14
93 Pendayagunaan Sagu Baruk Sebagai Tanaman Konservasi Produksi Pangan dan Pakan Ternak¹ Abner Lay² ²Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado. RINGKASAN Sagu baruk dapat berperan sebagai tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman kehutanan, tumbuh baik pada berbagai habitat, topografi lahan miring/curam dan musim kemarau panjang. Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan memberi manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan. Kata Kunci: Sagu baruk, konservasi tanah dan air, tepung sagu, pakan, pupuk organik. I. PENDAHULUAN Kelimpahan sumber daya kehutanan Indonesia mengalami kemerosatan yang sangat cepat dan sangat luas, sehingga saat ini, sulit untuk mengharapkan potensi ekonomi kehutanan sebagai penyumbang devisa, ekspor serta lapangan pekerjaan. Penebangan hutan secara liar dan ilegal, eksploitasi sumber daya kehutanan berlebihan, penyeludupan hasil dan produksi kehutanan yang tidak terkendali menjadi penyebab utama rusaknya sumber daya, ekosistem, termasuk kerusakan lingkungan. Sementara itu, masih membutuhkan sumbangan hasil produk hutan sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan, penciptaan lapangan kerja serta sumber pendapatan bagi penduduk di sekitar hutan. Pada masa mendatang, pengelolaan pembangunan sektor kehutanan sudah tidak dapat lagi dipisahkan dengan pembangunan sektor lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya kehutanan harus diarahkan agar tetap dapat ditingkatkan produksinya secara berkesinambungan dan selaras dengan daya dukung alam yang lestari, yang dapat memberi kemakmuran dan kesempatan seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengusahakan hutan secara lestari, sebagai sumber pangan dan membantu mengatasi perubahan iklim global. ---------------------------------------------------- ¹Disampaikan pada Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado, 23-24 Oktober 2012. ²Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.

Sagu_Baruk

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Lahan Basah

Citation preview

  • 93

    Pendayagunaan Sagu Baruk Sebagai Tanaman Konservasi Produksi Pangan

    dan Pakan Ternak

    Abner Lay

    Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.

    RINGKASAN

    Sagu baruk dapat berperan sebagai tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman kehutanan,

    tumbuh baik pada berbagai habitat, topografi lahan miring/curam dan musim kemarau panjang.

    Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan

    memberi manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan

    ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian

    lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan.

    Kata Kunci: Sagu baruk, konservasi tanah dan air, tepung sagu, pakan, pupuk organik.

    I. PENDAHULUAN

    Kelimpahan sumber daya kehutanan Indonesia mengalami kemerosatan yang sangat cepat dan

    sangat luas, sehingga saat ini, sulit untuk mengharapkan potensi ekonomi kehutanan sebagai

    penyumbang devisa, ekspor serta lapangan pekerjaan. Penebangan hutan secara liar dan ilegal,

    eksploitasi sumber daya kehutanan berlebihan, penyeludupan hasil dan produksi kehutanan yang

    tidak terkendali menjadi penyebab utama rusaknya sumber daya, ekosistem, termasuk kerusakan

    lingkungan. Sementara itu, masih membutuhkan sumbangan hasil produk hutan sebagai salah satu

    komoditas ekspor unggulan, penciptaan lapangan kerja serta sumber pendapatan bagi penduduk di

    sekitar hutan.

    Pada masa mendatang, pengelolaan pembangunan sektor kehutanan sudah tidak dapat lagi

    dipisahkan dengan pembangunan sektor lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya kehutanan

    harus diarahkan agar tetap dapat ditingkatkan produksinya secara berkesinambungan dan selaras

    dengan daya dukung alam yang lestari, yang dapat memberi kemakmuran dan kesempatan

    seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengusahakan hutan secara lestari, sebagai sumber pangan

    dan membantu mengatasi perubahan iklim global.

    ----------------------------------------------------

    Disampaikan pada Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan

    Manado, 23-24 Oktober 2012.

    Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Palma Manado.

  • 94

    Peningkatan produksi kehutanan diharapkan dapat dicapai dengan pengelolaan hutan alami

    secara lestari, yang dibarengi dengan optimalisasi pengembangan hutan tanaman industri serta

    pengembangan lahan hutan potensial untuk kombinasi budidaya komoditas pangan. Aren dapat

    ditanam di lahan yang kurang subur atau bahkan lahan kritis, karena tanaman ini relatif tidak

    membutuhkan air yang banyak, justru sebaliknya aren mampu menyimpan, mempertahankan

    kondisi air tanah tepat tumbuhnya. Dengan sifat ini, aren dapat berfungsi sebagai tanaman

    konservasi tanah dan air serta dapat menjadi tanaman reboisasi. Aren dapat ditanam dan

    dikembangkan pada lahan-lahan yang justru tanaman pangan lainnya sulit tumbuh dengan baik.

    Lahan-lahan potensial untuk pengembangan aren banyak terdapat di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan

    Papua yang secara relatif bukan lumbung pangan nasional (Probowo, et al, 2009).

    Sagu baruk (Arenga microcarpa Beccari) yang semarga dengan aren (Arenga pinnata ) dapat

    dimanfaatkan sebagaI tanaman konservasi. Selain itu, sagu baruk dapat menghasilkan pangan

    karbohidrat berupa tepung, yang dalam pengembangannya tidak bersaing dengan tanaman semusim

    sebagai penghasil pangan. Sagu baruk tumbuh membentuk rumpun dengan perakaran memiliki

    prorositas cukup tinggi yang dapat mencengkeram lapisan tanah, sehingga penghanyutan lapisan

    tanah aliran air permukaan dapat diperkecil.

    Sagu baruk merupakan tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan tanaman hutan. Di

    Kabupaten Sangihe, sagu baruk merupakan tanaman penghasil pangan karbohidrat berupa tepung

    sagu. Selain itu, hijauan tanaman berupa daun dan anakan dapat dimanfaatkan sebagai pakan

    ternak, kayu digunakan sebagai bahan bangunan dan sisa empulur sagu dimanfaatkan sebagai pupuk

    organik.

    Di Kepulauan Sangihe, sagu baruk diusahakan dalantuk pola tanam campuran, pohon siap

    panen 105,5 pohon/Ha/tahun. Tanaman campuran dengan sagu baruk adalah tanaman cengkih,

    kelapa, pala, pisang dan tanaman perkebunan lainnya, yang menempati areal dengan proporsi

    sekitar 33-50 %. Usaha pengolahan tepung sagu baruk dilakukan secara perorangan oleh keluarga

    pemilik dan penyawa lahan sagu, dengan pemilikan lahan petani berkisar 1,0-2,0 Ha, 48,5 %,

    yang terdiri dari 44 % pemilik, pemilik sekaligus pengolah 48,5 % dan pengolah/penyewa 7,5 %.

    Jumlah yang ditebang rata-rata 20 pohon/ bulan, dengan produksi. Produksi sagu yang yang dijual

    rata-rata 450 kg/bulan. Konsumsi sagu dan beras pada daerah studi menunjukkan bahwa petani

    mengkonsumsi beras sebesar 61 % beras dan 39 % sagu (Lay, et al, 1998).

    Dilaporkan Miftahoracman (2009) bahwa sagu baruk sebagai tanaman penghasil karbohidrat

    dapat menghasilkan tepung sebanyak 20-30 kg/batang. Apabila kebutuhan sagu/kapita/tahun setara

    dengan beras yaitu 60 kg/kapita/ tahun, maka kebutuhan konsumsi sagu bagi penduduk Pulau

    Sangihe 66,8 % dari konsumsi beras, sehingga sagu baruk memberi peran yang sangat besar bagi

    ketahanan pangan bagi daerah Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, dan berpeluang

    pengembangannya bagi daerah lain.

  • 95

    II. KARAKTERISTIK TANAMAN SAGU BARUK

    Habitat

    Dilaporkan Mogea (1991) bahwa sagu baruk banyak dijumpai di Kepulauan Sangihe, Maluku,

    Irian dan Papua New Guinea. Sagu baruk tumbuh baik pada ketinggian 0-700 m dpl, dengan

    kemiringan lereng 40-60 %, curah hujan 2.500-4.000 mm. Di Pulau Sangihe Sulawesi utara, sagu

    baruk umumnya tumbuh pada ketinggian 0-400 m dpl, tumbuh baik pada lahan kering dan pada

    daerah dengan topografi lereng yang terjal, tumbuh dalam bentuk rumpun (Maliangkay dan Matana,

    2005). Keadaan tegakan dan rumpun sagu baruk umur 6 tahun dan tanaman dewasa umur 10 tahun

    yang siap panen tertera pada Gambar 1 dan 2.

    Gambar 1. Sagu baruk umur 6 tahun Gambar 2. Sagu baruk dewasa siap panen

    Sagu baruk tumbuh baik pada lahan kering bahkan pada lereng-lereng dimana tanaman

    perkebunan lain sulit tumbuh. Di Kecamatan Manganitu Kabupaten Sangihe sagu baruk menyebar

    mulai dari tepi pantai sampai ke pegunungan yang curam pada ketinggian 500 m dpl dengan

    kemiringan lereng diatas 40. Sampai dengan tahun 2004, masalah erosi pada wilayah ini kecil sekali

    karena kondisi populasi sagu baruk tetap dipertahankan secara alami (Miftahorachman, 2009).

    Perkembangan anakan dan pohon

    Pengamatan terhadap populasi sagu baruk di Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kapulauan

    Sangihe Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa dari 9 plot dengan luas rata-rata areal 400 m

    diperoleh sebaran keadaan tanaman sagu baruk sebagai berikut:

    (a) Jumlah rumpun : 11,16 rumpun (290 rumpun/Ha)

    (b) Jumlah anakan : 112,05 anakan

    (c) Jumlah anakan yang berbatang : 48,72 anakan

    (d) Jumlah pohon siap panen : 4,22 pohon

    (e) Jumlah pohon lewat panen : 0,05 pohon

  • 96

    Umur pohon sagu baruk layak panen berkisar 7-10 tahun, yang ditandai dengan tinggi pohon

    yang beragam dari 7-12 m. Umur sagu baruk yang dikategorikan lewat panen adalah telah

    terbentuknya bunga, menandakan sebagian kandungan pati telah disintesis menjadi energi untuk

    pembentukan bunga dan biji. Penanganan panen sagu baruk di Kepulauan Sangihe dikategorikan

    efisien, ditandai dengan tanaman yang lewat panen sangat kecil yakni 0,1 %.

    Umumnya masyarakat melakukan panen sagu baruk berdasarkan tinggi pohon. Pengamatan

    terhadap tinggi tanaman pada populasi sagu baruk dari 9 plot dengan luas rata-rata 400 m sebagai

    berikut:

    (a) Tinggi 1- 2 m : 16,5 pohon

    (b) Tinggi 3- 4 m : 20,1 pohon

    (c) Tinggi 5- 6 m : 12,7 pohon

    (d) Tinggi 7- 8 m : 3,2 pohon

    (e) Tinggi 9-10 m : 0,9 pohon

    (f) Tinggi 11-12 m : 0,1 pohon

    Umumnya penebangan untuk pengambilan tepung dari empulur batang dilakukan petani

    sebelum sagu baruk berbunga, yakni pada ketinggian pohon lebih dari 7 m. Kondisi ini,

    menyebabkan sulit memperoleh biji matang untuk perbanyakan tanaman. Penebangan yang

    dilakukan setelah sagu baruk berbunga kurang efektif karena tepung yang dikandung pada empulur

    telah dikonversi menjadi energi.

    Pengamatan di Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, menunjukkan bahwa karakteristik tinggi

    pohon, diameter batang dan komponen hasil sagu baruk yang meliputi berat batang, berat empulur,

    berat sagu dan rendemen sagu cenderung seragam pada variasi ketinggian tempat tumbuh dari 200-

    600 m dpl (Tabel 1)

    Tabel 1. Karakteristik pohon dan komponen hasil sagu baruk pada variasi

    ketinggian tempat tumbuh di Pulau Sangihe Sulawesi Utara

    No. U r a i a n 200 m dpl 400 m dpl 600 dpl Rata-rata

    1. Tinggi pohon (m) 11,0 9,7 11,0 10,6

    2. Diameter batang ( cm) 14,3 15,7 15,0 15,0

    3. Berat batang (kg) 199,0 196,7 205,0 200,2

    4. Berat empulur (kg) 132,7 121,7 122,7 125,7

    5. Berat sagu basah (kg) 44,3 42,0 44,0 43,4

    6. Rendemen sagu (%) 33,4 34,5 35,9 34,6

    Sumber: Marianus (2011)

    III. KEUNGGULAN SAGU BARUK

    Tanaman konservasi

    Dalam pelaksanaan konservasi, perlu dipertimbangkan kondisi kesuburan tanah dan jenis

    tanaman yang adaptif terhadap tempat tumbuh. Kondisi tanah yang menjadi prioritas adalah lahan

  • 97

    dengan kesuburan rendah antara lain tanah kritis, tanah marginal seperti tanah Posolik Merah

    Kuning, Organosol dan Entisol. Jenis tanaman yang dapat tumbuh tanah marjinal adalah pohon-

    pohon yang mampu tumbuh pada kondisi pada tanah marginal/kritis yang berpotensi untuk

    perbaikan sumber daya tanah, pertumbuhan yang baik pada musim kekeringan, tajuk ringan, dan

    tahan kebakaran (Purwanto dan Singoringo, 1999).

    Pemanfaatan tanaman kayu, pada rehabilitas lahan dalam rangka konservasi seperti Akasia

    (Acasia mearensii), pada umur tanaman 10-15 tahun, sangat menarik minal petani untuk melakukan

    penebangan untuk dimanfaatkan kayunya, yang menyebabkan hutan terbuka. Selain itu, pohon

    Acasia mudah terbakar pada musim kemarau. Tanaman konservasi tidak membutuhkan

    pemeliharaan yang intensif dan perbanyakan alami oleh tanaman itu sendiri, seperti pada sagu baruk

    perbasnyakan melalui tunas dalam bentuk rumpun. Untuk optimal produksi tepung sagu aren,

    penanganannya adalah penjarangan anakan, agar setiap rumpun tumbuh 4-5 tegakan sagu baruk,

    dan pembersihan sekitar rumpun untuk memudahkan pengambilan hasil.

    Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang dinamis dengan sub-ekologis dan sub-

    sistem pengelolaan. Sub sistem ekologis berkaiatan dengan sumber daya alam (lahan, hutan,

    estetika alam, fauna), sedangkan sub-sistem pengelolaan berkaitan dengan masyarakat dan

    pemanfaatan sumber daya alam.

    Tujuan pengelolaan daerah aliran sungai adalah mencapai keseimbangan dalam pemanfaatan

    dan pelestarian sumberdaya alam berupa vegetasi, tanah dan air. Sasaran adalah meningkatkan

    produksi, mutu dan keteraturan pengendalian air, mengurangi bahaya erosi, banjir, kekeringan, dan

    meningkatkan kulitas lingkungan, sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam

    dan sekitar hutan (Pratiwi, 1999).

    Pada pelaksanaan konservasi, perlu dipertimbangkan kondisi kesuburan tanah dan jenis

    tanaman yang adaptif terhadap tempat tumbuh. Kondisi tanah yang menjadi prioritas adalah lahan

    dengan kesuburan rendah antara lain tanah kritis, ,tanah marginal seperti tanah Podsolik merah

    kuning, Organosol dan Entisol. Sedangkan jenis yang adapting dengan tanah marjinal adalah pohon-

    pohon yang mampu tumbuh pada kondisi pada tanah marginal/kritis yang berpotensi untuk

    perbaikan sumber daya tanah, pertumbuhan yang baik pada musim kekeringan, tajuk ringan, dan

    tahan kebakaran (Purwanto dan Singoringo, 1999).

    Bertambahnya luas kawasan hutan kritis di Indonesia, berpeluang terjadinya erosi dan

    bencana alam, terutama di daerah aliran sungai. Sagu baruk dapat dijadikan tanaman konservasi.

    Pola pemungutan hasil relatif sedikit dengan penebangan yang selektif yakni yang layak tebang,

    sehingga penebangannya kurang mempengaruhi terbukanya lahan konservasi.

