7
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009 626 PENINGKATAN KECERNAAN PROTEIN DAN ENERGI BUNGKIL INTI SAWIT FERMENTASI PADA AYAM BROILER (Increased Protein and Energi Metabolism Digestibility by Fermented Palm Kernel Meal in Broiler) PHILIPUS SEMBIRING Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan ABSTRACT Palm Kernel Meals (PKM) is apotential raw material for animal feed. It has not been used optimaly yet due to its low protein and high fibres and lignin content. Other problem being used as feed for poultry is the shells. The fermentation with Phanerocheate crysosporium under solid substrate method could improve its nutrient value and reduce the fibre content. The metabolic energy was measured according to a modified method of SIBBALD and MORSE (1983a) using 30 broilers kept in a batteray pen of 20 x 45 x 45 cm 3 size. The digestibility of protein was analysed using an external indicator according to a method described by SKLAN and HUENWITZ (l980). Digesta was collected following a produce of ALI and LESON (l995) and calculated according to COEN at al. (l996) on 20 broilers consisting10 broilers each as a replication. The birds were fed on non-fermented PKM and fermented PKM. The data were analysed by T-student test. The study showed that the metabolic energy of non-fermented PKM was 2261 kcal/kg compared to 2516.24 kcal/kg of fermented PKM. The digestible protein of fermented PKM (80.86%) was higher than non-fermented PKM (46.53%). The fermentation of P. Crysosporium increased metabolic energy at 255 kcal/kg and digestible protein at 34.33%. Key Words: Palm Kernel Meal (PKM), Fermentation, Metabnolic Energy, Digestible Protein, Broiler ABSTRAK Bungkil Inti Sawit (BIS) merupakan bahan baku pakan ternak yang potensial tetapi belum dimanfaatkan secara optimal karena kandungan protein yang rendah dan seat kasar serta lignin yang tinggi. Kelemahan lain lain bila digunakan sebagai pakan unggas adalah cangkang yang keras. Proses ferentasi dengan Phanerochaefe crysosporium melalui substrat padat dapat meningkatkan nilai gizi bahan pakan serta menurunkan kandungan serat kasar. Energi metabolis diukur mengikuti metode modifikasi dari SIBBLAD dan MORSE (1983a) menggunakan 30 ekor ayam broiler pada kandang baterai ukuran 20 x 45 x 45 cm3. Kecernaan protein diukur menggunakan indikator eksternal yang mengacu kepada metode SKLAN dan HUENWITZ (l980). Digesta dikoleksi mengikuti metode ALI dan LESON (l995) dan dihitung memakai metode COEN et al. (l996) terhadap 20 ekor ayam broiler yang terdiri dari 10 ekor sebagai ulangan. Ayam diberi BIS yang tidak difermentasi dan difermentasi dengan P. Crysosporium. Data dianalisa menggunakan uji T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa energi metabolis BIS fermentasi sebesar 2261 kcal/kg dibanding 2516,24 kcal/kg BIS fermentasi. Kecernaan protein BIS fermentasi meningkat 80,86% dibanding tanpa fermentasi sebesar 46,53%. Fermentasi BIS dengan P. Crysosporium dapat meningkatkan energi metabolis sebesar 255 kcal/kg dan kecernaan protein sebesar 34,33%. Kata Kunci: Bungkil Inti Sawit (BIS), Fermentasi Energi, Metabolis, Kecernaan Protein, Broiler PENDAHULUAN Populasi ayam pedaging meningkat dari 621.870.000 ekor pada tahun 2001 menjadi 865.075.000 ekor pada tahun 2002 dan relatif stabil hingga tahun 2005 sebesar 864.246.000 ekor, sedangkan populasi unggas lainnya pada tahun yang sama seperti ayam buras 286.690.000 ekor, ayam petelur 98.491.000 ekor, dan itik 34.275.000 ekor (STATISTIK

sembiring.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    626

    PENINGKATAN KECERNAAN PROTEIN DAN ENERGI BUNGKIL INTI SAWIT FERMENTASI

    PADA AYAM BROILER

    (Increased Protein and Energi Metabolism Digestibility by Fermented Palm Kernel Meal in Broiler)

