42
Secara definisi luka adalah terganggunya suatu kontinuitas dari struktur bagian tubuh yang bisa diakibatkan oleh berbagai trauma baik secara mekanik, panas (thermal), kimia, dan radiasi atau dari invasi oleh mikroorganisme patogen. Bagian tubuh yang rusak dapat meliputi membran mukosa pada kulit atau sampai pada jaringan tubuh yang paling dalam seperti otot, tendon bahkan sampai pada tulang (Berger, 1999). II. Klasifikasi Luka Berdasarkan terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : a. Luka Akut Luka akut adalah luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang normal. b. Luka Kronis Luka kronis adalah luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan yang bisa diakibatkan oleh faktor

Secara Definisi Luka Adalah Terganggunya Suatu Kontinuitas Dari Struktur Bagian Tubuh Yang Bisa Diakibatkan Oleh Berbagai Trauma Baik Secara Mekanik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

us

Citation preview

Secara definisi luka adalah terganggunya suatu kontinuitas dari struktur bagian tubuh yang bisa diakibatkan oleh berbagai trauma baik secara mekanik, panas (thermal), kimia, dan radiasi atau dari invasi oleh mikroorganisme patogen. Bagian tubuh yang rusak dapat meliputi membran mukosa pada kulit atau sampai pada jaringan tubuh yang paling dalam seperti otot, tendon bahkan sampai pada tulang (Berger, 1999).II. Klasifikasi Luka Berdasarkan terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :a. Luka AkutLuka akut adalah luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang normal.b. Luka KronisLuka kronis adalah luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan yang bisa diakibatkan oleh faktor eksogen dan faktor endogen. Biasanya luka kronis terjadi bila luka selama 3 s.d 8 minggu tidak mengalami perbaikan. Sedangkan pengelompokan luka berdasarkan penyebab dari luka itu sendiri dapat dikategorikan sebagai berikut :a. Luka insisi Luka yang terjadi sebagai akibat dari pembedahan oleh benda tajam pada bagian tubuh tertentu. Luka ini termasuk kedalam luka bersih dan biasanya sembuh dengan sendiri tanpa menggunakan perantara (primary intention healing), contohnya: luka operasi.b. AbrasiLuka yang terjadi akibat adanya kerusakan pada membran mucosa pada kulit yang bisa disebabkan oleh penggunaan obat-obatan atau kosmetik tertentu yang merangsang pengelupasan kulit.c. KontusioLuka yang terjadi akibat adanya aliran darah yang terhambat pada suatu bagian tubuh tertentu tanpa adanya bagian dari tubuh yang terbuka. Contoh, perdarahan bawah kulit (ecchymose), dan hematome.d. Luka LaserasiLuka yang terjadi berupa robekan pada jaringan kulit atau otot yang disebabkan oleh goresan atau gesekan dengan benda lain dan biasanya terkontaminasi oleh kotoran, debu dan debris. e. Luka Tekan (Pressure wound)Luka yang terjadi akibat penekanan yang terus menerus pada bagian tubuh tertentu yang menyebabkan rusaknya jaringan pada bagian tersebut. Luka ini biasanya terjadi pada daerah yang mengalami penonjolan tulang (bony prominence). f. Luka BakarLuka yang diakibatkan oleh rangsangan panas dari api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi yang menyebabkan kerusakan atau kehilangan jaringan tubuh terutama kulit. III. Proses Penyembuhan Luka Secara garis besar proses penyembuhan luka (wound healing) terdiri dari tiga fase yang berlangsung secara berkesinambungan dan satu sama lainnya mempunyai keterkaitan yang erat agar fase yang lainnya dapat terjadi seperti yang diharapkan.a. Fase Inflamasi Fase ini merupakan awal dari terjadinya proses wound healing dimana pada fase ini terjadi berbagai respon vaskular yang non-spesifik yang berlangsung segera setelah suatu bagian tubuh terluka. Fase ini terjadi selama 3 sampai 5 hari dari awal terjadinya luka. Puncak dari fase ini berlangsung pada hari ke-5. Jaringan tubuh yang mengalami luka akan mengeluarkan beberapa substansi kimia interseluler, antara lain: histamin dan bradikinin. Terjadi peningkatan