Upload
tranbao
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REVIEW KAITAN PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAHUN DENGAN BEBERAPA ISU PEMBANGUNAN
KEDEPUTIAN EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
2009
RREEPPUUBBLLIIKK IINNDDOONNEESSIIAA
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
ii
KATA PENGANTAR
Sumber daya manusia merupakan faktor, unsur dan komponen terpenting dalam pembangunan. Dua sektor yang memiliki peran penting dan dominan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Berkaitan dengan sektor pendidikan, fondasi utama pembangunan pendidikan adalah pendidikan dasar. Sejalan dengan itu, maka kami melakukan kajian terhadap Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun dikaitkan dengan isu-isu pembangunan.
Kajian ini merupakan pelengkap dari laporan Evaluasi Pelaksanaan Program Wajardikdas 9 Tahun. Tinjauan kajian difokuskan pada peran Wajardikdas 9 Tahun dikaitkan dengan tiga isu pokok, yaitu keberpihakan kepada masyarakat miskin, desentralisasi pendidikan, serta ketersediaan dan kualitas guru. Diharapkan kajian ini dapat menjadi masukan dalam kebijakan pembangunan pendidikan maupun sektor lainnya yang terkait di masa yang akan datang.
Kami menyadari kajian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat diharapkan. Akhirnya, terima kasih serta penghargaan kami ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu dalam penyusunan kajian ini.
Jakarta, Desember 2009 Plt. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas
Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii Daftar Isi iii Daftar Tabel iv Daftar Gambar v BAB I LATAR BELAKANG 1 BAB II KEBERPIHAKAN KEPADA MASYARAKAT MISKIN 5
2.1. Kerangka Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah 7
2.2. Analisa dan Pembahasan 15
2.3. Permasalahan 23
2.4. Implikasi Kebijakan 24
BAB III DESENTRALISASI PENDIDIKAN 26 3.1. Kerangka Kebijakan Desentralisasi Pendidikan 26
3.2. Pembiayaan Dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan 32
3.3. Capaian Wajardikdas dalam Kerangka Desentralisasi 44
3.4. Permasalahan 50
3.5. Implikasi Kebijakan 55
BAB IV KETERSEDIAAN dan KUALITAS GURU 57 4.1. Kebijakan untuk Peningkatan Kualitas Guru 57
4.2. Capaian 75
4.3. Permasalahan 89
4.4. Implikasi Kebijakan 94
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 98 5.1. Kesimpulan 98
5.2. Implikasi Kebijakan 102
Daftar Pustaka 108
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Urusan Wajib Yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Daerah 27 Tabel 4.2 Persentase Kelayakan Mengajar Kepala
Sekolah dan Guru menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2006 81
Tabel 4.3 Perkembangan Angka Mengulang SD/MI dan SMP/MTs Tahun 2001/2002-2005/2006 87
Tabel 4.4 Angka Kelulusan Tahun 2006 88
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia 6
Gambar 2.2 Alokasi Anggaran BOS Periode Tahun 2005-200710 Gambar 2.3 Sasaran Jumlah Siswa Penerima BOS 10 Gambar 2.4 Alokasi Dana BOS dan Penduduk Miskin Tahun 2007 16 Gambar 2.5 APK SD dan BOS SD Tahun 2007 17 Gambar 2.6 APK SMP dan BOS SMP Tahun 2007 18 Gambar 2.7 Jumlah Siswa Mengulang SD 19 Gambar 2.8 Jumlah Siswa Mengulang SMP 20 Gambar 2.9 Jumlah Lulusan SD 22 Gambar 2.10 Jumlah Lulusan SMP 22 Gambar 3.1 Alur Pembiayaan Pendidikan Nasional 35 Gambar 3.2 Perkembangan Alokasi Anggaran Program
Wajardiknas 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional 37
Gambar 3.3 Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) 2004- 2007 38
Gambar 3.4 Kontribusi Pemerintahan dalam Belanja Pendidikan Dasar 9 Tahun 42
Gambar 3.5 Kontribusi DAU terhadap Total Penerimaan APBD Kabupaten Kota 43
Gambar 3.6 Target dan Realisasi Disparitas APM Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota 45
Gambar 3.7 APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007 47 Gambar 3.8 APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah
Pertama 2007 47 Gambar 3.9 Disparitas APK-APM Antara Kabupaten-Kota
Dalam Provinsi 2007 49 Gambar 3.10 Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan 2007 51 Gambar 3.11 Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah per penduduk usia 7-15 tahun 53
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
vi
Gambar 4.1 Rasio Siswa per Guru Tahun 2001/2002-
2005/2006 77 Gambar 4.2 Rasio Siswa per Guru Tahun 2006 dan 2007 78 Gambar 4.3 Rasio Siswa per Guru Sekolah Dasar &
Menengah Tahun 2005 dan 2007 79 Gambar 4.4 Kepala Sekolah dan Guru menurut Tingkat
Pendidikan Tahun 2006 80 Gambar 4.5 Persentase Guru SD dan SMP yang Layak
Mengajar Tahun 2007 83 Gambar 4.6 Persentase Guru SD-SMP Negeri dan Swasta
yang Layak Mengajar Tahun 2006 84 Gambar 4.7 Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi Tahun
2007 85
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
1
BAB I
LATAR BELAKANG
Pembangunan ekonomi yang telah ditempuh di masa lalu
telah menghasilkan berbagai kemajuan yang cukup berarti
namun sekaligus juga mewariskan berbagai permasalahan yang
mendesak untuk dipecahkan. Penitikberatan pembangunan
masa lalu hanya kepada tercapainya tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi telah menciptakan peningkatan pendapatan
perkapita, penurunan jumlah kemiskinan dan pengangguran, dan
perbaikan kualitas hidup manusia secara rata-rata. Namun
pembangunan ekonomi yang sangat berorientasi kepada
peningkatan produksi nasional ini tidak disertai dengan
pembangunan dan perkuatan insitusi-insitusi baik publik maupun
insitusi pasar terutama institusi keuangan yang seharusnya
berfungsi melakukan alokasi sumber daya secara efisien dan
bijaksana. Hasil pembangunan yang dicapai justru menimbulkan
akibat negatif dalam bentuk kesenjangan antar golongan
pendapatan, antar wilayah, dan antar kelompok masyarakat.
Oleh karena itu pembangunan nasional diarahkan tidak saja
pada pada pertumbuhan ekonomi namun pada pembangunan
manusia secara keseluruhan.
Salah satu upaya untuk meningkatnya taraf pendidikan
penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata
persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajardikdas 9
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
2
Tahun). Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan
mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki
pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan
mutu yang baik. Sehingga diharapkan seluruh warga negara
Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang
akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang
sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajardikdas 9
Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun
krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997
menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target
penuntasan Wajar disesuaikan dari 2003/2004 menjadi
2008/2009
Program Wajardikdas 9 Tahun merupakan satu program
yang sangat krusial dalam pembangunan nasional. Selain
sebagai pemenuhan hak dasar masyarakat Indonesia,
Wajardikdas 9 tahun diharapkan pula mempunyai dampak
terhadap daya saing tenaga kerja hingga kesejahteraan
masyarakat secara umum. Beberapa permasalahan
pembangunan bisang pendidikan diantaranya: (1) Terbatasnya
akses penduduk terhadap pendidikan dasar, yang bisa dilihat
dari ketersediaan guru yang belum memadai (20:1); (2) Tingkat
pendidikan penduduk rendah, dimana angka Partisipasi Sekolah
(APS) 7-12 tahun sebesar 96,4 persen; 13-15 tahun sebesar 81
persen; 16-18 tahun (51 persen), masih terdapat sekitar 19
persen anak usia 13-15 tahun dan sekitar 49 persen anak usia
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
3
16-18 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/tidak
pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi; serta (3) Kualitas
pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi
kebutuhan kompetensi peserta didik, yang bisa dilihat dari
ketersediaan pendidik yang belum memadai baik secara
kuantitas maupun kualitas, kesejahteraan pendidik yang masih
rendah, fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, dan
biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.
Tahun 2008 merupakan pelaksanaan tahun keempat dari
RPJMN 2004-2009 yang pelaksanaannya dituangkan dalam
perencanaan tahunan yaitu Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Sebagai masukan dalam pelaksanaan RKP tahun 2009 dan juga
penyusunan rancangan RPJMN periode berikutnya, pelaksaaan
program-program pembangunan yang telah dilakukan selama
kurun waktu 2004–2007 sangat diperlukan. Hal ini sangat
penting terutama untuk melihat apakah selama kurun waktu
tersebut dapat dicapai sasaran serta target-target yang telah
ditetapkan dalam RKP dan juga perkiraan pencapaian pada akhir
periode RPJMN 2004-2009. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu
dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan yang
telah dilaksanakan dalam periode 2004-2007. Diharapkan
evaluasi ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam
peningkatan pencapaian sasaran khususnya bagi sektor-sektor
yang saat ini pencapaian sasarannya masih jauh dari RPJMN.
Selanjutnya, dengan diketahuinya pencapaian sasaran nasional
berdasarkan evaluasi kinerja pembangunan 2004 - 2007 maka
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
4
penyusunan RPJMN 2010–2014 baik kebijakan maupun sasaran
serta program-program pembangunannya dapat lebih tepat lagi.
Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun
2002, dan ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri
PPN/Kepala Bappenas Nomor: KEP.050/M.PPN/03/2002
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Meneg. PPN/Kepala
Bapppenas disebutkan bahwa Bappenas mempunyai tugas
membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan
koordinasi di bidang perencanaan pembangunan nasional. Di
samping itu, Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa
pimpinan kementerian/lembaga harus melakukan evaluasi
kinerja pelaksanaan rencana pembangunan kementerian/
lembaga.
Sejalan dengan itu, untuk mendukung keperluan di
atas pada tahun 2008 dilakukan evaluasi kinerja
pembangunan sektoral untuk periode 2004–2007. Evaluasi
memfokuskan pada evaluasi program Wajardikdas 9
Tahun. Evaluasi akan dilakukan dengan mengacu kepada
dokumen-dokumen perencanaan, yaitu RPJMN 2004–
2009, RKP 2005, RKP 2006, dan RKP 2007. Lebih lanjut,
laporan ini akan menggunakan analisa kualitatif dengan
tiga isu pokok, yaitu Wajardikdas dengan keberpihakan
kepada masyarakat miskin (BOS), desentralisasi
pendidikan serta ketersediaan dan kualitas guru.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
5
BAB II
KEBERPIHAKAN KEPADA MASYARAKAT MISKIN
Studi literatur dan empiris telah menunjukkan bahwa
peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan dapat dijadikan
alat kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan di suatu negara.
Kenaikan harga BBM di Indonesia pada tahun 2005, telah
meningkatkan persentase jumlah penduduk miskin yang cukup
signifikan. Disisi lain, tingginya biaya pendidikan makin
mempersulit masyarakat yang kurang beruntung untuk
mengakses pendidikan yang bermutu. Jika hal ini tidak
diantisipasi dengan baik oleh Pemerintah, maka pertumbuhan
ekonomi di Indonesia semakin terpuruk di masa-masa yang akan
datang. Dengan demikian, kebijakan yang terkait sektor
pendidikan harus berpihak kepada masyarakat miskin, sehingga
mereka dapat keluar dari kemiskinan dan berkontribusi bersama-
sama dalam pembangunan.
Keberpihakan terhadap masyarakat miskin di sektor
pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dengan cara
menghilangkan berbagai hambatan biaya bagi orangtua peserta
didik, dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD-
setara dan SMP-setara yang berasal dari keluarga miskin
sehingga wajib belajar 9 tahun dapat diselesaikan.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
6
Gambar 2.1 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2000-2007
14
14,5
15
15,5
16
16,5
17
17,5
18
18,5
19
19,5
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin (%)
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin (%)
Sumber: Departemen Keuangan, 2007, diolah.
Adapun, jenis biaya pendidikan yang dibebankan kepada
orangtua peserta didik adalah biaya operasi satuan pendidikan,
biaya pribadi dan biaya investasi. Sejalan dengan amanat
Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003,
Pemerintah secara bertahap membebaskan seluruh beban biaya
operasi satuan pendidikan negeri dan swasta menuju pendidikan
dasar bebas biaya. Dengan mengurangi biaya-biaya tersebut
diatas, khususnya bagi keluarga miskin, diharapkan anak-anak
dari keluarga miskin dapat menyelesaikan wajib belajar 9 tahun.
Namun demikian, pembebasan biaya diatas sepertinya
kurang mencukupi karena masih banyak keluarga miskin yang
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
7
tidak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya pergi ke
sekolah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah
menyediakan bantuan beasiswa yang disalurkan melalui biaya
satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi
siswa miskin agar tidak terhambat masuk sekolah. Dengan
bantuan dari Pemerintah ini diharapkan dapat meningkatkan
APK SD-SMP dan Setara. Sedangkan, untuk biaya investasi
seperti lahan, prasarana pendidikan, sarana pendidikan, dan
modal kerja yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan
sekolah yang baik dan bermutu, sejak tahun 2005, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah telah menanggung sebagian besar dari
biaya investasi satuan pendidikan. Biaya investasi tersebut
berupa perbaikan sarana dan prasarana pendidikan yang telah
rusak.
2.1. Kerangka Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tunai
Dalam rangka penuntasan Wajib Belajar 9 tahun, banyak
program yang telah dilakukan oleh Pemerintah, dimana
dikelompokkan menjadi 3 yaitu; (1) Pemerataan dan Perluasan
Akses; (2) Peningkatan Mutu, Relevansi dan Daya Saing; dan (3)
Tata Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan Publik. Salah satu
program yang diharapkan berperan besar terhadap percepatan
penuntasan Wajar 9 tahun yang bermutu adalah program BOS.
Meskipun tujuan utama program BOS adalah untuk pemerataan
dan perluasan akses, program BOS juga merupaka program
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
8
untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta untuk
tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.
Sejak bulan Juli 2005, Pemerintah telah meluncurkan
program BOS kepada seluruh sekolah setingkat SD/MI/SDLB
dan SMP/MTs/SMPLB di Indonesia untuk meringankan atau
menggratiskan biaya pendidikan yang ditanggung oleh
masyarakat. Melalui program BOS yang terkait dengan gerakan
percepatan penuntasan Wajib Belajar 9 tahun, maka setiap
pelaksana program pendidikan harus memperhatikan hal-hal
berikut: (i) BOS harus menjadi sarana penting untuk
mempercepat penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun, (ii) Melalui BOS
tidak boleh ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu
membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah
/madrasah/ponpes, (iii) Anak lulusan sekolah setingkat SD, harus
diupayakan kelangsungan pendidikannya ke sekolah setingkat
SMP. Tidak boleh ada tamatan SD/MI/setara tidak dapat
melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB dengan alasan mahalnya
biaya masuk sekolah, dan (iv) Kepala sekolah/madrasah/ponpes
mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus dan
berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di
SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus
sekolah yang masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke
bangku sekolah.
Dana BOS diberikan kepada seluruh sekolah
penyelenggara Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
Tahun baik negeri maupun swasta,yakni SD/MI/SDLB/Salafiyah
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
9
dan SMP/MTs/SMPLB/Salafiyah. Pada saat pertama kali
dikucurkan dana BOS pada tahun 2005, dana BOS diberikan ke
sekolah berdasarkan jumlah murid di masing-masing sekolah,
dengan perhitungan Rp235.000 per murid per tahun untuk
tingkat SD dan Rp324.500 per murid per tahun untuk tingkat
SMP. Biaya per unit mengalami peningkatan pada tahun 2008
menjadi Rp 254.000 per murid per tahun untuk tingkat SD, Rp.
354.000 per murid per tahun untuk tingkat SMP dan Rp. 22.000
per murid per tahun untuk buku. Total alokasi APBN untuk dana
BOS Depdiknas tahun 2007 mencapai Rp. 9.840.967.844.600,00
Selama periode tahun 2005-2006, alokasi dana BOS
mengalami peningkatan yang sangat signifikan, melebihi 100%
antara periode tahun 2005-2006, lalu mengalami penurunan
yang tidak terlalu signifikan pada tahun 2007, seperti yang
terlihat pada Gambar berikut. Adapun sasaran jumlah siswa
penerima BOS, paling banyak dari SD/MI/SDLB/Salafiyah SD.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
10
Gambar 2.2 Alokasi Anggaran BOS Periode Tahun 2005-2007 (dalam Juta Rupiah)
2005 2006 2007
5.136.932
10.320.204 9.841.118
Total Anggaran BOS
Total Anggaran BOS
Sumber: Depdiknas
Gambar 2.3 Sasaran Jumlah Siswa Penerima BOS
20052006
2007
28.887.886 29.432.530
26.046.328
10.740.249 10.488.627
9.111.160
SD/MI/SDLB/Salafiyah SD SMP/MTs/SMPLB/Salafiyah SMP
Sumber: Depdiknas
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
11
Program BOS secara jelas menfokuskan pada subsidi
pendidikan bagi keluarga miskin dan penuntasan wajib belajar 9
tahun, seperti yang tercantum pada tujuan program BOS
menurut Buku Panduan 2006. Program BOS dapat dikatakan
sebagai bantuan ”gratis terbatas”, dimana menggratiskan siswa
miskin dan meringankan siswa tidak miskin. Sasaran program
BOS mencakup sekitar 40 juta siswa setara SD dan SMP di
seluruh Indonesia, dengan total dana lebih dari Rp. 11 trilyun per
tahun. Dengan mempertimbangkan besarnya skala program dan
besarnya dana, pengelolaan Program BOS dilakukan dengan
mekanisme dekonsentrasi ke tingkat provinsi. Dana BOS
diadministrasikan di DIPA (Dinas Pendidikan Provinsi), dan
penyaluran dana BOS disalurkan dengan mekanisme perbankan
langsung ke rekening sekolah. Teknis penyaluran BOS
dirancang sedemikian rupa untuk menghilangkan potensi
kebocoran dalam proses penyaluran. Dana dari Kantor
Pembendaharaan Kas Negara (KPKN) di Departemen Keuangan
disalurkan langsung ke rekening dana dekonsentrasi provinsi
tanpa melalui Depdiknas, kemudian provinsi menyalurkannya
langsung ke rekening sekolah tanpa melalui kabupaten/kota.
