14
OTOT PELUMPUH OTOT A. Pengertian Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan pembedahan untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi. Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh. B. Farmakologi Obat Pelumpuh Otot Relaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum inhalasi, blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi trakea, mengontrol ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction. 1. Fisiologi Transmisi Saraf Otot Daerah diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction. membran selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah

ROKURONIUM printt

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anestesi

Citation preview

Page 1: ROKURONIUM printt

OTOT PELUMPUH OTOT

A.      Pengertian

Obat pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan pembedahan untuk

memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi. 

Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk

melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi

atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh.

B.       Farmakologi Obat Pelumpuh Otot

Relaksasi otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum inhalasi, blokade saraf

regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan relakasasi otot ini akan memfasilitasi intubasi

trakea, mengontrol ventilasi mekanik dan mengoptimalkan kondisi pembedahan. Pada

prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls saraf pada neuromuscular junction.

1.         Fisiologi Transmisi Saraf Otot

Daerah diantara motor neuron dan sel saraf  disebut  neuromuscular junction. membran

selneuron dan serat otot dipisahkan oleh sebuah celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps.

Ketika potensial aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui voltage-

gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel penyimpanan menyatu

dengan membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin. Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi

melewati celah sinaps dan berikatan dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di

membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan

reseptor asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-lipat.

Struktur reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada neuromuscular

junction, reseptor ini terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε.

Page 2: ROKURONIUM printt

Hanya kedua sub unit α identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila kedua tempat

pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor akan terbuka. Kanal tidak

akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu tempat. Ketika kanal terbuka, natrium

dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki

asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi membran

perijunctional yang kaya akan kanal natrium.

Ketika potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan kalsium

akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini akan memfasilitasi aktin

dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi otot. Kanal natrium memiliki dua

pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah. Natrium hanya akan bisa lewat apabila kedua pintu

ini terbuka. Terbukanya pintu bawah tergantung waktu, sedangkan pintu atas tergantung

tegangan. Asetilkolim cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi asetil dan kolin

sehingga lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.

2.         Farmakokinetik Pelumpuh Otot

Semua pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan kurang baik di

usus dan onset akan melambat bila di administrasikan intramuskular. Volume distribusi dan

klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan kardiovaskular. Pada

penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan menurun, dengan perpanjangan

paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi

menurun dan konsentrasi puncak meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien

dengan edema, volume distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis

yang juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi ginjal untuk

eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium yang tidak tergantung

dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot.  Neonatus

dan infant memiliki plasma klirens yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan

memanjang. Sedangkan pada orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan

volume distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan efek

Page 3: ROKURONIUM printt

yang memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang menurun

menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang memanjang.

3.         Farmakodinamik Pelumpuh Otot

Obat pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis terapeutik

menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot ekstraokular dengan diplopia,

relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan terakhir relaksasi dinding abdomen dan

diafragma.

a.         Respirasi

Paralisis dari otot pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian tubuh yang kurang

sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir lumpuh.

b.        Efek kardiovaskular

Hipotensi biasa ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan hipertensi ditemukan

pada penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan

pancuronium.

c.         Pengeluaran histamin

D-tubocurarine adalah obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin sedangkan

vecuronium adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan

riwayat atopi.

C.      Obat Pelumpuh Otot

Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif,

leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi

sangat menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan

Page 4: ROKURONIUM printt

membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak dimetabolisme oleh

asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan

perpanjangan depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini menyebabkan

relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah tergantung waktu, Setelah eksitasi awal

dan pembukaan, pintu bawah kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai

repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot

depolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah

beberapa lama depolarisasi end plate yang memanjang akan menyebabkan perubahan ionik dan

konformasi pada reseptor asetilkolin yang mengakibatkan phase II block, yang secara klinis

menyerupai obat pelumpuh otot nondepolarisasi.

Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin akan tetapi tidak

mampu untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan

dengan reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat pelumpuh otot

depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari

neuromuscular junction dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase.

Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase

maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat pelumpuh otot nondepolarisasi

tergantung pada redistribusinya, metabolisme,ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen

pembalik lainnya (kolinesteraseinhibitor).

D.  Pemilihan Pelumpuh Otot

Karakteristik pelumpuh otot ideal :

1.    Nondepolarisasi

2.    Onset cepat

3.    Duration of action dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan

obat tertentu

4.     Tidak menginduksi pengeluaran histamin

Page 5: ROKURONIUM printt

5.    Potensi

6.    Sifat tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki aksi

farmakologi.

Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot :

1.    Ultra-short acting, contoh : suxamethonium

2.    Short duration. Contoh: mivacurium

3.    Intermediate duration. Contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium, cisatracurium

4.    Long duration. Contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium, pipecuronium.

\

Page 6: ROKURONIUM printt

Rocuronium bromide

Rocuronium bromide adalah pelumpuh otot non-depolarisasi (inhibitor kompetitif) yang

berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya

menghalangi asetil kolin menempatinya, sehingga asetil kolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan

lama kerjanya pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi tiga golongan : kerja panjang,

sedang dan pendek. Rocuronium bromide termasuk golongan pendek hingga sedang.

Merupakan obat pelumpuh otot golongan non depolarisasi turunan aminosteroidal, dengan efek

utamanya pada post junctional dan selektifitas yang tinggi pada reseptor neuromuscular junction.

Obat ini dipublikasikan pada tahun 1988 pada World Congress of Anesthesiology IX di

Washington dan diperkenalkan pada praktek anestesi tahun 1994 di Prancis. Obat golongan ini

mencegah depolarisasi dengan jalan bereaksi dengan reseptor asetilkolin dengan cara : a. b. c.

Mencegah asetilkolin berikatan dengan reseptor, jadi mencegah depolarisasi motor end plate.

Bila konsentrasi relaksan non depolarisasi banyak, molekul relaksan akan masuk ke terowongan

reseptor, menyebabkan blokade channel. Relaksan non depolarisasi bekerja pada presynaptic

site, memblok terowongan Na+ dan mencegah pergerakan asetilkolin dari sintesa site ke release

site. Paralisis otot dihasilkan dengan antagonis kompetitif pada reseptor kolinergik nikotinik otot

rangka, potensinya kurang lebih 15-20 % vekuronium. Rokuronium tidak menghasilkan blok

pada ganglia autonom, mempunyai onset kerja cepat, masa kerja sedang, pemulihan cepat dan

kumulasi minimal, juga mempunyai tendensi yang rendah untuk menghasilkan pelepasan

histamin. 3 Sifat Fisik dan Kimia3,7,19. Rokuronium adalah suatu 2-morpholino, 3-desacetyl,

16-allyl-pyrrolidino derivat dari vekuronium, yang berbeda dari vekuronium pada posisi 3

nukleus steroid

INDIKASI

Intubasi trakea dan relaksasi otot selama pembedahan dan ventilasi mekanik.

Page 7: ROKURONIUM printt

DOSIS DAN PEMBERIAN

Rocuronium bromide diberikkan secara intravena baik secara bolus maupun melalui infus secara

berkelanjutan.

- Intubasi trakea

Dosis untuk intubasi rutin adalah 0,6 mg/kg. Untuk induksi cepat dosis rocuronium 1,0

mg/kg, lakukan intubasi setelah 90 detik pemberian rocuronium.

- Dosis pemeliharaan

Disarankan 0,15 mg/kg, untuk inhalasi harus dikurangi 0,075-0,1 mg/kg.

- Infus berkelanjutan

Disarankan terlebih dahulu memberikan dosis muatan 0,6 mg/kg saat persarafan otot

mulai kembali normal, lalu kemudian berikan melalui infus, dengan rata-rata 0,3-0,6

mg/kg. Jika melalui inhalasi rata-rata 0,3-0,4 mg/kg.