    PHILIPUS SEMBIRING

    Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

    ABSTRACT

    Palm Kernel Meals (PKM) is apotential raw material for animal feed. It has not been used optimaly yet due to its low protein and high fibres and lignin content. Other problem being used as feed for poultry is the shells. The fermentation with Phanerocheate crysosporium under solid substrate method could improve its nutrient value and reduce the fibre content. The metabolic energy was measured according to a modified method of SIBBALD and MORSE (1983a) using 30 broilers kept in a batteray pen of 20 x 45 x 45 cm3 size. The digestibility of protein was analysed using an external indicator according to a method described by SKLAN and HUENWITZ (l980). Digesta was collected following a produce of ALI and LESON (l995) and calculated according to COEN at al. (l996) on 20 broilers consisting10 broilers each as a replication. The birds were fed on non-fermented PKM and fermented PKM. The data were analysed by T-student test. The study showed that the metabolic energy of non-fermented PKM was 2261 kcal/kg compared to 2516.24 kcal/kg of fermented PKM. The digestible protein of fermented PKM (80.86%) was higher than non-fermented PKM (46.53%). The fermentation of P. Crysosporium increased metabolic energy at 255 kcal/kg and digestible protein at 34.33%.

    Key Words: Palm Kernel Meal (PKM), Fermentation, Metabnolic Energy, Digestible Protein, Broiler

    ABSTRAK

    Bungkil Inti Sawit (BIS) merupakan bahan baku pakan ternak yang potensial tetapi belum dimanfaatkan secara optimal karena kandungan protein yang rendah dan seat kasar serta lignin yang tinggi. Kelemahan lain lain bila digunakan sebagai pakan unggas adalah cangkang yang keras. Proses ferentasi dengan Phanerochaefe crysosporium melalui substrat padat dapat meningkatkan nilai gizi bahan pakan serta menurunkan kandungan serat kasar. Energi metabolis diukur mengikuti metode modifikasi dari SIBBLAD dan MORSE (1983a) menggunakan 30 ekor ayam broiler pada kandang baterai ukuran 20 x 45 x 45 cm3. Kecernaan protein diukur menggunakan indikator eksternal yang mengacu kepada metode SKLAN dan HUENWITZ (l980). Digesta dikoleksi mengikuti metode ALI dan LESON (l995) dan dihitung memakai metode COEN et al. (l996) terhadap 20 ekor ayam broiler yang terdiri dari 10 ekor sebagai ulangan. Ayam diberi BIS yang tidak difermentasi dan difermentasi dengan P. Crysosporium. Data dianalisa menggunakan uji T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa energi metabolis BIS fermentasi sebesar 2261 kcal/kg dibanding 2516,24 kcal/kg BIS fermentasi. Kecernaan protein BIS fermentasi meningkat 80,86% dibanding tanpa fermentasi sebesar 46,53%. Fermentasi BIS dengan P. Crysosporium dapat meningkatkan energi metabolis sebesar 255 kcal/kg dan kecernaan protein sebesar 34,33%.

    Kata Kunci: Bungkil Inti Sawit (BIS), Fermentasi Energi, Metabolis, Kecernaan Protein, Broiler

    PENDAHULUAN

    Populasi ayam pedaging meningkat dari 621.870.000 ekor pada tahun 2001 menjadi 865.075.000 ekor pada tahun 2002 dan relatif

    stabil hingga tahun 2005 sebesar 864.246.000 ekor, sedangkan populasi unggas lainnya pada tahun yang sama seperti ayam buras 286.690.000 ekor, ayam petelur 98.491.000 ekor, dan itik 34.275.000 ekor (STATISTIK

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    627

    PETERNAKAN INDONESIA, 2005). Kemajuan ternak unggas ini didukung oleh produknya yang disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena merupakan sumber gizi yang baik, rasanya enak dan harganya relatif murah. Di samping itu keberhasilan industri perunggasan ini selain ditopang oleh penguasaan manajemen beternak dan pengadaan bibit yang baik juga diimbangi dengan penyediaan ransum yang berkualitas. Sedemikian pentingnya peranan ransum pada peternakan unggas sehingga peran biaya tersebut mencapai 70 80% dari total biaya produksi.

    Pada industri perunggasan ayam ras, sering mengalami fluktuasi yang cukup tajam, karena sarana input utama masih tergantung kepada bahan impor, seperti tepung ikan (50%), jagung (50 60%) dan bungkil kedelai (100%) (KARTASUDJANA, 2002). Sebagai bahan impor harganya sangat bergantung pada kurs dollar yang fluktuatif. Oleh karena itu sewaktu krisis ekonomi pada medio Juli 1997 menimpa Indonesia, nilai valuta asing mencapai empat kali lipat hingga menyebabkan harga ransum melonjak . Kondisi ini menyebabkan hampir 80% peternakan ayam broiler menderita kerugian karena biaya pakan cukup tinggi dan sering tidak seimbang dengan harga jual hasil produksi.

    Ketergantungan sebagian besar kebutuhan bahan pakan yang masih didatangkan dari luar negeri menunjukkan bahwa Industri perunggasan Indonesia masih sangat labil. Impor jagung pada tahun 2003 mencapai 1,5 juta ton dan bungkil kedelai sekitar 1 juta ton (AFFANDI, 1996; FAO, 2003 yang disitasi SINURAT, 2003). Produksi pakan ternak di Indonesia pada tahun 2003 sebesar 6.200.000 ton, meningkat menjadi 7.221.000 ton pada tahun 2005. Angka ini menunjukkan bahwa produksi pakan ternak telah mulai bangkit kembali setelah krisis moneter tahun 1997 (STATISTIK PETERNAKAN, 2005).

    Untuk mengurangi biaya pakan perlu memanfaatkan pakan alternatif yang merupakan produk sumber daya alam Indonesia berupa limbah perkebunan dan hasil ikutannya dari pabrik minyak kelapa sawit yang tersedia relatif banyak sepanjang tahun seperti bungkil inti sawit (BIS). BIS sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal karena adanya kendala yang terkandung di

    dalamnya yakni serat kasar dan lignin yang tinggi sehingga sulit dicerna ternak terutama untuk ternak monogastrik.

    Potensi kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) cukup besar dan Indonesia menempati produksi pada urutan kedua di dunia setelah Malaysia. Menurut data pusat penelitian kelapa sawit di Medan pada tahun 2000 luas tanaman kelapa sawit di Indonesia sebesar 3.134.000 Ha dengan produksi tandan buah segar (TBS) 20,18 ton/hektar/tahun. Sebesar 5% dari tandan buah segar ini dihasilkan inti sawit, dari jumlah itu dihasilkan sebanyak 45 46% minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO) dan 45 46% dihasilkan Bungkil Inti Sawit (Palm Kernel Meal/PKM). Produksi Bungkil Inti Sawit tahun 2005 sebesar 2.516.944 ton (STATISTIK PERKEBUNAN INDONESIA, 2006). Bungkil Inti Sawit dapat digunakan sebagai bahan baku pakan. ternak alternatif yang cukup potensial. Hasil penelitian terdahulu di Malaysia telah digunakan hingga 30% untuk pakan ayam pedaging dan petelur untuk pemenuhan kebutuhan energi dan protein (ELISABETH, 2002), namun palatabilitas untuk unggas rendah karena mengandung serat kasar yang tinggi yakni antara 21,1 24% (DAVENDRA, 1977; LUBIS, 1980). Kandungan nutrisi BIS sangat bervariasi terutama kandungan serat kasarnya cukup tinggi dengan proteinnya rendah (SUPRIYATI et al., 1998; DAVENDRA, 1977). Variasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan umur tanaman, daerah asal, jenis kelapa sawit dan proses pengolahan (ARITONANG, 1986).

    Penelitian tentang upaya peningkatan nilai gizi bungkil inti sawit dengan memanfaatkan kapang P. chrysosporium dalam proses fermentasi diharapkan dapat memperbaiki kecernaannya dan menurunkan kandungan serat kasar serta memperbaiki ketersediaan energi sehingga pemanfaatannya dalam ransum ayam broiler pun dapat ditingkatkan dengan tidak mengganggu performannya.

    MATERI DAN METODE

    Percobaan penentuan energi metabolis dan kecernaan protein bungkil inti sawit yang tidak di fermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi yang terbaik dari hasil percobaan pertama

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    628

    yaitu dosis inokulum 5% dan waktu fermentasi 4 hari.

    Bahan utama yang digunakan dalam percobaan ini adalah bungkil inti sawit yang terdiri dari bungkil inti sawit tanpa fermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi hasil terbaik dari percobaan pertama. Ayam yang dipergunakan yaitu final stock ayam broiler CP 707 yang berumur 4 minggu sebanyak 30 ekor. Ayam ditempatkan secara acak pada kandang percobaan sesuai dengan perlakuan.

    Jumlah kandang batterey yang digunakan sebanyak 30 unit yang masing masing berukuran 20 x 45 x 45 cm3, tiap unit ditempati oleh satu ekor ayam. Setiap unit kandang percobaan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum, sedangkan lampu listrik digunakan hanya untuk penerangan.

    Sebelum penelitian dimulai, kandang dan semua peralatan yang akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan dan disucihamakan. Penyucihamaan kandang dilakukan satu minggu sebelum ayam dimasukkan.

    Penentuan energi metabolis

    Sebanyak 30 ekor ayam broiler dibagi kedalam dua perlakuan, yang masing-masing perlakuan terdiri atas 15 ekor ayam sebagai ulangan. Perlakuan yang dilaksanakan yaitu ayam broiler yang diberi bungkil inti sawit yang tidak difermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi. Metode yang digunakan untuk menentukan nilai energi metabolis adalah dengan menggunakan modifikasi metode SIBBALD dan MORSE (1983a).

    Nilai energi metabolis yang diukur adalah energi metabolis yang dikoreksi dengan nitrogen yang diretensi. Setelah semua data yang diperlukan diperoleh, perhitungan energi metabolis tepung bungkil inti sawit yang tidak difermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi kemudian dihitung menurut modifikasi metode SIBBALD dan MORSE (1983a) sebagai berikut:

    MEN(kcal/kg)=

    ( ) ( ) ( ) ( )[ ]A

    xNJAxNEBJxAEB exexpexexp 22,8100/100/ dimana: MEN = Energi Metabolis yang dikoreksi

    oleh N yang diretensi (kcal/kg)

    EBp = Energi bruto pakan (kcal/kg) EBex = Energi bruto ekskreta (kcal/kg) A = Banyaknya bahan yang dikonsumsi

    tiap ekor ayam broiler (g/hari) Jex = Jumlah ekskreta (g/hari) Np = N pakan (%) Nex = N ekskreta (%) 8,22 = Konstanta energi N yang diretensi

    (faktor konversi)

    Penentuan kecernaan protein

    Metode yang digunakan untuk menentukan kecernaan protein bungkil inti sawit tanpa fermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi adalah dengan menggunakan indikator. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator internal.

    Sebanyak 20 ekor ayam broiler dibagi ke dalam dua perlakuan, yang masing masing perlakuan terdiri atas 10 ekor ayam sebagai ulangan. Perlakuannnya adalah bungkil inti sawit tanpa fermentasi dan bungkil inti sawit fermentasi yang terpilih dari percobaan pertama.

    Bungkil inti sawit yang telah dianalisa kadar Nitrogennya terlebih dahulu ditimbang untuk diketahui beratnya. Kemudian bungkil inti sawit perlakuan dalam bentuk pasta dimasukkan secara force-feeding ke dalam oesophagus ayam broiler masing-masing sebanyak 70 gram, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Untuk mendapatkan ekskreta didasarkan pada metode SKLAN dan HUWITZ (1980) yaitu menggunakan teknik mematikan ayam percobaan. Untuk mengoleksi digesta yang diperoleh kurang lebih 10 cm dari ileo-caecal dengan tujuan untuk menghindari adanya kontaminasi dengan urine (ALI dan LEESON, 1995). Sampel feses kemudian dikeringkan, digiling dan seterusnya dianalisis kandungan protein, indikatornya dianalisis dengan analisis proksimat.

    Untuk menghitung kecernaan protein dengan menggunakan indikator dapat dilakukan dengan memakai metode COEN et al. (1996) sebagai berikut:

    Po/Io - P1/I1

    Po/Io Keterangan:

    DC protein = X 00%

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    629

    dimana: DC protein = kecernaan protein L0 = kandungan indikator lignin pakan yang

    diberikan I1 = kandungan indikator lignin dalam feses Po = kandungan protein dalam pakan yang

    diberikan P1 = kandungan protein dalam feses

    Analisa statistik

    Pengaruh perlakuan, diuji dengan menggunakan uji student-T (STEEL dan TORRIE, 1995).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Kandungan Energi Metabolis Bungkil Inti Sawit Fermentasi.

    Rataan kandungan energi metabolis bungkil inti sawit, bungkil inti sawit fermentasi disajikan pada Tabel 1.

    Tabel 1. Rataan kandungan energi metabolis bungkil inti sawit, bungkil inti sawit fermentasi

    Bungkil inti sawit

    Bungkil inti sawit fermentasi Ulangan

    kcal/kg 1 1632,40 1696,35 2 2265,67 2397,36 3 .1781,73 3569,05 4 3391,08 1872,42 5 1960,77 2767,12 6 1724,77 1841,71 7 2587,90 3483,86 8 2142,06 2195,25 9 2102,46 2407,28

    10 2320,93 2438,47 11 1568,88 3470,22 12 2591,75 1424,37 13 2370,40 3498,35 14 2797,33 3290,57 15 2376,79 1391,20

    Rataan 2260,99 2516,24

    Pada Tabel 1 terlihat bahwa kandungan bungkil inti sawit fermentasi (2516,24 kcal/kg) lebih tinggi dibandingkan dengan bungkil inti sawit tanpa fermentasi (2260.99 kcal/kg) atau terjadi peningkatan 12,23%. Namun setelah dilakukan Uji t menunjukkan bahwa antara bungkil inti sawit fermentasi dengan bungkil inti sawit tanpa fermentasi tidak berbeda nyata (P > 0,05). Perbaikan nilai energi metabolis akibat fermentasi oleh P. chrysosporium merupakan adanya perubahan komposisi zat makanan secara biologis yang berpengaruh terhadap kandungan energi metabolis,namun tidak berbeda secara statistik. Hal ini sejalan dengan pendapat SHURTLEFF dan AOYAGI (1979), yang menyatakan bahwa pada proses fermentasi akan terjadi perubahan molekul-molekul komplek atau senyawa organik seperti protein, karbohidrat dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna. P. chrysosporium menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi selulosa (komponen serat kasar) menjadi glukosa yang merupakan sumber energi bagi ayam broiler. Penurunan kandungan serat kasar akan berdampak terhadap nilai kecernaan, yang pada gilirannya akan memperbaiki nilai energi metabolis bahan pakan. Sejalan dengan pendapat TILLMAN et al. (1984) dan MCDONALD et al. (1995), yang menyatakan bahwa serat kasar adalah suatu zat makanan yang berpengaruh terhadap kecernaan, dan kecernaan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap energi metabolis bahan pakan.

