4
Sekilas Sejarah dan Praktek Kebudayaan Agraris Masyarakat Kalimantan Belinda Duhita Puspita Staf Sub Bidang Pertambangan Energi Pertanian dan Kelautan, Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH PENDAHULUAN Sejarah singkat kebudayaan agraris Kebudayaan agraris merupakan kebudayaan masyarakat yang bertumpu pada aspek pertanian atau kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian termasuk kegiatan yang paling awal dikenal dalam peradaban manusia. Keinginan untuk bertani muncul karena manusia ingin memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu pangan. Para ahli sejarah menemukan bahwa pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun lalu di daerah Timur Tengah, yakni di lembah Sungai Tigris dan Eufrat di Irak hingga Suriah dan Yordania. Bukti-bukti menunjukkan bahwa daerah ini digunakan untuk budidaya tanaman biji-bijian. Pada 2000 tahun setelah jaman es, daerah ini merupakan hutan dan padang yang sesuai untuk pertanian. Menyusul kemudian budidaya komoditas hortikultura yaitu buah-buahan dan sayuran. Kegiatan pertanian mengubah kebudayaan masyarakat yang awalnya menyembah dewa-dewi perburuan, menjadi menyembah dewa dewi kesuburan dan pangan. Kegiatan pertanian selanjutnya menyebar ke Eropa, Afrika, bahkan hingga Asia. Asia Tenggara lebih dahulu mengembangkan pertanian dibanding Asia Timur. Pertanian dengan sistem perladangan berpindah (gilir balik) baru dilakukan di Pulau Kalimantan dan Pulau Papua pada tahun 6000 SM. Sementara budidaya ternak di dunia muncul pada 7000 SM dengan membudidayakan kambing/ domba untuk pertama kali. Setelah itu sapi, kuda, kerbau, lembu, unggas-unggasan hingga peternakan ulat sutera. Selanjutnya sekitar tahun 2000 SM dikenal budidaya ikan air tawar dan ikan air laut. Secara umum tahapan perkembangan pertanian dunia yang diterapkan pada negara- negara agraris adalah sebagai berikut; 1. Pertanian kuno (purba) Proses menanam di pertanian kuno dilakukan di lahan sempit menggunakan teknologi sederhana dengan metode ladang berpindah ( shifting cultivation). Hasilnya digunakan untuk keluarga (subsisten). Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan seperti padi, jagung, atau umbi-umbian. 2. Pertanian tradisional Pertanian tradisional sudah mulai menetap. Pengolahan tanah dilakukan dengan tenaga manusia atau hewan. Bibit yang digunakan ialah bibit jenis lokal terbaik hasil budidaya alami dan menggunakan pupuk organik. Pengairan menggunakan sistem tadah hujan dan sudah terdapat pengendalian hama meskipun masih secara manual. Umur tanaman biasanya 6 bulan. 3. Pertanian modern (revolusi hijau) Pertanian pada tahap modern dicirikan dengan penggunaan mesin dalam pengolahan tanah dan sistem pengairan yang baik. Bibit yang digunakan ialah bibit unggul hasil persilangan buatan yang akhirnya membutuhkan unsur hara tinggi juga. Pupuk yang digunakan ialah anorganik sehingga rentan terjadi pencemaran tanah, air, dan udara. Pengendalian hama menggunakan pestisida buatan serta memerlukan hormone tumbuh. Ledakan hama sekunder pun terjadi. 4. Pertanian sehat (sustainable agriculture) Pertanian sehat memperhatikan prinsip-prinsip ekologis dengan berusaha menekan penggunaan pupuk buatan dan mengurangi pestisida buatan Pertanian Indonesia Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor-sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto. Selanjutnya semakin menurun di tahun 2017 yang hanya menyediakan 31,8% lapangan pekerjaan. Perkembangan pertanian di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Selain berbagai ancaman akibat bencana alam, dan perubahan iklim, pertanian juga terancam oleh kerusakan tanah yang makin meningkat karena intensifikasi penggunaan pupuk, serta alih fungsi lahan yang kurang terkendali. Melalui kebijakan Program Intensifikasi Khusus (Insus) 1969 dari pemerintah, intensitas penggunaan pupuk kimia meningkat. Akibatnya residu tanah menumpuk dan hamapun semakin meningkat, beragam, dan resisten terhadap obat-obatan pertanian.

