Sejarah Teori Hak Paten

Embed Size (px)

Citation preview

SEJARAH TEORI HAK PATEN(N. Samuel Kurniawan)1.PendahuluanPerkembangan dunia dari segala aspek bermula dari adanya penemuan-penemuan yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk melakukan sesuatu atau membuat sesuatu dengan konsep maupun cara yang lebih efisien dan efektif. Berbagai penemuan merupakan sebuah karya cipta yang tak ternilai harganya, dan oleh karena itu perlu untuk dihargai dan dilindungi. Hak Paten adalah bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut dengan HAKI) yang ditujukan bagi perlindungan hukum terhadap hak para penemu atas temuannya. Hak Paten saat ini telah sangat dilindungi dengan berbagai perangkat peraturan, karena merupakan suatu basis penting bagi perkembangan industri modern. Paten menjadi dasar bagi pertumbuhan industri modern yang bersumber pada penemuan baru (invention), teknologi canggih, kualitas tinggi (high technology), dan adanya suatu standar mutu. Industri modern mampu menembus segala jenis pasar baik pasar tradisional maupun pasar modern. Secara umum ada beberapa manfaat dalam perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual, antara lain:[footnoteRef:1] [1: Endang Purwaningsih, 2005, Perkembangan Hukum Intellectuall Property Right: Kajian Hukum Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 139]

1)Meningkatkan posisi perdagangan dan investasi2)Mengembangkan teknologi,3)Mendorong iklim persaingan secara kompetitif di dunia internasional4)Mengefektifkan inovasi, dan;5)Menunjang kepentingan eksport.Industrialisasi yang selalu membawa dampak baik yang positif maupun negative bagi pihak ketiga, manfaat paten yang tersebut diatas adalah dampak positif dari pelaksanaan paten. Adapun dampak negatif dalam pelaksanaan paten antara lain adalah sebagai berikut:[footnoteRef:2] [2: Tim Lindsey, et all, 2006, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, h. 16-18.]

1) Hak paten yang diberikan hak ekslusif yang diberikan kepada inventor untuk melakukan segala sesuatu terhadap terhadap hasil invensinya. Hal inilah yang memberikan hak kepada inventor untuk menjual hasil invensinya berapapun yang dia mau.2) Tidak semua perusahaan mau mendaftarkan hasil invensinya dalam bentuk paten, hal ini disebabkan karena perlindungan terhadap paten terdapat limitasi waktu. Sehingga perusahaan menjaminkan hasil invensinya dalam bentuk Rahasia Dagang sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang[footnoteRef:3] yang tidak mengatur mengenai limitasi waktu atas hasil invensi perusahaan tersebut. Sehingga aspek alih teknologi dalam paten tidak terlaksana karena perlindungan hak atas kekayaan intelektual diaplikasikan dalam bentuk rahasia tidak dimungkinkan karena tidak diaturnya mengenai limitasi waktu. [3: Definisi Rahasia Dagang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UU. No. 30 Tahun 2000 yang menyebutkan Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.]

3) Royalti akan berakibat pada high cost economics dan akan mencegah penyebaran ilmu pengetahuan. Hal ini diakibatkan karena suatu tentunya harga jualnya akan lebih mahal daripada harga aslinya.

Permasalahan negara-negara berkembang dalam implementasi UU Paten adalah; negara berkembang biasanya adalah negara miskin yang tidak mampu membeli produk asli, dan negara-negara berkembang tidak mampu melakukan research and development untuk mengahsilkan teknologi, dan ketika suatu negara tidak mampu menghasikan teknologi maka negara tersebut hanya akan menjadi pasar dari produk yang dipatenkan. [footnoteRef:4] [4: Budi Rahardjo, Perlukah HaKI bagi Negara Berkembang, Materi presentasi Lokakarya Terbatas Tentang HKI, Pusat Pengkajian Hukum (PPH) & Pusdiklat Mahkamah Agung, 10-11 Februari 2004]

Pada tanggal 10 Mei 1979, Indonesia telah meratifikasi Convention Establishing the Wrold Intellectual Property Organization (WIPO) berdasarkan Keppres No. 24 Tahun 1979. [footnoteRef:5] Untuk memahami pengertian paten, World Intellectual Property Organization (WIPO), memberi definisi: A Patent is a legally enforceable right granted by virtue of a law to a person to exclude, for a limited time, others from certain acts in relation to describe new invention; the privilege is granted by a government authority as a matter of right to the person who is entitled to apply for it and who fulfills the prescribed condition.[footnoteRef:6] Menurut WIPO prinsip paten adalah hak yang dijamin oleh hukum untuk jangka waktu tertentu untuk melarang pihak lain melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan invensi[footnoteRef:7], hak istimewa dari negara itu diberikan kepada yang berhak serta telah memenuhi syarat yang ditentukan. [5: OK. Saidin, 1995, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),: RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 23.] [6: M. Djumhana dan R. Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 116.] [7: Yang dimaksud invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses, Indonesia, Undang-Undang Paten, psl. 1 btr 2.]

