11
MODEL PEMBELAJARAN SCAFFOLDING 1. A. Pengertian Scaffolding Model pembelajaran matematika dapat dilihat pada hubungan interaksi antara pembelajar dan peserta didik. Jika pembelajar lebih banyak berperan maka pembelajaran lebih pada metode ceramah atau ekspositari (teacher centered), sedang bila peserta didik lebih dominan maka lebih ke arah pembelajaran inquiri (student centered). Model pembelajaran satu arah ini merupakan kasus ekstrim yang tentu tidak cocok untuk kebanyakan peserta didik. Maka diperlukan batasan seberapa jauh “dukungan pembelajar” dan seberapa jauh “kebebasan peserta didik” dalam proses pembelajaran. Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung. Metapora ini harus secara jelas dipahami agar kebermaknaan pembelajaran dapat tercapai. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif. Scaffolding diartikan ke dalam bahasa Indonesia “perancah”, yaitu bambu (balok dsb) yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak mendirikan rumah, membuat tembok, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1983; 735). Penjelasan tersebut di atas dapat ditemukan garis besar, prinsip-prinsip konstruktivis sosial dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut : 1. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri. 2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali hanya. 3. Dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar. 4. Peserta didik aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah. 5. Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses kontruksi belajar lancar. 6. Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta didik. 7. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. 8. Mencari dan menilai pendapat peserta didik. 9. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik. Scaffolding is the assistance (parameters, rules or suggestions) a teacher gives a student in a learning situation. Scaffolding adalah bantuan (parameter, aturan atau saran) pembelajar memberikan peserta didik dalam situasi belajar. Scaffolding allows the student to have help with only the skills that are new or beyond her ability. Scaffolding memungkinkan peserta didik untuk mendapat bantuan melalui keterampilan baru atau di luar kemampuannya. Teori Scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner , seorang psikolog kognitif . Dia menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-anak muda dalam akuisisi bahasa . Anak-anak pertama kali mulai belajar berbicara melalui bantuan orang tua mereka, secara naluriah anak-anak telah memiliki struktur untuk belajar barbahasa. Scaffolding merupakan interaksi antara orang-orang dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak untuk melaksanakan sesuatu di luar usaha mandiri-nya. Cazden (1983; 6) mendefinisikan scaffolding sebagai “kerangka kerja sementara untuk aktivitas dalam penyelesaian”. Konstruksi scaffolding terjadi pada peserta didik yang tidak dapat mengartikulasikan atau menjelajahi belajar secara mandiri.Scaffolding dipersiapkan oleh pembelajar untuk tidak mengubah sifat atau tingkat kesulitan dari tugas, melainkan dengan scaffolding yang disediakan memungkinkan peserta didik untuk berhasil menyelesaikan tugas. Istilah ini digunakan pertama kali oleh Wood, dkk tahun 1976, dengan pengertian “dukungan pembelajar kepada peserta didik untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat diselesaikannya sendiri”. Pengertian dari Wood ini sejalan dengan pengertian ZPD (Zone of Proximal Development) dari Vyotsky. Peserta didik yang banyak tergantung pada dukungan pembelajar untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang bebas atau tidak tergantung dari dukungan pembelajar telah berada dalam daerah ZPD-

Scaffolding

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Scaffolding

MODEL PEMBELAJARAN SCAFFOLDING

1. A. Pengertian Scaffolding

Model pembelajaran matematika dapat dilihat pada hubungan interaksi antara pembelajar dan peserta didik. Jika

pembelajar lebih banyak berperan maka pembelajaran lebih pada metode ceramah atau ekspositari (teacher centered),

sedang bila peserta didik lebih dominan maka lebih ke arah pembelajaran inquiri (student centered). Model pembelajaran

satu arah ini merupakan kasus ekstrim yang tentu tidak cocok untuk kebanyakan peserta didik. Maka diperlukan batasan

seberapa jauh “dukungan pembelajar” dan seberapa jauh “kebebasan peserta didik” dalam proses

pembelajaran. Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka

sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun

gedung. Metapora ini harus secara jelas dipahami agar kebermaknaan pembelajaran dapat tercapai. Sebagian pakar

pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik

dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif. Scaffolding diartikan

ke dalam bahasa Indonesia “perancah”, yaitu bambu (balok dsb) yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak mendirikan

rumah, membuat tembok, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1983; 735).

Penjelasan tersebut di atas dapat ditemukan garis besar, prinsip-prinsip konstruktivis sosial dengan

pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :

1.    Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri.

2.    Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali hanya.

3.    Dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.

4.    Peserta didik aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.

5.   Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses kontruksi belajar lancar.

6.   Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta didik.

7.   Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.

8.     Mencari dan menilai pendapat peserta didik.

9.     Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.

