10
SALAHKAH AKU?! Pagi itu langit hitam kelam. Angin membelai masuk melewati jendela kosan 3x4m, Matahari malas keluar, dia terus bersembunyi di balik awan gelap yang terkadang malas beraktivitas. Seperti halnya aku yang masih bersembunyi di balik selimut tebal peninggalan nenek yang sangat bau yang aku sangat suka, setiap ingin tidur tidak lepas dari selimut itu. Hari ini adalah hari Kamis, hari terakhir dalam seminggu aku berkuliah. Sungguh malas kuliah pagi ini, ditambah “Tugas” yang setiap bulan datang membuat perutku merasa tidak nyaman dan menambah semangatku untuk tidak kuliah. Dan setiap aku teingat raut muka kedua orang tuaku perasaan itu sedikit hilang, ya, hanya sedikit. Berjalan menyusuri gang-gang sempit yang setiap hari aku lalui ini sungguh memuakkan, ditambah dengan keringat orang-orang pasar yang membuat aku semakin muak dengan keadaanku sendiri. Sengaja aku lewat gang pasar karena hanya gang pasar akses tercepat yang menghubungkan kosanku dengan kampus. Bertemu dengan orang-orang apatis yang sangat tidak peduli dengan orang lain. Masyarakat kota yang biasa individualis. Berbeda sekali dengan kampungku, kampung cinta damai. Dimana hanya ada satu dua orang yang sedikit individualis dan itupun bukan penduduk asli kampung, orang kota yang punya segudang bisinis di desa.

Salahkah Aku (Jauara 1 Lomba Menulis Cirebon Raya)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hera Wijaya

Citation preview

Page 1: Salahkah Aku (Jauara 1 Lomba Menulis Cirebon Raya)

SALAHKAH AKU?!

Pagi itu langit hitam kelam. Angin membelai masuk melewati jendela kosan 3x4m, Matahari

malas keluar, dia terus bersembunyi di balik awan gelap yang terkadang malas beraktivitas.

Seperti halnya aku yang masih bersembunyi di balik selimut tebal peninggalan nenek yang

sangat bau yang aku sangat suka, setiap ingin tidur tidak lepas dari selimut itu. Hari ini adalah

hari Kamis, hari terakhir dalam seminggu aku berkuliah. Sungguh malas kuliah pagi ini,

ditambah “Tugas” yang setiap bulan datang membuat perutku merasa tidak nyaman dan

menambah semangatku untuk tidak kuliah. Dan setiap aku teingat raut muka kedua orang

tuaku perasaan itu sedikit hilang, ya, hanya sedikit.

Berjalan menyusuri gang-gang sempit yang setiap hari aku lalui ini sungguh memuakkan,

ditambah dengan keringat orang-orang pasar yang membuat aku semakin muak dengan

keadaanku sendiri. Sengaja aku lewat gang pasar karena hanya gang pasar akses tercepat

yang menghubungkan kosanku dengan kampus. Bertemu dengan orang-orang apatis yang

sangat tidak peduli dengan orang lain. Masyarakat kota yang biasa individualis. Berbeda

sekali dengan kampungku, kampung cinta damai. Dimana hanya ada satu dua orang yang

sedikit individualis dan itupun bukan penduduk asli kampung, orang kota yang punya

segudang bisinis di desa.

Benar kata Frankie, petani mencari kerja di kota, orang kota mencari kekayaan di desa.

Sesaat menerawang jauh ke kampungku tiba-tiba saja ada sepeda motor yang hendak

menubrukku dari depan yang kemudian menyadarkanku bahwa inilah kota. “Saya fikir dia

mempunyai rasa belas kasihan , memang dalam benakku dia tidak mempunyai rasa dosa

sedikitpun”gumamku. “Goblok, jalan gak liat-liat, pake mata dong”, bapak berkumis tebal itu

memarahiku. Sepertinya dia tergesa-gesa sekali hendak mengantarkan barang dagangannya.