    Berdasarkan karakteristik tanaman dan kesesuai tumbuh pada tanah marginal/kritis, sagu

    baruk dapat digunakan sebagai tanaman konservasi. Pendayagunaan tanaman ini sebagai tanaman

    konservasi tidak membutuhkan pemeliharaan intensif dan perbanyakan oleh tanaman itu sendiri

    dalam bentuk berkembangnya tunas berupa rumpun sagu baruk. Untuk optimal produksi dilakukan

    penjarangan anakan, agar setiap rumpun tumbuh 5-6 batang pohon, dan pembersihan sekitar

    rumpun untuk memudahkan pengambilan hasil.

  • 98

    Sagu baruk adalah tipe tanaman keras yang tumbuh membentuk rumpun dengan perakaran

    memiliki prorositas cukup tinggi yang dapat mencengkeram lapisan tanah, sehingga penghanyutan

    lapisan tanah permukaan dapat ditekan dan aliran permukaan dapat diperkecil. Sagu baruk

    memmiliki keistimewaan yakni dapat tumbuh dengan baik pada lahan terjal dengan kemiringan

    mencapai 70. Sagu baruk mempunyai kemampuan untuk menahan air hujan, antara blain dapat

    dilihat di lapang bahwa mata air yang muncul berada sekitar pohon sagu baruk, dan dapat

    menwahan air dalam waktu yang cukup lama yang ditandai dengan pada musim kemarau panjang,

    serta rendahnya erosi sekitar lahan yang ditumbuhi sagu baruk. Tanaman ini resisten terhadap

    perubahan iklim, yang ditandai pada musim kemarau panjang, di mana tanaman lain sulit tumbuh,

    namun sagu baruk tetap tumbuh normal dan berproduksi Dengan kondisi ini, sagu baruk mampu

    menutup tanah dengan cukup cepat, sehingga mampu mengurangi dampak dari bahaya erosi

    (Marianus, 2011).

    Sagu baruk memiliki keistimewaan, yaitu dapat tumbuh dengan baik pada lahan kering bahkan

    pada lereng-lereng dimana tanaman perkebunan lain sulit tumbuh dan berkembang. Di Kecamatan

    Manganitu Kabupaten Sangihe sagu baruk menyebar mulai dari tepi pantai sampai ke wilayah

    pegunungan yang curam pada ketinggian 500 m dpl dengan kemiringan lereng diatas 40 %. Sampai

    dengan tahun 2004 masalah erosi kecil sekali karena kondisi populasi sagu baruk tetap

    dipertahankan secara alami (Miftahorachman, 2009).

    Pada pemulihan lahan kritis bekas pertambangan batubara pada Perusahaan PT Kaltim Prima

    Coal di Sanggata Kalimantan Timur luas 1 Ha, yang dilaksanakan pada tahun 2010-2011, ternyata

    pertumbuhan anakan sagu baruk selama satu tahun dengan penampakan pertumbuhan vegetatif

    yang baik (Mashud, 2012). Pada daerah bekas letusan gunung api seperti di sekitar Gunung Merapi

    Yogyakarta, yang sekarang gundul dan hanya sebagian ditumbuhi rerumputan dan semak-semak,

    mudah lonsor dan banjir (hanyutan lahar dingin) pada musim penghujan. Areal lereng Gunung

    Merapi yang merupakan tanah vulkanis, sangat efektif dibudidayakan sagu baruk, baik untuk

    tanaman reboisasi maupun sebagai sumber bahan pangan masyarakat. Tanah di Gunung Merapi

    sebagai tanah vulkanis yang subur di banding dengan tanah di Pulau Sangihe Besar.

    Budidaya sagu baruk memungkinkan dikembangkan pada daerah yang sering mengalami masa

    paceklik pangan seperti di Pulau Rote, Pulau Sabu Kabupaten Rotendau NTT dan wilayah rawan

    banjir dan kekeringan antara lain DAS Bengawan Solo, Kabupaten Gunung Kidul dan Gunung Merapi

    Yogyakarta, wilayah perbukitan yang kritis di Jawa Barat, Banten, Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera

    dll.

    Produksi pangan

    Proses pengolahan tepung sagu dari sagu baruk di Pulau Sangihe, dimulai dari pemarutan

    sampai ekstraksi sagu basah, dengan 2 orang tenaga kerja yang berkerja selama 8 jam kerja, dengan

    pemarut mekanis daya 3,5 Hp dapat mengolah sebanyak 720 kg empulur/ hari, menghasilkan sagu

    basah 216-237 kg sagu basah (Widardo dan Tumbel, 1998).

    Dalam upaya meningkatakan efisiensi pengolahan sagu baruk untuk menghasilkan tepung sagu

    basah, dapat menggunakan alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu (Gambar 3), yang

  • 99

    digunakan pada sagu rumbia (Metroxylon sp) kapasitas olah 190 kg empulur/jam atau 1.520 kg/hari

    (Lay, 2002) yang setara dengan 12 pohon sagu baruk/hari.

    Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu, terdiri dari tiga komponen utama, yakni unit

    pemarut, unit ekstrasi dan unit pengendap yang dirancang terpadu dalam satu sistem proses, yang

    menggunakan motor penggerak dengan daya 10 Hp. Pada penggunaan alat ini, tidak dilakukan

    pengupasan kulit batang, hanya batang sagu baruk dipotong sepanjang 1 m dan dibelah menjadi

    empat bagian untuk memudahkan pemarutan empulur sagu. Proses pemarutan empulur sagu,

    ekstraksi hancuran empulur dan pengendapan berlangsung simultan. Pada penggunaan alat ini, perlu

    diperhatikan kontinuitas aliran air ekstraksi dari sumbernya, dengan debit air berkisar 4-5 L/kg

    hancuran empulur.