Sekilas Sejarah dan Praktek Kebudayaan Agraris Masyarakat ... fileSekilas Sejarah dan Praktek ... Pertanian di Kalimantan memiliki keunikan dibanding pertanian lain yang ada di

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sekilas Sejarah dan Praktek Kebudayaan Agraris Masyarakat ... fileSekilas Sejarah dan Praktek ... Pertanian di Kalimantan memiliki keunikan dibanding pertanian lain yang ada di

Sekilas Sejarah dan Praktek Kebudayaan Agraris Masyarakat Kalimantan

Belinda Duhita Puspita

Staf Sub Bidang Pertambangan Energi Pertanian dan Kelautan, Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH

PENDAHULUAN

Sejarah singkat kebudayaan agraris

Kebudayaan agraris merupakan kebudayaan masyarakat yang bertumpu pada aspek pertanian atau kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian termasuk kegiatan yang paling awal dikenal dalam peradaban manusia. Keinginan untuk bertani muncul karena manusia ingin memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu pangan. Para ahli sejarah menemukan bahwa pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun lalu di daerah Timur Tengah, yakni di lembah Sungai Tigris dan Eufrat di Irak hingga Suriah dan Yordania. Bukti-bukti menunjukkan bahwa daerah ini digunakan untuk budidaya tanaman biji-bijian. Pada 2000 tahun setelah jaman es, daerah ini merupakan hutan dan padang yang sesuai untuk pertanian. Menyusul kemudian budidaya komoditas hortikultura yaitu buah-buahan dan sayuran.

Kegiatan pertanian mengubah kebudayaan masyarakat yang awalnya menyembah dewa-dewi perburuan, menjadi menyembah dewa dewi kesuburan dan pangan. Kegiatan pertanian selanjutnya menyebar ke Eropa, Afrika, bahkan hingga Asia. Asia Tenggara lebih dahulu mengembangkan pertanian dibanding Asia Timur. Pertanian dengan sistem perladangan berpindah (gilir balik) baru dilakukan di Pulau Kalimantan dan Pulau Papua pada tahun 6000 SM. Sementara budidaya ternak di dunia muncul pada 7000 SM dengan membudidayakan kambing/ domba untuk pertama kali. Setelah itu sapi, kuda, kerbau, lembu, unggas-unggasan hingga peternakan ulat sutera. Selanjutnya sekitar tahun 2000 SM dikenal budidaya ikan air tawar dan ikan air laut.

Secara umum tahapan perkembangan pertanian dunia yang diterapkan pada negara-negara agraris adalah sebagai berikut;

1. Pertanian kuno (purba) Proses menanam di pertanian kuno dilakukan di lahan sempit menggunakan teknologi sederhana dengan metode ladang berpindah (shifting cultivation). Hasilnya digunakan untuk keluarga (subsisten). Tanaman yang diusahakan umumnya tanaman pangan seperti padi, jagung, atau umbi-umbian.

2. Pertanian tradisional Pertanian tradisional sudah mulai menetap. Pengolahan tanah dilakukan dengan tenaga manusia atau hewan. Bibit yang digunakan ialah bibit jenis lokal terbaik hasil budidaya alami dan menggunakan pupuk organik. Pengairan menggunakan sistem tadah hujan dan sudah terdapat pengendalian hama meskipun masih secara manual. Umur tanaman biasanya 6 bulan.

3. Pertanian modern (revolusi hijau) Pertanian pada tahap modern dicirikan dengan penggunaan mesin dalam pengolahan tanah dan sistem pengairan yang baik. Bibit yang digunakan ialah bibit unggul hasil persilangan buatan yang akhirnya membutuhkan unsur hara tinggi juga. Pupuk yang digunakan ialah anorganik sehingga rentan terjadi pencemaran tanah, air, dan udara. Pengendalian hama menggunakan pestisida buatan serta memerlukan hormone tumbuh. Ledakan hama sekunder pun terjadi.

4. Pertanian sehat (sustainable agriculture) Pertanian sehat memperhatikan prinsip-prinsip ekologis dengan berusaha menekan penggunaan pupuk buatan dan mengurangi pestisida buatan

Pertanian Indonesia

Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor-sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto. Selanjutnya semakin menurun di tahun 2017 yang hanya menyediakan 31,8% lapangan pekerjaan.