aktivitas pelepasan platelet pada dinding pembuluh darah yang terbuka sehingga perdarahan menjadi berkurang. Mekanisme pembekuan darah ini melibatkan kerjasama dari faktor pembekuan darah, fibrin dan platetet. Histamin berfungsi untuk meningkatkan permeabilitas kapiler vaskular sehingga cairan dan plasme protein berpindah dari intravaskular ke intraseluler dan kemudian terjadi oedema. Fagositosis yang terjadi pada fase ini berfungsi untuk membersihkan luka dan mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme yang melibatkan respon leukosit. Proses epitelisasi mulai terbentuk pada fase ini beberapa jam setelah terjadi luka. Terjadi reproduksi dan migrasi sel dari tepi luka menuju ke tengah luka. Sel epitel baru akan terbentuk secara terus menerus sampai seluruh permukaan luka tersebut tertutup. Pada luka jahitan, proses ini mulai terjadi dalam 24 jam pertama. Proses peradangan akut terjadi dalam 24 48 jam pertama setelah cedera. Fase ini dapat memanjang jika seseorang mengalami malnutrisi atau stress fisik lainnya (Hartmann, 1999; Berger, 1999; Guyton, 1997). b. Fase Proliferasi Fase ini terjadi pada hari ke-4 sampai ke-14. Pada fase ini akan terbentuk sel dan pembuluh darah yang baru serta terjadi rekonstruksi jaringan yang menyerupai jaringan sebelumnya walaupun tidak seluruhnya mempunyai fungsi dan bentuk yang sama. Hal ini karena ada beberapa komponen yang tidak bisa mengalami regenerasi seperti folikel rambut, sel-sel pigmen kulit, tendon dan sel syaraf sehingga jaringan parut yang tumbuh biasanya tidak mempunyai rambut dan warnanya lebih terang, bahkan pada fase ini kemungkinan terjadi kontraktur sangat tinggi. Aktivitas migrasi sel yang melibatkan sel parenkim dan epitel semakin meningkat pada fase ini sehingga permukaan luka yang tadinya lebar menjadi menyempit dan akhirnya tertutup. Keadaan yang harus dipertahankan pada fase ini adalah luka mendapatkan hidrasi yang adekuat sehingga tetap lembab dan tidak terjadi kekeringan akibat dari akumumasi protein sel dan sel mati yang kering (scab forms) atau eschar. Apabila permukaan luka tersebut kering maka sel-sel epitel tidak bisa naik ke permukaan luka sehingga proses migrasi sel akan terhambat. Proses granulasi jaringan terjadi oleh karena pada fase ini terjadi peningkatan aktivitas fibroblast. Pada fase granulasi ini ditandai dengan terbentuknya pembuluh darah baru sehingga luka tampak berwarna merah terang. Aktivitas fibroblat juga merupakan stimulator untuk pembentukan myofibril yang menyebabkan kontraksi luka serta stimulator pembentukan kolagen yang berfungsi sebagai penguat jaringan (Hartmann, 1999).c. Fase Maturasi atau Remodelling Fase ini terjadi mulai minggu ke-3 dan berakhir sampai 12 bulan. Proses pematangan sel kolagen berkisar antara 6 sampai 10 hari. Biasanya apada rentang ini luka jahitan operasi sudah mulai bisa dibuka. Seiring dengan terjadinya kontraksi luka, jumlah pembuluh darah dan jumlah eksudat berkurang maka struktur luka menjadi lebih kuat dan berubah menjadi jaringan parut. Pada fase ini aktivitas myofibroblast yang merupakan bagian dari fibroblast dan berfungsi menimbullkan kontraksi luka. Komponen ini menyebabkan serat kolagen tertarik satu sama lainnya sehingga jaringan parut yang terbentuk menjadi lebih halus dan jaringan pada kulit pada tepian luka menjadi menyatu sama sama lainnya. Proses mitosis dan migrasi sel juga terus berlangsung sehingga permukaan luka menjadi naik dan tertutup sama sekali oleh sel-sel epitel yang baru. Hasil dari re-epitelisasi ini tidak sama dengan bentuk dan fungsi dari sel yang sebelumnya tetapi hanya bersifat pengganti saja, dimana jaringan yang baru ini biasanya mempunyai pembuluh darah, kelenjar, folikel rambut, serta sel syaraf dalam jumlah yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak mengandung salah satu dari komponen tersebut.IV. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan lukaa. Usia Usia mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penyembuhan luka dimana penelitian menunjukkan bahwa bayi dan lansia merupakan subjek yang rentan terhadap angka kejadian infeksi yang mengakibatkan terjadinya penundaan proses penyembuhan luka. Hal ini berhubungan dengan status imunologi dari individu tersebut, dimana pada usia infant sebelum usia 3 bulan biasanya sistem kekekebalan tubuh belum matur (Kozier, 1999; Guyton, 1997; Porth, 1999). Demikian juga pada lansia, karena terjadinya proses penuaan sel (aging) yang menyebabkan beberapa sel tubuh termasuk sel-sel yang mengatur kekebalan tubuh menjadi berkurang baik ditinjau dari jumlah maupun fungsinya. b. NutrisiStatus nutrisi yang tidak adekuat (malnutrisi) merupakan faktor resiko yang menyebabkan proses penyembuhan luka menjadi terhambat terutama jika terjadi kekurangan protein, vitamin, mineral dan trace element. Komponen tersebut berhubungan dengan proses metabolisme sel-sel tubuh dan proses pembentukan sel yang lebih spesifik.c. Status imunologi Respon imun mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penyembuhan luka dimana penurunan status imunologi akan menyebabkan seseorang menjadi sangat rentan terhadap kejadian infeksi dan terhambatnya proses penyembuhan luka secara normal. d. Penyakit Penyakit merupakan suatu faktor penyulit dalam proses penyembuhan luka terutama penyakit yang berhubungan dengan proses metabolik dan vaskularisasi, contohnya : Diabetes Mellitus, DIC, PVD atau insufisiensi vena. e. Pemakaian obat-obatan Pemberian obat-obatan dalam dosis tinggi dan jangka waktu yang lama juga merupakan faktor yang dapat menghambat proses penyembuhan luka. Contoh, pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan penekanan pada respon inflamasi. Terapi sitolitik dapat mengakibatkan terjadinya penekanan pada sistem imunologi yang nantinya akan meningkatkan resiko infeksi.V. Pengkajian Luka Untuk menentukan tingkat keberhasilan intervensi perawatan luka yang optimal, maka seorang perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pengkajian luka secara benar. Hal ini merupakan dasar yang sangat penting dalam menentukan jenis intervensi yang akan diberikan untuk masing-masing klien. Hal-hal yang harus dikaji oleh seorang perawat ketika mendapat seorang klien yang menderita luka, antara lain:1. Lokasi dan Letak lukaHal ini dapat digunakan sebagai indikator terhadap kemungkinan penyebab terjadinya luka sehingga kejadian luka dapat diminimalkan.2. Stadium Luka Terdapat beberapa klasifikasi atau stadium yang dapat digunakan untuk menilai suatu kondisi luka, antara lain :a. Stadium Berdasarkan Anatomi Kulit (Pressure Ulcer NPUAP, 1975) Partial Thickness Hilangnya lapisan epidermis hingga lapisan dermis paling atas Full Thickness Hilangnya lapisan dermis sampai lapisan subkutan Stadium I Kulit berwarna merah, belum tampak adanya lapisan epidermis yang hilang Stadium II Hilangnya sebagian lapisan epidermis/lecet sampai batas dermis paling atas ditandai dengan blister dan abrasi Stadium III Rusaknya lapisan dermis bagian bawah hingga lapisan subcutan dan fascia Stadium IV Rusaknya lapisan subkutan dan fasica hingga otot, tendon dan tulangb. Warna Dasar Luka (Netherlands Woundcare Consultant Society, 1984) Red/Merah Pink/merah/merah tua) disebut dengan jaringan sehat, granulasi, epitelisasi, vaskularisasi Yellow/Kuning Kuning muda/kuning kehijauan/kuning tua/kuning kecoklatan) disebut jaringan mati yang lunak, fibrinolitik, sloughy, avaskularisasi Black/hitam Jaringan nekrosis, avaskularisasic. Stadium Wagner Untuk Luka Diabetik 1. Superficial Ulcer Stadium 0 : Tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik tapi dengan bentuk tulang, kaki yang menonjol/charcot arthropathies Stadioum 1 : Hilang lapisan kulit hingga dermis dan kadang-kadang tampak tulang menonjol2. Deep Ulcer Stadium II : Lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau tendon (dengan underminning/goa) Stadium III : Penetrasi dalam, osteomyelitis, pyarithrosis, plantar