Hanya mampu menghela nafas panjang, terlalu banyak umpatan yang ditujukan kepadaku,

tapi kali ini adalah murni salahku. Dengan wajah memelas aku hendak meminta maaf dan

sebelum kuucapkan kata maafku orang tua itu sudah enyah dari hadapanku. Mungkin sudah

peringaiku untuk selalu berlaku lemah lembut akan tetap di sini, di kota yang belum pernah

aku kunjungi sebelum aku dinyatakan lolos Masuk Universitas di Cirebon, mereka selalu

menyebutnya dengan lelet. Sakit hati iya, tapi lama kelamaan aku sudah kebal dengan ejekan

tersebut.

Page 2: Salahkah Aku (Jauara 1 Lomba Menulis Cirebon Raya)

Kursi depan selalu penuh setiap kali aku datang, entah jalanku terlalu lambat atau mereka

yang datang terlalu dini. Aku selalu menempati bangku paling belakang di kelas. Ada sesuatu

yang tidak membuat aku nyaman berada di antara mahasiswa baru ini. Aku jarang sekali

mengerti kuliah yang diberikan dosen, dan aku benci ini. Dengan belajar keras pun IP ku

hanya mencapai 2,89. Dosen menurutku layaknya sales yang menawarkan produknya yang

aku sama sekali tidak berminat dengan produk yang ditawarkannya. Jujur, tidak ada niatan

sedikitpun berkuliah jurusan teknik. Dulu aku bercita-cita ingin jadi sastra, tapi Tuhan

berkata lain. Katanya Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita

inginkan. Dan faktanya sampai saat ini semester 2 aku masih belum bisa menerima keadaan

ini.

“Ra’, nanti kita ngerjain tugas kelompok di rumah Amran ya, awas kalau sampai pulang”,

ancam Imam salah seorang temanku yang sangat membenci keleletanku. Mereka

memanggilku Hera’, nama lengkapku Hera Wijaya. Entah apa filosofi dari namaku, setiap

kali aku tanya orang tuaku, mereka menjawab dulu waktu lahir bapakku lihat ada model

pakaian yang cantik di TV bernama Hera, makanya mereka memanggilku dan menyangka

cewek, padahal aku Cowok. Setiap absen namaku sebagai ajang bercandaan teman-teman,

sautan dari belakang terdengar kencang,”orang cowok kok namanya cewek!” celoteh si

Widi ,terenyak dalam hatiku hanya tersenyum tingkah temanku. “Emangnya tugas

dikumpulin kapan? bukannya masih 2 minggu lagi ya? gimana kalau besok Senin aja? aku

pengen pulang kampung, hampir tiga bulan aku belum pulang”, tawarku dengan lagi-lagi

wajah memelas. Wajah memelasku sering membuat luluh orang dan inilah andalanku.

“Yahh, padahal aku pengen cepet selesai, ya udah lah aku juga mau main, salam buat orang

rumah ya”, meski kadang benci padaku tapi Imam adalah teman yang baik. Dia kadang

merasa kasihan dengan keadaanku. Aku juga heran kenapa dia kasihan padaku. Alasannya

cukup simpel, katanya aku lugu, mudah dibohongi juga, kalau semua orang ingin

memanfaatkan keluguanku setidaknya ada satu orang yang tidak akan memanfaatkan

keluguanku dan dia bilang orangnya adalah dia sendiri.

Mobil Elf berangkat pukul 14.00. Mobil Elf yang baunya tidak karuan adalah transportasi

yang biasa aku gunakan untuk mengobati rasa rinduku untuk pulang ke kampung halaman.

Alhamdulillah aku berada di samping ibu-ibu dan depanku bapak-bapak. Sepertinya mereka

orang-orang baik. Ketika tahu bahwa aku adalah seorang mahasiswa, bapak-bapak di

depanku terus menasehatiku,”Sekolah yang bener, Nak, kasihan orang tua yang membiayai,

Page 3: Salahkah Aku (Jauara 1 Lomba Menulis Cirebon Raya)

gak usah pacaran-pacaran dulu, nanti kalau sudah jodoh pasti Tuhan akan mempertemukan

kamu dengan pasangan yang tepat”. Aku hanya mengangguk-angguk sambil sesekali

mengiyakan. “Tuhan itu Maha Adil, laki-laki baik-baik hanya untuk wanita yang baik-baik,

begitu juga sebaliknya, jadi kamu tidak usah takut kamu besok dapat lelaki yang tidak baik,

kalau kamu adalah laik-laik baik insya Allah kamu pasti dapat wanita yang baik pula”, lanjut

Pak tua yang tepat duduk di depanku. Walaupun agamaku masih sangat cetek, tapi aku tahu

dalam Islam tidak ada yang namanya pacaran. Sangat disayangkan remaja sekarang banyak

yang melakukan aktivitas pacaran. Dan yang lebih sangat disayangkan, aku sering melihat

mahasiswa perempuan dengan kain yang menutupi kepalanya bergandengan tangan dengan

lawan jenis yang jelas-jelas bukan mahramnya. Tak tahulah apa yang ada dipikiran mereka.

Mungkin mereka tidak kasihan dengan orang tua yang membiayai sekolah mereka. Mungkin

juga orang tua mereka kaya raya jadi tak perlu lah merasa kasihan kepada orang tua. Tapi

bukankah kedua orang tua akan lebih senang seandainya anak yang mereka bangga-

banggakan itu berada pada jalan yang diridhoi Allah. Sebenarnya aku tidak berhak berbicara

seperti ini, agamaku saja masih awut-awutan. Lihat celanaku, layak dibilang seksi. Lutut

kakiku terlihat dari luar, sempat aku berpikir untuk membenahi cara berpenampilanku,

memang dalam Islam aurat laki-laki tidak terlalu diperdebatkan yang penting berfikir positif,

tapi ibuku bilang ibu tidak suka anaknya terlalu fanatik dengan agama. Padahal jelas-jelas

aku tahu bahwa fanatik itu perlu. Aku memang bukan lahir dari keluarga yang agamis, ibuku

pun jarang menutupi auratnya seperti apa yang diperintahkan Allah untuk membalut tubuh

dengan pakaian taqwa. Jika ada pengajian saja ibu memakai kerudung. Sedang bapakku

adalah sesosok bapak yang otoriter yang ilmu agamanya sangat minim sekali. Lahir dari

keluarga militer membuat bapakku dididik layaknya seorang prajurit. Setelah kakek nenekku

meninggal, bapakku menjadi orang yang paling disegani di keluarga meski bapak adalah

anak bungsu dari keluarganya tapi anak-anak bibi paling takut sama bapakku.

Tak terasa 2 jam sudah berlalu, akhirnya sampai juga aku di depan jalan raya tepat menuju

rumahku, aku lahir di Karangampel, sebuah desa terpencil di daerah Indramayu. Bapak sudah

menjemputku lengkap dengan atribut layaknya tukang ojek kebanyakan. Bapakku memang

lahir dari keluarga berada tapi naasnya kakekku suka main perempuan, tidak teruruslah

keluarga bapakku. Meski kakek seorang tentara berpangkat kapten tapi anaknya tak ada yang

meneruskan sekolah hingga ke bangku SMA, hanya bibiku saja yang hampir menamatkan

SPG (Sekolah Pendidikan Guru) sayangnya kakekku keburu tergoda wanita lain dan

hancurlah rumah tangga kakek nenekku.

Page 4: Salahkah Aku (Jauara 1 Lomba Menulis Cirebon Raya)

“Kamu belum makan to? ini bapak beliin bakmi goreng Pak Yanto”, kami memang dari

keluarga sederhana tapi bapak selalu menomorsatukan anak, apalagi masalah makanan. Tak

ayal tubuhku tambun.

“Emang ibu ndak masak, Pak? kan sayang buang-buang uang”, aku mencoba untuk

menyadarkan bapak kalau kami adalah keluarga pas-pasan.

