166
1 KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Strata Satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh : Eka Fitriah Anggraini 05110166 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG April, 2009

Seminar Pendidikan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Seminar Pendidikan

1

KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM

PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Strata Satu

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh : Eka Fitriah Anggraini

05110166

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG

April, 2009

Page 2: Seminar Pendidikan

2

KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM

PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Strata Satu

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh : Eka Fitriah Anggraini

05110166

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG

April, 2009

Page 3: Seminar Pendidikan

3

KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM

PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI

SKRIPSI

Oleh : Eka Fitriah Anggraini

05110166

Telah disetujui Pada Tanggal 31 Maret 2009

Oleh : Dosen Pembimbing

Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA.

NIP. 150 302 530

Mengetahui, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

Drs. Moh. Padil, M.Pd.I

NIP. 150 267 235

Page 4: Seminar Pendidikan

4

KONSEP ETIKA PESERTA DIDIK DALAM

PERSPEKTIF BURHANUDDIN AL-ZARNUJI

SKRIPSI

Dipersiapkan dan disusun oleh Eka Fitriah Anggraini (05110166)

telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 13 April 2009 dengan nilai B+

dan telah dinyatakan diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

pada tanggal: 13 April 2009.

Panitia Ujian Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA. Drs. H. Asma’un Sahlan, M. Ag. NIP. 150 302 530 NIP. 150 215 372

Pembimbing, Penguji Utama,

Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA. Dr. M. Zainuddin, MA. NIP. 150 302 530 NIP. 150 275 502

Mengesahkan, Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Malang

Prof. Dr. H. M. Djunaidi Ghony NIP. 150 042 031

HALAMAN PERSEMBAHAN

Page 5: Seminar Pendidikan

5

Skripsi ini aku persembahkan untuk yang selalu hidup dalam jiwaku dan

menemaniku dalam setiap hela nafas:

Allah SWT dan Rasul-Nya Yang telah membuka hati dan fikiranku, memberiku kemudahan dan kelancaran. Terima Kasih Ya Rahman, Ya Rahim Ya Lathif, perjalanan ini memang sulit tapi dengan-Mu tidak ada yang sulit dan tidak ada yang tidak mungkin. Alhamdulillah ‘Ala Kulli Ni’amik.

Burhanuddin Al-Zarnuji yang karyanya telah memberiku inspirasi untuk melakukan pengkajian ini. Semoga dapat memberi manfaat padaku. Amin

Dua insan yang ku cintai dan ku sayangi setelah Allah dan Rasul-Nya Ummy tercinta (Yasminah ) dan Abah Tersayang (Anisul Muttaqin ) yang tanpa kenal lelah memberikan kasih sayang, motivasi serta dukungan demi keberhasilan puterinya untuk mewujudkan cita-citanya dan mencapai ridha Allah. Semoga amal Abah, Ummy diterima dan menjadi ahli surga. Amin Ya Rabbal 'Alamin.

Kholidatul Imaniyah, malaikat kecilku yang beranjak dewasa, yang selalu berdoa semoga kakak bahagia dan berhasil. Terima kasih atas semangat yang adik tularkan pada kakak. Semoga Allah menyiapkan masa depan yang indah buat Adik.

Seluruh Masyayikh dan Pahlawan tanpa tanda jasaku (Guru- Guruku) di Ma’had Tercinta Nurul Jadid Probolinggo dan Ma’had Sunan Ampel Al-Ali serta Dosen-Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang terutama Dosen pembimbing Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA, yang telah memberiku ilmu sebagai bekal dalam melakukan pengkajian ini.

Sahabat-sahabat dekatku (Mbak Anis, Mbak Lilis, Mbak Chikma dan Ashief) yang telah membuat hari-hariku begitu indah, terima kasih atas jalinan persaudaran ini. Semoga kita bisa sama-sama memperoleh kebahagiaan. Dimanapun nantinya kita, ingatlah bahwa kita pernah satu. I LOVE U ALL.

Teman-teman MAK Nurul Jadid angkatan 10 (Adz-DZikr dan Madhzab Community) Diamanapun kalian, terimakasih atas bantuan do’a dan dukungan yang belum bisa kubalas, semoga Allah jadikan kita ‘Ibad-Nya yang selalu bersyukur atas nikmat yang yang telah diberikan oleh-Nya.

Seluruh pencari dan pecinta ilmu, yang tak pernah lelah dalam belajar dan mengkaji. Semoga Allah mengangkat derajat kita dengan ilmu yang kita miliki.

Page 6: Seminar Pendidikan

6

MOTTO

#

#

Page 7: Seminar Pendidikan

7

Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA. Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang

NOTA DINAS PEMBIMBING

Hal : Skripsi Eka Fitriah Anggraini Malang, 31 Maret 2009 Lamp. : 5 (Lima) Eksemplar

Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Malang Di

Malang Assalamu`alaikum Wr. Wb. Sesudah melakukan beberapa kali bimbingan, baik dari segi isi, bahasa maupun teknik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa tersebut di bawah ini:

Nama : Eka Fitriah Anggraini NIM : 05110166 Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI) Judul Skripsi : Konsep Etika Peserta Didik Dalam Perspektif

Burhanuddin Al-Zarnuji

Maka selaku Pembimbing, kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak diajukan untuk diujikan.

Demikian, mohon dimaklumi adanya. Wassalamu`alaikum Wr. Wb.

Pembimbing,

Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA.

NIP. 150 302 530

Page 8: Seminar Pendidikan

8

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan

tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar rujukan.

Malang, 31 Maret 2009

Eka Fitriah Anggraini

Page 9: Seminar Pendidikan

9

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan-Nya sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan. Setelah itu, shalawat serta salam semoga tetap

tercurahkan kepada Nabi Muhammad sang Reformis, yang telah diutus untuk

membawa risalah dan membebaskan umat Islam dari belenggu kebodohan.

Selanjutnya, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang

terlibat langsung maupun tidak langsung dalam terselesaikannya skripsi ini, di

antara mereka adalah:

1. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku rektor UIN Maulana Malik

Ibrahim Malang.

2. Bapak Prof. Dr. H. M. Djunaidi Ghony, selaku dekan Fakultas Tarbiyah

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

3. Bapak Drs. Moh. Padil M.Pd.I, selaku ketua Jurusan Pendidikan Agama

Islam Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

4. Bapak Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA. selaku dosen pembimbing yang

telah mencurahkan semua pikiran dan waktunya untuk memberikan arahan

dan bimbingan bagi penulisan skripsi ini.

5. Dr. H.Mudjab, selaku dosen wali akademik, terimakasih atas ketulusan

hati dan kesabaran serta arahan-arahan yang telah diberikan selama proses

perkuliahan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

6. Abah dan Ummy tercinta yang selalu memberikan dukungan moril

maupun materiil selama mununtut ilmu dari awal hingga akhir.

7. Adikku yang tersayang yang selalu memberikan dukungan dan motivasi

8. Keluarga besar “Nurul Ma’rifah” atas ketulusan do’a sehingga penulis

lancar dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Semua guru-guruku, dosen-dosenku yang selama ini memberikan ilmunya

padaku untuk kecerahan masa depanku.

10. Staf Perpustakaan, BAK, Bag. Keuangan UIN Maulana Malik Ibrahim

Malang yang telah mencurahkan tenaganya untuk memberikan pelayanan

terbaik, sehingga penulis dapat menjalankan studi dengan lancar.

Page 10: Seminar Pendidikan

10

11. Seluruh Dewan Pengasuh, Murabbi, dan teman-teman Musyrif/ah Ma’had

Jami’ah Sunan Ampel Al-Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, atas

segala do’a dan semangat yang tak pernah henti. Terimakasih.

12. Teman Kamar (Mbak Fitro, Mbak Mudha, Icha, dan Dek Fida )yang selalu

menenangkanku dikala sedihku, membuatku tertawa dikala kalutku,

memberiku semangat di keterpurukanku. Terimakasih. Semoga Allah

selalu kabulkan permintaan dan impian-impian kita.

13. Teman-Teman angkatan 10 (Iis dan Ifa) atas do’a dan dukungannya,

Kakak-kakak kelas MAK (Mbak Rohil, Mbak Izza, Mbak NQ, Mbak Fitri,

Mbak Aisyah, Kak Idil, Kak Musthofa) atas bantuannya dan semangat

yang telah diberikan dan adik-adik kelas MAK NJ (Farih, Fir, Rinta dan

Linda) atas do’anya. Moga Allah membalasnya dengan balasan yang

sempurna.

14. Segenap sahabat/I dan semua pihak yang telah banyak memberikan

dukungan. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan sebaik-baik

balasan, amin

Sebagai manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, penulis menyadari

penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis

mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi diri penulis dan pembaca. Amin

Malang, 31 Maret 2009

Peneliti

Page 11: Seminar Pendidikan

11

DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................... i HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................. v HALAMAN MOTTO ........................................................................................... vi HALAMAN NOTA DINAS PEMBIMBING .................................................... vii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ viii KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii ABSTRAK ........................................................................................................... xiv BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Fokus Penelitian .................................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 8 E. Penegasan Istilah ................................................................................... 9 F. Batasan Masalah ................................................................................. 11 G. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 12 H. Desain Penulisan ................................................................................. 15 I. Sistematika Pembahasan ..................................................................... 21

BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Etika ................................................................................................... 23

1. Pengertian Etika ............................................................................ 23 2. Aliran-aliran Etika ........................................................................ 27 3. Ruang Lingkup Etika .................................................................... 32 4. Macam-Macam Etika.................................................................... 34 5. Metode Etika................................................................................. 37

B. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam .............................................. 40 1. Pengertian Peserta Didik .............................................................. 40 2. Etika Peserta Didik....................................................................... 51 3. Hakikat Pendidikan Islam ............................................................ 62 4. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam ............................................ 67

a. Tugas Pendidikan Islam.......................................................... 67 b. Fungsi Pendidikan Islam ........................................................ 71

5. Tujuan Pendidikan Islam .............................................................. 72

BAB III: BIOGRAFI SYEKH BURHAN AL-ISLAM AL-ZARNUJI A. Riwayat Hidup dan Kepribadiannya…………………………….79

Page 12: Seminar Pendidikan

12

B. Situasi Pendidikan pada Zaman Al-Zarnuji ............................... .....83 C. Sekilas Tentang Ta’lim al-Muta’allim.................................. ......... 85 D. Latar Belakang Penulisan Ta’lim al-Muta’allim .................. .........90

BAB IV: HASIL PENELITIAN A. Paparan Tentang Isi Ta’lim al-Muta’allim.................................. ....92 B. Etika Peserta Didik dalam Perspektif Burhanuddin al-Zarnuji ... ...114

1. Etika Peserta Didik Terhadap Tuhan ...................................... ...114 2. Etika Peserta Didik Terhadap Orang Tua ............................... ...119 3. Etika Peserta Didik Terhadap Guru ........................................ ...120 4. Etika Peserta Didik Terhadap Teman ..................................... ...121 5. Etika Peserta Didik Terhadap Kitab ....................................... ...122 6. Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya .................................... ...123 7. Etika Peserta Didik Ketika Belajar ........................................ ...126

C. Relevansi Konsep Etika Peserta Didik Perspektif Burhanuddin al-Zarnuji dengan Konteks Pendidikan Masa Kini.......................... ...134

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 141 B. Saran-saran ................................................................................... 142

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 145 LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................. 149

Page 13: Seminar Pendidikan

13

DAFTAR LAMPIRAN

1. Bukti Konsultasi

2. Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.

3. Biodata Peneliti.

Page 14: Seminar Pendidikan

14

ABSTRAK

Anggraini, Eka Fitriah. Konsep Etika Peserta Didik Dalam Perspektif Burhanuddin Al-Zarnuji. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Drs. H. Bakhruddin Fannani, MA.

Peserta didik merupakan salah satu komponen dari pendidikan. Peserta didik memiliki potensi-potensi yang mapan untuk dikembangkan. Adapun faktor yang dapat pengembangkan potensi diri peserta didik adalah dirinya sendiri dan faktor diluar dirinya yang meliputi orang tua, lingkungan dan pendidikan. Fakta pendidikan yang tergambar saat ini menunjukkan adanya keterpurukan moral yang dimiliki oleh peserta didik. Hal ini dapat pula disebabkan oleh faktor interen peserta didik atau faktor diluar dirinya.

Kenyataan tersebut merupakan tugas besar yang harus diselesaikan oleh pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki tugas untuk menciptakan peserta didik mengerti akan tujuan penciptaannya (Ibad) dan memahami tugasnya di bumi (Khalifah). Oleh karenanya pendidikan Islam seharusnya tidak hanya bersifat teoritik dan dogmatik, akan tetapi adanya pengenalan secara konseptual. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan etika kehidupan yang harus dimiliki oleh peserta didik tersebut.

Mengingat sangat urgennya peran pendidikan bagi terbentuknya tabiat seorang peserta didik. Maka menjadi keharusan kepada seluruh elemen yang memegang kuasa pada sebuah instansi pendidikan untuk melibatkan pendidikan akhlak atau etika, baik secara teori terlebih dalam praktik. Karena sesungguhnya tujuan pendidikan Islam, adalah mencetak insan kaamil yang memiliki kecerdasan kognitif dan memiliki ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Mengingat betapa penciptaan etika bukanlah hal yang kecil dan mudah tercapai, maka muncullah konsep etika peserta didik yang dituangkan dari pemikiran atau ide tentang hal-hal yang berkaitan dengan etika peserta didik yang diuangkapkan oleh banyak tokoh muslim, salah satunya adalah pengarang kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, Burhanuddin al-Zarnuji.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian library research, dengan sumber data primer Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum karya al-Zarnuji. Sedangkan sumber data sekundernya adalah Pengantar Study Etika, karangan M. Yatim Abdullah, Filsafat Pendidikan Islam, karangan Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam karya Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Etika Pendidikan Islam, karangan KH. M. Hasyim Asy’ari. Dan data-data lain yang berupa jurnal-jurnal, majalah dan data-data lain yang membicarakan tentang tema yang dituliskan dalam skripsi ini.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menggugah kesadaran umat Islam akan kesesuaian pemikiran tokoh pendidikan Islam dan mengilhami munculnya penelitian yang lebih mendalam dan integral tentang etika peserta didik. Key word : Etika, Peserta Didik.

Page 15: Seminar Pendidikan

15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang selalu memperhatikan semua urusan manusia,

baik secara khusus maupun umum. Selalu mengontrolnya dengan memberi

petunjuk dan mengevaluasi serta mengarahkan renik-renik kehidupannya, baik

yang kecil maupun besar. Berperan serta mengatur permasalahan-

permasalahan pribadi dengan penuh arahan dan perbaikan, sebagaimana

halnya Islam memperhatikan urusan-urusan kemanusiaan secara global atas

dasar persamaan. Meyakinkan manusia dalam hal ini bahwa masyarakat yang

baik berasal dari individu yang baik dan bangsa yang maju adalah mereka

yang mendasarkan kehidupannya pada kemajuan, peradaban dan keunggulan.

Karena itu, sudah menjadi maklum apabila seorang anak (peserta didik)

dalam agama Islam telah mendapatkan haknya dari pemeliharaan, perhatian

dan pendidikan. Hal ini telah ditegaskan dalam firman Allah dalam surat

Maryam: 12, bahwa pendidikan perlu dimulai sejak kecil.

Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh, dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.

Page 16: Seminar Pendidikan

16

Ayat tersebut juga menjadi isyarat untuk memberikan pengajaran Al-

Qur’an dan hikmah (pemahaman dan kedalaman agama) terhadap anak-anak.1

Kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan

umat Islam tidak muncul secara spontan dan mendadak, namun kesadaran ini

merupakan efek dari sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal

Islam yaitu masa kerasulan Muhammad saw.2

Dalam sejarah pendidikan kita mencatat, paling kurang ada lima tahap

pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama,

pendidikan pada masa Rasulullah saw. (571-632 H), kedua, pendidikan pada

masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M), ketiga, pendidikan pada masa Bani

Umayyah di Damsyik (661-750 M), keempat, pendidikan pada masa

kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M) dan kelima, pendidikan pada

masa jatuhnya kekuasaan Khalifah di Baghdad (1250-sekarang).3 Dari

perkembangan pendidikan yang sudah berlangsung lama ini, sudah

menciptakan generasi-generasi yang pada setiap masanya memiliki keunikan

dan keberagaman pengetahuan.

Pendidikan yang merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan

manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral,

untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba

1 Muhammad Khair Fatimah, Etika Muslim Sehari-hari (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002), hlm.1-2.

2 Aria Nuruliman, Pendidikan Indonesia, (http: www.blogspot.com diakses 6 Januari 2009) 3 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendididikan

Islam (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2003), hlm. 105

Page 17: Seminar Pendidikan

17

‘abd (Q.S Al-Dzariyaat 51:56), Khaliq-nya (Q.S Al-Baqarah 02:30) dan

pengemban amanah memakmurkan kehidupan di dunia(Q.S Huud11:16).4

Pendidikan yang dilandasi oleh kehendak untuk hidup bermakna (the

will to meaning) menuju dambaan utama manusia untuk meraih kehidupan

yang bermakna (the meaningfull life) dalam setiap keadaan, termasuk dalam

penderitaan sekalipun, mempunyai tujuan akhir membentuk pribadi peserta

didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini

meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia

pendidikan terutama peserta didik untuk mengembangkan diri dan potensi

yang dimilikinya secara maksimal. Karena secara alami, manusia dikaruniai

tiga nilai yang merupakan sumber makna hidup yang disebut; creative values

(nilai-nilai kreatif), experiental values (nilai-nilai penghayatan), attitudinal

values (nilai-nilai bersikap).

Sungguhpun demikian, ketiga nilai tersebut baru akan menjadi sumber

daya yang potensial bila diolah dan dikembangkan dengan tepat. Sumber-

sumber makna hidup tadi baru bisa menghasilkan individu dan masyarakat

yang berkualitas bila dibarengi dengan pendidikan yang ideal, yaitu sebuah

pendidikan yang mempertimbangkan faktor mentalitas, faktor spiritualitas dan

tentunya faktor tingkat intelegensia. Ketiga faktor tadi jika dikonsep dengan

baik maka akan menghasilkan apa yang disebut dengan kecerdasan intelektual

atau IQ (Intelligent Quotient), kecerdasan emosi atau EQ (Emotional

4 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 17-19.

Page 18: Seminar Pendidikan

18

Quotient) dan kecerdasan spiritual atau dalam istilah modern disebut dengan

SQ (Spiritual Quotient).

Kecerdasan intelektual terlahir ketika seseorang mau berkreasi atau

saat nilai-nilai kreatif dimanifestasikan dengan cara berkarya. Adapun

kecerdasan emosi bisa ditemukan manakala seseorang mampu memanage

kadar emosinya dengan seimbang atau ketika nilai-nilai penghayatan

diterapkan dalam kehidupan yaitu dengan cara memahami kepribadian.

Sementara itu, kecerdasan spiritual dapat terwujud ketika nilai-nilai bersikap

diimplementasikan dengan cara menerima dan menyikapinya dengan bijak

terhadap proses kehidupan bagaimanapun bentuknya.5

Apabila ketiga konsep tersebut diabaikan, maka sesungguhnya

pendidikan Islam belum dapat menuai hasil sempurna, atau bisa dikatakan

belum sampai pada tujuannya, yaitu pembentukan manusia seutuhnya yang

memiliki kecerdasan intelegensi, emosi dan spiritual. Dampak yang akan

ditimbulkan nantinya adalah keruntuhan bangsa yang dihuni oleh generasi

Islam yang hanya memiliki kesempurnaan dalam berfikir, tapi tidak dalam

akhlak dan kekuatan spiritualnya.

Dalam Al-Qur’an surat al-Tahrim: 06, Allah berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.6

5 Aria Nuruliman, op, cit., 6 Al-Qur’an dan Trejemahannya, op.cit. hlm. 560.

Page 19: Seminar Pendidikan

19

Dari ayat ini sahabat Ali Radhiyallahu Anhu menafsirkan ayat tersebut

dengan “Ajarilah dan didiklah dirimu dan keluargamu akan kebaikan”.

Kebaikan disini di identikkan dengan pemberian kecerdasan spiritual kepada

peserta didik. Dengan ini kemudian menjadi sesuatu yang wajib bagi para

pendidik untuk tidak hanya mengajarkan materi-materi yang bersifat akademis

semata, akan tetapi keharusan untuk mendidik dengan akhlaqul karimah, yang

salah satunya dengan membiasakan hidup dengan penuh etika. 7

Melihat harapan pendidikan Islam yang begitu utuh tersebut, banyak

sekali pakar-pakar pendidikan yang kemudian memiliki perhatian yang intens

terhadap peserta didik, khususnya dalam hal etika. Salah satunya Burhanuddin

al-Zarnuji, dengan karya monumentalnya “Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-

Ta’allum”. Latar belakang Pemilihan al-Zarnuji dalam penelitian ini

sesungguhnya didasarkan pada kepiawaian al-Zarnuji dalam menyampaikan

konsep pendidikan yang ditawarkan dengan bahasa yang sangat aplikatif dan

penuh etika.

Disamping itu, melihat kondisi pendidikan kita saat ini, peserta didik

tidak lagi memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, bahkan mereka tidak lagi

dapat memanfaatkan ilmu yang telah dimilikinya, kondisi ini merupakan

gambaran yang sama dengan yang terjadi pada masa Burhanuddin al-Zarnuji.

Selain karena fenomena tersebut, kehadiran kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq

al-Ta’allum layaknya membuka pintu baru bagi pendidikan Islam. Kitab

tersebut sudah menjadi kitab suci di instansi-instansi pendidikan Islam,

7 Muhammad Khair Fatimah. loc. cit.,

Page 20: Seminar Pendidikan

20

terutama dalam pesantren. Di dalamnya al-Zarnuji memaparkan beberapa hal

yang berkaitan dengan etika peserta didik serta konsekuensi jika etika tersebut

ditinggalkan.

Hal tersebut disikapi positif oleh para pemikir muslim dan Barat.

Karyanya menjadi bahan referensi di berbagai penelitian, terlebih dalam dunia

pendidikan. Sebut saja G. E. Von Grunebaum, salah satu ilmuan Barat yang

kagum dengan pemikiran yang dituangkan oleh Burhanuddin al-Zarnuji dalam

kitabnya Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.8

Oleh sebab itu, menjadi sangat menarik jika konsep etika peserta didik

yang ditawarkan oleh al-Zarnuji kembali kita ungkap dalam penelitian ataupun

penulisan-penulisan yang nantinya menjadi rujukan bagi kelangsungan

pendidikan, terutama pendidikan Islam. Karena pemikiran yang berkembang

kemudian adalah, jika dengan adanya etika dalam menuntut ilmu, maka akan

terbentuk akhlak yang baik pada peserta didik, dan hal ini akan menumbuhkan

generasi yang tidak hanya memiliki ilmu dan kecerdasan akademik saja, akan

tetapi dengan adanya pembiasaan etika yang baik dalam menuntut ilmu maka

akan tercipta internalisasi perbuatan baik yang nantinya dapat ditularkan pada

kehidupan sehari-hari.

Meminjam istilah yang dipakai oleh Ibnu Arabi dengan Insan

Kamilnya. Dan Al-Ghazali dengan tazkiyah an-nafsnya. Maka dengan adanya

etika peserta didik dalam menuntut ilmu, niscaya akan tercipta generasi baik

yang akan membangun negara dengan baik pula.

8 Abuddin Nata. op.cit. hlm. 105.

Page 21: Seminar Pendidikan

21

Dengan latar belakang yang telah terpapar sebelumnya, maka

merupakan suatu alasan yang mendasar apabila peneliti membahas

permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul: KONSEP ETIKA

PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF SYEKH BURHANUDDIN

AL-ZARNUJI dengan mencoba melakukan suatu analisis terhadap konsep

pemikiran Syekh Burhanuddin al-Zarnuji dengan karya monumentalnya

“Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum”.

Topik yang peneliti angkat di atas, bukanlah satu-satunya tulisan yang

membincangkan tentang pemikiran syekh Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji,

akan tetapi telah banyak peneliti-peneliti lain yang juga meneliti kitab yang

beliau tulis. Hanya saja sejauh peneliti ketahui, dari sekian banyak penelitian

yang telah dilakukan belum secara penuh menuliskan tentang etika peserta

didik yang diungkapkan oleh Syekh Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji yang

kemudian di selaraskan dengan fenomena pendidikan yang terjadi saat ini.

Di samping itu peneliti menganggap kajian ini relevan dengan

perkembangan pemikiran dan konsep pendidikan Islam pada masa sekarang,

terutama pada institusi pendidikan Islam di Indonesia yang sangat merindukan

dan membutuhkan sosok pelajar dan praktisi pendidikan yang pintar dan juga

beretika.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus penelitian yang akan

diteliti adalah:

Page 22: Seminar Pendidikan

22

1. Bagaimana konsep etika peserta didik dalam perspektif Syekh

Burhanuddin al-Zarnuji?

2. Bagaimana relevansi konsep etika peserta didik dalam perspektif Syekh

Burhanuddin al-Zarnuji dengan konteks pendidikan masa kini?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memahami konsep etika peserta didik perspektif Syekh Burhanuddin al-

Zarnuji.

2. Telaah kritis terhadap konsep etika peserta didik dalam pendidikan Islam

menurut Syekh Burhanuddin al-Zarnuji dan relevansinya dalam

pendidikan Islam dewasa ini.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan peneliti dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Manfaat bagi peneliti:

a. Mendapatkan data dan fakta yang sahih mengenai pokok-pokok

konsep etika peserta didik menurut Syekh Burhanuddin al-Zarnuji

dalam Kitab monumentalnya Ta’lim al-Muta’alim Tariq al- Ta’allum,

sehingga dapat menjawab permasalahan secara komprehensif terutama

yang terkait dengan etika peserta didik.

b. Menjadi pengetahuan baru yang akan memberikan manfaat bagi

kehidupan peneliti kedepan, terlebih ketika peneliti terjun di dunia

pendidikan.

Page 23: Seminar Pendidikan

23

2. Manfaat bagi lembaga:

a. Menambah perbendaharaan referensi di perpustakaan Universitas Islam

Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, terutama Fakultas Tarbiyah

jurusan Pendidikan Agama Islam.

b. Merupakan sumber referensi bagi Fakultas Tarbiyah, yang akan

meneliti lebih lanjut mengenai konsep etika peserta didik perspektif

Burhanuddin al-Zarnuji.

3. Manfaat bagi Masyarakat:

a. Memberikan masukan bagi para pakar di bidang pendidikan mengenai

keunggulan dan originalitas konsep etika Burhanuddin al-Zarnuji, yang

nantinya diharapkan dapat ditransfer ke dalam dunia pendidikan Islam

Indonesia pada umumnya dan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam

Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada khususnya.

b. Memberikan sumbangan bagi perkembangan khazanah ilmu

pengetahuan terutama bagi kemajuan ilmu pendidikan, khususnya

menyangkut konsep etika peserta didik dalam pendidikan Islam.

E. Penegasan Istilah

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penelitian skripsi

ini, ada baiknya peneliti menjelaskan terlebih dahulu kata kunci yang terdapat

dalam pembahasan ini, sekaligus penggunaan secara operasional.

1. Etika

Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang

segala kebaikan diseluruh aspek hidup manusia, mengenai gerak-gerik

Page 24: Seminar Pendidikan

24

pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai

mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan. Etika ini tidak

mempelajari atau membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata

adab, melainkan membahas tata sifat-sifat dasar, atau adat-istiadat yang

terkait dengan baik dan buruk dalam tingkah laku manusia.

Ahmad Amin menyatakan etika sebagai sesuatu yang seharusnya

dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh

manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk

melakukan apa yang seharusnya diperbuat.9

2. Peserta Didik

Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang

dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Peserta didik adalah

orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya

(potensi). Peserta didik adalah orang yang selalu mencari informasi untuk

mengambangkan potensi yang dimilikinya.10

3. Perspektif

Dalam kamus ilmiah populer perspektif berarti suatu peninjauan atau

tinjauan terhadap suatu hal.11

4. Burhanuddin Al-Zarnuji

Nama lengkap Burhanuddin al-Zarnuji adalah Syeikh Ibrahim bin

Ismail al-Zarnuji. Abuddin Nata dalam bukunya menyebutkan nama

9 Ahmad Amin, Etika (Ilmu akhlak), Terj. KH. Farid Ma’ruf, judul asli al-Akhlaq. Cet.3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 3

10 Samsul Nizar, op.cit., hlm. 48-50. 11 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkoala,

1994), hlm. 592

Page 25: Seminar Pendidikan

25

lengkap al-Zarnuji adalah Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji.12 Nama al-

Zarnuji adalah penyandaran kepada negerinya yaitu Zarnuj (Zurnuj) salah

satu daerah di Turki, Zurnuj termasuk dalam wilayah Ma Wara’a al-Nahar

(Transoxinia).13 Beliau adalah seorang ulama’ ahli fiqih yang bermadzhab

Hanafi dan sangat berpegang teguh pada mazhabnya. Hal ini tampak jelas

di dalam kitab karangannya yang berisikan dalil-dalil atau ucapan-ucapan

ulama’ dikalangan Hanafi yakni kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-

Ta’allum.

