Upload
ahmad-rusydi
View
1.003
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Sekularisasi dan Implikasinya Terhadap Dunia
Pendidikan Indonesia
(Studi Kasus Fenomena Degradasi Prestasi
Moral Pelajar Indonesia)
Oleh:
Ahmad Rusydi, S.Psi, S.Sos.I. 1
Abstraksi
Pelajar Indoneisa telah mengalami
kemerosotan prestasi moral yang sangat
signifikan pada zaman modern saat ini.
Sekularisasi merupakan salah satu faktor
penyebab kemerosotan prestasi moral tersebut
karena sekularisasi telah merambah sistem
pendidikan bahkan sampai kepada paradigma
masyarakat Indonesia baik dari kalangan
pengelola institusi pendidikan, orang tua murid,
bahkan guru. Pendidikan berbasis moral (moral based education) merupakan solusi untuk
menanggulangi kerusakan moral tersebut, salah
satu pendidikan moral yang efektif,
komperhensif, dan sesuai dengan masyarakat
Indonesia adalah pendidikan berbasis akhlaq
Islam, karena Islam merupakan agama totaliter
mencakup segala aspek terlebih lagi aspek moral
karena sebagaimana turunnya ajaran Islam
untuk memperbaiki moral umat manusia.
Latar Belakang
Sejak dahulu Bangsa Indonesia dikenal
sebagai bangsa yang ramah, berbudaya,
memiliki moral dan akhlak yang begitu tinggi.
Kultur tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
prestrasi moral bangsa Indonesia dibanding
bangsa-bangsa lain, di mana bangsa lain
khususnya di Barat sudah disibukkan dengan
kultur Individualisme, sekularisme, dan
materialisme.
Namun saat ini keprihatinan melanda
bangsa Indonesia yang dulunya di kenal sebagai
bangsa bermoral namun lambat laun moral ini
sudah terkikis oleh zaman yang semakin
1 Penulis Adalah Sarjana (S1) Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Sarjana (S1) Sosial Islam
Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirosat Islamiyah Al-
Hikmah Jakarta, dan Mahasiswa Magister (S2)
Konsentrasi Psikologi Islam Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
‚berkembang2‛. Dapat dilihat dari fenomena
yang terjadi semakin tampak kerusakan-
kerusakan moral yang melebihi kerusakan moral
di dunia Barat, fenomena kerusakan malah
nampak di dunia modern saat ini, perilaku-
perilaku primitif seperti tawuran3, main hakim
sendiri dengan cara membakar, mudah sekali
membunuh, dan kerusakan-kerusakan moral lain
yang dapat kita saksikan di media yang selalu
menghiasi keseharian negeri ini.
Pendidikan merupakan benteng moral
suatu bangsa, apabila pendidikannya gagal maka
sudah dipastikan moral suatu bangsa akan
merosot dengan tajam dan apabila pendidikan
suatu bangsa berhasil maka sudah bisa
diperkirakan moral suatu bangsa akan membaik.
Pemuda atau pelajar adalah ujung tombak
sekaligus bibit-bibit pemimpin-pemimpin
bangsa yang sangat determinan menentukan
masa depan bangsa ini di masa depan, namun
ironisnya korban kerusakan moral kebanyakan
dari kalangan pelajar dan pemuda. Seks bebas4,
pemggunaan narkotik (drug abuse), perkelahian
dan tauran kebanyakan dilakukan oleh para
pelajar.
Agama merupakan suatu pondasi yang
sangat kuat untuk menjaga moral bangsa ini,
karena agama manapun selalu mengajarkan
norma-norma luhur dan moral yang tinggi,
2 ‚Berkembang‛ dalam artian hanya pada aspek
material, karena perkembangan zaman saat ini mengikuti
perkembangan zaman dunia Barat yang bersifat Sekuler
dan Liberal tanpa mengedepankan aspek-aspek
perkembangan spiritual-religi
3 Begitu banyak fakta mengenai tawuran pelajar,
sebagai contoh terbaru tawuran pada tanggal 5 Oktober
2010 di Sukabumi, lihat! -----------, ‚Polisi Bubarkan
Tawuran Remaja,‛ Kompas.com [5 Oktober 2010]
http://regional.kompas.com/read/2010/10/05/20440843/Po
lisi.Bubarkan.Tawuran.Pelajar),
4 Lembaga swadaya masyarakat Synovate
Research pernah melakukan survei pada September 2004
di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan, dengan
respondennya 450 orang remaja putra-putri berusia antara
15 sampai 24 tahun. Sebanyak 44% responden mengaku
punya pengalaman seks pada usia 16 sampai 18 tahun.
Bahkan ada 16% lainnya yang mengaku punya
pengalaman seks sejak usia 13 sampai 15 tahun 40%
responden mengaku melakukannya bersama pacar di
rumah, 26% di tempat kost, dan 26% lainnya di hotel,
data ini berasal dari Pengalaman Seks Belasan Tahun,‛
artikel diakses pada 12 Oktober 2009 dari
http://www.penapendidikan.com/pengalaman-seks-
belasan-tahun.html
sebuah penelitian yang dilakukan Koenig dan
koleganya menemukan bahwa orang yang sering
pergi ke tempat ibadah, sering berdoa, dan
sering membaca kitab suci secara signifikan
menampakkan rendahnya alkoholisme5. Spilka
merangkum beberapa hasil penelitian dan
menyimpulkan bahwa religiusitas sangat
mempengaruhi moral (personal morality).
