12

Click here to load reader

Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

I. PENDAHULUAN

Puji syukur akhirnya UU Perbankan

Syariah yang merupakan inisiatif DPR

RI telah ditandatangani oleh

Presiden RI pada tanggal 16 Juli

2008, dengan nomor 21 Tahun

2008, setelah sebelumnya disahkan

dalam Rapat Paripurna DPR RI pada

tanggal 17 Juni 2008. Sebagaimana

diketahui kegiatan perbankan

syariah di Indonesia baru di mulai

sejak tahun 1992, dengan mulai

beroperasinya PT Bank Muamalat

Indonesia (yang didirikan pada tahun

1991 yang diprakarsai oleh Majelis

Ulama Indonesia dan Pemerintah).

Pengaturan mengenai perbankan

syariah pada waktu itu memang

masih sangat terbatas, dalam UU

No.7 Tahun 1992 tentang

Perbankan belum diatur secara tegas

mengenai perbankan syariah.

Dengan memperhatikan kebutuhan

pengaturan yang lebih jelas

mengenai perbankan syariah, maka

dalam amandemen UU Perbankan,

yaitu UU 10 Tahun 1998 tentang

perubahan UU No.7 Tahun 1992

tentang Perbankan, telah

diakomodir beberapa pengaturan

mengenai kegiatan perbankan

syariah, antara lain pengertian bank

mencakup bank syariah, pengertian

prinsip syariah, dan pembiayaan.

Setelah diakomodasinya Bank

Syariah pada Undang-Undang

Perbankan No. 10/1998, yang diikuti

dengan serangkaian langkah

kebijakan Bank Indonesia selaku

otoritas perbankan, baik dari segi

pengaturan, yaitu dengan

mengeluarkan berbagai peraturan

yang menyangkut perbankan

syariah, maupun dari sisi internal

Bank Indonesia yaitu dengan

membentuk direktorat tersendiri

yang menangani perbankan syariah,

membuka kemungkinan bank

konvensional untuk melakukan

kegiatan usaha syariah dengan

membentuk Unit Usaha Syariah

(UUS), maupun penyediaan sarana

pendukung, seperti Sertifikat

Wadiah Bank Indonesia, perbankan

syariah telah menunjukkan

pertumbuhan yang berarti.

Walaupun dalam beberapa tahun

terakhir perbankan syariah

menunjukkan peningkatan dari segi

total aset yaitu dari Rp 20.880 miliar

pada Desember 2005 menjadi Rp

36.538 miliar pada Desember 2007

atau meningkat 74,9%,

penghimpunan dana meningkat

79,7% dari Rp 15.582 miliar pada

Desember 2005 menjadi Rp 28.012

miliar pada Desember 2007

pembiayaan meningkat 83,4%,

dari Rp 15.232 miliar pada

Desember 2005 menjadi Rp 27.944

SEKILAS ULASAN UU PERBANKAN SYARIAH

Oleh: Arief R. Permana, S.H., M.H.1 dan Anton Purba, S.H., LL.M

2

Page 2: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

miliar pada Desember 2007, namun

apabila ditinjau dari pangsa total

aset perbankan syariah

dibandingkan perbankan

konvensional masih relatif kecil,

yaitu baru mencapai 1,84% atau

Rp36.538 miliar dibanding

Rp1.986.501 miliar pada Desember

2007.

Terdapat pandangan bahwa belum

berkembang pesatnya perbankan

syariah di Indonesia, antara lain

disebabkan oleh :

a. Sumber Daya Manusia yang

kompeten dan profesional

masih belum optimal;

b. Pemahaman masyarakat

terhadap perbankan Syariah

belum merata;

c. Jaringan kantor pelayanan dan

keuangan Syariah masih relatif

terbatas;

d. Belum didukung dengan

peraturan yang memadai

(dalam bentuk Undang-Undang

tersendiri yang terpisah dari

Undang-Undang Perbankan

konvensional);

e. Sinkronisasi kebijakan dengan

institusi pemerintah lainnya

berkaitan dengan transaksi

keuangan, khususnya

perpajakan belum maksimal.

