Upload
dinhdieu
View
263
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
RESIKO PERTANIAN INDONESIA:
PERSEPSI PETANI TERHADAP RESIKO PERTANIAN
(Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor)
A N D I Y O N O
AGROCAMPUS OUEST RENNES -
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R
2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam Laporan Tugas Akhir yang berjudul :
Resiko Pertanian Indonesia:
Persepsi Petani Terhadap Resiko Pertanian
(Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor)
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan dari
komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tugas
akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lainnya.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan ini.
Bogor, Januari 2012
A n d i y o n o
P054090205
ABSTRACT
Andiyono. Agricultural Risks in Indonesia: Farmers’ Perception on
Agricultural Risks (A Case Study: Farmers of Food Crops in Bogor Areas)
Supervised by Rizal Syarief and Nora H. Pandjaitan from Bogor Agricultural
University (Indonesia), Jean Cordier and Catherine Laroche Dupraz from
Agrocampus Ouest Rennes (France).
Agricultural risks are a serious matter faced by farmers. The objectives of
this study were to identify agricultural risks and risks scores at farm households
based on the perception of food crop farmers and to develop effective strategies to
deal with agricultural risks. The study was conducted from May to September
2011 in Bogor areas. The analysis methods used in this study were qualitative-
descriptive, FGD, SWOT, IE and QSPM. The results showed that based on
farmers' perceptions, the agricultural risks included production risks, market risks,
human risks, institutional risks and financial risks. The highest impact of the risks
on farm was the production risk, mainly influenced by pests and diseases. Risk
management strategies implemented by farmers were through the use of inputs.
Meanwhile, if there was a failure that interfered with family income and the
sustainability of farming, farmers would choose to use the income from off-farm
work, or to borrow from other parties as a manifestation of risk management
strategies. The results of the study also showed that farming activities in Bogor
areas were in a stable position. Alternative strategies that need to be considered in
coping with agriculture risks were that the government should: (1) be consistent
with agricultural policies that had been issued, (2) strengthen the agribusiness
development program, (3) encourage investment in agribusiness of food crops
subsector, (4) perform the intensification and diversification of agricultural
activities, (5) consolidate farmers through institutional development of farmers’
groups and institutional partnership (contract farming), and (6) protect the rights
of farmers by legislation and regulation.
Keywords: farmers, perception, agricultural risks, management, food crops
RINGKASAN
Andiyono. Resiko Pertanian Indonesia: Persepsi Petani Terhadap Resiko
Pertanian (Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor).
Dibawah bimbingan : Rizal Syarief dan Nora H. Pandjaitan dari Institut Pertanian
Bogor (Indonesia), Jean Cordier dan Catherine Laroche Dupraz dari Agrocampus
Ouest Rennes (Prancis).
Berusaha di bidang pertanian diketahui secara umum mempunyai potensi
yang tinggi, namun juga memiliki resiko yang sangat besar. Resiko pertanian
terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, dimulai dari keragaman dan perubahan
iklim, terjadinya bencana alam, ketidakpastian dalam produktivitas dan harga,
kelemahan infrastruktur pedesaan, kelemahan pasar dan kurangnya pelayanan
keuangan termasuk terbatasnya alat-alat pengendalian resiko seperti kredit dan
asuransi, yang masih sedikit sekali menyentuh dunia pertanian.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi resiko-resiko pertanian
di wilayah Bogor. 2) Mengidentifikasi tingkat resiko pertanian di wilayah Bogor
berdasarkan persepsi petani. 3) Menyusun strategi yang efektif untuk menghadapi
resiko-resiko pertanian di wilayah Bogor. Penelitian ini merupakan studi kasus
pada petani tanaman pangan di wilayah Bogor.
Data yang dibutuhkan berasal dari data primer dan sekunder. Data primer
bersumber dari wawancara melalui kuesioner dan FGD kepada petani/kelompok
tani, akademisi dan stakeholders terkait serta observasi langsung di lapangan.
Data sekunder didapat dari studi kepustakaan.
Metode pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda deskriptif
kualitatif, FGD, SWOT, IE dan QSPM. Pengolahan data dilakukan dengan
bantuan Microsoft Excel.
Berdasarkan hasil FGD dengan petani/kelompok tani teridentifikasi 5
(lima) resiko pertanian utama yaitu resiko produksi yang disebabkan oleh
serangan hama dan penyakit serta pengaruh dari perubahan iklim, resiko
pemasaran yang mencakup perubahan harga input maupun output serta distribusi
produk, dan resiko keuangan yang disebabkan lemahnya akses terhadap
permodalan. Manajemen strategi utama yang dilakukan di tingkat petani adalah
melalui penggunaan input produksi. Jika terjadi kekurangan pendapatan rumah
tangga dan untuk keberlanjutan usahatani, petani cenderung memilih untuk
menggunakan pendapatan dari usaha off farm, atau meminjam dari pihak lain
seperti teman, tetangga atau tengkulak.
Berdasarkan hasil FGD kepada akademisi dan intansi terkait dapat
teridentifikasi faktor strategi, terdapat lima faktor kunci kekuatan internal yaitu :
jumlah sumberdaya manusia di sektor pertanian, sumberdaya alam yang
mendukung, dukungan dari pemerintah, kerja keras dan pengalaman petani, serta
produk pertanian yang renewable. Enam faktor kunci kelemahan yaitu : lemahnya
keterampilan dan rendahnya pengetahuan petani, penyempitan lahan dan
rendahnya infrastruktur, lemahnya kelembagaan petani, lemahnya permodalan
petani, lemahnya infomasi dan teknologi, serta kurangnya manajemen kerja.
