Click here to load reader
Upload
phamtuyen
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
I. PENDAHULUAN
Puji syukur akhirnya UU Perbankan
Syariah yang merupakan inisiatif DPR
RI telah ditandatangani oleh
Presiden RI pada tanggal 16 Juli
2008, dengan nomor 21 Tahun
2008, setelah sebelumnya disahkan
dalam Rapat Paripurna DPR RI pada
tanggal 17 Juni 2008. Sebagaimana
diketahui kegiatan perbankan
syariah di Indonesia baru di mulai
sejak tahun 1992, dengan mulai
beroperasinya PT Bank Muamalat
Indonesia (yang didirikan pada tahun
1991 yang diprakarsai oleh Majelis
Ulama Indonesia dan Pemerintah).
Pengaturan mengenai perbankan
syariah pada waktu itu memang
masih sangat terbatas, dalam UU
No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan belum diatur secara tegas
mengenai perbankan syariah.
Dengan memperhatikan kebutuhan
pengaturan yang lebih jelas
mengenai perbankan syariah, maka
dalam amandemen UU Perbankan,
yaitu UU 10 Tahun 1998 tentang
perubahan UU No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan, telah
diakomodir beberapa pengaturan
mengenai kegiatan perbankan
syariah, antara lain pengertian bank
mencakup bank syariah, pengertian
prinsip syariah, dan pembiayaan.
Setelah diakomodasinya Bank
Syariah pada Undang-Undang
Perbankan No. 10/1998, yang diikuti
dengan serangkaian langkah
kebijakan Bank Indonesia selaku
otoritas perbankan, baik dari segi
pengaturan, yaitu dengan
mengeluarkan berbagai peraturan
yang menyangkut perbankan
syariah, maupun dari sisi internal
Bank Indonesia yaitu dengan
membentuk direktorat tersendiri
yang menangani perbankan syariah,
membuka kemungkinan bank
konvensional untuk melakukan
kegiatan usaha syariah dengan
membentuk Unit Usaha Syariah
(UUS), maupun penyediaan sarana
pendukung, seperti Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia, perbankan
syariah telah menunjukkan
pertumbuhan yang berarti.
Walaupun dalam beberapa tahun
terakhir perbankan syariah
menunjukkan peningkatan dari segi
total aset yaitu dari Rp 20.880 miliar
pada Desember 2005 menjadi Rp
36.538 miliar pada Desember 2007
atau meningkat 74,9%,
penghimpunan dana meningkat
79,7% dari Rp 15.582 miliar pada
Desember 2005 menjadi Rp 28.012
miliar pada Desember 2007
pembiayaan meningkat 83,4%,
dari Rp 15.232 miliar pada
Desember 2005 menjadi Rp 27.944
SEKILAS ULASAN UU PERBANKAN SYARIAH
Oleh: Arief R. Permana, S.H., M.H.1 dan Anton Purba, S.H., LL.M
2
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
miliar pada Desember 2007, namun
apabila ditinjau dari pangsa total
aset perbankan syariah
dibandingkan perbankan
konvensional masih relatif kecil,
yaitu baru mencapai 1,84% atau
Rp36.538 miliar dibanding
Rp1.986.501 miliar pada Desember
2007.
Terdapat pandangan bahwa belum
berkembang pesatnya perbankan
syariah di Indonesia, antara lain
disebabkan oleh :
a. Sumber Daya Manusia yang
kompeten dan profesional
masih belum optimal;
b. Pemahaman masyarakat
terhadap perbankan Syariah
belum merata;
c. Jaringan kantor pelayanan dan
keuangan Syariah masih relatif
terbatas;
d. Belum didukung dengan
peraturan yang memadai
(dalam bentuk Undang-Undang
tersendiri yang terpisah dari
Undang-Undang Perbankan
konvensional);
e. Sinkronisasi kebijakan dengan
institusi pemerintah lainnya
berkaitan dengan transaksi
keuangan, khususnya
perpajakan belum maksimal.