Scaffolding is the assistance (parameters, rules or suggestions)   a teacher gives a student in a learning situation.

Scaffolding adalah bantuan (parameter, aturan atau saran) pembelajar memberikan peserta didik dalam situasi

belajar.

Scaffolding allows the student to have help with only the skills that are new or beyond her ability.

Scaffolding memungkinkan peserta didik untuk mendapat bantuan melalui keterampilan baru atau di luar

kemampuannya.

Teori Scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner, seorang psikolog kognitif . Dia

menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-anak muda dalam akuisisi bahasa.  Anak-anak pertama kali mulai belajar

berbicara melalui bantuan orang tua mereka, secara naluriah anak-anak telah memiliki struktur untuk belajar

barbahasa. Scaffolding merupakan interaksi antara orang-orang dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak

untuk melaksanakan sesuatu di luar usaha mandiri-nya. Cazden (1983; 6) mendefinisikan scaffolding sebagai “kerangka

kerja sementara untuk aktivitas dalam penyelesaian”. Konstruksi scaffolding terjadi pada peserta didik yang tidak dapat

mengartikulasikan atau menjelajahi belajar secara mandiri.Scaffolding dipersiapkan oleh pembelajar untuk tidak

mengubah sifat atau tingkat kesulitan dari tugas, melainkan dengan scaffolding yang disediakan memungkinkan peserta

didik untuk berhasil menyelesaikan tugas.

Istilah ini digunakan pertama kali oleh Wood, dkk tahun 1976, dengan pengertian “dukungan pembelajar kepada peserta

didik untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat diselesaikannya sendiri”. Pengertian dari Wood ini

sejalan dengan pengertian ZPD (Zone of Proximal Development) dari Vyotsky. Peserta didik yang banyak tergantung

pada dukungan pembelajar untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang

bebas atau tidak tergantung dari dukungan pembelajar telah berada dalam daerah ZPD-nya. Menurut Vygotsky, peserta

didik mengembangkan keterampilan berpikir tingkat yang lebih tinggi ketika mendapat bimbingan (scaffolding) dari

seorang yang lebih ahli atau melalui teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi (Stone, 1998). Demikian juga

Piaget berpendapat bahwa peserta didik akan mendapat pencerahan  ide-ide baru dari seseorang yang memiliki

pengetahuan atau memiliki keahlian (Piaget, 1928).

Lange (2002) menyatakan bahwa ada dua langkah utama yang terlibat dalam scaffoldingpembelajaran: (1)

pengembangan rencana pembelajaran untuk membimbing peserta didik dalam  memahami  materi baru, dan (2)

pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada peserta didik di setiap langkah dari proses

pembelajaran. Scaffoldingterdiri dari beberapa aspek khusus yang dapat membantu peserta didik dalam internalisasi

penguasaan pengetahuan. Berikut aspek-aspek scaffolding:

Page 2: Scaffolding

Intensionalitas: Kegiatan ini mempunyai tujuan yang jelas terhadap aktivitas pembelajaran berupa bantuan yang selalu

didiberikan kepada setiap peserta didik yang membutuhkan. Kesesuaian: Peserta didik yang tidak bisa menyelesaikan sendiri permasalahan yang dihadapinya, maka pembelajar

memberikan bantuan penyelesaiannya. Struktur: Modeling dan mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar sebuah model pendekatan yang sesuai dengan

tugas dan mengarah pada urutan alam pemikiran dan bahasa. Kolaborasi: Pembelajar menciptakan kerjasama dengan peserta didik dan menghargai karya yang telah dicapai oleh

peserta didik. Peran pembelajar adalah kolaborator bukan sebagai evaluator. Internalisasi: Eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara bertahap ditarik sebagai pola yang diinternalisasi oleh

peserta didik (hal. 6).

Larkin (2002) menyatakan scaffolding salah satu prinsip pembelajaran yang efektif yang memungkinkan para pembelajar

untuk mengakomodasikan kebutuhan peserta didik masing-masing. Istilah ini juga diperkenalkan oleh Reichgerlt, Shadbolt,

Paskiewica, & Wood (1993) seperti dikutip oleh Zhao dan Orey (1999).

Dukungan terhadap peserta didik dalam menyelesaikan proses belajar dapat berupa keaktifan peserta didik dalam proses

pembelajaran, strategi pembelajaran, keragaman model pembelajaran, bimbingan pengalaman dari pembelajar, fasilitas

belajar, dan iklim belajar peserta didik dari orang tua di rumah dan pembelajar di sekolah. Dukungan belajar yang dimaksud

di sini adalah dukungan yang bersifat konkrit dan abstrak sehingga tercipta kebermaknaan proses belajar peserta didik.