Lima faktor kunci peluang yaitu : pangsa pasar yang besar, pengembangan
agroindustri, terbukanya kerjasama dengan berbagai pihak, penggunaan hasil riset
dan teknologi, terbukanya kredit dan asuransi pertanian. Lima faktor kunci
ancaman yaitu : besarnya resiko produksi, perdagangan bebas, fluktuasi harga
produk pertanian, produk impor dan monopoli distribusi oleh pengusaha besar.
Hasil matriks IFE dengan skor 2,395 dan matrik EFE dengan skor 2,285,
berarti pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor pada matrik IE menempati
posisi kuadran V. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian tanaman pangan di
wilayah Bogor berada pada kuadran pertumbuhan/stabilisasi dan untuk itu perlu
dilakukan strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Hasil analisis
dengan metoda QSPM menunjukkan bahwa pertanian tanaman pangan di Bogor
harus dapat menjalankan strategi yang direkomendasikan dengan urutan prioritas :
1) Meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian, 2) Penguatan
pengembangan agribisnis, 3) Mendorong investasi di sub sektor agribisnis
tanaman pangan, 4) Intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan, 5) Pembinaan
terpadu dan pengembangan kemitraan serta 6) Melindungi hak pelaku agribisnis
melalui legislasi dan regulasi.
Peran konkrit pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi hak
kepemilikan pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi termasuk menjamin
hak-hak dalam kontrak agribisnis antar pelaku; mendorong dan meningkatkan
daya saing dengan memfasilitasi faktor-faktor pendukung kompetisi terhadap
produk bangsa lain; memfasilitasi akses terhadap barang publik seperti riset,
teknologi, informasi dan infrastruktur termasuk peran dalam stabilisasi harga,
serta penyediaan kredit pertanian dengan bunga rendah. Selain itu, perlu juga
dipertimbangkan untuk memberikan subsidi dalam bentuk asuransi kepada petani
sebagai sarana untuk mengatasi resiko-resiko pertanian terutama resiko produksi.
© Hak Cipta IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB
2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
RESIKO PERTANIAN INDONESIA:
PERSEPSI PETANI TERHADAP RESIKO PERTANIAN
(Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor)
A N D I Y O N O
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional pada
Program Studi Industri Kecil Menengah
AGROCAMPUS OUEST RENNES -
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R
2012
Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Suryahadi, DEA
Judul Tugas Akhir : Resiko Pertanian Indonesia:
Persepsi Petani Terhadap Resiko Pertanian
(Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor)
Nama : Andiyono
Nomor Pokok : P054090205
Program : Industri Kecil Menengah
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS
Ketua
Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Industri Kecil dan Menengah
Prof.Dr.Ir. H. Musa Hubeis, MS,Dipl.Ing, DEA
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 10 Januari 2012 Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sei. Duri, Kalimantan Barat pada tanggal 16 Maret 1983
sebagai putra sulung dari pasangan Bapak Sulaiman (Alm.) dan Ibu Dahlia.
Tahun 1995, penulis lulus Sekolah Dasar (SD) Negeri 4 Sambas,
kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Sambas
dan lulus tahun 1998. Selanjutnya penulis diterima di Sekolah Menengah Atas
(SMA) Negeri 1 Sambas dan lulus tahun 2001. Gelar sarjana diperoleh penulis
tahun 2007 dari Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian,
Universitas Tanjungpura Pontianak.
Pada tahun 2008 penulis diterima bekerja sebagai Tenaga Pengajar di
Politeknik Terpikat Sambas. Penulis menikah dengan Fitri Yulianti pada tahun
2008 dan dikaruniai 1 (satu) orang putri yaitu Azzia Salsa Abia (2 tahun). Penulis
melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Program Studi Industri Kecil
Menengah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 dan
Grand Ecole Agrocampus Ouest Rennes pada tahun 2010, melalui beasiswa
Double Degree Indonesia Perancis (DDIP) yang diselenggarakan oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia dan
Kementerian Pendidikan Tinggi dan Penelitian Prancis dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan wawasan tenaga pengajar politeknik di Indonesia.
i
PRAKATA
Segala puji dipanjatkan bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tugas akhir yang berjudul Resiko
Pertanian Indonesia: Persepsi Petani Terhadap Resiko Pertanian (Studi Kasus:
Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor) ini merupakan salah satu syarat untuk
penyelesaian studi pada Program Studi Magister Profesional Industri Kecil
Menengah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih disampaikan atas bantuan yang diberikan oleh
berbagai pihak sehingga tugas akhir ini bisa terselesaikan. Untuk itu, disampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku pembimbing utama yang telah
memberikan arahan, bimbingan dan dorongan selama kegiatan kajian dan
penulisan tugas akhir ini.
2. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA selaku pembimbing anggota yang juga telah
memberikan pengarahan dan bimbingannya.
3. Jean Cordier, Ph.D dan Dr. Catherine Laroche Dupraz selaku pembimbing
dari Agrocampus Ouest Rennes, Prancis.
4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah turut
memberi bantuan dan dukungan.
5. Ibuku tercinta atas dukungan, serta dorongan semangat yang luar biasa
sehingga penulis dapat diselesaikan, serta istri dan anakku tersayang atas
pengertian dan cintanya yang selalu memberikan inspirasi bagi penulis untuk
segera menyelesaikan penulisan ini.