Bank Indonesia berupaya untuk
mengatasi kendala-kendala yang
dihadapi sebatas kewenangan yang
dimiliki, antara lain dalam mengatasi
keterbatasan jaringan kantor
pelayanan Bank Syariah, Bank
Indonesia telah mengeluarkan PBI
No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari
2006 yang membolehkan bank
konvensional yang memiliki Unit
Usaha Syariah untuk membuka
layanan syariah pada kantor cabang
kovensional bank dimaksud. Melalui
kebijakan tersebut diharapkan
masalah jaringan pelayanan dan
keuangan Bank Syariah dapat diatasi
karena masyarakat dapat dilayani
dimana saja saat membutuhkan
layanan Bank Syariah.
Selain itu, untuk lebih memberikan
pemahaman kepada masyarakat
pada umumnya, maupun akademisi
dan kalangan perbankan pada
khususnya, Bank Indonesia secara
berkesinambungan melakukan
sosialisasi mengenai perbankan
syariah. Upaya untuk mengatasi
berbagai kendala tersebut, tentunya
tidak dapat dilakukan hanya oleh
otoritas perbankan saja, tetapi harus
dilakukan secara bersama-sama
dengan Pemerintah maupun DPR,
serta dukungan masyarakat.
Melihat begitu besarnya dorongan
dan dukungan dari masyarakat agar
disusun UU Perbankan Syariah yang
terpisah dari UU Perbankan
konvensional, DPR RI mengajukan
inisiatif penyusunan RUU Perbankan
Syariah, dan selanjutnya mendapat
tanggapan positif dari Pemerintah
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
sehingga terbuka jalan untuk segera
menyelesaikan RUU Perbankan
Syariah, dan akhirnya setelah melalui
pembahasan intensif UU Perbankan
Syariah berhasil diselesaikan, dan
mulai diberlakukan per 16 Juli 2008,
menyusul telah diberlakukannya UU
No.19 Tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara pada 7 Mei
2008. Dukungan yang begitu besar
dari berbagai kalangan dapat dilihat
dari proses penyusunan dan
pembahasan Daftar Inventarisasi
Masalah RUU Perbankan Syariah
yang dapat diselesaikan dalam
waktu yang relatif singkat.
Dengan adanya dukungan
seperangkat aturan yang memadai
di bidang perbankan syariah, serta
semakin bertambahnya instrumen
keuangan syariah diharapkan akan
semakin menarik investor/pelaku
bisnis pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya,
sehingga perkembangan ekonomi
syariah di Indonesia dapat
berkembang lebih baik lagi.
Terlebih-lebih di Indonesia yang
penduduknya mayoritas muslim,
memiliki potensi yang sangat besar
untuk mendukung berkembangnya
kegiatan ekonomi berdasarkan
prinsip syariah, termasuk perbankan
syariah. Hal ini mengingat di negara-
negara yang mayoritas non muslim
saja, seperti di Inggris, Jerman,
Amerika Serikat, dan Singapura,
kegiatan perbankan syariah pada
khususnya dan ekonomi syariah
pada umumnya banyak diterapkan
dan berkembang cukup baik.
Dengan demikian adalah keliru
persepsi yang menganggap bahwa
Bank Syariah hanya diperuntukan
bagi penduduk yang muslim. Dalam
praktiknya Bank Syariah adalah
merupakan pilihan bagi masyarakat
dalam memilih layanan perbankan
dan tidak ada peraturan perundang-
undangan yang membatasi
pelayanan Bank Syariah hanya untuk
penduduk yang beragama muslim
saja. Pada kenyataannya memang
terdapat banyak kalangan non
muslim yang menjadi nasabah Bank
Syariah.
II. MATERI UU PERBANKAN
SYARIAH
Dengan telah diberlakukannya UU
tentang Perbankan Syariah, maka
terdapat 2 (dua) UU yang mengatur
perbankan di Indonesia, yaitu UU
No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 10 Tahun
1998, dan UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
Walaupun telah terdapat 2 (dua) UU
yang masing-masing mengatur bank
berdasarkan prinsip syariah dan
bank konvensional, namun dalam
masa peralihan ini masih dikenal
Unit Usaha Syariah, yang membuka
kesempatan bagi bank konvensional
untuk melakukan kegiatan bank
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
berdasarkan prinsip syariah. Hal ini
menyebabkan bank konvensional di
satu sisi tunduk pada UU Perbankan
(bagi kantor bank yang beroperasi
secara konvensional), dan di sisi lain
tunduk pada UU Perbankan Syariah
(bagi UUS dan KC Syariah dari bank
konvensional dimaksud).
