7
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infrasruktur merupakan fasilitas fisik beserta layanannya, yang diadakan untuk mendukung bekerjanya sistem sosial ekonomi, agar menjadi lebih berfungsi bagi usaha memenuhi kebutuhan dasar dan memecahkan berbagai masalah. Dari dimensi ekonomi, infrastruktur mecakup infrastruktur ekonomi (jalan, rel, pelabuhan, tol); infrastruktur ekonomi (bank, pasar, mal, pertokoan); infrastruktur pertanian (irigasi, bendungan, distribusi irigasi); serta infrastruktur sosial (bangunan ibadah, pelayanan masyarakat); infrastruktur kesehatan (puskesmas, rumah sakit); infrastruktur energi (pembangkit listrik, minyak); dan infrastruktur telekomunikasi. Secara tradisional, infrastruktur ekonomi direncanakan, dibangun, dioperasikan, dan dipelihara oleh pemerintah. Persepsi ini didorong oleh konsep bahwa infrastruktur ekonomi merupakan barang publik (public goods), yaitu adanya konsumsi oleh satu pihak tidak mengurangi konsumsi pihak lainnya, serta semua orang mempunyai akses dan hak yang sama untuk menggunakan infrastruktur, tanpa harus membayar. Oleh karena itu, pemerintah menjamin pengadaannya dalam tugasnya melancarkan perekonomian negara, memudahkan pergerakan masyarakat, serta melindungi kepentingan dan keselamatan rakyat banyak. Contoh dari barang publik yang dibangun oleh pemerintah adalah jaringan jalan dan jembatan, serta jaringan jalan kereta api. Dengan karakteristik seperti itu, penyelenggaraan infrastruktur secara alamiah dimonopoli oleh sektor publik (Michel Kerf, 1998). Pemberlakuan sistem otonomi daerah dengan dasar UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah mendelegasikan beberapa kewenangan oemerintah pusat kepada pemerintah daerah, salah satu di antaranya adalah sektor transportasi. Hal tersebut menjadikan Pemda

Revenue

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hsdf

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangInfrasruktur merupakan fasilitas fisik beserta layanannya, yang diadakan untuk mendukung bekerjanya sistem sosial ekonomi, agar menjadi lebih berfungsi bagi usaha memenuhi kebutuhan dasar dan memecahkan berbagai masalah. Dari dimensi ekonomi, infrastruktur mecakup infrastruktur ekonomi (jalan, rel, pelabuhan, tol); infrastruktur ekonomi (bank, pasar, mal, pertokoan); infrastruktur pertanian (irigasi, bendungan, distribusi irigasi); serta infrastruktur sosial (bangunan ibadah, pelayanan masyarakat); infrastruktur kesehatan (puskesmas, rumah sakit); infrastruktur energi (pembangkit listrik, minyak); dan infrastruktur telekomunikasi.Secara tradisional, infrastruktur ekonomi direncanakan, dibangun, dioperasikan, dan dipelihara oleh pemerintah. Persepsi ini didorong oleh konsep bahwa infrastruktur ekonomi merupakan barang publik (public goods), yaitu adanya konsumsi oleh satu pihak tidak mengurangi konsumsi pihak lainnya, serta semua orang mempunyai akses dan hak yang sama untuk menggunakan infrastruktur, tanpa harus membayar. Oleh karena itu, pemerintah menjamin pengadaannya dalam tugasnya melancarkan perekonomian negara, memudahkan pergerakan masyarakat, serta melindungi kepentingan dan keselamatan rakyat banyak. Contoh dari barang publik yang dibangun oleh pemerintah adalah jaringan jalan dan jembatan, serta jaringan jalan kereta api. Dengan karakteristik seperti itu, penyelenggaraan infrastruktur secara alamiah dimonopoli oleh sektor publik (Michel Kerf, 1998). Pemberlakuan sistem otonomi daerah dengan dasar UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah mendelegasikan beberapa kewenangan oemerintah pusat kepada pemerintah daerah, salah satu di antaranya adalah sektor transportasi. Hal tersebut menjadikan Pemda (Propinsi dan Kabupaten/Kota) memegang peranan sangat penting dalam mewujudkan ketersediaan infrastruktur transportasi yang dapat mendukung aktivitas transportasi daerah dan terintegerasi dalam sebuah sistem transportasi nasional (Sistrans).Namun, kebutuhan investasi yang sangat besar tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah saja, hanya sekitar 50% dari perkiraan investasi prasarana dapat terpenuhi APBN, keuntungan BUMN, dan bantuan pembangunan dari luar negeri (Ima Oktorina, 2010). Oleh karena itu, pembangunan pelayanan infrastruktur publik harus memperhatikan sektor pendanaan lainnya, antara lain dengan menerapkan metode kerjasama pemerintah dan swasta (KPS).KPS atau Public Private Partnership (PPP) dapat diterjemahkan sebagai perjanjian kontrak antara swasta dan pemerintah, yang keduanya bergabung bersama dalam sebuah kerjasama untuk menggunakan keahlian dan kemampuan masing-masing untuk meningkatkan pelayanan kepada publik di mana kerjasama tersebut dibentuk untuk menyediakan kualitas pelayanan terbaik dengan biaya yang optimal untuk publik. Secara umum, bentuk kontrak KPS terdiri dari konsesi Build Operate and Transfer (BOT) dan joint ventures.Bangun guna serah atau build operate and transfer adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir.Esai ini membahas konsep pembiayaan pembangunan proyek pembangunan monorail Pemerintah Kota Bandung yang menerapkan sistem kerjasama pemerintah dan swasta menggunakan skema BOT.