6. Kepada seluruh petani, kelompok tani, akademisi dan stakeholders yang
terkait dengan manajemen resiko pertanian yang telah banyak membantu
dalam memberikan informasi yang berharga di lapangan.
7. Teman-teman MPI angkatan ke-12 yang sudah ikut memberikan dorongan dan
bantuan moril dalam penulisan karya akhir ini.
8. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian tulisan ini.
ii
Diharapkan tulisan ini dapat menambah khasanah pengetahuan bagi
pembangunan pertanian di Indonesia. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk
kesempurnaannya. Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkannya.
Bogor, Januari 2012
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. vi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 4
C. Tujuan ................................................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
A. Petani dan Usahatani ............................................................................................ 5
B. Pertanian Tanaman Pangan ..................................................................................... 6
C. Persepsi, Resiko Pertanian dan Tipologi Resiko ..................................................... 7
D. Analisis SWOT dan QSPM .................................................................................. 10
BAB III. METODOLOGI ......................................................................................... 13
A. Lokasi dan Waktu ................................................................................................ 13
B. Pengumpulan Data ................................................................................................ 13
C. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................... 14
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 25
A. Gambaran Umum Wilayah ................................................................................... 25
B. Persepsi Petani terhadap Resiko Pertanian ............................................................ 33
C. Manajemen Resiko di Tingkat Petani ................................................................... 39
D. Analisis Faktor Lingkungan .................................................................................. 42
E. Analisis SWOT ................................................................................................... 52
F. Alternatif Strategi ....................................................................................... 57
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 61
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 61
B. Saran ...................................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 65
LAMPIRAN .............................................................................................................. 69
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Matriks IFE ..................................................................................... 19
Tabel 2. Matriks EFE.................................................................................... 20
Tabel 3. Matriks QSP ................................................................................... 23
Tabel 4. Luas lahan, produksi dan produktivitas tanaman padi,
palawija dan hortikultura (sayuran) di wilayah Bogor .................... 27 Tabel 5. Karakteristik responden ................................................................... 30
Tabel 6. Matriks IFE pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor ............. 50
Tabel 7. Matriks EFE pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor ............ 51
Tabel 8. Matriks SWOT ............................................................................... 53
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Matriks IE ............................................................................... 21
Gambar 2. Matriks SWOT ........................................................................ 22
Gambar 3. Peta daerah kajian ................................................................... 25
Gambar 4. Luasan penggunaan lahan wilayah Bogor............................... 27
Gambar 5. Pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat
wilayah Bogor tahun 2009 ...................................................... 28
Gambar 6. Pola tanam yang dilaksanakan petani di wilayah Bogor ......... 32
Gambar 7. Biaya produksi dan pendapatan petani responden .................. 33
Gambar 8. Skor resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan ...... 34
Gambar 9. Perbedaan harga di tingkat petani dan pasar ........................... 36 Gambar 10. Skor manajemen resiko berdasarkan persepsi petani
tanaman pangan ...................................................................... 40
Gambar 11. Matriks IE kegiatan usahatani di wilayah Bogor .................... 52
Gambar 12. Urutan strategi prioritas berdasarkan QSPM .......................... 58
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kuesioner penelitian bagi petani/kelompok tani ...................... 69
Lampiran 2. Kuesioner penelitian bagi akademisi dan stakeholder terkait .. 74
Lampiran 3. Skor persepsi terhadap resiko pertanian di tingkat petani ........ 82
Lampiran 4. Skor manajemen resiko pertanian di tingkat petani ................. 83
Lampiran 5. Rekapitulasi bobot faktor internal dan eksternal ...................... 84
Lampiran 6. Rekapitulasi rating faktor internal dan eksternal ..................... 85
Lampiran 7. Perhitungan matriks QSP ......................................................... 86
Lampiran 8. Skor resiko usahatani tanaman pangan: persepsi
akademisi dan stakeholders ..................................................... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan
penting di dunia terutama di negara-negara berkembang. Lebih dari 65 %
penduduk di negara-negara berkembang tinggal secara permanen, bahkan turun-
temurun, di perdesaan, sedangkan di negara-negara maju penduduk yang tinggal
di desa kurang dari 27 %. Demikian pula halnya dengan lapangan kerja, yaitu
sekitar 58 % tenaga kerja di negara-negara Dunia Ketiga mencari nafkah di sektor
pertanian, sedangkan di negara maju hanya 5 % (Todaro,2000).
Di Indonesia sektor pertanian secara umum merupakan lapangan kerja
utama. Tercatat lebih dari 50% penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sektor
pertanian bukan hanya menyediakan bahan pangan saja tetapi juga menyediakan
lapangan kerja yang cukup besar. Selain itu sektor pertanian juga menyediakan
bahan baku industri serta bahan baku ekspor baik mentah maupun olahan.
Berusaha di bidang pertanian dapat dikatakan mempunyai potensi yang tinggi,
namun juga memiliki resiko yang sangat besar.
Usaha pertanian memiliki karakteristik sebagai usaha yang penuh resiko
terhadap dinamika alam, bersifat biologis dan musiman, serta rentan terhadap
serangan hama dan penyakit. Faktor-faktor tersebut secara bersama-sama maupun
sendiri-sendiri dapat menyebabkan kerugian bagi petani. Dengan demikian petani
secara terus menerus dihadapkan pada pilihan antara mendapatkan keuntungan
yang besar tapi dengan resiko yang tinggi atau memilih resiko yang lebih rendah
tapi juga dengan keuntungan yang kecil.