Menurut ketetapan yang berlaku, dana BOS hanya
digunakan untuk biaya operasional sekolah non personel,
misalnya uang pendaftaran, ATK, langganan daya dan jasa,
membayar guru/pegawai honorarium, kegiatan kesiswaan, dan
sebagainya. Dana BOS bukan untuk kesejahteraan guru dan
juga bukan untuk biaya investasi. Kesejahteraan guru dan biaya
investasi sekolah diharapkan dibiayai dari program lain, dengan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
12
prioritas utama didanai oleh pemerintah daerah (pemda).
Sekolah yang menerima dana BOS diharuskan untuk mengikuti
semua aturan yang ditetapkan oleh pengelola program, baik
mengenai cara pengelolaan penggunaan, pertanggungjawaban
dana BOS yang diterima maupun monitoring dan evaluasi.
Sekolah berhak menolak BOS, jika sekolah mampu secara
ekonomi dan memiliki pendapatan yang lebih besar dari dana
BOS, yang harus disetujui oleh orang tua siswa dan komite
sekolah. Untuk sekolah penerima BOS harus mengikuti aturan
sebagai berikut:
Sekolah yang jumlah penerimaan dari peserta didik (sebelum
BOS) lebih kecil dari BOS harus membebaskan siswa dari
semua bentuk pungutan/sumbangan/iuran yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran yang dapat dibiayai dari dana
BOS.
Sekolah juga diminta untuk membantu siswa kurang mampu
yang mengalami kesulitan transportasi dari dan ke sekolah.
Sekolah yang jumlah penerimaan dari peserya didik
(sebelum BOS) lebih besar dari BOS tetap dapat memungut
biaya tambahan, tetapi harus membebaskan iuran sekolah
bagi siswa miskin, apabila di sekolah tersebut ada siswa
miskin.
Bila masih ada sisa dana BOS, setelah digunakan untuk
mensubsidi siswa miskin, maka sisa dana tersebut dapat
digunakan untuk mensubsidi siswa lain.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
13
Apabila di sekolah tersebut tidak ada siswa miskin, dana
BOS dapat digunakan untuk mensubsidi semua siswa
sehingga iuran siswa akan berkurang.
Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan
Pengembangan Depdiknas, dana BOS telah memberikan
dampak positif sebagai berikut (Lakip 2005-2008): (i) Program
BOS meningkatkan jumlah siswa yang terbebas dari pungutan
biaya operasional sekolah/madrasah yaitu, dari 28.4% pada
tahun 2004 menjadi 70.3% setelah digulirkannya program BOS
sejak tahun 2005, (ii) Program BOS menurunkan angka putus
sekolah dari 0.60% menjadi 0.40%, menurunkan tingkat
kehadiran dari 2.71% menjadi 2.14%, dan menurunkan angka
mengulang kelas dari 1.73% menjadi 1.24%, serta meningkatkan
angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs dari 94.27% menjadi
96.70%, jika dibandingkan antara kondisi setelah digulirkannya
program BOS sejak tahun 2005, (iii) Penyelenggaraan program
BOS pada tahun 2007 relatif lebih baik dibandingkan dengan
tahun 2006 dilihat dari aspek perencanaan dan
pengorganisasian, sosialisasi program, penyaluran dana,
pemanfaatan dana, serta monitoring evaluasi dan pelaporannya.
Namun demikian, masih ditemukan beberapa kelemahan yaitu
pengadaan buku pedoman yang masih kurang efisien, waktu
penyampaian buku pedoman, sosialisasi, dan penyaluran dana
yang kadang terlambat, serta masih terjadinya kesalahan data
jumlah siswa di sementara sekolah/madrasah.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
14
BOS Buku
BOS buku dimasudkan sebagai subsidi kepada semua
peserta didik wajib belajar, yang disalurkan melalui satuan
pendidikan, sehingga diharapkan siswa miskin dapat mengakses
buku teks pelajaran yang digunakan satuan pendidikan melalui
peminjaman buku di perpustakaan sekolah. BOS buku,
diharapkan dapat meringankan beban biaya pendidikan bagi
siswa miskin dan sekaligus meningkatkan mutu pendidikan.
Seperti halnya BOS Tunai, BOS buku dialokasikan ke semua
sekolah dan madrasah serta bentuk lainnya yang sederajat, baik
negeri maupun swasta, yang melaksanakan program wajib
belajar 9 tahun.
Besarnya alokasi BOS per satuan pendidikan ditentukan
atas dasar jumlah peserta didik dengan biaya satuan
Rp.22.000/siswa untuk tahun 2007. Dana bantuan BOS buku
hanya ditujukan untuk membeli satu buku teks saja (diantara tiga
mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, atau Bahasa
Indonesia). Total alokasi APBN untuk dana BOS Buku
Depdiknas tahun 2007 mencapai Rp.595.141.537.400,00. Mulai
tahun 2007, BOS buku juga diberikan kepada siswa SMP
Terbuka. Tata cara pengalokasian BOS Buku mengikuti tata cara
yang dipakai untuk BOS Tunai.
Menurut penelitian Balitbang Depdiknas, program BOS
buku telah memberikan dampak positif sebagai berikut (Lakip
2005-2008): (i) BOS Buku telah menurunkan biaya pendidikan
sebesar 11.77% (setelah memperhitungkan tingkat inflasi 2006
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
15
sebesar 6.6%) dibandingkan dengan sebelum program BOS
Buku diluncurkan. Rerata jumlah dana yang dikeluarkan oleh
orang tua untuk pembelian buku teks pada tahun ajaran
2005/2006 yang sebesar Rp.133.720 turun menjadi Rp.125.762
pada tahun 2006/2007, dan (ii) Sebanyak 97.3% orang tua
menyatakan keberadaan program BOS Buku meringankan
beban pembiayaan mereka.
2.2. Analisa dan Pembahasan
2.2.1. BOS dengan Keberpihakan terhadap Masyarakat
Miskin
Sebagian besar penerima dana BOS tersebut terpusat di
Pulau Jawa yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Jika dilihat lebih lanjut, distribusi alokasi dana BOS antara
periode tahun 2005-2007, masih menunjukkan tingginya
disparitas antar wilayah penerima dana BOS.
Berdasarkan gambar berikut, terlihat bahwa program
BOS belum banyak menyentuh orang miskin. Hal ini dapat dilihat
dari propinsi-propinsi yang memiliki persentase penduduk miskin
paling besar seperti Papua, Papua Barat, Maluku dan Gorontalo
belum memanfaatkan program BOS secara optimal. Dengan
perkataan lain, jika tujuan BOS adalah bertujuan untuk
membebaskan biaya pendidikan bagi siswa miskin dalam rangka
penuntasan wajib belajar 9 tahun seperti pada panduan BOS
2006, maka seharusnya dana BOS lebih banyak dikucurkan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
16
untuk propinsi yang memiliki presentase penduduk miskin
terbesar, seperti Papua dan Maluku.
Gambar 2.4 Alokasi Dana BOS dan Penduduk Miskin Tahun 2007
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
NA
D
Su
mu
t
Su
mb
ar
Ria
u
Jam
bi
Su
mse
l
Be
ng
ku
lu
La
mp
un
g
Ba
be
l
Ke
pri
DK
I Ja
ka
rta
Jab
ar
Jate
ng
DIY
Jati
m
Ba
nte
n
Ba
li
NT
B
NT
T
Ka
lba
r
Ka
lte
ng
Ka
lse
l
Ka
ltim
Su
lut
Su
lte
ng
Su
lse
l
Su
ltra
Go
ron
talo
Su
lba
r
Ma
luk
u
Ma
luk
u U
tara
Pa
pu
a
Pa
pu
a B
ara
t
Alokasi Dana BOS Presentase Penduduk Miskin Terhadap Total Penduduk Propinsi
Sumber: Depdiknas, diolah
2.2.2. BOS dan Percepatan Wajardikdas
Program BOS bertujuan untuk mempercepat penuntasan
Wajib Belajar 9 tahun, dimana seperti diketahui salah satu
indikator keberhasilan Wajardikdas adalah angka partisipasi
kasar. Gambar berikut menunjukkan bahwa sepertinya tidak ada
hubungan antara dana BOS dengan APK SD pada tahun 2007.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
17
Hal ini terlihat bahwa propinsi seperti Bali, Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi yang memiliki APK SD
diatas rata-rata nasional, walaupun mereka hanya menerima
dana BOS sedikit.
Gambar 2.5 APK SD dan BOS SD Tahun 2007
NAD
Sumut
Sumbar
R i a u;
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
B a l i
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng Sulsel
Sulbar
Sultra
Maluku
Banten
105
107
109
111
113
115
117
119
121
123
125
40 240 440 640 840 1.040 1.240 1.440 1.640 1.840
AP
K S
D
BOS SD
Sumber: Depdiknas, diolah
Hal yang serupa juga terjadi pada BOS SMP, dimana
tidak terlihat adanya hubungan dana BOS SMP dengan APK
SMP tahun 2007. Kasus yang sangat ekstrem dapat dilihat pada
Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Propinsi Jawa Barat
adalah provinsi penerima dana BOS terbesar dibandingkan
provinsi-provinsi lain pada tahun 2007, namun memiliki APK
SMP masih dibawah rata-rata nasional. Di sisi lain, DIY yang
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
18
menerima dana BOS terkecil pada tahun 2007, tetapi memiliki
APK SMP paling tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi
lain.
Gambar 2.6 APK SMP dan BOS SMP Tahun 2007
NAD Sumut
Sumbar
R i a u;
Sumsel
Lampung
DKI Jakarta
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
B a l i
NTB
NTT
Kalbar
Kaltim
Sulsel
Banten
45
55
65
75
85
95
105
40 140 240 340 440 540
AP
K S
MP
BOS SMP
Sumber: Depdiknas, diolah
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dana BOS tidak
terlalu signifikan dalam meningkatkan APK SD, masih banyak
faktor lain yang mempengaruhi outcomes Wajardikdas. Hal ini
sejalan dengan hasil temuan di lapangan dimana hanya sekitar
67,86% responden menyatakan bahwa program BOS
berdampak pada outcomes program Wajardikdas.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
19
2.2.3. BOS dan Jumlah Siswa Mengulang
Jumlah siswa mengulang SD mengalami penurunan yang
sangat drastis pada saat era BOS. Terjadi penurunan jumlah
siswa mengulang SD sebesar 16,7 persen dibandingkan
sebelum adanya program BOS, penurunan ini terus berlanjut
sampai 2007, yaitu turun sekitar 67,2 persen. Jika dilihat lebih
jauh, penurunan angka mengulang siswa SD Swasta lebih tinggi
dibandingkan SD Negeri yaitu sebesar 22,2 persen pada tahun
2006, sedangkan SD Negeri hanya sebesar 16,3 persen. Namun
demikian, kondisi ini berbalik pada tahun 2007, dimana
penurunan angka mengulang SD Negeri jauh lebih besar
dibandingkan SD Swasta, yaitu sebesar 68,72 persen.
Gambar 2.7 Jumlah Siswa Mengulang SD
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta
2004 2006 2007
Pra BOS Era BOS
1.118.678
71.628
935.452
55.723
292.608
32.262
Jumlah Siswa Mengulang SD
Sumber: Depdiknas, diolah
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
20
Lebih lanjut, jumlah siswa mengulang SMP mengalami
penurunan menjadi 15.755 siswa pada tahun 2007 (era BOS).
Jika dibandingkan dengan kondisi pra BOS pada tahun 2004,
penurunannya sebesar 58.46 persen. Akan tetapi, pada tahun
2006, satu tahun setelah program BOS diluncurkan, angka
mengulang siswa mengalami peningkatan sebesar 12.15 persen.
Namun demikian, jika dilihat secara keseluruhan jumlah siswa
mengulang SMP mengalami penurunan pada era BOS.
Gambar 2.8 Jumlah Siswa Mengulang SMP
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta
2004 2006 2007
Pra BOS Era BOS
27.837
10.088
30.645
11.887 11.362
4.393
Jumlah Siswa Mengulang SMP
Sumber: Depdiknas, diolah
Bila dibandingkan dengan antar SD dan SMP, maka penurunan
angka mengulang SD jauh lebih besar dibandingkan SMP pada
era BOS. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa ada indikasi
program BOS berdampak pada penurunan jumlah siswa
mengulang SD dan SMP. Namun demikian, hasil ini tidak dapat
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
21
mengatakan bahwa program BOS benar-benar berdampak pada
penurunan angka mengulang SD dan SMP, diperlukan model
lain untuk menerangkan lebih jauh hal tersebut. Karena
keterbatasan data tidak dapat dilakukan dalam studi ini.
2.2.4. BOS dan Jumlah Lulusan
Jika dibandingkan pada saat pra BOS (tahun 2004),
jumlah lulusan SD mengalami peningkatan pada saat era BOS
(tahun 2006) sebesar 11,9 persen. Peningkatan terjadi paling
besar di SD Swasta yaitu sebesar 4,4 persen. Hal ini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah lulusan SD pada era
BOS.
Berbeda dengan yang terjadi pada jenjang pendidikan
sekolah dasar, jumlah lulusan mengalami penurunan pada era
BOS menjadi 964.099 siswa pada tahun 2007 atau turun sekitar
59,29 persen pada pra BOS (tahun 2004). Walaupun pada tahun
2006, jumlah lulusan mengalami peningkatan, namun
perubahannya sangat sedikit sekali, sekitar 2,8 persen
dibandingkan pada era BOS (tahun 2004). Sehingga dapat
dikatakan bahwa adanya indikasi bahwa program BOS tidak
berdampak pada jumlah lulusan SMP.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
22
Gambar 2.9 Jumlah Lulusan SD
Negeri Swasta Negeri Swasta
2004 2006
Pra BOS Era BOS
3.411.647
245.614
3.444.374
256.498
Jumlah Lulusan SD
Sumber: Depdiknas, diolah
Gambar 2.10 Jumlah Lulusan SMP
Negeri Swasta Negeri Swasta Negeri Swasta
2004 2006 2007
Pra BOS Era BOS
1.769.617
598.722
1.800.587
635.919 666.275
297.824
Jumlah Lulusan SMP
Sumber: Depdiknas, diolah
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
23
2.3. Permasalahan
Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat beberapa
permasalahan dalam implementasi program BOS. Pertama,
formula penentuan alokasi dana yang didasarkan pada jumlah
siswa dirasa kurang adil bagi sekolah yang mempunyai jumlah
siswa sedikit, memiliki banyak guru honorer, berlokasi di tempat
terpencil, yang memiliki keterbatasan infrastruktur dan sekolah
khusus (SDLB dan SMPLB). Kedua, secara umum program BOS
cenderung dalam bentuk subsidi umum, dan manfaat yang
dirasakan siswa miskin dan tidak miskin hampir sama, karena
hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk siswa miskin.
Ketiga, sekolah yang menolak BOS umumnya sekolah yang
relatif kaya. Keputusan untuk menolak program BOS hanya
dilakukan secara sepihak oleh pengelola sekolah, tanpa
bermusyawarah dengan orang tua murid. Keempat, administrasi
pelaksanaan di tingkat sekolah terlalu banyak menyita waktu dan
perhatian kepala sekolah yang peranannya sangat krusial dalam
manajemen kegiatan belajar-mengajar, sehingga dikhawatirkan
justru akan berdampak negatif terhadap kegiatan belajar
mengajar. Kelima, sering terjadinya ketelambatan pencairan
dana BOS, yang mengakibatkan manajemen sekolah harus
mencari dana talangan. Keenam, banyak persepsi dari orang tua
murid yang salah bahwa program BOS membebaskan siswa dari
semua biaya.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
24
2.4. Implikasi Kebijakan
Secara umum Program BOS telah membantu
penyelenggaraan kegiatan belajar disekolah dan dalam batas-
batas tertentu telah mengurangi biaya beban biaya pendidikan
yang ditanggung orang tua murid. Dengan mempertimbangkan
manfaat yang telah terwujud dan potensi manfaat program
dimasa depan, disarankan agar program BOS terus dilanjutkan
dengan berbagai penyempurnaan konseptual dan teknis agar
manfaat program dapat lebih optimal. Selain itu, beberapa hal
yang perlu disempurnakan dalam teknis pelaksanaan program
adalah:
1. Kesamaan persepsi mengenai tujuan dan sasaran
program yang akan menjadi landasan bagi pelaksanaan
program, mulai dari tahap sosialisasi, pelaksanaan
sampai monitoring dan evaluasi. Agar tidak
membingungkan masyarakat dan pelaksana program.
Ada dua hal yang perlu mendapat penekanan, yaitu: (1)
bahwa program BOS hanya memenuhi pelayanan
minimum pendidikan, sehingga dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan tidak menutup partisipasi
dan kontribusi masyarakat, dan (2) sasaran utaama
program adalah untuk membebaskan biaya pendidikan
bagi masyarakat miskin sehingga tidak terjadi putus
sekolah.
2. Perlu rumusan formulasi alokasi dana yang lebih
proporsional dengan melibatkan variabel jumlah siswa,
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
25
jumlah guru honor, lokasi sekolah dan kondisi sekolah.
Khusus untuk sekolah tertentu seperti yang mempunyai
jumlah siswa sedikit, yang memiliki banyak guru honor,
banyak siswa miskin, sekolah khusus (SDLB atau
SMPLB), sekolah yang berlokasi di daerah terpencil perlu
memperoleh program/alokasi khusus dari APBN atau
APBD.