abses atau infeksi hingga tendon3. Gangrene Stadium IV : Gangrene sebagian, menyebar hingga sebagian dari jari kaki, kulit sekitarnya selulitis, gangrene lembab/kering Stadium V : Seluruh kaki dalam, kondisi nekrotik/ gangrened. Stadium Luka Bakar Derajat I Epidermis yang terkena Nyeri Hebat Eritrema Blister tidak ada Sembuh dalam 7-10 hari secara spontan tanpa obat-obatan Tanpa bekasDerajat II Epidermis dan dermis rusak Nyeri sangat hebat Adanya blisters/bula yang sangat besar Sembuh secara spontan bila tidak terinfeksi (10-2 minggu)Derajat III Seluruh lapisan kulit termasuk fascia otot dan tulang Analgesia Tidak ada blister Warna kulit menjadi hangus, putih Sembuh dalam jangka waktu lama dan cacat3. Bentuk dan ukuran lukaPengukuran secara tiga dimensi (panjang, lebar dan kedalaman) dan penentuan underminning/goa dengan menggunakan patokan searah jarum jam serta tunneling/terowongan. 4. EksudatKarakteristik, jenis dan jumlah cairan yang dihasilkan oleh luka tersebut5. MalodorAdanya bau yang tidak sedap yang dikeluarkan oleh luka6. Status VaskularPenilaian ini berhubungan dengan transportasi oksigen dan suplai nutrisi yang adekuat ke seluruh lapisan sel merupakan hal yang sangat penting dalam proses penyembuhan luka. Pengkajian berupa: cek cafillary refill time, edema, temperatur kulit. 7. Status NeurologikCek fungsi motorik berupa adanya kelemahan otot secara umum, perubahan bentuk tubuh terutama kaki pada penderita DM, kehilangan sensasi pada ujung-ujung ekstremitas, dan kelembaban kulit.8. NyeriPeriksa nyeri pada area luka dengan menggunakan format PQRST, dan pain rating scale 0-109. Tanda-tanda InfeksiKaji tanda-tanda infeksi (cardinal sign); dan produksi pus yang meningkat10. PerdarahanKaji adanya dan catat jumlah perdarahan terutama pada saat penggantian balutan.VI. Konsep Dasar Perawatan Luka Modern Pada tahun 1962, Profesor G.D Winter melakukan studi klinik yang dipublikasikan dalam jurnal Nature tentang keadaan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan luka, hasil penelitian yang dilakukan pada binatang dan manusia telah menunjukkan bahwa proses peyembuhan luka dengan kondisi lingkungan yang lembab ternyata lebih cepat jika dibandingkan dengan luka yang dibiarkan terbuka dan kering. Hal ini diperkuat oleh Turner (1990) yang menyatakan bahwa perawatan luka dengan konsep lembab yang dilakukan secara kontinyu akan mempercepat pengurangan ukuran luka dan mempercepat proses pembentukan jaringan granulasi dan reepitelisasi. Adapun alasan rasional dari teori perawatan luka dalam suasana lembab antara lain:a. Mempercepat fibrinolisisFibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan lebih cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembabb. Mempercepat angiogenesisDalam keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan merangsang lebih cepat pembentukan pembuluh darah yang baru (anggiogenesis).c. Menurunkan resiko infeksiBerdasarkan hasil penelitian Colwell et al di Amerika Serikat pada tahun 1993, angka kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika luka dirawat dengan lingkungan yang lembab jika dibandingkan dengan perawatan kering (2,6% vs 7,1%). (Journal Advances Skin and Wound care 2002; 15:79-84)d. Mempercepat pembentukan Growth Faktor, danGrowth factor berperan pada proses penyembuhan luka untuk pembentukan stratum corneum dan anggiogenesis, dimana produksi komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam lingkungan yang lembab. e. Mempercepat terjadinya pembentukan sel aktifPada keadaan lembab, invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini. (Dikutip dari Gitarja, 2002)