Selanjutnya di Indonesia telah terdapat sejumlah Undang-Undang yang mengatur tentang Hak Paten di Indonesia, diantaranya:a. Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UUP);b. Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);c. Keputusan Presiden No.16 Tahun 1997 tentang Pengesahan PCT and Regulationsunder the PCT;d. Keputusan Presiden No.15 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention forthe Protection of Industrial Property;e. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1991 tentang Tata Cara Permintaan Paten;f. PeraturanPemerintah No.11 Tahun 1991 tentang Bentuk dan Isi Surat Paten;g. Keputusan Menkeh No. M.O1-HC.O2.10 Tahun 1991 tentang Paten Sederhana;h. Keputusan Menkeh No. M.O2-HC.O1.10 Tahun 1991 tentang Penyelenggaraan Pengumuman Paten;i. Keputusan Menkeh No. N.O4-HC.O2.10 Tahun 1991 tentang Persyaratan, Jangka Waktu, dan Tata Cara Pembayaran Biaya Paten;j. Keputusan Menkeh No. M.O6-HC.O2.10 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Pengajuan Permintaan Paten;k. Keputusan Menkeh No. M.O7-HC.O2.10 Tahun 1991 tentang Bentuk dan SyaratsyaratPermintaan Pemeriksaan Substantif Paten;l. Keputusan Menkeh No. M.O8-HC.O2.10 Tahun 1991 tentang Pencatatan dan Permintaan Salinan Dokumen Paten;m. Keputusan Menkeh No. M.O4-PR.O7.10 Tahun 1996 tentang Sekretariat Komisi Banding Paten;n. Keputusan Menkeh No. M.O1-HC.O2.10 Tahun 1991 tentang Tata Cara Pengajuan Permintaan Banding Paten;Pada dasarnya yang dilindungi adalah ide atau gagasan yang nantinya diwujudkan dalam suatu bentuk karya intelektualitas, yang bisa dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis.[footnoteRef:8] Konsepsi perlindungan hukum terhadap Hak Paten sendiri didasarkan pada teori-teori, yang sejarah perkembangannya pada dasarnya hampir sama dengan sejarah perkembangan teori HAKI, dikarenakan sejarah munculnya dan berkembangnya teori HAKI justru di awali oleh konsep-konsep perlindungan terhadap penemuan yang selanjutnya dikenal sebagai hak paten. Konsepsi masyarakat beradab menyatakan bahwa orang dapat mempunyai anggapan mereka boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkan bagi mereka, apa-apa yang telah mereka temukan dan punyai untuk tujuan sendiri, apa yang telah mereka ciptakan dengan tenaga sendiri, dan apa yang telah mereka peroleh melalui ketertiban masyarakat dan perekonomian. Asas ini disebut suum cuiqe tribuere (benda yang diperoleh seseorang adalah benda miliknya).[footnoteRef:9] Konsepsi ini lahir dari konsep untuk perlindungan bagi hak Paten yang sedemikian hingga berkembang ke arah timbulnya upaya-upaya untuk melakukan perlindungan terhadap HAKI secara keseluruhan. [8: M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Op. Cit., h. 16] [9: Roscoe Pound, 1996, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Mohammad Radjab, Bharata Karya Aksara, Jakarta, h. 117-143]

Sistem Paten mulai berkembang di Eropa pada daerah perdagangan pada abad ke- 14 dan ke- 15 seperti di Italia dan Inggris. Hanya saja sifatnya sangat sederhana dan bukan ditujukan atas suatu penemuan (uitvinding, invention), melainkan untuk menarik para ahli luar negeri agar mengembangkan keahliannya di negara si pengundang. Sehingga Paten pada saat itu lebih semacam "izin menetap".Undang-Undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. [footnoteRef:10] [10: Asep Herman Suyanto, 2005, Peran Hak Atas Kekayaan Intelektual (Haki) Dalam Dunia Pendidikan, available from: URL: http://lemlit.unila.ac.id/hki/info/, diakses pada September 2011]

Pada tahun 1474 diterbitkan Peraturan Paten Venesia yang mengandung ketentuan yang mewajibkan si penemu untuk mendaftarkan penemuannya, sedangkan orang lain dilarang meniru atau menghasilkan produk yang mirip selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tanpa izin atau lisensi dari si penemu, juga memuat ketentuan yang mendorong kegiatan penemuan, imbalan yang wajar kepada si penemu dan hak si penemu atas hasil penemuannya.[footnoteRef:11] [11: Muhammad Djumhana, 2006, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori & Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 109]

Raja James I dari Inggris dengan Undang-Undang Monopoli 1624 membuat perubahan yang besar bagi perkembangan peraturan Paten. Undang-undang tersebut banyak menganut prinsip yang sampai sekarang dipakai dalam setiap peraturan Paten, yaitu di antaranya prinsip hasil temuan dan bukannya si penemu sebagai dasar pemberian Paten, juga prinsip tentang kewajiban si penemu untuk mengerjakan penemuannya di mana Paten itu di daftarkan. Ketentuan pada Pasal 6 Undang-undang tersebut mencantumkan jangka waktu lamanya perlindungan Paten, yaitu selama 14 (empat belas) tahun. Hanya saja peraturan di Inggris tersebut masih mencantumkan ketentuan memberikan Paten kepada warga negaranya yang berhasil mengimpor bentuk penemuan asing ke negara Inggris.[footnoteRef:12] [12: M. Djumhana dan R. Djubaedillah, Op. Cit., h. 109-110.]

Selanjutnya pada tahun 1623 lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies yang bersumber dari hukum-hukum tentang paten dari Italia yang diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an.[footnoteRef:13] [13: Asep Herman Suyanto, loc.cit.]

Sementara itu, pada tahun 1532 perlindungan atas hak paten mulai dikenal dalam tradisi Hukum Yahudi (the Jewish laws), Talmud, yang berisikan contoh mengenai ketetapan tentang larangan mencuri gagasan (Gnevat daat).[footnoteRef:14] Selanjutnya gagasan agar suatu penemuan merupakan kepemilikan yang dijadikan hak juga muncul dalam sistem hukum Prancis pada 1791, di mana dinyatakan bahwa Semua penemuan baru itu merupakan milik penemunya (author).[footnoteRef:15] Sedangkan di Eropa, gagasan tentang kepemilikan hak intelektual berawal dan tulisan penulis Prancis A. Nion dengan karyanya pada 1846 Droits civils des auteurs, artistes et inventeurs (hukum sipil tentang penulis, seniman dan penemu).[footnoteRef:16] Nion menggunakan istilah propriete intellectuelle [14: Pranay Gupte, 2005, Fighting for Intellectual Property Rights, The Sun, New York, October 31, 2005 available from: URL: http://www.nysun.com/business/fighting-for-intellectual-property-rights/22289/, diakses pada September 2011] [15: Lemley, M., Property, Intellectual Property and Free Riding, Texas Law Review, Vol. 83, h. 1031] [16: Pranay Gupte, Loc. Cit.]

Dengan demikian, tulisan mengenai sejarah perkembangan teori hak paten, akan menyajikan sejumlah teori yang juga merupakan bagian dari sejarah perkembangan teori HAKI.

2. Teori Hukum Yang Secara Umum Melandasi Perkembangan Teori Hak Paten2.1.Teori Keadilan AristotelesAristoteles (384-322 SM) merupakan murid terkemuka dari Plato (427-348 SM), seorang tokoh pemikir idealis. Aristoteles berpendapat bahwa kehidupan yang baik justru harus dicari dan bertolak dari realitas manusia sendiri. Dari realitas indrawi kongkret inilah akal budi manusia mengabstraksikan apa yang disebut kebaikan. Aristoteles menjadi salah satu tokoh utama dalam kelompok pemikiran Teleologis, yaitu paham bahwa baik-buruknya tindakan etis ditentukan oleh tujuan tertentu. Karena itu, menurut kaum teleolog, etika adalah konsep yang relatif terhadap tujuan.[footnoteRef:17] [17: Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, h. 1087]

Yang sangat penting dari pandangan Aristoteteles adalah bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Menurut Aristoteles keadilan berisi suatu unsur kesamaan, bahwa semua benda-benda yang ada di alam ini dibagi secara rata yang pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Dalam pandangan Aristoteles keadilan dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang.[footnoteRef:18] [18: Muslehuddin, M., 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, Tiara Wacana, Yogyakarta, h. 36]

Aristoteles berpendapat bahwa keadilan distributif berkaitan dengan distribusi berdasarkan peran dan fungsi masing-masing dalam masyarakat.[footnoteRef:19] Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.[footnoteRef:20] Keadilan Distributif selanjutnya menjadi dasar pemikiran dan perkembangan teori HAKI dimasa-masa berikutnya. [19: Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, h. 239] [20: Ibid., h. 25]

2.2.Teori Hukum AlamTeori hukum alam (the natural right) adalah teori pertama yang mendasari konsepsi perlindungan hukum terhadap HAKI. Teori ini digunakan sebagai landasan moral dan filosofis atas tuntutan untuk melindungi hak kekayaan individu berupa kekayaan intelektual.[footnoteRef:21] Ide dasar dari teori ini adalah kekayaan intelektual merupakan milik sang kreator. Sehingga, menjadi wajar jika kepada sang kreator diberikan perlindungan terhadap setiap hak yang melekat pada invensinya.[footnoteRef:22] Oleh karena itu, pengambilan dengan tidak memberikan kompensasi bagi pemiliknya adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena melanggar ajaran moral yang baik. Dalam ajaran moral biasanya diwujudkan dalam doktrin: jangan mencuri atau jangan mengambil apa yang bukan milikmu. [21: Ibid. ] [22: Arthur R. Miller dan Michael H. Davis, 1983, Intellectual Property Patents, Trademarks, and Copyright in A Nutshell, West Publishing Co, St. Paul, Minnesota, h. 15]

Doktrin tersebut oleh rezim HAKI diadopsi untuk memberikan landasan guna memberikan perlindungan bagi individu pemilik HAKI agar hak-haknya tidak dilanggar oleh orang lain. Namun, sesungguhnya doktrin hukum alam yang disebutkan di atas bersifat lebih luas daripada sekadar melindungi individu pemilik HAKI, karena doktrin itu juga dapat diterapkan untuk melindungi hak-hak pihak lain, termasuk hak masyarakat lokal atau masyarakat tradisional. Salah satu dasar argumennya adalah apa yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas tentang kodrat manusia serta John Locke tentang hak alami.1)Thomas Aquinas (1225-1274)Thomas Aquinas selaku salah satu pelopor hukum alam mengatakan bahwa hukum alam merupakan hukum akal budi, karena itu hanya diperuntukkan bagi makhluk yang rasional. Dengan demikian, seseorang memiliki hak terhadap segala sesuatu yang dihasilkannya. Aquinas mengemukakan bahwa hak untuk memperoleh pemilikan adalah salah satu dari persoalan-persoalan yang diserahkan hukum alam kepada negara sebagai badan yang tepat untuk mengatur kehidupan sosial, artinya hak milik pribadi mempunyai fungsi sosial.[footnoteRef:23] [23: Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 88-89]

Aquinas melihat kodrat manusia bersifat teleologis, yaitu memiliki kecenderungan yang terarah pada tujuan tertentu. Apa yang dituju atau apa yang menjadi orientasi kodrat manusia itu adalah baik atau kebaikan Realisasinya akan menjadi pemenuhan dan penyempurnaan dari kodrat manusia. Oleh karena itu kita dapat menyebutkan kebaikan sebagai nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Aquinas, kebaikan (goodness) dan kebahagiaan (happiness) sebagai tujuan akhir dari semua tindakan manusia merupakan landasan moral bagi hukum positif. Dengan demikian, terdapat kaitan yang sangat erat antara hukum moral dengan hukum positif, dalam arti bahwa hukum positif harus selaras dengan moral. Hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai dengan kodratnya, menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum. Dalam Summa Theologiae, Aquinas mendefinisikan hukum sebagai perintah akal budi demi kebaikan umum dan disebarluaskan (promulgation) oleh orang yang bertugas memimpin masyarakat. Karakteristik hukum yang demikian antara lain: [footnoteRef:24] [24: Agus Sardjono, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, PT. Alumni, Bandung, h. 28-31]

1) Rasional, karena merupakan perintah akal budi. Artinya, jika seseorang menghendaki suatu tujuan tertentu, akal budinya memerintahkan tentang apa yang seharusnya dilakukannya untuk mencapai suatu tujuan tertentu, 2) Teleologis, atau berorientasi pada suatu tujuan tertentu, yaitu demi kebaikan umum, 3) Untuk kepentingan tersebut, maka pembuatan hukum menjadi wewenang masyarakat secara keseluruhan atau menjadi wewenang seseorang yang ditunjuk mewakili masyarakat.

Hubungan hukum alam dan hukum positif biasanya dirumuskan dalam bentuk hak. Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain atas dasar prinsip kesamaan. Sesuatu dapat menjadi hak seseorang melalui dua cara.[footnoteRef:25] Pertama, sesuatu dapat menjadi hak seseorang melalui kodratnya yang disebut hak kodrati. Hak kodrati sebagaimana diatur oleh hukum alam bersumber dari Tuhan. Kedua, sesuatu dapat menjadi hak seseorang melalui perjanjian atau persetujuan dengan orang lain, baik persetujuan antar individu maupun persetujuan publik. Hak yang kedua ini disebut hak positif dan diatur di dalam hukum positif. [25: Ibid.]

