Sedasi Dan Delirium Pada Unit Rawat Intensif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sedasi Dan Delirium Pada Unit Rawat Intensif

Citation preview

Sedasi dan Delirium pada Unit Rawat IntensifMichael C. Reade, M.B., B.S., D.Phil., and Simon Finfer, M.D.

Pasien di Unit Rawat Intensif (ICU) diterapi dengan berbagai intervensi (kebanyakan dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik invasive) yang diobservasi paling mengganggu. Nyeri adalah memori yang paling umum yang dimiliki pasien dari masa inapnya di ICU. Agitasi dapat memberikan secara tiba tiba untuk pelepasan pipa endotrakeal atau kateter intravaskuler yang digunakan sebagai monitoring atau pemberian obat yang memperpanjang masa hidup. Sehingga, sedative dan analgesic merupakan obat yang sering diberikan di ICU.Pada awal praktek perawatan intensif hal ini berevolusi dari anestesi intraoperative pada saat penggunaan ventilasi yang diberikan melalui mesin rudiments yang tidak dapat diselaraskan dengan usaha nafas pasien. Sebagai hasilnya, sedasi yang dalam sering digunakan hingga pasien dapat bernafas tanpa menggunakan bantuan. Perkembangan selama lebih dari 30 tahun, termasuk ventilator yang dikendalikan oleh mikro prosessor yang diselaraskan dengan usaha nafas pasien masing masing dan penggunaan sedative kerja singkat dan analgesic, secara dramatis telah merubah pendekatan. Sama pentinggnya dengan rasa nyeri, sedasi berlebih, dan delirium yang menjadi isu yang tidak terkira dan tidak terselesaikan pada pasien dan berhubungan dengan peningkatan kecacatan dan kematian.Sebagai konsep trias anestesi pada interaksi farmakodinamik antara obat hipnotik, anelgesik, dan pelumpuh otot dan pemberian obat setiap kelas secara simultan untuk dosis yang lebih rendah pada semua kelas, konsep dari trias ICU yaitu mengelola nyeri, agitasi dan delirium dan juga terdapat pendekatan pada manajemen penatalaksanaan yang saling dihubungkan (Gambar 1). Sesuai dengan prinsip tersebut, lebih baik untuk menangani penyakit utamanya, daripada menyamarkannya, sedative dapat digunakan hanya ketika nyeri dan delirium yang disebabkan oleh penggunaan farmakologi yang spesifik dan strategi nonfarmakologi.

Nyeri, Analgesia, dan Sedasi di ICUPenelitian prospektif memastikan bahwa sebagian besar pasien yang dirawat di ICU memiliki rasa nyeri, yang membuat penilaian nyeri dan pemberian anelgesik yang adekuat menjadi komponen yang mendasar di pelayanan ICU. Konsekuensi jangka pendek dari nyeri yang tidak ditangani yaitu keluarnya energy yang besar dan imunomodulasi. Jangka panjang, nyeri yang tidak diterapi meningkatkan resiko dari gangguan post traumatic. Menilai apakah pasien di ICU sedang dalam nyeri mungkin akan sulit. Referensi baku untuk penilaian nyeri adalah pelaporan langsung dari pasien, namun pasien yang berada di ICU mungkin tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memberikan respon yang valid. Indikator fisiologi seperti hipertensi dan takikardi memiliki tingkat hubungan yang rendah dengan penilaian nyeri, namun skala nyeri seperti Behavorial Pain Scale dan Critical Care Observation Tool memberikan penilaian yang terstruktur dan penilaian berulang dan sampai saat ini merupakan metode paling baik untuk menilai nyeri.Sejumlah pasien minoritas dari ICU memiliki indikasi untuk terus dalam keadaan sedasi yang dalam, untuk alas an seperti terapi hipertensi intracranial, gagal nafas berat, status epileptikus refrakter, dan pencegahan terhadap agen pengambat neuromuscular. Ulasan ini akan berfokus pada mayoritas pasien yang dilakukan ventilasi mekanik dan yang menggunakan sedasi dan anelgesik yang minimal, dengan tujuan pasien dapat berada dalam keadaan tenang, dalam, bebas nyeri, interaktif dan kooperatif dengan pengobatannya. Bukti dari penelitian acak terkontrol, secara konsisten mendukung penggunaan dosis minimal dari sedasi. Dalam percobaan yang membandingkan interupsi harian rutin dari infus sedasi dengan interupsi disekresi dengan pengobatan dari klinisi, pasien dengan sedasi rutin yang dinterupsi memiliki sedasi yang lebih rendah dari keseluruhan dan menghabiskan waktu yang lebih sedikit dengan ventilator mekanik dan lebih sedikit berada di ICU. Meskipun percobaan ini terlalu kecil untuk menilai perbedaan kematian atau perubahan hasil, pengamatan dari penurunan durasi dari penggunaan ventilator mekanik dan lama tinggal di ICU dihubungkan dengan penurunan mortalitas dan peningkatan yang tidak signidikan dari proporsi pasien yang kembali kerumahnya masing masing. Penelitian yang lebih besar pada beberapa pusat yang dikombinasikan dengan interupsi harian dari sedasi dengan latihan bernafas harian. Interupsi harian ini dihubungkan dengan penurunan pemberian dari benzodiazepine sedative, penutunan durasi dari penggunaan ventilator mekanik, penurunan lama tinggal di ICU, dan secara signidikan meningkatkan ketahanan hidup. Namun berkebalikan, ketika interupsi harian dari sedasi ditambahkan dalam protokol untuk praktek sedasi yang telah terbukti untuk menurunkan tingkat sedasi, dosis sedative malah bertambah dan tidak ada keuntungan secara klinis.Hasil yang bertentangan ini membuka banyak interpretasi, termasuk interupsi harian hanya bermanfaat bila hasil penurunan terjadi pada dosis sedasi total yang diberikan. Penemuan yang bertentangan juga menggarisbawahi bahwa hasil dari interupsi harian dari sedasi dapat secara spesifik dan akan bergantung pada populasiyang dipelajari, pendekatan protokol, dan manajemen dari kelompok control. Sebuah studi acak terkontrol dimana semua pasien menggunakan ventilator mekanik menrima morphine untuk terapi nyeri sebagai analgesia yang pertama, pendekatan ini dibandingkan dengan protokol tanpa penggunaan sedasi dengan pemberian interupsi harian pada sedasi. Pasien yang dalam kelompok protokol tanpa sedasi memiliki lama tinggal ICU dan rumah sakit yang lebih pendek dan lebih pendek dalam penggunaan ventilator mekanik.Pesan yang konsisten dari seluruh interupsi sedasi yang meminimalkan penggunaan sedasi diantara pasien ICU memiliki keuntungan secara klinis. Dukungan lebih jauh dating dari percobaan kohort prospektif, yang menunjukan dalamnya sedasi secara independen berhubungan dengan durasi dari ventilasi mekanik, kematian didalam rumah sakit, dan tingkat kematian dalam 180 hari. Dalam percobaan acak terkontrol, menggunakan sedasi yang lebih ringan menghasilkan hari bebas ventilator dan bebas ICU yang lebih banyak. Sebagai pembanding dengan sedasi dalam, penggunaan sedasi yang ringan tidak meningkatkan tingkat efek samping jangka pendek, dan hasil psikiatrik jangka panjang meskipun itu berpengaruh atau tidak.