3. Untuk menjamin bahwa sekolah dan yayasan tidak
membuat keputusan penolakan BOS secara sepihak,
penolakan sekolah yang tidak bersedia menerima BOS
harus disertai surat keputusan hasil musyawarah antara
sekolah dengan dewan gurum komite sekolah dan
perwakilan orang tua murid
4. Pencairan dana seharusnya tidak dibebani dengan
persyaratan-persyaratan tambahan yang memperpanjang
birokrasi, kecuali yang sudah ditetapkan dalam buku
pedoman.
5. Tidak diperlukan adanya pengaturan batas waktu
pengambilan dana, mengingat kebutuhan sekolah tiap
bulan tidak selalu sama. Disamping itu, perlu dipertegas
bahwa pencairan dan penggunaan dana tidak dibatasi
hanya satu semester saja.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
26
BAB III
DESENTRALISASI PENDIDIKAN
3.1. Kerangka Kebijakan Desentralisasi Pendidikan
Sejak ditetapkan Undang-Undang no.22 Tahun 1999
Tentang Otonomi Daerah, sistem pemerintahan di Indonesia
mengalami reformasi sistem pemerintahan yang sentralistis
kepada pemerintahan yang lebih otonom dan terdesetralisasi.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah ini,
ditetapkan pula Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Sejak saat itu, dinamika pembangunan Indonesia dari sisi
pemerintahan dan keuangan mengalami perubahan yang
fundamental. Pemerintah daerah dengan kewenangan yang lebih
luas dituntut untuk dapat mengoptimalkan pembangunan di
daerahnya, dengan sumber daya manusia dan sumber daya
keuangan yang dimiliki untuk dapat menyelenggarakan otonomi
daerah. Kemudian Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah ditetap sebagai pengganti kedua undang-undang di atas.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
27
Tabel 3.1 Urusan Wajib Yang Menjadi Kewenangan
Pemerintah Daerah
Provinsi Kabupaten/ Kota
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan; e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup; j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Sumber: Disarikan dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
28
Berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004,
pemerintah daerah memiliki otonom yang seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
terkecuali kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-
Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah Pusat1.
Sementara itu, urusan-urusan wajib yang menjadi kewenangan
daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota meliputi
perencanaan dan pengendalian pembangunan, pelayanan
umum, pendidikan, kesehatan, kependudukan dan pelayanan
dasar lainnya. Secara umum urusan wajib yang menjadi
kewenangan provinsi dan kabupaten/kota adalah sama, yang
membedakan adalah cakupan urusannya dimana untuk provinsi
lebih pada urusan-urusan yang mencakup lintas kabupaten/kota.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan
kabupaten/ kota secara detail disajikan pada tabel di atas.
Berdasarkan undang-undang di ataslah desentralisasi
pendidikan dilaksanakan. Sejumlah urusan dalam pembangunan
bidang pendidikan didesentralisasikan kepada pemerintah
daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah
kabupaten/kota. Gagasan desentralisasi pendidikan
sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru dalam
pembangunan pendidikan. Melalui Undang-Undang Nomor 3
tahun 1947 daerah diberikan kewenangan untuk
menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya,
1 Urusan Pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah Pusat meliputi: politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal nasional. (UU No.32 Tahun 2004, Pasal 10, ayat 3).
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
29
utamanya dalam bidang pertukangan dan kepandaian putri.
Beberapa tahun kemudian melalui Undang-Undang No. 4 Tahun
1950 dan PP Nomor 65 Tahun 1951 kewenangan pengelolaan
pendidikan dasar berada pada pemerintah daerah. Dengan
landasan hukum yang sama pula pihak swasta dapat turut serta
dalam mendirikan sekolah.
Secara konseptual desentralisasi pendidikan dapat
diterjemahkan sebagai pendelegasian sebagian atau seluruh
kewenangan di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan
oleh pejabat pusat atau pejabat di bawahnya atau dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dari
pemerintah kepada masyarakat (Catur Ratna, 2008). Sementara
itu, Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan
desentralisasi pendidikan dalam 2 definisi. Pertama,
desentralisasi pendidikan dalam arti desentralisasi pemerintahan
dalam bidang pendidikan. Dalam definisi ini diharapkan dengan
desentralisasi pendidikan dapat mewujudkan pemerintahan
daerah yang otonom dalam pengelolaan pendidikan. Kedua
adalah desentralisasi pada satuan pendidikan. Dalam definisi ini
desentralisasi pendidikan ditujukan untuk mewujudkan
lembaga/satuan pendidikan yang mandiri dan profesional.
Konsep desentralisasi pendidikan sendiri diharapkan dapat
mencapai pengelolaan pendidikan yang efisien, demokratis dan
berkeadilan.
Secara umum kewenangan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dalam bidang pendidikan adalah dalam hal
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
30
penyelenggaraan pendidikan ditambah dengan kewenangan
provinsi dalam hal alokasi sumber daya manusia potensial.
Namun kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara
Pemerintah (pusat), Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; pemerintah merumuskan
kebijakan yang lebih detail dan bersifat teknis terutama berkaitan
dengan kewenangan dalam urusan pendidikan. Kewenangan
urusan pendidikan ini sendiri dibedakan atas 4 bidang, yaitu:
Kebijakan, Pembiayaan, Kurikulum, Sarana Prasana, Pendidikan
dan Tenaga Kependidikan, serta Pengendalian Mutu Pendidikan
(Detail Pembagian Urusan dimaksud terlampir).
Dalam konteks pelaksanaan Program Wajardikdas 9
tahun, kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/
kota untuk pendidikan dasar dan menengah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 disusun sebagai
berikut:
1. Bidang Kebijakan strategis di tingkat nasional menjadi
kewenangan pemerintah pusat, kebijakan strategis di
tingkat provinsi kewenangan pemerintahan provinsi
sementara kebijakan yang bersifat operasional menjadi
kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
2. Bidang Pembiayaan di tingkat nasional menjadi
kewenangan pemerintah pusat, pendidikan dasar dan
menengah yang bertaraf internasional kewenangan
pemerintah provinsi sementara pendidikan dasar dan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
31
menengah secara umum menjadi kewenangan pemerintah
kabupaten/ kota.
3. Bidang Kurikulum ditetapkan oleh pemerintah pusat
sementara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
mempunyai kewenangan dalam hal sosialisasi kurikulum
sesuai kewenangannya masing-masing.
4. Bidang Sarana dan Prasarana merupakan kewenangan
pemerintah pusat utamanya dalam hal monitoring dan
evaluasi sementara dalam hal pengawasan menjadi
kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-
masing.
5. Bidang Pendidik dan Tenaga Pendidikan secara
nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat,
pendidikan dasar dan menengah bertaraf internasional
menjadi kewenangan pemerintahan provinsi sementara
pendidikan dasar dan menengah menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota.
6. Bidang Pengendalian Mutu pemerintah pusat, provinsi
dan kabupaten mempunyai kewenangan dalam hal
penetapan, supervisi dan monitoring evaluasi sesuai
dengan kewenangannya masing-masing.
Dengan pembagian kewenangan di atas, diharapkan
pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
(Wajardikdas 9 Tahun) dalam konteks desentralisasi dapat
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
32
mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah secara
makro dan lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat
secara mikro. Hal Ini sejalan dengan sasaran Wajardikdas 9
tahun utamanya dalam perluasan dan pemerataan akses
pendidikan dasar 9 tahun.
3.2. Pembiayaan Dalam Kerangka Desentralisasi
Pendidikan
3.2.1. Desentralisasi Fiskal
Sejalan dengan pembagian kewenangan di atas, juga
dilaksanakan desentralisasi fiskal untuk mendukung pelaksanaan
otonomi dan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi fiskal
dicerminkan oleh adanya pos dana perimbangan dalam APBD
daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dana
perimbangan ini bersumber dari APBN dan dialokasikan kepada
pemerintah daerah melalui beberapa mekanisme, yaitu: Dana
Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Perbantuan. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
pemerintah Daerah menyebutkan spesifikasi masing-masing
komponen sebagai berikut:
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
33
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional.
Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN
yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah
yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran
dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk
dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di
daerah.
Dana Tugas Perbantuan adalah dana yang berasal dari
APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup
semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka
pelaksanaan Tugas Pembantuan.
Sementara itu, pemerintah daerah juga memiliki sumber
pendapatannya sendiri sebagai sumber pembiayaan
pembangunan daerah, diantaranya pajak daerah, retribusi
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
34
daerah dan pendapatan lainnya. Sumber-sumber pembiayaan
baik yang bersumber dari APBN maupun APBD inilah yang
digunakan untuk membiayai pembangunan daerah sesuai
dengan arah dan prioritas pembangunan di daerah. Mekanisme
yang serupa juga berlaku bagi pembiayaan pembangunan
pendidikan di daerah. Sumber-sumber seperti dana bagi hasil,
DAU dan Pendapatan Asli Daerah dikumpulkan dalam pos
pendapatan daerah dan dialokasikan ke tiap-tiap bidang-
termasuk pendidikan- sesuai dengan arah dan prioritas daerah
sementara sumber-sumber seperti DAK, Dana Dekonsentralisasi
dan Dana Tugas Perbantuan dialokasikan pada bidang-bidang
tertentu sesuai dengan peruntukkan yang telah ditentukan oleh
pemerintah termasuk pembiayaan bidang pendidikan.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
35
Gambar 3.1 Alur Pembiayaan Pendidikan Nasional
Pembiayaan bidang pendidikan secara umum sejalan
dengan mekanisme pembiayaan pembangunan daerah dalam
kerangka desentralisasi di atas. Melalui prioritas tertentu dalam
pembangunan di masing-masing daerah, bidang pendidikan
memperoleh sumber pembiayaan dari komponen PAD, DAU dan
dana bagi hasil. Sementara itu, bidang pendidikan secara khusus
dibiayai pula oleh DAK, dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Perbantuan khusus untuk bidang pendidikan. Dana
APBN
Belanja Pusat
Belanja Daerah
Depdiknas Depag K/L Lainnya
Satuan Pendidikan – Tenaga Pendidik – Peserta Didik
DAU DAK Bagi Hasil
APBD-Prop
APBD-Kab/Kota
Tugas Perbantuan
Diknasprop
Diknas Kab/Kota
Blo
ck
Gra
nt
Perimbangan
Dekonsentrasi
Dek
on.
Pro
vins
i
AP
BD
P
end
idik
an
Dek
on. K
ab/
kota
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
36
Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan dialokasikan melalui
mekanisme pembiayaan APBN kepada Departemen Pendidikan
Nasional dan Departemen Agama yang dialokasikan kembali
kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu,
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama
mengalokasikan dana langsung kepada satuan pendidikan,
tenaga pendidik maupun peserta didik melalui mekanisme block
grant. Melalui mekanisme yang serupa, pembiayaan pendidikan
juga dilaksanakan melalui mekanisme APBD Provinsi dan
Kabupate/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Secara detail alur pembiayaan pembangunan bidang pendidikan
seperti pada Gambar di atas.
3.2.2. Pembiayaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Program Wajardikdas 9 Tahun dapat dikatakan
sebagai program yang krusial dapat pembangunan
nasional utamanya dalam pembangunan jangka menengah
2005-2009. Bahkan Program Wajardikdas ini dapat
dikatakan sebagai program utama Departemen Pendidikan
Nasional. Hal ini dapat dilihat tidak saja dari alokasi
anggaran untuk program Wajardikdas 9 Tahun yang terus
meningkat setiap tahun tetap juga porsinya yang cukup
besar dibandingkan dengan program-program lainnya yang
dilaksanakan oleh Depdiknas. Dari Gambar berikut tampak
bahwa porsi anggaran untuk Wajardikdas 9 tahun terus
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
37
mengalami peningkatan tiap tahunnya, dari 41,9 persen di
tahun 2005 hingga mencapai 48,19 persen di tahun 2008.
secara nominal anggaran Program Wajardikdas juga terus
mengalami peningkatan dari Rp.10,82 Miliar di tahun 2005
hingga Rp.23,96 Miliar di tahun 2008.
Gambar 3.2 Perkembangan Alokasi Anggaran Program
Wajardikdas 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional
48,19%
46,13%50,15%
41,90%
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
2005 2006 2007 2008
Rp. Miliar
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%Wajardikdas 9 Tahun
Total Belanja Depdiknas
% Anggaran Wajardikdas 9 Tahun
Sumber: www.depdiknas.go.id
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
38
Gambar 3.3 Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK) 2004-2007
6,7%
4,2%
29,5%42,1%38,3% 33,0%
23,0%
30,4%
30,5%
25,3%
16,1%
19,8%
15,5%
20,8%
10,8%6,4%
8,0%8,7%9,5%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2004 2005 2006 2007
Infrastruktur
Pendidikan
Kesehatan
Kelautan Perikanan
PertanianPrasarana Pemerintahan
Keterangan: - Alokasi DAK bidang Pertanian sejak tahun 2005. - Alokasi DAK Bidang Lingkungan Hidup sejak 2006 - Alokasi Infrastruktur sejak tahun 2005 termasuk infrastruktur air bersih. Sumber: Departemen Keuangan, berbagai periode, diolah.
Salah satu komponen yang erat kaitannya dengan
Pelaksanaan Wajardikdas dalam kerangka desentralisasi adalah
DAK bidang Pendidikan. DAK bidang pendidikan ini bersumber
dari APBN dan dialokasikan ke daerah untuk membantu
pembangunan dan rehabilitasi fisik sarana pendidikan khususnya
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
39
pendidikan dasar 9 tahun. Porsi alokasi DAK Pendidikan relatif
cukup besar dibandingkan alokasi DAK untuk bidang lainnya.
Dari Gambar berikut ini tampak bahwa sepanjang 2004-2007,
porsi alokasi DAK Pendidikan rata-rata adalah 27,28 persen dari
total alokasi DAK setiap tahun. Porsi ini tertinggi setelah DAK
bidang Infrastuktur dengan porsi rata-rata sebesar 35,71 persen
setiap tahunnya.
DAK pendidikan sendiri sangat erat kaitannya dengan
desentralisasi pendidikan. Pertama, karena alokasi DAK
Pendidikan memprasyaratkan adanya Dana pendamping dari
APBD yang besarnya minimal 10 persen dari alokasi dana DAK.
Hal ini mendorong peran serta pemerintah daerah pembangunan
bidang pendidikan, dalam hal ini rehabilitasi fisik. Kedua, DAK
pendidikan diprioritaskan pada daerah-daerah yang memiliki
kemampuan fiskal relatif lebih rendah dibandingkan daerah
lainnya di Indonesia2. Ketiga, DAK Pendidikan diprioritaskan bagi
daerah-daerah tertinggal dan terpencil, daerah pesisir dan
kepulauan, daerah perbatasan, daerah rawan banjir, daerah
rawan pangan serta kriteria-kriteria lainnya terkait dengan
karakteristik daerah. Keempat, alokasi DAK Pendidikan dikelola
langsung oleh sekolah sebagai satuan pendidikan terendah.
3.2.3. Anggaran Pemerintah Daerah
2 Tahun 2006 mengunakan acuan Indeks Fiskal Netto dibawah 1, sedangkan tahun 2007
menngunakan dasar penerimaan umum dikurangi belanja pegawai.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
40
Salah satu tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk
lebih mengoptimalkan pembangunan bidang pendidikan.
Pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota
memiliki kewenangannya masing-masing untuk merencanakan
dan melaksanakan pembangunan pendidikan di daerahnya.
Kewenangan yang lebih luas ini didukung pula oleh dukungan
pembiayaan pemerintah, baik melalui kementerian/ lembaga
terkait maupun melalui mekanisme dana perimbangan.
Disamping itu, terdapat sumber-sumber pembiayaan baik yang
bersumber dari APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota.
Sejalan dengan desentralisasi pendidikan, masing-
masing instansi dan tingkatan pemerintahan memainkan
peranannya masing-masing dalam pembiayaan pendidikan.
Dengan kata lain dengan prinsip “money follow function”,
desentralisasi pendidikan tidak saja dapat dilihat dari pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota tetapi juga dari kontribusi masing-masing tingkat
pemerintahan terhadap pembiayaan bidang pendidikan. Hal ini
dapat dilihat dari kontribusi pemerintah kabupaten terhadap total
belanja pendidikan dasar 9 tahun secara nasional. Pada gambar
di bawah ini dapat dilihat bahwa kontribusi rata-rata pemerintah
kabupaten/ kota sepanjang 2004-2006 mencapai di atas 50
persen.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
41
Data Anggaran pendidikan di Era Desentralisasi
Berbagai kebijakan juga dilahirkan dalam periode
desentralisasi pendidikan. Salah satunya kebijakan dalam
akuntansi pemerintahan. Berdasarkan Kepmendagri
No.29 Tahun 2002, Struktur keuangan pemerintah daerah
berubah dari sektoral-based menjadi economic-based.
Hal ini menjadi isu tersendiri untuk menganalisis
anggaran pendidikan tidak saja pada tingkat
kabupaten/kota tetapi juga tingkat provinsi. Sebelum
2003, analisis terhadap anggaran sektoral lebih mudah
dilaksanakan dengan data sekunder berupa pelaporan
anggaran Provinsi atau kabupaten/kota yang terpublikasi
di Departemen Keuangan (www.dijk.go.id). Namun
setelah 2003, sejalan dengan kebijakan struktur anggaran
pemerintah data sekunder tersebut tidak lagi disajikan
dalam struktur sektoral, namun menurut ekonomi. Untuk
dapat menganalisis anggaran pemerintah pada bidang
pendidikan secara lebih baik, dibutuhkan rincian
anggaran yang ada di masing-masing kabupaten/kota.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
42
Gambar 3.4 Kontribusi Pemerintahan dalam Belanja Pendidikan
Dasar 9 Tahun 7
1,4
%
64
,4%
67
,2%
64
,5%
65
,7%
67
,9%
68
,7%
64
,9%
67
,5%
21
,9%
29
,6%
27
,5%
19
,7%
18
,3%
17
,9%
21
,0%
25
,5%
24
,0%
3,2%4,0%4,0%4,4%
5,5%5,1%
2,5%3,1%3,3%
5,3%5,6%6,2%9,7%10,4%10,7%2,7%2,9%3,4%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2004 2005 2006 2004 2005 2006 2004 2005 2006
SD/MI SMP/MTs Total
Pemerintah
Provinsi
Depag
Depdiknas
Pemerintah
Kabupaten/
Kota
Sumber: Laporan Pencapaian MDGs 2007, Bappenas, 2007, diolah.