    Penggunaan alat pemarut mekanis untuk proses ekstraksi membutuhkan air lebih sekit (4-5

    L/kg. Empulur), sedangkan ekstraksi manual membutuhkan air ekstraksi sebanyak 20-22 L/ kg.

    hancuran empulur. Pengolahan tepung sagu secara mekanis kurang praktis dilakukan secara

    perorangan, karena kapasitasnya cukup tinggi, sehingga membutuhkan cukup banyak bahan baku.

    Untuk efektifnya proses pengolahan, sebaiknya pengunaan alat pengolahan sagu mekanis sistem

    terpadu dalam bentuk usaha kelompok tani/gabungan kelompok tani atau UKM.

    Gambar 3. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu

    Pengolahan tepung sagu baruk dengan menggunakan alat pengolahan sistem terpadu (Lay,

    1998), dengan cara pengolahan sebagai berikut:

    (a) Penebangan tegakan sagu dan pemotongan gelondongan batang sagu dengan ukuran panjang

    80-100 cm (disesuaikan dengan penggunaan kulit batang sebagai bahan bangunan), tanpa

    dilakukan npengupasan kulit batang.

    (b) Batang sagu dibelah menjadi empat bagian, agar memudahkan dalam proses pemarutan.

    Pemarutan menggunakan sistem pemegangan, yang dilakukan pemaruant empulur sagu baruk

    pada arah sejajar dengan gerigi pemarut, proses pemarutan selesai, jika empulur seluruhnya

    telah terparut, ditandai ketebalan kulit batang berkisar 1,00-1,25 cm.

    (c) Bersamaan dengan proses pemarutan, air ektraksi dialirkan ke unit pengolahan, agar air

    ekstraksi dapat membantu menahan hancuran empulur dan mengalirkan ke unit ekstraksi, air

  • 100

    yang diperlukan sekitar 4-5 L/kg empulur sagu, jika kapasitas pengolahan sebesar 190 kg

    empulur/jam diperlukan air sebanyak 760-950 L/jam atau debit air 12,7-15,8 L/menit, air

    ekstraksi mengalir secara kontinu selama proses pengolahan berlangsung.

    (d) Pada proses ekstraksi, suspensi sagu (cairan yang mengandung sagu) akan terpisah dengan

    serat, ampas kasar dan ampas halus secara mekanis di dalam ekstraktor dan saringan getar,

    selanjutnya suspensi sagu mengalir ke unit pengendap dan sagu akan mengendap pada unit

    pengendap.

    (e) Proses pencucian sagu, dilakukan setelah selesai satu periode proses atau satu hari pengolahan.

    Pati sagu yang telah mengendap dipermukaanya terdapat sisa air proses, air proses dialirkan

    keluar, kemudian dimasukan air proses ke dalam bak pengendap dan dilakukan pengadukan pati

    sagu basah dengan air proses secara manual untuk mengeluarkan asam-asam dan zat warna dari

    pati sagu.

    (f) Pati sagu diendapkan selama 30 menit, apabila endapan pati sagu sagu telah menjadi padat, air

    sisa proses yang ditambahkan sebelumnya dikeluarkan dengan hati-hati agar pati sagu tidak

    terikut pada pengaliran air sisa proses.

    (g) Pada pengeluaran sisa air proses, yang tertinggal adalah pati sagu basah. Pati sagu basah

    dikeluarkan dari bak pengendap, dan dimasukan ke dalam wadah penampung, yang dapat

    dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan atau diolah menjadi tepung sagu.

    Tepung sagu baruk yang dihasilkan berwarna putih agak kelabu, jika akan diolah menjadi

    sowan dan produk industri lainnya, perlu dilakukan pemutihan. Pemutihan adalah menghilangkan

    warna-warna yang ada pada bahan karena pigmen-pigmen alam ata zat lain, sehingga diperoleh

    bahan yang lebih putih. Untuk proses pemutihan dapat mengunakan Kalium Bromat 30 ppm dan

    Asam Askorbat 100 ppm. Peningkatan derajat putih dengan menggunakan Kalium bromat dan Asam

    Askorbat, ditinjau dari segi biaya produksi adalah ekonomis. Mutu tepung sagu baruk yang

    menggunakan pemutih kalium Bromat, Asam Askorbat dan tanpa pemutihan, memenuhi syarat

    mutu sesuai Standar Nasional Indonesia (Tabel 2).

    Tabel 2. Analisis mutu tepung sagu baruk

    No. Parameter Kalium Bromat

    30 ppm

    Asam Askorbat

    100 ppm

    Tanpa

    Pemutih

    1. Kadar air (%) 12,24 13,02 12,54

    2. Kadar abu (%) 0,26 0,31 0,32

    3. Serat kasar (%) 0,18 0,19 0,18

    4. Derajat asam (ml NaOH

    1 n/100 g

    2,02

    2,58

    2,96

    5. Kadar pati (%) 88,00 84,00 82,00

    6. Derajat putih 88,50 89,50 77,50

    7. Jamur Negatif Negatif Negatif

    8. Kehalusan (80 mesh) Lolos ayakan Lolos ayakan Lolos ayakan

    9. Logam berbahaya Negatif Negatif Negatif

    Sumber: Widardo dan Tumbel (1998)

  • 101

    Produksi pakan ternak

    Daun anakan pohon sagu baruk sangat disukai sapi sebagai hijauan pakan ternak. Pada

    pengolahan tepung sagu baruk, diperoleh hasil sampng berupa ampas pati sagu. Ampas pati sagu

    sagu baruk sama dengan dengan ampas pati aren, dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang

    dicampur konsentrat.