Pembelajar tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai

dengan yang mereka perlukan untuk memberi dukungan belajar kepada peserta didik, di mana memperolehnya, dan

bagaimana memaknainya. Para pembelajar diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen

dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis. Para pembelajar diharapkan

menjadi masyarakat memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam. Scaffolding selalu digunakan

untuk mendukung pembelajaran berbasis masalah (PBL) (Hoffman and Ritchie, 1997).

Di samping penguasaan materi, pembelajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena

tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.

Apabila konsep pembelajaran tersebut dipahami oleh para pembelajar, maka upaya mendesain pembelajaran bukan

menjadi beban, tetapi menjadi pekerjaan yang menantang. Konsep pembelajaran tersebut meletakkan landasan yang

meyakinkan bahwa peranan pembelajar tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang sesuai dengan pandangan

konstruktivistik. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagaitransmiter pembelajaran.

Pembelajar sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing

(mentor).

Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan pembelajar dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagaimediator. Sebagai expert learners, pembelajar diharapkan memiliki

pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran sehingga dapat memberikan bantuan kepada peserta didik,

menyediakan waktu yang cukup untuk peserta didik, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar

dan pembelajaran, merubah strategi ketika peserta didik sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif,

metakognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik.

Sebagai manager, pembelajar berkewajiban memonitor hasil belajar para peserta didik dan masalah-masalah yang

dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam

menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, pembelajar berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi,

menseleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan peserta didik.

Sebagai mediator, pembelajar memandu mengetengahi antar peserta didik, membantu para peserta didik

memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visualdari suatu masalah, memandu para peserta didik

mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan

awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para peserta didik, pemodelan proses berpikir dengan

menunjukkan kepada peserta didik ikut berpikir kritis.

Terkait dengan desain pembelajaran, peran pembelajar adalah menciptakan dan memahami sintaks pembelajaran.

Penciptaan sintaks pembelajaran yang berlandaskan pemahaman akan mempermudah implementasi pembelajaran oleh

pembelajar lain atau oleh peserta didik itu sendiri. Sintaks pembelajaran adalah langkah-langkah operasional yang

dijabarkan berdasarkan teori desain pembelajaran. Sintaks pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik acap

kali mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menjadi penting untuk

menyempurnakan sintaks yang rekursif,fleksibel, dan dinamis.

Gage dan Berliner, mengemukakan peran pembelajar dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :

1. Pembelajar sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses

pembelajaran (pre-teaching problems);

2. Pembelajar sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang,

menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang

sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi)

selama proses berlangsung (during teaching problems);

3. Pembelajar sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus

memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang

ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.

Page 3: Scaffolding

Selanjutnya, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan pembelajar di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di

sekolah, pembelajar berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran

peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, pembelajar berperan

sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, pembelajar berperan sebagai pembina

masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).B.  Partisipasi Peserta Didik dalam Proses Pembelajaran

Peserta didik tidak lagi diposisikan sebagai ember yang harus diisikan dengan air. Dengan sikap pasrah peserta didik

disiapkan untuk dijejali informasi oleh pembelajarnya. Atau peserta didik dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima

pengatahuan dari pembelajarnya. Peserta didik kini diposisikan sebagai mitra belajar pembelajar. Pembelajar bukan satu-

satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Pembelajar hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi.

Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan internet.

Pembelajar bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Di antara tanggung jawab pembelajar dalam

pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi peserta didik. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan peserta didik serta

menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman peserta didik (Suherman dkk, 2001:76).

Oleh karena itu, pembelajar harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada peserta didik

untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para peserta didik dapat menciptakan, mengembangkan,

membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya

(Setyosari, 1997: 53).

Strategi Pembelajaran kooperatif bisa digunakan untuk mengaktifkan peserta didik manakala:

a. Pembelajar menekankan pentingnya usaha kolektif, di samping usaha individual dalam belajar.

b.   Jika pembelajar menghendaki seluruh peserta didik untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar.

c. Jika pembelajar ingin menanamkan, bahwa peserta didik dapat belajar dari teman lainnya.

d. Jika pembelajar menghendaki untuk mengembangkan kemampuan komunikasi peserta didik.

e. Jika pembelajar menghendaki meningkatnya motivasi peserta didik dan menambah tingkat partisipasi mereka.

f.  Jika pembelajar menghendaki berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah dan menemukan

berbagai solusi pemecahan.

Strategi pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu strategi pembelajaran yang mendukung

pembelajaran kontekstual. Cooperative Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang

terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling

ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.