Besaran ini termasuk juga gaji tenaga pendidik dan
tenaga kependidikan dimana dalam sistem keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah termasuk anggaran yang
didesentralisasikan melalui Dana Alokasi Umum. Sementara itu,
DAU masih merupakan sumber penerimaan utama keuangan
pemerintah daerah. Baik di tingkat kabupaten maupun kota, DAU
berkontribusi hampir 70 persen dari total penerimaan APBD
pemerintah daerah. Dari Gambar di bawah ini tampak bahwa
kontribusi DAU terhadap penerimaan pemerintah daerah kota
relatif lebih rendah dibandingkan kabupaten, namun secara
umum rata-rata kontribusi DAU hampir mencapai 70 persen. Hal
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
43
ini menjadi satu indikasi masih besarnya peran pemerintah pusat
dalam pembiayaan pendidikan dasar, di luar belanja pemerintah
pusat sendiri.
Gambar 3.5 Kontribusi DAU terhadap Total Penerimaan APBD
Kabupaten Kota
Kabupaten;
76,96%
69,30%68,98%Kota;
68,23%
61,53%61,51%
50%
55%
60%
65%
70%
75%
80%
2004 2005 2006
Sumber: Departemen Keuangan, diolah.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengamatkan
besaran anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total
anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD (Pasal 31 ayat
4). Bahkan Dalam UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 49, tentang
Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa angka minimal 20
persen tersebut tidak termasuk gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan. Di sisi makro, kebijakan ini menjadi satu
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
44
indikator semakin besarnya perhatian pemerintah dalam
memenuhi hak dasar masyarakat atas pendidikan dasar. Namun
di sisi mikro hal ini menjadi tantangan baik bagi instansi teknis
maupun pemerintahan daerah untuk dapat melaksanakan
pelayanan pendidikan dasar lebih efektif dan efisien.
3.3. Capaian Wajardikdas dalam Kerangka Desentralisasi
Target pembangunan pendidikan sampai dengan tahun
2009 adalah mempertahankan APM-SD pada tingkat 95 persen,
memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 98 persen serta
menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas
hingga 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan
pemerataan dan perluasan akses pendidikan difokuskan pada
pendidikan dasar dan menengah.
Kebijakan pemerataan dan perluasan pembangunan
pendidikan melalui program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
Tahun bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan
pelayanan pendidikan dasar sehingga semua anak usia 7-15
tahun dalam memperoleh pendidikan, dapat memperoleh
pendidikan setidak-tidaknya sampai sekolah menengah pertama
atau sederajat. Sedangkan upaya mengurangi kesenjangan
pambangunan antara daerah dilakukan melalui desentralisasi
pendidikan.
Target penurunan kesenjangan pendidikan antar daerah
untuk pendidikan dasar adalah penurunan disparitas APK antara
kabupaten dan kota dari 2,49 persen pada tahun 2004 menjadi 2
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
45
persen pada tahun 2009. Sementara itu, untuk tingkat pendidikan
menengah pertama menurunkan disparitas antara kabupaten
dan kota dari 25,14 persen di tahun 2004 menjadi 13 persen di
tahun 2009.
Gambar 3.6 Target dan Realisasi Disparitas APM
Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota
19,0%
23,0%
25,1%25,1% 23,0%23,4%
25,1%25,1%
2,49% 2,49%
2,40%
2,30%
2,49% 2,49%
2,43%
2,40%
10%
12%
14%
16%
18%
20%
22%
24%
26%
28%
2004 2005 2006 2007
Disparitas APK SD
2,0%
2,1%
2,2%
2,3%
2,4%
2,5%
2,6%
2,7%
2,8%
2,9%
3,0%
Disparitas APK SMP
Target SMP Realisasi SMP Target SD Realisasi SD
Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah, Departemen Pendidikan Nasional,
2007, diolah.
Capaian penurunan APK antara Kabupaten dengan Kota
baik pada tingkat SD dan sederajat maupun SMP dan sederajat
menunjukkan hasil yang positif, yaitu disparitas APK SD
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
46
Kabupaten dengan Kota turun dari 2,49 persen pada tahun 2004
menjadi 2,4 persen di tahun 2007. Sedangkan disparitas APK
SMP Kabupaten dengan Kota turun dari 25,1 persen di tahun
2004 menjadi 23 persen di tahun 2007. Namun, beberapa
permasalahan masih menjadi kendala dan menyebabkan kurang
optimalnya pencapaian target-target dalam pemerataan
pendidikan dasar 9 tahun sehingga capaian belum memenuhi
target.
Beberapa hal yang menunjukkan belum optimalnya
pemerataan akses pendidikan 9 tahun khususnya dalam
kerangka desentralisasi pendididikan adalah: Pertama, masih
terdapat provinsi-provinsi dengan akses pendidikan di bawah
rata-rata nasional. Pada tahun 2007, provinsi-provinsi yang
memiliki APM dan APK di bawah rata-rata nasional sebanyak 14
provinsi, diantaranya adalah Papua, Sulawesi Barat, Riau,
Bengkulu dan Sumatra Utara. Sedangkan provinsi yang memiliki
APM dan APK di atas rata-rata nasional sebanyak enam
provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Jawa Barat,
Lampung, dan Sumatera Barat. Sementara itu, provinsi yang
memiliki salah satu APK atau APM tingkat SD di atas rata-rata
nasional sebanyak 13 provinsi, diantaranya adalah DKI jakarta,
Sawesi Tenggara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
47
Gambar 3.7 APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
Gambar 3.8 APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama
2007
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
R i a u
B a l i
NTT
Papua
NAD
Sumut
Sumbar
Kepri
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
JabarJateng
DIY
Jatim
NTB
Kalbar
Kalteng
Kalsel
KaltimSulut
Sulteng
Sulsel
Sulbar
Sultra
Maluku
Malut
Papua Barat
Banten
Babel
Gorontalo
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
105 107 109 111 113 115 117 119 121 123 125
APK SD
AP
M S
D
Indonesia: 94,90
Indonesia: 115,51III
IV I
II
Bali
NTT
NADSumut
Sumbar
RiauKepri
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
NTB
Kalbar
Kalteng Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sulbar
Sultra
Maluku
Malut
Papua
Papua Barat
Banten
Babel
Gorontalo
55
57
59
61
63
65
67
69
71
73
75
77
79
81
83
85
87
89
50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105
APK SMP
AP
M S
MP Indonesia: 71,60
Indonesia: 85,15
III
IV I
II
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
48
Untuk APK-APM tingkat SMP tahun 2007 menunjukkan
provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM di bawah rata-rata
nasional sejumlah 16 provinsi diantaranya adalah Papua,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan NTT. Sedangkan
provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM di atas rata-rata
nasional 12 provinsi diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali,
Riau dan Sumatra Utara. Sedangkan lima provinsi memiliki APK
atau APM di bawah rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan
kesenjangan APK-APM di tingkat SMP masih cukup besar.
Kedua, masih banyak provinsi yang mempunyai
disparitas pendidikan antara kabupaten-kota di dalam provinsi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan disparitas kabupaten-kota
secara nasional. Setengah lebih provinsi masih memiliki
disparitas APK-APM tingkat SD kabupaten-kota dan disparitas
APK-APM tingkat SMP kabupaten kota di atas rata-rata nasional.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
49
Gambar 3.9 Disparitas APK-APM Antara Kabupaten-Kota Dalam
Provinsi 2007
Disparitas APM SD/MI Kabupaten - Kota 2007
8,277,376,336,125,75
4,654,474,293,903,853,663,113,042,832,732,622,57
2,202,181,841,791,771,761,741,691,461,400,870,760,520,360,340,15
-1020304050
Kepulauan RiauPapua Barat
PapuaBengkulu
M a l u k uNTT
Sumatera UtaraKalteng
NADNTB
BantenBangka Belitung
DKI JakartaSumatera Barat
Kalimantan BaratGorontalo
KalselIndonesia
Jawa BaratJawa Timur
Kalimantan TimurSulawesi Tengah
DI YogyakartaMaluku Utara
B a l iSulawesi Selatan
Sumatera SelatanJ a m b i
Sulawesi TenggaraSulawesi Utara
Jawa TengahLampung
R i a u
Disparitas APM SMP/MTs Kabupaten - Kota 2007
40,1436,22
27,3126,9226,5826,3126,06
25,0924,8424,7324,71
23,9823,6623,58
21,9421,9321,87
20,5320,06
19,4919,2919,2418,7018,3918,11
16,4915,02
11,4110,9510,76
9,946,78
1,23
- 10 20 30 40 50
KaltengNTTSumatera BaratKalimantan BaratSulawesi TengahBantenPapuaPapua BaratSumatera UtaraGorontaloBangka BelitungJawa BaratDI YogyakartaBengkuluDKI JakartaKalselMalukuNADIndonesiaJawa TengahLampungSumatera SelatanKepulauan RiauBaliKalimantan TimurJawa TimurSulawesi TenggaraSulawesi SelatanJambiNTBRiauSulawesi UtaraMaluku Utara
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
50
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.
3.4. Permasalahan
Dari uraian di atas secara umum dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan program Wajardikdas utamanya sepanjang tahun
2004-2007 menunjukkan pencapaian-pencapaian yang cukup
berarti. Dalam konteks desentralisasi, hal ini berarti pula
Disparitas APK SD/MI Kabupaten - Kota 2007
22,9520,0719,7718,8718,0817,9717,89
13,5113,2013,0812,5611,6711,24
9,689,388,368,257,056,336,085,765,764,973,933,51
3,363,303,232,422,411,751,280,17
-102030405060
BengkuluSumatera Barat
DI YogyakartaB a l i
Sulawesi TengahGorontalo
Kalimantan TimurSulawesi Utara
Kalimantan BaratNusa Tenggara Barat
Kalimantan SelatanKepulauan Riau
DKI JakartaPapua
Sulawesi TenggaraJawa TimurJawa BaratM a l u k u
Nanggroe Aceh DarussalamIndonesia
Sumatera UtaraKalimantan Tengah
Papua BaratNusa Tenggara Timur
Bangka BelitungSulawesi Selatan
Sumatera SelatanLampung
BantenJ a m b i
Jawa TengahR i a u
Maluku Utara
Disparitas APK SMP/MTs Kabupaten - Kota 2007
51,645,3
34,133,333,132,832,232,132,0
30,830,430,1
29,428,728,3
27,125,725,6
23,923,523,523,222,822,622,6
18,417,9
13,712,111,611,0
8,61,3
- 10 20 30 40 50 60
Kalimantan TengahNusa Tenggara TimurKalimantan BaratSumatera BaratSulawesi TengahPapuaPapua BaratBantenGorontaloBangka BelitungDI YogyakartaSumatera UtaraBengkuluJawa BaratDKI JakartaMalukuNanggroe Aceh DarussalamKalimantan SelatanIndonesiaSumatera SelatanKepulauan RiauJawa TengahKalimantan TimurBaliLampungSulawesi TenggaraJawa TimurSulawesi SelatanNusa Tenggara BaratJambiRiauSulawesi UtaraMaluku Utara
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
51
menurunkan kesenjangan atau disparitas akses pendidikan antar
daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan kata lain,
desentralisasi pendidikan dapat dikatakan mempunyai dorongan-
dorongan yang positif terhadap pelaksanaan dan pencapaian
program Wajardikdas 9 tahun. Namun, untuk catatan
pelaksanaan dan pengembangan program Wajardikdas ke
depan, beberapa permasalahan perlu menjadi perhatian
pemerintah dan stakeholder pendidikan dasar secara umum.
Gambar 3.10 Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan 2007
35,850,857,058,559,664,0
77,290,890,995,397,5103,5108,0114,1125,4127,6130,1138,3143,4144,2147,6149,9161,2162,4
218,7219,9225,6
237,3294,2
314,8323,3
482,6508,1
- 100 200 300 400 500 600 700
K e pulauan R iauR iau
G orontaloY og yakarta
S ulbarK altim
B ang ka B e litungB ante n
Maluku UtaraJ ambi
Papua B aratMaluku
B aliB e ng kulu
S ulte ngNTB
K als e lK alte ng
S ultraS ulut
S uls e lL ampung
K albarR ata-R ata
NTTS umbar
NADPapuaS uls e lS umut
J awa B aratJ awa Te ng ah
J awa Timur
R p. Miliar
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
52
Pertama, penetapan besarnya anggaran program
pendidikan di tingkat pemerintahan daerah sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, besaran dan
komposisi alokasi anggaran pendidikan termasuk pendidikan
dasar juga bervariasi. Namun secara umum alokasi anggaran
pendidikan masih terfokus pada kegiatan-kegiatan yang bersifat
fisik. Sebagai konsekuensinya, masih terbatasnya anggaran
yang berkaitan langsung dengan peserta didik atau layanan
pendidikan. Hal ini erat kaitannya dengan instrumen penerimaan
pemerintah daerah yang secara umum masih banyak bersumber
dari alokasi dana perimbangan pemerintah pusat, utamanya
DAU dan DAK. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pula inisiatif
dari pemerintah daerah untuk mendorong percepatan
pencapaian Wajardikdas 9 tahun yang diikuti oleh pembiayaan
dari sumber Pendapatan Asli Daerah.
Kedua, masih lebarnya kesenjangan alokasi anggaran
pemerintah daerah kepada sektor pendidikan. Di tingkat provinsi
misalnya, kesenjangan yang cukup lebar tampak dari anggaran
untuk pendidikan dasar dan menengah per jumlah penduduk
usia 7-15 tahun di provinsi-provinsi seperti Gorontalo, Maluku
Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung justru jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan provinsi seperti Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, Lampung dan Jawa Barat. Selain itu juga, masih
banyak provinsi-provinsi yang alokasi anggarannya pendidikan
dasar dan menengahnya per jumlah penduduk 7-12 tahun ini di
bawah rata-rata nasional. Jika dilihat secara nominal, anggaran
untuk pendidikan dasar dan menengah di tiap-tiap provinsi bisa
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
53
jadi terlihat relatif cukup besar. Namun besarnya jumlah
penduduk usia 7-15 tahun sebagai target pelayanan pendidikan
dasar dan menengah sangat mempengaruhi memadai atau
tidaknya anggaran yang di alokasikan.
Gambar 3.11 Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah Per
Penduduk Usia 7-15 Tahun
328,1352,6358,6361,2364,6369,1376,5379,6388,8
410,5419,3
432,4451,7451,7461,6473,6476,9
495,3503,6508,2
523,3543,8
558,2563,8573,0
618,4620,4622,8629,6642,3
662,9693,6
729,3
- 100 200 300 400 500 600 700 800 900
J awa T imurB anten
Nus a T eng g ara B aratL ampung
J awa B aratJ awa T eng ah
S umatera S elatanS umatera Utara
S ulawes i S elatanK alimantan B arat
K alimantan S elatanR i a u
NADS umatera B arat
Nus a T eng g ara T imurJ ambi
S ulawes i T eng ahR ata-R ata
K alimantan T eng ah B eng kulu
S ulawes i T eng g araK alimantan T imur
S ulawes i B aratB ali
P apuaMaluku
D I Yog yakartaS ulawes i Utara
P apua B aratB ang ka B elitungK epulauan R iau
Maluku UtaraGorontalo
R upiah/ T ahun
Sumber: Depdiknas, 2008, diolah.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
54
Ketiga, kurangnya sosialisasi pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjadi
permasalahan tersendiri baik dalam desentralisasi pendidikan
secara umum maupun pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun secara
khusus. Berbagai kebijakan terkait dengan desentralisasi
pendidikan ditetapkan pemerintah baik dalam hal perencanaan,
pembiayaan, pelaksanaan maupun evaluasi dan monitoring
kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan dasar perlu
disosialisasikan secara lebih intensif dan menjamin
kesepahaman berbagai pihak sebagai stakeholder pendidik
dasar dan menengah.
Keempat, masalah konsisten perencanaan dan
penganggaran pendidikan. Banyak daerah yang menempatkan
pendidikan sebagai prioritas namun dari sisi anggaran justru
sebaliknya. Studi yang dilakukan oleh SMERU tahun 2004
terhadap 10 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan bahwa
daerah yang secara tegas menyebut pendidikan dalam visi dab
misinya, ternyata tidak satupun yang menempatkan sektor
pendidikan ke dalam 3 besar alokasi anggaran pembangunan.
Sementara terdapat daerah yang tidak menyebutkan pendidikan
sebagai prioritas pembangunan, justru mengalokasikan
anggaran pendidikan 3 besar diantara sektor lainnya.
Kelima, lemahnya peran pemerintah provinsi. Di era
desentralisasi ini pemerintah provinsi memainkan peranan
tersendiri dalam pelaksanaan pembangunan utamanya yang
berkaitan dengan urusan antar kabupaten/kota. Salah satunya
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
55
untuk mengurangi disparitas antar kabupaten kota misalnya
dalam hal ketersediaan guru. Pemerintah provinsi di satu sisi
diharapkan untuk dapat melaksanakan kewenangannya untuk
mengurangi kesenjangan antar kabupaten/kota namun di sisi
pembagian kewenangan belum disesuaikan dengan fungsi-
fungsi dimaksud. Hal ini menyebabkan Lemahnya peran provinsi
utamanya dalam aspek pemerataan infrastruktur pendidikan.
