Upload
fakhrur-razi
View
269
Download
40
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Proposal Blasting
Citation preview
RENCANA TEKNIS PELEDAKAN UNTUK MENGHASILKAN
FRAGMENTASI YANG OPTIMUM PADA TAMBANG EMAS
MARTABE, DI PT. G RESOURCES, SUMATRA UTARA
PROPOSAL SKRIPSI
Oleh
FAKHRUR RAZI
NPM :112100084
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA
2013
2
RENCANA TEKNIS PELEDAKAN UNTUK MENGHASILKAN
FRAGMENTASI YANG OPTIMUM PADA TAMBANG EMAS
MARTABE, DI PT. G RESOURCES, SUMATRA UTARA
PROPOSAL SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat dalam melaksanakan tugas akhir
pada program studi Teknik Pertambangan
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta
Oleh
FAKHRUR RAZI
NPM : 112100084
Mengetahui,
Ketua Program Studi
TeknikPertambangan
3
A. JUDUL PENELITIAN RENCANA TEKNIS PELEDAKAN UNTUK MENGHASILKAN
FRAGMENTASI YANG OPTIMUM PADA TAMBANG EMAS
MARTABE, DI PT. G RESOURCES, SUMATRA UTARA
B. LATAR BELAKANG MASALAH Peledakan merupakan salah satu metode pemberaian batuan yang digunakan
untuk mempermudah proses produksi atau pada kegiatan pembongkaran bijih di
tambang terbuka. Masalah yang sering timbul dalam operasi peledakan batuan
adalah dihasilkannya material hasil peledakan berukuran bongkah. Hal tersebut
mengakibatkan produktivitas alat peremuk pada proses pengolahan menurun,
karena jumlah material yang dapat diloloskan melewati peremuk menjadi
berkurang sehingga crushing rate per jamnya akan lebih rendah.
Dengan perencanaan yang baik yang mencakup penentuan geometri
pengeboran, geometri peledakan, dan penggunaan bahan peledak serta
pelaksanaan di lapangan yang sesuai dengan prosedur dan pengawasan yang
bertanggung jawab akan sangat menentukan keberhasilan proses pembongkaran
sehingga dapat diperoleh material hasil peledakan yang diinginkan.
C. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah geometri pengeboran,
geometri peledakan, dan penggunaan bahan peledak serta perlengkapannya
menentukan efektifitas alat peremuk (crusher) pada proses pengolahan berkaitan
dengan pengaruh fragmentasi hasil peledakan terhadap ukuran umpan dari alat
peremuk.
D. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan membuat rancangan peledakan pembongkaran bijih
agar diperoleh fragmentasi batuan hasil peledakan yang baik dan sesuai dengan
screen crusher yang digunakan sehingga dapat mengurangi atau bahkan
mencegah penyumbatan crusher karena ukuran Feed yang tidak sesuai.
E. BATASAN MASALAH
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
4
1. Terbatas pada pit Purnama, PT. G Resources, Tapanuli Selatan, Provinsi
Sumatra Utara.
2. Penentuan geometri peledakan berdasarkan C.J. Konya (1990) dan R.L. Ash
(1967)
3. Analisis fragmentasi hasil proses peledakan menggunakan Kuz-Ram moedel
dan aktual.
F. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah:
1. Studi Literatur
Melakukan pencarian dan pengkajian dasar teori yang digunakan untuk
mendukung penelitian yangakan dilakukan.
Mencari referensi dari media cetakdan media elektronik untuk
mendukung penelitian yang akan dilakukan.
2. Studi lapangan berupa pengambilan data di lapangan, meliputi :
Karakterisasi massa batuan.
Jenis alatbor yang digunakan.
Kegiatan pengeboran.
Data lubang bor.
Penggunaan bahan peledak.
Peralatan dan perlengkapan peledakan.
Rancangan peledakan yang diterapkan di lapangan.
Persiapan dan pelaksanaan peledakan.
Ukuran open setting yang digunakan pada alat peremuk
3. Pengambilan data sekunder meliputi pengambilan data seperti :
Lokasi dan kesampaian daerah penelitian.
Keadaan geologi daerah penelitian.
Iklim dan curah hujan.
Sifat fisik dan sifat mekanik batuan.
Kondisi air tanah daerah penelitian.
Data cadangan dan kadar dari bahan tambang.
5
Spesifikasi alat bor, alat muat, dan alat angkut yang digunakan.
Organisasi,tenaga kerja dan system kerja PT. G-Resources
Gambar 1.1.
Bagan Alir Penelitian
Judul
Kajian Teknis
Peledakan
Studi Pustaka
Lapangan
Karakteristik
Massa Batuan
Geometri
Peledakan
Rancangan
Peledakan
Rancangan
Aktual
Rancangan
Usualan
Fragmentasi Fragmentasi
Rekomendasi
Geometri
Peledakan
Produktivitas Mesin Peremuk
6
G. TINJAUAN PUSTAKA
1. DasarTeori
Konsep mekanisme pecahnya batuan hasil peledakan yang dipakai adalah
konsep pemecahan dan reaksireaksi mekanik dalam batuan homogen. Sifat
mekanis dalam batuan yang homogen akan berbeda dari batuan yang mempunyai
rekahanrekahan dan heterogen seperti yang dijumpai dalam pekerjaan peledakan.
Proses pecahnya batuan akibat dari peledakan dibagi dalam tiga tingkatan yaitu
dynamic loading, quasi-static loading, dan release of loading. ( Lihat gambar 1.2)
a. Proses pemecahan tingkat I (dynamic loading)
Pada saat bahan peledak meledak, tekanan tinggi menghancurkan batuan di
daerah sekitar lubang ledak. Gelombang kejut yang meninggalkan lubang ledak
merambat dengan kecepatan 3.000 5.000 m/det akan mengakibatkan tegangan
tangensial yang menimbulkan rekahan yang menjalar dari daerah lubang ledak.
Rekah pertama menjalar terjadi dalam waktu 1 2 ms.
b. Proses pemecahan tingkat II (quasi-static loading)
Tekanan sehubungan dengan gelombang kejut yang meninggalkan lubang
ledak pada proses pemecahan tingkat I adalah positif. Apabila mencapai bidang
bebas akan dipantulkan, tekanan akan turun dengan cepat, kemudian berubah
menjadi negatif dan timbul gelombang tarik. Gelombang tarik ini merambat
kembali di dalam batuan. Oleh karena batuan lebih kecil ketahanannya terhadap
tarikan daripada tekanan, maka akan terjadi rekahan rekahan primer disebabkan
karena tegangan tarik dari gelombang yang dipantulkan. Apabila tegangan regang
cukup kuat akan menyebabkan slambing atau spalling pada bidang bebas. Dalam
proses pemecahan tingkat I dan tingkat II fungsi dari gelombang kejut adalah
menyiapkan batuan dengan sejumlah rekahan rekahan kecil. Secara teoritis
energi gelombang kejut jumlahnya antara 5 15 % dari energi total bahan
peledak. Jadi gelombang kejut menyediakan kesiapan dasar untuk proses
pemecahan tingkat akhir.
c. Proses pemecahan tingkat III (release of loading)
Dibawah pengaruh takanan yang sangat tinggi dari gasgas hasil peledakan
maka rekahan radial primer (tingkat II) akan diperlebar secara cepat oleh
7
kombinasi efek dari tegangan tarik disebabkan kompresi radial dan pembajian
(pneumatic wedging). Apabila massa batuan di depan lubang ledak gagal dalam
mempertahankan posisinya bergerak ke depan maka tegangan tekan tinggi yang
berada dalam batuan akan dilepaskan. Efek dari terlepasnya batuan adalah
menyebabkan tegangan tarik tinggi dalam massa batuan yang akan melanjutkan
pemecahan hasil yang telah terjadi pada proses pemecahan tingkat II. Rekahan
hasil dalam pemecahan tingkat II menyebabkan bidang bidang lemah untuk
memulai reaksi reaksi fragmen utama pada proses peledakan.Kekuatan dari gaya
tarik ini merupakan energi yang terbesar dalam proses penghancuran ledakan
terhadap batuan.
