Upload
nguyenkhanh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
46
BAB IV
MINANGKABAU PADA MASA DUA KEKUASAAN :
KOTO PILIANG DAN BODI CANIAGO
Bab ini merupakan kajian terhadap hasil penelitian penulis dalam
menjawab permasalahan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Adapun
permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana latar belakang terbentuknya
dua kekuasaan dalam pemerintahan di Minangkabau. Bagian pertama yang dibahas
adalah mengenai gambaran umum kondisi geografis Minangkabau dan Sumatera
Barat sebagai daerah administratif. Pada bahasan ini akan dikemukan mengenai
sejarah singkat terbentuknya provinsi Sumatera Barat dan sejarah Minangkabau.
Selanjutnya dibahas mengenai kondisi masyarakat secara umum yang datang ke
Minangkabau yang digolongkan sebagai asal usul dari masyarakat Minangkabau.
Pada pembahasan ini juga dikemukakan mengenai latar belakang terjadinya dua
kekuasaan di Minangkabau setelah wafatnya Sultan Sri Maharajo Dirajo.
Pembahasan kedua adalah berkenaan dengan sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam sub bab ini penulis
mengungkapkan mengenai susunan dan struktur pemerintahan yang berlaku di
Minangkabau dan dijalankan oleh kedua Keselarasan tersebut. Struktur
pemerintahan akan dibahas dari bentuk pemerintahan terkecil seperti pemerintahan
paruik, kemudian pemerintahan suku, pemerintahan adat nagari dan pemerintahan
adat tertinggi yaitu Keselarasan Bodi Caniago dan Keselarasan Koto Piliang.
Pembahasan terakhir yang berkaitan dengan skripsi penulis adalah apakah
perkembangan dari penerapan sistem pemerintahan Koto Piliang dan Bodi Caniago
47
di Minangkabau. Dalam pembahasan ini perbedaan dilihat dari berbagai aspek,
seperti memutuskan perkara, mengambil keputusan, penggantian gelar penghulu,
kedudukan penghulu dan balai adat.
4.1 Latar Belakang Terbentuknya Dua Kekuasaan dalam Pemerintahan di
Minangkabau
4.1.1 Asal Usul Bangsa Minangkabau
Suku Minangkabau merupakan suku bangsa yang merupakan salah
satu rumpun Melayu. Bangsa Melayu merupakan rumpun bangsa Austronesia
yang termasuk golongan ras Malayan Mongoloid. Bangsa ini melakukan
perpindahan ke Indonesia melalui dua gelombang yaitu :
1. Gelombang pertama tahun 2000 SM, menyebar dari daratan Asia
ke Semenanjung Melayu, Indonesia, Philipina, dan Formosa serta
Kepulauan Pasifik sampai Madagaskar yang disebut dengan Proto
Melayu. (http://sejarawan.wordpress.com/2007/10/05/penduduk-
indonesia-tertua-dan-persebaran-bangsa-bangsa-dalam-zaman-
prehistori/ )
2. Gelombang kedua tahun 500 SM, disebut dengan Deutro Melayu.
Bangsa ini berkembang menjadi suku Aceh, Minangkabau
(Sumatera Barat), suku Jawa, suku Bali, suku Bugis, dan Makasar.
(http://sejarawan.wordpress.com/2007/10/05/penduduk-indonesia-
tertua-dan-persebaran-bangsa-bangsa-dalam-zaman-prehistori/ )
48
Berdasarkan hasil penelitian H.J Koern dalam buku Sejarah dan
Budaya Sumatera Barat (1998) mengatakan bahwa bahasa Minang adalah
serumpun dengan bahasa Melayu Austronesia dan bangsa Minangkabau
merupakan bangsa yang termasuk ke dalam bangsa Deutro Melayu.
Menurut Tambo Alam Minangkabau, bangsa Minangkabau adalah
keturunan Iskandar Zulkarnain (Iskandar the Great) yang pernah berkuasa di
India pada abad ke-3 (Arifin, Bustanul, 1994: 6). Iskandar Zulkarnain beserta
pengikutnya datang dengan kapal dan kapal tersebut mengalami kecelakaan.
Kemudian mereka menyebar ke sekitar daerah Gunung Merapi. Para
rombongan inilah yang kemudian menyebar dan membuka daerah-daerah
awal Minangkabau yang dikenal dengan Luhak Nan Tigo.
Yunizar Cobra (1989: 40) juga mengungkapkan mengenai kedatangan
Iskandar Zulkarnain yang dikutip dari Tambo Minangkabau. Dalam Tambo
diceritakan kedatangan nenek Moyang Miangkabau sebagai berikut:
Manuruik warih nan dijawek, pusako nan ditolong, kok gunuang sabingkah tanah, bumiko sapahimbauan, lawik sacampak jalo, nan timbua gunuang Marapi. Lorong niniek moyang kito, asa usuanyo kalau di kaji, iyo di dalam tambo lamo, sapiah balahan tigo jurai. (Menurut waris yang dijawab, pusaka yang ditolong, kalau gunung sebongkah tanah, bumi ini berhimbauan, laut selebar jala, yang muncul Gunung Marapi. Lorong nenek moyang kita, asal usulnya kalau dikaji, iya di dalam tambo lama, terdiri dar tiga jurai) Maksud ungkapan di atas adalah bahwa yang dimaksud dengan tigo
jurai dalam Tambo dijelaskan bahwa Iskandar Zulkarnain raja Macedonia
mempunyai tiga orang anak. Anak tertua bernama Maharaja Alif yang tinggal
di Banua Ruhum atau Romawi. Anak kedua bernama Maharaja Dipang yang
berangkat menuju Banua Cino (daratan Cina) dan anak ketiga bernama
49
Maharaja Dirajo berangkat ke Pulau Ameh atau dikenal dengan Sumatera
(Cobra,Yunizar, 1989: 41).
Yunizar Cobra (1989: 44) mengungkapkan saat Marahajo Dirajo
melakukan perjalanan laut dia melihat Gunung Merapi dan kemudian
berlabuh karena kebetulan kapal miliknya mengalami kerusakan. Maharo
dirajo memutuskan untuk tinggal di lereng Gunung Merapi yang dilihatnya
saat di lautan. Daerah pertama yang didirikannya adalah bernama Pariangan
dan setelah itu Padangpanjang. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh
Yunizar Cobra tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang disebutkan oleh
Bustanul Arifin (1994: 6) bahwa Minangkabau berasal dari keturunan
Iskandar Zulkarnain yang juga di paparkan oleh Yunizar Cobra (1994: 40) di
atas adalah bangsa Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain
dari anak ketiganya yang bernama Maharajo Dirajo. Kemudian mendirikan
daerah-daerah yang menjadi daerah inti Alam Minangkanau yang bernama
Luhak Nan Tigo.
Luhak dalam bahasa Minangkabau berarti kurang. Luhak yang tertua
adalah Luhak Tanah Datar karena daerah ini lah yang awalnya ditempati oleh
bangsa awal yang datang ke Minangkabau. Karena penduduk awal yang
datang ke Minangkabau menyebar, mereka menemukan daerah lain yang
dikenal dengan nama Luhak Agam. Tambo Alam Minangkabau (1997: 19)
mengisahkan bahwa perpindahan atau kedatangan penduduk pertama kali
menuju daerah yang bernama Luhak Agam. Daerah tersebut disebut Luhak
Agam karena disana banyak tumbuh tanaman bernama agam sebangsa
50
mansiang (bahan untuk membuat karung)(Yunizar Cobra, 1989: 8). Lokasi
tersebut sekarang berada disekitar daerah Biaro dan Sungai Jernih.
Luhak terakhir yang merupakan daerah inti dari daerah Minangkabau
adalah Luhak 50 Koto. Menurut Tambo Alam Minangkabau (1997: 23)
sejarah dari Luhak 50 Koto ini mengatakan bahwa :
…dari Pariangan (Luhak Tanah Datar sekitar Gunung Merapi) berangkatlah 50 orang untuk mencari pemukiman baru. Mereka menuju Timur ke daerah kumbuh nan bapayo. Disebuah padang dekat Piladang mereka berhenti karena hari telah malam. Keesokan harinya diketahuilah bahwa rombongan mereka telah berkurang (luhak) 5 orang. Mereka saling bertanya kemanakah yang 5 orang tersebut, namun tak seorangpun yang dapat menjelaskan kecuali dengan jawaban antah (tidak tahu). Maka daerah tempat mereka beristirahat tersebut disebut dengan Luhak 50 Koto atau Padang Siantah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya
pembukaan lahan baru oleh para pendatang yang termasuk ke dalam bangsa
Deutro Melayu ke Minangkabau. Daerah-daerah tersebut adalah Luhak
Tanah Datar (wilayah perbukitan), Luhak Agam, dan Luhak 50 Koto.
Daerah-daerah tersebut merupakan wilayah awal tempat berkembangnya adat
istiadat Minangkabau.