    Ampas pati aren (APA) mengandung 85,8 % bahan kering, protein kasar 2,63 %, serat kasar

    15,9 % dan lemak 0,5 %. Ampas dalam bentuk ampas halus dapat digunakan sebagai pakan ternak

    sapi dengan komposisi 80 % konsentrat dan 20 % APA. Pengujian pada Sapi Onggole di Bogor,

    menunjukkan bahwa pemberian pakan yang terdiri dari 80 % konsentrat dan 20 % APA pada sapi

    dengan bobot 190,9 kg selama 10 minggu, memberikan pertambahan bobot hidup harian rata-rata

    0,675 kg/ekor/hari dengan efisiensi pakan 14,08 %, dibanding pemberian 100 % konsentrat adalah

    tidak berbeda nyata terhadap pertambahan bobot hidup harian dan efisiensi pakan. Pemberian

    pakan dengan proporsi 70 % konsentrat dan 30 % APA tidak efisien, ditandai pertambahan bobot

    hidup harian rata-rata 0,490 kg/ekor/hari dan efisiensi pakan 10,3 %, (Umiyasih, et al, 2008).

    Produksi pupuk organik

    Daun sagu baruk yang komposisi kimia diduga menyerupai daun kelapa, dapat dimanfaatakan

    sebagai pupuk organik. Kotoran hewan seperti sapi yang umum telah digunakan sebagai bahan baku

    pupuk organik karena nutrisi yang dikandungnya. Kotoran sapi padat mengandung 0,4 % Nitrogen;

    0,2 % Fosfor; 0,1 % Kalium dan air 85 % (Yuliarti, 2009).

    Sapi dewasa memproduksi kotoran rata-rata 6 kg/hari dalam bentuk agak cair dengan kadar air

    85 %, jika dikeringkan menjadi 30 %, produksi kotoran = 6 kg x (100-85 +30) % = 2,7 kg kg

    kotoran kering/hari. Apabila dalam satu Ha dipelihara 4 ekor, maka produksi kotoran sapi kering

    (kadar air 30 %) sebanyak 4 x 2,7 kg x 365 = 3.942 kg/Ha/tahun.

    Formulasi pupuk organik limbah sagu baruk adalah 50 % daun sagu kering + ampas sagu baruk

    dan 50 % kotoran hewan (kotoran ayam, sapi dll), larutan EM4 1,6 L; gula pasir 1 kg dan air 400 L

    untuk satu ton bahan organik. Selama ini, daun sagu baruk hasil penebangan pohon sagu, dikumpul

    dan dibakar, dengan telah ditemukan alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa yang terdiri dari

    unit pencacah (Gambar 4), penghancur bahan organik (Gambar 5), ayakan bahan organik sistem

    sentrifugal (Gambar 6) dan bak fermentasi (Gambar 7).

    Gambar 4. Alat pencacah daun Gambar 5. Alat penghancur bahan organik

  • 102

    Gambar 6. Alat ayakan bahan organik Gambar 7. Bak fermentasi pupuk organik

    sistem sentrifugal suhu terkontrol

    Pengolahan pupuk organik dilakukan dengan cara mencampurkan bahan organik (hancuran

    daun sagu baruk dan hancuran kotoran ternak) dan bahan tambahan (EM4, gula dan air) dicampur

    sampai merata dan dimasukan ke dalam bak fermentasi, kemudian ditutup plastik untuk

    difermentasi. Proses fermentasi pupuk organik limbah sagu baruk membutuhkan waktu 9 hari.

    Penggunaan alat pengolahan pupuk organik limbah sagu baruk, mensyaratkan penggunakan bahan

    olah dalam bentuk kering. Proses pencampuran adonan pupuk dilakukan secara manual karena belum

    tersedia alat pencampur mekanis.

    Pengolahan pupuk organik limbah sagu baruk dapat menggunakan metode pengolahan pupuk

    organik limbah kelapa, yakni:

    (1) Penyiapan bahan olah: Pencacahan daun dan tangkai daun sagu baruk kering, penghancuran

    hasil pencacahan, pengeringan dan pengayakan kotoran ternak, pengeringan kotoran sapi yang

    tidak lolos ayakan sentrifugal, ayakan ampas sagu dengan saringan sentrifugal.

    (2) Penyiapan larutan fermentasi: Ditimbang gula putih dilarutkan dalam air, larutan EM4

    ditambahkan ke dalam larutan gula, diaduk hingga merata.

    (3) Pencampuran bahan baku: Serbuk daun/pelepah daun, serbuk ampas sagu dan serbuk kotoran

    sapi, dengan komposisi 3:2:5. Bahan baku dicampur sampai merata, baik dilakukan secara

    manual maupun mekanis.

    (4) Proses fermentasi: Larutan gula + EM4 di tuangkan ke dalam campuran bahan baku pupuk

    organik secara merata dan ditambahkan air 50-60 %, diaduk sampai merata, dimasukkan ke

    dalam wadah fermentasi. Pengamatan suhu fermentasi dengan memasang thermo-koppel pada

    bak fermentasi, untuk mengukur suhu fermentasi dan suhu udara luar (suhu kontrol).