Gambar 1.2.
Mekanisme pecahnya batuan (Jimeno et al. 1995)
Terdapat tiga faktor utama dalam kegiatan peledakan yaitu,faktor batuan
yang akan diledakkan, faktor bahan peledak yang digunakan, dan faktor
8
rancangan peledakan yang diterapkan yang dikelompokkan menjadi faktor yang
dapat dikendalikan danfaktor yang tidak dapat dikendalikan. (S. Koesnaryo, 2011)
Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan manusia, yaitu :
a. Karakteristik massa batuan
b. Struktur geologi
c. Kondisi muka air tanah
d. Cuaca
2. Faktor-faktor yang dapat dikendalikan manusia, yaitu :
a. Arah dan kemiringan lubang ledak
b. Pola pengeboran
c. Diameter lubang ledak
d. Geometri peledakan
e. Pola peledakan
f. Bahan peledak
g. Ketelitian pengeboran
1. Faktor-Faktor Yang Tidak Dapat Dikendalikan
Adalah faktor - faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh kemampuan
manusia. Yang termasuk faktor faktor ini adalah karakteristik massa batuan,
struktur geologi, pengaruh air tanah dan kondisi cuaca.
Sumber : Awang Suwandhi, 2012
Gambar1.3
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fragmentasi
9
1.1 Sifat Fisik Batuan
Sifat fisik batuan yang berpengaruh terhadap peledakan batuan antara lain
densitas batuan dan porositas. Secara umum batuan yang mempunyai densitas
yang rendah dapat lebih mudah mengalami deformasi dengan faktor energi yang
lebih rendah, sedangkan batuan yang mempunyai densitas lebih tinggi
memerlukan energi yang lebih tinggi untuk mendapatkan hasil fragmentasi yang
memuaskan (Hagan, 1977).
Pada massa batuan yang mempunyai densitas yang tinggi, ada beberapa
cara untuk memastikan energi peledakan yang sedang berlangsung cukup untuk
menghancurkan batuan :
a. Menambah diameter lubang ledak, agar tekanan yang terjadi pada lubang
ledak dapat ditingkatkan dengan adanya penambahan bahan peledak.
b. Mengubah geometri peledakan.
c. memilih material stemming yang cocok, agar energi peledakan dapat
terdistribusi pada massa batuan secara sempurna.
Porositas menyatakan banyaknya jumlah pori dalam batuan. Porositas
batuan yang besar mengindikasikan banyaknya ruang antar butir dalam batuan.
Peningkatan porositas akan menghambat penjalaran gelombang kejut di dalam
massa batuan, menghambat terbentuknya rekahanrekahan baru, dan secara
dominan menghasilkan bongkah bongkah berukuran besar (Jimeno, 1995).
1..2 Sifat Mekanik Batuan
a) Kekuatan Batuan
Kuat tekan dan kuat tarik merupakan parameter awal untuk menentukan
suatu proses peledakan. sifat kuat tekan dan kuat tarik batuan sangat penting
dalam penggolongan mudah tidaknya batuan untuk dibongkar. Semakin tinggi
nilai dari kuat tekan dan kuat tarik dari batuan, maka batuan tersebut akan
semakin susah untuk dihancurkan. Klasifikasi teknis batuan utuh menurut
Bienewski (1973) dibagi menjadi lima kategori (Tabel 1.1).
Kuat tarik akan berpengaruh terhadap kekuatan bahan peledak yang
digunakan untuk memecahkan batuan (Tabel 1.2). Batuan akan hancur atau lepas
dari batuan induknya apabila bahan peledak yang digunakan memiliki kuat tekan
10
yang lebih besar dari pada kuat tarik batuan itu sendiri. Batuan yang memiliki
kuat tarik rendah akan lebih mudah hancur dari pada batuan yang memiliki kuat
tarik yang besar. Nilai kuat tarik suatu batuan di lapangan lebih rendah dari pada
kuat tekannya, oleh karena itu retakan-retakan yang terjadi pada massa batuan
akibat proses peledakan yang sedang berlangsung lebih banyak disebabkan oleh
tegangan tarik yang dihasilkan dari proses peledakan.
Tabel 1.1
Klasifikasi Kuat Tekan Batuan
Pemerian UCS (MPa)
Sangat Lemah 1-25
Lemah 25-50
Sedang 50-100
Kuat 100-200
Sangat Kuat >200 Sumber : Bienewski, 1989
Tabel 1.2
Klasifikasi Kuat Tarik Batuan
Pemerian UTS (MPa)
Sangat keras dan plastik 6-7
Keras dan plastik 7-8
Brittle 8-12
Brittle dan tidak plastik 12-15
Sangat brittle 15-20 Sumber : Suseno Kramadibrata, 1997
Kuat tekan uniaksial batuan merupakan ukuran kemampuan batuan untuk
menahan beban atau gaya yang bekerja pada arah uniaksial. Kualifikasi kuat tekan
uniaksial batuan utuh dapat dilihat pada Tabel 1.3. Dari tabel di bawah ini dapat
diterangkan bahwa batuan yang memerlukan proses pengeboran dan peledakan
dalam pemberaian adalah batuan dengan UCS > 25 Mpa
Tabel 1.3
Klasifikasi Umum Jenis Penggalian Untuk Suatu Massa Batuan Berdasarkan UCS
Metoda UCS (MPa) Alat
Free digging 1 10 Shovel, Loader, BWE
Ripping 10 25 Ripper
Rock Cutting 10 50 Rock cutter
Blasting > 25 Pengeboran dan
peledakan Sumber : Suseno Kramadibrata, 1997
11
Hubungan nilai kuat tekan uniaxial dengan rata-rata spasi bidang lemah
terhadap jenis bahan peledak yang digunakan.
Gambar1.4
Integrasi Jenis Bahan Peledak Dan Sifat Masa Batuan
(Brady & Brown 1985)
b) Kekerasan Batuan
Semakin tinggi tingkat kekerasan suatu batuan, maka akan semakin sukar
batuan tersebut untuk dihancurkan sehingga akan membutuhkan energi peledakan
yang lebih tinggi untuk memperoleh hasil peledakan yang maksimal atau bahan
peledak yang digunakan untuk menghancurkan batuan tersebut lebih banyak.
Tabel 1.4
Hubungan antara UCS dengan Kekerasan Batuan
Kekerasan Mohs MPa
Very strong > 7 > 200
Strong 6 7 120 200
Moderatly strong 4.5 6 60 120
Moderatly weak 3 4.5 30 60
Weak 2 3 10 30
Very weak 1 - 2 < 10 Sumber : Djordjevic N, Cocker A, Scott A, 1980
Kekerasan dapat dipakai dalam menyatakan besarnya tegangan yang
diperlukan untuk menyebabkan kerusakan pada batuan (Tabel 1.4). Mohs test
digunakan untuk menentukan urutan kekerasan berbagai jenis mineral yang
dinyatakan dalam kekerasan relatif suatu mineral terhadap yang lain. Dalam skala
12
Mohs suatu mineral akan dapat menggores semua mineral yang mempunyai
urutan kekerasan yang lebih rendah dari mineral tersebut.
c) Elastisitas Batuan dan Kecepatan Perambatan Gelombang
Elastisitas batuan adalah sifat yang dimiliki batuan untuk kembali ke
bentuk semula setelah gaya yang diberikan kepada batuan tersebut dihilangkan.
Secara umum batuan dapat dihancurkan apabila mengalami regangan yang
melewati batas elastisitasnya.
Kecepatan perambatan gelombang pada setiap batuan berbeda. Uji
lapangan telah menunjukkan batuan yang keras mempunyai kecepatan
perambatan gelombang yang tinggi, secara teoritis batuan yang memiliki
kecepatan gelombang yang tinggi akan hancur apabila diledakkan dengan bahan
peledak yang memiliki kecepatan detonasi yang tinggi (VOD). Sebaliknya, batuan
dengan kecepatan perambatan gelombang rendah dapat hancur oleh bahan peledak
dengan kecepatan detonasi yang rendah (VOD).