Mengenai asal-usul nama Minangkabau banyak sekali pendapat para
ahli maupun dari tambo Minangkabau yang mengungkapkannya. Ada
beberapa para ahli yang mengungkapkan pendapat mengenai asal usul nama
Minangkabau. Pertama, pendapat Prof. Poerbacaraka. Menurut pendapatnya,
asal nama Minangkabau berasal dari kata Minanga Tamwan yang artinya
pertemuan dua sungai. Pendapatnya dikemukakan dalam sebuah karangan
yang berjudul “Riwayat Indonesia” dalam tulisannya mengenai nama
51
Minangkabau dikaitkan dengan prasasti yang terdapat di Palembang yaitu
Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini memuat sepuluh baris kalimat yang
berangka tahun 605 (saka) atau 683 masehi. Batu bertulis ini telah
diterjemahkannya ke dalam bahasa indonesia sebagai berikut:
Selamat tahun saka telah berjalan 605 tanggal ii Paro terang bulan waisyakka yang dipertuan yang naik di Perahu mengambil perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang, Bulan jyestha Yang Dipertuan Hyang berangkat dari Minanga Tamwan membawa bala (tentara) dua puluh ribu dengan peti. Dua ratus sepuluh dua banyaknya tulisan. Dua ratus berjalan diperahu dengan jalan (darat) seribu. Tiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di Matayap. Bersuka cita pada tanggal lima bulan… Dengan mudah dan senang membuat kota… Syri-wijaya (dari sebab dapat) menang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan kemakmuran). Kesimpulan dari isi prasasti ini adalah Yang Dipertuan Hyang
berangkat kari Minanga Tamwan naik perahu membawa bala tentara.
Sebagian melalui jalan darat. Menurut Poerbacaraka kata tamwan pada
prasasti itu sama dengan bahasa jawa kuno yaitu “temwan”, bahasa jawa
sekarang “temon”, bahasa Indonesianya “pertemuan”. Pertemuan disini yaitu
pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya. Sungai yang dimaksud itu
ialah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Besar kemungkinan kemudian
dinamakan Minanga Kamwar yaitu Minanga Kembar
(http://palantaminang.wordpress.com/pedoman-adat-minangkabau/ 13-02-2009).
Bagi orang Sumatera Barat disebut Minanga Kanwa, yang lama
kelamaan diucapkan Minangkabau. Juga dikemukakannya, bahwa dengan
pertemuan kampar kiri dan kampar kanan disinilah terletak pusat agama
Budha Mahayana, yaitu Muara Takus (Cobra, Yunizar, 1989: 41).
52
Kedua, pendapat yang diungkapkan Vander Tuuk. Minangkabau
berasal dari kata “pinang khabu” yang artinya tanah asal. Pada masa dahulu
rombongan penduduk datang kesebuah daerah. Mereka mengatur kehidupan
dan pemerintahan sebagaimana di daerah asalnya atau yang disebut juga
Phinang Khabu. Phinang Khabu pada akhirnya menjadi
Minangkabau(Cobra,Yunizar. 1989: 42). Pendapat ketiga diungkapkan Sutan
Muhammad Zain. M. Zain mengungkapkan bahwa Minangkabau berasal dari
kata “minanga kanvar” yang berarti muara Kampar. Muara Kampar ini
merupakan pelabuhan besar dahulunya yang terdapat di Sumatera
(http://palantaminang.wordpress.com/asal-usul-minangkabau/ 14-8-2009).
Menurut legenda yang dipercaya oleh masyarakat di Minangkabau,
minangkabau berarti tanduk kerbau yang diberi minang, yaitu sejenis timah
yang runcing, yang diletakkan di ujung tanduk kerbau. Hal ini merupakan
hasi musyawarah saat penjajah mendatangi daerah mereka. Para penghulu,
Cerdik pandai, dan alim ulama memikirkan suatu cara untuk mengusir
penjajah tanpa harus melakukan peperangan. Maka diputuskanlah untuk
mengadakan adu kerbau. Saat itu perjanjiannya, apabila kerbau penjajah
kalah, maka orang Minangkabau dipersilahkan mengambil semua isi kapal
mereka, namun apabila mereka yang menang, daerah orang pribumi menjadi
milik mereka.
Penjajah tersebut akan memakai seekor kerbau yang sangat bersar.
Untuk melawan kerbau bersar tersebut maka orang pribumi mencari seekor
anak kerbau yang sedang kuat menyusui pada induknya. Selama beberapa
53
hari kerbau ini dipisahkan dari induknya agar induknya tidak dapat menyusui
sang anak kerbau. Pada kepala anak kerbau ini dipasang tanduk bersi yang
runcing yang disebut “Minang”.
Pada hari yang ditentukan, dibawalah kerbau itu ke tanah yang lapang
untuk bertarung. Maka ramailah orang menyaksikan pertarungan kerbau ini.
Karena anak kerbau yang haus tadi menyangka induknya maka anak kerbau
tersebut menyeruduk ke bawah perut kerbau yang besar tersebut sambil
menanduk-nandukkan kepalanya. Akhirnya perut kerbau besar yang
merupakan kerbau penjajah tersebut sobek akibat minang dari kerbau kecil
yang merupakan kerbau bangsa pribumi. Pihak penjajah yang ingin berkuasa
mengalami kekalahan. Sejak peristiwa tersebut lahirlah nama Manangkabau
yang kemudian terkenal dengan nama Minangkabau karena kemenangan itu
disebabkan oleh tanduk besi yang disebut “minang” tersebut (Cobra,Yunizar.
1989: 42).
Asal nama Minangkabau karena menang kerbau juga ditemui dalam
“Hikayat Raja – Raja Pasai” seperti yang dikemukakan oleh Drs. Zuber
Usman dalam bukunya “Kesusasteraan Lama Indonesia”. Dalam buku
hikayat raja-raja Pasai itu dikemukakan Raja Majapahit telah menyuruh Patih
Gajah Mada pergi menaklukkan Pulau Perca dengan membawa seekor
kerbau keramat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang. Dalam
pertarungan ini Patih Sewatang mencari anak kerbau yang sedang kuat
menyusu. Setelah sekian lama tidak menyusu kepada induknya baru dibawa
ke arena pertarungan. Karena haus dan kepalanya diberi minang (taji yang
54
tajam), ketika pertarungan terjadi anak kerbau tersebut menyeruduk kerbau
Majapahit tadi. Dalam pertarungan ini kerbau Patih Sewatang yang menang.
Berdasarkan kepada Tambo mungkin ada yang bertanya mengapa tidak
disebut manang kabau tetapi Minangkabau. Jawabnya karena kemenangan itu
lantaran anak kerbau tadi memakai “minang” yaitu taji yang tajam dan
runcing sehingga merobek perut lawannya
(http://palantaminang.wordpress.com/asal-usul-minangkabau/14-8-2009).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa nama Minangkabau yang
bersumber dari kemenangan kerbau tidak diragukan lagi kebenarannya.
Disamping itu juga dapat disimpulkan bahwa pemakaian nama Minangkabau
dipergunakan untuk nama sebuah nagari dekat kota Batusangkar, untuk suku
bangsa Minangkabau dan wilayah kebudayaan Minangkabau, nama
Minangkabau yang berasal dari cerita adu kerbau inilah yang diyakini
kebenarannya. Sedangkan nama-nama yang dikemukakan oleh para ahli
sejarah lainnya, diterima juga sebagai pelengkap perbendaharaan kita dalam
menggali sejarah Minangkabau selanjutnya.
4.1.2 Sejarah Singkat Provinsi Sumatera Barat
Secara geografis propinsi Sumatera Barat terletak di bagian barat
pulau Sumatera. Wilayah Sumatera Barat juga dilalui jalur khatulistiwa
melalui daerah Bonjol. Secara administratif Sumatera Barat sebelah utara
berbatas dengan propinsi Sumatera Utara, sebelah selatan dengan propinsi
55
Jambi dan Bengkulu, sebelah timur dengan propinsi Riau, dan sebelah barat
dengan Samudera Indonesia.
Sumatera Barat dilihat dari segi lingkungan alam terbagi atas tiga
daerah, yakni:
1. “Darek”, dataran tinggi dan pegunungan sekitar Merapi dan
Singgalang, dikenal sebagai Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah
Datar, dan 50 Kota) termasuk ke dalam daerah ini Pasaman,
Solok, dan Sawahlunto Sijunjung.
2. Daerah pesisir sepanjang 358 km di pantai Barat, daerah
perdagangan dan perikanan. Daerah yang termasuk wilayah
pesisir ini adalah Padang, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan
3. Gugusan Kepulauan Mentawai yang mempunyai corak
kebudayaan tersendiri. Pada tahun 1999 secara administratif,
Kepulauan Mentawai sudah berdiri sendiri sebagai daerah tingkat
II yang otonom (http://id.wikipedia.org/wiki/mentawai2-11-2009)
Bentuk permukaan tanah (morfologi) Sumatera Barat sebagian besar
terjadi dari bukit barisan yang membujur dari barat laut ke tenggara. Daerah
pegunungan terdiri dari rimba tropis yang terdiri dari gunung Merapi,
Singgalang, Tandikat, Sago. Penduduk Sumatera Barat terpusat di daerah
dataran tinggi ini dan di sinilah daerah asal Minangkabau yang disebut Luhak
nan Tigo.