Beberapa diantaranya dikatakan bahwa 63 %
protestan di Amerika yang tidak aktif beragama
mengalami hubungan sex sebelum nikah
(premarital intercourse)6. Penelitian McIntosh,
Fitch, Wilson, dan Nyberg menjelaskan bahwa
religiusitas berkorelasi negatif dengan
penyalahgunaan obat-obatan. Cahalan
menyebutkan hasil penelitiannya yaitu hanya
7% orang protestan konservatif yang meminum
alkohol7. Berkaitan dengan pembentukan moral
melalui agama, Weber mengatakan bahwasanya
pengaruh agama menentukan spirit pembentukan karakter agar tercermin dalam
kehidupan sehari-hari. Megawangi mengatakan
bahwa membangun moral sangat erat kaitannya
dengan masalah spiritualitas dan agama.
Menurut Megawangi manusia hanya ingin
tunduk kepada nilai-nilai moral tinggi, karena
manusia percaya bahwa ada tujuan hakiki yang
harus dicapai diluar kehidupan duniawi dan
materi8.
Suatu upaya sekularisasi merupakan arus
gelombong pemikiran yang dapat kita rasakan
menerpa negeri ini, sehingga dalam satu abad
sejak renaiscanse9 di eropa bangsa ini sudah
5 Harold G. Koenig, Is Religion Good for Your
Health; The Effect of Religion on Physical and Mental Health (New York: The Haworth Pastoral Press, 1997), 65
6 Bernard Spilka, The Psychology of Religion: an
Empirical Approach (New Jersey : Prentice-Hall., Inc,
Englewood Cliffs, 1985)
7 Bernard Spilka, The Psychology of Religion: an
Empirical Approach (New Jersey : Prentice-Hall., Inc,
Englewood Cliffs, 1985)
8 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter
(Indonesia Heritage Foundation, 2004)
9 Renaiscanse: adalah zaman pencerahan Eropa
setelah di dominasi oleh totalitas gereja, beberapa
literatur menjelaskan bahwa Renaiscanse adalah awal
mula sekularisme ilmu pengetahuan sebagai bentuk
kekecewaan terhadap gereja yang tidak pernah
menghargai suatu penemuan Ilmiah yang bertentangan
dengannya
merasakan dampaknya, arus tersebut menerpa
bangsa ini melalui berbagai segi kehidupan,
seperti media10
, politik, tokoh, diplomasi
pemerintahan, life style, ilmu pengetahuan, dan
pendidikan. Upaya pemisahan antara agama
dengan kehidupan menyeluruh nampaknya
bertujuan untuk merusak dan menghancurkan
bangsa ini dari dalam, khususnya para pelajar
dan pemuda yang mudah sekali mengikuti arus
gaya barat yang mereka ketahui dari berbagai
sumber yang diterima secara instan tanpa
mereka memikirkan dan memilah mana kultur
‚sampah‛ dan mana kultur yang konstruktif
untuk negeri ini.
Sebuah data hasil penelitian yang
dilakukan oleh Scheepers dan koleganya secara
jelas menampakkan adanya kemerosotan moral
pada negara-negara yang liberal-sekuler dan
tampak moral yang tinggi pada negara-negara
yang beragama kuat11
.
Sebuah kondisi yang cukup
menggembirakan saat ini ketika cukup banyak
sekolah-sekolah unggulan yang muncul menjadi
harapan masyarakat untuk menempatkan anak-
anak mereka dididik dengan baik. Terbukti dari
beberapa sekloah unggulan tersebut
menghasilkan prestasi akademis yang luar biasa,
namun yang menjadi permasalahan adalah
apakah sekolah-sekolah tersebut berhasil dalam
mendidik moral sebagaimana mereka berhasil
mendidik akademis siswa?, bahkan disekolah
unggulan yang berlabel Islam pun masih
ditemukan kegagalan pendidikan moral.
Mungkin pada tahun 90-an kita masih bisa
menikmati kondisi pelajar yang bersikap sopan
terhadap guru, penurut, dan perilaku-perilaku
lainnya layaknya seorang murid terhadap guru.
Namun pada saat ini banyak dijumpai di
sekolah-sekolah yang berlabel-kan Islam terjadi
perilaku-perilaku ketidaksopanan murid
10 Bahkan menurut Idi Subandy, ‚Kritik Etika
dan Estetika di Balik Tirani Televisi,‛ dalam Dakwah Kontemporer: Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi, ed. Yunan Yusuf Dkk (Bandung: Pusdai Press, 2000), 60
menjelaskan bahwa telah terjadi imperialisme media
(media imperialism) yang merupakan sasarn baru
imperialisme kebudayaan barat
(Westernisasi/Amerikanisasi) yang menggunakan
kekuatan media sebagai saluran hegemoni, dominasi, atau
kolonialisasi kesadaran terhadap negara-negara
berkembang.
11 Peer Scheepers dkk, ‚Education, Religiosity
and Moral Attitudes: Explaining Cross-National Effect
Differences‛ Sociology of Religian 63:2 (2002), 170
terhadap guru. Apakah ini dapat dikatakan
sebuah prestasi? Apakah lengkap sebuah
prestasi akademis tanpa dibarengi dengan
prestasi moral siswa?, bahklan penulis
berasumsi bahwa prestasi moral lebih penting
dari prestasi akademis.