Perkembangan pertanian di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Selain berbagai ancaman akibat bencana alam, dan perubahan iklim, pertanian juga terancam oleh kerusakan tanah yang makin meningkat karena intensifikasi penggunaan pupuk, serta alih fungsi lahan yang kurang terkendali. Melalui kebijakan Program Intensifikasi Khusus (Insus) 1969 dari pemerintah, intensitas penggunaan pupuk kimia meningkat. Akibatnya residu tanah menumpuk dan hamapun semakin meningkat, beragam, dan resisten terhadap obat-obatan pertanian.

Page 2: Sekilas Sejarah dan Praktek Kebudayaan Agraris Masyarakat ... fileSekilas Sejarah dan Praktek ... Pertanian di Kalimantan memiliki keunikan dibanding pertanian lain yang ada di

Pertanian di Kalimantan

Pertanian di Kalimantan memiliki keunikan dibanding pertanian lain yang ada di Indonesia. Selain bertani di lahan sawah terdapat beberapa masyarakat yang masih memegang adat istiadat terhadap lahan berhutan yang digunakan untuk pertanian. Mereka adalah masyarakat lokal (Dayak, Kutai, Banjar dll) yang hidup di pedalaman hutan Kalimantan. Menurut Dove (1994:xxxi), kebudayaan Dayak di Kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi dan masa bero panjang.

Menurut Dove (1988), Mubyarto (1991) dan Widjono (1996:107), ada tiga mitos yang mendasari pikiran para ahli tentang para peladang Dayak ini: pertama para peladang memiliki tanah secara komunal dan mengkonsumsi hasilnya secara komunal pula dan tidak memiliki motivasi untuk melestarikannya, kedua mitos yang selalu menganggap bahwa perladangan merusak hutan dan memboroskan nilai ekonomi hutan, ketiga mitos yang menganggap bahwa sistem ekonomi mereka bersifat subsisten dan terlepas dari ekonomi pasar.

Usaha dengan ilmu pengetahuan modern khususnya dalam sistem penanaman pangan di dalam proyek-proyek transmigrasi sudah seabad diujicobakan dan ternyata gagal. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada sistem bercocok tanam yang telah ditemukan dan seberhasil sistem perladangan dalam penyediaan pangan kepada penduduknya serta pelestarian lingkungan hutan tropika. Seperti contoh perubahan sistem pertanian di Kalimantan Timur. PRAKTEK PERTANIAN DI KALIMANTAN: PENGALAMAN MASYARAKAT DAYAK

Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara

Petani suku Dayak Kalimantan Timur memulai aktivitas berladang dengan mencari lahan hutan yang siap dibuka. Para petani tersebut tidak serampangan dalam melakukan tahap pembukaan lahan, tetapi melalui persyaratan tertentu. 1. Pertama, mereka menyatakan niat itu kepada kepala sukunya guna memperoleh

izin. Izin ini diperlukan hanya bagi petani yang ingin membuka hutan baru dan bukan membuka lahan yang pernah dijadikan ladang serta telah ditinggalkan guna penyuburan kembali.

2. Kedua, setelah izin diperoleh, mereka mulai mencari lahan yang memenuhi persyaratan tertentu, misalnya bagi suku Dayak Kayan, lahan itu berwarna hitam pekat dan gembur. Kemudian mereka memeriksa tumbuhan di atas lahan itu, yaitu tumbuhan yang pucuk daunnya hijau tua dan batang pohonnya berdiameter minimal 20 cm, serta pada lahan itu tumbuh jenis tumbuhan pakis tertentu. Bagi suku Dayak Kenyah, di Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Bulungan, untuk memperoleh lahan yang ditumbuhi pohon berdiameter 20-30

cm dan siap diolah untuk berladang lagi, diperlukan siklus perladangan 5-8 tahun.

3. Ketiga, setelah lahan yang memenuhi syarat tersebut diperoleh, para peladang mulai melakukan tahap-tahap budidaya tanaman yang sesungguhnya. Tahap-tahap tersebut dimulai dengan penebasan pohon-pohon kecil dan penebangan pohon-pohon besar, kemudian diikuti dengan tahap pengeringan, pembakaran, penanaman, pemeliharaan, sampai tahap pemanenan hasil dan selanjutnya tahap penyuburan kembali lahan itu (bero).

