dimiliki
oleh al-Zarnuji, faktor situasi sosial dan perkembangan masyarakat juga
mempengaruhi pola pikirnya. Dalam muqoddimah kitabnya, al-Zarnuji
menyatakan bahwa latar belakang penulisan kitab tersebut semata-mata
memberikan pengetahuan tentang tata cara belajar yang dirasa belum dimiliki
oleh generasi berilmu di masanya. Al-Zarnuji memandang situasi yang terjadi
ketika zamannya, dimana seseorang yang pintar tidak mampu mengamalkan
ilmu yang dimiliki, padahal hal tersebut merupakan hal terpenting. Karena
seseorang akan dikatakan berilmu jika benar-benar dapat memberikan manfaat
pada orang lain dengan ilmu yang dimilikinya.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi pada masanya, muncullah keinginan
pada diri al-Zarnuji untuk menuliskan karyanya tersebut. Untuk lebih jelasnya
pengakuan dan tujuan penulisan kitabnya yang dikatakan oleh bahasa al-
Zarnuji sendiri peneliti tulis secara khusus pada akhir bab III.
105 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan........op,cit,. hlm. 104
97
Selain itu Al-Zarnuji seperti manusia pada umumnya yang selalu
mengikuti zamannya dan lingkungannya, di dalam pemikiran-pemikirannya,
keilmuwan dan keyakinannya ia juga seperti semua bangsawan atau peneliti
yang terpengaruh dengan kejadian yang terjadi di lingkungannya baik secara
politik, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan peradaban.106 Oleh sebab itu,
perlu sekali ditinjau kembali apakah konsep al-Zarnuji tersebut masih relevan
dengan dunia pendidikan kekinian, yang kemudian peneliti tuliskan beberapa
konsep yang perlu ditinjau relevansinya di akhir Bab IV. Dengan seperti itu
dapat terlihat konsep apa saja yang masih dapat diterapkan di dunia
pendidikan saat ini, dan konsep apa saja milik al-Zarnuji yang membutuhkan
inovasi.
B. Situasi Pendidikan pada Zaman al-Zarnuji
Selain karena faktor latar belakang pendidikan, faktor situasi sosial dan
perkembangan masyarakat juga mempengaruhi pola pikir seseorang. Untuk itu
peneliti juga akan mengemukakan situasi pendidikan pada zaman al-Zarnuji.
Dalam sejarah pendidikan ada lima tahap pertumbuhan dan perkembangan
dalam bidang pendidikan Islam.107 Adapun tahapan-tahapan itu adalah:
a. Pendidikan pada masa Nabi Muhammad SAW (571-632 M)
b. Pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M)
c. Pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damasyik (661-750 M)
d. Pendidikan pada masa kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M)
106 Elok Tsuroyyah Imron, op. cit., mengutip dari tulisan Ajjeb Fiella, Mengembangkan Pesantren Riset, Mihrab,Edisi II, th III, Nov 2005, hlm.97.
107 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara 1992), hlm. 7
98
e. Pendidikan pada masa jatuhnya kekuasaan kholifah di Baghdad (1250-
sekarang)
Al-Zarnuji hidup sekitar akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 (591-640
H/195-1243 M). Dari kurun waktu tersebut diketahui bahwa al-Zarnuji hidup
pada masa ke empat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
Islam yaitu antara tahun 750-1250 M. Dalam catatan sejarah periode ini
merupakan zaman keemasan/kejayaan peradaban Islam pada umumnya dan
pendidikan pada khususnya.108
Pada masa tersebut kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang
ditandai dengan munculnya pelbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat
dasar sampai dengan pendidikan tingkat tinggi. Di antara lembaga-lembaga
tersebut adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al-Muluk
(457 H/106 M), Madrasah An-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin
Mahmud Zanki pada tahun 563 H/1167 M. Sekolah yang di sebut terakhir ini
dilengkapi dengan pelbagai fasilitas yang memadai.
Selain ketiga madrasah tersebut, masih banyak lagi lembaga-lembaga
pendidikan yang tumbuh berkembang pesat pada zaman al-Zarnuji hidup.
Dengan memperhatikan informasi di atas dapat kita ketahui bahwa al-Zarnuji
hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam tengah mencapai
puncak kejayaan dan keemasan.
Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut diatas amat
menguntungkan bagi pembentukan al-Zarnuji sebagai seorang ilmuwan/ ulama
108 Suprihatin, “Pemikiran Pendidikan Syekh Al-Zarnuji (Study Tentang Kedudukan dan Hubungan antara Guru dan Peserta didik dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum)”, op, cit., hlm. 31
99
yang luas pengetahuannya. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Hasan
Langgulung menilai bahwa al-Zarnuji termasuk seorang filosof yang memiliki
system pemikiran tersendiri dan dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti
Ibnu Sina, Al-Ghozali dan lain sebagainya.109
C. Sekilas tentang Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.
Alinea-alinea berikut ini akan membahas tentang kitab Ta’lim al-
Muta’allim tariq al-Ta’allum serta keistimewaan yang dimiliki oleh
Burhanuddin al-Zarnuji.
Untuk memberikan catatan tentang kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum akan digunakan beberapa sumber. Hal ini untuk menggali lebih
banyak informasi mengenai kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum
yang merupakan karya monumental dari Burhanuudin al-Zarnuji. Dari
beberapa sumber belum di dapatkan keterangan mengenai tahun penerbitan
kitab yang terdiri dari tiga belas bab itu, menurut H. Kholifah kitab tersebut
telah di beri catatan komentar (syarah) oleh Ibnu Ismail, yang diterbitkan pada
tahun 996 H.
Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum juga pernah diterjemahkan
ke dalam bahasa turki oleh Abdul Madjid bin Nusuh bin Israil dengan judul
Irsyad al-Ta’lim fi Ta’al Muta’allim. Dalam sebuah seminar (sekitar tahun
1999-2000), Ghozal Said mengemukakan bahwa daerah ma waraa’a al-nahar
109 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, op, cit, hlm. 99.
100
(lembah sungai Anurdaya atau Transoxinia), tempat ini merupakan tempat
dimana al-Zarnuji menyusun kitabnya.110
Sumber penting lain dalam hal ini adalah genechiche der arabischen
litteratur (GAL), dari data yang ada di beberapa perpustakaan, tertulis bahwa
kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum pertama kali diterbitkan di
Musidabad pada tahun 1962. Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum
memuat lebih dari 126 bait syair yang dikutib dari sekitar 50 ulama.111
Pada bagian kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, al-Zarnuji
menjelaskan tentang hakikat ilmu, keutamaan belajar, metode belajar dan etika
santri. Pandangan al-Zarnuji tentang ilmu memang tidak sepadan dari sudut
filosofis dengan pandangan tokoh lain semisal Imam Al-Ghozali. Al-Zarnuji
membicarakan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allumnya
tentang beberapa hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
Secara keseluruhan pembahasannya meliputi kewajiban mempelajari ilmu
dengan mempriotiskan kebutuhan yang primer dan esensial. Selain itu dengan
mengutip pandangan Imam Abu Hanifah merupakan dasar yang
mempengaruhi idenya tentang semua aspek yang berkaitan dengan metode
belajar, seperti aspek guru, teman, buku, dan lingkungan.112
Untuk menegaskan bahwa menuntut ilmu wajib, al-Zarnuji mengutib
hadits Nabi Muhammad saw.
110 Admin, Konsep Tarbiyah al-Zarnuji,(http: www. Sidogiri. Com. Diakses 19 Februari 2009).
111 Suprihatin, op.cit, hlm. 33. 112 Suprihatin, loc,cit.
101
“Menuntut ilmu adalah fardlu ain (kewajiban individu) bagi setiap muslim
dan muslimat.” (al-Hadist).
Dijelaskan bahwa ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap pribadi muslim
adalah ilmu yang berkaitan langsung dengan kebutuhan esensial secara
individual, baik dalam konteks ibadah maupun muamalah, yang di istilahkan
dengan ilmu hall. Dengan menekankan prinsip fungsional ilmu itu al-Zarnuji
menegaskan bahwa tidak setiap ilmu harus dipelajari oleh setiap muslim. Al-
Zarnuji menegaskan bahwa awal sebagai perilaku yang berdasarkan ilmu akan
memiliki nilai utama jika bersifat fungsional, sejalan dengan keperluan yang
esensial seperti ditegaskan dalam pernyataan Afdhal al-amal Hifzh al-Hal.
Pandangannya kemudian dikembangkan dengan mengaitkan kewajiban setiap
muslim dan hubungannya dengan puasa, zakat, haji dan pekerjaan lain seperti
perdagangan (jual-beli). Menurutnya shalat wajib dikerjakan oleh setiap
muslim dan karenanya wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui dan
memahami ikhwal pekerjaan shalat itu. Ilmu yang menjadikan kebutuhan
primer dalam pelaksanaan tugas-tugas peribadatan dikategorikan sebagai ilmu
al-hal. Pandangan demikian dirumuskan atas dasar prinsip bahwa sesuatu
usaha yang mutlak diperlukan dalam mengerjakan tugas kewajiban dengan
sendirinya menjadi wajib untuk dilakukan. Dalam arti sesuatu yang menjadi
pengantar sesuatu yang wajib, maka pada hakikatnya menjadi wajib pula
untuk dipelajari dan dilaksanakan.
Menggambarkan konsekuensi dari pandangan itu, al-Zarnuji merujuk pada
pendapat Muhammad bin Hasan tentang kewajiban zuhud dengan pengertian
mencegah dari perkara syubhat dan makruh dalam setiap lapangan kehidupan.
102
Dalam konteks ini al-Zarnuji ingin menempatkan zuhud sebagai sikap yang
mutlak inheren dalam bidang profesi apapun, karena itu seperti sikap
tawakkal, inabah, khasyah dan ridla, sikap zuhud termasuk dalam kategori
kebutuhan primer yang menyangkut hati nurani yang di istilahkan dengan ilm
ahwal al-qalb.113
Perhatiannya terhadap eksistensi diri manusia lebih nampak ketika ia
menghubungkan ilmu dengan kehidupan. Menurutnya ilmu sangat penting
untuk menumbuhkan akhlak yang terpuji sekaligus bisa menghindar dari
akhlak yang tercela. Sejalan dengan kewajiban memelihara tingkah laku
hidup, al-Zarnuji menekankan untuk mempelajari ilmu akhlak sehingga
membedakan antara perilaku yang baik dan yang buruk, kemudian
mengaplikasikannya secara tepat, merupakan kewajiban bagi setiap pribadi
muslim.114
Pada penjelasan berikutnya al-Zarnuji mulai memperhatikan hubungan
ilmu dengan kebutuhan yang bersifat temporal dalam pengertian individual,
tapi bersifat vital dalam konteks kemasyarakatan, bersifat temporal karena
usaha pemenuhan kebutuhannya adalah suatu keharusan. Al-Zarnuji
menggambarkan secara praktis dengan memperlihatkan perbedaan kebutuhan
makan dan pengobatan. Kebutuhan yang pertama dikategorikan sebagai
kebutuhan primer yang harus dipenuhi karena memang dirasakan oleh setiap
muslim dalam situasi apapun. Sementara kebutuhan yang kedua harus
113 Ghozali KH, Terjemah Kitab al- Muta’aliim (Kiat sukses dalam Menuntut Ilmu), (Jakarta: Rika Grafika, 1994), hlm. 9.
114 Ma’ruf Asrori,Etika Belajar Bagi Penuntut ILmu, Terjemah Ta’lim al-Muta’aliim (Surabaya: al-Miftah, 1996), hlm. 8.
103
dipenuhi oleh pribadi tertentu yang menanggung sakit. Dengan demikian al-
Zarnuji menegaskan bahwa mempelajari ilmu yang berkaitan dengan
kebutuhan temporal menjadi kewajiban muslim secara kolektif, atau dalam
bahasa yang diungkapkan dalam kitabnya adalah ilmu yang bersifat Fardlu
Kifayah, dan yang bersifat primer pada individual dibahasakan dengan bahasa
Fardlu ‘Ain.
Al-Zarnuji kemudian menguraikan tentang ilmu dan fiqh, dua konsep yang
memang amat pelik untuk dibedakan. Dengan ilmu, apapun akan menjadi
jelas, ilmu di sini agaknya sebagai media penjelasan. Sedangkan fiqh
menurutnya mengandung pengetahuan yang benar. Dalam pandangan Abu
Hanifah sebagaimana dikutib oleh al-Zarnuji, fiqh adalah pengetahuan
seseorang tentang hak dan kewajibannya. Lebih jauh dikemukakan bahwa
ilmu hanya akan berarti jika diaplikasikan dengan amal yang lebih
mengutamakan hasil abadi daripada yang sesaat.115
Dalam fasl-fasl selanjutnya, al-Zarnuji menuliskan dalam kitabnya tentang
etika peserta didik yang disampaikan dengan bahasa yang sangat aplikatif dan
sarat dengan kehati-hatian. Semisal sikap pada guru/pendidik dan etika ketika
akan mengawali belajar, ketika dan waktu mengakhiri belajar. Dapat
dibuktikan dengan pemilihan bahasa labudda dan yanbaghi yang keduanya
memiliki arti (seyogyanya atau seharusnya).