2)John Locke (1632 1704) Menurut John Locke, filsuf Inggris abad ke 18, hak milik adalah satu dari tiga hal yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Manusia lahir tabula rasa artinya dalam keadaan bebas dan setara di bawah hukum kodrat. Hukum kodrat melarang siapapun merusak, menghilangkan (1) kehidupan, (2) kebebasan, (3) serta hak milik. Ketiga hal ini menurut Locke tidak dapat dilepaskan dari diri manusia karena datangnya dari Yang Maha Kuasa. Dari ketiga hak itu, hak miliklah yang menjadi perhatian Locke. Katanya, setiap manusia memiliki dirinya sendiri sebagai miliknya. Tak seorangpun memiliki hak atas pribadi orang lain kecuali pemiliknya sendiri, termasuk hasil kerja tubuhnya dan karya tangannya,[footnoteRef:26] serta panca indranya. Menurut Locke, manusia memiliki apapun yang ada dalam dirinya termasuk akal budinya, buah pikiran, ide atau gagasan serta kepekaannya yang kemudian diolah dengan memadukan, memisahkan, mengurangi atau menambah apa yang sudah ada di alam dan menyatakan secara bertanggungjawab bahwa dialah yang empunya gagasan itu. Hak itu diberikan oleh negara dan disahkan sebagai miliknya karena ide/gagasannya atau produknya mempunyai nilai komersial dan dapat dijadikan aset pribadi dan digunakan untuk kepentingan dan kemajuan serta kesejahteraan manusia.[footnoteRef:27] [26: Thumm Nikolaus. 2000, Intellectual Property Rihts: National Systems and Harmonisation in Europe, Physica-Verl, New York, h.5 ] [27: Reza A. A. Wattimena, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Jogyakarta, h. 16]

Dalam tulisannya yang berjudul the Glorius Revolution (1688), John Locke mengemukakan bahwa individu-individu itu mempunyai hak alami (hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik) kemudian teori ini didukung oleh pendapat para sarjana hukum, para filsuf dan kaum moralis bahwa setiap manusia mempunyai hak dasar yang dalam perkembangan selanjutnya pemikiran John Locke ini kemudian menjadi dasar lahirnya hak asasi manusia.[footnoteRef:28] Menurutnya, HAKI merupakan suatu hak alamiah atau hak dasar yang dimiliki seseorang berkaitan dengan intelektualitas (akal atau rasio) manusia. Hak Alamiah atau hak dasar yang dimiliki oleh manusia ini harus dihormati dan dihargai oleh setiap manusia lain. Seseorang yang telah mencurahkan usahanya untuk menciptakan sesuatu selanjutnya mempunyai hak alamiah atau hak dasar untuk memiliki dan mengontrol segala yang telah diciptakannya, sehingga perlu ada pemberian pengakuan atas kekayaan intelektual seseorang [28: Satya Arinanto, 2005, Kumpulan Materi Transparansi Mata Kuliah Negara Hukum dan Demokrasi: Pemikiran HAM dalam Perspektif Sejarah 2004-2005, Pascasarjana FH UI Kerja Sama dengan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, h. 7]

Hak milik intelektual mulai diperjuangkan sebagai hak individual di negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common Law atau Anglo Saxon dimana hak milik benar-benar diperjuangkan sebagai hak individual. Sistem hukum Common Law dan Eropa Kontinental mempunyai pemahaman yang berbeda tentang hak milik. Di dalam sistem hukum Common Law hal ini dapat dilihat dalam Hukum Privatnya dimana diatur kaidah-kaidah hukum tentang Hak Milik (Law Property) secara rinci.[footnoteRef:29] Tidak demikian dengan sistem hukum Eropa Kontinental. [29: Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 68-70]

Melalui bukunya ini, pemikiran John Locke tentang hak milik sangat mempengaruhi perkembangan Teori HAKI selanjutnya.2.3.Teori Utility (Jeremy Bentham) Falsafah AS banyak dipengaruhi oleh utilitarian-(utility). Utilitarianisme atau utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan yang dimaksud diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).[footnoteRef:30] Tolak ukur baik atau buruk, adil atau tidak suatu hukum menurut aliran ini adalah kebahagiaan. Jika hukum mampu memberikan kebahagiaan kepada manusia, maka hukum itu adil, dan begitu pula sebaliknya. [30: Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Op. Cit., h. 117]

Utilitarianisme menghendaki kebahagiaan selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu, tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut. Pernyataan ini sering dikenal dengan pandangan the greatest happiness for the greatest number of people. Oleh sebab itu tujuan hukum menurut aliran ini adalah menciptakan ketertiban masyarakat , di samping memberikan manfaat yang sebesar- besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak.[footnoteRef:31] Jadi prinsip yang paling menonjol dari utilitarianisme adalah prinsip manfaat. [31: Ibid.]

Falsafah utilitarian menjadi dasar bagi hukum AS, termasuk hukum hak cipta. Article I, section 8 US Constitution menyebutkan: The Congress shall have Powerto promote the Progress of Science and usefull Arts, by securing for limited Times to Authors and Inventors the exclusive Right to their respective Writings and DiscoveriesBerbeda dengan Undang-Undang Hak Cipta Perancis yang menggunakan istilah author right, Undang-Undang Hak Cipta Amerika Serikat menggunakan istilah copyright. Amanat konstitusi dalam article 1 section 8 menunjukkan bahwa AS memandang tujuan utama pemberian hak cipta adalah dalam rangka mendorong produksi ciptaan yang kreatif untuk kepentingan dan keuntungan publik.[footnoteRef:32] Oleh sebab itu, Undang-Undang Hak Cipta AS lebih mengutamakan kepentingan publik dari pada kepentingan pencipta. Prinsip manfaat untuk kepentingan publik diwujudkan dengan upaya menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi produsen dan kepentingan ekonomi konsumen. [32: Budi Santoso, 2007, Dekonstruksi Hak Cipta: Studi Evaluasi Konsep Pengakuan Hak Dalam Hak Cipta Indonesia, Kapita Selekta Hukum, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, h. 9]

Pandangan utilitarian yang menjadikan Undang-Undang Hak Cipta AS lebih melindungi kepentingan ekonomi dari pada hak moral pencipta berdampak pada cara pengakuan terhadap hak cipta. Hak cipta tidak diakui sebagai hak alamiah seperti di Perancis, tetapi dipandang sebagai pemberian undang-undang. Negara, melalui undang-undang berhak menentukan tata cara dan persyaratan untuk memperolehnya. Jadi, hak cipta tidak diakui secara otomatis tetapi setelah mengikuti tata cara dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang

3.Teori-Teori Hak Paten Yang Berkembang Saat IniPada tahun 1950, Fritz Machlup dan Edith Penrose dalam bukunya An Economic Review of the Patent System, mengidentifikasi empat teori yang menjustifikasi perlindungan paten natural law, reward by monopoly, monopoly-profit- incentive, dan exchange for secrets, yang dijelaskan sebagai berikut: [footnoteRef:33] [33: Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company, Sydney, h. 868-869]

1)Natural Law Theory memvalidasi penemuan sebagai suatu kekayaan atau kepemilikan (property). Ia mengasumsikan bahwa seseorang yang menemukan sesuatu akan memiliki hak atas penemuannya sebagai suatu kekayaan atau kepemilikan. Akibatnya, setiap pengambilan pemanfaatan atasnya seharusnya dihukum sebagai suatu pelanggaran atas kekayaannya.2)Reward by monopoly Theory memvalidasi pemberian hak kepada penemu atas kontribusinya kepada masyarakat. Adqlah tidak fair dan demikian tidak adil, jika seseorang menggunakan ide penemu tersebut tanpa kompensasi atas waktu dan tenaga kerja yang diinvestasikannya.3)Monopoly-Profit-Incentive Theory memberikan insentif kepada inventor. Tujuannya untuk mendorong kegiatan penelitian dan memaksimalisasikan penemuan yang pada gilirannya mengembangkan kegiatan industri.4)Exchange for Secrets Theory sama halnya dengan teori insentif pada teori monopoli. Akan tetapi pengembangan industri sangat tergantung pada keterbukaan atau kerahasiaan atas suatu penemuan.