Polemik akan muncul jika kita ingin
memikirkan mengapa moral pelajar bangsa
Indonesia memburuk?, apakah rusaknya moral
pelajar bangsa Indonesia merupakan kegagalan
pendidikan bangsa ini? Ataukah rusaknya moral
pelajar bangsa ini merupakan suatu upaya
interfensi eksternal untuk menghancurkan
pemuda Indonesia? Apakah kerusakan moral
tersebut dikarenakan upaya sekularisasi? Karena
itulah menarik bagi penulis untuk mengkaji hal
tersebut.
Sejarah Sekularisasi Sistem Pendidikan
Indonesia
Sekularisasi muncul dilatar belakangi
oleh kekuasaan totalitas gereja di Eropa yang
senantiasa otoriter terhadap seluruh aspek
kehidupan manusia. Kaum agamawan telah
berubah menjadi tirani, menjadi politikus-
politikus profesional, dan menjadi diktator-
diktator yang berkedok iklerius, kepasturan,
komunis, dan penjualan bursa penebus dosa.
Sikap gereja menentang sains, mengungkung
pola berpikir, membentuk pengadilan-
pengadilan, penggeledahan, dan menuduh para
ilmuwan sebagai pengacau. Munculah
kekecewaan rakyat terhadap gereja, lahirlah
Revolusi Perancis akibat konflik yang terjadi
antara gereja di satu pihak dengan gerakan-
gerakan baru di lain pihak, maka lahirlah
pemerintahan
Perancis pada tahun
1789 M, ini
merupakan
pemerintahan
sekuler pertama
yang memerintah
atas nama rakyat,
Kemudian lahirlah
pemikiran lahirnya
prisnip ‚akal dan
alam‛ (naturalism):
orang-orang sekuler
menyeru kepada
kebebasan akal dan
diletakkannya sifat-
sifat Tuhan pada
alam.12
Adapun
masuknya sekularisme ke Indonesia tentunya
melalui kolonialis Belanda yang menjajah negeri
ini selama hampir 3 abad, sekalipun misi 3G
dibawa oleh kolonial, faktor Gospel tidak
menjadi tujuan utama karena awal mula
penjajahan dilakukan oleh sebuah perusahaan
kapitalis VOC, sehingga agama tidak terlalu
penting bagi mereka. Ketika itu pendidikan
resmi yang didirikan oleh belanda tidak
sedikitpun menyentuh aspek keagamaan, tidak
ada materi pelajaran agama. Setelah pasca
kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengadopsi
habis-habisan sistem pendidikan belanda,
adapun pendidikan keagamaan seperti
pesantren, sekolah Islam, dan Madrasah tidak
diakomodir dalam sistem pendidikan nasional
pada saat itu.13
12 WAMY, Gerakan Keagamaan dan
Pemikirannya, cet ke-5 (Jakarta: Al-I’Tishom, 1993),
untuk memahami lebih jelasnya mengenai sekluarisme
baca! David Phillips, ‚Pressure of Secularism,‛
Cross†Way Issue Summer No. 101 (2006). Baca juga
Austin Cline, ‚Secularism; History, Nature, & Importance
of Secularism‛ (2009)
http://atheism.about.com/od/secularismseparation/tp/Secu
larismHistoryPhilosophy.htm.
13 Untuk mengetahui sejarah pendidikan Islam
Indonesia lihat! Absari, Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara: Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia. (Jakarta: Kencan,
Editor: Samsul Nizar, 2009)
Pasca-kemerdekaan pemerintahan selalu
dipimpin oleh pemerintahan sekular, parlemen
lebih sering dimenangkan oleh partai-partai
sekuler seprti PNI & Golkar, hal ini tentunya
mempengaruhi pendidikan Agama di Indonesia
yang sangat dibatasi oleh pemerintah. Pelajaran
agama hanya berlangsung selama satu jam
pelajaran selama seminggu14
. Siswa lebih sering
diajarkan kemampuan akademis semata
dibanding kualitas moral dan akhlaq. Inilah
peninggalan kolonial yang sudah mendarah
daging pada sistem pendidikan nasional yang
selalu memarjinalkan pendidikan Agama,
bahkan dapat dikatakan kita masih terjajah dari
segi pendidikan15
. Untuk meresmikan dan
mengakui formalitas Madrasah merupakan
upaya yang sangat sulit dilakukan padahal
negeri ini dipenuhi oleh umat Islam, seakan-
akan umat Islam menjadi terbatas untuk
mempelajari agamanya sendiri di sekolah resmi.
