Upload
lycong
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
DI KOTA BANDUNG
DEDI A. BARNADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yangberjudul Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah sebagai UpayaMeningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung adalah karya sayasendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalambentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasiyang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkandari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftarpustaka di bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Maret 2010
Dedi A. BarnadiP.062050494
1
RINGKASAN
ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAHSEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG
Berdasarkan data dari PD Kebersihan Kota Bandung Tahun 2009, volumetimbulan sampah sebagai indikasi kualitas lingkungan hidup di Kota Bandungperiode Tahun 2001-2008, setiap tahunnya menghasilkan rata-rata sebesar1.369.659 m3, dengan rata-rata pertambahannya sebesar 17,29%/tahun atausebesar 81.394 m3/tahun, dan ironisnya volume sampah yang diolah baru sekitar10%. Data dari PD Kebersihan ini memperlihatkan pula bahwa setiap pendudukberpotensi menghasilkan sampah sekitar 3 liter per hari. Tak heran, dengan jumlahpenduduk Kota Bandung sekitar 2,5 juta jiwa, beban sampah dapat mencapaisekitar 7.500 m3/hari. Beban kualitas lingkungan hidup berupa sampah inimemiliki konstribusi terbesar utama berasal dari rumah tangga yaitu sekitar 66%atau 4.952 m3. Kemudian sektor industri merupakan penghasil sampah yangmemiliki konstribusi terbesar kedua dengan produksi sampah sekitar 798,50m3/hari atau hampir 11%, dan sisanya sekitar 23% berasal dari pasar, sektorkomersial, jalan, non komersial, serta sampah saluran.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang PengelolaanSampah merupakan suatu tonggak baru bagi kebijakan pengelolaan sampahperkotaan di Kota Bandung yang mengarahkan kebijakan pengelolaan sampahperkotaan pada konsep zero waste dengan menekankan pentingnya peranmasyarakat dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukumbahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab dibidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapatbermitra dengan badan usaha.
Pengelolaan sampah yang selama ini berlangsung bertumpu pada wawasanbahwa sampah bukan sumberdaya dan mengandalkan diri pada pendekatanmembuang sampah di lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Pengelolaansampah dengan paradigma baru bertujuan mengurangi volume sampah yangdibuang ke tempat pembuangan akhir sampah melalui upaya pengembanganmemperlakukan sampah dengan cara mengurangi, menggunakan-kembali danmendaur-ulang. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru juga menegaskanbahwa pengelolaan sampah merupakan pelayanan publik yang bertujuan untukmengendalikan sampah yang dihasilkan masyarakat melalui pemberdayaanmasyarakat yang didukung oleh pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah.
Terdapat 4 (empat) faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan,seperti yang diungkapkan oleh Edward III (1980); yaitu komunikasi, sumberdaya,disposisi-disposisi atau sikap-sikap dan struktur birokrasi.
Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang memilikinilai ekonomi seperti untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan bakuindustri. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dapat dilakukandengan kegiatan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep 3R (reduce, reuse
2
dan recycle) dan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep pemberdayaanmasyarakat (empowerment). Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan(reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendauran ulang (recycle), sedangkanpemberdayaan masyarakat (empowerment) berupa kegiatan pemilahan,pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk merumuskan pokok-pokokpikiran yang menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan model kebijakanpengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung. Kajian akademis ini bertujuanuntuk:1. Mengkaji pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.2. Mengevaluasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.3. Menetapkan prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung4. Merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang baru di Kota Bandung.
Data sekunder yang dibutuhkan antara lain berkaitan dengan produk-produk peraturan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah yang berlaku diKota Bandung sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan yang berhubungandengan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Selain itu data sekunder lainnyadibutuhkan berkaitan dengan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakanpengelolaan sampah, jumlah pegawai instansi berkaitan dengan persampahan,lokasi-lokasi TPA, alternatid-alternatif penanganan sampah, serta pendapat parapakar persampahan yang diperoleh dari hasil dokumentasi atau laporan-laporanyang dikumpulkan melalui studi pustaka dan informasi seperti PD Kebersihan,BPLHD Kota Bandung, Dinas Tata Kota, dan Dinas Pendapatan Daerah KotaBandung.
Data primer yang diperlukan terdiri dari pendapat/pandangan masyarakattentang pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang dilakukan olehpemerintah daerah melalui instansi-instansi terkait, serta pendapat/pandangan parapakar di bidang pengelolaan sampah dalam menemukan prioritas dalampelaksanaan pengelolaan sampah. Selain itu wawancara dengan para pakarpengelolaan sampah baik dari institusi pemerintahan maupun institusi akademikdilakukan untuk memperoleh masukan dan arahan dalam pembahasan hasilanalisis. Secara umum data primer dikumpulkan melalui wawancara dankuesioner.
Pengukuran variabel-variabel penelitian dilakukan berdasarkan penilaianpersepsi pegawai PD Kebersihan dan Masyarakat Kota Bandung melalui 5 (lima)pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai 5.
Pada tahap analisis, data diolah dan diproses menjadi kelompok-kelompok, diklasifikasikan, dikategorikan dan dimanfaatkan untuk memperolehkebenaran sebagai jawaban dari masalah dalam hipotesis penelitian yang diajukandalam penelitian.
Analisis ini merupakan perpaduan antara Analitic Hierarchy Process(AHP) dan SWOT (Strength, Weakness, Oportunity, and Threat). Analisis SWOTmenjadi suatu alat kekuatan untuk mencari dan menemukenali potensi dalam
3
kebijakan pengelolaan sampah sebagai kekuatan yang dimiliki. Hasil analisis inidapat dijadikan sebagai landasan strategi untuk mencapai keberlangsunganpembangunan terutama dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung denganmenggambarkan pengaruh, tindakan yang diperlukan, untuk mencapai keluaranyang diinginkan (Moughtin,1990).
Pengelolaan sampah oleh masyarakat baik melalui komunitas dapatmenjadi pemasukan bagi wilayahnya apabila dikelola dengan baik dan menambahlapangan pekerjaan. Sampah yang dihasilkan masyarakat jika sudah dapatdipisahkan berdasarkan jenisnya mulai dari awal, dapat dimanfaatkan kembaliatau dijual untuk membiayai usaha pengelolaan sampah secara swadaya.
Peranan swasta dalam upaya pengelolaan sampah adalah sebagaipendukung sistem (support system), seperti: 1) mempercepat proses transformasi/peralihan dari dominasi pemerintah ke masyarakat; 2) sebagai Pengumpulmaterial/barang yang masih dapat di daur ulang atau masih berguna.
Peran pemerintah, apabila sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakatini berjalan, hanya memikirkan masalah pengelolaan TPA. Beban berat daribesarnya anggaran yang diharus ditanggung dapat dikurangi secara efisien. Bebanmengelola sampah juga akan berkurang dengan drastis dengan hanya mengelolasampah. Sampah yang diangkut oleh pemerintah dari TPS ke TPA tentunya harusditarik pungutan/retribusi yang akan digunakan untuk operasional. Sedangkanbiaya rutin sampah per bulan akan menjadi hak dari pengelola masyarakat karenaperan aktifnya mengatasi masalah pengelolaan sampah.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan samapah dikota Bandung perluditingkatkan agar lebih baik sesuai dengan paradigma baru sebagaimana tertuangdalam UU No.18 Tahun 2008, serta memperhatikan faktor-faktor dominan apa(Disposisi,Sumberdaya,Komunikasi,Birokrasi) yang harus mendapat perhatian,serta prioritas kebijakan dalam hal mengurangi (reduce) sampah dari sumbernya.
Langkah selanjutnya adalah merevisi dan atau menambah pasal dariperaturan daerah No.2 Tahun 1985 tentang PD kebersihan, peraturan daerahNo.27 Tahun 2001 tentang pengelolaan kebersihan dan peraturan daerah No.11Tahun 2005 tentang K.3.
Operasionalisasi kebijakan perlu dilakukan pemberdayaan denganmelibatkan masyarakat dan dunia usaha, serta harus dilakukan langkah penegakanhukum (Law Enforcement) terhadap siapapun yang melanggar peraturan daerah.
ii
ABSTRACT
Dedi A. Barnadi, 2010. Analysis of Waste Management Policy Implementation Efforts to Improve the Environmental Quality in Bandung, under a team of supervisors with Supiandi Sabiham as chairman, Syaiful Anwar and Wonny A. Ridwan as members. Waste policies governing waste management intended to improve public health and environmental quality and make waste as a resource. Implementation of waste management policies, including the excellent category based on employee perceptions of PD Kebersihan Bandung, but less well on the public perception of Bandung. Factors that influence the implementation of waste management policy in the city of Bandung which is the dominant factor, especially in terms of disposition implementing cleaner understanding of waste management policy. Operation of waste management is derived from the household waste reduction and handling. Waste management was improved by applying the 3R concept of community empowerment as a new paradigm. Efforts made in improving waste management in Bandung in the form of strategies and implementation models of waste management policy with a new paradigm. Keywords: Model Policy Implementation, Waste Management, Urban
Environment, 3R Concept and Community Empowerment
i
ABSTRAK
Dedi A. Barnadi, 2010. Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung, di bawah bimbingan Supiandi Sabiham sebagai ketua, Syaiful Anwar dan Wonny A. Ridwan sebagai anggota. Kebijakan persampahan mengatur tentang pengelolaan sampah yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah termasuk pada kategori yang cukup baik berdasarkan persepsi pegawai PD. Kebersihan Bandung, namun kurang baik berdasarkan persepsi masyarakat Kota Bandung. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung yang dominan yaitu pada faktor disposisi terutama dalam hal pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakan pengelolaan sampah. Penyelenggaraan pengelolaan sampah yang bersumber dari rumah tangga yaitu pengurangan dan penanganan sampah. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru menerapkan konsep 3R dan pemberdayaan masyarakat. Upaya yang dilakukan dalam meningkatkan pengelolaan sampah di Kota Bandung berupa strategi dan model pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dengan paradigma baru. Kata Kunci: Model Pelaksanaan Kebijakan, Pengelolaan Sampah, Lingkungan
Hidup Perkotaan, Konsep 3R dan Pemberdayaan Masyarakat
vi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpamencantumkan dan menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan bagi IPB2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian dan seluruhnya
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
viii
Judul Disertasi: Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah SebagaiUpaya Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di KotaBandung
Nama: Dedi A. Barnadi.
NIM.: P.062050494
Program Studi: Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan.
MenyetujuiKomisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.AgrKetua
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc., Dr. Wonny A. Ridwan, SE. M.M.Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS. Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
vii
ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKANPENGELOLAAN SAMPAH
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKANKUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
DI KOTA BANDUNG
Oleh:Dedi A. Barnadi
P062050494
Disertasisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktorpada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Penguji Luar Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo. MS
2. Dr. Ir. Widiatmaka. DEA
Penguji Luar Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. H. Kholil M.Com
2. Dr. Ir. Nonon Saribanon. M.Si
ix
KATA PENGANTAR
Atas rahmat dan ridho Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penelitian
Disertasi dengan judul mengenai “Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan
Sampah Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Di Kota Bandung” Untuk
itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga
kepada ;
1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah
banyak memberikan perhatian, tenaga dan waktu ditengah kesibukan yang
luar biasa padatnya untuk mendiskusikan tahapan penulisan dengan memberi
semangat secara terus menerus.
2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah
banyak memberikan perhatian, nasihat, waktu dan selalu memberi semangat.
3. Dr. Wonny A. Ridwan, M.M., selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah
banyak memberikan perhatian, nasihat dan waktu untuk berdiskusi dalam
penulisan ini.
4. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS., selaku dekan sekolah pasca sarjana
institut pertanian bogor yang telah memberikan motivasi dan arahan selama
mengikuti perkuliahan.
5. Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc, selaku Sekretaris Program Doktor yang selalu
memberi semangat dan dorongan dalam proses penulisan ini.
6. Prof. Dr. Surjono H. Sutjahjo, MS., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
SDA dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan
masukan dan saran dari sisi akademik serta mengingatkan akan batas waktu
studi.
7. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA., selaku Sekretaris Eksekutif Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.
8. Kepada semua pihak yang telah membantu memperlancar proses penulisan
Penelitian Disertasi ini.
x
9. Kepada Pemerintah Kota Bandung yang telah memberi kesempatan untuk
penelitian ini dan memberi masukan serta bahan-bahan yang diperlukan
sehingga memperlancar proses penulisan disertasi ini.
Akhirnya penulis mengharapkan mudah-mudahan bantuan dan dorongan
yang telah diberikan oleh Bapak dan ibu tidak terputus hingga penelitian dan
penyelesaian Disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Semoga
Allah SWT membalas semua kebaikan Bapak dan ibu dengan berlipat ganda.
Amin.
Bogor, Maret 2010
Dedi A. Barnadi
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1955 di Banjar-Jawa Barat, sebagai
anak kelima dari tujuh bersaudara.
Ayah bernama Achmad Barnas Wangsadiredja (Alm) dan ibu Ota Saadah.
Pada tahun 1988 penulis menikah dengan Sri Budihartini, SE dikaruniai empat
orang anak yaitu Achmad Furqon, Achmad Budi, Siti Nadia dan Nabila Siti
Salsabila.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Bandung lulus tahun 1967,
SMP Negeri 2 Cimahi lulus tahun 1970, SMA Negeri 6 Bandung lulus tahun
1973, Fakultas Sospol (Administrasi Negara) Universitas Pajajaran Bandung
lulus tahun 1980, Fakultas Hukum (Pidana) Universitas Islam Nusantara
Bandung lulus tahun 1994, Program S2 (Ilmu Pemerintahan) Universitas
Satyagama Jakarta lulus tahun 2002.
Pada tahun 2005 penulis mengikuti program Doktor (S3) pada Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Pada tahun 1982 penulis diangkat sebagai pegawai negeri sipil di Departemen
Penerangan, tahun 1983 sampai dengan 1988 pegawai negeri sipil Departemen
Dalam Negeri dan 1988 sampai dengan sekarang pegawai negeri sipil
Pemerintah Kabupaten Bandung.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................ ii
RINGKASAN ................................................................................................... iii
HALAMAN HAK CIPTA ............................................................................... vi
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... vii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ viii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix
RIWAT HIDUP ............................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xviii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 4
1.3 Perumusan Masalah ............................................................................ 9
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 10
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 10
1.6 Kebaruan Penelitian .......................................................................... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 12
2.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah ........................................................ 12
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan .............. 17
2.2.1 Komunikasi dalam Pelaksanaan Kebijakan .............................. 22
2.2.2 Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan .............................. 25
2.2.3 Disposisi atau Sikap Pelaksana Kebijakan ................................ 28
2.2.4 Struktur Birokrasi dalam Pelaksanaan Kebijakan ..................... 31
xiii
2.3 Keterkaitan Pengelolaan Sampah dengan Kualitas
Lingkungan Hidup ............................................................................ 34
III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 40
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 40
3.2 Tahapan Penelitian ........................................................................... 40
3.3 Jenis dan Sumber Data...................................................................... 41
3.4 Jumlah Sampel Penelitian ................................................................. 42
3.5 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 44
3.6 Metode Analisis Data ....................................................................... 47
IV. GAMBARAN UMUM KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP
DI KOTA BANDUNG ............................................................................... 54
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 54
4.2 Sampah di Kota Bandung ................................................................. 57
4.3 Tingkat Kualitas Lingkungan Hidup Kota Bandung .......................... 61
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 62
5.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................. 62
5.2 Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pelaksanaan
Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................. 87
5.3 Strategi dan Model Meningkatkan Pelaksanaan Kebijakan
Pengelolaan Sampah untuk Meningkatkan Pengelolaan Sampah
di Kota Bandung ............................................................................. 100
5.4 Model Kebijakan Pengelolaan Sampah Perkotaan ........................... 111
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 131
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 131
6.2 Saran .............................................................................................. 131
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 134
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan
Sampah di Kota Bandung ................................................................................. 9
2. Ilustrasi Solusi Empat Faktor Hasil Reduksi, Pengelompokkan
dan Pengurutan Sumber: Hasil Kajian Kesesuaian
dengan Penelitian yang Dilakukan (modifikasi Dillon, 1984) ......................... 48
3. Model Hirarki AHP dan SWOT ..................................................................... 53
4. Ilustrasi Peta Lokasi Kota Bandung ................................................................ 55
5. Sistem Operasional Pelayanan Kebersihan ..................................................... 59
6. Program Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................................. 67
7. Operasional Pengelolaan Kebersihan Kota Bandung ...................................... 68
8. Sistem Pengelolaan Konvensional yang dilakukan oleh PD
Kebersihan ................................................................................................... 100
9. Struktur Hirarki Analitik Strength Penyusunan Prioritas
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ......................................................... 106
10. Struktur Hirarki Analitik Weakness Penyusunan Prioritas
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ....................................................... 107
11. Struktur Hirarki Analitik Opportunities Penyusunan Prioritas
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ....................................................... 109
12. Struktur Hirarki Analitik Threats Penyusunan Prioritas
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ....................................................... 110
13. Konsep Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota
Bandung..................................................................................................... 120
14. Sistem Modifikasi Pengelolaan Sampah ..................................................... 128
15. Pola Operasional Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota
Bandung..................................................................................................... 130
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Pegawai ......................... 44
2. Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Masyarakat .................... 44
3. Kerangka Analisis SWOT .............................................................................. 51
4. Timbulan Sampah di Kota Bandung ............................................................... 58
5. Perkiraan Produksi Sampah Domestik Di Kota Bandung
Tahun 2008 dan 2013 ..................................................................................... 60
6. Hasil Pemantauan Kualitas Sungai ................................................................. 61
7. Kejelasan Informasi yang Diterima mengenai Kebijakan
Pengelolaan Sampah ...................................................................................... 68
8. Penguasaan Pegawai dalam Pengetahuan mengenai
Masalah Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ............................................. 69
9. Kecepatan Pesan yang Diterima dalam Menginformasikan
Perkembangan berkaitan dengan Kebijakan Pegelolaan
Sampah yang Ditetapkan oleh Pemerintah ...................................................... 70
10. Frekwensi Penyampaian Informasi Pemerintah Berkaitan
dengan Perkembangan Pengelolaan Sampah ................................................ 71
11. Ketepatan dan Kesesuaian Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan
Sampah yang Diterapkan oleh Pemerintah.................................................... 72
12. Penyelesaian Masalah dengan Adanya Informasi yang Diberikan
Pemerintah Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah ..................... 73
13. Perolehan Sumber Daya Informasi yang Dibutuhkan
Pelaksanaan Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah .................... 75
14. Kegunaan Sarana dan Prasarana Bantuan Pemerintah berupa
Peralatan...........................................................................................................76
15. Sumber Daya Manusia atau Tenaga Pelaksana mengenai
Kebijakan Pengelolaan Sampah.......................................................................76
16. Pemahaman Pelaksana Petugas Kebersihan tentang
Kebijakan Pengelolaan Sampah.......................................................................77
xvi
17. Kesesuaian Pengetahuan Petugas Pelaksana dengan
Kebutuhan Masyarakat Berkaitan dengan Masalah Kebijakan
Pengelolaan Sampah........................................................................................78
18. Penerapan dalam Pelaksanaan tentang Kebijakan
Pengelolaan Sampah .................................................................................... 79
19. Kejujuran Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas
Pengelolaan Sampah pada Umumnya ........................................................... 80
20. Komitmen Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas
Pengelolaan Sampah pada Umumnya ........................................................... 80
21. Sikap Aparat Pemerintah dalam Prioritas Menjalankan Tugas
Pengelolaan Sampah pada Umumnya81
22. Kejelasan Pembagian Tugas Aparat Pemerintah dalam hal
Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah ..................................................... 82
23. Tanggungjawab Aparat Pemerintah dalam Menjalankan Tugas
Pengelolaan Sampah pada Umumnya83
24. Kejelasan Wewenang Aparat Pemerintah dalam Menjalankan
Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya................................................. 83
25. Kejelasan Koordinasi yang Dilakukan Aparat Pemerintah
dalam Menjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya ................. 84
26. Pengujian Kecukupan Data dalam menggunakan Analisis ............................ 88
27. Hasil Perhitungan Total Variance Explained ................................................ 89
28. Hasil Akhir Analisis Faktor Variabel Komunikasi,
Sumberdaya, Disposisi Dan Birokrasi Berdasarkan Penilaian Pegawai
dan Penilaian Masyarakat ............................................................................. 90
29. Susunan Urutan Faktor Dominan.................................................................. 92
30. Hubungan Antara Variabel Laten dengan Variabel
Manifes Berdasarkan Penilaian Pegawai dan Penilaian Masyarakat .............. 95
31. Bobot Faktor terhadap Goal ....................................................................... 102
32. Bobot Kriteria terhadap Faktor ................................................................... 104
33. Bobot Sub-Kriteria terhadap Kriteria .......................................................... 106
xvii
34. Faktor Internal dan Faktor Eksternal Pelaksanaan
Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung ...................................... 113
35. Matriks Strategi Pelaksanaan Kebijakan ..................................................... 114
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuesioner Analisis Faktor ......................................................................... 142
2. Kuesioner AHP ......................................................................................... 146
3. Pedoman Wawancara ................................................................................ 165
4. Data Hasil Penelitian Responden Pegawai ................................................. 167
5. Data Hasil Penelitian Responden Masyarakat ............................................ 168
6. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Responden Pegawai ............................ 170
7. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Responden Masyarakat ....................... 176
8. Data Tingkat Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah ........................ 180
9 . Hasil Analisis Faktor Responden Pegawai ................................................. 185
10. Hasil Analisis Faktor Responden Masyarakat ............................................ 190
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat,
peningkatan konsumsi masyarakat dan aktivitas kehidupan masyarakat di
perkotaan, menimbulkan bertambahnya volume dan jenis sampah, serta
karakteristik sampah yang semakin beragam. Sampah yang ditimbulkan dari
aktivitas dan konsumsi masyarakat perkotaan ini, telah menjadi permasalahan
lingkungan yang harus ditangani oleh setiap pemerintah kota dengan dukungan
partisipasi aktif dari masyarakat perkotaan itu sendiri. Permasalahan sampah
perkotaan ini dialami pula oleh Pemerintah Kota Bandung sebagai Ibu Kota
Provinsi Jawa Barat. Kota Bandung yang dahulunya dikenal dengan ”Parijs van
Java” dengan lingkungannya yang asri sehingga pernah dijuluki sebagai Kota
Kembang, namun karena menghadapi permasalahan sampah perkotaan maka
dikhawatirkan status yang sudah baik ini menjadi hilang karna menumpuknya
sampah diberbagai tempat yang antara lain disebabkan oleh terbatasnya daya
tampung tempat pembuangan akhir(TPA).
Pada tingkat perkembangan kehidupan masyarakat di masa lampau,
pengelolaan sampah bertumpu pada pendekatan akhir, dengan membuang sampah
yang dihasilkan proses produksi dan konsumsi secara langsung ke tempat
pembuangan akhir sampah (Djajadiningrat, 2001).
Berdasarkan data dari PD Kebersihan Kota Bandung Tahun 2009, volume
timbulan sampah sebagai indikasi kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung
periode Tahun 2001-2008, setiap tahunnya menghasilkan rata-rata sebesar
1.369.659 m3, dengan rata-rata pertambahan sebesar 17,29%/tahun atau sebesar
81.394 m3
/tahun, namun demikian volume sampah yang bisa diolah baru sekitar
10%. Data dari PD Kebersihan ini memperlihatkan pula bahwa setiap penduduk
berpotensi menghasilkan sampah sekitar 3 liter per hari, sehingga dengan jumlah
penduduk Kota Bandung sekitar 2,5 juta jiwa, beban sampah dapat mencapai
2
sekitar 7.500 m3/hari. Beban kualitas lingkungan hidup berupa sampah ini
memiliki konstribusi terbesar utama berasal dari rumah tangga yaitu sekitar 66%
atau 4.952 m3. Kemudian sektor industri merupakan penghasil sampah yang
memiliki konstribusi terbesar kedua dengan produksi sampah sekitar 798,50
m3
Pengelolaan sampah di Kota Bandung selama ini mengacu pada Peraturan
Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985 yang memberikan kewenangan
kepada Perusahaan Daerah untuk mengelola sampah. Artinya pengelolaan sampah
di Kota Bandung lebih diarahkan kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
/hari atau hampir 11%, dan sisanya sekitar 23% berasal dari pasar, sektor
komersial, jalan, non komersial, serta sampah saluran.
Peran masyarakat didalam menangani sampah di Kota Bandung
diposisikan hanya sebagai objek sumber pendapatan. Sampah yang berasal dari
rumah tangga dikelola oleh lembaga kewilayahan tingkat RW, kemudian dibawa
ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang dikelola oleh Perusahaan Daerah.
Saat ini kebijakan pengelolaan sampah perkotaan yang diterapkan Pemerintah
Kota Bandung selain dikelola oleh PD Kebersihan, juga mengacu pada Peraturan
Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan
dan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban,
Kebersihan, dan Keindahan, di Kota Bandung yang meminta peran serta
masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Dari dua
peraturan daerah yang ada, terlihat adanya kontradiktif.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sampah merupakan suatu tonggak baru bagi kebijakan pengelolaan sampah
perkotaan di Kota Bandung yang mengarahkan kebijakan pengelolaan sampah
perkotaan pada konsep zero waste dengan menekankan pentingnya peran
masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Pemerintah Daerah Kota Bandung dituntut untuk memformulasikan
kebijakan pengelolaan sampah perkotaan dalam mengatasi permasalahan sampah
khususnya sampah yang berasal dari rumah tangga dengan memberikan
konstribusi terbesar (66%) penghasil sampah di Kota Bandung (PD Kebersihan,
3
2009). Hal itu diperlukan agar pengelolaan sampah rumah tangga dapat
terintegrasi antar seluruh kelembagaan terkait dan menjadi instrumen penting
dalam menerapkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan.
Pengelolaan sampah di kota, tidak terlepas dari kebijakan publik yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Secara umum menurut Edward III (1980)
kebijakan publik dipengaruhi 4 (empat) aspek penting dalam pelaksanaan suatu
kebijakan yaitu 1) Komunikasi, 2) Sumberdaya, 3) Disposisi, dan 4) Birokrasi.
Upaya pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan pada aspek
komunikasi yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung lebih banyak dilakukan
dalam hal komunikasi internal antar instansi pemerintah terkait dengan
pengelolaan sampah. Komunikasi eksternal kepada masyarakat hanya sekedar
pada himbauan berupa pemasangan billboard di tempat-tempat tertentu seperti
”Buanglah Sampah pada Tempatnya”, ”Dilarang Membuang Sampah
Sembarangan”, ”Jagalah Kebersihan”, dan ”Jangan Membuang Sampah ke
Sungai”. Pemerintah Kota Bandung tidak memiliki program khusus yang secara
intensif menangani kegiatan sosialisasi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan
berupa pengelolaan sampah.
Pada aspek sumberdaya, khususnya dalam hal sumber pendanaan,
Pemerintah Kota Bandung menerapkan retribusi sampah sebagai salah satu
sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan sumber pendanaan dalam
penyelenggaraan pelayanan pengelolaan sampah. Fenomena yang terjadi
berkaitan dengan pendanaan ini yaitu adanya 2 (dua) kali pungutan sampah yang
harus dibayar oleh masyarakat. Pertama, pungutan berupa iuran sampah bulanan
yang dikelola oleh RW setempat dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan
pengumpulan sampah dari rumah penduduk ke TPS. Sedangkan yang kedua
pungutan berupa retribusi sampah (pada saat pembayaran listrik PLN) yang
dipungut oleh PD Kebersihan dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan
pengangkutan sampah dari TPS ke TPA.
Pada aspek disposisi, Pemerintah Kota Bandung dituntut memiliki
kesepakatan di kalangan pelaksana untuk menerapkan kebijakan pengelolaan
sampah perkotaan, namun pada kenyataannya Pemerintah Kota Bandung memiliki
4
peraturan daerah yang kontradiksi antara Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor
02 Tahun 1985 yang memberikan kewenangan kepada Perusahaan Daerah untuk
mengelola sampah di Kota Bandung, dengan Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung dan Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan
Keindahan; yang mengamanatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
sampah.
Sedangkan pada aspek birokrasi, Pemerintah Kota Bandung menempatkan
PD Kebersihan sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pengelolaan
sampah di Kota Bandung. Namun pengelolaan sampah perkotaan yang dilakukan
PD Kebersihan hanya difokuskan pada pengelolaan sampah dalam hal
pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah
di Kota Bandung belum mengacu pada Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang mengamanatkan kepada
Pemerintah untuk menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah.
Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan
pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah
meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha.
Selain itu organisasi pengelola sampah, dan kelompok masyarakat yang bergerak
di bidang persampahan dapat juga diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan
sampah.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis melakukan
penelitian dengan judul:
”Analisis Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah sebagai Upaya
Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup di Kota Bandung”
1.2 Kerangka Pemikiran
Kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung ditujukan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup serta
menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengertian kualitas lingkungan hidup
5
dalam kajian ini terkait dengan bebasnya lingkungan hidup dari timbunan sampah,
bau akibat sampah dan turunan dari adanya timbunan sampah seperti penyakit
disentri, kolera, tipus, dan penyakit lainnya.
Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah
berakhirnya suatu proses produksi/konsumsi, namun dalam proses alami, tidak
dikenal istilah sampah. Proses-proses alam terkait satu sama lain dalam suatu
siklus, di mana output dari satu proses menjadi input dari proses lain. Sampah
adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa
atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang yang rusak atau bercacat
dalam pembikinan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau
buangan.
Pengelolaan sampah yang selama ini berlangsung bertumpu pada wawasan
bahwa sampah bukan sumberdaya dan mengandalkan diri pada pendekatan
membuang sampah di lokasi tempat pembuangan akhir sampah. Semua sampah
yang dihasilkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat dibuang ke tempat
penimbunan akhir sampah yang pada akhirnya memberikan tekanan yang sangat
berat terhadap tempat penimbunan akhir sampah, karena memerlukan jangka
waktu panjang agar sampah dapat diurai oleh proses alam. Dalam jangka waktu
proses penguraian oleh alam, sampah harus tetap dikelola yang berarti diperlukan
dana, tenaga, waktu dan ruang untuk mengelolanya. Oleh karena itu, pengelolaan
sampah perlu dirumuskan dan dirancang ke dalam suatu sistem dan mekanisme
dalam bentuk kebijakan pengelolaan sampah.
Pengelolaan sampah dengan paradigma baru bertujuan mengurangi
volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah melalui upaya
pengembangan memperlakukan sampah dengan cara mengurangi, menggunakan-
kembali dan mendaur-ulang. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru juga
menegaskan bahwa pengelolaan sampah merupakan pelayanan publik yang
bertujuan untuk mengendalikan sampah yang dihasilkan masyarakat melalui
pemberdayaan masyarakat yang didukung oleh pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah.
6
Lahirnya undang-undang tentang pengelolaan sampah merupakan suatu
tonggak baru bagi pengelolaan sampah khususnya di Kota Bandung. Pengelolaan
sampah di Kota Bandung diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas
berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan,
asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah yang mengatur mengenai penyelenggaraan pengelolaan sampah, pada
Bab IV Pasal 19 menetapkan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga dan
sejenis sampah rumah tangga seperti plastik, sayuran dan buah-buahan dari
sampah pasar, terdiri atas; 1) Pengurangan sampah, dan 2) Penanganan sampah.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada
Bab IV Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa kegiatan pengurangan sampah
merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi sampah, yang
meliputi kegiatan; 1) pembatasan timbulan sampah, 2) pendauran ulang sampah,
dan/atau 3) pemanfaatan kembali sampah. Pada ayat (2) undang-undang ini
dijelaskan pula bahwa dalam pengurangan sampah, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan berupa; 1) menetapkan target
pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu tertentu, 2)
memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan, 3) memfasilitasi
penerapan label produk yang ramah lingkungan, 4) memfasilitasi kegiatan
mengguna ulang dan mendaur ulang, dan 5) memfasilitasi pemasaran produk-
produk daur ulang.
Upaya pelaksanaan kegiatan pengurangan sampah mengharuskan pelaku
usaha menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit
mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh
proses alam. Begitu pula dengan masyarakat, diharuskan menggunakan bahan
yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam.
Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sampah ini khususnya mengenai
pengurangan sampah, pada Bab IV Pasal 21 tercakup mengenai pemberian
insentif oleh pemerintah bagi setiap orang yang melakukan pengurangan sampah,
7
dan bagi setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah akan diberikan
disinsentif oleh pemerintah.
Kegiatan penanganan sampah ditunjukkan pada Bab IV Pasal 22 yang
merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menangani sampah, meliputi
kegiatan 1) Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah
sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah, 2) Pengumpulan dalam bentuk
pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat
penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu, 3)
Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu
menuju ke tempat pemrosesan akhir, 4) Pengolahan dalam bentuk mengubah
karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah, dan/atau, 5) Pemrosesan akhir
sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan
sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan, Webster (1990) dalam Wahab
(2000) mengemukakan: ”Implementasi kebijakan adalah suatu proses
melaksanakan keputusan kebijakan biasanya dalam bentuk Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit
Presiden.” Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Wahab (2000)
mengemukakan: ”Implementasi kebijakan adalah kejadian-kejadian dan kegiatan-
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan
negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun
untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-
kejadian”.
Jadi yang perlu dalam pelaksanaan kebijakan merupakan bentuk tindakan-
tindakan yang sah atau implementasi suatu rencana dengan peruntukannya.
Terdapat 4 (empat) faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, seperti
yang diungkapkan oleh Edward III (1980); yaitu komunikasi, sumberdaya,
disposisi-disposisi atau sikap-sikap dan struktur birokrasi. Selain itu agar
kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan efektif, menurut Jones
8
(1996) terdapat 3 (tiga) aktivitas utama yang merupakan dimensi dari pelaksanaan
program atau keputusan yaitu:
1. Pengorganisasian, penyesuaian dan penataan kembali sumberdaya, unit-unit
serta metode untuk menjadikan program berjalan.
2. Penafsiran (interpretasi) program menjadi rencana, pengarahan yang tepat dan
dapat diterima serta dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Dalam hal
ini diperlukan informasi proses kebijakan, standarisasi yang jelas, serta
tingkat dukungan.
3. Penerapan (aplikasi) pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan
dengan tujuan atau perlengkapan program.
Penelitian mengenai Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu yang
dilakukan oleh Wibowo dan Djajawinata (2007), menunjukan bahwa beberapa
kegiatan perlu dilakukan untuk mengatasi tingginya pertambahan penduduk dan
arus urbanisasi ke perkotaan yang menyebabkan semakin tingginya volume
sampah, ditambah keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah, pengangkutan sampah ke TPA yang terkendala karena jumlah kendaraan
yang tidak mencukupi dan kondisi peralatan yang telah tua serta pengelolaan TPA
yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan.
Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang memiliki
nilai ekonomi seperti untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku
industri. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dapat dilakukan
dengan kegiatan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep 3R (reduce, reuse
dan recycle) dan pengelolaan sampah yang menerapkan konsep pemberdayaan
masyarakat (empowerment). Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan
(reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendauran ulang (recycle), sedangkan
pemberdayaan masyarakat (empowerment) berupa kegiatan pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Berdasarkan pemikiran yang telah dikemukakan, kerangka pemikiran
untuk penelitian ini digambarkan seperti terlihat pada Gambar 1.