Tampaknya keempat teori tersebut tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu, ia harus diinterpretasi secara simultan. Hal ini disebabkan karena masing-masing teori mengandung keterbatasan, baik secara teknis ataupun konseptual, dalam memvalidasi perlindungan Hak Paten. Teori Hukum Alam dan Imbalan melalui Monopoli (natural law and reward by monopoly theories) hanya memperkuat kepentingan inventor semata yang dapat mengimplikasikan monopoli permanen atau abadi; dan memungkinkan ciptaan yang bebas, mandiri dan menekankan pada ex post facto justice, bukan pada insentif untuk menciptakan sesuatu. Griffith mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam teori hukum alam ini, antara lain: (i) semata-mata didasarkan atas kepentingan inventor; (ii) akan berimplikasi pada monopoli yang permanen atau abadi; (iii) memungkinkan penciptaan yang sebebas-bebasnya, tanpa criteria nilai. Sedangkan imbalan (reward) pada teori monopoli memuat beberapa kelemahan: (i) teori ini memberikan ruang yang lebih besar bagi kepentingan inventor, bukan kepentingan masyarakat; (ii) teori ini juga menekankan ex post facto justice, bukan insentif untuk berkreasi; [footnoteRef:34] [34: Griffith, P.B.C., 1993, Patent Notes, Law School, UTS, h. 48.]

Begitu pula, teori incentive by monopoly dan monopoly exchange for secrets' theories lebih menekankan pada kepentingan masyarakat dan insentif semata, bukan pada reward atau imbalan. Selain itu, perkembangan industri yang diadvokasi oleh teori yang terakhir ini sangat tergantung pada keterbukaan rahasia pada penemuan[footnoteRef:35]. [35: Ibid.]

David I Bainbridge menyampaikan tentang Teori Insentif yang pada dasarnya berpendapat bahwa: The Incentive Theory. By Contructing a framework whereby invention is rewarded, this will act as an incentive to make a new inventions and to invest the necessary time and capital. This a forward-looking approach construed to the latter which is retrospective[footnoteRef:36] [36: David I Bainbridge, 2002, Intellectual Property fifth Edition, Pearson Longman, Edinburgh, h. 3]

Teori Insentive ini menyatakan bahwa apabila setiap invensi diberikan sebuah reward akan mampu bertindak sebagai perangsang untuk tumbuhnya inventor-inventor baru dalam pengembangan suatu invensi terdahulu, untuk dijadikan suau investasi dalam waktu tertentu. Perangsangan terhadap perkembangan teknologi sangat diperlukan karena teknologi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah. Manusia merupakan titik tolak bagaimana teknologi akan dikembangkan yang dilakukan oleh daya cipta, karsa, dan karya manusia.Sebagaimana yang diungkapkan oleh Peter F. Drucker:Technology is not nature, but man. Its not about tools, it is about how man works. It is equally about how man lives and how man thinks.[footnoteRef:37] [37: Peter F. Drucker, 1989, The New Realities in Government, Politics, Economics, Business Society, and World view, Harper and Row Publisher, New York, h. 261]

Pendapat Peter F. Drucker sejalan dengan Teori insentif yang diungkapkan oleh David I Bainbridge, dimana dalam Teori Insentif menyatakan bahwa pemberian insentif kepada inventor akan mempu merangsang orang untuk mengembangkan dan/atau menciptakan sebuah teknologi baru. Penemuan sebuah teknologi baru bukan merupakan sebuah proses yang alamiah. Apabila sebuah invensi tidak ada perlindungan kepada inventor dengan pemberian hak-hak tertentu, berupa hak dalam jangka waktu yang ditetapkan secara ekslusif melaksanakan invensinya itu, maka sudah barang tentu inventor tersebut tidak akan mengumumkannya dan sebisa mungkin ia akan merahasiakannya. Dan apabila hal tersebut terjadi, maka orang lain tidak bisa melakukan pengembangan akan invensi tersebut dan tidak ada lagi pengembangan teknologi. Secara umum ada beberapa manfaat dalam perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual.Lord Diplock menginspirasi Konsep spesifikasi dalam Catnic Components Ltd v Hill and Smith Ltd , yang menegaskan pentingnya beberapa elemen substansial, seperti: (i) kata-kata klaim yang diuji oleh para ahli dalam bidang yang terkait, (ii) invensi utama yang berkaitan dengan klaim, (iii) spesifikasi yang tidak hanya memuat detail invesi, tetapi juga tujuan dari konstruksi paten. [footnoteRef:38] Sementara itu Kohler menegaskan tentang konsep penemuan yang tidak dapat dipisahkan dari konsep teknologi dalam hukum paten, yang mana teknologi mensyaratkan adanya level kreatifitas dan dapat merespon tuntutan atau kebutuhan masyarakat, dengan menyatakan bahwa "invention is an expression of creation of an idea which is useful for satisfying the demand of man by overcoming nature utilizing natural force to obtain a certain effect.[footnoteRef:39] [38: Griffith, P.B.C., 2000, Patent Notes: Novelty in Patent Law, Lecture Materials, Faculty of Law, UTS, h.5] [39: Hanabusa, Masami, 1992, An Analysis of Japanese Patent law, Brunswick Publishing, Richmond, h.23]

Robert M Sherwood mengemukakan teori-teori berkaitan dengan pentingnya memberikan perlindungan hukum, terutama kepada karya-karya kreatifitas intelektual manusia, sebagai berikut: [footnoteRef:40] [40: Robert M. Sherwood, 1990, Intellectual Property and Economic Development, Alexandria, Virginia, h. 37-41]

1)Reward Theory: Pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan seseorang sehingga kepadanya diberikan penghargaan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan atau menciptakan karya-karya intelektual.2)Recovery Theory: Penemu, pencipta dan pendesain yang telah mengeluarkan waktu dan biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut.3)Incentive Theory: Pengembangan kreatifitas dengan memberikan insentif bagi para penemu atau pencipta dimana insentif perlu diberikan untuk mengupayakan lahirnya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna.4)Risk Theory: Hak Kekayaan Intelektual merupakan hasil dari suatu penelitian yang mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya, sehingga dengan demikian wajar untuk memberikan perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut.5)Economic Growth Stimulus Theory: Teori ini mengakui perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu alat pembangunan ekonomi, yaitu suatu sistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang efektif.