VII. Fungsi balutan luka (wound dressing) Pada dasarnya prinsip pemilihan balutan yang akan digunakan harus memenuhi kaidah-kaidah fungsi sebagai berikut : Kemampuan balutan untuk dapat menyerap cairan yang dikeluarkan oleh luka Kemampuan balutan untuk mengangkat jaringan nekrotik dan mengurangi resiko terjadinya kontaminasi mikrooganisme Meningkatkan kemampuan rehidrasi luka Melindungi dari kehilangan panas tubuh akibat penguapan Mempunyai kemampuan atau potensi sebagai sarana pengangkut atau untuk mendistribusikan obat antibiotik ke seluruh bagian luka (dikutip dari Hana R, 2002) Lebih lanjut Ovington dalam tulisannya Hanging Wet-to-Dry Dressing Out to Dry (Advances Skin and Wound Care, 2002) menyatakan bahwa perawatan luka secara konvensional yaitu dengan menggunakan kassa baik dengan cara kering atau dilembabkan dengan NaCl mempunyai beberapa kekurangan, antara lain: 1. Dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien akibat rasa nyeri yang ditimbulkan pada saat mengganti balutan2. Dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien akibat rasa nyeri yang ditimbulkan pada saat mengganti balutan3. Menunda proses penyembuhan terutama proses epitelisasi karena pada saat mengganti balutan jenis ini biasanya jaringan yang baru juga ikut terangkat karena sifatnya non-selektif4. Meningkatkan resiko infeksi karena walaupun luka dalam keadaan tertutup dan berlapis-lapis tetapi permukaan balutan tersebut masih memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroorganisme dari luar5. Ditinjau dari segi penggunaan waktu dan tenaga kesehatan khususnya perawat pada saat mengganti balutan kurang efektif dan efisien karena penggunaan balutan konvensional ini memerlukan frekuensi penggantian yang lebih sering karena sifatnya kurang absorbtif sehingga waktu pelaksanaan tindakan menjadi lebih lama. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu jika ditinjau dari segi ekonomi ternyata penggunaan balutan konvensional itu tidak cost effective. Hal tersebut salah satunya berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan oleh seorang pasien ternyata lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan modern dressing karena harus membayar ekstra tenaga kesehatan dan peralatan yang digunakan. Menurut Tan (2002), cost effective merupakan isu yang paling penting pada perawatan luka saat ini karena hal yang dimaksud disini berkaitan dengan pemberian tindakan yang efektif, yang menunjang terbentuknya hasil klinis yang lebih baik, meningkatkan rasa nyaman klien dan memberikan kepuasan terhadap hasil terapi. (Hana .R; Majalah Keperawatan UNPAD 2002; 7: 12-19)

VIII. Fungsi balutan pada proses penyembuhan lukaa. Fase Inflamasi Pada saat terjadi luka maka hal pertama yang akan terjadi adalah adanya peningkatan produksi cairan yang mengandung sel yang mati, serpihan jaringan, kotoran dan bakteri. Apabila jumlah cairan ini berlebihan maka proses penyembuhan luka secara mekanis dan biologis akan terhambat dan selain itu juga resiko infeksi akan meningkat. Jenis balutan yang digunakan pada fase ini adalah jenis balutan yang mempunyai kemampuan menyerap cairan atau eksudat serta kemampuan untuk membersihkan luka secara efektif dari sel dan jaringan mati, kotoran dan bakteri karena tidak semua komponen tersebut dapat dibersihkan secara natural dengan fagositosis.b. Fase granulasi Pada fase ini biasanya terjadi pengeluaran sekret yang menggandung protein serta jumlah kapiler rambut meningkat, dimana hal yang sering terjadi yaitu pada saat mengganti balutan komponen tersebut dapat mengakibatkan balutan menjadi lengket dengan luka sehingga pada saat diangkat jaringan granulasi juga ikut terekspos dan rusak. Berdasarkan alasan diatas, jenis balutan yang tepat untuk fase ini adalah balutan yang sifatnya tidak traumatik dan tidak lengket dengan luka, serta mempunyai kemampuan melindungi dari kejadian infeksi.c. Fase epitelisasi Pada akhir fase ini akan terbentuk jaringan granulasi yang sudah matang dan permukaan luka yang rata. Luka masih mengeluarkan sekret walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dua fase sebelumnya. Hal yang harus dijaga adalah luka jangan sampai kering karena apabila permukaan luka kering (scab forms) maka akan menghambat proses re-epitelisasi. Kondisi ini akan mengakibatkan sel epitel akan terjebak dibawahnya sehingga tidak bisa naik ke permukaan luka, dan pada akhirnya proses penyembuhan luka menjadi lama. Jenis balutan yang dapat digunakan pada fase ini adalah balutan yang dapat mempertahankan suasana luka yang lembab dan tidak menyebabkan trauma. IX. Prinsip Pemilihan Balutan dan Topical Terapi Saat ini banyak pilihan balutan modern (modern dressing) atau topical therapy yang beredar dan sering digunakan untuk membalut luka. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, seorang perawat harus dapat menggunakannya dengan tepat sesuai dengan prinsip penggunaan dan pengenalan terhadap produk yang akan digunakan. Menurut Gitarja (2002), prinsip pemilihan topikal terapi tersebut antara lain :1. Membuang jaringan nekrotik yang dapat meningkatkan infeksi2. Identifikasi dan meminimalkan infeksi3. Dapat mengisi jaringan mati4. Dapat mengabsorbsi eksudat yang berlebihan5. Menjaga lingkungan tetap lembab6. Melindungi luka dari trauma dan invasi kuman7. Menjaga temperatur luka tetap konstan

Sedangkan untuk tujuan pemilihan balutan, secara lebih lanjut Gitarja menyatakan sebagai berikut :1. Membuang jaringan yang mati2. Kontrol terhadap infeksi3. Mempertahankan kelembaban4. Absorbsi eksudat yang berlebihan5. Nyaman digunakan6. Steril7. Cost effectiveX. Jenis Balutan dan Topical Terapi1. Absorbent Dressing Jenis balutan yang dapat meyerap cairan luka yang berlebihan (hipereksudat) terutama pada luka stadium III/IV atau pada fase inflamasi untuk luka yang infeksi dan tidak infeksi. contoh: calcium alginate dan gamgee polyurethanefoam. Calcium alginate merupakan suatu jenis balutan yang bahan dasarnya terbuat dari rumput laut (brown algae), dimana balutan ini akan berubah menjadi gel apabila bercampur dengan eksudat atau cairan luka. Gel yang terbentuk pada saat menyerap cairan akan membentuk suatu lapisan penutup diatas luka sehingga dapat mencegah kekeringan. Alginate secara fisiologis dapat mempertahankan lingkungan mikro yang tetap lembab yang membantu proses penyembuhan luka dan mempercepat terbentuknya jaringan granulasi. Oleh karena sifatnya yang memerlukan cairan maka balutan ini tidak bisa digunakan untuk luka kering dengan jaringan nekrotik kuning-coklat atau jaringan nekrotik yang keras. Calcium alginate merupakan jenis balutan yang aman karena sifatnya yang mudah diangkat sehingga tidak akan merusak jaringan granulasi dan tidak menyebabkan nyeri pada saat penggantian balutan. Selain berfungsi untuk menyerap cairan, balutan ini juga dapat bersifat homeostasis dan menjadi barrier terhadap bakteri jenis pseudomonas. Bentuk balutan ini berupa serabut dan lembaran. Gamgee polyurethane merupakan suatu jenis balutan yang terbuat dari polyurethane sintetis yang berguna untuk menyerap cairan luka yang berlebihan. Balutan ini bisa dipakai untuk luka yang baik yang terinfeksi atau tidak terinfeksi. Bentuk balutan ini menyerupai busa padat yang akan mengembang bila bercampur dengan eksudat. a. Indikasi Luka dengan stage II, III dan IV Jumlah eksudat sedang - berat Luka dengan rongga (cavity), underminning atau tunnellingb. Kontraindikasi Luka dengan hipereksudat Luka terinfeksi Terdapat undermining dan tunneling

2. Hydroactive Gel (Hydrogel) Jenis balutan yang dapat membantu proses peluruhan jaringan nekrotik yang berwarna hitam (black necrotic tissue) atau kuning-coklat (sloughy) secara otomatis oleh tubuh sendiri (autolysis debdridement), contoh: hydroactive gel. Balutan ini bisa dipakai untuk luka yang terinfeksi ataupun yang tidak terinfeksi baik yang berongga atau tidak disertai dengan rongga (cavity). Hydroactive gel merupakan balutan yang bahan dasarnya terbuat dari hydrocolloids yang mengandung air berupa gel yang bening dan berfungsi untuk melunakkan jaringan nekrotik. a. Indikasi Luka dengan stage II, III dan IV Luka terinfeksi Luka dengankategori Yellow (kuning) dan Black (hitam) b Kontraindikasi Tidak ada3. Hydrocolloid Jenis balutan yang