9
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan
Sampah di Kota Bandung
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan kerangka pemikiran dan latar belakang dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut:
KEBIJAKAN (Tujuan dan Sasaran)
Birokrasi
Kelembagaan Persampahan
Disposisi
Sikap Para Pelaksana
PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
SAMPAH SAAT INI
Paradigma Baru Pengelolaan Sampah
Perkotaan
Umpan balik
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan
Sumberdaya
Pemanfaatan Sampah
Komunikasi
Pengkomunikasian Pelaksanaan
PENINGKATAN KUALITAS
LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDUNG
Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan sampah
yang Baru
Masalah Pengelolaan Sampah Perkotaan
10
1. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang dilakukan di Kota Bandung
belum terlaksana dengan baik.
2. Terdapat faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung.
3. Prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung belum ada.
4. Kebijakan pengelolaan sampah yang dapat dijadikan acuan dalam
melaksanakan pengelolaan sampah di Kota Bandung belum ada.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk merumuskan pokok-pokok
pikiran yang menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan model kebijakan
pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung. Kajian akademis ini bertujuan
untuk:
1. Mengkaji pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
2. Mengevaluasi faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
3. Menetapkan prioritas dan strategi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung
4. Merumuskan kebijakan pengelolaan sampah yang baru di Kota Bandung.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian yang dilakukan ini adalah:
1. Manfaat Praktis, yaitu memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah
khususnya Pemerintah Kota Bandung, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kota Bandung, dan masyarakat Kota Bandung mengenai pengelolaan
sampah yang lebih efektif, efisien dan ramah lingkungan.
2. Manfaat Teoritis, yaitu diharapkan dapat dijadikan referensi dan bahan
rujukan dalam penelitian lain yang melakukan pengkajian terhadap kebijakan
pengelolaan sampah, dan kegiatan pengelolaan sampah di wilayah perkotaan.
11
1.6 Kebaruan Penelitian
Berdasarkan beberapa hasil kajian terhadap penelitian terdahulu, novelty
dari disertasi ini adalah menetapkan faktor dominan yang menentukan
pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan dilihat dari konsep Edward
III (1980) dan paradigma baru kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah
Dunn (1999) mengartikan kebijakan publik sebagai arahan otoritatif bagi
penyelenggaraan tindakan pemerintah dalam wilayah negara, kabupaten dan kota
yang dikukuhkan oleh legislatif, aturan main adminstrasi, dukungan publik yang
mempunyai pengaruh terhadap warga masyarakat dalam suatu wilayah
pemerintahan. Hoogerwerf (1978) berpendapat bahwa kebijakan merupakan usaha
mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu
yang tertentu, sedangkan kebijakan pemerintah merupakan kebijakan yang dibuat
oleh pejabat pemerintah dan instansi pemerintah.
Kebijakan pemerintah secara umum dapat diartikan sebagai ketentuan-
ketentuan yang dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari
aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam
mencapai tujuan tertentu dan golongan ke dalam ruangan lingkup nasional dan
lingkup wilayah/daerah. Gladden (1968) yang dikutip Badri (1982) menyatakan
bahwa dilihat dari tingkatannya kebijakan pemerintah dapat dibedakan menjadi
political policy, executive policy, administrative policy, technical or operational
policy. Siagian (1985) berpendapat bahwa tingkatan kebijakan pemerintah terdiri
dari 3 (tiga) tingkatan kebijakan, yaitu
1. Kebijakan Umum, yang sifatnya mendasar dan prinsipil;
2. Kebijakan Pelaksanaan, yang kadang-kadang juga dikenal dengan istilah
kebijakan operasional; dan
3. Kebijakan Tehnis.
Suradinata (1993) membagi kebijakan menjadi 5 (lima) tingkat kebijakan
pemerintah, yaitu: 1) Kebijakan Nasional; 2) Kebijakan Umum; 3) Kebijakan
Pelaksanaan; 4) Kebijakan Teknis; dan 5) Kebijakan Wilayah atau daerah.
Mustopadidjaja (1999) membedakan level kebijakan pemerintah di Indonesia
kedalam:
13
1. Tahap Kebijakan puncak, bentuknya berupa ketetapan MPR sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, dekrit Kepala Negara, Peraturan Kepala negara.
2. Tahap Kebijakan umum, bentuknya berupa Undang-Undang, peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Penetapan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden.
3. Tahap Kebijakan khusus, bentuknya berupa Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi menteri dan surat edaran Menteri.
4. Tahap Kebijakan tehnis, bentuknya berupa Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Direktur Jenderal dan Instruksi Jenderal.
5. Tahap Kebijakan kewilayahan Dati I (Provinsi) bentuknya berupa Peraturan daerah Provinsi dan Keputusan Gubernur serta Instruksi Gubernur.
6. Tahap Kebijakan kewilayahan Dati II (Kabupaten/Kota) bentuknya berupa Peraturan daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Bupati/Walikota serta Instruksi Bupati/Walikota.
Kebijakan publik ini merupakan seperangkat aturan yang mengatur
kepentingan publik dan pemerintahan untuk maksud dan tujuan yang saling
menguntungkan atau demi ketertiban bersama. Untuk dapat mencapai maksud
seperti ini maka proses pembuatan kebijakan harus mengaju pada masalah-
masalah riil yang perlu diselesaikan dengan berbagai pengetahuan dan disiplin
ilmu yang relevan dengan permasalahan yang dimaksud. Permasalahan-
permasalahan berkaitan dengan persampahan yang ada di masyarakat perlu
dianalisis dan diseleksi menurut prioritas tertentu sehingga dapat diupayakan
proses penerapannya oleh lembaga yang berwenang yang melahirkan kebijakan
publik. Oleh karena itu permasalahan persampahan yang beranekaragam mulai
dari jenis, bobotnya dan urgensinya maka dalam proses pembuatan kebijakan
pengelolaan sampah diperlukan berbagai macam disiplin ilmu dan kualitas dari
para aktor pembuat kebijakan yang menguasai permasalahan pengelolaan sampah
untuk dicarikan solusinya dengan tepat.
Upaya mengatasi permasalahan sampah, pemerintah telah menetapkan
kebijakan pengelolaan sampah yang tertuang dalam betuk peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan sampah dengan menetapkan Undang-Undang
Nomor Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 1 Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah ini, menjelaskan
bahwa:
14
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus. Sumber sampah adalah asal timbulan sampah. Penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan timbulan sampah. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Tempat penampungan sementara adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Tempat pengolahan sampah terpadu adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah. Tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
Nilandari (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan asalnya, sampah
padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yaitu sampah organik dan sampah
anorganik. Sampah organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan
hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan
atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah
rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah
organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun.
Sedangkan sampah anorganik berasal dari sumberdaya alam tak terbarui seperti
mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak
terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara
keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat
diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah
tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng. Kertas, koran,
dan karton merupakan perkecualian. Berdasarkan asalnya, kertas, koran, dan
karton termasuk sampah organik. Tetapi karena kertas, koran, dan karton dapat
didaur ulang seperti sampah anorganik lain (misalnya gelas, kaleng, dan plastik),
maka jenis sampah ini dimasukkan ke dalam kelompok sampah anorganik.
Sampah yang diproduksi di kehidupan liar diintegrasikan melalui proses
daur ulang alami, seperti halnya daun-daun kering di hutan yang terurai menjadi
tanah. Diluar kehidupan liar, sampah-sampah ini dapat menjadi masalah, misalnya
15
daun-daun kering di lingkungan pemukiman. Sampah manusia (Inggris: human
waste) adalah istilah yang biasa digunakan terhadap hasil-hasil pencernaan
manusia, seperti feses dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius
bagi kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana perkembangan)
penyakit yang disebabkan virus dan bakteri. Salah satu perkembangan utama pada
dialektika manusia adalah pengurangan penularan penyakit melalui sampah
manusia dengan cara hidup yang higienis dan sanitasi. Termasuk di dalamnya
adalah perkembangan teori penyaluran pipa (plumbing). Sampah manusia dapat
dikurangi dan dipakai ulang misalnya melalui sistem urinoir tanpa air. Sampah
konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang,
dengan kata lain sampah merupakan sisa konsumsi yang dibuang ke tempat
sampah. Ini merupakan sampah yang umum dipikirkan manusia. Meskipun
demikian, jumlah sampah kategori ini relatif lebih kecil dibandingkan sampah-
sampah yang dihasilkan dari proses pertambangan dan industri (Wikipedia, 2009)
Pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah umumnya masih
menggunakan pendekatan end of pipe solution (Aditya, 2008). Pendekatan ini
menitikberatkan pada pengelolaan sampah ketika sampah tersebut telah
dihasilkan, yaitu berupa kegiatan pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan
sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Seyogyanya pengelolaan
sampah perlu dirumuskan dan dirancang ke dalam suatu sistem dan mekanisme
dalam bentuk peraturan/kebijakan pengelolaan sampah.
Kebijakan pengelolaan sampah diberlakukan dengan pertimbangan bahwa;
1) pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat
menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin
beragam, 2) pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan
teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, 3) sampah telah
menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara
ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat
mengubah perilaku masyarakat, 4) dalam pengelolaan sampah diperlukan
16
kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah,
pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga
pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien, maka
ditetapkan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Sampah.
Peraturan/kebijakan yang ditetapkan berupa Undang-undang Nomor 18
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah berfungsi dalam aspek teknis untuk: 1)
Mengatur ketentuan-ketentuan teknis yang didelegasikan peraturan di atasnya, dan
2) Mengatur posisi, hak dan kewajiban pengelola sampah sesuai dengan ketentuan
yang diaturnya. Tujuan disusunnya kebijakan pengelolaan sampah adalah
pengendalian terhadap sampah dengan melakukan kegiatan berupa:
1. Mengurangi kuantitas dan dampak yang ditimbulkan sampah
2. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat
3. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup
4. Menyusun peraturan nasional untuk menjadi pedoman bagi Pemerintah
Daerah dalam menyusun kebijaksanaan pengelolaan sampah
Adapun sasaran disusunnya kebijakan pengelolaan sampah ini adalah:
1. Peningkatan pengelolaan sampah di daerah perkotaan dan pedesaan
2. Pencegahan terhadap dampak lingkungan
3. Peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan
4. Peningkatan peran para pihak (pemerintah, Pelaku Usaha dan masyarakat)
dalam pengelolaan sampah
5. Penerapan hierarki pengelolaan sampah yang meliputi:
a. Pencegahan dan pengurangan sampah dari sumber
b. Pemanfaatan kembali
c. Tempat Pembuangan Akhir
Pengelolaan sampah dengan paradigma baru bertujuan mengurangi
volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah melalui
pengembangan upaya memperlakukan sampah dengan cara mengganti,
pengurangan, penggunaan-kembali dan daur-ulang. Pengelolaan sampah dengan
paradigma baru itu juga menegaskan bahwa pengelolaan sampah merupakan
17
pelayanan publik yang bertujuan untuk mengendalikan sampah yang dihasilkan
masyarakat. Untuk melaksanakan hal tersebut diperlukan penetapan kebijakan
pengelolaan sampah yang mendorong akuntabilitas orang-seorang dan korporasi
serta menetapkan dan mengembangkan instrumen yang diperlukan untuk
mendukung terciptanya perilaku yang kondusif bagi pemanfaatan sumberdaya
secara berkelanjutan.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan
Aturan kebijakan yang telah ditetapkan pada pelaksanaannya perlu
dilakukan evaluasi yang merupakan prosedur dalam analisis kebijakan untuk
memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari diberlakukannya kebijakan
ini. Analisis kebijakan dapat mendeskripsikan adanya pengaruh pelaksanaan suatu
kebijakan berdasarkan hasil yang dicapai, sehingga hasil evaluasi merupakan
sumber informasi utama berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan yang telah
ditetapkan.
Dunn (1999) menyatakan bahwa evaluasi bermaksud untuk menetapkan
premis faktual tentang kebijakan publik, sementara premis faktual dan nilai dapat
diperoleh berdasarkan rekomendasi dan evaluasi dalam suatu analisis yang
sistematis. Oleh karena itu evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan akan
menghasilkan kesimpulan yang jelas selama dan setelah suatu kebijakan diadopsi
serta dilaksanakan, atau ex post facto. Evaluasi setidaknya memainkan 4 (empat)
fungsi dalam analisis kebijakan (Dunn, 1999) yaitu eksplanasi, akuntansi,
pemeriksaan dan kepatuhan, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Kepatuhan (Compliance). Evaluasi bermanfaat untuk menentukan apakah
tindakan dari para administrator program, staf, dan pelaku lain sesuai dengan
standar dan prosedur yang dibuat oleh para legislator, instansi pemerintah, dan
lembaga profesional.
2. Pemeriksaan (Auditing). Evaluasi membantu menentukan apakah sumberdaya
dan pelayanan yang dimaksudkan untuk kelompok sasaran maupun konsumen
tertentu (individu, keluarga, kota, negara bagian, wilayah) memang telah
sampai kepada mereka.
18
3. Akuntansi. Evaluasi menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk
melakukan akuntansi atas perubahan sosial ekonomi yang terjadi setelah
dilaksanakannya sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.
4. Eksplanasi. Evaluasi juga menghimpun informasi yang dapat menjelaskan
mengapa hasil-hasil kebijakan publik dan program berbeda.
Evaluasi dalam analisis kebijakan publik berkaitan dengan kebijakan
pengelolaan sampah membutuhkan informasi yang relevan, reliabel dan valid.
Informasi yang dihimpun melalui evaluasi dapat diperoleh dengan observasi
berkaitan dengan pengelolaan sampah yang dilakukan secara cermat dan dapat
diandalkan. Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan, Webster (1990) yang dikutip
Wahab (2000) mengemukakan: ”Pelaksanaan kebijakan adalah suatu proses
melaksanakan keputusan kebijakan biasanya dalam bentuk Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit
Presiden.”
Wahab (2000) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sebagai
berikut : ”Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk
Undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-
keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.” Jadi yang
perlu dalam pelaksanaan kebijakan merupakan bentuk tindakan-tindakan yang sah
atau pelaksanaan suatu rencana dengan peruntukannya. Membuat atau
merumuskan kebijakan bukanlah suatu yang sederhana, karena banyak faktor
hambatan serta pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Sementara
itu, ada 4 (empat) faktor kritis yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan, seperti
yang diungkapkan oleh Edward III (1980) yang menyatakan:
Di manapun dan kapanpun faktor-faktor kritis mendasar yang sangat penting untuk penerapan kebijakan publik, baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju, adalah masalah implementasi. Faktor-faktor kritis ini adalah komunikasi, sumberdaya, disposisi-disposisi atau sikap-sikap dan struktur birokrasi
19
Faktor-fator kritis ini terdiri dari komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap,
dan birokrasi yang penjabarannya secara umum (Edward III, 1980) adalah sebagai
berikut:
1. Komunikasi
Komunikasi menunjukkan peranan penting sebagai acuan agar pelaksana
kebijakan mengetahui persis apa yang mereka kerjakan. Komunikasi juga
dapat dinyatakan dengan perintah dari atasan terhadap pelaksana-pelaksana
kebijakan sehingga penerapan kebijakan tidak keluar dari sasaran yang
dikehendaki, oleh karena itu komunikasi harus dinyatakan dengan jelas, tepat
dan konsisten.
2. Sumberdaya
Sumberdaya tidak hanya mencakup jumlah sumberdaya manusia/aparat
semata melainkan mencakup kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan
kebijakan tersebut. Hal ini dapat menjelaskan bahwa tanpa sumberdaya yang
memadai maka pelaksanaan kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif.
3. Disposisi/ sikap pelaksana
Disposisi diartikan sebagai keinginan atau kesepakatan dikalangan pelaksana
untuk menerapkan kebijakan. Jika penerapan kebijakan dilaksanakan secara
efektif, pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang akan mereka
kerjakan namun harus memiliki kemampuan dan keinginan untuk
menerapkannya.
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi merupakan variabel terkhir yang mempunyai dampak
terhadap penerapan kebijakan dalam arti bahwa dalam penerapan kebijakan
itu tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam struktur birokrasi
tersebut. Setiap pihak yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan perlu
mengembangkan suatu prosedur standar pelaksanaan.
Namun, agar kebijakan yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan
efektif, menurut Jones (1996) terdapat 3 (tiga) aktivitas utama yang merupakan
dimensi dari pelaksanaan program atau keputusan yaitu:
20
1. Pengorganisasian.
Hal utama dalam tahapan ini adalah pembentukan atau penataan kembali
sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan. Titik
tolak dari aktivitas pengorganisasian ini adalah kinerja birokrasi, yang akan
berdampak pada ketetapan, kecepatan, kejelasan, pengaturan, pengetahuan,
kesinambungan, serta pembagian tugas yang jelas.
2. Penafsiran (interpretasi)
Menafsirkan agar program (seringkali dalam hal status) menjadi rencana dan
pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan oleh para
implementor kebijakan. Oleh karena itu, dalam penafsiran diperlukan
informasi proses kebijakan, standarisasi yang jelas, serta tingkat dukungan
politik yang dilaksanakan oleh para implementator kebijakan.
3. Penerapan (aplikasi)
Pada tahap ini aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan penyediaan
barang dan jasa atau ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya
yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
Ketiga dimensi tersebut merupakan faktor determinan keberhasilan
pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu akan lebih berarti jika dikaitkan dengan
pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, yang akan difokuskan pada penelitian
ini. Keberhasilan suatu kebijakan dalam hal pengorganisasian merupakan hal yang
penting karena organisasi merupakan wadah dan proses yang menentukan dalam
rangka pencapaian tujuan. Selain itu tingginya kemampuan pelaksanaan
sumberdaya organisasi akan memberi harapan besar untuk dapat melaksanakan
rencana kebijakan secara efektif.
Wibowo dan Djajawinata (2007) menyebutkan bahwa kebijakan
pengelolaan sampah yang dikeluarkan dapat dilaksanakan dengan efektif,
diantaranya:
1. Melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metoda pembuangannya.
2. Merencanakan dan menerapkan pengelolaan sampah secara terpadu
(pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir).
21
3. Memisahkan peran pengaturan dan pengawasan dari lembaga yang ada
dengan fungsi operator pemberi layanan, agar lebih tegas dalam melaksanakan
reward & punishment dalam pelayanan.
4. Menggalakkan program yang dapat mencapai program zero waste pada masa
mendatang, yaitu:
a. Mengurangi sampah (Reduce)
b. Menggunakan kembali sampah (Reuse)
c. Mendaur ulang sampah (Recycle)
5. Melakukan pembaharuan struktur tarif dengan menerapkan prinsip pemulihan
biaya (full cost recovery) melalui kemungkinan penerapan tarif progresif, dan
mengkaji kemungkinan penerapan struktur tarif yang berbeda bagi setiap tipe
pelanggan.
6. Mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan
lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan.
Tinjauan perspektif pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam
hasil penelitian ini, ditujukan pada pengoperasiannya berlandasan pada konsepsi
aktivitas fungsional dalam pelaksanaannya. Berkaitan dengan pengembangan
teknologi, hasil penelitian yang dilakukan Amurwaraharja (2003) menyatakan
bahwa teknologi merupakan prioritas utama untuk kegiatan pengolahan sampah di
Jakarta Timur berupa pengomposan dan incenerator. Selain itu hasil penelitian
Virgota et al. (2001) menunjukkan pula kelayakan sistem pemisahan sampah
rumah tangga pada pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.
Hasil penelitian Hendrasarie (2005) berkaitan dengan Sistem
Pengelolaan Sampah Pasar swakelola sebagai alternatif pengelolaan sampah
dalam upaya memperpanjang umur TPA serta pengendalian lingkungan hidup.
Pengelolaan sampah bukan hanya merupakan tanggung pemerintah saja, namun
menjadi tanggungjawab bersama dengan masyarakatnya, seperti ditunjukkan oleh
hasil penelitian Mandailing et al. (2001) tentang partisipasi pedagang dalam
program kebersihan dan pengelolaan sampah pasar yang mengambil studi kasus di
Kota Bogor, yang memperlihatkan bahwa partisipasi pedagang dibutuhkan dalam
22
pengelolaan sampah pasar. Selain itu hasil penelitian Jumiono et al. (2000)
menunjukkan prospek yang besar dalam pendirian industri vermikompos
berbahan baku sampah kota yang memfokuskan kepada analisis finansial industri
vermikompos yang berbahan baku sampah kota. Hal ini didukung pula oleh hasil
penelitian Suhartiningsih et al. (1998) yang melakukan penelitian tentang sistem
penunjang keputusan investasi usaha daur ulang sampah kota untuk produksi
kompos, dan hasil penelitian Syamsuddin et al. (1985) yang menilai keberhasilan
sistem pengelolaan sampah rumah tangga di Ujung Pandang berdasarkan
partisipasi masyarakat, persepsi masyarakat, pengelolaan sampah oleh pemerintah
kota, dan peraturan perundang-undangan.
Konsep pelaksanaan kebijakan meliputi pengorganisasian, penafsiran dan
penerapan dalam pengelolaan sampah di perkotaan, penelitian ini difokuskan pada
pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah pada aspek kelembagaan pengelolaan
sampah yang menjadi tanggungjawab PD Kebersihan Kota Bandung, sehingga
teori pelaksanaan kebijakan yang berkesesuaian dengan penelitian ini adalah teori
Edward III (1980) dengan mengacu pada faktor-fator kritis pelaksanaan kebijakan
yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi/sikap, dan birokrasi.
2.2.1 Komunikasi dalam Pelaksanaan Kebijakan
Manusia membutuhkan komunikasi dengan sesamanya dalam kehidupan
sosialnya. Pada umumnya dalam berkomunikasi terdapat orang yang
menyampaikan pesan (komunikator), orang yang menerima pesan (komunikan)
dan pesan yang disampaikan. Proses komunikasi antara komunikator dengan
komunikan akan berjalan dengan baik bila pesan yang disampaikan singkat, jelas
dan tepat sasaran. Berkaitan dengan komunikasi, Edward III mengatakan bahwa
agar pelaksanaan kebijakan publik dilaksanakan dengan efektif maka perlu para
pelaksana kebijakan mengetahui apa yang harus mereka laksanakan. Komunikasi
mempunyai peranan yang penting sebagai acuan agar pelaksana kebijakan
mengetahui persis apa yang akan dikerjakan. Komunikasi juga dinyatakan dengan
perintah dari atasan terhadap pelaksana kebijakan, sehingga komunikasi harus
dinyatakan dengan jelas, cepat dan konsisten.
23
Sistem komunikasi dalam organisasi modern berkembang sebagai akibat
dari semakin pentingnya pendekatan kesisteman dan penyelenggaraan berbagai
kegiatan yang menjadi tanggung jawab suatu organisasi (Siagian, 1997).
Berkomunikasi dalam kehidupan berorganisasi, dibutuhkan untuk menyamakan
persepsi atau pendapat yang berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai.
Komunikasi yang berlangsung dengan dinamis akan dapat menentukan
keberhasilan tujuan organisasi. Halangan terbesar dalam berkomunikasi adalah
terdapatnya beraneka ragam persepsi. Pengiriman pesan/informasi dari
komunikator yang tidak jelas membuat komunikan menerima dan
menjalankannya tidak jelas dan bahkan dapat mengganggu jalannya organisasi.
Pendekatan kesisteman menuntut interaksi yang tinggi dengan intensitas yang
tinggi pula, terutama apabila dikaitkan dengan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi.
Edward III mengatakan bahwa lancar atau tidaknya suatu interaksi tersebut
bertumpu pada kemauan orang dalam organisasi untuk: 1) menerima, memproses
dan menghasilkan bahan-bahan yang perlu dikomunikasikan kepada orang lain;
2) mengkomunikasikan informasi yang ada pada seseorang dengan orang lain
atau kelompok dimana yang bersangkutan menjadi anggota; 3) memanfaatkan
jalur komunikasi yang terdapat dalam organisasi seefektif mungkin, dan 4)
mengembangkan sistem penanganan informasi dalam organisasi baik secara
manual maupun dengan menggunakan peralatan yang lebih modern.
Cafezio dan Morehouse (1998) mengartikan komunikasi sebagai
pemahaman yang merupakan kunci dalam mempengaruhi individu atau
kelompok-kelompok untuk mengambil tindakan positif dalam mencapai sasaran
spesifik - inti yang riil dari apa yang para pemimpin lakukan. Komunikasi yang
baik adalah kunci dalam pemahaman. Pengertian komunikasi tersebut merupakan
kunci penting dalam memahami sesuatu, dengan berkomunikasi, pencapaian
tujuan akan lebih mudah tercapai. Berkomunikasi dalam lingkungan organisasi,
merupakan sesuatu yang penting untuk menyamakan langkah dalam pencapaian
tujuan. Berkomunikasi dapat membuat sistem kerjasama dalam organisasi
semakin dinamis dan meningkatkan partisipasi bawahan terhadap pencapaian
24
tujuan organisasi. Berkomunikasi dibutuhkan dalam setiap organisasi baik formal
atau informal, dalam organisasi, berkomunikasi digunakan untuk menyamakan
persepsi tujuan organisasi.
Berkomunikasi dapat memberikan kejelasan informasi yang akan
disampaikan. Berkaitan dengan fungsi atau tujuan komunikasi, Thayer (1968)
dalam Winardi (1992) mengatakan ada lima fungsi atau tujuan berkomunikasi di
dalam sebuah organisasi, yaitu: 1) Mendapatkan keterangan atau memberikan
keterangan (informasi) kepada orang lain; 2) Mengevaluasi input-input kita
sendiri atau output pihak lain atau skema ideologis tertentu; 3) Membina pihak
lain atau dibina pihak lain atau memberikan instruksi; 4) Mempengaruhi pihak
lain atau dipengaruhi, dan 5) Berbagai fungsi insidential dan netral.
Berkomunikasi merupakan salah satu fungsi pokok manajemen. Setiap
orang berkomunikasi dapat memperlancar orang bekerja dengan baik dalam
mencapai tujuan organisasi. Komunikasi yang tidak baik dapat mengganggu
keharmonisan hubungan kerja antar sesama orang dalam organisasi dan pada
akhirnya dapat mengganggu tercapainya tujuan organisasi. Kebijakan yang telah
diambil organisasi akan dilaksanakan atau dilaksanakan dalam bentuk kegiatan.
Pencapaian tujuan organisasi dengan optimal akan lebih mudah tercapai bila
semua anggota organisasi mempunyai persepsi yang sama akan tujuan itu.
Menyamakan persepsi dilakukan dengan komunikasi antar sesama anggota
organisasi secara baik dan benar. Mengkomunikasian tujuan organisasi secara
baik dan benar akan mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan secara
optimal.
Sejalan dengan hal tersebut, faktor komunikasi juga sangat berpengaruh
terhadap penerimaan kebijakan oleh kelompok sasaran sehingga tidak berjalannya
komunikasi ini menjadi titik lemah dari tercapainya efektivitas pelaksanaan
kebijakan. Dengan demikian penyebarluasan isi kebijakan melalui proses
komunikasi yang baik akan mempengaruhi efektivitas kebijakan publik. Indikator-
indikator berhubungan dengan pengkomunikasian dalam kebijakan yang dapat
dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri
dari:
25
1. Kejelasan Penerimaan Informasi Kebijakan
2. Pengetahuan Melaksanakan Tugas dalam Kebijakan
3. Kecepatan Menerima Informasi Pelaksanaan Kebijakan
4. Frekuensi Penerimaan Informasi Kebijakan
5. Kesesuaian Pelaksanaan dengan Pedoman Pelaksanaan Kebijakan
6. Kecepatan Pemecahan Masalah Pelaksanaan Kebijakan
2.2.2 Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan
Keberadaan sumberdaya memiliki arti dan peranan yang besar dalam
kehidupan organisasi. Tercapainya tujuan organisasi dengan cepat dan mudah
adalah sumbangan yang besar dari sumberdaya. van Meter dan van Horn (1975)
mengatakan bahwa sumberdaya memiliki peranan yang besar dalam
melaksanakan suatu kebijakan. Manusia sebagai sumberdaya memiliki peranan
yang besar dalam mempengaruhi keberhasilan pencapaian suatu tujuan organisasi.
Pelaksanakan suatu kegiatan baik dalam organisasi publik maupun privat,
keberadaan sumberdaya manusia sangat diperhitungkan. Keberadaan sumberdaya
manusia sebagai pelaksanan suatu kebijakan, sangat menentukan keberhasilan
pelaksanaan suatu kebijakan.
van Meter dan van Horn (1975) mengatakan ada enam unsur yang
berpengaruh terhadap pelaksanaan suatu kebijakan, yaitu:
(1) Kompetensi dan ukuran dari perwakilan pegawai; (2) Tingkat hirarkis pengendalian dari keputusan sub unit dan proses-proses dalam perwakilan implementasi; (3) Sumber perwakilan politik (misalnya: dukungan antara pembuat undang-undang dengan para eksekutif); (4) Vitalitas dari suatu organisasi; (5) Tingkat komunikasi yang terbuka .... di dalam organisasi dan (6) Hubungan perwakilan formal dan informal dengan pembuat atau badan-badan pembuat kebijakan).
Menurut van Meter dan van Horn (1975), setiap kebijakan mempunyai
hubungan dengan sifat dan isu kebijakan yang akan dilaksanakan. Pelaksanaan
kebijakan memberikan sumbangan yang besar kepada keberhasilan dari suatu
Kebijakan secara keseluruhan. Proses pelaksanaan kebijakan menekankan
prosedur yang mengutamakan perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak.
Pelaksanaan kebijakan akan berhasil bila perubahan yang dikehendaki relatif
26
sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang
mengoperasionalkan program di lapangan relatif tinggi. Keberhasilan suatu
organisasi untuk mencapai tujuannya dapat dilihat dari berhasilnya kebijakan
dilaksanakan, unsur turut mempengaruhinya adalah ukuran dan tujuan kebijakan
sumber-sumber kebijakan, ciri-ciri atau sifat instansi pelaksana, komunikasi antar
organisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana serta lingkungan
ekomoni, sosial dan politik.
Berkaitan dengan sumberdaya, Edward III (1980) mengatakan bukan
hanya sumberdaya manusia semata yang dapat mempengaruhi impelementasi
kebijakan publik, melainkan juga mencakup kemampuan sumberdaya yang
mendukung kebijakan tersebut berupa sarana, prasarana dan faktor dana. Menurut
Edward III (1980), bahwa sumberdaya dapat dibagi menjadi 4 (empat) komponen,
yaitu: 1) Staff yang mencukupi (jumlah dan mutu); 2) Informasi yang dibutuhkan
lengkap guna proses pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna
melaksanakan tugas dan tanggung jawab; 3) Fasilitas pendukung; dan 4) Sarana
dan prasarana serta tersedianya dana yang memadai.
Semua kehidupan di dunia ini mempunyai sumberdaya, misalnya dalam
manusia ada darah, ada pikiran, ada hati nurani, ada organ tubuh dan lainnya.
Demikian juga dalam organisasi, sumberdaya mempunyai peran yang penting,
karena tanpa sumberdaya yang cukup organisasi itu ibarat tubuh manusia
kekurangan darah, karenanya agar suatu organisasi tetap bertahan hidup maka
organisasi membutuhkan sumberdaya.
Keberadaan sumberdaya diperlukan dalam organisasi, seperti
dikemukakan oleh Sugandha (1991) yang mengatakan bahwa “Sumberdaya
organisasi mencakup 1) Modal yang berupa uang, dan 2) Material atau bahan
baku, informasi, mesin-mesin, peralatan, perlengkapan, gedung kantor, waktu dan
personel. Memperhatikan pernyataan Sugandha (1991) tersebut, bahwa
sumberdaya pertama adalah modal berupa uang, tentu sangat masuk akal karena
tanpa uang maka organisasi sulit untuk hidup apalagi berkembang, karena
sebagian besar kehidupan organisasi memerlukan pembiayaan dalam bentuk
modal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional.
27
Keberadaan sumberdaya manusia dalam kehidupan organisasi, Gomes
(1997) mengatakan bahwa:
Unsur manusia di dalam organisasi, mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena manusialah yang bisa mengetahui input-input apa saja yang perlu diambil dari lingkungan dan bagaimana caranya untuk mendapatkan input-input tersebut, tehnologi dan cara yang dianggap tepat untuk mengolah atau mentranformasikan input-input tadi menjadi ouput yang memberikan keinginan publik (lingkungan).
Berhubungan dengan sumberdaya manusia, Board (dalam Famularo,
1986) mengatakan bahwa ada 7 (tujuh) kriteria kebijakan sumberdaya manusia,
yaitu
1. Suatu kebijakan merupakan suatu pernyataan yang berisi maksud dan tujuan
perusahaan yang menjadi acuan bagi langkah kerja individual.
2. Kebijakan harus dituangkan dalam suatu tulisan.
3. Kebijakan harus dinyatakan dalam ruang lingkup badan tersebut dalam arti
luas.
4. Kebijakan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan salah satu kekuatan
dalam manajemen.
5. Penyusunan kebijakan memerlukan tingkat pemikiran dan kontemplasi yang
sangat dalam.
6. Kebijakan harus disyahkan oleh pemegang otoritas tertinggi dalam organisasi
tersebut.
7. Kebijakan berlaku untuk jangka waktu yang lama.
Kebijakan yang diberlakukan di suatu organisasi yang dibuat secara jelas
akan mudah dapat dijadikan pedoman kerja pegawai dalam rangka melaksanakan
pekerjaannya. Kemampuan pegawai sebagai sumber daya manusia dalam suatu
organisasi sangat penting arti dan keberadaannya bagi peningkatan produktivitas
kerja di lingkungan organisasi. Manusia merupakan salah satu unsur terpenting
yang menentukan berhasil atau tidaknya organisasi dalam mencapai tujuan dan
menggembangkan misinya. Pengelolaan seluruh kegiatan sumberdaya manusia
perlu didasarkan pada suatu manajemen sehingga pemberdayaannya dapat
optimal. Indikator-indikator berhubungan dengan keberadaan sumberdaya dalam
28
kebijakan yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan
(Edward III, 1980) terdiri dari:
1. Kemudahan Perolehan Informasi Pelaksanaan Kebijakan
2. Ketersediaan Peralatan Pendukung Pelaksanaan Kebijakan
3. Kemampuan Sumberdaya Pengelola
2.2.3 Disposisi atau Sikap Pelaksana Kebijakan
Berkaitan dengan disposisi/sikap pelaksana, Edward III (1980) mengatakan
bahwa disposisi/sikap pelaksana memiliki kegunaan di kalangan pelaksana untuk
menerapkan kebijakan, jika penerapan kebijakan dilakukan secara efektif.
Pelaksana bukan harus tahu apa yang harus mereka kerjakan tetapi harus memiliki
kemampuan untuk menerapkan kebijakan itu. Disposisi adalah sikap dan komitmen
dari pelaksana terhadap program atau kebijakan, khususnya para pelaksana yang
menjadi impelementator dari program yang dalam hal ini terutama adalah aparatur
birokrasi. Keberadaan aparat pelaksana memiliki peranan yang besar dalam
menentukkan keberhasilan suatu kebijakan dalam pelaksanaannya.
Keberadaan aparat pelaksana dalam suatu organisasi pelaksana kebijakan,
Wahab (2000) mengatakan bahwa ada tiga kelompok yang mempengaruhi
keberhasilan suatu kebijakan, yaitu 1) Pemrakarsa kebijakan atau the center, 2)
Pelaksana di lapangan atau the periphery, dan 3) Aktor perorangan di luar badan
pemerintah atau kelompok sasaran.