1.2 Struktur Geologi
Struktur geologi yang berpengaruh pada kegiatan peledakan adalah struktur
rekahan (kekar). Yang dimaksud kekar atau rekahan disini adalah semua jenis
bidang-bidang diskontinu (bidang lemah) yang mungkin berupa kekar, sesar,
patahan, bidang perlapisan atau bidang-bidang lemah yang lain. Adanya bidang
diskontinu ini mempengaruhi distribusi energi ledakan yang dihasilkan.
Struktur perlapisan batuan mempengaruhi hasil peledakan. Apabila lubang
ledak yang dibuat berlawanan dengan arah perlapisan, maka akan menghasilkan
ukuran material yang lebih seragam dan kestabilan jenjang yang lebih baik bila
dibandingkan dengan lubang ledak yang dibuat searah dengan bidang perlapisan.
Secara teoritis, bila lubang ledak arahnya berlawanan dengan arah kemiringan
bidang pelapisan, maka pada posisi demikian kemungkinan terjadinya backbreak
akan sedikit, lantai jenjang tidak rata, tetapi fragmen hasil peledakan akan
seragam dan arah lemparan batuan tidak terlalu jauh. Jika arah lubang ledak
13
searah dengan bidang perlapisan, maka potensi timbulnya backbreak menjadi
lebih besar, lantai jenjang rata, fragmentasi batuan yang tidak seragam, batuan
akan terlempar jauh, dan kemungkinan terjadinya longsoran akan semakin besar
(Made Astawa Rai, 1980).
a) Joint Plane Spacing (JPS)
Joint plane spacing atau jarak antar bidang diskontinu adalah jarak tegak
lurus antar dua bidang diskontinu yang berurutan. Semakin jauh jarak antar
bidang diskontinu batuan dapat dikatakan memiliki perlapisan yang sangat tebal
atau massa batuan dapat dikatakan masif. Sedangkan bila jarak antar bidang
diskontinu kecil, maka batuan dapat dikatakan terdiri dari laminasi tipis
(sedimentasi). Klasifikasi bidang spasi kekar dapat dilihat pada Tabel 1.5 dan
Tabel 1.6.
Tabel 1.5
Klasifikasi Spasi Kekar
Pemeraian Spasi Kekar Keterangan
Sangat Lebar >3 m Padat
Lebar 1-3 m Massif
Cukup Dekat 0.31 m Blocky/seamy
Dekat 50-300 mm Terpecah
Sangat Dekat 2000
Spasi lebar Perlapisan tebal 600-2000
Spasi moderat lebar Perlapisan tebal 200-600
Spasi dekat Perlapisan tipis 60-200
Spasi sangat dekat Perlapisan sangat tipis 20-60
Spasi ekstrim dekat Laminasi tipis (sedimentasi)
14
tekan ini akan berdampak terhadap batuan yang diledakkan, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya bongkah pada batuan hasil peledakan bahkan batuan
hanya mengalami keretakan. Penentuan arah peledakan menurut R.L. Ash (1963)
berkaitan dengan struktur kekar adalah :
1) Pada batuan, bidang kekar berpotongan antara satu dengan yang lain,
sudut yang dibentuk oleh bidang kekar biasanya membentuk sudut tumpul,
dan membentuk sudut lancip pada bagian yang lain.
2) Fragmentasi yang dihasilkan umumnya mengikuti perpotongan bidang
kekar. Apabila peledakan diarahkan pada sudut lancip maka akan
menghasilkan pecahan yang melebihi batas (overbreak) dan retakan-
retakan pada jenjang. Peledakan selanjutnya menghasilkan bongkah,
getaran tanah (ground vibration), ledakan udara (airblast), dan batuan
terbang (flying rock).
3) Jika dijumpai kemiringan kekar horizontal atau miring, maka lubang ledak
miring akan memberikan keuntungan, karena energi peledakan berfungsi
secara efisien. Jika kemiringan kekar vertikal, untuk mendapatkan
fragmentasi yang lebih seragam, dapat dicapai dengan cara peledakan
harus sejajar dengan kemiringan kekar.
Sumber : Stig O Oloffson, 1997
Gambar 1.5
Arah Pengeboran Pada Bidang Perlapisan
15
Secara teoritis, bila lubang ledak arahnya berlawanan dengan arah
kemiringan bidang perlapisan, maka kemungkinan terjadinya backbreak akan
sedikit, lantai jenjang tidak rata, tetapi fragmentasi hasil peledakan akan seragam
dan arah lemparan batuan tidak terlalu jauh. Sedang jika arah lubang ledak searah
dengan arah kemiringan bidang perlapisan, maka kemungkinan terjadinya
backbreak lebih besar, lantai jenjang rata, fragmentasi batuan tidak seragam dan
batuan akan terlempar jauh serta kemungkinan terjadinya longsoran akan lebih
besar (Gambar 1.5).
b) Joint Plane Orientation (JPO)
Joint Plane Orientation atau orientasi bidang lemah pada umumnya
digambarkan dalam strike dan dip. Secara geometris, strike dinyatakan sebagai
garis hasil perpotongan antara bidang miring (perlapisan batuan, bidang sesar)
dengan bidang horizontal yang memiliki arah, dinyatakan sebagai besaran sudut,
diukur dari Utara atau Selatan. Kemiringan adalah besaran sudut yang terbentuk
oleh bidang miring dengan horizontal.
Sumber : Lombok Efendi R Panjaitan, 2004, ITB
Gambar 1.6
Illustrasi Orientasi Bidang Lemah Terhadap Arah Peledakan
Massa batuan yang mempunyai bidang diskontinu horizontal
(Gambar 1.6 a) dengan muka jenjang umumnya mempunyai hasil peledakan yang
paling baik dari pada massa batuan dengan orientasi lain. Hal ini dikarenakan
strike strike strike strike
a) b) d) c)
16
bidang bebas peledakan yang sejajar dengan muka jenjang memberikan pantulan
gelombang kejut yang optimal sehingga energi yang terpakai untuk memecah
batuan menjadi lebih efisien. Dengan demikian dapat dihasilkan muka jenjang
yang relatif rata dari pada peledakan dalam suatu massa batuan dengan orientasi
bidang diskontinu lain.
Suatu massa batuan yang mempunyai arah kemiringan bidang diskontinu
menuju ke arah muka lereng (dip out face) akan cenderung mengakibatkan
ketidakstabilan pada lereng dan resiko terjadinya back break juga besar
(Gambar 1.6 b). Ketidakstabilan terjadi karena adanya kemiringan ke arah luar
lereng, sehingga dengan adanya gaya gravitasi atau faktor gesekan maka massa
batuan yang sudah terpisah-pisah oleh bidang diskontinuiti cenderung akan
bergerak ke bawah (sliding). Saat peledakan, celah pada bidang diskontinu akan
semakin terbuka karena adanya ekspansi gas-gas peledakan akibatnya friksi pada
bidang diskontinu yang menahan gesekan massa batuan semakin berkurang
sehingga memperbesar potensi luncuran massa batuan ke bawah. Bidang
diskontinu, ini menerus sampai ke belakang baris terakhir peledakan, akibatnya
gas-gas peledakan yang berasal dari kolom peledakan yang berpotongan dengan
bidang diskontinu akan merambat keluar ke belakang baris terakhir. Dengan
demikian, potensi terbentuknya bongkahan di belakang baris peledakan terakhir
akan semakin besar.
Massa batuan yang mempunyai arah kemiringan bidang diskontinuiti
menuju ke dalam tubuh massa batuan (dip into face) mempunyai kecenderungan
terbentuknya bongkahan yang menggantung di bagian atas jenjang (overhang).
Serta didapatkan lantai jenjang yang tidak rata. Bentuk distribusi gelombang tekan
yang terbentuk pada peledakan dengan bottom primer umumnya penghancuran
batuan lebih banyak terjadi didaerah kolom isian bagian bawah dan tengah.
Karena bidang diskontinu model ini mempunyai kestabilan alami maka
bongkahan tadi menjadi sukar lepas dan cenderung menggantung (overhang).
