15
I. PENDAHULUAN Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan starting point oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti. Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi. Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan memahami hadits secara benar.

sejarah ulum hadis

  • Upload
    ayie

  • View
    19

  • Download
    8

Embed Size (px)

DESCRIPTION

momo

Citation preview

I.PENDAHULUANSebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran, hadits Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah danstartingpointoleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuaidengan keahlian masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan dengan hadits begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang membahas hadits Nabi juga begitu banyak.

II.PEMBAHASANA.Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu HaditsIlmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri[18].Dalam sejarah dan perkembangannya para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadits dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode dan tujuh periode[19].Mohammad Mustafa Azmi, yang secara garis besar hanya berkonsentrasi pada pengumpulan dan penulisan hadits pada abad pertama dan kedua hijriah yang dinamainyaPre-Classical Hadits Literature( masa sebelum puncak kematangan pengkodifikasian hadits), membagi periodisasi penghimpunan hadits menjadi empat fase[20].Sedangakan M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi Muhammad SAW hingga sekarang[21].Urain berikut akan menitikberatkan pada proses penghimpunan hadits pada abad pertama, kedua dan ketiga Hijriah, yaitu sampai pada fase dibukukan dan diklasifikasinya hadits-hadits Nabi Muhammad SAW kepada yang Shahih dan yang tidak Shahih, yang diterima dan yang ditolak, hingga masa kekinian.1.Hadits pada Abad Pertama Hijriaha.Hadits pada Masa Nabi Muhammad SAWHadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu. Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, sepertiKhulafa al-Rasyidindan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyi minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebetulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau[22].Ada beberapa cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi Muhammad SAW,yaitu:1.Majlis-majlis Nabi Muhammad SAWSeluruh majlis Nabi SAW, merupakan majlis ilmu dan fungsi lainya. Bahwa Nabi SAW memberikan waktu-waktu khusus untuk memberikan pengajaran kepada sahabat. Para sahabat juga mempelajari ulang apa yang mereka dengar dari Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Anas bin Malik berkata: kami berada disisi Nabi SAW, lalu kami dengar hadits dari beliau. Bila kami beranjak, maka kami akan mempelajarinya kembali di antara kami sehingga bisa menghafalnya.Di samping itu, ada juga yang sengaja menghafal hadits dan mengulang-ulanginya. Salah satu buktinya adalah riwayat al-Khathib al-Baghdadiy dari Abu Hurairah ra, bahwa beliau berkata: waktu malam menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk salat, sepertiga untuk tidur dan sepertiga lagi untuk mempelajari kembali hadits Nabi Muhammad SAW.2.Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Nabi Muhammad SAWBerkenaan dengan hal ini, beliau menjelaskan hukumnya dan kemudian hukum itu tersebar di kalangan kaum muslimin lantaran orang-orang yang mendengarnya dari beliau. Namun terkadang Nabi SAW melihat atau mendengar seorang sahabat melakukan kesalahan. Kemudian beliau meluruskan kesalahannya dan menunjukkannya kepada yang benar.3.Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum MusliminBerkenaan dengan hal ini, mereka menanyakan kepada Nabi muhammad SAW. Beliau kemudian memberikan fatwa dan memberi jawabannya kepada mereka, menjelaskan hukum yang mereka tanyakan.4.Berbagai peristiwa dan kejadian yang disaksikan oleh sahabat, bagaimana Nabi SAW melaksanakanJenis ini sangat banyak jumlahnya, misalnya tentang salat, puasa, haji, saat bepergian, saat dirumah dan hal-hal lain yang beliau kerjakan. Sebagai contoh riwayat Abdullah ibn Umar, bahwa beliau melihat Nabi SAW, Abu Bakar dan Umar berjalan di depan jenazah[23].