3.5. Implikasi Kebijakan
Pelaksanaan program Wajardikdas ke depan
memerlukan beberapa upaya-upaya perbaikan baik dalam
rangka percepatan target penuntasan Wajardikdas di tahun 2008
maupun untuk perencanaan dan pelaksanaan Program
Wajardikdas atau program serupa di masa yang akan datang.
Pertama, perimbangan provinsi anggaran pendidikan
dasar antara belanja fisik dan non fisik. Belanja non fisik seperti
penyusunan kurikulum, peningkatan kualitas dan kompentensi
guru memiliki peranan sama krusialnya dalam mendorong
percepatan pencapaian tuntas Wajardikdas 9 tahun. Kedua,
diperlukan adanya komitmen bersama antar pemerintah daerah
di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota bahkan hingga pada
tingkat alokasi anggaran yang memadai untuk penyelenggaran
pendidikan dasar. Diharapkan hal ini dapat menurunkan
kesenjangan pembiayaan sektor pendidikan antar daerah.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
56
Ketiga, sosialisasi pelaksanaan dan pencapaian
Wajardikdas hendaknya dapat lebih ditingkatkan terutama yang
erat kaitannya dengan pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini
dilaksanakan agar konsistensi dan harmonisasi pelaksanaan
Wajardikdas 9 tahun antar tingkat pemerintahan dapat lebih
ditingkatkan lagi. Keempat, peningkatan konsistensi antara
perencanaan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang mendukung
program Wajardikdas dengan kebijakan penganggaran juga
perlu terus dilaksanakan. Hal ini untuk lebih mengoptimalkan
upaya-upaya percepatan penuntasan Wajardikdas 9 tahun.
Kelima, peran provinsi dalam rangkaian pelaksanaan
program Wajardikdas perlu ditingkatkan. Peran provinsi cukup
krusial utamanya dalam hal pemerataan infrastruktur pendidikan
baik yang bersifat fisik seperti sekolah dan ruang kelas maupun
yang bersifat non fisik seperti ketersediaan guru dan kualitas
guru.Kelima Implikasi kebijakan di atas saling terkait satu sama
lain. Diharapkan dengan beberapa upaya di atas, pencapaian
program Wajardikdas 9 tahun dapat lebih dioptimalkan baik
dalam jangka pendek penuntasan APK bagi seluruh daerah di
tahun 2009, maupun pelaksanaan program Wajib Belajar di
masa yang akan datang.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
57
BAB IV
KETERSEDIAAN DAN KUALITAS GURU
4.1. Kebijakan untuk Peningkatan Kualitas Guru
Guru adalah salah satu jenis jabatan profesional di dalam
bidang kependidikan. Sebagai jabatan, guru harus dipersiapkan
melalui pendidikan dalam jangka waktu tertentu dengan
seperangkat mata kuliah serta beban SKS tertentu sesuai
dengan jenjangnya. Pendidikan yang dimaksud adalah untuk
mendidik calon guru yang kelak mampu melaksanakan tugas
secara profesional. Tugas profesional guru dapat dipilah menjadi
empat fungsi sekalipun di dalam praktik merupakan satu
kesatuan terpadu saling terkait, mendukung dan memperkuat
satu terhadap aspek yang lain. Empat fungsi yang dimaksud
adalah: (1) guru sebagai pendidik, (2) guru sebagai pengajar, (3)
guru sebagai pelatih, dan (4) guru sebagai pembimbing.
Hasil studi dari pakar pendidikan (Jalal & Mustafa, 2001),
menyimpulkan bahwa guru merupakan faktor kunci yang paling
menentukan dalam keberhasilan pendidikan dinilai dari prestasi
belajar siswa. Reformasi apapun yang dilakukan dalam
pendidikan seperti pembaruan kurikulum, penyediaan sarana-
prasarana dan penerapan metode mengajak baru, tanpa guru
yang bermutu, peningkatan mutu pendidikan tidak akan
mencapai hasil yang maksimal.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
58
Kenyataan menunjukkan bahwa masih sebagian besar
guru underqualified, tingkat penguasaan bahan ajar dan
keterampilan dalam menggunakan metode pembelajaran yang
inovatif masih kurang. Untuk itu perlu upaya peningkatan kualitas
guru melalui berbagai cara antara lain: penentuan standar
kompetensi, uji kompetensi dan sertifikasi guru, penilaian kinerja
guru, penataran /pelatihan guru, peningkatan kesejahteraan dan
profesionalisme guru, studi lanjut, peningkatan kualitas LPTK
penghasil guru, dan lain-lain.
Tim Penyusun Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP)
merumuskan kompetensi guru dalam 4 (empat) rumpun yaitu: (1)
Penguasaan Bidang Studi, (2) Pemahaman tentang Peserta
Didik, (3) Penguasaan Pembelajaran yang mendidik; dan (4)
Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan. Keempat
rumpun tersebut mencerminkan empat standar kompetensi guru
yang dijabarkan lagi masing-masing dalam butir-butir kompetensi
selanjutnya diuraikan menjadi indikator yang berfungsi untuk
memperjelas butir-butir kompetensi sehingga dapat dirujuk untuk
mengembangkan instrumen uji kompetensi guru.
Pemerintah sebagai institusi penyelenggara negara
mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya
dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang
bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional.
Kebijakan konstitusional lebih mengarah pada bagaimana
pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
59
peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
nasional kita. Dalam Konteks ini, telah terbentuk UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan
strategi jangka panjang dalam membenahi pendidikan Indonesia.
Sudah barang tentu, UU tersebut masih diperlukan penjabaran
lebih lanjut dalam berbagai bentuk peratutan-peraturan yang
berada dibawahnya, termasuk isu Badan Hukum Pendidikan
(BHP), peraturan perbukuan maupun isu sertifikasi bagi para
pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka.
Kebijakan operasional pemerintah, lebih mengarah pada
kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor
pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, telah
mengamanatkan untuk mengalokasikan 20 persen dari
APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat
kemampuan keuangan negara yang masih terbatas, maka
alokasi 20 persen ini rencananya akan dicapai dalam beberapa
tahap sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Dalam
tahun anggaran 2004, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan
sebesar 6,6 persen. Tahun 2005, jumlahnya telah meningkat
menjadi 9,29 persen dan 2006 12,01 persen, 14,60 persen
untuk anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai tahun
2009 nanti, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan
menjadi 17,40 persen dan 20,10 persen.
Mengenai peningkatan kualitas guru menjadi perhatian
utama pemerintah, bahkan pada konferensi di Nusa Dua (12
Maret 2008) para menteri pendidikan dan delegasi dari sembilan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
60
negara berpenduduk terbesar dunia sepakat untuk memperkuat
kerjasama guna melakukan capaian target Education For All
(EFA) atau pendidikan untuk semua pada 2015, yang berfokus
pada peningkatan kualitas guru. Sebelumnya, pada bulan Juli
2007 Dewan Bank Dunia setuju mengucurkan dana USD 86 juta
untuk mendukung rencana Pemerintah untuk meningkatkan
keterampilan dan kinerja para guru, yang diketahui secara luas
sebagai tantangan utama untuk meningkatkan standar
pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia.
Salah satu program utama dalam program pembangunan
pendidikan nasional yang dilakukan Departemen Pendidikan
Nasional mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Bidang Pendidikan tahun 2005-2009 yang
ditetapkan oleh Pemerintah Program peningkatan mutu pendidik
dan tenaga kependidikan bertujuan meningkatkan kecukupan
jumlah pendidik dan tenaga kependidikan, kemampuan
akademik, kemampuan melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk
menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap
satuan pendidikan.
Dalam rangka pemerataan dan perluasan akses,
dilakukan pengadaan guru. Untuk meningkatkan daya tarik
penempatan guru di daerah-daerah sulit, perlu dipikirkan
skenario insentif bagi guru-guru tersebut. Selain itu, perlu
dilakukan program upgrading bagi guru-guru SD/MI yang sudah
ada agar mereka memiliki kesempatan untuk mengajar di SMP
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
61
atau sekolah-sekolah layanan khusus pada SMP khusus.
Sasaran yang ingin dicapai adalah rasio peserta didik per
pendidik dan tenaga kependidikan relatif merata pada setiap
kabupaten/kota, dan akan diupayakan tercapainya standar
nasional. Pemerintah juga akan mengangkat guru baru untuk
mengatasi kekurangan guru. Hal ini sebagai pengganti guru yang
akan pensiun, dan dalam rangka perluasan akses untuk
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, serta
perluasan akses pendidikan menengah umum dan kejuruan.
Kegiatan-kegiatan dalam program peningkatan mutu,
relevansi, dan saya saing pendidik dan tenaga kependidikan
antara lain: (i) Penyusunan rencana pengembangan mutu
pendidik dan tenaga kependidikan, (ii) Pengembangan sistem
dan pelaksanaan penilaian kinerja, kesejahteraan, penghargaan,
dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan, (iii)
Penyelenggaraan sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan,
serta (iv) Pengembangan dan pembinaan profesi dan karier
pendidik dan tenaga kependidikan. Program peningkatan mutu,
relevansi, dan daya saing pendidik dan tenaga kependidikan
dilaksanakan antara lain dengan mengembangkan sistem serta
meningkatkan kualifikasi dan kompetensi pendidik melalui
pemetaan kompetensi secara periodik, pendidikan berkelanjutan
untuk mencapai standar kompetensi yang ditunjukkan oleh hasil
uji kompetensi, dan penghitungan angka kredit sebagai tenaga
fungsional. Dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa Guru yang memenuhi kualifikasi
S1/D-IV sesuai dengan ketentuan UU No 14 Tahun 2005 tentang
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
62
Guru dan Dosen mencapai 34 persen pada tahun 2007.
Beberapa alasan yang mendorong dibuatnya UU tentang
Guru dan Dosen adalah: (i) telah lama kalangan pendidik
memimpikan adanya UU yang melindungi keberadaan mereka,
menjamin kebutuhan mereka untuk meningkatkan mutu dan
kompetensinya, dan menjamin kesejahteraan mereka, tetapi
karena berbagai alasan dan hambatan Pemerintah dan DPR
belum bisa memenuhinya, (ii) sejak Indonesia menerapkan
sistem ekonomi pasar pada tahun 1970an, status dan martabat
sosial-ekonomi pendidik mengalami erosi laten berhubung
pendidikan tidak merupakan bagian dari sistem tersebut
sehingga secara gradual terus menerus terpinggirkan, dan
karenanya diperlukan adanya UU yang melindungi mereka itu
dari proses erosi tersebut, dan (iii) UU Sisdiknas belum secara
memadai memberikan landasan hukum bagi peningkatan
kualifikasi, kompetensi, profesionalisme, kesejahteraan, dan
perlindungan hukum bagi pendidik.
UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan
guru dan dosen sebagai suatu profesi tersendiri di masyarakat
yang setara dengan profesi lainnya seperti dokter, akuntan,
notaris, pengacara, dan apoteker. Selanjutnya UU ini mengatur
kualifikasi minimal untuk memenuhi persyaratan profesi,
sertifikasi profesi, pendidikan keprofesian berkelanjutan, hak dan
kewajiban pendidik, kesejahteraan pendidik, pengangkatan,
penempatan, mutasi, pemberiaan penghargaan, serta
pemberhentian pendidik, dan organisasi profesi pendidik.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
63
UU ini menjamin kesejahteraan guru dan dosen yang
telah memenuhi persyaratan profesi dengan gaji pokok,
tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan fungsional,
tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan.
Bagi pendidik dalam jabatan yang belum memenuhi persyaratan
minimal profesi diberikan masa transisi 10 tahun untuk
memenuhi persyaratan minimal profesi tersebut.
4.1.1. BERMUTU Project (Better Education through
Reformed Management and Universal Teacher
Upgrading)
Saat ini terda[at program BERMUTU (Better Education
through Reformed Management and Universal Teacher
Upgrading Project) secara luas mendukung Undang-Undang
Guru yang disahkan bulan Desember 2005, yang bertujuan
meningkatkan kualifikasi dan kinerja mengajar 2,7 juta guru
Indonesia, yang merupakan 70 persen dari jumlah layanan sipil
di Indonesia. Program ini bertujuan untuk mengatasi tantangan
kritis dalam sistem pendidikan Indonesia, yang paling jelas
tercermin pada penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa
anak-anak sekolah Indonesia mendapat nilai yang lebih rendah
dalam ujian pelajaran seperti matematik dan membaca daripada
anak-anak sekolah di negara lain, bahkan setelah
memperhitungkan status sosial ekonomi keluarga. Untuk
menanggapi beberapa alasan penyebab buruknya kinerja ini,
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
64
BERMUTU membantu Pemerintah dalam area-area spesifik,
dimana terdapat kondisi:
- Hanya separuh dari jumlah anak sekolah Indonesia yang
diajar guru bergelar sarjana. Program ini akan mendukung
reformasi pendidikan guru berbasis perguruan tinggi,
membangun kapasitas dewan akreditasi nasional,
menyediakan insentif bagi perguruan tinggi untuk melatih
guru melalui pembelajaran jarak jauh dan program
beasiswa.
- Ketidakhadiran guru adalah alasan lain dari anak sekolah
tidak mendapatkan pelajaran. Survei multinegara
menemukan tingkat ketidakhadiran guru di Indonesia lebih
tinggi dibandingkan lima negara lain, dari delapan negara,
yang disurvei. Oleh karena itu, prosedur reformasi
pertanggungjawaban guru dan kebijakan insentif yang
mempromosikan kinerja dan pemajuan karir akan menjadi
bagian penting dari program ini.
- Salah satu alasan ketidakhadiran guru adalah rendahnya
gaji yang mendorong banyak guru untuk mengambil
pekerjaan kedua. Suatu studi menunjukkan bahwa guru
sekolah dasar di Filipina dan Thailand mendapatkan gaji
dua kali lebih besar (sesuai proporsi PDB per kapita)
daripada guru di Indonesia. Program baru ini akan
membantu pemerintah daerah untuk meningkatkan sistem
untuk meningkatkan keterampilan guru sehingga mereka
bisa mendapatkan gaji yang lebih tinggi sesuai dengan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
65
Undang-Undang Guru yang baru. Program ini diharapkan
dapat menggandakan jumlah guru dengan standar baru
yang dimandatkan oleh Undang-Undang Guru menjadi
lebih dari dua juta orang.
- Komponen keempat dari program ini adalah peningkatan
sistem pengawasan dan evaluasi melalui pengembangan
basis data guru yang diperbaiki dan serangkaian studi riset
dan evaluasi untuk mendokumentasi efek proyek tersebut
pada standar pengajaran dan prestasi murid.
Penjaminan mutu lewat sertifikasi kompetensi akan
mampu memberikan kepercayaan kepada stakeholder. Jika guru
memiliki sertifikat kompetensi yang merupakan pengakuan
terhadap kompetensi dan profesi untuk melaksanakan tugas
sebagai guru, stakeholder akan percaya bahwa guru yang akan
mendidik, mengajar, melatih dan membimbing anak-anak yang
mereka percayakan akan mendapat pelayanan optimal baik di
dalam penyediaan fasilitas pendidikan maupun dalam proses
pendidikan dan pembelajaran. Diharapkan dengan upaya itu
hasil pendidikan yang dicapai juga akan lebih baik. Namun,
secara psikologis hal ini akan menimbulkan kekhawatiran,
karena mereka tidak terbiasa untuk mengenali kemampuan diri
melalui refleksi dan evaluasi diri. Jika guru memiliki rasa
confident (percaya diri) akan kompetensi yang dimilikinya, tidak
akan menimbulkan rasa was-was dan khawatir yang berlebihan.
Oleh karena itu perlu sosialisasi secara luas agar kebijakan
sertifikasi dan resertifikasi dapat diterima secara positif, dan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
66
bukan merupakan ancaman bagi guru, tetapi justru dirasakan
dapat melindungi profesi guru dan untuk membantu guru dalam
mencapai tingkat tertinggi jabatan guru.
4.1.2. Sertifikasi Guru dan Landasan Yuridisnya
Sertifikasi kompetensi adalah proses pemerolehan
sertifikat kompetensi guru yang dimaksudkan untuk memberikan
bukti tertulis terhadap kinerja (performance) melaksanakan tugas
guru sebagai perwujudan kompetensi yang dimiliki telah sesuai
dengan standar kompetensi guru yang dipersyaratkan. Sertifikat
kompetensi adalah surat keterangan bukti atas kompetensi dan
hanya diberikan setelah yang bersangkutan lulus pendidikan
profesi guru lembaga pendidikan tinggi terpilih.
Sertifikasi kompetensi melalui pendidikan profesi guru
sebagai upaya penjamin mutu pendidik dan tenaga kependidikan
di Indonesia mempunyai arti strategis dan mendasar dalam
upaya peningkatan mutu guru. Sertifikasi merupakan jawaban
terhadap adanya kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi
profesional guru. Oleh karena itu proses sertifikasi kompetensi
dipandang sebagai bagian esensial dalam memperoleh sertifikat
kompetensi yang diperlukan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 61 ayat (1)
menyatakan bahwa sertifikat berbentuk ijasah dan sertifikat
kompetensi; ayat (2) Ijasah diberikan kepada peserta didik
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
67
sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau
penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi; (3)
Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan
dan/atau lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga
masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk
melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau
lembaga sertifikasi.
Oleh karena itu pemerolehan sertifikat dalam pertemuan
ilmiah, seperti seminar, diskusi panel, lokakarya, simposium, dan
lain-lain bukanlah sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi
diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan
kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan
terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu
setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Ketentuan
ini bersifat umum, baik untuk tenaga kependidikan maupun non
kependidikan.
Khusus untuk tenaga kependidikan, UU No 20 tahun
2003 Pasal 42 ayat (2) menyatakan bahwa pendidik untuk
pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan
oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. Sementara itu, dalam
pasal 42 ayat (1) disebutkan bahwa Pendidik harus memiliki
kualifikasi minimal dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
68
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
UU No 20 tahun 2003 Pasal 43 ayat (2) menegaskan
bahwa sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi
yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi. Jadi peran lembaga penyelenggara program
pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditasi sudah jelas
dan tegas berwenang menyelenggarakan sertifikasi pendidik
untuk TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Ijasah merupakan
pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian
suatu jenjang pendidikan yang diberikan kepada peserta didik
setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
yang terakreditasi.