Pada umumnya sistematika
pengaturan UU Perbankan Syariah
sama dengan UU Perbankan, yaitu
antara lain meliputi azas, tujuan dan
fungsi; perizinan, bentuk badan
hukum; jenis dan kegiatan usaha;
rahasia bank; pembinaan dan
pengawasan; dengan beberapa
perbedaan prinsip di dalamnya
khususnya yang menyangkut aspek
syariah, di samping itu terdapat
beberapa pengaturan baru yaitu
mengenai tata kelola, prinsip kehati-
hatian, dan pengelolaan risiko;
penyelesaian sengketa; Komite
Perbankan Syariah; self liquidation,
serta perluasan kewenangan
pengawasan Bank Indonesia,
dengan ulasan singkat sebagai
berikut:
Asas, Tujuan dan Fungsi
Perbankan Syariah dalam melakukan
kegiatan usahanya berasaskan
Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi,
dan prinsip kehati-hatian (Pasal 2).
Berbeda dengan UU Perbankan,
pengaturan yang menyangkut asas
ini, lebih menekankan pada frasa
“berasaskan Prinsip Syariah” . Hal
tersebut sesuai dengan karakteristik
dari perbankan syariah. Adapun
yang dimaksud dengan Prinsip
Syariah dalam hal ini adalah prinsip
hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah
(Pasal 1 angka 12), dan lembaga
yang memiliki kewenangan tersebut
adalah Majelis Ulama Indonesia yang
berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang
datang dari berbagai penjuru tanah
air.
Jika UU Perbankan konvensional
tujuannya lebih ditekankan untuk
meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional, maka dalam UU
Perbankan Syariah tujuannya lebih
ditekankan untuk meningkatkan
keadilan, kebersamaan, dan
pemerataan kesejahteraan rakyat.
Hal ini sesuai dengan prinsip
ekonomi syariah yang menekankan
pada aspek kesatuan (unity),
keseimbangan (equilibrium),
kebebasan (free will), dan tanggung
jawab (responsibility).
Sama halnya dengan bank
(konvensional), fungsi pokok bank
syariah adalah menghimpun dan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
menyalurkan dana masyarakat atau
melaksanakan fungsi intermediasi.
Di samping fungsi tersebut, bank
syariah (dan UUS) mempunyai
kekhususan, yaitu dapat
menjalankan fungsi sosial dalam
bentuk lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari
zakat, infak, sedekah, hibah atau
dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada organisasi
pengelola zakat. Selain itu juga
dapat menghimpun dana sosial yang
berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola
wakaf (nazhir) sesuai kehendak
pemberi wakaf (wakif).
Perizinan dan bentuk badan
hukum
Untuk dapat melakukan kegiatan
usaha sebagai bank tentunya harus
memperoleh izin terlebih dahulu dari
otoritas yang berwenang, dalam hal
ini Bank Indonesia. Berkaitan dengan
hal tersebut, terdapat 2 (dua) rezim
pengaturan yang menyangkut
perizinan bank, yaitu yang diatur
dalam bab mengenai perizinan, yang
berlaku bagi setiap pihak yang
melakukan kegiatan usaha Bank
Syariah atau UUS wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha dari
Bank Indonesia (Pasal 5), dan dalam
bab mengenai kegiatan usaha, yang
berlaku bagi pihak yang melakukan
kegiatan penghimpunan dana dalam
bentuk simpanan atau investasi
(Pasal 22). Pengaturan mengenai
perizinan atas kegiatan
penghimpunan dana masyarakat
lebih dimaksudkan untuk mencegah
penghimpunan dana tanpa izin
(umumnya disebut sebagai “bank
gelap” ), kecuali kegiatan
penghimpunan dana tersebut diatur
dengan UU tersendiri, seperti UU
Asuransi, UU Koperasi, dan UU Dana
Pensiun. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pembentuk Undang-Undang
menyadari betapa pentingnya UU
memberikan perlindungan terhadap
kegiatan penghimpunan dana
masyarakat yang dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan
masyarakat yang memiliki dana. Hal
tersebut juga dimaksudkan untuk
menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga perbankan
sebagai lembaga yang didasarkan
pada asas kepercayaan. Atas
pelanggaran kedua ketentuan
tersebut diancam dengan sanksi
yang sama, yang diatur dalam Pasal
59. Sementara dalam UU Perbankan
konvensional materi yang
menyangkut izin usaha bank hanya
berkaitan dengan penghimpunan
dana (Pasal 16).