    Kecernaan protein bungkil inti sawit fermentasi

    Untuk memperoleh gambaran tentang kecernaan protein bungkil Inti Sawit fermentasi disajikan pada Tabel 2.

    Pada Tabel 2 terlihat bahwa kecernaan protein bungkil inti sawit fermentasi (80,86%) lebih tinggi dibandingkan dengan bungkil inti sawit tanpa fermentasi (46,53%) atau dengan perkataan lain perlakuan fermentasi pada bungkil inti sawit menyebabkan peningkatan kecernaan protein sebesar 34,33%. Uji T menunjukan bahwa antara kecernaan protein bungkil inti sawit fermentasi dengan bungkil inti sawit tanpa fermentasi berbeda sangat nyata lebih tinggi (P < 0,05). Sejalan dengan

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    630

    pendapat RANJAHN (1985) pengolahan bahan pakan berpengaruh terhadap kecernaan zat-zat makanan. Pengolahan antara lain seperti penggilingan, pemanasan, pemasakan, pemberian alkali dan fermentasi. Akibat pengolahan bukan saja bentuk fisik bahan pakan yang berbeda namun berpengaruh terhadap kualitas seperti kecernaan bahan kering, energi, protein dan bahan organik lainnya. Demikian juga MONTONG et al. (1981), menyatakan bahwa kandungan serat kasar dalam bahan pakan berpengaruh terhadap kecernaan zat-zat makanan seperti protein dan bahan organik lainnya. Pakan yang berserat kasar tinggi, menghasilkan kecernaan yang rendah, hal ini disebabkan adanya ikatan lignoselulosa yang sulit dicerna (JANSEN dan CARRE, 1985). Terdegradasinya lignin, selulosa maupun hemiselulosa selama proses fermentasi berlangsung (telah dibahas pada penelitian tahap pertama) menyebabkan kecernaan BIS fermentasi semakin meningkat.

    Tabel 2. Rataan kecernaan protein Bungkil inti sawit (BIS) fermentasi

    Ulangan Bungkil inti sawit

    BIS fermentasi

    ------------------- % ---------------------

    1 43,03 63,98 2 55,75 77,32 3 73,58 88,54 4 44,23 85,38 5 47,13 84,86 6 36,89 82,10 7 39,25 81,81 8 41,46 84,36 9 41,35 84,62 10 42,61 75,58

    Rataan 46,53 80,86

    KESIMPULAN

    1. Energi metabolis bungkil inti sawit tanpa fermentasi sebesar 2261 kcal/kg, dibandingkan energi metabolis BIS fermentasi 2516.24 kcal/kg. Kecernaan protein BIS fermentasi 80,86% meningkat

    dibandingkan dengan BIS tanpa fermentasi 46,53%.

    2. Fermentasi Bungkil Inti Sawit dengan P. crysosporium meningkatkan energi metabolis sebesar 255 kcal/kg dan kecernaan protein sebesar 34,33%

    3. Penggunaan bungkil inti sawit fermentasi dalam ransum ayam broiler sampai tingkat 30% tidak menyebabkan efek negatif terhadap performans ayam broiler sampai pemeliharaan 5 minggu.

    4. Fermentasi Bungkil Inti Sawit dengan P. crysosporium yang dapat memperbaiki energi metabolis dan kecernaan protein diharapkan dapat meningkat penggu-naannya dalam ransum ayam broiler sehingga berperan dalam pengembangan broiler sebagai sumber protein hewani dalam mendukung ketahanan pangan yang berkelanjutan.

    5. Pemenfaatan Bungkil Inti Sawit yang merupakan hasil ikutan pabrik minyak inti sawit dan sumber daya bahan pakan local dapat menekan biaya ransum ayam broiler dan menekan import bahan pakan ternak serta dapat melestarikan lingkungan.