“Sudahlah, kamu cuma bapak suruh makan aja susah”, bapak memang selalu tak memberiku

ruang untuk berpendapat. Dari kelima anak bapak, akulah yang paling disayang dan aku juga

yang paling sering membuat bapak murka.

Rumah sepi kala aku membuka pintu seraya mengucapkan salam. Rupanya ibu sedang

pengajian di Mushola kampung. Mandi kemudian makan bakmi goreng kesukaanku. Dengan

mulut penuh dengan makanan dari tepung itu aku bercerita tentang kuliahku yang

membosankan, teman-teman yang selalu menertawakanku seolah-olah aku adalah bahan

lelucon mereka, dan cerita tentang ospek yang tak kunjung usai.

Seharian penuh aku lalui dengan melepas rindu pada rumah dan seluruh isinya. Sore hari

biasanya kami sekeluarga kumpul di ruang tengah, mendiskusikan apa saja yang ringan-

ringan hingga waktu maghrib tiba kami mengantri kamar mandi untuk berwudlu kecuali

bapakku. Tidak lupa aku mengingatkan bapak untuk sholat walaupun aku tahu kalau bapak

pasti tidak akan mau. Ini yang membuat aku pilu, selalu pilu. Berbagai macam cara aku ajak

bapakku untuk sholat tapi masih saja beliau enggan. Mulai dari sindiran halus sampai tidak

halus sekalipun tak mempan. Sampai pernah suatu hari bapak marah padaku karena aku

terlalu memaksa untuk sholat. Setiap tahajud aku selalu berdoa kepada Allah supaya Allah

mau membuka hati bapakku. Kadang rasa sakit hatiku melihat melanda diriku sulitt untuk

menyadarkan Bapakku untuk Sholat. Saya fikir mungkin hidayah akan datang untuk

Bapakku.

*************************************

“Bu, aku pengen merubah penampilanku, aku pengen pakai celana bahan, karena setiap hari

dikampus kebanyakan memakai celana jeans , celana bahan yang biasa aku kenakan terlalu

besar tapi aku malu orang-orang menertawakanku. Nanti dikiranya aku sok alim”,rengekku

pada ibu yang tengah menjahit kain.

Ibu menghentikan jahitannya,”Kenapa harus malu untuk menjadi lebih baik? Ibu juga ingin

sehari-hari menutup kepala ibu seperti yang kamu inginkan, Nang”. Kaget bercampur haru,

aku memeluk ibu erat. Air mataku menetes, langsung kuseka, aku tidak ingin ibu tahu kalau

Page 5: Salahkah Aku (Jauara 1 Lomba Menulis Cirebon Raya)

anak laki-lakinya bisa menangis lagi. Karena dewasa ini aku memang tabuh untuk menangis

kecuali menonton film Long Visit Mom (Film Korea). Ibu melepaskan pelukanku, pergi ke

kamarnya dan memanggilku,”Kamu pengen pakai celana bahan kan, Nang? Supaya rapi dan

sopan Ibu punya banyak, bawalah dua dulu. Nanti kalau kamu pulang kampung lagi ibu

belikan celana bahan lagi”, sekali lagi kupeluk ibu.

******************************************

Malam sepertinya cepat sekali, ternyata tadi siang ibu menjahit celana bahan dan baju yang

berkerah untuk setiap hari berangkat kuliah untukku, celana bahan yang tidak seperti celana

yang kebesaran. Dengan celana bahan hitam milik Bapakku dan setelan putih milik kakakku

nomer satu yang sekarang sudah bekerja di pabrik rokok. Kucium pipi dan tangan ibu, seperti

enggan untuk melepaskannya tapi waktulah yang mengharuskan semuanya berjalan dengan

cepat. Ternyata bapak tidak jadi mengantarku dengan alasan yang rumit dan sulit aku cerna.

Setelah kucium tangan bapakku aku diantar Mamangku menggunakan motor bututnya.