Berbeda halnya dengan bentuk
badan hukum bank yang selama ini
dikenal (berdasarkan UU Perbankan
konvensional) yaitu berupa PT,
Koperasi, atau Perusahaan Daerah,
dalam UU Perbankan Syariah hanya
mengenal bentuk badan hukum
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
Perseroan Terbatas (Pasal 7). Dalam
hal ini, badan hukum PT bank
tersebut selain tunduk pada aturan
dalam UU No.40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, juga
tunduk pada UU Perbankan Syariah,
hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 4 UU PT yang
menegaskan bahwa terhadap
perseroan berlaku UU Perseroan
Terbatas, anggaran dasar perseroan,
dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya,
termasuk peraturan perbankan.
Dengan bentuk badan hukum
berupa PT, diharapkan Bank Syariah
dapat lebih mudah dalam memenuhi
ketentuan di bidang perbankan,
antara lain dalam hal penambahan
modal mengingat dalam perseroan
terbatas dikenal prinsip one share
one vote, sehingga lebih mudah
dalam mengambil keputusan
dibandingkan dengan badan hukum
lain, misalnya koperasi yang
menganut prinsip one man one
vote. Selain itu, penyelenggaraan
Rapat Umum Pemegang Saham juga
relatif lebih gampang dibandingkan
penyelenggaraan Rapat Anggota
pada koperasi.
Jenis dan Kegiatan Usaha
Pembagian jenis bank dalam
perbankan syariah dibedakan
menjadi bank umum dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS),
dengan perbedaan pokok BPRS
dilarang menerima simpanan berupa
giro dan ikut serta dalam lalu lintas
pembayaran. Pembagian jenis bank
tersebut pada prinsipnya sama
dengan perbankan konvensional.
Kegiatan usaha perbankan syariah,
khususnya menyangkut produk dan
jasa yang ditawarkan, pada
prinsipnya memiliki cakupan yang
relatif lebih luas (bersifat universal
banking) dibandingkan dengan yang
ditawarkan perbankan konvensional,
karena selain melakukan kegiatan
usaha seperti halnya bank
konvensional, bank syariah juga
menawarkan jasa yang umumnya
dijalankan oleh lembaga
pembiayaan, seperti jasa leasing,
serta pembiayaan bagi hasil yang
umumnya ditawarkan oleh lembaga
investasi, semacam modal ventura.
Kegiatan usaha perbankan syariah,
produk, serta jasanya wajib tunduk
pada Prinsip Syariah, dalam hal ini
fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia. Fatwa dimaksud
diimplementasikan menjadi
ketentuan perbankan melalui
Peraturan Bank Indonesia. Fatwa
dimaksud perlu diimplementasikan
melalui PBI mengingat fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI bersifat umum
(misalnya menyangkut transaksi
keuangan), sehingga perlu
diterjemahkan kedalam peraturan
yang bersifat khusus (perbankan).
Dalam rangka penyusunan PBI
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
dimaksud, UU mengamanatkan
Bank Indonesia untuk membentuk
Komite Perbankan Syariah yang
anggotanya berasal dari Bank
Indonesia, Departemen Agama, dan
masyarakat, yang memiliki keahlian
di bidang syariah. Jumlahnya paling
banyak 11 (sebelas) orang dengan
komposisi yang seimbang.