Hasil kajian terhadap artikel Resosudarmo (2000), menunjukan bahwa
tantangan yang dihadapi aparat pelaksana dalam menerapkan suatu kebijakan
pengelolaan sampah adalah (1) merangsang digunakannya berbagai teknologi
bersih lingkungan, (2) membantu agar biaya yang dikeluarkan dalam mengadopsi
teknologi untuk mengurangi jumlah pencemaran sampah dapat ditekan serendah
mungkin, (3) menjaga agar sektor produksi yang terkena peraturan pencemaran
sampah tidak perlu mengurangi aktivitas produksinya dan (4) mengontrol dengan
ketat hingga setiap individu maupun institusi agar mematuhi peraturan untuk
mengurangi jumlah pencemaran sampah yang dilepaskan ke lingkungan. Dengan
demikian, pelaksanaan kebijakan dapat memperbaiki lingkungan.
29
Hasil Kajian terhadap artikel Tiwow, Widjajanto, Darjamuni, Hartman,
Mahajoeno, Irwansyah dan Nurhasanah (2003), menunjukkan bahwa pendekatan
yang paling tepat untuk masa mendatang dalam penanganan sampah melalui
sistem pengelolaan sampah terpadu yang dapat merubah paradigma dari cost
center menjadi profit center dengan cara memaksimalkan peran serta masyarakat
dan pemanfaatan sampah menjadi bahan yang mempuyai nilai.
Hasil kajian terhadap artikel Wibowo dan Djajawinata (2007), menunjukan
bahwa aparat pelaksana perlu untuk menggalakkan program yang dapat mencapai
program zero waste pada masa mendatang, yaitu:
1. Mengurangi sampah (Reduce)
2. Menggunakan kembali sampah (Reuse)
3. Mendaurulang sampah (Recycle)
Menurut Wahab (2000), suatu kebijakan merupakan produk dari pemrakarsa
atau pemerintah yang bertujuan untuk melayani masyarakat. Kebijakan yang telah
diformulasi akan dilksanakan agar dapat dirasakan masyarakat manfaatnya.
Kegiatan dan program adalah bentuk nyata dari kebijakan dilapangan yang dapat
diwujudkan dalam pelaksanaannya. Bila program ternyata tidak berjalan
sebagaimana mestinya maka kemungkinan akan dilakukan upaya penyesuaian
terhadap kegiatan dan program yang telah ada.
Pelaksanaan kebijakan membutuhkan dukungan aparat pelaksana di
lapangan sehingga dapat mencapai sasaran atau tujuan dengan optimal. Aparat
pelaksana di lapangan mengetahui secara mendalam bagaimana suatu kebijakan
itu dapat dilaksanakan dengan efektif, karena mereka lebih mengetahui apa yang
menjadi kebutuhan dari masyarakat. Pemahaman situasi dan kondisi masyarakat
membuat aparat pelaksana menjadi diperhitungkan dalam melaksanakan suatu
kebijakan.
Kelompok sasaran atau target group mengartikan pelaksanaan kebijakan
sebagai jaminan untuk menerima dan menikmati hasil atau keuntungan dari
kebijakan. Hasil yang dinikmati masyarakat atau kelompok sasaran akan
menunjukkan sejauh mana keberhasilan yang dicapai dari pelaksanaan suatu
30
kebijakan. Keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan memerlukan penilaian dan
evaluasi dari berbagai kelompok agar dengan demikian dapat memperbaiki
prestasi kebijakan yang telah dicapai sebelumnya. Penilaian dan evaluasi menjadi
tuntutan dari kelompok sasaran apabila kebijakan itu tidak menyentuh kebutuhan
dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Sekalipun demikian, kelompok
sasaran itu kemungkinan akan lebih memusatkan perhatian pada permasalahan
apakah pelayanan yang telah diberikan tersebut benar-benar mengubah pola
hidupnya, benar-benar memberikan dampak positif dalam jangka panjang bagi
peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka.
Pemahaman konsep pelaksanaan kebijakan dari pemrakarsa atau pembuat,
pelaksana lapangan dan target group di atas akan mampu menjamin tercapainya
tujuan kebijakan secara optimal dan memuaskan berbagai pihak stakeholders yang
terkati langsung dan tidak langsung dengan tujuan dan sasaran implementai
kebijakan itu. Dengan demikian, proses pelaksanaan kebijakan sesungguhnya
tidak menyangkut perilaku badan-badan adminstratif yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok
sasaran tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial
yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua
pihak yang terlibat dan yang akhirnya berpengaruh terhadapa dampak yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Indikator-indikator berhubungan
dengan disposisi atau sikap pelaksana dalam kebijakan yang dapat dijadikan
ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980) terdiri dari:
1. Pemahaman Pengelola dalam Kebijakan
2. Pengetahuan Pengelola dalam Pekerjaannya
3. Penerapan Pengelola dalam Melaksanakan Kebijakan
4. Kesopanan dan Kejujuran Pengelola
5. Komitmen Pengelola dalam Menjalankan Tugas
6. Prioritas Keberhasilan Kebijakan
31
2.2.4 Struktur Birokrasi dalam Pelaksanaan Kebijakan
Berkaitan dengan struktur birokrasi, Edward III (1980) mengatakan bahwa
struktur birokrasi mempunyai dampak terhadap penerapan kebijakan dalam arti
bahwa penerapan kebijakan tidak akan berhasil jika terdapat kelemahan dalam
srtuktur. Karakteristik birokrasi yang umum dikelompokkan menjadi 2 (dua),
yaitu: 1) penggunaan sikap dan prosedur yang rutin dan 2) transformasi dalam
pertanggungjawaban diantara unit organisasi.
Standard Operating Prosedure (SOP) dalam struktur birokrasi, mengatur
tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Jika hal ini tidak ada, maka akan
sulit sekali mencapai hasil yang memuaskan karena penyelesaian masalah-
masalah akan bersifat ad-hoc, memerlukan penanganan dan penyelesaian khusus
tanpa pola baku, fragmentasi yang sering sekali terjadi harus dapat dihindari dan
diatasi dengan cara sistem koordinasi yang baik. Struktur yang tepat memberikan
dukungan yang kuat terhadap keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik.
Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu Bureau (burra, kain kasar
penutup meja) dan – cracy, ruler. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Ada 3
(tiga) macam arti birokrasi, yaitu:
1. Birokrasi diartikan sebagai “government by bureau” yaitu pemeritahan biro
oleh aparat yang diangkat pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan
dalam sebuah organisasi formal baik publik maupun privat (pendapat Riggs
yang dikutip oleh Ndraha, 2003).
2. Birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu sikap kaku,
macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa
(pendapat Kramer yand dikutip oleh Ndraha, 2003).
3. Birokrasi sebagai tipe ideal organisasi, biasanya birokrasi dalam arti ini
dianggap bermula pada teori Max Weber tentang sosiologik rasionalisasi
aktivitas kolektif (dikutip oleh Ndraha, 2003).
Birokrasi terdapat di semua bidang kehidupan dan diperlukan oleh setiap
organisasi formal yang memproduksi public goods, birokrasi seperti ini disebut
birokrasi publik. Birokrasi dipengaruhi karakteristik birokrasi dan karakteristik
32
manusia. Birokrasi sebagai gejala kekuasaan diartikan kekuasaan untuk
mengontrol kedua karakteristik birokrasi tadi dalam rangka efektivitas dan
efesiensi penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan birokrasi sebagai gejala
sosial mengandung arti dinamikia karakteristik manusia dalam kehidupan
organisasi.
Hasil kajian terhadap artikel Muhdhar dan Margono (2003), menunjukkan
bahwa pengelolaan sampah masih belum terpadu dengan partisipasi masyarakat
yang terbatas, peran pemerintah masih sangat besar dalam mengelola sampah
kota. Sampah masih dianggap sebagai barang buangan yang berusaha
dimusnahkan, tidak merupakan barang ekonomis yang masih bisa diolah dan
diperjualbelikan. Kerjasama antar daerah masih belum ada dalam peraturan,
begitu juga ketentuan tentang penyelesaian perselisihan antar daerah dan
masyarakat masih belum diatur. Penegakan hukum masih menggunakan
pendekatan penguatan negatif, belum ada peraturan yang mengarah pada
pemberian penguatan positif berupa penghargaan.
Keberadaan birokrasi dalam sistem administrasi modern sangat
dibutuhkan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan organisasi. Suatu organisasi
memiliki struktur organisasi yang membagi semua tugas dan fungsi kepada
anggota organisasi. Kewenangan yang ada dalam struktur organisasi membuat
organisasi bekerja dengan optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Birokrasi suatu organisasi mempunyai peranan yang besar untuk
mencapai tujuan organisasi secara optimal. Birokrasi sebagai organisasi
mempunyai struktur yang membagi semua tugas dan fungsinya (Albrow, 1989).
Pembagian tugas kepada semua anggota organisasi memberikan kemudahan
mengadakan pencapaian tujuan seperti yang telah direncanakan sebelumnya.
Struktur yang ada dalam birokrasi membuat adanya kesamaan persepsi terhadap
misi dan visi organisasi. Adaya struktur birokrasi maka dapat diketahui siapa
mengerjakan apa dan bagaimana prestasi yang dicapainya. Struktur birokrasi akan
membawa adanya suatu kewenangan. Kewenangan sangat dibutuhkan dalam
memberikan keleluasaan dalam bekerja secara optimal.
33
Pendapat Etzioni (1983) yang dikutip Kumorotomo (1992) mengatakan
bahwa tujuan utama pembentukan struktur birokrasi adalah agar suatu organisasi
dapat berjalan secara rasional, sistematis dan dapat diramalkan sehingga tercapai
efektivitas dan efesiensi. Menurut Etzioni (1983) dalam Kumorotomo (1992),
menyatakan bahwa: struktur birokrasi memberikan kewenangan kepada anggota
organisasi bekerja sesuai tugas dan fungsinya seperti yang telah digariskan dalam
struktur organisasi. Kejelasan wewenang yang dimiliki setiap anggota organisasi
membuat mereka bekerja dengan optimal sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki. Perencanaan yang telah didasarkan kewenangan yang dimiliki anggota
organisasi membuat kejelasan tujuan atau sasaran yang akan dicapai. Pencapaian
tujuan yang rasional membuat organisasi semakin kredibel dan akuntabel dalam
pelaksanaan operasionalnya.
Struktur birokrasi adalah suatu standard operating prosedur yang menata
hubungan kerja anggota organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sesuai dengan rencana sebelumnya. Pembagian kerja termasuk didalamnya
kejelasan kewenangan yang dimiliki memberikan kepastian bagi anggota
organisasi dalam berprestasi dalam bekerja. Struktur birokrasi memberikan
sumbangan yang besar dalam melaksanakan suatu kebijakan publik. Dukungan
birokrasi yang telah ditata secara baik akan memperlancar keberhasilan
pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan akan
dilakukan dalam suatu organisasi. Dalam organisasi pemerintahan, keberadaan
birokrasi yang sudah tertata dengan struktur yang baik memberikan sumbangan
yang besar dalam memperlancar pelaksana dilapangan dalam bekerja dengan
optimal. Indikator-indikator berhubungan dengan birokrasi dalam kebijakan yang
dapat dijadikan ukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan (Edward III, 1980)
terdiri dari:
1. Kejelasan Pembagian Tugas Pengelolaan
2. Tanggung Jawab Pelaksana
3. Kejelasan Wewenang Pelaksana
4. Kejelasan Koordinasi Pelaksana
34
2.3 Keterkaitan Pengelolaan Sampah dengan Kualitas Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah suatu sistem komplek yang berada di luar
individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme
(Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net)
1. Komponen biotik adalah unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup untuk
media saling berhubungan, seperti; manusia, hewan, tumbuhan air, jasad renik
dan sebagainya. Unsur biotik sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia
karena kalau tidak ada unsur biotik maka manusia tidak bisa berkembang biak
secara sempurna.
. Lingkungan hidup itu terdiri dari
dua komponen yaitu komponen abiotik dan biotik:
2. Komponen abiotik adalah unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup untuk
media berlangsungnya kehidupan, seperti: tanah, air, udara, sinar matahari,
dan lain-lain. Unsur abiotik juga berpengaruh bagi kehidupan karena unsur
abiotiklah kebutuhan utama dalam berlangsungnya kehidupan
(Pustekkom,
2005, http://www.e-dukasi.net).
Komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan hidup merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan membentuk suatu sistem kehidupan
yang disebut ekosistem. Suatu ekosistem akan menjamin keberlangsungan
kehidupan apabila lingkungan itu dapat mencukupi kebutuhan minimum dari
kebutuhan organisme.
Pengertian tentang kualitas lingkungan sangatlah penting, karena
merupakan dasar dan pedoman untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan.
Perbincangan tentang lingkungan pada dasarnya adalah perbincangan tentang
kualitas lingkungan, namun seringkali kualitas lingkungan hanyalah dikaitkan
dengan masalah lingkungan, misalnya pencemaran, erosi dan banjir.
Secara sederhana kualitas lingkungan hidup diartikan sebagai keadaan
lingkungan yang dapat memberikan daya dukung yang optimal bagi kelangsungan
hidup manusia di suatu wilayah. Kualitas lingkungan itu dicirikan, antara lain dari
suasana yang membuat orang betah/kerasan tinggal di tempatnya sendiri.
Berbagai keperluan hidup terpenuhi dari kebutuhan dasar/fisik seperti makan
35
minum, perumahan sampai kebutuhan rohani/spiritual seperti pendidikan, rasa
aman, ibadah dan sebagainya (Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net)
1. Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan
abiotik yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Komponen biotik merupakan makhluk hidup, seperti; hewan, tumbuhan dan
manusia, sedangkan komponen abiotik, terdiri dari benda-benda mati, seperti;
tanah, air, udara, cahaya matahari. Kualitas lingkungan biofisik dikatakan baik
jika
.
Kualitas lingkungan hidup dibedakan berdasarkan biofisik, sosial ekonomi
dan budaya, yaitu:
interaksi antar komponen berlangsung seimbang.
2. Lingkungan sosial ekonomi, adalah lingkungan manusia dalam hubungan
dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Standar kualitas
lingkungan sosial ekonomi dikatakan baik jika kehidupan manusia cukup
sandang, pangan, papan, pendidikan dan kebutuhan lainnya.
3. Lingkungan budaya adalah segala kondisi, baik berupa materi (benda) maupun
nonmateri yang dihasilkan oleh manusia melalui aktifitas dan kreatifitasnya.
Lingkungan budaya dapat berupa bangunan, peralatan, pakaian, senjata dan
juga termasuk non materi seperti tata nilai, norma, adat istiadat, kesenian,
sistem politik dan sebagainya. Standar kualitas lingkungan diartikan baik jika
di lingkungan tersebut dapat memberikan rasa aman, sejahtera bagi semua
anggota masyarakatnya dalam menjalankan dan mengembangkan sistem
budayanya
(Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net).
Kegiatan yang dilakukan oleh umat manusia memiliki dampak pada
lingkungan hidup. Kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang pesat telah
memberikan tekanan pada keseimbangan alam berupa pencemaran hingga
mengakibatkan kerusakan pada lingkungan hidup. Padahal tipologi pencemaran
yang terdiri dari pencemaran air, udara, dan tanah berakibat pada menurunnya
kualitas lingkungan hidup memiliki dampak pada kehidupan manusia. Berikut ini
disajikan beberapa kasus berdasarkan tipologi pencemaran yang berakibat pada
36
penurunan kualitas lingkungan hidup yang menjadi soroton para ahli lingkungan
hidup di seluruh dunia.
1. Kasus rendahnya kualitas air di negara berkembang.
Menurut Bank Dunia (1992), sekurangnya 170 juta orang yang tinggal di kota-
kota dan sekurangnya 850 juta orang yang tinggal di desa-desa di negara
berkembang tidak memiliki akses guna mendapatkan air bersih untuk minum,
masak dan cuci. Sumber-sumber air telah terkontaminasi dengan berbagai
penyakit yang disebabkan oleh kotoran manusia, bahan kimia beracun dan
metal berat yang sudah sulit untuk dihilangkan dengan menggunakan teknik
purifikasi biasa (standar). Dilaporkan juga bahwa penggunaan air yang
tercemar tersebut telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan lebih dari
satu milyar orang sakit setiap tahun (World Bank, 1992).
2. Kasus tingginya tingkat pencemaran udara di kota-kota besar.
Baru-baru ini dalam sebuah penelitian mengenai tingkat pencemaran udara di
20 kota besar di seluruh dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan bahwa sekurangnya satu jenis polusi udara di kota-kota besar
tersebut telah melebihi ambang batas pencemaran udara WHO (UNEP dan
WHO, 1992). Penelitian lain memperkirakan bahwa kurang lebih 600 juta
orang hidup di kota yang tingkat pencemaran sulfur dioksidanya melebihi
ambang batas pencemaran udara WHO, dan sekitar 1,25 milyar orang tinggal
di kota-kota yang tingkat pencemaran debunya sudah sangat tinggi. Lebih jauh
lagi, tingkat pencemaran udara yang tinggi diperkirakan telah menyebabkan
gangguan kesehatan pada masyarakat. Misalnya, di Jakarta, dengan penduduk
sekitar sembilan juta orang, diperkirakan sekitar 1558 kasus kematian dini, 39
juta kasus gangguan tenggorokan, 558 ribu kasus serangan asma, 12 ribu
kasus bronhitis kronis, dan 125 ribu kasus sakit tenggorokan pada anak-anak
di tahun 1990 disebabkan oleh tingginya tingkat pencemaran udara di kota
tersebut (Ostro, 1994).
3. Kasus menurunnya tingkat kesuburan tanah.
Program Lingkungan Persatuan Bangsa-bangsa (UNEP) memperkirakan
sekitar 11 persen dari tanah subur di dunia telah tererosi, berubah secara
37
kimiawi, atau secara fisik memadat yang mengakibatkan menurunnya
kemampuan tanah tersebut untuk memproses nutrisi mencari bahan yang
berguna bagi tanaman. Lebih jauh lagi, UNEP juga mengestimasi bahwa
kurang lebih tiga percen dari tanah di dunia ini telah rusak hingga tidak lagi
dapat menjalankan fungsi abiotiknya sama sekali (WRI in collaboration with
the UNEP and the UNDP, 1992). Tentunya tingkat kesuburan tanah yang
menurun menyebabkan menurunnya tingkat produktivitas pertanian.
4. Kasus menurunnya tingkat keragaman biota.
Sebagai contoh, para peneliti memperkirakan bahwa empat sampai delapan
persen dari species yang hidup di hutan tropis akan punah dalam 25 tahun
mendatang (Reid, 1992). Kasus kerusakan batu karang juga semakin banyak.
Kelestarian rawa-rawa (wetlands) juga semakin mengkuatirkan. Semakin
menurunnya tingkat keragaman biota tentunya merupakan ancaman serius
bagi keseimbangan dan kelestarian alam (WRI in collaboration with the UNEP
and the UNDP, 1992).
Peningkatan kualitas lingkungan hidup terutama perkotaan, diperlukan
suatu kebijakan berkaitan dengan pengelolaan sampah terutama dalam upaya
menanggulagi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan
peningkatan kualitas lingkungan hidup berskaka rumah tangga perlu ditempuh
dengan kegiatan diantaranya, yaitu:
1. Meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
2. Meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
3. Meningkatkan pengelolaan kebersihan dan pertamanan.
Keberhasilan capaian sasaran tersebut antara lain pada pengembangan
kualitas lingkungan hidup diupayakan untuk meningkat, yang dinilai berdasarkan
tolok ukur standar kualitas lingkungan hidup. Faktor - faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pencapaian sasaran meningkatnya kualitas lingkungan hidup yaitu
meningkatnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
38
Hambatan dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian
lingkungan hidup di Kota Bandung antara lain:
1. Kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih perlu ditingkatkan
utamanya pada pelaku usaha kecil dan menengah.
2. Penegakan hukum lingkungan yang masih lemah.
3. Pemahaman konsep pembangunan berwawasan lingkungan belum sinkron
bagi seluruh stakeholder
4. Masih banyaknya masyarakat yang memiliki kebiasaan membuang sampah di
sembarang tempat, sehingga mengakibatkan kesulitan untuk pengelolaan
sampah pada tahapan berikutnya.
5. Prasarana dan sarana pengelolaan sampah tidak seimbang dengan produksi
sampah yang dihasilkan masyarakat.
Strategi pemecahan masalah dapat dilakukan dengan:
1. Peningkatan Penegakan Hukum Lingkungan.
2. Mensosialiasikan konsep pembangunan berwawasan lingkungan bagi seluruh
stakeholder
3. Menyediakan fasilitas pembuangan sampah di tempat-tempat umum
4. Peningkatan pengolahan sampah menjadi produk yang bermanfaat
Hasil penelitian yang dilakukan Saribanon (2007) menunjukkan bahwa
kondisi pengelolaan sampah saat ini memerlukan upaya penguatan kelembagaan
dan pembatasan lingkup fungsi pemerintah daerah untuk mendukung partisipasi
masyarakat secara optimal. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan sampah yang
bersumber dari rumah tangga perlu bertumpu pada strategi pengembangan
infrastruktur, strategi partisipasi komunitas dan strategi pengelolaan kelembagaan.
Pelaksanaan ketiga strategi tersebut dapat mengakomodasikan heterogenitas
dalam masyarakat serta meningkatkan penerimaan dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sampah pemukiman berbasis masyarakat.
Hasil penelitian yang dilakukan Saraswati (2007) menghasilkan 7 faktor
dari rumah tangga yang berpengaruh nyata terhadap pengelolaan sampah yaitu 1)
jumlah sampah, 2) yang menangani sampah di rumah sebelum di buang, 3)
39
pengetahuan tentang 3R, 4) pemilahan, 5) pelaksanaan reduce, 6) pelaksanaan
reuse dan 7) kesediaan melakukan recycle. Ibu rumah tangga merupakan pihak
yang paling berperan dalam pengelolaan sampah di rumah sebelum dibuang.
Aspek terlemah dalam kapasitas organisasi adalah aspek pelayanan. Faktor kunci
dalam pengembangan kelembagaan pada pengelolaan sampah kota berbasis
partisipasi masyarakat adalah sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah
tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang,
dan pemasaran produk daur ulang.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Kholil (2005) membuktikan
bahwa penanganan sampah kota tidak dapat didasarkan pada pendekatan cost
recovery, waste to product yang bertujuan untuk mencari keuntungan peningkatan
PAD, atau untuk tujuan menciptakan lapangan kerja baru; akan tetapi didasarkan
pada pendekatan waste to clean dan clean to product, yaitu pendekatan dengan
tujuan utama menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan kota. Salah satu
faktor kunci yang menentukan keberhasilan penanganan sampah kota adalah
keterlibatan masyarakat, khususnya para ibu rumah tangga yang menjadi sumber
utama penghasil sampah. Hasil penelitian ini menunjukkan kebijakan penanganan
sampah kota harus berlandaskan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan
profesionalisme perlu restruktunisasi anggaran kebersihan kota dengan
membentuk BLU Kebersihan (Badan Layanan Umum Kebersihan), dan
restrukturisasi lembaga penanganan sampah kota dengan membentuk Komisi
Penanganan Sampah Kota, yang anggotanya terdiri dari tokoh formal, tokoh
agama, tokoh masyarakat, para ahli, LSM, pengusaha dan penegak hukum.
40
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2007 sampai Desember 2009.
Penelitian dilakukan di Kota Bandung berkaitan dengan pengembangan kebijakan
pemerintah Kota Bandung dalam hal pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah
yang berkaitan dengan pengendalian sampah rumah tangga.
3.2 Tahapan Penelitian
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Penelaahan seluruh data
Langkah ini melihat keseluruhan data, menginventarisasi data yang ada, baik
data primer maupun data sekunder. Data primer dikumpulkan dari catatan
lapangan, hasil wawancara dari berbagai kalangan, sesuai dengan fokus
pertanyaan masing-masing. Kemudian dicek keabsahan dan kriteria
kelengkapan data itu dari beberapa catatan yang ada. Data sekunder yang
dikumpulkan berupa dokumen penting dari berbagai instansi terkait.
Dilengkapi juga dengan foto, gambar, peta wilayah, dan dokumen lain yang
erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.
2. Reduksi Data
Setelah data ditelaah secara keseluruhan, dibaca dan dipelajari, maka langkah
berikutnya adalah reduksi data yakni membuat abstraksi, membuat rangkuman
inti, poin-poin penting. Bisa berupa pola pikir atau skema secara sistematik
dengan alur tertentu. Hal ini amat membantu menggiring peneliti pada fokus
kajian yang telah dirumuskan.
3. Menyusun dalam satuan.
Setelah melakukan reduksi data maka langkah berikutnya adalah menyusun
karakteristik dan indikator-indikator yang dipertanyakan dalam penelitian.
Karakteristik dan indikator ini kemudian disatukan menjadi satuan konsep.
Lincoln dan Guba (1985) menamakan sebagai satuan informasi yang berfungsi
41
untuk mendefinisikan kategori. Hal ini disebabkan karena suatu latar sosial
individu merupakan suatu kebulatan (Lafland and Lofland, 1984). Setelah itu
kemudian diberi label tertentu sehingga dapat diidentifikasikan satuan yang
satu dengan lainnya. Perilaku sosial dan budaya dapat dipelajari dari
pandangan arti perilaku manusia (Moleong, 1989). Jadi konseptualisasi satuan
dapat ditemukan dengan menganalisis proses kognitif dan struktur kognitif
seseorang yang diteliti bukan dari segi peneliti. Dengan demikian
memunculkan keutuhan dan kebulatan heuristik, artinya menurut Lincoln dan
Guba (1985): memberikan peluang penafsiran atau informasi yang banyak
walaupun tanpa ada informasi tambahan.
4. Kategorisasi
Kategorisasi merupakan langkah penyusunan dan pengelompokan bagian-
bagian yang memperlihatkan kaitan dengan indikator yang dipergunakan.
Prosesnya dimulai dari pemilihan indikator, kemudian merangkaikannya
dengan pilihan jawaban.
5. Penafsiran data
Setelah data dikategorikan langkah selanjutnya adalah penafsiran data.
Penafsiran data adalah mendeskripsikan hasil penelitian baik berupa deskripsi
analitik maupun deskripsi substansif. Menurut Schaltzman dan Strauss (1973)
deskripsi analitik adalah penafsiran data dengan menggunakan acuan teori
yang sudah ada. Sedangkan deskripsi teori substansif menafsirkan data tidak
menggunakan acuan teori yang ada, tetapi memunculkan kategori atau classes
tertentu kemudian dicari karakter hubungan yang ditafsirkan dari data itu. Dari
tafsiran data itu secara mendasar ada gambaran munculnya konsep-konsep
baru, yang bisa memperkuat konsep yang ada, menggoyahkan atau menolak
teori yang sudah ada.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data sekunder yang dibutuhkan antara lain berkaitan dengan produk-
produk peraturan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah yang berlaku di
Kota Bandung sebagai acuan dalam pelaksanaan kebijakan yang berhubungan
42
dengan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Selain itu data sekunder lainnya
dibutuhkan berkaitan dengan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah, jumlah pegawai instansi berkaitan dengan persampahan,
lokasi-lokasi TPA, alternatid-alternatif penanganan sampah, serta pendapat para
pakar persampahan yang diperoleh dari hasil dokumentasi atau laporan-laporan
yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan informasi seperti PD Kebersihan,
BPLHD Kota Bandung, Dinas Tata Kota, dan Dinas Pendapatan Daerah Kota
Bandung.
Data primer yang diperlukan terdiri dari pendapat/pandangan masyarakat
tentang pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh
pemerintah daerah melalui instansi-instansi terkait, serta pendapat/pandangan para
pakar di bidang pengelolaan sampah dalam menemukan prioritas dalam
pelaksanaan pengelolaan sampah. Selain itu wawancara dengan para pakar
pengelolaan sampah baik dari institusi pemerintahan maupun institusi akademik
dilakukan untuk memperoleh masukan dan arahan dalam pembahasan hasil
analisis. Secara umum data primer dikumpulkan melalui wawancara dan
kuesioner.
3.4 Jumlah Sampel Penelitian
Jumlah sampel minimum responden pegawai PD Kebersihan Kota
Bandung yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada rumus Slovin
(Rakhmat, 1997). Hal ini dilakukan karena jumlah populasi diketahui yaitu
sebesar 1.852 pegawai (Tahun 2008). Perhitungan jumlah sampelnya mengacu
pada Slovin (Rakhmat, 1997) sebagai berikut:
12 +=
NeNn
Keterangan: n = Ukuran Sampel N = Jumlah Populasi e = Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketelitian
karena pengambilan sampel populasi) batas kesalahan ditentukan sebesar 15%
Sehingga dengan mempergunakan rumus ini diperoleh jumlah sampel
43
minimum yaitu :
444,431)15,0(852.1
852.12 ≈=+
=n
Jumlah sampel minimum responden masyarakat Kota Bandung yang
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada rumus Slovin (Rakhmat, 1997). Hal
ini dilakukan karena jumlah populasi diketahui, yaitu sebesar 1.615.582
masyarakat Kota Bandung yang berusia 15-64 tahun (www.jabar.go.id, Tahun
2008). Perhitungan jumlah sampelnya, sebagai berikut:
12 +=
NeNn
Keterangan: n = Ukuran Sampel N = Jumlah Populasi e = Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (persen kelonggaran ketelitian
karena pengambilan sampel populasi) batas kesalahan ditentukan sebesar 6%
Sehingga dengan mempergunakan rumus ini diperoleh jumlah sampel
minimum, yaitu :
2787,2771)06,0(582.615.1
582.615.12 ≈=+
=n
Berdasarkan perhitungan di atas, maka jumlah sampel responden pegawai
PD Kebersihan Kota Bandung yang dapat dipergunakan adalah sebanyak minimal
44 sampel, sedangkan jumlah sampel responden masyarakat Kota Bandung yang
dapat dipergunakan adalah sebanyak minimal 278 sampel, dengan teknik
pengambilan sampel responden pegawai PD Kebersihan Kota Bandung
menggunakan Simple Random Sampling dengan menggunakan bantuan daftar
absen, responden dipilih secara acak, dengan memilih 150 pegawai, sedangkan
teknik pengambilan sampel responden masyarakat Kota Bandung menggunakan
Simple Random Sampling dengan pembagian menurut kecamatan, responden
dipilih secara acak, dengan memilih 450 masyarakat.
Kuesioner dianggap sah jika pernyataan pada kuesioner dijawab
seluruhnya dan pada setiap pernyataan hanya ada satu jawaban. Perincian
44
penyebaran kuesioner penelitian kepada pegawai dan kepada masyarakat
ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1 Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Pegawai
Klasifikasi Kuesioner Jumlah Jumlah Kuesioner yang disebar 150 Jumlah kuesioner yang kembali 107
Jumlah kuesioner yang sah 73 Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 2 Perincian Penyebaran Kuesioner Penelitian Kepada Masyarakat
Klasifikasi Kuesioner Jumlah Jumlah Kuesioner yang disebar 450 Jumlah kuesioner yang kembali 389
Jumlah kuesioner yang sah 300 Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 didapat jumlah kuesioner yang disebar
adalah 150 kuesioner untuk pegawai dan 450 untuk masyarakat, jumlah kuesioner
yang kembali 107 kuesioner untuk pegawai dan 389 untuk masyarakat. Dari
jumlah kuesioner yang kembali diperiksa dan hasil kuesioner yang sah, yaitu 73
responden pegawai dan 300 responden masyarakat yang dipergunakan menjadi
data primer untuk pengolahan data.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Penyebaran kuesioner
Kuesioner dirancang sedemikian rupa dengan mengacu pada indikator-
indikator yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk keperluan analisis
data yang dipergunakan. Kuesioner untuk analisis faktor, disebarkan baik
kepada pegawai PD Kebersihan, maupun kepada masyarakat di Kota
Bandung. Kuesioner untuk Analysis Hierarchy Procecess ditujukan kepada 5
(lima) orang tenaga ahli di bidang Pengelolaan Sampah yaitu 1) PD
Kebersihan Kota Bandung, 2) Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota
45
Bandung, 3) Tokoh Masyarakat Bidang Pengelolaan Sampah, 4) Pejabat
Pemerintah Daerah Kewilayahan (Camat, Lurah, RW atau RT), dan 5) Tenaga
Ahli (Dosen) Bidang Pengelolaan Sampah.
2. Wawancara secara mendalam (in-depth interview)
Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan melalui sejumlah
pertemuan dengan informan yang di dalamnya berlangsung tanya jawab dan
pembicaraan akrab mengenai berbagai aspek penelitian baik dalam suasana
formal maupun informal. Proses wawancara ini selain menjelaskan informasi
mengenai dirinya seperti asal daerah, aktivitas kerja, kehidupan dalam
pergaulan, dan pandangan hidupnya; informasi juga menjelaskan hal di luar
dirinya seperti kondisi komunitas, hubungannya dengan masyarakat sekitar.
Wawancara mendalam yang dilakukan ini ditujukan kepada para stakeholder
yang berkaitan dengan pengelolaan sampah seperti 1) Kepala PD Kebersihan
Kota Bandung, 2) Kepala Dinas Kesehatan, 3) Kepala Badan Pengelola
Lingkungan Hidup, 4) Tokoh Masyarakat bidang Lingkungan Hidup, dan 5)
Pejabat Pemerintah Daerah Kewilayahan (Camat, Lurah, RW dan RT)
Fokus wawancara mendalam terbagi ke dalam 7 (tujuh) bagian.
Pertama, berkaitan dengan kebutuhan akan tempat pembuangan sampah yang
terus meningkat. Kedua, peningkatan pelayanan kepada masayarakat. Ketiga,
membantu Pemerintah Kota Bandung dalam pengadaan lokasi tempat
pembuangan sampah alternatif. Empat, tidak terjadi penumpukan sampah
yang dapat mengganggu kesehatan. Lima, kemudahan dalam membuang
sampah. Enam, tidak terganggu bau sampah dan tujuh, kompensasi yang
wajar.
3. Pengamatan Berperanserta
Pengamatan berperanserta (partisipant-observation) dilakukan dengan
mengikuti proses awal pengangkutan sampah sampai proses pembuangan
sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selain itu, interaksi dengan
masyarakat terutama mereka yang tinggal dekat Tempat Pembuangan Akhir
(TPA). Mengacu pada klasifikasi peran serta dari Spradley (1980:60), jenis
peran serta peneliti adalah peran serta moderat (moderate partisipation), yakni
46
peran serta yang memelihara keseimbangan posisi sebagai insider dan out-
sider, sebagai pengamat sekaligus partisipan. Sebelum pengamatan
berperanserta berlangsung, pendekatan pada masing-masing kasus dilakukan,
untuk menciptakan saling percaya (trust building). Pengamatan dilakukan
dengan mencatat hal-hal yang berkaitan dengan membangun tempat
pembuangan akhir (TPA) untuk meningkatkan daya tampung pembuangan
sampah organik dan an-organik yang diproduksi oleh masyarakat Kota
Bandung yang meliputi antara lain:
a. Pengumpulan data dokumenter dilakukan di PD Kebersihan, Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan Daerah, Asisten
Bidang Pemerintahan, Dinas Kampraswil dan catatan penting lainnya.
b. Catatan lapangan, yang meliputi berbagai informasi dari hasil wawancara
terhadap informan yang berupa:
1) Isi pembicaraan langsung yang dicatat dari hasil wawancara secara
terbuka, bebas, langsung dalam rangka melengkapi informasi. Hal ini
membantu wawancara agar tidak kaku dalam pembicaraan, bahkan
muncul masalah menarik dari catatan pembicaraan secara bebas.
