13

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 - s3.amazonaws.com · mereka keemasan dengan rambut pucat dan telinga runcing. Paras mereka rupawan, sekilas mereka tampak seperti Manusia berusia dua

  • Upload
    hathuy

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) ta-hun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

RECOLLECTION; A Ther Melian Novel© 2017 Shienny M.S.

Art copyright © 2017 Shienny M.S.Cover art copyright © 2017 by Ellie Goh

Editor : Grace Situngkir

ID 717030617ISBN 978-602-04-1265-8

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Diterbitkan pertama kali tahun 2013

Diterbitkan ulang dengan revisi tahun 2017oleh PT Elex Media Komputindo,

Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta.

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT. Gramedia, JakartaIsi di luar tanggung jawab percetak

“Karena kau tahu siapa aku yang sesungguhnya,bahkan di saat aku meragukan diriku sendiri.”

My deepest thank you for:

All Editors and Staffs of Elex Media Komputindo

Ivette (Illustrator)

Ellie Goh (Cover Art)

TM Academy Readers, and….

You!

Mengenai Recollection

Setelah menyelesaikan keempat novel Ther Melian, saya merasa tergelitik untuk menulis kisah lain berlatarkan benua ini, dengan segala konflik dan benturan kepentingan di antara bangsa-bangsa penghuninya.

Mengambil waktu dua puluh tahun sebelum buku pertama Ther Melian (Revelation), kisah Recollection tidak berkaitan dengan serial utama Ther Melian. Novel ini dapat dinikmati siapa pun, khususnya pembaca yang baru me ngenal dunia Ther Melian.

Selain menghadirkan kembali beberapa tokoh yang sudah dikenal pembaca, kisah ini juga memperkenalkan tokoh-tokoh baru. Dan tentunya masih diwarnai petualangan, sihir, misteri, dan kisah cinta.

Shienny M.S.

1Sungai Darah

Warna merah menodai pandangan matanya. Elya tertegun, mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan apakah dia bermimpi atau tidak. Tapi pemandangan itu tetap tidak berubah, parit dangkal yang terbentang di depannya memang sewarna darah. Angin membawa bau amis ke arahnya. Elya mual, firasat buruk menderanya.

Tapi akal sehatnya segera mengambil alih. Pasti ada penjelas­an yang masuk akal untuk ini. Mungkin ada orang yang tak ber-tanggung jawab yang membuang jasad ternak ke dalam Sungai Arquus—sumber air parit ini. Mengingat betapa ceroboh dan lalainya Manusia, hal semacam ini bukannya tak mungkin terjadi.

Elya mendesis gemas. Kalau memang ada yang mencemari sungai, dia harus menemukan sumbernya lalu melapor pada Penjaga Desa. Sungai Arquus yang mengalir membelah Hutan Telssier menopang kehidupan banyak orang. Jika airnya sampai diminum, akibatnya pasti buruk sekali.

Akhirnya Elya memutuskan menyisir parit untuk mene mukan sumber darah. Matahari belum terbit, tapi kegelapan dini hari tidak menganggu Elya. Matanya—yang mampu melihat dalam kegelapan—membantu menemukan rute aman melalui jalan berlumut di tepi parit.

Saat berjalan semakin dalam ke hutan, dia menyadari darah di parit semakin pekat. Sepertinya tidak mungkin kalau sumbernya

2

hanya seekor ternak saja. Firasat buruk yang meng hantuinya kembali mendera.

Aliran parit menghilang di sebuah kelokan besar yang di-penuhi rerimbunan semak kaliandra. Elya tak bisa melihat ke ba-lik rerimbunan, tapi dia bisa mendengar gemuruh Sungai Arquus.

Berhati-hati memilih pijakan, Elya berbelok dan menemukan Sungai Arquus mengalir dengan derasnya. Tapi sungai itu bersih, sama sekali tidak terlihat bekas darah yang menodai alirannya. Firasat buruknya semakin menjadi-jadi ketika menyadari betapa sunyinya tempat itu. Selain gemuruh Sungai Arquus, tidak terdengar suara apa-apa lagi.

Tepat ketika Elya berniat mendekati bibir sungai, dia me-rasakan kakinya menginjak genangan air. Dia melirik ke bawah dengan bingung.

Memangnya semalam hujan? Saat itulah bau amis menguar semakin pekat. Sambil menelan ludah, dia menoleh ke tanah lapang yang membentang di sisinya. Gadis itu menjerit tertahan, mata birunya terbeliak lebar.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, hanya dipisahkan semak be-lukar, belasan tubuh bergelimpangan. Tanah tempat mereka ter-kapar memerah, darah menggenang membentuk aliran panjang ke dalam parit.

Elya mendekat untuk mengamati mereka lebih jelas dan men-cari tanda-tanda kehidupan. Tapi melihat banyaknya luka tusuk dan sayatan yang malang melintang di bagian vital tubuh mereka, dia tidak berani berharap banyak. Saat itu jugalah Elya menyadari mereka bukan Manusia, melainkan Elvar.

Elvar adalah bangsa asli penghuni benua Ther Melian. Kulit mereka keemasan dengan rambut pucat dan telinga runcing. Paras mereka rupawan, sekilas mereka tampak seperti Manusia berusia dua puluh tahunan. Tapi Elya tahu mereka lebih tua dari penampilannya. Bangsa Elvar selalu awet muda. Mereka memiliki pendengaran dan penglihatan setajam rubah, juga tidak akan meninggal karena usia tua.