digunakan untuk melindungi luka berwarna merah yang sudah bergranulasi pada stadium II/III, jumlah eksudat minimal dan tidak terinfeksi. Contoh: hydrocolloid dalam bentuk lembaran yang tebal dan tipis atau pasta. Bahan dasar balutan ini terbuat dari natrium carboxymethylcellulose (Na-CMC), gelatine dan pectine, dimana ketika terjadi kontak dengan eksudat maka balutan akan berubah menjadi gel. Struktur balutan ini biasanya dikombinasikan dengan elastomers dan perekat yang terbuat dari polyurethane foam atau film yang berfungsi sebagai penyerap, perekat balutan dan tahan air. Dalam keadaan yang utuh, hydrocolloid yang berbentuk lembaran bersifat tidak permibel terhadap penguapan air tetapi manakala proses pembentukan gel terjadi maka balutan cenderung menjadi lebih permiabel. Oleh karena itu proses penguapan air ini meningkatkan kemampuan balutan untuk menyerap eksudat yang diproduksi oleh luka. Bentuk balutan ini berupa lembaran dengan perekat dan pasta. Hydrocolloid ini dapat digunakan sebagai balutan pertama (primary dressing) pada penanganan luka seperti: leg ulcers, luka bakar, donor site, dan pressure sore. Selain dapat dapat digunakan sebagai primary dressing, balutan ini juga dapat dipakai sebagai secondary dressing yang dikombinasikan dengan hydrogel atau alginate. a. Indikasi Luka dengan stage I-II Jumlah eksudat minimal Luka dengan granulasi dan epitelisasib. Kontraindikasi Luka dengan hipereksudat Luka terinfeksi Terdapat undermining dan tunneling4. Transparant film dressing Jenis balutan tipis dan transparan, semipermibel, dan berfungi untuk mencegah kuman masuk dari lingkungan luar ke dalam luka. Balutan ini tidak dipakai pada luka yang hipereksudat dan terinfeksi. Balutan ini bisa berfungsi sebagai primary dan/atau secondary dressing. Balutan ini terbuat dari polyurethane polymers yang transparan, dan bersifat semi permiabel dimana pertukaran gas masih terjadi sehingga supplai oksigen tetap adekuat tetapi kontaminasi bakteri dari lingkungan luar ke dalam luka tidak terjadi. Bentuk balutan ini seperti plastik transparan dengan perekat, bisa digunakan baik untuk balutan primer maupun sekunder. Karena bentuknya yang transparan maka jenis balutan ini juga cocok digunakan untuk menilai keadaan luka tanpa harus membuka balutan dahulu. a. Indikasi Luka dengan stage I-II Jumlah eksudat minimal Luka dengan granulasi dan epitelisasib. Kontraindikasi Luka dengan hipereksudat Luka terinfeksi Terdapat undermining dan tunneling Luka dengan laserasi atau abrasi 5. Zinc Oinment (ZnO) Topical terapi jenis ini berbentuk salep dan powder yang bahan dasarnya mengandung zinc oxide. Bahan ini berfungsi untuk melindungi kulit disekitar luka dari maserasi. Penggunaannya bisa digabung dengan metronidazole powder pada luka yang mengeluarkan bau yang tidak sedap, contoh: luka kanker6. Metronidazole powder Bentuknya serbuk dan gel dimana jenis topical ini berguna untuk mengurangi bau yang dihasilkan oleh bakteri terutama golongan pseudomonas dan staphylococcus atau luka berjamur (fungating wound) pada kanker.7. MycostatinBerbentuk powder, yang berfungsi untuk mengurangi maserasi yang ditimbulkan oleh candida terutama pada ketiak dan bokong.8. SucralfateBerbentuk gel yang berfungsi sebagai homeostasis dengan lokal pressure9. GamgeeMerupakan lapisan kassa yang didalammnya terdapat kapas, berfungsi sebagai absorbent.XI. Perawatan Luka Operasi Luka operasi merupakan suatu bentuk luka yang sangat mudah untuk sembuh dalam suatu proses penyembuhan luka. Namun seringkali kita menemui banyak kasus dalam praktek sehari-hari dimana setelah 14 hari luka tidak perbaikan yang sempurna karena terjadi kegagalan dalam proses penyembuhan luka. Komplikasi yang sering terjadi pada luka operasi yang infeksi yang dalam dan berubah menjadi fistula atau sinus. Adapun intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada saat merawat luka operasi antara lain:1. Kontrol gula darah2. Kontrol dan kurangi nyeri