Upload
dawat-christian
View
52
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak
pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum
untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan
sebagainya. Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak
terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi
terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi
tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk
menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang
dinamakan praperadilan.1
Praperadilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan
inovasi-inovasi yang lain seperti limitasi atas proses penangkapan atau penahanan, membuat
KUHAP disebut juga sebagai karya agung (master-piece) (Al. Wisnubroto dan G. Widiartna,
2005: 7). Hal di atas dipertegas oleh Luhut M.P. Pangaribuan (2006: 21), dalam penerapan
upaya-upaya paksa (dwang midelen), sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan
pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia,
maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra
peradilan.
1 Ervan Saropie, Lembaga Hakim Literatur, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.
2
Munculnya lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam
habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental
kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap pejabat (polisi
atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan
tidak melanggar hak asasi manusia.2 Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga
peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru
dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.3
Berdasarkan pemaparan diatas, praperadilan merupakan suatu hal yang menarik untuk
dibahas. Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai seputar praperadilan secara
menyeluruh dan rinci didalam makalah ini sesuai dengan literatur-literatur yang ada dan juga
dalam sudut pandang KUHAP.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan hukum ini
adalah untuk memperoleh data guna mengetahui dan menganalisis :
1. Sebagai informasi mengenai pengertian praperadilan bagi masyarakat.
2. Sebagai informasi mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan bagi
masyarakat.
BAB II
2 Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, 1988, 58.
3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2003, 1.
3
RUMUSAN MASALAH
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka akan dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Praperadilan menurut KUHAP?
2. Siapa sajakah pihak-pihak yang dapat mengajukan Praperadilan menurut KUHAP?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Istilah dan Pengertian Praperadilan Menurut KUHAP
Pra artinya sebelum, atau mendahulii, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya
memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris
(Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar
dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan,
penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Misalnya penuntut umum di Belanda dapat minta pendapat hakim mengenai suatu
kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan transaksi (misalnya perkata
tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian) ataukah tidak. Meskipun ada
kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun wewenang praperadilan terbatas.
Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak.
Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah
penyitaan sah ataukah tidak.
4
Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris ( hakim yang memimpin
pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa
Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya
paksa (dwang mid-delen)¸penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan
pemeriksaan surat-surat.4 Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai
wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah
tidaknya suatu penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu
penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain itu, kalau hakim komisaris di negeri Belanda melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan
tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua instansi
tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis, mempunyai wewenang yang luas dalam
pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-
tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan
apakah suatu perkata cukup alas an untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau
cukup alas an, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut
ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alas an, ia akan membebaskan tersangka
dengan ordonance de non lieu.
Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge d’
Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani
olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya
dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa5.
4 Oemar Seno Adji, Hukum, Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 1980, 88.
5 Lintong Oloan Siahaan. Jalannya Peradilan Prancis LEbih Cepat dari Peradilan Kita. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1981, 92-94.
5
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan
pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak melakukan
pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat
pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alas an
ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut
umum. Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan tidak ada
kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan
penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan
merupakan salahsatu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan
pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan
yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
Hakim komisaris di negeri Belanda dapat selalu minta agar terdakwa dihadapkan
kepadanya walaupun terdakwa diluar kehendaknya. Ia dapat meminta terdakwa dibawa
kepadanya. Jika perlu untuk kepentingan pemeriksaan yang mendesak meminta dalam waktu
satu kali dua puluh empat jam dapat juga memeriksa saksi-saksi dan ahli-ahli. Oleh karena
itu, menurut Van Bemmelen hakim komisaris itu memerlukan pengetahuan yang luas
disamping pengetahuan yuridisnya seperti bagaimana memeriksa saksi dan terdakwa.
Diperlukan pengetahuan psikologis untuk semua itu.
Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan dengan pasal 77
KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa dan
memutus tentang berikut.
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan
6
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh
hakim tunggal yang ditunjuk oleh pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok sebagai
berikut.
a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebutkan alasannya
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sah nya penagkapan atau penahanan
atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh tersangka atau
pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya.