Dari alinea-alinea didalam kitab yang telah terungkap di atas,
menggambarkan kesungguhan al-Zarnuji yang sangat menginginkan adanya
115 Ibid, hlm 9
104
sikap beretika dalam setiap perilaku yang dilakukan oleh peserta didik. Selain
itu, pada fasl kesembilan al-Zarnuji juga menekankan peserta didik untuk
saling menyayangi dan profesional dalam penggunaan waktu.
Berangkat dari seluruh keistimewaan yang dimiliki kitab Ta’lim al-
Muta’allim Tariq al-Ta’allum karya al-Zarnuji yang disebutkan di atas, serta
popularitas yang dimiliki oleh kitab tersebut, terutama di instansi-instansi
pendidikan Islam (Pondok Pesantren). Banyak sekali penelitian-penelitian
yang mengkaji kitab tersebut, termasuk salah satunya adalah skripsi ini.
D. Latar Belakang Penulisan Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.
Dalam catatan sejarah, belum ada kejelasan tahun berapa tepatnya kitab
Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum ini ditulis. Di dalam syarah kitab
yang ditulis oleh Syekh Ibrahim bin Ismail hanya memaparkan tentang latar
belakang penelitian kitab ini.
Kitab ini di tulis oleh al-Zarnuji sebagai wujud dari keprihatinannya
terhadap keadaaan para penuntut ilmu di masanya. Ia melihat banyak orang
yang telah lama menuntut ilmu dan mempunyai ilmu banyak akan tetapi tidak
dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ilmu tidak
mempunyai arti dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini dijelaskan oleh al-
Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum sebagai berikut:
105
Artinya: “Setelah saya amati banyak pencari ilmu (pelajar, santri dan
mahasiswa) pada generasi saya, ternyata mereka banyak mendapatkan ilmu tetapi tidak dapat mencapai manfaat dan buahnya, yaitu pengamalan dan penyebarannya. Hal ini disebabkan oleh kesalahan mereka menempuh jalan dan mengabaikan syarat-syarat menuntut ilmu, padahal setiap orang yang salah jalan, maka ia akan tersesat dan tidak dapat mencapai tujuannya, baik sedikit maupun banyak. Oleh karenanya, dengan senang hati saya akan menjelaskan kepada mereka mengenai metodologi belajar berdasarkan apa yang saya pelajari dalam beberapa buku dan petunjuk-petunjuk yang saya dengar dari para guruku yang cerdik cendekia. Penyusunan buku ini mendapat kebahagiaan dan keselamatan pada hari kiamat nanti. Buku ini saya susun setelah memohon petunjuk kepada Allah swt”.116
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa pada saat itu al-Zarnuji banyak
menemui para pelajar yang gagal dalam menuntut ilmu, dengan kata lain ilmu
yang mereka miliki tidak dapat memberi kemanfaatan bagi dirinya sendiri,
terlebih kemanfaatannya bagi orang lain. Hal ini dikarenakan mereka salah
jalan dan meninggalkan syarat-syarat yang menjadi keharusan di dalam
menuntut ilmu. Di antara keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap penuntut
ilmu menurut al-Zarnuji adalah keharusan seorang peserta didik untuk
mengagungkan dan memuliakan seorang guru, selektif dalam memilih teman,
memiliki niat yang baik karena Allah, dan banyak lagi.
116 Ibid, hlm 1-2.
106
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab ke empat ini merupakan inti dari penelitian skripsi, di dalamnya
akan disampaikan secara penyeluruh tentang etika peserta didik dalam perspektif
Burhanuddin al-Zarnuji. Namun untuk memperjelas, maka pada sub bab item
pertama ini akan digambarkan terlebih dahulu keseluruhan isi dari kitab Ta’lim al-
Muta’allim Tariq al-Ta’allum.
Paparan yang akan ditulis berikut ini merupakan isi dari kitab Ta’lim al-
Muta’allim Tariq al-Ta’allum terbitan Dar-al Ilm Surabaya tanpa tahun, dan
terjemahan bahasa Indonesia oleh Drs. A. Ma’ruf Asrori dengan judul Etika
Belajar Bagi penuntut Ilmu, yang diterbitkan oleh al-Miftah Surabaya. Meskipun
tidak menutup kemungkinan ada beberapa judul buku terjemahan lain, namun
peneliti menggunakan buku tersebut sebagai acuan penelitian ini setelah kitab asli.
A. Paparan Tentang Isi Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum
Pada hakikatnya, dalam khazanah Islam, kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq
al-Ta’allum bukanlah saru-satunya kitab yang membahas tentang etika
peserta didik, ada beberapa kitab yang memiliki kecendrungan sama dengan
kitab tersebut, bahkan lebih dahulu dituliskan daripada kitab Ta’lim al-
Muta’allim Tariq al-Ta’allum. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-ilm karya
Ismail al-Muzani (wafat 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-
Muta’allim karya al-Ghazali (wafat 505 H). Namun, Ta’lim al-Muta’allim
Tariq al-Ta’allum jauh lebih mengakar di kalangan pesantren dibanding
kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode
107
penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum. Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad ketujuh
Hijriyah dengan al-Targhib fi al-Ilm yang dikarang pertengahan abad
ketiga.117
Firman Allah dalam surat al-Nur ayat 35, menyatakan:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.118
Pada ayat tersebut di atas dengan jelas dinyatakan bahwa Allah dapat
membimbing seseorang untuk mendapatkan cahaya-Nya itu jika Dia
menghendakinya. Bertolak dari keyakinan bahwa itu datang dari Allah, maka
muncullah etika tentang mendekatkan diri kepada Allah yang harus dilakukan
oleh seorang pelajar yang ingin mendapatkan ilmu-Nya. Bagian inilah yang
nantinya akan membawa kepada penjelasan tentang sikap jiwa seorang
pelajar. Dalam bahasa yang ditawarkan oleh al-Zarnuji adalah adanya sikap
117 Admin, “Konsep Tarbiyah al-Zarnuji: Metodologi atau Pesan?”, Buletin Istinbat, 2 Mei 2004, (http: www. Sidogiri. Com. Diakses 4 Maret 2009).
118 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op, cit., hlm. 354.
108
tawakkal, iffah, sabar dan tabah untuk mendapatkan ilmu yang nantinya di
ridhoi oleh Allah.
Karena seorang pelajar yang ingin mendapatkan ilmu itu memerlukan
bimbingan, pengarahan, dan petunjuk dari guru, kemudian muncullah etika
peserta didik terhadap gurunya. Bagian ini yang kemudian menampilkan
adanya konsep etika peserta didik terhadap pendidik (guru) serta konsekuensi
apabila etika tersebut tidak lagi dilaksanakan.
Selain hal tersebut, seorang peserta didik tidak hanya membutuhkan
adanya guru, dia juga membutuhkan seorang teman tempat berbagi rasa dan
belajar bersama. Teman tersebut memiliki pengaruh yang signifikan, karena
kebiasaaan yang sering sekali dilakukan oleh seorang teman tidak menutup
kemungkinan akan dilaksanakan pula oleh seorang peserta didik. Berangkat
dari hal tersebut kemudian muncul etika memilih teman, dan etika yang harus
dilakukan antara sesama pelajar.
Selanjutnya, karena seorang yang tengah menuntut ilmu memerlukan
kesiapan fisik yang prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang
tenang, maka perlu adanya upaya pemeliharaan yang sungguh-sungguh
terhadap potensi dan alat indra, fisik, dan mental yang diperlukan untuk
mencari ilmu. Oleh sebab itu, muncullah aturan yang berkenaan dengan cara
menjaganya, dengan beristirahat, makan yang bergizi, menjauhi makanan dan
minuman yang memabukkan dan membawa mudharat terhadap
perkembangan potensi dan kesehatan yang dimiliki oleh peserta didik.119
119 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm.135-137.
109
Berdasarkan filosofi di atas maka sangat tepat sekali jika dalam kajian ini
mengangkat tentang etika bagi peserta didik yang dituliskan dalam kitab
Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, karena disamping memuat segala
yang terpapar di atas, Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum juga memiliki
kupasan-kupasan yang bersifat aplikatif.
Dalam kitab yang terdiri dari muqaddimah dan 13 fasl tersebut, al-Zarnuji
menuliskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan etika peserta didik
terhadap dirinya sendiri, orang lain, guru dan kitab atau buku pelajarannya.
Di samping itu, al-Zarnuji juga memaparkan tentang beberapa hal yang harus
dijauhi selama menuntut ilmu dan beberapa hal yang harus dilakukan ketika
seorang mencari ilmu.
Dalam Muqaddimah kitabnya, al-Zarnuji memaparkan tentang kondisi
generasi pelajar pada masanya, yang kemudian menjadi latar belakang
penulisan karyanya tersebut. Kemudian disusul dengan 13 fasl yang diawali
dengan pembahasan tentang pembagian ilmu.
Paparan di atas akan dijelaskan satu-persatu dalam bentuk sub bab berikut,
agar tidak timbul kerancuan dalam pemahaman, dan dengan adanya
klasifikasi berikut, maka akan sangat terbaca beberapa hal yang termasuk
etika peserta didik terhadap Tuhan, Orang tua, guru, buku dan teman
sebayanya, dirinya, dan etika ketika belajar.
Fasl 01: Hakekat ilmu dan fiqh serta keutamaannya
Penulisan fasl awal dalam kitabnya, al-Zarnuji memulai dengan hadist
Nabi tentang kewajiban mencari ilmu:
110
“Menuntut ilmu adalah fardlu ain (kewajiban individu) bagi setiap
muslim dan muslimat” (al-Hadits).
Lebih lanjut dalam kitabnya, dinyatakan bahwa menuntut ilmu tidak
diharuskan untuk segala macam ilmu. Akan tetapi lebih kepada ilmu-ilmu
hall (ilmu yang menyangkut kewajiban sehari-hari sebagai muslim, seperti
ilmu tauhid, akhlak, dan fiqh). Dan sebaik-baik amal adalah menjaga hall.120
Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang
diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji,
maka ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan
kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara pada perbuatan wajib,
maka wajib pula hukumnya.
Demikian pula, manusia wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk dengan
tugas kerjanya (misalnya dagang), maka ia wajib mengetahui bagaimana cara
menghindari yang haram. Di samping itu, manusia juga diwajibkan
mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakkal, ridla dan sebagainya.121
Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu-waktu
tertentu, hukumnya fardlu kifayah, sedangkan mempelajari ilmu yang tidak
ada manfaatnya atau bahkan membahayakan adalah haram hukumnya.122
120 Ma’ruf Asrori, Etika Belajar Bagi Penuntut Ilmu, op, cit., hlm. 4. 121 Ibid, hlm. 06-07 122 Ibid, hlm. 11-13.
111
Fasl 02: Niat di waktu belajar
Belajar hendaknya diniati untuk mencari ridla Allah, memperoleh
kebahagiaan akhirat, berusaha memerangi kebodohan sendiri dan orang lain,
mengembangkan dan melestarikan Islam serta mensyukuri nikmat akal dan
badan yang sehat.
Niat tidak boleh dilakukan semata-mata untuk mencari pengaruh,
kenikmatan duniawi atau kehormatan di hadapan orang lain. Sebuah syair
Abu Hanifah yang didapatkan al-Zarnuji dari Syaikh Al-Imam Al-Ajall Ustaz
Qawam Ad-Din Hammad Ibnu Ibrahim Ibnu Isma'il Ash-Shaffar Al-Anshari
menyebutkan:
“Barangsiapa mencari ilmu untuk tujuan akhirat, maka beruntunglah ia dengan keutamaan dari petunjuk Allah, dan sungguh amat merugi orang yang mencari ilmu hanya untuk mendapatkan keuntungan dari hamba Allah (manusia).” 123
Disamping itu seorang peserta didik sebaiknya tidak merendahkan
(menghinakan) dirinya dengan mengharapkan sesuatu yang tidak semestinya
dan menghindari hal-hal yang dapat menghinakan ilmu dan ahli ilmu. 124
Fasl 03: Memilih ilmu, pendidik, teman dan ketabahan dalam
mempelajari ilmu
Peserta didik hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang
dibutuhkan dalam kehidupan agamanya dan masa depan. Peserta didik perlu
mendahulukan ilmu tauhid dan ma'rifat beserta dalilnya. Karena keimanan
secara taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya),
123 Ibid, hlm. 14-16 124 Ibid, hlm. 19
112
meskipun sah menurut kita, tetapi tetap berdosa, karena tidak berusaha
mengkaji dalilnya. Demikian pula, perlu memilih ilmu 'atiq (kuno).125
Dalam memilih pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara', alim,
berlapang dada dan penyabar. Peserta didik harus sabar dan tabah dalam
belajar kepada pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi
berbagai cobaan.126 Selain itu seorang peserta didik juga harus memiliki
minat yang besar, dan bekal yang cukup dalam menuntut ilmu. Seorang
penyair mengatakan:
“Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat: aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu:kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinyu)”
Selanjutnya, dalam memilih seorang teman, Peserta didik hendaknya
memilih teman yang tekun, wara', jujur dan mudah memahami masalah.
Menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan pemfitnah.
Dalam kitab tersebut, terdapat salah satu syair dengan menggunakan bahasa
persi menyatakan:
“Teman yang buruk lebih berbahaya daripada ular berbisa. Demi Allah dzat Yang Maha Benar dan Maha Suci. Teman yang buruk mengantar menuju neraka jahim. Teman yang baik mengantar menuju syurga na’im.”
125 Ibid, hlm. 21-22. 126 Ibid, hlm. 24-26.
113
Disamping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar
bermusyawarah dalam segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara
yang sangat penting serta sulit, maka bermusyawarah disini menjadi lebih
penting dan diharuskan pelaksanaannya.127
Fasl 04: Menghormati ilmu dan orang yang berilmu
Al-Zarnuji mengatakan bahwa seorang peserta didik tidak akan dapat
meraih ilmu dan memanfaatkan yang ia dapat kecuali dengan menghormati
ilmu dan ahlinya serta menghormati dan mengagungkan gurunya. Oleh sebab
itu dalam fasl yang keempat, al-Zarnuji menuliskan tentang kewajiban
menghormati ilmu dan ahlinya. Al-Zarnuji mengikut sertakan dalam kitabnya
salah satu ungkapan yang diucapkan oleh Ali karrama Allah wajhahu berkata
“Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajarku, walaupun satu huruf saja. Bila ia bermaksud menjualku, maka ia bisa menjualku. Bila ia bermaksud memerdekakanku, maka ia bisa memerdekakanku dan bila ia bermaksud memperbudakku, maka ia bisa memperbudakku.”128
Cara menghormati pendidik diantaranya adalah tidak berjalan
didepannya, tidak menempati tempat duduknya, tidak memulai mengajaknya
bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di depannya, tidak
menanyakan suatu masalah pada waktu pendidiknya lelah, memelihara waktu
yang sudah ditentukan untuk belajar, tidak mengetuk pintu rumahnya, tetapi
sabar menunggu hingga pendidik itu keluar dari rumahnya, menghormati
putera dan semua orang yang ada hubungan dengannya dan tidak duduk
terlalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa. Pada
127 Ibid, hlm. 26-30 128 Ibid, hlm. 35.
114
prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik
rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak
bertentangan dengan agama Allah.129
Termasuk menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan
serta memuliakan kitab. Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak
mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Demikian pula dalam belajar,
hendaknya dalam keadaan suci. Al-Zarnuji menyarankan kepada peserta
didik yang akan memulai belajar dengan berwudhu. Sebab ilmu adalah
cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya ilmu itu
dengan wudlu.130 Peserta didik hendaknya juga memperhatikan catatan, yakni
selalu menulis dengan rapi dan jelas, agar tidak terjadi penyesalan di
kemudian hari. Disamping itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa
hormat, selalu memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang
disampaikan padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.131
Fasl 05: Kesungguhan dan kontinyu dalam belajar
Peserta didik harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu
mengulangi pelajarannya secara kontinyu sesuai dengan anjuran yang Allah
firmankan dalam surat al-Ankabut: 69132
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.133
129 Ibid, hlm. 35-36. 130 Ibid, hlm. 38-39. 131 Ibid, hlm. 42-43. 132 Ibid, hlm. 47.
115
Di dalam kitabnya,al-Zarnuji menuliskan bahwa peserta didik lebih
baik belajar pada awal waktu malam dan di akhir malam, yakni waktu antara
maghrib dan Isya’ dan setelah waktu sahur, sebab waktu-waktu tersebut
kesempatan yang memberkahi.
Selain itu, al-Zarnuji juga mengisyaratkan bahwa kemalasan
disebabkan oleh lendir dahak yang cukup banyak, yang disebabkan dengan
terlalu banyak makan dan minum. Cara menguranginya bisa dengan
menghayati manfaat dari makan sedikit yang di antaranya adalah badan
menjadi sehat, terhindar dari badan yang haram dan ikut memikirkan nasib
orang lain.
Bersiwak juga dapat mengurangi lendir dahak, di samping dapat
memperlancar hafalan dan kefasihan lisan serta termasuk sunnah Nabi saw.,
yang bisa memperbesar pahala shalat dan membaca Al-Quran.134
Dalam fasl ini pula, al-Zarnuji menganjurkan kepada peserta didik
untuk memiliki cita-cita yang luhur dan berusaha keras melawan kemalasan
yang disebabkan dengan banyaknya lendir sebagaimana yang dituliskan
sebelumnya, karena menurutnya seseorang akan terbang dengan cita-citanya
sebagaimana burung yang terbang dengan kedua sayapnya. Abu Thayyib
berkata:
133 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op, cit., hlm. 404. 134 Ibid, hlm. 47-50.
116
“Cita-cita akan tercapai sejauh orang-orang akan bercita-cita.
Kemuliaan akan tercapai sejauh seseorang berbuat mulia. Sesuatu yang kecil akan tampak besar bagi orang-orang yang bercita-cita kecil. Dan sesuatu yang besar akan tampak kecil bagi orang-orang yang bercita-cita besar.”135
Fasl 06: Permulaan belajar, kadar belajar dan urutan ilmu yang
dipelajari
Belajar hendaknya dimulai pada hari Rabu. Syaikh Burhan Ad-Din,
Imam Abu Hanifah dan Syaikh Abu Yusuf Al-Hamadani memulai perbuatan
baiknya, termasuk belajar pada hari Rabu. Dalam hal ini al-Zarnuji
menyebutkan salah satu hadist Nabi yang melandasi pemikirannya,
Rasulullah bersabda: ”Tidak ada sesuatu yang dimulai pada hari rabu kecuali akan berakhir sempurna.”
Sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya), hari sialnya orang
kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin.136
Bagi pemula hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat
dikuasai dengan baik setelah di ulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah
sedikit demi sedikit, sehingga apabila telah banyak masih mungkin dikuasai
secara baik dengan mengulanginya dua kali, seraya ditambah sedikit demi
sedikit lagi. Apabila pada awalnya telah mempelajari banyak dan memerlukan
pengulangan sepuluh kali, maka untuk seterusnya juga harus dilakukan seperti
itu. Demikianlah Abu Hanifah menjelaskan apa yang diperolehnya dari Syaikh
Al-Qadli Imam Umar Ibnu Abu Bakr Az-Zanjiyyi. Selain itu, untuk pemula
hendaknya memilih kitab-kitab yang kecil, sebab dengan begitu akan lebih
mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak menimbulkan
135 Ibid, hlm. 53. 136 Ibid, hlm. 65.
117
kebosanan. Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat dan
diulangi berkali-kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami,
sebab hal itu bisa menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan
sia-sia belaka.137
Al-Zarnuji juga menganjurkan untuk saling mengingat pelajaran
(mudzakarah), dan berdiskusi (munadzarah) bagi seluruh peserta didik.
Manfaat diskusi lebih besar daripada sekedar mengulangi pelajaran sendiri,
sebab dalam diskusi, selain mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan.
Al-Zarnuji juga mengingatkan agar diskusi dilaksanakan dengan penuh
kesadaran serta menghindari hal-hal yang membawa akibat negatif.
Karena diskusi dilaksanakan guna mencari kebenaran, maka tidak
akan berhasil bila disertai kekerasan dan berlatar belakang tidak baik. Peserta
didik hendaknya membiasakan diri untuk memikirkan dengan
sungguh-sungguh pada pelajaran yang sulit disetiap waktu. Disamping itu, ia
juga perlu pandai-pandai mengambil pelajaran dari siapapun. Ibnu Abbas
ketika ditanyai mengenai cara dia mendapatkan ilmu maka dijawabnya bahwa
ia mendapatkan ilmu dengan lisan banyak bertanya dan hati selalu berpikir.138
Peserta didik hendaknya selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan
hati, lisan, badan maupun harta. Hanya dari Allahlah kepahaman, ilmu dan
tauhid datang. Dan kepada-Nya pula, hendaknya peserta didik bertawakkal
jangan sampai mengandalkan akal dan kemampuan diri semata.139
137 Ibid, hlm. 66. 138 Ibid, hlm. 71-75. 139 Ibid, hlm. 78.
118
Selain itu peserta didik hendaknya membiasakan diri senang membeli
kitab. Sebab hal itu bisa memudahkan ia belajar dan menelaah pelajarannya.
Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha sedapat mungkin
menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut Al-Zarnuji perserta
didik di masa dahulu belajar bekerja dulu, baru kemudian belajar, sehingga
tidak tamak kepada harta orang lain. Ada ungkapan bahwa barang siapa
mencukupi diri dengan harta orang lain, berarti ia melarat.140
Selain yang telah disebutkan di atas, al-Zarnuji menganjurkan pada
peserta didik untuk selalu mempelajari ulang pelajaran-pelajaran yang telah
lalu dengan cara berikut: (1) Pelajaran yang kemarin diulang sebanyak lima
kali, (2) Pelajaran dua hari kemarin maka diulang sebanyak empat kali, (3)
Pelajaran tiga hari kemarin diulang sebanyak tiga kali, (4) Pelajaran empat
hari kemarin diulang sebanyak dua kali, dan pelajaran lima hari kemarin
diulang sekali.
Peserta didik tidak diperbolehkan membiasakan diri belajar dengan
suara yang terlalu pelan, karena sesungguhnya belajar akan semakin baik jika
dilakukan dengan semangat, tetapi juga tidak dilakukan dengan suara yang
begitu keras hingga mengganggu. Bagi al-Zarnuji sesuatu yang dilakukan
dengan penuh kekurangan merupakan sesuatu yang kurang sempurna,
sedangkan apabila dikerjakan dengan berlebihanpun menjadi tidak baik dan
berdampak tidak baik pula pada peserta didik. Oleh sebab itu, al-Zarnuji
140 Ibid, hlm. 80-81.
119
menganjurkan peserta didik melakukan setiap sesuatu tengah-tengah saja,
tidak terlalu berlebihan begitu pula sebaliknya.141
Fasl 07: Tawakkal
Dalam belajar, Peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak
tergoda oleh urusan-urusan rizki. Tidak digelisahkan oleh urusan duniawi,
karena kegelisahan tidak bisa mengelakkan musibah, bergunapun tidak,
bahkan membahayakan hati, akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan
yang baik. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha untuk
mengurangi urusan duniawi. Abu Hanifah meriwayatkan dari Abdullah bin
Hasan az-Zubaidi, seorang sahabat Rasulullah saw., Rasulullah Bersabda:
”Barangsiapa mendalami agama Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangkanya” (Hadist diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari Abdullah bin Hasan al-Zubaidi).
Peserta didik harus sanggup menanggung segala kesulitan dan
keprihatinan pada saat merantau mencari ilmu. Sebagaimana pernah
diucapkan oleh Nabi Musa as., tentang bepergian mencari ilmu:
”Aku benar-benar menemui kesulitan dalam bepergianku ini.”
Ucapan ini tidak pernah terdengar darinya dalam masalah selain
bepergian mencari ilmu. Hal ini agar disadari bahwa merantau mencari ilmu
itu tidak akan pernah lepas dari kesulitan karena mencari ilmu merupakan
sesuatu yang agung, lebih agung daripada perang menurut beberapa ulama.142
141 Ibid, hlm. 84-85. 142 Ibid, hlm. 87-88.
120
Peserta didik hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari
ilmu. Perlu disadari bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas
dari kesulitan sebagaimana dituliskan sebelumnya, sebab mempelajari ilmu
adalah suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama lebih utama dari pada
berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi kesulitan
dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi
segala kelezatan yang ada di dunia.143
Fasl 08: Masa mencapai ilmu
Masa belajar adalah semenjak buaian hingga masuk ke liang lahat.