b.Hadits pada Masa Sahabat dan TabiinPeriode sahabat ini disebutAshr al-Tatsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah(masa pematerian dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu al-Quran dan hadits (al-Sunnah) yang harus dipegangibagi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat.Para khalifah sejak Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya menjunjung tinggi amanat tersebut. Adapun perhatiankhulafa al-rasyidinterhadap hadits pada dasarya adalah:1.Parakhulafa al-rasyidindan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasarTasyri, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.2.Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.Namun periwayatan hadits dpermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran.Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:1.Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.2.Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.Suasana masyarakat masakhulafa al-rasyidinterutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:1.Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.2.Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.3.Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.Adapun penulisan hadits masih tetap terbatas belum dilakukan secara resmi dengan berbagai petimbangan-pertimbangan diantaranya:1.Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Quran. Perhatian sahabat masakhulafa al-rasyidinadalah pada al-Quran seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadiMush-haf.2.Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits[24].Berbeda dengan masa sahabat, masa tabiin ini disebutAshr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar(masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spayol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat kedaerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintah dan penyebaran ilmu hadits.Karena meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrumperkembangan) hadits di berbagai daerah di seluruh negeri. Di antara bendaharawan hadits yang banyak menerima, menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan hadits adalah:1.Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374 hadits, sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadits.2.Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadits3.Aisyah, istri Rasul SAW, meriwayatkan 2,276 hadits4.Abdullah Ibn Abbas meriwayatkan 1.660 hadits5.Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits6.Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 haditsAdapun lembaga-lembaga hadits yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan dan pengembangan hadits terdapat di:1.Madinah, dengan tokoh-tokoh diantaraya; Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Said Al-Khudri, Zaid Ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), Urwah, Said Az-Zuhri, Abdullah Ibn Umar (dari kalangan tabiin)2.Mekah, dengan tokoh-tokohnya seperti: Ali, Abdullah Ibn Masud, Saad Ibn Abi Waqas (sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, (tabiin)3.Bashrah, dengan tokoh-tokohnya: Anas Ibn Malik, Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah, Maqil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Jariyah Ibn Qudamah (sahabat), Abu al-Aliyah, Al-Hasan Al-Bisri, Qatadah, Abu Bardah Raja Ibn Abi Musa (tabiin)4.Saym, dengan tokohnya: Muadz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamit, Abu Darda (sahabat), Abu Idris al-Khaulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja Ibn Haiwah (tabiin)5.Mesir, tokoh-tokohnya: Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah, Abu Basyrah, Abu Saad al-Khair, Yazid Ibn Abi Habib (tabiin).Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali ra. pada saat Islam terpecah menjadi beberapa golongan diataranya golongan pendukung Ali yang disebut golongan Syiah, golongan penentang Ali yang disebut golongan Khawarij, golongan Muawiyah dan golong Jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). Dengan perpecahan tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW, untuk mendukung golongan-golongan mereka, oleh karena itu mereka membauat hadits palsu dan menyebarkannya pada masyarakat[25]2.Hadits pada Abad Ke-2 Hijriah (masa penulisan dan pembukuan Hadits secara resmi)Pada periode ini Hadits-Hadits Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Umar Ibn Abd al-Aziz, salah satu khalifah dari dinasti Umayyah yang mulai memerintahkan untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan penulisan hadits Nabi SAW secara resmi yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabiin[26].Pembukuan hadits kemudian mengalami perubahan-perubahan yang sesuai dengan perkembangan kemajuan dan sesuai pula dengan keadaan-keadaan dan suasana. Mula-mula ulama membukukan hadits bercampur dengan perkataan para sahabat dan perkataan-perkataan para sahabat dan tabiin.Di dalam periode ini para ulama memilih hadits-hadits Nabi SAW dari perkataan-perkataan sahabat dan tabiin. Adapun jalan-jalan yang ditempuh para ulama dalam usaha membukukan hadits ada tiga jalan:1.JalanPertama, yaitu pengumpulan segala kritik-kritik yang dihadapkan oleh ahlul kalam kepada ahlul hadits, baik mengenai pribadi-pribadiahlul hadits, maupun mengenaimatan haditsitu sendiri. Mereka menolak tuduhan-tuduhan itu dan membersihkan pribadi-pribadi ulama hadits dari kritik-kritik tajam yang dilemparkan olehahlul kalam. Sebagai contoh seperti Ibnu Qutaibah dalam kitabnyaTawilu Mukhtalifil Hadits fir Raddi ala Ada-il hadits.2.Jalankedua, jalan mengumpulkan hadits dibawah nama seseorang sahabat, baik hadits itu shahih, ataupun tidak, walaupun hadits-hadits itu bermacam-macam dan berlainan-lainan maudlunya.Musnad-musnad yang disusun diantaranya; Musnad Ubaidullah ibn Musa (wafat 213 H), Musnad al-Humaidy (wafat 219), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (wafat 239) dan masih banyak lainnya.3.Jalanketiga, menurut kitab fiqih dengan diberi bab-babnya. Maka hadits-hadits yang mengenai suatu masalah, ditulis dalam suatu bab dan yang mengenai masalah lain ditulis dalam bab yang lain. Ulama-ulama yang menempuh jalan ini ada yang menerangkan hadits-hadits sahih saja seperti al-Bukhari dan Muslim, dan ada pula yang tidak demikian seperti Abu Daud, at-Turmudzy dan an-Nasai[27].3.Hadits pada Abad Ke-3 Hijriah (masa pemurnian dan Penyempurnaannya)Abad ke-3 H merupakan puncak pembukuan Hadits, yang mulai tersebar dimasyarakat kitab-kitab hadits, seperti kitabMuwaththa- Al Malik yang telah disambut dengan gembira bagi masyarakat. Kemauan menghafal hadits, mengumpulkan dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ketempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits.Keadaan ini mulanya diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, Asqalani dan Himsh.Imam Bukhari membuat trobosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar diberbagai daerah. Enam tahun lamanya Al Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab sahih-nya[28].