Bank Indonesia berupaya untuk

mengatasi kendala-kendala yang

dihadapi sebatas kewenangan yang

dimiliki, antara lain dalam mengatasi

keterbatasan jaringan kantor

pelayanan Bank Syariah, Bank

Indonesia telah mengeluarkan PBI

No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari

2006 yang membolehkan bank

konvensional yang memiliki Unit

Usaha Syariah untuk membuka

layanan syariah pada kantor cabang

kovensional bank dimaksud. Melalui

kebijakan tersebut diharapkan

masalah jaringan pelayanan dan

keuangan Bank Syariah dapat diatasi

karena masyarakat dapat dilayani

dimana saja saat membutuhkan

layanan Bank Syariah.

Selain itu, untuk lebih memberikan

pemahaman kepada masyarakat

pada umumnya, maupun akademisi

dan kalangan perbankan pada

khususnya, Bank Indonesia secara

berkesinambungan melakukan

sosialisasi mengenai perbankan

syariah. Upaya untuk mengatasi

berbagai kendala tersebut, tentunya

tidak dapat dilakukan hanya oleh

otoritas perbankan saja, tetapi harus

dilakukan secara bersama-sama

dengan Pemerintah maupun DPR,

serta dukungan masyarakat.

Melihat begitu besarnya dorongan

dan dukungan dari masyarakat agar

disusun UU Perbankan Syariah yang

terpisah dari UU Perbankan

konvensional, DPR RI mengajukan

inisiatif penyusunan RUU Perbankan

Syariah, dan selanjutnya mendapat

tanggapan positif dari Pemerintah

Page 3: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

sehingga terbuka jalan untuk segera

menyelesaikan RUU Perbankan

Syariah, dan akhirnya setelah melalui

pembahasan intensif UU Perbankan

Syariah berhasil diselesaikan, dan

mulai diberlakukan per 16 Juli 2008,

menyusul telah diberlakukannya UU

No.19 Tahun 2008 tentang Surat

Berharga Syariah Negara pada 7 Mei

2008. Dukungan yang begitu besar

dari berbagai kalangan dapat dilihat

dari proses penyusunan dan

pembahasan Daftar Inventarisasi

Masalah RUU Perbankan Syariah

yang dapat diselesaikan dalam

waktu yang relatif singkat.

Dengan adanya dukungan

seperangkat aturan yang memadai

di bidang perbankan syariah, serta

semakin bertambahnya instrumen

keuangan syariah diharapkan akan

semakin menarik investor/pelaku

bisnis pada khususnya dan

masyarakat pada umumnya,

sehingga perkembangan ekonomi

syariah di Indonesia dapat

berkembang lebih baik lagi.

Terlebih-lebih di Indonesia yang

penduduknya mayoritas muslim,

memiliki potensi yang sangat besar

untuk mendukung berkembangnya

kegiatan ekonomi berdasarkan

prinsip syariah, termasuk perbankan

syariah. Hal ini mengingat di negara-

negara yang mayoritas non muslim

saja, seperti di Inggris, Jerman,

Amerika Serikat, dan Singapura,

kegiatan perbankan syariah pada

khususnya dan ekonomi syariah

pada umumnya banyak diterapkan

dan berkembang cukup baik.

Dengan demikian adalah keliru

persepsi yang menganggap bahwa

Bank Syariah hanya diperuntukan

bagi penduduk yang muslim. Dalam

praktiknya Bank Syariah adalah

merupakan pilihan bagi masyarakat

dalam memilih layanan perbankan

dan tidak ada peraturan perundang-

undangan yang membatasi

pelayanan Bank Syariah hanya untuk

penduduk yang beragama muslim

saja. Pada kenyataannya memang

terdapat banyak kalangan non

muslim yang menjadi nasabah Bank

Syariah.