post-operasi3. Pertahankan suhu tubuh pasien 4. Monitor balance cairan5. Berikan informasi yang tidak menimbulkan takut dan cemas pada klien6. Membantu dalam ambulasi7. Monitor asupan nutrisi yang adekuat8. Cegah prosedur atau tindakan yang menyebabkan trauma pada lukaXII. Perawatan Luka Tekan (Pressure Ulcer) Luka tekan merupakan suatu kerusakan jaringan kulit akibat adanya suatu penekanan pada jaringan yang lunak antara daerah tulang yang menonjol dengan lingkungan luar dalam keadaan yang menetap, menyebabkan oklusi aliran darah, iskemia dan kematian jaringan yang berlangsung dalam periode yang lama dam terus menerus (The National Pressure Ulcer Advisory Panel, 1989). Adapun faktor penyebab terjadinya luka tekan ini antara lain:1. Intensitas dari tekanan Jaringan yang mengalami hipoksia akibat penekanan yang terjadi terus menerus dapat mengarah pada anoksia sehingga hasil akhir yang mungkin terjadi adalah jaringan akan mengalami nekrosis. 2. Lamanya penekanan Ada hubungan yang berarti antara lamanya penekanan dan intensitas tekanan yang menyebabkan keadaan jaringan menjadi iskemia. Intensitas tekanan yang rendah dan dalam periode waktu yang panjang atau intensitas yang tinggi dalam periode waktu yang pendek, sama-sama beresiko untuk menimbulkan luka tekan.3. Toleransi jaringan4. Faktor ekstrinsik (lembab/ gesekan/ goresan)5. Faktor intrinsik (nutrisi, usia, penurunan tekanan arteri) Perawat dituntut harus mempunyai kemampuan untuk melakukan pengkajian resiko yang mungkin menyebabkan klien menderita luka tekan terutama pada masa hospitalisasi. Pengkajian skala resiko merupakan suatu metoda evaluasi yang sistematik dan sangat berguna untuk mengidentifikasi klien dengan faktor-faktor resikonya. Skala yang biasa dipakai antara lain Skala Braden dan Skala Norton. (Format pengkajian terlampir)XIII. KesimpulanSeorang perawat yang profesional dituntut untuk memiliki keterampilan dan ketekunan serta kesabaran dalam melakukan perawatan luka, selain itu dasar pengetahuan yang memadai mengenai proses penyembuhan luka serta kemampuan untuk menilai kondisi luka juga merupakan hal yang mutlak dimiliki. Adapun hal-hal yang ditekankan pada perawatan luka dengan konsep modern adalah sebagai berikut:1. Berguna untuk membuang jaringan nekrotik.2. Balutan dapat mengabsorbsi eksudat yang berlebihan.3. Menjaga agar lingkungan luka tetap lembab.4. Melindungi luka dari trauma dan invasi kuman sehingga resiko infeksi yang timbul minimal.5. Memberikan rasa nyaman pada pasien 6. Memberikan keamanan sehingga tidak akan merusak jaringan granulasi yang baru. 7. Cost effective

XIV. Daftar Pustaka

1. Andrew Heenan (1998), Frequently Asked Questions: Alginate Dressings, www.worldwidewounds.com2. Berger, Karen J (1999), Fundamental of Nursing : Collaborating For Optimal Health, 2nd Edition, Appleton & Lange, Connecticut3. C. Mellinda Stevens (2002), Diabetic Foot Ulcers and Infections: Current Concepts, Journal Advances Skin and Wound Care, January/February 2002; 15: 31 424. Dr. S. Thomas (1997), A Comparative study of the properties of twelve hydrocolloids dressings. www.worldwidewounds.com 5. Gitarja, Widasari S. (2002), Penatalaksanaan Perawatan Luka. Makalah disampaikan pada Pelatihan Wound dan Stoma Care Ke-2 Bagi Perawat, RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung, 21 25 Mei 20026. Hana Rizmadewi Agustina, Aplikasi Modern Wound Dressing Dalam Lingkup Praktek Perawatan Luka, Majalah Keperawatan UNPAD Edisi ke-7, September 2002 Maret 2003; halaman 12-197. Hartmann (1999), Compedium Wounds and Wound Management, First Hartmann Medical Edition 8. Joanne Tan (2002); Wound Management: A Pain Free and Cost Effecctive Approach, Convatec. Disampaikan pada Pelatihan Wound dan Stoma Care Ke-2 Bagi Perawat, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, 21 25 Mei 20029. Liza G. Ovington (2002), Hanging Wet-to-Dry Dressings Out to Dry, Journal Advances Skin and Wound Care, January/February 2002; 15 : 79-84