F. Batasan Masalah

Agar lebih jelas dan tidak terjadi kesalah pahaman dalam penelitian skripsi

ini, maka peneliti perlu menjelaskan batasan pembahasannya. Dalam skripsi

ini peneliti akan membahas mengenai etika peserta didik dalam perspektif

Syekh Burhanuddin al-Zarnuji.

Sebelum jauh membicarakan masalah etika peserta didik, maka peneliti

menguraikan tentang makna etika dan peserta didik,serta hakikat, tugas,

fungsi, dan tujuan pendidikan yang diambil dari pemikiran beberapa tokoh

pendidikan. Yang mana pada akhir penelitian ini akan diungkapkan pemikiran

Syekh Burhanuddin al-Zarnuji tentang etika peserta didik dan relevansinya

dengan pendidikan masa kini.

12 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendididikan Islam, op. cit, hlm. 103

13 MN. Ary B, Uraian Terhadap Buku Ta’lim Muta’allim (http///www.altavista.com).

Page 26: Seminar Pendidikan

26

Dalam pembahasan nanti yang akan menjadi bahasan pokok adalah etika

dan peserta didik yang diungkapkan oleh Syekh Burhanuddin aL-Zarnuji

dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’llim Tariq al- Ta’allum.

G. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti penemukan ada

beberapa peneliti yang sebelumnya telah memperbincangkan pemikiran Syekh

Burhanuddin al-Zarnuji dari kitab “Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum”

yang beliau karang.

Kajian ini dimaksudkan untuk melengkapi kajian-kajian yang telah

dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang telah banyak membahas

tentang beberapa aspek pendidikan yang diangkat dari pendapat Syekh

Burhanuddin al-Zarnuji.

Di alenia berikut ini akan dipaparkan beberapa kajian dan penelitian yang

telah dilakukan sebelum peneliti melakukan penelitian ini.

1. RELEVANSI SISTEM PENDIDIKAN TRADISIONAL DI ERA

KONTEMPORER (Study kritis Kitab “Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-

Ta’allum” karya Syekh al-Zarnuji).14 Skripsi ini dikarang oleh Istambul

Arifin, pada tahun 2003. Dalam penelitian ini menjelaskan tentang sistem

belajar dan pengajaran yang ditawarkan oleh Syekh al-Zarnuji dan

relevansinya dengan sistem pendidikan yang berjalan pada masa

kontemporer.

14 Istambul Arifin, “Relevansi Sistem Pendidikan Tradisional Di Era Kontemporer (Study kritis Kitab “Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum” karya Syekh Al-Zarnuji”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2003. Hlm. xiii.

Page 27: Seminar Pendidikan

27

Penelitian ini dilakukan untuk menyikapi pengaplikasian konsep yang

ditawarkan oleh al-Zarnuji pada pendidikan masa kini dalam hubungan

antara guru dan peserta didik yang dirasa tidak terlalu harmonis dalam

pembelajaran, dikarenakan siswa harus merasa pasif dalam pembelajaran.

Hal ini akan menyebabkan pendidikan mengalami ketidak berhasilan

dalam mencetak manusia yang benar-benar memiliki kecerdasan yang

utuh baik kognitif, psikomotik, dan afektik.

2. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF SYEKH

AL-ZARNUJI (Study Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum).15

Penelitian yang ditulis oleh Unun Zumairoh Asr Himsyah pada tahun

2006. Penelitian ini mengungkap tentang Konsep Pendidikan menurut Al-

Zarnuji secara umum, mulai dari konsep ilmu, peserta didik, pendidik

hingga 13 pasal dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.

Dalam penelitian tersebut, diungkapkan bahwa konsep pendidikan al-

Zarnuji terdiri dari 13 pasal yang mana dalam penelitiannya dipengaruhi

oleh kondisi budaya, politik, dan pendidikan yang berjalan pada masa

Burhanuddin al-Zarnuji hidup. Hasil penelitian yang disampaikan dalam

skripsi ini merupakan salah satu revisi konsep pendidikan dari konsep al-

Zarnuji dan merupakan salah satu dari permasalahan kebobrokan moral

pelajar pada saat ini.

3. PEMIKIRAN PENDIDIKAN SYEKH AL-ZARNUJI (Study Tentang

Kedudukan dan Hubungan antara Guru dan Peserta didik dalam Kitab

15 Unun Zamriroh Asr Himsyah, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Syekh Al-Zarnuji (Study Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2006

Page 28: Seminar Pendidikan

28

Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum).16 Penelitian ini ditulis oleh

Suprihatin pada tahun 2004. Dalam penelitiannya dia mengungkap tentang

hubungan dan kedudukan guru yang diungkap oleh Syekh al-Zarnuji

dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.

Skripsi tersebut menyikapi tentang kedudukan guru yang diungkapkan

oleh al-Zarnuji dalam kitabnya. Di samping itu al-Zarnuji memandang

peserta didik itu hanya sebagai objek atau sasaran dalam pendidikan. Oleh

karena itu, seorang peserta didik harus tunduk dan patuh terhadap semua

hal yang dikehendak guru.

Dari sederetan penelitian terdahulu yang telah terpapar sebelumnya.

Belum ada penelitian yang secara a whole (menyeluruh) membahas

tentang etika peserta didik. Oleh sebab itu, pada penelitian ini peneliti akan

mengangkat judul konsep etika peserta didik dalam perspektif

Burhanuddin al-Zarnuji dan di relevansikan dengan pendidikan masa kini.

Selain sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya, penelitian ini juga bertujuan agar konsep yang disampaikan

oleh al-Zarnuji tentang etika peserta didik dapat tersampaikan secara

menyeluruh dan dapat dijadikan bahan referensi bagi dunia pendidikan.

16 Suprihatin, “Pemikiran Pendidikan Syekh Al-Zarnuji (Study Tentang Kedudukan dan Hubungan antara Guru dan Peserta didik dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Malang, 2004.

Page 29: Seminar Pendidikan

29

H. Desain Penelitian

1. Metode dan Jenis Penelitian

Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh untuk mencapai

tujuan tertentu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

merujuk pada metode yang dikembangkan oleh Jujun Suriasumantri17

yaitu deskriptif analitis kritis. Menurut Suriasumantri, metode ini

merupakan pengembangan dari metode deskriptif atau yang dikenal

dengan sebutan deskriptif analitis, yang mendeskripsikan gagasan manusia

tanpa suatu analisis yang bersifat kritis. Menurut Suriasumantri, metode

ini kurang menonjolkan aspek kritis yang justru sangat penting dalam

mengembangkan sintesis. Karena itu, menurut Jujun seharusnya yang

lengkap adalah metode deskriptis analisis kritis atau disingkat menjadi

analitis kritis.

Metode analitis kritis bertujuan untuk mengkaji gagasan primer

mengenai suatu “ruang lingkup permasalahan” yang diperkaya oleh

gagasan sekunder yang relevan. Adapun fokus penelitian analitis kritis

adalah mendeskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan primer yang

selanjutnya “dikonfrontasikan” dengan gagasan primer yang lain dalam

upaya melakukan studi berupa perbandingan, hubungan dan

pengembangan model

17 Jujun S. Sumantri, Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Bersama dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu (Bandung: Nuansa bekerjasama dengan Pusjarlit Press,1998), hlm. 41-61.

Page 30: Seminar Pendidikan

30

Selain ini sebagai suatu analisis filosofis terhadap pemikiran

seorang tokoh dalam waktu tertentu dimasa yang lampau, maka secara

metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan historis (historical

research). Pendekatan tersebut mengingat salah satu jenis penelitian

sejarah adalah penelitian biografis, yaitu penelitian terhadap kehidupan

seorang tokoh dan pemikirannya dalam hubungannya dengan masyarakat,

sifat-sifat, watak, pengaruh pemikiran, ide-ide serta corak pemikirannya.18

Proses penelitian dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan

aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian. Asumsi dan aturan

berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam

pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan

argumentasi berupa pengumpulan dan penyusunan data, serta analisis dan

penafsiran data tersebut untuk menjelaskan fenomena dengan aturan

berpikir ilmiah yang diterapkan secara sistematis. Dalam penjelasannya

lebih menekankan pada kekuatan analisis data pada sumber-sumber data

yang ada. Sumber-sumber tersebut diperoleh dari berbagai buku-buku dan

tulisan-tulisan lain dengan mengandalkan teori yang ada untuk

diinterpretasikan secara jelas dan mendalam untuk menghasilkan tesis dan

anti tesis .19

18 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Galia Indonesia, 1988), hlm. 62 19 Soejono dan Abdurrahman. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapannya (

Jakarta: Reneka Cipta, 1999). hlm. 25. penelitian kualitatif deskriptif secara khusus bertujuan untuk (1). Memecahkan masalah-masalah aktual yang dihadapi sekarang ini dan (2) mengumpulkan data atau informasi untuk disusun, dijelaskan dan dianalisis. Lihat S. Margono. Metodologi Penelitian Pendidikan. (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2000) cet. Ke-2. hal. 8.

Page 31: Seminar Pendidikan

31

Studi ini mendasarkan kepada studi pustaka (library research), di

mana peneliti menggunakan penelitian deskriptif dengan lebih

menekankan pada kekuatan analisis sumber-sumber dan data-data yang

ada dengan mengandalkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada untuk

diintepretasikan dengan berdasarkan tulisan-tulisan yang mengarah kepada

pembahasan

2. Sumber Data

Sumber data berasal dari buku-buku, jurnal, dan karya ilmiah lain

yang relevan dengan pembahasan yang tentunya merupakan komponen

dasar. Dalam penelitian karya ilmiah ini, peneliti menggunakan personal

document sebagai sumber data penelitian ini, yaitu dokumen pribadi yang

berupa bahan-bahan tempat orang yang mengucapkan dengan kata-kata

mereka sendiri.20

Personal Document sebagai sumber dasar atau data primernya,

dalam hal ini adalah buku-buku yang berkaitan dengan Konsep Etika

Peserta Didik Dalam perspektif Burhanuddin Al-Zarnuji dalam Kitab

Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum dan relevansinya dalam

Pendidikan Islam Modern serta sumber-sumber lain dalam penelitian ini.

Sumber data tersebut dapat di bagi dalam:

a. Sumber primer terdiri dari karya yang di tulis oleh Burhanuddin Al-

Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum dan

terjemahannya.

20 Arief Furqan. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), hlm. 23-24.

Page 32: Seminar Pendidikan

32

b. Sumber sekunder, mencakup publikasi ilmiah yang dan buku-buku

lain yang diterbitkan oleh studi selain bidang yang dikaji yang

membantu peneliti, yang berkaitan dengan konsep bidang yang dikaji.

Diantaranya adalah: Pengantar Study Etika, karangan M. Yatim

Abdullah, Filsafat Pendidikan Islam, karangan Abuddin Nata, Ilmu

Pendidikan Islam karya Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir Etika

Pendidikan Islam, karangan KH. M. Hasyim Asy’ari. Dan data-data

lain yang berupa jurnal-jurnal, majalah dan data-data lain yang

membicarakan tentang tema yang dituliskan dalam skripsi ini.

Data yang diperlukan dalam penelitian pustaka (library research)

pada penelitian ini bersifat kualitatif tekstual dengan menggunakan pijakan

terhadap statemen dan proporsi-proporsi ilmiah yang dikemukakan oleh

Burhanuddin Al-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-

Ta’allum dan para pakar pendidikan dan akhlaq yang erat kaitannya

dengan pembahasan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebelum peneliti menjelaskan tehnik pengumpulan data dari

penelitian ini, perlu diketahui bahwa penelitian ini bersifat kepustakaan

(Library Research). Karena bersifat Library Research maka dalam

pengumpulan data peneliti menggunakan tehnik dokumentasi, artinya data

dikumpulkan dari dokumen-dokumen, baik yang berbentuk buku, jurnal,

majalah, artikel maupun karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan judul

yang diangkat oleh peneliti, yakni tentang etika peserta didik dalam

Page 33: Seminar Pendidikan

33

pendidikan Islam perspektif Syekh Burhanuddin Al-Zarnuji dan

relevansinya dengan pendidikan Islam masa kini.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul maka data tersebut

dianalisis untuk mendapatkan kongklusi, bentuk-bentuk dalam teknik

analisis data sebagai berikut:

a. Metode Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan

menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data

tersebut.21 Pendapat tersebut diatas diperkuat oleh Lexy J. Moloeng,

Analisis Data deskriptif tersebut adalah data yang dikumpulkan berupa

kata-kata dan gambar bukan dalam bentuk angka-angka. Hal ini

disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif, selain itu semua

yang dikumpulkan kemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang

sudah diteliti.22 Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi

kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan

tersebut.

b. Content Analysis atau Analisis Isi

Menurut Weber, Content Analisis adalah metodologi yang

memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang

shoheh dari sebuah dokumen. Menurut Hostli bahwa Content Analysis

21 Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik (Bandung: Tarsita, 1990) hlm. 139.

22 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002) Cet. Ke-16, hlm. 6.

Page 34: Seminar Pendidikan

34

adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan

melalui usaha untuk menemukan karekteristik pesan, dan dilakukan

secara objektif dan sistematis.23 Noeng Muhajir mengatakan bahwa

Content Analysis harus meliputi hal-hal berikut : objektif, sistematis,

dan general.24

Untuk mempermudah dalam penelitian ini, maka sangat

diperlukan pendekatan-pendekatan, di antaranya:

1) Induksi

Metode induktif adalah berangkat dari fakta-fakta atau

peristiwa-peristiwa khusus dan kongkrit, kemudian

digeneralisasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum.25

2) Deduksi

Metode deduksi adalah metode yang berangkat dari

pengetahuan yang bersifat umum itu hendak menilai sesuatu

kejadian yang sifatnya khusus.26

3) Komparasi

Metode komparasi adalah meneliti faktor-faktor tertentu

yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki

23 Ibid, hal 163 24 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Surasin, 1996) edisi

ke-III, Cet. Ke-7. Hlm. 69. 25 Sutrisno Hadi, Metode Research I, Afsed, Yogyakata, 1987. hlm. 42 26 Ibid. hlm.36

Page 35: Seminar Pendidikan

35

dan membandingkan satu faktor dengan yang lain, dan

penyelidikan bersifat komparatif.27

I. Sistematika Pembahasan

Dalam membahas penelitian ini, peneliti akan menyusun dalam lima Bab,

Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Bab III Biografi Syekh

Burhanuddin al-Zarnuji, Bab IV hasil penelitian dan Bab V Penutup.

1. Bab Pertama: Pendahuluan, yang berfungsi untuk mengantarkan

secara metodologis penelitian ini, berisi latar belakang masalah, Fokus

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, Penegasan Istilah,

Batasan masalah, penelitian terdahulu, desain penelitian dan sistematika

pembahasan.

2. Bab Kedua: Kajian Pustaka. Dalam kajian pustaka ini, peneliti akan

menjelaskan definisi etika, ruang lingkup etika, objek etika, pokok

bahasan, metode etika dan macam-macamnya, pengertian peserta didik,

Adab dan Tugas Peserta didik, Hakikat Pendidikan Islam, Fungsi dan

Tugas Pendidikan serta Tujuan Pendidikan.

3. Bab Ketiga: Biografi Syekh Burhanuddin al-Zarnuji. Memaparkan

biografi al-Zarnuji, situasi pendidikan pada masanya, sekilas tentang kitab

Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum dan latar belakang penulisan kitab

Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.

4. Bab Keempat: Hasil penelitian. Dalam bab ini, peneliti akan

melakukan analisis lebih mendalam konsep etika peserta didik dalam

27 Winarno Surachmad, op.cit., hlm. 142

Page 36: Seminar Pendidikan

36

pendidikan Islam, diawali dengan pemaparan isi Ta’lim al-Muta’allim

Tariq al-Ta’allum secara penyeluruh kemudian pada sub bab selanjutnya

adalah paparan tentang etika peserta didik yang diungkpakan oleh al-

Zarnuji dalam kitabnya, disertai dengan kutipan-kutipan menggunakan

bahasa yang digunakan al-Zarnuji dalam kitabnya. Dalam bab IV ini juga

akan diungkapkan relevansi konsep yang ditawarkan oleh al-Zarnuji

dengan pendidikan kekinian.

5. Bab Kelima: Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.

Page 37: Seminar Pendidikan

37

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Etika

1. Pengertian Etika

Menurut bahasa (etimologi) istilah etika berasal dari bahasa

Yunani, yaitu ethos yang berarti adat istiadat (kebiasaan), perasaan batin,

kecendrungan hati untuk melakukan perbuatan. Dalam kajian filsafat,

etika merupakan bagian dari filsafat yang mencakup metafisika,

kosmologi, psikologi, logika, hukum, sosiologi, ilmu sejarah, dan

estetika. Etika juga mengajarkan tentang keluhuran budi baik-buruk. 28

Banyak istilah yang menyangkut etika, dalam bentuk tunggal

mempunyai banyak arti, yaitu tempat yang biasa, kandang, kebiasaan,

adat, watak, perasaan, sikap, cara pikir. Dalam bentuk jamak kata ta-etha

artinya kebiasaan. Arti ini menjadi bentuk dalam penjelasan etika yang

oleh Aristoteles sudah dipakai untuk menunjukkan istilah etika. Jadi, jika

dibatasi asal-usul kata ini, etika berarti ilmu tentang apa yang bisa

dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Akan tetapi menelusuri arti

etimologi ini saja belum menunjukkan arti yang mendalam.

Etika termasuk ilmu pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku

yang berarti juga:

28 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Study Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.

Page 38: Seminar Pendidikan

38

a. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak dan

kewajiban.

b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku

manusia.

c. Nilai mengenai benar-salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk dan

kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat.

Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang

segala kebaikan diseluruh aspek kehidupan manusia, mengenai gerak-

gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan perasaan sampai

mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.

Ilmu etika ini tidak mempelajari atau membahas kebiasaan semata-

mata yang berdasarkan tata adab, melainkan membahas tata sifat-sifat

dasar, atau adat-istiadat yang terkait dengan baik dan buruk dalam tingkah

laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas

manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan

menerapkan pada situasi kehidupan konkret.29

Secara terminologi para ahli berbeda pendapat mengenai definisi

etika yang sesungguhnya. Masing-masing mempunyai pandangan sebagai

berikut:

a. Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti

baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh

manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam

29 Ibid, hlm.5, Lihat Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah, 1996), hlm. 62.

Page 39: Seminar Pendidikan

39

perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang

seharusnya diperbuat.30

b. Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai,

kesusilaan tentang baik dan buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai

dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.31

c. Frans Magnis Susenuo mengartikan etika sebagai usaha manusia untuk

memakai budi dan daya untuk memecahkan masalah bagaimana ia

harus hidup apabila ia menjadi baik.32

d. M. Amin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari

tentang baik dan buruk. Jadi, bisa dikatakan etika berfungsi sebagai

teori perbuatan baik dan buruk (ethics atau ’ilm al-akhlakal al-

karimah), praktiknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.33

Dalam salah satu artikel yang ditulis oleh Gumgum Gumilar,

menyatakan bahwa Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya,

tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau

moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika

adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang

identik dengan etika, yaitu:

a. Susila (Sansekerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip,

aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).

30 Ahmad Amin, loc. Cit., 31 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm. 82 32 M. Sastra Praja, Kamus Istilah Pendidikan Umum (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm.

144. 33 M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 15.

Page 40: Seminar Pendidikan

40

b. Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. 34

Meskipun pemakaian istilah etika sering disamakan dengan

pengertian ilmu akhlak, namun apabila diteliti secara seksama, maka

sebenarnya antara keduanya mempunyai segi-segi perbedaan dan

persamaan. Persamaannya terletak pada objeknya, baik objek material

maupun formal. Keduanya sama-sama membahas baik-buruk tingkah laku

manusia. Sedangkan perbedaannya, etika menentukan baik-buruk tingkah

laku manusia dengan tolok ukur akal pikiran, sedangkan ilmu akhlak

menentukannya dengan tolak ukur ajaran agama (Al-Qur’an dan Hadits).35

Filusuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan

tentang pembahasan etika, sebagai berikut:

a. Terminius Techicus

Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu

pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan

manusia.

b. Manner dan Custom

Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan

(adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature)

yang terikat dengan pengertian "baik dan buruk" suatu tingkah laku atau

perbuatan manusia.36

34 Gumgum Gumilar, Artikel, Etika Pergaulan, (http: www.pointeronline.org. Diakses 9 Februari 2009).

35 Huznithoyar, Etika Belajar Menurut al-Zarnuji, (http: www. blogspot.com diakses tanggal 12 Februari 2009).

36 Gumgum Gumilar, Etika Pergaulan, op. cit.,

Page 41: Seminar Pendidikan

41

2. Aliran-Aliran Etika

Sebelum membahas secara terperinci pokok-pokok bahasan etika

secara luas, terlebih dahulu dapat dilihat pandangan tentang filsafat etika

yang berkembang pada saat ini. Pada umumnya pendangan-pandangan

mengenai perkembangan dunia etika dikelompokkan menjadi tiga

golongan, yaitu:

a. Etika Hedonisme, aliran ini ditemukan sekitar 433-355 s.M, oleh

Aristippos dari Kyrene salah satu murid Sokrates. Menurut aliran ini

manusia menuruti kodratnya untuk mencari kesenangan dan berupaya

menghindari ketidaksenangan. Etika menurut aliran ini mengarahkan

kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya

kesenangan bagi manusia.37

b. Etika Eudemonisme, aliran ini berasal dari Yunani besar oleh

Aristoteles sekitar tahun 384-322 s.M. Dalam aliran ini menegaskan

bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan.

Makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia), akan

tetapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai

tujuan akhir kehidupan manusia, dirasa belum memecahkan semua

kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal

yang berbeda-beda. Ada sebagian orang yang berangkapan bahwa

kekayaan adalah sebuah kebahagiaan, dan sebagian yang lain

beranggapan bahwa kesenangan adalah sebuah kebahagiaan. Menurut

37 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama, 2002) hlm. 235-242.

Page 42: Seminar Pendidikan

42

Aristoteles, semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan akhir.

Aristoteles menambahkan bahwa seseorang akan mencapai tujuan

akhirnya dengan menjalankan fungsinya secara baik. Orang yang

bahagia menurut aliran ini adalah orang yang baik dalam arti moral

selalu mengadakan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam

perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam

penalaran intelektual.38

c. Etika Utilitaristik, sebuah aliran yang berasal dari tradisi pemikiran

moral United Kingdom dan kemudian berpengaruh hingga keseluruh

kawasan yang berbahasa Inggris. Dipelopori oleh Filsuf Skotlandia,

David Hume (1711-1776 M) menurut aliran ini, mengoreksi aliran

sebelumnya dengan menambah bahwa kesenangan atau kebahagiaan

dihasilkan oleh etika yang baik dan merupakan kebahagiaan bagi

sebanyak mungkin orang.39

d. Etika deontologis, yaitu etika yang memandang bahwa sumber bagi

perbuatan etis adalah kewajiban. Baik buruknya sebuah perbuatan

dilihat dari konsekuensi yang ditimbulkan ketika perbuatan tersebut

dilaksanakan.40

Selanjutnya pokok-pokok pembahasan etika diperjelas secara luas

dengan mengemukakan pandangan-pandangan beberapa filosof etika,

sebagai berikut:

38 Ibid, hlm. 242-246. 39 Ibid, hlm. 246-254. 40 Ibid, hlm. 254.

Page 43: Seminar Pendidikan

43

a. Teori etika yang bersifat fitri. Teori ini dikemukakan oleh ahli filasafat

Yunani klasik, yaitu Sokrates. Selanjutnya dikemukakan oleh

muridnya Plato. Teori ini menyatakan bahwa etika bersifat fitri. Yaitu,

pengetahuan tentang baik dan buruk atau dorongan berbuat baik

sesungguhnya telah ada pada sifat alami pembawaan manusia.

b. Teori etika empiris klasik, Aristoteles (384-322 SM) murid Plato, yang

lebih dikenal sebagai ahli logika, tokoh peletak landasan prifatisme.

Sang guru berpendapat bahwa etika merupakan suatu keterampilan

semata dan tidak ada kaitannya sama sekali dangan alam idea platonik

yang bersifat supranatural. Keterampilan tersebut didapat dari hasil

latihan dan pengajaran. Artinya, seseorang harus berlatih dan belajar

untuk berbuat baik, maka ia pun akan menjadi orang yang beretika

baik. Penadapat Aristoteles (384-322 SM) lebih dikenal dengan teori

modorasi. Ia mengatakan bahwa etika baik sesungguhnya identik

dengan memilih sesuatu yang bersifat tengah-tengah. Artinya, etika

pada dasarnya perbuatan yang bersifat netral. Hakikatnya ketakutan

tidaklah jelek, begitupun dengan keberanian. Keberanian goa adalah

keberanian tidak mutlak. Demikian ketakutan tidak mutlak buruk,

keduanya bisa disebut baik jika menempatkan posisinya.

c. Teori etika modernisme. Awal pemikiran filosof modernisme ditandai

dengan pemikiran Descartes pada pertengahan abad ke-15. Dalam

permasalahan etika, corak pemikiran modernisme berbeda dari dua

teori di atas, tetapi pada saat yang sama mereka justru mempunyai

Page 44: Seminar Pendidikan

44

suatu etika yang bersifat rasional, absolut, dan universal yakni bisa

disepakati oleh sesama Muslim.

d. Teori etika Emmanuel Kant. Pandangan Immanuel Kant mengenai

etika tidak kalah menariknya. Menurutnya, etika bersifat fitri meskipun

demikian sumbernya tidak bersifat rasional. Bahkan, ia bukanlah

urusan nalar murni. Justru apabila manusia menggunakan nalarnya dan

berusaha merumuskan etika, ia dengan sendirinya tidak akan sampai

pada etika yang sesungguhnya. Di samping akan berselisih satu sama

lain mengenai makna baik dan makna buruk, etika yang bersifat

rasional bukan lagi etika melainkan bisa terjebak ke dalam perhitungan

untung dan rugi.

e. Teori Bertrand Russell. Berbeda dengan Emmanuel Kant, Bertrand

Russell berpendapat bahwa perbuatan etika bersifat rasional. Artinya,

justru karena rasional, ia melihat perlunya bertindak secara etis yang

pada akhirnya pasti mendukung pencapaian intertis (kepentingan) sang

pelaku. Baik intertis material maupun nonmaterial, dengan istilah lain

nilai-nilai etis bersifat pragmatis dan utilitaristik.

f. Teori etika posmodernisme. Secara umum etika posmodernisme dapat

dicirikan dengan hilangnya kepercayaan terhadap narasi-narasi besar

yang merincikan modernisme. Para tokoh posmodernisme berpendapat

bahwa kebenaran bersifat relatif, terhadap waktu, tempat, dan budaya.

Teori-teori yang memiliki keberlakuan terbatas bukan saja narasi-

narasi besar, bukan memiliki kebenaran yang bisa menyesatkan,

Page 45: Seminar Pendidikan

45

pemaksaan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara

indiskriminatif mengandung potensi menindas. Ada pemakasaan agar

objek disesuaikan dengan teori termasuk di dalamnya tentang hukum,

ekonomi, sejarah, ataupun etika.

g. Filsafat etika Islam. Setelah membahas berbagai wacana etika, maka

pada item ini merupakan pembahasan etika Islam. Perlu dipahami

bahwa upaya perumusan etika di dalam sejarah Islam dilakukan oleh

berbagai pemikiran dari berbagai cabang pemikiran termasuk di

dalamnya ulama, hukum, para teolog, para mestikus, dan pada filosof.

Islam berpihak para teori tentang etika yang bersifat fitri.41 Artinya,

semua manusia pada hakikatnya baik. Muslim maupun bukan,

memiliki pengertian fitri yang baik dan buruk. Di sinilah titik temu dari

filsafat Islam dengan berpegang teguh pada pandangan filsafat Yunani

era Sokrates, Plato dan Emmanuel Kant dari masa modern. Tampaknya

pemikir Islam dari berbagai pendekatan sama sepakatnya mengenai hal

ini. Muslim pada umumnya percaya bahwa manusia mampu

memperoleh pengertian tentang etika yang benar dari pemikiran

rasional mereka. Etika Islam didasarkan pada keadilan, yakni

menempatkan segala sesuatu pada posisinya. Di sini tampak

41 Al-Qur’an mengatakan: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sessungguhnya rugilaho orang yang mengotorinya (Q.S. Asy-Syams 8-10).

Page 46: Seminar Pendidikan

46

kesejalanan antara teori Aristoteles tentang moderasi (hadd alwasath)42

tanpa merelatifkan etika itu sendiri.43

Setelah melihat dari beberapa pemikiran aliran etika tersebut dapat

terbaca bahwa Burhanuddin al-Zarnuji mengikuti aliran filsafat yang

menyatakan bahwa sesungguhnya manusia pada hakikatnya baik, dan

dapat menyadari serta memilih perbuatan yang berdampak baik pada

dirinya dan orang lain.