- Dosis dalam membantu ventilasi mekanik

Untuk satu jam pertama berikan 0,3-0,6 mg/kg. Jika ingin diberikan ventilasi mekanik

untuk 6-12 jam dosis harus diturunkan dengan rata-rata 0,2-0,5 mg/kg.

PENGENCERAN UNTUK INFUS

200 mg dalam 100 ml D5W, NS, atau LR (2mg/ml)

Page 8: ROKURONIUM printt

FARMAKODINAMIK

Rokuronium berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada lempeng akhir motorik. Tidak ada

perubahan yang secara klinis bermakna terhadap parameter hemodinamik. Rocuronium bromide

memiliki aktifitas vagolitik ringan dan terkadang dapat menimbulkan takikardi.

Rocuronium bromide tidak melepaskan konsentrasi histamin yang secara klinis bermakna.

FARMAKOKINETIK

onset : 45-90 detik

Efek puncak : 1-3 menit

Lama aksi : 15-150 menit (tergantung dosis)

INTERAKSI OBAT

Meningkatkan efek

- Anestetik inhalasi dan eter

- Pelumpuh otot non-depolarisasi lainnya

- Dosis tinggi dari tiopental, metoheksital, ketamin, fentanil, gammahidroksibutirat,

propofol, dan etomidat.

- Suksametonium

- Antibiotik : Aminoglikosida, lincosamid, antibiotik polipeptida, antibiotik acylamino-

penisilin, tetrasiklin, dan dosis tinggi metronidazol

- Diuretik : tiamin, MAO inhibitor, quinidin, protamin, alfa-adrenergik bloker, garam

magnesium, calcium channel blocking agents, dan garam lithium

Page 9: ROKURONIUM printt

Menurunkan efek

- Neostigmin, Edrofonium, pyridostigmin, derivat aminopyridin.

- Kortikosteroid, fenitoin, dan karbamazepin.

- Noradrenalin, azathioprine, teofilin, kalsium klorida dan potassium klorida.

EFEK SAMPING

- Reaksi anafilaksis

Walaupun jarang reaksi anafilaksis yang diakibatkan pelumpuh otot termasuk

Rocuronium bromide pernah dilaporkan. Pada beberapa kasus reaksi ini berakibat fatal.

Oleh karena itu penggunaannya harus diawasi.

- Pengelepasan histamin dan reaksi histaminoid

Penggunaan zat ini dapat mengakibatkan penglepasan histamin baik lokal ataupun

sistemik. Reaksi lokal seperti gatal dan kemerahan pada tempat suntikan. Reaksi sistemik

berupa bronkospasme, gangguan pada jantung seperti hipotensi dan takikardi. Oleh

karena itu penggunaan zat ini harus dijaga. Pemberian Rocuronium bromide dengan dosis

rata-rata 0,3-0,9 mg/kg hanya sedikit meningkatkan histamin plasma.

- Reaksi lokal pada tempat suntikan

Nyeri pada saat penyuntikkan Rocuronium bromide pernah dilaporkan. Terutama pada

pasien yang belum hilang kesadarannya secara penuh dan sebagian pada pasien yang

diinduksi oleh propofol. Dilaporkan 16% pasien merasakan nyeri pada saat penyuntikkan

Rocuronium bromide yang awalnya diinduksi menggunakan propofol dan 0,5% yang

diinduksi menggunakan thiopental dan fentanil.

Page 10: ROKURONIUM printt

DAFTAR PUSTAKA

1. Omoigui Sota, Obat – obatan anestesia edisi II, EGC, jakarta, 1997

2. Said A.latief, Kartini A. Suryadi, M.Ruswan Dachlan, petunjuk praktis anestesiologi,

fakultas kedokteran universitas indonesia, jakarta, 2002

3. Latief, Said A, dkk, (2002), Buku Praktis Anestiologi, Bagian Anestiologi dan Terapi

Intensif, FKUI, Jakarta

4. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu Anestesi dan

Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta