Upload
ibeng
View
217
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PERBINCANGAN mengenai hubungan agama dan peran negara akhir-akhir ini kembali menjadi tema hangatdi berbagai media. Munculnya gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan Baha’i mendapat reaksi dariberbagai kalangan. Bahkan, salah satu pelaku bom bunuh diri anggota ISIS di Irak ternyata warga Lamongan,Jawa Timur. Fakta-fakta semacam ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia begitu terbuka denganberbagai pengetahuan dan paham-paham baru yang akan masuk.
Citation preview
Ruang Agama dan Negara Jum'at, 22 Agustus 2014 04:17 WIB
Didik Kusno Aji
Pengajar di Jurusan Syariah STAIN Metro
PERBINCANGAN mengenai hubungan agama dan peran negara akhir-akhir ini kembali menjadi tema hangat
di berbagai media. Munculnya gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan Baha’i mendapat reaksi dari
berbagai kalangan. Bahkan, salah satu pelaku bom bunuh diri anggota ISIS di Irak ternyata warga Lamongan,
Jawa Timur. Fakta-fakta semacam ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia begitu terbuka dengan
berbagai pengetahuan dan paham-paham baru yang akan masuk.
Berbicara mengenai keyakinan dan agama tentu menjadi sesuatu yang menarik. Terlebih jika terkait dengan
negara. Di Indonesia, ada begitu banyak aliran kepercayaan yang menanti untuk diakui sebagai agama resmi,
seperti Sunda wiwitan (Banten), Kaharingan (Kalimantan), Bahun (Jawa Barat), Kejawen (Jawa Tengah dan
Jawa Timur), dan Baha’i.
Harus diakui, agama dan keyakinan adalah wilayah privat yang tidak bisa dipaksakan oleh siapa saja.
Masyarakat boleh memilih salah satu agama, tetapi negara punya peran untuk memberi label terhadap suatu
agama atau kepercayaan yang diyakini.
Dalam kajian agama, kita mengenal dua kategori agama, yaitu agama wahyu dan agama antropologis atau
lokal. Kita meyakini bahwa agama wahyu (samawi) berasal dari Tuhan yang disampaikan kepada utusan
(Nabi) kepada umat manusia. Sementara agama lokal timbul dari masyarakat ataupun kepercayaan
masyarakat. Jumlah agama lokal ini lebih banyak dibanding dengan agama samawi.
Dalam konsep Indonesia, memeluk agama adalah suatu keyakinan seseorang yang harus dilindungi. Tidak
boleh ada paksaan dalam beragama. Negara sebagai pemegang otoritas dalam mengatur dan melindungi
keberadaan agama memiliki peran penting dalam menciptakan kedamaian kepada penganutnya. Hal ini
sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi setiap warganya untuk beribadah sesuai dengan
keyakinan yang ia yakini.
Privat dan Kepentingan Negara
Adalah kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) yang sering menjadi perdebatan. Apakah akan diisi
atau ditiadakan. Pengesahan UU No. 26 Tahun 2013 sebagai revisi dari UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi dan Kependudukan, setidaknya menyisakan berbagai sudut pandang dalam memaknai privasi
agama dan keyakinan. Adanya kolom agama dalam KTP tentu mengusik sebagian orang yang menginginkan
status resmi dari pemerintah terkait keyakinan yang ia yakini. Saat ini negara hanya menyediakan enam
fasilitas pengakuan agama, yaitu Islam, Buddha, Hindu, Kristen, Protestan, dan Konghucu.
Sebenarnya, pencantuman agama pada kolom agama tentu akan mengarahkan penduduk pada suatu agama
tertentu. Hal ini terkesan ada pemaksaan dari negara yang sejatinya adalah sebuah keterpaksaan. Tentu ini
akan semakin menganaktirikan agama lokal dari kancah negara.
Tetapi, tanpa adanya pengakuan jelas dari negara, juga akan semakin menyulitkan ruang gerak masyarakat.
Pemerintah tentu akan kesulitan mendata penduduk dan perkembangannya berdasarkan golongan agama.
Ini tentu akan sangat berbahaya, terlebih dengan munculnya banyak gerakan-gerakan radikalisme yang
mengatasnamakan agama tertentu.
Namun, pencantuman kolom agama atau aliran kepercayaan tertentu dalam kolom identitas penduduk tentu
punya imbas lain suatu saat nanti. Seperti penuntutan hak yang sama dengan agama lain, misalnya dalam
pembinaan dan perayaan hari besar keagamaan. Sebagai contoh agama Kaharingan, yang ingin terpisah dari
Hindu. Bahkan, penganut Kaharingan menuntut penyejajaran dalam semua hak dengan Hindu. Tetapi
keuntungannya, dengan adanya pencantuman kolom agama akan memudahkan pemerintah dalam dalam
mengurus warga negaranya.
Seperti perikahan, pendidikan agama di sekolah, kematian dan lain sebagainya. Suatu contoh pernikahan,
dalam Islam mengharamkan pernikahan yang berbeda agama. Maka dengan adanya kejelasan agama atau
kepercayaan akan mempermudah proses administrasi oleh negara.
Adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa penganut aliran kepercayaan dianggap sebagai hal yang aneh
dan para pengikutnya dianggap menyimpang dan sesat, tentu menunjukan berbagai macam intimidasi secara
psikis. Belum lagi banyaknya kesulitan dalam mendapatkan akses sebagai warga negara. Misalnya mengurus
kelengkapan pernikahan di KUA dan lain sebagainya.
Dalam konteks keindonesiaan, sebenarnya sudah dijelaskan dalam Pancasila, sila pertama, yaknu negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkaca pada sila ini, ada banyak ruang bagi setiap warga
negara untuk bebas memilih agama atau kepercayaan yang mereka yakini. Dengan konsekuensi, bahwa setiap
warga negara wajib memeluk dan menyakini atas konsep ketuhanan. Begitu juga seperti yang tertuang dalam
Pasal 29 Ayat (1) dan (2). Bahwa negara melindung warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. Dengan status memeluk agama atau kepercayaan tertentu yang diakui oleh negara,
setidaknya akan mengurangi berbagai bentuk konflik yang akan masuk akibat dari berbagai macam aliran
radikalisme baru yang masuk dalam wilayah negara. n
Penulis : lampost.co
Editor : sule
dibaca : 209184 Kali
Tweet
0
20Suka Bagikan
Bagikan
0 komentar
Urut Berdasarkan
Facebook Comments Plugin
Paling Lama
Tambahkan Komentar...