Demikian juga di bagian kaki jenjang, bidang diskontinu model ini relatif lebih
sukar terlempar keluar karena arah kemiringan bidang diskontinu menuju ke
dalam tubuh massa batuan (Gambar 1.6 c).
17
1.3 Kondisi Air Tanah
Kondisi muka air tanah mempengaruhi dengan hasil peledakan yang
didapatkan hal ini berkaitan dengan bahan peledak yang digunakan. Terdapatnya
air dapat mengakibatkan keseimbangan unsur dalam bahan peledak terganggu,
sehingga daya ledak dari bahan peledak tersebut dikhawatirkan dapat berkurang.
Bahan peledak ANFO (Ammonium Nitrate and Fuel Oil) memiliki tingkat
ketahanan yang buruk terhadap air, sehingga apabila ANFO yang digunakan
terkontaminasi oleh air maka akan mempengaruhi ukuran material hasil
peledakan atau bahkan bisa mengakibatkan terjadinya kegagalan pada peledakan
(misfire). Untuk mengatasi pengaruh air tanah tersebut dapat dilakukan dengan
tidak menggunakan ANFO, namun dengan menggunakan bahan peledak emulsi
yang keseimbangan unsur di dalamnya tidak terganggu oleh adanya air.
1.4 Kondisi Cuaca
Kondisi cuaca sangat mempengaruhi aktifitas peledakan khususnya pada
peledakan tambang terbuka. Cuaca hujan akan mempengaruhi tingkat keamanan
kerja secara keseluruhan. Lantai kerja yang licin sehingga membahayakan pekerja
dan unit, atau bahkan dapat memicu misfire (gagal meledak) apabila peledakan
menggunakan metode arus listrik. Hujan dapat mengakibatkan adanya arus yang
masuk kedalam rangkaian peledakan yang dihasilkan oleh petir. Masuknya arus
kedalam rangkaian dapat menimbulkan ledakan yang tidak terkontrol.
2. Faktor Yang Dapat Dikendalikan
Adalah fakor-faktor yang dapat dikendalikan oleh kemampuan manusia
dalam merancang suatu peledakan untukm emperoleh hasil peledakan yang
diharapkan. Adapun fakor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
2.1 Arah dan Kemiringan Lubang Ledak
Terdapat dua arah pengeboran secara teoritis, yaitu lubang ledak tegak dan
lubang ledak miring. Pada kegiatan peledakan, posisi dan arah dari lubang ledak
18
memberikan keuntungan dan kerugian tersendiri. Hal ini berkaitan dengan
distribusi energi ledakan yang dihasilkan dari kedua jenis lubang ledak tersebut.
Lubang tembak yang dibuat tegak, maka pada bagian lantai jenjang akan
menerima gelombang tekan yang besar, sehingg amenimbulkan tonjolan pada
lantai jenjang, hal ini dikarenakan gelombang tekan sebagianakan dipantulkan
pada bidang bebas dan sebagian lagi akan diteruskan pada bagian bawah lantai
jenjang.
Sedangkan dalam pemakaian lubang tembak miring akan membentuk
bidang bebas yang lebih luas, sehingga akan mempermudah proses pecahnya
batuan karena gelombang tekan yang dipantulkan lebih besar dan gelombang
tekan yang diteruskan pada lantai jenjang lebih kecil. (Lihat gambar 1.7.)
Gambar 1.7.
Distribusi gelombang energi peledakan lubang ledak (Jimeno, 1995)
Adapun keuntungan dari penggunaan lubang ledak tegak terhadap kegiatan
peledakan adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan pengeboran dapat dilakukan dengan akurat
2. Lebih mudah dalam pengerjaannya
3. Waktu pengeboran lebih singkat
4. Untuk tinggi jenjang yang sama panjang lubang ledak lebih pendek jika
dibandingkan dengan lubang ledak miring
Kerugian dari penggunaan lubang ledak tegak terhadap kegiatan peledakan
adalah sebagai berikut :
19
1. Resiko terjadinya backbreak lebih besar
2. Jenjang yang diperoleh tidak stabil dan lantainya tidak rata
3. Ukuran material tidak seragam
Keuntungan dari penggunaan lubang ledak miring terhadap kegiatan
peledakan adalah sebagai berikut :
1. Bidang bebas yang tersedia menjadi lebih luas
2. Fragmentasi yang dihasilkan baik
3. Dinding jenjang yang dihasilkan rata
4. Mengurangi resiko terjadinya backbreak
5. Mengurangi resiko terjadinya longsoran pada jenjang
Kerugian dari penggunaan lubang ledak miring terhadap kegiatan peledakan
adalah sebagai berikut :
1. Pengeboran kurang akurat karena tingkat kesulitan penempatan alat bor
yang meningkat
2. Biaya operasi meningkat
3. Waktu edar pengeboran menjadi lebih lama
4. Dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat
5. Pengisian bahan peledak menjadi lebih sulit
2.2 Pola Pengeboran
Pola pengeboran merupakan suatu pola pada kegiatan pengeboran dengan
menempatkan lubang lubang ledak secara sistematis, yaitu tersusun rapi baik
dari jarak antara lubang ledak maupun terhadap bidang bebas.
Berdasarkan letak letak lubang bor maka pola pengeboran pada
umumnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
Pola pengeboran sejajar (Lihat gambar 1.8)
Pola pengeboran selang-seling (Lihat gambar 1.8)
Pola pengeboran sejajar adalah pola dengan penempatan lubang-lubang
ledak yang saling sejajar pada setiap kolomnya, sedangkan pola pengeboran
selang-seling adalah pola dengan penempatan lubang-lubang ledak secara selang
seling pada setiap kolomnya.
20
Dalam penerapannya, pola pengeboran sejajar merupakan pola yang umum
karena lebih mudah dalam pembuatannya, namun perolehan ukuran material hasil
peledakan tidak seragam, sedangkan pengeboran selang-seling lebih sulit
pembuatannya dilapangan namun menghasilkan ukuran material hasil peledakan
yang seragam.
Gambar 1.8.
Pola pengeboran (Koesnaryo, 2011)
2.3 Diameter Lubang Ledak
Ukuran diameter lubang ledak merupakan faktor yang penting dalam
merancang suatu peledakan, karena akan mempengaruhi dalam penentuan jarak
burden dan jumlah bahan peledak yang digunakan pada setiap lubangnya, semakin
besar diameter lubang ledak maka akan diperoleh laju produksi yang besar pula.
Faktor-faktor yang mempengaruhi diameter lubang ledak yang digunakan
antara lain adalah sebagai berikut:
Ukuran fragmentasi yang diinginkan
Isian bahan peledak berkaitan dengan efek ledakan yang dihasilkan
Keperluan penggalian batuan secara selektif
Untuk diameter lubang ledak yang kecil, maka energi yang dihasilkan akan
kecil. Sehingga jarak antar lubang bor dan jarak ke bidang bebas haruslah kecil
juga dengan maksud agar energi ledakan cukup kuat untuk menghancurkan batuan
dan begitu pula sebaliknya.
21
2.4 Geometri Peledakan
Geometri peledakan adalah faktor rancangan yang dapat dikendalikan. Pada
geometri peledakan terdapat parameter-parameter yang sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu peledakan, diantaranya burden, spacing, subdrillling,
stemming, kedalaman lubang ledak, kolom isian dan powder factor. (Lihat
gambar 1.9.)
Gambar 1.9.
Geometri peledakan menurut RL.Ash
Untuk memperoleh hasil peledakan yang diinginkan, maka perlu dilakukan
perancangan peledakan yang memperhatikan besaran-besaran geometri peledakan.
Geometri peledakan menurut R.L. Ash (1963), adalah sebagai berikut :
- Burden (B)
Burden adalah jarak tegak lurus antara lubang ledak dengan bidang bebas
yang panjangnya tergantung pada karakteristik batuan, menentukan ukuran burden
merupakan langkah awal agar fragmentasi batuan hasil peledakan dapat
memuaskan dengan hasil efek peledakan yang masih diperbolehkan.