2) Catatan peristiwa, konteks dan situasi, siapa, dimana, apa, kapan dan
bagaiamana kegiatan itu. Catatan ini dapat menggambarkan peristiwa
dan refleksi yang berisi kerangka berfikir dan pendapat peneliti,
gagasan dan kepedulian (Bogdan dan Biklen, 1992).
4. Studi Literatur
Metode melalui studi literatur dilakukan dengan cara mempelajari dan
menelaah berbagai literatur yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan,
antara lain melalui buku teks, buku-buku pendukung maupun penelitian
terdahulu yang relevan. Studi ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang
sifatnya teoritis dan digunakan sebagai pembanding dalam pembahasan.
47
3.6 Metode Analisis Data
1. Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian
Pengukuran variabel-variabel penelitian dilakukan berdasarkan penilaian
persepsi pegawai PD Kebersihan dan Masyarakat Kota Bandung melalui 5 (lima)
pilihan jawaban yang memiliki skor 1 sampai 5. Hasil penilaian berdasarkan
persepsi responden penelitian ini kemudian diolah untuk memperoleh prosentase
berdasarkan pilihan jawaban, sehingga diperoleh prosentase terbanyak yang
dijadikan acuan dalam menetapkan hasil pengukuran terhadap variabel penelitian.
2. Factor Analysis
Pada tahap analisis, data diolah dan diproses menjadi kelompok-
kelompok, diklasifikasikan, dikategorikan dan dimanfaatkan untuk memperoleh
kebenaran sebagai jawaban dari masalah dalam hipotesis penelitian yang diajukan
dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan ini bermaksud untuk mengungkapkan
faktor utama yang merupakan variabel penyebab atau independent variable yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah
dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Kota Bandung. Dalam
statistika, metode analisis yang sesuai dengan permasalahan tersebut adalah
analisis faktor berkaitan dengan komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur
birokrasi yang merupakan faktor penentu kebijakan berdasarkan teori Edward III
(1980) yang diterapkan pada pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah.
Prinsip kerja analisis faktor digunakan dalam pengolahan data penelitian
yang bertujuan untuk mengelompokkan dan mereduksi suatu varibel penelitian.
Hasil analisis faktor yang berbentuk kelompok faktor berdasarkan variabel
penelitian yang lebih sederhana dengan informasi yang lebih baik yang diberikan
oleh variabel penelitian. Analisis faktor adalah model matematik yang berfungsi
menjelaskan hubungan antara kumpulan besar variabel menjadi bentuk kumpulan
yang kecil berdasarkan faktor-faktor yang terbentuk. Gambar 2 menjelaskan
prinsip kerja analisis faktor.
48
Solusi Empat Faktor
Gambar 2 Ilustrasi Solusi Empat Faktor Hasil Reduksi, Pengelompokkan dan Pengurutan Sumber: Hasil Kajian Kesesuaian dengan Penelitian yang Dilakukan (modifikasi Dillon, 1984)
49
Keterangan: X1 = Komunikasi X1.1 = Kejelasan Penerimaan Informasi Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.2 = Pengetahuan Melaksanakan Tugas dalam Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.3 = Kecepatan Menerima Informasi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.4 = Frekuensi Penerimaan Informasi Kebijakan Pengelolaan Sampah X1.5 = Kesesuaian Pelaksanaan dengan Pedoman Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan
Sampah X1.6 = Kecepatan Pemecahan Masalah Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah X2 = Sumberdaya X2.1 = Kemudahan Perolehan Informasi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah X2.2 = Ketersediaan Peralatan Pendukung Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan
Sampah X2.3 = Kemampuan Sumberdaya Pengelola Persampahan X3 = Disposisi atau Sikap Pelaksana Pengelola Persampahan X3.1 = Pemahaman Pengelola dalam Kebijakan Pengelolaan Sampah X3.2 = Pengetahuan Pengelola dalam Pekerjaannya X3.3 = Penerapan Pengelola dalam Melaksanakan Kebijakan Pengelolaan Sampah X3.4 = Kesopanan dan Kejujuran Pengelola Persampahan X3.5 = Komitmen Pengelola Persampahan dalam Menjalankan Tugas X3.6 = Prioritas Keberhasilan Kebijakan Pengelolaan Sampah X4 = Struktur Birokrasi Pengelolaan Persampahan X4.1 = Kejelasan Pembagian Tugas Pengelolaan X4.2 = Tanggung Jawab Pelaksana Persampahan X4.3 = Kejelasan Wewenang Pelaksana Persampahan X4.4 = Kejelasan Koordinasi Pelaksana Persampahan
Analisis Faktor digunakan dengan melakukan validasi. Metoda ini berguna
untuk menghitung keterkaitan (korelasi) antar variabel-variabel penyebab yang
membentuk variabel akibatnya.
Variabel yang akan digunakan adalah variabel yang mempunyainilai lebih
besar dari 0,3. Besarnya angka 0,3 tersebut di dasarkan kepada pendapat dillon
dan goldstein (1984) yang menyatakan bahwa variabel yang mempunyai nilai 0,3
dapat digunakan sebagai variabel bermakna.
3. Analisis AHP dan SWOT (AWOT)
Analisis ini merupakan perpaduan antara Analitic Hierarchy Process
(AHP) dan SWOT (Strength, Weakness, Oportunity, and Threat). Analisis SWOT
menjadi suatu alat kekuatan untuk mencari dan menemukenali potensi dalam
kebijakan pengelolaan sampah sebagai kekuatan yang dimiliki. Hasil analisis ini
50
dapat dijadikan sebagai landasan strategi untuk mencapai keberlangsungan
pembangunan terutama dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung dengan
menggambarkan pengaruh, tindakan yang diperlukan, untuk mencapai keluaran
yang diinginkan (Moughtin,1990). Tujuan akhir dari analisa ini adalah untuk
memilih strategi yang efektif untuk memaksimalkan keunggulan kekuatan/potensi
dan memanfaatkan peluang serta pada saat yang sama meminimalkan pengaruh
kelemahan dan ancaman yang dihadapi (Diklat Manajemen Perkotaan, 1999).
Analisis SWOT tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengetahuan
mengenai sejarah wilayah studi dan pengetahuan faktor baik eksternal maupun
internal yang ada di perkotaan (Moughtin, 1999). Analisis SWOT di sini akan
mengidentifikasikan faktor internal wilayah sebagai kekuatan dan kelemahan, dan
faktor eksternal sebagai peluang dan ancaman, matriks SWOT sebagai rangkuman
dari faktor eksternal dan internal yang dipengaruhi dari peluang, ancaman,
kekuatan dan kelemahan.
Matriks SWOT sebagai rangkuman dari faktor internal dan eksternal yang
dipengaruhi dari peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan dimana analisis ini
memungkinkan untuk diformulasikan dan dirumuskan suatu strategi yang sesuai
dengan visi dan misi dari kebijakan pengelolaan sampah yang ditetapkan.
Kerangka Analisis SWOT ditampilkan pada Tabel 3.
Analisis SWOT dapat digunakan dengan berbagai cara untuk membantu
perumusan strategi. Cara yang paling lazim adalah memanfaatkannya sebagai
kerangka acuan logis yang dijadikan pedoman pembahasan sistematik tentang
situasi dan kondisi pengelolaan sampah serta alternatif-alternatif pokok yang
mungkin dipertimbangkan dalam pengelolaan sampah perkotaan. Analisis SWOT
yang sistematik dapat dilakukan untuk semua aspek situasi dalam pengelolaan
sampah. Sebagai hasil analisis ini memberikan kerangka yang dinamik serta
bermanfaat untuk analisis strategik.
Dalam proses pengambilan keputusan publik, seringkali sumber kerumitan
masalah keputusan bukan hanya pada ketidakpastian atau ketidaksempurnaan
informasi. Penyebab lainnya adalah banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap
pilihan-pilihan yang ada serta beragamnya kriteria pemilihan tersebut (Saaty dan
51
Vargas, 1994). Dengan adanya berbagai alternatif pemilihan keputusan tersebut,
masalah mendasar pengambilan keputusan publik adalah bagaimana menentukan
bobot penilaian untuk suatu kriteria yang digunakan menurut kepentingan
tertentu.
Tabel 3 Kerangka Analisis SWOT
Strengths (Kekuatan) Weakness (Kelemahan)
Kekuatan diukur berdasarkan situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif yang memungkinkan PD Kebersihan Kota Bandung memenuhi keuntungan stratejik dalam mencapai visi dan misi. Kekuatan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah ini berupa keberadaan sumberdaya, keunggulan pelaksana, dukungan lingkungan, karakteristik kawasan dan letak geografis. Kekuatan ini merupakan kompetensi khusus yang memberikan keunggulan dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan sampah. Kekuatan dapat terkandung dalam sumberdaya keuangan, citra, sarana dan prasarana yang tersedia serta faktor-faktor lainnya
Kelemahan diukur berdasarkan situasi dan faktor-faktor dalam PD Kebersihan Kota Bandung yang bersifat negatif, yang menghambat PD Kebersihan mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan misi. Kekuatan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah berupa keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya, daya dukung dan kapabilitas yang menghambat kualitas lingkungan yang meliputi fasilitas sumberdaya keuangan, sarana dan prasarana, kemampuan sumberdaya manusia dan budaya yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah
Opportunities (Peluang) Threat (Ancaman)
Peluang diukur berdasarkan situasi dan faktor-faktor luar PD Kebersihan Kota Bandung yang bersifat positif, yang membantu organisasi mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan misi organisasi. Peluang dalam kebijakan pengelolaan sampah berupa situasi penting yang menguntungkan dalam melaksanakan kebijakan. Kecenderungan penting merupakan salah satu identifikasi perubahan kualitas lingkungan, peraturan serta kebutuhan masyarakat dan swasta yang dapat memberikan peluang bagi pelaksanaan kebijakan
Ancaman diukur berdasarkan faktor-faktor luar organisasi yang bersifat negatif, yang dapat mengakibatkan PD Kebersihan Kota Bandung gagal mencapai visi dan misinya. Ancaman dalam kebijakan pengelolaan sampah berupa situasi yang tidak menguntungkan dalam pelaksanaan kebijakan. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi pelaksanaan kebijakan saat ini atau tidak diinginkan dalam melaksanakan kebijakan. Perubahan kualitas lingkungan, perkembangan teknologi, peraturan baru dapat menjadi ancaman bagi pengelolaan sampah.
Sumber: Hasil Kajian Peneliti
Pengambilan keputusan penetapan prioritas kriteria, model Analytic
Hierarchy Process (AHP) merupakan model kuantitatif yang cocok untuk
diterapkan dalam rangka pengambilan keputusan penetapan prioritas kriteria
dalam rangka pengambilan keputusan penentuan prioritas dalam pengelolaan
52
sampah di Kota Bandung. Metode ini merupakan metode perencanaan yang luwes
dan memungkinkan adanya pengambilan keputusan dengan mengkombinasikan
pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Hal tersebut dimungkinkan
terjadi karena AHP mengandalkan pada intuisi pada input utamanya. Intuisi
tersebut harus datang dari pengambil keputusan yang cukup informasi yang
memahami masalah yang sedang dihadapi dan akan diambil keputusan.
Ada beberapa Variabel yang ditetapkan untuk diterapkan dengan
menggunakan metode AHP, yakni:
1. Faktor utama/Main Isue (Level 1):
Agar tercapai goal yang dituju, ada isue utama yang diperhatikan, yakni
keterkaitan kriteria terhadap faktor utama, dapat digambarkan sebagai suatu
proses hubungan kausal, yang memberikan pengaruh menguntungkan dan
merugikan terhadap key isue.
2. Kriteria (Level 2):
Dari faktor-faktor yang berpengaruh di atas ada berbagai kriteria, agar dapat
memaksimalkan pengelolaan sampah yang dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan pengendalian sampah.
3. Alternatif (Level 3):
Alternatif ini merupakan kriteria yang mengacu kepada pendekatan faktor
penting dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah berupa pengelolaan
sampah rumah tangga di Kota Bandung
Penggunaan Model AHP dan SWOT dalam penelitian ini disajikan dalam
Gambar 3 di halaman berikut.
53
Gambar 3 Model Hirarki AHP dan SWOT
Keterangan: Red = Reduce (Mengurangi Sumber). Reu = Reuse (Memanfaatkan Kembali) Rec = Recycle (Mengolah Kembali) Emp = Empower (Memberdayakan)
K = Komunikasi S = Sumberdaya D = Disposisi B = Birokrasi
Kebijakan Persampahan
Strengths Weaknesses Opportunities Threats
Red Reu Rec Emp Red Reu Rec Emp Emp Rec Reu Red Red Reu Rec Emp
K S D B K S D B K K S S D D B B K K S S D D B B K K S S D D B B K K K K S S S S D D D B B B D B K K K K S S S S D D D D B B B B
54
IV. GAMBARAN UMUM
KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Bandung terletak di wilayah Propinsi Jawa Barat dan merupakan
Ibukota Propinsi Jawa Barat, yang terletak diantara 107° 36” Bujur Timur, 6° -
55’ Lintang Selatan. Ketinggian tanah ± 791 m di atas permukaan laut, titik
terendah + 675 m berada di sebelah selatan dengan permukaan relatif datar dan
titik tertinggi + 1,050 m berada di sebelah utara dengan kontur yang berbukit-
bukit. Luas wilayah Kota Bandung 16.729,65 Ha yang terdiri dari dataran (145,52
km²), perbukitan (0,82 km²) dan pesawahan (21,56 km²) dan sebanyak 8.791,35
(52,55%) digunakan untuk daerah perumahan/pemukiman. Kota ini secara
geografis terletak di tengah-tengah provinsi Jawa Barat. Peta Kota Bandung, dapat
dilihat pada Gambar 4.
Kota Bandung terletak di ketinggian ±768 m di atas permukaan laut (dpl).
Daerah utara Kota Bandung pada umumnya lebih tinggi daripada daerah selatan.
Rata-rata ketinggian di sebelah utara adalah ±1050 dpl, sedangkan di bagian
selatan adalah ±675 dpl. Bandung dikelilingi oleh pegunungan yang membuat
Bandung menjadi semacam cekungan (Bandung Basin). Wilayah pemerintahan
terbagi dalam 30 kecamatan dan 151 kelurahan. Secara administratif Kota
Bandung berbatasan dengan daerah kabupaten/kota lainnya yaitu: 1) Sebelah
Utara berbatasan dengan kabupaten Bandung Barat, 2) Sebelah Barat berbatasan
dengan Kota Cimahi, dan 3) Sebelah Timur dan Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Bandung.
Jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2007 adalah 2.329.928 jiwa
dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.188.312 jiwa atau 51,00% dan
penduduk perempuan sebesar 1.146.865 jiwa atau sebesar 49,00% (BPS Kota
Bandung Tahun 2007), dan telah terjadi kenaikan sebesar 33.080 jiwa.
55
Gambar 4
Ilustrasi Peta Lokasi Kota Bandung
56
Pertumbuhan penduduk di Kota Bandung dipengaruhi oleh faktor alami
seperti kelahiran dan kematian serta faktor migrasi atau perpindahan penduduk
yang disebabkan karena Bandung merupakan ibukota propinsi, juga merupakan
kota jasa yang dikunjungi oleh banyak pendatang dari luar Kota Bandung yang
akhirnya bekerja dan menetap di Kota Bandung.
Peningkatan laju pertumbuhan penduduk 49,00% (BPS Kota Bandung
Tahun 2007), disebabkan oleh perkembangan Kota Bandung yang pesat dan
ketersediaan berbagai fasilitas kehidupan yang membuat orang tertarik untuk
datang dan menetap di Kota Bandung. Jumlah penduduk terbanyak tingkat
kecamatan yaitu kecamatan Babakan Ciparay (137.392 jiwa) dan paling sedikit di
Kecamatan Bandung Wetan (31.714 jiwa). Bila dilihat dari jumlah penduduk di
Kota Bandung 2.329.928 jiwa maka rata-rata kepadatan penduduk di Kota
Bandung yaitu 13.196 jiwa/km². Walaupun Kecamatan Babakan Ciparay memiliki
jumlah penduduk terbanyak tetapi Kecamatan Bandung Kulon merupakan
kecamatan terpadat di Kota Bandung yaitu 37.991 jiwa/km². Kecamatan yang
tingkat kepadatan penduduknya jarang adalah kecamatan Astanaanyar (6.203
jiwa/km2). Dan ini menandakan bahwa persebaran penduduk di Kota Bandung
belum merata dan masih terpusat di tempat-tempat tertentu.
Penduduk Kota Bandung menurut registrasi Penduduk sampai dengan
Tahun 2006 (Sumber: BPS Kota Bandung 2007) berjumlah 2.232.848 jiwa
dengan luas wilayah 16.729,65 Ha (145,52 Km2
Kondisi perekonomian Kota Bandung dapat terlihat dari Indikator Laju
Pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang setiap tahun mengalami kenaikan yang
signifikan. Hal tersebut berkaitan dengan penetapan salah satu target program
prioritas yaitu LPE Kota Bandung Tahun 2008 adalah 11%. LPE Kota Bandung
pada tahun 2007 mencapai 8,24% di atas pencapaian LPE Propinsi Jawa Barat
yang mencapai 5,31% (Sumber: BPS/Kependudukan Kota bandung 2007). Faktor
lain yang menjadi salah satu ukuran kemajuan dalam proses pembangunan adalah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang menggambarkan produksi barang
), sehingga kepadatan
penduduknya per hektar sebesar 13.196 jiwa (Sumber: BPS Kota bandung 2007).
57
dan jasa masyarakat Kota Bandung. Peningkatan PDRB ini secara tidak langsung
akan berpengaruh terhadap tingkat produksi sampah di Kota Bandung.
4.2 Sampah di Kota Bandung
Volume sampah yang dihasilkan di Kota Bandung berasal dari kegiatan
rumah tangga (domestik) dan berasal dari kegiatan fasilitas sosial, perkantoran,
pasar, pertokoan dan kegiatan lainnya (non domestik). Dengan menggunakan
standar produksi sampah sebesar 2,5 liter/orang/hari, produksi sampah di Kota
Bandung pada tahun 2008 sebesar 7.152 m3/hari dan pada tahun 2013 sebesar
7.362 m3/hari. Diasumsikan cakupan pelayanan pada tahun 2008 sebesar 80% dan
pada tahun 2013 sebesar 90%, maka timbulan sampah yang harus ditangani
adalah sebesar 5.206 m3/hari dan 6.626 m3/hari. Sementara itu kapasitas TPA
yang ada sebesar 3.837.899 m3
Volume sampah yang dihasilkan dari tahun 2008 hingga 2013 dengan
mengasumsikan tetap, yaitu sebesar 2,4 juta m
(PD Kebersihan Kota Bandung, 2009).
3/tahun, dan jumlah sampah yang
dihasilkan dapat direduksi hingga 70% dengan menggunakan teknik-teknik
pemadatan, pengomposan, dan daur ulang, maka volume sampah yang tersisa di
TPA dari tahun 2008 hingga 2013 adalah sebesar 3,6 juta m3. Angka 3,6 juta m3
ini sudah hampir mendekati kapasitas TPA yang ada, yaitu sebesar lebih kurang
3,8 juta m3
Hal yang sama juga berlaku untuk TPS. Pada saat ini terdapat 202 TPS
dan 279 kontainer dengan volume 10 m
. Analisis ini belum mempertimbangkan volume sampah yang
dihasilkan sejak TPA dibuka hingga tahun 2008. Apabila volume sampah tersebut
dipertimbangkan, ada kemungkinan bahwa untuk sepuluh tahun mendatang TPA
yang ada sudah tidak lagi dapat menampung sampah yang dihasilkan (Satriyo,
2008).
3 dan 6 m3. Apabila diasumsikan bahwa
semua kontainer yang digunakan di TPS adalah container dengan volume 10 m3,
maka TPS yang ada pada saat ini mempunyai kapasitas 2.790 m3. Pada tahun
2008 diperlukan tambahan kapasitas sebesar 2.416 m3 atau sama dengan 242
kontainer 10 m3, dan pada tahun 2013 diperlukan tambahan kapasitas sebesar
1.420 m3 (dari tahun 2008) atau 142 kontainer 10 m3 yang dapat disebarkan pada
58
lokasi TPS yang ada atau TPS-TPS baru (Satriyo, 2008). Volume timbulan
sampah di Kota Bandung dari Tahun 2001 sampai Tahun 2008, dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Timbulan Sampah di Kota Bandung No Tahun Volume (m3 Trend (%) ) 1 2001 887.990 - 2 2002 911.900 2,69 3 2003 1.053.957 15,58 4 2004 1.165.652 10,60 5 2005 2.737.712 134,87 6 2006 1.345.612 -50,85 7 2007 1.396.701 3,80 8 2008 1.457.748 4,37 Rata-Rata 1.369.659 17,29
Sumber: PD Kebersihan Kota Bandung, 2009
Pada Tabel 4 terlihat bahwa pada Tahun 2005 merupakan Tahun yang
paling besar terjadi timbulan sampah. Hal ini disebabkan pada Tahun 2005
terjadinya bencana longsor di TPA Leuwigajah, sehingga timbulan sampah tidak
dapat lagi dialokasikan di TPA ini. Sejak 21 Februari 2005 (Sumber: Pikiran
Rakyat - 22 Februari 2007) kawasan seluas 23,6 hektare ini digunakan untuk
menampung sampah hingga volumenya mencapai tak kurang dari 1,62 juta meter
kubik. Sistem pengelolaan sampah di TPA Leuwigajah masih menggunakan
teknologi open dumping, yakni dengan hanya menumpuk sampah-sampah di
tempat terbuka. Selain itu, TPA ini juga tidak memiliki saluran khusus air sampah
(lindi).
Gambar 5 memperlihatkan sistem operasional pelayanan kebersihan yang
diterapkan di Kota Bandung, sedangkan perkiraan produksi sampah domestik di
Kota Bandung pada Tahun 2013 serta perbandingannya dengan Tahun 2008
disajikan pada Tabel 5.
59
Sumber: PD Kebersihan Kota Bandung, Tahun 2008
Gambar 5 Sistem Operasional Pelayanan Kebersihan
60
Tabel 5 Perkiraan Produksi Sampah Domestik Di Kota Bandung Tahun 2008 dan 2013
No. Kecamatan 2008 2013 (m3 (m/hari) 3/hari)
Wilayah Bojongloa 1 Kec. Andir 308,8 345,4 2 Kec. Sukasari 210,1 237,7 3 Kec. Cicendo 296,7 335,7 4 Kec. Sukajadi 278,1 314,6
Wilayah Cibeunying 5 Kec. Cicadas 149,5 169,1 6 Kec. Coblong 337,8 382,2 7 Kec. Bandung Wetan 191,7 218,2 8 Kec. Cibeunying Kidul 316,8 358,3 9 Kec. Cibeunying Kaler 189,2 214,1 10 Kec. Sumur Bandung 136,7 154,6
Wilayah Tegalega 11 Kec. Astana Anyar 243,3 275,3 12 Kec. Bojongloa Kidul 203,8 252,8 13 Kec. Bojongloa Kaler 295,1 355,6 14 Kec. Babakan Ciparay 295,1 331,6 15 Kec. Bandung Kulon 329,1 372,3
Wilayah Karees 16 Kec. Regol 242,3 274,3 17 Kec. Lengkong 242,7 274,6 18 Kec. Batununggal 358,4 405,3 19 Kec. Kiaracondong 361,4 408,8
Wilayah Ujungberung 20 Kec. Cicadas 298,2 337,4 21 Kec. Arcamanik 242,9 274,8 22 Kec. Ujungberung 207,3 234,6 23 Kec. Cibiru 203,2 232,2
Wilayah Gedebage 24 Kec. Bandung Kidul 119,1 134,7 25 Kec. Margacinta 256,4 290,2 26 Kec. Rancasari 179,6 203,2
Kota Bandung 6.495,5 7.349,0 Data: Data BPLH Kota Bandung, Juli 2008. Pada awal Tahun 2005, Kota Bandung dihadapkan pada persoalan tidak
tersedianya TPA karena beberapa lokasi yang akan dipakai ditolak oleh
masyarakat. Hal ini disebabkan:
61
1. Penolakan masyarakat di sekitar wilayah yang akan dipakai TPA disebabkan
mereka melihat pengalaman dalam cara pengelolaan sampah yang selama ini
dilakukan. Kejadian longsor sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, yang
memakan korban puluhan orang menjadi pengalaman traumatis masyarakat.
2. Masyarakat menolak karena permukiman berdekatan dengan TPA akan
menimbulkan bau.
3. Masyarakat menolak karena lahan pertanian yang letaknya dekat dengan
daerah yang dipakai TPA dianggap tercemar polusi dari sampah sehingga
merusak produktivitas tanah dan hasil produksi pertanian akan rusak.
4. Masyarakat yang berada di sekitar lokasi TPA menolak karena nilai ekonomi
tanah dan permukiman akan turun. Orang enggan bermukim dan berusaha di
sekitar lokasi, ditambah dengan pertimbangan kesehatan dan estetika.
4.3 Tingkat Kualitas Lingkungan Hidup Kota Bandung
Tingkat kualitas lingkungan hidup Kota Bandung yang berkaitan dengan
pengelolaan sampah dapat diukur berdasarkan tingkat pencemaran sungai.
Diasumsikan sungai menjadi salah satu tempat pembuangan sampah akhir
sebagian masyarakat Kota Bandung. Hasil pemantauan pada 16 sungai di Kota
Bandung memperlihatkan tingkat pencemaran masih menunjukan hasil yang
berada di atas baku mutu. Rincian hasil pemantauan dengan 9 parameter dapat
dilihat pada Tabel 6
Tabel 6 Hasil Pemantauan Kualitas Sungai
No Parameter Kondisi Sungai (16) lokasi
Memenuhi Baku Mutu Tidak Memenuhi Baku Mutu
1 Amoniak - 16 (100%) 2 Timbal - 16 (100%) 3 BOD 6 (37,50 %) 10 (62,50%) 4 COD 3 (18,75 %) 13 (81,25%) 5 DO 6 (37,50 %) 10 (62,50%) 6 Detergen 5 (31,25 %) 11 (68,75%) 7 E. Coli 1 (6,25 %) 15 (93,75%) 8 Tembaga 3 (18,75 %) 13 (81,25%) 9 Nitri 8 (50,00 %) 8 (50,00%)
Sumber: BPLHD Kota Bandung, 2009
62
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
Acuan normatif berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah di
Indonesia saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah. Meskipun Undang-undang tentang Pengelolaan Sampah
telah disahkan namun Peraturan Pemerintah sebagai acuan dalam pelaksanaan
pengelolaan sampah sebagai tindak lanjut Undang-undang tersebut masih belum
ada. Direncanakan terdapat 3 (tiga) Peraturan Pemerintah namun baru satu yang
telah siap proses legalisasinya. Isu lain adalah kontradiksi pendekatan 3R yang
menekankan pengurangan timbulan sampah versus penerapan waste to energy
(ubah sampah menjadi energi) yang mendorong peningkatan timbulan sampah.
Isu lain yang mengemuka berupa perlunya Pemerintah Daerah memberdayakan
masyarakat dan melibatkan dunia usaha atau pihak lain yang terkait dengan
masalah persampahan. Program 3R menyatu dengan sistem pengelolaan sampah
skala kota. Terdapat 5 Kebijakan dan 29 Strategi Nasional Pengelolaan Sampah.
Kelima kebijakan tersebut adalah pengurangan sampah, penanganan sampah,
pemanfaatan sampah, peningkatan kapasitas pengelolaan sampah, dan
pengembangan kerjasama regional dan global.
Kebijakan yang menjadi acuan dasar dalam pengelolaan sampah di Kota
Bandung mengacu pada:
1. Skala Nasional yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah
2. Skala Regional Pemerintah Daerah Kota Bandung yaitu Peraturan Daerah
Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban,
Kebersihan, dan Keindahan
3. Skala Regional Pemerintah Daerah Kota Bandung yaitu Peraturan Daerah
Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota
Bandung
63
4. Perusahaan Daerah dalam Pengelolaan Sampah yaitu Peraturan Daerah Kota
Bandung Nomor 02 Tahun 1985, yang menetapkan pendirian PD Kebersihan
Kota Bandung sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak dalam jasa
pelayanan kebersihan di Kota Bandung.
Kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam bentuk Peraturan
Daerah mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan
Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan. Salah satu pertimbangan ditetapkannya
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 ini yaitu bahwa ketentuan sanksi yang
ditetapkan dalam agar dapat berlaku efisien, efektif dan memiliki kepastian
hukum, masih perlu dilakukan penyempurnaan.
Ketetapan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan yang berkaitan dengan
pengelolaan sampah mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699) dan Peraturan Daerah Kota
Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota
Bandung.
Pengelolaan sampah di Kota Bandung harus sesuai dengan perundang-
undang yang berlaku tentang pengelolaan sampah. Berdasarkan Pasal 20 dan 22
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sampah, sebagai berikut:
Pasal 201. Pengurangan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a
meliputi kegiatan:a. Pembatasan timbulan sampah;b. Pendauran ulang sampah; dan/atauc. Pemanfaatan kembali sampah.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatansebagaimana dimaksud pada ayat 1, sebagai berikut:a. Menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam
jangka waktu tertentu;b. Memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan;c. Memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan;
64
d. Memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang; dane. Memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.
3. Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksudpada ayat 1 menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampahsesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/ataumudah diurai oleh proses alam.
4. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampahsebagaimana dimaksud pada ayat 1 menggunakan bahan yang dapatdiguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurangan sampah sebagaimanadimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 diatur denganperaturan pemerintah.
Pasal 221. Kegiatan penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf b meliputi:a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah
sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah;b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah
dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atautempat pengolahan sampah terpadu;
c. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumberdan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau daritempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesanakhir;
d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, danjumlah sampah; dan/atau
e. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampahdan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungansecara aman.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan sampah sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah dan/atauperaturan daerah sesuai dengan kewenangannya.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985, yang menetapkan
pendirian PD Kebersihan Kota Bandung sebagai pengelola sampah di Kota
Bandung mengarahkan pada sampah sebagai sumber pendapatan daerah, hal ini
tidak sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, yang
mengarahkan pengelolaan sampah dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, maka upaya pengelolaan sampah dengan melibatkan
masyarakat Kota Bandung haruslah ditekankan pada dua aspek, yaitu aspek
demand, dengan cara mengurangi produksi sampah, dan aspek supply, yaitu
65
dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana. Secara lebih
rinci, upaya pengelolaan sampah di Kota Bandung adalah sebagai berikut:
- Memanfaatkan teknik-teknik yang lebih berwawasan lingkungan berdasarkan
konsep daur ulang-pemanfaatan kembali-pengurangan dalam pengolahan
sampah di TPA yang ada maupun yang akan dikembangkan.
- Rehabilitasi dan pengadaan sarana dan prasarana persampaan, bergerak dan
tidak bergerak, seperti TPS, TPA, kontainer, dan truk.
- Mengembangkan kemitraan dengan swasta dan kerjasama dengan kabupaten
dan kota sekitarnya yang berkaitan untuk pengelolaan sampah dan penyediaan
TPA.
Pengelolaan sampah di Kota Bandung selama ini mengacu pada Peraturan
Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 1985 yang memberikan kewenangan
kepada Perusahaan Daerah untuk mengelola sampah. Selain itu, kebijakan
pengelolaan sampah yang diterapkan Pemerintah Kota Bandung selain dikelola
oleh PD Kebersihan, juga mengacu pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor
27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan dan Peraturan Daerah Nomor 11
Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan, di
Kota Bandung yang meminta peran serta masyarakat untuk ikut serta
berpartisipasi dalam pengelolaan sampah, hal tersebut sejalan dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang merupakan
tonggak baru bagi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung
yang mengarahkan kebijakan pengelolaan sampah perkotaan pada konsep zero
waste dengan menekankan pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan
sampah.
Instansi-instansi yang terkait dengan kegiatan Pengelolaan Sampah di
Kota Bandung yaitu PD Kebersihan Kota Bandung sebagai pelaksana kegiatan
Pengelolaan Sampah, dan petunjuk teknis Pengelolaan Sampah disusun oleh
Dinas Cipta Karya, dan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung. Selain itu,
instansi terkait dengan proses distribusi pembuangan sampah yaitu Pemerintah
Kabupaten Bandung Barat, karena lokasi Tempat Pembuangan Sampah berada di
66
Kabupen Bandung Barat. Dinas Kebersihan dan Dinas Lingkungan Hidup Kota
pada tiga pemerintahan daerah yaitu Kabupaten Bandung Barat, Pemerintah Kota
Bandung dan Pemerintah Kota Cimahi merupakan instansi-instansi yang terkait
dengan PD Kebersihan Kota Bandung.
Perusahaan Daerah Kebersihan (PD Kebersihan) Kota Bandung
menyelenggarakan pelayanan jasa kebersihan di bidang Pengelolaan Sampah
untuk mewujudkan kondisi kota yang bersih dan memupuk pendapatan, dengan
fungsinya yaitu 1) Perumusan kebijakan dan strategi pengelolaan kebersihan dan
usaha jasa kebersihan di bidang Pengelolaan Sampah sejalan dengan visi dan misi
Kota Bandung, 2) Penyelenggaraan pengelolaan kebersihan di bidang Pengelolaan
Sampah kota meliputi penyapuan, pengumpulan, pengangkutan, pembuangan dan
pengolahan akhir, dan 3) Penyelenggaraan usaha jasa pelayanan kebersihan di
bidang Pengelolaan Sampah. Sistem operasional pelayanan kebersihan jalan,
pasar komersial dan non komersial, fasilitas umum dan fasilitas sosial ditampilkan
pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Selain pengelolaan sampah di Kota Bandung yang diserahkan kepda PD
Kebersihan, pemerintah Kota Bandung mempunyai kebijakan untuk membangun
pabrik pengolahan sampah menjadi energi listrik (PLTSa) di Gedebage sebagai
salah satu upaya dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah pengelolaan
sampah di Kota Bandung yang semakin sulit dan berat. Dengan upaya ini,
diharapkan nantinya tidak lagi tergantung kepada salah satu Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) yang ada di wilayah luar Kota Bandung.
67
Sumber: BPLH Kota Bandung, 2005Gambar 6 Program Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
68
Sumber: PD Kebersihan Kota Bandung, Tahun 2008
Gambar 7 Operasional Pengelolaan Kebersihan Kota Bandung
Untuk mengetahui persepsi masyarakat dan pegawai terhadap kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung dilihat dari faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang terdiri dari faktor
komunikasi, sumberdaya, disposisi dan birokrasi disajikan sebagai berikut.
1. Komunikasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah
Perkotaan di Kota Bandung
Pengukuran tingkat penerapan komunikasi dalam pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan penilaian pegawai dan
masyarakat digolongkan dalam 5 (lima) kategori untuk setiap pernyataan yang
diajukan, seperti ditampilkan mulai Tabel 7 sampai Tabel 12.