Pemilik dan Pengurus Bank
UU Perbankan Syariah menegaskan
bahwa ketentuan mengenai syarat,
jumlah, tugas, kewenangan,
tanggung jawab, serta hal lain yang
menyangkut dewan komisaris dan
direksi Bank Syariah diatur dalam
anggaran dasar Bank Syariah (pasal
28). Selanjutnya ditegaskan bahwa
salah satu dari jajaran direksi
tersebut berperan sebagai direktur
yang bertugas untuk memastikan
kepatuhan Bank Syariah terhadap
pelaksanaan ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Demikian pentingnya sumber daya
manusia di bidang perbankan, UU
ini juga mengatur mengenai uji
kemampuan dan kepatutan bagi
pengurus bank (Pasal 30), dan
pemegang saham pengendali (Pasal
27). Pengaturan tersebut diperlukan
mengingat perbankan sebagai
lembaga kepercayaan masyarakat
perlu dikelola oleh pengurus yang
mempunyai
kemampuan/kompetensi dan
kepatutan/integritas, serta dimiliki
oleh pemegang saham yang
mempunyai
kemampuan/kompetensi dan
kepatutan/integritas. Dengan
demikian tidak setiap orang dapat
menjadi pengurus atau pemilik
bank, hanya mereka yang telah lulus
uji kemampuan dan kepatutanlah
yang berhak.
Di samping Dewan Komisaris dan
Direksi, UU ini juga mewajibkan
dibentuknya Dewan Pengawas
Syariah di setiap Bank Syariah dan
Bank Umum konvensional yang
memiliki UUS, dengan tugas antara
lain memberikan nasihat dan saran
kepada direksi serta mengawasi
kegiatan bank agar sesuai dengan
prinsip syariah (pasal 32). Dewan
Pengawas Syariah tersebut diangkat
oleh Rapat Umum Pemegang Saham
atas rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia.
Rahasia Bank
Rahasia bank merupakan hal
penting dalam dunia perbankan,
dan berlaku umum di seluruh
negara. Pengaturan mengenai
rahasia bank pada umumnya sama
dengan UU Perbankan konvensional,
yang wajib dirahasiakan adalah
segala sesuatu yang berhubungan
dengan keterangan mengenai
nasabah dan simpanannya,
kewajiban tersebut berlaku bagi
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
bank dan pihak terafiliasi. Beberapa
pengaturan mengenai rahasia bank
dalam UU Perbankan Syariah yang
agak berlainan dengan UU
Perbankan konvensional, antara lain:
1) Tidak diaturnya pengecualian
rahasia bank untuk kepentingan
piutang yang sudah diserahkan
kepada BUPLN/PUPN, seperti
halnya yang diatur dalam UU
Perbankan konvensional. Dengan
demikian pengecualian rahasia
bank yang dapat dimintakan
izinnya ke BI terbatas hanya
untuk kepentingan perpajakan,
dan kepentingan peradilan
dalam perkara pidana. Di
samping itu terdapat
pengecualian lainnya yang tidak
memerlukan izin dari BI, yaitu
dalam perkara perdata antara
bank dengan nasabahnya, dalam
rangka tukar menukar informasi
antar bank, dan atas permintaan,
persetujuan atau kuasa dari
nasabah, serta bagi ahli waris
yang sah dalam hal nasabah
telah meninggal dunia.
2) Pengaturan mengenai penyidik
diperluas, tidak hanya terbatas
pada jaksa atau polisi, tetapi
berlaku juga bagi penyidik lain
yang diberi wewenang
berdasarkan UU (Pasal 43).
Dengan demikian para penyidik
di luar polisi atau jaksa dapat
meminta keterangan mengenai
rahasia bank, namun permintaan
tersebut tetap diajukan oleh
pimpinan instansi/departemen
atau setingkat menteri. Hal
tersebut menunjukkan sikap
masih dipertahankannya sifat
kerahasiaan bank, walaupun
diperluas kepada penyidik diluar
polisi atau jaksa, tetapi hanya
tingkat pimpinan
instansi/departemen yang dapat
mengajukan permintaan izin
dimaksud.