Masa yang cemerlang untuk belajar adalah awal masa muda. Waktu afdhal
dalam Belajar adalah waktu sahur dan antara maghrib dan Isya'. Namun
sebaiknya peserta didik memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar. Bila
telah merasa bosan mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang
lain. Muhammad Ibnu Al-Hasan tidak tidur semalaman untuk mempelajari
buku-bukunya. Apabila ia telah jenuh mempelajari suatu ilmu, maka
berpindah ke ilmu yang lain. Iapun menyediakan air untuk menghilangkan
kantuknya, sebab ia berpendapat bahwa kantuk itu dari panas maka untuk
menghilangkannya harus dengan air dingin.144
Fasl 09: Kasih sayang dan nasehat
Seseorang yang memiliki ilmu hendaknya memiliki rasa kasih sayang,
mau memberi nasehat dan tidak disertai dengan rasa hasud, karena hasud tidak
mendatangkan kebaikan bahkan akan mendatangkan bahaya. Menurut Syaikh
143 Ibid, hlm. 90-91. 144 Ibid, hlm. 92-93.
121
Burhanuddin, Para ulama banyak yang berkata bahwa putera guru dapat
menjadi seorang yang alim, karena guru selalu menghendaki murid-muridnya
menjadi ulama dalam bidang Al-Qur’an. Lantas karena berkah dan i’tikadnya
serta kasih sayangnya, maka puteranya menjadi seorang yang alim seperti
dirinya.145
Peserta didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya dengan
akhlak mulia. Menjauhi adanya perselisihan dan permusuhan, berprasangka
buruk, karena hal tersebut hanya akan menyia-nyiakan waktu. Lebih lanjut al-
Zarnuji menyatakan bahwa setiap kebaikan pasti akan dibalas dengan
kebaikan, begitu pula sebaliknya. Seorang penyair berkata:
Jika engkau inginkan musuhmu mati terhina terbunuh susah, terbakar derita. Maka caranya capailah mulia, tambahlah ilmu.
Sebab orang dengki akan semakin susah apabila seseorang yang
didengki bertambah ilmunya.146
Peserta didik juga harus menjauhi berprasangka buruk terhadap
sesamanya, terlebih pada guru. Karena sangkaan buruk bisa terjadi karena niat
jelek dan hati yang jahat. Sebuah syair yang dikemukakan oleh Abu Thayyib
yang dituliskan oleh al-Zarnuji menyatakan:
“Apabila buruk laku perbuatan seseorang, maka akan buruk pula prasangkanya. Ia akan membenarkan apa yang diangankannya. Ia memusuhi orang yang menyintainya dan menuduh memusuinya. Pada tengah malam ia diliputi gelapnya kebimbangan hingga pagi hari. ” 147
145 Ibid, hlm. 95. 146 Ibid, hlm. 97. 147 Ibid, hlm. 99.
122
Fasl 10: Mengambil pelajaran (istifadah)
Peserta didik hendaknya dapat mengambil pelajaran (Istifadah) dan
memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, hingga dapat mencapai
keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis disetiap saat untuk
mencatat hal-hal ilmiah yang diperolehnya. Ada ungkapan: ”Hafalan akan
dapat sirna tetapi tulisan akan tetap tegak.”
Zain Al-Islam pernah menyampaikan bahwa suatu ketika Hilal Ibnu Yasar berkata: Kulihat Nabi saw., mengemukakan sepatah ilmu dan hikmah kepada sahabat-sahabat beliu lalu usulku : ”Wahai Rasulullah saw., ulangilah apa yang telah kau jelaskan kepada mereka.” Rasulullah saw., lalu bertanya kepadaku: ”Apakah engkau mempunyai seperangkat alat tulis?” Aku menjawab: ”Aku tidak mempunyai seperangkat alat tulis,” Nabi saw., lalu bersabda: ”Wahai Hilal, janganlah kamu terpisahkan dari seperangkat alat tulis, karena di dalamnya terdapat kebaikan, juga bagi orang yang membawanya sampai hari kiamat.”148
Al-Zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak.
Oleh karena itu peserta didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya,
hendaklah ia selalu memanfaatkan waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang
sepi untuk terus belajar. Dan hendaknya bagi peserta didik untuk selalu
mengambil pelajaran dari orang yang lebih tua. Seorang tokoh Islam yang
telah lanjut usia menasehati:
”Sering aku bertemu dengan orang yang lanjut usia yang mulia ilmu dan amalnya, tetapi saya tidak pernah mengambil pelajaran darinya. Atas kejadian ini kuungkapkan sebait syair:
”Betapa aku sangat menyesal tidak mendapat apa-apa. Apa yang telah berlalu tidak mungkin didapat.”
Ali ra., berkata: “Jika kamu menghadapi suatu masalah, maka hadapilah (pecahkanlah) masalah itu. Berpaling dari ilmu Allah akan
148 Ibid, hlm. 102-103.
123
membuatmu terhina dan menyesal. Mohonlah perlindungan kepada Allah siang dan malam.”
Selain itu, merupakan keharusan bagi peserta didik untuk menanggung
derita selama menuntut ilmu. Serta kewajiban untuk mempertajam ilmu
melalui diskusi dengan guru, teman, dan banyak mengulangi pelajaran yang
telah dipelajari.
Seorang ahli mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu mulia dan tidak menyimpan kehinaan, maka ilmu tidak akan didapatkan kecuali dengan perjuangan dan menghinakan nafsumu.”149
Fasl 11: Wara’ di waktu belajar
Di waktu belajar hendaknya peserta didik berlaku wara', sebagaimana hadits Nabi, ”Barangsiapa tidak wara’ ketika belajar, maka Allah akan mengujinya dengan salah satu dari tiga perkara: dimatikan ketika muda, diletakkan di kalangan orang-orang bodoh, atau diberi cobaan menjadi pelayan para penguasa.”
Dengan wara’ maka ilmu yang didapatkan akan lebih bermanfaat,
lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih mudah.150
Sedangkan yang termasuk perbuatan wara' antara lain adalah menjaga
diri dari terlalu kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak
membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Selain itu bila memungkinkan
juga menghindari makanan masak di pasar yang diperkirakan lebih mudah
terkena najis dan kotoran, jauh dari dzikir, dan diketahui orang-orang fakir,
sementara mereka tidak mampu membelinya yang akhirnya berduka lara,
sehingga berkahnyapun menjadi hilang karena hal-hal tersebut.
149 Ibid, hlm. 104-105. 150 Ibid, hlm. 106.
124
Hendaknya bagi peserta didik dapat menjauhkan diri dari penganggur,
perusak dan pelaku maksiat, sebab pergaulan itu besar pengaruhnya. Selain
itu, menghadap kiblat waktu belajar, bercerminkan diri dengan Sunnah Nabi,
mohon didoakan oleh ulama ahli kebajikan dan menghindari doa tidak
baiknya orang teraniaya, kesemuanya itu juga termasuk wara'.
Peserta didik hendaknya menjaga diri dari ghibah dan bergaul dengan
orang yang terlalu banyak bicara agar waktunya tidak habis dengan sia-sia
belaka. Disamping itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan
perbuatan-perbuatan sunnah. Hendaknya memperbanyak sholat dan
melaksanakannya secara khusyuk, sebab hal itu akan membantunya dalam
mencapai keberhasilan studinya.
Dalam hal ini Al-Zarnuji juga mengingatkan kembali agar peserta
didik selalu membawa buku untuk dipelajari dan alat tulis untuk mencatat
segala pengetahuan yang didapatkannya. Ada ungkapan bahwa barang siapa
tidak ada buku di sakunya maka tidak ada hikmah dalam hatinya. Lebih
utama bila (lembaran-lembaran) buku itu berwarna putih.151
Fasl 12: Penyebab hafal dan lupa
Yang paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan,
kontinyu, mengurangi makan, melaksanakan shalat malam, membaca
Al-Qur’an, banyak-banyak membaca shalawat Nabi dan berdoa sewaktu
mengkaji buku serta seusai menulis. Selain itu, bersiwak, minum madu,
memakan kandar (sejenis susu, yang hanya ada di Turki yang dicampur
151 Ibid, hlm. 108-112
125
dengan gula) dan minum dua puluh satu zabib merah setiap hari dengan penuh
syukur. Sedangkan apapun yang dapat menambah lendir dan dahak adalah hal
yang menyebabkan lupa, dan apapun yang dapat mengurangi dahak dan
lendir, maka merupakan hal yang dapat memperkuat hafalan.152
Adapun penyebab mudah lupa antara lain adalah perbutan maksiat,
banyak dosa, gelisah karena urusan-urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan
urusan-urusan duniawi. Demikian pula makan ketumbar, buah apel masam,
melihat salib, membaca tulisan pada nisan, berjalan di sela-sela iringan unta,
membuang kutu yang masih hidup ke tanah dan berbekam pada tengkuk.153
Fasl 13: Penyebab bertambah dan berkurangnya rizqi dan hal yang
menambah serta mengurangi umur
Dalam menunutut ilmu bagi peserta didik tentulah membutuhkan
makanan. Oleh sebab itu, maka menjadi keharusan bagi peserta didik untuk
mengetahui apa saja yang mendatangkan rezeki yang banyak, dan apa saja
hal-hal yang dapat menambah panjang usia dan tetap sehat, agar dapat
menyelesaikan dengan baik masa belajarnya.154
Rasulullah saw., bersabda: ”Hanya do’a yang dapat mengubah takdir dan hanya taqwa yang dapat menambah usia. Seseorang yang terhalang rizkinya adalah karena dosa yang diperbuatnya. ”
Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa perbuatan dosa menjadi sebab
terhalangnya rizki, terlebih berdusta.155
152 Ibid, hlm. 113-115. 153 Ibid, hlm. 118. 154 Ibid, hlm. 119. 155 Ibid, hlm. 123.
126
Selain yang tertera di atas, berikut merupakan beberapa hal yang
menyebabkan berkurangnya rizki, di antaranya: Tidur diwaktu subuh, Tidur
telanjang, kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, membiarkan sisa
makanan berserakan, membakar kulit kerambang dan dasun,
menyapu lantai dengan kain atau di waktu malam, membiarkan sampah
berserakan, lewat di depan pini sepuh, memanggil orang tua tanpa gelar
(seperti pak, bu, mas dan lain sebagainya), membersihkan selilit gigi dengan
benda kasar, melumurkan tanah atau debu dengan tangan, duduk di beranda
pintu, bersandar pada kaki gawang pintu, berwudlu di tempat orang
beristirahat, menjahit pakaian yang sedang dipakai, menyeka muka dengan
kain, membiarkan sarang lebah berada di rumah, meremehkan ibadah shalat,
bergegas keluar masjid setelah shalat shubuh, terlalu pagi berangkat ke pasar,
membeli rerontokan makanan dari pengemis, mendoakan buruk kepada anak,
membiarkan wadah tidak tertutupi, mematikan lampu dengan meniup, menulis
dengan pena rusak, menyisir rambut dengan sisir rusak, tidak mendoakan baik
kepada kedua orang tua, memakai serban sambil duduk, memakai celana
sambil berdiri, kikir, terlalu hemat atau terlalu berlebihan dalam
membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda-nunda dan mudah
menyepelekan suatu perkara.
Sedangkan apabila seorang peserta didik dapat bangun di pagi hari
serta mampu menulis yang baik juga merupakan kunci memperoleh rizki.
Wajah berseri-seri, bertutur kata yang manis dan banyak bersedekah juga bisa
menambah rizki. Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki
127
adalah shalat dengan ta’zhim, khusyu’, sempurna rukun, wajib, sunnah dan
adatnya. Demikian pula melakukan shalat dluha, membaca surat Al-Waqi'ah,
khususnya di malam hari saat orang-orang tidur, surat Al-Mulk,
Al-Muzammil, Al-Lail dan Al-Insyirah. Selain itu juga datang ke masjid
sebelum azan, shalat Fajr, shalat witir di rumah dan berbagai macam doa
untuk dikaruniai rizki.
Selain itu, jangan terlalu banyak bergaul dengan lawan jenis, kecuali
bila ada keperluan yang baik. Dan jangan omong kosong yang tidak berguna
untuk agama dan dunianya, sebab barang siapa yang disibukkan oleh
perbuatan yang tanpa guna bagi dirinya, maka yang semestinya akan berguna,
menjadi terlewatkan darinya.156
Selanjutnya, al-Zarnuji menuliskan tentang beberapa hal yang
menyebabkan bertambahnya umur. Salah satunya: berbuat kebajikan, tidak
menyakiti orang lain, menghormati sesepuh, bersilaturrahim, memotong
pepohonan yang masih hidup kecuali terpaksa, berwudlu secara sempurna,
menunaikan shalat dengan ta'zhim dan haji serta memelihara kesehatan.
Menurut Al-Zarnuji, Peserta didik Juga harus belajar ilmu kesehatan dan dapat
memanfaatkannya dalam menjaga kesehatan dirinya.
Demikianlah deskripsi isi kitab Ta'lim Al-Muta'allim karya Al-Zarnuji.
Dia menulis kitab seperti itu, karena di masanya dia mengetahui banyak
peserta didik yang telah belajar dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa
mendapatkan manfaat dan hasilnya, yakni mengamalkan dan menyiarkannya.