1.2 TujuanTujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pola pembiayaan dalam proyek pembangunan monorel di Kota Bandung.

BAB IICRITICAL REVIEWProyek pembangunan monorel oleh Pemkot Bandung akan terbagi menjadi 2 koridor, yakni Trans Cikapundung (Dago Bengkok-Pasirluyu) sepanjang 11.5 km dan pusat kota Bandung dengan panjang total 28.9 km. Total biaya diperkirakan mencapai Rp 6 triliun. Dengan biaya pembangunan yang sangat besar, kemungkinan tingginya harga tiket monorel kepada masyarakat dapat terjadi. Apalagi apabila proyek ini hanya didanai oleh APBD Pemkot saja. Hingga saat ini, Pemkot Bandung mematok harga tiket monorel dalam kisaran R0 7.000- Rp 12.500.Maka untuk mengantisipasinya, proyek tersebut akan dilaksanakan dengan bekerjasama dengan pihak swasta melalui skema build operation transfer (BOT). Menurut Pasal 1 ayat (12) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara-Daerah, yang menyatakan bahwa Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Dengan kata lain, investor (pihak swasta) akan membangun dan mengoperasikan proyek ini sampai jangka waktu tertentu, setelah selesai masa konsesi, maka proyek tersebut akan diambil alih pemerintah.Gambar 1 Rute monorel Kota BandungSumber: Revisi RTRW Kota Bandung 2010-2030

Selain itu, Pemkot Bandung juga memberikan iming-iming berupa 8 lokasi properti strategis yang dapat dimanfaatkan oleh investor proyek monorel. Keuntungan dari adanya lokasi ini nantinya juga akan digunakan untuk mensubsidi proyek monorel.Dalam Buku Public Private Partnerships Infrastructure Projects Plan in Indonesia tahun 2013, disebutkan bahwa alokasi dana proyek monorel Kota Bandung yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

Gambar 2 Tabel anjuran alokasi dana proyek pembangunan monorel Kota BandungSumber: PPP Infrastructure Project Plan in Indonesia, 2013