Budaya pertanian dengan sistem perladangan berpindah/gilir balik seperti di atas ternyata tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah. Di beberapa daerah, pemerintah kemudian memperkenalkan dan mempraktekkan sistem/program pertanian menetap. Program ini tidak selalu berhasil di kalangan masyarakat dengan tradisi/kebudayaan perladangan berpindah. Pengalaman suku Dayak Kenyah memperlihatkan perubahan-perubahan dan akibat yang timbul dari kasus penetapan pertanian menetap.

Kasus yang dialami oleh suku Dayak Kenyah yang bermigrasi dari daerah Apo Kayan (daerah di hulu Sungai Kayan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara) ke Muara Wahau (Kabupaten Kutai Timur), memperlihatkan betapa berat permasalahan yang mereka hadapi sebagai akibat kebijakan pertanian menetap. Mereka bermigrasi antara 1963 dan 1973 ke kampung baru yang mereka sebut Long Segar di dataran rendah Telen, di salah satu daerah aliran S. Telen yang merupakan anak Sungai Mahakam. Pada tahun 1974, Pemerintah Indonesia memutuskan Long Segar sebagai suatu tempat proyek permukiman kembali penduduk atau disebut resettlement penduduk. Melalui resettlement penduduk, mereka dikenalkan dengan beberapa teknologi impor seperti sawah menetap (Arkanudin, 2012). Program pemerintah inilah yang tidak dapat diterapkan dan mengalami kegagalan.

Sekarang selain kembali ke usaha pertanian perladangan berpindah, masyarakan ini juga berburu, dan mengambil hasil hutan. Mereka juga memperoleh pendapatan dari bekerja sebagai pekerja perusahaan kayu, hasil kerajinan tangan, dan penjualan barang-barang kuno, seperti manik-manik antik, keramik, dan sebagainya. Praktek perladangan berpindah mereka berbeda dengan sewaktu mereka masih tinggal di Apo Kayan, meskipun mereka tetap memelihara sistem rotasi, namun masa beronya lebih singkat dan wilayah untuk bertanam lebih jauh. Kalimantan Selatan

Berdasarkan komoditas yang dihasilkan dari sektor pertanian Kalimantan Selatan, pertanian di sini terdiri dari tiga macam yaitu ladang di gunung, persawahan, dan perkebunan. Ladang atau tegalan yang biasa disebut bahuma ini juga menggunakan sistem ladang berpindah. Lahan dibuka dengan membabat dan meratakan semak belukar, dan lebih cepat lagi yaitu dengan pembakaran di musim kemarau. Komoditas yang ditanam ialah padi dan kacang tanah.

Page 3: Sekilas Sejarah dan Praktek Kebudayaan Agraris Masyarakat ... fileSekilas Sejarah dan Praktek ... Pertanian di Kalimantan memiliki keunikan dibanding pertanian lain yang ada di

Selanjutnya jenis persawahan dibagi lagi berdasarkan lokasi yaitu sawah di dataran tinggi, sawah di dataran rendah, dan sawah di daerah rawa. Lahan rawa sangat potensial dikembangkan karena didukung oleh ketersediaan lahan yang luas, keadaan topografi yang datar, ketersediaan air melimpah dan teknologi pertanian yang cukup tersedia (Noor 2007). Untuk sawah di dataran rendah dan dataran tinggi menggunakan bibit padi yang sama. Perbedaannya ialah sawah pada dataran rendah lebih fleksibel dalam pemilihan waktu tanam. Selain itu adanya variasi karena dataran rendah masih dipengaruhi air pasang surut. Sedangkan sawah di rawa pada musim kemarau lebih banyak digunakan untuk menanam gumbili (ubi), waluh (labu), semangka dan jagung.

Kemudian jenis perkebunan yang dikembangkan di Kalimantan Selatan terbagi menjadi dua berdasarkan lokasi yaitu perkebunan di dataran rendah dan perkebunan di dataran tinggi. Perkebunan di dataran rendah biasanya terletak di sepanjang sungai dan di sekitar pantai yang komoditasnya berupa Rumbia dan Kelapa. Sementara di dataran tinggi banyak kebun buah-buahan dan sayuran serta beberapa pohon berkayu seperti Karet dan Lurus.