Lebih jauh Undang-Undang Guru pasal 7 ayat (1)
menyebutkan, bahwa guru sebagai tenaga profesional di bidang
pembelajaran wajib memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan. Ayat (2) Kualifikasi akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui pendidikan tinggi
Program Sarjana atau Program Diploma IV yang sesuai dengan
tugasnya sebagai guru; ayat (3) menyatakan, bahwa Kompetensi
sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksudkan pada
ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial sesuai Standar
Nasional Pendidikan, yang diperoleh melalui pendidikan profesi
guru setelah Program Sarjana atau Diploma 4 sebagaimana
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
69
dimaksud pada ayat (2). Ayat (4) Kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan (3) diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam pasal 25 diatur
sebagai berikut: (1) Pendidikan profesi guru mengikuti Peraturan
Pemerintah yang mengatur pendidikan profesi; (2) Persyaratan
kelulusan untuk pendidikan profesi ditetapkan oleh perguruan
tinggi setelah memperhatikan pertimbangan dari organisasi
profesi dan mendapat persetujuan dari menteri; (3) Calon guru
yang memenuhi persyaratan kelulusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memperoleh Sertifikat Kompetensi Guru dari
perguruan tinggi yang bersangkutan.
Sertifikasi Guru Pemula
Pemberian Akta mengajar selama ini merupakan
sertifikasi guru bagi setiap lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga
kependidikan (LPTK). Sertifikasi ini dinilai belum standar karena
tidak melalui uji kompetensi, dan masih berlaku selamanya.
Untuk menjadikan guru sebagai profesi, maka setiap calon guru
yang akan menjadi guru harus memiliki sertifikat guru pemula
yang diperoleh melalui sertifikasi guru pemula.
Sertifikasi guru pemula merupakan proses pengujian
kompetensi calon guru sebagai dasar pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan sebagai guru setelah
lulus uji kompetisi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Dengan demikian tujuan
sertifikasi guru pemula adalah untuk menentukan kelayakan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
70
seseorang sebelum memasuki atau memangku jabatan
profesional sebagai guru, yang dapat diberlakukan selama
kurang lebih lima tahun.
Peserta sertifikasi guru pemula terdiri atas dua kelompok.
Kelompok pertama adalah lulusan program studi kependidikan
yang sebidang dan serumpun dengan Indeks Prestasi komulatif
(IPK) minimal 2,50, disertai dengan bukti kelulusan yang
diperoleh dari penyelenggara program pendidikan tenaga
kependidikan terakreditasi. Kelompok kedua adalah lulusan
program studi non kependidikan yang memiliki ijasah dari
program studi sebidang dan serumpun dengan IPK minimal 2,50,
memiliki bukti telah lulus program pembentukan kemampuan
mengajar (Akta Mengajar) dari penyelenggara program
pendidikan tenaga kependidikan terakreditasi dengan IPK
minimal 2,50.
Calon guru yang ingin mengikuti sertifikasi guru pemula
diwajibkan untuk mendaftarkan diri dengan menyerahkan berkas
persyaratan administratif kepada penyelenggara uji kompetensi.
Kemudian peserta mengikuti uji kompetensi untuk semua mata
uji yang diwajibkan. Bila peserta memenuhi persyaratan
kelulusan yang telah ditetapkan, kepada yang bersangkutan
diberikan sertifikat kompetensi guru pemula. Tetapi, bila peserta
tidak memenuhi sebagian atau seluruh mata uji, yang
bersangkutan dapat mengikuti uji ulang kompetensi guru pemula.
Sebelum mengikuti uji ulang yang bersangkutan diwajibkan untuk
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
71
mengikuti Pembinaan kemampuan mengajar yang dilaksanakan
oleh lembaga-lembaga tertentu.
Tingkat penguasaan kompetensi guru pemula sebagai
persyaratan kelulusan ditentukan berdasarkan kriteria penilaian
acuan patokan (PAP), yaitu minimal 70 persen yang setara
dengan nilai B, baik untuk kelulusan setiap mata uji maupun
untuk kelulusan akhir. Pemegang sertifikat guru pemula memiliki
kewenangan sebagai guru pemula yang diberlakukan selama
tiga tahun sampai lima tahun. Sedangkan, legalisasi atas
sertifikat guru pemula oleh pimpinan lembaga penyelenggara uji
kompetensi guru pemula sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sertifikasi Guru Lanjut
Sertifikasi guru lanjut merupakan proses pengujian
kompetensi calon guru sebagai dasar pengakuan terhadap
kompetensi untuk melakukan pekerjaan sebagai guru berikutnya,
setelah sertifikasi guru yang dimiliki hampir habis masa
berlakunya. Sertifikasi guru lanjut diperoleh melalui uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Dengan demikian tujuan
sertifikasi guru lanjut adalah untuk menentukan kelayakan
seorang guru dalam memangku jabatan profesional sebagai guru
pada periode berikutnya. Periode berikutnya dapat diberlakukan
selama kurang lebih lima tahun.
Peserta sertifikasi guru lanjut terdiri atas dua kelompok.
Kelompok pertama adalah para guru sebidang dan serumpun
yang telah menjadi PNS tetapi belum memiliki sertifikasi guru
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
72
pemula. Kelompok kedua adalah para guru sebidang dan
serumpun yang telah memiliki sertifikasi guru sebagai profesi
(baik sertifikasi guru pemula maupun sertifikasi guru lanjut) yang
telah hampir habis masa berlakunya.
Guru yang ingin mengikuti sertifikasi guru lanjut
diwajibkan untuk mendaftarkan diri dengan menyerahkan berkas
persyaratan administratif kepada penyelenggara uji kompetensi.
Kemudian peserta mengikuti uji kompetensi untuk semua mata
uji yang diwajibkan sesuai dengan standar kompetensi guru. Bila
peserta memenuhi persyaratan kelulusan yang telah ditetapkan,
kepada yang bersangkutan diberikan sertifikat kompetensi guru
lanjut. Tetapi, bila peserta tidak memenuhi sebagian atau seluruh
mata uji, yang bersangkutan dapat mengikuti uji ulang
kompetensi guru lanjut. Sebelum mengikuti uji ulang yang
bersangkutan diwajibkan untuk mengikuti pembinaan
kemampuan mengajar yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
tertentu. Bagi guru sebagai profesi yang belum lulus uji ulang,
sedangkan masa berlakunya sertifikat guru sebagai profesi
sudah habis, maka kewenangan dan haknya sebagai guru
profesional di cabut.
Seperti halnya sertifikasi guru pemula, tingkat
penguasaan kompetensi guru lanjut sebagai persyaratan
kelulusan ditentukan berdasarkan kriteria penilaian acuan
patokan (PAP), yaitu minimal 70 persen yang setara dengan nilai
B, baik untuk kelulusan setiap mata uji maupun untuk kelulusan
akhir. Pemegang sertifikat guru lanjut memiliki kewenangan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
73
sebagai guru profesional yang diberlakukan selama lima tahun.
Sedangkan, legalisasi atas sertifikat guru lanjut oleh pimpinan
lembaga penyelenggara uji kompetensi guru lanjut sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
4.1.3. Kurikulum Pendidikan Profesi
Pendidikan profesi ditekankan pada unsur kematangan,
keterampilan, dan tanggungjawab. Untuk itu diperlukan waktu
yang memadai melakukan latihan, praktek dan magang.
Pendidikan profesi dilakukan setelah peserta didik melewati
jenjang pendidikan tinggi atau pendidikan akademik. Pendidikan
profesi adalah syarat bagi calon guru untuk dapat mengikuti uji
kompetensi dan sertifikasi guru. Pendidikan profesi keguruan
dilakukan dengan cara konsekutif bagi lulusan D2, D3, dan S1.
Pendidikan profesi guru tersebut dilaksanakan oleh LPTK
terakreditasi. Pendidikan profesi untuk satu bidang tertentu
dilakukan di fakultas yang mengasuh bidang studi tersebut.
Berdasarkan Kepmen No.232 tahun 2000 dan Kepmen
No.045 tahun 2002 setiap lulusan pendidikan tinggi termasuk
guru sekurang-kurangnya memiliki 5 unsur kompetensi yang
mencakup kepribadian, ilmu dan keterampilan, keahlian
berkarya, sikap dan perilaku berkarya serta kemampuan
berkehidupan bermasyarakat. Apabila acuan ini digunakan
mengembangkan kurikulum pendidikan profesi maka setidaknya
kurikulum pendidikan profesi keguruan lebih ditekankan pada
keahlian berkarya serta sikap dan perilaku berkarya. Pendekatan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
74
yang digunakan untuk mengembangkan dan merevisi kurikulum
pendidikan profesi keguruan adalah: (1) menjalin kemitraan
dengan pengguna guru, dan (2) mencari masukan dari asosiasi
profesi keguruan dan asosiasi profesi lainnya yang relevan, dan
melakukan task analysis. Dengan cara tersebut, secara akurat
dapat dilakukan upaya perbaikan terhadap content dan
performance kompetensi yang pada akhirnya berakibat terhadap
keharusan untuk melakukan pemutakhiran kurikulum pendidikan
profesi seiring dengan perkembangan tuntutan kebutuhan
profesi.
Apabila dilakukan pemetaan materi kurikulum pendidikan
profesi keguruan, maka penguasaan subject matter yang kuat
harus didukung oleh keahlian transfer ilmu, keahlian untuk
membelajarkan peserta didik, dan kemampuan reflektif untuk
melakukan perbaikan yang berkelanjutan. Untuk itulah diperlukan
materi Strategi belajar mengajar, Telaah kurikulum, Evaluasi
Pembelajaran, Penelitian Tindakan Kelas, Microteaching, dan
PPL. Agar kedua keahlian tersebut diatas tidak kehilangan roh
dan jiwa pendidikan maka perlu diberikan materi yang
mendukung sikap dan perilaku berkarya, yakni filsafat dan teori
pembelajaran, perkembangan peserta didik, teknologi
pendidikan/ pembelajaran serta teknologi komunikasi dan
informasi.
Pencanangan guru sebagai profesi tentu harus diikuti
dengan langkah-langkah konkrit tentang tiga subsistem utama
pendidikan profesi guru, yakni mulai dari penyiapan tenaga guru,
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
75
manajemen guru, dan sistem penjaminan mutu guru.
Sesungguhnya akar masalah profesionalisme guru di Indonesia
bukanlah pada kurikulum atau pola yang diterapkan, akan tetapi
pada konsistensi dan mutu implementasi yang tidak memiliki
standar dan manajemen pembinaan yang lemah. Quality
planning, Quality Control, dan Quality Improvement tidak
dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Jalinan
masalah ini terasa begitu rumit dan bergerak secara acak
menunju arah yang tidak beraturan. Mencermati hal ini, maka
pemantapan dan pembenahan secara mendasar terhadap pola
concurrent (model serempak) yang diterapkan selama ini sangat
mendesak untuk dilakukan. Namun demikian, rintisan pola
consecutive (model berlapis) dapat menjadi alternatif terutama
untuk mengakomodasi guru bidang studi tertentu. Pola
consecutive dapat mengatasi dua masalah, yakni (1)
menyiapkan guru yang memiliki keahlian khusus (guru
keterampilan kejuruan baik itu akibat perkembangan tuntutan
pasar kerja maupun munculnya keterampilan dan ilmu baru serta
keahlian yang tidak diselenggarakan di LPTK) dan (2) ledakan
kebutuhan guru pada kurun waktu tertentu.
4.2. Capaian
Guru merupakan salah satu pilar atau komponen utama
yang dinamis dalam mencapai tujuan pendidikan serta untuk
mewujudkan pendidikan yang bermutu. Pendekatan yang
berorientasi pada perbaikan sarana dan prasarana tidak mampu
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
76
mengangkat mutu pendidikan secara berarti. Suatu kenyataan di
lapangan banyak fasilitas pembelajaran seperti peralatan
laboratorium, referensi pustaka, studio atau workshop yang ada
di sekolah tidak termanfaatkan secara optimal oleh sekolah.
Ruang laboratorium dijadikan ruang kelas, ruang perpustakaan
dipersempit dan dijadikan ruang guru bahkan gudang. Salah satu
faktor penyebab adalah guru tidak siap untuk memanfaatkan
fasilitas yang diberikan oleh berbagai macam proyek yang
ditujukan ke sekolah tersebut. Oleh karena itu, maka pencapaian
standar kompetensi guru merupakan suatu keharusan. Sebab
tanpa ada standar maka jaminan kepada stakeholder tidak
mungkin terpenuhi secara optimal.
Terdapat beberapa indikator untuk melihat kinerja
kuantitas guru, diantaranya adalah rasio siswa per guru, yaitu
rasio yang menunjukkan jumlah siswa yang diampu oleh 1 orang
guru. Semakin kecil angka ini, semakin bagus karena guru
tersebut akan dapat memberi perhatian lebih pada murid-
muridnya daripada jika guru tersebut mengampu murid lebih
banyak. Data antara tahun 2001/02-2005/06 menunjukkan
bahwa tren rasio siswa per guru semakin kecil, kecuali untuk
MTs, dimana pada tahun 2003/2004 dan 2004/2005 menurun,
tetapi pada tahun berikutnya meningkat kembali.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
77
Gambar 4.1 Rasio Siswa per Guru Tahun 2001/2002-2005/2006
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Jika dilihat rasio siswa per guru per daerah maka akan
terlihat perbedaan antar daerah. Pada tahun 2005, secara rata-
rata sebesar 21, dimana terdapat beberapa provinsi dengan
rasio yang lebih besar dari rata-rata, diantaranya Nusa Tenggara
Timur, Jambi, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Irian Jaya
Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Lampung,
Gorontalo, Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Kemudian pada
tahun 2007, secara rata-rata rasio siswa per guru adalah sebesar
19, hal ini mengidikasikan kinerja yang lebih baik. Pada tahun
tersebut terdapat beberapa provinsi yang rasionya di atas rata-
rata, antara lain Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
78
Tenggara Timur, Papua, Gorontalo, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Lampung, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Banten dan Papua Barat.
Gambar 4.2 Rasio Siswa per Guru Tahun 2006 dan 2007
0 5 10 15 20 25 30 35
D.K.I. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Nanggroe Aceh Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Papua
Bengkulu
Maluku Utara
Banten
Bangka Belitung
Gorontalo
Kepulauan Riau
Irian Jaya Barat
Sulawesi Barat
Rata-rata
Rasio Siswa/Guru 2005 dan 2007
2007
2005
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
79
Gambar 4.3 Rasio Siswa per Guru Sekolah Dasar & Menengah Tahun 2005 dan 2007
0 5 10 15 20 25 30 35 40
D.K.I. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Nanggroe Aceh Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Papua
Bengkulu
Maluku Utara
Banten
Bangka Belitung
Gorontalo
Kepulauan Riau
Irian Jaya Barat
Sulawesi Barat
Rasio Siswa/Guru Negeri 2005 dan 2007
2007
2005
0 10 20 30 40 50
D.K.I. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Nanggroe Aceh Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Papua
Bengkulu
Maluku Utara
Banten
Bangka Belitung
Gorontalo
Kepulauan Riau
Irian Jaya Barat
Sulawesi Barat
Rata-Rata
Rasio Siswa/Guru Swasta 2005 dan 2007
2007
2005
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
80
Sedangkan kinerja kualitas guru dapat dilihat dari tingkat
pendidikan kepala sekolah dan guru. Semakin tinggi
pendidikannya tentu saja kualitasnya semakin bagus. Tingkat
pendidikan dari kepala sekolah dan pengajar ini juga sekaligus
memcerminkan tingkat kelayakan guru. Apabila dilihat dari
mutu SDM dalam hal ini guru, maka persentase guru yang
layak mengajar pada jenjang SD dan MI yaitu 15 persen layak
masih 85 persen tidak layak. Sedangkan untuk SMP dan MTs,
sebesar 60 persen layak dan sisanya 40 persen tidak layak.
Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah, hal itu terlihat
pada kesesuaian ijasah guru dengan bidang studi yang
diajarkan.
Gambar 4.4 Kepala Sekolah dan Guru menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Tingkat Sekolah Dasar Tingkat Sekolah Menengah
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
81
Jika membandingkan kelayakan guru di sekolah
swasta dan sekolah negeri maka diketahui bahwa kelayakan
guru lebih tinggi di sekolah swasta daripada sekolah negeri.
Dari data tahun 2006 di bawah ini terlihat bahwa untuk SD
dan MI negeri pengajar yang layak mengajar sebesar 14
persen, sedangkan untuk SD dan MI swasta sebesar 21
persen. Sebaliknya untuk SMP dan MTs, pengajar yang layak
mengajar lebih besar di SMP dan MTs negeri, yaitu sebesar
63 persen. Untuk SMP dan MTs swasta sebesar 56 persen.
Tabel 4.2 Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah dan Guru menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2006
Jenjang
Pendidikan Negeri % Swasta % Jumlah %
SD & MI
Layak 178,052 14 27,958 26 206,010 15
Tidak Layak 1,060,788 86 80,048 74 1,140,836 85
Jumlah 1,238,840 100 28,038 100 1,346,846 100
SMP & MTs
Layak 247,560 63 124,331 56 371,891 60
Tidak Layak 146,634 37 97,839 44 244,473 40
Jumlah 394,194 100 97,963 100 616,364 100 Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Persentase guru yang layak mengajar di tiap daerah juga
berbeda. Beberapa provinsi yang tingkat kelayakan gurunya
rendah sebagian besar terletak di Kawasan Timur Indonesia
seperti seluruh provinsi di Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara,
Maluku serta sebagian provinsi di Sumatera, yaitu Lampung,
Bengkulu, Jambi dan Bangka Belitung. Namun secara umum
persentase rata-rata guru yang layak mengajar pada tahun 2007
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
82
adalah sebesar 10.87 persen. Sementara itu jika
membandingkan guru yang layak mengajar antara sekolah
swasta dengan sekolah negeri di tiap daerah maka terlihat
bahwa guru sekolah swasta lebih layak daripada guru sekolah
negeri.