Pemilihan Agen SedasiPada setidaknya 90 percobaan yang membandingkan regimen sedasi, secara umum, tidak ada obat sedasi yang superior terhadap yang lain. Sedasi yang sering digunakan di ICU adalah benzodiazepine, midazolam, dan lorazepam (and untuk perpanjangan , diazepam), kerja singkat untuk agen anestesi secara intravena yaitu propofol, dan dexmedetomidin. Remifentanil, merupakan opioid, yang juga digunakan sebagai agen dasar karena efek sedasinya. Aktivitas benzodiazepine melalui reseptor asam y-aminobutiric tipe A (GABA A), merupakan bagian yang sama dalam propofol, dimana dexmedetomidin merupakan agonis a2-adrenoreseptor, dan remifentanil merupakan reseptor agonis u-opioid (Tabel 1). Perbedaan yang ditandai dalam pola pemberian diberbagai Negara menyaran pemilihan agen ditentukan lebih dari tradisi dan familiaritas daripada karena praktek yang berbasis bukti.Jika diminimalkan dari kedalaman dan durasis sedasi ini diteriima secara global, sehingga penggunaan agen kerja singkat dengan efek yang dapat secara cepat disesuaikan dengan propofol atau remifentail dapat memberikan manfaat daripada agen kerja panjang atau agen dengan metabolism aktif. Seperti yang dibandingkan dengan benzodiazepine, propofol tidak menunjukan penurunan kematian tapi dapat menhasilkan dari penurunan lama tinggal di ICU. Dexmedetomidin juga dapat memiliki keuntungan dibandingkan dengan benzodiazepine, karena memproduksi analgesia, yang sedikit menimbulkan efek deoeresi pernafasan, dan sepertinya memberikan secara kualitatif tipe yang berbeda dari sedasi dimana pasien lebih dapat interaktif dan secara potensial lebih dapat berkomunikasi dengan baik untuk kebutuhannyaa. Dibandingkan dengan lorazepam dan midazolam, dexmedetomidine mengurani efek delirium dan durasi penggunaan ventilator mekanik yang lebih pendek namun tidak pada lama tinggal di ICU atau rumah sakit. Ketika dua obat kerja singkat seperti propofol dan dexmedetomidin dibandingkan, tidak ada perbedaan yang signifikan dari waktu yang dihabiskan pada target sedasi dan tidak ada perbedaan baik dari durasi penggunaan ventilator mekanik maupun lama tinggal ICU.Remifentanil memiliki waktu paruh 3 hingga 4 menit yang bergantung pada durasi infus atau fungsi organ. Telah diteliti sebagai agen sedasi di ICU secara dominan juga pada pasien yang akan dilakukan operasi. Dan dibandingkan dengan midazolam saja, midazolam dengana fentanyl, fentanyl saja, dan morphine. Meskipun ramifentanil telah dihubungkan dengan penurunan durasi dari ventilasi mekanik dan lama tinggal ICU pada penelitian kecil tersebut, namun belum dapat dievaluasi dalam skala yang lebih besar, populasi yang lebih heterogen dari pasien yang kritis dan belum merupakan pilihan yang umum di ICU.