Pembinaan dan Pengawasan
Bank
Bank merupakan suatu lembaga
kepercayaan yang dalam melakukan
kegiatan usahanya sebagian besar
menggunakan dana masyarakat
Oleh karena itu untuk menjaga
kelangsungan usahanya, dan
menjamin kestabilan sistem
perbankan secara keseluruhan,
maka terhadap lembaga perbankan
perlu dilakukan pengawasan oleh
otoritas perbankan yaitu Bank
Indonesia. Pengaturan mengenai
pembinaan dan pengawasan bank
secara umum hampir sama dengan
UU Perbankan konvensional, antara
lain menyangkut kewajiban bank
untuk memelihara tingkat
kesehatan, kewajiban untuk
menyampaikan segala keterangan
mengenai usahanya kepada Bank
Indonesia, dan kewajiban untuk
memberikan kesempatan bagi
pemeriksaan buku-buku dan berkas-
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
berkas atas permintaan Bank
Indonesia. Di samping itu diatur pula
penugasan kepada kantor akuntan
publik atau pihak lain untuk
melakukan pemeriksaan, serta
beberapa kewenangan Bank
Indonesia untuk melakukan tindakan
dalam rangka tindak lanjut
pengawasan. Pengaturan yang
relatif baru adalah pemberian
kewenangan kepada Bank Indonesia
dalam rangka melaksanakan tugas
pengawasan bank (pasal 52 ayat
(3)), yaitu kewenangan untuk:
- Memeriksa dan mengambil
data/dokumen dari setiap tempat
yang terkait dengan bank;
- Memeriksa dan mengambil
data/dokumen dan keterangan
dari setiap pihak yang menurut
penilaian BI memiliki pengaruh
terhadap bank;
- Memerintahkan bank melakukan
pemblokiran rekening tertentu.
Pengaturan yang relatif baru lainnya
adalah mengenai pencabutan izin
usaha bank atas permintaan sendiri
(self liquidation). Dalam rangka
mengantisipasi adanya permintaan
pencabutan izin usaha bank atas
permohonan pemegang saham,
telah diakomodir pasal yang
mengatur mengenai hal tersebut
sebagai payung hukum (Pasal 54
ayat (4)). Ketentuan seperti ini belum
diatur dalam UU Perbankan
konvensional. Pengaturan mengenai
pencabutan izin usaha atas
permintaan sendiri sejalan dengan
UU LPS yang membuka
kemungkinan pencabutan izin usaha
atas permintaan pemegang saham.
Dalam hal ini LPS tidak membayar
klaim penjaminan nasabah
penyimpan, karena penyelesaian
seluruh kewajiban bank merupakan
tanggung jawab bank yang
bersangkutan. Oleh karena itu,
pengajuan pencabutan izin usaha
atas permintaan sendiri hanya dapat
diajukan bank kepada Bank
Indonesia setelah bank dimaksud
menyelesaikan seluruh kewajibannya
kepada nasabahnya.
Penyelesaian Sengketa
Hubungan bank dengan nasabah
pada umumnya merupakan
hubungan keperdataan. Jalinan
hubungan tersebut, dalam
praktiknya tidak selalu berjalan
mulus, bisa saja timbul
ketidaksepahaman atau sengketa
diantara keduanya. Dalam hal terjadi
sengketa yang menyangkut
perbankan syariah, maka
penyelesaian sengketa tersebut pada
prinsipnya dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama (Pasal 55), namun
apabila para pihak telah
memperjanjikan lain, penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi
perjanjian. Dengan demikian
sengketa perbankan syariah selain
penyelesaiannya dapat dilakukan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
melalui Peradilan Agama (sesuai UU
No.3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama),
bisa juga memilih penyelesaian
sengketa melalui musyawarah,
mediasi perbankan, Basyarnas, atau
peradilan umum. Namun, Undang-
Undang mensyaratkan bahwa
penyelesaian sengketa di luar
Peradilan Agaman tetap harus
dilakukan dengan berpedoman pada
Prinsip Syariah.
Sanksi
Pengaturan sanksi dibedakan antara
sanksi administratif dan sanksi
pidana, dengan pola pengaturan
umumnya hampir sama dengan UU
Perbankan (konvensional).
Pengaturan sanksi yang relatif baru
(Pasal 66) dalam hal ini adalah sanksi
pidana bagi direksi atau pegawai
Bank Syariah atau UUS yang dengan
sengaja:
� Melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan UU ini dan
perbuatan tersebut telah
mengakibatkan kerugian bagi
bank;
� Menghalangi pemeriksaan atau
tidak membantu pemeriksaan
yang dilakukan oleh dewan
komisaris atau kantor akuntan
publik;
� Memberikan penyaluran dana
atau fasilitas penjaminan dengan
melanggar ketentuan yang
berlaku;
� Tidak melakukan langkah-
langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan Batas
Maksimum Pemberian
Penyaluran Dana;
diancam dengan pidana penjara 1
tahun - 5 tahun, dan pidana denda
antara Rp1 miliar - Rp5 miliar.