Minangkabau merupakan suku terbesar di Sumatera Barat.
Masyarakat Sumatera Barat menyebut diri mereka dengan sebutan urang
56
minang. Wilayah yang di diami mereka sebut dengan Alam Minangkabau.
Alam Minangkabau berarti daerah Minangkabau. Batas batas wilayah
Minangkabau menurut tambo adalah sebagai berikut:
Dari riak nan ba dabua, tarakak aia hitam, sikilang aia bangih, sampai ka Rokan Pandalian. Dari Durian ditakuak Rajo sampai ka rantau kurang aso duopuluah (Cobra, Yunizar. 1989: 7)
Maksud ungkapan di atas menjelaskan bahwa daerah Minangkabau di
sebelah utara berbatas dengan Sikilang Air Bangis, sebelah selatan dengan
Taratak Aia Hitam, dan Muko-Muko, kemudian di sebelah barat dengan
Samudera Hindia (dalam ungkapan riak nan ba dabua), serta sebelah timur
berbatas dengan Durian di Takuak Rajo. Batas-batas wilayah Minangkabau
yang dikemukakan tersebut merupakan nama-nama daerah yang sampai saat
ini daerah tersebut masih ada.
Batas-batas wilayah Minangkabau jika di bandingkan dengan peta
Sumatera Barat sekarang tidak jauh berbeda, malahan Sumatera Barat lebih
kecil dari batas-batas yang dikemukakan oleh tambo, karena ada beberapa
wilayah seperti daerah Rokan Pandalian merupakan wilayah propinsi Riau.
Daerah pusat Minangkabau seperti yang telah diungkapkan sebelumnya
bernama Luhak Nan Tigo yang terdiri atas Luhak Tanah datar, Luhak Agam,
dan Luhak Lima Puluh Koto.
57
Gambar 4.1
Wilayah awal Minangkabau
(Sumber: Badan Perpustakaan Propinsi Sumatera Barat )
Keterangan Gambar:
Mn = Lokasi keberadaan “minang”, sumber aie nan janieh (mata air hexagonal). Empat nagari binary yang bertetangga dengan kerajaan/nagari Pagarruyuan. 1: Nagari Tanjuang-Sungayan. 2 : Nagari Talago-Sungai patai. 3 : Nagari Andaleh-Baruahbukik. 4 : Nagari Sawahliek-Singkayan, nagari inilah kemudian yang berganti nama menjadi Minangkabau. 5:Nagari Pagarruyuang. 6: Nagari Suruaso. 7 : Nagari Kototangah. 8 : Nagari Tanjuangbarulak
Sejak tahun 1958, Sumatera Barat resmi sebagai provinsi.
Sebelumnya, sejak proklamasi Sumatera Barat berstatus sebagai salah satu
keresidenan di provinsi Sumatera. Gubernur pertama provinsi Sumatera Barat
58
adalah Kaharuddin Datuk Rangkayo Baso. Nenek moyang orang
Minangkabau, sama dengan nenek moyang orang Indonesia lainnya, berasal
dari daratan Asia. Mereka mengarungi Laut Cina Selatan, menyebrangi Selat
Malaka, dan kemudian sampai dan menetap di wilayah Sumatera Barat.
Alam Minangkabau pernah menjadi daerah penyebaran agama Budha,
yaitu, pada masa pemerintahan Raja Adityawarman. Pemerintahan
Adityawarman ketika itu terletak di Pagaruyung. Sepeninggal Adityawarman,
Pagaruyung banyak menjalin hubungan dengan dunia luar, terutama dengan
Aceh. Implikasi dari terjalinnya hubungan dengan Aceh, terjadi penyerapan
budaya dan penyebaran agama Islam. Islam kemudian mewarnai budaya
Minangkabau secara kental. Tokoh yang dipercaya sebagai penyebar agama
Islam pertama di Minangkabau adalah Syekh Burhanuddin.
Sejak tahun 1595, armada dagang Belanda sudah mulai terlihat di
pantai barat Minangkabau. Hegemoni politik Belanda di Alam Minangkabau
dimulai tahun 1666 ketika dilakukan pembangunan loji dagang mereka di
Pulau Cingkuk dan diiringi pembangunan benteng di Padang. Seiring dengan
semakin kukuhnya kekuasaan Belanda, pengaruh Aceh dan bangsa Eropa
selain Belanda semakin berkurang.
Kekuasaan Belanda di Minangkabau sempat terputus pada bulan
November 1795, digantikan oleh pemerintah Inggris. Inggris berkuasa selama
23 tahun. Sebagai realisasi dari konvensi London tahun 1814, Inggris harus
menyerahkan Minangkabau kembali ke tangan Belanda. Setelah itu, Belanda
59
berkuasa untuk kedua kalinya sampai balatentara Jepang milai menduduki
wilayah tersebut tahun 1942.
Pada masa penjajahan Inggris adalah era dimulainya gerakan Paderi.
Gerakan ini bertujuan untuk memurnikan praktek ajaran Islam dari berbagai
penyimpangan. Paderi akhirnya memiliki pengaruh yang besar di
Minangkabau. Belanda yang berniat menguasai Minangkabau secara utuh
merasa gerah dengan pengaruh Paderi ini. Akhirnya pada tahun 1821,
Belanda mulai melakukan konfrontasi dengan kelompok agama tersebut.
Pertentangan Belanda dengan kaum Paderi akhirnya meluas ke
seluruh rakyat Sumatera Barat. Pada masa berikutnya muncul seorang
pemimpin bernama Tuanku Imam Bonjol. Dengan dibantu oleh seluruh
masyarakat, Tuanku Imam Bonjol berupaya untuk mempertahankan wilayah
Bonjol sebagai benteng terakhir Paderi. Namun akhirnya pada tahun 1837,
Belanda dapat mengalahkan perlawanan rakyat tersebut dan berhasil
menduduki nagari Bonjol. Tuanku Imam Bonjol ditawan dan diasingkan ke
Lotak (Manado).
Kekuasaan Belanda di Minangkabau betul-betul mantap pada awal
abad 20. Sebagai kompensasi dari berakhirnya praktek tanam paksa kopi,
Belanda memungut pajak dari rakyat. Pajak yang begitu tinggi ditambah
dengan kekangan yang diterapkan pemerintah kolonial, menimbulkan
perlawanan rakyat Sumatera Barat, misalnya perlawanan yang dilakukan oleh
rakyat Kamang dan Manggopoh. Semua perlawanan tersebut dapat
dipadamkan oleh Belanda.
60
Dapat ditumpasnya berbagai perlawanan lokal tidak berarti
terhentinya perjuangan menentang kolonialisme. Gerakan kebangsaan
kemudian muncul menggantikan perlawanan local. Dimulai oleh masuknya
Serikat Islam, kemudian bermunculan organisasi-organisasi seperti Jong
Sumatranen Bond, Partai Nasional Indonesia, dan Muhammadiyah. Pada
tanggal 17 Maret 1942, Jepang mulai menduduki Bukittinggi dan Padang.
Akhirnya Jepang menguasai wilayah Sumatera Barat sebagai bagian dari
penguasaannya atas wilayah Indonesia. Jepang berkuasa di Sumatera Barat
sampai kekalahan yang dideritanya dalam Perang Pasifik yang kemudian
direspons oleh para pejuang kemerdekaan di Jakarta dengan
memproklamasikan kemerdekaan (http://pelaminanminang.com/sejarah-
minangkabau/sejarah-sumatera-barat-dari-masa-ke-masa.html#toppage3-2-
2010).
Proklamasi Kemerdekaan RI diterima oleh para pejuang Sumatera
Barat secara tidak langsung. Mereka menerima berita tersebut secara samar-
samar dari opsir Jepang di Padang., kemudian melalui berita radio yang
diterima kantor berita Jepang, Domei, yang berhasil dimonitor oleh aktivis
pergerakan di Padang. Setelah yakin akan isi berita tersebut, para pemuda
langsung menyeberluaskan berita kemerdekaan tersebut ke seluruh nagari.
Para pemuka Sumatera Barat kemudian membentuk Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID) yang diketuai oleh Mohammad Syafei.
Pembentukan KNID ini disusul dengan pembentukan organisasi lain, yaitu,
Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah nama menjadi
61
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menjadi cikal bakal Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
Pada tanggal 13 Oktober 1945, sekutu mendarat di Teluk Bayur.
Seperti di daerah-daerah lain, NICA ternyata membonceng kedatangan
Sekutu dengan maksud yang jelas, yaitu, ingin berkuasa lagi di Indonesia,
ternasuk di Sumatera Barat. Perlawanan pun pecah diseluruh wilayah
Sumatera Barat. Pada tahun 1948, provinsi Sumatera pecah menjadi tiga
provinsi, yaitu, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan.