II. MATERI UU PERBANKAN

SYARIAH

Dengan telah diberlakukannya UU

tentang Perbankan Syariah, maka

terdapat 2 (dua) UU yang mengatur

perbankan di Indonesia, yaitu UU

No.7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 10 Tahun

1998, dan UU No. 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah.

Walaupun telah terdapat 2 (dua) UU

yang masing-masing mengatur bank

berdasarkan prinsip syariah dan

bank konvensional, namun dalam

masa peralihan ini masih dikenal

Unit Usaha Syariah, yang membuka

kesempatan bagi bank konvensional

untuk melakukan kegiatan bank

Page 4: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

berdasarkan prinsip syariah. Hal ini

menyebabkan bank konvensional di

satu sisi tunduk pada UU Perbankan

(bagi kantor bank yang beroperasi

secara konvensional), dan di sisi lain

tunduk pada UU Perbankan Syariah

(bagi UUS dan KC Syariah dari bank

konvensional dimaksud).

Pada umumnya sistematika

pengaturan UU Perbankan Syariah

sama dengan UU Perbankan, yaitu

antara lain meliputi azas, tujuan dan

fungsi; perizinan, bentuk badan

hukum; jenis dan kegiatan usaha;

rahasia bank; pembinaan dan

pengawasan; dengan beberapa

perbedaan prinsip di dalamnya

khususnya yang menyangkut aspek

syariah, di samping itu terdapat

beberapa pengaturan baru yaitu

mengenai tata kelola, prinsip kehati-

hatian, dan pengelolaan risiko;

penyelesaian sengketa; Komite

Perbankan Syariah; self liquidation,

serta perluasan kewenangan

pengawasan Bank Indonesia,

dengan ulasan singkat sebagai

berikut:

Asas, Tujuan dan Fungsi

Perbankan Syariah dalam melakukan

kegiatan usahanya berasaskan

Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi,

dan prinsip kehati-hatian (Pasal 2).

Berbeda dengan UU Perbankan,

pengaturan yang menyangkut asas

ini, lebih menekankan pada frasa

“berasaskan Prinsip Syariah” . Hal

tersebut sesuai dengan karakteristik

dari perbankan syariah. Adapun

yang dimaksud dengan Prinsip

Syariah dalam hal ini adalah prinsip

hukum Islam dalam kegiatan

perbankan berdasarkan fatwa yang

dikeluarkan oleh lembaga yang

memiliki kewenangan dalam

penetapan fatwa di bidang syariah

(Pasal 1 angka 12), dan lembaga

yang memiliki kewenangan tersebut

adalah Majelis Ulama Indonesia yang

berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di

Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan

atau musyawarah para ulama,

cendekiawan dan zu’ama yang

datang dari berbagai penjuru tanah

air.

Jika UU Perbankan konvensional

tujuannya lebih ditekankan untuk

meningkatkan pemerataan,

pertumbuhan ekonomi, dan

stabilitas nasional, maka dalam UU

Perbankan Syariah tujuannya lebih

ditekankan untuk meningkatkan

keadilan, kebersamaan, dan

pemerataan kesejahteraan rakyat.

Hal ini sesuai dengan prinsip

ekonomi syariah yang menekankan

pada aspek kesatuan (unity),

keseimbangan (equilibrium),

kebebasan (free will), dan tanggung

jawab (responsibility).

Sama halnya dengan bank

(konvensional), fungsi pokok bank

syariah adalah menghimpun dan

Page 5: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

menyalurkan dana masyarakat atau

melaksanakan fungsi intermediasi.

Di samping fungsi tersebut, bank

syariah (dan UUS) mempunyai

kekhususan, yaitu dapat

menjalankan fungsi sosial dalam

bentuk lembaga baitul mal, yaitu

menerima dana yang berasal dari

zakat, infak, sedekah, hibah atau

dana sosial lainnya dan

menyalurkannya kepada organisasi

pengelola zakat. Selain itu juga

dapat menghimpun dana sosial yang

berasal dari wakaf uang dan

menyalurkannya kepada pengelola

wakaf (nazhir) sesuai kehendak

pemberi wakaf (wakif).