Pembelajaran Kooperatif adalah hubungan dalam kelompok peserta didik yang memerlukan saling ketergantungan positif

(rasa tenggelam atau berenang bersama-sama), akuntabilitas individu (masing-masing dari kita harus berkontribusi dan

belajar), keterampilan interpersonal (komunikasi, kepercayaan, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan resolusi

konflik), tatap muka interaksi promotif, dan pengolahan (merefleksikan seberapa baik tim berfungsi dan bagaimana fungsi

bahkan lebih baik).http://www.co-operation.org/

Menurut Ibrahim (2000:6) unsur-unsur pembelajaan kooperatif adalah sebagai berikut.

1. Peserta didik dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”.

2. Peserta didik bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.

3. Peserta didik haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.

4. Peserta didik harus membagai tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya

5. Peserta didik akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/ penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua

anggota kelompok.

6. Peserta didik berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses

belajarnya.

7. Peserta didik akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok

kooperatif.

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivistik. Pembelajaran

kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah peserta didik sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat

kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap peserta didik anggota kelompok harus saling

bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan

belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Pembelajaran kooperatif

Page 4: Scaffolding

merupakan stategi pembelajaran yang mendorong peserta didik aktif menemukan sendiri pengetahuannya melalui

keterampilan proses (Henny, 2003:20).

Teknik Jigsaw

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan

kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2004; 363). Teknik mengajar

Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam

pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.

Dalam teknik ini, pembelajar memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman peserta didik dan membantu peserta

didik mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, peserta didik bekerja sama dengan

sesama peserta didik dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan

meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam

satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut

kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif di mana peserta didik belajar dalam

kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan

bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut

kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab peserta didik terhadap pembelajarannya sendiri dan juga

pembelajaran orang lain. Peserta didik tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap

memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “peserta didik

saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang

ditugaskan” (Lie, A., 1994).

Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu

sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian para peserta didik itu kembali pada tim /

kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya

pada pertemuan tim ahli.

Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok

induk peserta didik yang beranggotakan peserta didik dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang

beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok peserta didik yang terdiri

dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan

menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997) :

Kelompok Asal

Kelompok Ahli

Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw

Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :

1. Pembelajar membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 peserta didik

dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal

menyesuaikan dengan jumlah bagian materi peserta didikan yang akan dipelajari peserta didik sesuai dengan tujuan

pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap peserta didik diberi tugas mempelajari salah satu bagian

materi pembelajaran tersebut. Semua peserta didik dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam

kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group). Dalam kelompok ahli, peserta didik mendiskusikan

bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika

kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas

dengan jumlah 40 peserta didik dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya

terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 peserta didik akan terdapat 5 kelompok ahli yang

beranggotakan 8 peserta didik dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 peserta didik. Setiap anggota kelompok ahli akan

kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Pembelajar

memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.

Gambar Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw

Page 5: Scaffolding

1. Setelah peserta didik berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-

masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah

dilakukan agar pembelajar dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

2. Pembelajar memberikan kuis untuk peserta didik secara individual.

3. Pembelajar memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai

peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.

4. Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.

5. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan

dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang

sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model

pembelajaran Cooperative Learning di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Kurangnya pemahaman pembelajar mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.

2. Jumlah peserta didik yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian pembelajar terhadap proses pembelajaran

relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.

3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.

4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.

5. Terbatasnya pengetahuan peserta didik akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses

pembelajaran.

Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan

adalah sebagai berikut :

1. Pembelajar senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaranCooperative Learning di kelas dan

menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.

2. Pembagian jumlah peserta didik yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.

3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.

4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.

5. Mensosialisasikan kepada peserta didik akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses

pembelajaran.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/31/cooperative-learning-teknik-jigsaw/

Dalam pembelajaran kooperatif, biasanya tidak banyak memakan waktu peserta didik dalam satu hari pelajaran atau satu

tahun ajaran. Dalam hal ini proses pembelajaran kooperatif adalah model membelajarkan peserta didik secara kooperatif

atau bergotong royong untuk mencapai tujuan belajar yang semaksimal mungkin.

Pendekatan konstruktivis sosial tersebut apabila kita hubungkan dengan pelaksanaan yang ada dalam pendidikan. Upaya

yang dilakukan melalui pendekatan konstruktivis tersebut dapat juga berupa mengembangkan wawasan spiritual yang

semakin mendalam, serta mengembangkan pemahaman rasional dalam konteks kehidupan modern. Membekali peserta

didik dengan berbagai pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kekuasaan, kesejahteraan, lingkungan sosial,

dan pembangunan nasional. Melatih kebiasaan baik serta membantu peserta didik yang sedang tumbuh untuk belajar

berpikir secara logis dan membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep tentang

pengethaun yang dituntut.

Maka melalui upaya tersebut dapat diambil hikmah dari pendekatan konstruktivis melalui pembelajaran. Karena

memberikan peranan penting dalam pendidikan terutama dalam mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian

manusia secara total melalui berbagai aspek sosial baik dalam level individu, komunitas, dan manusia secara luas. Untuk

terciptanya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya.