Dalam penjelasan undang-undang, hanya pasal 80 yang diberi komentar, yaitu bahwa pasal
ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana
pengawasan secara horizontal. Sebenarnya pasal 80 kuhap itu kurang tepat dalam
perumusannya, karena yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya
suatu penghentian penyidikan atau penuntutan ialah penyidik, atau penuntut umum atau pihak
ketiga. Menurut pendapat penulis, sesuai pula dengan jiwa penjelasan pasal tersebut maka
penyidik dapat mengajukan permintaan pemeriksaan dalam hal sah atau tidaknya suatu
penuntutan, dan sebaliknya penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
dalam hal sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jadi penuntut umum tidak secara
7
langsung memerintahkan kepada penyidik untuk meneruskan suatu penghentian penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik. Dalam hal ini ketentuan menyatakan bahwa pada setiap
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik diberitahukan kepada penuntut umum tidak
mempunyai arti banyak.
Bagaimana hakim praperadilan itu diangkat dan untuk berapa lama pengangkatan itu
tidak dijelaskan dalam undang-undang. Pasal 78 kuhap hanya menyatakan bahwa
praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan
dibantu oleh seorang panitera. Di negeri Belanda hakim komisaris diangkat untuk masa
jabatan dua tahun. Atas prmohonan mereka, mereka segera dapat diangkat kembali.
Diitentukan juga bahwa mereka harus berpengalaman dalam perkara pidana, misalnya pernah
bekerja dibagian pidana dipengadilan itu. Hakim komisaris itu diadakan untuk menjamin
objektifitas sehingga mereka dilarang mengambil bagian dalam pemeriksaan akhir (pasal 268
Ned.Sv.) dalam kuhap tidak ada larangan semacam itu bagi seorang hakim praperadilan.
B. Pihak –Pihak Yang Dapat Mengajukan Praperadilan menurut KUHAP
Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan sangat erat
hubungannya dengan jenis pemeriksaan yang ingin diminta kepada praperadilan itu sendiri.
Dengan demikian maka pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan
dikelompokkan menurut alasan yang menjadi dasar diajukannya permintaan pemeriksaan
praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang berhak mengajukan permintaan.
a) Tersangka, keluarganya, atau kuasanya Berdasarkan ketentuan Pasal 79 KUHAP, pihak
Tersangka, keluarganya, atau kuasanya (orang yang diberi kuasa oleh tersangka) berhak
mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan.
8
b) Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan Pasal 80 KUHAP memberikan
hak kepada penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan
pemeriksaan kepada praperadilan mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP bahwa yang
dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Hak untuk mengajukan
pemeriksaan praperadilan kepada penuntut umum dalam hal penghentian penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik, pada hakekatnya telah sesuai dengan prinsip pengawasan yang
diinginkan dalam KUHAP. Selain adanya pengawasan secara vertikal yang dilaksanakan oleh
atas dari instansi yang bersangkutan, ada pula pengawasan secara horisontal, dari sesama
aparat penegak hukum. Mengenai pihak ketiga yang berkepentingan, tidak dijelaskan secara
eksplisit oleh KUHAP. Secara umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana adalah saksi yang menjadi korban tindak pidana yang
bersangkutan sehingga dalam hal ini maka saksi korbanlah yang berhak mengajukan
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan kepada
praperadilan.
c) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan Penyidik atau pihak ketiga yang
berkepentingan, berdasarkan Pasal 80 KUHAP dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Bila
dibandingkan dengan penghentian penyidikan, maka disini terjadi pengawasan secara timbal
balik. Pada penghentian penyidikan, penuntut umum diberikan hak untuk mengawasi
penyidik, sedangkan dalam penghentian penuntutan, penyidik yang diberi hak untuk
mengawasi penuntut umum. Di dalam KUHAP, telah diatur pengawasn berlapis dengan jalan
memberikan hak kepada pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan
9
pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.
Dengan demikian, jikalau sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan yang
dilakukan oleh penuntut umum, maka pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
penuntut umum kepada praperadilan.
d) Tersangka, ahli warisnya atau kuasanya Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa
tersangka, ahli warisnya atau kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada
praperadilan atas alasan:
1) Penangkapan atau penahanan tidak sah;
2) Penggeladahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah;
3) Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yangditerpkan, yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
e) Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (2)
KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti
kerugian dan rehabilitasi karena sahnya penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
penuntut umum.