Perizinan dan bentuk badan

hukum

Untuk dapat melakukan kegiatan

usaha sebagai bank tentunya harus

memperoleh izin terlebih dahulu dari

otoritas yang berwenang, dalam hal

ini Bank Indonesia. Berkaitan dengan

hal tersebut, terdapat 2 (dua) rezim

pengaturan yang menyangkut

perizinan bank, yaitu yang diatur

dalam bab mengenai perizinan, yang

berlaku bagi setiap pihak yang

melakukan kegiatan usaha Bank

Syariah atau UUS wajib terlebih

dahulu memperoleh izin usaha dari

Bank Indonesia (Pasal 5), dan dalam

bab mengenai kegiatan usaha, yang

berlaku bagi pihak yang melakukan

kegiatan penghimpunan dana dalam

bentuk simpanan atau investasi

(Pasal 22). Pengaturan mengenai

perizinan atas kegiatan

penghimpunan dana masyarakat

lebih dimaksudkan untuk mencegah

penghimpunan dana tanpa izin

(umumnya disebut sebagai “bank

gelap” ), kecuali kegiatan

penghimpunan dana tersebut diatur

dengan UU tersendiri, seperti UU

Asuransi, UU Koperasi, dan UU Dana

Pensiun. Hal tersebut menunjukkan

bahwa pembentuk Undang-Undang

menyadari betapa pentingnya UU

memberikan perlindungan terhadap

kegiatan penghimpunan dana

masyarakat yang dimaksudkan

untuk melindungi kepentingan

masyarakat yang memiliki dana. Hal

tersebut juga dimaksudkan untuk

menjaga kepercayaan masyarakat

terhadap lembaga perbankan

sebagai lembaga yang didasarkan

pada asas kepercayaan. Atas

pelanggaran kedua ketentuan

tersebut diancam dengan sanksi

yang sama, yang diatur dalam Pasal

59. Sementara dalam UU Perbankan

konvensional materi yang

menyangkut izin usaha bank hanya

berkaitan dengan penghimpunan

dana (Pasal 16).

Berbeda halnya dengan bentuk

badan hukum bank yang selama ini

dikenal (berdasarkan UU Perbankan

konvensional) yaitu berupa PT,

Koperasi, atau Perusahaan Daerah,

dalam UU Perbankan Syariah hanya

mengenal bentuk badan hukum

Page 6: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

Perseroan Terbatas (Pasal 7). Dalam

hal ini, badan hukum PT bank

tersebut selain tunduk pada aturan

dalam UU No.40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas, juga

tunduk pada UU Perbankan Syariah,

hal ini sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 4 UU PT yang

menegaskan bahwa terhadap

perseroan berlaku UU Perseroan

Terbatas, anggaran dasar perseroan,

dan ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya,

termasuk peraturan perbankan.

Dengan bentuk badan hukum

berupa PT, diharapkan Bank Syariah

dapat lebih mudah dalam memenuhi

ketentuan di bidang perbankan,

antara lain dalam hal penambahan

modal mengingat dalam perseroan

terbatas dikenal prinsip one share

one vote, sehingga lebih mudah

dalam mengambil keputusan

dibandingkan dengan badan hukum

lain, misalnya koperasi yang

menganut prinsip one man one

vote. Selain itu, penyelenggaraan

Rapat Umum Pemegang Saham juga

relatif lebih gampang dibandingkan

penyelenggaraan Rapat Anggota

pada koperasi.

Jenis dan Kegiatan Usaha

Pembagian jenis bank dalam

perbankan syariah dibedakan

menjadi bank umum dan Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS),

dengan perbedaan pokok BPRS

dilarang menerima simpanan berupa

giro dan ikut serta dalam lalu lintas

pembayaran. Pembagian jenis bank

tersebut pada prinsipnya sama

dengan perbankan konvensional.

Kegiatan usaha perbankan syariah,

khususnya menyangkut produk dan

jasa yang ditawarkan, pada

prinsipnya memiliki cakupan yang

relatif lebih luas (bersifat universal

banking) dibandingkan dengan yang

ditawarkan perbankan konvensional,

karena selain melakukan kegiatan

usaha seperti halnya bank

konvensional, bank syariah juga

menawarkan jasa yang umumnya

dijalankan oleh lembaga

pembiayaan, seperti jasa leasing,

serta pembiayaan bagi hasil yang

umumnya ditawarkan oleh lembaga

investasi, semacam modal ventura.

Kegiatan usaha perbankan syariah,

produk, serta jasanya wajib tunduk

pada Prinsip Syariah, dalam hal ini

fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis

Ulama Indonesia. Fatwa dimaksud

diimplementasikan menjadi

ketentuan perbankan melalui

Peraturan Bank Indonesia. Fatwa

dimaksud perlu diimplementasikan

melalui PBI mengingat fatwa yang

dikeluarkan oleh MUI bersifat umum

(misalnya menyangkut transaksi

keuangan), sehingga perlu

diterjemahkan kedalam peraturan

yang bersifat khusus (perbankan).

Dalam rangka penyusunan PBI

Page 7: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

dimaksud, UU mengamanatkan

Bank Indonesia untuk membentuk

Komite Perbankan Syariah yang

anggotanya berasal dari Bank

Indonesia, Departemen Agama, dan

masyarakat, yang memiliki keahlian

di bidang syariah. Jumlahnya paling

banyak 11 (sebelas) orang dengan

komposisi yang seimbang.

Pemilik dan Pengurus Bank

UU Perbankan Syariah menegaskan

bahwa ketentuan mengenai syarat,

jumlah, tugas, kewenangan,

tanggung jawab, serta hal lain yang

menyangkut dewan komisaris dan

direksi Bank Syariah diatur dalam

anggaran dasar Bank Syariah (pasal

28). Selanjutnya ditegaskan bahwa

salah satu dari jajaran direksi

tersebut berperan sebagai direktur

yang bertugas untuk memastikan

kepatuhan Bank Syariah terhadap

pelaksanaan ketentuan Bank

Indonesia dan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Demikian pentingnya sumber daya

manusia di bidang perbankan, UU

ini juga mengatur mengenai uji

kemampuan dan kepatutan bagi

pengurus bank (Pasal 30), dan

pemegang saham pengendali (Pasal

27). Pengaturan tersebut diperlukan

mengingat perbankan sebagai

lembaga kepercayaan masyarakat

perlu dikelola oleh pengurus yang

mempunyai

kemampuan/kompetensi dan

kepatutan/integritas, serta dimiliki

oleh pemegang saham yang

mempunyai

kemampuan/kompetensi dan

kepatutan/integritas. Dengan

demikian tidak setiap orang dapat

menjadi pengurus atau pemilik

bank, hanya mereka yang telah lulus

uji kemampuan dan kepatutanlah

yang berhak.

Di samping Dewan Komisaris dan

Direksi, UU ini juga mewajibkan

dibentuknya Dewan Pengawas

Syariah di setiap Bank Syariah dan

Bank Umum konvensional yang

memiliki UUS, dengan tugas antara

lain memberikan nasihat dan saran

kepada direksi serta mengawasi

kegiatan bank agar sesuai dengan

prinsip syariah (pasal 32). Dewan

Pengawas Syariah tersebut diangkat

oleh Rapat Umum Pemegang Saham

atas rekomendasi Majelis Ulama

Indonesia.