Tugas tersebut disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Setiap kelompok harus memiliki tanggung jawab

sesuai dengan tugasnya sehingga anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya.

Pencapaian hal tersebut, pembelajar perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu

bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama. Kelompok belajar dibentuk secara heterogen, yang berasal dari

budaya, latar belakang sosial, dan kemampuan akademik yang berbeda.

Perbedaan semacam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. Serta

keterampilan berkomunikasi perlu terus dilatih sampai pada akhirnya setiap peserta didik memliki kemampuan untuk

menjadi komunikator yang baik. Perangkat komponen pada masing-masing sistem pembelajaran menggunakan modul yang

berupa pedoman pembelajar /petunjuk pembelajar, lembaran kegiatan peserta didik, lembaran kerja, kunci lembaran kerja,

lembaran tes dan kunci lembaran tes. Program pengayaan juga penting untuk memberikan kesempatan kepada peserta

didik yang menyelesaikan lebih cepat.

Hal ini dilakukan agar kemajuan dalam belajarnya dapat berkembang terus maka memperluas materi yang berbentuk

mengapilkasikan, menciptakan alat-alat, mengerjakan teka-teki dan sebagainya. Bentuk aktifitas yang dilakukan peserta

Page 6: Scaffolding

didik bukan hanya aktifitas fisik tetapi dan terutama aktifitas mental, karena inti dari kegiatan belajar adalah adanya aktifitas

mental. Tanpa keterlibatan mental dalam suatu aktifitas yang dilakukan peserta didik maka tidak akan pernah terjadi proses

belajar di dalam dirinya. Pembelajaran ini mampu “membawa” para peserta didiknya menguasai kemampuan yang

diharapkan di akhir proses pembelajaran.

Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pembelajar yang melaksanakan pembelajaran, dan dari

sisi peserta didik yang belajar. Dilihat dari sisi pembelajar, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran mampu

menstimulasi aktifitas peserta didik secara optimal untuk melakukan kegiatan belajar dan seluruh atau sebagian besar

aktifitas yang direncanakan dapat terlaksana.

Sementara bila dilihat dari sisi peserta didik, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut dapat

mendorong peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan belajar secara aktif, dan di akhir pembelajaran para peserta

didik mampu menguasai seluruh atau sebagian besar tujuan pembelajaran yang ditetapkan, dan penguasaan pengetahuan

tersebut dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.   Seluruh proses pembelajaran di atas, diharapkan pembelajaran

yang dialami peserta didik menjadi menyenangkan.

Pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan pembelajaran yang gaduh, berisik, dan tidak terkendali.

Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik secara sukarela, tanpa ada

unsur paksaan dari luar, peserta didik melakukan aktifitasnya dengan hati yang senang dan tidak terkekan.

Hal itu akan terjadi apabila situasi pembelajaran terbuka, demokratis, dan menantang. Para peserta didik memiliki

kesempatan untuk melakukan berbagai aktifitas tanpa harus takut salah dan dimarahi oleh siapapun. Pembelajaran yang

menyenangkan, peserta didik akan dapat mencurahkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah

perhatiannya (time on task) tinggi dan pembelajar berperan sebagai scaffolding/memberi dukungan strategi.

Melalui usaha tersebut peserta didik sebagai pusat pembelajaran akan ditandai oleh adanya aktif, berpartisipasi, bekerja,

berinteraksi, menemukan dan memecahkan masalah. Dalam kegiatan pembelajaran komunikasi sering terjadi hanya satu

arah, yaitu dari pembelajar kepada peserta didik, sehingga peserta didik lebih banyak pasif dan kemampuan aktual peserta

didik dalam ZPD (Zone of Proximal Development) diabaikan.

Pada saat pembelajar menyampaikan materi pelajaran, yang biasanya dilakukan melalui ceramah, para peserta didik hanya

menerima apa yang disampaikan oleh pembelajar. Melalui penerapan konsep pembelajaran ini maka peserta didik akan

menjadi aktif melakukan berbagai aktifitas belajar, yang tidak hanya mendengarkan, tetapi mereka harus terlibat secara aktif

mencari, menemukan, mendiskusikan, merumuskan, dan melaporkan hasil belajarnya.

Karenanya, mereka harus diberi kesempatan untuk memikirkan segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungannya;

pembelajar hendaknya menstimulasi daya pikir mereka dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan permasalahan yang

harus dipecahkan (problem solving). Melalui penciptaan kondisi yang menantang dan pemberian kebebasan yang luas

kepada peserta didik untuk beraktifitas, memungkinkan peserta didik menganalisis permasalah secara kritis, dan mencari

pemecahannya.