Sekolah-sekolah yang berbasis Islam
secara sistematis tidak mendapat fasilitas yang
memadai dari pemerintah, menyebabkan
sekolah-sekolah Islam mengalami penurunan
kualitas dan stagnasi, sehingga menjadikan
pendidikan agama tidak dianggap prospektif
oleh masyarakat dibanding sekolah-sekolah
sekuler16
. Kondisi ini diperburuk oleh abainya
14 Undang-undang pendidikan nasional pertama
(UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954)
diundangkan masalah madrasah dan pesantren tidak
dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah
pendidikan agama di sekolah (umum)
15 Bahkan menurut Halimi Am, ‚Liberasisasi
Pendidikan Pesanan Asing Sebuah Model Penjajahan baru
Dunia Pendidikan,‛ (Artikel) (Kompasiana Sharing
Connecting, 30 Mei 2010),
http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/30/liberasisasi-
pendidikan-pesanan-asing-sebuah-model-penjajahan-baru-
dunia-pendidikan (Diakses 8 November 2010)
menjelaskan bahwa Kekerasan yang dilakukan penjajahan
asing lebih memprihatinkan lagi. Sekolah-sekolah luar
negeri beramai-ramai mendirikan di Indonesia. Akibatnya
disamping sekolah-sekolah yang ada terancam kalah
bersaing, tetapi yang lebih fatal dampak jangka
panjangnya. Anak-anak bangsa Indonesia akan dididik
oleh sekolah Asing di negeri sendiri. Pola pikir, budaya,
sikap, dan kecintaan otomatis berpindah ke misi sekolah
asing tersebut. Kalau sudah sampai pada tataran
mencintai segala hal yang berbau asing, maka prinsip
hidupnya menjadi tergantung asing.
16 Untuk mengetahui lebih banyak mengenai
sejarah pendidikan Islam Lihat! Hasbullah, Sejarah Pendidikan di Indonesia: Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999);
Maskum, Madrasah: Sejarah & Perkembangannya
masyarakat tentang pentingnya agama di setiap
lini kehidupan, seluruh masyarakat memandang
sekolah untuk bekerja, agar di masa depan hidup
dengan layak, pola pikir materialistik ini
menyebar begitu cepat dikalangan masyarakat
dan kondisi negeri ini yang terus menerus
‚digeragoti‛ oleh industri-industri yang hanya
menawarkan lapangan pekerjaan pada aspek
orientasi ekonomi saja, hal ini semakin
membuat masyarakat saling memburu dan
bersaing meraih kepentingan materialistik
tersebut.
Sekularisasi sistem pendidikan di
Indonesia dapat tampak dalam beberapa segi,
dari segi birokrasi pemerintahan, dari segi
legislasi perundang-undangan, dan dari segi
kebijakan praktis (kurikulum) di beberapa
sekolah. Dari segi pemerintahan, institusi
pendidikan agama dikelola oleh Kementrian
Agama sementara pendidikan umum oleh
Kementrian Pendidikan Nasional. Dari segi
perundang-undangan dapat dilihat dari UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang
jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu
(umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, advokasi,
keagaman, dan khusus. Dari segi kurikulum
pendidikan agama hanya diberikan durasi yang
sangat singkat dan hanya cukup untuk
pendidikan kognitif saja sebagaimana
kompetensi dasar yang ditetapkan oleh
kuriklulum, padahal agama lebih penting
diarahkan kepada moral dibandingkan
intelektual. Sistem pendidikan inilah yang akan
menghasilkan manusia-manusia cerdas dibidang
Iptek namun tidak cerdas dibidang moral
sehingga dikhawatirkan mereka cerdas untuk
melakukan tindak korupsi dan sebagainya.
Sistem pendidikan liberal dan sekular
yang hanya menekankan kepada kepentingan
intelektualisme dan individualisme saja. Dalam
pendidikan liberal-sekular, keindividuan begitu
ditekankan dan pendidikan juga dipisahkan dari
nilai-nilai keagamaan. Tentang kegagalan
pendidikan liberal dan sekular ini, Khursid
Ahmad mengatakan bahwa: ‚Pendidikan dipisahkan dari agama dan nilai-nilai akhlaq.
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999); Nizar, Samsul,
Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2009)
Kebebasan menjadi buah mulut‛. Dalam
pendidikan sekular , agama hanya di jadikan
sebagai salah satu mata pelajaran, dan bukan
sebagai dasar ilmu yang di pelajari. Sungguh
sangat wajar kalau generasi yang di hasilkan
adalah generasi muda yang berkepradian ganda
dan berperilaku buruk17
.
Dampak Materialisme Sebagai Paradigma
Pengelolaan Pendidikan
Sejak munculnya revolusi Industri
penguasaan tertinggi seakan-akan beralih dari
gereja menjadi kaum kapitalis pemilik modal,
pandangan umat manusia tertuju kepada
orientasi materialistik yang menjajikan
kebahagiaan dan kekuasaan dunia ternyata dapat
diraih dengan materi.
Ternyata arus pemikiran ini dianut oleh
beberapa pengelola institusi pendidikan di
Indonesia, menjadikan sekolah sebagai lahan
industri yang subur, beberapa sekolah-sekolah
bermunculan untuk merespon permintaan
konsumen akan pendidikan yang memuaskan
bagi ‚konsumen‛, paradigma seperti ini
tentunya akan berdampak pada unsur-unsur
pendidikan yang lebih praktis seperti metode
pengajaran dan sebagainya harus disesuaikan
dengan keinginan konsumen bukan lagi sebagai
keinginan pendidik.