Pertanian yang dilakukan di dalam kawasan hutan dilakukan oleh suku Dayak Meratus. Berdasarkan Mustari (2012), didapati bahwa suku Dayak Meratus mengenal pembagian tanah dan fungsinya. Dalam istilah kewilayahan disebut pula tata guna lahan versi Dayak Meratus. Mereka juga membagi hutan menjadi beberapa bagian yaitu; hutan lindung, hutan adat, hutan keramat serta hutan pamali. Jenis hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian adalah hutan adat. Hutan ini biasa dihasilkan buah-buahan dan getah (damar).

Dayak Meratus terkenal masih menjaga kuat tradisi dan kebudayaannya yang diwujudkan dalam beberapa pantangan (tabu). Menurut penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan, hal-hal yang dianggap tabu oleh Dayak Meratus ialah mengkonsumsi padi yang baru dipanen apabila masih ada sisa hasil panen sebelumnya. Mereka juga diitabukan menjual hasilnya sehingga banyak di antara mereka yang masih memiliki hasil panen 5 - 6 tahun sebelumnya. Hasil ladangnya disimpan dalam lulung (lumbung) yang berada dalam beberapa lampau (bangunan berbentuk rumah) yang terletak di sekitar balai adat tempat tinggal mereka. Cadangan pangan ini tidak akan habis apabila mereka mengalami kegagalan panen sebanyak tiga musim tanam berturut-turut.

Seiring dengan perkembangan jaman, warga Dayak Meratus harus memenuhi kebutuhan hidup selain pangan. Maka beberapa dari mereka berubah mata pencaharian dari peladang menjadi petani pengolah kebun. Didukung dengan akses dan transportasi yang semakin maju, mereka menjual hasil kebun dan ladang di pasar sekitar. Apalagi semenjak adanya kenaikan harga karet pada tahun 2004, maka budaya adat di Dayak Meratus sedikit menurun. Hal ini berarti semakin berkurangnya lahan berladang karena telah berubah menjadi perkebunan. Lahan ladang yang berkurang ini mengancam ketersediaan pangan dan akhirnya juga mengancam kebudayaan Dayak Meratus.

Kalimantan Barat

Di Kalimantan Barat, berdasarkan hasil penelitian Sapardi (1991:71-72) dan Arkanudin (2001: 67) terhadap orang Dayak Ribun Sanggau, menemukan bahwa orang Ribun membagi hutan ke dalam tiga jenis yaitu: (1) hutan rimba (hutan primer) sebagai hutan yang mempunyai pohon-pohon yang tinggi dan besar, di bawahnya banyak terdapat semak belukar tipis; (2) hutan bawas (hutan sekunder) merupakan hutan bekas ladang yang tumbuh atau ditanam dengan berbagai jenis tanaman seperti durian, kelapa, tengkawang, dan karet; (3) lalang (padang alang-alang) yaitu bekas ladang yang ditumbuhi rumput lalang (alang-alang).

Diantara ketiga jenis hutan ini, menurut mereka hutan yang paling baik dan disukai untuk berladang adalah jenis hutan rimba, namun hutan jenis ini menurut ketentuan adat tidak boleh dijadikan sebagai ladang, karena merupakan hutan cadangan. Kayu-kayu yang ada dalam hutan ini hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan rumah atau memperbaiki rumah. Jika ingin mengambilnya harus terlebih dahulu meminta izin pada ketua adat.

Hasil penelitian Mudiyono (1990:26-27), mengemukakan bahwa kriteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan dilihat dari kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam.

Dalam masyarakat Simpang di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, juga dikenal adanya penamaan “tanah” berdasarkan tipe-tipe vegetasi dan letaknya, yaitu padang, lunang, tonyong, nate, dorik dan banala (Djuweng, 1992). Demikian juga pada masyarakat Dayak Krio Menyumbung Ketapang, juga mengenal berbagai jenis tanah berdasarkan tumbuhan-tumbuhan yang ada diatas yaitu: (1) babas rimba ruyutn (tanah rimba primer) yaitu tanah yang belum pernah diolah yang memiliki pohon besar dan terdapat berbagai jenis binatang buas; (2) babas pangorakng (tanah rimba sekunder) yaitu tanah yang pernah diladangi dan dibiarkan selama berpuluh-puluh tahun, kayu yang tumbuh pada umumnya kayu jenis kelas dua derngan diameter antara 2 - 40 cm; (3) babas mudak (tanah perladangan) yaitu tanah bekas ladang yang berumur kurang dari 10 tahun; (4) babas kore (tanah kritis) yaitu tanah yang tidak dapat dibuat ladang lagi; (5) babas abur (tanah payak) yaitu tanah yang ditumbuhi sejenis rerumputan yang biasa disebut rambang (Ignasius, 1998:110). Dayak Banuaka di Kabupaten Kapuas Hulu juga memiliki istilah penamaan tentang tanah, yaitu tana’ ujung, tana’rambur, tana’ kereng, tana’ paya, tana’ kerangas, tana’ ulut, tana’ toan (Frans, 1992).