Sebab kreatifitas akan muncul dalam suasana dan lingkungan yang menantang namun dirasa aman, dan tidak takut akan

mendapat hukuman apabila terjadi kesalahan. Proses belajar yang dialami peserta didik juga harus melatih dan

meningkatkan kematangan emosional dan sosialnya. Pada akhirnya seluruh proses belajar yang dilakukan peserta didik

akan membawanya pada peningkatan produktivitas menjadi lebih tinggi.

C. Pendidikan Multikultural

Mempelajari lingkungan, memandangnya dari perspektif kultural, merupakan keberagaman dalam tema kebudayaan dasar

kita. Pendidikan multikultural dimulai dari pengenalan, penghormatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri (termasuk

institusi yang membentuk seperti keluarga maupun lingkungan terdekat). Sesuai tahap perkembangan anak dan jenjang

pendidikan, pengenalan dan penghormatan atas diri sendiri diperluas dan dikembangkan menjadi pengenalan dan

penghargaan terhadap orang lain. Sebagai contoh, pengetahuan tentang berbagai suku, etnis, adat, tradisi, agama, bahasa

daerah di satu daerah, di Indonesia, dan di dunia. Keterampilan untuk hidup di masyarakat yang berbasis multikultural

termasuk terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning,

dan problem solving. Keterampilan ini bisa dimasukkan pada proses pembelajaran peserta didik baik melalui kegiatan

akademik maupun non-akademik dan menjadi scaffolding dalam proses pembelajaran. Selanjutnya, dengan keragaman

pengetahuan budaya, etnis, suku, budaya, dan agama yang dimiliki oleh setiap individu merupakan potensi untuk

mendukung terciptanya proses belajar melalui interaksi sosial.

James A. Banks (1994) mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu

pembelajar dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan peserta didik,

yaitu:

1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh pembelajar untuk memberikan

keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para

pembelajar menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang

yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu para pembelajar bekerja ke dalam

kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu,

Page 7: Scaffolding

rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, pembelajar

menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi di mana para pembelajar membantu

peserta didik untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin

pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para peserta didik terhadap

perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;

3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Pembelajar melakukan banyak usaha untuk membantu

peserta didik dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak

masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan

kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu peserta didik mengembangkan perilaku intergroup yang lebih

positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang

memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara

konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para peserta didik yang datang ke sekolah dengan

banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalah pahaman terhadap kelompok etnik

dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan

pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para peserta didik untuk mengembangkan

perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para peserta

didik untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

1. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah

fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah peserta didik dari berbagai

kelompok. Strategi dan aktifitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil,

antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif

(competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan

sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para peserta didik dengan kebutuhan

khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan

belajar.

1. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure).

Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya peserta didik yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok

yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi

budaya peserta didik yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan

praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon

berbagai perbedaan yang ada di sekolah.

Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary

istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multicultural” Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada,

Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multicultural dan multi-lingual”.

Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan

sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural

lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.

Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi

realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan

berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan

kemakmuran yang dialaminya.

Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi

sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural

merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan

perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu

mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan

agama.

D.  Metakognisi

Woolfolk mengemukan bahwa metacognition berarti pengetahuan tentang pengetahuan yang berhubungan dengan

penalaran, pemahaman, pemecahan masalah, belajar, dan lain-lain (Anita E, Woolfolk, 2004; 267). Sedangkan Borich

menyebutkan bahwametacognition adalah merupakan strategi pengarahan diri sendiri (Borich, 1996; 388-389). Flavell

menyebutkan bahwa konsep metakognisi dan kognisi sukar untuk diterjemahkan, terutama perbedaan antara metakognisi

dan kognisi. Namun secara umum perbedaan itu adalah kognisi memproseskan pengetahuan, sedangkan metakognisi

menciptakan pemahaman seseorang terhadap pengetahuan (Flavell, 1966; 64). Strategi metakognisi membawa peserta

didik kepada suatu proses yang mereka sebut denganmental modeling (model berpikir). Dalam Mengajarkan proses

berpikir, pembelajar perlu melakukan sebagai berikut: (1) memfokuskan perhatian peserta didik, (2) menekankan pada nilai-

nilai dari demonstrasi, (3) membicarakan dalam bahasa percakapan, (4) membuat langkah-langkah sederhana dan jelas,

dan (5) membantu peserta didik mengingat. Metakognisi merupakan strategi untuk melaksanakan dan memonitor, model

berpikir yang melibatkan penalaran peserta didik, dan terfokus pada penggunaan penalaran (Anita E, Woolfolk, 2004; 267).