Arus modernisasi yang begitu kuat
membuat pola pendidikan di Indonesia berubah,
orientasi pendidikan beralih dari orientasi ilmu
pengetahuan menjadi orientasi kerja
(industrialisme). Orientasi kerja pada
pendidikan terkait dengan cara bagaimana
sekolah membantu menyiapkan angkatan muda
masuk dunia kerja, berbagai keterampilan yang
dikembangkan di sekolah dalam rangka
membawa angkatan muda mengambil bagian di
bidang ekonomi18
. Pola pendidikan seperti ini
sebetulnya mereduksi makna dari pendidikan itu
sendiri, tujuan pendidikan menjadi menyempit
hanya pada aspek ekonomi-industri semata,
dilupakan aspek pengembangan lain yang
17 Aiman, ‚Pendidikan sekuler di Indonesia telah
gagal‛ (Review), (Shvoong.com The Global Source for
Summaries & Reviews, 1 Februari 2010),
http://id.shvoong.com/society-and-news/news-
items/1969686-pendidikan-sekuler-di-indonesia-telah/
18 Wim Hoppers, Pengembangan Orientasi
Pendidikan Dasar (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu,
2004), 7-8
sebenarnya lebih penting, aspek moral yang
seharusnya dikedepankan malah
dikesampingkan demi mempersiapkan pekerja-
pekerja terampil bukan untuk mempersiapkan
pemuda-pemuda berakhlak mulia. Tidak heran
kalau kemerosotan moral banyak terjadi pada
sekolah-sekolah kejuruan (SMK) yang
mengedepankan aspek industri semata19
.
Di sisi lain, kapitalisasi pendidikan telah
menyebabkan pendidikan menjadi barang mahal
dan begitu sulit dijangkau masyarkat miskin.
Dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir
orang20
. Paradigma orang tua saat ini
menyekolahkan anaknya adalah ‚saya sudah
bayar mahal-mahal, maka anak saya haruis
diperlakukan dengan baik‛, padahal seharusnya
mereka sadar kalau anak mereka seharusnya
ingin dicetak menjadi pribadi yang bermoral
mulia yang harus melalui tahap yang tidak
mudah, harus senantiasa dibentuk dengan
reward-punishment yang sesuai, harus mau
diperlakukan dengan tegas (digembleng) agar
mereka nantinya menjadi anak-anak yang
bermoral.
Ironisnya saat ini pemikiran
materialisme juga telah merambah institusi
pendidikan Islam, dengan kekuatan materi yang
dimiliki oleh para ‚konsumen‛, sekolah harus
rela merubah kebijakan internal dan kurikuler
untuk menyesuaikan dengan pangsa pasar. Maka
terjadilah pembebesan atau toleransi yang
berlebihan terhadap peserta didik khusunya
dalam hal moral. Karena biasanya ‚konsumen‛
hanya menuntut prestasi akademis dibanding
prestasi moral dimana prestasi akademis
tentunya memilki prospek yang lebih jelas,
formal, dan legitimatif dibandingkan dengan
prestasi moral.
19 Data kepolisian Polda Metro Jaya 2000
menunjukkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh para pelajar setiap tahun mengalami peningkatan,
baik secara kuantitas maupun kualitas. Jenis kekerasan
yang dilakukan oleh mereka cukup bervariasi, mulai dari
pencurian, tawuran, perkelahian, penganiayaan, sampai
pembunuhan. Dari data tersebut diperoleh informasi
bahwa banyak kasus kekerasan pelajar terutama dilakukan
oleh pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM), atau
sekarang disebut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
20 Aiman, ‚Pendidikan sekuler di Indonesia telah
gagal‛ (Review), (Shvoong.com The Global Source for
Summaries & Reviews, 1 Februari 2010),
http://id.shvoong.com/society-and-news/news-
items/1969686-pendidikan-sekuler-di-indonesia-telah/
Dampak Metode Pendidikan Humanistik21
Sejak berkembangnya teori pendidikan
yang berpusat pada kebebasan siswa, pada saat
itu para guru yang mendapatkan kuliah
mengenai metode ini berbondong-bondong
merubah paradigma metode pendidikan
tradisional yang dianggap keras dan konservatif
menjadi metode pendidikan berpusat pada murid
(student center learning), yang menjadi
permasalahan adalah adanya kebebasan bagi
murid untuk mengembangkan semua potensinya
baik potensi fisik maupun psikis yang kerap kali
sedikit melewati batas moral yang lama-
kelamaan moral siswa bergeser secara perlahan-
lahan tanpa disadari oleh para guru dan para
guru selalu memberikan toleransi pada
kemerosotan perlahan tersebut, mereka
menanggap sebisa mungkin cara-cara kekerasan
dan hukuman dihindari, mereka mengklaim
bahwa metode pendidikan tradisional tidak
efektif lagi, padahal metode yang tegas
sebetulnya metode yang tepat untuk membatasi
moral siswa agar tidak bergesar, namun mereka
begitu bangga dengan pola metode pendidikan
modern tersebut yang mereka tidak menyadari
bahwa Pendidikan Humanistik berasal dari dari
filsafat Eksistensialis-Humanisme yang
menekankan pada kebebasan manusia, bersifat
antroposentrik dan tentunya juga muncul dari
induk pemikiran sekularisme.
Metode pendidikan Humanistik berakar
pada madzhab humanistik psikologi seperti
Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Rudolf
Steiner22
serta juga berakar pada filsafat
eksistensialisme yang mengajarkan bahwa
semua manusia harus diberi kebebasan dalam
menjalani hidupnya. Menurut eksistensialisme
kebenaran bersifat relatif, kebenaran yang paling
benar adalah apapun yang dipilih oleh manusia.