Dalam struktur baru tersebut, Sumatera Barat, bersama Riau dan Jambi,
menjadi bagian dari Sumatera Tengah. Bukittinggi ditetapkan sebagai
ibukota provinsi Sumatera Tengah dan Mr. M. Nasrun ditetapkan sebagai
gubernurnya (http://www.sejarahbangsaindonesia.co.cc/1_4_Sejarah-
Sumatera-Barat.html4-Feruari-2009).
Pada waktu Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dalam agresi militer
Belanda II tahun 1948, Sumatera Barat ditetapkan sebagai pusat
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang diketuai oleh
Syafruddin Prawiranegara. PDRI berakhir pada bulan Juli 1949, ditandai
dengan kembalinya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta
ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949. Setelah keadaan kembali normal, ibukota
negara RI kembali ke Yogyakarta. Pada tanggal 15 Februari 1958, di Padang
lahir gerakan separatis bernama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Untuk menghadapi pemberontakan tersebut, pemerintah pusat
melancarkan operasi 17 Agustus yang dipimpin Kolonel Achmad Yani.
62
Sebelum akhir tahun, seluruh wilayah Sumatera Barat telah terbebas dari
pengaruh gerakan pemberontakan tersebut. Setelah keadaan membaik,
pemerintah menetapkan Sumatera Barat sebagai provinsi. Pembentukan
provinsi tersebut berlandaskan UU No. 61 tahun 1958
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Sumatera_Barat/14-9-2009)
4.1.3 Wafatnya Sultan Sri Maharajo Dirajo
Sultan Sri Maharajo Dirajo merupakan anak ketiga dari Iskandar The
Great menurut Tambo Alam Minangkabau. Sultan Sri Maharajo Dirajo
melakukan pelayaran ke daerah Nusantara dan kapalnya mengalami
kerusakan di daerah Sumatera. Akhirnya Maharajo Dirajo mendirikan
pemukiman di daerah lereng Gunung Merapi yang diberi nama Pariangan
Padangpanjang. Sampai sekarang orang Minangkabau beranggapan bahwa
negeri tertua di Minangkabau adalah Pariangan Padangpanjang di lereng
sebelah timur Gunung Merapi. Di negeri inilah disusun adat Minangkabau
yang sampai sekarang masih berlaku dan diwarisi oleh masyarakat
Minangkabau (Rais, Kamardi. 2000: 128).
Sultan Maharajo Dirajo dalam pelayarannya ke Pulau Ameh atau
Sumatera membawa serta tiga orang istrinya. Istri pertamanya bernama Puti
Cinto Dunie, istri kedua bernama Puti Indo Jalito dan istri ketiga bernama
Puti Sedayu. Hasil pernikahan Sultan Maharajo Dirajo dengan Puti Cinto
Dunie memperoleh seorang anak bernama Dt. Bandaro Kayo. Sementara dari
Puti Indo Jalito melahirkan Sutan Paduko Basa, dan hasil pernikahan dari
63
istri ketiga Puti Sedayu melahirkan Dt. Maha Rajo Basa (Salim, Ampera.
2005: 8)
Bagan 4.1
Silsilah Sultan Sri Maharajo Dirajo
Sumber: Ampera Salim, 2005. Minangkabau: Dalam Catatan Sejarah Yang
Tercecer. Padang, Citra Budaya.
4.2 Asal Usul Kelompok Masyarakat Koto Piliang dan Bodi Caniago
Suku adalah suatu organisasi massa di dalam masyarakat Minangkabau
yang disusun dan dibentuk setelah berlakunya Adat Nan Ampek, secara bertahan
dalam waktu yang panjang, selangkah demi selangkah. Dengan menggali dan
mambangkik batang tarandam (membangkitkan batang terendam) di dalam Tambo
ditemukan suatu bentuk atau sktruktur suku yang menyeruapi satu pukon dengan
cabang, dahan dan ranting.
H. J. Dt. Malako Nan Putiah mengutip dari Tambo Minangkabau
mengatakan bahwa struktur yang telah dijelaskan di atas untuk pertama kalinya
dibuat oleh nenek moyang orang Minangkabau Datuk Perpatih Nan Sabatang dan
Datuk Ketumanggungan, kemudian dimusyawarahkan dengan para sesepuh dan
64
tokoh-tokoh masyarakat yang berbentuk pyramid dengan dasar yang paling bawah
adalah rakyat banyak, simpul pertama adalah satu keluarga dinamakan Paruik, dari
beberapa paruik ditemukan simpul kedua diatasnya dinamakan jurai, selanjutnya
ditemukan simpulkan ketiga di atasnya diberinama indu, dan dari beberapa indu
itulah ditemukan simpul tertinggi nama seorang nenek perempuan sebagai cikal
bakal dari ikatan warga yang banyak disebut suku itu (Alma,Buchari. 2004: 298).
Pada masa Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang,
jumlah penduduk yang sudah begitu besar pada masa itu dan tersebar di wilayah
yang luas, dipilah-pilah ke dalam kelompok-kelompok dari terendah ditelusuri ke
atas menurut garis keturunan ibu, menggunakan pola seperti di atas, sehingga
lahirlah suku-suku pertama dengan empat nama baru yaitu Bodi, Caniago, Koto,
Piliang (Alma, Buchari. 2004: 297). Di samping itu ada warga masyarakat yang
tidak masuk ke dalam empat suku itu, mereka mengelompokkan sendiri dan tetap
memakai nama yang sudah popular sejak jauh sebelumnya, yaitu Malayu, yang
berarti orang gunung (http://palantaminang.wordpress.com/Malayu/13–12–2009).
H. J. Dt. Malako Nan Putiah juga menyatakan bahwa :
Banyak ahli sejarah yang menyatakan bahwa suku Melayu adalah suku tertua di Minangkabau. Dari penelitian lapangan memang suku Malayu itu hamper diseluruh alam Minangkabau, terutama di dusun-dusun tua (Alma, Buchari. 2004: 299).
Sebaliknya, dalam daerah-daerah yang termasuk pemukiman batu atau di
daerah rantau jarang ditemukan Suku Malayu, malah di sini muncul nama-nama
baru. Khusus untuk suku Malayu ini ada pepatah yang mengatakan pisang sikalek-
kalek hutan, pisang batu nan bagatah, Bodi Caniago inyo bukan, Koto Piliang
65
inyo antah, samo dipakai kaduonyo (pisang sikelat-kelat hutan, pisang batu yang
bergetah, Bodi Caniago dia bukan, Koto Piliang dia entah, sama dipakai
keduanya).
Suku di pemukiman baru perpindahan dari beberapa negeri ke tempat
pemukiman baru di luar wilayah negari masing-masing, ditempat yang baru itu
dapat dibuat suku dengan memilih beberapa alternatif :
1. Setiap anggota bergabung dengan suku yang sejenis yang terlebih dulu tiba
di tempat itu.
2. Beberapa ninik atau kaum dari suku yang sama berasal dari nagari yang
sama bergabung membentuk suku baru. Nama sukunya pakai nan seperti,
Caniago nan Tigo Niniak atau Caniago nan Tigo.
3. Apabila tidak ada tempat bergabung dengan suku yang sama lalu mereka
berkelompok membentuk suku baru. Mereka memakai nama suku asli dari
negerinya tanpa atribut, seperti asal Kutianyir ditempat baru tetap
Kutianyir.
4. Membentuk suku sendiri di nagari baru tanpa bergabung dengan suku yang
ada ditempat lain. Biasanya memakai atribut korong seperti Koto nan Duo
Korong.
5. Orang-orang dari bermacam-macam suku bergabung mendirikan suku yang
baru. Nama suku diambil dari nama negeri asal seperti Suku Gudam (negeri
Lima Kaum), Pinawan (Solok Selatan), suku Padang Laweh, suku Salo dan
sebagainya(http://palantaminang.wordpress.com/suku-minangkabau/11-11-
2009)
66
Selain dari itu , cara-cara lain yaitu mengambil nama-nama dari :
1. Tumbuh-tumbuhan, seperti Jambak, Kutianyir, Sipisang, Dalimo,
Mandaliko, Pinawang
2. Benda seperti Sinapa, Guci, Tanjung, Salayan
3. Nagari seperti Padang Datar, Lubuk Batang, Padang Laweh, Salo.
4. Orang seperti Dani, Domo, Magek
Suku yang demikian lebih banyak daripada suku-suku yang semula.
Apabila dijumlahkan nama-nama suku itu seluruhnya sudah mendekati seratus
buah di seluruh Alam Minangkabau. Suku sebagai satuan genealogis biasanya
menempati suatu daerah pemukiman yang sama. Oleh karenanya suku, disamping
sebagai kesatuan genealogis, dapat pula berarti satu kesatuan teriotorial dan politis.
Tujuan utama membentuk suku-suku itu adalah untuk memudahkan
mengatur pengaturan kehidupan masyarakat, antara lain dalam masalah
perkawinan, pengasaan harta pusaka dan sebagainya.