Selanjutnya Woolfolk mengemukakan bahwa perencanaan dalam strategi metakognisi meliputi keputusan tentang banyak

waktu yang dibutuhkan, strategi yang akan digunakan, cara memulai, sumber dana, aturan yang akan diikuti untuk suatu

tugas. Dia menjelaskan bahwa memonitor adalah kesadaran yang terus menerus untuk melihat proses berpikir dengan

Page 8: Scaffolding

mengemukakan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri untuk suatu tugas seperti “bagaimana cara saya mengerjakannya”,

adakah saya memahami setiap istilah pada tugas itu, memahami masalah secara keseluruhan; Apakah saya bekerja terlalu

cepat; Apakah saya sudah cukup belajar; Apakah saya bertanya sesuai dengan topik? Seterusnya dia mengemukakan

bahwa monitoring meliputi cara melakukan pemahaman, kecepatan, dan kecukupan belajar, evaluasi meliputi membuat

kesimpulan tentang proses, hasil belajar, dan belajar. Woolfolk juga mengemukakan bahwa evaluasi meliputi membuat

kesimpulan proses dan hasil belajar dan berpikir. Sehubungan dengan evaluasi dia memberikan contoh pertanyaan-

pertanyaan oleh diri peserta didik sendiri seperti “apakah saya sebaiknya mengubah strategi mengerjakan tugas ini?

Mencari bantuan, atau menyerah? Adakah tugas yang saya buat sudah selesai?, dan banyak lagi yang mungkin

dikemukakan, apakah bahan ini sudah saya pelajari dengan cukup (Anita E, Woolfolk, 1996; 267).

Menurut Preisseisen seperti dikutip Pannen menjelaskan bahwa metakognisi meliputi empat jenis keterampilan, yaitu:

1). Keterampilan pemecahan masalah (Problems solving) yaitu:

Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta-

fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.

2).  Keterampilan pengambilan keputusan (Decision making) yaitu:

Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memilih suatu keputusan yang terbaik dari beberapa

pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis

informasi, dan pengambilan keputusan yang terbaik berdasarkan alasan-alasan yang rasional.

3). Keterampilan berpikir kritis (Critical thinking)  yaitu:

Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisis argumen dan memberikan interpretasi

berdasarkan persepsi yang sahih melalui logical reasoning, analisis asumsi dan bias dari argumen, dan interpretasi logis.

4). Keterampilan berpikir berpikir kreatif (Creative thinking) yaitu:

Keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menghasilkan suatu ide yang baru, konstruktif, dan

baik berdasarkan konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang rasional maupun persepsi, dan intuisi individu (Program Applied

Approach, 1997; 3-7-3-8).

Savage dan Amstrong mengemukakan bahwa ada dua strategi belajar metakognitif: (1) berpikir dengan bersuara keras

(thinking aloud), dan (2) berpikir dengan membayangkan (visualizing thinking). Mereka menjelaskan bahwa dalam

pendekatan berpikir dengan bersuara menghendaki pembelajar untuk menerangkan proses berpikir adalah untuk

pendekatan suatu tugas atau suatu kegiatan. Berpikir dengan membayangkan, adalah teknik untuk membantu peserta didik

memonitor  proses berpikir dengan cara memfokuskan peserta didik tersebut pada hal-hal yang perlu untuk suatu tugas.

Menurut Savage dan Amstrong, dalam pelaksanaan penggunaan strategi metakognisi, pembelajar mendorong peserta didik

menyiapkan diagram yang menunjukkan pemahaman mereka terhadap tugas dan jenis-jenis informasi yang mereka

butuhkan. Maksudnya, peserta didik menggunakan diagram tersebut untuk mencatat tentang apa yang telah dipelajarinya

(Tom V. Savage dan David G. Amstrong, 1966; 232-235). Tujuan penggunaan proses Visualizing- thinking adalah agar

peserta didik lebih memperhatikan syarat-syarat khusus untuk tugas-tugas belajar yang dikehendaki dan membantu peserta

didik memonitor dan menyesuaikan proses berpikir mereka ketika mengerjakan tugas dan meningkatkan percaya diri

terhadap hasil kerja mereka (Tom V. Savage dan David G. Amstrong, 1966; 237).

Menurut Dembo bahwa peserta didik yang memiliki keterampilan metakognisi yang baik akan lebih efektif untuk memilih dan

menghadiri ceramah atau informasi-informasi yang penting dari pada peserta didik yang tidak memiliki keterampilan

tersebut (Myron H. Dembo, 1988; 330). Seterusnya North Central Regional Education Laboratory(NCREL)

mengemukakan secara umum tentang metakognisi, bahwa metakognisi memuat tiga elemen dasar yaitu: (1)

mengembangkan suatu perencanaan tindakan, (2) mengadakan monitoring, dan (3) mengevaluasi perencanaan. Menurut

NCREL bahwa tanyai dirimu dalam menggunakan strategi metakognisi, dilakukan sebagai berikut:

Sebelum mengerjakan tugas:

Apakah pengetahuan saya yang ada dapat membantu menyelesaikan bagian-bagian dari tugas ini?