Guna memenuhi amanat UU Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen yang mensyaratkan guru harus
berkualifikasi akademik minimal S1 atau D-4, maka Depdiknas
telah melakukan berbagai upaya kebijakan dalam rangka
meningkatkan kualifikasi guru, mulai dari guru TK sampai SMA/
SMK/MA. Dari jumlah keseluruhan sekitar 2,7 juta guru,
1.528.472 orang guru berstatus PNS. Sedangkan, sisanya yaitu
1.254.849 guru berstatus non-PNS. Guru berstatus PNS dengan
kualifikasi S1/D4 dan di atas S1/ D4, sebanyak 539.406 (43
persen), dan yang berkualifikasi pendidikan di bawah S1/D4
sebanyak 989.983 (66 persen). Sedangkan untuk guru nonPNS
yang berkualifikasi pendidikan S1/D4 sekitar 502.667 (42 persen)
dan yang berkualifikasi di bawah S1/D4 sekitar 657.741 (58
persen). Dengan demikian, dari jumlah keseluruhan guru
berkualifikasi S1/D4 adalah sekitar 1.042.073 (38,6 persen),
sedangkan yang berkualifikasi di bawah S1/D4 sekitar 1.656.548
(61,4 persen). Ini berarti persentase guru yang berkualifikasi
S1/D4 meningkat 6,1 persen. Kenaikan ini berkat beasiswa
peningkatan kualifikasi guru dari APBN Depdiknas sebesar Rp.
382.395.000.000 bagi 191.271 guru, APBN depag, APBD, dan
dari kontribusi para guru itu.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
83
Gambar 4.5 Persentase Guru SD dan SMP yang Layak Mengajar Tahun 2007
1.70%
1.76%
2.03%
2.18%
2.62%
3.34%
3.78%
4.47%
5.13%
5.29%
6.25%
7.48%
8.37%
8.52%
8.66%
8.76%
8.80%
9.68%
10.87%
11.23%
11.29%
11.33%
11.49%
12.29%
12.37%
13.79%
14.82%
16.31%
17.11%
19.41%
20.53%
25.05%
29.43%
33.43%
0.00% 5.00% 10.00% 15.00% 20.00% 25.00% 30.00% 35.00% 40.00%
Maluku
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Kalimantan Barat
Bangka Belitung
Papua
Kalimantan Tengah
Sumatera Selatan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Jambi
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Bengkulu
Sulawesi Utara
Lampung
Irian Jaya Barat
Sulawesi Barat
Rata-Rata
Nusa Tenggara Barat
Kepulauan Riau
Sumatera Utara
Gorontalo
Sumatera Barat
Banten
Nanggroe Aceh Darussalam
Riau
Jawa Barat
Jawa Tengah
Bali
Sulawesi Selatan
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
D.K.I. Jakarta
Persentase Guru SD & SMP yang Layak Mengajar
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
84
Gambar 4.6 Persentase Guru SD-SMP Negeri dan Swasta yang Layak Mengajar Tahun 2006
0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00%
D.K.I. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Nanggroe Aceh Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Papua
Bengkulu
Maluku Utara
Banten
Bangka Belitung
Gorontalo
Kepulauan Riau
Irian Jaya Barat
Sulawesi Barat
Rata-Rata
Persentase Guru SD & SMP Negeri dan Swasta yang Layak Mengajar Tahun 2006
Swasta
Negeri
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
85
Gambar 4.7 Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi Tahun 2007
Sumber: Statistik Pendidikan, Depdiknas, 2007, diolah.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
86
Berkaitan dengan upaya peningkatan mutu guru, yaitu
program sertifikasi dimana sertifikat profesi diterbitkan oleh
perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi di atas S1,
seperti pendidikan profesi akuntansi, apoteker, dokter, dokter
gigi, guru, notaris, dan psikolog. Sebenarnya, pendidikan tinggi
profesi sudah berlangsung cukup lama kecuali untuk guru.
Dalam upaya untuk meningkatkan kompetensi guru, pada tahun
2007 telah dimulai program sertifikasi profesi guru dengan
memberikan kuota sejumlah 200.450 orang untuk mengikuti
sertifikasi guru melalui penilaian portofolio. Dari sejumlah kuota
tersebut, sebanyak 185.328 guru atau 96.7 persen dinyatakan
lulus sebagai guru professional dan memiliki sertifikat pendidik.
Di samping pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan melalui
penilaian portofolio, Depdiknas juga menyelenggarakan
sertifikasi guru melalui jalur pendidikan. Peserta sertifikasi guru
melalui jalur pendidikan diwajibkan mengikuti pendidikan selama
dua semester dan diberikan beasiswa penuh. Sejumlah 769 guru
dalam jabatan sedang mengikuti pendidikan profesi di 27
perguruan tinggi yang telah ditetapkan dan akan selesai pada
bulan November 2008. Sampai dengan tahun 2007, secara
nasional kelulusan guru mencapai 89.41 persen. Papua dan
Papua Barat mempunyai persentase kelulusan terendah,
masing-masing sebesar 27.07 persen dan 32.63 persen.
Kualitas dari kepala sekolah dan guru tentu saja secara
langsung akan mempengaruhi kualitas dari para siswa. Dengan
adanya peningkatan kualitas guru maka diharapkan angka
mengulang akan menurun. Sebaliknya angka kelulusan
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
87
diharapkan akan meningkat. Selama kurun waktu 2001/2002-
2005/2006, jumlah siswa SD dan MI yang mengulang mengalami
penurunan. Hal ini juga dapat dilihat dari besarnya angka
mengulang, yaitu dari 5.41 persen pada tahun 2001/2002
menjadi 3.36 persen pada tahun 2005/2006, walaupun dari tahun
2003/2004 ke 2004/2005 sempat mengalami peningkatan.
Tabel 4.3 Perkembangan Angka Mengulang SD/MI dan SMP/MTs
Tahun 2001/2002-2005/2006
Jenjang Pendidikan
2001/02 2002/03 2003/04 2004/05 2005/06
Siswa Mengulang
SD + MI 1.551.181 1.095.769 1.082.581 1.271.237 1.069.066
SD 1.388.153 978.224 990.457 1.190.306 1.026.275
MI 163.028 117.545 92.124 80.931 42.791
SMP + MTs 41.985 44.669 41.656 42.337 44.336
SMP 36.124 36.201 36.650 37.925 35.613
MTs 5.861 8.468 5.006 4.412 8.723
Angka Mengulang (%)
SD + MI 5,41 3,79 3,73 4,37 3,36
SMP + MTs 0,44 0,46 0,42 0,44 0,46
Sumber: Statistik Pendidikan. Depdiknas. 2007. diolah.
Kondisi ini tidak diikuti oleh siswa SMP dan MTs. Pada
kurun waktu yang sama jumlah siswa yang mengulang justru
meningkat. Peningkatan ini ternyata disumbang oleh MTs.
Sehingga angka mengulang untuk SMP dan MTs meningkat,
yaitu dari angka 0.44 persen pada tahun 2001/2002 menjadi 0.46
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
88
persen pada tahun 2005/2006. Namun demikian, jika kita
bandingkan angka mengulang pada kelompok SD dan MI
dengan kelompok SMP dan MTS, persentase angka mengulang
pada tingkat SD dan MI masih lebih tinggi daripada kelompok
SMP dan MTs. Untuk SMP dan MTs nilainya masih di bawah 1
persen, sedangkan untuk SD dan MI nilainya di atas 3 persen.
Tabel 4.4 Angka Kelulusan Tahun 2006
Jenjang Pendidikan
Siswa Tingkat Tertinggi Tahun Sebelumnya
Jumlah Lulusan
Angka Lulusan
(%)
SD + MI 4.248.683 4.072.508 95,85
SD 3.779.348 3.681.181 97,40
MI 469.335 391.327 83,38
SMP + MTs 3.087.052 2.872.927 93,06
SMP 2.415.941 2.265.982 93,79
MTs 671.111 606.945 90,44
Sumber: Statistik Pendidikan. Depdiknas. 2007. diolah.
Indikator kinerja dampak peningkatan kualitas guru
terhadap kualitas pendidikan dapat juga dilihat dari angka
kelulusan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa jika
kualitas guru meningkat. maka angka kelulusan siswa juga akan
meningkat. Kualitas guru yang lebih baik dapat memberikan
pelajaran dengan lebih baik pula. Pada tahun 2006 angka
kelulusan SD/MI dan SMP/MTs di atas 80 persen. Untuk SD dan
MI angka kelulusannya mencapai 95.85 persen. Namun jika
dibandingkan antar SD dan MI. angka kelulusan di SD lebih
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
89
tinggi daripada MI yaitu sebesar 97.40 persen untuk SD dan
83.38 persen untuk MI. Pada tahun yang sama angka kelulusan
untuk SMP dan MTs mencapai 93.06 persen. dimana
pencapaian angka kelulusan SMP lebih besar daripada MTs.
4.3. Permasalahan
Dalam dunia pendidikan. keberadaan peran dan fungsi
guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru
merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar.
baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu.
dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air.
tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan
eksistensi guru itu sendiri.Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal
yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di
Indonesia. yaitu: pertama. masalah kualitas/mutu guru. kedua.
jumlah guru yang dirasakan masih kurang. ketiga. masalah
distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.
1. Masalah kualitas guru
Kualitas guru kita. saat ini sangat memprihatinkan. Apabila
dilihat dari mutu SDM dalam hal ini guru. maka persentase
guru yang layak mengajar pada jenjang SD dan MI yaitu
15 persen layak masih 85 persen tidak layak. Sedangkan
untuk SMP dan MTs. sebesar 60 persen layak dan
sisanya 40 persen tidak layak. Realitas semacam ini. pada
akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
90
dihasilkan. Belum lagi masalah. dimana seorang guru sering
mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang.
bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang
dimilikinya. telah menyebabkan proses belajar mengajar
menjadi tidak maksimal.
2. Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang.
apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh
sebab itu. jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag
tersedia saat ini. dirasakan masih kurang proporsional.
sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari
30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk
sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif.
Idealnya. setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik
untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang
maksimal. Secara rata-rata rasio siswa per guru pada tahun
2005 dan 2007 masing-masing sebesar 21 dan 19.
3. Masalah distribusi guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata. merupakan
masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di
daerah-daerah terpencil. masing sering kita dengar adanya
kekurangan guru dalam suatu wilayah. baik karena alasan
keamanan maupun faktor-faktor lain. seperti masalah fasilitas
dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang
diharapkan. Hal ini bisa dilihat dari tidak meratanya angka
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
91
rasio siswa per guru antar daerah serta kesenjangan
pendidikan guru tiap daerah.
4. Masalah kesejahteraan guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum. bahwa tingkat
kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan.
Penghasilan para guru. dipandang masih jauh dari
mencukupi. apalagi bagi mereka yang masih berstatus
sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini.
telah merangsang sebagian para guru untuk mencari
penghasilan tambahan. diluar dari tugas pokok mereka
sebagai pengajar. termasuk berbisnis dilingkungan sekolah
dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan
kesejahteaan guru yang wajar. dapat meningkatkan
profesinalisme guru. termasuk dapat mencegah para guru
melakukan praktek bisnis di sekolah.
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus
diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya
kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik.
Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. pasal
14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan
Kewajiban diantaranya. bahwa hak guru dalam memperoleh
penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan
jaminan kesejahteraan sosial. mendapatkan promosi dan
penghargaan. berbagai fasilitas untuk meningkatkan
kompetensi. berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi.
fungsional. tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
92
serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan. Undang-
undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi
kesejahteraan masyarakat pendidik.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen
Indonesia) pada pertengahan tahun 2005. idealnya seorang
guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah.
Sekarang. pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar
Rp 1.5 juta. guru bantu Rp. 460 ribu. dan guru honorer di
sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu. banyak guru terpaksa melakukan
pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah
lain. memberi les pada sore hari. menjadi tukang ojek.
pedagang mie rebus. pedagang buku/LKS. pedagang pulsa
ponsel. dan sebagainya (Republika. 13 Juli. 2005).
Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan
berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam
melaksanakan proses pendidikan.
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang
sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan.
Sebagai sebuah pekerjaan. tentu dengan menjadi seorang
guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang
layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi.
pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan
perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
93
bekerja. termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi
para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu
pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal
tunjangan. sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan
yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu
besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.
5. Proses Pembelajaran yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran. selama ini
sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan
segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh
ketersediaan sarana-prasarana. ketersediaan dana. serta
kemampuan guru untuk mengembangkan model
pembelajaran yang efektif. Dalam PP No 19/2005 tentang
standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19
sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan.
bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif. inspiratif. menyenangkan.
menantang. memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif. serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa.
kreativitas. dan kemandirian sesuai dengan bakat. minat. dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya
keteladanan pendidik. adanya perencanaan. pelaksanaan.
penilaian. dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam
proses pembelajaran.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
94
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas. maka proses
pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan
pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan
model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan
pembelajaran secara efektif dan efisien. Sudah selayaknya
profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi
yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik. sosial.
pedagogis. dan profesionalitas yang kesemuanya
berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula.
sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik
senantiasa dapat mengembangkan model-model
pembelajaran yang efektif. inovatif. dan relevan.
4.4. Implikasi Kebijakan
Karena begitu pentingnya peranan guru maka pembinaan
guru yang tersistem dan terarah akan mampu memberikan
pengaruh bagi cara mengajar dengan baik dan meningkatkan
prestasi siswa. Penting juga untuk mempelajari pengalaman dari
negara lain berkaitan dengan program peningkatan guru-
gurunya, seperti di India. Guru India terpantau secara rinci dan
harus mengikuti pelatihan berstandar dari fase rendah ke fase
tinggi, siapapun dia, dan dimanapun dia berada. Jika
dibandingkan dengan di Indonesia, pelatihan guru tidak tersistem
dan terserah guru dalam berlatih. Pada awalnya, guru di India
sangat tidak meyakinkan untuk meningkatkan SDM rakyat India.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
95
Selain itu, penting untuk memperhatikan bagaimana
sistem pendidikan dapat memberi perubahan pada guru dan
dalam skala besar. Jumlah sekolah dan siswa SD dan SMP terus
meningkat, namun kenyataannya jumlah peningkatan itu tidak
beriring dengan peningkatan pembelajaran yang mampu
meningkatkan mutu siswa. Salah satu kenyataan yang terjadi di
India adalah tidak adanya kesepakatan dan kejelasan
bagaimana „pelatihan guru yang baik‟ juga karena tidak adanya
kesepakatan dan mengenai bagaimana mengajar yang baik.
Dengan demikian untuk menghindari ketidakefektivan pemberian
pelatihan dan peningkatan kompetensi guru maka terlebih dahulu
perlu ada kesepakatan dan kejelasan bagaimana „pelatihan guru
yang baik‟ dan juga kesepakatan dan mengenai bagaimana
mengajar yang baik
Kadangkala, nilai ujian siswa dapat dicapai meskipun
tanpa didukung guru dalam mengajar dengan baik. Untuk
mengatasinya. diperlukan asesmen dan strategi terencana guna
meningkatkan kualitas mengajar dan belajar bagi guru. Seringkali
ditemukan bahwa perbedaan latar belakang sosial ekonomi.
etnis. bahasa. dan tingkat kemiskinan siswa dapat memengaruhi
kemampuan mereka bersekolah.
Tempat kerja guru yaitu sekolah adalah satu kesatuan
penting dari hubungan dan proses. dimana sekolah mempunyai
empat dimensi yang harus menyatu, yakni fisik (atau
menciptakan lingkungan fisik yang kondusif), kognitif
(memungkinkan pembelajaran melalui interaksi). sosial (berpusat
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
96
pada hubungan etika) dan organisasional (sekolah sebagai
sebuah badan, dalam kaitannya dengan masyarakat).
Dengan demikian, guru perlu ditingkatkan dengan
berdasarkan pada beberapa kunci dasar sebagai berikut:
Pertama. motivasi utama bagi para guru adalah mengalami
kesuksesan di kelas. Inilah persyaratan minimal yang harus
dipenuhi guru sebelum menerapkan standar-standar lainnya.
Kedua. guru harus berubah dengan lebih banyak menerapkan
praktik daripada melalui teori. Ketiga, guru mempunyai
kesempatan untuk belajar. Kesempatan belajar itu direncanakan
dalam untuk pengembangan guru.
Selanjutnya, pemberian insentif yang layak bagi guru juga
sangat penting. Di Australia banyak master dan doktor yang
bersedia menjadi guru (bukan dosen) di sekolah dasar dan
menengah karena gaji mereka tercukupi di sana. Demikian juga
yang terjadi di Cina. Kemajuan dunia pendidikan yang terjadi di
akhir 90-an dan awal 2000 di Cina tidak lepas dari peran birokrat
yang memiliki visi dan komitmen yang kuat terhadap dunia
pendidikan. Pada tahun 1993, guru memiliki gaji yang rendah
dan disadari kondisi ini akan berpengaruh terhadap kinerja dan
profesionalitas guru dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimana
dapat menuntut guru melaksanakan tugas dengan optimal. kalau
dirinya menghadapi masalah dengan kesejahteraan diri dan
keluarganya. Perumahan guru yang kumuh (tidak layak) juga
dihadapi oleh Cina.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
97
Dengan memperhatikan adanya kesenjangan kualitas
dan distribusi antar daerah maka perlu ada upaya untuk
memeratakannya baik melalui kebijakan maupun dukungan
anggaran.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
98
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
5.1 Kesimpulan
Alokasi dana BOS mengalami peningkatan yang sangat
signifikan yaitu melebihi 100 persen antara periode tahun 2005-
2006. Namun demikian, Program BOS belum banyak menyentuh
daerah miskin di Indonesia. Sebagian besar penerima dana BOS
tersebut terpusat di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Jika dilihat lebih lanjut, distribusi alokasi
dana BOS antara periode tahun 2005-2007, masih menunjukkan
tingginya disparitas antar wilayah penerima dana BOS. Hal ini
dapat dilihat dari provinsi-provinsi yang memiliki persentase
penduduk miskin paling besar seperti Papua, Papua Barat,
Maluku dan Gorontalo belum memanfaatkan program BOS
secara optimal.