67
Bagan 4.2
Silsilah Suku di Minangkabau
Sumber : Buku Sejarah Kebudayaan Minangkabau
Pada zaman Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan
sekitar abad ke 12, pada saat itu beliau melakukan pembaharuan serta
menyempurnakan sistem kehidupan bermasyarakat yang sekarang dikenal sebagai
Adat Minangkabau (Hakimy, Idrus. 2004: 29).
68
4.3 Sistem Pemerintahan Koto Piliang
4.3.1 Asal kata Koto Piliang
Koto Piliang merupakan satu sistem hukum adat yang diyakini
masyarakat merupakan hasil pemikiran dari Datuk Ketumanggungan
berlandaskan pandangan bahwa segala sesuatu itu bapucuak bulek, manitiak
dari langik, batanggo turun (Terjemah Indonesia: berpucuk bulat, menitik
dari langit, bertangga turun) (Ensiklopedi Minangkabau, 2005: 233).
Berdasarkan asal-usul kata, Koto Piliang berasal dari bahasa Sangsekerta
yaitu Kerta Philhyang. Kerta beradaptasi dalam bahasa Indonesia menjadi
koto yang artinya kemakmuran. Phil artinya mencintai atau menyukai.
Hyang artinya dewa atau raja. Kerta Philhyang menjadi Koto Piliang yang
artinya kemakmuran datang dicintai atau disukai oleh raja (Arifin, Bustanul.
1994 : 30).
Keselarasan Koto Piliang terlihat lebih bersifat otokratis, konservatif
dan condong pada agama. Secara sosiologis diketahui adanya stratifikasi
social yang relative signifikan dalam tradisi Koto Piliang ini, ada kelompok
yang tinggi dan rendah dalam masyarakatnya. Kekuasaan penghulu
umumnya lebih besar dalam memutuskan perkara-perkara yang di bawa ke
Dewan Penghulu (Asnan, Gusti. 2003: 149-150).
Datuk Ketumanggungan adalah putra mahkota dari perkawinan
Sultan Sri Maharajo Dirajo dengan Puti Indo Jalito. Sebagai seorang raja,
kata-kata yang diucapkannya sama dengan undang-undang. Rakyat harus
tunduk dan patuh kepada raja. Kebenaran dan keadilan di tangan raja, sistem
69
kerajaan ini bersifat otokratis. Begitu juga dengan keselarasan Koto Piliang
yang didirikan Datuk Ketumanggungan ini sistem pemerintahannya sama
dengan sikap seseorang raja yaitu titiak dari ateh (terjemahan Indonesia:
titik dari atas), yang berlaku adalah titah raja.
4.3.2 Ciri- ciri Koto Piliang
4.3.2.1 Sistem Pemerintahan Nagari
Nagari, selain sebagai kesatuan genealogis, juga merupakan
suatu kesatuan masyarakat hukum teritorial. Sebagai kesatuan
territorial, nagari memiliki unit pelaksana administrasi yang disebut
Kampuang. Kampuang (Kampung), biasanya adalah satu kelompok
pemukiman yang dihuni oleh keluarga-keluarga dari berbagai suku.
Namun adakalanya juga hanya terdiri dari satu suku. Yang terakhir ini
biasanya disebut dengan koto. Setiap kampuang dalam nagari dipimpin
oleh seorang Tuo Kampuang, yang adakalanya juga sekaligus sebagai
penghulu pada sukunya . Unsur-unsur inilah yang duduk bersama
dalam pemerintahan nagari dan secara bersama pula membicarakan
serta memutuskan berbagai persoalan-persoalan anak nagari, terutama
yang menyangkut ketertiban, keamanan dan kesejahteraan mereka.
Lembaga penghulu ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari.
Ciri-ciri yang khas dari Koto Piliang yakni yang pertama,
kedaulatan berada di tangan raja, artinya sifat pemerintahannya
otokratis. Menjunjung tinggi titah raja. Kedua, sistem pemerintahannya
70
dinamai batanggo turun, (bertangga turun) artinya titah raja diturunkan
kepada Penghulu Pucuk. Dari Penghulu Pucuk di turunkan kepada
Penghulu Andiko, baru sampai kepada rakyat.
Ketiga, pangkal kekuasaannya adalah titiak dari langik (tetes
dari atas). Keempat, penghulunya bertingkat-tingkat yaitu yang paling
atas adalah Datuk Ketumanggungan (penghulu utama). Dibawah raja
yaitu dalam nagari Penghulu Pucuk, kepala dari semua penghulu suku
dalam nagari. Di bawah Penghulu Pucuk, adalah Penghulu Suku,
kemudian di bawah Penghulu Suku ada Penghulu Andiko yaitu
penghulu yang langsung berhubungan dengan anak kemenakan atau
rakyat.
Dalam mengambil kebijaksanaan rakyat tidak diikutsertakan.
Dalam mengambil kebijaksanaan atau keputusan menggunakan jalur
bajanjang naik, batanggo turun. Bajanjang naik artinya naik dari anak
tangga paling bawah yaitu dari kemenakan kepada mamak, dari mamak
kepada Penghulu Andiko, dari Penghulu Andiko kepada Penghulu Suku
dan dari Penghulu Suku diteruskan kepada Penghulu Pucuk. Penghulu
Pucuk mengambil keputusan lalu diturunkan kepada alur sebelumnya
(Arifin, Bustanul. 1994: 33). Kelima, azaz Koto Piliang ini menyatakan
bahwa kemakmuran rakyat atau masyarakat berorientasi kepada
kesukuan atau keinginan raja.
Pengambilan keputusan dalam keselarasan Koto Piliang dipakai
jalur yang di sebut dengan bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang
71
naik, bertangga turun). Bajanjang naiak artinya naik dari jenjang yang
paling bawah, yaitu dari kemenakan kepada mamak. Mamak adalah
saudara laki-laki dari kaum ibu. Dari mamak kepada Penghulu Andiko,
kemudian kepada Penghulu Suku dam diteruskan kepada Penghulu
Pucuak.
Bagan 4.3
Jalur pengambilan keputusan pada Koto Piliang
Sumber: Bustanu Arifin, 1994. Budaya Alam Minangkabau.
Jakarta, CV. Art Print
Penghulu Pucuak mengambil keputusan lalu diturunkan
ketangga yang di bawahnya yaitu Penghulu Suku, kemudian kepada
Penghulu Andiko, barulah sampai kepada kemenakan yang
bersangkutan. Apabila persoalan itu rumit, Penghulu Pucuak tidak
mampu mengambil keputusan, maka Penghulu Pucuak membawa
72
masalah ke Sidang Para Penghulu Suku dalam nagari. Dalam forum
inilah masalah dipecahkan secara musyawarah. Hasil keputusan dengan
musyawarah itu kemudian diturunkan secara batanggo turun, dari
Penghulu Suku kepada Penghulu Andiko baru disampaikan kepada
kemenakan yang bersangkutan(Arifin, Bustanul. 1994: 33).
Koto Piliang memprakterkkan salah cotok bakuduang paruah,
salah lulua babalah paruik (salah patok berkudung paruh, salah telan
berbelah perut). Artinya, orang yang bersalah diumpamakan seekor
burung yang apabila mematok sesuatu yang bukan haknya, maka
paruhnya di potong, dan apabila telah memakan sesuatu sampai ke
perutnya, maka perutnya akan di bedah untuk mengambil kembali apa
yang telah ditelannya (Alma, Buchari. 2004: 99).
4.3.2.2 Pimpinan Adat Koto Piliang
Secara tradisional pemimpin dalam masyarakat Minangkabau
adalah penghulu. Penghulu biasanya berhak dan memiliki privilege
menjadi pemimpin sebuah nagari. Eksistensi penghulu dalam
menjalankan tugasnya bukanlah pemimpin tunggal melainkan duduk
bersama dengan perangkat lainnya. Pranata institusi ini selanjutnya
lebih di kenal dengan Tungku Tigo Sajarangan – Tigo Tali Sapilin yang
terdiri dari unsur ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai. Pada
perkembangannya termasuk unsure bundo kanduang sebagai parik paga
dalam nagari sehingga dikenal dengan sebutan Nan Ampek Jinih (Alma,
73
Buchari. 2004: 122). Masing-masing dari mereka sudah mempunyai
kewenangan dan deskripsi kerja yang jelas.
Penghulu sesuai dengan asal katanya pegang hulu artinya orang
yang memegang tampuk pimpinan (Cobra, Yunizar. 1989: 30). Seorang
pemimpin adalah tempat untuk berbagi dan menyelesaikan segala
permasalahan warga yang akan memberikan nasehat dan tempat
menerima keluh kesah serta diharapkan dapat mengayomi masyarakat
yang dipimpinnya. Di samping itu penghulu di Minangkabau diberikan
gelar ‘datuk’.
Untuk menjalankan sistem pemerintahan nagari, tradisi sosial
politik nagari yang berlaku adalah berdasarkan, Lareh Koto Piliang,
buah tradisi dari Datuk Ketumanggungan, bersifat aristokrasi, artinya
pemerintahan berpusat kepada beberapa aristocrat (Alma, Buchari.