Metode pendidikan Humanistik
menawarkan metode yang cukup menggiurkan
bagi para orang tua murid, karena seorang
pelajar diberi kebebasan yang cukup untuk
mengembangkan bakatnya dan kemampuannya
tanpa melihat faktor luar yang membentuk
21 Yang dimaksud humanisasi di sini lebih
disorot kepada arus pemikiran yang mengajarkan
kebebasan manusia yang berlebihan (antroposentris) 22 ---------------, ‚Humanistic Education,‛
(Ensikopedia) (Wikipedia, the free encyclopedia)
en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_education (Diakses 8
November 2010)
dirinya dan Pendidikan semacam ini merupakan
adopsi dari pendidikan di Amerika dan Eropa23
,
di Negara-negara maju pun metode semacam ini
sudah lama ditinggalkan karena ternyata
membawa dampak negatif.
Patterson menemukan dalam
penelitiannya bahwa sistem pendidikan
humanisme ternyata tidak bertahan lama di
Amerika, hal itu dikarenakan karena: (1) Banyak
para guru merasa tidak mampu dan tidak
nyaman dalam menjalankan pendekatan berbasis
humanistik24
; (2) Pengembangan afektif pada
metode humanistik ternyata menjadi konflik
dengan pengembangan kognitif; (3) Sulitnya
untuk mengklarifikasi perbuatan siswa yang
salah; (4) Senantiasa identik dengan humanisme
sekuler, padahal banyak siswa yang beragama.25
Penulis mendukung pendapat Durkheim
yang menyatakan bahwa:
‚hanya dengan mengadakan pembatasnlah maka anak akan dapat dibebaskan secara hakiki.........mereka perlu dididik secara sistematis tentang warisan kebudayaan negerinya, maka ia dapat memilki rasa identitas dan kepuasan pribadi........bila ia sadar akan keterlibatannya dalam suatu masyarakat dan dia diikat oleh peraturan di dalamnya berupa kewajiban-kewajiban, maka dia dapat menjadi seorang makhluk yang bermoral......... pendidikan model individualisme yang berlebihan yang dapat mengakibatkan kegagalan pribadi dan kekacauan sosial, pendidikan moral merupakan penangkal dari penyakit-penyakit seperti itu26‛
23 Muhammad Noer.‛--------------------------‚.
Jurnal Pendidikan Islam jilid 8 (1999), 13-14, lihat juga
Romly Qomaruddien Abu Yazied, ‚Sekularisasi
Pendidikan‛ (Artikel) dalam Media Online Pusdiklat DDII
24 Pendekatan berbasis humanistik dalam
pendidikan contohnya menciptakan situasi kelas yang
natural, aktifitas dan interaksi yang spontan, diskusi
bebas dan terbuka, dan penggalian dan belajar sendiri. Ini
berdasarkan Patterson, ‚What Has Happened to
Humanistic Education?‛ Michigan Journal of Couneling
and Developement Vol XVIII No 1 Summer (1987), 2 25 Patterson, ‚What Has Happened to Humanistic
Education?‛ Michigan Journal of Couneling and
Developement Vol XVIII No 1 Summer (1987), 2
26 Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu
Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan (Erlangga,
1961), xiii. Penulis hanya mengambil pendapat tentang
Nampaknya model pendidikan
humanistik juga mulai merambah institusi
pendidikan Islam. Dengan dalih memberi
kebebasan kepada murid untuk berkembang,
siswa menjadi lewat dari batas moral Islam itu
sendiri. Interaksi murid dan guru tidak lagi
seperti yang diajarkan oleh Islam, guru yang
seharusnya menjadi pusat ilmu berpindah
kepada murid dengan istilah yang dikenal
sekarang ‚student center learning‛. Seorang
guru dibuat ‚pincang‛ dengan metode
pendekatan humanistik, otoritas guru untuk
memberikan hukuman berkurang bahkan
dihilangkan, wajar saja kalau secara perlahan
pemuda di Indonesia semakin menampakkan
sifat ‚kekurangajaran‛ terhadap guru atau
siapapun yang mendidiknya.
Pardigma Pendidikan Islami Sebagai Sebuah
Solulsi
Scheepers dan koleganya menemukan
dari hasil penelitiannya bahwa pendidikan
agama dari orang tua memiliki efek positif yang
sangat kuat terhadap sikap dan moral, negara
yang masyarakatnya lebih religi menampakkan
moral yang lebih baik dibandingkan negara yang
lemah religinya dalam artian negara yang sangat
kuat sekuleritasnya27
, dengan kata lain
pendidikan berbasis agama merupakan model
yang efektif untuk menanggulangi kerusakan
moral yang melanda negeri ini.
Islam mengatur secara lengkap moralitas
dan etika kehidupan manusia, mulai dari
berkata-kata, tidur, berjalan, berinteraksi,
berapakaian, dan banyak lagi. Semua itu tidak
mungkin tercakup oleh model pendidikan
sekuler yang menyandarkan moral pada
kesepakatan masyarakat. Tidak semua diatur
dalam kesepakatan masyarakat atau undang-
undang, norma buatan masyarakat bersifat
temporer, selalu saja diamandemen dan tidak
pasti, adapun aturan dari Allah bersifat pasti dan
senantiasa relevan di manapun dan kapanpun.