156 Ibid, hlm. 124-129
128
Menurut Al-Zarnuji hal tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan
meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu,
dia menulis kitab Ta'lim Al-Muta'allim dengan maksud menjelaskan kepada
para peserta didik tentang cara yang seharusnya mereka tempuh agar tidak
salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan
bermanfaat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam muqoddimah.
B. Etika Peserta Didik dalam Perspektif Burhanuddin al-Zarnuji
Pada alinea berikut ini, merupakan pemaparan tentang buah pemikiran
al-Zarnuji tentang beberapa etika peserta didik dalam menuntut ilmu yang
dituangkan dalam tulisannya di kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-
Ta’allum.
Karena dalam kitab Ta'lim Al-Muta'allim tidak ada suatu bab yang
khusus membahas masalah etika peserta didik, maka untuk mendeskripsikan
pemikiran-pemikiran al-Zarnuji tentang masalah tersebut, peneliti
menggunakan cara dengan mengambil pemikiran-pemikiran al-Zarnuji dari
berbagai bab yang ada dalam kitab Ta'lim Al-Muta'allim, yang ada kaitannya
dengan masalah etika peserta didik. Setelah itu, agar lebih mudah difahami,
maka pemikiran-pemikiran tersebut peneliti klasifikasikan menjadi beberapa
bagian, sebagai berikut:
1. Etika Peserta Didik Terhadap Tuhan
Dalam kitab al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum al-Zarnuji tidak
mengungkapkan secara khusus tentang etika peserta didik terhadap
Tuhannya. Namun dalam beberapa fasl di dalam kitabnya al-Zarnuji
129
mengungkapkan ada beberapa hal yang berkaitan dengan etika seorang
peserta didik terhadap Tuhannya, diantaranya: mengharap Ridho-Nya,
bertawakkal, dan Wara’. Akan tetapi dalam kitabnya al-Zarnuji tidak
mengungkapkan secara jelas pengertian dari beberapa item tersebut.
Agar dapat dipahami tentang makna ketiganya, maka peneliti disini
akan mencantumkan pengertian ketiganya dari beberapa literatur yang
menerangkan tentang ketiganya.
a. Wara’
Kata al-Wara’ secara bahasa berarti “saleh”, menjauhkan diri dari
perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal
yang tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-Wara’ adalah meninggalkan
segala sesuatu yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal
dan haram (Syubhat).
Yunus bin 'Ubaid rahimahullah menyatakan bahwa wara' yang
sebenarnya adalah keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah
(introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata. Sikap
seseorang untuk menjauhi hal-hal yang syubhat.
Hadist Nabi Muhammad saw, yang artinya “barang siapa yang terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya dia telah terbebas dari yang haram”( H.R. Bukhori).157
Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah:158
1) Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
157 M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawwuf (Manusia, Etika, dan Makna Hidup), Bandung: Penerbit Nuansa, 2005, H. 185.
158 Mahmud Muhammad al-Khazandar, Sifat Wara’, Terj. Team Indonesia, Eko Haryanto Abu Ziyad, (http: www.Islamhouse.com diakses 14 Januari 2009)
130
2) Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.
3) Menjauhi semua yang diragukan.
4) Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
5) Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
6) Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
Sedangkan menurut Al-Zarnuji, salah satu perbuatan wara’ adalah
menjauhkan diri dari perut terlalu kenyang, banyak tidur dan banyak
bicara yang tidak ada gunanya. Menjauhi makan makanan pasar.159
b. Ridha
Kata al-Ridha secara bahasa berarti rela, suka, dan senang. Harun
Nasution mengatakan, ridha berarti tidak berusaha menentang qadha’
dan qadar Tuhan. Seseorang yang bersikap ridha akan menerima
qadha’ dan qadar dengan hati senang. Dia mampu menghilangkan
kebencian dari hati sehingga yang tertinggal di dalamnya hanya
perasaan senang dan gembira. Dia merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta syurga
dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dengan neraka. Dia tidak
berusaha sebelum turunnya qadha’ dan qadar, dan tidak merasa pahit
dan sakit sesudah turunnya qadha’ dan qadar. Seseorang yang bersikap
ridho justru perasaan cintanya bergelora di waktu menerima bala’
(cobaan yang berat).160
159 Burha al-Din Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, op, cit., hlm.39. 160 Solihin, op. cit., hlm. 188
131
Selain itu, dia juga rela berjuang di jalan Allah, rela menghadapi
segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa
dan sebagainya. Semua itu bagi seorang sufi dipandang sebagai sifat-
sifat yag terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi, bahkan dianggap
sebagai ibadah karena mengharapkan keridhaan Allah. Dalam hadist
qudsi, Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barang siapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya dia keluar dari kolong langit dan mencari Tuhan selain Aku”.
c. Tawakal
Kata al-tawakkal atau secara bahasa berarti menyerahkan diri.
Menurut Sahal bin ‘Abdullah, orang yang bertawakkal di hadapan Allah
adalah ibarat bangkai di hadapan orang yang memandikannya. Dia
pasrah pada apapun yang dilakukan orang yang memandikannya. Dia
tidak dapat bergerak dan bertindak apapun. Hamdun al-Qashshar
mengatakan, tawakal adalah berpegang teguh kepada Dzat Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakal tempatnya di
dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah
tawakal yang ada di dalam hati itu. Hal ini terjadi setelah seorang
hamba menyakini bahwa segala sesuatu hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Dia menganggap bahwa segala kesulitan merupakan
takdir dari Allah.161
161 Solihin, op, cit., hlm. 187-188
132
Sebagai contoh dapat dikemukakan kemenangan kaum muslimin
dalam perang Badar. Jumlah kaum musyrikin Quraisy tiga kali lipat
dari tentara kaum muslimin. Persenjataannya pun jauh lebih lengkap.
Menurut perhitungan akal sehat, bisa dipastikan pasukan kaum
muslimin akan hancur. Tapi pada saat-saat yang menentukan, justru
kemenangan berada di pihak pasukan Islam. Salah satu senjatanya yang
paling ampuh adalah sikap tawakkal, yakni maju ke medan perang
dengan gagah dan berani sambil berserah diri kepada Allah, setelah
segala daya dan upaya dilaksanakan.162
Tawakkal yang demikian ini sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Harun Nasution, menurutnya tawakal adalah menyerahkan diri
kepada takdir dan keputusan Allah. Seseorang yang bersikap tawakal,
selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat anugerah, dia
berterima kasih, dan jika mendapat musibah, dia selalu sabar dan pasrah
kepada takdir Allah. Seseorang yang bertawakal tidak memikirkan hari
esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Dia tidak mau makan,
jika ada orang lain yang lebih berhajat daripadanya. Dia percaya kepada
janji Allah. Dia menyerah kepada Allah. Dia selalu merasa hidup
dengan Allah dan karena Allah.163
Firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 159 menegaskan tentang
kewajiban kita sebagai hamba-Nya untuk bertawakkal.
162 Jiddan, Artikel Media Muslim, (http: myqalbu.wordpress.com diakses 14 Januari 2009). 163 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisis, dan Perbandingan, cet
ke-2, Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.
133
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya“.(QS.Ali Imran : 159).164
2. Etika Peserta Didik Terhadap Orang Tua
Sebetulnya dalam kitabnya tidak tertuang secara khusus tentang
etika peserta didik terhadap orang tuanya. Akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa peran orang tua sangatlah penting dalam proses
pembelajaran seorang peserta didik. Dalam fasl kelima, al-Zarnuji
menegaskan bahwa di dalam menuntut ilmu tidak hanya diperlukan
kesungguhan dari peserta didik semata, akan tetapi dibutuhkan pula
kesunggguhan hati seorang pendidik dan orang tua.165
Dari sini dapat dilihat bahwa kewajiban orang tua sama dengan
pendidik, bahkan melebihi dari sekedar mendidik. Karena orang tua
merupakan orang pertama yang mengenalkan anak didik tentang banyak
hal sebelum pendidik. Oleh sebab itu selayaknya bagi seorang peserta
didik wajiblah melaksanakan apa-apa yang dilakukan terhadap guru, juga
menjadi kewajiban untuk dilakukan terhadap orang tuanya.
Selanjutnya pada fasl ke-13, dikatakan bahwa salah satu penyebab
fakir adalah berjalan di depan orang tua dan memanggil orang tua dengan
164Pengertian Tawakkal, Lembar Risalah An-Natijah, No. 18 (http: www.g-excess.com
diakses 14 Januari 2009). Al-Qur’an dan Terjemahannya, op, cit., hlm. 71. 165 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 47.
134
sebutan namanya.166 Pernyataan dari al-Zarnuji tersebut sejalan dengan
salah satu ayat Al-Qur’an surat al-Isro’ ayat 23:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.167
3. Etika Peserta Didik Terhadap Pendidik
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, al-Zarnuji
mengungkapkan banyak hal tentang etika peserta didik terhadap
pendidiknya, al-Zarnuji mengkhususkan pembahasan tentang etika peserta
didik terhadap pendidiknya pada fasl ketiga dan keempat.
Pada fasl ketiga al-Zarnuji menganjurkan kepada peserta didik untuk
memilih guru yang alim (pandai), wara’ (menjaga harga diri) dan lebih tua.
Karena jika peserta didik tidak selektif dalam memilih pendidik maka akan
berdampak tidak baik pada dirinya. Kewajiban memilih orang yang pandai
memang harus dilakukan, karena apabila seorang pendidik tidak pandai
maka tidak akan dapat memberikan pelajaran yang banyak dan bermanfaat
pada peserta didik. Begitu juga wara’ dan lebih tua dari padanya.168
166 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 124. 167 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op, cit., hlm. 284. 168 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 24.
135
Lebih lanjut al-Zarnuji menyarankan kepada peserta didik untuk
menghormati guru, sebagaimana menghormati kedua orang tua. Dan
menurut al-Zarnuji peserta didik akan kurang berhasil dan kurang
memperoleh ilmu yang bermanfaat, kecuali jika mau mengagungkan ilmu,
orang yang berilmu dan menghormati keagungan pendidiknya.169
Dalam hal ini al-Zarnuji memberikan beberapa cara untuk
menghormati pendidik, diantaranya adalah tidak berjalan di depannya,
tidak menempati tempat duduknya yang biasa digunakan mengajar, tidak
memulai bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di
depannya, tidak menanyakan suatu masalah ketika pendidiknya lelah,
memelihara waktu yang sudah ditentukan untuk belajar, tidak mengetuk
pintu rumahnya, menghormati putra dan semua orang yang ada hubungan
dengannya, baik famili maupun temannya, dan tidak duduk terlalu dekat
dengan pendidik sewaktu belajar, kecuali terpaksa. Pada prinsipnya,
peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik rela,
menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan
dengan agama Allah.170
4. Etika Peserta Didik terhadap Teman
Masalah akhlak peserta didik kepada temannya tidak luput dari
perhatian al-Zarnuji. Dalam hal ini nampaknya al-Zarnuji sangat
menyadari adanya pengaruh teman serta lingkungan pada umumnya.
Sebagaimana diuangkapkan pada permulaan bab IV ini, bahwa bukan saja
169 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 31. 170 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 35.
136
orang tua, guru atau tabiat, seorang akan berubah. Akan tetapi adanya
teman juga lingkungan sangatlah mempengaruhi perubahan sikap serta
kebiasaan yang akan dilakukan oleh seorang peserta didik. Oleh sebab itu,
al-Zarnuji menyatakan dan menyarankan kepada peserta didik untuk
selektif memilih teman sebagaimana ketika dia memilih seorang pendidik.
Dituliskan sebuah syair berbahasa persi sebagai berikut:
"Teman yang durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa Demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke Neraka Jahim teman baik membawamu ke Surga Na’im."171
Oleh sebab itu, al-Zarnuji menganjurkan kepada peserta didik
untuk memilih teman yang tekun, wara’, bertabiat lurus serta tanggap.
Menghindari berteman dengan seseorang yang malas, pengangguran,
pembual, suka berbuat onar, dan suka memfitnah, karena tidak
menggambarkan seorang teman yang memiliki sikap saling mengasihi dan
menyayangi. Selain itu teman yang memiliki sifat-sifat di atas hanya
membawa pada permusuhan dan perselisihan yang tidak akan memberi
manfaat terhadap peserta didik dan menuruti hal-hal tersebut hanya
membuang waktu.172
5. Etika Peserta Didik Terhadap Kitab
Adalah termasuk menghormati pendidik, menghormati ilmu yang
diajarkannya. Adapun cara menghormati ilmu antara lain dengan
171 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 30. 172 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 97.
137
menghargai nilai buku, memperhatikan segala ilmu dan hikmah serta
mencatatnya dengan baik dan rapi. Oleh karena itu, peserta didik
hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci.