Resiko pertanian memainkan peran yang dominan dalam pengambilan
keputusan di tingkat petani, namun perannya lebih penting lagi dalam
pengendalian ketahanan dan keamanan pangan terutama akses makanan ke
masyarakat. Pembuat kebijakan juga dihadapkan kepada tantangan yang besar,
khususnya di negara-negara berkembang, dalam menjamin kemudahan terhadap
akses makanan pada tingkat harga yang terjangkau bagi masyarakat, karena hal ini
1
2
dipengaruhi oleh ketidakpastian iklim dan perubahan pasar bahan makanan
sebagai hasil dari kebijakan dan produksi dari negara-negara lain.
Resiko pertanian terjadi karena berbagai faktor, seperti keragaman dan
perubahan iklim, bencana alam, ketidakpastian dalam produktivitas dan harga,
kelemahan infrastruktur perdesaan, kelemahan pasar dan kurangnya pelayanan
keuangan, termasuk terbatasnya span dan model dari instrumen-instrumen
pengendalian resiko seperti kredit dan asuransi yang masih sedikit sekali
menyentuh dunia pertanian. Faktor-faktor ini tidak hanya membahayakan
kehidupan dan pendapatan para petani tetapi juga melemahkan kekuatan dan
potensi sektor pertanian sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kemiskinan
petani dan buruh pertanian.
Sektor pertanian Indonesia sebagaimana negara-negara berkembang
lainnya menghadapi sejumlah masalah/resiko yang umum terjadi. Secara umum,
petani memiliki kontrol (yaitu dengan keamanan yang sangat sedikit atas
kepemilikan) hanya sebagian kecil lahan yang miskin hara atau habis dan sering
terpecah-pecah, mereka memiliki tingkat modal sumberdaya manusia yang sangat
rendah dalam hal pendidikan, pengetahuan dan kesehatan yang digunakan untuk
bekerja, dan mereka menderita utang kronis dan kurangnya aksesibilitas untuk
kredit kelembagaan dan input. Bersamaan, mereka menghadapi pasar dan harga
yang tidak stabil, mereka menerima dukungan ekstensi yang tidak memadai,
mereka memiliki akses yang sedikit terhadap kontrol dan operasi dari lembaga-
lembaga pedesaan, dan mereka tidak memiliki kekuatan sosial ekonomi untuk
mendapatkan akses yang lebih baik ke layanan publik dan lainnya yang tersedia
untuk seluruh anggota masyarakat. Akibatnya, keberadaan petani kecil itu sering
berbahaya dan efek cuaca yang buruk atau harga dapat menjadi bencana bagi
petani dan keluarganya (Dillon dan Hardaker, 1989).
Salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani adalah sempitnya lahan
pertanian yang menjadi gantungan hidup mereka. Dengan luas lahan hanya 0,5 ha
atau kurang, hasil panen tanaman pangan tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan pokok keluarga, apalagi bila lahan yang dimiliki berupa lahan kering
dan ditanami padi gogo dan atau palawija (Abdurrahman et al., 2009). Kondisi
sekarang banyak lahan pertanian yang beralih fungsi mengikuti pertumbuhan
3
penduduk dan kebutuhan dalam perkembangan ekonomi (eksternal) dan
berlakunya sistem pewarisan keluarga (internal) (Darwis, 2009). Menurut Irawan
(2009) konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian seperti kompleks
perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan sarana publik dapat
menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan
lahan yang sempit, efisiensi produksi akan sulit ditingkatkan dan pendapatan total
petani menjadi terbatas.
Menurunnya jumlah produksi merupakan resiko utama yang sering terjadi
akibat pengaruh perubahan alam. Curah hujan yang berlebihan selama musim
hujan kemungkinan akan menimbulkan resiko banjir dan meningkatnya suhu juga
akan menciptakan kekeringan selama musim kemarau (Widiyanti, 2009).
Gabungan kekuatan dari variabilitas iklim dan perubahan iklim dapat memberikan
dampak yang sangat dramatis terhadap produksi pertanian di Indonesia (Naylor et
al., 2007). Selain itu fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin
meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan hama dan
penyakit tanaman/organisme pengganggu tanaman (OPT). Hal ini merupakan
beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di
Indonesia (Balitklimat, 2011).
Problem mendasar lainnya bagi petani Indonesia adalah ketidakberdayaan
dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Posisi tawar petani pada saat
ini umumnya lemah, hal ini merupakan salah satu kendala dalam usaha
meningkatkan pendapatan petani. Lemahnya posisi tawar petani umumnya
disebabkan petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan
permodalan yang kurang memadai (Sesbany, 2011). Permodalan yang kurang
memadai memberikan dampak terhadap pembiayaan terhadap produksi pertanian
yang masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari kecenderungan rasio penerimaan
petani dibanding biaya input produksi yang semakin kecil. Lemahnya permodalan
ini diiringi dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia petani yang mencakup
rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, dan penguasaan teknologi, lemahnya
motivasi untuk berkembang dan mempertahankan hak-hak mereka, serta
kurangnya jiwa kepemimpinan di kalangan para petani itu sendiri (Baga, 2005).
4
Masalah pemasaran dan harga hasil-hasil pertanian yang cenderung turun
dan mengalami fluktuasi di pasaran domestik maupun dunia (Firdausy, 2005).
Dua faktor yang menyebabkan kecenderungan ini. Pertama hasil pertanian
umumnya tidak tahan lama bahkan mudah rusak, karena itu tidak bisa disimpan
lama tanpa teknologi pengawetan, dan sulit dijual ke tempat yang jauh. Kedua,
produk pertanian bersifat musiman sehingga dalam waktu-waktu tertentu jika
terjadi panen secara serempak, pasokan melimpah dan harga akan turun sesuai
dengan hukum permintaan dan penawaran. Sebenarnya dengan teknologi
pengolahan hasil pertanian, produk pertanian bisa lebih tahan lama dan meningkat
nilai tambahnya. Tetapi industri pengolahan menginginkan harga yang murah dan
dalam jumlah yang besar.
Mengingat banyaknya resiko usaha pertanian, sudah selayaknya usaha
pertanian mendapat perhatian khusus untuk memperkecil resiko. Selain itu juga
diperlukan cara-cara penanganan yang tepat terhadap resiko-resiko pada usaha
pertanian di Indonesia. Berdasarkan pemikiran di atas, maka perlu dilakukan
kajian awal mengenai persepsi petani terhadap resiko pertanian di Indonesia
dengan studi kasus petani tanaman pangan di wilayah Bogor.
B. Rumusan Masalah
1. Resiko-resiko pertanian apa saja yang sering terjadi di wilayah Bogor?
2. Bagaimana tingkat resiko-resiko pertanian di wilayah Bogor berdasarkan
persepsi petani?
3. Bagaimanakah bentuk strategi yang dapat dilaksanakan untuk menghadapi
resiko-resiko pertanian di wilayah Bogor?
C. Tujuan
1. Mengidentifikasi resiko-resiko usaha pertanian di wilayah Bogor.
2. Mengidentifikasi tingkat resiko pertanian di wilayah Bogor berdasarkan
persepsi petani.
3. Menyusun strategi yang efektif untuk menghadapi resiko-resiko pertanian di
wilayah Bogor.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Petani dan Usahatani
Petani menurut Mosher (1984), dikategorikan memegang dua peranan
yaitu sebagai juru tani (cultivator) dan sekaligus sebagai seorang pengelola
(manager) dalam usahataninya. Peranan pertama dari petani adalah memelihara
tanaman dan hewan guna mendapatkan hasil-hasilnya dan berfaedah pada
tanaman. Pemeliharaan ini mencakup menyiapkan persemaian, menyebarkan
benih, penyiangan, mengatur kelembaban tanah serta melindungi tanaman
terhadap hama penyakit. Peranan lain yang dilakukan petani dalam usahataninya
adalah sebagai pengelola. Apabila keterampilan bercocok tanam sebagai juru tani
pada umumnya adalah keterampilan tangan, otot dan mata, maka keterampilan
pengelola mencakup kegiatan pikiran yang didorong oleh kemauan juga tercakup
didalamnya terutama pengambilan alternatif-alternatif yang ada ataupun
keputusan-keputusan.
Langkah-langkah yang diambil petani (Mosher, 1984) sangat dipengaruhi
oleh sikap dan hubungan dalam masyarakat setempat dimana ia hidup. Bagi
seorang petani, masyarakat itulah yang merupakan sumber pokok
kesejahteraannya.
Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani,
sebagai contoh "petani padi" atau "petani jagung". Pelaku budidaya hewan ternak
secara khusus disebut sebagai peternak. Pertanian sendiri dapat diartikan sebagai
kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia sebagai
budidaya tanaman atau bercocok tanam serta pembesaran hewan ternak untuk
menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk
mengelola lingkungan hidupnya.
Keadaan luas lahan pemilikan usahatani di perdesaan sangat bervariasi.
Menurut Sayogyo (1990), berdasarkan luas lahannya petani dibedakan kedalam 3
(tiga) kategori yaitu (1) petani lapis bawah yang memiliki luas lahan garapan
kurang dari 0,5 ha, (2) petani lapisan menengah yang memiliki luas lahan garapan
5
6
antara 0,5 ha sampai 1,0 ha, (3) petani lapisan atas yang memiliki luas lahan
garapan lebih dari 1,0 ha.
Wahyu (1985) mengemukakan bahwa petani lapisan atas mempunyai
motivasi dan empati yang tinggi, fatalisme yang kurang dan jaringan hubungan
yang luas. Mereka menerima banyak unsur teknologi pertanian baru,
memperhatikan segi pemasaran dan hidup hemat sehingga mereka mempunyai
investasi yang lebih besar pula dalam mencari nafkah.
Menurut Sayogyo (1990), bahwa petani lapisan bawah mempunyai
motivasi dan empati yang rendah serta fatalisme yang tinggi. Mereka merupakan
lapisan petani yang paling lemah dalam hal modal kerja. Disamping itu petani
lapisan menengah mempunyai sifat di antara kedua sifat lapisan-lapisan di atas.
Usahatani adalah suatu jenis kegiatan pertanian rakyat yang diusahakan
oleh petani dengan mengkombinasikan faktor alam, tenaga kerja, modal dan
pengelolaan yang ditujukan pada peningkatan produksi (Agung et. al.1999).
Usaha tani dapat diartikan juga sebagai bagian inti dari pertanian karena
menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya.
B. Pertanian Tanaman Pangan
Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber
hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Pangan diperuntukkan
bagi konsumsi manusia sebagai makanan atau minuman, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman
(Purnomo dan Purnamawati, 2007).