    DAFTAR PUSTAKA

    ALI, M.A. and LEESON, S. 1995. The nutritive value of some indigenous asian poultry feed ingredients. J. Anim. Feed Sci. Technology 55:227-237.

    ARITONANG, D. 1986. Pengaruh Penggunaan Bungkil Inti Sawit dalam Ransum Babi yang Sedang Tumbuh. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana Institute Pertanian Bogor.

    BIOLORAI, R.Z. HARDUF, B. LOSIF and E. ALUMOT, 1973. Apparent Amino Acid Absorption from Feather Meal by Broiler Chicks. J. Nutrition 49: 395 399.

    BOOMINATHAN K. dan C.A. REDDY. 1992. Fungal Degradation of Lignin: Biotechnological Applications. Handbooks of Mycology. Volume 4: Fungal Biotechnology. Edited by ARORA D.K., R.P. ELANDER and K.G. MUKERJI. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel Hongkong.

    BUCKLE, K.A., G.H. EDWARD, dan M. WOOTON, 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Pres, Jakarta.

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    631

    CHET, W. 2004. World Technical Support Team. Emerging Cobb Broiler Concepts

    COEN H.M. SMITS, CHANTAL, A.A. MAARSEN, JOHAN, M.V.M. MOUWEN and JOS F.J.G. KONINKX. 1996. The Antinutritive Effect of a Carbocymethylcellulose with High Viscosity in Broiler Chickens is not Assosiated With Mucosal Damage. In: Viscosity of Dietary Fibre in Relation to Lipid Digestibility in Broiler Chickens, Proefchrift. pp. 71 79.

    DAVENDRA, C. 1977. Utilation of Feeding Stufs from the Oil Palm, Malaysia Society of Animal Production Serdang, Malaysia.

    DHAWALE, S.S. dan KATRINA, K. 1993. Alternatif Methods for Production of Staining of Phanerochaete Crysosporium Bacydiospores. J. Applied. Environ. Microbiol. pp. 1675 1677.

    EATON, D., H.M. CHANG and T.K. KIRK. 1980. Fungal Decoloritation of Kraft Bleach Plants Effluents, TAPPI J. 63(10).

    ELIZABETH. 2002. Potensi Industri Kelapa Sawit dalam Mendukung Pengembangan Peternakan di Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Jl. Brigjend. Katamso No.51, Medan 20158.

    JANSSEN, VMMA dan B. CARRE. 1985. Influence of Fiber on Digestibility of Poultry Feeds. In: Recent Developments in Poultry Nutrition. COLE, D.J.A. and W. HERESIGN (Eds.). London Butterworths pp. 78 93.

    KETAREN, P.P., A.P. SINURAT, D. ZAINUDDIN, T. PURWADARIA dan I.P. KOMPIANG. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan ayam pedaging. JITV 4(2): 107 112.

    KARTASUDJANA, R. 2002. Manajemen Ternak Unggas (Buku Ajar). Dalam rangka kerjasama antara Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dengan DIKTI melalui Program Semi-Que IV Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.

    KIRK, T.K. 1973. Polysaccharide Integrity as Related to Degradation of Lignin in Wood by White Rot Fungi. Phytopathology 63: 1504 1507.

    KISMONO, S.S. 1986. Toleransi Ayam Broiler Terhadap Kandungan Serat Kasar, Serat Detergent Asam, Lignin dan Silika dalam Ransum yang Mengandung Tepung Daun Alang-alang. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

    LEISOLA, M.S.A and S. GARCIA. 1989. The Mechanism of Lignin Degradation. In: Enzym system for Lignocellulose Degradation. COUGHLAN, M.P. (Ed.). Elsevier Applied Sci., London.

    LUBIS, D.A. 1980. Ilmu Makanan Ternak, P.P. Pembangunan Jakarta.