Page 4: Sekilas Sejarah dan Praktek Kebudayaan Agraris Masyarakat ... fileSekilas Sejarah dan Praktek ... Pertanian di Kalimantan memiliki keunikan dibanding pertanian lain yang ada di

Kalimantan Tengah

Kondisi fisik geografis Kalimantan Tengah yaitu tanahnya padas dan memiliki lapisan humus yang tipis. Kebudayaan berladang penduduk Kalimantan Tengah yang asli adalah memelihara lingkungan dengan cermat, membuka hutan dengan hati-hati dan merotasi penanaman lahan dalam siklus 5-7 tahunan. Perladangan ini amat berat, karena menghadapi seluruh ancaman binatang, hama, penyakit dan cuaca. Penyebab inilah yang membuat pembukaan lahan dengan membuat sekat bakar dan membakar lahan untuk mengusir dan memusnahkan hama penyakit tanaman sulit digantikan. Tenaga kerja yang terbatas karena jumlah penduduk yang juga tidak banyak menyebabkan masyarakat Dayak membangun perladangan dengan skala ekonomis pemeliharaan minimal.

Proses berladang masyarakat Dayak sangat memperhatikan fenomena alam sebagai sinyal untuk penanda dimulainya pembukaan lahan, pengolahan, hingga pemanenannya. Tanaman yang ditanam sesuai kebutuhan. Misal padi enam bulanan, padi empat bulanan, dan padi ketan, ubi kayu, dan pohon khas yang disukai masyarakat yaitu pinang . Selain itu masyarakat juga menanam tanaman keras dan rotan di sela-sela tanaman pokok padi, yang menghasilkan kebun karet, rotan, buah-buahan yang luas dan tersebar di wilayah ini. Kemudian setelah tanah tidak lagi produktif untuk berladang maka akan ditinggalkan dan ditanami karet.

Contoh kebudayaan agraris Kalimantan Tengah pada Suku Dayak Kadorih/ Dohoi. Mereka mencari calon tempat berladang atau Dahiyang (Rini, 2005) yang artinya Iblis atau roh halus melarang tempat tersebut dijadikan lokasi ladang. Kemudian dalam membakar hutan untuk pembukaan pun harus mempertimbangkan beberapa syarat yaitu dilakukan tengah hari saat panas terik mencapai puncaknya dan angin tidak bertiup kencang, berlawanan dalam arah angin, membersihkan sekitar area pembakaran sehingga mirip konsep sekat bakar (fire break sistem).

Daftar Pustaka

Arkanudin. 2012. Sistem Perladangan dan Kearifan Tradisional Orang Dayak dalam Mengelola Sumber Daya Hutan. Pontianak: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Tanjungpura.

Elok Mulyoutami, dkk. 2010. Perubahan Pola Perladangan Pergeseran Persepsi mengenai Para Peladang Indonesia. Bogor: World Agroforestry Centre.

Erekso Hadiwijoyo, dkk. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah dalam Melakukan Penyiapan Lahan dengan Pembakaran. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Kathy Mackinnon, dkk. 2000. Ekologi Kalimantan. Jakarta: Prenhallindo. Noor, Ivan Y. 2009. Praktek Ekoteknologi dalam Masyarakat Dayak Kenyah. Bogor: Institut

Pertanian Bogor. Rafieq, Ahmad. 2016. Perubahan Sistem Mata Pencaharian Hidup Orang Meratus Desa

Haruyan Dayak Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan. Banjarbaru: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan.

Sulistya. 2012. Sistem Pertanian Berladang di Kalimantan Timur dan Implikasi Kebijakan Pembangunan Masyarakat Peladang. Yogyakarta: Universitas Janabadra.