Selain mendukung pemikiran yang dipelopori oleh Sokrates,

Burhanuddin al-Zarnuji menyetujui pendapat Aristoteles dengan empiris

klasiknya. Aristoteles berpendapat bahwa etika merupakan suatu

keterampilan semata dan tidak ada kaitannya sama sekali dangan alam

idea platonik yang bersifat supranatural. Keterampilan tersebut didapat

dari hasil latihan dan pengajaran. Hal ini terbaca sekali dalam penulisan

kitabnya yang diutarakan dengan bahasa aplikatif dan sarat dengan latihan

atau pembiasaan44 yang tidak hanya timbul dari kesadaran pribadi, akan

tetapi pengaruh dari luar dirinya.

3. Ruang Lingkup Etika

Dalam bukunya M. Yatimin Abdullah menyatakan, etika

menurutnya menyelidiki segala perbuatan manusia menetapkan hukum

dan baik. Akan tetapi, tidaklah semua perbuatan itu dapat diberi hukum.

42 Sesuai dengan ajaran Nabi saw., bahwa urusan yang terbaik adalah pertengahan. 43 M. Yatimin Abdullah, Op. Cit. hlm. 15-21

44 Pembiasaan yang dimaksud adalah timbulnya perilaku manusia (peserta didik) yang tidak spontan, ada pengaruh atau stimulus dari luar dirinya yang membuat pribadi peserta didik menyadari bahwa hal yang dinyakini dihatinya (supranatural) adalah baik, dengan adanya pengenalan melalui media mengajaran dan latihan. Baik dilakukan oleh diri sendiri aaupun orang lain.

Page 47: Seminar Pendidikan

47

Perbuatan manusia ada yang timbul bukan karena kehendak, seperti

bernapas, detak jantung, dan memicingkan mata dengan tiba-tiba waktu

berpindah dari gelap ke cahaya. Hal tersebut bukan persoalan etika dan

tidak dapat dihukumi etika.

Etika menaruh perhatian pada prinsip pembenaran tentang

keputusan yang telah ada. Etika tidak akan memberikan kepada manusia

arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang individu

hidup dengan kebaikan. Etika menaruh perhatian pada pembicaraan

mengenai prinsip pembenaran tentang keputusan yang telah ada.

Ruang lingkup etika tidak memberikan arahan yang khusus atau

pedoman yang tegas terhadap pokok-pokok bahasannya, tetapi secara

umum ruang lingkup etika adalah sebagai berikut:

a. Etika menyelidiki sejarah dalam berbagai aliran, lama dan baru

tentang tingkah laku manusia.

b. Etika membahas tentang cara-cara menghukum, menilai baik dan

buruknya suatu pekerjaan

c. Etika menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak,

memengaruhi, dan mendorong lahirnya tingkah laku manusia,

meliputi faktor manusia itu sendiri, fitrahnya (nalurinya), adat

istiadatnya, lingkungannya, kehendak, cita-citanya, suara hatinya,

motif yang mendorong berbuat dan masalah pendidikan etika

d. Etika menerangkan mana yang baik dan mana pula yang buruk.

Menurut ajaran Islam etika yang baik itu harus bersumber pada al-

Page 48: Seminar Pendidikan

48

Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad. Ini tidak dapat ditawar-tawar

lagi, karena jika etika didasarkan pada pemikiran manusia (filsafat)

hasilnya sebagian selalu bertentangan dengan fitrah manusia

e. Etika mengajarkan cara-cara yang perlu ditempuh, juga untuk

meningkatkan budi pekerti ke jenjang kemuliaan, misalnya dengan

cara melatih diri untuk mencapai perbaikan bagi kesempurnaan

pribadi. Latihan adalah cara yang sangat tepat untuk membiasakan

manusia beretika luhur bukan hanya teori saja, tetapi benar-benar

mengakar dalam hati sanubari setiap insan

f. Etika menegaskan arti dan tujuan hidup yang sebenarnya, sehingga

dapatlah manusia terangsang secara aktif mengerjakan kebaikan dan

menjauhkan segala kelakuan yang buruk dan tercela.45

4. Macam- Macam Etika

Dalam membahas etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang

tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral

(mores). Manusia disebut etis, jika manusia secara utuh dan menyeluruh

mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan

antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani

dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan

penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-

45 M. Yatimin Abdullah, op. cit, hlm.12

Page 49: Seminar Pendidikan

49

norma yang dikaitkan dengan etika. Terdapat dua macam etika sebagai

berikut:46

a. Etika Deskriptif

Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan

perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam

hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif

tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai

nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan

situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa

tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam

suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu

memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

b. Etika Normatif

Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan

seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya

dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup

ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang dapat

menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan

hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati

dan berlaku di masyarakat. Dari berbagai pembahasan definisi

tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3)

jenis definisi, yaitu sebagai berikut:

46 Gumgum Gumilar, op. cit.,

Page 50: Seminar Pendidikan

50

1) Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang

khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku

manusia.

2) Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang

membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan

bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada

keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan

tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih

bersifat sosiologik.

3) Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang

bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik

buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu

menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan

merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif

dan reflektif.47

Di literatur lain disebutkan, etika hanya mengadakan kajian

terhadap sistem nilai atau moralitas. Sehingga macam etika ditentukan

oleh obyek kajian yang dilakukan. Burhanuddin Salam menyebutkan

beberapa macam etika yang meliputi:

a. Algedonsic Ethics (Etika yang memperbincangkan masalah

kesenangan dan penderitaan).

b. Business Ethics (Etika yang berlaku dalam perhubungan dagang).

47 Gumgum Gumilar, op, cit.,

Page 51: Seminar Pendidikan

51

c. Educational Ethics (Etika yang berlaku dalam perhubungan

pendidikan).

d. Hedonistic Ethics (Etika yang hanya mempersoalkan masalah

kesenangan dengan cabang-cabangnya).

e. Humanistic Ethics (Etika kemanusiaan, membicarakan norma-norma

hubungan antara manusia atau antar bangsa).

f. Idealistic Ethics (Etika yang membicarakan sejumlah teori-teori

etika yang pada umumnya berdasarkan psikologi dan filsafat).

g. Materialistic Ethics (Etika yang mempelajari segi-segi etik ditinjau

dari segi yang materialistik, lawan dari etika yang idealistik).

h. Epicuranism Ethics (Etika aliran epicurian, hampir sama ajarannya

dengan aliran materialistik).

i. Islamic Ethics, Cristian Ethics, Buddism Ethics dan sebagainya yang

membicarakan tentang etika agama.

j. Etika pendidikan Islam (Islamic educational ethics) adalah sub

sistem dari etika pendidikan (educational ethics) dan etika Islam

(Islamic ethics). 48

5. Metode Etika

a. Metode Pembinaan Etika

Metode pembinaan etika berarti suatu kegiatan yang menyangkut

pembinaan siswa, yang berhubungan dengan perkembangan kognitif,

afektif dan psikomotorik siswa, yaitu supaya siswa berpengetahuan,

48 Burhanuddin Salam, Etika Individual : Pola Dasar Filsafat Moral, Rineka Cipta, Jakarta,2000, hal. 21.

Page 52: Seminar Pendidikan

52

cakap, berfikir kritis, sistematis, objektif, dan terampil dalam

mengerjakan sesuatu.

Ki Hajar Dewantara mengatakan, metode pembinaan etika ialah

salah satu bagian dari proses pendidikan, yaitu dengan cara

memberikan ilmu etika melalui pengetahuan dan kecakapan. Jadi,

pembinaan etika merupakan suatu usaha dalam membina etika siswa

sehingga tercipta kepribadian yang utama terhadap perkembangan

jasmani dan rohani bagi siswa. Banyak metode yang dapat digunakan

dalam metode pembinaan etika, diantaranya:

1) Metode Syariat (Doktrin)

Seorang peserta didik yang daya berfikir dan penalarannya

masih dalam perkembangan diperlukan adanya doktrin-doktrin

yang membiasakan perilaku agar anak menjadi baik. Doktrin yang

dimaksudkan adalah ajaran-ajaran agama yang sifatnya mengikat

dan harus dilakukan oleh anak. Maka di sini sebenarnya

diperlukan model atau contoh dari orang-orang yang ada di

dekatnya.

2) Metode Dialog

Anak dilahirkan dengan membawa berbagai macam

potensi, termasuk potensi etika yang dibawanya dari ibu dan

ayahnya. Potensi yang ada tersebut masih bersifat dasar, maka

pengembangannya dapat dilakukan dengan cara berdialog untuk

Page 53: Seminar Pendidikan

53

menggugah dan menyadarkan berdasarkan potensi yang

dimilikinya.

3) Metode Keteladanan

Pada diri manusia terutama pada usia anak-anak dan remaja

sifat menirunya sangat dominan. Di usia dewasa pun pengaruh

keteladanan dalam diri seseorang masih dapat ditemukan.

Sehingga Allah swt., mengutus Nabi Muhammad saw.,dengan

tugas utama memperbaiki etika manusia. Metode utama yang

dilakukan Nabi Muhammad saw., dalam berdakwah adalah

dengan keteladanan. Dengan Metode inilah nabi mendapatkan

keberhasilan dalam mengemban tugas mulianya.49

b. Metode Kritik dalam Etika

Franz Magnis Suseno dalam Etika Dasar menekankan bahwa

etika pada hakekatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika

tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-

kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan

moral secara kritis. Etika akan selalu menuntut setiap pemberlakuan

sistem moral dengan pertanggungjawaban. Berbagai pandangan

dalam metode etika, yang dituntut adalah sebuah pendekatan kritis.

Pendekatan kritis ini akan menjadikan kajian-kajian tentang

sistem nilai dan moralitas semakin progresif. Metode progresif ini

pulalah yang selama ini dipakai dalam banyak kajian fisafat etika,

49 Ibid, hlm. 21-30

Page 54: Seminar Pendidikan

54

yang juga oleh para filosuf terkemuka seperti sokrates dan Plato

selalu dijadikan sebagai metode berfilsafat.50

B. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

1. Pengertian Peserta Didik

Di antara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta

didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek

dan objek. Oleh karenanya, aktivitas kependidikan tidak akan terlaksana

tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang

konsep peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan

dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung

dalam proses pendidikan. Tanpa pemahaman yang utuh dan komprehensif

terhadap peserta didik, sulit rasanya bagi pendidik untuk dapat

menghantarkan peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan.

Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang

yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang

masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan makhluk Allah

swt., yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai

taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-

bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak,

perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.51

50 Tabi’in, ”Etika peserta didik Perspektif K.H. Hasyim Asy’ary (Tela’ah Kritis Ktab Adab Li a’lim waa Muta’lim)”, Skripsi, Fakultas Tarbiyah, 2008. hlm. 21-22. Lihat Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 25

51 Samsul Nizar, op. cit.,hlm. 47.

Page 55: Seminar Pendidikan

55

Abuddin Nata dalam bukunya menyatakan, dilihat dari kedudukannya

peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses

perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka

memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik

optimal kemampuan fitrahnya.52

Dalam pandangan yang lebih modern, peserta didik tidak hanya

dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebutkan di

atas, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subjek pendidikan. Hal ini

antara lain dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan

masalah proses belajar mengajar. 53

Dalam Bahasa Indonesia ada tiga sebutan untuk orang yang sedang

menuntut ilmu atau peserta didik, yaitu dikenal dengan sebutan murid, anak

didik dan peserta didik. Peralihan-peralihan sebutan ini, melihat dari buku

Ahmad Tasir bahwa ada perbedaan prosentase yang dimiliki ketiganya.

Disebut guru-murid jika pengajaran 100 % menjadi milik guru (teacher

centred) dan 0 % dari murid. Sedangkan penyebutan guru-anak didik, maka

75 % pengajaran berpusat pada guru dan 25 % pada anak didik, dan

penggunaan istilah peserta didik, maka prosentase pengajaran 50 % untuk

guru dan 50 % untuk peserta didik 54

Sedangkan dalam bahasa Arab, dikenal tiga istilah yang sering

digunakan untuk menunjukkan pada peserta didik. Tiga istilah tersebut

52 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm.79 53 Ibid. hlm, 79 54 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu

Memanusiakan Manusia, Bandung: Rosdakarya Offset, 2006, H. 164-166

Page 56: Seminar Pendidikan

56

adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang menginginkan atau

membutuhkan sesuatu; tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti peserta

didik, dan thalib al-ilm yang menuntut ilmu, peserta didik, atau

mahasiswa.55 Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang

yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaanya hanya terletak pada

penggunaannya. Pada sekolah yang tingkatannya rendah seperti Sekolah

Dasar (SD) digunakan istilah murid dan al-tilmidz, sedangkan pada sekolah

yang tingkatannya lebih tinggi seperti SLTP. SMA dan Perguruan Tinggi

digunakan istilah thalib al-ilm.56

Kata al-tilmidz tidak mempunyai akar kata dan berarti peserta didik.

Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di

madrasah. Istilah ini digunakan antara lain oleh ahmad tsalabi.

Selanjutnya terdapat pula kata al-mudarris, berasal dari bahasa Arab,

darrasa berarti orang yang mempeserta didiki sesuatu. Kata ini dekat

dengan kata madrasah dan seharusnya digunakan untuk arti peserta didik

pada suatu madrasah, namun dalam praktiknya tidak demikian. Istilah ini

antara lain digunakan oleh Anwar al-juhdi.

Ketiga kata tersebut (murid-al-tilmidz-dan al-mudarris) kelihatannya

digunakan untuk menunjukan pada peserta didik tingkat dasar dan lanjutan.

Karena semuanya itu menggambarkan sebagai orang yang baru belajar,

belum memiliki wawasan dan masih amat bergantung kepada guru dan

belum menggambarkan kemandirian.

55 Mahmud Yunus,Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) hlm. 79 dan 238.

56 Abuddin Nata, op. cit.,hlm 79-80.

Page 57: Seminar Pendidikan

57

Istilah lain yang berkenan dengan peserta didik (peserta didik) adalah al-

thalib kata ini berasal dari bahasa arab, thalaba, yathlubu, thalaban,

thaliban yang berarti orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini dapat

dipahami karena seorang peserta didik adalah orang yang tengah mencari

ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan pembentukan

kepribadiannnya untuk bekal kehidupannya di masa depan agar berbahagia

dunia dan akhirat. Sebagaimana yang diungkap sebelumnya, bahwa

penggunaan istilah ini banyak digunakan untuk peserta didik di perguruan

tinggi yang disebut mahasiswa.

Penggunaan mahasiswa untuk perguruan tinggi dapat dimengerti karena

seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar yang ia peroleh

dari tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, terutama pengetahuan tentang

membaca, menulis dan berhitung. Dengan bekal pengetahuan dasar ini, ia

diharapkan memiliki bekal untuk mencari, menggali dan mendalami bidang

kelimuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih

bahan-bahan bacaan, seperti buku, surat kabar, majalah, fenomena sosial

melalui berbagai peralatan dan saran pendidikan lainnya, terutama bahan

bacaan. Bahan bacaan tersebut setelah dibaca, ditelaah dan dianalisa

kemudian dituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel, makalah,

skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian dan sebagainya.

Dengan demikian dalam arti al-thalib seorang peserta didik lebih bersifat

aktif, mandiri, kreatif dan tidak banyak bergantung kepada guru. Bahkan

dalam beberapa hal ia dapat meringkas, mengkritik dan menambahkan

Page 58: Seminar Pendidikan

58

informasi yang disampaikan oleh guru atau yang lebih dikenal sebagai dosen

atau supervisor. Dalam konteks ini seorang dosen harus bersikap

demokratis, memberi kesempatan dan menciptakan suasana kelas yang

bebas untuk mendorong mahasiswa memecahkan masalah yang mereka

hadapi. Kesempatan belajar yang diciptakan dosen adalah agar merangsang

para mahasiswa belajar, berpikir, melakukan penalaran yang memungkinkan

para mahasiswa dan dosen tercipta hubungan sebagai mitra belajar. Minat

dan pemahaman, timbal balik antara dosen dan mahasiswa ini akan

memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar mengajar pada kelas

bersangkutan .

Istilah thalib selanjutnya banyak digunakan oleh para ahli pendidikan

Islam sejak zaman klasik sampai dengan zaman sekarang. Diantara yang

menggunakan istilah al-thalib adalah imam Al-Ghazali Dalam hubungan ini

ia mengatakan bahwa al-thalib adalah bukan kanak-kanak yang belum bisa

berdiri sendiri, dan dapat mencari sesuatu, melainkan ditujukan kepada

orang yang memiliki keahlian, berpengetahuan, mencari jalan dan

mendahulukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Bahwasanya ia adalah

seseorang yang telah mencapai usia dewasa dan telah dapat bekerja dengan

baik dengan menggunakan akal pikirannya. Ia adalah seorang yang sudah

dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam melaksanakan kewajiban

agama yang dibebankan kepadanya sebagai fardhu ‘ain. Seorang al-thalib

adalah manusia yang telah memiliki kesanggupan memilih jalan kehidupan,

menentukan apa yang dinilainya baik dan tidak pula dibebankan kepadanya

Page 59: Seminar Pendidikan

59

untuk berusaha mendapatkan ilmu dan sungguh-sungguh dalam mencarinya,

sebagaimana yang demikian itu dapat ia nilai sebagai yang buruk untuk

ditinggalkan dan menyucikan dirinya.

Pendapat al-Ghazali tersebut sejalan dengan ibnu jama’ah sebagaimana

dikemukakan Dr. Abd al-amir Syams al-Din yaitu bahwa yang dimaksud

dengan al-thalib adalah orang yang telah mencapai tingkatan dalam

kecerdasan, dapat berpikir dengan baik dan berusaha sejalan dengan

kepribadian dan kecerdasannya dalam memilih jalan dalam mendapatkan

ilmu dan upaya-upaya untuk mencapainya. Semua ini dihubungkan dengan

upaya pada setiap sesuatu yang diatur kearah tercapainya tujuan dan

keharusan, baik yang bersifat fisik, pemikiran, kehidupan, dan budi pekerti.

Istilah lainnya yang berhubung dengan peserta didik adalah al-

muta’allim. Kata ini berasal bahasa Arab allama, yuallimu, ta’liman yang

berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan. Istilah ini termasuk yang

paling banyak digunakan para ulama pendidikan dalam menjelaskan

pengertian peserta didik, dibandingkan dengan istilah lainnya, salah satunya

Burhanuddin al-Zarnuji.

Kemudian jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits dapat dijumpai

tentang penggunaan kata al-muta’allim untuk arti peserta didik atau orang

yang menuntut ilmu pengetahuan. Dalam al-Qur’an misalnya dijumpai kata

allama pada ayat 30 surat al-baqarah dan 5 ayat surat al-alaq. Kata allama

ini serumpun dengan kata muta’allim. Ayat-ayat tersebut misalnya:

Page 60: Seminar Pendidikan

60

“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat” (QS. Al-Baqarah, 2; 31)57

Pada ayat tersebut Allah swt., bertindak sebagai yang mengajar ( al-

Mua’llim) dan Nabi Adam berada dalam posisi sebagai yang belajar (

Muta’allim). Terdapat juga dalam ayat berikut:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” ( QS. Al-Alaq, 1-5)58

Pada ayat tersebut lagi-lagi Allah swt., bertindak sebagai pengajar atau

pemberi ilmu, sedangkan manusia berada pada posisi sebagai yang diberi

peserta didik (al-Mutaallim).

Selanjutnya jika dibandingkan dengan istilah-istilah yang mengacu

pada pengertian peserta didik sebagaimana yang disebutkan diatas,

tampaklah bahwa penggunaan kata al-muta’alim jauh lebih banyak

digunakan dibandingkan kata peserta didik, tilmidz atau istilah lainnya.

Hal ini dapat dipahami mengingat kata al-muta’alim lebih bersifat

universal, yaitu mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua

57 Al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang: Menara Kudus,2006), hlm.6. 58 Ibid, hlm. 597.

Page 61: Seminar Pendidikan

61

tingkatan, mulai dari tingkatan dasar sampai dengan tingkat perguruan

tinggi. Dengan kata lain istilah al-muta’alim mencakup istilah pengertian

peserta didik, tilmidz, mudaris, thalib dan sebagainya. Sedangkan istilah-

istilah lainnya bersifat spesifik dan terbatas.59

Berdasarkan pengertian di atas, maka peserta didik dapat dicirikan

sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu,

bimbingan, dan pengarahan.60 Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-

Ta’allum, Syekh Burhanuddin Al-Zarnuji menyebut peserta didik dengan

sebutan muta’allim sebagaimana dipaparkan sebelumnya.61

Dalam pandangan Islam, hakikat ilmu berasal dari Allah swt.,

sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru.

Karena ilmu berasal dari Allah swt., maka membawa konsekuensi

perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah swt., atau

menghiasi diri dengan akhlak yang mulia yang disukai Allah swt., dan

sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah swt..

Dalam hubungan ini muncullah aturan normatif tentang perlunya kesucian

jiwa, yang menurut istilah yang di paparkan Al-Ghazali adalah tazkiyah

an-nafs. Sebagai orang yang menuntut ilmu hal ini perlu dimiliki. Karena

ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah swt.. Hal

ini dapat dipahami dari ucapan Imam Syafi’i sebagai berikut:

59 Abuddin nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Peserta didik PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 49-54

60 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm 79-80. 61 Burhan al-Din al-Zarnuji, Tanpa tahun, Ta’lim al-Muta’aliim, cetakan Indonesia

(Surabaya: Dar al-ilm).

Page 62: Seminar Pendidikan

62

Aku mengadukan masalahku kepada guruku bernama Waki’,

karena kesulitan dalam mendapatkan ilmu (sulit menghafal). Guruku itu menasehatiku agar menjauhi perbuatan maksiat. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah swt., it tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.62

Samsul Nizar menegaskan dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam,

ada beberapa diskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya

terhadap pendidikan Islam, yaitu:

a. Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa akan tetapi

memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar

perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak

disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek

metode mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang

digunakan, dan lain sebagainya.

b. Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesiasi

perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk

diketahui agar aktifitas kependidikan Islam disesuaikan dengan

tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang umumnya dilalui oleh

peserta didik. Hal ini sangat beralasan, karena kadar kemampuan

peserta didik ditentukan oleh faktor usia dan periode perkembangan

atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.

c. Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang

menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.

62 Abuddin Nata, op. cit, hlm.

Page 63: Seminar Pendidikan

63

Di antara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan biologis, kasih sayang,

rasa aman, harga diri, realisasi diri, dan lain sebagainya. Kesemuanya

itu perlu dipahami oleh pendidik agar tugas-tugas kependidikan dapat

berjalan secara baik dan lancar.

d. Peserta didik adalah makhluk Allah swt., yang memiliki perbedaan

individual (differensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor

pembawaan maupun lingkungan di mana dia berada. Pemahaman

tentang differensiasi individual peserta didik perlu untuk dipahami

oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan karena menyangkut

bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam

menghadapi ragam sikap perbedaan tersebut dalam suasana yang

dinamis, tanpa harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau

kelompok.

e. Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani

dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki

latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan.

Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan

daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan

hendaknya diarahkan untuk mengasah daya intelektualitasnya melalui

ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat

dilakukan melalui pendidikan akhlak dan Ibadah.

f. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang

dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas

Page 64: Seminar Pendidikan

64

pendidik adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan

perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang

diinginkan, tanpa melepaskan kemanusiaanya; baik secara vertical

maupun horizontal. Ibarat sebidang sawah, peserta didik adalah orang

yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi).

Sementara pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami

dan mengontrol tanaman agar tumbuh subur sebagaimana mestinya,

sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.63

Peserta Didik sebagai subjek pendidikan Islam, sebagaimana

diungkapkan Asma Hasan Fahmi, sekurang-kurangnya harus

memperhatikan empat hal berikut:

a. Seorang peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan

penyakit jiwa sebelum melakukan proses belajar, karena belajar dalam

Islam merupakan ibadah yang menuntut adanya kebersihan hati.

b. Peserta didik harus menanamkan dalam dirinya bahwa tujuan

menuntut ilmu adalah meraih keutamaan akhlak, mendekatkan diri

kepada Allah swt., bukan untuk bermegah-megahan atau bahkan

mencari kedudukan.

c. Seorang peserta didik harus memiliki ketabahan dan kesabaran dalam

mencari ilmu, dan bila perlu melakukan perjalanan merantau untuk

mencari guru, atau apa yang disebut rihlah ilmiyyah.

d. Seorang peserta didik wajib menghormati gurunya, dan berusaha

63 Samsul Nizar, op. cit, hlm. 48-50.

Page 65: Seminar Pendidikan

65

semaksimal mungkin meraih kerelaannya dengan berbagai macam

cara yang terpuji.64

2. Etika Peserta Didik

Dalam beberapa literatur yang menuliskan tentang peserta didik,

menyatakan etika peserta didik dengan istilah tugas dan kewajiban. Akan

tetapi kebanyakan literatur yang peneliti baca, mengistilahkan tugas dan

kewajiban peserta didik dengan etika belajar. Salah satu literatur yang

menyebutkan etika peserta didik dengan sebutan tugas dan kewajiban adalah

seperti yang diungkapkan oleh Asma Hasan Fahmi, yang dikutip oleh

Samsul Nizar dalam bukunya filsafat pendidikan Islam pendekatan historis,

teoritis dan praktis, mengungkapkan bahwa, di antara tugas dan kewajiban

peserta didik yang perlu diperhatikan oleh peserta didik:

a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum

menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak

sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih.

b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan

berbagai sifat keutamaan.

c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari ilmu diberbagai tempat.

d. Menghormati pendidiknya.

e. Belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.65

Selanjutnya ditambahkan oleh Al-Abrasyi bahwa di antara tugas dan

kewajiban peserta didik adalah:

64 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006) hlm. 127-128 65 Samsul Nizar, op. cit., hlm. 51

Page 66: Seminar Pendidikan

66

a. Sebelum belajar, hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari

segala sifat yang buruk.

b. Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai

fadhilah.

c. Tidak terlalu sering menukar guru, kecuali dengan pertimbangan yang

matang.

d. Tidak melakukan suatu aktivitas dalam belajar kecuali atas petunjuk dan

izin pendidik.

e. Memaafkan guru (pendidik) apabila mereka bersalah, terutama dalam

menggunakan lidahya.

f. Saling mengasihi dan menyayangi di antara sesamanya, sebagai wujud

untuk memperkuat rasa persaudaraan.

g. Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya.

h. Senantiasa mengulang pelajaran dan menyusun jadwal belajar yang baik

guna meningkatkan kedisiplinan belajarnya.

i. Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir

hayat.66

Kesemua hal di atas cukup penting untuk disadari oleh setiap

peserta didik. Di samping yang telah terpapar diatas, dalam kitab adab al-

‘Alim wa Al-Muta’llim karya KH. Hasyim Asy’ari yang telah diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia, menambahkan bahwa selain memiliki etika yang

66 Samsul Nizar op. Cit, , hlm. 51-52

Page 67: Seminar Pendidikan

67

terpapar oleh tokoh-tokoh sebelumnya, peserta didik setidaknya memiliki

beberapa etika berikut:67

a. Sebelum mengawali proses mencari ilmu, seorang peserta didik hendaknya

membersihkan hati terlebih dahulu dari berbagai macam kotoran dan

penyakit hati, seperti kebohongan, prasangka buruk, hasut (dengki) serta

akhlak-akhlak atau akidah yang tidak terpuji. Yang demikian itu sangat

dianjurkan demi menyiapkan diri peserta didik yang bersangkutan di

dalam menerima, menghafal, serta memahami ilmu pengetahuan secara

lebih baik dan mendalam.

b. Membangun niat yang luhur. Yakni, mencari ilmu pengetahuan demi

semata-mata mencari ridho Allah swt., serta bertekad mengamalkannya

setelah ilmu itu diperoleh, mengembangkan syari’at Islam, mencerahkan

mata hati (batin), dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt.

Oleh karena itu, dalam upaya mencari ilmu pengetahuan seorang peserta

didik tidak sepantasnya menanamkan motivasi demi mencari

kesenangan-kesenangan duniawi seperti pangkat atau jabatan, kekayaan,

pengaruh, reputasi dan sebagainya.

c. Menyegerakan diri dan tidak menunda-nunda waktu dalam mencari ilmu

pengetahuan. Mengingat bahwa waktu (kesempatan) yang telah berlalu

mustahil akan terulang kembali. Mengesampingkan segala aktivitas lain

yang dapat mengurangi kesempurnaan dan kesungguhannya dalam

mempelajari sebuah ilmu pengetahuan.