    MC DONALD, P.R.A. EDWARDS, J.F.G. GREENHIGH and C.A. MORGAN. 1995. Animal Nutrition. The Fifth Ed. Longman Scientific and Technical Harlow, UK.

    MESSNER, K. JACKLIN FARCHER, S., ERTLER, G. BLAHA, A., 1988. Decolorization and Dechlorination of Bleach Plant Effluents by Phanerochaete chrysosporium Immobilized on Foam, dalam DECHEMA Biotechnology Conferences Vol. 2 : Bioreactor, Down stream Processing, Process and Reactor Modelling, Bio Process, Vctt Publishers.

    MONTONG, M., J. TALUMEWO, P.SITORUS dan ABDURRAYS, 1981. Pengaruh pemberian litter dan onggok pada sapi perah dara. Bull. Lembaga Penelitian Peternakan (29): 1 4.

    PURWATI, 1985. Pemanfaatan aktivitas jamur untuk penurunan warna air limbah industri pulp dan kertas. Berita Sellulosa XXI(1).

    RANJAHN, S.K. 1985. Source of feed for ruminant producton in South Asia. In: Forages in South Asia and South Pacific Agriculture. BALIR, G.J. D.A. IVORY and T.R. EVANS. Australian Centre for International Agriculture Reseach, Canberra.

    SCOTT, M.L., M.C. NEISHEIM, R.J. YOUNG. 1982. Nutrition of The Chicken. Third Ed., Published M.L. Scott and Associates, Ithaca New York

    SETIAWIHARJA, B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Manfaatnya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta.

    SHURTLEFF, W. Dan AOYAGI A., 1979. The Book of Tempeh. Profesional Edition. Harper and Row Publishing, New York Hagerstown, San Fransisco, London, A New Age Fodds Study Center Book

    SINURAT, A.P. 2003. Pemanfaatan Lumpur Sawit Fermentase Sebagai Bahan Pakan Unggas. Wartazoa Volume VI. Pusat Penelitian Peternakan.

    SIBBALD, I.R. and P.M MORSE, 1983. Effect of Nitrogen Correction and of Feed Intake on True Metabolizable Energy Value. Poult. Sci. 62: 138 142.

  • Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

    632

    SKLAN, D. and S. HURWITZ, 1980. Protein Digestion and Absorpation in Young Chick and Turkey. J. Nutrition. 110: 139 144.

    STATISTIK PETERNAKAN, 2005. Statistical on Livestock. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI.

    STEEL R.G.D. and J.H. TORRIE, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika (Suatu Pendekatan Biometrik). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 48 233.

    SUPRIYATI, T. PASARIBU, H. HAMID dan A.P. SINURAT. 1998. Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat pada dengan Menggunakan Aspergillus niger. JITV 3(3): 165 170.

    TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSO HADIPRODJO, S.PRAWIRO KUSUMO dan S. LEBDOSOEKOJO. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Pers, Yogyakarta.

    VALLI, K. BARRY. J. BROCK DINESH, K. JOSHI dan H. MITCHEL. 1992. Degradation of 2,4 Dinitrotoluene by the Lignin Degrading. Fungus Phanerochaete Crysosporium. J. Appl. Environ. Microbiol. pp. 221 228.

    WINARNO, F.G. 1980. Microbial Convertion of Lignocellulose into Feed Straw and Other Fibrous by Product as Feed. Elsevier, Amsterdam, Oxford, New York.

    YEONG, S.W., T.K. MUKHERJEE and R.I. HUTAGALUNG, 1981. The nutrition value of palm kernel cake as a feed stuff for poultry. Proc. of a Nutritional Workshop on Oil Palm by Product Utilisation. December 1981, Kuala Lumpur, Malaysia. pp. 100 107.

    ZABELL, R.A., MORREL J.J, 1992. Microbiology : Decay and its Prevention, Academic Press, Inc.