Teori ini sangat relevan untuk dijadikan dasar perlindungan HKI saat ini terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas dan konsekuensi diratifikasinya kesepakatan WTO oleh Indonesia. Konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam WTO adalah harus diciptakannya perlindungan HKI yang memadai baik bagi HKI nasional maupun HKI asing.[footnoteRef:41] Teori-teori ini tampak sangat kental menekankan pada pendekatan reward yang bermotif ekonomi pada individu-individu, serta sejalan dengan pemikiran John Locke dengan teori hukum alam atau hukum moralnya. Teori-teori tersebut gagasan dasarnya berangkat dari pemikiran bahwa suatu hak secara alami atau natural akan lahir pada suatu karya yang berasal dari hasil investasi individu. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka kekayaan intelektual adalah hak individu dan milik sang kreator (individual rights). [41: Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta, h. 91]

Sebagai perbandingan, Nico Kansil juga menyampaikan beberapa teori yang serupa, diantaranya:[footnoteRef:42] [42: Nico Kansil, 1993, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Intelektual, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Hak Milik Intelektual, Undip Semarang, tanggal 27 April 1993]

1)Teori Reward, yaitu bahwa kepada pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, serta penemu di bidang teknologi baru yang mengandung langkah inovatif serta dapat diterapkan dalam industri, diberikan suatu penghargaan dan pengakuan serta perlindungan hukum atas keberhasilan upayanya dalam melahirkan ciptaan baru itu. 2)Teori Recovery, yaitu bahwa atas usaha dari pencipta dan penemu yang telah mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, kepadanya diberikan hak eksklusif untuk mengeksploitasi HKI guna meraih kembali apa yang telah dikeluarkannya. 3)Teori Incentive, yaitu bahwa insentif diberikan untuk merangsang kreativitas dan upaya menciptakan karya-karya baru di bidang teknologi. 4)Teori Public Benefit, yaitu bahwa HKI merupakan suatu alat untuk meraih dan mengembangkan ekonomi.

Disamping itu, Anthony D'Amato dan Doris Estelle Long juga mengemukakan beberapa teori lain mengenai perlindungan Hak Paten sebagai berikut:[footnoteRef:43] [43: Anthony D'Amato & Doris Estelle Long, 1997, International Intellectual Property Law, Kluwer Law International, London, h. 18]

1)Prospect TheoryTeori prospek merupakan salah satu teori perlindungan HAKI di bidang paten, Dalam hal seorang penemu menemukan penemuan besar yang sekilas tidak begitu memiliki manfaat yang besar namun kemudian ada pihak lain yang mengembangkan penemuan tersebut menjadi suatu temuan yang berguna dan mengandung unsur inovatif, penemu pertama berdasarkan teori ini akan mendapat perlindungan hukum atas temuan yang pertama kali ditemukannya tersebut. Dalam hal ini penemu pertama mendapat perlindungan berdasarkan asumsi bahwa pengembangan penemuannya tersebut oleh pihak selanjutnya hanya merupakan aplikasi atau penerapan dari apa yang ditemukannya pertama kali.2)Trade Secret Avoidance TheoryMenurut teori ini, apabila perlindungan terhadap hak paten tidak eksis, perusahaan-perusahaan akan mempunyai insentif besar untuk melindungi penemuan mereka melalui rahasia dagang. Perusahaan akan melakukan investasi berlebihan di dalam menyembunyikan penemuannya dengan menanamkan modal yang berlebihan. Berdasarkan teori ini, perlindungan hak paten merupakan suatu alternatif yang secara ekonomis sangat efisien.3)Rent Dissipation TheoryTeori ini juga bermaksud untuk memberikan perlindungan hukum kepada penemu pertama atas temuannya. Seorang penemu pertama harus mendapat perlindungan dari temuan yang dihasilkannya walaupun kemudian penemuan tersebut akan disempurnakan oieh pihak lain yang kemudian berniat untuk mematenkan penemuan yang telah disempurnakan tersebut. Apabila penemuan yang telah disempurnakan tersebut dipatenkan, hasil penemuan dari penemu semula akan kalah bersaing di pasaran. Rent Dissipation Theory menyebutkan bahwa suatu penemuan dapat diberikan hak paten bilamana penemuan itu sendiri mengisyaratkan cara-cara dengan mana ia dapat ditingkatkan dan dibuat secara komersial lebih berguna.

Beberapa prinsip-prinsip keseimbangan antara kepentingan publik dan individu yang melatarbelakangi sekaligus mendasari perkembangan hak Paten, diantaranya:[footnoteRef:44] [44: Tim Lindsay, et all., Op. Cit., h. 90.]

a. Prinsip keadilan (the Principal of Natural Justice). Hak kekayaan intelektual menganut prinsip ini dengan memberikan hak kepada pencipta, inventor, atau pendisain untuk memperoleh imbalan dengan memberikan hak ekonomi dan hak moral.b. Prinsip ekonomi, yaitu prinsip untuk dapat menikmati keuntungan. Misalnya dalam bentuk royalty, technical fee, dll.c. Prinsip kebudayaan, yaitu bahwa hasil inventor, ciptaan, atau pendisain dapat meningkatkan taraf hidup, peradaban, dan martabat manusia.d. Prinsip sosial, yaitu prinsip bahwa di dalam hak yang diberikan oleh Negara terkandung juga pemenuhan kepentingan masyarakat yang harus dipenuhi.Selanjutnya, Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli mengemukakan beberapa alasan mengapa HAKI perlu dilindungi, yaitu: [footnoteRef:45] [45: Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli, 1998, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Lembaga Penelitian ITB-Ditjen HCPM Dep. Kehakiman RI, Sasana Budaya Ganesa, tgl. 28 November 1998, h. 2]