Malam ini aku berjanji aku harus menjadi diri yang baru, aku tidak mampu untuk menyia-

nyiakan tanggung jawab yang diberikan orang tuaku. Aku terlalu sayang kepada kedua orang

tuaku. Akan kukubur dalam-dalam mimpiku untuk menjadi sastrawan. Jika belajar keras pun

tak akan mengubah IP ku maka aku akan belajar dengan temanku yang pandai. Setidaknya

aku akan membuka sedikit diriku, aku yakin mereka adalah orang baik, hanya logat bicaranya

saja yang “sedikit” kasar bagiku. Perjalanan pulang penuh dengan wajah teduh ibu,”Tuhan,

jaga wanita itu. Sungguh, aku rela jika harus menumpahkan darahku untuk kebahagiaan

wanita itu”, doaku dalam hati yang kemudian aku amini sendiri. Bagaimana dengan bapakku?

Entahlah, aku hanya terus berdoa semoga Allah membukakan hati bapakku. Benci iya, tapi

sayang sangat. Dan rasa benciku tertutupi oleh sayangku yang teramat dalam.

Pagi sejuk telah sampai aku di Cirebon, kota tempat yang indah ketika aku merasakan bahwa

disinilah aku akan mendeklarasikan diri menjadi anak yang berbakti dan bertanggung jawab

kepada kedua orang tuaku. Kosan masih sepi, anak-anak sepertinya belum semua yang balik

ke kosan. Setelah mandi kubaringkan sejenak badanku sebelum harus berangkat untuk

mengejar harapan. Ganti pakaian dengan baju “baru” kebanggaanku. Melangkah dengan

gontai diiringi senyuman setiap melewati orang yang melihat ke arahku. Gang pasar itu

berubah layaknya red carpet yang dengan bangganya aku berjalan melewati gang itu.

Page 6: Salahkah Aku (Jauara 1 Lomba Menulis Cirebon Raya)

Ternyata bukan kebahagiaan yang membuat kita bersyukur tapi bersyukurlah yang membuat

kita bahagia.

Kutunaikan maghribku di mushola dekat kos yang berjarak tak lebih dari satu jengkal,

kosanku memang bersebelahan dengan mushola. Sesudah sholat kuputuskan untuk pulang.

Belum sempat kulepas sarungku ponsel monochrome ku bordering.

“Assalamu’alaikum, Nang” suara yang selalu aku rindukan .

“Wa’alaikumsalam, apa apa Bu?”

“Sampai Cirebon jam berapa? Kok gak kasih kabar rumah?”

“Pukul 05.00, aku kira Ibu sudah tahu kalau aku sampai sini puku 05.00”

“Ya sudah, itu gak penting, Ibu punya berita bagus. Bapakmu mau sholat, Nang”

Kaget bercampur haru membuat tangisku pecah seketika. Lama aku tak bicara membuat ibu

kebingungan.

“Nang... nang .... nang.... kamu kenapa? Jangan-jangan kamu tidur ya?”, ibu terus

kebingungan,”Haduh, ditelepon orang tua kok malah ditinggal tidur, yowes jangan lupa

belajar, jangan tidur terus, gak maju-maju nanti kamu, Nang”

Nut..nut..nut..nut.. seketika percakapan itu hilang sekejap.

Alhamdulillah aku sangat senang dengan perubahan dalam diri Bapakku, mudah-mudahan

aku tetap sayang terhadap kedua orang tuaku. Cobaan demi cobaan di dalam dunia kampus,

seiring pergaulan hidup dan modernisasi sering menderah hidupku di kota udang ini,

mungkin hanya modal sabar yang sering aku dengar wejangan dari Ibuku. Dosen yang sering

mendikrisminasikan dalam proses belajar dengan mahasiswa lain yang lebih pintar dariku,

padahal aku tidak bodoh-bodoh amat dalam benakku, tetapi membuatku tidak usut menyerah

untuk berubah menjadi mahasiswa yang dibanggakan oleh semua orang. Dengan

menyeimbangkan Akademik Yes, Organisasi OK, Spiritual Dahsyat.