67 KH. M Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam , terj.,Mohamad Kholil (Yogjakarta: Penebit Titian, 2007), hlm. 21-26

Page 68: Seminar Pendidikan

68

d. Rela, sabar, dan menerima keterbatasan (keprihatinan) dalam masa-masa

pencarian ilmu, baik yang menyangkut makanan, pakaian, dan

sebagainya. Imam Syafi’i mengungkapkan

“Tidaklah beruntung orang yang dalam mencari ilmu pengetahuan selalu mengedepankan kemuliaan dirinya dan hidup dalam keserba mewahan. Akan tetapi, orang yang beruntung dalam mencari ilmu pengetahuan adalah mereka yang senantiasa rela dan sabar dalam menjalankan kehinaan, kesusahan hidup, dan melayani kepada ulama (guru)”

e. Membagi dan memanfaatkan waktu serta tidak menyia-nyiakannya, karena

setiap sisa waktu (yang terbuang sia-sia) akan menjadi tidak bernilai

lagi. Mengetahui waktu-waktu yang terbaik (tepat) dalam melakukan

berbagai aktifitas belajar. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa waktu

terbaik untuk menghafal pelajaran adalah saat sahur (menjelang shubuh).

Sedangkan waktu terbaik untuk membahas pelajaran adalah pagi hari.

Adapun siang hari merupakan saat yang sangat tepat untuk beraktifitas

menulis. Kemudian untuk kegiatan muthola’ah (mengkaji pelajaran) dan

muzakarah (berdiskusi) akan sangat efektif jika dilakukan pada malam

hari. Selain soal waktu, peserta didik juga perlu memperhatikan masalah

tempat belajar.

f. Tidak berlebihan (terlampau kenyang) dalam mengonsumsi makanan dan

minuman. Karena, mengonsumsi makanan dan minuman terlalu banyak

dapat menghalangi seseorang dari melakukan ibadah kepada Allah swt.

Suatu syair menyatakan:

Page 69: Seminar Pendidikan

69

“Sungguh kebanyakan penyakit yang biasa kita temui disebabkan oleh faktor makanan dan minuman”.

Di sisi lain, sedikit mengonsumsi makanan dan minuman juga

dapat menjadikan hati seseorang terbebas dari aneka macam penyakit hati.

g. Bersikap wara’ (waspada) dan berhati-hati dalam setiap tindakan.

Seseorang yang sedang mencari ilmu pengetahuan sangat dianjurkan

selalu berusaha memperoleh segala sesuatunya dengan cara yang halal,

baik menyangkut makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain

sebagainya. Sungguh, yang demikian itu perlu untuk diperhatikan demi

menjaga cahaya hati agar senantiasa cemerlang dalam menerima ilmu

pengetahuan dan kemanfaatannya. Di samping itu, seorang peserta didik

juga hendaknya mengambil rukhshah (kemudahan-kemudahan hukum

yang diberikan Allah swt.,) dalam segala hal yang memang telah

diperkenankan oleh Allah swt., melaksanakan rukhshah tersebut. Karena

sesungguhnya Allah swt., sangat senang apabila rukhshah-Nya

dilaksanakan oleh hamba-Nya sebagaimana ia melaksanakan azimah

(perintah-perintah)-Nya.

h. Tidak mengonsumsi jenis-jenis makanan yang dapat menyebabkan akal

(kecerdasan) seseorang menjadi tumpul (bodoh) serta melemahkan

kekuatan organ-organ tubuh (panca indera). Jenis-jenis makanan tersebut

di antaranya adalah: buah apel yang rasanya kecut (asam), aneka kacang-

kacangan, air cuka, dan sebagainya.

Page 70: Seminar Pendidikan

70

i. Tidak terlalu lama tidur yakni selama itu membawa dampak negatif bagi

kesehatan jasmani maupun rohaninya. Idealnya, dalam sehari semalam

seorang peserta didik tidur tidak lebih dari 8 jam. Namun demikian,

apabila memungkinkan dan kiranya tidak terlalu memberatkan, tidur

kurang dari 8 jam dalam sehari semalam itu akan jauh lebih baik

baginya.

j. Menjauhkan diri dari pergaulan yang tidak baik. Lebih-lebih dengan lawan

jenis. Efek negatif dari pergaulan semacam itu adalah, banyaknya waktu

yang terbuang sia-sia serta hilangnya rasa keagamaan seseorang yang

diakibatkan seringnya bergaul dengan orang-orang yang bukan ahli

agama. Oleh karenanya, apabila seorang peserta didik ingin bergaul

(berinteraksi) dengan orang lain, hendaknya ia memilih orang-orang

yang shohih, taat agama, bertaqwa kepada Allah swt., wara’, bersih,

memiliki banyak kebaikan, mempunyai reputasi (harga diri) yang baik,

tidak suka memusuhi orang lain, serta mau menasehati dan menolong

orang lain.

Selanjutnya, dalam hubungan dengan akhlak seorang peserta didik

khusunya dengan penghormatan terhadap guru, dijelaskan lebih lanjut oleh

Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:

Sebagian dari hak guru itu janganlah seorang peserta didik banyak

bertanya kepadanya, dan jangan pula memaksanya agar menjawab berbagai

pertanyaan yang diajukan kepadanya. Selain itu seorang peserta didik jangan

pula banyak meminta sesuatu pada saat guru sedang letih, jangan menarik

Page 71: Seminar Pendidikan

71

kainnya jika ia sedang bergerak, jangan membuka rahasianya, jangan

mencela orang di depannya, jangan membuat ia jatuh atau terhina di depan

orang lain, dan kalau guru itu bersalah sebaiknya segera dimaafkan. Seorang

peserta didik wajib menghormati atau memuliyakannya, selama guru itu

tidak melanggar perintah Allah swt., atau melalaikannya. Selanjutnya

seorang peserta didik jangan pula duduk di depan guru, dan jika ia

membutuhkan sesuatu maka segeralah berlomba-lomba untuk

membantunya. 68

Sejalan dengan itu, al-Abadari, sebagaimana dikutip Asma Hasan

Fahmi, mengatakan agar seorang peserta didik tidak mengganggu gurunya

dengan cara memperbanyak pertanyaan, terutama pada saat gurunya itu

sedang dalam keadaan letih, dan jangan pula berlari-lari di belakang guru

yang sedang berjalan.69

Penghormatan peserta didik terhadap guru dijelaskan pula oleh al-

Ghazali. Menurutnya seorang peserta didik hendaknya mendahului

mengucapkan salam kepada gurunya dan jangan banyak berkata-kata di

depanya, dan jangan pula menyampaikan pendapat orang lain di hadapan

gurunya, dengan maksud mengadu domba antara gurunya dengan orang lain.

Selanjutnya etika peserta didik itu dijelaskan oleh Thasyi Kubra Zadah,

seorang peserta didik tidak boleh menilai rendah sedikitpun terhadap

pengetahuan-pengetahuan yang tidak diketahuinya. Sebaliknya, ia harus

68 Abuddin Nata, op. cit, hlm. , Lihat Al-Namiri Al-Qurthubi, Jami’al Bayan al-ilm wa Fadlihi, Juz I, Hlm. 129

69 Abuddin Nata, loc. Cit, Lihat Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (terjemahan Ibrahim Husen dari Mabadi’ al-Tarbiyah al-Islamiyah,) Jakarta: Bulan Bintang, 1974, cet ke-1, Hlm. 175.

Page 72: Seminar Pendidikan

72

menganggap bahwa ilmu yang tidak dikuasainya itu sama manfaatnya

dengan ilmu yang dikuasainya. Lebih lanjut Zadah mengatakan, seharusnya

peserta didik tidak mengikuti teman-temannya yang bodoh yang suka ilmu-

ilmu yang tidak dikuasainya, seperti filsafat. Selain itu ia harus pula

bertekad untuk belajar sampai akhir hayatnya, mau merantau ke negeri-

negeri jauh untuk mencari ilmu. Dengan cara demikian, ilmu yang

dimilikinya akan berkembang dan ia akan memiliki wawasan yang luas serta

tidak berpandangan sempit atau menganggap benar terhadap ilmu yang

dimilikinya saja.

Selain itu terdapat pula pendapat Athiyah al-Abrasy yang

mengungkapkan beberapa hal penting sebagaimana disebutkan di atas, juga

menambahkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, seorang peserta didik hendaknya tekun belajar bergadang

(bangun) di waktu malam. Kedua, ia harus saling menyanyangi dengan

sesama temannya, sehingga merupakan satu persaudaraan yang kokoh.

Ketiga, seorang peserta didik harus tekun belajar, mengulangi pelajaran di

waktu senja dan menjelang subuh. Waktu di antara isya dan sahur adalah

waktu yang penuh berkah.70

Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, Abdul Mujib dan Jusuf

Mudzakkir, menambahkan tentang kode etik seorang peserta didik yang

beliau sadur dari pendapat al-Ghozali dan dikutip oleh Fathiyah Hasan

Sulaiman dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam menyebutkan, seorang

70 Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,(terjemahan Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry dari Al-Tarbiyah al-Islamiyah, 1974), cet ke-2, hlm. 141.

Page 73: Seminar Pendidikan

73

peserta didik setidaknya memiliki beberapa kode etik dan sifat-sifat yang

baik, di antara kode etik tersebut adalah:

a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah swt.,

sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk

menyucikan jiwanya dan akhlak yang rendah dan watak yang tercela

(takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli) sesuai dengan

firman Allah swt., dalam Q.S Al-An’am: 162, dan Al-Dzariyat: 56.

b. Mengurangi kecendrungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrowi

(Q.S Adh-Dhuha: 4).

Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).71

Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi juga

belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat

kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia terlebih di hadapan

Allah swt.

c. Bersikap Tawadhu (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan

pribadinya untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia

bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk

juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah dari

padanya.

71 Ibid, hlm. 596.

Page 74: Seminar Pendidikan

74

d. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran,

sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh

dan mendalam dalam belajar.

e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrowi

maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang terscela

(madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.,

sementara ilmu tercela akan menjauhkan dirinya dari Allah swt., dan

mendatangkan permusuhan antar sesamanya.

f. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang

mudah (konkret) kepada pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu

yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah (Q.S. al-Insyiqaq: 19).

Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan).72

g. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang

lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan

secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan

agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (Q.S. al-

Insyirah: 7).

h. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari,

sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.

i. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai

makhluk Allah swt., sebelum memasuki ilmu duniawi

72 Ibid,hlm.596.

Page 75: Seminar Pendidikan

75

j. Mengenal nilai-nilai pragmatis sebagai suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu

yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta

memberi keselamatan hidup dunia akhirat

k. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana

tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur

dan metode madzab yang dianjurkan oleh pendidik-pendidik pada

umumnya (selama tidak bertentangan dengan syari’at yang

diperintahkan oleh Allah), serta diperkenankan bagi peserta didik untuk

mengikuti kesenian yang baik.73

Lebih lanjut menurut Ibnu Jama’ah yang dikutip oleh Abd al-Amir

Syams al-Din, etika peserta didik terbagi atas tiga macam, yaitu: (1) terkait

dengan diri sendiri, meliputi membersihkan hati, memperbaiki niat atau

motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud

(tidak materialis), dan penuh kesederhanaan; (2) terkait dengan pendidik,

meliputi patuh dan tunduk secara utuh, memuliakan, dan menghormatinya,

senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau

hukuman darinya; (3) terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh

secara utuh pada pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa

henti, mempraktekkan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh

suatu ilmu.74

73 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 113-114, lihat fathiyah Hasan Sulaiman, al-Madzhab al-Tarbawi ‘inda al-Ghazali, (Cairo, Maktabah Misriyah, 1964), hlm. 52-58

74 Ibid, hlm. 115, lihat Abd al-Amir Syams al-Din, al-Madzhab al-Tarbawi ‘inda Ibn Jama’ah (Beirut: Dar Iqra’, 1984), hlm. 28-40.

Page 76: Seminar Pendidikan

76

Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan

enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan demi

tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam

syairnya yang dituliskan oleh Syekh al-Islam Burhanuddin Al-Zarnuji

dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum, yaitu:

“Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat: aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu:kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinu) ”

Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat para pencari

ilmu, yang juga merupakan etika peserta didik adalah mencakup enam hal,

yaitu: Memiliki kecerdasan (dzaka’), Memiliki Hasrat (hirsh), Bersabar

dan Tabah, Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah), Petunjuk

pendidik (irsyad ustadz) dan masa yang panjang (thuwl al-zaman).

Nadham tersebut juga dituliskan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq

al-Ta’allum oleh Burhanuddin al-Zarnuji.75

3. Hakikat Pendidikan Islam

Pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan

untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh

potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh

suburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia,

dan alam semesta. Potensi jasmaniah manusia adalah yang berkenaan

75 Ibid, hlm. 115-119.

Page 77: Seminar Pendidikan

77

dengan seluruh organ-organ fisik manusia. Sedangkan potensi rohaniah

manusia meliputi kekuatan yang terdapat di dalam batin manusia, yakni

akal, nafsu, roh, fitrah.

Asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia itu memiliki potensi yang

meliputi badan, akal dan roh, ketiga-tiganya persis seperti segitiga yang

sama panjang sisi-sisinya.76 Sedangkan Hasan Langgulung menyebutkan

potensi manusia itu meliputi fitrah, roh, kemauan bebas, dan akal.77 Potensi

ini semua ada pada batin manusia sejak manusia itu lahir ke dunia dan telah

build in alam pribadi manusia.

Secara garis besar Pendidikan Islam merupakan suatu proses

pembentukan individu berdasarkan ajaran–ajaran Islam yang diwahyukan

Allah SWT kepada Nabi Muhammmad melalui proses di mana individu

dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu

menunaikan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi, yang dalam rangka

lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat.78 Tegasnya,

sebagaimana yang dikemukakan Ahmad D. Mariba bahwa Pendidikan Islam

adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya

kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.79

76 Ibid, hlm. 3. Lihat Asy-Syaibani, Umar Muhammad at-Taumy, Falsafah at Tarbiyah al-Islamiyah, (Tabulus: Asy-Syirkah al-Ammah, 1975).

77 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988) hlm, 58-59.

78 Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980) Hal 94.

79 Ahmad D. Marimba. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma'arif, 1980) hal. 23.

Page 78: Seminar Pendidikan

78

M.Kanal Hasan sebagaimana dikutip Syamsul Nizar mendefinisikan

pendidikan Islam adalah ”suatu proses yang komprehensif dari

pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan yang meliputi aspek

intelektual, spiritual, emosi, dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan

dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya di sisi Allah sebagai

’abd dan khalifah-Nya dimuka bumi.80

Atas dasar itulah, apabila dikaitkan hakikat pendidikan yang berperan

untuk mengembangkan potensi manusia maka sudah pada tempatnyalah

seluruh potensi manusia itu dikembangkan semaksimal mungkin. Bertolak

dari potensi manusia tersebut di atas maka paling tidak ada beberapa aspek

pendidikan yang perlu dididikkan kepada manusia yaitu aspek pendidikan

ketuhanan dan akhlak, pendidikan akal dan ilmu pengetahuan, pendidikan

kejasmanian, kemasyarakatan, kejiwaan, keindahan, dan keterampilan.

Kesemuanya diaplikasikan secara seimbang.

Seluruh aspek yang perlu diajarkan pada peserta didik tersebut di atas,

sesungguhnya mengaju pada pembelajaran dan ajaran-ajaran pada masa

Rasulullah saw., yang dapat menciptakan masyarakat Madani. Menurut

Nurcholis, masyarakat madani itu adalah masyarakat yang mengacu kepada

masyarakat Madinah yang berada di bawah pimpinan Rasulullah saw.,

ketika Rasulullah saw., hijrah ke Madinah. Beliau membangun tatanan

kehidupan masyarakat yang berperadapan. Jika masyarakat Madinah di

bawah pimpinan Rasulullah saw., yang menjadi acunan dari keinginan

80 Syamsul Nizar, Op. Cit., Hlm.93-94

Page 79: Seminar Pendidikan

79

pendidikan untuk kembali menciptakan generasi yang dapat menciptakan

negara madani, maka perlulah diketahui beberapa ciri-ciri dari masyarakat

Madinah tersebut.

Pertama, masyarakat Rabbaniyah, semangat berketuhanan dilandasi

tiga pilar, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiga pilar menyatu menjadi

satu ibarat tali berpilin tiga yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan

yang lain dan saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnya pula. Di

zaman Rasulullah saw., setiap pribadi muslim memanisfestasikannya dalam

pribadi masing-masing.

Kedua, Masyarakat yang demokratis, di mana Rasullullah saw., dan

para sahabatnya mentradisikan musyarawah dalam segala persoalan dan

Rasullullah saw., tidak berkeberatan menarik pendapatnya apabila ada

pendapat yang lebih baik. Masyarakat egalitarian, memandang sama

manusia di depan hukum, bahkan beliau pernah bersabda ”Seandainya

Fatimah mencuri, niscaya akan kupotong tangannya”. Masyarakat

demokrasi dan egalitarian itu juga tercermin dalam sikap kaum muslimin,

dicerminkan dengan pemilihan khalifah yang tidak berdasarkan kepada

sistem monarki, tetapi lebih condong kepada sistem demokrasi yang

dilakukan oleh negara-negara modern sekarang, termasuk Indonesia.

Ketiga, masyarakat yang toleran, masyarakat Madinah adalah

masyarakat yang plural, dari segi suku mereka terdiri dari berbagai etnik.

Qabilah Auz dan Khazraj adalah suku guru dari kelompok Ansor, sedangkan

suku Quraish yang berasal dari Makkah adalah orang-orang Muhajirin. Dari

Page 80: Seminar Pendidikan

80

sisi agama, selain dari Islam ada juga Yahudi dan lain sebagainya.

Kehidupan toleran itu diikat oleh Rasulullah saw., dalam satu ikatan yang

disebut dengan Constitution of Madinah (Piagam Madinah atau Mistaqul

Madinah). Piagam ini mengatur tanggung jawab seluruh warga Madinah

untuk terciptanya persatuan dan kesatuan di kalangan mereka. Beberapa isi

terpenting Piagam Madinah adalah:

a. Nabi Muhammad pemimpin bagi semua penduduk Madinah

b. Semua penduduk Madinah tidak boleh bermusuhan

c. Semua penduduk Madinah bebas mengamalkan agamanya masing-

masing

d. Semua penduduk Madinah hendaknya bekerja sama dalam bidang

ekonomi dan pertahanan

e. Keselamatan orang Yahudi terjamin selagi mereka taat kepada perjanjian

yang tercatat pada Piagam Madinah.

Keempat, Berkeadilan, Al-Qur’an dalam banyak tempat menjelaskan

tentang keadilan. Karena begitu pentingnya keadilan sampai-sampai Al-

Qur’an menjelaskan bahwa keadilan itu mendekati takwa, firman-Nya dalam

Q.S. Al-Maidah: 8.

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu

Page 81: Seminar Pendidikan

81

lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kelima, masyarakat berilmu, ilmu merupakan salah satu pilar yang

ditegakkan Rasulullah saw., dalam membangun mayarakat Madinah.

Penerapan masyarakat berilmu ini telah dimulai oleh Rasulullah saw.,

dengan memberantas buta aksara di kalangan kaum muslimin dengan cara

membebaskan tawanan perang yang mampu mengajari kaum muslimin

menulis dan membaca sebagai tebusannya.

Semangat keilmuwan ini pulalah yang mendorong kaum muslimin

yang terdiri dari sahabat-sahabat Rasul untuk menimba ilmu aqliyah

(IPTEK) tatkala mereka menaklukkan wilayah-wilayah yang menjadi pusat-

pusat peradaan Yunani di Asia, yakni wilayah Syam, (Syiria), Irak, dan

Iran.81

Dengan semangat Rasulullah saw., tersebut, dan peradaban yang telah

dibangun oleh Rasullullah saw., pada masa kenabiannya, maka

sesungguhnya hakikat dari pendidikan Islam adalah mencetak generasi-

generasi Muslim untuk kembali bisa seperti pada masa Rasulullah saw.,

dengan cara memberikan fasilitas yang memadai dan mendukung untuk

perkembangan seluruh potensi yang telah dimiliki oleh anak didik.

4. Tugas dan Fungsi Pendidikan

a. Tugas Pendidikan

Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan

mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap

81 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam SIstem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006). Hlm. 31-34

Page 82: Seminar Pendidikan

82

kehidupannya sampai mencapai tingkat kemampuan optimal. Sementara

fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas

pendidikan berjalan dengan lancar.

Pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara

kontinyu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan

fungsi yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan

manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini

bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada

peserta didik yang senantiasa tumbuh berkembang secara dinamis, mulai

dari kandungan sampai akhir hayatnya.82

Dalam sebuah hadist Nabi saw., pendidikan yang terus menerus ini

dikenal dengan istilah “ Min al-Mahdi Ila al-Lahd” (dari buaian sampai

liang lahad) atau dalam istilah lain: “long life education” (pendidikan

sepanjang hayat dikandung badan). Dalam surat al-Hijr ayat 99 Allah

berfirman: 83

Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).84

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Majid ‘Irsan

al-Kaylani, 85 tugas pendidikan Islam pada hakikatnya tertumpu pada dua

aspek, yaitu pendidikan tauhid dan pendidikan pengembangan tabiat

82 M. Arifin, filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 33-34. 83 Samsul Nizar, op. Cit, hlm 51 84 Al-Quran dan Terjemahannya,op, cit., hlm.262. 85 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, loc. It. Lihat, Majid ‘Irsan al-Kaylani,al-Fikr al-

Tarbawi ‘inda Ibn taymiyah, (al-Madinah aal-Munawwarah: Maktabah Dar al-Tarats, 1986), hlm. 91-103.

Page 83: Seminar Pendidikan

83

peserta didik. Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemberian pemahaman

terhadap dua kalimat syahadat, pemahaman terhadap jenis-jenis tauhid

(rububiyah, uluhiyah, sifat dan asma); ketundukan, kepatuhan, dan

keikhlasan menjalankan Islam; dan menghindarkan dari segala bentuk

kemusyrikan. Sedang pendidikan pengembangan tabiat peserta didik

adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan

penciptaanya, yaitu beribadah kepada Allah swt., dan menyediakan bekal

untuk beribadah, seperti makan dan minum.

Menurut Ibnu taimiyah manusia yang sempurna adalah mereka yang

senantiasa beribadah baik beribadah diniyyah maupun beribadah kauniyah.

Ibadah diniyyah adalah ibadah yang berhubungan dengan Pencipta

(ta’abbudi) dan sesama manusia (ijtima’i). Sedangkan ibadah kauniyah

adalah ibadah manusia kepada Allah swt., setelah memahami hukum-

hukum alam dan hukum-hukum sosial kemasyarakatan.

Tela’ah liter di atas, dapat difahami bahwa, tugas pendidikan Islam

setidaknya dapat dilihat dari tiga pendekatan. Ketiga pendekatan tersebut

adalah: pendidikan Islam sebagai pengembangan potensi, proses

pewarisan budaya serta interaksi antara potensi dan budaya. Sebagai

pengembangan potensi, tugas pendidikan Islam adalah menemukan dan

mengembangkan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik, sehingga

dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.86

86 Hasan Langgulung, op,cit, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988) hlm, 57.

Page 84: Seminar Pendidikan

84

Sementara sebagai pewaris budaya, tugas pendidikan Islam adalah alat

tranmisi unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi

berikutnya, sehingga identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam

tantangan zaman. Adapun sebagai interaksi antara potensi dan budaya,

tugas pendidikan Islam adalah sebagai proses transaksi (memberi dan

mengadopsi) antara manusia dan lingkungannya. Dengan proses ini,

peserta didik (manusia) akan dapat menciptakan dan mengembangkan

keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengubah atau

memperbaiki kondisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya.

Untuk menjamin terlaksananya tugas pendidikan Islam secara baik,

hendaknya terlebih dahulu dipersiapkan situasi kondisi pendidikan yang

bernuansa elastis, dinamis, dan kondusif yang memungkinkan bagi

pencapaian tugas tersebut. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam dituntut

untuk dapat menjalankan fungsinya, baik secara struktural maupun

institusional.

Selain itu, menurut Abd al-Rahman al-Bani,yang dikutip al-Nahlawi,87

dalam buku yang ditulis oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir

menyebutkan bahwa, tugas pendidikan Islam adalah menjaga dan

memelihara fitrah peserta didik, mengembangkan dan mempersiapkan

segala potensi yang dimiliki, dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut

menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan program secara

bertahap.

87 Abd Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op. cit, hlm 57 Lihat Abd al-Rahman al-nahlawi,Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuhan,(Beirut: Dar al-Fikr, 1979), hlm. 13.

Page 85: Seminar Pendidikan

85

Menanggapi hal tersebut, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir

menuliskan dalam bukunya, pengembangan berbagai potensi manusia

(fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui berbagai

institusi. Belajar yang dimaksud tidak terfokus melalui pendidikan di

sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam

keluarga, masyarakat, maupun lewat institusi sosial keagamaan yang ada.

Menurut pendapat ahli sosiologi, secara sosiologis, institusi-institusi sosial

itu dapat dikelompokkan menjadi delapan macam, yaitu keluarga,

keagamaan, pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan, keolahragaan,

dan media massa. Setiap institusi ini mempunyai simbol, identitas fisik,

dan nilai-nilai hidup yang menjadi pedoman perilaku anggotanya.88

b. Fungsi Pendidikan

Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang

dapat memungkinkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan

berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan

tujuan yang bersifat struktural dan institusional.

Arti dan tujuan struktural adalah menuntut terwujudnya struktur

organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses kependidikan, baik

dilihat dari segi vertikal maupun horizontal. Faktor-faktor pendidikan bisa

berfungsi secara interaksional (saling mempengaruhi) yang bermuara pada

tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebaliknya, arti tujuan institusional

mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam

88 Ibid, hlm. 58.

Page 86: Seminar Pendidikan

86

organisasi itu dilembagakan untuk menjamin proses pendidikan yang

berjalan secara konsisten dan berkesinambungan yang mengikuti

kebutuhan dan perkembangan manusia dan cenderung ke arah tingkat

kemampuan yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis dan

jalur kependidikan yang formal, informal, dan nonformal dalam

masyarakat.89

Menurut Kurshid Ahmad, yang dikutib Ramayulis,90 fungsi

pendidikan Islam adalah sebagai berikut:

1) Alat untuk memelihara, memperluas dan menghubungkan tingkat-

tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide

masyarakat dan bangsa.

2) Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi dan perkembanagn yang

secara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru

ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk

menemukan perimbangan perubahan sosial dan ekonomi.

5. Tujuan Pendidikan

Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa “al-umur bi

maqashidiha”, bahwa tindakan dan aktivitas harus berorentasi pada tujuan

atau rencana yang telah ditetapkan. Adagium ini menunjukkan bahwa

pendidikan seharusnya berorentasi pada tujuan yang ingin dicapai, bukan

semata-mata berorentasi pada sederetan materi. Karena itulah, tujuan

pendidikan Islam menjadi komponen pendidikan yang harus dirumuskan

89 M. Arifin, op.cit., hlm.34. 90 Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 19-

20.

Page 87: Seminar Pendidikan

87

terlebih dahulu sebelum merumuskan komponen-komponen pendidikan

yang lain.

Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta

mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk

mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang

gerak usaha, agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan

yang terpenting lagi adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi pada

usaha-usaha pendidikan.

Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorentasi pada hakikat

pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya, misalnya tentang: Pertama,

tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan

sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu.

Seperti yang di firmankan oleh Allah swt., dalam (Q.S. al-Imran:191).

Tujuan diciptakan manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah swt..

Indikasi tugasnya berupa ibadah (sebagai ‘abd Allah) dan tugas sebagai

wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah), sebagaimana firman Allah swt.,

Q.S. al-An’am: 162

Kedua, memerhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia, yaitu konsep

tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensi

bawaan, seperti fitrah, bakat, minat, sifat, dan karakter, yang

berkecendrungan pada al-Hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa

Page 88: Seminar Pendidikan

88

agama Islam (Q.S. al-Kahfi: 29) sebatas kemampuan, kapasitas, dan ukuran

yang ada.91

Ketiga, tuntutan masyarakat. Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-

nilai yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun

pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi

perkembangan dunia modern.

Keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dimensi kehidupan

dunia ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan

hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai

bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai yang mendorong manusia

berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih

membahagiakan, sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh

rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki. Namun demikian,

kemelaratan dan kemiskinan di dunia harus diberantas, sebab kemelaratan

dunia menjadikan ancaman yang menjerumuskan manusia pada kekufuran.

Dalam hadits disebutkan: “kada al-faqr an yakuna kufran”, kemelaratan itu

hampir saja mendatangkan kekafiran. Dimensi tersebut dapat memadukan

antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrowi (Q.S. al-Qashash:77).

Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi

daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak

kehidupan yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomi, maupun ideologis

dalam hidup pribadi manusia.

91 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologis dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), hlm. 33.