Komoditas pangan harus mengandung zat gizi yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi
pertumbuhan dan kesehatan manusia. Kelompok tanaman budidaya yang
tergolong komoditas ini meliputi kelompok tanaman pangan, tanaman hortikultura
non tanaman hias, dan kelompok tanaman lain penghasil bahan baku produk yang
memenuhi batasan pangan.
Batasan untuk tanaman pangan adalah kelompok tanaman sumber
karbohidrat dan protein. Namun, secara sempit, tanaman pangan biasanya dibatasi
7
pada kelompok tanaman yang berumur semusim. Batasan ini di masa mendatang
harus diperbaiki karena akan menyebabkan sumber karbohidrat menjadi terbatas.
Tanaman pangan sebaiknya memasukkan jenis tanaman lain yang dapat menjadi
sumber karbohidrat tanpa dibatasi pada kelompok tanaman semusim. Dengan
perbaikan batasan ini, tanaman umbian selain ubi kayu, ubi jalar dan talas dapat
masuk ke dalam kelompok tanaman pangan misalnya garut, ganyong dan kimpul.
Demikian juga dengan buah yang merupakan sumber karbohidrat dapat masuk ke
dalam tanaman pangan, misalnya sukun.
Kajian ini membahas resiko pertanian pada petani tanaman pangan unggul
yang termasuk kelompok serealia (padi dan jagung), legum pangan (kacang tanah,
kedelai dan kacang hijau), umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar). Alasan
pemilihan komoditas tersebut adalah peranannya sebagai sumber karbohidrat dan
sumber protein bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga disebut
sebagai tanaman pangan utama. Komoditas tanaman pangan memiliki peran
penting dalam ketahanan nasional, untuk mewujudkan ketahanan pangan,
pembangunan wilayah, penyerapan tenaga kerja, serta menjadi penarik bagi
pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir yang
memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu komoditas tanaman pangan sangat dipengaruhi oleh resiko-resiko
pertanian.
C. Persepsi, Resiko Pertanian dan Tipologi Resiko
Dalam Kamus Inggris-Indonesia, perception atau persepsi diartikan
sebagai tanggapan, atau menanggapi sesuatu (Echols dan Shadily, 1982). Persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat,
1994). Menurut Walgito (1997) persepsi merupakan suatu proses yang didahului
oleh penginderaan yang merupakan proses yang berujud diterimanya stimulus
oleh individu melalui alat reseptornya.
Persepsi merupakan proses kognitif yang dialami setiap orang dalam
memahami informasi tentang ligkungannya, baik melalui penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Persepsi tersebut
8
merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi, bukan pencatatan yang benar
terhadap situasi (Thoha dalam Suthedja, dkk., 1982). Menurut Bernhardt dalam
Sarwono (1991) persepsi adalah pengetahuan mengenai sesuatu objek dalam
kaitannya dengan usaha-usaha penyesuaian, sedangkan menurut Karn, persepsi
merupakan suatu kesadaran yang terpilih dan terorganisasi terhadap rangsangan
yang muncul dari luar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, persepsi
adalah tanggapan yang mengandung makna yang terorganisasi tentang suatu
rangsangan setelah melalui proses memahami, menafsirkan, menginterpretasikan,
dan memikirkan secara sadar.
Munculnya persepsi masyarakat berkaitan dengan munculnya suatu
program, kegiatan ataupun masalah-masalah yang timbul di masyarakat maupun
suatu kelompok masyarakat. Munculnya resiko-resiko pertanian dan cara-cara
mengatasinya, menimbulkan berbagai bentuk respon atau tanggapan berupa
pernyataan, penilaian, komentar, argumentasi dari petani atau masyarakat yang
disebut persepsi. Kualitas persepsi yang muncul tergantung dari kemampuan
petani menafsirkan, menginterpretasikan, dan memahami informasi resiko-resiko
pertanian yang diterima. Bentuk persepsi yang muncul dianggap sah, karena
persepsi bukan pencatatan yang benar atas suatu rangsangan, tetapi hasil dari
menafsirkan, menginterpretasikan, dan kemampuan memahami melalui proses
berpikir atas suatu rangsangan.
Kegiatan ekonomi pada usaha tani beresiko tinggi dan sangat tidak pasti.
Kurangnya kapasitas untuk mengantisipasi resiko dan ketidakpastian telah
menyebabkan kerugian besar akibat rendahnya produksi (Pasaribu et al., 2010).
Menurut Bodie dan Merton (1998) resiko adalah ketidakpastian yang
mempengaruhi kesejahteraan individu, dan sering dikaitkan dengan kesulitan dan
kerugian. Resiko adalah ketidakpastian yang "penting," dan mungkin melibatkan
probabilitas kehilangan uang, bahaya yang mungkin terjadi terhadap kesehatan
manusia, dampak yang mempengaruhi sumber daya dan jenis lain dari peristiwa
yang berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang (Harwood et al. 1999).
Lee et al. (1980) mengklasifikasikan ketidak pastian di bidang pertanian
menjadi enam tipe yaitu: (1) ketidakpastian produksi yang penyebabnya terkait
dengan faktor alam (kekeringan akibat kemarau yang berkepanjangan, serangan
9
hama/penyakit); (2) resiko bencana yang sulit diprediksi misalnya kebanjiran,
kebakaran, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan sebagainya; (3)
ketidakpastian harga masukan maupun keluaran, (4) ketidak pastian yang terkait
dengan ketidak-tepatan teknologi sehingga produktivitas jauh lebih rendah dari
harapan; (5) ketidakpastian akibat tindakan pihak lain (sabotase, penjarahan,
ataupun adanya peraturan baru yang menyebabkan usahatani tak dapat
dilanjutkan; dan (6) ketidakpastian yang sifatnya personal, misalnya
petani/anggota keluarganya sakit atau meninggal dunia. Resiko yang terkait tipe
(1) dan (2) kadangkala bersifat katastropik dan dapat menyebabkan gagal panen
dalam skala yang luas.