Disebutkan pula, bahwa dalam transaksi BOT, investor tidak hanya bertanggung jawa dalam pembangunan dan penganggaran dana saja, namun juga dalam pengoperasian dan pemeliharaan fasilitas sepanjang masa kontrak. Dalam hal ini, investor hanya menerima pembayaran layanan ketika fasilitas telah dibangun dan dioperasikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pada akhir masa kontrak, fasilitas ini akan dialihkan kepada pemerintah.Sistem BOT merupakan solusi alternatif yang efektif dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Bagi Pemkot Bandung, pembangunan proyek monorel dengan metode BOT menguntungkan, karena dapat membangun infrasturktur dengan biaya perolehan dana dan tingkat bunga yang relatif rendah, dapat mengurangi pengunaan dana anggaran publik dan juga mengurangi jumlah pinjaman publik, serta setelah masa konsensi bangunan dan fasilitas yang ada akan diserahkan kepada pemerintah. Pemkot Bandung juga tidak menanggung resiko kemungkinan terjadinya perubahan kurs.Sementara bagi investor, pembangunan infrasruktur dengan pola BOT merupakan pola yang menarik, karena memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap infrastruktur yang dibangunnya, adanya kesempatan untuk memasuki bidang usaha dengan hak ekslusif yang hanya dimiliki oleh pemerintah atau BUMN atau juga BUMD yang bersangkutan serta mendapatkan keuntungan saat pengoperasian.Di sisi lain, kekurangan skema BOT memerlukan dana yang besar dan rentan terhadap sejumlah risiko. Risiko yang umum terjadi pada BOT antara lain adanya risiko konstruksi proyek yang diinginkan tidak dapat terealisasi hingga waktu yang telah ditentukan; risiko membengkaknya biaya yang melebihi perkiraan biaya semula; risiko politik yaitu risiko yang timbul dari stabilitas negara yang terganggu seperti huru- hara, unjuk rasa yang tak terkendali, atau perang; risiko musibah yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, gempa, badai; risiko pasar produk yang akan dijual atau jasa yang akan dilakukan ternyata tidak dapat menutupi semua pengeluaran yang telah dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi segala resiko tersebut, pelaksanaan BOT harus dipersiapkan, dilaksanakan dan diawasi dengan baik agar tidak merugikan daerah baik dari sisi pendapatan, lingkungan, kepemilikan aset maupun dari sisi potensi hilangnya aset daerah.BAB IIIPENUTUP3.1 KesimpulanMenurut Pasal 1 ayat (12) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara-Daerah, yang menyatakan bahwa Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.Pembiayaan pembangunan menggunakan skema BOT dianggap mampu menguntungkan kedua belah pihak, baik pemerintah maupun swasta. Di antaranya, pemerintah daerah tidak perlu terbebani dengan pengalokasian dana untuk proyek yang sangat besar melalui APBD, sementara pihak swasta memiliki hak untuk menguasai infrastruktur yang dibangun, dalam jangka waktu yang cukup lama.Di sisi lain, resiko kerugian juga mungkin terjadi. Perhitungan dan peristiwa di masa depan yang tidak terprediksi, misalnya perang, musibah, inflasi kurs mata uang, dapat merugikan salah satu atau bahkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, perjanjian di awal (BOT agreement) harus diterangkan secara mendetil mengenai segala konsekuensi yang harus ditanggung apabila terjadi hal-hal tak terprediksi.

3.2 Daftar PustakaLince, Eppang. 2014. Ridwan Kamil: Tiket monorel di Bandung maksimal Rp 12.500. Diunduh di http://www.indonesiainfrastructurenews.com/2014/09/ridwan-kamil-tiket-monorel-di-bandung-maksimal-rp-12-500/ pada Oktober 2014Nugraha, Sendi. 2012. Perjanjian Build Operate and Transfer. Diunduh di http://sendhynugraha.blogspot.com/2012/11/perjanjian-build-operate-and-transfer.html pada Oktober 2014Bappenas RI, 2013. PPP Infrastructure Project Plan in Indonesia. Jakarta: Bappenas.