2004: 98).. Penghulunya bertingkat-tingkat yaitu yang paling atas
adalah Datuk Ketumanggungan (penghulu utama). Dibawah raja yaitu
dalam nagari Penghulu Pucuk, kepala dari semua penghulu suku dalam
nagari. Di bawah Penghulu Pucuk, adalah Penghulu Suku, kemudian di
bawah Penghulu Suku ada Penghulu Andiko yaitu penghulu yang
langsung berhubungan dengan anak kemenakan atau rakyat.
Seorang yang akan menjadi pemimpin terlebih dahulu harus
mengenal dirinya. Selanjutnya sebelum menjalankan amanat, maka
terlebih dahulu memperkenalkan diri dan mengenal kemenakan(warga)
yang akan dipimpinnya. Dalam pengertian yang lebih luas adalah tau di
74
nan ampek (tahu dengan yang empat). Maksudnya tahu sama diri
sendiri, tahu dengan orang lain, tahu tentang alam dan tahu dengan
Tuhan (Hakimy, Idrus. 2004: 71). Dalam Keselarasan Koto Piliang,
para penghulu bergabung dalam suatu dewan Penghulu, dimana prinsip
strukurnya adalah bajanjang naiak batanggo turun yang telah di
jelaskan di atas. Ketua dewan penghulu berhak mengambil keputusan
terakhir sesuai dengan adat aristokrasi (Kemal, Iskandar. 2008: 100).
Pada sistem Koto Piliang, pengganti penghulu yang meninggal
dunia adalah kemenakan kandung dari penghulu tersebut, dalam hal ini
kemenakan kandung laki-laki sangat penting adanya. Kemenakan inilah
yang dididik dan dikaderkan untuk menggantikan mamaknya yang
sedang menjadi penghulu, jika tidak ada kemenakan kandung yang
mengganti biasanya gelar itu dilipat dan penghulu Pucuk itu tugasnya
berpindah kepada penghulu-penghulu pucuk lainnya dengan
kesepakatan.
4.3.2.3 Rumah Gadang Koto Piliang
Pada nagari Bungo Satangkai dibangun sebuah balairung
(tempat musyawarah, serupa sebidang tanah di bawah pohon beringin,
tempat penguasa adat duduk melaksanakan hukum.
75
Gambar 4.2
Rumah Gadang Keselarasan Koto Piliang
Sumber: http://palantaminang.wordpress.com/rumah-gadang-adat-minangkabau/
Rumah gadang aliran Koto Piliang disebut Sitinjau Lauik.
Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang
lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu, ia disebut juga rumah
baanjuang (rumah berpanggung).
Unit terkecil dari struktur sosial di Minangkabau adalah satuan
genealogis (keluarga) yang disebut “samande” (seibu) yang kemudian
dalam perkembangannya menjadi suku (matriclan). Kesatuan
genealogis samande menempati satu rumah gadang (rumah besar), yang
biasanya juga tinggal beberapa satuan genealogis samande atau saudara
perempuan lainnya. Kesatuan yang lebih besar ini disebut dengan
“saparuik”, artinya berasal dari satu ibu. Setiap paruik dipimpin oleh
seorang mamak (saudara laki-laki ibu yang tertua) yang disebut dengan
“Mamak Kapalo Warih” (Kapalo Paruik) (Kemal, Iskandar. 2008: 90).
76
4.3.2.4 Wilayah Koto Piliang
Keselarasan Koto Piliang di bawah pemerintahan Datuak
Ketumnggungan berkedudukan di Bungo Satangkai Sungai Tarab.
Daerah kekuasaan Koto Piliang disebut dengang Langgam Nan
Tujuah(Rais, Kamardi. 2000: 130). Langgam Nan Tujuah terdiri atas:
1. Sungai Tarab Salapan Batu, pamuncak Koto Piliang
2. Simawang dengan Bukit Kanduang, perdamaian Koto Piliang
3. Sungai Jambu denga Lubuak Ataa, pasak kungkuang Koto Piliang
4. Batipuah Nagari Gadang, harimau campo Koto Piliang
5. Singkarak dengan Saniangbaka, camin taruih Koto Piliang
6. Tanjuangbalikan dengan Sulik Aie, cumati Koto Piliang
7. Silungkang dengan Padang Sibusuak, gajah tongga Koto Piliang
4.4 Sistem pemerintahan Bodi Caniago
4.4.1 Asal Kata Bodi Caniago
Bodi Caniago adalah sistem hukum adat yang dipercaya masyarakat
merupakan hasil pemikiran Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keselarasan Bodi
Caniago terlihat sangat menghormati sistem demokrasi yang mengedepankan
musyawarah seperti yang terungkap dalam “tuah dek sakato, mulonyo
rundiang dimufakati, di lahia lah nyato, di batin buliah diliek” (Tuah karena
sekata, mulanya berunding di mufakati, di lahir sudah nyata, di batin boleh
dilihat) (Ensiklopedi Minangkabau, 2005: 92).
77
Bodi Caniago berasal dari kata dua suku kata. Bodi berasal dari kata
Buddhi yang berarti nama sejenis pohon yang memberi ilham kepada
Shidarta Gautama (pendiri agama Budha). Pohon budi identik dengan
musyawarah, karena musyawarah atau mufakat itu menghasilkan pikiran
yang baik dan luhur. Caniago berasal dari kata Catniargo, terdiri dari kata
Catni dan Arga. Catni berarti baik, elok atau bagus. Arga puncak gunung
diidentikkan dengan nilai yang tinggi, catni beradaptasi dengan cani dan arga
beradaptasi ago. Jadi caniago berarti pikiran-pikiran atau budi yang menjadi
kebaikan (Arifin,Bustanul. 1994: 24).
Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah putera Puti Indo Jalito dengan
Indra Jati, tetapi karena kedudukan beliau sebagai Penasehat Raja, maka
beliau lebih terkenal dengan Cati Bilang Pandai yang artinya orang arif
bijaksana, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan. Begitu
pula dengan puteranya Datuk Perpatih Nan Sabatang banyak meniru pola
pikirnya dalam mencetuskan sistem pemerintahan yang di sebut Keselarasan
Bodi Caniago.
4.4.2 Ciri- Ciri Bodi Caniago
4.4.2.1 Sistem Pemerintahan Nagari
Sama halnya seperti Keselarasan Koto Piliang, Keselarasan
Bodi Caniago juga terdapat Kerapatan Adat Nagari. Kerapatan Adat
Nagari merupakan lembaga perwakilan anak nagari dalam sistem
pemerintahan nagari. Segala keputusan-keputusan yang menyangkut
78
berbagai segi kehidupan masyarakat diputuskan dalam kerapatan ini.
Semenjak agama Islam menjadi bagian integral dari adat Minangkabau,
maka unsur agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam urusan
lembaga ini. Oleh karena itu pula, pemuka agama menjadi bahagian
dari pemerintahan nagari
(http://irhashshamad.blogspot.com/2009/05/masyarakat-minangkabau-
dikenal-dengan.html 11-8-2009)
Ciri-ciri dari Keselarasan Bodi Caniago adalah pertama, sifat
pemerintahan demokratis artinya menjunjung tinggi hasil keputusan
musyawarah. Kedua, sistem pemerintahan bernama, bajanjang naiak
(berjenjang naik) artinya hasil musyawarah dari setiap kaum itu
dimusyawarahkan lagi di tingkat yang lebih tinggi (tinggat atas),
sehingga menghasilkan keputusan yang baik yang akan mengatur
masyarakat.
Ketiga, pangkal kekuasaan dari bawah atau dari masyarakat, ini
disebut mambusek dari bumi (membersit dari bumi). Keempat,
penghulu tidak bertingkat seperti penghulu-penghulu di Keselarasan
Koto Piliang. Fungsi masing-masing tergantung kepada hasil
musyawarah duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi). Artinya, sama kedudukan dan derajatnya.
Para penghulu ini bersama-sama memimpin nagari. Kebesaran dan
ketinggian penghulu pada tradisi Bodi Caniago hanya akan terjadi atas
79
dasar pekerjaan yang aktif dan positif serta penilaian yang diberikan
oleh para pendukung dan pemilihnya (Asnan, Gusti. 2003: 47).
Pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah dalam kaum
suku ataupun nagari dalam Keselarasan Bodi Caniago menurut
Bustanul Arifin (1994: 26) dilakukan dengan musyawarah lebih dahulu
dalam kamum, atau dalam suku atau antara ninik mamak nagari
tersebut. Seperti dalam ungkapan duduak sorang basampik-sampik,
duduak basamo balapang-lapang (duduk seorang diri bersempit-
sempit, duduk bersama berlapang-lapang). Maksudnya, memecahkan
suatu masalah sendiri tetap akan merasa kesulitan, tetapi apabila
dipecahkan secara bersama-sama pasti akan mendapat jalan keluar dari
masalah itu.