Rahasia Bank

Rahasia bank merupakan hal

penting dalam dunia perbankan,

dan berlaku umum di seluruh

negara. Pengaturan mengenai

rahasia bank pada umumnya sama

dengan UU Perbankan konvensional,

yang wajib dirahasiakan adalah

segala sesuatu yang berhubungan

dengan keterangan mengenai

nasabah dan simpanannya,

kewajiban tersebut berlaku bagi

Page 8: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

bank dan pihak terafiliasi. Beberapa

pengaturan mengenai rahasia bank

dalam UU Perbankan Syariah yang

agak berlainan dengan UU

Perbankan konvensional, antara lain:

1) Tidak diaturnya pengecualian

rahasia bank untuk kepentingan

piutang yang sudah diserahkan

kepada BUPLN/PUPN, seperti

halnya yang diatur dalam UU

Perbankan konvensional. Dengan

demikian pengecualian rahasia

bank yang dapat dimintakan

izinnya ke BI terbatas hanya

untuk kepentingan perpajakan,

dan kepentingan peradilan

dalam perkara pidana. Di

samping itu terdapat

pengecualian lainnya yang tidak

memerlukan izin dari BI, yaitu

dalam perkara perdata antara

bank dengan nasabahnya, dalam

rangka tukar menukar informasi

antar bank, dan atas permintaan,

persetujuan atau kuasa dari

nasabah, serta bagi ahli waris

yang sah dalam hal nasabah

telah meninggal dunia.

2) Pengaturan mengenai penyidik

diperluas, tidak hanya terbatas

pada jaksa atau polisi, tetapi

berlaku juga bagi penyidik lain

yang diberi wewenang

berdasarkan UU (Pasal 43).

Dengan demikian para penyidik

di luar polisi atau jaksa dapat

meminta keterangan mengenai

rahasia bank, namun permintaan

tersebut tetap diajukan oleh

pimpinan instansi/departemen

atau setingkat menteri. Hal

tersebut menunjukkan sikap

masih dipertahankannya sifat

kerahasiaan bank, walaupun

diperluas kepada penyidik diluar

polisi atau jaksa, tetapi hanya

tingkat pimpinan

instansi/departemen yang dapat

mengajukan permintaan izin

dimaksud.

Pembinaan dan Pengawasan

Bank

Bank merupakan suatu lembaga

kepercayaan yang dalam melakukan

kegiatan usahanya sebagian besar

menggunakan dana masyarakat

Oleh karena itu untuk menjaga

kelangsungan usahanya, dan

menjamin kestabilan sistem

perbankan secara keseluruhan,

maka terhadap lembaga perbankan

perlu dilakukan pengawasan oleh

otoritas perbankan yaitu Bank

Indonesia. Pengaturan mengenai

pembinaan dan pengawasan bank

secara umum hampir sama dengan

UU Perbankan konvensional, antara

lain menyangkut kewajiban bank

untuk memelihara tingkat

kesehatan, kewajiban untuk

menyampaikan segala keterangan

mengenai usahanya kepada Bank

Indonesia, dan kewajiban untuk

memberikan kesempatan bagi

pemeriksaan buku-buku dan berkas-

Page 9: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

berkas atas permintaan Bank

Indonesia. Di samping itu diatur pula

penugasan kepada kantor akuntan

publik atau pihak lain untuk

melakukan pemeriksaan, serta

beberapa kewenangan Bank

Indonesia untuk melakukan tindakan

dalam rangka tindak lanjut

pengawasan. Pengaturan yang

relatif baru adalah pemberian

kewenangan kepada Bank Indonesia

dalam rangka melaksanakan tugas

pengawasan bank (pasal 52 ayat

(3)), yaitu kewenangan untuk:

- Memeriksa dan mengambil

data/dokumen dari setiap tempat

yang terkait dengan bank;

- Memeriksa dan mengambil

data/dokumen dan keterangan

dari setiap pihak yang menurut

penilaian BI memiliki pengaruh

terhadap bank;

- Memerintahkan bank melakukan

pemblokiran rekening tertentu.