Dikisahkan dari al-khulwani, ia berkata: ”Sesungguhnya aku dapat memperoleh ilmu hanya dengan mengagungkannya, aku tidak meraih kertas belajarku kecuali dalam keadaaan suci”.
Ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin
bersinarlah cahaya ilmu itu dengan wudlu. Demikian pula, sebaiknya
peserta didik tidak membentangkan kakinya ke arah kitab, kecuali bila hal
itu tidak bermaksud meremehkan.173
6. Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya
Selain membicarakan tentang etika peserta didik terhadap Tuhan,
orang tua, pendidik, teman serta kitab. Al-Zarnuji juga menuliskan dalam
kitabnya beberapa sifat yang harus dimiliki oleh peserta didik sebagai
wujud dari etika terhadap dirinya sendiri.
Adapun beberapa sifat yang dianjurkan al-Zarnuji tersebut, adalah
sebagai berikut:
a. Sifat Tawadlu. Menurut al-Zarnuji para pencari ilmu dianjurkan untuk
memiliki sifat tawadlu dan tidak tamak terhadap harta benda, dalam
arti lebih memiliki perhatian terhadap urusan akhirat daripada urusan
duniawi. Dalam kitabnya al-Zarnuji mengungkapkan:
174
173 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 37. 174 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 12.
138
“Tawadlu adalah salah satu tanda orang yang bertaqwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertaqwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka.”
b. Anjuran untuk senantiasa tawakkal, pada pembahasan tawakkal ini,
al-Zarnuji menuliskan dalam kitabnya satu fasl khusus yang membahas
tentang pembahasan ini. Pada sub item etika peserta didik terhadap
Tuhannya telah disebutkan, bahwa penanaman sifat tawakkal sangat
dianjurkan oleh al-Zarnuji. Selain sebagai wujud ketaqwaan kepada
Allah, sifat tawakkal juga merupakan salah satu sifat yang harus
ditanamkan pada jiwa peserta didik. Di samping tidak boleh patah
semangat, ketika para peserta didik menghadapi masalah, peserta didik
juga dianjurkan untuk bertawakkal, yaitu menyerahkan segala
keputusan akhir kepada Allah, setelah usaha yang dilakukan dianggap
sempurna.175
176
“Adalah keharusan bagi seorang peserta didik untuk bertawakkal (berserah diri kepada Allah) di dalam menuntut ilmu. Tidak perlu merasa susah karena masalah rezeki dan hatinya jangan selalu disibukkan dengan urusan rezeki. ”
c. Memiliki sifat berani, selain sabar dan tekun, al-Zarnuji
menganjurkan pula kepada seluruh peserta didik untuk memiliki sifat
berani, dalam arti keberanian juga kesabaran dalam menghadapi.
175 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 86. 176 Al-Zarnuji, op. cit,. hlm. 34
139
Keberanian menghadapi kesulitan dan penderitaan. Dalam kitabnya al-
Zarnuji mengungkapkan:
177
“Keberanian adalah kesabaran mengahadapi kesulitan dan penderitaan.”
d. Selalu berprasangka baik, dalam kitabnya al-Zarnuji menganjurkan
peserta didik untuk selalu berprasangka baik dan melarang untuk
berprasangka buruk baik pada diri sendiri terlebih pada sesama
muslim.
178
“Janganlah berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal tersebut tidak boleh.”
e. Bersikap wara’, wujud dari sikap wara’ tersebut dengan menghindari
makan banyak, terutama makanan pasar, sehingga menyebabkan
banyak dahak dan lender sehingga menyebabkan kemalasan,
menghindari orang yang banyak bicara, dan menjauhi hal-hal duniawi
yang menjauhkan diri pada Allah. Al-Zarnuji menambahkan bahwa
dengan menanamkan rasa wara’, maka ilmu yang diperoleh akan
bermanfaat dan belajar akan lebih mudah serta akan mendapatkan
banyak faedah.
179
“Maka menuntut ilmu yang disertai wara’, ilmunya akan berguna, belajarnya menjadi mudah dan mendapatkan pengetahuan yang banyak ”
177 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 14. 178 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 37. 179 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 39.
140
f. Menghindari perselisihan dan menanamkan rasa saling
menyayangi, seorang peserta didik seharusnya memiliki sikap saling
menyayangi dan kasih sayang antar sesama, selalu menghindari adanya
perselisihan. Al-Zarnuji mengatakan bahwa perselisihan hanya akan
menyebabkan permusuhan dan hal tersebut hanya akan menyia-
nyiakan waktu. Al-Zarnuji menuliskan dalam kitabnya:
180
“Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasehati tanpa iri atau dengki, karena sesungguhnya dengki akan membawa pada kemudharatan yang tidak mendatangkan manfaat.”
7. Etika Peserta Didik ketika Belajar
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum al-Zarnuji
menganjurkan banyak hal tentang etika peserta didik ketika belajar. Ada
beberapa etika peserta didik dalam belajar, diantaranya:
a. Menganjurkan peserta didik untuk selalu belajar. Dalam kitabnya
al-Zarnuji mengutip syair dari Muhammad al-Hasan bin Abdullah yang
menganjurkan keharusan peserta didik untuk terus belajar, karena
menurut beliau ilmu adalah pengias bagi pemiliknya. Syair tersebut
sebagaimana berikut:
181
180 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 36. 181 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 6.
141
“Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna. Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan taqwa. Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan. Oleh karena itu, orang yang ahli agama dan bersifat wara’ lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli tapi bodoh.”
Dalam bait-bait tersebut tidak hanya menganjurkan untuk belajar,
akan tetapi juga menganjurkan untuk banyak mempelajari ilmu agama.
b. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Dalam kitabnya,
al-Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik tidak hanya
mempelajari akhlak terpuji, tapi juga akhlak tercela. Lebih lanjut al-
Zarnuji mengatakan:
182
“Orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain. ”
c. Larangan mempelajari ilmu perdukunan. Selain menganjurkan
untuk mengetahui beberapa akhlak yang terpuji dan tercela. Al-Zarnuji
juga melarang peserta didik untuk mempelajari ilmu perdukunan.
Dalam kitabnya al-Zarnuji membahasakan ilmu nujum (meramalkan
sesuatu berdasarkan perbintangan atau astrologi). Menurut al-Zarnuji
hal tersebut tidak mendatangkan manfaat, dan dengan mempelajari ilmu
tersebut menunjukkan bahwa seseorang tersebut telah lari dari
182 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 8.
142
ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah. Dalam kitabnya al-Zarnuji
mengatakan:
183
“Adapun ilmu nujum hukumnya haram, sebab ilmu tersebut berbahaya dan tidak mendatangkan manfaat. Lari dari ketentuan dan takdir Allah jelas tidak mungkin”
d. Kewajiban untuk berniat yang baik. Dalam kitabnya al-Zarnuji
mengkhususkan fasl tentang niat. Menurut beliau, peserta didik harus
menata niat pada masa-masa belajar, karena niat merupakan sesuatu
yang sangat fundamental dan signifikan. Dalam kitabnya al-Zarnuji
mengatakan:
184
“Kemudian seyogyanya bagi peserta didik untuk berniat pada masa-masa menuntut ilmu. Karena niat merupakan pokok dalam segala hal.”
Pernyataan al-Zarnuji tersebut berdasarkan pada hadist Nabi
Muhammad saw.,”Sesungguhnya syahnya amal itu tergantung pada
niatnya.” Lebih lanjut al-Zarnuji menegaskan bahwa: (1) Niat harus
ikhlas untuk mengharap ridho Allah, (2) Niat itu dimaksudkan untuk
mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan, (3) Niat untuk upaya
mendapatkan kedudukan dimasyarakat diperbolehkan dengan catatan
harus dimanfaatkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
e. Memilih ilmu yang baik. Disamping melarang untuk mempelajari
ilmu perdukunan, al-Zarnuji juga menganjurkan peserta didik untuk
183 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 8. 184 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 10.
143
mempelajari ilmu yang baik untuk kehidupannya, terutama dalam
kehidupan agamanya. Terlebih lagi ilmu tentang ketuhanan dan
akhlakul karimah.
185
“Bagi setiap pelajar hendaknya memilih ilmu yang terbaik baginya dan ilmu yang dibutuhkannya dalam urusan agama pada masa sekarang.”
f. Sungguh-sungguh dalam belajar. Al-Zarnuji mengkhususkan fasl
tersendiri untuk sub item ini, dalam fasl tentang kesungguhan (al-
jiddu), ketekunan (al-Muwadzabah), dan cita-cita (al-Himmah) al-
Zarnuji mengatakan:
186
“Dan peserta didik harus bersungguh-sungguh dalam belajar harus tekun dalam menunutut ilmu, dan hal tersebut telah di firmankan oleh Allah. Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya, dan barang siapa saja yang mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk”.
g. Memiliki cita-cita yang luhur. Selain menganjurkan untuk sungguh-
sugguh dalam belajar, al-Zarnuji juga menganjurkan peserta didik untuk
memiliki cita-cita yang luhur. Dalam kitabnya dia mengatakan:
187
“Seharusnya bagi peserta didik memiliki cita-cita yang luhur.”
h. Memulai pelajaran pada hari rabu. Al-Zarnuji menganjurkan
peserta didik untuk memulai belajar pada hari rabu. Al-Zarnuji
185 Al-Zarnuji, op. cit.,hlm. 13. 186 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 20. 187 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 23.
144
berlandaskan sebuah hadits sebagai pijakan pendapatnya. Rasulullah
saw., bersabda:
“Tidak ada sesuatu yang dimula pada hari rabu kecuali akan berakhir sempurna.”188
i. Memulai belajar dengan sesuatu yang mudah dipahami.
Selanjutnya al-Zarnuji pada fasl ketujuh dalam kitabnya menganjurkan
kepada peserta didik untuk memulai pelajaran dengan sesuatu yang
mudah dipahami. Karena dengan memulai dengan pelajaran yang
mudah dipahami maka tidak akan timbul kebosanan ketika
mempelajarinya. Dalam kitabnya al-Zarnuji mensuliskan:
189
“Dan sebaiknya bagi peserta didik memulai pelajaran dengan sesuatu yang mudah dipahami.”
j. Berfikir sebelum berbicara. Al-Zarnuji menganjurkan peserta didik
untuk berfikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Karena perkataan
bagaikan anak panah sehingga harus dipikirkan terlebih dahulu agar
tepat pada sasaran. Al-Zarnuji mencantumkan salah satu syair yang
artinya:
“Bila kamu mau mendengar dan mengikuti orang yang memberi nasehat, maka kusarankan lima hal dalam menyusun ucapan: yaitu jangan kau lupakan sebab suatu ucapan, kapan mengucapkannya, dan dimana mengucapkannya.” 190
k. Membiasakan untuk bermusyawarah. Al-Zarnuji menganjurkan bagi
peserta didik untuk selalu bermusyawarah dalam belajar, karena
188 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 28. 189 Ibid. 190 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 30.
145
menurut al-Zarnuji mencari ilmu merupakan hal yang luhur dan perkara
yang sulit. Oleh sebab itu adanya musyawarah akan mempermudah
dalam memahami suatu ilmu. Dalam kitabnya al-Zarnuji menulisnya:
191
“Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarah dengan mereka yang lebih mengetahui itu merupakan suatu keharusan.”
l. Sabar, tekun dan tabah. Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar
memiliki kesabaran atau ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Al-
Zarnuji menegaskan dalam kitabnya:
192
“Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan adalah pokok dari segala urusan.”
m. Selalu mengambil pelajaran (istifadah). Dalam kitab al-Muta’allim
Tariq al-Ta’allum al-Zarnuji menegaskan kepada peserta didik untuk
selalu mengambil pelajaran (istifadah) dimanapun, kapanpun dan
kepada siapapun. Selama ilmu tersebut tidak menjauhkan pada Allah
dan bermanfaat bagi kehidupannya. Al-Zarnuji dalam kitabnya
menuliskan:
193
“Seharusnya bagi seorang peserta didik untuk selalu mengambil pelajaran (Istifadah) disetiap saat sehingga memperoleh kemuliaan”
n. Mencermati keterangan guru. Dalam upaya meningkatkan
pemahaman pada peserta didik dan mengurangi adanya ketidak
191 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 14. 192 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 14. 193 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 38.