Tabel 7 Kejelasan Informasi yang Diterima mengenai KebijakanPengelolaan Sampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sama Sekali Tidak Jelas 0.00% 44.33%2 Tidak Jelas 4.11% 34.67%3 Kurang Jelas 57.53% 4.00%4 Jelas 38.36% 15.67%5 Sangat Jelas 0.00% 1.33%
Total 100.00% 100.00%Sumber: Hasil Pengumpulan Data Kuesioner
TEKNIK OPERASIONAL
PEMINDAHANKE TPS
PENGANGKU-TAN
PEMBUANGANKE TPA
DAUR ULANG
PENYAPUAN/PENGUMPULAN
69
Tabel 7 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi
berkaitan dengan kejelasan informasi yang diterima mengenai kebijakan
pengelolaan sampah, memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kurang
jelas (57,53%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai sama sekali tidak jelas
(44.33%). Artinya pegawai dan masyarakat berkecenderungan merasakan
ketidakjelasan terhadap informasi mengenai kebijakan pengelolaan sampah yang
diterapkan di Kota Bandung, yang menunjukkan secara umum bahwa penerapan
kebijakan pengelolaan sampah belum secara jelas tersampaikan baik kepada
pegawai PD Kebersihan sebagai pelaksana pengelolaan sampah, maupun kepada
masyarakat Kota Bandung sebagai penerima pelayanan pengelolaan sampah yang
dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung.
Penilaian selanjutnya yang dilakukan oleh pegawai PD Kebersihan dan
masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi berkaitan dengan
penguasaan pegawai dalam pengetahuan mengenai masalah pengelolaan sampah
di Kota Bandung, memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sedikit
menguasai (52,05%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai pegawai kurang
menguasai (38,67%) yang perinciannya ditampilkan pada Tabel 8.
Tabel 8 Penguasaan Pegawai dalam Pengetahuan mengenai MasalahPengelolaan Sampah di Kota Bandung
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Tidak Menguasai 0,00% 22,67%2 Kurang Menguasai 16,44% 38,67%3 Sedikit Menguasai 52,05% 3,67%4 Menguasai 31,51% 34,00%5 Sangat Menguasai 0,00% 1,00%
Total 100.00% 100.00%
Tabel 8 memperlihatkan bahwa pegawai menilai dirinya sedikit menguasai
mengenai masalah pengelolaan sampah, namun masyarakat menilai pegawai
kurang menguasai dalam pengetahuannya mengenai masalah pengelolaan sampah
di Kota Bandung. Hal ini menunjukkan secara umum bahwa penerapan kebijakan
pengelolaan sampah belum didukung oleh penguasaan pengetahuan pegawai PD
70
Kebersihan sebagai pelaksana pengelolaan sampah dalam menangani
permasalahan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
Perlu adanya peningkatan pengetahuan pegawai tentang teknis
pelaksanaan pengelolaan sampah yang dapat berupa pendidikan dan pelatihan
teknis substansi pengelolaan sampah yang ditujukan untuk membekali atau
meningkatkan pengetahuan pegawai dalam melaksanakan tugas dalam bidang
pengelolaan sampah (misalnya Diklat penerapan teknologi pengolahan sampah
dan pendayagunaan sampah yang bernilai ekonomi).
Tabel 9 memperlihatkan penilaian pegawai dan masyarakat berkaitan
dengan kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan
kebijakan pegelolaan sampah yang ditetapkan oleh pemerintah.
Tabel 9 Kecepatan Pesan yang Diterima dalam MenginformasikanPerkembangan berkaitan dengan Kebijakan Pegelolaan Sampahyang Ditetapkan oleh Pemerintah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat Lambat Diberikan 6,85% 43,67%2 Lambat Diberikan 17,81% 37,67%3 Kadang-Kadang Cepat
Diberikan 43,84% 5,00%
4 Sering Cepat Diberikan 31,51% 13,33%5 Selalu Cepat Diberikan 0,00% 0,33%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 9 yang mengukur kecepatan pesan yang diterima dalam
menginformasikan perkembangan kebijakan pegelolaan sampah yang ditetapkan
oleh pemerintah memperlihatkan bahwa pegawai menilai kadang-kadang cepat
diberikan (43,84%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai sangat lambat
diberikan (43,67%). Artinya bahwa kebijakan pengelolaan sampah di Kota
Bandung secara umum dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berupa
kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan berkaitan
dengan kebijakan Pengelolaan Sampah yang ditetapkan oleh pemerintah dapat
dikatakan lambat diberikan.
Lambatnya informasi pekembangan kebijakan pengelolaan sampah yang
dikeluarkan pemerintah baik kepada para tenaga pelaksana, maupun kepada
71
masyarakat karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah berkaitan
dengan perkembangan kebijakan pengelolaan sampah. Perlu adanya sarana
komunikasi yang terkoordinasi dengan baik di dalam internal organisasi
pemerintahan yang dapat menginformasikan setiap perkembangan-perkembangan
baru dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah, sehingga dapat
menjangkau tenaga teknis pelaksana kebijakan pengelolaan sampah. Selain itu
sosialisasi kepada masyarakat mempergunakan bantuan media massa televisi
dapat diterapkan dalam bentuk program layanan masyarakat yang dapat
menjangkau lebih banyak masyarakat.
Meskipun lambat diberikannya informasi berkaitan dengan perkembangan
kebijakan pengelolaan sampah, namun dalam hal frekuensi penyampaiannya
berkecenderungan sering dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung. Seperti
terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Frekwensi Penyampaian Informasi Pemerintah Berkaitan denganPerkembangan Pengelolaan Sampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Tidak Pernah 2,74% 13,33%2 Jarang 15,07% 24,33%3 Kadang-Kadang 38,36% 4,33%4 Sering 43,84% 57,00%5 Selalu 0,00% 1,00%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 10 ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi
berkaitan dengan frekwensi penyampaian informasi pemerintah berkaitan dengan
perkembangan Pengelolaan Sampah, terjadi kesamaan penilaian yang
memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sering dilakukan (43,84%),
dan mayoritas masyarakat menilai juga sering dilakukan (57,00%). Artinya
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan
pengkomunikasian berkaitan dengan frekwensi penyampaian informasi
pemerintah berkaitan dengan perkembangan Pengelolaan Sampah, dapat
72
dikatakan baik karena secara umum sering dilakukan oleh Pemerintah Kota
Bandung.
Selajutnya pada Tabel 11 diperlihatkan hasil penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung berkaitan dengan ketepatan dan
kesesuaian pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah yang diterapkan oleh
pemerintah daerah.
Tabel 11 Ketepatan dan Kesesuaian Pelaksanaan Kebijakan PengelolaanSampah yang Diterapkan oleh Pemerintah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Tidak pernah sesuai denganpedoman pelaksanaan 2,74% 33,00%
2 Jarang sesuai dengan pedomanpelaksanaan 19,18% 39,33%
3 Kadang sesuai dengan pedomanpelaksanaan 35,62% 5,00%
4 Sering sesuai dengan pedomanpelaksanaan 42,47% 21,00%
5 Selalu sesuai dengan pedomanpelaksanaan 0,00% 1,67%
Total 100,00% 100,00%
Tabel 11 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi
berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan
Sampah yang diterapkan oleh pemerintah, terjadi perbedaan penilaian yang
memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai sering sesuai dengan pedoman
(42,47%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai jarang sesuai dengan
pedoman (39,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung
dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berkaitan dengan ketepatan dan
kesesuaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah yang diterapkan oleh
pemerintah secara umum dapat dikatakan sering sesuai menurut penilaian pegawai
PD Kebersihan sebagai pelaksana kebijakan pengelolaan sampah, karena setiap
pegawai dituntut untuk selalu bertindak sesuai dengan pedoman pelaksanaan yang
ditetapkan. Namun penilaian masyarakat Kota Bandung menilai jarang sesuai
73
dengan pedoman karena masyarakat merasakan hasil pengelolaan sampah yang
dilakukan para pegawai PD Kebersihan tidak memperlihatkan hasil yang sesuai
dengan harapan masyarakat yang menginginkan timbulan sampah tidak terjadi di
TPS-TPS.
Penyelesaian masalah pengelolaan sampah yang disampaikan melalui
informasi oleh pemerintah daerah berkaitan dengan kebijakan pengelolaan
sampah, hasil penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung
diperlihatkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Penyelesaian Masalah dengan Adanya Informasi yang DiberikanPemerintah Berkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Tidak pernah dapatmenyelesaikan masalah 2,74% 52,33%
2 Jarang dapat menyelesaikanmasalah 19,18% 35,33%
3 Kadang dapat menyelesaikanmasalah 30,14% 3,67%
4 Sering dapat menyelesaikanmasalah 47,95% 7,33%
5 Selalu dapat menyelesaikanmasalah 0,00% 1,33%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 12 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi
berkaitan dengan penyelesaian masalah dengan adanya informasi yang diberikan
pemerintah berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah, memperlihatkan
bahwa mayoritas pegawai menilai sering dapat menyelesaikan masalah (47,95%),
sedangkan mayoritas masyarakat menilai tidak pernah dapat menyelesaikan
masalah (52,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung
dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian berkaitan dengan penyelesaian masalah
dengan adanya informasi yang diberikan pemerintah berkaitan dengan kebijakan
Pengelolaan Sampah, secara umum belum dapat menyelesaikan permasalah
pengelolaan sampah di Kota Bandung. Meskipun menurut penilaian pegawai PD
74
Kebersihan informasi yang diberikan pemerintah daerah sudah dapat
menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah, hal ini karena pegawai PD
Kebersihan sebagai pelaksana kebijakan pastinya merasakan bahwa berbagai
kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung mengacu
berdasarkan informasi yang diberikan oleh pemerintah Daerah.
Hasil analisis berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan
masyarakat Kota Bandung memperlihatkan bahwa penerapan komunikasi dalam
pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung masih kurang baik.
Hal ini terlihat dari penyampaian informasi berkaitan dengan kebijakan
pengelolaan sampah oleh pelaksana kebijakan kepada masyarakat yang masih
belum jelas, lambatnya penyampaian informasi terkini berkaitan dengan
pengelolaan sampah belum merata, dan tidak sesuainya pelaksanaan kegiatan
pengelolaan sampah dengan harapan masyarakat. Hal ini akan menyebabkan
tingkat partisipasi masyarakat yang kurang. Peran pegawai yang masih rendah
dalam mengkomunikasikan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan pengelolaan
sampah diindikasikan dari rendahnya komunikasi yang dilakukan pegawai.
Berdasarkan wawancara dengan pihak PD Kebersihan hal ini disebabkan oleh
tingkat pendidikan pegawai yang mayoritas masih pada tingkat sekolah menengah
pertama, dan jarang dilakukan pelatihan berkaitan dengan pengkomunikasian
kebijakan pengelolaan sampah kepada masyarakat.
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam
pengelolaan sampah. Oleh karena itu pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah
harus melibatkan peran serta masyarakat dalam aspek teknis pengelolaannya. Hal
ini dapat dilakukan misalnya dengan pemisahan sampah organik dan sampah
anorganik pada skala rumah tangga.
2. Sumberdaya dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di
Kota Bandung
Pengukuran tingkat penggunaan sumberdaya dalam pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan penilaian pegawai dan
75
masyarakat digolongkan dalam 5 (lima) kategori untuk setiap pernyataan yang
diajukan, seperti ditampilkan mulai Tabel 13 sampai Tabel 15.
Tabel 13 Perolehan Sumber Daya Informasi yang Dibutuhkan PelaksanaanBerkaitan dengan Kebijakan Pengelolaan Sampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Tidak pernah diperoleh 6,85% 42,00%2 Jarang diperoleh 16,44% 36,67%3 Kadang diperoleh 32,88% 7,67%4 Sering diperoleh 43,84% 12,00%5 Selalu diperoleh 0,00% 1,67%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 13 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam keberadaan sumberdaya
berkaitan dengan perolehan sumber daya informasi yang dibutuhkan pelaksanaan
berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah, mayoritas pegawai menilai
sering diperoleh (43,84%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai tidak pernah
diperoleh (42,00%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung
dalam hal keberadaan sumberdaya berkaitan dengan perolehan sumber daya
informasi yang dibutuhkan pelaksanaan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan
sampah, dapat dikatakan sering diperoleh menurut persepsi pegawai PD
Kebersihan, namun sumberdaya informasi tidak diperoleh menurut persepsi
masyarakat Kota Bandung. Hal ini menunjukkan secara umum bahwa penerapan
kebijakan pengelolaan sampah tidak didukung oleh sumberdaya informasi
sehingga pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah kepada masyarakat Kota
Bandung belum tersosialisasikan sampai ke masyarakat.
Berkaitan dengan kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah
berupa peralatan dalam mendukung pelaksanaan kebijakan menurut persepsi
pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung ditampilkan pada
Tabel 14.
76
Tabel 14 Kegunaan Sarana dan Prasarana Bantuan Pemerintah berupaPeralatan
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Tidak pernah tepat guna 5,48% 36,00%2 Jarang tepat guna 12,.33% 29,67%3 Kadang tepat guna 39,73% 8,33%4 Sering tepat guna 42,47% 23,33%5 Selalu tepat guna 0,00% 2,67%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 14 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam keberadaan sumberdaya
berkaitan dengan kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa
peralatan, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas
pegawai menilai sering tepat guna (42,47%), sedangkan mayoritas masyarakat
menilai tidak pernah tepat guna (36,00%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah
di Kota Bandung dalam hal keberadaan sumberdaya berkaitan dengan kegunaan
sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa peralatan, dapat dikatakan sering
tepat guna menurut persepsi pegawai PD Kebersihan, namun menurut masyarakat
Kota Bandung tidak pernah tepat guna. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
kebijakan pengelolaan sampah dalam ketepatan penggunaan sarana dan prasarana
bantuan pemerintah menurut masyarakat Kota Bandung belum tepat guna
ditujukan pada masyarakat Kota Bandung.
Penggunaan sumberdaya manusia yaitu pegawai PD Kebersihan sebagai
tenaga pelaksana kebijakan pengelolaan sampah berdasarkan penilaian
pegawainya dan masyarakat Kota Bandung diperlihatkan pada Tabel 15.
Tabel 15 Sumber Daya Manusia atau Tenaga Pelaksana mengenaiKebijakan Pengelolaan Sampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat tidak memadai 5,48% 24,67%2 Tidak memadai 26,03% 38,00%3 Cukup memadai 35,62% 11,00%4 Memadai 32,88% 24,00%5 Sangat memadai 0,00% 2,33%
Total 100,0% 100,00%
77
Tabel 15 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam keberadaan sumberdaya
berkaitan dengan sumber daya manusia atau tenaga pelaksana mengenai kebijakan
Pengelolaan Sampah, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa
mayoritas pegawai menilai cukup memadai (35,62%), sedangkan mayoritas
masyarakat menilai tidak memadai (38,00%). Artinya kebijakan pengelolaan
sampah di Kota Bandung dalam hal keberadaan sumberdaya berkaitan dengan
sumber daya manusia atau tenaga pelaksana mengenai kebijakan Pengelolaan
Sampah, dapat dikatakan tidak memadai. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
sumberdaya manusia berupa pegawai PD Kebersihan tidak memadai, dan
berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PD Kebersihan bahwa tidak
memadainya pegawai terlihat dari jumlah pegawai (1.852 pegawai) maupun
kualitas pegawainya yang masih banyak berpendidikan setingkat pendidikan
menengah pertama meskipun mayoritas setingkat SLTA.
3. Disposisi dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota
Bandung
Pengukuran tingkat penerapan disposisi dalam pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan penilaian pegawai dan
masyarakat digolongkan dalam 5 (lima) kategori untuk setiap pernyataan yang
diajukan, seperti ditampilkan mulai Tabel 16 sampai Tabel 21.
Tabel 16 Pemahaman Pelaksana Petugas Kebersihan tentang KebijakanPengelolaan Sampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat tidak memahami 5,48% 49,67%2 Tidak memahami 32,88% 29,33%3 Cukup memahami 30,14% 6,00%4 Memahami 31,51% 13,00%5 Sangat memahami 0,00% 2,00%
Total 100,0% 100,00%
78
Tabel 16 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan
dengan pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakan Pengelolaan
Sampah, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas
pegawai menilai tidak memahami (32,88%), sedangkan mayoritas masyarakat
menilai sama sekali tidak memahami (49,67%). Artinya kebijakan pengelolaan
sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan dengan
pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakan Pengelolaan
Sampah, dapat dikatakan tidak memahami dalam informasi-informasi yang
diperoleh dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah.
Penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung
berkaitan dengan kesesuaian pengetahuan petugas pelaksana dengan kebutuhan
masyarakat berkaitan dengan masalah kebijakan pengelolaan sampah
diperlihatkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Kesesuaian Pengetahuan Petugas Pelaksana dengan KebutuhanMasyarakat Berkaitan dengan Masalah Kebijakan PengelolaanSampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat tidak mengetahui 1,37% 69,67%2 Tidak mengetahui 8,22% 24,00%3 Cukup mengetahui 45,21% 2,67%4 Mengetahui 45,21% 2,67%5 Sangat mengetahui 0,00% 1,00%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 17 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan
dengan pengetahuan petugas pelaksana sesuai dengan kebutuhan masyarakat
berkaitan dengan masalah kebijakan Pengelolaan Sampah, terjadi perbedaan
penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai cukup
mengetahui dan mengetahui (masing-masing 45,21%), sedangkan mayoritas
masyarakat menilai sangat tidak mengetahui (69,67%). Artinya kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan
79
dengan pengetahuan petugas pelaksana sesuai dengan kebutuhan masyarakat
berkaitan dengan masalah kebijakan Pengelolaan Sampah, dapat dikatakan sangat
tidak mengetahui.
Penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung
berkaitan dengan penerapan dalam pelaksanaan tentang kebijakan pengelolaan
sampah diperlihatkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Penerapan dalam Pelaksanaan tentang Kebijakan PengelolaanSampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Seluruhnya tidak dapat diterapkan 0,00% 6,67%2 Banyak yang tidak dapat diterapkan 4,11% 20,67%3 Sedikit yang dapat diterapkan 38,36% 8,33%4 Sebagian besar dapat diterapkan 57,53% 61,33%5 Seluruhnya dapat diterapkan 0,00% 3,00%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 18 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan
dengan penerapan dalam pelaksanaan tentang kebijakan Pengelolaan Sampah,
terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai
menilai sebagian besar dapat diterapkan (57,53%), sedangkan mayoritas
masyarakat juga menilai sebagian besar dapat diterapkan (61,33%). Artinya
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi
berkaitan dengan penerapan dalam pelaksanaan tentang kebijakan pengelolaan
sampah, dapat dikatakan sebagian besar dapat diterapkan.
Penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung
berkaitan dengan sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan
sampah pada umumnya diperlihatkan pada Tabel 19.
80
Tabel 19 Kejujuran Aparat Pemerintah dalam Menjalankan TugasPengelolaan Sampah pada Umumnya
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat tidak jujur 4,11% 7,33%2 Tidak jujur 41,10% 17,33%3 Kurang jujur 34,25% 4,33%4 Cukup jujur 20,55% 66,67%5 Sangat jujur 0,00% 4,33%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 19 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan
dengan sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah
pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa
mayoritas pegawai menilai tidak jujur (41,10%), sedangkan mayoritas masyarakat
menilai cukup jujur (66,67%). Artinya kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota
Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan dengan sikap aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat
dikatakan cukup jujur. Kejujuran pegawai dalam menjalankan kebijakan
pengelolaan sampah dibutuhkan, selain berhubungan dengan pendanaan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga berkaitan dengan kegiatan-
kegiatan dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan sampah.
Tabel 20 Komitmen Aparat Pemerintah dalam Menjalankan TugasPengelolaan Sampah pada Umumnya
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat tidak komit terhadap tugasyang diemban 8,22% 7,33%
2 Tidak komit terhadap tugas yangdiemban 27,40% 21,33%
3 Kurang komit terhadap tugas yangdiemban 43,84% 9,00%
4 Komit terhadap tugas yangdiembannya 20,55% 58,00%
5 Sangat komit terhadap tugas yangdiemban 0,00% 4,33%
Total 100,0% 100,00%
81
Tabel 20 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan
dengan komitmen aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan
sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa
mayoritas pegawai menilai kurang komit terhadap tugas yang diemban (43,84%),
sedangkan mayoritas masyarakat menilai komit terhadap tugas yang diemban
(58,00%). Artinya kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung dalam hal
pelaksanaan disposisi berkaitan sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas
pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan komit terhadap tugas yang
diemban.
Tabel 21 Sikap Aparat Pemerintah dalam Prioritas Menjalankan TugasPengelolaan Sampah pada Umumnya
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat tidak memprioritaskankeberhasilan kebijakan 0,00% 8,33%
2 Tidak memprioritaskankeberhasilan kebijakan 6,85% 7,67%
3 Kurang memprioritaskankeberhasilan kebijakan 52,05% 1,67%
4 Memprioritaskan keberhasilankebijakan 41,10% 74,33%
5 Sangat memprioritaskankeberhasilan kebijakan 0,00% 8,00%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 21 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan disposisi berkaitan
dengan sikap aparat pemerintah dalam prioritas menjalankan tugas pengelolaan
sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang memperlihatkan bahwa
mayoritas pegawai menilai kurang memperioritaskan keberhasilan kebijakan
(52,05%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai memperioritaskan
keberhasilan kebijakan (74,33%). Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota
Bandung dalam hal pelaksanaan disposisi berkaitan dengan sikap aparat
82
pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat
dikatakan memperioritaskan keberhasilan kebijakan.
4. Birokrasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota
Bandung
Pengukuran tingkat penerapan birokrasi dalam pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung berdasarkan penilaian pegawai dan
masyarakat digolongkan dalam 5 (lima) kategori untuk setiap pernyataan yang
diajukan, seperti ditampilkan mulai Tabel 22 sampai Tabel 25.
Tabel 22 Kejelasan Pembagian Tugas Aparat Pemerintah dalam halMenjalankan Tugas Pengelolaan Sampah
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat tidak terlihat jelaspembagian tugasnya 2,74% 7,33%
2 Tidak terlihat jelas pembagiantugasnya 4,11% 22,00%
3 Kurang terlihat jelaspembagian tugasnya 56,16% 10,33%
4 Cukup terlihat jelas pembagiantugasnya 36,99% 58,33%
5 Sangat terlihat jelas pembagiantugasnya 0,00% 2,00%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 22 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi
berkaitan dengan kejelasan pembagian tugas aparat pemerintah dalam hal
menjalankan tugas pengelolaan sampah, terjadi perbedaan penilaian yang
memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kurang jelas (56,16%),
sedangkan mayoritas masyarakat menilai cukup jelas (58,33%). Artinya kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan pengkomunikasian
berkaitan dengan kejelasan pembagian tugas aparat pemerintah dalam hal
menjalankan tugas pengelolaan sampah, dapat dikatakan sudah cukup jelas.
83
Berkaitan dengan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat Kota
Bandung dalam tanggungjawab aparat pemerintah dalam menjalankan tugas
pengelolaan sampah pada umumnya diperlihatkan pada Tabel 23.
Tabel 23 Tanggungjawab Aparat Pemerintah dalam Menjalankan TugasPengelolaan Sampah pada Umumnya
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Sangat tidak bertanggung jawab 0,00% 8,00%2 Tidak bertanggung jawab 9,59% 17,67%3 Kurang bertanggung jawab 58,90% 9,00%4 Bertanggung jawab 31,51% 61,67%5 Sangat bertanggung jawab 0,00% 3,67%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 23 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi
berkaitan dengan tanggungjawab aparat pemerintah dalam menjalankan tugas
pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang
memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kurang bertanggungjawab
(58,90%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai bertanggungjawab (61,67%).
Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan
pengkomunikasian berkaitan dengan tanggungjawab aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan
bertanggungjawab. Berkaitan dengan penilaian pegawai PD Kebersihan dan
masyarakat Kota Bandung dalam kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pengelolaan sampah diperlihatkan pada Tabel 24.
Tabel 24 Kejelasan Wewenang Aparat Pemerintah dalam MenjalankanTugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Tidak jelas 0,00% 27,33%2 Kurang jelas 8,22% 45,00%3 Kadang jelas 58,90% 6,00%4 Jelas 32,88% 17,33%5 Sangat jelas 0,00% 4,33%
Total 100,0% 100,00%
84
Tabel 24 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan komunikasi
berkaitan dengan kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankan
tugas pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan penilaian yang
memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kadang jelas (58,90%),
sedangkan mayoritas masyarakat menilai kurang jelas (45,00%). Artinya
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan
pengkomunikasian berkaitan dengan kejelasan wewenang aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat dikatakan
kurang jelas. Berkaitan dengan penilaian pegawai PD Kebersihan dan masyarakat
Kota Bandung dalam kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah diperlihatkan pada Tabel 25.
Tabel 25 Kejelasan Koordinasi yang Dilakukan Aparat Pemerintah dalamMenjalankan Tugas Pengelolaan Sampah pada Umumnya
No Pilihan Jawaban PenilaianPegawai Masyarakat
1 Tidak jelas 0,00% 27,67%2 Kurang jelas 5,48% 41,33%3 Kadang jelas 64,38% 4,00%4 Jelas 30,14% 23,33%5 Sangat jelas 0,00% 3,67%
Total 100,0% 100,00%
Tabel 25 menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian pegawai PD
Kebersihan dan masyarakat Kota Bandung dalam menerapkan birokrasi berkaitan
dengan kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, terjadi perbedaan
penilaian yang memperlihatkan bahwa mayoritas pegawai menilai kadang jelas
(64,38%), sedangkan mayoritas masyarakat menilai kurang jelas (41,33%).
Artinya kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dalam hal pelaksanaan
pengkomunikasian berkaitan dengan kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya, dapat
dikatakan kurang jelas.
85
Berdasarkan hasil pengumpulan data pada aspek komunikasi, masyarakat
Kota Bandung tidak mengetahui secara umum berkaitan dengan kebijakan
pengelolaan sampah yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Bandung. Masyarakat
masih menganggap bahwa sampah tidak memiliki nilai ekonomis, bahkan masih
mengganggap bahwa khususnya sampah rumah tangga merupakan beban biaya
yang dikeluarkan untuk membuang sampah. Pada aspek sumberdaya, khususnya
dalam hal sumber pendanaan, Pemerintah Kota Bandung menerapkan retribusi
sampah sebagai salah satu sumber PAD dan sumber pendanaan dalam
penyelenggaraan pelayanan pengelolaan sampah. Fenomena yang terjadi
berkaitan dengan pendanaan ini yaitu adanya 2 (dua) kali pungutan sampah yang
harus dibayar oleh masyarakat. Pertama, pungutan berupa iuran sampah bulanan
yang dikelola oleh RW setempat dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan
pengumpulan sampah dari rumah penduduk ke TPS. Sedangkan yang kedua
pungutan berupa retribusi sampah (pada saat pembayaran listrik PLN) yang
dipungut oleh PD Kebersihan dalam pengelolaan sampah berupa kegiatan
pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Pada aspek disposisi, para pegawai PD
Kebersihan yang belum memiliki sikap mendukung kebijakan pengelolaan
sampah, akan menyebabkan kurangnya efektivitas keberhasilan dalam
pengelolaan sampah.
Pemerintah Kota Bandung pada aspek birokrasi, menempatkan PD
Kebersihan sebagai Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pengelolaan
sampah di Kota Bandung. Namun pengelolaan sampah perkotaan yang dilakukan
PD Kebersihan hanya difokuskan pada pengelolaan sampah dalam hal
pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Selain itu, konsep pelayanan publik yang
diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi
bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan
sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan
pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah
meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha.
86
Selain itu organisasi dan atau kelompok masyarakat pengelola sampah dapat juga
diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan sampah.
Beberapa pokok pikiran sebagai rumusan hasil Focus Group Discussion
(FGD) dengan pihak PD Kebersihan, Dinas Kesehatan, BPLHD, tokoh
masyarakat, dan kelurahan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sampah
adalah sebagai berikut:
1. Penanganan masalah lingkungan hidup perkotaan dan upaya-upaya yang
dilakukan Pemerintah Kota Bandung bahwa;
a. Penanganan sampah harus ditanggulangi semua pihak
b. Apabila sampah ditangani secara serius, maka sampah bukan lagi musuh
tapi sahabat, karena bisa didaur ulang dan dapat menghasilkan
peningkatan ekonomi
c. Air limbah bila diolah tidak akan merugikan
d. Kendala utama adalah masalah sumberdaya manusianya karena Undang-
undang dan aspek Hukum yang sudah lengkap, namun sosialisasi belum
sepenuhnya dilaksanakan
e. Harus ada keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat
2. Pemberdayaan Masyarakat di lokasi pembuangan sampah
a. Sampah bukan lawan, tapi kawan dan mempunyai sumber daya yang
bernilai ekonomi.
b. Merubah paradigma perilaku masyarakat mulai dari keluarga untuk
memilah dan memilih sampah
c. Pola pembuangan menjadi pengolahan sampah keluarga, TPS baru.
d. Upaya penanganan sampah harus tetap dilakukan melalui sosialisasi dalam
pengelolaan sampah kepada semua komponen melalui berbagai lembaga
sosial masyarakat.
e. Upaya pengembangan pembentukan kelompok usaha produktif
f. Pengembangan Pengolahan melalui metode 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
dan Empowerment.
g. Mekanisme operasional pengelolaan sampah melalui PKK
h. Kompos digunakan oleh KWT (Kelompok Wanita Tani)
87
3. Pokok-pokok Pikiran Akademis dalam mengatasi masalah sampah :
a. Sampah bukan harus dibuang, tetapi harus dikelola
b. Pengelolannya perlu memberdayakan masyarakat
c. Terbuka peluang usaha
d. Pelaksanaan perlu melibatkan pihak : masyarakat, swasta/mitra kerja,
pemerintah.
a. Harapan penduduk/masyarakat yang bermukim dekat TPA bahwa sampah
semula jadi masalah yang besar, namun bila dikelola dengan baik dapat
meningkatkan ekonomi keluarga.
4. Pokok-Pokok Pikiran dalam mengatasi masalah Pengelolaan Sampah di
perkotaan :
a. Sampah bisa menjadi nilai ekonomi
b. Dalam pelaksanaannya fenomena sampah mengundang institusi lokal
c. Pemerintah/dunia usaha/masyarakat harus sinergis menanggulangi sampah
dengan pendekatan bisnis.
d. Dianjurkan penanggulangan sampah skala komunal terbatas 1 (satu) RT
atau per 100 rumah.
e. Peran pendidikan dan sosialisasi dengan Perda secara intensif dan sanksi.
5.2 Faktor Dominan yang Mempengaruhi Pelaksanaan Kebijakan
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
Pengolahan data dari hasil penilaian responden terhadap kuesioner yang
berskala Likert (tingkat skala pengukuran ordinal) agar dapat diolah dengan
mempergunakan Analisis Faktor, maka digunakan data berskala minimal interval
dengan cara menaikkan skala pengukurannya dari skala ordinal dengan format
Likert ke skala interval dengan mempergunakan Metoda Successive Interval.
Analisis faktor ini dilakukan pada faktor komunikasi, sumberdaya, disposisi dan
birokrasi sebagai variabel laten, dan item-item pertanyaan dalam kuesioner
(indikator) dipergunakan sebagai variabel-variabel manifes-nya. Hasil pengolahan
data untuk validasi kesesuaian penggunaan analisis faktor diawali dengan
penyusunan matrik data mentah yang diperoleh dari Metode Successive Interval,
88
menyusun matrik korelasi, ekstraksi faktor, pembobotan faktor dan rotasi
varimaks yang dilakukan dengan alat bantu Software SPSS (Lampiran 9 dan
Lampiran 10).
1. Kesesuaian Penggunaan Analisis Faktor dan Kecukupan Data
Hasil pengujian kesesuaian pengolahan data mempergunakan analisis
faktor berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan dan penilaian masyarakat
Kota Bandung menunjukkan nilai-nilai yang dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26 Pengujian Kecukupan Data dalam menggunakan Analisis
No Parameter Kecukupan Data Hasil PerhitunganPegawai Masyarakat
1 Determinan Matrik Korelasi 0,000 0,0002 KMO 0,879 0,9123 Bartlett Test (Chi Square) 1.179,962 4.198,8844 Signifikans Bartlett Test 0,000 0,000
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Hasil pengolahan data untuk pengukuran Kaiser-Meyer-Olkin (KMO)
dalam MSA (Measure of Sampling Adequacy) atau disebut sebagai pengujian
kecukupan data, menunjukkan bahwa matriks data yang terbentuk bukan
merupakan matriks identitas dilihat dari nilai determinant mendekati nilai 0 (nol)
dan KMO yang didapat adalah 0,879 (penilaian pegawai), dan 0,912 (penilaian
masyarakat). Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan analisis faktor dalam
penelitian ini adalah mencukupi dengan nilai KMO yang cukup besar,
berdasarkan kriteria Kaiser yang lebih besar dari 0,7. Hal ini ditunjukkan pula
pada hasil uji Bartlett dengan nilai chi kuadrat yang tinggi sebesar 1.179,962
(penilaian pegawai) dan 4.198,884 (penilaian masyarakat) dengan tingkat
signifikan hasil perhitungan tersebut lebih kecil dari =0,05 yang memperlihatkan
bahwa untuk ukuran kecukupan jumlah sampel yang digunakan yaitu sebesar 73
sampel pegawai dan 300 sampel masyarakat dapat disimpulkan sudah mencukupi.
2. Perhitungan Total Variance Explained
Perhitungan analisis faktor ini dilakukan dengan mengekstraksi variabel-
variabel manifes (indikator) menjadi 4 (empat) variabel laten (faktor) yang telah
89
terbentuk sebelumnya, yaitu faktor komunikasi, sumberdaya, disposisi dan
birokrasi. Hasil rangkuman perhitungan Total Variance Explained disajikan
dalam Tabel 27.
Tabel 27 Hasil Perhitungan Total Variance Explained
Parameter Total VarianceExplained
Hasil PerhitunganPegawai Masyarakat
1. Qumulative Varians Explained 76,088% 71,608%2. Jumlah Faktor Terbentuk 4 4
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Tabel 27 merupakan hasil penggekstraksian faktor sebelumnya sehingga
diperoleh nilai total variansi yang menunjukkan bahwa keempat faktor dapat
menjelaskan 76,088% berdasarkan penilaian pegawai dan 71,608% berdasarkan
penilaian masyarakat dari variabilitas ke 19 indikatornya. Angka ini
mencerminkan keragaman dalam setiap indikator yang dapat dijelaskan oleh ke-4
faktor yang terbentuk. Jumlah bobot faktor yang lebih dari 50% dianggap reliabel
untuk melakukan ekstraksi faktor. Meskipun menurut Dillon (1984) tidak ada
pedoman generik yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan bobot
faktor minimum yang dapat diterima, karena hal tersebut bersifat judgemental.
Semakin besar nilai bobot faktor atau keragaman yang dapat dijelaskan akan
semakin baik.