22
Burden diturunkan berdasarkan diameter lubang ledak atau diameter mata
bor. Untuk menentukan burden, R.L. Ash (1963) mendasarkan pada acuan yang
dibuat secara empirik, yaitu adanya batuan standar dan bahan peledak standar.
Batuan standar memiliki densitas 160 lb/cuft (2,56 ton/m3), sedangkan
bahan peledak standar adalah bahan peledak yang mempunyai berat jenis 1,20 dan
memiliki besaran kecepatan detonasi 12.000 fps (3657,6 m/detik). Dalam
persamaan matematis dituliskan dengan :
=Kb x De
39,30 m . (1)
Dimana :
B= Burden (m) Kb=Burden Ratio
De = Diameter lubang ledak (inchi)
Apabila batuan yang akan diledakkan sama dengan batuan standar dan
bahan peledak yang dipakai adalah bahan peledak standar, maka digunakan
burden ratio (Kb) yaitu 30. Tetapi apabila digunakan yang tidak standar maka
perlu dilakukan koreksi dengan menggunakan faktor penyesuaian.
Faktor koreksi material yang diledakkan (AF1)
AF1 = )2.......(................................................................................
3/1
D
Dstd
Dimana :
Dstd = kerapatan batuan standard, 2,56ton/m3
D = kerapatan batuan yang diledakkan (ton/m3)
Faktor penyesuaian terhadap bahan peledak yang digunakan (AF2)
AF2= )3...(.......................................................................
.3/1
2
2
VestdSGstd
VeSG
Dimana :
SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan
Ve = kecepatan detonasi bahan peledak yang digunakan (fps)
SGstd = berat jenis bahan peledak standard, 1,20.
Vestd = kecepatan detonasi bahan peledak standard, 12.000 fps
Sehingga Kb terkoreksi adalah = Kb x AF1 x AF2 ................................. (4)
23
Untuk mengatasi masalah-masalah seperti kemungkinan terjadinya vibrasi,
airblast, flyrock, dan ukuran material yang tidak seragam dapat diperkirakan
dengan menghubungkan kedua parameter antara burden dengan tinggi jenjang,
yang dinamakan Stiffness Ratio(L/B).
Nilai Stiffness Ratio beserta pengaruhnya dapat dilihat pada tabel 1.7. Nilai
Stiffness Ratio yang semakin besar maka menunjukan fragmentasi yang semakin
baik namun semakin tidak ekonomis, maka dengan demikian perlu diketahui
perbandingan yang optimal antara tinggi jenjang dan burden yang diterapkan.
Tabel 1.7.
Stiffness Ratio dan Pengaruhnya (C.J. Konya, 1955)
- Spacing
Spacing dapat diartikan sebagai jarak terdekat antara antara dua lubang
tembak yang berdekatan dalam satu baris. Yang perlu diperhatikan dalam
memperkirakan spasi adalah apakah ada interaksi di antara isian yang saling
berdekatan.
Besar spasi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
S = Ks x B ............................................................................................... (5)
Dimana :
S = Spacing (m) Ks= Spacing ratio(1,00-2,00)
B= Burden (m)
Spacing yang lebih kecil dari ketentuan akan menyebabkan ukuran batuan
hasil peledakan terlalu hancur. Tetapi jika spacing lebih besar dari ketentuan akan
24
menyebabkan banyak terjadi bongkah dan tonjolan diantara dua lubang ledak
setelah peledakan. Berdasarkan urutan peledakannya, pedoman spacing adalah
sebagai berikut :
Peledakan serentak, S = 2 B
Peledakan beruntun dengan delay interval lama, S=B
Untuk pola peledakan dengan ms delay, maka S antara 1B sampai 2B
Jika terdapat kekar yang tidak saling tegak lurus, maka S antara 1,2B
sampai 1,8B
Peledakan dengan pola equilateraldan beruntun tiap lubang ledak dalam
baris yang sama, maka S = 1,15 B
- Stemming (T)
Stemming adalah lubang ledak bagian atas yang tidak diisi bahan peledak,
tetapi diisi oleh abu hasil pengeboran atau material berukuran kerikil (lebih baik)
dan dipadatkan di atas bahan peledak. Fungsi stemming adalah agar terjadi stress
balance dan untuk mengurung gas-gas hasil ledakan agar dapat menekan batuan
dengan kekuatan yang besar. Sedangkan di dalam penggunaan stemming yang
perlu diperhatikan adalah panjang stemming dan ukuran material stemming.
Stemming yang pendek dapat menyebabkan pecahnya batuan pada bagian
atas, tapi mengurangi fragmentasi keseluruhan karena gas hasil ledakan menuju
atmosfir dengan mudah dan cepat, juga akan menyebabkan terjadinya flyrock,
overbreak pada bagian permukaan dan juga akan menimbulkan airblast.
Panjang stemming dapat ditentukan dengan menggunakan rumus :
T = Kt x B ................................................................................................ (6)
Dimana :
T = Panjang Stemming (m)
B = Burden(m)
Kt = Stemming Ratio (0,75-1,00)
25
Untuk menghitung panjang stemming perlu ditentukan terlebih dahulu
stemming ratio (Kt), yaitu perbandingan antara panjang stemming dengan burden.
Biasanya Kt yang digunakan adalah 0,75.
- Kedalaman Lubang Ledak
Kedalaman lubang tembak biasanya ditentukan berdasarkan kapasitas
produksi yang diinginkan dan kapasitas dari alat muat. Sedangkan untuk
menentukan kedalaman lubang tembak dapat digunakan rumus sebagai berikut :
H= Kh x B ............................................................................................... (7)
Dimana :
H = kedalaman lubang tembak, (m)
Kh = Hole depth ratio (1,5 4,0)
Penambahan lubang ledak ekstra dengan kedalaman yang lebih pendek
daripada lubang ledak normal menghasilkan fragmentasi hasil yang lebih baik
terutama pada bagian atas (Jimeno, 1995). Teknik ini disebut deck charges.(Lihat
gambar 1.10.)
Gambar 1.10.
Lubang ledak tambahan (Jimeno, 1995)
Penggunaan lubang ledak tambahan dengan kedalaman yang lebih pendek
baik diterapkan untuk peledakan dengan material batuan yang kompak dan kuat
agar diperoleh fragmentasi batuan hasil peledakan yang baik.
Biaya peledakan akan meningkat apabila teknik deck charges diterapkan,
karena jumlah bahan peledak yang digunakan serta biaya pengeboran tambahan
dalam penambahan lubang ledak.
26
- Subdrilling
Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah lantai
jenjang yang dibuat agar jenjang yang dihasilkan sebatas dengan lantainya dan
lantai yang dihasilkan rata. Bila jarak subdrilling terlalu besar maka akan
menghasilkan efek getaran tanah, sebaliknya bila subdrilling terlalu kecil maka
akan mengakibatkan problem tonjolan pada lantai jenjang karena batuan tidak
akan terpotong sebatas lantai jenjangnya. Panjang subdrilling dapat ditentukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
J= B x Kj ............................................................................................... (8)
Dimana :
J = subdrilling, (m)
Kj= subdrilling ratio (0,2 0,3)
- Charge Length (PC)
Charge lengthmerupakan panjang isian bahan peledak, dimana
persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
PC = H T .............................................................................................. (9)
Dimana :
PC = Panjang kolom isian bahan peledak (m)
H = Kedalaman lubang ledak (m)
T = Stemming (m)
- Loading Density (de)
Loading density adalah jumlah isian bahan peledak per meter kolom isian,
dapat dituliskan dalam persamaan :
de = 0,508 x D2 x SG ............................................................................ (10)
Dimana :
de = Loading Density (kg/m) SG=Berat jenis bahan peledak
D = Diameter lubang ledak (inchi)
- Powder factor (PF)
Powder factor adalah suatu bilangan yang menyatakan perbandingan antara
penggunaan bahan peledak terhadap jumlah material yang diledakkan atau
dibongkar dalam kg/m, berdasarkan jenis batuan yang akan diledakan, nilai
27
powder factor yang disarankan menurut Jimeno (1995) dapat dilihat pada tabel
1.8 dan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
)11.........(................................................................................V
nPCde
V
EPF
Dimana :
PF = Powder Factor (kg/m3)
E = Jumlah bahan peledak yang digunakan (kg)
V = Volume batuan yang terbongkar (m3)
de = Loading density(kg/m)
PC = Charge length (m)
n = jumlah lubang ledak
Tabel 1.8.