Page 89: Seminar Pendidikan

89

Menurut Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, bahwa yang

dimaksud dengan konsep tujuan pendidikan Islam adalah:

” Perubahan yang diinginkan dan diusahakan pencapaiannya oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan masyarakat dan pada kehidupan alam sekitar tentang individu itu hidup, atau pada proses pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi sebagai proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat”.92

Bertitik tolak dari pengertian tersebut maka tujuan yang dipaparkan oleh

Omar Muhammad al-Taomy al-Syaibani mencakup beberapa perubahan yang

diinginkan dalam tiga aspek. Di antaranya:

a. Tujuan Individual yang berkaitan dengan individu, pelajaran dengan

pribadi-pribadi mereka. Perubahan yang diinginkan meliputi: tingkah

laku, aktivitas dan pencapaiannya, pertumbuhan pribadi mereka serta

persiapan untuk kehidupan di dunia dan akhirat.

b. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, baik tingkah

laku masyarakat umumnya, maupun pertumbuhan, memperkaya

pengalaman dan kemajuan-kemajuan yang diinginkan.

c. Tujuan Profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran

sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagai suatu aktifitas di antara aktivitas-

aktivitas.93

Sedangkan dalam buku Ilmu pendidikan Islam karangan Abdul Mujib dan

Jusuf Mudzakkir, menyebutkan bahwa komponen tujuan akhir dari

pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:94

92 Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, alih bahasa Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang: 1979), hlm. 399

93 Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal pondok pesantren ditengah Arus Perubahan. ( Yogjakarta: Pustaka Belajar, 2005). hlm. 63.

Page 90: Seminar Pendidikan

90

a. Tujuan normatif. Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma

yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi,

misalnya:

1) Tujuan formatif yang bersifat memberi persiapan dasar yang korektif

2) Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk

membedakan hal-hal yang benar dan yang salah

3) Tujuan determinatif yang bersifat memberi kemampuan untuk

mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejajar dengan proses

kependidikan.

4) Tujuan integratif yang bersifat memberi kemampuan untuk

memadukan fungsi psikis (pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan

nafsu) ke arah tujuan akhir.

5) Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan

segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam pengalaman

pendidikan.

b. Tujuan fungsional. Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan

peserta didik untuk memfungsikan daya kognitif, afeksi, dan

psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang

ditetapkan. Tujuan ini meliputi:95

1) Tujuan individual, yang sasarannya pada pemberian kemampuan

individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah

diinternalisasikan ke dalam pribadi berupa moral, intelektual dan skill.

94 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir , op, cit. hlm. 76, 95 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir ,op, cit. hlm. 77-78,

Page 91: Seminar Pendidikan

91

2) Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan

pengamalan nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial, interpersonal, dan

interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.

3) Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk

berperilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan-dorongan

sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psikogenetis), dan

dorongan biologis (biogenetis).

4) Tujuan profesional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan

untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan kompetensi yang

dimiliki.

c. Tujuan Operasional. Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial.

Menurut Langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu:

1) Tujuan umum (tujuan total). Menurut Kohnstam dan Guning, tujuan

ini mengupayakan bentuk menusia kaamil. Yaitu manusia yang dapat

menunjukkan keselarasan dan keharmonisan antara jasmani dan

rohani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk

kehidupan bersama yang menjadikan integrasi ketiga inti hakikat

manusia.

2) Tujuan khusus. Tujuan ini sebagai indikasi tercapainya tujuan umum,

yaitu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan keadaan tertentu,

baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, tugas dari

suatu badan atau lembaga pendidikan, bakat kemampuan peserta

didik, seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada

Page 92: Seminar Pendidikan

92

peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus

merupakan dasar persiapan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan

berikutnya.

3) Tujuan tidak lengkap. Tujuan ini berkaitan dengan kepribadian

manusia dari suatu aspek saja, yang berhubungan dengan nilai-nilai

hidup tertentu, misalnya kesusilaan, keagamaan, keindahan,

kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebagainya. Setiap aspek ini

mendapat giliran penanganan (prioritas) dalam usaha pendidikan atau

maju bersama-sama secara terpisah.

4) Tujuan insedental (tujuan seketika). Tujuan ini timbul karena

kebetulan, bersifat mendadak, dan bersifat sesaat, misalnya

mengadakan sholat jenazah ketika ada orang yang meninggal.

5) Tujuan sementara. Tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu

dari tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan belajranya adalah

dapat membaca dan menulis, sedangkan pada fase manula yang

tujuannya adalah membekali diri untuk menghadap Ilahi, dan

sebagainya.

6) Tujuan intermedier. Tujuan yang berkaitan dengan penguasaan suatu

pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya tujuan sementara,

misalnya anak belajar membaca dan menulis, berhitung, dan

sebagainya.96

96 Arifin HM, op. cit, hlm. 127-128.

Page 93: Seminar Pendidikan

93

BAB III

BIOGRAFI SYEKH BURHANUDDIN AL-ISLAM AL-ZARNUJI

A. Riwayat Hidup dan Kepribadiannya

Nama lengkap Burhanuddin al-Zarnuji adalah Syekh Ibrahim bin Ismail

al-Zarnuji. Abuddin Nata dalam bukunya menyebutkan nama lengkap al-

Zarnuji adalah Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji.97 Nama al-Zarnuji adalah

penyandaran kepada negerinya yaitu Zarnuj (Zurnuj) salah satu daerah di

Turki, Zurnuj termasuk dalam wilayah Ma Wara’a al-Nahar (Transoxinia).98

Burhan al-Din adalah gelar al-Zarnuji. Burhan al-Din artinya adalah dalil

agama. Adapula yang menyebut gelarnya dengan Burhan al-Islam (Dalil

Islam). Gelar ini mirip dengan Hujjat al-Islam yang disandang oleh Imam Abu

Hamid al-Ghazali.99

Daerah Ma Wara’a al-Nahar adalah suatu daerah yang terletak dibalik

sungai Jaihun di daerah Kurasan Iran memiliki tanah subur dan berpanorama

indah. Kota tersebut ditaklukkan olah al-Hajaj bin Yusuf atas perintah khalifah

Abdul Malik bin Marwan al-Hakam. Al-Zarnuji adalah seorang ulama’ ahli

fiqih bermadzhab Hanafi yang berpegang teguh pada madzhabnya. Hal ini

tampak jelas di dalam kitab karangannya yang berisikan dalil-dalil atau

97 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, op. Cit,hlm. 103 98 MN. Ary B, Uraian Terhadap Buku Ta’lim al-Muta’aliim (http: www.altavista.com

diakses 9 februari 2009). 99 “Al-Zarnuji: Loyalis Madzhab Hanafi”, Buletin Istinbat, 02 Mei 2004/Shafar 1425. (http:

www. Sidogiri.com. diakses 19 Februari 2009).

Page 94: Seminar Pendidikan

94

ucapan-ucapan ulama’ dikalangan Hanafi yakni kitab Ta’lim al-Muta’allim

Tariq al-Ta’allum.100

Mengenai riwayat pendidikannya, dapat diketahui dari keterangan yang

dikemukakan para peneliti. Djudi misalnya, mengatakan bahwa al-Zarnuji

menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand. Yaitu kota yang menjadi pusat

kegiatan keilmuan dan pengajaran. Masjid-masjid di kedua kota tersebut

dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh oleh beberapa

ulama seperti Burhanuddin al-Marginani, Syamsuddin Abd al-Wajidi

Muhammad bin Muhammad bin ’Abd as-Sattar al-Amidi.

Selain itu, Burhanuddin al-Zarnuji juga belajar kepada Rukhuddin al-

Firginani, seorang ahl Fiqh, sastrawan, dan penyair yang wafat tahun 594 H/

1196 M; Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam yang wafat tahun 594

H; Rukn al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama

Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqih, sastra dan

syair yang wafat tahun 573 H/1171 M. 101

Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum tersebut merupakan satu-

satunya kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji dalam bidang pendidikan.

Bersamaan dengan itu, yang ditulis oleh orientalis Barat Plesser di dalam

kitabnya al-Mausurah al-Islamiah bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-

Ta’allum adalah satu-satunya kitab karangan al-Zarnuji yang tersisa,

mendorong pemahaman bahwa di sana terdapat karangan-karangan yang lain

hasil karya al-Zarnuji akan tetapi hilang atau lenyap, akibat dari serangan

100 Elok Tsuroyyah Imron,” Analisis Komparasi KonsepBelajar dan Pembelajaran Menurut Al-Ghozaly dan al-Zarnuji”, op, cit., hlm. 62.

101 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, op. cit, hlm. 104

Page 95: Seminar Pendidikan

95

tentara Mongol yang terjadi di masa akhir kehidupan al-Zarnuji yang juga

terjadi di negerinya yang memungkinkan menjadi penyebaba hilangnya

karangan al-Zarnuji selain kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.102

Dalam tulisan akhir-akhir ini yang membahas al-Zarnuji disebutkan bahwa

tahun kematiannya adalah pada tahun 591 H/593 H/597 H. Akan tetapi

pernyataan tersebut tanpa disertai bukti kuat, ada juga yang menyebutkan

bahwa al-Zarnuji hidup di abad ke 6 H, tanpa menyebutkan secara jelas tahun

berapa. Di kalangan para ulama belum ada kepastian mengenai tanggal

kelahirannya. Adapun mengenai kewafatannya, setidaknya ada dua pendapat

yang dikemukakan di sini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa al-

Zarnuji wafat pada tahun 591 H/1195 M. Sedangkan pendapat yang kedua,

mengatakan bahwa ia wafat tahun 840 H/1243 M. Sementara itu ada pula yang

mengatakan bahwa al-Zarnuji hidup semasa dengan Rida ad-Din an-Nasaiburi

yang hidup antara tahun 500-600 H.103 Al-Wart menyebutkan bahwa wafatnya

al-Zarnuji di tahun 620 H/1223 M dikuatkan oleh al-Qursy di dalam kitab al-

Jawahir al-Mudhiah bahwa al-Zarnuji sezaman dengan al-Luqman bin

Ibrahim pengarang kitab al-Muadha yang wafat tahun 640 H/ 1242 M, jadi

ada kemungkinan wafat pada tahun tersebut, kalaupun tidak ada kemungkinan

kematiannya di tahun itu karena dia sezaman dengan an-Nu’man.104

Kitabnya dikarang sekitar abad pertengahan. Tidak ada informasi yang

jelas tentang tahun penciptaannya. Data yang ditemukan hanya menyebut

tahun penerbitannya, yaitu 1203 M.

102 Elok Tsuroyyah Imron, op,cit. Lihat kitab Jawahirul Mudhiah juz 2, hlm.364. 103 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, op. cit, hlm. 103. 104 Elok Tsuroyyah Imron, op. cit, hlm. 65

Page 96: Seminar Pendidikan

96

Berdasarkan informasi tentang jenjang pendidikan seorang al-Zarnuji,

diperoleh kesimpulan bahwa al-Zarnuji selain ahli pendidikan, dia juga ahli

dalam bidang tasawwuf, sastra, fiqh, dan ilmu kalam. Sekalipun belum

diketahui pasti bahwa untuk bidang tasawwuf ia memiliki seorang guru.

Namun, dapat diduga bahwa dengan memiliki pengetahuan yang luas dalam

bidang fiqh dan ilmu kalam disertai jiwa sastra yang halus dan mendalam,

seseorang telah memperoleh akses yang tinggi untuk masuk ke dalam dunia

tasawwuf.105

Selain karena faktor latar belakang pendidikan dan keilmuan yang dimiliki

oleh al-Zarnuji, faktor situasi sosial dan perkembangan masyarakat juga

mempengaruhi pola pikirnya. Dalam muqoddimah kitabnya, al-Zarnuji

menyatakan bahwa latar belakang penulisan kitab tersebut semata-mata

memberikan pengetahuan tentang tata cara belajar yang dirasa belum dimiliki

oleh generasi berilmu di masanya. Al-Zarnuji memandang situasi yang terjadi

ketika zamannya, dimana seseorang yang pintar tidak mampu mengamalkan

ilmu yang dimiliki, padahal hal tersebut merupakan hal terpenting. Karena

seseorang akan dikatakan berilmu jika benar-benar dapat memberikan manfaat

pada orang lain dengan ilmu yang dimilikinya.

Berangkat dari kenyataan yang terjadi pada masanya, muncullah keinginan

pada diri al-Zarnuji untuk menuliskan karyanya tersebut. Untuk lebih jelasnya

pengakuan dan tujuan penulisan kitabnya yang dikatakan oleh bahasa al-

Zarnuji sendiri peneliti tulis secara khusus pada akhir bab III.

105 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan........op,cit,. hlm. 104

Page 97: Seminar Pendidikan

97

Selain itu Al-Zarnuji seperti manusia pada umumnya yang selalu

mengikuti zamannya dan lingkungannya, di dalam pemikiran-pemikirannya,

keilmuwan dan keyakinannya ia juga seperti semua bangsawan atau peneliti

yang terpengaruh dengan kejadian yang terjadi di lingkungannya baik secara

politik, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan peradaban.106 Oleh sebab itu,

perlu sekali ditinjau kembali apakah konsep al-Zarnuji tersebut masih relevan

dengan dunia pendidikan kekinian, yang kemudian peneliti tuliskan beberapa

konsep yang perlu ditinjau relevansinya di akhir Bab IV. Dengan seperti itu

dapat terlihat konsep apa saja yang masih dapat diterapkan di dunia

pendidikan saat ini, dan konsep apa saja milik al-Zarnuji yang membutuhkan

inovasi.

B. Situasi Pendidikan pada Zaman al-Zarnuji

Selain karena faktor latar belakang pendidikan, faktor situasi sosial dan

perkembangan masyarakat juga mempengaruhi pola pikir seseorang. Untuk itu

peneliti juga akan mengemukakan situasi pendidikan pada zaman al-Zarnuji.

Dalam sejarah pendidikan ada lima tahap pertumbuhan dan perkembangan

dalam bidang pendidikan Islam.107 Adapun tahapan-tahapan itu adalah:

a. Pendidikan pada masa Nabi Muhammad SAW (571-632 M)

b. Pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M)

c. Pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damasyik (661-750 M)

d. Pendidikan pada masa kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M)

106 Elok Tsuroyyah Imron, op. cit., mengutip dari tulisan Ajjeb Fiella, Mengembangkan Pesantren Riset, Mihrab,Edisi II, th III, Nov 2005, hlm.97.

107 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara 1992), hlm. 7

Page 98: Seminar Pendidikan

98

e. Pendidikan pada masa jatuhnya kekuasaan kholifah di Baghdad (1250-

sekarang)

Al-Zarnuji hidup sekitar akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 (591-640

H/195-1243 M). Dari kurun waktu tersebut diketahui bahwa al-Zarnuji hidup

pada masa ke empat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan

Islam yaitu antara tahun 750-1250 M. Dalam catatan sejarah periode ini

merupakan zaman keemasan/kejayaan peradaban Islam pada umumnya dan

pendidikan pada khususnya.108

Pada masa tersebut kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang

ditandai dengan munculnya pelbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat

dasar sampai dengan pendidikan tingkat tinggi. Di antara lembaga-lembaga

tersebut adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al-Muluk

(457 H/106 M), Madrasah An-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin

Mahmud Zanki pada tahun 563 H/1167 M. Sekolah yang di sebut terakhir ini

dilengkapi dengan pelbagai fasilitas yang memadai.

Selain ketiga madrasah tersebut, masih banyak lagi lembaga-lembaga

pendidikan yang tumbuh berkembang pesat pada zaman al-Zarnuji hidup.

Dengan memperhatikan informasi di atas dapat kita ketahui bahwa al-Zarnuji

hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam tengah mencapai

puncak kejayaan dan keemasan.

Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut diatas amat

menguntungkan bagi pembentukan al-Zarnuji sebagai seorang ilmuwan/ ulama

108 Suprihatin, “Pemikiran Pendidikan Syekh Al-Zarnuji (Study Tentang Kedudukan dan Hubungan antara Guru dan Peserta didik dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum)”, op, cit., hlm. 31

Page 99: Seminar Pendidikan

99

yang luas pengetahuannya. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Hasan

Langgulung menilai bahwa al-Zarnuji termasuk seorang filosof yang memiliki

system pemikiran tersendiri dan dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti

Ibnu Sina, Al-Ghozali dan lain sebagainya.109

C. Sekilas tentang Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.

Alinea-alinea berikut ini akan membahas tentang kitab Ta’lim al-

Muta’allim tariq al-Ta’allum serta keistimewaan yang dimiliki oleh

Burhanuddin al-Zarnuji.

Untuk memberikan catatan tentang kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-

Ta’allum akan digunakan beberapa sumber. Hal ini untuk menggali lebih

banyak informasi mengenai kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum

yang merupakan karya monumental dari Burhanuudin al-Zarnuji. Dari

beberapa sumber belum di dapatkan keterangan mengenai tahun penerbitan

kitab yang terdiri dari tiga belas bab itu, menurut H. Kholifah kitab tersebut

telah di beri catatan komentar (syarah) oleh Ibnu Ismail, yang diterbitkan pada

tahun 996 H.

Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum juga pernah diterjemahkan

ke dalam bahasa turki oleh Abdul Madjid bin Nusuh bin Israil dengan judul

Irsyad al-Ta’lim fi Ta’al Muta’allim. Dalam sebuah seminar (sekitar tahun

1999-2000), Ghozal Said mengemukakan bahwa daerah ma waraa’a al-nahar

109 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, op, cit, hlm. 99.

Page 100: Seminar Pendidikan

100

(lembah sungai Anurdaya atau Transoxinia), tempat ini merupakan tempat

dimana al-Zarnuji menyusun kitabnya.110

Sumber penting lain dalam hal ini adalah genechiche der arabischen

litteratur (GAL), dari data yang ada di beberapa perpustakaan, tertulis bahwa

kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum pertama kali diterbitkan di

Musidabad pada tahun 1962. Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum

memuat lebih dari 126 bait syair yang dikutib dari sekitar 50 ulama.111

Pada bagian kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, al-Zarnuji

menjelaskan tentang hakikat ilmu, keutamaan belajar, metode belajar dan etika

santri. Pandangan al-Zarnuji tentang ilmu memang tidak sepadan dari sudut

filosofis dengan pandangan tokoh lain semisal Imam Al-Ghozali. Al-Zarnuji

membicarakan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allumnya

tentang beberapa hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan.

Secara keseluruhan pembahasannya meliputi kewajiban mempelajari ilmu

dengan mempriotiskan kebutuhan yang primer dan esensial. Selain itu dengan

mengutip pandangan Imam Abu Hanifah merupakan dasar yang

mempengaruhi idenya tentang semua aspek yang berkaitan dengan metode

belajar, seperti aspek guru, teman, buku, dan lingkungan.112

Untuk menegaskan bahwa menuntut ilmu wajib, al-Zarnuji mengutib

hadits Nabi Muhammad saw.

110 Admin, Konsep Tarbiyah al-Zarnuji,(http: www. Sidogiri. Com. Diakses 19 Februari 2009).

111 Suprihatin, op.cit, hlm. 33. 112 Suprihatin, loc,cit.

Page 101: Seminar Pendidikan

101

“Menuntut ilmu adalah fardlu ain (kewajiban individu) bagi setiap muslim

dan muslimat.” (al-Hadist).

Dijelaskan bahwa ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap pribadi muslim

adalah ilmu yang berkaitan langsung dengan kebutuhan esensial secara

individual, baik dalam konteks ibadah maupun muamalah, yang di istilahkan

dengan ilmu hall. Dengan menekankan prinsip fungsional ilmu itu al-Zarnuji

menegaskan bahwa tidak setiap ilmu harus dipelajari oleh setiap muslim. Al-

Zarnuji menegaskan bahwa awal sebagai perilaku yang berdasarkan ilmu akan

memiliki nilai utama jika bersifat fungsional, sejalan dengan keperluan yang

esensial seperti ditegaskan dalam pernyataan Afdhal al-amal Hifzh al-Hal.

Pandangannya kemudian dikembangkan dengan mengaitkan kewajiban setiap

muslim dan hubungannya dengan puasa, zakat, haji dan pekerjaan lain seperti

perdagangan (jual-beli). Menurutnya shalat wajib dikerjakan oleh setiap

muslim dan karenanya wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui dan

memahami ikhwal pekerjaan shalat itu. Ilmu yang menjadikan kebutuhan

primer dalam pelaksanaan tugas-tugas peribadatan dikategorikan sebagai ilmu

al-hal. Pandangan demikian dirumuskan atas dasar prinsip bahwa sesuatu

usaha yang mutlak diperlukan dalam mengerjakan tugas kewajiban dengan

sendirinya menjadi wajib untuk dilakukan. Dalam arti sesuatu yang menjadi

pengantar sesuatu yang wajib, maka pada hakikatnya menjadi wajib pula

untuk dipelajari dan dilaksanakan.

Menggambarkan konsekuensi dari pandangan itu, al-Zarnuji merujuk pada

pendapat Muhammad bin Hasan tentang kewajiban zuhud dengan pengertian

mencegah dari perkara syubhat dan makruh dalam setiap lapangan kehidupan.

Page 102: Seminar Pendidikan

102

Dalam konteks ini al-Zarnuji ingin menempatkan zuhud sebagai sikap yang

mutlak inheren dalam bidang profesi apapun, karena itu seperti sikap

tawakkal, inabah, khasyah dan ridla, sikap zuhud termasuk dalam kategori

kebutuhan primer yang menyangkut hati nurani yang di istilahkan dengan ilm

ahwal al-qalb.113

Perhatiannya terhadap eksistensi diri manusia lebih nampak ketika ia

menghubungkan ilmu dengan kehidupan. Menurutnya ilmu sangat penting

untuk menumbuhkan akhlak yang terpuji sekaligus bisa menghindar dari

akhlak yang tercela. Sejalan dengan kewajiban memelihara tingkah laku

hidup, al-Zarnuji menekankan untuk mempelajari ilmu akhlak sehingga

membedakan antara perilaku yang baik dan yang buruk, kemudian

mengaplikasikannya secara tepat, merupakan kewajiban bagi setiap pribadi

muslim.114

Pada penjelasan berikutnya al-Zarnuji mulai memperhatikan hubungan

ilmu dengan kebutuhan yang bersifat temporal dalam pengertian individual,

tapi bersifat vital dalam konteks kemasyarakatan, bersifat temporal karena

usaha pemenuhan kebutuhannya adalah suatu keharusan. Al-Zarnuji

menggambarkan secara praktis dengan memperlihatkan perbedaan kebutuhan

makan dan pengobatan. Kebutuhan yang pertama dikategorikan sebagai

kebutuhan primer yang harus dipenuhi karena memang dirasakan oleh setiap

muslim dalam situasi apapun. Sementara kebutuhan yang kedua harus

113 Ghozali KH, Terjemah Kitab al- Muta’aliim (Kiat sukses dalam Menuntut Ilmu), (Jakarta: Rika Grafika, 1994), hlm. 9.

114 Ma’ruf Asrori,Etika Belajar Bagi Penuntut ILmu, Terjemah Ta’lim al-Muta’aliim (Surabaya: al-Miftah, 1996), hlm. 8.

Page 103: Seminar Pendidikan

103

dipenuhi oleh pribadi tertentu yang menanggung sakit. Dengan demikian al-

Zarnuji menegaskan bahwa mempelajari ilmu yang berkaitan dengan

kebutuhan temporal menjadi kewajiban muslim secara kolektif, atau dalam

bahasa yang diungkapkan dalam kitabnya adalah ilmu yang bersifat Fardlu

Kifayah, dan yang bersifat primer pada individual dibahasakan dengan bahasa

Fardlu ‘Ain.

Al-Zarnuji kemudian menguraikan tentang ilmu dan fiqh, dua konsep yang

memang amat pelik untuk dibedakan. Dengan ilmu, apapun akan menjadi

jelas, ilmu di sini agaknya sebagai media penjelasan. Sedangkan fiqh

menurutnya mengandung pengetahuan yang benar. Dalam pandangan Abu

Hanifah sebagaimana dikutib oleh al-Zarnuji, fiqh adalah pengetahuan

seseorang tentang hak dan kewajibannya. Lebih jauh dikemukakan bahwa

ilmu hanya akan berarti jika diaplikasikan dengan amal yang lebih

mengutamakan hasil abadi daripada yang sesaat.115

Dalam fasl-fasl selanjutnya, al-Zarnuji menuliskan dalam kitabnya tentang

etika peserta didik yang disampaikan dengan bahasa yang sangat aplikatif dan

sarat dengan kehati-hatian. Semisal sikap pada guru/pendidik dan etika ketika

akan mengawali belajar, ketika dan waktu mengakhiri belajar. Dapat

dibuktikan dengan pemilihan bahasa labudda dan yanbaghi yang keduanya

memiliki arti (seyogyanya atau seharusnya).

Dari alinea-alinea didalam kitab yang telah terungkap di atas,

menggambarkan kesungguhan al-Zarnuji yang sangat menginginkan adanya

115 Ibid, hlm 9

Page 104: Seminar Pendidikan

104

sikap beretika dalam setiap perilaku yang dilakukan oleh peserta didik. Selain

itu, pada fasl kesembilan al-Zarnuji juga menekankan peserta didik untuk

saling menyayangi dan profesional dalam penggunaan waktu.

Berangkat dari seluruh keistimewaan yang dimiliki kitab Ta’lim al-

Muta’allim Tariq al-Ta’allum karya al-Zarnuji yang disebutkan di atas, serta

popularitas yang dimiliki oleh kitab tersebut, terutama di instansi-instansi

pendidikan Islam (Pondok Pesantren). Banyak sekali penelitian-penelitian

yang mengkaji kitab tersebut, termasuk salah satunya adalah skripsi ini.

D. Latar Belakang Penulisan Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum.

Dalam catatan sejarah, belum ada kejelasan tahun berapa tepatnya kitab

Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum ini ditulis. Di dalam syarah kitab

yang ditulis oleh Syekh Ibrahim bin Ismail hanya memaparkan tentang latar

belakang penelitian kitab ini.

Kitab ini di tulis oleh al-Zarnuji sebagai wujud dari keprihatinannya

terhadap keadaaan para penuntut ilmu di masanya. Ia melihat banyak orang

yang telah lama menuntut ilmu dan mempunyai ilmu banyak akan tetapi tidak

dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ilmu tidak

mempunyai arti dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini dijelaskan oleh al-

Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum sebagai berikut:

Page 105: Seminar Pendidikan

105

Artinya: “Setelah saya amati banyak pencari ilmu (pelajar, santri dan

mahasiswa) pada generasi saya, ternyata mereka banyak mendapatkan ilmu tetapi tidak dapat mencapai manfaat dan buahnya, yaitu pengamalan dan penyebarannya. Hal ini disebabkan oleh kesalahan mereka menempuh jalan dan mengabaikan syarat-syarat menuntut ilmu, padahal setiap orang yang salah jalan, maka ia akan tersesat dan tidak dapat mencapai tujuannya, baik sedikit maupun banyak. Oleh karenanya, dengan senang hati saya akan menjelaskan kepada mereka mengenai metodologi belajar berdasarkan apa yang saya pelajari dalam beberapa buku dan petunjuk-petunjuk yang saya dengar dari para guruku yang cerdik cendekia. Penyusunan buku ini mendapat kebahagiaan dan keselamatan pada hari kiamat nanti. Buku ini saya susun setelah memohon petunjuk kepada Allah swt”.116

Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa pada saat itu al-Zarnuji banyak

menemui para pelajar yang gagal dalam menuntut ilmu, dengan kata lain ilmu

yang mereka miliki tidak dapat memberi kemanfaatan bagi dirinya sendiri,

terlebih kemanfaatannya bagi orang lain. Hal ini dikarenakan mereka salah

jalan dan meninggalkan syarat-syarat yang menjadi keharusan di dalam

menuntut ilmu. Di antara keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap penuntut

ilmu menurut al-Zarnuji adalah keharusan seorang peserta didik untuk

mengagungkan dan memuliakan seorang guru, selektif dalam memilih teman,

memiliki niat yang baik karena Allah, dan banyak lagi.

116 Ibid, hlm 1-2.

Page 106: Seminar Pendidikan

106

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ke empat ini merupakan inti dari penelitian skripsi, di dalamnya

akan disampaikan secara penyeluruh tentang etika peserta didik dalam perspektif

Burhanuddin al-Zarnuji. Namun untuk memperjelas, maka pada sub bab item

pertama ini akan digambarkan terlebih dahulu keseluruhan isi dari kitab Ta’lim al-

Muta’allim Tariq al-Ta’allum.

Paparan yang akan ditulis berikut ini merupakan isi dari kitab Ta’lim al-

Muta’allim Tariq al-Ta’allum terbitan Dar-al Ilm Surabaya tanpa tahun, dan

terjemahan bahasa Indonesia oleh Drs. A. Ma’ruf Asrori dengan judul Etika

Belajar Bagi penuntut Ilmu, yang diterbitkan oleh al-Miftah Surabaya. Meskipun

tidak menutup kemungkinan ada beberapa judul buku terjemahan lain, namun

peneliti menggunakan buku tersebut sebagai acuan penelitian ini setelah kitab asli.