146
pahaman atau bahkan kesalahan dalam memahami sebuah ilmu, maka
al-Zarnuji menganjurkan pada peserta didik untuk mencermati
keterangan dari guru. Dalam kitabnya al-Zarnuji mengatakan:
194
“Seyogyanya bagi peserta didik untuk sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya.”
o. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa. Usaha saja tidaklah cukup
bagi seorang peserta didik tanpa disertai dengan doa. Demikian pula
doa tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Anjuran berdoa ini
untuk mengimbangi adanya usaha yang telah dilakukan oleh seorang
peserta didik dan merupakan wujud tawakkal kepada Allah. Al-Zarnuji
menyatakan dalam kitabnya:
195
“Seharusnyalah bagi seorang peserta didik untuk berusaha memahami pelajarannya sambil berdo’a kepada Allah”
p. Anjuran untuk berdiskusi. Diskusi atau belajar bersama adalah
sesuatu yang signifikan bagi seorang peserta didik dalam memahami
materi-materi pelajaran yang diberikan oleh seorang pendidik. Oleh
sebab itu, al-Zarnuji dalam kitabnya menyatakan:
196
“Merupakan keharusan bagi peserta didik untuk saling mengingatkan pelajaran, berdiskusi dan memecahkan masalah bersama. Hal tersebut hendaknya dilakukan dengan tenang dan penuh penghayatan, serta menghindari keonaran.”
194 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 29. 195 Ibid. 196 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 30.
147
q. Anjuran untuk senantiasa bersyukur. Al-Zarnuji memberi nasihat
agar para peserta didik senantiasa bersyukur ,
akan tetapi bersyukur yang harus
dilakukan oleh peserta didik meliputi syukur atas kesehatan badan serta
kecerdasan yang telah dikaruniakan oleh Allah terhadap dirinya.
197
“Seharusnya bagi para pelajar untuk selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hal, tindakan nyata, maupun harta.”
r. Memperbanyak sholat. Seorang peserta didik yang sedang mencari
ilmu disarankan untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah, salah
satunya dengan sholat. Oleh sebab itu, mendekatkan diri kepada Allah
menjadi hal yang wajib untuk dilakukan oleh peserta didik. Dalam
kitabnya al-Zarnuji menuliskan:
198
“Seharusnya bagi penuntut ilmu untuk memperbanyak sholat, dan hendaknya melaksanakan sholat dengan cara yang khusyu’ karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar.”
Sholat disini tidak hanya sholat fardlu akan tetapi al-Zarnuji
menganjurkan pula pada para peserta didik untuk selalu bangun
dimalam hari dan melaksanakan sholat. Al-Zarnuji mengungkapkan
dalam kitabnya:
199
“Keharusan bagi peserta didik untuk selalu bangun malam”.
197 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 32. 198 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 40. 199 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 21.
148
C. R
elevansi Konsep Etika Peserta Didik Perspektif Syekh al-Zarnuji dengan
Konteks Pendidikan Masa Kini
Berangkat dari pemikiran Konsep Al-Zarnuji tentang etika peserta
didik yang telah dipaparkan pada sub item sebelumnya. Peneliti akan
mencoba menganalisis relevansi konsep etika peserta didik yang ditawarkan
al-Zarnuji terhadap pendidikan kontemporer sekarang ini.
Dari beberapa aspek diatas, meliputi etika peserta didik terhadap Tuhan,
orang tua, guru, kitab, teman, diri sendiri dan etika dalam belajar, terdapat
beberapa konsep al-Zarnuji yang masih relevan dengan pendidikan kekinian,
dan terdapat pula beberapa yang tidak lagi relevan serta membutuhkan
inovasi.
Untuk lebih memperjelas relevansi etika peserta didik yang telah
ditawarkan oleh al-Zarnuji dengan pendidikan masa kini, maka pada alinea-
alinea berikut ini akan peneliti paparkan satu-persatu.
1. Etika Peserta Didik terhadap Tuhan. Dalam etika peserta didik yang terdiri
dari tiga hal diatas, yang meliputi mengharap Ridha-Nya, Bertawakkal,
dan Wara’ masih relevan dengan kehidupan pendidikan saat ini. Karena
bagaimanapun, tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah semata-mata
membentuk insan sempurna yang memiliki jiwa ketaqwaan yang tinggi
terhadap Allah, dan menyadari akan tugasnya sebagai ’Ibad dan khalifah-
Nya. Berangkat dari kenyataan yang demikian maka adanya konsep etika
149
peserta didik terhadap Tuhannya yang ditawarkan oleh al-Zarnuji masih
sangat relevan untuk diterapkan pada dunia Pendidikan Islam saat ini.
2. Etika Peserta Didik Terhadap Orang Tua. Pada sub item pembahasan
sebelumnya, telah dituliskan bahwa etika peserta didik terhadap orang
tuanya tidak dipaparkan secara khusus oleh al-Zarnuji dalam kitabnya,
tidak seperti etika peserta didik terhadap gurunya yang dituliskan dalam
dua fasl di Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum. Akan tetapi al-
Zarnuji mengungkapkan bahwa peran orang tua tidak berbeda dengan
peran guru dalam mencetak moral peserta didik. Oleh sebab itu,
penghormatan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap gurunya
menjadi wajib untuk dilakukan terhadap orang tuanya. Lebih lanjut al-
Zarnuji mengungkapkan bahwa memanggil orang tua dengan sebutan
namanya dan berjalan di depannya merupakan salah satu penyebab faqir.
Meskipun terkesan teknik strategi akan tetapi hal tersebut tetap relevan
dengan pendidikan kekinian. Karena jika seorang peserta didik
melakukan kedua hal tersebut akan tetap dinilai buruk oleh masyarakat,
terlebih masyarakat muslim. Dengan kenyataan tersebut, maka konsep
peserta didik terhadap orang tuanya masih dapat dilakukan dalam dunia
pendidikan kita saat ini.
3. Etika Peserta Didik Terhadap Gurunya. Pada pembahasan ini, al-Zarnuji
sangat banyak mengungkapkan dalam kitabnya. Salah satu bagian dari
petuah-petuah kitab ini yang paling berpengaruh dan berkaitan dengan
150
etika peserta didik untuk menghormati gurunya, adalah ungkapan
Sayidina Ali,
“ana ‘abdu man ‘allamani harfan wahidan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepada saya, apabila ia mau maka dia berhak menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku).
Al-Zarnuji juga menuturkan beberapa cara menghormati guru,
antara lain peserta didik tidak diperkenankan berjalan di hadapan guru,
tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului
berbicara tanpa izinnya. Tidak boleh banyak berbicara dengannya, tidak
boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh
mengetuk pintunya tetapi mesti menunggu sampai keluar sendiri
sebagaimana yang telah dituliskan sebelumnya. Hasil akhir adalah peserta
didik harus selalu mencari kerelaan gurunya (tidak menyakiti hatinya)
dan mematuhi segala perintahnya, sepanjang hal itu tidak termasuk
maksiat.
Keterangan ini, sepertinya menimbulkan persepsi penyerahan total
seorang peserta didik kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya
bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda
pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya.
Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tidak menutup
kemungkinan dapat menimbulkan dampak yang kurang diinginkan.
Sebab, peserta didik akan terkesan pasif dan harus bersikap menerima
tanpa berani bersikap kritis. Maka pada item ini konsep al-Zarnuji dirasa
kurang relevan jika diterapkan dalam pendidikan masa kini, yang mana
151
tuntutan masyarakat pada pendidikan adalah keharusan untuk melahirkan
peserta didik yang kritis dan aktif dalam menyikapi gejala-gejala yang
terjadi di masyarakat sekitar. Hal ini menjadi sulit terwujud jika
pembelajaran hanya berpusat pada guru, dan peserta didik hanya menjadi
pendengar tanpa bisa menyalurkan pendapatnya dan menerima segala
keputusan guru yang mungkin tidak selamanya benar.
4. Etika Peserta Didik Terhadap Teman. Sebagaimana yang telah dituliskan
pada awal bab IV, bahwa bukan hanya orang tua dan guru yang dapat
mempengaruhi kepribadian peserta didik, akan tetapi lingkungan dan
teman juga memiliki kompetensi untuk merubah kepribadian dan watak
seorang peserta didik. Berangkat dari kenyataan ini, al-Zarnuji
menganjurkan kepada peserta didik untuk hati-hati dalam memilih teman,
ditegaskan dengan salah satu syair yang diungkap oleh al-Zarnuji dalam
kitabnya dengan menggunakan bahasa persi yang artinya:
“Teman yang durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa Demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke Neraka Jahim teman baik membawamu ke Surga Na’im.”
Dari sini, dapat dilihat bahwa konsep al-Zarnuji tentang memilih
teman dan bersikap kasih sayang serta menghindari adanya perselisihan
masih sangat relevan dan bisa tetap digunakan. Agar tidak lagi terjadi hal-
hal buruk yang mencoreng nama baik peserta didik dan instansi sekolah,
semisal perkelahian antar sekolah atau keoanaran-keonaran yang sering
sekali terjadi hanya karena hal kecil dan bersifat pribadi.
152
5. Etika Peserta Didik Terhadap Kitab. Pada item ini, al-Zarnuji
mengungkapkan dalam kitabnya bahwa salah satu cara menghormati guru
adalah menghormati kitab, yaitu dengan tidak mengambilnya kecuali
dalam keadaan suci. Jika melihat pendidikan Islam masa kini, konsep
tersebut masih sangat relevan terutama dikalangan pesantren. Karena
hampir diseluruh pesantren, terlebih pesantren salaf masih sangat
memperhatikan keharusan memiliki wudhu dalam setiap proses belajar
pembelajaran yang dilakukan.
6. Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya. Dalam paparan sebelumnya
dikemukakan bahwa ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang
peserta didik. Adapun sifat-sifat yang menjadi wujud etika peserta didik
terhadap dirinya adalah: tawadlu, tawakkal, memiliki sifat berani (berani
menghadapi tantangan dalam mencari ilmu), tidak berprasangka buruk,
wara’, menghindari perselisihan, dan saling menyayangi. Dari semua
sifat-sifat tersebut masih sangat relevan dengan pendidikan masa kini.
Karena sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang patut untuk dimiliki
oleh peserta didik.
7. Etika Peserta Didik Ketika Belajar. Ada beberapa etika peserta didik
ketika belajar yang diungkapkan oleh al-Zarnuji. Adapun beberapa etika
tersebut adalah: selalu belajar, mempelajari akhlak terpuji dan tercela,
tidak mempelajari ilmu perdukungan, berniat baik, memilih ilmu yang
baik, sungguh-sungguh dalam belajar, memiliki cita-cita yang luhur,
memulai pelajaran pada hari rabu, memulai belajar dengan sesuatu yang
153
mudah dipahami, berfikir sebelum berbicara, membiasakan
bermusyawarah, selalu mengambil pelajaran, mencermati keterangan
guru, anjuran untuk selalu berdoa, berdiskusi, selalu bersyukur, tidak
mudah putus asa, dan memperbanyak sholat.
Dari semua etika tersebut masih dapat dikatakan relevan jika
diterapkan pada pendidikan saat ini. Karena sesungguhnya etika-etika
yang ditawarkan al-Zarnuji memiliki tujuan terciptanya peserta didik
yang benar-benar beretika, sebagaimana yang diinginkan oleh pendidikan
Islam sekarang ini.
Meskipun penyampaikan bahasa kitab al-Zarnuji sangat aplikatif
dan sarat dengan pelarangan adanya inovasi. Namun, sesugguhnya
terkantung bagaimana pendidikan saat ini menerapkan sesuai dengan
kemampuan instansi dan kebutuhan masyarakat sekitar.
Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya konsep-
konsep etika yang disampaikan oleh al-Zarnuji dalam kitabnya patut
untuk dijadikan bahan referensi bagi dunia pendidikan Islam saat ini. Hal
ini untuk menanggulangi adanya peserta didik yang hanya memiliki
kecerdasan intelegensia namun tidak memiliki etika dalam setiap
perbuatan yang dilakukan.
Dengan menerapkan konsep etika yang diungkapkan oleh al-
Zarnuji, sesungguhnya merupakan satu langkah untuk mewujudkan
internalisasi nilai-nilai akhlaqul karimah yang diajarkan dalam Islam,
yang nantinya akan dijadikan pedoman bagi kehidupan peserta didik
154
selanjutnya. Dengan ini maka tujuan dari pendidikan Islam dalam
penciptaan manusia yang memiliki ketaqwaan dan akhlakul karimah akan
terwujud. Selain itu, peserta didik akan mengerti manfaat perbuatan baik
yang dilakukan dan selalu merasa penting untuk melakukan hal tersebut
kembali.
155
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bagian akhir dari pembahasan skripsi ini, penulis mengambil sebuah
kongklusi yang diperoleh berdasarkan analisis yang disesuaikan dengan tujuan
pembahasan skripsi ini. Penulis juga memberikan saran-saran yang dirasa
relevan dan perlu, dengan harapan dapat menjadi sebuah kontribusi pikiran
yang berharga bagi dunia pendidikan.