Pengaturan yang relatif baru lainnya

adalah mengenai pencabutan izin

usaha bank atas permintaan sendiri

(self liquidation). Dalam rangka

mengantisipasi adanya permintaan

pencabutan izin usaha bank atas

permohonan pemegang saham,

telah diakomodir pasal yang

mengatur mengenai hal tersebut

sebagai payung hukum (Pasal 54

ayat (4)). Ketentuan seperti ini belum

diatur dalam UU Perbankan

konvensional. Pengaturan mengenai

pencabutan izin usaha atas

permintaan sendiri sejalan dengan

UU LPS yang membuka

kemungkinan pencabutan izin usaha

atas permintaan pemegang saham.

Dalam hal ini LPS tidak membayar

klaim penjaminan nasabah

penyimpan, karena penyelesaian

seluruh kewajiban bank merupakan

tanggung jawab bank yang

bersangkutan. Oleh karena itu,

pengajuan pencabutan izin usaha

atas permintaan sendiri hanya dapat

diajukan bank kepada Bank

Indonesia setelah bank dimaksud

menyelesaikan seluruh kewajibannya

kepada nasabahnya.

Penyelesaian Sengketa

Hubungan bank dengan nasabah

pada umumnya merupakan

hubungan keperdataan. Jalinan

hubungan tersebut, dalam

praktiknya tidak selalu berjalan

mulus, bisa saja timbul

ketidaksepahaman atau sengketa

diantara keduanya. Dalam hal terjadi

sengketa yang menyangkut

perbankan syariah, maka

penyelesaian sengketa tersebut pada

prinsipnya dilakukan oleh

pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama (Pasal 55), namun

apabila para pihak telah

memperjanjikan lain, penyelesaian

sengketa dilakukan sesuai dengan isi

perjanjian. Dengan demikian

sengketa perbankan syariah selain

penyelesaiannya dapat dilakukan

Page 10: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

melalui Peradilan Agama (sesuai UU

No.3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Atas UU No.7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama),

bisa juga memilih penyelesaian

sengketa melalui musyawarah,

mediasi perbankan, Basyarnas, atau

peradilan umum. Namun, Undang-

Undang mensyaratkan bahwa

penyelesaian sengketa di luar

Peradilan Agaman tetap harus

dilakukan dengan berpedoman pada

Prinsip Syariah.

Sanksi

Pengaturan sanksi dibedakan antara

sanksi administratif dan sanksi

pidana, dengan pola pengaturan

umumnya hampir sama dengan UU

Perbankan (konvensional).

Pengaturan sanksi yang relatif baru

(Pasal 66) dalam hal ini adalah sanksi

pidana bagi direksi atau pegawai

Bank Syariah atau UUS yang dengan

sengaja:

� Melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan UU ini dan

perbuatan tersebut telah

mengakibatkan kerugian bagi

bank;

� Menghalangi pemeriksaan atau

tidak membantu pemeriksaan

yang dilakukan oleh dewan

komisaris atau kantor akuntan

publik;

� Memberikan penyaluran dana

atau fasilitas penjaminan dengan

melanggar ketentuan yang

berlaku;

� Tidak melakukan langkah-

langkah yang diperlukan untuk

memastikan ketaatan bank

terhadap ketentuan Batas

Maksimum Pemberian

Penyaluran Dana;

diancam dengan pidana penjara 1

tahun - 5 tahun, dan pidana denda

antara Rp1 miliar - Rp5 miliar.

Pengaturan mengenai pemidanaan

atau kriminalisasi terhadap

pelanggaran Batas Maksimum

Pemberian Penyaluran Dana

(BMPPD) tidak dikenakan secara

langsung, sama seperti halnya dalam

perbankan konvensional yang

menerapkan Pasal 49 ayat (2) untuk

menjaring pelanggaran BMPK, yaitu

apabila bank tidak melakukan

langkah-langkah yang diperlukan

untuk memastikan ketaatan bank

terhadap ketentuan dalam UU

Perbankan, dan ketentuan

perundang-undangan lainnya yang

berlaku bagi bank. Dengan demikian

diberikan kesempatan bagi bank

untuk melakukan perbaikan/koreksi

atas pelanggaran BMPK, hal ini

mengingat terjadinya pelanggaran

BMPK tidak selalu diketahui secara

langsung pada saat pemberian

kredit, tetapi bisa saja baru diketahui

di kemudian hari.