Powder Factor yang disarankan (Jimeno, 1995)
Type of Rock UCS, (MPa) Powder Factor (kg/m3)
Massive high strength rock 50 - >100 0,6 1,5
Medium strength rock 25 - 50 0,3 0,6
Highly fissured rock
28
Berdasarkan arah runtuhan batuan, pola peledakan diklasifikasikan sebagai
berikut:
V Cut yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan dan
membentuk huruf V.
Box Cut yaitu pola peledakan yang arah runtuhan batuannya ke depan dan
membentuk kotak.
Corner Cutatau Square Corner yaitu pola peledakan yang arah runtuhan
batuannya ke salah satu sudut dari bidang bebasnya.
Gambar 1.11.
Pola peledakan berdasarkan arah runtuhan batuan
2.6 ArahPeledakan
Menurut R.L. Ash (1963) arah peledakan yang baik untuk menghasilkan
fragmentasi yang seragam adalah mengarah kepada sudut tumpul perpotongan
antara arah umum kekar mayor dan minor, dengan demikian penggunaan energi
bahan peledak akan lebih baik karena tidak adanya penerobosan energi.
Apabila arah peledakan mengarah pada sudut lancip, maka akan terjadi
penerobosan energi peledakan dari bahan peledak melalui rekahan-rekahan atau
kekar yang ada pada batuan. Hal ini mengakibatkan ukuran material hasil
peledakan menjadi tidak seragam dan terbentuk pula blok-blok.
29
2.7 Bahan Peledak
Bahan peledak adalah suatu bahan kimia senyawa tunggal atau campuran
berbentuk padat, cair, dan gas atau campurannya yang apabila diberi aksi panas,
benturan, gesekan atau ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia
eksotermis sangat cepat dan hasil reaksinya sebagian atau seluruhnya berbentuk
gas disertai panas dan tekanan sangat tinggi yang secara kimia lebih stabil.
Karakteristik bahan peledak (handak) yang sangat mempengaruhi operasi
peledakan pada tambang terbuka adalah kekuatan, kecepatan detonasi, kepekaan,
bobot isi, tekanan detonasi, sifat gas beracun dan ketahanan bahan peledak
terhadap air.
a. Kekuatan Bahan Peledak
Kekuatan suatu bahan peledak adalah ukuran yang dipergunakan untuk
mengukur energi yang terkandung pada bahan peledak dan kerja yang dapat
dilakukan oleh bahan peledak. Kekuatan bahan peledak biasanya dinyatakan
dalam (%).
b. Kecepatan Detonasi
Kecepatan detonasi disebut juga dengan velocity of detonation atau VoD
merupakan sifat bahan peledak yang sangat penting yang secara umum dapat
diartikan sebagai laju rambatan gelombang detonasi sepanjang bahan peledak
dengan satuan millimeter per sekon (m/s) atau feet per second (fps).
Kecepatan detonasi dipengaruhi oleh :
1. Jenis handak (ukuran butir, bobot isi)
2. Diameter dodol atau diameter lubang ledak
3. Derajat pengurungan (degrre of confinement)
4. Penyalaan awal (initiating)
c. Kepekaan (Sensitivity)
Sifat yang menunjukkan tingkat kemudahan atau kerentanan suatu bahan
peledak untuk terinisiasi (meledak) akibat adanya impuls atau dorongan dari luar
dalam bentuk benturan (impact), gelombang kejut (shock wave), panas (heat atau
flame), atau gesekan (friction).
30
d. Bobot Isi
Bobot isi bahan peledak digunakan terutama untuk memperkirakan
parameter kekuatan bahan peledak satu sama lainnya. Bobot isi bahan peledak
menentukan berat bahan peledak yang dapat dimasukan pada suatu lubang ledak.
e. Tekanan Detonasi
Tekanan detonasi adalah tekanan yang menyebar seketika dalam kolom isian
bahan peledak, besaran tekanan detonasi ini dinyatakan dalam kilobar (kb).
Tekanan detonasi akibat ledakan akan terjadi disekitar dinding lubang ledak
dan kemudian menyebar kesegala arah, hal ini dipengaruhi oleh :
1. Jenis bahan peledak
2. Derajat pengurungan
3. Jumlah dan temperatur gas hasil ledakan
f. Sifat gas beracun (fumes)
Bahan peledak yang meledak dapat menghasilkan dua jenis gas yang saling
berbeda sifatnya yaitu smoke dan fumes. Smoke terjadi apabila di dalam bahan
peledak terdapat jumlah oksigen yang tepat sehingga selama reaksi seluruh
hidrogen akan membentuk uap air (H2O), karbon bereaksi membentuk karbon
dioksida (CO2) dan nitrogen menjadi N2 bebas. Fumes adalah gas beracun yang
merupakan hasil dari suatu proses peledakan yang tidak sempurna.
g. Ketahanan terhadap air
Ketahanan terhadap air adalah kemampuan suatu bahan peledak untuk
mempertahankan fungsinya terhadap gangguan air. Bahan peledak mempunya dua
bentuk ketahanan terhadap air, yaitu ketahanan internal dan eksternal.
Ketahanan internal didefinisikan sebagai ketahanan terhadap air yang
dikenakan pada komposisi bahan peledak itu sendiri, contohnya pada emulsi.
Sedangkan ketahanan eksternal adalah kemampuan bahan peledak untuk tetap
pada komposisi unsur yang sama ketika dipengaruhi oleh air diluar komposisi
bahan peledak.
Untuk sebagian besar jenis bahan peledak, adanya air di dalam lubang ledak
dapat mengakibatkan panambahan unsur H dan O sehingga memerlukan panas
yang lebih banyak untuk menguapkan menjadi uap air. Disamping itu air dapat
31
melarutkan sebagian kandungan bahan peledak sehingga menyebabkan bahan
peledak rusak.
2.8 Ketelitian Pengeboran
Untuk memperoleh hasil peledakan yang baik, ketelitian kegiatan
pengeboran merupakan salah satu faktor yang berpengaruh. Hal ini berkaitan
dengan jarak antar lubang ledak, bahkan geometri peledakan yang direncanakan.
Ketelitian pengeboran sangat dipengaruhi oleh keahlian operator alat bor dan juga
kondisi lapangan atau lokasi peledakan. Lokasi peledakan yang dipersiapkan
dengan baik dan relatif rata, membuat operator alat bor lebih mudah dalam
mengoprasikan alat sehingga ketelitian pengeboran dapat meningkat.
3. Pengertian Fragmentasi
Fragmentasi adalah suatu istilah yang digunakan sebagai petunjuk ukuran
setiap bongkah batuan setelah peledakan. Tingkat fragmentasi batuan hasil
peledakan sangat penting dalam menilai keberhasilan dari suatu kegiatan
peledakan, dimana material yang memiliki ukuran seragam lebih diharapkan dari
pada material yang banyak berukuran bongkah. Untuk tujuan tertentu ukuran
fragmentasi yang besar atau bongkah diperlukan, misalnya disusun sebagai
penghalang (barrier) ditepi jalan tambang. Namun kebanyakan target fragmentasi
berukuran kecil. Tingkat fragmentasi yang kecil akan menambah produktivitas,
mengurangi keausan dan kerusakan peralatan sehingga menurunkan biaya
pemuatan, pengangkutan, dan proses selanjutnya, dalam beberapa pekerjaan juga
akan mengurangi secondary blasting.