Dalam kesimpulan ini peneliti akan menuliskan secara singkat jawaban
dari fokus penelitian pada penelitian ini, adapun kesimpulannya adalah:
1. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum sebetulnya al-Zarnuji
tidak saja secara intens membahas tentang etika peserta didik, dia juga
membahas tentang keutamaan ilmu dan kewajiban menunututnya. Dari 13
fasl (bab) dalam kitabnya dapat disimpulkan bahwa etika peserta didik
dalam perspektif al-Zarnuji meliputi tujuh hal. Diantaranya: Etika peserta
didik terhadap Tuhan, orang tua, guru, kitab, teman, diri sendiri, dan etika
dalam belajar.
2. Wujud relevansi dari beberapa konsep yang ditawarkan oleh al-Zarnuji
tentang etika peserta didik dengan kondisi pendidikan saat ini adalah tidak
sepenuhnya dapat digunakan. Ada beberapa konsep yang dirasa perlu
adanya inovasi, terlebih dalam hubungan guru-peserta didik yang terkesan
bersifat searah. Sehingga menciptakan pembelajaran berpusat pada guru
saja. Hal ini perlu adanya perubahan agar pendidikan Islam tidak hanya
156
melahirkan peserta didik yang memiliki kemampuan hafalan yang kuat
terhadap tema-tema pelajaran yang diterima, tetapi kekuatan berfikir kritis
juga dapat dimilikinya. Yaitu dengan membiarkannya berfikir bebas tetapi
tetap terarah oleh guru.
B. Saran-Saran
1. Bagi Pendidik
Dari kajian tentang pemikiran Burhanuddin al-Zarnuji tentang etika
peserta didik diharapkan menjadi wacana baru bagi peningkatan kualitas
pendidikan Islam di Indonesia, hal ini dapat terwujud dengan mensyaratkan
pembelajaran pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada dogma yang
sekedar berorientasi pada pengetahuan dan kepandaian dengan
menggunakan sistem hafalan, serta ranah kognitif yang dijadikan acuan dan
prioritas, akan tetapi bagaimana proses pembelajaran pendidikan Islam ini
dapat dikembangkan pada nalar pengetahuan yang dilengkapi dengan nalar
moral yang beretika sehingga pada akhirnya mampu menciptakan peserta
didik yang memiliki multiple intelegen.
Di samping itu diharapkan bagi para pendidik untuk tidak sekedar
mentransfer knowledge (pengetahuan), tapi juga transfer value (nilai), serta
uswah hasanah (teladan) bagi peserta didiknya, jika hal ini dapat
dilaksanakan maka hal ini bisa membantu terwujudnya tujuan pendidikan
yang sejak lama hanya tertulis di undang-undang dan buku-buku
pendidikan.
157
2. Bagi Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai fasilitas dimana terdapat
interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran,
maka dalam hal ini lembaga pendidikan dituntut untuk bersikap terbuka
terhadap lingkungan disekitarnya, baik dari perkembangan zaman maupun
dari tuntutan masyarakat, karena tidak dapat dipungkuri bahwa adanya
lembaga pendidikan sesungguhnya berfungsi sebagai lembaga investasi
manusiawi yang memberikan kontribusi bagi perkembangan dan kemajuan
masyarakat. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan harus bekerjasama dengan
masyarakat, dengan harapan mampu mengakomudir berbagai kebutuhan
masyarakat serta tanggap terhadap perkembangan zaman
3. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat berfungsi sebagai patner atau mitra
yang sama-sama peduli terhadap keberlangsungan pendidikan, karena
hubungan masyarakat dengan sekolah pada hakikatnya merupakan suatu
sarana yang sangat berperan dalam membina dan menumbuh kembangkan
pertumbuhan pribadi peserta didik di lembaga pendidikan.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bahwa hasil dari analisis tentang kajian etika peserta didik dalam
perspektif Burhanuddin al-Zarnuji yang peneliti ambil dari karya
monumentalnya berjudul Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum ini belum
sepenuhnya bisa dikatakan final dan sempurna, sebab tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan di dalamnya sebagai akibat dari
158
keterbatasan waktu, sumber rujukan, metode serta pengetahuan dan
ketajaman analisis yang dimiliki, oleh karena itu diharapkan terdapat
peneliti baru yang mengkaji ulang dari hasil penelitian ini secara lebih
komprehensif dan kritis.
159
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. Amin . 2002. Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan.
Abdullah, M.Yatimin. 2006. Pengantar Study Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Al-Abrasyi, Attiya. 1947. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam.terj. Bustami A. dkk.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2006. Semarang: Menara Kudus.
Al-Syaibani. Omar Muhammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah. terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Zarnuji, Burhanuddin. Ta’lim Muta’allim Tariq al-Ta’allum. Surabaya: dar al-ilm.
Amin, Ahmad. 1983. Etika (ilmu akhlak). terj. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang.
Arifin, M. 1987. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.
Arifin, Istambul. 2003. Relevansi Sistem Pendidikan Tradisional di Era Kontemporer (Study Kritis Kitab Ta’lim Muta’allim Tariq al-Ta’allum). Skripsi Fakultas Tarbiyah UIN Malang.
Asrori. Ma’ruf. 1996. Etika Belajar Bagi Penuntut Ilmu (Terjemah Talim Muta’allim Taruq al-Ta’allum). Surabaya: al-Miftah.
Asy’ari, M. Hasyim. 2007. Etika Pendidikan Islam. terj. Mohammad Kholil. Yogjakarta: Penerbit Titian.
Buletin Istinbat. ”Al-Zarnuji: Loyalis Madzhab Hanafi”. 02 Mei 2004/Shafar 1425. http///www.Sidogiri.com. Diakses 19 Februari 2009.
Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Daulay, Haidar Putra. 2006. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Fatimah, Muhammad Khair. 2002. Etika Muslim Sehari-hari. Jakarta: Pustaka al-Kausar.
Furqon, Arief. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
160
Ghozali. 1994. Terjamah Kitab Ta’lim al-Muta’allim (Kiat Sukses Dalam
Menuntut ilmu). Jakarta: Rifa Grafika.
Hadi, Sutrisno. 1987. Metode Research I. Yogjakarta: Afsed.
Himsyah, Unun Zamriroh. A. 2006. Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Syekh al-Zarnuji (Study Kitab Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum). Skripsi fakultas Tarbiyah UIN Malang.
Huznithoyar. Etika Belajar Menurut al-Zarnuji. http.www.Blogspot.com. Diakses 12 Februari 2009.
Jiddan, Artikel Media Muslim. http.www.myqolbu.wordpress.com. Diakses tanggal 14 Januari 2009.
Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif.
________________. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi abad ke-21. Jakarta: Pustaka al-Husna.
________________. 1989. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Marimba. Ahmad. D. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif.
Muhajir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogjarakarta: Rake Surasin.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Moleong. Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: Rosdakarya.
Muhammad Mahmud al-Khazandar. Sifat Wara’. Terj. Team Indonesia, Eko Haryanto Abu Ziyad. http.www.Islamhouse.com. Diakses 14 Januari 2009.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
____________. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Peserta Didik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
____________. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
161
Nasir, Ridlwan. 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok
Pesantren di Tengah Arus Perubahan. Yogjakarta: Pustaka Belajar.
Nazir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia.
Nizar,Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pres.
Nuruliman, Aria. 2009. Pendidikan Indonesia. http.www.blogspot.com. Diakses 19 Februari 2009.
Poedjawijatna. 1986. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Poerbakawatja, Soegarda. 1979. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta:Gunung Agung.
Praja, M. Sastra. 1981. Kamus Istilah Pendidikan Umum. Surabaya. Usaha Nasional.
Risalah an-Natijah n0.18. Pengertian Tawakkal. http. www.g-excess.com. Diakses tanggal 14 Februari 2009.
Rapar, Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogjakarta: Kanisius, Pus Wilayah.
Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial, Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
________________. 2000. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka Cipta
Shiddiq, Aufa Noor. Pedoman Belajar Pelajar dan Santri (Tarjamah Ta’lim al- Muta’allim Tariq al-Ta’allum). Surabaya: Al-Hidayah.
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogjakarta: Ar-Ruz.
Sumantri, Jujun S. 1998. Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Bersama dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu (Bandung: Nuansa bekerjasama dengan Pusjarlit Press.
Suprihatin. 2004. Pemikiran Pendidikan Syekh Burhanuddin al-Zarnuji (Study Tentang Kedudukan dan Hubungan Antara Guru dan Peserta Didik dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum). Skripsi Fakultas Tarbiyah UIN Malang.
Surachman Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode,dan Teknik. Bandung: Tarsita.
162
Soejono dan Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan
Penerapannya. Jakarta: Reneka Cipta.
Solihin, M dan Rosyid Anwar. 2005. Akhlak Tasawwuf (Manusia, Etika, dan Makna Hidup). Bandung: Penerbit Nuansa.
Tabi’in, Ahmad. 2008. Etika Peserta Didik Perspektif K.H. Hasyim Asy’ari (Tela’ah Kritis Kitab adab li A’lim wa al-Muta’allim). Skripsi Tarbiyah UIN Malang.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Rosdakarya Offset.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zuhairini. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
163
DEPARTEMEN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG FAKULTAS TARBIYAH JL.Gajayana 50 Dinoyo Malang
BUKTI KONSULTASI
NAMA : Eka Fitriah Anggraini NIM/Jurusan : 05110166/Pendidikan Agama Islam Dosen Pembimbing : Drs. H. Bahruddin Fannani, MA. Judul Skripsi : Konsep Etika Peserta Didik Dalam Perspektif
Burhanuddin Al-Zarnuji
NO
Tanggal Materi Tanda Tangan
01
05 Februari 2009 Konsultasi BAB I 01.
02
16 Februari 2009 ACC BAB I Konsultasi BAB II,III
02.
03
19 Februari 2009 Pengajuan BAB II,III 03.
04
23 Februari 2009 Pengajuan Revisi BAB II, III.
04
05
26 Februari 2009 ACC BAB II,III 05.
06
2 Maret 2009 Pengajuan Keseluruhan Skripsi
06.
07
12 Maret 2009 Pengajuan revisi Keseluruhan Skripsi
07.
08
30 Maret 2009 ACC Keseluruhan 08.
Malang, 31 Maret 2009 Dekan Fakultas Tarbiyah
Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony
NIP. 150 042031
BIODATA PENULIS
164
Nama : Eka Fitriah Anggraini
TTL : Bondowoso, 29 Mei 1987
Alamat Asal : Jln Raya Curahdami No.28 Gg. P.P
Nurul Ma’rifah Poncogati
Curahdami Bondowoso 68251
Alamat Di Malang : Mabna Khadijah al-Kubra Ma’had Jami’ah Sunan Ampel
al-Ali Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang
Fak/jur : Tarbiyah/ Pendidikan Agama Islam UIN Malang
Email : [email protected]
CP : 081233519009
Jenjang Pendidikan Formal
TK/RA : Tk Muslim Pancasila, Poncogati-Curahdami-Bondowoso (1991)
SD : SDN Curahdami 01 (1999)
MTs/SMP : MTs Nurul Jadid, Probolinggo, Jatim (2002)
MA/SMA : MAK. Nurul Jadid, Probolinggo, Jatim (2005)
S1 : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Pengalaman Organisasi
1. Anggota MPK Komisi C MTs Nurul Jadid, Probolinggo Jatim (2000)
2. Anggota MPO Pondok Pesantren Nurul Jadid (2001).
3. Wakil Sekretaris Organisasi Siswa Intra Sakan (OSAKA), MAK Nurul
Jadid, Probolinggo Ja-Tim (2002-2003)
4. Wakil Sekretaris OSIS MAK Nurul Jadid, Probolinggo Ja-Tim (2002-
2003)
5. Sekretaris Umum Organisasi Siswa Intra Sakan (OSAKA) MAK Nurul
Jadid Paiton-Probolinggo (2003-2004)
6. Anggota Majelis Tahkim OSAKA MAK Nurul Jadid, Ponpes Nurul Jadid,
Probolinggo Ja-Tim (2004-2005)
7. Sekretaris Generasi Muda PMII Rayon kawah “Condrodimuka”
Komisariat Tarbiyah UIN Malang (2005-2006)
8. Anggota FKM-PKPBA UIN Malang (2005-2006)
165
9. Keisyrofan Ma’had Jami’ah Sunan Ampel al-Ali UIN Maulana Malik
Ibrahin Malang (2006- Sekarang)
10. Co. Mabna Fatimah al-Zahra Ma’had Jami’ah Sunan Ampel al-Ali UIN
MMI Malang (2007-2008)
11. CO. Devisi MC dan Khitobah Jam’iyyah al-Dakwah Waa al-Fan al-Islami
(JDFI) Ma’had Jami’ah Sunan Ampel al-Ali (2006-2007)
12. Anggota Devisi Sarana Prasarana Jamiyyah Qurro’ wa Huffadz (JQH)
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (2007-2008)
13. Anggota Devisi Penalaran, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN MMI Malang (2006-
2008).
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.