    (5) Proses fermentasi pupuk organik limbah kelapa berlangsung selama 9 hari, suhu fermentasi

    berkisar 30-45 C, sedangkan suhu ruang 29-31 C, setelah fermentasi dihasilkan pupuk organik

    limbah kelapa. Proses fermentasi pupuk organik ini tidak memerlukan pembalikan bahan olah

    selama proses fermentasi.

  • 103

    (6) Penggunaan pupuk organik dari limbah sagu baruk dapat menggunakan cara penggunaan pupuk

    organik limbah kelapa, yakni 2-3 ton/Ha atau setara 10 kali takaran pupuk anorganik NPK (Lay,

    2012).

    Produksi kayu

    Pada pengolahan tepung sagu baruk, khusus pada proses pemisahan empulur dari batang sagu

    baruk akan diperoleh kayu sagu baruk yang merupakan bagian kulit batang, kekerasannya

    menyerupai kulit batang aren. Kayu sagu baruk dapat digunakan sebagai kayu bakar dan bahan

    perkakas rumah. Produksi kayu dari satu batang pohon diperkirakan sebanyak 0,1 m. Tegakan sagu

    baruk yang dapat ditebang 105 pohon/Ha/tahun, akan dihasilkan sebanyak 10,5 m/Ha/tahun, suatu

    jumlah sangat berarti sebagai kayu bakar dan bahan bangunan.

    IV. BUDIDAYA SAGU BARUK

    Perbanyakan dan penanaman

    Sagu baruk dalam perkembangbiakannya lebih banyak melalui anakan dan membentuk

    rumpun. Pada kondisi tidak terpelihara, anakan akan berkembang dengan cepat, dan yang tumbuh

    menjadi tanaman dewasa dan memiliki struktur batang hanya sedikit. Pertumbuhan anakan rata-rata

    3-6 anakan/rumpun/bulan atau ketambahan anakan sebanyak 750 anakan/ha/bulan (Barri, et al,

    2001).

    Perbanyakan tanaman sagu baruk dapat dilakukan melalui biji dan tunas/anakan.

    Perbanyakan melalui biji agak sulit dilaksanakan karena penebangan tegakan sagu baruk umumnya

    dilakukan sebelum terbentuk buah atau sebelum buah matang, sehingga pilihan terbaik

    perbanyakannya dengan tunas.

    Tunas sagu baruk terdiri dari dua jenis yakni tunas batang dan tunas akar, kedua jenis tunas ini

    dapat ditanam langsung dilapang yang lahannya sudah diolah, namun untuk mendapatkan hasil yang

    baik tunas atau anakan disemai terlebih dahulu, dan dipindahkan ke lapang setelah tunas

    membentuk akar. Anakan sagu baruk dengan jumlah daun 4-5 helai adalah ukuran yang layak untuk

    bibit. Tunas batang dan tunas akar yang disemai selama 6 bulan tumbuh menjadi bibit masing-

    masing tunas batang 90 % dan tunas akar 75 %. Tunas batang tumbuh lebih baik dari tunas akar,

    dikarenakan pada tunas batang berada pada fase pertumbuhan optimal karena mendapat suplai

    makanan dari akumulasi pati dari batang.

    Tunas batang dan tunas akar dipisahkan dari pohon induk dengan hati-hati dan disemai selama

    4 bulan, setelah berdaun 4-5 helai bibit sudah dapat dipindahkan di kebun, yang sebelumnya terlebih

    dahulu dibuat lubang penanaman dengan ukuran 40x40x40 cm, jarak tanam 9x9 m. Penanaman

    dilakukan pada musim penghujan, untuk mengurangi bibit yang mati. Apabila bibit sudah tumbuh

    normal, pekerjaan selanjutnya adalah pembersihan sekitar pertanaman dengan radius 1 m, yang

    dilakukan setiap tiga bulan (Maliangkay, 2010).

    Pemeliharaan tanaman

    Pada saat tanaman berumur 4 tahun, perlu dilakukan penjarangan anakan (tunas batang dan

    tunas akar). Untuk optimal pertumbuhannya, penjarangan anakan dilakukan secara kontinu tiap tiga

    bulan bersamaan dengan pembersihan kebun terutama areal sekitar pertanaman sagu baruk, dan

  • 104

    dibiarkan tumbuh sagu baruk sebanyak 5-6 tegakan. Pada penjarangan anakan, hijauan anakan sagu

    baruk dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi. Penjarangan dilakukan sampai tegakan sagu baruk

    siap tebang.

    Pada saat tanaman muda umur 1-4 tahun dapat diusahakan tanaman semusim diantara sagu

    baruk seperti jagung dan kacang-kacangan, sehingga areal kebun dapat dimanfaatakan dengan baik,

    dapat pula ditanamai tanaman penghijauan seperti lamtoro dan lamtoro gung untuk menghasilkan

    hijauan pakan ternak. Setelah umur 5 tahun atau lebih penanaman tanaman semusim diantara sagu

    baruk dan tanaman penghijauan tidak efektif, karena mahkota daun sagu baruk dan tanaman

    penghijauan sudah melebar dan menutup areal.

    Pola tanam sagu baruk sebaiknya dilakukan secara polikultur atau tanaman campuran sagu

    baruk dengan tanaman perkebunan dan sagu baruk dengan tanaman kehutanan. Sagu baruk

    ditanam diantara kelapa dan tanaman kayu dengan jarak menyesuaikan jarak tanam kelapa yakni 9x9

    m dan 10x10 m, jarak tanam dengan tanaman kehutanan 9x9 m, agar tanaman perkebunan,

    kehutanan dan sagu baruk memperoleh sinar matahari yang cukup.