3. Perhitungan Rotated Component Matriks
Hasil rotasi faktor berupa bobot faktor yang ditampilkan pada Tabel 28
yang menunjukkan bahwa secara umum terbentuk 4 (empat) variabel laten dengan
nilai berupa bobot-bobot faktor untuk setiap indikatornya terhadap faktor yang
terbentuk. Indikator dengan nilai bobot tinggi untuk suatu faktor yang terbentuk
menunjukkan besarnya kedekatan hubungan indikator dengan faktor yang
terbentuk. Tabel 28 menampilkan hasil akhir analisis faktor yang merupakan hasil
perhitungan Rotated Component Matrix berupa bobot faktor. Indikator yang
memiliki bobot faktor lebih besar memiliki pengaruh lebih besar terhadap
faktornya. Berdasarkan bobot faktor tersebut, indikator-indikator dapat
dikelompokkan menjadi suatu faktor dominan tertentu.
90
Tabel 28 Hasil Akhir Analisis Faktor Variabel Komunikasi, Sumberdaya,Disposisi Dan Birokrasi Berdasarkan Penilaian Pegawai danPenilaian Masyarakat
VARIABEL Penilaian Pegawai Penilaian MasyarakatF1 F2 F3 F4 F1 F2 F3 F4
Komunikasi 1 0,878 0,879Komunikasi 2 0,654Komunikasi 3 0,369 0,857Komunikasi 4 0,332 0,443Komunikasi 5 0,335 0,763Komunikasi 6Sumberdaya 1 0,489 0,584Sumberdaya 2 0,549 0,768Sumberdaya 3 0,622
Disposisi 1 0,653Disposisi 2 0,890Disposisi 3 0,777 0,879Disposisi 4 0,888Disposisi 5 0,307 0,859Disposisi 6 0,694 0,803Birokrasi 1 0,904Birokrasi 2 0,868Birokrasi 3 0,918 0,769Birokrasi 4 0,791 0,798
Sumber: Hasil Justifikasi berdasarkan Pengolahan Data Analisis FaktorKeterangan:F1, F2, dst = Faktor 1 (Faktor dominan pertama), Faktor 2 (faktor dominan
kedua) dan seterusnyaKomunikasi 1 = Informasi yang diterima mengenai kebijakan Pengelolaan
SampahKomunikasi 2 = Pengetahuan pegawai mengenai masalah Pengelolaan Sampah
di Kota BandungKomunikasi 3 = Kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan
perkembangan berkaitan dengan kebijakan PengelolaanSampah yang ditetapkan oleh pemerintah
Komunikasi 4 = Frekwensi penyampaian informasi pemerintah berkaitandengan perkembangan Pengelolaan Sampah
Komunikasi 5 = Ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan PengelolaanSampah yang diterapkan oleh pemerintah
Komunikasi 6 = Penyelesaian masalah dengan adanya informasi yang diberikanpemerintah berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah
Sumberdaya 1 = Perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan pelaksanaanberkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah
Sumberdaya 2 = Kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupaperalatan
91
Sumberdaya 3 = Sumberdaya manusia atau tenaga pelaksana mengenaikebijakan Pengelolaan Sampah
Disposisi 1 = Pemahaman pelaksana petugas kebersihan tentang kebijakanPengelolaan Sampah
Disposisi 2 = Pengetahuan petugas pelaksana sesuai dengan kebutuhanmasyarakat berkaitan dengan masalah kebijakan PengelolaanSampah
Disposisi 3 = Penerapan dalam pelaksanaan tentang Kebijakan PengelolaanSampah
Disposisi 5 = Sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaansampah pada umumnya
Disposisi 6 = Sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaansampah pada umumnya
Birokrasi 1 = Kejelasan pembagian tugas aparat pemerintah dalam halmenjalankan tugas pengelolaan sampah
Birokrasi 2 = Tanggungjawab aparat pemerintah dalam menjalankan tugaspengelolaan sampah pada umumnya
Birokrasi 3 = Kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankantugas pengelolaan sampah pada umumnya
Birokrasi 4 = Kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat pemerintah dalammenjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya
CatatanTabulasi silang antara faktor dominan dengan setiap indikator yang tidak adaangkanya, memiliki nilai bobot faktor yang kurang dari 0,3 dan indikatornyadianggap tidak memiliki konstribusi terhadap faktornya.
Bobot faktor berdasarkan penilaian pegawai menunjukkan besarnya
kontribusi indikator komunikasi 1 (0,878), komunikasi 2 (0,654), komunikasi 3
(0,369), komunikasi 4 (0,332), komunikasi 5 (0,335) dan komunikasi 6 (<0,3)
terhadap faktor komunikasi yang termasuk pada urutan faktor keempat.
Sedangkan bobot faktor berdasarkan penilaian masyarakat menunjukkan besarnya
kontribusi dari indikator komunikasi 1 (0,879), komunikasi 2 (<0,3), komunikasi
3 (0,857), komunikasi 4 (0,443), komunikasi 5 (0,763) dan komunikasi 6 (<0,3)
terhadap faktor komunikasi yang termasuk pada urutan faktor kedua.
Bobot faktor berdasarkan penilaian pegawai menunjukkan besarnya
kontribusi dari indikator sumberdaya 1 (0,489), sumberdaya 2 (0,549),
sumberdaya 3 (0,622) terhadap faktor sumberdaya yang termasuk pada urutan
faktor ketiga. Sedangkan bobot faktor berdasarkan penilaian masyarakat
menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator sumberdaya 1 (0,584),
92
sumberdaya 2 (0,768), sumberdaya 3 (<0,3) terhadap faktor sumberdaya yang
juga termasuk pada urutan faktor ketiga.
Bobot faktor berdasarkan penilaian pegawai menunjukkan besarnya
kontribusi dari indikator-indikator pertanyaan pada indikator disposisi 1 (0,653),
disposisi 2 (0,890), disposisi 3 (0,777), disposisi 4 (<0,3), disposisi 5 (0,307),
disposisi 6 (0,694) terhadap faktor disposisi yang termasuk pada urutan faktor
kesatu. Bobot faktor berdasarkan penilaian masyarakat menunjukkan besarnya
kontribusi dari indikator-indikator pertanyaan pada indikator disposisi 1 (<0,3),
disposisi 2 (<0,3), disposisi 3 (0,879), disposisi 4 (0,888), disposisi 5 (0,859),
disposisi 6 (0,803) terhadap faktor disposisi yang juga termasuk pada urutan
faktor kesatu.
Bobot faktor berdasarkan penilaian pegawai menunjukkan besarnya
kontribusi dari indikator-indikator pertanyaan pada indikator birokrasi 1 (0,904),
birokrasi 2 (0,868), birokrasi 3 (0,918), dan birokrasi 4 (0,791) terhadap faktor
biorokrasi yang termasuk pada urutan kedua. Bobot faktor berdasarkan penilaian
masyarakat menunjukkan besarnya kontribusi dari indikator-indikator pertanyaan
pada indikator birokrasi 1 (<0,3), birokrasi 2 (<0,3), birokrasi 3 (0,769), dan
birokrasi 4 (0,798) terhadap faktor birokrasi yang termasuk pada urutan keempat.
Tabel 29 memperlihatkan susunan urutan faktor dominan berdasarkan penilaian
pegawai dan masyarat.
Tabel 29 Susunan Urutan Faktor Dominan
FAKTOR PenilaianPegawai
PenilaianMasyarakat Keterangan
Komunikasi Faktor Keempat Faktor Kedua BerbedaSumberdaya Faktor Ketiga Faktor Ketiga Sama
Disposisi Faktor Pertama Faktor Pertama SamaBirokrasi Faktor Kedua Faktor Keempat Berbeda
KeteranganFaktor Pertama = faktor yang sangat kuatFaktor Kedua = faktor yang kuatFaktor Ketiga = faktor yang lemahFaktor Keempat = faktor yang sangat lemah
Hasil susunan urutan faktor dominan pada Tabel 29 memperlihatkan
bahwa Faktor Komunikasi berdasarkan penilaian pegawai PD Kebersihan
93
merupakan faktor dominan keempat sedangkan menurut penilaian masyarakat
Kota Bandung merupakan faktor dominan kedua. Hal ini menunjukkan bahwa
faktor komunikasi termasuk faktor yang sangat lemah menurut pelaksana
kebijakan dan termasuk faktor yang kuat menurut masyarakat, dalam
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota
Bandung. Faktor komunikasi ini berkaitan dengan informasi yang diterima,
kecepatan pesan yang diterima, frekwensi penyampaian informasi, serta ketepatan
dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan. Komunikasi yang diterapkan saat ini
menghambat pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam mendorong
partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan sampah di Kota
Bandung.
Sangat lemahnya faktor komunikasi menurut pelaksana kebijakan
pengelolaan sampah di Kota Bandung ini berkaitan dengan faktor sumberdaya
yang termasuk pada faktor yang lemah baik menurut pegawai maupun masyarakat
dalam mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dikarenakan
sumberdaya berkaitan dengan perolehan sumberdaya informasi serta kegunaan
sarana dan prasarana bantuan dari pemerintah yang tidak tersalurkan dengan baik
kepada masyarakat dalam mendukung pelaksanaan kebijakan persampahan di
Kota Bandung. Sehingga lemahnya penerapan faktor sumberdaya berkaitan
dengan sangat lemahnya penerapan komunikasi yang dilakukan oleh pegawai
yang akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
sampah di Kota Bandung.
Faktor disposisi menempati urutan pertama baik menurut penilaian
pegawai maupun masyarakat, yang memperlihatkan bahwa disposisi merupakan
faktor sangat kuat dalam mempengaruhi pelaksanaan kebijakan pengelolaan
sampah di Kota Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan
kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung sangat ditentukan oleh penerapan
kebijakan dalam pelaksanaan pengelolaan sampah, komitmen pegawai pemerintah
dalam menjalankan tugas pengelolaan, dan prioritas aparat pemerintah dalam
mencapai keberhasilan pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah. Sangat
kuatnya disposisi yang diterapkan saat ini dalam mencapai keberhasilan
94
pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung sangat ditentukan
oleh penerapan kebijakan, komitmen pegawai dan prioritas yang ditetapkan oleh
pemerintah dalam mencapai keberhasilan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
Faktor birokrasi yang termasuk pada faktor yang kuat menurut pegawai,
dan dianggap faktor yang sangat lemah menurut masyarakat, memperlihatkan
bahwa dalam menjalankan tugas pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah,
pegawai melaksanakan tugas berdasarkan birokrasi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah Kota Bandung sesuai dengan aturan yang berlaku, sedangkan
masyarakat sebagai target pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang
menganggap sangat lemah menunjukkan bahwa birokrasi yang diterapkan saat ini
menghambat pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
4. Hasil Analisis Faktor Dominan dalam Pelaksanaan Kebijakan
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
Hasil pembobotan faktor berdasarkan penilaian pegawai dan masyarakat
mengacu pada pola pengelompokkan 4 (empat) faktor sebelumnya yang terdiri
dari komunikasi, sumberdaya, disposisi dan birokrasi. Hasil Analisis Faktor yang
terbentuk setelah rotasi dengan metoda varimax dapat dijabarkan berdasarkan
faktor dominan pertama (F1) sampai faktor dominan keempat (F4), dan terdapat
beberapa indikator yang dibuang dari model penelitian. Berdasarkan penilaian
pegawai, indikator yang dibuang yaitu komunikasi 6 dan disposisi 4, karena
memiliki bobot faktor yang kurang dari 0,3; sedangkan berdasarkan penilaian
masyarakat, indikator yang dibuang yaitu komunikasi 2, komunikasi 6,
sumberdaya 3, disposisi 1, disposisi 2, birokrasi 1 dan birokrasi 2.
Hasil akhir analisis faktor merupakan penggabungan berdasarkan penilaian
pegawai dan penilaian masyarakat. Variabel-variabel manifes (indikator) yang
membentuk variabel laten (Faktor) yang ada berdasarkan penilaian pegawai,
berkesesuaian juga berdasarkan penilaian masyarakat. Hasil kesesuaian antara
penilaian pegawai dan penilaian masyarakat ditampilkan pada Tabel 30.
95
Tabel 30 Hubungan Antara Variabel Laten dengan Variabel Manifes
Berdasarkan Penilaian Pegawai dan Penilaian Masyarakat
Faktor VariabelLaten
VariabelManifes
Bobot Faktor KeteranganPegawai Masyarakat
1 Komunikasi
Komunikasi 1 0,878(+)
0,879(+)
Informasi yang diterimamengenai kebijakan PengelolaanSampah
Komunikasi 3 0,369(-)
0,857(+)
Kecepatan pesan yang diterimadalam menginformasikanperkembangan berkaitan dengankebijakan Pengelolaan Sampahyang ditetapkan oleh pemerintah
Komunikasi 4 0,332(-)
0,443(-)
Frekwensi penyampaianinformasi pemerintah berkaitandengan perkembanganPengelolaan Sampah
Komunikasi 5 0,335(-)
0,763(+)
Ketepatan dan kesesuaianpelaksanaan kebijakanPengelolaan Sampah yangditerapkan oleh pemerintah
2 SumberdayaSumberdaya 1 0,489
(-)0,584
(+)
Perolehan sumberdaya informasiyang dibutuhkan pelaksanaanberkaitan dengan kebijakanPengelolaan Sampah
Sumberdaya 2 0,549(+)
0,768(+)
Kegunaan sarana dan prasaranabantuan pemerintah berupaperalatan
3 Disposisi
Disposisi 3 0,777(+)
0,879(+)
Penerapan dalam pelaksanaantentang Kebijakan PengelolaanSampah
Disposisi 5 0,307(-)
0,859(+)
Komitmen aparat pemerintahdalam menjalankan tugaspengelolaan sampah padaumumnya
Disposisi 6 0,694(+)
0,803(+)
Prioritas aparat pemerintahdalam menjalankan tugaspengelolaan sampah padaumumnya
4 Birokrasi
Birokrasi 3 0,918(+)
0,769(+)
Kejelasan wewenang aparatpemerintah dalam menjalankantugas pengelolaan sampah padaumumnya
Birokrasi 4 0,791(+)
0,798(+)
Kejelasan koordinasi yangdilakukan aparat pemerintahdalam menjalankan tugaspengelolaan sampah padaumumnya
Sumber: Hasil Justifikasi berdasarkan Pengolahan Data Analisis Faktor
Keterangan:(+) = Indikator penting yang perlu ditingkatkan(-) = Indikator kurang penting
96
Berdasarkan hasil akhir analisis faktor baik penilaian masyarakat Kota
Bandung maupun penilaian pegawai PD Kebersihan dapat dijelaskan variabel-
variabel manifes (indikator) sebagai berikut:
1. Variabel Komunikasi.
a. Informasi yang diterima mengenai kebijakan Pengelolaan Sampah
(Komunikasi 1), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan
indikator penting sehingga perlu ditingkatkan. Penyampaian informasi
mengenai kebijakan pengelolaan sampah kepada pegawai dan masyarakat
berkaitan dengan penyampaian informasi rencana strategis dan rencana
kerja yang akan dilakukan pemerintah daerah dalam melaksanakan
kebijakan ini, dapat dilakukan misalnya dengan mensosialisasikan kepada
masyarakat menggunakan media yang efektif melalui televisi atau radio.
b. Kecepatan pesan yang diterima dalam menginformasikan perkembangan
berkaitan dengan kebijakan Pengelolaan Sampah yang ditetapkan oleh
pemerintah (Komunikasi 3), menurut penilaian pegawai kurang penting,
sedangkan menurut penilaian masyarakat merupakan indikator penting
sehingga perlu ditingkatkan. Kecepatan pesan dibutuhkan dalam
menginformasikan perkembangan kebijakan, baik kepada pegawai sebagai
pelaksana kegiatan maupun kepada masyarakat agar ikut berpartisipasi
dalam kegiatan pengelolaan sampah.
c. Frekwensi penyampaian informasi pemerintah berkaitan dengan
perkembangan Pengelolaan Sampah (Komunikasi 4), menurut penilaian
pegawai maupun masyarakat merupakan indikator kurang penting, karena
dianggap sudah dilaksanakan dengan baik sehingga perlu dipertahankan
karena berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah.
d. Ketepatan dan kesesuaian pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah
yang diterapkan oleh pemerintah (Komunikasi 5), menurut penilaian
pegawai merupakan indikator kurang penting, karena pegawai sebagai
pelaksana menggap bahwa kebijakan yang ditetapkan merupakan acuan
dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan sampa, sedangkan menurut
penilaian masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu
97
ditingkatkan terutama berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian sasaran
dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah.
2. Variabel Sumberdaya.
a. Perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan pelaksanaan berkaitan
dengan kebijakan Pengelolaan Sampah (Sumberdaya 1), menurut penilaian
pegawai merupakan indikator kurang penting, sedangkan menurut
penilaian masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu
ditingkatkan.
b. Kegunaan sarana dan prasarana bantuan pemerintah berupa peralatan
(Sumberdaya 2), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan
indikator penting sehingga perlu ditingkatkan.
3. Variabel Disposisi.
a. Penerapan dalam pelaksanaan tentang Kebijakan Pengelolaan Sampah
(Disposisi 3), menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan
indikator penting sehingga perlu ditingkatka.
b. Sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah
pada umumnya (Disposisi 5), menurut penilaian pegawai merupakan
indikator kurang penting, sedangkan menurut penilaian masyarakat
merupakan indikator penting sehingga perlu dipertahankan.
c. Sikap aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah
pada umumnya (Disposisi 6), menurut penilaian pegawai dan masyarakat
merupakan indikator penting sehingga perlu ditingkatkan.
4. Variabel Birokrasi.
a. Kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam menjalankan tugas
pengelolaan sampah pada umumnya (Birokrasi 3), menurut penilaian
pegawai dan masyarakat merupakan indikator penting sehingga perlu
ditingkatkan.
b. Kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pengelolaan sampah pada umumnya (Birokrasi 4),
menurut penilaian pegawai dan masyarakat merupakan indikator penting
sehingga perlu ditingkatkan.
98
Secara operasional, pengelolaan sampah meliputi pelaksanaan kegiatan
pewadahan, pengumpulan, penyapuan jalan, pemindahan dan pengangkutan, serta
pengolahan dan pembuangan akhir. Meskipun demikian, ruang lingkup dalam
pengelolaan sampah tidak hanya meliputi pelaksanaan kegiatan operasional,
namun meliputi juga berbagai aspek seperti pembiayaan, kelembagaan, peratuan
hukum, serta aspek peran serta masyarakat. Keterkaitan setiap aspek dalam
pengelolaan sampah pada masing-masing dimensi strategis pengelolaan
kebersihan tersebut dapat dijelaskan lebih detil:
1. Aspek sumberdaya dalam hal pembiayaan dalam pengelolaan sampah di Kota
Bandung meliputi:
a. Anggaran biaya perusahaan
Anggaran biaya perusahaan diperuntukkan guna membiayai berbagai
kebutuhan penyelenggaraan pelayanan seperti belanja pegawai, belanja
BBM, olie dan ban kendaraan, biaya perbaikan dan pemeliharaan, biaya
administrasi dan biaya umum, serta biaya investasi.
b. Anggaran pendapatan perusahaan.
Guna membiayai belanja perusahaan sebagaimana disebut diatas,
perusahaan memperoleh pendapatan dari hasil pelayanan jasa kebersihan.
Pendapatan ini terdiri dari 2 (dua) macam, yakni: hasil penagihan jasa
pelayanan kebersihan umum (kebersihan jalan) yang berasal dari
pembayaran Pemerintah Kota Bandung; serta hasil penagihan jasa
pelayanan kebersihan masyarakat baik dari pelanggan rumah tinggal,
komersial dan non komersial serta dari pedagang di pasar.
2. Aspek Birokrasi dalam hal kelembagaan pengelolaan sampah meliputi:
a. Tugas tanggungjawab dan wewenang yang dimiliki oleh PD Kebersihan
dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah kota.
b. Tugas tanggungjawab dan wewenang dari lembaga dan masyarakat dalam
berperanserta mengelola sampah kota (Stakeholder di luar PD
Kebersihan).
c. Lembaga lain (di luar Pemerintah Kota Bandung) yang ikut berpengaruh
dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah, misalnya Pemerintah Kota
99
Cimahi dan Kabupaten Bandung terkait dengan pengelolaan TPA
Leuwigajah dan TPA Jelekong.
d. Lembaga lain yang ikut terlibat dalam rangkaian Manajemen persampahan
baik pada fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan.
3. Aspek komunikasi dalam mendorong partisipasi masyarakat, pada seluruh
tingkatan masyarakat dan aparat pemerintah yang berada di wilayah kota
Bandung merupakan pengguna dan yang ikut menikmati penyelenggaraan
pengelolaan sampah kota. Oleh karenanya semua pihak diperlukan
keterlibatannya untuk berperan serta baik secara aktif maupun pasif dalam
pengelolaan sampah.
Tanpa adanya keterlibatan masyarakat maka tidak akan berhasil mewujudkan
kebersihan kota, dan kalaupun dapat mewujudkan hal itu membutuhkan
sumberdaya yang sangat mahal. Peran serta mereka dapat diaktualisasikan
baik dalam peran dan fungsi perencanaan, pelaksanaan maupun dalam fungsi
pengawasan.
4. Aspek disposisi berupa Peraturan dalam pengelolaan sampah baik di Kota
Bandung maupun di kota-kota lainnya, pada intinya mengatur tentang:1)
Kelembagaan, yaitu menetapkan pembentukan lembaga pengelola sampah
kota menyangkut tugas, tanggungjawab, wewenang dan struktur organisasi. 2)
Tatacara penyelenggaraan pengelolaan sampah, mengatur tentang ketentuan
pengelolaan sampah kota, kewajiban bagi pemerintah dan masyarakat serta
larangan terhadap pelanggaran ketentuan. 3) Pembiayaan pengelolaan sampah,
mengatur sumber biaya pengelolaan terutama penetapan tarif jasa pelayanan
kebersihan/pengelolaan sampah.
Sudah saatnya sistem pengelolaan sampah Kota Bandung dikritisi
kembali. Selama ini alur pengangkutan sampah yang terjadi adalah: sumber
sampah – TPS – TPA, tanpa pemilahan sampah ketika di sumber sampah maupun
di TPS. Dengan demikian membuat volume sampah di TPA menggunung dan
sulit untuk diolah. Di samping itu, seluruh proses pengangkutan, mulai dari
100
sumber sampai akhirnya tiba di TPA ditangani oleh PD Kebersihan. Peran
masyarakat sangat kecil dalam ikut mengelola sampah. Maksimal yang dapat
dilakukan masyarakat adalah membawa sampah sampai di TPS. Biaya yang
diperlukan untuk menangani sampah dibandingkan dengan pemasukan dari
retribusi, selama diurus oleh PD Kebersihan Kota Bandung, belum memberikan
tambahan pemasukan berarti bagi Pemerintah Daerah Kota Bandung.
Sistem pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan sampah perlu
dimodifikasi dari sistem pengelolaan konvensional yang selama ini dilakukan oleh
PD Kebersihan (Gambar 8). Perbedaan yang mendasar dari sistem modifikasi ini
dengan adanya pembagian peran dan wewenang yang jelas antara masyarakat
dengan pemerintah. Wewenang dan peran masyarakat adalah mengelola dari
sumber hingga TPS plus, sedangkan pemerintah hanya mengelola TPA, dengan
sumber sampah yang diangkut dari TPS.
Sumber: Kertas Posisi Yayasan Wisnu No. 01/IV/2001Gambar 8 Sistem Pengelolaan Konvensional yang dilakukan oleh PD
Kebersihan
5.3 Prioritas dan Strategi Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah diKota Bandung
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung perlu dilakukan secara prioritas
dengan mempergunakan kriteria-kriteria yang memungkinkan dijadikan acuan
dalam pelaksanaan pengelolaannya. Dalam menghadapi persoalan pengelolaan
sampah ini yang perlu diperhatikan adalah mengenai penyebab timbulnya
persoalan dalam pengelolaan sampah di Kota Bandung, dan seberapa jauh pihak-
pihak yang terkait telah melakukan upaya untuk mengeliminir terhadap timbulnya
persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung.
SISTEM PENANGANAN SAMPAH YANG SELAMA INI DI LAKUKAN PEMERINTAH
Sumber sampah darirumah tangga, hotel,restoran, dll.
TPS TPA
101
Penyusunan model penelitian prioritas pengelolaan sampah di Kota
Bandung yang dikembangkan dengan pendekatan metoda Analityc Hierarchy
Process (AHP) dan SWOT berfungsi untuk menyederhanakan keterkaitan dan
kompleksitas kriteria penilaian obyek pengelolaan sampah. Pada studi ini dapat
diketahui bahwa terdapat kriteria yang diperkirakan memiliki porsi dominan atau
memberikan konstribusi yang sangat penting dalam mencapai tujuan penelitian.
Studi ini disusun berdasarkan 4 (empat) tingkat hierarki termasuk hierarki tujuan.
Pada tingkat hierarki tujuan yaitu fator utama yang mempengaruhi
Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah, untuk mencapai tujuan ini perlu
didukung oleh faktor di tingkat yang lebih rendah (level 1), pada level 1 ini
terdapat 4 (empat) faktor berdasarkan SWOT yaitu: faktor kekuatan, faktor
kelemahan, faktor peluang, dan faktor ancaman. Faktor ini merupakan komponen
penilaian dalam mempertimbangkan objek yang akan dikendalikan dalam
Pengelolaan Sampah. Komponen dalam level ini dapat berdiri sendiri atau saling
melengkapi dalam mencapai hierarki tujuan.
Tingkat berikutnya adalah level 2 yang secara keseluruhan terdiri dari 4
(empat) kriteria yaitu: kriteria Mengurangi, Menggunakan Kembali, Mendaur
Ulang dan Memberdayakan. Kriteria ini merupakan komponen penilaian dalam
menentukan objek pengelolaan dan perlu mendapatkan perhatian dalam
pelaksanaan operasionalnya. Kriteria ini merupakan komponen strategis berkaitan
dengan konstribusinya terhadap level 1, untuk setiap faktor dalam
mempertimbangkan objek pengelolaan sampah di Kota Bandung.
Pada level 3 yang secara keseluruhan terdiri dari 4 (empat) sub kriteria,
merupakan komponen penilaian pelaksanaan kebijakan sampah yang dalam
konstribusinya dijadikan acuan dalam menangani persoalan pengelolaan sampah
di Kota Bandung. Sub kriteria pada level ini yaitu: Komunikasi, Sumberdaya,
Disposisi, dan Birokrasi. Sub kriteria ini berupa komponen strategis yang
memiliki konstribusi terhadap pelaksanaan kebijakan sampah di Kota Bandung
dalam melakukan pelaksanaan pengelolaan sampah. Komponen pelaksanaan
pengelolaan ini dapat dipilih untuk mendapatkan nilai bobot prioritas untuk
diperhatikan solusinya.
102
Proses analisis pembobotan tiap komponen dalam struktur hirarki dengan
mempergunakan input berupa penilaian yang telah diberikan oleh responden
melalui pengisian kuesioner studi. Hasil analisis ini menunjukkan bobot tiap
elemen dari hirarki yang secara otomatis akan menunjukkan skala prioritas
berdasarkan besarnya nilai dari faktor, kriteria, sub kriteria ataupun alternatif
penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Penentuan bobot faktor utama
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa penting masing-masing faktor memiliki
nilai sebagai bahan pertimbangan dalam mendukung pencapaian goal/tujuan yaitu
penyusunan prioritas Kebijakan Pengelolaan Sampah. Bobot faktor ini diperoleh
dari hasil pengolahan data kuesioner yang berisi perbandingan berpasangan antar
faktor melalui perhitungan nilai eigen vektor yang menggambarkan prioritas.
Faktor utama yang digunakan dalam analisis ini mengacu pada analisis
SWOT yaitu terdapat 4 (empat) faktor dalam mempertimbangkan obyek yang
akan dikendalikan dengan kategori berdasarkan Kekuatan, Kelemahan, Peluang,
dan Ancaman. Hasil analisis akan menunjukkan tingkat kepentingan berdasarkan
persoalan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Adapun hasil perhitungan yang
dilakukan terhadap rata-rata geometrik penilaian bobot faktor mempergunakan
program Expert Choice ditunjukkan dalam Tabel 31.
Tabel 31 Bobot Faktor terhadap Goal
NO FAKTOR BOBOT RANKINGLOKAL GLOBAL1 Kekuatan 0,506 0,506 12 Kelemahan 0,252 0,252 23 Peluang 0,092 0,092 44 Ancaman 0,150 0,150 3Sumber : Hasil Analisis
Tabel 31 memperlihatkan bahwa 4 (empat) faktor yang digunakan sebagai
dasar dalam penyusunan prioritas pengelolaan sampah tersebut memiliki bobot
prioritas lokal dan global yang sama besar. Bobot lokal merupakan besarnya
konstribusi faktor-faktor di dalam levelnya terhadap 1 level di atasnya, sedangkan
bobot global merupakan besarnya konstribusi faktor-faktor terhadap level
utamanya (level 0). Hal ini menunjukkan bahwa faktor yang terdapat pada level 1
memiliki bobot yang memberikan pengaruh kepada goal sebagai elemen tunggal
103
di level 0 yang memiliki bobot sama dengan 1. Oleh karena itu jumlah bobot total
kriteria dalam satu hierarki sama dengan jumlah bobot yang dimiliki oleh goal
yang berada pada hierarki di atasnya.
Bobot terbesar atau rangking yang tertinggi berdasarkan hasil analisis
ditujukan pada faktor kekuatan (0,506), selanjutnya faktor kelemahan (0,252),
kemudian faktor threats (0,150) dan rangking terakhir adalah faktor peluang
(0,092). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa dalam analisis prioritas pengelolaan
sampah di kota Bandung, faktor yang menjadi prioritas utama sebagai dasar
pertimbangan pengelolaan sampah adalah faktor kekuatan, mencakup kekuatan
yang didasarkan pada sumberdaya keuangan, citra, sarana dan prasarana yang
tersedia serta faktor-faktor lainnya.
Sedangkan bobot yang terendah terlihat bahwa faktor peluang tidak
dijadikan acuan prioritas dalam pengelolaan sampah. Hal ini menunjukkan bahwa
peluang dalam pengelolaan sampah di kota Bandung secara umum tidak terlihat
adanya hubungan dengan pelaksanaan kebijakan sampah yang merupakan
perkembangan identifikasi perubahan kualitas lingkungan, peraturan serta
kebutuhan masyarakat dan swasta yang dapat memberikan peluang bagi
pelaksanaan kebijakan.
Perhitungan bobot kriteria pengelolaan sampah bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar konstribusi nilai dari setiap kriteria pengelolaan (level
2) terhadap bobot dari faktor yang berada pada hierarki di atasnya (level 1). Bobot
tiap kriteria pengelolaan sampah diperoleh melalui proses perbandingan dengan
operasi penskalaan, sehingga diperoleh nilai bobot yang dinormalisasi (nilai total
bobot = 1). Normalisasi bobot yang dilakukan ini bertujuan untuk mendapatkan
nilai prioritas secara global yang mengandung arti bahwa jumlah total bobot dari
seluruh elemen tiap hierarki adalah sama dengan 1, sehingga dapat ditunjukkan
skala prioritas secara keseluruhan dalam satu hierarki. Masing-masing bobot
faktor pada level 1 yang memiliki 4 (empat) kriteria pada level 2 memiliki hasil
pembobotannya disajikan dalam Tabel 32
104
Tabel 32 Bobot Kriteria terhadap Faktor
NO Kriteria BOBOT RANKINGLOKAL GLOBAL
1
KekuatanMengurangi 0,203 0,370 1
Menggunakan Kembali 0,125 0,198 4Mendaur Ulang 0,039 0,111 9Memberdayakan 0,139 0,321 3
Jumlah 0,506 1,000
2
KelemahanMengurangi 0,143 0,365 2
Menggunakan Kembali 0,041 0,233 8Mendaur Ulang 0,020 0,116 14Memberdayakan 0,048 0,286 7
Jumlah 0,252 1,000
3
PeluangMengurangi 0,052 0,273 6
Menggunakan Kembali 0,021 0,233 12Mendaur Ulang 0,008 0,094 16Memberdayakan 0,011 0,400 15
Jumlah 0,092 1,000
4
AncamanMengurangi 0,075 0,374 5
Menggunakan Kembali 0,028 0,106 10Mendaur Ulang 0,020 0,187 13Memberdayakan 0,027 0,333 11
Jumlah 0,150 1,000TOTAL 1.000 4.000
Perankingan yang dilakukan dalam menentukan prioritas pengelolaan
sampah dilakukan berdasarkan bobot global, yang merupakan konstribusi faktor-
faktor pengelolaan yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan sampah.
Hasil pembobotan pada Tabel 32, masing-masing komponen kriteria pada level 2,
memiliki bobot kepentingan terhadap sasaran faktor-faktor penilaian pengelolaan
sampah. Berikut ini ditampilkan penilaian pengelolaan sampah yang termasuk 3
(tiga) prioritas utama.
- Rangking pertama adalah faktor kekuatan berdasarkan kriteria mengurangi
dengan bobot sebesar 0,203.
- Rangking kedua adalah faktor kelemahan berdasarkan kriteria mengurangi
dengan bobot sebesar 0,143.
105
- Rangking ketiga adalah faktor kekuatan berdasarkan kriteria memberdayakan
dengan bobot sebesar 0,139.
Konstribusi terbesar pertama pengelolaan sampah berupa mengurangi
termasuk faktor kekuatan, namun ranking kedua termasuk pula ke dalam
kelemahan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengelolaan sampah dengan
mengupayakan pengurangan sampah dari sumbernya, merupakan faktor yang
menjadi prioritas utama yang dapat dijadikan kekuatan dalam pengelolaan sampah
di Kota Bandung. Banyaknya kendala-kendala dalam melaksanakan kebijakan
Pengelolaan Sampah berupa pengurangan sampah dari sumbernya, terlihat pada
faktor kelemahan dalam mengurangi sampah dari sumbernya. Hal ini
memperlihatkan bahwa salah satu kendala utama mengurangi sampah dari
sumbernya sehingga menjadi faktor kelemahan disamping karena budaya
masyarakat yang masih berperilaku memproduksi sampah yang banyak, juga
dengan mengurangi sampah dari sumbernya akan mengurangi produksi sampah
yang dapat dimanfaatkan kembali.
Perhitungan bobot sub-kriteria pengelolaan bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar konstribusi nilai dari setiap sub-kriteria pengelolaan (level 3)
terhadap bobot dari kriteria yang berada pada hierarki di atasnya (level 2). Bobot
tiap kriteria pengelolaan diperoleh melalui proses perbandingan dengan operasi
penskalaan, sehingga diperoleh nilai bobot yang dinormalisasi (nilai total bobot =
1). Normalisasi bobot yang dilakukan ini bertujuan untuk mendapatkan nilai
prioritas secara global yang mengandung arti bahwa jumlah total bobot dari
seluruh elemen tiap hierarki adalah sama dengan 1, sehingga dapat ditunjukkan
skala prioritas secara keseluruhan dalam satu hierarki. Masing-masing bobot
kriteria pada level 2 yang memiliki 4 (empat) sub-kriteria pada level 3 memiliki
hasil pembobotannya dapat dilihat pada Tabel 33.
Hasil pembobotan pada Tabel 33, masing-masing komponen sub-kriteria
pada level 3, memiliki bobot kepentingan terhadap sasaran kriteria-kriteria
penilaian pengelolaan sampah. Berikut ini ditampilkan penilaian pengelolaan
106
sampah yang termasuk 4 (empat) prioritas utama berdasarkan kriteria penilaian
pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam mengurangi.
- Rangking pertama sub-kriteria komunikasi dengan bobot lokal sebesar 0,171.