Pemecahan masalah yang dilakukan bersama-sama menurut
tingkat-tingkat tertentu jelas akan memberikan hasil yang baik. Banyak
pendapat yang dikemukakan kapalo samo hitam pandapek balain-lain
(Kepala sama hitam, pendapat berbeda-beda). Maksudnya bersamaan
pendapat itu dikaji satu persatu, ditimbang buruk baiknya dengan akal
budi (Arifin,Bustanul. 1994: 27).
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mendapatkan hasil
musyawarah yang baik itu seperti ungkapan manuruik cupak dengan
gantang, manuruik barih jo balabeh (menurut cupak dengan gantang,
menurut baris dengan belebas). Artinya, cupak dan gantang itu ukuran
80
menurut undang-undang atau hukum sedangkan baris dan belebas itu
adalah alur dan patut (Cobra, Yunizar. 1989: 23).
Walaupun sudah melalui proses yang melibatkan perasaan dan
pikiran yang sehat, hal yang harus dipertimbangkan adalah hukum yang
berlaku yang sesuai denga alur dan patut, harus dinilai keputusan yang
akan diambil dengan malatakkan sesuatu di tampeknyo, lah dikapuak-
kapuak lakek parmato (meletakkan sesuatu pada tempatnya, seperti
pas-nya letak permata). Maksudnya, meletakkan sesuatu sudah pada
tempatnya, ibarat permata letaknya dalam ikatan cincin, barulah
keputusan itu dikatakan keputusan yang benar dan hakiki. Keputusan
bersama yang diambil melalui ketentuan-ketentuan tersebut setelah
melalui pertimbangang dan sesuai dengan kata-kata pusako “bulek aie
dek pambuluah, bulek kato dek mufakaek” (bulat air karena pembuluh,
bulat kata karena mufakat) (Arifin, Bustanul. 1994: 28).
Melalui tingkat-tingkat tersebut, yaitu keputusan di ambil
dengan kesepakatan bersama sehingga tidak ada pendapat yang
sumbang, barulah keputusan itu dikeluarkan. Keputusan yang
demikianlah yang diterapkan dalam Keselarasan Bodi Caniago.
Keselarasan Bodi Caniago menjunjung tinggi hasil mufakat sebagai
keputusan bersama yang mengandung nilai yang luhur.
Bodi Caniago mempraktekan salah cotok balantingkan, salah
luka maludah (salah mematok di lentingkan, salah luka di muntahkan).
Maksudnya, apa yang terlanjur di masukkan ke dalam mulut di
81
keluarkan kembali, atau telah sampai ke dalam perut di muntahkan
kembali (Alma, Buchari. 2004: 99).
4.4.2.2 Pimpinan Adat Bodi Caniago
Penghulu secara dalam memimpin nagari berada dalam
kelembagaan kolektif yang biasa di kenal dengan Kerapatan Adat
Nagari. Mereka secara kolektif kelembagaan memimpin nagari Alam
MInangkabau bersama alim ulama dan cerdik pandai (Kemal, Iskandar.
2008: 98). Lareh Bodi Caniago, buah tradisi dari Datuk Perpatih Nan
Sabatang, para anggota dewan penghulu sama kedudukannya (Alma,
Buchari. 2004: 98). Seorang pemimpin adat berwenang penuh
menyelesaikan setiap permasalahan yang ada dalam nagari warga
sukunya tanpa ada campur tangan dari penghulu lainnya. Norma-norma
adat hanya mengikat warga dalam suatu nagai yang dikenal dengan
adat salingka nagari (adat selingkar negeri). Maksudnya, yang
memegang tampuk kepemimpinan dan mengambil keputusan di
Minangkabau bukanlah wali nagari, kepala desa, camat, bupati ataupun
gubernur, melainkan penghulu.
Penghulu tidak bertingkat seperti penghulu-penghulu di
Keselarasan Koto Piliang. Fungsi masing-masing tergantung kepada
hasil musyawarah duduak samo randah, tagak samo tinggi (duduk
sama rendah, berdiri sama tinggi). Artinya, sama kedudukan dan
derajatnya. Para penghulu ini bersama-sama memimpin nagari.
82
Kebesaran dan ketinggian penghulu pada tradisi Bodi Caniago hanya
akan terjadi atas dasar pekerjaan yang aktif dan positif serta penilaian
yang diberikan oleh para pendukung dan pemilihnya (Asnan,Gusti
2003: 47).
Pada keselarasan Bodi Caniago, para penghulu juga bergabung
dalam dewan penghulu, mereka memakai prinsip duduk sama rendah,
tegak sama tinggi. Falsafah lain yang digunakan adalah ayam berinduk,
karakok bajunjuang (Alma,Buchari. 2004: 102) Maksudnya, ayam
memiliki induk yang mendidik dan memelihara anaknya, tanaman sirih
diberi suatu galah agar dapat melilit ke atas, suatu lambing dari hidup
bergotong royong.
Pada adat Bodi Caniago, yang akan mengganti penghulu yang
telah meninggal dunia dengan sistem gadang balega. Legaran itu
ditentukan menurut buah paruik, maka mereka bergilir menurut buah
paruik, apabila dalam gilirannya tidak ada yang pantas menjadi
penghulu, maka giliran selanjutnya yang mendapat gelar pusaka. Sistem
Bodi Caniago ini sekarang berkembang lagi kea rah pemilihan umum
untuk menjadi penghulu. Begitu pula ini telah berkembang sampai
ketingkat nagari dalam memilih pemimpin nagari (Cobra, Yunizar.
1989: 93).
Dari kedua sistem tersebut memiliki sama pengertiannya adalah
bahwa penghulu adalah kepala adat. Penghulu dapat dikatakan sebagai
pemimpin masyarakat Minangkabau. Penghulu memimpin dan
83
mewakili orang-orang sesukunya. Seorang penghulu memiliki
persyaratan substansial yakni, lubuak aka, lautan budi, tahu diadat jo
pusako, tahu manimbang samo barek, tahu mangagak jo mangagih
(lubuk akal, lautan budi, tahu adat dan pusaka, tahu menimbang sama
berat, tahu menafsir dan memberi). Penghulu adalah pelindung dan
pemimpin rakyat dalam arti sebenarnya.
4.4.2.3 Rumah Gadang Bodi Caniago
Sistem pemerintahan Bodi Caniago yang terletak di nagari-
nagari di Dusun Tuo, maka penerapan Bodi Caniago tersebut di
laksanakan di Balairung Sari yang dikenal dengan nama Balai Nan
Panjang. Balai Nan Panjang lazimnya juga disebut rumah gadang.
Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dari
Keselarasan Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam
dan Luhak Lima Puluh Koto.
Gambar 4.3
Rumah gadang Keselarasan Bodi Caniago
Sumber: http://palantaminang.wordpress.com/rumah-gadang-adat-minangkabau/
84
Satu rumah gadang biasanya diisi oleh tiga generasi, yaitu nenek
(generasi pertama) , ibu dan saudara-saudara perempuan ibu (sebagai
generasi kedua), dan anak-anak (sebagai generasi ketiga, yang dalam
kesatuan ini berstatus sebagai kemenakan). Berkembangnya anggota
saparuik dapat saja memecah menjadi saparuik-saparuik lainnya dan
mendirikan satu rumah gadang pula untuk ditempati. Satuan saparuik
yang telah berkembang inilah yang membentuk suku (kaum) sebagai
unit utama dari struktur sosial dalam nagari-nagari di
Minangkabau(Kemal,Iskandar. 2008: 135).
4.4.2.4 Wilayah Bodi Caniago
Keselarasan Bodi Caniago di bawah pemerintahan Datuk
Perpatih Nan Sabatang berkedudukan di Dusun Tuo. Bodi Caniago
mempunyai daerah-daerah yang disebut Lubuak Nan Tigo dan
Tanjuang Nan Ampek. Adapun daerah-daerah yang disebutkan di atas
antara lain sebagai berikut:
1. Luhak Nan Tigo
• Lubuak Sikarah di daerah Solok
• Lubuak Simawang di daerah Sawahlunto/Sijunjung
• Lubuak Sipunai di daerah Sawahlunto/Sijunjung
2. Tanjuang Nan Ampek
• Tanjuang Alam
• Tanjuang Sungayang
85
• Tanjuang Barulak
• Tanjuang Bingkung
4.5 Perkembangan dari penerapan sistem pemerintahan adat Koto Piliang
dan Bodi Caniago di Minangkabau
Keselarasan berasal dari kata lareh atau laras. Laras bermakna pedoman
atau bimbingan yang mengantarkan tembakan menuju sasaran. Sejak dahulu, di
Minangkabau di kenal laras dikenal dengan Keselarasan Bodi Caniago yang
dicetuskan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, dan Keselarasan Koto Piliang yang
dicetuskan oleh Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih Nan Sabatang adalah
penganut ajaran Budha Hinayana yang taat, sedangkan Datuk Ketumanggungan
adalah murid tangguh dari Budha Mahayana (Salim, Ampera. 2005: 18).