1)Bahwa hak yang diberikan kepada seorang pencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, atau inventor di bidang teknologi Baru yang mengandung langkah inventif merupakan wujud dari pemberian suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan manusia dalam melahirkan karya-karya inovatifnya. Dengan demikian, sudah merupakan konsekuensi hukum untuk diberikannya suatu perlindungan hukum hagi penemu atau pencipta dan kepada mereka yang melakukan kreativitas dengan mengerahkan segala kemampuan intelektual tersebut seharusnya diberikan suatu hak eksklusif untuk mengeksploitasi HAKI tersebut sebagai imbalan atas jerih payahnya itu.2)Terdapat sistem perlindungan HAKI yang dengan mudah dapat diakses pihak lain, sebagai contoh dapat dikemukakan paten yang bersifat terbuka. Penemunya berkewajiban untuk menguraikan penemuannya tersebut secara rinci, yang memungkinkan orang lain dapat belajar atau melaksanakan penemuan tersebut. Untuk itu, merupakan suatu kewajaran dan keharusan untuk memberikan suatu hak eksklusif kepada inventor untuk dalam jangka waktu tertentu menguasai dan melakukan eksploitasi atas penemuannya itu.3)Alasan ketiga mengenai perlunya perlindungan terhadap HAKI adalah HAKI yang merupakan hasil ciptaan atau penemuan yang bersifat rintisan dapat membuka kemangkinan pihak lain untuk mengembangkan lebih lanjut penemuan yang dihasilkan oleh penemu. Oleh karena itu, penemuan-penemuan mendasar pun harus dilindungi meskipun mungkin belum memperoleh perlindungan di bawah rezim hukum paten, dapat dikategorikan sebagai rahasia dagang atau informasi yang dirahasiakan.

Selanjutnya, Ranti Fauza Mayana menyampaikan beberapa teori perlindungan hukum HAKI yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan terhadap berbagai teori perlindungan hukum bagi HAKI yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood, yaitu sebagai berikut: [footnoteRef:46] [46: Ranti Fauza Mayana, Op. Cit., h. 45-46]

1)Mengenai Reward Theory, Recovery Theory dan Incentive Theory, menurutnya, ketiga teori ini pada intinya memiliki visi yang sama berupa pemberian penghargaan kepada para penemu/pencipta dan pendesain atas karya intelektual yang telah dihasilkannya. Dalam perkembangannya pemberian penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim kondusif agar masyarakat tetap kreatif, sebab penghargaan yang tidak memadai akan membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, teori-teori tersebut perlu disempurnakan dengan memasukkan kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat sehingga penghargaan tidak dianggap sebagai satu-satunya upaya memberikan keuntungan untuk individu penemu/pencipta/pendesain, tetapi lebih jauh adalah untuk menciptakan kreativitas secara nasional. Dengan demikian maka pemberian penghargaan tersebut akan merupakan sumbangan konkret bagi negara dalam pembangunan teknologi dan pembangunan ekonominya, sehingga kemudian dinamakan Teori Kepentingan Makro.2)Mengenai Risk Theory, menurutnya, risiko yang mungkin timbul dari penggunaan secara ilegal yang menimbulkan kerugian secara ekonomis maupun moral bagi penemu/pencipta dan pendesain tersebut dapat dihindari jika terdapat landasan hukum yang kuat yang berfungsi untuk melindungi HAKI tersebut. Namun dalam kenyataannya, kesulitan mengatasi risiko ini dapat pula timbul dari ketemahan dalam penegakan hukum itu sendiri (law enforcement) meskipun hukum yang ada telah cukup memberikan perlindungan. Oleh karena itu, teori risk harus diartikan secara luas, tidak hanya sekadar penyediaan perangkat hukum semata-mata, tetapi di dalamnya juga harus diakomodasikan pula kemampuan aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan langkah untuk membudayakan perlindungan HAM di kalangan masyarakat itu sendiri, mengingat risiko pelanggaran HAM akan tetap potensial terjadi jika budaya masyarakat tidak mendukung perlindungan itu. Sehingga dengan demikian, teori risk tersebut harus disempurnakan dengan memasukkan unsur-unsur sosio budaya sebagai faktor pendukung perlindungan HAM.3)Mengenai Economic Growth Stimulus Theory, menurutnya, teori ini sangat relevan untuk dijadikan dasar perlindungan HAM saat ini terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas dan konsekuensi diratilikasinya kesepakatan WTO oleh Indonesia. Konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam WTO adalah harus diciptakannya perlindungan HAM yang memadai baik bagi HAKI nasional maupun HAKI asing. Ketidakmampuan suatu negara untuk melindungi HAKI asing dapat dijadikan alasan pembenar bagi penerapan sanksi ekonomi dan bentuk cross retaliation. Dengan demikian, perlindungan HAM tidak hanya sekadar sebagai alat pembangunan ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah sebagai alat perlindungan pembangunan ekonomi nasional itu sendiri.

Dalam teori hukum paten terdapat dua macam tes dari unsur inventif tersebut, yaitu pendekatan secara subjektif dan secara objektif, yaitu:[footnoteRef:47] [47: Chairul Anwar, 1992, Hukum Paten Dan Perundang-undang Paten Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 2-3]

Pendekatan secara subjektif menerangkan hal-hal yang menurut pengertian sehari-hari dari seorang mekanik biasa atau seorang ahli dalam bidang bersangkutan tentang apa yang dicapai oleh penemuan tersebut harus lebih maju dari apa yang dlbuat dalam bidang keahlian tadi oleh orang-orang yang mempunyai keahlian dalam bidang bersangkutan. Suatu penemuan baru harus menunjukkan suatu yang genius, dan harus melebihi apa yang dapat dihasilkan secara biasa atau secara normal. Kemudian dilanjutkan dengan tes secara objektif atau suatu konsep yang mencari dasar pentingnya penemuan tersebut, dengan jalan meneliti apakah penemuan itu telah lama diinginkan, apakah orang lain menemui kegagalan dalam usaha yang sama.