- Rangking kedua sub-kriteria sumberdaya dengan bobot lokal sebesar 0,119.
- Rangking ketiga sub-kriteria birokrasi dengan bobot lokal sebesar 0,101.
- Rangking keempat sub-kriteria disposisi dengan bobot lokal sebesar 0,082.
Tabel 33 Bobot Sub-Kriteria terhadap KriteriaNo Sub-Kriteria BOBOT RANKING
LOKAL GLOBAL (thd Kriteria)
1
Kriteria Mengurangi- Komunikasi 0,171 0,370 1- Sumberdaya 0,119 0,298 2- Disposisi 0,082 0,141 4- Birokrasi 0,101 0,191 3
Jumlah 0,473 1,000
2
Kriteria Menggunakan Kembali- Komunikasi 0,091 0,401 1- Sumberdaya 0,065 0,387 2- Disposisi 0,031 0,131 3- Birokrasi 0,028 0,081 4
Jumlah 0,215 1,000
3
Kriteria Mendaur Ulang- Komunikasi 0,038 0,428 1- Sumberdaya 0,028 0,297 2- Disposisi 0,011 0,188 3- Birokrasi 0,010 0,087 4
Jumlah 0,087 1,000
4
Kriteria Memberdayakan- Komunikasi 0,033 0,328 2- Sumberdaya 0,102 0,338 1- Disposisi 0,032 0,148 4- Birokrasi 0,058 0,186 3
Jumlah 0,225 1,000TOTAL 1,000 4,000
Sumber : Hasil Analisis
Hasil perhitungan lengkap bobot prioritas pengelolaan sampah di Kota
Bandung dengan mempergunakan metoda Analityc Hierarchy Process dengan alat
bantu software Expert Choice disajikan beserta hasil pembobotan alternatif
penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung ditampilkan dalam Gambar 9.
107
Level 0GOAL
Level 1FAKTOR
Level 2KRITERIA
Level 3SUB
KRITERIA
Level 4Hasil Analisis
FaktorKomunikasi 1Komunikasi 3Komunikasi 4Komunikasi 5
Sumberdaya 1Sumberdaya 2
Disposisi 3Disposisi 5Disposisi 6
Birokrasi 3Birokrasi 4
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 9 Struktur Hirarki Analitik Strength Penyusunan PrioritasPengelolaan Sampah di Kota Bandung
Gambar 9 memperlihatkan suatu interpretasi bahwa berdasarkan bobot
tertinggi strength (kekuatan) dalam pelaksanaan persoalan pengelolaan sampah di
Kota Bandung secara menyeluruh dan umum perlu dilakukan dengan
kecenderungan mengupayakan mengurangi (0,203). Hal ini dapat dilakukan
dengan mengupayakan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam hal
komunikasi dan merupakan kekuatan pada organisasi PD Kebersihan Kota
Bandung yang bertugas untuk pengelolaan sampah dengan cara mengurangi,
Hasil ini didasarkan pada penilaian umum yang menjadi acuan prioritas
pengelolaan sampah di Kota Bandung.
Namun berdasarkan bobot alternatif penanganan pengelolaan ini,
diperoleh nilai bobot yang hampir seimbang terutama dalam penanganan
pengelolaan sampah dalam hal menggunakan kembali (0,125) dan
memberdayakan (0,139), yang mengindikasikan bahwa alternatif penanganan
pengelolaan sampah di Kota Bandung hampir seluruhnya dapat dilakukan. Model
prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung disajikan dalam Gambar 10.
PrioritasPelaksanaanKebijakan
Persampahan
Kekuatan(0,506)
MenggunakanKembali(0,125)
Mendaur Ulang(0,039)
Ancaman(0,150)
Peluang(0,092)
Memberdayakan(0,139)
Mengurangi(0,203)
Komunikasi(0,370)
Sumberdaya(0,298)
Disposisi(0,141)
Birokrasi(0,191)
Kelemahan(0,252)
108
Level 0GOAL
Level 1FAKTOR
Level 2KRITERIA
Level 3SUB KRITERIA
Level 4Hasil Analisis
FaktorKomunikasi 1Komunikasi 3Komunikasi 4Komunikasi 5
Sumberdaya 1Sumberdaya 2
Disposisi 3Disposisi 5Disposisi 6
Birokrasi 3Birokrasi 4
Sumber : Hasil AnalisisGambar 10 Struktur Hirarki Analitik Weakness Penyusunan Prioritas
Pengelolaan Sampah di Kota Bandung
Gambar 10 memperlihatkan suatu interpretasi bahwa berdasarkan bobot
tertinggi weakness (kelemahan) dalam pelaksanaan persoalan pengelolaan sampah
di Kota Bandung secara menyeluruh dan umum perlu dilakukan dengan
kecenderungan mengupayakan mengurangi (0,143). Hal ini dapat dilakukan
dengan mengupayakan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam hal
komunikasi dan merupakan kekuatan pada organisasi PD Kebersihan Kota
Bandung yang bertugas untuk pengelolaan sampah dengan cara mengurangi,
Hasil ini didasarkan pada penilaian umum yang menjadi acuan prioritas
pengelolaan sampah di Kota Bandung. Namun berdasarkan bobot alternatif
penanganan pengelolaan ini, diperoleh nilai bobot yang hampir seimbang
terutama dalam penanganan pengelolaan sampah dalam hal menggunakan kembali
(0,041) dan memberdayakan (0,048), yang mengindikasikan bahwa alternatif
penanganan pengelolaan sampah di Kota Bandung hampir seluruhnya dapat
dilakukan. Model prioritas pengelolaan sampah di Kota Bandung ditampilkan
pada Gambar 11.
PrioritasPelaksanaanKebijakan
Persampahan
Kekuatan(0,506)
MenggunakanKembali(0,041)
Mendaur Ulang(0,020)
Ancaman(0,150)
Peluang(0,092)
Memberdayakan(0,048)
Mengurangi(0,143)
Komunikasi(0,401)
Sumberdaya(0,387)
Disposisi(0,131)
Birokrasi(0,081)
Kelemahan(0,252)
109
Level 0GOAL
Level 1FAKTOR
Level 2KRITERIA
Level 3SUB
KRITERIA
Level 4Hasil Analisis
FaktorKomunikasi 1Komunikasi 3Komunikasi 4Komunikasi 5
Sumberdaya 1Sumberdaya 2
Disposisi 3Disposisi 5Disposisi 6
Birokrasi 3Birokrasi 4
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 11 Struktur Hirarki Analitik Opportunities Penyusunan PrioritasPengelolaan Sampah di Kota Bandung
Gambar 11 memperlihatkan suatu interpretasi bahwa berdasarkan bobot
tertinggi opportunities (peluang) dalam pelaksanaan persoalan pengelolaan
sampah di Kota Bandung secara menyeluruh dan umum perlu dilakukan dengan
kecenderungan mengupayakan mengurangi (0,052). Hal ini dapat dilakukan
dengan mengupayakan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam hal
komunikasi dan merupakan kekuatan pada organisasi PD Kebersihan Kota
Bandung yang bertugas untuk pengelolaan sampah dengan cara mengurangi.
Hasil ini didasarkan pada penilaian umum yang menjadi acuan prioritas
pengelolaan sampah di Kota Bandung.
Namun berdasarkan bobot alternatif penanganan pengelolaan ini,
diperoleh nilai bobot yang hampir seimbang terutama dalam penanganan
pengelolaan sampah dalam hal reuse (0,025) dan empower (0,011), yang
mengindikasikan bahwa alternatif penanganan pengelolaan sampah di Kota
Bandung hampir seluruhnya dapat dilakukan. Model prioritas pengelolaan sampah
di Kota Bandung ditampilkan pada Gambar 12.
PrioritasPelaksanaanKebijakan
Persampahan
Kekuatan(0,506)
MenggunakanKembali(0,021)
Mendaur Ulang(0,008)
Ancaman(0,150)
Peluang(0,092)
Memberdayakan(0,011)
Mengurangi(0,052)
Komunikasi(0,428)
Sumberdaya(0,297)
Disposisi(0,188)
Birokrasi(0,087)
Kelemahan(0,203)
110
Level 0GOAL
Level 1FAKTOR
Level 2KRITERIA
Level 3SUB
KRITERIA
Level 4Hasil Analisis
FaktorKomunikasi 1Komunikasi 3Komunikasi 4Komunikasi 5
Sumberdaya 1Sumberdaya 2
Disposisi 3Disposisi 5Disposisi 6
Birokrasi 3Birokrasi 4
Sumber : Hasil Analisis
Gambar 12 Struktur Hirarki Analitik Threats Penyusunan PrioritasPengelolaan Sampah di Kota Bandung
Gambar 12 memperlihatkan suatu interpretasi bahwa berdasarkan bobot
tertinggi threats (ancaman) dalam pelaksanaan persoalan pengelolaan sampah di
Kota Bandung secara menyeluruh dan umum perlu dilakukan dengan
kecenderungan mengupayakan mengurangi (0,075). Hal ini dapat dilakukan
dengan mengupayakan pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam hal
komunikasi dan merupakan kekuatan pada organisasi PD Kebersihan Kota
Bandung yang bertugas untuk pengelolaan sampah dengan cara mengurangi,
Hasil ini didasarkan pada penilaian umum yang menjadi acuan prioritas
pengelolaan sampah di Kota Bandung.
Namun berdasarkan bobot alternatif penanganan pengelolaan ini,
diperoleh nilai bobot yang hampir seimbang terutama dalam penanganan
pengelolaan sampah dalam hal menggunakan kembali (0,028) dan
memberdayakan (0,027), yang mengindikasikan bahwa alternatif penanganan
pengelolaan sampah di Kota Bandung hampir seluruhnya dapat dilakukan.
PrioritasPelaksanaanKebijakan
Persampahan
Kekuatan(0,506)
MenggunakanKembali(0,028)
Mendaur Ulang(0,020)
Ancaman(0,150)
Peluang(0,092)
Memberdayakan(0,027)
Mengurangi(0,075)
Komunikasi(0,328)
Sumberdaya(0,338)
Disposisi(0,148)
Birokrasi(0,186)
Kelemahan(0,203)
111
Berdasarkan AWOT prioritas kebijakan yang harus dilakukan jika dilihat
dari kekuatan,kelemahan, dan peluang ternyata faktor komunikasi perlu diperkuat,
namun dari sudut ancaman perlu memperhatikan sumberdaya.
Dengan demikian prioritas kebijakan dalam mengurangi sampah di kota
bandung adalah dengan melakukan : Sosialisai, Pemberdayaan masyarakat,
Pemanfaatan media komunikasi secara optimal dan menambah sumberdaya
manusia maupun sarana.
5.4 Rumusan Kebijakan Pengelolaan Sampah Perkotaan
Berdasarkan hasil analisis AHP dalam penentuan aspek pertimbangan
dalam lingkup kriteria penilaian obyek pengelolaan sampah, kajian literatur,
karakteristik, dan pengelompokan, maka untuk tahap berikutnya adalah
merumuskan strategi dalam pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota
Bandung yang perlu dilaksanakan berdasarkan kajian pengelolaan sampah yang
akan diterapkan. Rumusan strategi digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan
terhadap pengelolaan sampah di Kota Bandung. Berdasarkan rumusan tersebut,
maka akan ditentukan strategi dan model kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota
Bandung yang memiliki prioritas berdasarkan kriteria penilaiannya. Bentuk
institusi yang disarankan untuk sebuah kota dengan penduduk lebih kurang
250.000 jiwa adalah PD Kebersihan seperti yang ada di Kota Bandung, sesuai
ketentuan Departemen Pekerjaan Umum. Keberhasilan institusi pengelola sampah
dipengaruhi juga oleh struktur organisasi, personalia dan kejelasan tata laksana
kerja. Tugas pokok PD Kebersihan sesuai Peraturan Daerah Nomor 02
Tahun 1985 adalah menyelenggarakan pelayanan jasa kebersihan di bidang
Pengelolaan Sampah untuk mewujudkan kondisi kota yang bersih dan memupuk
pendapatan.
112
Melaksanakan tugas pokok di atas, PD Kebersihan menyelenggarakan
manajemen operasional kebersihan yang mencakup kegiatan administratif,
keuangan dan pengaturan kegiatan pelaksanaan kebersihan. Struktur organisasi
PD Kebersihan yang dibentuk dengan mempertimbangkan beberapa kriteria:
- Jumlah personil minimal untuk melayani pengelolaan sampah setiap 1000
penduduk adalah 2 orang. Jumlah penduduk Kota Bandung menurut catatan
akhir PD Kebersihan pada tahun 2006 adalah sebesar 3.914.081 dengan
demikian jumlah personil minimal untuk pelayanan Pengelolaan Sampah di
Kota Bandung adalah 1.957 orang, tanpa memperhatikan kualitas personil
yang dimiliki PD Kebersihan saat ini yakni sebanyak 1.852 pegawai.
- Dari segi kualifikasi pendidikan tenaga staf dan manajemen pengelolaan sudah
terlihat cukup baik di mana dari 1.852 pegawai tetap, 20,5% diantaranya
memiliki pendidikan setingkat strata satu dan satu orang S2. Namun jika
dilihat kualifikasi pendidikan yang spesifik mengenai Pengelolaan Sampah,
maka tenaga yang ada dinilai masih kurang, selain itu SDM sebagai operator
peralatan yang merupakan faktor vital dalam kegiatan pengelolaan perlu
ditambah dan dilatih.
Lebih mempertajam analisis model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan
Sampah dilakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities and
Threats). Analisis ini merupakan pendekatan manajerial dalam merumuskan
variabel-variabel yang menentukan dan berpengaruh terhadap pengelolaan
sampah di Kota Bandung baik positif maupun negatif. Pada kondisi internal
variabel positif berupa kekuatan (strengths) sedangkan negatifnya berupa
kelemahan (weakness). Pada kondisi eksternal, variabel positif berupa peluang
(opportunities) sedangkan variabel negatif berupa ancaman (threats). Hasil
evaluasi lebih jelasnya disajikan pada Tabel 24. Berdasarkan Tabel 34 disajikan
Tabel 35 berupa rumusan strategi berdasarkan AHP, SWOT dan analisis faktor.
113
Tabel 34 Faktor Internal dan Faktor Eksternal Pelaksanaan KebijakanPengelolaan Sampah di Kota Bandung
KEKUATAN KELEMAHAN
FaktorInternal
- Struktur organisasi berbentukPD yang memiliki akses luas
- Tugas, wewenang dantanggung jawab pasti dan jelas.
- Sudah ada sarana/prasaranauntuk mendukung kinerjapersonalia.
- Sudah ada Rencana Strategisdan Rencana Kerja.
- Adanya anggaran untukmendukung kegiatan.
- Tidak tersedianya SDM denganpendidikan spesifik PengelolaanSampah.
- Kendaraan dan fasilitaspenunjang umurnya sudah tua.
- Jumlah personalia/ SDM yangbelum memadai.
- Pola penempatan pegawai belumdengan “the right man in the rightplace”.
- Pola birokrasi dengan rantaipengambilan keputusan yangpanjang membuat suatupermasalahan yang muncul tidakdengan segera dapat diambiltindakan.
PELUANG ANCAMAN
FaktorEksternal
- Adanya Perda yangmendukung pelaksanaan tugas-tugas di bidang kebersihan.
- Adanya keterlibatankantor/instansi lain untukmendukung tugas-tugas PDkebersihan
- Adanya potensi dukunganmasyarakat melalui kegiatankerja bakti
- Kemungkinan memberikannilai ekonomis pada sampah
- Penyertaan swasta sebagaimitra dalam pengelolaansampah
- Dukungan pembinaan danbantuan dana dari pemerintahpusat melalui Departementerkait.
- Menggejalanya anggapan disebagian warga kota bahwa jikasudah membayar retribusi makatidak perlu lagi peduli dengankebersihan sekitarnya.
- Minimnya anggaran yang tersediadi APBD.
- Kenaikan harga alat dan bahan.- Munculnya klaim warga baik
pribadi atau kelompok terhadapaset tanah yang dipergunakansebagai lahan akhir.
- Masyarakat membuang sampah diTempat Pembuangan Akhir liar.
- Kecenderungan untukmereorganisasi PD Kebersihanhingga menjadisubdin/bidang/bagian dari suatukantor.
- Belum berjalannya prinsip “lawand punishment” bagi pelanggarPerda kebersihan.
114
Tabel 35 Matriks Strategi Pelaksanaan KebijakanKEKUATAN KELEMAHAN
Faktor Internal
Faktor Eksternal
- Struktur organisasi berbentukPD
- Tugas, wewenang dantanggung jawab pasti danjelas.
- Adanya personalia/SDM.- Adanya sarana/prasarana.- Sudah ada Rencana Strategis
dan Rencana Kerja.- Adanya anggaran untuk
mendukung kegiatan.
- Tidak tersedianya SDM denganpendidikan spesifik PengelolaanSampah.
- Kendaraan dan fasilitas sudah tua.Belum ada manual pekerjaan dilapangan.
- Pola penempatan pegawai sebagianmasih belum “the right man in theright place”.
- Pola birokrasi dengan rantaipengambilan keputusan yangpanjang.
- Sistem penyusunan anggaran yangkaku.
- Minimnya tenaga teknispemeliharaan.
PELUANG- Adanya Perda yang mendukung.- Adanya keterlibatan kantor/instansi
lain.- Adanya potensi dukungan
masyarakat.- Kemungkinan nilai ekonomis
sampah.- Penyertaan swasta sebagai mitra- Dukungan pembinaan staf dan dana
kegiatan
STRATEGI S-O:- Mempertahankan bentuk PD
dengan peran yang lebih besardalam mendorong peranmasyarakat
- Peningkatan koordinasidengan instansi lain.
- Melakukan analisis kebutuhanstaf dan personil lapangansesuai volume kerja
- Menyertakan swasta sebagaimitra yang dituangkan dalamRenstra dan Perda.
- Penajaman rencana Strategisdan Rencana Kerja.
- Peningkatan efisiensi danpenggalangan sumber-sumberdana mandiri dari retribusidan jasa kebersihan.
STRATEGI W-O:- Peningkatan kualitas SDM di
bidang kebersihan, melalui programpelatihan atau pendidikan formal.
- Penggantian kendaraan dan alat.- Perumusan dan penajaman metode
kerja di lapangan dalam bentukmanual baku.
- Penerapan analisis jabatan dalampenempatan pejabat.
- Mempersingkat rantai birokrasi.- Penyusunan pola anggaran lebih
dinamis dan fleksibel terhadapkemungkinan perubahan kegiatan.
- Kerjasama dengan swasta untukmengatasi minimnya anggarandengan memanfaatkan nilaiekonomis sampah.
- Pengembangan kemampuan teknisstaf peralatan denganmemanfaatkan program pelatihandari pusat.
ANCAMAN- Menggejalanya anggapan warga
bahwa jika sudah membayar retribusimaka tidak perlu lagi peduli dengankebersihan.
- Minimnya anggaran yang tersedia diAPBD.
- Kenaikan harga alat dan Bahan- Masyarakat membuang sampah tidak
pada tempatnya.- Kecenderungan untuk
mereorganisasi PD Kebersihanhingga menjadi Belum berjalannyaprinsip “law and punishment”
STRATEGI S-T:- Sosialisasi perda kebersihan
kepada masyarakat.- Merumuskan biaya minimum
pengelolaan sampah.- Penyertifikatan asset tanah
dan jika perlu dituangkandalam perda
- Penerapan sanksi bagipelanggar Perda kebersihan.
- Mempertahankan bentukorganisasi.
STRATEGI W-T:- Peningkatan fungsi Subdin
Pembinaan Masyarakat.- Kontrak/kerjasama dengan swasta
dalam pemeliharaan/sewa alat.- Mempersingkat rentang pengambil
keputusan ancaman yang timbul.- Pemanfaatan dana pihak ketiga
seperti misalnya pengguna jasauntuk kegiatan non-budget.
115
Berdasarkan hasil perumusan strategi pada matriks strategi, dapat
ditetapkan model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam upaya
meningkatkan kualitas lingkungan di Kota Bandung, berupa tindakan-tindakan
pengelolaan sampah sebagai berikut:
1. Reduce
a. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal komunikasi :
1) Menetapkan strategi berupa penyebaran informasi pengurangan
sampah dari sumber berupa kebijakan pengurangan sampah plastik,
atau sampah lainnya yang tidak dapat didaur ulang.
2) Menetapkan strategi penggunaan media massa dalam penyampaian
kebijakan pengurangan sampah berupa penyebaran informasi-
informasi berkaitan dengan bahan-bahan yang tidak dapat didaur ulang
dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, atau melalui
pamflet, televisi maupun spanduk.
3) Menetapkan strategi penyampaian informasi secara berkala di tempat-
tempat yang memiliki potensi menghasilkan sampah yang tidak dapat
didaur ulang.
4) Menetapkan strategi ketepatan dan kesesuaian penggunaan media
maupun penanganan terhadap produsen penghasil bahan yang tidak
dapat didaur ulang.
b. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal sumberdaya
1) Menetapkan strategi perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan
pelaksanaan berkaitan dengan pengurangan sampah dari sumbernya.
2) Menetapkan strategi dalam penggunaan sarana dan prasarana bantuan
pemerintah berupa peralatan dalam pengurangan sampah dari
sumbernya.
c. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal disposisi
1) Menetapkan strategi penerapan dalam pelaksanaan tentang
pengurangan sampah dari sumbernya
2) Menetapkan strategi dalam meningkatkan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengurangan sampah dari sumbernya
116
3) Menetapkan strategi dalam mengupayakan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengurangan sampah dari sumbernya
d. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal birokrasi
1) Menetapkan strategi kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pengurangan sampah dari sumbernya
2) Menetapkan strategi kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pengurangan sampah dari
sumbernya.
2. Reuse
a. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal komunikasi
1) Menetapkan strategi berupa penyebaran informasi penggunaan
kembali sampah berupa kebijakan penggunaan kembali sampah
plastik, atau sampah lainnya yang dapat dipakai ulang.
2) Menetapkan strategi penggunaan media massa dalam penyampaian
kebijakan penggunaan kembali sampah berupa penyebaran informasi-
informasi berkitan dengan bahan-bahan yang dapat digunakan kembali
dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, atau melalui
pamflet, televisi maupun spanduk.
3) Menetapkan strategi penyampaian informasi secara berkala di tempat-
tempat yang memiliki potensi menghasilkan sampah yang dapat
digunakan kembali.
4) Menetapkan strategi ketepatan dan kesesuaian penggunaan media
maupun penanganan terhadap produsen penghasil bahan yang dapat
digunakan kembali.
b. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal sumberdaya
1) Menetapkan strategi perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan
pelaksanaan berkaitan dengan penggunaan kembali sampah yang
dihasilkan.
2) Menetapkan strategi dalam penggunaan sarana dan prasarana bantuan
pemerintah berupa peralatan dalam penggunaan kembali sampah yang
dihasilkan.
117
c. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal disposisi
1) Menetapkan strategi penerapan dalam pelaksanaan tentang
penggunaan kembali sampah yang dihasilkan.
2) Menetapkan strategi dalam meningkatkan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas penerapan penggunaan kembali sampah yang
dihasilkan
3) Menetapkan strategi dalam mengupayakan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pelaksanaan penggunaan kembali sampah
yang dihasilkan
d. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal birokrasi
1) Menetapkan strategi kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas penggunaan kembali sampah yang dihasilkan
2) Menetapkan strategi kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pelaksanaan penggunaan
kembali sampah yang dihasilkan
3. Recycle
a. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal komunikasi
1) Menetapkan strategi berupa penyebaran informasi sampah yang dapat
didaur ulang berupa kebijakan penggunaan bahan-bahan yang dapat
didaur ulang.
2) Menetapkan strategi penggunaan media massa dalam penyampaian
kebijakan penggunaan sampah berupa penyebaran informasi-informasi
berkitan dengan bahan-bahan yang dapat didaur ulang dengan
menggunakan teknologi informasi seperti internet, atau melalui
pamflet maupun spanduk.
3) Menetapkan strategi penyampaian informasi secara berkala di tempat-
tempat yang memiliki potensi menghasilkan sampah yang dapat didaur
ulang.
118
4) Menetapkan strategi ketepatan dan kesesuaian penggunaan media
maupun penanganan terhadap produsen penghasil bahan yang dapat
didaur ulang.
b. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal sumberdaya
1) Menetapkan strategi perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan
pelaksanaan berkaitan dengan penggunaan sampah yang dapat didaur
ulang.
2) Menetapkan strategi dalam penggunaan sarana dan prasarana bantuan
pemerintah berupa peralatan dalam pengolahan sampah yang dapat
didaur ulang.
c. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal disposisi
1) Menetapkan strategi penerapan dalam pelaksanaan tentang sampah
yang dapat didaur ulang
2) Menetapkan strategi dalam meningkatkan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah yang dapat didaur ulang
3) Menetapkan strategi dalam mengupayakan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah yang dapat didaur ulang
d. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal birokrasi
1) Menetapkan strategi kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pengelolaan sampah yang dapat didaur ulang
2) Menetapkan strategi kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pengelolaan sampah yang dapat
didaur ulang.
4. Empower
a. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal komunikasi
1) Menetapkan strategi berupa penyebaran informasi pemanfaatan
sampah berupa kebijakan yang berorientasi dalam mengerahkan
masyarakat dalam mengelola sampah.
2) Menetapkan strategi penggunaan media massa dalam penyampaian
kebijakan pengelolaan sampah berupa penyebaran informasi-informasi
119
berkitan dengan bahan-bahan yang memiliki nilai jual tinggi dengan
menggunakan teknologi informasi seperti internet, atau melalui
pamflet maupun spanduk.
3) Menetapkan strategi penyampaian informasi secara berkala di tempat-
tempat yang memiliki potensi dalam pengelolaan sampah secara
swadaya masyarakat.
4) Menetapkan strategi ketepatan dan kesesuaian penggunaan media
maupun penanganan terhadap pengelola sampah dari penghasil
sampah.
b. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal sumberdaya
1) Menetapkan strategi perolehan sumberdaya informasi yang dibutuhkan
pelaksanaan berkaitan dengan pengelolaan sampah secara personal.
2) Menetapkan strategi dalam penggunaan sarana dan prasarana bantuan
pemerintah berupa peralatan dalam memproduksi barang/produk
dengan bahan baku sampah.
c. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal disposisi
1) Menetapkan strategi penerapan dalam pelaksanaan tentang
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah.
2) Menetapkan strategi dalam meningkatkan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas penerapan pengelolaan sampah yang
dihasilkan
3) Menetapkan strategi dalam mengupayakan sikap aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas pelaksanaan pengelolaan kembali sampah
yang dihasilkan
d. Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sampah dalam hal birokrasi
1) Menetapkan strategi kejelasan wewenang aparat pemerintah dalam
menjalankan tugas pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan
sampah
2) Menetapkan strategi kejelasan koordinasi yang dilakukan aparat
pemerintah dalam menjalankan tugas pelaksanaan pengolahan sampah
yang dihasilkan
120
Model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah dalam mengendalikan
sampah di Kota Bandung, disajikan dalam Gambar 13.
Gambar 13 Model Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sampah di KotaBandung
Berdasarkan ketetapan model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah
di Kota Bandung maka rencana strategi yang paling baik diambil oleh PD
Kebersihan adalah strategi pemanfaatan kekuatan kelembagaan untuk menangkap
peluang yang ada (strategi SO). Strategi yang dirumuskan yakni penguatan fungsi
seksi di dalam PD Kebersihan khususnya seksi Operasional dan jika perlu
pembentukan unit baru seperti seksi Pembinaan Masyarakat dalam rangka
memanfaatkan potensi masyarakat dalam bentuk Lembaga Kebersihan
Lingkungan (LKL). Strategi ini merupakan grand strategy berdasarkan strategi
dan model pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah yang harus juga dibarengi
strategi-strategi tambahan lain seperti:
PengelolaanSampah
di Kota Bandung
Mengurangi
Komunikasi Sumberdaya Disposisi Birokrasi
MenggunakanKembali
MendaurUlang Memberdayakan
Sosialisasi
Media
Potensi Lokasi
Potensi Media
Sumber informasi
Peralatan
Penerapan
Sikap aparat
Keinginan aparat
Wewenang
Koordinasi
121
- Peningkatan koordinasi dengan instansi-instansi lain seperti Kantor
Pendapatan, Kantor Kesejahteraan, Kecamatan, Kelurahan dalam rangka
mencapai visi dan misi PD Kebersihan.
- Peningkatan kualitas SDM dengan program-program Pelatihan dan
Pendidikan baik formal maupun informal bagi staf dijajaran manajerial
maupun teknis pada PD Kebersihan.
- Peningkatan efesiensi operasional dan biaya pelaksanaan kegiatan pada tahap
pengunpulan dan pengangkutan, sehingga alokasi anggaran pembinaan dan
penyuluhan masyarakat dapat meningkat.
Untuk dapat merencanakan pengelolaan sampah di Kota Bandung harus
dilihat menurut sudut pandang mekanisme/prosedur operasional, pelaksana,
penanggung jawab (lembaga pengelola sampah), peralatan/tempat dan sisi
keuangan/finansial. Rencana peningkatan pelayanan pengelolaan sampah
dilakukan dengan dasar perhitungan proyeksi jumlah penduduk sehingga dapat
ditentukan besar timbulan sampah di Kota Bandung. Selanjutnya tingkat
pelayanan pengelolaan sampah diasumsikan berdasarkan kepadatan penduduk tiap
kelurahan sesuai dengan pedoman pelaksanaan. Dengan dasar tersebut dapat
dihitung nilai volume pelayanan sampah dan berapa kebutuhan sarana/prasarana
untuk tahun mendatang.
Tata cara pengelolaan sampah perkotaan yang direncanakan pada kawasan
perencanaan meliputi kegiatan:
1. Pewadahan sampah: merupakan tahap awal dalam pengelolaan sampah,
sampah dari sumber timbulan dimasukkan dalam wadah untuk memudahkan
pengumpulan sampah dan meminimalkan kontak langsung sampah dengan
lingkungan di sekitarnya.
2. Pengumpulan sampah: pengumpulan sampah dari sumber timbulan sampai
transfer depo atau lokasi pembuangan sementara (TPS).
3. Pemindahan sampah: pemindahan sampah dari transfer depo atau TPS ke
dalam alat pengangkut yang akan membawa sampah ke TPA.
122
4. Pengangkutan sampah: pengangkutan sampah dari transfer depo/TPS ke lokasi
pengolahan sampah atau pembuangan akhir.
Seluruh kegiatan pengelolaan sampah tersebut harus dilaksanakan secara
terpadu. Sehingga kegiatan pengelolaan sampah dapat optimal dan dampak
terhadap lingkungan dapat dikurangi. Perumusan komponen pertimbangan
tindakan pengelolaan sampah di Kota Bandung dengan menggunakan teknik-
teknik pengelolaan berdasarkan pendekatan pengelolaan dan karakteristik
penerapan di Kota Bandung yang telah dianalisis dengan mempergunakan analisis
faktor, dan dikombinasikan dengan pendekatan metoda Analityc Hierarchy
Process (AHP) serta Analisis SWOT. Rumusan hasil analisis yang telah
dilakukan tersebut digunakan sebagai arahan penanganan pengelolaan sampah di
Kota Bandung berdasarkan tipologinya yaitu Reduce, Reuse, Recycle dan
Empower.
Keterlibatan para stakeholder yang terdiri dari masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat (LSM) atau pihak swasta dan pihak pemerintah berkaitan
dengan tipologi pengelolaan sampah diperlukan dalam upaya meningkatkan
pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Sampah di Kota Bandung, yang dijelaskan
sebagai berikut:
1. Stakeholder mengurangi sampah, terdiri dari:
a. Masyarakat, dengan membudayakan penggunaan produk konsumsi yang
tidak menimbukan sampah, seperti mengurangi penggunaan sampah
plastik
b. LSM, dengan mengawasi perusahaan-perusahaan yang menghasilkan
produk yang memproduksi sampah, seperti mengawasi penggunaan bahan
plastik yang tidak bisa hancur.
c. Pemerintah, dengan menetapkan suatu kebijakan yang menekan produksi
sampah plastik, seperti kebijakan pelarangan penggunaan plastik yang
tidak bisa hancur.
123
2. Stakeholder menggunakan kembali sampah, terdiri dari:
a. Masyarakat, dengan membudayakan penggunaan kembali sampah yang
tidak bisa hancur, seperti penggunaan kembali sampah plastik untuk
pembungkus sampah.
b. LSM, dengan ikut serta mensosialisasikan penggunaan kembali sampah,
seperti memberikan solusi kepada masyarakat tentang manfaat-manfaat
sampah yang dapat digunakan kembali.
c. Pemerintah, dengan menetapkan suatu program yang mendorong
masyarakatnya untuk selalu berupaya mengurangi produksi sampah
dengan cara memberikan alternatif-alternatif penggunaan kembali sampah-
sampah yang diproduksi rumah tangga
3. Stakeholder mendaur ulang sampah, terdiri dari:
a. Masyarakat, agar ikut serta dalam proses mendaur ulang sampah, seperti
memilah atau memisahkan sampah rumahtangganya menjadi sampah
organik dan anorganik.
b. LSM, dengan mendorong masyarakat untuk ikut serta memproduksi daur
ulang sampah, seperti mengenalkan produk-produk yang dapat dihasilkan
dari bahan baku sampah.
c. Pemerintah, dengan ikut serta mendorong dan memasarkan hasil-hasil
produksi daur ulang sampah.
4. Stakeholder memberdayakan masyarakat, terdiri dari:
a. Masyarakat, dengan ikut serta dalam pemberdayaan masyarakat agar ikut
bertanggungjawab menangani permasalahan berkaitan dengan sampah.
b. LSM, dengan ikut serta dalam proses pemberdayaan masyarakat yang
berhubungan dengan pengelolaan sampah, dari mulai pengumpulan,
pemilahan, sampai kepada pengantaran ke TPA.
c. Pemerintah, dengan memfasilitasi pemberdayaan masyarakat, seperti
menyediakan tempat-tempat penampungan sampah hasil pengumpulan
sampah masyarakat.
124
Salah satu publikasi Masyarakat Perlindungan Air dan Tanah (The Soil
and Water Conservation Society, 1995) disebutkan tentang hierarki perlindungan
sumberdaya (resource recovery hierarchy) untuk manajemen aliran sampah.
Hierarki tersebut terdiri dari 4 (empat) langkah:
1. Material sampah harus dikelola secara benar sejak awal (rumah tangga, RS,
industri, dan sebagainya) guna mengurangi kontribusi yang tidak perlu pada
masalah sampah di kemudian hari.
2. Material sampah harus digunakan ulang (reused atau recycled) atau diubah
melalui teknologi yang dapat memberi nilai tambah pada sampah tersebut.
3. Sisa material sampah-pun harus di daur-ulang, termasuk untuk membuat
pupuk organik, atau bahan tertentu yang bias digunakan untuk pemakaian di
waktu mendatang.
4. Bahan-bahan sampah tertentu tetap harus dibuang. Dalam hal ini, tempat
pembuangan sampah harus dipilih dengan pertimbangan matang sehingga
dapat menjamin perlindungan yang maksimal bagi lingkungan, baik tanah, air,
dan udara, serta bagi kesehatan umat manusia.
5. Isu sentral dari masalah pengelolaan sampah di wilayah perkotaan ini terutama
pengelolaan sampah secara efektif dalam rangka meningkatkan standar hidup
masyarakat sekaligus melindungi lingkungan dan sumberdaya alam lainnya.