Terdapat kecenderungan bahwa tidak ada hubungan
antara dana BOS dengan APK SD pada tahun 2007. Hal ini
terlihat bahwa provinsi seperti Bali, Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi memiliki APK diatas
rata-rata nasional, walaupun mereka hanya menerima dana BOS
sedikit. Akan tetapi, adanya dana BOS cukup efektif dalam
menurunkan ketidakhadiran siswa pada jenjang pendidikan
dasar yang ditunjukkan yang ditunjukkan penurunan cukup tajam
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
99
dari era pra-BOS ke era BOS, yang rata-rata turun sebesar 1,27
persen. Program BOS terbukti efektif dalam meningkatkan
efisiensi internal pendidikan dasar, yang dalam hal ini
diindikasikan oleh tingkat ketidakhadiran dan angka putus
sekolah. Program BOS berhasil mempertajam laju penurunan
angka ketidakhadiran siswa pendidikan dasar. Sementara itu,
terbukti efektif dalam menurunkan angka putus sekolah.
Dalam konteks desentralisasi, pemerataan dan perluasan
akses pendidikan ditujukan pula untuk mengurangi kesejangan
akses pendidikan antar daerah. Sampai dengan tahun 1997,
secara umum disparitas akses pendidikan mengalami penurunan
yang cukup signifikan dengan melihat 2 indikator utama, Angka
Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM).
Dari sisi APK, disparitas akses pendidikan di tingkat SD
mengalami penurunan yang cukup signifikan sepanjang 2004-
2007. Disparitas APK SD mengalami penurunan dari 9,64 di
tahun 2004 menjadi 3,98 di tahun 2008. sementara disparitas
APK SMP justru cenderung tidak mengalami perubahan yang
cukup berarti, bahkan cenderung meningkat dari 11,40 di tahun
2004 menjadi 12,10 di tahun 2007. Sementara itu, disparitas
APM SD juga mengalami penurunan yang cukup berarti
walaupun tidak sebesar penurunan disparitas APK SD, yaitu dari
2,80 di tahun 2004 menjadi 1,82 di tahun 2007. untuk disparitas
APM SMP justru mengalami penurunan yang cukup berarti, dari
9,47 di tahun 2004 menjadi 8,15 di tahun 2007.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
100
Penetapan besarnya anggaran program pendidikan di
tingkat pemerintahan daerah sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah daerah. Oleh karena itu, besaran dan proporsi
alokasi anggaran pendidikan termasuk pendidikan dasar juga
bervariasi. Namun secara umum alokasi anggaran pendidikan
masih terfokus pada kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik.
Sebagai konsekuensinya, masih terbatasnya anggaran yang
berkaitan langsung dengan peserta didik atau layanan
pendidikan. Terdapat kesenjangan yang lebar dalam alokasi
anggaran pemerintah daerah kepada sektor pendidikan. Di
tingkat provinsi misalnya, kesenjangan yang cukup lebar tampak
dari anggaran untuk pendidikan dasar dan menengah per jumlah
penduduk usia 7-15 tahun di provinsi-provinsi seperti Gorontalo,
Maluku Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung justru jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan provinsi seperti Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, Lampung dan Jawa Barat. Selain itu juga, masih
banyak provinsi-provinsi yang alokasi anggarannya pendidikan
dasar dan menengahnya per jumlah penduduk 7-12 tahun ini di
bawah rata-rata nasional.
Kurangnya sosialisasi pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjadi
permasalahan tersendiri baik dalam desentralisasi pendidikan
secara umum maupun pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun secara
khusus. Terdapat inkonsistensi perencanaan dan penganggaran
pendidikan. Banyak daerah yang menempatkan pendidikan
sebagai prioritas namun dari sisi anggaran justru sebaliknya.
Studi yang dilakukan oleh SMERU tahun 2004 terhadap 10
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
101
kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan bahwa daerah yang
secara tegas menyebut pendidikan dalam visi dab misinya,
ternyata tidak satupun yang menempatkan sektor pendidikan ke
dalam 3 besar alokasi anggaran pembangunan. Sementara
terdapat daerah yang tidak menyebutkan pendidikan sebagai
prioritas pembangunan, justru mengalokasikan anggaran
pendidikan 3 besar diantara sektor lainnya.
Kinerja kuantitas guru dapat dilihat dari rasio siswa per
guru. Data antara tahun 2001/02-2005/06 menunjukkan bahwa
tren rasio siswa per guru semakin kecil, kecuali untuk MTs,
dimana pada tahun 2003/2004 dan 2004/2005 menurun, tetapi
pada tahun berikutnya meningkat kembali. Jika dilihat rasio siswa
per guru per daerah maka akan terlihat perbedaan antar daerah.
Pada tahun 2005, beberapa provinsi memiliki rasio yang lebih
besar dari rata-rata, yaitu Nusa Tenggara Timur, Jambi,
Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Irian Jaya Barat, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Gorontalo, Jawa
Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Sedangkan untuk tahun 2007
antara lain Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara
Timur, Papua, Gorontalo, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Nusa Tenggara Barat, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Banten dan Papua Barat.
Kinerja kualitas guru dapat dilihat dari tingkat pendidikan
kepala sekolah dan guru. Tingkat pendidikan dari kepala sekolah
dan pengajar ini juga sekaligus memcerminkan tingkat kelayakan
guru. Pada tahun 2006, persentase guru yang layak mengajar
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
102
pada jenjang SD dan MI yaitu 15 persen layak masih 85 persen
tidak layak. Sedangkan untuk SMP dan MTs, sebesar 60 persen
layak dan sisanya 40 persen tidak layak. Kelayakan guru lebih
tinggi di sekolah swasta daripada sekolah negeri. Dari data tahun
2006 terlihat bahwa untuk SD dan MI negeri pengajar yang layak
mengajar sebesar 14 persen, sedangkan untuk SD dan MI
swasta sebesar 21 persen. Sebaliknya untuk SMP dan MTs,
pengajar yang layak mengajar lebih besar di SMP dan MTs
negeri, yaitu sebesar 63 persen. Untuk SMP dan MTs swasta
sebesar 56 persen. Beberapa provinsi yang tingkat kelayakan
gurunya rendah sebagian besar terletak di Kawasan Timur
Indonesia seperti seluruh provinsi di Sulawesi, Papua, Nusa
Tenggara, Maluku serta sebagian provinsi di Sumatera, yaitu
Lampung, Bengkulu, Jambi dan Bangka Belitung.
5.2 Implikasi Kebijakan
Tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai kegiatan yang
dilaksanakan dalam kerangka program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun utamanya selama periode 2005-2008 telah
dijalankan melalui kerja keras serta dukungan dari seluruh
pemangku kepentingan pendidikan, baik pemerintah pusat,
pemerintah daerah, komite sekolah, dewan sekolah dan
masyarakat secara umum. Upaya perluasan akses pendidikan
baik untuk SD dan sederajat serta SMP dan sedejat dapat
dikatakan telah menunjukkan hasil-hasil yang diharapkan. Angka
Partipasi Murni tingkat SD dan sederajat meningkat dari 94,12
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
103
persen di tahun 2004 menjadi 94,9 persen di tahun 2007,
sementara Angka Partipasi Kasar SMP dan sederajat meningkat
dari 81,22 persen di tahun 2004 menjadi 92,52 persen di tahun
2007. belum lagi capaian-capaian lain seperti meningkatnya
rata-rata nilai Ujian Nasional, peningkatan tingkat kelulusan dan
capaian-capaian lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa program
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang telah
dilaksanakan selama ini telah menunjukkan hasil-hasil yang
positif dan bahkan secara signifikan melampaui indikator-
indikator kinerja yang ditargetkan.
Oleh karena itu, upaya-upaya telah dilakukan selama ini
perlu terus dilanjutkan baik untuk lebih mengoptimalkan
pembangunan pendidikan secara umum maupun pendidikan
dasar 9 tahun secara khusus. Untuk itu pulalah Studi Evaluasi
program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun ini
dilaksanakan. Selain melihat sejauhmana capaian-capaian dari
pelaksanaan program ini, juga untuk merumuskan kebijakan-
kebijakan yang dibutuhkan untuk lebih mengoptimalkan tujuan-
tujuan dari pelaksanaan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
9 Tahun.
Beberapa implikasi kebijakan yang dapat disampaikan
diantaranya adalah pertama, intensifikasi dan ekstensifikasi
sosialisasi program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
serta berbagai kebijakan yang terkait didalamnya. Diharapkan
dengan kebijakan ini dalam menggalang lebih banyak lagi peran
serta pemerintah daerah, sekolah dan masyarakat secara umum
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
104
untuk mendukung pelaksanaan program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun. Dalam hal kebijakan alokasi BOS,
sosialisasi dibutuhkan untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat mengenai tujuan dan peruntukan dana BOS dengan
menekankan pada 2 hal, yaitu: (1) bahwa program BOS hanya
memenuhi pelayanan minimum pendidikan, sehingga dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan tidak menutup partisipasi
dan kontribusi masyarakat, dan (2) sasaran utaama program
adalah untuk membebaskan biaya pendidikan bagi masyarakat
miskin sehingga tidak terjadi putus sekolah. Sementara itu
sosialisasi dalam kerangka desentralisasi pendidikan diperlukan
terutama dalam hal yang erat kaitannya dengan pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Hal ini dilaksanakan agar konsistensi dan
harmonisasi pelaksanaan Wajardikdas 9 tahun antar tingkat
pemerintahan dapat lebih ditingkatkan lagi.
Kedua, sinkronisasi kebijakan program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun serta berbagai kebijakan yang terkait
didalamnya. Sikronisasi kebijakan ini hendaknya dapat
dilaksanakan tidak saja pada tingkat kebijakan hingga tingkat
implementasi teknis di lapangan namun juga sinkronisasi antar
instansi terkait, antar tingkat pemerintah dan bahkan antar
stakeholder dalam pendidikan dasar 9 tahun diantaranya:
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dewan sekolah, pengelola
sekolah, kepala sekolah, guru, siswa bahkan masyarakat secara
umum. Sikronisasi juga dibutuhkan dalam rangkaian
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
105
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun serta berbagai
kebijakan yang terkait didalamnya. Dalam konteks desetralisasi
pendidikan, diperlukan adanya komitmen bersama antar
pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
bahkan hingga pada tingkat alokasi anggaran yang memadai
untuk penyelenggaran pendidikan dasar. Diharapkan hal ini
dapat menurunkan kesenjangan pembiayaan sektor pendidikan
antar daerah. selain itu pula diperlukan peningkatan konsistensi
antara perencanaan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang
mendukung program Wajardikdas dengan kebijakan
penganggaran juga perlu terus dilaksanakan. Sinkronisasi
kebijakan juga diperlukan dalam meningkatakan peranan guru
dalam pencapaian program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
Tahun. Kerangka kebijakan pembinaan guru yang tersistem dan
terarah diperlukan untuk dapat meningkatkan metode mengajar
yang lebih baik sehingga dalam meningkatkan prestasi siswa
dan lebih jauh lagi kualitas lulusan sekolah.
Ketiga, reformulasi kebijakan dan peraturan dalam
kerangka program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun serta
berbagai kebijakan yang terkait didalamnya. Beberapa kerangka
kebijakan yang ada hendaknya dapat disesuaikan agar sehingga
hasil yang diharapkan dapat dicapai secara lebih optimal.
Misalnya kebijakan alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS). Diperlukan rumusan formulasi alokasi BOS yang lebih
proporsional dengan berlandasakan beberapa variable seperti
jumlah siswa, jumlah guru honor, lokasi sekolah dan kondisi
sekolah. Khusus untuk sekolah tertentu seperti yang mempunyai
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
106
jumlah siswa sedikit, yang memiliki banyak guru honor, banyak
siswa miskin, sekolah khusus (SDLB atau SMPLB), sekolah yang
berlokasi di daerah terpencil perlu memperoleh titik berat tertentu
dalam alokasi BOS. Reformulasi kebijakan juga diperlukan dalam
menselaraskan kebijakan desentralisasi pemerintahan secara
umum dengan desentralisasi pendidikan secara khusus.
Keempat, reorientasi fokus program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun serta berbagai kebijakan yang terkait
didalamnya. Hal-hal yang telah dicapai hingga tahun 2007 atau
bahkan 2008 telah menunjukkan hasil yang positif dan bahkan
signifikan pada tingkat sekolah dasar dan sederajat. Ke depan,
formulasi kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
hendaknya lebih difokuskan untuk pendidikan SMP dan sederajat
sembari mempersiapkan pula instrumen-instrumen kebijakan
untuk melaksanakan wajib belajar yang lebih jauh lagi misalnya
tuntas APM untuk seluruh kabupaten/kota baik tingkat SD dan
sederajat maupun SMP dan sederajat atau bahkan Wajib Belajar
pendidikan dasar 12 tahun. Reorientasi focus kebijakan ini juga
perlu dipertimbangkan misalnya dalam kebijakan yang
berorientasi pada pembangunan fisik kepada pembangunan
kualitas pendidikan dasar. Instrumen-instrumen yang dibutuhkan
telah dilaksanakan pemerintah dan segenap pemangku sekolah,
misalnya dengan mulai diarahkannya beberapa pendidikan
bertaraf internasional, mulai dilaksanakannya peningkatan
kualitas guru selain ketersediaan guru dan bahkan hal-hal lain
yang berkaitan dengan manajemen sekolah. Peningkat kualitas
guru baik dari sisi latar belakang pendidikan secara formal
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
107
maupun kesesuaian bidang-bidang pengajaran sesuai dengan
kebutuhan siswa perlu terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Selain
itu pula, untuk lebih meningkatkan capaian dalam pemerataan
akses pendidikan, skema insentif bagi guru di daerah tertentu
perlu terus dikembangkan dan ditingkatkan.
Dengan beberapa implikasi kebijakan di atas diharapkan
ke depan tidak saja perluasan akses pendidikan dasar bagi
masyarakat tetapi juga pemerataan pendidikan baik antar daerah
maupun antar lapisan masyarakat dapat lebih dioptimalkan.
Implikasi di atas hendaknya dapat menjadi pertimbangan untuk
perumusan kebijakan Wajib Belajar yang akan datang atau
bahkan lebih jauh lagi menjadi satu pijakan untuk lebih
meningkatkan pembangunan pendidikan nasional.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
108
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
______________, 1965. Illustrated World Encyclopedia, Bobley Publishing Company.
______________, 1965.The World University Encyclopedia, Publishing Company, Washington.
______________, 1994. Inpres No.1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
______________, 2006. Inpres No.5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.
______________, 2007.Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
______________, 1993. Encyclopedia Americana, Glolier, Incorporated.
______________, 2003. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
______________, 2003. Desentralisasi Pendidikan Butuh Kejelasan Kewenangan, KOMPAS, 18 Desember.
______________, 2007. Akibat Desentralisasi Pendidikan, www.wawasandigital.com, 24 Juli.
_____________,2008. Prospek dan Tantangan Desentralisasi Pendidikan, http://caturratna.wordpress.com, 10 Juni.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
109
Bayhaqi, Akhmad, 2004. Decentralization in Indonesia: The Possible Impact on Education (Schooling) and Human Resource Development for Local Regions, LPEM-UI.
Bentri, Alwen.,et.al “Efektifitas Pelaksanaan Wajib Belajar Sembilan Tahun di Sumatera Barat. Universitas Negeri Padang
Bruce Joyce, Improving America’s Schools. Longman Publishing Group (January 1986)
Charles P. Cozic , Education in America, Greenhaven Pr, 1992
Depdiknas, 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009, Desember.
______________, Lakip 2005-2008
http://endang965.wordpress.com/2007/05/06/potret-pendidikan-di-jepang
http://forum.wgaul.com/archive/thread/t-47086-Pendidikan -di-Amerik-Serikat.html
http://one.indoskripsi.com/content/sistem-pendidikan-di-argentina
http://panmohamadfaiz.com/2007/08/29/hukum-dan-pendidikan-di-india
Kingdon, Geeta Gandhi. (2007).”The Progress of School Education in India”. Global Poverty Research Group (GPRG) and Economic and Social Research Council (ESRC)
SMERU “Kajian Cepat PKPS-BBM bidang Pendidikan: Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2005” September 2006
Subroto, Purwanto, 2007. Financing education Sectot Under the Curret Decetralized System in Indonesia: Disparities in Education Expenditures per Student at Public Junior Secondary Schools, University of Pittsburgh, June.
Review Kaitan Program Wajardikdas 9 Tahun Dengan Beberapa Isu Pembangunan
110
Toyamah N., Usman S, 2004. Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar, SMERU, Juni.
Tiedao, Zhang., Minxia, Zhao., Xueqin, Zhao., Xi, Zhang and Yan, Wang. (2004).”Universalizing Nine-Year Compulsory Education for Poverty Reduction in Rural China. Scaling Up Poverty Reduction: A Global Learning Process and Conference. Shanghai.
Usman S.,dkk, 2008. Mekanisme dan Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK), SMERU, April.
World Bank: Poverty Reduction & Economic Management Unit East Asia & Pacific Region “ Investing in Indonesia’s Education: Allocation, Equity & Efficiency of Public Expenditure”. Januari 2007