Dalam mengontrol ukuran fragmentasi, jumlah energi yang dihasilkan oleh
bahan peledak harus cukup untuk menghancurkan massa batuan. Ritinger
berpendapat bahwa energi yang dibutuhkan pada fragmentasi berhubungan
dengan sejumlah area permukaan baru yang akan diledakkan (energi adalah fungsi
area). Bahan peledak juga harus ditempatkan dalam satu konfigurasi geometri atau
pola peledakan, dengan urutan dimana lubang ledak dinyalakan dan interval
waktu antar detonasi. Pelepasan energi pada interval waktu yang kurang tepat
32
akan mempengaruhi hasil akhir pedakan, meskipun energi yang digunakan sudah
tepat, dan ditempatkan dengan strategis diseluruh massa batuan dalam pola yang
tepat. Jika waktu inisiasi tidak tepat, maka dapat terjadi perbedaan pada pecahnya
batuan, getaran, air blast, flyrock, dan backbreak.
Tujuan utama dari fragmentasi dengan menggunakan bahan peledak adalah
melaksanakan operasi dengan biaya serendah mungkin, namun sesuai teknis dan
standart kondisi keamanan.
Dalam setiap proyek pertambangan, pengeboran dan peledakan adalah
operasi dasar pertama, dan dapat mempengaruhi hasil operasi berikutnya,
produktivitas serta biaya.
Sumber : Jimeno, 1995
Gambar 1.12
Diagram Alir Siklus Penambangan
Suatu fragmentasi hasil peledakan dapat dikatakan optimal apabila mudah
digali, didapatkan bentuk muckpile hasil peledakan tidak rata, melainkan
Drillin
g
Blasting Loading Haulage
Secondary
Blasting
Primary
Crushing
Secondary
Crushing
Grinding
Useful
Product
33
menumpuk ke atas, didapatkan distribusi ukuran material yang rata, dan tidak
terdapat material berukuran besar atau boulder.
4. Perhitungan Fragmentasi Teoritis
Tingkat distribusi ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan yang
diinginkan dapat diperkirakan dengan memasukkan data variabel-variabel
peledakan yan digunakan. Variabel tersebut meliputi sifat fisik dan karakteristik
massa batuan, bahan peledak dan jumlah isian serta geometri peledakan yang
digunakan.
Dalam memperkirakan fragmentasi batuan hasil peledakan dapat
digunakan beberapa cara, salah satunya yang paling umum digunakan adalah
model Kuz-Ram. Model Kuz-Ram merupakan gabungan dari dua persamaan,
yaitu persamaan Kuznetsov untuk menentukan ukuran fragmentasi rata-rata, dan
persamaan Rossin-Rammler untuk menentukan prosentase material yang
tertampung di crusher. Kuznetsov (1973) telah melakukan penelitian pengukuran
fragmentasi dan menghasilkan suatu persamaan yang dikenal dengan persamaan
Kuznetsov, yaitu :
x = A x 6/18.0
xQQ
Vo
.............................................................. (12)
Keterangan :
X = ukuran fragmentasi rata-rata (cm)
A = faktor batuan, 7 untuk batuan menengah
10 untuk batuan keras dan banyak kekar
13 untuk batuan sangat keras dan sedikit kekar
Vo= volume batuan yang terbongkar (B x S x L dalam m3)
Q = jumlah bahan peledak TNT pada setiap lubang ledak (kg)
Jika :
Qe = massa bahan peledak per lubang ledak (kg)
E = Relative weight strength (RWS) bahan peledak
Q = massa TNT (kg)
34
RWS TNT = 115
Maka:
Qe x e = Q x 115
Q = Qe x E
115
Kuznetsov (1983), kemudian memodifikasi persamaan tersebut dengan
menggunakan bahan peledak ANFO menjadi persamaan :
X = A x 30/19
6/1
8.0
115
ExxQe
Qe
Vo
........................................... (13)
` Keterangan :
X = ukuran fragmentasi rata-rata (cm)
A = faktor batuan (rock factor) = RF, dihitung dengan menggunakan
Blastability Index.
Vo= volume batuan yang terbongkar (B x S x L dalam m3).
Qe = jumlah bahan peledak per lubang tembak, kg.
E = kekuatan bahan peledak (RWS), untuk ANFO = 100; TNT =115.
Menurut Gheibie et al. (2009) modifikasi model Kuz-Ram memiliki
beberapa kekurangan dalam memprediksi distribusi ukuran material, oleh karena
itu, mereka telah mengusulkan suatu bentuk baru dari Kuz-Ram dengan beberapa
koreksi di mana nilai koreksi tersebut merupakan koreksi dari faktor batuan yang
berkisar antara 0,06 sampai 0,073 yang termasuk dalam prediksi material.
Persamaan berikut digunakan untuk memprediksi ukuran fragmen rata-rata :
X = ((0,06 to 0,073) x BI) x 30/19
6/1
8.0
115
ExxQe
Qe
Vo
.......... (14)
Keterangan :
X = ukuran fragmentasi rata-rata (cm)
BI = Blastabillity Index Parameter
Vo = volume batuan yang terbongkar (B x S x L dalam m3).
Qe = jumlah bahan peledak per lubang tembak, kg.
E = kekuatan bahan peledak (RWS), untuk ANFO = 100; TNT =115.
35
Dalam model ini, Indeks kemampuledakan (BI) digunakan untuk
mengoreksi perhitungan Indeks Keseragaman Cunningham. Lily (1986)
memberikan suatu cara penentuan faktor batuan (rock factor-RF) yang relatif
lebih presisi dari pada penggolongan faktor batuan di atas. Nilai faktor batuan
didapatkan dari indeks kemampuledakan (blastabillity index-BI) batuan yang
bersangkutan.
Persamaan yang memberikan hubungan antara faktor batuan dengan
indeks kemampuledakan menurut Lilly (1986) adalah sebagai berikut :
RF = 0,12 x BI .......................................................................... (15)
Tabel 1.9
Blastabillity Index Parameter
Geomechanic Parameters Rating
1. Rock Mass Description (RMD)
1.1. Powdery / Friable 10
1.2. Blocky 20
1.3. Totally massive 50
2. Joint Plane Spacing (JPS)
2.1. Close (< 0,1 m) 10
2.2. Intermediate (0,1 1 m) 20
2.3. Wide ( > 1 m) 50
3. Joint Plane Orientation (JPO)
3.1. Horizontal 10
3.2. Dip Out of Face 20
3.3. Strike Normal to Face 30
3.4. Dip into Face 40
4. Specific Grafity Influence (SGI) SGI = 25 x SG 50 (ton/m3)
5. Hardness (H) 1 10 Sumber : Lombok Efendi R Panjaitan, 2004, ITB
Nilai dari indeks kemampuledakan ditentukan dari penjumlahan bobot
nilai lima parameter utama yang diberikan oleh Lilly dijumlahkan dari yaitu rock
mass description (RMD), joint plane spacing (JPS), joint plane orientation (JPO),
specific gravity influence (SGI), dan hardness (H). Parameter batuan yang
diperlukan dapat dilihat pada Tabel 1.8. Hubungan antara kelima parameter
tersebut dengan indeks kemampuledakan tertera dalam persamaan berikut :
BI = 0,5 x (RMD + JPS + JPO + SGI + H) .............................. (16)
36
Untuk menentukan fragmentasi batuan hasil peledakan digunakan
persamaan Roslin-Ramler, yaitu :
Rx = e-(X/Xc)
n
............................................................................................... (17)
Xc = n
X/1)693,0( .................................................................... (18)
Keterangan:
Rx = Prosentase material yang tertahan pada ayakan x (%)
X = Ukuran ayakan (cm)
Xc = Karakteristik Ukuran
n = Indeks keseragaman
Besarnya nilai indeks keseragaman (n) didapatkan dengan persamaan yang
telah dikembangkan oleh Cunningham (2005), teori baru dari keseragaman indeks
yaitu sebagai berikut:
n = ns 2 - 30B
d
1 + mb
2 1 -
Dt
B (
lb
Hb)0,3
C(n) .......... (19)
Keterangan:
B = Burden (m)
d = Diameter bahan peledak (mm)
Dt = Standard deviasi dari keakuratan pengeboran (m)
mb = Nisbah perbandingan spasi dengan burden
lb = Panjang isian (m)
Hb = Tinggi jenjang (m)
C(n) = correction factor (square pattern = 1, staggered pattern = 1,1)
ns = faktor penggabungan scatter of dely time yang digunakan dalam
peledakan
Faktor ns dapat dinyatakan sebagai berikut :
ns = 0,206 + (1 - Rs
4)0,8
........................................................... (20)
Dimana, Rs adalah scatter ratio dan dapat dinyatakan sebagai berikut :
Rs = Tr
Tx ................................................................................ (21)
37
Keterangan:
Tr = Range of delay scatter (ms)
Tx = Desired delay between holes (ms)
Nilai n mengidentifikasikan keseragaman dari distribusi ukuran
fragmentasi hasil peledakan. Umumnya nilai n berada pada selang 0,8 sampai
2,2 dimana semakin beasr nilai n maka ukuran fragmentasi semakin seragam
sedangkan nilai n yang rendah mengindikasikan kurang seragamnya distribusi
ukuran fragmentasi, yang berarti adanya perbedaan yang besar antara fragmentasi
berukuran halus (fines) dan besar (oversize). Parameter peledakan yang bisa
ditentukan untuk menghasilkan nilai n yang tinggi adalah sebagai berikut :
1) Memperkecil nisbah antara burden dan diameter lubang ledak.