3

Elya mengamati wajah para Elvar satu demi satu dan me-nyadari dia tidak mengenali satu pun di antaranya. Mereka bukan Elvar Terbuang yang tinggal di desanya, Dominia. Elvar Terbuang adalah mereka yang diusir dari Falthemnar—Ibukota Bangsa Elvar—karena menikahi Manusia. Hasil dari perkawinan kedua Bangsa ini yang disebut Kaum Vier­Elv; setengah Elvar setengah Manusia, seperti Elya.

Elya juga menyadari para Elvar itu mengenakan seragam dan zirah logam. Bulu kuduknya meremang, dia mengenali seragam itu; seragam Legiun Falthemnar, pasukan elite Bangsa Elvar. Keningnya mengernyit. Dia pernah bertemu prajurit Legiun Falthemnar saat mereka berpatroli di perbatasan. Umumnya hanya berupa tim kecil yang terdiri dari dua orang. Elya tidak pernah melihat pasukan berjumlah besar seperti ini.

Perutnya semakin mual, rasa cemas mulai menjalarinya. Siapa yang bisa melakukan ini pada sekelompok Legiun Falthemnar? Daemon­kah? Pikiran itu membuat sekujur tubuh Elya tegang. Dia menajamkan pandangan, berusaha mencari tanda-tanda Kabut Gelap di sekitarnya. Namun hutan tampak lengang. Tidak ada tanda keberadaan Kabut Gelap, apalagi Daemon—makhluk keji pemangsa makhluk hidup lain yang lahir dan hidup di dalam kabut.

Elya menggeleng lemah untuk mengusir kekhawatirannya. Bagaimanapun, Daemon akan meninggalkan luka cakar atau gigitan. Bekas luka di tubuh para Elvar ini terlalu bersih, lebih mirip luka akibat senjata, yang menunjukkan mereka bukan diserang Daemon, melainkan oleh Manusia atau Elvar lain, mungkin.

Elya berlutut dan memeriksa salah satu jenazah. Tubuh Elvar itu belum terasa kaku. Artinya kematiannya belum lama berselang, mungkin sekitar subuh saat Elya mulai berangkat berburu. Jadi siapa pun yang melakukannya masih ada di sekitar sini. Saat itulah perasaan tidak nyaman kembali menggeliat di perut Elya, seolah seseorang sedang mengawasinya.

4

Dia baru hendak meraih busur yang bergantung di punggungnya ketika merasakan seseorang bergerak di belakangnya. Bersamaan dengan itu, rasa dingin logam menyentuhnya. Sontak dia melirik. Sebilah pisau tipis berlumuran darah menodong lehernya. Elya menahan napas.

Terdengar desah napas berat dari arah punggung Elya. Napas seorang pria. “Jangan bergerak....” Pria itu berkata dalam bahasa Elvar, yang untungnya dipahami Elya.

Elya mencoba mengatur napasnya, berusaha tidak menunjuk-kan rasa takut saat ujung pisau berlumur darah menelusuri le-hernya dan berhenti saat menyusuri tepian jubah Elya, dan dalam satu sentakan merobek pengikat jubahnya.

Elya merasakan embusan napas berat diiringi desah lega pria itu saat jubahnya meluncur jatuh dan menunjukkan pakaian pemburu yang dikenakannya. “Kau bukan ... kau bukan salah satu dari mereka,” kata pria itu. “Berbaliklah.”

Elya mengernyit dan berbalik perlahan. Tepat di belakangnya ada seorang Elvar pria. Rambut ikalnya yang sewarna tembaga tergerai menutupi sebagian wajahnya, sementara mata amber­nya menatap Elya dengan tajam.

Dia jelas bukan prajurit. Bajunya terbuat dari kulit, tampak sangat berbeda dari seragam Legiun Falthemnar. Elya menyadari sekujur tubuh pria itu dipenuhi goresan yang masih mengucurkan darah. Pria itu nyaris tak mampu lagi berdiri. Tubuhnya gontai, berdirinya pun limbung, tapi kewaspadaan penuh tampak dari ketegangan otot-ototnya.

Dia mengarahkan tinjunya tepat di hadapan Elya. Sepasang cakar besi yang menghitam karena darah dan menyerupai pisau tipis menyembul dari punggung sarung tangannya. Dia menghunuskannya tepat ke leher Elya.

“Siapa kau?” Elya memberanikan diri bertanya. Tapi pria itu tidak menjawab. Dia tiba-tiba saja roboh ke depan dan jatuh menimpa Elya. Hanya karena kegesitannya saja Elya berhasil menahan tubuh pria itu sebelum menghantam tanah—dengan susah payah tentunya.

5

Elya menemukan luka lain di bagian belakang kepala pria itu. Luka menganga yang mengeluarkan banyak darah. Saat itulah Elya menyadari satu hal; hidup mati pria ini ada di tangannya....

Elya mengembuskan napas keras-keras, berusaha meniup rambut pirang panjangnya yang tergerai menutupi mata. Lututnya gemetar saking lelahnya, tapi dia terus melangkah. Sungguh bukan pekerjaan sepele berjalan sambil membopong seorang pria kembali ke Dominia. Dia sampai harus meninggalkan tabung