4.Hadits pada Abad Ke-4 sampai Ke-7 Hijriah (masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulannya)Periode ini disebutAshr al-Tahdzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-jamii(masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan), berlangsung sejak abad ke-4 H sampai 656 H. Sedangkan periode ketujuh berlangsung mulai tahun 656 H sampai berakhirnya Daulah Bani Abbas (Abbasyiyah) sampai masa-masa seterusnya.Ulama yang hidup mulai abad ke-4 H, disebut ulamaMutaakhirin. Sedangkan ulama yang hidup sebelumnya disebut ulamaMutaqaddimin.Corak periwayatan hadits pada masamutaqaddimindengan penukilan langsung dari para penghafal. Maka pada masamutaakhirinpara ulama mencukupkan periwayatan dengan menukil dan mengutip dari kitab-kitab hadits yang telah ditadwin[29]oleh ulama-ulama abad ke-2 dan ke-3 H.Bertolak daritadwinitulah maka ulama-ulama di abad ke-4 H memeperluas sistem dan coraktadwin.Aktivitas tadwin hadits pada abad ke-4 H dan selanjutnya disebut aktivitasTadwin Bada Tadwin[30].5.Keadaan Hadits pada Pertengahan Abad ke-7 Hijriah sampai Sekarang (masa pensyarahan, pengumpulan, pen-takhrij-an dan pembahasan)Masa ini disebut,Ashr al-Syarh wa al-Jami wa al-Takhriji wa al-Bahts(masa pensyarahan, pengumpulan, pentakhrijan dan pembahasan).Pada periode ini, umumnya para ulama hadits mempelajari kitab-kitab hadits yang ada dan selanjutnya mengembangkannya atau meringkasnya sehingga menghasilkan jenis karya sebagai berikut:1.KitabSyarah, yaitu jenis kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan haditsdari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang berseumber dari al-Quran atau kaidah-kaidah syara lainnya. Contohnya:Fath al-barioleh Ibn Hajar al-Asqalani yang mensyarahkan kitabShahih AL-Bukhari,Al-Minhajoleh Al-Nawawi yang mensyarahkan kitabShahih MuslimdanAun al-Mabudoleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, mensyarahkan kitabSunan Abu Dawud.2.KitabMukhtasharyaitu kitab yang berisi ringkasan suatu kitab hadits, sepertiMukhtashar Shahih Muslim, oleh M. Fuad Abd al-Baqi.3.KitabZawaidyaitu kitab yang menghimpun hadits-hadits dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat oleh kitab tertentu lainnya. Seperti kitabZawaid al-Sunan al-Kubra, oleh Al-Bushiri.4.Kitab penunjuk (kode indeks) hadits, seperti kitabMiftah Kunuz al-Sunnaholeh A.j. Wensinck yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh M. Fuad Abd al-Baqi.5.KitabTakhrijyaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits yang dimuat dlam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Seperti kitab Takhrij Ahadits al-Ihya oleh Al-Iraqi.6.Kitabjamiyaitu kitab yang menghimpun hadits-hadits dari berbagai kitab haditstertentu. Seperti kitabAl-Lulu wa al-Marjanoleh M. Fuad al-Baqi, kitab ini menghimpun hadits-hadits Bukhari dan Muslim.7.Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum dalam kitabBulugh al-Maram min Adillah al-Ahkamoleh Ibn Hajar al-Asqalani[31].

III.KESIMPULAN

Ilmu hadits ialah ilmu yang mempelajari cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW. dari segi hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut ke-dhabit-an dan ke-adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.Setiap orang yang mempelajari ilmu hadits ini harus mengetahui bahwasannya semua landasan dan aturan mendasar dari ilmu riwayat dan penukilan kabar itu sudah termaktub dalam Al-Qur`an dan sunnah. Di dalam Al-Qur`an Allah Taala berfirman yang artinya:Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujuraat:: 6).Dalam ayatdi atas terdapat landasan awal dari kewajiban meneliti dan memeriksa sebuah kabar sebelum kabar tersebut diterima. Juga menjadi landasan dalam hal bagaimana cara memeriksanya, memperhatikannya, menghafalnya, dan berhati-hati dalam menyampaikan kabar tersebut kepada orang lain. Dan sebagai perwujudan dari perintah Allah dan Rasul-Nya ini, para sahabat senantiasa melakukantatsabbut(mengecek kebenaran) dalam menukil dan menerima sebuah kabar, terlebih lagi jika mereka meragukan kejujuran orang yang membawa kabar tersebut. Maka dari sisi inilah muncul pembahasan mengenai sanad sebuah kabar dan bagaimana pentingnya kedudukan sanad dalam menerima atau menolak suatu kabar.