Datuk Perpatih Nan Sabatang mengatakan pemerintahan Minangkabau,
dari bersama, oleh bersama, dan untuk bersama. Tungku Tigo Sajarangan, baik di
nagari, Lukah, atau Lareh bukanlah penguasa, tetapi merupakan kerapatan adat
yang bertugas memberikan petunjuk, pedoman, nasehat dan pertimbangan kepada
para penghulu berkaitan dengan penyelenggaraan bimbingan terhadap anak
kemenakan dalam mencapai kesejahteraan, ketertiban dan keadilan.
Penghulu tetap sebagai penguasa anak kemenakan, namun penguasa yang
berjalan di dalam batas yang sepantasnya. Penghulu yang keluar dari garus itu akan
menerima hukuman bernetuk tidak di bawa semilir-semudik, masuk tidak genap,
keluar tidak ganjil. Bagi penghulu dan juga bagi anggota masayrakat
Minangkabau, hukuman tersebut amatlah ditakuti. Bahkan lebih ditakuti dari
86
hukuman buang atau hukuman gantung sekalipun. Mengambil keputusan pada
setiap sidang Dewan Nagari, Dewan Luhak dan Dewan Lareh, selalu berdasarkan
musyawarah untuk mencapai mufakat. Ketiga dewan tersebut memiliki pimpinan
tertinggi ata ketua. Semua anggota dewan tegak sama tinggi dan duduk sama
rendah. Tetapi anggota tertua selalu mendapat kehormatan tertinggi dalam dewan.
Bodi Caniago bisa di katakan sebuah demokrasi murni karena segala seuatu
hal, baik dalam kaum, suku, dan nagari dibicarakan dengan bermusyawarah.
Seorang pemimpin baik itu mamak, penghulu tidak mau mengambil keputusan
langsung tanpa dimusyawarahkan, kecuali bagi hal-hal yang menjadi tradisi
(Salim, Ampera 2005:19). Penghulu di Bodi Caniago tidak mengenal tingkat
diantaa penghulunya, melainkan hubungan yang dibina adalah hubungan
horizontal. Perbedaan pendapat itu boleh, tetapi harus dipertimbangkan da diuji
apakah pendapat itu bai, memenuhi alur dan patut, menegakkan keadilan dan
kebenaran, bisa mencapai kata mufakat.
Sementara itu, Datuk Ketumanggungan yang mencetuskan Koto Piliang
mempunyai sistem yang nyaris sama dengan apa yang dijalankan oleh saudaranya,
namun tidak sama dalam makna na pelaksanaanya. Koto Piliang memiliki ketua, di
mana kekuasaan tertinggi atau keputusan ada di tangannya. Pimpinan tertinggi
setiap tingkatan kekuasaan, mulai dari nagari, luhak, dan lareh haruslah seorang
penghulu yang dipilih oleh anggota dewan. Datuk Ketumanggungan berpendapat,
setiap kebebasan dan kesama-rataan yang menjadi hak manusia harus dibarengi
oleh pembatasan atau pengendalian yang diciptakan melalui kekuataan atau
kekuasaan yang berwibawa (Salim, Ampera. 2005: 23).
87
Pada Keselarasan Koto Piliang sistem pemerintahannya otokrasi. Penghulu
bertingkat-tingkat dan hubungan pimpinan dengan mamak dan kemenakan
berbentuk vertical. Sistem pemerintahan menurut keselarasan Koto Piliang disebut
demokrasi tidak langsung, sebab penghulunya bertingkat-tingkat, sesuai dengan
jabatan-jabatannya, seperti penghulu Pucuk adalah penghulu tertinggi, penghulu
Suku, penghulu Andiko penghubung antara mamak dan kemenakan.
Setiap sistem tentu ada baik dan buruknya, karena tidak ada sistem yang
paling sempurna saat itu. Begitu juga dengan sistem pemerintahan Bodi Caniago
dan Koto Piliang. Dampak dari perbedaan dari Bodi Caniago dan Koto Piliang
berbentuk pertikaian antara keduanya yang menginginkan dan memyakinkan
bahwa sistem salah satu dari mereka lah yang paling benar. Dampak kedua dari
perbedaan-perbedaan yang muncul dari Bodi Caniago dan Koto Piliang adalah
terbentuksnya suatu nagari yang bernama Pariangan Padang Panjang dan Kubung
Tigo Baleh Solok (Arifin,Bustanul. 1994: 37).
Pertikaian dari perbedaan yang muncul antara Keselarasan Bodi Caniago
dan Koto Piliang berlangsung cukup lama. Hal ini disebabkan karena masing-
masing ingin mempertahankan adat dari masing-masing keselarasan. Untuk
menyatukan Keselarasan Bodi Caniago dan Keselarasan Koto Piliang ini diadakan
lah pertemuan-pertemuan untuk memusyawarahkan hal-hal untuk menyatukan dua
Keselarasan tersebut. Pertemuan di adakan di Balai Jinggo Pariangan dan di
Padang Taduah Rimbo Pulut-Pulut yang sekarang merupakan bagian dari Batu
Sangkar, Kabupaten Tanah Datar (Salim, Ampera. 2005: 31).
88
Perbedaan pendapat banyak mewarnai musyawarah besar tersebut,
sehingga Keselarasan Bodi Caniago dan Keselarasan Koto Piliang menyadari
bahwa kata mufakat untuk kesatuan asas tidak mungkin tercapai. Kedua
keselarasan saling menghormati perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara kedua
asas tersebut. Bukti dari perdamaian kedua keselarasan ini adalah Batu Batikam.
Batu batikam terdapat di Limo Kaum, Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar.
Menurut Tambo Minangkabau dan cerita yang dipercaya oleh masyarakat
Minangkabau, Datuk Ketumanggungan menikam sebuah batu dengan keris sakti
miliknya, sedangakan Datuk Perpatih Nan Sabatang memegan batu tersebut
(Cobra,Yunizar. 1989: 54).
Gambar 4.4
Batu Batikam
Sumber: Dokumerntasi Pribadi
89
Perkembangan kedua dari perbedaan sistem pemerintahan Keselarasan
Bodi Caniago dan Keselarasan Koto Piliang ini adalah terbentuknya nagari
Pariangan Padang Panjang dan Kubung 13 Solok. Kedua nagari ini dibentuk
karena masyarakat dari nagari ini memutuskan untuk memakai kedua sistem
pemerintahan tersebut dengan nama Lareh Nan Panjang (Arifin,Bustanul. 1994:
37).
Penggabungan dari Keselarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang yang
diterapkan oleh Pariangan Padang Panjang dan Kubung 13 Solok dapat dilihat dari
pertama, sistem langsung dipakai untuk kepentingan rakyat banyak, misalnya
seperti musyawarah untuk kepentingan nagari, berarti mengikut sertakan rakyat
untuk ikut bertanggung jawab terhadap nagarinya(Hakimy, Idrus. 2004, 127).
Begitu juga dalam suku, dan ditengah-tengah keluarga hendaknya para kemenakan
diikut sertakan dalam musyawarah.
Kedua, sistem tidak langsung diterapkan pada hal-hal tertentu, seperti ha-
hal yang mengangkut undang-undang, kepentingan rakyat banyak dan
hukum(Hakimy, Idrus. 2004, 127). Dalam hal ini tidak perlu melibatkan rakyat
banyak, cukup dibicarakan oleh pemimpin (diantara pimpinan sendiri) sebab
pimpinan yang arif dan bijaksana pasti mengarahkan keputusannya kepada
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pada awalnya sistem kekerabatan yang dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau adalah patrilinial, mengingat Sultan Sri Maharajo Dirajo
menurunkan tahtanya kepada anak beliau yang laki-laki. Perbedaan-perbedaan
muncul sejak munculnya dua keselarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang. Datuk
90
Perpatih Nan Sabatang yang bukan keturunan dari bangsawan tidak setuju dengan
sistem kekerabatan matrilineal. Sebaliknya, Datuk Ketumanggungan yang
merupakan keturunan bangsawan mengutamakan sistem kekerabatan patrilineal.
Walaupun terdapat banyak perbedaan dari kedua keselarasan tersebut, namun
untuk sistem kekerabatan keduanya sepakat untuk menerapkan sistem kekerabatan
matrilineal. Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan memiliki
ibu yang sama yaitu Puti Indo Jalito (Alma, Buchari. 2004: 216).
Perbedaan-perbedaan yang muncul dari Keselarasan Bodi Caniago dan
Keselarasan Koto Piliang membuat masyarakat di Minangkabau saling menghargai
dan menghormati dari perbedaan-perbedaan diantara mereka. Merega
bergandengan tangan dalam membina dan mengembangkan persamaan-persamaan
yang terdapat dari masing-masing keselarasan. Dengan begitu, keseimbangan dan
keselarasan alam dan isinya terjamin dan terpelihara. Agustar Idrus dalam buku
Cindurmato dari Minangkabau mengatakan bahwa kedua tokoh Keselarasan ini
yang telah memberikan dwiwarna terhadap pakaian Minangkabau sehingga bundo
kanduang semakin anggun dan menarik.