Pencegahan dan Penanganan dari DeliriumDiagnosis dari DSM-IV, memberikan empat kriteria dari delirium: ganggguan konsentrasi, perubahan kognisi, perkembangan pada periode yang pendek, dan fluktuasi. Delirium didefinisikan oleh National Institutes of Health sebagai kebingungan yang berat dan mendadak dan perubahan mendadak dari fungsi otak yang terjadi dengan penyakit mental atau fisik. Gejala delirium yang paling sering adalah adanya tanda cardinal, yaitu hilangnya perhatian. Delirium merupakan manifestasi yang tidak spesifik namun reversible dari suatu penyakit akut yang terlihat dan memiliki beberapa penyebab, termasuk setelah mendapatkan sedasi atau sedasi yang terlalu dalam.Patofisiologi dari delirium berhubungan dengan kondisi kritis yang bergantung pada penyebabnya. Peningkatan resiko berhubungan dengan penggunaan agonis GABAa dan obat antikolinergik yang memberikan sugesi kebada GABAergic dan neurotransmitter kolinergik untuk memainkan perannya. Secara partikuler, defisiensi kolinergik sentral dapat merupakan jalan yang paling akhir. Hipotesis lain menyatakan pengeluaran aktivitas dopaminergic dan efek langsung neurotoksik pada inflamasi sitokin. Saat ini, hipotesis tersebut masih belum terbukti, manajemen farmakologi secara besar dan empiris masih diperlukan.Penelitian menggunakan pencitraan MRI menunjukan hubungan positif antara durasi delirium pada ICU dan atrofi serebral pada substansia alba. Investigasi ini mengindikasikan apakah delirium dalam ICU terdapat peningkatan dalam struktur otak atau seperti atropi serebral dan penurunan substansia alba yang membuat pasien lebih mudah jatuh pada kondisi delirium,Terlepas dari penyabab dan patofisiologi yang mendasarinya, saat ini delirium diketahui sebagai kejadian yang sering dan serius pada pasien yang menderita penyakit kritis. Tidak ada diagnosis melalui darah, melalui elektrofisiolofi, atau pencitraan untuk delirium, dimana terdapat diagnosis secara klinsi saja. Diperkirakan insiden delirium di ICU berkisar antara 16% hingga 89%, dengan yang dilaporkan mengenaik kedua karakteristik dari populasi yang dipelajari dan dengan menggunakan kriteria diagnosis. Faktor resiko yang telah diketahui yaitu umur dan adanya kondisi yang terkait dengan koma, diikuti dengan terapi medikasi sedasi, diagnosis neurologis, dan peningkatan derajat keparahan dari penyakit. Diagnosis delirium berhubungan dengan peningkatan kematian (diperkirakan sebagai 10% peningkatan dari resiko relative kematian setiap hari dari delirium) dan penurunan fungsi kognitif jangka panjang. Terdapa dua bentuk dari delirium, hipoaktif dan agitasi (Atau hiperaktif). Ketika pasien secara individu dan intermiten memiliki dua bentuk tersebut, dinamakan delirium campuran. Bentuk hipoaktif dikarakteristikan sebagai penurunan atensi, gangguan berfikir, dan penurunan tingkat keadaran tanpa agitasi. Agitasi murni dari delirium berefek pada kurang dari 2% pasien dengan delirium di ICU. Pasien dengan delirium hipoaktif merupakan yang paling sedikit dapat bertahan, namun yang bertahan memiliki fungsi yang baik jangka panjang daripada yang berasal dari karakteristik agitasi atau campuran. Terpisah dari efek status delirium dari yang memiliki penyakit parah dengan perhatian pada resiko kematian yang sulit, pasien yang dengan sakit yang lebih serius berada pada resiko yang lebih tinggi untuk delirium dan mati. Hubungan ini berlaku untuk keparahan penyakit yang berada pada ICU daripada waktu yang sudah didiagnosis delirium dari awal. Meskipun hubungan antara delirium dan buruknya hasil ini sangat jelas, hubungan kausal tidak ditegakkan dalam kasus ini. Saat ini, bukti untuk terapi yang lebih spesifik dari delirium dapat meningkatakan hasil ini masih diragukan.

Penilaian dan Monitoring dari Sedasi dan Delirium

Meskipun prakteik ICU dikarakteristikan sebagai monitoring yang rutin dan tilakukan secara hati hati, sruvei yang dilakukan diberbagai Negara menunjukan dalamnya sedasi lebih sering tidak dimonitor. Penemuan ini menjadi mengejutkan dan tidak dapat diterima, karena buktin menunjukan bahwa monitoring yang rutin dari sedasi akan meningkatkan hasil dari pasien.

Skala SedasiSkala sedasi disini yaitu yang digambarkan oleh Riker Sedation-Agitation Scale dan Richmond Agitation-Sedation Scale yang paling sering digunakan, namun untuk komparasi dijelaskan dalam table 2. Untuk mayoritas pasien yang akan dilakukan ventilasi mekanik di ICU dengan target yang benar untuk skor 3-4 pada Riker Sedation and Agitation Scale (dimana berkiasr antara 1 sampai 7, skor