Pada arah mana saja menginginkan pemikiran saya?

Apa yang sebaiknya yang saya lakukan lebih dahulu?

Apa sebabnya saya baca bagian ini?

Berapa lama saya harus menyelesaikan tugas ini selengkapnya?

Selama mengerjakan tugas: Dalam memonitoring tindakan:

Bagaimana saya bekerja?

Apakah saya pada jalan yang benar?

Bagaimana sebaiknya saya meneruskan kerja saya?

Informasi apa yang penting untuk diingat?

Apakah sebaiknya saya pindah pada arah lain?

Apakah sebaiknya saya menyesuaikan langkah tergantung pada kesulitan?

Apa yang saya butuhkan jika saya tidak memahami sesuatu?

Setelah tugas selesai: tanyai dirimu sebagai berikut:

Bagaimana baiknya kerja saya?

Page 9: Scaffolding

Apakah pikiran saya menghasilkan kurang atau lebih dari yang saya harapkan?

Apakah saya dapat mengerjakannya dengan cara yang berbeda?

Bagaimana kemungkinan cara berpikir ini dapat saya aplikasikan pada masalah lain?

Apakah saya butuh untuk kembali pada tugas untuk mengisi yang kosong sesuai dengan pemahaman saya?

([email protected]).

Manurut Kaune bahwa kemampuan metakognisi merupakan kemampuan yang melihat kembali proses berpikir yang

dilakukan seseorang. Kegiatan metakognisi terdiri dariplanning-monitoring-reflection. Dalam aktivitas metakognisi

tersebut, peran pembelajar (pembelajar, dosen) sebagai mediator dan bukan ”menjejalkan” informasi kepada peserta didik.

Sebagai mediator, pembelajar membantu mengarahkan gagasan/ide/pemikiran peserta didik sesuai dengan konteks

pelajaran, membantu peserta didik melihat hubungan antara satu pemikiran dan pemikiran yang lain, serta mendorong

peserta didik untuk memformulasikan dan merealisasi gagasan mereka (Christa Kaune, 2008; 2). Menurut Schon dalam

Pannen paradigma konstruktivisme dan teori metakognisi, lahirnya prinsip reflection in action, yaitu prinsip refleksi dari

pengalaman praktisi profesional dalam pemecahan masalah yang pernah dihadapi untuk memecahkan masalah baru

(praktisi-praktisi tesebut dikenal dengan nama Refletive Practitioners) (Program Applied Approach, 1997; 3-8).

Kemudian Gagnon dan Collay memaknai refleksi sebagai tindakan mengambarkan sendiri tentang apa yang telah

dirasakan, dilihat, dan diketahui, bagimana membentuk pemahaman baru, menambah pemahaman baru, atau

meningkatkan pengetahuan dalam belajar, serta apa yang akan dilakukan atau dipikirkan selanjutnya (George W. Gagnon,

Jr., and Michelle Collay, 2001; 104). Dalam proses pembelajaran di kelas, refleksi merupakan unsur penting yang sangat

berkaitan dengan aktivitas belajar. Refleksi terjadi selama seseorang belajar. Biasanya seorang pembelajar berupaya

membangun situasi bagi peserta didik di mana mereka diharuskan untuk merefleksi. Ini dilakukan melalui strategi-strategi

seperti mengajukan pertanyaan, mendorong pengukuran diri (self assessment)( Margot Brown, Heather Fray and

Stephanie Marshall, 1999; 207). Selanjutnya mendorong mereka untuk mengerjakan tugas, menggunakan analisis kritis

terhadap kejadian-kejadian, serta meminta mereka untuk menganalisis dan mengkritik pandangan-pandangan dan praktik

yang ada (George W. Gagnon, Jr., and Michelle Collay, 2001; 97). Pemberian informasi tentang cara kemampuan refleksi

cara berpikir atau mengontrol sendiri proses belajar (metakognisi) dapat dipadukan dalam pembelajaran, karena hal ini

dapat membantu peserta didik belajar secara efektif meningkatkan proses intelektual mereka dan mengadakan pengertian

yang bernilai ke dalam hakikat sebagai peserta didik dan individu (Linda Cambell, Bruce Cambell, and Dee Dicknson, 1996;

210).

Berdasarkan kajian teori di atas tentang metakognisi, disimpulkan bahwa metakognisi merupakan pemaknaan berpikir yang

dapat diaplikasikan sebagai suatu  strategi pembelajaran untuk mengkondisikan peserta didik dalam memecahkan masalah,

mengambil keputusan, menarik kesimpulan, berpikir kritis,  dan berpikir kreatif.