2) Meningkatkan keakuratan pengeboran.
3) Meningkatkan nisbah antara panjang isian dan tinggi jenjang.
4) Meningkatkan nisbah antara spasi dan burden.
5) Penggunaan pola pengeboran selang-seling (staggered pattern)
daripada pola sejajar (square pattern).
5. Data-data yang diperlukan untuk prediksi fragmentasi menggunakan Kuz-
Ram Model adalah data-data dari desain pola pengeboran - peledakan dan
data-data geologi, sebagai berikut :
a) Desian Pola Peledakan
Tabel 1.10
Data-data Pola Peledakan
Pattern Design Nilai Satuan Staggered or square
Hole Diameter mm
Charge Length m
Burden m
Spacing m
Drill Accuracy SD m
Bench Height m
Face Dip Direction deg
38
b) Intact Rock Properties
Tabel 1.11
Data-data Intact Rock Properties
Intact Rock
Properties Nilai Satuan
Rock Factor Rock Type Rock Specific
Gravity SG
Elastic Modulus GPa
UCS MPa
c) Joint Condition
Tabel 1.12
Data-data Intact Rock Properties
Jointing Nilai Satuan
Spacing m
Dip deg
Dip Direction deg
In-situ block m
d) Data Bahan Peledak
Tabel 1.12
Data-data Intact Rock Properties
Explosives Nilai Satuan
Density SG
RWS (%
ANFO)
Nominal VOD m/s
Effective VOD m/s
Explosive Strength
6. Perhitungan Fragmentasi Hasil Peledakan
Fragmentasi hasil peledakan dapat diukur secara manual maupun
menggunakan bantuan Software sehingga lebih memudahkan proses pengukuran
hasil peledakan.
39
Mengamati, mengukur dan menghitung ukuran fragmentasi batuan hasil
peledakan dapat dikakukan degan cara Photoanlysis, mengacu pada studi gambar
untuk mengevaluasi hasil dari peledakan.
Foto yang diambil dari muckpile pada tahap yang berbeda-beda kemudian
dianalisa setiap batuan tunggal untuk mengetahui ukuran dari batuan tunggal
tersebut (DMVP Slovenija).
Analisa Fragmentasi Menggunakan Pengukuran Manual Secara
Photoanlysis terdiri dari kegiatan pengumpulan data yang dilakukan di lokasi
penelitian terbagi dalam 2 tahap kegiatan, yaitu :
1. Tahap pra penelitian
Pada tahap ini dilakukan persiapan - persiapan sebelum melakukan kegiatan
penelitian. Persiapan-persiapan yang dilakukan, antara lain survey lokasi yang
akan dijadikan tempat penelitan dan menyiapkan alat yang akan dipakai untuk
kegiatan penelitian. Karena data yang akan dikumpulkan dari lokasi penelitian
berupa foto, maka alat utama yang dipakai untuk kegiatan penelitian ini adalah
kamera digital. Selain itu untuk membantu dalam penentuan ukuran fragmentasi
batuan hasil peledakan sebenarnya pada saat penelitian, maka digunakan kayu
ukur berskala dengan panjang tertentu.
Gambar 1.13
Kayu ukur berskala dengan panjang 50 cm
40
2. Tahap penelitian
Pada tahap ini dilakukan kegiatan pengambilan data. Data yang diambil
adalah fragmentasi batuan hasil peledakan. Fragmentasi batuan hasil peledakan ini
kemudian difoto dengan menggunakan kamera digital. Sebelum difoto ada
beberapa kegiatan yang harus dilakukan, antara lain :
a. Menentukan batas daerah tumpukan fragmentasi batuan hasil
peledakan yang akan difoto. Batas daerah yang akan difoto sebaiknya
mewakili keseluruhan ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan ;
b. Menempatkan kayu berskala ukuran tertentu pada salah satu
fragmentasi batuan hasil peledakan agar dapat ditentukan skala pada
foto .
Gambar 1.14.
Contoh pengukuran distribusi fragmentasi hasil peledakan
41
Sumber : Indentifikasi tingkat keseragaman dengan metode koefisien tekstur.
2. Data Pendukung
Yang dimaksud dengan data pendukung adalah data-data yang dapat
mendukung data-data dari lapangan. Pada umumnya data pendukung diambil dari
laporan-laporan penelitian terdahulu atau data dan brosur-brosur dari instansi
terkait.
3. Analisa Penyelesaian Masalah
Permasalahan yang ada di lapangan selanjutnya dipelajari dan dikaji dengan
mendasarkan data-data yang ada dan juga mendasarkan pada teori-teori yang
diungkapkan oleh para ahli peledakan kemudian mencari alternatif penyelesaian
dari permasalahan tersebut.
Survey Lokasi Penelitian
Analisis Data Foto
Penempatan Kayu Berskala
Ukuran Tertentu Pada
Fragmentasi Batuan
Penentuan Daerah Tumpukan
Fragmentasi Batuan Hasil
Peledakan yang akan difoto
Persiapan Alat Penelitian
( Kamera Digital & Kayu
Ukur berskala
Pra Penelitian
Pengambilan Foto
Fragmentasi Batuan Hasil
Peledakan
Penelitian
42
H. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini adalah meningkatnya produktivitas unit
peremuk, sehingga sasaran produksi yang ditetapkan oleh perusahaan dapat
tercapai.
I. DAFTAR PUSTAKA 1. Bhandari, Sushil. 1997. Engineering Rock Blasting Operation
Rotterdam/Brookfield.
2. Bienewski, Engineering Rock Mass Clasification, John Wiley & Sons, New York, 1989.
3. Hustrulid, William.1999.Blasting Principles for Open Pit Mining Vol 1. Rotterdam/Brookfield.
4. Jimeno, E. L. 1995. Drilling and Blasting Of Rocks. Rotterdam/Brookfield.
5. Pfleider, Eugene P. 1968. Surface Mining. The American Institute of Mining, Metallurgical and Petroleum Engineers, Inc.
6. S. Koesnaryo.2011. Teknik Peledakan Buku I dan II. Jurusan Teknik Pertambangan. Fakultas Teknologi Mineral. Universitas Pembangunan
Nasional VeteranYogyakarta. Yogyakarta. 7. S. Saptono.2006. Teknik Peledakan. Jurusan Teknik Pertambangan.
Fakultas Teknologi Mineral. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Yogyakarta.
8. .2012. Modul Diklat Teknik Pemberaian Batuan. Pusdiklat Minerba. Bandung.
J. SCHEDULE PELAKSANAAN PENELITIAN
No Kegiatan Waktu (minggu)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 1. StudiLiteratur
2. ObservasiLapangan
3. Pengambilan Data
4. Pengolahan Data
5. Analisa Data
6. PenyusunanDraft