A. Paparan Tentang Isi Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum

Pada hakikatnya, dalam khazanah Islam, kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq

al-Ta’allum bukanlah saru-satunya kitab yang membahas tentang etika

peserta didik, ada beberapa kitab yang memiliki kecendrungan sama dengan

kitab tersebut, bahkan lebih dahulu dituliskan daripada kitab Ta’lim al-

Muta’allim Tariq al-Ta’allum. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-ilm karya

Ismail al-Muzani (wafat 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-

Muta’allim karya al-Ghazali (wafat 505 H). Namun, Ta’lim al-Muta’allim

Tariq al-Ta’allum jauh lebih mengakar di kalangan pesantren dibanding

kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode

Page 107: Seminar Pendidikan

107

penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-

Ta’allum. Bandingkan antara Ta’lim yang disusun pada akhir abad ketujuh

Hijriyah dengan al-Targhib fi al-Ilm yang dikarang pertengahan abad

ketiga.117

Firman Allah dalam surat al-Nur ayat 35, menyatakan:

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.118

Pada ayat tersebut di atas dengan jelas dinyatakan bahwa Allah dapat

membimbing seseorang untuk mendapatkan cahaya-Nya itu jika Dia

menghendakinya. Bertolak dari keyakinan bahwa itu datang dari Allah, maka

muncullah etika tentang mendekatkan diri kepada Allah yang harus dilakukan

oleh seorang pelajar yang ingin mendapatkan ilmu-Nya. Bagian inilah yang

nantinya akan membawa kepada penjelasan tentang sikap jiwa seorang

pelajar. Dalam bahasa yang ditawarkan oleh al-Zarnuji adalah adanya sikap

117 Admin, “Konsep Tarbiyah al-Zarnuji: Metodologi atau Pesan?”, Buletin Istinbat, 2 Mei 2004, (http: www. Sidogiri. Com. Diakses 4 Maret 2009).

118 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op, cit., hlm. 354.

Page 108: Seminar Pendidikan

108

tawakkal, iffah, sabar dan tabah untuk mendapatkan ilmu yang nantinya di

ridhoi oleh Allah.

Karena seorang pelajar yang ingin mendapatkan ilmu itu memerlukan

bimbingan, pengarahan, dan petunjuk dari guru, kemudian muncullah etika

peserta didik terhadap gurunya. Bagian ini yang kemudian menampilkan

adanya konsep etika peserta didik terhadap pendidik (guru) serta konsekuensi

apabila etika tersebut tidak lagi dilaksanakan.

Selain hal tersebut, seorang peserta didik tidak hanya membutuhkan

adanya guru, dia juga membutuhkan seorang teman tempat berbagi rasa dan

belajar bersama. Teman tersebut memiliki pengaruh yang signifikan, karena

kebiasaaan yang sering sekali dilakukan oleh seorang teman tidak menutup

kemungkinan akan dilaksanakan pula oleh seorang peserta didik. Berangkat

dari hal tersebut kemudian muncul etika memilih teman, dan etika yang harus

dilakukan antara sesama pelajar.

Selanjutnya, karena seorang yang tengah menuntut ilmu memerlukan

kesiapan fisik yang prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang

tenang, maka perlu adanya upaya pemeliharaan yang sungguh-sungguh

terhadap potensi dan alat indra, fisik, dan mental yang diperlukan untuk

mencari ilmu. Oleh sebab itu, muncullah aturan yang berkenaan dengan cara

menjaganya, dengan beristirahat, makan yang bergizi, menjauhi makanan dan

minuman yang memabukkan dan membawa mudharat terhadap

perkembangan potensi dan kesehatan yang dimiliki oleh peserta didik.119

119 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., hlm.135-137.

Page 109: Seminar Pendidikan

109

Berdasarkan filosofi di atas maka sangat tepat sekali jika dalam kajian ini

mengangkat tentang etika bagi peserta didik yang dituliskan dalam kitab

Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, karena disamping memuat segala

yang terpapar di atas, Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum juga memiliki

kupasan-kupasan yang bersifat aplikatif.

Dalam kitab yang terdiri dari muqaddimah dan 13 fasl tersebut, al-Zarnuji

menuliskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan etika peserta didik

terhadap dirinya sendiri, orang lain, guru dan kitab atau buku pelajarannya.

Di samping itu, al-Zarnuji juga memaparkan tentang beberapa hal yang harus

dijauhi selama menuntut ilmu dan beberapa hal yang harus dilakukan ketika

seorang mencari ilmu.

Dalam Muqaddimah kitabnya, al-Zarnuji memaparkan tentang kondisi

generasi pelajar pada masanya, yang kemudian menjadi latar belakang

penulisan karyanya tersebut. Kemudian disusul dengan 13 fasl yang diawali

dengan pembahasan tentang pembagian ilmu.

Paparan di atas akan dijelaskan satu-persatu dalam bentuk sub bab berikut,

agar tidak timbul kerancuan dalam pemahaman, dan dengan adanya

klasifikasi berikut, maka akan sangat terbaca beberapa hal yang termasuk

etika peserta didik terhadap Tuhan, Orang tua, guru, buku dan teman

sebayanya, dirinya, dan etika ketika belajar.

Fasl 01: Hakekat ilmu dan fiqh serta keutamaannya

Penulisan fasl awal dalam kitabnya, al-Zarnuji memulai dengan hadist

Nabi tentang kewajiban mencari ilmu:

Page 110: Seminar Pendidikan

110

“Menuntut ilmu adalah fardlu ain (kewajiban individu) bagi setiap

muslim dan muslimat” (al-Hadits).

Lebih lanjut dalam kitabnya, dinyatakan bahwa menuntut ilmu tidak

diharuskan untuk segala macam ilmu. Akan tetapi lebih kepada ilmu-ilmu

hall (ilmu yang menyangkut kewajiban sehari-hari sebagai muslim, seperti

ilmu tauhid, akhlak, dan fiqh). Dan sebaik-baik amal adalah menjaga hall.120

Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang

diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji,

maka ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan

kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara pada perbuatan wajib,

maka wajib pula hukumnya.

Demikian pula, manusia wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan

dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk dengan

tugas kerjanya (misalnya dagang), maka ia wajib mengetahui bagaimana cara

menghindari yang haram. Di samping itu, manusia juga diwajibkan

mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakkal, ridla dan sebagainya.121

Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu-waktu

tertentu, hukumnya fardlu kifayah, sedangkan mempelajari ilmu yang tidak

ada manfaatnya atau bahkan membahayakan adalah haram hukumnya.122

120 Ma’ruf Asrori, Etika Belajar Bagi Penuntut Ilmu, op, cit., hlm. 4. 121 Ibid, hlm. 06-07 122 Ibid, hlm. 11-13.

Page 111: Seminar Pendidikan

111

Fasl 02: Niat di waktu belajar

Belajar hendaknya diniati untuk mencari ridla Allah, memperoleh

kebahagiaan akhirat, berusaha memerangi kebodohan sendiri dan orang lain,

mengembangkan dan melestarikan Islam serta mensyukuri nikmat akal dan

badan yang sehat.

Niat tidak boleh dilakukan semata-mata untuk mencari pengaruh,

kenikmatan duniawi atau kehormatan di hadapan orang lain. Sebuah syair

Abu Hanifah yang didapatkan al-Zarnuji dari Syaikh Al-Imam Al-Ajall Ustaz

Qawam Ad-Din Hammad Ibnu Ibrahim Ibnu Isma'il Ash-Shaffar Al-Anshari

menyebutkan:

“Barangsiapa mencari ilmu untuk tujuan akhirat, maka beruntunglah ia dengan keutamaan dari petunjuk Allah, dan sungguh amat merugi orang yang mencari ilmu hanya untuk mendapatkan keuntungan dari hamba Allah (manusia).” 123

Disamping itu seorang peserta didik sebaiknya tidak merendahkan

(menghinakan) dirinya dengan mengharapkan sesuatu yang tidak semestinya

dan menghindari hal-hal yang dapat menghinakan ilmu dan ahli ilmu. 124

Fasl 03: Memilih ilmu, pendidik, teman dan ketabahan dalam

mempelajari ilmu

Peserta didik hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang

dibutuhkan dalam kehidupan agamanya dan masa depan. Peserta didik perlu

mendahulukan ilmu tauhid dan ma'rifat beserta dalilnya. Karena keimanan

secara taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya),

123 Ibid, hlm. 14-16 124 Ibid, hlm. 19

Page 112: Seminar Pendidikan

112

meskipun sah menurut kita, tetapi tetap berdosa, karena tidak berusaha

mengkaji dalilnya. Demikian pula, perlu memilih ilmu 'atiq (kuno).125

Dalam memilih pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara', alim,

berlapang dada dan penyabar. Peserta didik harus sabar dan tabah dalam

belajar kepada pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi

berbagai cobaan.126 Selain itu seorang peserta didik juga harus memiliki

minat yang besar, dan bekal yang cukup dalam menuntut ilmu. Seorang

penyair mengatakan:

“Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat: aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu:kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinyu)”

Selanjutnya, dalam memilih seorang teman, Peserta didik hendaknya

memilih teman yang tekun, wara', jujur dan mudah memahami masalah.

Menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan pemfitnah.

Dalam kitab tersebut, terdapat salah satu syair dengan menggunakan bahasa

persi menyatakan:

“Teman yang buruk lebih berbahaya daripada ular berbisa. Demi Allah dzat Yang Maha Benar dan Maha Suci. Teman yang buruk mengantar menuju neraka jahim. Teman yang baik mengantar menuju syurga na’im.”

125 Ibid, hlm. 21-22. 126 Ibid, hlm. 24-26.

Page 113: Seminar Pendidikan

113

Disamping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar

bermusyawarah dalam segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara

yang sangat penting serta sulit, maka bermusyawarah disini menjadi lebih

penting dan diharuskan pelaksanaannya.127

Fasl 04: Menghormati ilmu dan orang yang berilmu

Al-Zarnuji mengatakan bahwa seorang peserta didik tidak akan dapat

meraih ilmu dan memanfaatkan yang ia dapat kecuali dengan menghormati

ilmu dan ahlinya serta menghormati dan mengagungkan gurunya. Oleh sebab

itu dalam fasl yang keempat, al-Zarnuji menuliskan tentang kewajiban

menghormati ilmu dan ahlinya. Al-Zarnuji mengikut sertakan dalam kitabnya

salah satu ungkapan yang diucapkan oleh Ali karrama Allah wajhahu berkata

“Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajarku, walaupun satu huruf saja. Bila ia bermaksud menjualku, maka ia bisa menjualku. Bila ia bermaksud memerdekakanku, maka ia bisa memerdekakanku dan bila ia bermaksud memperbudakku, maka ia bisa memperbudakku.”128

Cara menghormati pendidik diantaranya adalah tidak berjalan

didepannya, tidak menempati tempat duduknya, tidak memulai mengajaknya

bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di depannya, tidak

menanyakan suatu masalah pada waktu pendidiknya lelah, memelihara waktu

yang sudah ditentukan untuk belajar, tidak mengetuk pintu rumahnya, tetapi

sabar menunggu hingga pendidik itu keluar dari rumahnya, menghormati

putera dan semua orang yang ada hubungan dengannya dan tidak duduk

terlalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa. Pada

127 Ibid, hlm. 26-30 128 Ibid, hlm. 35.

Page 114: Seminar Pendidikan

114

prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik

rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak

bertentangan dengan agama Allah.129

Termasuk menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan

serta memuliakan kitab. Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak

mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Demikian pula dalam belajar,

hendaknya dalam keadaan suci. Al-Zarnuji menyarankan kepada peserta

didik yang akan memulai belajar dengan berwudhu. Sebab ilmu adalah

cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya ilmu itu

dengan wudlu.130 Peserta didik hendaknya juga memperhatikan catatan, yakni

selalu menulis dengan rapi dan jelas, agar tidak terjadi penyesalan di

kemudian hari. Disamping itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa

hormat, selalu memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang

disampaikan padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.131

Fasl 05: Kesungguhan dan kontinyu dalam belajar

Peserta didik harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu

mengulangi pelajarannya secara kontinyu sesuai dengan anjuran yang Allah

firmankan dalam surat al-Ankabut: 69132

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.133

129 Ibid, hlm. 35-36. 130 Ibid, hlm. 38-39. 131 Ibid, hlm. 42-43. 132 Ibid, hlm. 47.

Page 115: Seminar Pendidikan

115

Di dalam kitabnya,al-Zarnuji menuliskan bahwa peserta didik lebih

baik belajar pada awal waktu malam dan di akhir malam, yakni waktu antara

maghrib dan Isya’ dan setelah waktu sahur, sebab waktu-waktu tersebut

kesempatan yang memberkahi.

Selain itu, al-Zarnuji juga mengisyaratkan bahwa kemalasan

disebabkan oleh lendir dahak yang cukup banyak, yang disebabkan dengan

terlalu banyak makan dan minum. Cara menguranginya bisa dengan

menghayati manfaat dari makan sedikit yang di antaranya adalah badan

menjadi sehat, terhindar dari badan yang haram dan ikut memikirkan nasib

orang lain.

Bersiwak juga dapat mengurangi lendir dahak, di samping dapat

memperlancar hafalan dan kefasihan lisan serta termasuk sunnah Nabi saw.,

yang bisa memperbesar pahala shalat dan membaca Al-Quran.134

Dalam fasl ini pula, al-Zarnuji menganjurkan kepada peserta didik

untuk memiliki cita-cita yang luhur dan berusaha keras melawan kemalasan

yang disebabkan dengan banyaknya lendir sebagaimana yang dituliskan

sebelumnya, karena menurutnya seseorang akan terbang dengan cita-citanya

sebagaimana burung yang terbang dengan kedua sayapnya. Abu Thayyib

berkata:

133 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op, cit., hlm. 404. 134 Ibid, hlm. 47-50.

Page 116: Seminar Pendidikan

116

“Cita-cita akan tercapai sejauh orang-orang akan bercita-cita.

Kemuliaan akan tercapai sejauh seseorang berbuat mulia. Sesuatu yang kecil akan tampak besar bagi orang-orang yang bercita-cita kecil. Dan sesuatu yang besar akan tampak kecil bagi orang-orang yang bercita-cita besar.”135

Fasl 06: Permulaan belajar, kadar belajar dan urutan ilmu yang

dipelajari

Belajar hendaknya dimulai pada hari Rabu. Syaikh Burhan Ad-Din,

Imam Abu Hanifah dan Syaikh Abu Yusuf Al-Hamadani memulai perbuatan

baiknya, termasuk belajar pada hari Rabu. Dalam hal ini al-Zarnuji

menyebutkan salah satu hadist Nabi yang melandasi pemikirannya,

Rasulullah bersabda: ”Tidak ada sesuatu yang dimulai pada hari rabu kecuali akan berakhir sempurna.”

Sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya), hari sialnya orang

kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin.136

Bagi pemula hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat

dikuasai dengan baik setelah di ulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah

sedikit demi sedikit, sehingga apabila telah banyak masih mungkin dikuasai

secara baik dengan mengulanginya dua kali, seraya ditambah sedikit demi

sedikit lagi. Apabila pada awalnya telah mempelajari banyak dan memerlukan

pengulangan sepuluh kali, maka untuk seterusnya juga harus dilakukan seperti

itu. Demikianlah Abu Hanifah menjelaskan apa yang diperolehnya dari Syaikh

Al-Qadli Imam Umar Ibnu Abu Bakr Az-Zanjiyyi. Selain itu, untuk pemula

hendaknya memilih kitab-kitab yang kecil, sebab dengan begitu akan lebih

mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak menimbulkan

135 Ibid, hlm. 53. 136 Ibid, hlm. 65.

Page 117: Seminar Pendidikan

117

kebosanan. Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat dan

diulangi berkali-kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami,

sebab hal itu bisa menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan

sia-sia belaka.137

Al-Zarnuji juga menganjurkan untuk saling mengingat pelajaran

(mudzakarah), dan berdiskusi (munadzarah) bagi seluruh peserta didik.

Manfaat diskusi lebih besar daripada sekedar mengulangi pelajaran sendiri,

sebab dalam diskusi, selain mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan.

Al-Zarnuji juga mengingatkan agar diskusi dilaksanakan dengan penuh

kesadaran serta menghindari hal-hal yang membawa akibat negatif.

Karena diskusi dilaksanakan guna mencari kebenaran, maka tidak

akan berhasil bila disertai kekerasan dan berlatar belakang tidak baik. Peserta

didik hendaknya membiasakan diri untuk memikirkan dengan

sungguh-sungguh pada pelajaran yang sulit disetiap waktu. Disamping itu, ia

juga perlu pandai-pandai mengambil pelajaran dari siapapun. Ibnu Abbas

ketika ditanyai mengenai cara dia mendapatkan ilmu maka dijawabnya bahwa

ia mendapatkan ilmu dengan lisan banyak bertanya dan hati selalu berpikir.138

Peserta didik hendaknya selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan

hati, lisan, badan maupun harta. Hanya dari Allahlah kepahaman, ilmu dan

tauhid datang. Dan kepada-Nya pula, hendaknya peserta didik bertawakkal

jangan sampai mengandalkan akal dan kemampuan diri semata.139

137 Ibid, hlm. 66. 138 Ibid, hlm. 71-75. 139 Ibid, hlm. 78.

Page 118: Seminar Pendidikan

118

Selain itu peserta didik hendaknya membiasakan diri senang membeli

kitab. Sebab hal itu bisa memudahkan ia belajar dan menelaah pelajarannya.

Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha sedapat mungkin

menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut Al-Zarnuji perserta

didik di masa dahulu belajar bekerja dulu, baru kemudian belajar, sehingga

tidak tamak kepada harta orang lain. Ada ungkapan bahwa barang siapa

mencukupi diri dengan harta orang lain, berarti ia melarat.140

Selain yang telah disebutkan di atas, al-Zarnuji menganjurkan pada

peserta didik untuk selalu mempelajari ulang pelajaran-pelajaran yang telah

lalu dengan cara berikut: (1) Pelajaran yang kemarin diulang sebanyak lima

kali, (2) Pelajaran dua hari kemarin maka diulang sebanyak empat kali, (3)

Pelajaran tiga hari kemarin diulang sebanyak tiga kali, (4) Pelajaran empat

hari kemarin diulang sebanyak dua kali, dan pelajaran lima hari kemarin

diulang sekali.

Peserta didik tidak diperbolehkan membiasakan diri belajar dengan

suara yang terlalu pelan, karena sesungguhnya belajar akan semakin baik jika

dilakukan dengan semangat, tetapi juga tidak dilakukan dengan suara yang

begitu keras hingga mengganggu. Bagi al-Zarnuji sesuatu yang dilakukan

dengan penuh kekurangan merupakan sesuatu yang kurang sempurna,

sedangkan apabila dikerjakan dengan berlebihanpun menjadi tidak baik dan

berdampak tidak baik pula pada peserta didik. Oleh sebab itu, al-Zarnuji

140 Ibid, hlm. 80-81.

Page 119: Seminar Pendidikan

119

menganjurkan peserta didik melakukan setiap sesuatu tengah-tengah saja,

tidak terlalu berlebihan begitu pula sebaliknya.141

Fasl 07: Tawakkal

Dalam belajar, Peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak

tergoda oleh urusan-urusan rizki. Tidak digelisahkan oleh urusan duniawi,

karena kegelisahan tidak bisa mengelakkan musibah, bergunapun tidak,

bahkan membahayakan hati, akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan

yang baik. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha untuk

mengurangi urusan duniawi. Abu Hanifah meriwayatkan dari Abdullah bin

Hasan az-Zubaidi, seorang sahabat Rasulullah saw., Rasulullah Bersabda:

”Barangsiapa mendalami agama Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangkanya” (Hadist diriwayatkan oleh Abu Hanifah dari Abdullah bin Hasan al-Zubaidi).

Peserta didik harus sanggup menanggung segala kesulitan dan

keprihatinan pada saat merantau mencari ilmu. Sebagaimana pernah

diucapkan oleh Nabi Musa as., tentang bepergian mencari ilmu:

”Aku benar-benar menemui kesulitan dalam bepergianku ini.”

Ucapan ini tidak pernah terdengar darinya dalam masalah selain

bepergian mencari ilmu. Hal ini agar disadari bahwa merantau mencari ilmu

itu tidak akan pernah lepas dari kesulitan karena mencari ilmu merupakan

sesuatu yang agung, lebih agung daripada perang menurut beberapa ulama.142

141 Ibid, hlm. 84-85. 142 Ibid, hlm. 87-88.

Page 120: Seminar Pendidikan

120

Peserta didik hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari

ilmu. Perlu disadari bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas

dari kesulitan sebagaimana dituliskan sebelumnya, sebab mempelajari ilmu

adalah suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama lebih utama dari pada

berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi kesulitan

dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi

segala kelezatan yang ada di dunia.143

Fasl 08: Masa mencapai ilmu

Masa belajar adalah semenjak buaian hingga masuk ke liang lahat.

Masa yang cemerlang untuk belajar adalah awal masa muda. Waktu afdhal

dalam Belajar adalah waktu sahur dan antara maghrib dan Isya'. Namun

sebaiknya peserta didik memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar. Bila

telah merasa bosan mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang

lain. Muhammad Ibnu Al-Hasan tidak tidur semalaman untuk mempelajari

buku-bukunya. Apabila ia telah jenuh mempelajari suatu ilmu, maka

berpindah ke ilmu yang lain. Iapun menyediakan air untuk menghilangkan

kantuknya, sebab ia berpendapat bahwa kantuk itu dari panas maka untuk

menghilangkannya harus dengan air dingin.144

Fasl 09: Kasih sayang dan nasehat

Seseorang yang memiliki ilmu hendaknya memiliki rasa kasih sayang,

mau memberi nasehat dan tidak disertai dengan rasa hasud, karena hasud tidak

mendatangkan kebaikan bahkan akan mendatangkan bahaya. Menurut Syaikh

143 Ibid, hlm. 90-91. 144 Ibid, hlm. 92-93.

Page 121: Seminar Pendidikan

121

Burhanuddin, Para ulama banyak yang berkata bahwa putera guru dapat

menjadi seorang yang alim, karena guru selalu menghendaki murid-muridnya

menjadi ulama dalam bidang Al-Qur’an. Lantas karena berkah dan i’tikadnya

serta kasih sayangnya, maka puteranya menjadi seorang yang alim seperti

dirinya.145

Peserta didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya dengan

akhlak mulia. Menjauhi adanya perselisihan dan permusuhan, berprasangka

buruk, karena hal tersebut hanya akan menyia-nyiakan waktu. Lebih lanjut al-

Zarnuji menyatakan bahwa setiap kebaikan pasti akan dibalas dengan

kebaikan, begitu pula sebaliknya. Seorang penyair berkata:

Jika engkau inginkan musuhmu mati terhina terbunuh susah, terbakar derita. Maka caranya capailah mulia, tambahlah ilmu.

Sebab orang dengki akan semakin susah apabila seseorang yang

didengki bertambah ilmunya.146

Peserta didik juga harus menjauhi berprasangka buruk terhadap

sesamanya, terlebih pada guru. Karena sangkaan buruk bisa terjadi karena niat

jelek dan hati yang jahat. Sebuah syair yang dikemukakan oleh Abu Thayyib

yang dituliskan oleh al-Zarnuji menyatakan:

“Apabila buruk laku perbuatan seseorang, maka akan buruk pula prasangkanya. Ia akan membenarkan apa yang diangankannya. Ia memusuhi orang yang menyintainya dan menuduh memusuinya. Pada tengah malam ia diliputi gelapnya kebimbangan hingga pagi hari. ” 147

145 Ibid, hlm. 95. 146 Ibid, hlm. 97. 147 Ibid, hlm. 99.

Page 122: Seminar Pendidikan

122

Fasl 10: Mengambil pelajaran (istifadah)

Peserta didik hendaknya dapat mengambil pelajaran (Istifadah) dan

memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, hingga dapat mencapai

keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis disetiap saat untuk

mencatat hal-hal ilmiah yang diperolehnya. Ada ungkapan: ”Hafalan akan

dapat sirna tetapi tulisan akan tetap tegak.”

Zain Al-Islam pernah menyampaikan bahwa suatu ketika Hilal Ibnu Yasar berkata: Kulihat Nabi saw., mengemukakan sepatah ilmu dan hikmah kepada sahabat-sahabat beliu lalu usulku : ”Wahai Rasulullah saw., ulangilah apa yang telah kau jelaskan kepada mereka.” Rasulullah saw., lalu bertanya kepadaku: ”Apakah engkau mempunyai seperangkat alat tulis?” Aku menjawab: ”Aku tidak mempunyai seperangkat alat tulis,” Nabi saw., lalu bersabda: ”Wahai Hilal, janganlah kamu terpisahkan dari seperangkat alat tulis, karena di dalamnya terdapat kebaikan, juga bagi orang yang membawanya sampai hari kiamat.”148

Al-Zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak.

Oleh karena itu peserta didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya,

hendaklah ia selalu memanfaatkan waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang

sepi untuk terus belajar. Dan hendaknya bagi peserta didik untuk selalu

mengambil pelajaran dari orang yang lebih tua. Seorang tokoh Islam yang

telah lanjut usia menasehati:

”Sering aku bertemu dengan orang yang lanjut usia yang mulia ilmu dan amalnya, tetapi saya tidak pernah mengambil pelajaran darinya. Atas kejadian ini kuungkapkan sebait syair:

”Betapa aku sangat menyesal tidak mendapat apa-apa. Apa yang telah berlalu tidak mungkin didapat.”

Ali ra., berkata: “Jika kamu menghadapi suatu masalah, maka hadapilah (pecahkanlah) masalah itu. Berpaling dari ilmu Allah akan

148 Ibid, hlm. 102-103.

Page 123: Seminar Pendidikan

123

membuatmu terhina dan menyesal. Mohonlah perlindungan kepada Allah siang dan malam.”

Selain itu, merupakan keharusan bagi peserta didik untuk menanggung

derita selama menuntut ilmu. Serta kewajiban untuk mempertajam ilmu

melalui diskusi dengan guru, teman, dan banyak mengulangi pelajaran yang

telah dipelajari.

Seorang ahli mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu mulia dan tidak menyimpan kehinaan, maka ilmu tidak akan didapatkan kecuali dengan perjuangan dan menghinakan nafsumu.”149

Fasl 11: Wara’ di waktu belajar

Di waktu belajar hendaknya peserta didik berlaku wara', sebagaimana hadits Nabi, ”Barangsiapa tidak wara’ ketika belajar, maka Allah akan mengujinya dengan salah satu dari tiga perkara: dimatikan ketika muda, diletakkan di kalangan orang-orang bodoh, atau diberi cobaan menjadi pelayan para penguasa.”

Dengan wara’ maka ilmu yang didapatkan akan lebih bermanfaat,

lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih mudah.150

Sedangkan yang termasuk perbuatan wara' antara lain adalah menjaga

diri dari terlalu kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak

membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Selain itu bila memungkinkan

juga menghindari makanan masak di pasar yang diperkirakan lebih mudah

terkena najis dan kotoran, jauh dari dzikir, dan diketahui orang-orang fakir,

sementara mereka tidak mampu membelinya yang akhirnya berduka lara,

sehingga berkahnyapun menjadi hilang karena hal-hal tersebut.

149 Ibid, hlm. 104-105. 150 Ibid, hlm. 106.

Page 124: Seminar Pendidikan

124

Hendaknya bagi peserta didik dapat menjauhkan diri dari penganggur,

perusak dan pelaku maksiat, sebab pergaulan itu besar pengaruhnya. Selain

itu, menghadap kiblat waktu belajar, bercerminkan diri dengan Sunnah Nabi,

mohon didoakan oleh ulama ahli kebajikan dan menghindari doa tidak

baiknya orang teraniaya, kesemuanya itu juga termasuk wara'.

Peserta didik hendaknya menjaga diri dari ghibah dan bergaul dengan

orang yang terlalu banyak bicara agar waktunya tidak habis dengan sia-sia

belaka. Disamping itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan

perbuatan-perbuatan sunnah. Hendaknya memperbanyak sholat dan

melaksanakannya secara khusyuk, sebab hal itu akan membantunya dalam

mencapai keberhasilan studinya.

Dalam hal ini Al-Zarnuji juga mengingatkan kembali agar peserta

didik selalu membawa buku untuk dipelajari dan alat tulis untuk mencatat

segala pengetahuan yang didapatkannya. Ada ungkapan bahwa barang siapa

tidak ada buku di sakunya maka tidak ada hikmah dalam hatinya. Lebih

utama bila (lembaran-lembaran) buku itu berwarna putih.151

Fasl 12: Penyebab hafal dan lupa

Yang paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan,

kontinyu, mengurangi makan, melaksanakan shalat malam, membaca

Al-Qur’an, banyak-banyak membaca shalawat Nabi dan berdoa sewaktu

mengkaji buku serta seusai menulis. Selain itu, bersiwak, minum madu,

memakan kandar (sejenis susu, yang hanya ada di Turki yang dicampur

151 Ibid, hlm. 108-112

Page 125: Seminar Pendidikan

125

dengan gula) dan minum dua puluh satu zabib merah setiap hari dengan penuh

syukur. Sedangkan apapun yang dapat menambah lendir dan dahak adalah hal

yang menyebabkan lupa, dan apapun yang dapat mengurangi dahak dan

lendir, maka merupakan hal yang dapat memperkuat hafalan.152

Adapun penyebab mudah lupa antara lain adalah perbutan maksiat,

banyak dosa, gelisah karena urusan-urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan

urusan-urusan duniawi. Demikian pula makan ketumbar, buah apel masam,

melihat salib, membaca tulisan pada nisan, berjalan di sela-sela iringan unta,

membuang kutu yang masih hidup ke tanah dan berbekam pada tengkuk.153

Fasl 13: Penyebab bertambah dan berkurangnya rizqi dan hal yang

menambah serta mengurangi umur

Dalam menunutut ilmu bagi peserta didik tentulah membutuhkan

makanan. Oleh sebab itu, maka menjadi keharusan bagi peserta didik untuk

mengetahui apa saja yang mendatangkan rezeki yang banyak, dan apa saja

hal-hal yang dapat menambah panjang usia dan tetap sehat, agar dapat

menyelesaikan dengan baik masa belajarnya.154

Rasulullah saw., bersabda: ”Hanya do’a yang dapat mengubah takdir dan hanya taqwa yang dapat menambah usia. Seseorang yang terhalang rizkinya adalah karena dosa yang diperbuatnya. ”

Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa perbuatan dosa menjadi sebab

terhalangnya rizki, terlebih berdusta.155

152 Ibid, hlm. 113-115. 153 Ibid, hlm. 118. 154 Ibid, hlm. 119. 155 Ibid, hlm. 123.

Page 126: Seminar Pendidikan

126

Selain yang tertera di atas, berikut merupakan beberapa hal yang

menyebabkan berkurangnya rizki, di antaranya: Tidur diwaktu subuh, Tidur

telanjang, kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, membiarkan sisa

makanan berserakan, membakar kulit kerambang dan dasun,

menyapu lantai dengan kain atau di waktu malam, membiarkan sampah

berserakan, lewat di depan pini sepuh, memanggil orang tua tanpa gelar

(seperti pak, bu, mas dan lain sebagainya), membersihkan selilit gigi dengan

benda kasar, melumurkan tanah atau debu dengan tangan, duduk di beranda

pintu, bersandar pada kaki gawang pintu, berwudlu di tempat orang

beristirahat, menjahit pakaian yang sedang dipakai, menyeka muka dengan

kain, membiarkan sarang lebah berada di rumah, meremehkan ibadah shalat,

bergegas keluar masjid setelah shalat shubuh, terlalu pagi berangkat ke pasar,

membeli rerontokan makanan dari pengemis, mendoakan buruk kepada anak,

membiarkan wadah tidak tertutupi, mematikan lampu dengan meniup, menulis

dengan pena rusak, menyisir rambut dengan sisir rusak, tidak mendoakan baik

kepada kedua orang tua, memakai serban sambil duduk, memakai celana

sambil berdiri, kikir, terlalu hemat atau terlalu berlebihan dalam

membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda-nunda dan mudah

menyepelekan suatu perkara.

Sedangkan apabila seorang peserta didik dapat bangun di pagi hari

serta mampu menulis yang baik juga merupakan kunci memperoleh rizki.

Wajah berseri-seri, bertutur kata yang manis dan banyak bersedekah juga bisa

menambah rizki. Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki

Page 127: Seminar Pendidikan

127

adalah shalat dengan ta’zhim, khusyu’, sempurna rukun, wajib, sunnah dan

adatnya. Demikian pula melakukan shalat dluha, membaca surat Al-Waqi'ah,

khususnya di malam hari saat orang-orang tidur, surat Al-Mulk,

Al-Muzammil, Al-Lail dan Al-Insyirah. Selain itu juga datang ke masjid

sebelum azan, shalat Fajr, shalat witir di rumah dan berbagai macam doa

untuk dikaruniai rizki.

Selain itu, jangan terlalu banyak bergaul dengan lawan jenis, kecuali

bila ada keperluan yang baik. Dan jangan omong kosong yang tidak berguna

untuk agama dan dunianya, sebab barang siapa yang disibukkan oleh

perbuatan yang tanpa guna bagi dirinya, maka yang semestinya akan berguna,

menjadi terlewatkan darinya.156

Selanjutnya, al-Zarnuji menuliskan tentang beberapa hal yang

menyebabkan bertambahnya umur. Salah satunya: berbuat kebajikan, tidak

menyakiti orang lain, menghormati sesepuh, bersilaturrahim, memotong

pepohonan yang masih hidup kecuali terpaksa, berwudlu secara sempurna,

menunaikan shalat dengan ta'zhim dan haji serta memelihara kesehatan.

Menurut Al-Zarnuji, Peserta didik Juga harus belajar ilmu kesehatan dan dapat

memanfaatkannya dalam menjaga kesehatan dirinya.

Demikianlah deskripsi isi kitab Ta'lim Al-Muta'allim karya Al-Zarnuji.

Dia menulis kitab seperti itu, karena di masanya dia mengetahui banyak

peserta didik yang telah belajar dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa

mendapatkan manfaat dan hasilnya, yakni mengamalkan dan menyiarkannya.

156 Ibid, hlm. 124-129

Page 128: Seminar Pendidikan

128

Menurut Al-Zarnuji hal tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan

meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu,

dia menulis kitab Ta'lim Al-Muta'allim dengan maksud menjelaskan kepada

para peserta didik tentang cara yang seharusnya mereka tempuh agar tidak

salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan

bermanfaat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam muqoddimah.

B. Etika Peserta Didik dalam Perspektif Burhanuddin al-Zarnuji

Pada alinea berikut ini, merupakan pemaparan tentang buah pemikiran

al-Zarnuji tentang beberapa etika peserta didik dalam menuntut ilmu yang

dituangkan dalam tulisannya di kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-

Ta’allum.

Karena dalam kitab Ta'lim Al-Muta'allim tidak ada suatu bab yang

khusus membahas masalah etika peserta didik, maka untuk mendeskripsikan

pemikiran-pemikiran al-Zarnuji tentang masalah tersebut, peneliti

menggunakan cara dengan mengambil pemikiran-pemikiran al-Zarnuji dari

berbagai bab yang ada dalam kitab Ta'lim Al-Muta'allim, yang ada kaitannya

dengan masalah etika peserta didik. Setelah itu, agar lebih mudah difahami,

maka pemikiran-pemikiran tersebut peneliti klasifikasikan menjadi beberapa

bagian, sebagai berikut:

1. Etika Peserta Didik Terhadap Tuhan

Dalam kitab al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum al-Zarnuji tidak

mengungkapkan secara khusus tentang etika peserta didik terhadap

Tuhannya. Namun dalam beberapa fasl di dalam kitabnya al-Zarnuji

Page 129: Seminar Pendidikan

129

mengungkapkan ada beberapa hal yang berkaitan dengan etika seorang

peserta didik terhadap Tuhannya, diantaranya: mengharap Ridho-Nya,

bertawakkal, dan Wara’. Akan tetapi dalam kitabnya al-Zarnuji tidak

mengungkapkan secara jelas pengertian dari beberapa item tersebut.

Agar dapat dipahami tentang makna ketiganya, maka peneliti disini

akan mencantumkan pengertian ketiganya dari beberapa literatur yang

menerangkan tentang ketiganya.

a. Wara’

Kata al-Wara’ secara bahasa berarti “saleh”, menjauhkan diri dari

perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal

yang tidak baik. Dalam pengertian sufi, al-Wara’ adalah meninggalkan

segala sesuatu yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara halal

dan haram (Syubhat).

Yunus bin 'Ubaid rahimahullah menyatakan bahwa wara' yang

sebenarnya adalah keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah

(introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata. Sikap

seseorang untuk menjauhi hal-hal yang syubhat.

Hadist Nabi Muhammad saw, yang artinya “barang siapa yang terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya dia telah terbebas dari yang haram”( H.R. Bukhori).157

Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah:158

1) Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.

157 M. Solihin dan M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawwuf (Manusia, Etika, dan Makna Hidup), Bandung: Penerbit Nuansa, 2005, H. 185.

158 Mahmud Muhammad al-Khazandar, Sifat Wara’, Terj. Team Indonesia, Eko Haryanto Abu Ziyad, (http: www.Islamhouse.com diakses 14 Januari 2009)

Page 130: Seminar Pendidikan

130

2) Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.

3) Menjauhi semua yang diragukan.

4) Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.

5) Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.

6) Meninggalkan perkara yang tidak berguna.

Sedangkan menurut Al-Zarnuji, salah satu perbuatan wara’ adalah

menjauhkan diri dari perut terlalu kenyang, banyak tidur dan banyak

bicara yang tidak ada gunanya. Menjauhi makan makanan pasar.159

b. Ridha

Kata al-Ridha secara bahasa berarti rela, suka, dan senang. Harun

Nasution mengatakan, ridha berarti tidak berusaha menentang qadha’

dan qadar Tuhan. Seseorang yang bersikap ridha akan menerima

qadha’ dan qadar dengan hati senang. Dia mampu menghilangkan

kebencian dari hati sehingga yang tertinggal di dalamnya hanya

perasaan senang dan gembira. Dia merasa senang menerima malapetaka

sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta syurga

dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dengan neraka. Dia tidak

berusaha sebelum turunnya qadha’ dan qadar, dan tidak merasa pahit

dan sakit sesudah turunnya qadha’ dan qadar. Seseorang yang bersikap

ridho justru perasaan cintanya bergelora di waktu menerima bala’

(cobaan yang berat).160

159 Burha al-Din Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, op, cit., hlm.39. 160 Solihin, op. cit., hlm. 188

Page 131: Seminar Pendidikan

131

Selain itu, dia juga rela berjuang di jalan Allah, rela menghadapi

segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa

dan sebagainya. Semua itu bagi seorang sufi dipandang sebagai sifat-

sifat yag terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi, bahkan dianggap

sebagai ibadah karena mengharapkan keridhaan Allah. Dalam hadist

qudsi, Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barang siapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya dia keluar dari kolong langit dan mencari Tuhan selain Aku”.

c. Tawakal

Kata al-tawakkal atau secara bahasa berarti menyerahkan diri.

Menurut Sahal bin ‘Abdullah, orang yang bertawakkal di hadapan Allah

adalah ibarat bangkai di hadapan orang yang memandikannya. Dia

pasrah pada apapun yang dilakukan orang yang memandikannya. Dia

tidak dapat bergerak dan bertindak apapun. Hamdun al-Qashshar

mengatakan, tawakal adalah berpegang teguh kepada Dzat Allah.

Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakal tempatnya di

dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah

tawakal yang ada di dalam hati itu. Hal ini terjadi setelah seorang

hamba menyakini bahwa segala sesuatu hanya didasarkan pada

ketentuan Allah. Dia menganggap bahwa segala kesulitan merupakan

takdir dari Allah.161

161 Solihin, op, cit., hlm. 187-188

Page 132: Seminar Pendidikan

132

Sebagai contoh dapat dikemukakan kemenangan kaum muslimin

dalam perang Badar. Jumlah kaum musyrikin Quraisy tiga kali lipat

dari tentara kaum muslimin. Persenjataannya pun jauh lebih lengkap.

Menurut perhitungan akal sehat, bisa dipastikan pasukan kaum

muslimin akan hancur. Tapi pada saat-saat yang menentukan, justru

kemenangan berada di pihak pasukan Islam. Salah satu senjatanya yang

paling ampuh adalah sikap tawakkal, yakni maju ke medan perang

dengan gagah dan berani sambil berserah diri kepada Allah, setelah

segala daya dan upaya dilaksanakan.162

Tawakkal yang demikian ini sejalan dengan yang dikemukakan

oleh Harun Nasution, menurutnya tawakal adalah menyerahkan diri

kepada takdir dan keputusan Allah. Seseorang yang bersikap tawakal,

selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat anugerah, dia

berterima kasih, dan jika mendapat musibah, dia selalu sabar dan pasrah

kepada takdir Allah. Seseorang yang bertawakal tidak memikirkan hari

esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Dia tidak mau makan,

jika ada orang lain yang lebih berhajat daripadanya. Dia percaya kepada

janji Allah. Dia menyerah kepada Allah. Dia selalu merasa hidup

dengan Allah dan karena Allah.163

Firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 159 menegaskan tentang

kewajiban kita sebagai hamba-Nya untuk bertawakkal.

162 Jiddan, Artikel Media Muslim, (http: myqalbu.wordpress.com diakses 14 Januari 2009). 163 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisis, dan Perbandingan, cet

ke-2, Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.

Page 133: Seminar Pendidikan

133

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka

bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya“.(QS.Ali Imran : 159).164

2. Etika Peserta Didik Terhadap Orang Tua

Sebetulnya dalam kitabnya tidak tertuang secara khusus tentang

etika peserta didik terhadap orang tuanya. Akan tetapi tidak dapat

dipungkiri bahwa peran orang tua sangatlah penting dalam proses

pembelajaran seorang peserta didik. Dalam fasl kelima, al-Zarnuji

menegaskan bahwa di dalam menuntut ilmu tidak hanya diperlukan

kesungguhan dari peserta didik semata, akan tetapi dibutuhkan pula

kesunggguhan hati seorang pendidik dan orang tua.165

Dari sini dapat dilihat bahwa kewajiban orang tua sama dengan

pendidik, bahkan melebihi dari sekedar mendidik. Karena orang tua

merupakan orang pertama yang mengenalkan anak didik tentang banyak

hal sebelum pendidik. Oleh sebab itu selayaknya bagi seorang peserta

didik wajiblah melaksanakan apa-apa yang dilakukan terhadap guru, juga

menjadi kewajiban untuk dilakukan terhadap orang tuanya.

Selanjutnya pada fasl ke-13, dikatakan bahwa salah satu penyebab

fakir adalah berjalan di depan orang tua dan memanggil orang tua dengan

164Pengertian Tawakkal, Lembar Risalah An-Natijah, No. 18 (http: www.g-excess.com

diakses 14 Januari 2009). Al-Qur’an dan Terjemahannya, op, cit., hlm. 71. 165 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 47.

Page 134: Seminar Pendidikan

134

sebutan namanya.166 Pernyataan dari al-Zarnuji tersebut sejalan dengan

salah satu ayat Al-Qur’an surat al-Isro’ ayat 23:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.167

3. Etika Peserta Didik Terhadap Pendidik

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, al-Zarnuji

mengungkapkan banyak hal tentang etika peserta didik terhadap

pendidiknya, al-Zarnuji mengkhususkan pembahasan tentang etika peserta

didik terhadap pendidiknya pada fasl ketiga dan keempat.

Pada fasl ketiga al-Zarnuji menganjurkan kepada peserta didik untuk

memilih guru yang alim (pandai), wara’ (menjaga harga diri) dan lebih tua.

Karena jika peserta didik tidak selektif dalam memilih pendidik maka akan

berdampak tidak baik pada dirinya. Kewajiban memilih orang yang pandai

memang harus dilakukan, karena apabila seorang pendidik tidak pandai

maka tidak akan dapat memberikan pelajaran yang banyak dan bermanfaat

pada peserta didik. Begitu juga wara’ dan lebih tua dari padanya.168

166 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 124. 167 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op, cit., hlm. 284. 168 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 24.

Page 135: Seminar Pendidikan

135

Lebih lanjut al-Zarnuji menyarankan kepada peserta didik untuk

menghormati guru, sebagaimana menghormati kedua orang tua. Dan

menurut al-Zarnuji peserta didik akan kurang berhasil dan kurang

memperoleh ilmu yang bermanfaat, kecuali jika mau mengagungkan ilmu,

orang yang berilmu dan menghormati keagungan pendidiknya.169

Dalam hal ini al-Zarnuji memberikan beberapa cara untuk

menghormati pendidik, diantaranya adalah tidak berjalan di depannya,

tidak menempati tempat duduknya yang biasa digunakan mengajar, tidak

memulai bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di

depannya, tidak menanyakan suatu masalah ketika pendidiknya lelah,

memelihara waktu yang sudah ditentukan untuk belajar, tidak mengetuk

pintu rumahnya, menghormati putra dan semua orang yang ada hubungan

dengannya, baik famili maupun temannya, dan tidak duduk terlalu dekat

dengan pendidik sewaktu belajar, kecuali terpaksa. Pada prinsipnya,

peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik rela,

menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan

dengan agama Allah.170

4. Etika Peserta Didik terhadap Teman

Masalah akhlak peserta didik kepada temannya tidak luput dari

perhatian al-Zarnuji. Dalam hal ini nampaknya al-Zarnuji sangat

menyadari adanya pengaruh teman serta lingkungan pada umumnya.

Sebagaimana diuangkapkan pada permulaan bab IV ini, bahwa bukan saja

169 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 31. 170 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 35.

Page 136: Seminar Pendidikan

136

orang tua, guru atau tabiat, seorang akan berubah. Akan tetapi adanya

teman juga lingkungan sangatlah mempengaruhi perubahan sikap serta

kebiasaan yang akan dilakukan oleh seorang peserta didik. Oleh sebab itu,

al-Zarnuji menyatakan dan menyarankan kepada peserta didik untuk

selektif memilih teman sebagaimana ketika dia memilih seorang pendidik.

Dituliskan sebuah syair berbahasa persi sebagai berikut:

"Teman yang durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa Demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke Neraka Jahim teman baik membawamu ke Surga Na’im."171

Oleh sebab itu, al-Zarnuji menganjurkan kepada peserta didik

untuk memilih teman yang tekun, wara’, bertabiat lurus serta tanggap.

Menghindari berteman dengan seseorang yang malas, pengangguran,

pembual, suka berbuat onar, dan suka memfitnah, karena tidak

menggambarkan seorang teman yang memiliki sikap saling mengasihi dan

menyayangi. Selain itu teman yang memiliki sifat-sifat di atas hanya

membawa pada permusuhan dan perselisihan yang tidak akan memberi

manfaat terhadap peserta didik dan menuruti hal-hal tersebut hanya

membuang waktu.172

5. Etika Peserta Didik Terhadap Kitab

Adalah termasuk menghormati pendidik, menghormati ilmu yang

diajarkannya. Adapun cara menghormati ilmu antara lain dengan

171 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 30. 172 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 97.

Page 137: Seminar Pendidikan

137

menghargai nilai buku, memperhatikan segala ilmu dan hikmah serta

mencatatnya dengan baik dan rapi. Oleh karena itu, peserta didik

hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci.

Dikisahkan dari al-khulwani, ia berkata: ”Sesungguhnya aku dapat memperoleh ilmu hanya dengan mengagungkannya, aku tidak meraih kertas belajarku kecuali dalam keadaaan suci”.

Ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin

bersinarlah cahaya ilmu itu dengan wudlu. Demikian pula, sebaiknya

peserta didik tidak membentangkan kakinya ke arah kitab, kecuali bila hal

itu tidak bermaksud meremehkan.173

6. Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya

Selain membicarakan tentang etika peserta didik terhadap Tuhan,

orang tua, pendidik, teman serta kitab. Al-Zarnuji juga menuliskan dalam

kitabnya beberapa sifat yang harus dimiliki oleh peserta didik sebagai

wujud dari etika terhadap dirinya sendiri.

Adapun beberapa sifat yang dianjurkan al-Zarnuji tersebut, adalah

sebagai berikut:

a. Sifat Tawadlu. Menurut al-Zarnuji para pencari ilmu dianjurkan untuk

memiliki sifat tawadlu dan tidak tamak terhadap harta benda, dalam

arti lebih memiliki perhatian terhadap urusan akhirat daripada urusan

duniawi. Dalam kitabnya al-Zarnuji mengungkapkan:

174

173 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 37. 174 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 12.

Page 138: Seminar Pendidikan

138

“Tawadlu adalah salah satu tanda orang yang bertaqwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertaqwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka.”

b. Anjuran untuk senantiasa tawakkal, pada pembahasan tawakkal ini,

al-Zarnuji menuliskan dalam kitabnya satu fasl khusus yang membahas

tentang pembahasan ini. Pada sub item etika peserta didik terhadap

Tuhannya telah disebutkan, bahwa penanaman sifat tawakkal sangat

dianjurkan oleh al-Zarnuji. Selain sebagai wujud ketaqwaan kepada

Allah, sifat tawakkal juga merupakan salah satu sifat yang harus

ditanamkan pada jiwa peserta didik. Di samping tidak boleh patah

semangat, ketika para peserta didik menghadapi masalah, peserta didik

juga dianjurkan untuk bertawakkal, yaitu menyerahkan segala

keputusan akhir kepada Allah, setelah usaha yang dilakukan dianggap

sempurna.175

176

“Adalah keharusan bagi seorang peserta didik untuk bertawakkal (berserah diri kepada Allah) di dalam menuntut ilmu. Tidak perlu merasa susah karena masalah rezeki dan hatinya jangan selalu disibukkan dengan urusan rezeki. ”

c. Memiliki sifat berani, selain sabar dan tekun, al-Zarnuji

menganjurkan pula kepada seluruh peserta didik untuk memiliki sifat

berani, dalam arti keberanian juga kesabaran dalam menghadapi.

175 Ma’ruf Asrori, op. cit., hlm. 86. 176 Al-Zarnuji, op. cit,. hlm. 34

Page 139: Seminar Pendidikan

139

Keberanian menghadapi kesulitan dan penderitaan. Dalam kitabnya al-

Zarnuji mengungkapkan:

177

“Keberanian adalah kesabaran mengahadapi kesulitan dan penderitaan.”

d. Selalu berprasangka baik, dalam kitabnya al-Zarnuji menganjurkan

peserta didik untuk selalu berprasangka baik dan melarang untuk

berprasangka buruk baik pada diri sendiri terlebih pada sesama

muslim.

178

“Janganlah berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal tersebut tidak boleh.”

e. Bersikap wara’, wujud dari sikap wara’ tersebut dengan menghindari

makan banyak, terutama makanan pasar, sehingga menyebabkan

banyak dahak dan lender sehingga menyebabkan kemalasan,

menghindari orang yang banyak bicara, dan menjauhi hal-hal duniawi

yang menjauhkan diri pada Allah. Al-Zarnuji menambahkan bahwa

dengan menanamkan rasa wara’, maka ilmu yang diperoleh akan

bermanfaat dan belajar akan lebih mudah serta akan mendapatkan

banyak faedah.

179

“Maka menuntut ilmu yang disertai wara’, ilmunya akan berguna, belajarnya menjadi mudah dan mendapatkan pengetahuan yang banyak ”

177 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 14. 178 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 37. 179 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 39.

Page 140: Seminar Pendidikan

140

f. Menghindari perselisihan dan menanamkan rasa saling

menyayangi, seorang peserta didik seharusnya memiliki sikap saling

menyayangi dan kasih sayang antar sesama, selalu menghindari adanya

perselisihan. Al-Zarnuji mengatakan bahwa perselisihan hanya akan

menyebabkan permusuhan dan hal tersebut hanya akan menyia-

nyiakan waktu. Al-Zarnuji menuliskan dalam kitabnya:

180

“Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasehati tanpa iri atau dengki, karena sesungguhnya dengki akan membawa pada kemudharatan yang tidak mendatangkan manfaat.”

7. Etika Peserta Didik ketika Belajar

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum al-Zarnuji

menganjurkan banyak hal tentang etika peserta didik ketika belajar. Ada

beberapa etika peserta didik dalam belajar, diantaranya:

a. Menganjurkan peserta didik untuk selalu belajar. Dalam kitabnya

al-Zarnuji mengutip syair dari Muhammad al-Hasan bin Abdullah yang

menganjurkan keharusan peserta didik untuk terus belajar, karena

menurut beliau ilmu adalah pengias bagi pemiliknya. Syair tersebut

sebagaimana berikut:

181

180 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 36. 181 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 6.

Page 141: Seminar Pendidikan

141

“Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna. Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan taqwa. Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan. Oleh karena itu, orang yang ahli agama dan bersifat wara’ lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli tapi bodoh.”

Dalam bait-bait tersebut tidak hanya menganjurkan untuk belajar,

akan tetapi juga menganjurkan untuk banyak mempelajari ilmu agama.

b. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Dalam kitabnya,

al-Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik tidak hanya

mempelajari akhlak terpuji, tapi juga akhlak tercela. Lebih lanjut al-

Zarnuji mengatakan:

182

“Orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain. ”

c. Larangan mempelajari ilmu perdukunan. Selain menganjurkan

untuk mengetahui beberapa akhlak yang terpuji dan tercela. Al-Zarnuji

juga melarang peserta didik untuk mempelajari ilmu perdukunan.

Dalam kitabnya al-Zarnuji membahasakan ilmu nujum (meramalkan

sesuatu berdasarkan perbintangan atau astrologi). Menurut al-Zarnuji

hal tersebut tidak mendatangkan manfaat, dan dengan mempelajari ilmu

tersebut menunjukkan bahwa seseorang tersebut telah lari dari

182 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 8.

Page 142: Seminar Pendidikan

142

ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah. Dalam kitabnya al-Zarnuji

mengatakan:

183

“Adapun ilmu nujum hukumnya haram, sebab ilmu tersebut berbahaya dan tidak mendatangkan manfaat. Lari dari ketentuan dan takdir Allah jelas tidak mungkin”

d. Kewajiban untuk berniat yang baik. Dalam kitabnya al-Zarnuji

mengkhususkan fasl tentang niat. Menurut beliau, peserta didik harus

menata niat pada masa-masa belajar, karena niat merupakan sesuatu

yang sangat fundamental dan signifikan. Dalam kitabnya al-Zarnuji

mengatakan:

184

“Kemudian seyogyanya bagi peserta didik untuk berniat pada masa-masa menuntut ilmu. Karena niat merupakan pokok dalam segala hal.”

Pernyataan al-Zarnuji tersebut berdasarkan pada hadist Nabi

Muhammad saw.,”Sesungguhnya syahnya amal itu tergantung pada

niatnya.” Lebih lanjut al-Zarnuji menegaskan bahwa: (1) Niat harus

ikhlas untuk mengharap ridho Allah, (2) Niat itu dimaksudkan untuk

mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan, (3) Niat untuk upaya

mendapatkan kedudukan dimasyarakat diperbolehkan dengan catatan

harus dimanfaatkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

e. Memilih ilmu yang baik. Disamping melarang untuk mempelajari

ilmu perdukunan, al-Zarnuji juga menganjurkan peserta didik untuk

183 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 8. 184 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 10.

Page 143: Seminar Pendidikan

143

mempelajari ilmu yang baik untuk kehidupannya, terutama dalam

kehidupan agamanya. Terlebih lagi ilmu tentang ketuhanan dan

akhlakul karimah.

185

“Bagi setiap pelajar hendaknya memilih ilmu yang terbaik baginya dan ilmu yang dibutuhkannya dalam urusan agama pada masa sekarang.”

f. Sungguh-sungguh dalam belajar. Al-Zarnuji mengkhususkan fasl

tersendiri untuk sub item ini, dalam fasl tentang kesungguhan (al-

jiddu), ketekunan (al-Muwadzabah), dan cita-cita (al-Himmah) al-

Zarnuji mengatakan:

186

“Dan peserta didik harus bersungguh-sungguh dalam belajar harus tekun dalam menunutut ilmu, dan hal tersebut telah di firmankan oleh Allah. Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya, dan barang siapa saja yang mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk”.

g. Memiliki cita-cita yang luhur. Selain menganjurkan untuk sungguh-

sugguh dalam belajar, al-Zarnuji juga menganjurkan peserta didik untuk

memiliki cita-cita yang luhur. Dalam kitabnya dia mengatakan:

187

“Seharusnya bagi peserta didik memiliki cita-cita yang luhur.”

h. Memulai pelajaran pada hari rabu. Al-Zarnuji menganjurkan

peserta didik untuk memulai belajar pada hari rabu. Al-Zarnuji

185 Al-Zarnuji, op. cit.,hlm. 13. 186 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 20. 187 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 23.

Page 144: Seminar Pendidikan

144

berlandaskan sebuah hadits sebagai pijakan pendapatnya. Rasulullah

saw., bersabda:

“Tidak ada sesuatu yang dimula pada hari rabu kecuali akan berakhir sempurna.”188

i. Memulai belajar dengan sesuatu yang mudah dipahami.

Selanjutnya al-Zarnuji pada fasl ketujuh dalam kitabnya menganjurkan

kepada peserta didik untuk memulai pelajaran dengan sesuatu yang

mudah dipahami. Karena dengan memulai dengan pelajaran yang

mudah dipahami maka tidak akan timbul kebosanan ketika

mempelajarinya. Dalam kitabnya al-Zarnuji mensuliskan:

189

“Dan sebaiknya bagi peserta didik memulai pelajaran dengan sesuatu yang mudah dipahami.”

j. Berfikir sebelum berbicara. Al-Zarnuji menganjurkan peserta didik

untuk berfikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Karena perkataan

bagaikan anak panah sehingga harus dipikirkan terlebih dahulu agar

tepat pada sasaran. Al-Zarnuji mencantumkan salah satu syair yang

artinya:

“Bila kamu mau mendengar dan mengikuti orang yang memberi nasehat, maka kusarankan lima hal dalam menyusun ucapan: yaitu jangan kau lupakan sebab suatu ucapan, kapan mengucapkannya, dan dimana mengucapkannya.” 190

k. Membiasakan untuk bermusyawarah. Al-Zarnuji menganjurkan bagi

peserta didik untuk selalu bermusyawarah dalam belajar, karena

188 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 28. 189 Ibid. 190 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 30.

Page 145: Seminar Pendidikan

145

menurut al-Zarnuji mencari ilmu merupakan hal yang luhur dan perkara

yang sulit. Oleh sebab itu adanya musyawarah akan mempermudah

dalam memahami suatu ilmu. Dalam kitabnya al-Zarnuji menulisnya:

191

“Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarah dengan mereka yang lebih mengetahui itu merupakan suatu keharusan.”

l. Sabar, tekun dan tabah. Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar

memiliki kesabaran atau ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Al-

Zarnuji menegaskan dalam kitabnya:

192

“Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan adalah pokok dari segala urusan.”

m. Selalu mengambil pelajaran (istifadah). Dalam kitab al-Muta’allim

Tariq al-Ta’allum al-Zarnuji menegaskan kepada peserta didik untuk

selalu mengambil pelajaran (istifadah) dimanapun, kapanpun dan

kepada siapapun. Selama ilmu tersebut tidak menjauhkan pada Allah

dan bermanfaat bagi kehidupannya. Al-Zarnuji dalam kitabnya

menuliskan:

193

“Seharusnya bagi seorang peserta didik untuk selalu mengambil pelajaran (Istifadah) disetiap saat sehingga memperoleh kemuliaan”

n. Mencermati keterangan guru. Dalam upaya meningkatkan

pemahaman pada peserta didik dan mengurangi adanya ketidak

191 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 14. 192 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 14. 193 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 38.

Page 146: Seminar Pendidikan

146

pahaman atau bahkan kesalahan dalam memahami sebuah ilmu, maka

al-Zarnuji menganjurkan pada peserta didik untuk mencermati

keterangan dari guru. Dalam kitabnya al-Zarnuji mengatakan:

194

“Seyogyanya bagi peserta didik untuk sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya.”

o. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa. Usaha saja tidaklah cukup

bagi seorang peserta didik tanpa disertai dengan doa. Demikian pula

doa tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Anjuran berdoa ini

untuk mengimbangi adanya usaha yang telah dilakukan oleh seorang

peserta didik dan merupakan wujud tawakkal kepada Allah. Al-Zarnuji

menyatakan dalam kitabnya:

195

“Seharusnyalah bagi seorang peserta didik untuk berusaha memahami pelajarannya sambil berdo’a kepada Allah”

p. Anjuran untuk berdiskusi. Diskusi atau belajar bersama adalah

sesuatu yang signifikan bagi seorang peserta didik dalam memahami

materi-materi pelajaran yang diberikan oleh seorang pendidik. Oleh

sebab itu, al-Zarnuji dalam kitabnya menyatakan:

196

“Merupakan keharusan bagi peserta didik untuk saling mengingatkan pelajaran, berdiskusi dan memecahkan masalah bersama. Hal tersebut hendaknya dilakukan dengan tenang dan penuh penghayatan, serta menghindari keonaran.”

194 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 29. 195 Ibid. 196 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 30.

Page 147: Seminar Pendidikan

147

q. Anjuran untuk senantiasa bersyukur. Al-Zarnuji memberi nasihat

agar para peserta didik senantiasa bersyukur ,

akan tetapi bersyukur yang harus

dilakukan oleh peserta didik meliputi syukur atas kesehatan badan serta

kecerdasan yang telah dikaruniakan oleh Allah terhadap dirinya.

197

“Seharusnya bagi para pelajar untuk selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hal, tindakan nyata, maupun harta.”

r. Memperbanyak sholat. Seorang peserta didik yang sedang mencari

ilmu disarankan untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah, salah

satunya dengan sholat. Oleh sebab itu, mendekatkan diri kepada Allah

menjadi hal yang wajib untuk dilakukan oleh peserta didik. Dalam

kitabnya al-Zarnuji menuliskan:

198

“Seharusnya bagi penuntut ilmu untuk memperbanyak sholat, dan hendaknya melaksanakan sholat dengan cara yang khusyu’ karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar.”

Sholat disini tidak hanya sholat fardlu akan tetapi al-Zarnuji

menganjurkan pula pada para peserta didik untuk selalu bangun

dimalam hari dan melaksanakan sholat. Al-Zarnuji mengungkapkan

dalam kitabnya:

199

“Keharusan bagi peserta didik untuk selalu bangun malam”.

197 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 32. 198 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 40. 199 Al-Zarnuji, op. cit., hlm. 21.

Page 148: Seminar Pendidikan

148

C. R

elevansi Konsep Etika Peserta Didik Perspektif Syekh al-Zarnuji dengan

Konteks Pendidikan Masa Kini

Berangkat dari pemikiran Konsep Al-Zarnuji tentang etika peserta

didik yang telah dipaparkan pada sub item sebelumnya. Peneliti akan

mencoba menganalisis relevansi konsep etika peserta didik yang ditawarkan

al-Zarnuji terhadap pendidikan kontemporer sekarang ini.

Dari beberapa aspek diatas, meliputi etika peserta didik terhadap Tuhan,

orang tua, guru, kitab, teman, diri sendiri dan etika dalam belajar, terdapat

beberapa konsep al-Zarnuji yang masih relevan dengan pendidikan kekinian,

dan terdapat pula beberapa yang tidak lagi relevan serta membutuhkan

inovasi.

Untuk lebih memperjelas relevansi etika peserta didik yang telah

ditawarkan oleh al-Zarnuji dengan pendidikan masa kini, maka pada alinea-

alinea berikut ini akan peneliti paparkan satu-persatu.

1. Etika Peserta Didik terhadap Tuhan. Dalam etika peserta didik yang terdiri

dari tiga hal diatas, yang meliputi mengharap Ridha-Nya, Bertawakkal,

dan Wara’ masih relevan dengan kehidupan pendidikan saat ini. Karena

bagaimanapun, tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah semata-mata

membentuk insan sempurna yang memiliki jiwa ketaqwaan yang tinggi

terhadap Allah, dan menyadari akan tugasnya sebagai ’Ibad dan khalifah-

Nya. Berangkat dari kenyataan yang demikian maka adanya konsep etika

Page 149: Seminar Pendidikan

149

peserta didik terhadap Tuhannya yang ditawarkan oleh al-Zarnuji masih

sangat relevan untuk diterapkan pada dunia Pendidikan Islam saat ini.

2. Etika Peserta Didik Terhadap Orang Tua. Pada sub item pembahasan

sebelumnya, telah dituliskan bahwa etika peserta didik terhadap orang

tuanya tidak dipaparkan secara khusus oleh al-Zarnuji dalam kitabnya,

tidak seperti etika peserta didik terhadap gurunya yang dituliskan dalam

dua fasl di Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum. Akan tetapi al-

Zarnuji mengungkapkan bahwa peran orang tua tidak berbeda dengan

peran guru dalam mencetak moral peserta didik. Oleh sebab itu,

penghormatan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap gurunya

menjadi wajib untuk dilakukan terhadap orang tuanya. Lebih lanjut al-

Zarnuji mengungkapkan bahwa memanggil orang tua dengan sebutan

namanya dan berjalan di depannya merupakan salah satu penyebab faqir.

Meskipun terkesan teknik strategi akan tetapi hal tersebut tetap relevan

dengan pendidikan kekinian. Karena jika seorang peserta didik

melakukan kedua hal tersebut akan tetap dinilai buruk oleh masyarakat,

terlebih masyarakat muslim. Dengan kenyataan tersebut, maka konsep

peserta didik terhadap orang tuanya masih dapat dilakukan dalam dunia

pendidikan kita saat ini.

3. Etika Peserta Didik Terhadap Gurunya. Pada pembahasan ini, al-Zarnuji

sangat banyak mengungkapkan dalam kitabnya. Salah satu bagian dari

petuah-petuah kitab ini yang paling berpengaruh dan berkaitan dengan

Page 150: Seminar Pendidikan

150

etika peserta didik untuk menghormati gurunya, adalah ungkapan

Sayidina Ali,

“ana ‘abdu man ‘allamani harfan wahidan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa wa in sya’a istaqarra” (Saya adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepada saya, apabila ia mau maka dia berhak menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku).

Al-Zarnuji juga menuturkan beberapa cara menghormati guru,

antara lain peserta didik tidak diperkenankan berjalan di hadapan guru,

tidak diperkenankan duduk di tempat duduknya, tidak boleh mendahului

berbicara tanpa izinnya. Tidak boleh banyak berbicara dengannya, tidak

boleh menanyakan hal-hal yang gurunya sudah jenuh, tidak boleh

mengetuk pintunya tetapi mesti menunggu sampai keluar sendiri

sebagaimana yang telah dituliskan sebelumnya. Hasil akhir adalah peserta

didik harus selalu mencari kerelaan gurunya (tidak menyakiti hatinya)

dan mematuhi segala perintahnya, sepanjang hal itu tidak termasuk

maksiat.

Keterangan ini, sepertinya menimbulkan persepsi penyerahan total

seorang peserta didik kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya

bayang-bayang, ilmunya tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda

pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau pernah menyakiti hatinya.

Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tidak menutup

kemungkinan dapat menimbulkan dampak yang kurang diinginkan.

Sebab, peserta didik akan terkesan pasif dan harus bersikap menerima

tanpa berani bersikap kritis. Maka pada item ini konsep al-Zarnuji dirasa

kurang relevan jika diterapkan dalam pendidikan masa kini, yang mana

Page 151: Seminar Pendidikan

151

tuntutan masyarakat pada pendidikan adalah keharusan untuk melahirkan

peserta didik yang kritis dan aktif dalam menyikapi gejala-gejala yang

terjadi di masyarakat sekitar. Hal ini menjadi sulit terwujud jika

pembelajaran hanya berpusat pada guru, dan peserta didik hanya menjadi

pendengar tanpa bisa menyalurkan pendapatnya dan menerima segala

keputusan guru yang mungkin tidak selamanya benar.

4. Etika Peserta Didik Terhadap Teman. Sebagaimana yang telah dituliskan

pada awal bab IV, bahwa bukan hanya orang tua dan guru yang dapat

mempengaruhi kepribadian peserta didik, akan tetapi lingkungan dan

teman juga memiliki kompetensi untuk merubah kepribadian dan watak

seorang peserta didik. Berangkat dari kenyataan ini, al-Zarnuji

menganjurkan kepada peserta didik untuk hati-hati dalam memilih teman,

ditegaskan dengan salah satu syair yang diungkap oleh al-Zarnuji dalam

kitabnya dengan menggunakan bahasa persi yang artinya:

“Teman yang durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa Demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke Neraka Jahim teman baik membawamu ke Surga Na’im.”

Dari sini, dapat dilihat bahwa konsep al-Zarnuji tentang memilih

teman dan bersikap kasih sayang serta menghindari adanya perselisihan

masih sangat relevan dan bisa tetap digunakan. Agar tidak lagi terjadi hal-

hal buruk yang mencoreng nama baik peserta didik dan instansi sekolah,

semisal perkelahian antar sekolah atau keoanaran-keonaran yang sering

sekali terjadi hanya karena hal kecil dan bersifat pribadi.

Page 152: Seminar Pendidikan

152

5. Etika Peserta Didik Terhadap Kitab. Pada item ini, al-Zarnuji

mengungkapkan dalam kitabnya bahwa salah satu cara menghormati guru

adalah menghormati kitab, yaitu dengan tidak mengambilnya kecuali

dalam keadaan suci. Jika melihat pendidikan Islam masa kini, konsep

tersebut masih sangat relevan terutama dikalangan pesantren. Karena

hampir diseluruh pesantren, terlebih pesantren salaf masih sangat

memperhatikan keharusan memiliki wudhu dalam setiap proses belajar

pembelajaran yang dilakukan.

6. Etika Peserta Didik Terhadap Dirinya. Dalam paparan sebelumnya

dikemukakan bahwa ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang

peserta didik. Adapun sifat-sifat yang menjadi wujud etika peserta didik

terhadap dirinya adalah: tawadlu, tawakkal, memiliki sifat berani (berani

menghadapi tantangan dalam mencari ilmu), tidak berprasangka buruk,

wara’, menghindari perselisihan, dan saling menyayangi. Dari semua

sifat-sifat tersebut masih sangat relevan dengan pendidikan masa kini.

Karena sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang patut untuk dimiliki

oleh peserta didik.

7. Etika Peserta Didik Ketika Belajar. Ada beberapa etika peserta didik

ketika belajar yang diungkapkan oleh al-Zarnuji. Adapun beberapa etika

tersebut adalah: selalu belajar, mempelajari akhlak terpuji dan tercela,

tidak mempelajari ilmu perdukungan, berniat baik, memilih ilmu yang

baik, sungguh-sungguh dalam belajar, memiliki cita-cita yang luhur,

memulai pelajaran pada hari rabu, memulai belajar dengan sesuatu yang

Page 153: Seminar Pendidikan

153

mudah dipahami, berfikir sebelum berbicara, membiasakan

bermusyawarah, selalu mengambil pelajaran, mencermati keterangan

guru, anjuran untuk selalu berdoa, berdiskusi, selalu bersyukur, tidak

mudah putus asa, dan memperbanyak sholat.

Dari semua etika tersebut masih dapat dikatakan relevan jika

diterapkan pada pendidikan saat ini. Karena sesungguhnya etika-etika

yang ditawarkan al-Zarnuji memiliki tujuan terciptanya peserta didik

yang benar-benar beretika, sebagaimana yang diinginkan oleh pendidikan

Islam sekarang ini.

Meskipun penyampaikan bahasa kitab al-Zarnuji sangat aplikatif

dan sarat dengan pelarangan adanya inovasi. Namun, sesugguhnya

terkantung bagaimana pendidikan saat ini menerapkan sesuai dengan

kemampuan instansi dan kebutuhan masyarakat sekitar.

Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya konsep-

konsep etika yang disampaikan oleh al-Zarnuji dalam kitabnya patut

untuk dijadikan bahan referensi bagi dunia pendidikan Islam saat ini. Hal

ini untuk menanggulangi adanya peserta didik yang hanya memiliki

kecerdasan intelegensia namun tidak memiliki etika dalam setiap

perbuatan yang dilakukan.

Dengan menerapkan konsep etika yang diungkapkan oleh al-

Zarnuji, sesungguhnya merupakan satu langkah untuk mewujudkan

internalisasi nilai-nilai akhlaqul karimah yang diajarkan dalam Islam,

yang nantinya akan dijadikan pedoman bagi kehidupan peserta didik

Page 154: Seminar Pendidikan

154

selanjutnya. Dengan ini maka tujuan dari pendidikan Islam dalam

penciptaan manusia yang memiliki ketaqwaan dan akhlakul karimah akan

terwujud. Selain itu, peserta didik akan mengerti manfaat perbuatan baik

yang dilakukan dan selalu merasa penting untuk melakukan hal tersebut

kembali.

Page 155: Seminar Pendidikan

155

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bagian akhir dari pembahasan skripsi ini, penulis mengambil sebuah

kongklusi yang diperoleh berdasarkan analisis yang disesuaikan dengan tujuan

pembahasan skripsi ini. Penulis juga memberikan saran-saran yang dirasa

relevan dan perlu, dengan harapan dapat menjadi sebuah kontribusi pikiran

yang berharga bagi dunia pendidikan.

Dalam kesimpulan ini peneliti akan menuliskan secara singkat jawaban

dari fokus penelitian pada penelitian ini, adapun kesimpulannya adalah:

1. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum sebetulnya al-Zarnuji

tidak saja secara intens membahas tentang etika peserta didik, dia juga

membahas tentang keutamaan ilmu dan kewajiban menunututnya. Dari 13

fasl (bab) dalam kitabnya dapat disimpulkan bahwa etika peserta didik

dalam perspektif al-Zarnuji meliputi tujuh hal. Diantaranya: Etika peserta

didik terhadap Tuhan, orang tua, guru, kitab, teman, diri sendiri, dan etika

dalam belajar.

2. Wujud relevansi dari beberapa konsep yang ditawarkan oleh al-Zarnuji

tentang etika peserta didik dengan kondisi pendidikan saat ini adalah tidak

sepenuhnya dapat digunakan. Ada beberapa konsep yang dirasa perlu

adanya inovasi, terlebih dalam hubungan guru-peserta didik yang terkesan

bersifat searah. Sehingga menciptakan pembelajaran berpusat pada guru

saja. Hal ini perlu adanya perubahan agar pendidikan Islam tidak hanya

Page 156: Seminar Pendidikan

156

melahirkan peserta didik yang memiliki kemampuan hafalan yang kuat

terhadap tema-tema pelajaran yang diterima, tetapi kekuatan berfikir kritis

juga dapat dimilikinya. Yaitu dengan membiarkannya berfikir bebas tetapi

tetap terarah oleh guru.

B. Saran-Saran

1. Bagi Pendidik

Dari kajian tentang pemikiran Burhanuddin al-Zarnuji tentang etika

peserta didik diharapkan menjadi wacana baru bagi peningkatan kualitas

pendidikan Islam di Indonesia, hal ini dapat terwujud dengan mensyaratkan

pembelajaran pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada dogma yang

sekedar berorientasi pada pengetahuan dan kepandaian dengan

menggunakan sistem hafalan, serta ranah kognitif yang dijadikan acuan dan

prioritas, akan tetapi bagaimana proses pembelajaran pendidikan Islam ini

dapat dikembangkan pada nalar pengetahuan yang dilengkapi dengan nalar

moral yang beretika sehingga pada akhirnya mampu menciptakan peserta

didik yang memiliki multiple intelegen.

Di samping itu diharapkan bagi para pendidik untuk tidak sekedar

mentransfer knowledge (pengetahuan), tapi juga transfer value (nilai), serta

uswah hasanah (teladan) bagi peserta didiknya, jika hal ini dapat

dilaksanakan maka hal ini bisa membantu terwujudnya tujuan pendidikan

yang sejak lama hanya tertulis di undang-undang dan buku-buku

pendidikan.

Page 157: Seminar Pendidikan

157

2. Bagi Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai fasilitas dimana terdapat

interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran,

maka dalam hal ini lembaga pendidikan dituntut untuk bersikap terbuka

terhadap lingkungan disekitarnya, baik dari perkembangan zaman maupun

dari tuntutan masyarakat, karena tidak dapat dipungkuri bahwa adanya

lembaga pendidikan sesungguhnya berfungsi sebagai lembaga investasi

manusiawi yang memberikan kontribusi bagi perkembangan dan kemajuan

masyarakat. Oleh sebab itu, lembaga pendidikan harus bekerjasama dengan

masyarakat, dengan harapan mampu mengakomudir berbagai kebutuhan

masyarakat serta tanggap terhadap perkembangan zaman

3. Bagi Masyarakat

Masyarakat diharapkan dapat berfungsi sebagai patner atau mitra

yang sama-sama peduli terhadap keberlangsungan pendidikan, karena

hubungan masyarakat dengan sekolah pada hakikatnya merupakan suatu

sarana yang sangat berperan dalam membina dan menumbuh kembangkan

pertumbuhan pribadi peserta didik di lembaga pendidikan.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bahwa hasil dari analisis tentang kajian etika peserta didik dalam

perspektif Burhanuddin al-Zarnuji yang peneliti ambil dari karya

monumentalnya berjudul Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum ini belum

sepenuhnya bisa dikatakan final dan sempurna, sebab tidak menutup

kemungkinan masih banyak kekurangan di dalamnya sebagai akibat dari

Page 158: Seminar Pendidikan

158

keterbatasan waktu, sumber rujukan, metode serta pengetahuan dan

ketajaman analisis yang dimiliki, oleh karena itu diharapkan terdapat

peneliti baru yang mengkaji ulang dari hasil penelitian ini secara lebih

komprehensif dan kritis.

Page 159: Seminar Pendidikan

159

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. Amin . 2002. Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan.

Abdullah, M.Yatimin. 2006. Pengantar Study Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Al-Abrasyi, Attiya. 1947. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam.terj. Bustami A. dkk.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2006. Semarang: Menara Kudus.

Al-Syaibani. Omar Muhammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah. terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Zarnuji, Burhanuddin. Ta’lim Muta’allim Tariq al-Ta’allum. Surabaya: dar al-ilm.

Amin, Ahmad. 1983. Etika (ilmu akhlak). terj. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang.

Arifin, M. 1987. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara.

Arifin, Istambul. 2003. Relevansi Sistem Pendidikan Tradisional di Era Kontemporer (Study Kritis Kitab Ta’lim Muta’allim Tariq al-Ta’allum). Skripsi Fakultas Tarbiyah UIN Malang.

Asrori. Ma’ruf. 1996. Etika Belajar Bagi Penuntut Ilmu (Terjemah Talim Muta’allim Taruq al-Ta’allum). Surabaya: al-Miftah.

Asy’ari, M. Hasyim. 2007. Etika Pendidikan Islam. terj. Mohammad Kholil. Yogjakarta: Penerbit Titian.

Buletin Istinbat. ”Al-Zarnuji: Loyalis Madzhab Hanafi”. 02 Mei 2004/Shafar 1425. http///www.Sidogiri.com. Diakses 19 Februari 2009.

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Daulay, Haidar Putra. 2006. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Fatimah, Muhammad Khair. 2002. Etika Muslim Sehari-hari. Jakarta: Pustaka al-Kausar.

Furqon, Arief. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.

Page 160: Seminar Pendidikan

160

Ghozali. 1994. Terjamah Kitab Ta’lim al-Muta’allim (Kiat Sukses Dalam

Menuntut ilmu). Jakarta: Rifa Grafika.

Hadi, Sutrisno. 1987. Metode Research I. Yogjakarta: Afsed.

Himsyah, Unun Zamriroh. A. 2006. Konsep Pendidikan Islam Dalam Perspektif Syekh al-Zarnuji (Study Kitab Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum). Skripsi fakultas Tarbiyah UIN Malang.

Huznithoyar. Etika Belajar Menurut al-Zarnuji. http.www.Blogspot.com. Diakses 12 Februari 2009.

Jiddan, Artikel Media Muslim. http.www.myqolbu.wordpress.com. Diakses tanggal 14 Januari 2009.

Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif.

________________. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi abad ke-21. Jakarta: Pustaka al-Husna.

________________. 1989. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Marimba. Ahmad. D. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif.

Muhajir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogjarakarta: Rake Surasin.

Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Moleong. Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: Rosdakarya.

Muhammad Mahmud al-Khazandar. Sifat Wara’. Terj. Team Indonesia, Eko Haryanto Abu Ziyad. http.www.Islamhouse.com. Diakses 14 Januari 2009.

Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

____________. 2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru dan Peserta Didik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

____________. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Page 161: Seminar Pendidikan

161

Nasir, Ridlwan. 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok

Pesantren di Tengah Arus Perubahan. Yogjakarta: Pustaka Belajar.

Nazir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia.

Nizar,Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pres.

Nuruliman, Aria. 2009. Pendidikan Indonesia. http.www.blogspot.com. Diakses 19 Februari 2009.

Poedjawijatna. 1986. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: PT. Bina Aksara.

Poerbakawatja, Soegarda. 1979. Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta:Gunung Agung.

Praja, M. Sastra. 1981. Kamus Istilah Pendidikan Umum. Surabaya. Usaha Nasional.

Risalah an-Natijah n0.18. Pengertian Tawakkal. http. www.g-excess.com. Diakses tanggal 14 Februari 2009.

Rapar, Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogjakarta: Kanisius, Pus Wilayah.

Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial, Asas Moral dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

________________. 2000. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka Cipta

Shiddiq, Aufa Noor. Pedoman Belajar Pelajar dan Santri (Tarjamah Ta’lim al- Muta’allim Tariq al-Ta’allum). Surabaya: Al-Hidayah.

Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogjakarta: Ar-Ruz.

Sumantri, Jujun S. 1998. Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Bersama dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu (Bandung: Nuansa bekerjasama dengan Pusjarlit Press.

Suprihatin. 2004. Pemikiran Pendidikan Syekh Burhanuddin al-Zarnuji (Study Tentang Kedudukan dan Hubungan Antara Guru dan Peserta Didik dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum). Skripsi Fakultas Tarbiyah UIN Malang.

Surachman Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode,dan Teknik. Bandung: Tarsita.

Page 162: Seminar Pendidikan

162

Soejono dan Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan

Penerapannya. Jakarta: Reneka Cipta.

Solihin, M dan Rosyid Anwar. 2005. Akhlak Tasawwuf (Manusia, Etika, dan Makna Hidup). Bandung: Penerbit Nuansa.

Tabi’in, Ahmad. 2008. Etika Peserta Didik Perspektif K.H. Hasyim Asy’ari (Tela’ah Kritis Kitab adab li A’lim wa al-Muta’allim). Skripsi Tarbiyah UIN Malang.

Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Rosdakarya Offset.

Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

Zuhairini. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 163: Seminar Pendidikan

163

DEPARTEMEN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG FAKULTAS TARBIYAH JL.Gajayana 50 Dinoyo Malang

BUKTI KONSULTASI

NAMA : Eka Fitriah Anggraini NIM/Jurusan : 05110166/Pendidikan Agama Islam Dosen Pembimbing : Drs. H. Bahruddin Fannani, MA. Judul Skripsi : Konsep Etika Peserta Didik Dalam Perspektif

Burhanuddin Al-Zarnuji

NO

Tanggal Materi Tanda Tangan

01

05 Februari 2009 Konsultasi BAB I 01.

02

16 Februari 2009 ACC BAB I Konsultasi BAB II,III

02.

03

19 Februari 2009 Pengajuan BAB II,III 03.

04

23 Februari 2009 Pengajuan Revisi BAB II, III.

04

05

26 Februari 2009 ACC BAB II,III 05.

06

2 Maret 2009 Pengajuan Keseluruhan Skripsi

06.

07

12 Maret 2009 Pengajuan revisi Keseluruhan Skripsi

07.

08

30 Maret 2009 ACC Keseluruhan 08.

Malang, 31 Maret 2009 Dekan Fakultas Tarbiyah

Prof. Dr. H.M. Djunaidi Ghony

NIP. 150 042031

BIODATA PENULIS

Page 164: Seminar Pendidikan

164

Nama : Eka Fitriah Anggraini

TTL : Bondowoso, 29 Mei 1987

Alamat Asal : Jln Raya Curahdami No.28 Gg. P.P

Nurul Ma’rifah Poncogati

Curahdami Bondowoso 68251

Alamat Di Malang : Mabna Khadijah al-Kubra Ma’had Jami’ah Sunan Ampel

al-Ali Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang

Fak/jur : Tarbiyah/ Pendidikan Agama Islam UIN Malang

Email : [email protected]

CP : 081233519009

Jenjang Pendidikan Formal

TK/RA : Tk Muslim Pancasila, Poncogati-Curahdami-Bondowoso (1991)

SD : SDN Curahdami 01 (1999)

MTs/SMP : MTs Nurul Jadid, Probolinggo, Jatim (2002)

MA/SMA : MAK. Nurul Jadid, Probolinggo, Jatim (2005)

S1 : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Pengalaman Organisasi

1. Anggota MPK Komisi C MTs Nurul Jadid, Probolinggo Jatim (2000)

2. Anggota MPO Pondok Pesantren Nurul Jadid (2001).

3. Wakil Sekretaris Organisasi Siswa Intra Sakan (OSAKA), MAK Nurul

Jadid, Probolinggo Ja-Tim (2002-2003)

4. Wakil Sekretaris OSIS MAK Nurul Jadid, Probolinggo Ja-Tim (2002-

2003)

5. Sekretaris Umum Organisasi Siswa Intra Sakan (OSAKA) MAK Nurul

Jadid Paiton-Probolinggo (2003-2004)

6. Anggota Majelis Tahkim OSAKA MAK Nurul Jadid, Ponpes Nurul Jadid,

Probolinggo Ja-Tim (2004-2005)

7. Sekretaris Generasi Muda PMII Rayon kawah “Condrodimuka”

Komisariat Tarbiyah UIN Malang (2005-2006)

8. Anggota FKM-PKPBA UIN Malang (2005-2006)

Page 165: Seminar Pendidikan

165

9. Keisyrofan Ma’had Jami’ah Sunan Ampel al-Ali UIN Maulana Malik

Ibrahin Malang (2006- Sekarang)

10. Co. Mabna Fatimah al-Zahra Ma’had Jami’ah Sunan Ampel al-Ali UIN

MMI Malang (2007-2008)

11. CO. Devisi MC dan Khitobah Jam’iyyah al-Dakwah Waa al-Fan al-Islami

(JDFI) Ma’had Jami’ah Sunan Ampel al-Ali (2006-2007)

12. Anggota Devisi Sarana Prasarana Jamiyyah Qurro’ wa Huffadz (JQH)

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (2007-2008)

13. Anggota Devisi Penalaran, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)

Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN MMI Malang (2006-

2008).

Page 166: Seminar Pendidikan

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.