Islam memandang ilmu bukan hanya
koleksi teori akademis semata, Islam
memandagn Ilmu sebagai informasi (Ilha>m) dari
Allah swt dengan tujuan untuk kebahagiaan
manusia di dunia dan akhirat, ilmu digunakan
moralitas ini dari Durkheim, adapun pendapat Durkheim
mengenai moralitas sekuler penulis tidak sependapat.
27 Peer Scheepers dkk, ‚Education, Religiosity
and Moral Attitudes: Explaining Cross-National Effect
Differences‛ Sociology of Religian 63:2 (2002), 157
untuk menjauhi kesesatan dan penderitaan di
dunia dan akhirat28
.
Muhibbudin menjelaskan bahwa
pendidikan Islam (Tarbiyah Qur’a>niyyah)
mencakup beberapa aspek moral yaitu salah
satunya aspek komunikasi, Islam (Al-Qur’a>n)
mengajarkan bagaimana berinteraksi kepada
pemimpin, orang-orang terdekat, orang asing,
dan non-muslim29
. Ini merupakan bukti bahwa
pendidikan moral yang tepat untuk bangsa ini
bukanlah pendidikan moral pancasila melainkan
pendidikan moral Islami-Qur’ani.
Jika kita meninjau turunnya Islam di
zaman jahiliyah, dapat kita pahami bahwa
turunnya Islam adalah untuk memperbaiki
masalah moral bangsa arab, hadirnya Islam telah
menghapuskan moral jahiliyah yang telah lama
mendarah daging yang identik pada bangsa arab
ketika itu. Sebagaimana Allah berfirman:
‚Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka30 dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata‛ (Al-Jumu’ah: 2)
Bahkan sebenarnya pendidikan model
Islam adalah model yang lebih menyeluruh
meliputi psikis (nafs), hati (qalb), dan fisik
(jism). Adapun pada aspek moral mengajarkan
banyak hal, yang bersifat moral pribadi (moral personality) antara lain: berpegang teguh pada
kebenaran (al-Tsaba>t ‘ala> al-H}aqq), berucap
dengan baik dan jujur31
(Qowl al-t}oyb wa al-
28 Syaikh Qa>diri> Al-Ahdal, Athar al-Tarbiyah al-
Isla>miyah fi> Amn al-Mujtami’ al-Isla>mi> (Al-Maktabah Al-
Sya>milah V.3.28)
29 Muh}ibb Al-Di>n, Al-Tarbiyyah al-Qur’a>niyyah
wa Atharoha> ‘ala> al-Fard al-Mujtami’ (Al-Maktabah Al-
Sya>milah V.3.28)
30 Mensucikan disini menurut Muh}ibb Al-Di>n
adalah pembagusan akhlaq (tahdzi>b al-akhla>q), lihat!
Muh}ibb Al-Di>n, Al-Tarbiyyah al-Qur’a>niyyah wa Atharoha> ‘ala> al-Fard al-Mujtami’ (Al-Maktabah Al-
Sya>milah V.3.28)
31 Kejujuran pada kebenaran adalah masalah
moral yang perlu diperhatikan oleh bangsa ini, KKN tidak
akan terjadi bila bangsa ini berani mempertahankan dan
jujur akan kebenaran
s}idq), ikhlas, sopan santun (al-h}ilm), memaafkan
(al-s}ofh wa al-masa>h}ah), lembut (al-layn), dapat
dipercaya (al-ama>nah), adil (al-‘adl). Adapun
yang bersifat moral sosial (moral society) antara
lain: tolong menolong (al-ta’a>wun)32
,
professional (al-ih}sa>n)33
, disiplin (al-wafa>’) 34,
mendahulukan kepentinga n orang lain (al-
i>tha>r), murah hati (al-sakha>’), sabar (al-s}obr), pemaaf (al-‘afwu), saling berkasih sayang (al-tara>h}i>m), menyeru kepada kebaikan (amr ma’ru>f), dan mencegah kemungkaran (nahi> munkar).
Adapun metode pendidikan akhlak Islam
dapat kita pahami dari pendapat Kha>lid bin
H{a>mid Al-H{a>zimi yang menjelaskan empat
tahap pendidikan akhlak Islam: (1) Menguraikan
kepada siswa mengenai keutamaan akhlaq
dengan menjelaskan ciri-cirinya dan manfaatnya
bagi individu dan masyarakat; (2) Menguraikan
kepada siswa mengenai sifat buruk dengan
menjelaskan akibat dan bahayanya bagi individu
dan masyarakat; (3) Memberikan kepada mereka
arahan-arahan untuk mencontoh dan mengambil
pelajaran dari al-Qur’an, Sunnah Nabawiyyah,
perilaku Sahabat, dan para Ulama; (4)
Menyimpulkan dari pelajaran yang tadi telah
didapat dengan melihat dan mendengar
langsung dari fenomena masyarakat, siswa boleh
dibantu dengan diberikan perumpamaan-
perumpamaan dan kisah-kisah, selain itu juga
perlu diberikan cerita-cerita mengenai orang
yang berakhlak buruk pula agar mereka
memahami dampak kerusakannya35
.
Penutup & Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan
maka dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Fenomena kerusakan moral yang terjadi
di negeri ini dikarenakan adanya upaya
sekularisasi dan beberapa ghozwul fikri
yang digencarkan oleh barat. Apablia
agama dipisahkan dari kehidupan sehari-
hari, tentunya moral-akhlaq islami juga
terkikis.