    Pada pengusahaan sagu baruk dan tanaman penghijauan sebaiknya dilakukan pemeliharaan

    ternak sapi karena tersedia cukup banyak hijauan pakan ternak, yang berasal dari penjarangan

    anakan dan pemangkasan daun dewasa. Dipeliharannya sapi pada areal sagu baruk akan diperoleh

    kotoran sapi. Kotoran sapi, ampas sagu dan daun kering dapat diolah menjadi pupuk organik.

    Panen

    Sagu baruk dengan tinggi pohon (diukur dari pangkal batang sampai dengan pangkal daun

    terakhir) minimal 7 m sudah dapat dipanen atau ditebang. Umumnya panen sagu baruk atau

    penebangan dilakukan pada tinggi pohon berkisar 8-12 m. Perencanaan penebangan tidak mutlak

    tergantung pada saat panen yang tepat, melainkan dapat digunakan indikasi tinggi pohon, sebagai

    bahan pertimbangan dalam perencanaan eksploitasi, terutama pada pengolahan tepung sagu baruk

    skala menengah (Lay, et al, 1998).

    V. PENUTUP

    Sagu baruk mempunyai kemampuan tumbuh pada berbagai lahan kritis, daerah berlereng yang

    cukup curam, dan mampu tumbuh normal pada musim kemarau panjang, walaupun tanpa budidaya

    yang intensif dapat tumbuh dan berproduksi.

    Penanganan sagu baruk di areal kehutanan yang dilakukan secara terencana dan intensif akan

    memberi manfaat bagi konservasi untuk pengendalian tata air tanah, penyediaan pangan, pakan

    ternak, pupuk organik dan kayu, yang akan berdampak pada perluasan lapangan kerja, pelestarian

    lingkungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, terutama yang bermukim sekitar hutan.

  • 105

    Barri, N. L., D. Allorerung., A. Ilat., dan J. Mawikere. 2001. Survey keragaan tanaman dan ekosistem

    habitat sagu baruk di Kabupaten Sangihe Talaud. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman

    Kelapa dan Palma Lain, Manado.

    Lay, A., D. Allorerung., Amrizal dan N.L. Barri. 1998. Pengolahan sagu berkelanjutan. Prosiding

    Seminar Regional Kelapa dan Palma. Manado, 25-26 Februari 1998, hal 217-230.

    Lay, A. 2002. Alat pengolahan sagu mekanis sistem terpadu. Paten. No. ID 0 0000 367 S.

    Lay, A. 2012. Perancangan teknik proses produksi pupuk organik dari limbah kelapa kapasitas 2

    ton/hari untuk peningkatan nilai tambah. Laporan Akhir Penelitian Koordinatif TA. 2011. Balai

    Besar Mekanisasai Pertanian, Serpong.

    Maliangkay, R.B. dan Y. R. Matana, 2005. Budidaya dan pemanfaatan sagu baruk. Buletin Palma;

    29:.73-79.

    Maliangkay, R.B. 2010. Pengaruh asal anakan terhadap pertumbuhan bibit sagu baruk. Buletin

    Palma; (38):95-99.

    Mashud, N. 2012. Pengembangan komoditas sagu di sekitar wilayah operasional PT Kaltim Prima

    Coal di Sangatta Kalimantan Timur. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma

    Manado, Tahun 2012.

    Marianus. 2011. Tanaman sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan lokal di

    Kabupaten Kepulauan Sangihe. Laporan Penelitian Pascasarjana Fakultas Pertanian Brawijaya,

    Malang.

    Miftahorachman. 2009. Potensi sagu baruk (Arenga microcarpa) sebagai sumber pangan. Warta

    Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor; 15 (3):14-16.

    Mogea, J.P. 1991. Revisi Marga Arenga (palmae). Disertasi Fakultas Pasca Sarjana Universitas

    Indonesia. Jakarta.

    Prabowo, S., H. Djojohadikusumo, R. Pambudy, E. S. Thohari, Frans BMD., R. Purnama dan W.

    Purnama. 2009. Membangun kembali Indonesia Raya; Haluan baru menuju kemakmuran.

    Institut Garuda Nusantara (Pusat Studi Strategis Indonesia). Jakarta, hal. 70-72; 170-171.

    Pratiwi. 1999. Pengelolaan daerah aliran sungai untuk menunjang konservasi tanah, air dan

    keragaman hayati. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor; 56-63.

    Purwanto, I. dan H.H. Siringoringo, 1999. Upaya pelestarian potensi kesuburan tanah hutan.

    Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan

    Konservasi Alam. Bogor; 56-63

    Umiyasih, U., D. Pamungkas., A. Rasyid., Y.N. Anggraeny., D. M. Dikman dan I.W. Mathius. 2008.

    Pengaruh level penggunaan ampas pati aren (Arenga pinnata Merr) dalam ransum terhadap

    pertumbuhan sapi peranakan ongole. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

    Veteriner. Bogor, 11-12 November 2008, hal. 186-191.

    DAFTAR PUSTAKA

  • 106

    Widardo, S.H. dan N. Tumbel. 1998. Prospek pengembangan pengolahan sagu baruk. Prosiding

    Seminar Regional Hasil Penelitian Kelapa dan Palma. Manado, 25-26 Pebruari 1998, hal. 206-

    116.

    Yuliarti, N. 2009. 1001 Cara menghasilkan pupuk organik. Lyli Publisher. Yogyakarta, hal. 9.