Pengaturan mengenai pemidanaan
atau kriminalisasi terhadap
pelanggaran Batas Maksimum
Pemberian Penyaluran Dana
(BMPPD) tidak dikenakan secara
langsung, sama seperti halnya dalam
perbankan konvensional yang
menerapkan Pasal 49 ayat (2) untuk
menjaring pelanggaran BMPK, yaitu
apabila bank tidak melakukan
langkah-langkah yang diperlukan
untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalam UU
Perbankan, dan ketentuan
perundang-undangan lainnya yang
berlaku bagi bank. Dengan demikian
diberikan kesempatan bagi bank
untuk melakukan perbaikan/koreksi
atas pelanggaran BMPK, hal ini
mengingat terjadinya pelanggaran
BMPK tidak selalu diketahui secara
langsung pada saat pemberian
kredit, tetapi bisa saja baru diketahui
di kemudian hari.
Adanya pengaturan sanksi tersebut
diharapkan dapat lebih
mempertegas ancaman terhadap
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
norma-norma yang telah ditetapkan,
yang seharusnya dipatuhi oleh
direksi maupun pegawai bank.
Ketentuan Peralihan
Dalam Aturan Peralihan telah diatur
mengenai batasan UUS beralih
menjadi Bank Umum Syariah,
mengingat UUS hanya bersifat
sementara, yaitu :
(1) Dalam hal Bank Umum
Konvensional memiliki UUS yang
nilai asetnya telah mencapai
paling sedikit 50% (lima puluh
persen) dari total nilai aset bank
induknya, maka Bank Umum
Konvensional dimaksud wajib
melakukan Pemisahan UUS
tersebut menjadi Bank Umum
Syariah; atau
(2) 15 (lima belas) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang
Perbankan Syariah, maka Bank
Umum Konvensional yang
memiliki UUS wajib melakukan
Pemisahan UUS yang dimilikinya
menjadi Bank Umum Syariah.
Semangat dari pengaturan tersebut
adalah untuk menciptakan
perbankan syariah yang murni di
masa depan, sehingga kelak tidak
dikenal lagi sistem campuran antara
bank syariah dengan bank
konvensional. Pengaturan lebih
lanjut mengenai peralihan tersebut
akan diatur dalam PBI. Guna
mendukung efektivitas pengaturan
tersebut, maka dalam PBI mengenai
hal tersebut perlu dibuat secara
tegas pengaturan persyaratan dan
tata cara peralihan dari UUS menjadi
Bank Umum Syariah, serta sanksi
bagi yang melanggar, di samping itu
hal terpenting adalah penegakan
hukum atas aturan tersebut.
PENUTUP
1. Dengan telah disahkannya RUU
Perbankan Syariah menjadi UU,
maka amanat UU tentang + 25
pengaturan lebih lanjut dalam
PBI perlu segera disiapkan
penyusunannya, termasuk di
dalamnya penyesuaian beberapa
PBI yang berlaku saat ini dengan
materi UU Perbankan Syariah.
2. Untuk lebih memberikan
pemahaman yang memadai
kepada perbankan dan
masyarakat umum sebagai
pengguna, maka sosialisasi UU
Perbankan Syariah dan peraturan
pelaksanaannya perlu dilakukan
secara efektif, baik melalui
seminar/ lokakarya maupun
melalui media masa.
3. Dengan telah diberlakukannya
UU Perbankan Syariah yang
merupakan landasan hukum bagi
kegiatan perbankan syariah di
Indonesia, maka diharapkan
dapat mendorong
perkembangan perbankan
syariah, khususnya dalam
peningkatan pelayanan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volume 6, Nomor 2, Agustus 2008
perbankan baik dari sisi jumlah
bank maupun jaringan
pelayanan, sehingga peranan
perbankan syariah sebagai salah
satu pilihan di samping
perbankan konvensional, dapat
meningkat dengan pangsa yang
cukup signifikan dibanding
perbankan konvensional.
4. Dengan terdapatnya beberapa
perbedaan pengaturan antara
perbankan syariah dengan
perbankan konvensional, maka
UU Perbankan konvensional
perlu dilakukan perubahan, agar
tidak menimbulkan kerancuan
dalam pelaksanaannya.