Menurut Iturrioz (2009) produksi pertanian menghadapi berbagai resiko.
Namun, dua resiko utama yang menjadi perhatian, adalah resiko harga pertanian
yang disebabkan oleh volatilitas potensial dari harga dan resiko produksi yang
disebabkan oleh ketidakpastian tentang tingkat produksi yang dapat dicapai
produsen primer dari kegiatan mereka saat ini. Kemungkinan besar akan terjadi
peningkatan resiko di masa depan pada resiko harga akibat liberalisasi
perdagangan dan resiko produksi yang disebabkan oleh efek dari perubahan iklim.
Hardaker et al (1997) membagi resiko di perusahaan-perusahaan pertanian
sebagai resiko bisnis dan resiko keuangan. Manajemen resiko berarti
mengidentifikasi resiko dan berbagai pilihan, kemudian mengevaluasi, memilih
dan menerapkan tindakan. Manajemen resiko bisnis berarti "mengetahui bisnis,"
dan melakukannya dengan cara yang terampil. Yang termasuk resiko bisnis adalah
resiko produksi; resiko harga atau pasar, resiko kelembagaan; dan resiko manusia
atau pribadi.
1. Resiko produksi terlihat dari ketidakpastian proses perkembangan alami
tanaman pangan dan peternakan. Resiko produksi timbul dari ketidakpastian
tentang cuaca termasuk kekeringan, beku, curah hujan yang berlebihan pada
saat panen, hama, penyakit, dan banyak faktor-faktor tak terduga lainnya yang
mempengaruhi jumlah dan kualitas produksi.
2. Resiko harga atau pemasaran terjadi karena ketidakpastian harga yang
diterima setiap menghasilkan produk pertanian atau harga yang harus dibayar
petani untuk mendapatkan input. Sumber resiko pemasaran meliputi: resiko
10
harga akibat kenaikan pasokan, atau permintaan berubah; hilangnya akses
pasar karena relokasi atau penutupan pabrik pengolahan; dan kehilangan
tenaga pemasaran karena ukurannya yang kecil.
3. Resiko institusional atau kelembagaan timbul karena ketidakpastian kebijakan
pemerintah. Perubahan dalam aturan, hukum pajak, peraturan yang
berhubungan dengan penggunaan bahan kimia, peraturan-peraturan tentang
limbah peternakan, dan tingkat harga atau dukungan pendapatan merupakan
contoh-contoh dari keputusan pemerintah yang dapat memberikan dampak
yang besar terhadap usaha pertanian.
4. Resiko sumberdaya manusia mencakup beberapa kemungkinan seperti
masalah pada kesehatan manusia atau hubungan pribadi yang dapat memberi
pengaruh kepada usaha pertanian. Kecelakaan, sakit, kematian dan cerai juga
merupakan contoh-contoh dari krisis personal yang dapat mengancam usaha
pertanian.
Resiko finansial atau keuangan, berbeda dengan resiko bisnis. Resiko
keuangan lebih menekankan pada masalah modal, penggunaan dana pinjaman,
asuransi, dan kewajiban.
D. Analisis SWOT dan QSPM
Analisis matriks Strenghts, Weaknesses, Opportunities dan Threats
(SWOT) merupakan salah satu alat analisis yang dapat menggambarkan secara
jelas keadaan yang dihadapi oleh perusahaan. Menurut Rangkuti (2010), analisis
SWOT dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang secara
sistematis untuk merumuskan strategi. Rumusan strategi tersebut didasarkan pada
logika untuk memaksimalkan kekuatan yang dimiliki dan peluang yang ada, serta
secara bersamaan mampu meminimalkan kelemahan dan ancaman yang timbul
yang berasal dari internal maupun eksternal perusahaan.
Analisis SWOT, diawali dengan melakukan analisis lingkungan. Setiap
unit bisnis akan selalu mengamati kondisi lingkungannya, baik lingkungan makro
maupun lingkungan mikro, terutama dalam lingkungan pemasaran yang secara
terus menerus memunculkan kesempatan dan ancaman baru. Hal ini dilakukan
11
dengan tujuan untuk memonitor dan beradaptasi secara kontinyu dan terus
menerus terhadap lingkungan, baik lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Menurut Jauch dan Glueck (1999), strategi merupakan rencana yang
disatukan secara menyeluruh dan terpadu yang mengaitkan keunggulan suatu
perusahaan dengan tantangan dan lingkungan. Strategi dirancang untuk
memastikan agar tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat.
Secara umum, manajemen strategi diawali dari tahap perumusan strategi,
tahap implementasi dan selanjutnya tahap evaluasi strategi (David, 2006). Tahap
perumusan strategi meliputi pernyataan misi, penetapan tujuan, identifikasi
peluang dan ancaman, serta kekuatan dan kelemahan.
Lingkungan eksternal adalah segala kekuatan yang ada di luar
organisasi/perusahaan, pengaruh perusahaan tidak terlihat sama sekali.