4.SimpulanPerkembangan teori Hak Paten hampir sama dengan sejarah perkembangan teori HAKI, dikarenakan sejarah munculnya dan berkembangnya teori HAKI justru di awali oleh konsep-konsep perlindungan terhadap penemuan yang selanjutnya dikenal sebagai hak paten. Pada dasarnya ada beberapa teori hukum yang secara umum melandasi terbentuknya dan berkembangnya teori tentang Hak Paten, yaitu teori Keadilan, Teori Hukum Alam dan Teori Utility. .Pada tahun 1950, Fritz Machlup dan Edith Penrose mengidentifikasi empat teori yang menjustifikasi perlindungan paten natural law, reward by monopoly, monopoly-profit- incentive, dan exchange for secrets. Selanjutnya David I Bainbridge menyampaikan tentang Teori Insentif yang sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Peter F. Drucker.Lord Diplock menginspirasi Konsep spesifikasi yang menegaskan pentingnya beberapa elemen substansial, seperti: (i) kata-kata klaim yang diuji oleh para ahli dalam bidang yang terkait, (ii) invensi utama yang berkaitan dengan klaim, (iii) spesifikasi yang tidak hanya memuat detail invesi, tetapi juga tujuan dari konstruksi paten. Kohler menegaskan tentang konsep penemuan yang tidak dapat dipisahkan dari konsep teknologi dalam hukum paten.Robert M. Sherwood mengembangkan Labor Theory dengan mengemukakan teori-teori yaitu Reward Theory, Recovery Theory, Incentive Theory, Risk Theory, Economic Growth Stimulus Theory, dan sebagai perbandingan, Nico Kansil juga menyampaikan beberapa teori yang yang serupa, diantaranya: Teori Reward, Teori Recovery, Teori Incentive dan Teori Public Benefit. Sementara itu, Anthony D'Amato dan Doris Estelle Long mengemukakan beberapa teori lain mengenai perlindungan HAKI, yaitu Prospect Theory, Trade Secret Avoidance Theory dan Rent Dissipation Theory. Selanjutnya, Ranti Fauza Mayana menyampaikan beberapa teori perlindungan hukum HAKI yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan terhadap berbagai teori perlindungan hukum bagi HAKI yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood, yaitu sebagai berikut:1)Mengenai Reward Theory, Recovery Theory dan Incentive Theory, ketiga teori ini perlu disempurnakan dengan memasukkan kepentingan makro sebagai upaya untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat sehingga penghargaan tidak dianggap sebagai satu-satunya upaya memberikan keuntungan untuk individu penemu/pencipta/ pendesain, tetapi lebih jauh adalah untuk menciptakan kreativitas secara nasional. (Teori Kepentingan Makro). 2)Mengenai Risk Theory, teori ini harus disempurnakan dengan memasukkan unsur-unsur sosio budaya sebagai faktor pendukung perlindungan HAM. 3)Mengenai Economic Growth Stimulus Theory, teori ini sangat relevan untuk dijadikan dasar perlindungan HAM saat ini terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas dan konsekuensi diratilikasinya kesepakatan WTO oleh Indonesia. Dengan demikian, perlindungan HAM tidak hanya sekadar sebagai alat pembangunan ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah sebagai alat perlindungan pembangunan ekonomi nasional itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta.Agus Sardjono, 2006, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, PT. Alumni, Bandung.Anthony D'Amato & Doris Estelle Long, 1997, International Intellectual Property Law, Kluwer Law International, London.Arthur R. Miller dan Michael H. Davis, 1983, Intellectual Property Patents, Trademarks, and Copyright in A Nutshell, West Publishing Co, St. Paul, Minnesota.Budi Santoso, 2007, Dekonstruksi Hak Cipta: Studi Evaluasi Konsep Pengakuan Hak Dalam Hak Cipta Indonesia, Kapita Selekta Hukum, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.Chairul Anwar, 1992, Hukum Paten Dan Perundang-undang Paten Indonesia, Djambatan, Jakarta.Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.David I Bainbridge, 2002, Intellectual Property fifth Edition, Pearson Longman, Edinburgh.Endang Purwaningsih, 2005, Perkembangan Hukum Intellectuall Property Right: Kajian Hukum Terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, Ghalia Indonesia, Bogor.Griffith, P.B.C., 2000, Patent Notes: Novelty in Patent Law, Lecture Materials, Faculty of Law, UTS.Griffith, P.B.C., 1993, Patent Notes, Law School, UTS.Hanabusa, Masami, 1992, An Analysis of Japanese Patent law, Brunswick Publishing, Richmond.Lemley, M., Property, Intellectual Property and Free Riding, Texas Law Review, Vol. 83. Lorens Bagus, 1996, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.Muhammad Djumhana, 2006, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori & Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. M. Djumhana dan R. Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.Muslehuddin, M., 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, Tiara Wacana, Yogyakarta.OK. Saidin, 1995, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),: RajaGrafindo Persada, Jakarta.Peter F. Drucker, 1989, The New Realities in Government, Politics, Economics, Business Society, and World view, Harper and Row Publisher, New York.Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta.Reza A. A. Wattimena, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Jogyakarta.Ricketson, S., 1984, The Law of Intellectual Property, Law Book Company, Sydney.Robert M. Sherwood, 1990, Intellectual Property and Economic Development, Alexandria, Virginia.Roscoe Pound, 1996, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Mohammad Radjab, Bharata Karya Aksara, Jakarta. Thumm Nikolaus. 2000, Intellectual Property Rihts: National Systems and Harmonisation in Europe, Physica-Verl, New York. Tim Lindsey, et all, 2006, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Alumni, Bandung. Asep Herman Suyanto, 2005, Peran Hak Atas Kekayaan Intelektual (Haki) Dalam Dunia Pendidikan, available from: URL: http://lemlit.unila.ac.id/hki/info/, diakses pada September 2011Budi Rahardjo, Perlukah HaKI bagi Negara Berkembang, Materi presentasi Lokakarya Terbatas Tentang HKI, Pusat Pengkajian Hukum (PPH) & Pusdiklat Mahkamah Agung, 10-11 Februari 2004Mieke Komar dan Ahmad M. Ramli, 1998, Perlindungan Hak Atas Kepemilikan Intelektual Masa Kini dan tantangan Menghadapi Era Globalisasi Abad 21, Lembaga Penelitian ITB-Ditjen HCPM Dep. Kehakiman RI, Sasana Budaya Ganesa, tgl. 28 November 1998.Nico Kansil, 1993, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Intelektual, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Hak Milik Intelektual, Undip Semarang, tanggal 27 April 1993Pranay Gupte, 2005, Fighting for Intellectual Property Rights, The Sun, New York, October 31, 2005 available from: URL: http://www.nysun.com/business/fighting-for-intellectual-property-rights/22289/, diakses pada September 2011Satya Arinanto, 2005, Kumpulan Materi Transparansi Mata Kuliah Negara Hukum dan Demokrasi: Pemikiran HAM dalam Perspektif Sejarah 2004-2005, Pascasarjana FH UI Kerja Sama dengan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta.

1