Adanya pengaturan sanksi tersebut

diharapkan dapat lebih

mempertegas ancaman terhadap

Page 11: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

norma-norma yang telah ditetapkan,

yang seharusnya dipatuhi oleh

direksi maupun pegawai bank.

Ketentuan Peralihan

Dalam Aturan Peralihan telah diatur

mengenai batasan UUS beralih

menjadi Bank Umum Syariah,

mengingat UUS hanya bersifat

sementara, yaitu :

(1) Dalam hal Bank Umum

Konvensional memiliki UUS yang

nilai asetnya telah mencapai

paling sedikit 50% (lima puluh

persen) dari total nilai aset bank

induknya, maka Bank Umum

Konvensional dimaksud wajib

melakukan Pemisahan UUS

tersebut menjadi Bank Umum

Syariah; atau

(2) 15 (lima belas) tahun sejak

berlakunya Undang-Undang

Perbankan Syariah, maka Bank

Umum Konvensional yang

memiliki UUS wajib melakukan

Pemisahan UUS yang dimilikinya

menjadi Bank Umum Syariah.

Semangat dari pengaturan tersebut

adalah untuk menciptakan

perbankan syariah yang murni di

masa depan, sehingga kelak tidak

dikenal lagi sistem campuran antara

bank syariah dengan bank

konvensional. Pengaturan lebih

lanjut mengenai peralihan tersebut

akan diatur dalam PBI. Guna

mendukung efektivitas pengaturan

tersebut, maka dalam PBI mengenai

hal tersebut perlu dibuat secara

tegas pengaturan persyaratan dan

tata cara peralihan dari UUS menjadi

Bank Umum Syariah, serta sanksi

bagi yang melanggar, di samping itu

hal terpenting adalah penegakan

hukum atas aturan tersebut.

PENUTUP

1. Dengan telah disahkannya RUU

Perbankan Syariah menjadi UU,

maka amanat UU tentang + 25

pengaturan lebih lanjut dalam

PBI perlu segera disiapkan

penyusunannya, termasuk di

dalamnya penyesuaian beberapa

PBI yang berlaku saat ini dengan

materi UU Perbankan Syariah.

2. Untuk lebih memberikan

pemahaman yang memadai

kepada perbankan dan

masyarakat umum sebagai

pengguna, maka sosialisasi UU

Perbankan Syariah dan peraturan

pelaksanaannya perlu dilakukan

secara efektif, baik melalui

seminar/ lokakarya maupun

melalui media masa.

3. Dengan telah diberlakukannya

UU Perbankan Syariah yang

merupakan landasan hukum bagi

kegiatan perbankan syariah di

Indonesia, maka diharapkan

dapat mendorong

perkembangan perbankan

syariah, khususnya dalam

peningkatan pelayanan

Page 12: Sekilas UU Perbankan Syariah - storage.jak-stik.ac.idstorage.jak-stik.ac.id/.../BankIndonesia/...UU_Perbankan_Syariah1.pdf · rahasia bank; pembinaan dan pengawasan; dengan beberapa

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008

perbankan baik dari sisi jumlah

bank maupun jaringan

pelayanan, sehingga peranan

perbankan syariah sebagai salah

satu pilihan di samping

perbankan konvensional, dapat

meningkat dengan pangsa yang

cukup signifikan dibanding

perbankan konvensional.

4. Dengan terdapatnya beberapa

perbedaan pengaturan antara

perbankan syariah dengan

perbankan konvensional, maka

UU Perbankan konvensional

perlu dilakukan perubahan, agar

tidak menimbulkan kerancuan

dalam pelaksanaannya.