Manajemen kebersihan dalam konteks pengelolaan sampah terdiri dari
beberapa aspek yang saling terkait. Seluruh aspek dalam pengelolaan sampah
memerlukan kerjasama dalam pelaksanaannya, baik pada fungsi perencanaan,
pelaksanaan maupun pengawasan. Apabila dilakukan identifikasi jenis-jenis
kerjasama dalam menjalankan manajemen pengelolaan sampah, maka hal ini
dapat ditinjau dari masing-masing aspek.
1. Kerjasama dalam Aspek Teknik Operasional
a. Kerjasama pengumpulan sampah, dalam hal ini kerjasama dengan RW
untuk pengumpulan sampah dari lingkungan pemukiman.
b. Kerjasama dengan pengusaha dalam kegiatan operasional pengelolaan
sampah dan daur ulang (masih dalam proses penjajagan).
125
c. Kerjasama dengan Pemerintah Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung
dalam kegiatan pengelolaan pembuangan akhir.
2. Kerjasama dalam Aspek Pembiayaan
a. Kerjasama dengan PLN, KUD dan Bank dalam penyelenggaraan
pemungutan jasa pelayanan kebersihan.
b. Kerjasama dengan lembaga pengawasan khususnya dalam pelaksanaan
auditing keuangan perusahaan melalui akuntan publik.
3. Kerjasama dalam Aspek Peran Serta Masyarakat
- Kerjasama dengan media masa dalam melakukan sosialisasi program
pengelolaan sampah kota.
4. Kerjasama dalam Aspek Peraturan Hukum
- Kerjasama dengan aparat penegak hukum dalam menindak pelanggaran
terhadap peraturan kebersihan kota.
Oleh karena sifat dari pengelolaan sampah memerlukan keterlibatan semua
pihak, maka setiap aspek pengelolaan sampah perlu dijalankan melalui
mekanisme kerjasama. Tanpa adanya kerjasama maka pengelolaan sampah tidak
akan dapat berhasil. Jika dikelola secara baik dan professional, usaha yang
berbasis sampah sesungguhnya memiliki potensi yang cukup menjanjikan.
Bahkan Kompas pernah menurunkan laporan tentang pengelolaan Pengelolaan
Sampah, dan mengatakan bahwa sampah bisa dipandang sebagai kotoran
sekaligus harta karun (Kompas, 10 Januari 2004). Komponen utama dari pertanian
organik adalah pupuk kompos. Kalau sebidang tanah dikompos dengan baik,
tanah akan menjadi sehat. Kalau kelebihan air, tanah berkompos akan
mendrainasekannya, sementara jika kekurangan air di musim kemarau, air itu
ditahan. Kompos juga mempunyai daya tahan terhadap zat-zat, seperti fosfor,
nitrogen, dan elemen-elemen mikro, seperti magnesium dan polidenum. Tanpa
kompos, begitu ada air, tanah akan terus larut. Karena itu, bila ada tanaman di
tanah berpasir, kalau pun tumbuh akan kurus.
Inilah nilai tinggi yang dimiliki oleh sampah. Karena terlalu tingginya
nilai ekonomis sampah, di Belanda industri kompos membuat jalur jalan kereta
126
api sendiri dan tidak lagi menggunakan angkutan truk seperti di Jakarta. Hal ini
mengindikasikan betapa ekonomisnya bisnis Pengelolaan Sampah. Jika
pemerintah sadar terhadap potensi ekonomis sampah tersebut, mestinya segera
dilakukan kajian kebijakan untuk menarik sektor swasta menanamkan modal di
bidang industri pengolahan sampah. Jika hal ini bisa dilakukan, maka akan dapat
terwujud keuntungan secara merata bagi setiap pihak yang terkait dengan upaya
pengelolaan sampah. Bagi pemerintah, misalnya, keuntungan yang dapat diraih
dari pola pengelolaan sampah yang sinergis ini antara lain adalah:
1. Beban Pemerintah (daerah) dalam penyediaan / pemberian layanan semakin
berkurang karena telah diambil alih sebagian oleh sektor swasta sebagai ujung
tombak.
2. “Pengambil alihan” sebagian tugas-tugas pelayanan publik oleh sektor swasta
sekaligus merupakan wahana memberdayakan potensi masyarakat yang
selama ini terabaikan.
3. Pemda tidak perlu membentuk kelembagaan khusus yang besar hanya untuk
menangani pengelolaan sampah. Ini berarti dapat mendorong efek
penghematan anggaran.
4. Menjadi sumber pendapatan daerah melalui penarikan retribusi atau
pemberian lisensi / konsesi pengelolaan sampah.
5. Kendala teknis berupa keterbatasan sumberdaya atau kelemahan manajemen
yang biasanya melekat pada birokrasi publik dapat teratasi dengan cara
sharing antar Pemda atau antara Pemda dengan swasta.
Di sisi lain, jika pengelolaan sampah dilakukan oleh swasta atau sebuah
tim bersama, diharapkan dapat dicapai beberapa keuntungan diantaranya:
- Menjanjikan keuntungan (profit margin) bagi pengelola atau penanam modal
di bidang pelayanan kebersihan.
- Dapat bekerja lebih cepat, fleksibel dan efisien disbanding lembaga induk
yang membentuknya.
- Lebih bersifat fungsional sehingga mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan
dan kendala struktural yang menjadi ciri khas dari sistem birokrasi publik.
127
- Pengelolaan suatu urusan lebih professional, sehingga dapat menciptakan
mutu pelayanan yang jauh lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara bagi masyarakat, pengelolaan yang professional dari service
provider diharapkan dapat memperbaiki kinerja pelayanan umum yang
diindikasikan oleh tingkat kepuasan pelanggan (costumer satisfaction). Hal ini
dapat tercapai jika penyelenggaraan suatu urusan atau suatu kawasan dapat lebih
terfokus (tidak ada intervensi birokrasi publik), sehingga pelayanan bidang
tertentu (cq. Pengelolaan Sampah) dapat meningkat secara signifikan.
Dengan kata lain, jika pelayanan Pengelolaan Sampah dapat menimbulkan
kepuasan bagi masyarakat, berarti telah terpenuhi prinsip penting dalam
pelayanan yakni best value for money. Artinya, masyarakat yang telah
mengeluarkan biaya untuk memperoleh pelayanan tersebut (yakni dengan
membayar retribusi), mendapatkan tegen prestatie yang seimbang dengan biaya
yang telah dikeluarkan tadi. Prinsip best value for money telah dapat terpenuhi,
maka dapat dikatakan bahwa kinerja pelayanan pemerintah dalam pemberian
layanan sudah mencapai derajat yang optimal.
Selanjutnya, untuk mendorong agar pola-pola kerjasama ini dapat menjadi
”kebutuhan” bagi pemerintah daerah pada umumnya dan penyedia jasa layanan
pada khususnya, maka dibutuhkan adanya payung hukum secara nasional yang
mengatur mengenai aturan main serta hak dan kewajiban, termasuk implikasi dari
penyelenggaraan kerjasama (joint management) tersebut. Ini berarti pula,
kerjasama dalam rangka pemenuhan kebutuhan publik ini perlu mengintegrasikan
kaidah-kaidah hukum privat / perdata dengan kaidah-kaidah hukum publik
(HAN). Disamping itu, diperlukan juga adanya sikap pro-aktif dan kesadaran dari
pihak pemerintah untuk terus-menerus memperbaiki berbagai dimensi yang terkait
dengan pelayanan yang bersangkutan.
128
Sumber: Kertas Posisi Yayasan Wisnu No. 01/IV/2001Gambar 14 Sistem Modifikasi Pengelolaan Sampah
Dari hasil kajian dapat dirumuskan kebijakan pengelolaan sampah di kota
bandung harus melibatkan unsur Pemerintah, Masyarkat, dan Swasta.
1. Peran Masyarakat
Pengelolaan sampah oleh masyarakat baik melalui komunitas dapat
menjadi pemasukan bagi wilayahnya apabila dikelola dengan baik dan menambah
lapangan pekerjaan. Sampah yang dihasilkan masyarakat jika sudah dapat
dipisahkan berdasarkan jenisnya mulai dari awal, dapat dimanfaatkan kembali
atau dijual untuk membiayai usaha pengelolaan sampah secara swadaya. Selama
ini berbagai macam himbauan dari pemerintah untuk melakukan pemisahan mulai
dari sumber sampah tidak jalan, karena tidak jelas apa manfaatnya bagi
masyarakat. Kalau pemilahan ini memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat,
tentunya sistem monitoring dari masyarakat akan berjalan dengan sendirinya.
Begitu juga dengan pemulung. Anggapan umum dari masyarakat, pemulung
menyebabkan timbulnya masalah keamanan, oleh karena itu agar tidak
menimbulkan ketegangan sosial, dimulai dengan saling curiga, kehadiran
pemulung dapat lebih diatur tidak langsung ke rumah tangga sebagai sumber
sampah, tetapi hanya sampai TPS atau TPA saja.
129
2. Peran Swasta
Peranan swasta dalam upaya pengelolaan sampah adalah sebagai
pendukung sistem (support system), seperti: 1) mempercepat proses transformasi/
peralihan dari dominansi pemerintah ke masyarakat; 2) sebagai Pengumpul
material/barang yang masih dapat di daur ulang atau masih berguna.
3. Peran Pemerintah
Peran pemerintah, apabila sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat
ini berjalan, hanya memikirkan masalah pengelolaan TPA. Beban berat dari
besarnya anggaran yang diharus ditanggung dapat dikurangi secara efisien. Beban
mengelola sampah juga akan berkurang dengan drastis dengan hanya mengelola
sampah. Sampah yang diangkut oleh pemerintah dari TPS ke TPA tentunya harus
ditarik pungutan/retribusi yang akan digunakan untuk operasional. Sedangkan
biaya rutin sampah per bulan akan menjadi hak dari pengelola masyarakat karena
peran aktifnya mengatasi masalah pengelolaan sampah.
Memperhatikan peran Masyarakat, kebijakan yang harus dilakukan oleh
pemerintah kota Bandung adalah mengatur peran rukun warga (RW) sebagai
kolektor tahap awal dan memberikan kewenangan kepada RW untuk
Mengumpulkan, Mengolah sampah dengan konsep 3R dan menjualnya sebagai
bangkitan pendapatan (Incomegenerating).
Memperhatikan peran Swasta, diperlukan kebijakan insentif berupa
kemudahan akses mengelola sampah, kemudahan akses memperoleh modal,
kemudahan dalam perijinan, keringanan pajak dan retribusi, sedangkan peran
Pemerintah perlu ada kebijakan agar pemerintah melakukan pemberdayaan
Masyarakat, RW, dan Swasta, selain itu program penyuluhan/sosialisasi harus
dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.
Pemerintah wajib menyerap sebagian hasil pengelolaan sampah di tingkat
RW terutama kompos untuk kebutuhan pemupukan taman kota. Peran PD
kebersihan diarahkan sebagai pembina/bapa asuh dari Masyarakat, RW, dan
Swasta untuk mengelola sampah secara profesional dan saling menguntungkan.
130
PD kebersihan dapat mengembangkan unit usahanya untuk bekerjasama
dengan pihak swasta dalam mengambangkan bisnis daur ulang dan pengomposan,
dengan demikian perlu ditijau kembali atau di revisi Perda no 2 Tahun 1985
tentang PD kebersihan, Perda no 27 Tahun 2001 tentang pengelolaan kebersihan,
dan Perda no 11 Tahun 2005 tentang K3.
Proses ini diharapkan dapat meningkatkan kwalitas lingkungan hidup di
kota Bandung dan meningkatnya ekonomi secara tidak langsung dari pengelolaan
sampah oleh masyarakat dan terhindarnya banjir akibat tersumbatnya aliran
sungai oleh sampah.
Secara keseluruhan proses kebijakan tersebut dilihat pada gambar 15.
Gambar 15 Pola Operasional Kebijakan Pengelolaan Sampah di KotaBandung
ReuseRecycle
ReduceEMPOWERMENT
KomunikasiSumberdaya
DisposisiBirokrasi
TPS
PEMERINTAH
SWASTA
TempatPengolahan
RWMASYARAKAT
SAMPAH(Rumah Tangga)
3R
Wewenang danKoordinasi
Penerapan, SikapAparat dan Keinginan
Aparat
Sumber Informasi danPeralatan
Sosialisasi, Media,Potensi Lokasi dan
Potensi Media
131
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Kebijakan pengelolaan sampah yang dilaksanakan di Kota Bandung saat ini
belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Kebijakan pengelolaan sampah
perkotaan yang diterapkan di Kota Bandung saat ini mengarah pada sampah
sebagai sumber pendapatan daerah yang di laksanakan dalam bentuk
berdirinya BUMD Perusahaan Daerah Kebersihan. Kebijakan pengelolaan
sampah yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Bandung belum sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
2. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan
pengelolaan sampah perkotaan di Kota Bandung : Pertama faktor disposisi
terdiri dari: a) penerapan, b) sikap aparat dan c) keinginan aparat; Kedua
faktor sumberdaya terdiri dari: a) sumber informasi dan b) peralatan, Ketiga
faktor komukasi yang terdiri dari: a) sosialisasi, b) media, c) potensi lokasi
dan d) potensi media; dan Keempat faktor birokrasi terdiri dari: a) wewenang
dan b) koordinasi.
3. Berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman prioritas kebijakan
dalam mengurangi sampah di kota Bandung adalah dengan melakukan
sosialisasi, pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan media komunikasi dan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia serta menambah sarana.
4. Pemerintah kota Bandung perlu membuat kebijakan untuk pemberdayaan
masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sampah, peranan PD kebersihan
adalah sebagai pembina/bapak asuh bagi masyarakat dan swasta dalam
pengelolaan sampah, dengan demikian perlu adanya revisi terhadap Perda no 2
tahun 1985 tentang PD kebersihan, Perda no 27 Tahun 2001 tentang
pengelolaan kebersihan, dan Perda no 11 Tahun 2005 tentang K3.
132
6.2 Saran
Dari temuan lapangan serta berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat
disarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Perlu adanya kajian yang lebih komprehensif tentang fungsi Perusahaan
Daerah Kebersihan Kota Bandung.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang kemungkinan adanya konflik
pengelolaan sampah perkotaan penerapan model kelembagaan pengelolaan
sampah pengurangan dan penanganan melalui pemberdayaan masyarakat.
3. Pemerintah daerah juga seharusnya segera menyusun strategi kebijakan guna
menarik investasi swasta dalam pengelolaan persampahan, mempromosikan
teknologi pengolahan sampah, antara lain dengan memberi kemudahan –
kemudahan dan pembebasan pajak tertentu kepada investor yang berminat,
serta memperkuat partisipasi masyarakat dalam siklus manajemen
persampahan. Dengan kata lain, pemerintah daerah harus secepatnya
memikirkan bagaimana menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi di
sektor kebersihan, sekaligus menyediakan sistem insentif dan disinsentif
dalam pengelolaan persampahan, antara lain dengan pengurangan tarif pajak
bagi produsen yang hasil produknya relatif tidak banyak mengandung
limbah/sampah dan penambahan tarif pajak terhadap produsen yang hasil
produknya lebih banyak mengandung limbah/sampah.
4. Pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah harus secara sistemik. Artinya,
isu persampahan haruslah dikaitkan dengan isu lain seperti pelestarian
lingkungan dan pendapatan masyarakat. Dalam kaitan dengan aspek
lingkungan, harus dipikirkan cara agar proses pembuangan, penimbunan,
pembakaran, pengolahan atau proses lainnya tidak membahayakan
lingkungan hidup hayati maupun non-hayati. Sementara dari aspek
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah perlu berusaha keras
agar potensi sampah yang sesungguhnya sudah tidak bernilai (worthless),
dapat dijadikan sebagai potensi dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi,
diantaranya pelaksanaan sosialisasi yang efektif untuk memberdayakan
masyarakat yang dimulai dari rumah tangga dalam hal reduce, reuse, recycle.
133
5. Manajemen persampahan juga tidak bisa dilepaskan dari isu pendidikan dan
pertanian. Dalam kaitan dengan isu pendidikan, pemerintah perlu melakukan
program penyadaran publik tentang cara membuang sampah dan jika perlu
dilakukan pemisahan/pemilahan antara sampah organik dan non-organik,
upaya yang dilakukan diantaranya melaksanakan simulasi pengelolaan
sampah kepada para siswa yang duduk di sekolah dasar, sekolah lanjutan
hingga perguruan tinggi. Sedangkan kaitannya dengan pembangunan
pertanian, pemerintah semestinya dapat mengoptimalkan sampah sebagai
bahan dasar pembuatan pupuk kompos, dengan upaya memberi pelatihan –
pelatihan kepada para petani tentang tata cara pembuatan kompos, sehingga
keberadaan sampah justru berdampak positif terhadap sektor lainnya, dalam
hal ini sektor pertanian. Tentu saja, sampah juga memiliki potensi yang positif
di sektor-sektor lainnya.
6. Pemerintah juga harus menjamin bahwa sarana pembuangan sampah tersedia
di berbagai tempat seperti jalan-jalan dan taman umum, sekolah, rumah sakit,
dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga perlu mengatur
bahwa para pengusaha swasta seperti hotel, restoran, super market, dan
sebagainya harus menyediakan tempat pembuangan sampah secara memadai,
dengan melaksanakan sosialisasi dan pengawasan.
7. Pemerintah daerah harus menegakan hukum (Law Enforcement) terhadap
siapapun yang melanggar peraturan daerah mengenai kebersihan.
134
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, D. 2008. Faktor-Faktor Penentuan Lokasi Tempat Penampungan SampahSementara (TPS) Berdasarkan Aspirasi Masyarakat Di KecamatanSukolilo, Surabaya; Teknik Perencanaan Wilayah & Kota, SekolahPascasarjana Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Albrow, M. 1989. Birokrasi, terjemahan M. Rusli Karim dan Totok Daryanto,Jogjakarta: PT. Tiara Wacana.
Amurwaraharja, I.P. 2003. Teknologi Pengolahan Sampah Jakarta Timur.Bogdan, R., and Biklen. S.K. 1992. Qualitative Research For Education, Boston:
Allyn and Bacon.
Bogdan, R., and Taylor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods:A Phenomenological Approach to the Social Sciences, New York:Wiley.
Brannen, J. 2002. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif,Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Cafezio, P., and Morehouse, D. 1998. Secrets of Break Through Leadership,Mumbai: Jaico Publishing House.
Dillon, W.R., and M. Goldsetein. 1984. Multivariate Analisis Methods andapplications. John Willey and sons. Inc.
Djajadiningrat. 2001. Pendekatan Pengolahan Limbah (end of pipe).
Dunn, W.N. 1999. Public Policy Analysis : An Introduction, New Jersey: PrenticeHall.
Dye, T. 1976. Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice HallEnglewood Cliffs.
Edward III, G.C. 1980. Implementation Public Policy, Washington DC:Congresional Quarter Press.
Edwards III, G.C., and Sharkansky, I. 1978. The Policy Predicament, SanFransisco: W.H. Freeman and Company.
Effendi, S. 2000. Metode Penelitian Survai, Cetakan kedelapan, Jakarta: LP3ES.
Famularo, J.J. 1986. Hand Book of Human Resources Administration. Singapore:Fong and Sons Printers Pte Ltd.
Gomes, F.C. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offset.Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in The Third World, New
Jersey: Princeton University Press.
135
Guba, E.G. 1981. Criteria For Assessing The Trustworthiness of NaturalisticInquiries. Education Communication and Technology, Journal, Vol.29, p. 75-92.
Hasibuan, M.S.P. 1996. Organisasi dan Motivasi, Dasar PeningkatanProduktivitas, Jakarta: Bumi Aksara.
Hogwood, B.W., and Gunn, L.A. 1987. Policy Analysis for the Real world,Oxford: University Press.
Hoogerwerf. 1983. Ilmu Pemerintahan, alih bahasa Tobing, Jakarta: Erlangga.Hovland, C. I. 1959. Communication and Persuasion, Princeton University Press.
Howlett, M., and Ramesh, M. 1995. Studying Public Policy, Policy Cycles andPolicy Subsystems, New York: Oxford University Press.
Isaac, S., and Michael, W.B. 1982. Handbook in Research and Evaluation, SanDiego: EdIT Publishers.
Islamy, M. I. 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta: BumiAksara.
Islamy, M. I. 2001. Policy Analysis, Malang: Program Pascasarjana UniversitasBrawijaya.
Istamto, R. 1994. Pengantar Kebijakan Publik, (Jones, Charles O.) Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Jones, C.D. 1994. Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta: PT. Rajawali.Kholil. 2005. Rekayasa Model Sistem Dinamika Pengelolaan Sampah Terpadu
Berbasis Nir Limbah (Zero State), Sekolah Pasca Sarjana InstitutPertanian Bogor.
Komisi WHO mengenai Kesehatan dan Lingkungan. 2001. Planet Kita KesehatanKita,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kumorotomo, W. 1992. Etika Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.
Lafland, J., and Lofland, L.H. 1984. Analyzing Social Setting A Guide toQualitative Observation and Analysis. California: WadwortPublishing Company Helmeth.
Lincoln, Y.S., and Guba, E. 1985. Naturalistic Inquiry. San Francisko: SagePublication.
Lineberry, R.L. 1978. American Public Policy, New York: North WesternUniversity Harpen and Row Publisher.
Mazmanian, D., and Sabatier, P.A. 1983. Effective Policy Implementation,Massachusets: D.C.Heath.
Miles, M.B. and Huberman, M.A. 1992. Analisa Data Kualitatif, Jakarta: UIPress.
136
Moleong, L.J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.RemajaRosdakarya.
Moughtin, C., Taner, Oc., and Steven, T. 1999. Urban Design: Ornament andDecoration. Boston: Architectural Press.
Moughtin, C., Gardner, A.R.T. 1990. "Towards an improved and protectedenvironment", The Planner, pp.9-12..
Mouightin, C., Taner, Oc., and Steven, T. 1999. Urban Design: Ornament andDecoration. Oxford: Butterworth Architecture.
Muhadjir, N. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin.
Mustopadidjaja, A.R. 1999. Studi Kebijaksanaan, Perkembangan, danPenerapannya dalam Rangka Administrasi dan ManajemenPembangunan, Jakarta: LP-FE-UI.
Ndraha, T. 1997. Metodologi Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Rineka Cipta.
Ndraha, T. 2003. Kybernology (Ilmu Pemerintahan) 1 dan 2, Jakarta: RinekaCipta.
Nilandari, A. 2006. Aku Bisa Menghemat Listrik, Jakarta: Dian Rakyat.Patton, M.Q. 1987. How the Use Qualitative Methods in Evaluation, New Delhi
India: Sage Publications.Pattons, C.V., and Sawicki, D.S. 1980. Basic Methods of Policy Analysis and
Planning, New Jersey: Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs.Pearson, W. 1997. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of
Policy Analysis, Cambridge Great Britain: Edward Elgar.Rakhmat, J. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.Rasyid, H.A. 1994. Statistika Sosial, Bandung: PPs UNPAD.
Ripley, R. 1994. Policy Analysis in Political Science, Chicago: Nelson Hall.Saaty, T.L. 1994. Fundamentals of Decision Making and Priority Theory, RWS
Publications, 4922 Ellsworth Avenue , Pittsburgh, PA.Saraswati, E. 2007. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Sampah
Kota Berbasis Pertisipasi Masyarakat, Sekolah Pasca Sarjana InstitutPertanian Bogor.
Saribanon, N. 2007. Perencanaan Sosial Partisipatif Dalam Pengelolaan SampahPermukiman Berbasis Masyarakat, Sekolah Pasca Sarjana InstitutPertanian Bogor.
Schaltzman, L., and Strauss, A.L. 1973. Field Research : Strategies for a NaturalSociology, Englewood Cliffs: N.J. Prentice Hall.
Siagian, S.P. 1985. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya,Jakarta: Ghalia Indonesia.
137
Siagian, S.P. 1997. Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Jakarta:PT. Gunung Agung.
Spradley, J.P. 1980. Participant Observation, Orlando FL: Harcourt BraceJovanovich College Publishers.
Sugandha, D. 1991. Koordinasi: Alat Pemersatu Gerak Administrasi, CetakanKedua, Jakarta: Intermedia.
Sugiyono. 2002. Statistika Untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta.
Sunggono, B. 1994. Pemberdayaan Masyarakat, Jaringan Pengamanan Sosial,Jakarta: Gramedia Utama.
Supriatna I., Setiadi, M.A., dan Hadi, S. 2005. Penyusunan KebijakanPeningkatan Produksi Peternakan dengan Penerapan TeknologiInseminasi Buatan di Daerah Tertinggal. Jakarta: PT Bernala Nirwana.Resource Development Consultant.
Suradinata, E. 1993. Teori dan Praktek Kebijaksanaan Negara, Bandung:Ramadan.
Suryaningrat, B. 1989. Perumusan Kebijaksanaan dan Koordinasi Pembangunandi Indonesia, Jakarta: PT. Bima Aksara.
Van Meter, D.S., and Van Horn, C.E. 1975. The Policy Implementation Process AConceptual Frame Work, London: Sage Publications Inc.
Vargas, L.G. 1994. “Reply to Schenkerman’s Avoiding Rank Reversal in AHPDecision Support Models”, European Journal Of OperationalResearch, 74, pp. 420-425.
Wahab, S.A. 1990. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke ImplementasiKebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara.
Wahab, S.A. 2000. Ekonomi Politik Pembangunan, Malang: Danar Wijaya Press.
Wibowo., dan Djajawinata. 2007. Jurnal Penanganan sampah terpadu.Widodo, J. 2002. Good Governance, Telaah Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Dsentralisasi dan Otonomi Daerah, Surabaya:Insan Cendekia.
Winardi, J. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi, Bandung: Citra Aditya Bakti.Yin, R.K. 1989. Studi Kasus: Desain dan Metode, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jurnal, Internet dan Dokumentasi Lainnya:Aida, N., dan Mudikdjo, K. 1996. Usaha Pemanfaatan Barang Bekas dari Sampah
dan Pengaruhnya Terhadap Pengelolaan Sampah di Kotamadya Bogor: Studi Kasus TPA Gunung Galuga. Tesis Program Pascasarjana IPB.Tidak diterbitkan.
138
Amurwaraharja, I.P. 2003. Analisis Teknologi Pengolahan Sampah DenganProses Hirarki Analitik Dan Metoda Valuasi Kontingensi (Studi KasusDi Jakarta Timur), Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam DanLingkungan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bakri, A.R., Mudikdjo, K., Suratmo, F.G., dan Partoatmodjo, S. 1992.Pengelolaan Sampah Pemukiman dan Partisipasi Masyarakat dalamPelaksanaannya di Kota Administratif Depok. Tesis ProgramPascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
Bandung.go.id, 2008. Sosialisasi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah),http://www.bandung.go.id/?fa=berita.detail&id=865,yang ditampilkanpada tanggal 9 April 2009.
Dana Mitra Lingkungan, http: //www. dml. or. id/ dml5/ sampah/ budaya_manajemen_ persampahan.dml, 6 Juli 2008
Daryanto, 2005. Kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi denganMetode Incinerator. Thesis Program MPKP, Jakarta: UniversitasIndonesia.
Diana, E., Sutamihardja, R.T.M., dan Mudikdjo, K. 1992. Pemantauan DampakLokasi Pembuangan Akhir Sampah Secara Sanitary Landfill BantarGebang Terhadap Kualitas Air Permukan, Air Tanah dan SosialEkonomi Masyarakat Disekitarnya. Tesis Program Pascasarjana IPB.Tidak diterbitkan.
Djuwendah, E., Anwar,A., Winoto, J., dan Mudikdjo, K. 1998. Analisis KeragaanEkonomi dan Kelembagaan Penanganan Sampah Perkotaan, Kasus diKotamadya DT II Bandung Provinsi Jawa Barat. Tesis ProgramPascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
Ecolink. 1996. Istilah Lingkungan untuk Manajemen, E-dukasi.net, http://www.e-dukasi.net/pengpop/pp_full.php?ppid=257&fname=hal2.htmdownload 14 Maret 2008.
Gumelar, A. 2004. Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung (Tinjauan DariAspek Manajemen Kerjasama), makalah disajikan pada acara DiskusiTerbatas, diselenggarakan oleh PKP2A I LAN, Bandung, 8 September2004
Hanifah, T.A., Saeni, M.S., Bintoro, M.H., dan Adijuwana, D,H. 1999. AnalisisKandungan Logam Berat dalam Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)yang Dipupuk Dengan Sampah Kota di Desa Kulim, Pekanbaru, Riau.Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
Hendrasarie. 2005. Kajian Sistem Pengelolaan Sampah Pasar, Jurnal FakultasTeknik, Surabaya: Universitas Brawijaya.
Http://www.jabar.go.id
139
Iriani., Mudikdjo, K., Pelly, U., dan Dartius. 1994. Sistem Organisasi PengelolaanSampah Pemukiman di Kotamadya Medan. Tesis ProgramPascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
Jumiono, A., Mudikdjo, K., dan Simamora, S. 2000. Prospek Pendirian IndustriVermikompos Berbahan Baku Sampah Kota (Studi Kasus Di KotaBogor). Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
Kamus Istilah Lingkungan. 1994. Hijau Gerakan Peduli Lingkunganhttp://yayasanhijau.wordpress.com/2008/01/15/budaya-kita-sampah-dan-daur-ulang/ download 24 Maret 2008.
Kompas, 10 Januari 2004. Pengelola TPA Bantar Gebang Adukan Pemkot Bekasi.Kompas - Pengelola Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantar
Labatjo, M.R. 2007. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelayanan Persampahan DiKota Manado, Kesehatan Lingkungan, IKIP Manado.
Majalah Percik. 2005. Gara-gara Sampah, Bandung Jadi Kota Terkotor diIndonesia. Beberapa Langkah Telah Diupayakan Untuk Mengatasinya.Mampukah Ini Bisa Bertahan lama? Strategi Apa Untuk PenangananKe Depan?, http: //digilib- ampl. net/ file/ pdf/ percik14. pdf, yangditampilkan pada tanggal 5 April 2009.
Mandailing, M.M., Saeni, M.S., dan Rusli, S. 2001. Partisipasi Pedagang DalamProgram Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Pasar (Kasus Di KotaBogor). Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
Muhdhar, M.H.I., dan Margono, 2003. Kajian Peraturan Perundang-undangantentang Pengelolaan Sampah di Wilayah Surabaya Metropolitan. StateUniversity of Malang.
Ostro, B. 1994. Estimating the Health Effects of Air Pollutants: A Method with anApplication to Jakarta. Policy Research Working Paper No. 1301,World Bank.
PD. Kebersihan Kota Bandung, 2009Pustekkom, 2005, http://www.e-dukasi.net
Radyastuti, W. 1996. E-dukasi.net, http: //www. e-dukasi. net/ pengpop/ pp_full.php?ppid= 257& fname= hal2.htm download 14 Maret 2008.
Raharja, Y.T., Mudikdjo, K., Suratmo, F.G., dan Utomo, B.S. 1988. Studi SosialEkonomi Pengelolaan Limbah Pemukiman (Sampah) dengan SistemJali-jali di Jakarta Pusat. Tesis Program Pascasarjana IPB. Tidakditerbitkan.
Rajab, B. 2009. Budaya Manjamen Persampahan, http://www.kasundaan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=1, yangditampilkan pada tanggal 25 Maret 2009.
140
Reid, W.V. 1992. How Many Species Will There Be? Tropical Deforestation andSpecies Extinction. T. Whitmore and J. Sayer, eds., pp. 55-74.London: Chapman and Hall.
Resosudarmo., dan Napitupulu, L.BP. 2000. Health and Economic Impact of AirPollution in Jakarta. Economic Record, page:65-75
Satriyo. 2008. Persampahan di Kota Bandung, http:// satriyo. net/ 2006/ 05/ 15/persampahan-kota-bandung/ yang direkam pada 4 July 2008.
Suhartiningsih. 1998. Sistem Penunjang Keputusan Investasi Usaha Daur UlangSampah Kota Untuk Produksi Kompos. Tesis Program PascasarjanaIPB. Tidak diterbitkan.
Sundra, I.K., Suratmo, F.G., Saeni, M.S., dan Partoatmodjo, S. 1997. PengaruhPengelolaan Sampah Terhadap Kualitas Air Sumur Gali DisekitarTempat Pembuangan Akhir Sampah Suwung – Denpasar – Bali. TesisProgram Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan.
Syamsuddin, A., Partoatmodjo, S., Paembonan, S.,dan Wirjowidagdo, S. 1985.Studi Tentang Pengelolaan Sampah Di Kotamadya Ujung Pandang.Tesis Program Pendidikan Pascasarjana KPK IPB – UNHAS. Tidakditerbitkan.
Tandjung, 1982. Hijau Gerakan Peduli Lingkungan http://yayasanhijau.wordpress.com/ 2008/ 01/ 15/ budaya- kita- sampah- dan- daur- ulang/download 24 Maret 2008.
The Soil and Water Conservation Society. 1995. Municipal Solid WasteManagement, pada http: //www. swcs. org/ t_ publicaffairs_solidwaste.htm
Tiwow, C., Widjajanto, D., Darjamuni., Hartman , E., Mahajoeno, E., Irwansyah,E., dan Nurhasanah. 2003. Pengelolaan Sampah Terpadu SebagaiSalah Satu Upaya Mengatasi Problem Sampah Di Perkotaan, MakalahPengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3,Institut Pertanian Bogor, April 2003, http: //tumoutou. net/6_sem2_023/ kel6_sem2_023.htm, yang ditampilkan pada tanggal 17Januari 2009.
Tiwow, C., Widjajanto, D., Darjamuni., Hartman , E., Mahajoeno, E., Irwansyah,E., dan Nurhasanah. 2003. Pengelolaan sampah terpadu sebagai salahsatu upaya mengatasi problem sampah di perkotaan, MakalahPengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pascasarjana (S3),Bogor: IPB.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang PengelolaanSampah, http://legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=UU18-2008.htm, yang ditampilkan pada tanggal 25 Maret 2009.
WHO. 1992. IPCS Environmental Health Criteria: Vol.134, Cadmium. GenevaWHO.
141
Wibowo, A., dan Djajawinata, D.T. 2007. Penanganan Sampah PerkotaanTerpadu, dalam www.kppi.or.id. diakses pada tanggal 25 Maret 2009.
Wikipedia, 2009. Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org
Virgota, A., Gumbira, S.E., dan Saefuddin, A. 2001. Kajian Simulasi KelayakanSistem Pemisahan Sampah Rumah Tangga pada Pengelolaan Sampahdi Kotamadya Pekanbaru, Riau. Tesis Program Pascasarjana IPB.Tidak diterbitkan.
World Bank. 1992. World Development Report, New York: Oxford UniversityPress, 1992.
World Development Report. 1992. Development and the Environment.Washington, D.C.: The World Bank, 1992.
World Resources Institute. 1992. in collaboration with the United NationsEnvironment Programme (UNEP) and the United NationsDevelopment Program (UNDP). World Resources 1992-93. NewYork: Oxford University Press.
Yolanda, W., Angreni, E., dan Yuniarto, A. 2007. Evaluasi PelayananPersampahan Dengan Optimasi Sistem Pengangkutan Sampah DiKota Mempawah Program Pascasarjana Jurusan Teknik Lingkungan,Surabaya: ITS.