Jika praperadilan memutuskan bahwa penghentian penuntutan itu sah, maka hal
tersebut menjadi dasar bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk
mengajukan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi kepada praperadilan.
f) Tersangka Pasal 97 ayat (3) KUHAP memberikan hak kepada tersangka untuk
mengajukan rehabilitasi kepada praperadilan atas alasan sebagai berikut:
1) Penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang;
10
2) Kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak
diteruskan ke pengadilan.
C. Yurisprudensi Menurut KUHAP
Putusan PN JAKARTA SELATAN Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. Tahun 2015
Komisaris Jenderal Polisi Drs. BUDI GUNAWAN, SH., Msi., VS Komisi Pemberantasan
Korupsi/ KPK cq. Pimpinan KPK6.
Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel
Tingkat Proses Pertama
Tanggal Register 26-01-2015
Tahun Register 2015
Klafisikasi Pidana
Sub Klasifikasi -
Jenis Lembaga Peradilan PN
Lembaga Peradilan PN Jakarta Selatan
Para Pihak
Komisaris Jenderal Polisi Drs. BUDI
GUNAWAN, SH., Msi., VS Komisi
Pemberantasan Korupsi/ KPK cq. Pimpinan
KPK
Tahun 2015
Tanggal Musyawarah 16-02-2015
6 Putusan PN JAKARTA SELATAN Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. “Komisaris Jenderal Polisi Drs. BUDI GUNAWAN, SH., Msi., VS Komisi Pemberantasan Korupsi/ KPK cq. Pimpinan KPK”(2015) http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/1eeb7fe61dd08810bb67d41a5ae67ebc.
11
Tangggal Dibacakan 16-02-2015
Amar Dikabulkan Untuk Sebagian
Catatan Amar M E N G A D I L I DALAM EKSEPSI : -
Menolak Eksepsi Termohon untuk
seluruhnya ; DALAM POKOK
PERKARA : 1. Mengabulkan Permohonan
Pemohon Praperadilan untuk sebagian ; 2.
Menyatakan Surat Perintah Penyidikan
Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal
12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon
sebagai Tersangka oleh Termohon terkait
peristiwa pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat
(2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak
sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh
karenanya Penetapan aquo tidak mempunyai
12
kekuatan mengikat ; 3. Menyatakan
Penyidikan yang dilaksanakan oleh
Termohon terkait peristiwa pidana
sebagaimana dimaksud dalam Penetapan
Tersangka terhadap diri Pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11
atau 12 B Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
adalah tidak sah dan tidak berdasar atas
hukum, dan oleh karenanya Penyidikan
aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat ;
4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas
diri Pemohon yang dilakukan oleh
Termohon adalah tidak sah ; 5. Menyatakan
tidak sah segala keputusan atau penetapan
yang dikeluarkan lebih lanjut oleh
Termohon yang berkaitan dengan Penetapan
Tersangka terhadap diri Pemohon oleh
Termohon ; 6. Membebankan biaya perkara
kepada negara sebesar nihil ; 7. Menolak
Permohonan Pemohon Praperadilan selain
13
dan selebihnya
Hakim Tunggal
Hakim Ketua H. SARPIN RIZALDI, SH., MH
Panitera AYU TRIANA LISTIATI, SH., MH
Yurisprudensi Tidak
Status Tahanan Tidak
Berkekuatan Hukum Tetap Tidak
Kaidah Yurisprudensi -
D. Doktrin Para Ahli
Menurut Hartono, Pengertian Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang
masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya,
sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan
dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Adapun yang dimaksud dengan materi
pokoknya adalah materi perkara tersebut, misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya
adalah perkara korupsi7.
7 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana (Melalui Pendekatan Hukum Progresif), Jakarta : Sinar Grafika, 2010, 23.
14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak ada ketentuan di mana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan
pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak melakukan pemeriksaan
pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan
pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alas an ataukah tidak
untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok sebagai berikut :
a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan,
atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
c. Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sah nya penagkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.