32 Lihat al-Ma>’idah: 2
33 Al-Nah}l: 90
34 Lihat al-Ma>’idah: 1
35 Kha>lid bin H{a>mid Al-H{a>zimi>, Us}u>l al-
Tarbiyyah al-Isla>miyyah (Da>r ‘A<lim al-Kutub, 1420 H),
2. Saat ini materialisme telah
mempengaruhi beberapa institusi
pendidikan di Indonesia, materialisme ini
menyebabkan pengabaian aspek moral
dan hanya mengedepankan aspek
pendidikan berbasis industri (industry base education)
3. Pengaruh sekularisasi juga
mempengaruhi ilmu pengetahuan
dibidang pendidikan, munculnya metode
pendidikan humanistik menyebabkan
kebebasan siswa dalam berperilaku
sehingga perlahan-lahan menembus
moral Islami.
4. Islam adalah agama yang totaliter
meliputi seluruh aspek kehidupan. Islam
mengajarkan sangat lengkap mengenai
moral dan akhlaq yang selalu relevan
sepanjang zaman.
Itulah yang dapat disimpulkan dari tulisan ini,
semoga Allah memberikan hidayah kepada
masyarakat Indonesia dengan merubah
paradigma pendidikan menjadi pendidikan
berbasis moral sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasul saw.
DAFTAR PUSTAKA
Absari. Sejarah dan Dinamika Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara:
Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencan,
Editor: Samsul Nizar, 2009
Al-Ahdal, Syaikh Qa>diri>. Athar al-Tarbiyah al-Isla>miyah fi> Amn al-Mujtami’ al-Isla>mi> (Al-Maktabah Al-Sya>milah V.3.28)
Aiman, ‚Pendidikan sekuler di Indonesia telah
gagal‛ (Review), (Shvoong.com The
Global Source for Summaries &
Reviews, 1 Februari 2010),
http://id.shvoong.com/society-and-
news/news-items/1969686-pendidikan-
sekuler-di-indonesia-telah/
Am, Halimi. ‚Liberasisasi Pendidikan Pesanan
Asing Sebuah Model Penjajahan baru
Dunia Pendidikan,‛ (Artikel)
(Kompasiana Sharing Connecting, 30
Mei 2010),
http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/
30/liberasisasi-pendidikan-pesanan-
asing-sebuah-model-penjajahan-baru-
dunia-pendidikan (Diakses 8 November
2010)
Cline, Austin. ‚Secularism; History, Nature, &
Importance of Secularism‛ (2009)
http://atheism.about.com/od/secularisms
eparation/tp/SecularismHistoryPhilosoph
y.htm.
Al-Di>n, Muh}ibb. Al-Tarbiyyah al-Qur’a>niyyah wa Atharoha> ‘ala> al-Fard al-Mujtami’ (Al-Maktabah Al-Sya>milah V.3.28)
Durkheim, Emile. Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Erlangga, 1961
Hasbullah, Sejarah Pendidikan di Indonesia: Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1999
Al-H{a>zimi>, Kha>lid bin H{a>mid. Us}u>l al-Tarbiyyah al-Isla>miyyah. Da>r ‘A<lim al-
Kutub, 1420H
Hoppers, Wim. Pengembangan Orientasi Pendidikan Dasar . Ciputat: PT Logos
Wacana Ilmu, 2004
Koenig, Harold G. Is Religion Good for Your Health; The Effect of Religion on Physical and Mental Health. New York:
The Haworth Pastoral Press, 1997
Maskum, Madrasah: Sejarah & Perkembangannya. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999
Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter. Indonesia Heritage Foundation, 2004
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2009
Noer, Muhammad.‛--------------------------‚.
Jurnal Pendidikan Islam jilid 8 (1999)
Patterson. ‚What Has Happened to Humanistic
Education?‛ Michigan Journal of
Couneling and Developement Vol XVIII
No 1 Summer (1987)
Qomaruddien, Romly, ‚Sekularisasi
Pendidikan‛ (Artikel) dalam Media
Online Pusdiklat DDII
Scheepers, Peer, dkk. ‚Education, Religiosity
and Moral Attitudes: Explaining Cross-
National Effect Differences‛ Sociology of Religian 63:2 (2002)
Spilka, Bernard. The Psychology of Religion: an Empirical Approach . New Jersey :
Prentice-Hall., Inc, Englewood Cliffs,
1985
Subandy, Idi. ‚Kritik Etika dan Estetika di
Balik Tirani Televisi,‛ dalam Dakwah Kontemporer: Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi. ed. Yunan Yusuf Dkk.
Bandung: Pusdai Press, 2000
UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954
WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikirannya, cet ke-5. Jakarta: Al-
I’Tishom, 1993
-----------, ‚Polisi Bubarkan Tawuran Remaja,‛
Kompas.com [5 Oktober 2010]
http://regional.kompas.com/read/2010/10
/05/20440843/Polisi.Bubarkan.Tawuran.
Pelajar)
--------------
,http://www.penapendidikan.com/pengal
aman-seks-belasan-tahun.html
---------------, ‚Humanistic Education,‛
(Ensikopedia) (Wikipedia, the free
encyclopedia)
en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_educa
tion (Diakses 8 November 2010)