Lingkungan eksternal sangat mempengaruhi kinerja perusahaan dalam suatu
industri. Lingkungan eksternal tersebut terdiri atas lingkungan umum dan
lingkungan industri.
Lingkungan internal suatu organisasi adalah hasil analisis dari nilai atau
identifikasi segala faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi. Kumpulan
sumberdaya, kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan, sehingga
mampu memanfaatkan peluang dengan cara efektif dan secara bersama mampu
mengatasi ancaman.
Setelah melakukan analisis faktor internal dan eksternal perusahaan, maka
langkah selanjutnya adalah menyusun matriks Internal Factor Evaluation (IFE)
dan External Factor Evaluation (EFE) yang kemudian diberikan rating.
Penentuan rating oleh pakar atau manajemen di perusahaan dilakukan terhadap
peubah-peubah hasil analisis dan memberikan peringkat dengan skala yang
ditetapkan, misalnya 1, 2, 3, dan 4.
Matriks IFE dan EFE selanjutnya diberi bobot dan dikalikan dengan
peringkat pada setiap faktor untuk menghasilkan skor. Dari skor yang diperoleh
kemudian dapat diketahui posisi organisasi atau perusahaan pada matriks Internal
dan Eksternal (IE). Hal ini penting dilakukan agar strategi yang diterapkan
mampu mengembangkan usaha dengan baik. Pemberian bobot dan rating pada
12
matriks IFE dan EFE didasari atas kuesioner yang diberikan kepada para pakar
atau manajemen di perusahaan/organisasi yang dapat dilihat pada lampiran 2.
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis strategi dengan analisis
SWOT, yaitu analisis kekuatan-kelemahan (Strenghts-Weaknesses) dan peluang-
ancaman (Opportunities-Threats). Matriks SWOT akan menghasilkan empat tipe
strategi yaitu; (a) strategi Strenghts-Opportunities, (b) strategi Strenghts-Threats,
(c) strategi Weaknesses-Opportunities dan (d) strategi Weaknesses-Threats.
Setelah ditentukan strategi-strategi terpilih, maka perusahaan dapat
memilih alternatif strategi yang tepat untuk menjalankan usahanya dengan
memanfaatkan kekuatan dan peluangnya untuk mengurangi kelemahan dan
ancaman.
Tahap terakhir adalah penggunaan Quantitative Strategic Planning Matrix
(QSPM). QSPM digunakan untuk merumuskan strategi mana yang terbaik sebagai
strategi alternatif, yang obyektif, berdasarkan faktor-faktor sukses internal dan
eksternal yang telah dikenali sebelumnya (David, 2006).
13
BAB III
METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu
Kegiatan ini dibatasi sebagai studi kasus pada komoditas pertanian sub
sektor tanaman pangan di wilayah Bogor Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi
dilakukan secara purposive, yaitu didasarkan pertimbangan bahwa 1) adanya
keterbatasan terutama dana dan waktu dalam pelaksanaan penelitian, 2) lokasi
kajian merupakan salah satu sentra produksi tanaman pangan Indonesia. Selain itu
penelitian ini lebih bersifat deskriptif kualitatif untuk menggambarkan resiko
pertanian yang berlaku di Indonesia. Namun diharapkan hasil penelitian ini dapat
menjadi salah satu acuan untuk penelitian yang lebih luas dan mendalam tentang
resiko pertanian terutama di Indonesia.
Kegiatan ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai September 2011.
Mengingat luasnya wilayah kajian serta terbatasnya waktu pelaksanaan, maka
responden yang dipilih sebanyak 59 orang, terdiri dari para petani, kelompok tani,
akademisi serta stakeholder yang terkait dengan manajemen resiko pertanian.
B. Pengumpulan Data
Untuk analisis data pada kajian ini dibutuhkan data yang terdiri dari dua
sumber data, yaitu:
1. Data primer, merupakan data utama yang diperoleh langsung dari lapangan.
Untuk mendapatkan data tersebut digunakan kuesioner, dan pengumpulan data
dilakukan melalui :
a. Wawancara langsung
Wawancara langsung dalam hal ini dilakukan melalui Focus Group
Discussion (FGD) dengan 59 responden yang terdiri dari 49 responden dari
para petani, kelompok tani atau gapoktan di wilayah Bogor, dan 10 responden
dari akademisi serta stakeholder yang terkait dengan manajemen resiko
pertanian (3 responden dari dosen Institut Pertanian Bogor, 2 responden dari
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, 2 responden dari Dinas
Agribisnis Kota Bogor, 1 responden dari peneliti bidang agribisnis Bogor, 1
responden dari pengusaha, dan 1 responden dari penyuluh pertanian lapangan
wilayah Bogor).
13
14
b. Observasi
Teknik ini digunakan untuk melakukan pencatatan secara teliti dan
sistematis terhadap obyek kajian yang langsung diamati di lapangan guna
melengkapi teknik wawancara.
2. Data sekunder, merupakan data pendukung yang diperoleh melalui
penelusuran studi kepustakaan berupa literatur, dokumen, jurnal dan laporan
penelitian, majalah dan karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah
penelitian dan juga melalui media internet.
C. Pengolahan dan Analisis Data
Analisis adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Analisis
dapat dibedakan atas analisis kualitatif dan kuantitatif. Apabila data yang
terkumpul hanya sedikit, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus (sehingga
tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris), maka yang digunakan
adalah analisis kualitatif (Priadana dan Muis, 2009).
1. Analisis Statistik Deskriptif
Statistika deskriptif adalah metode statistika yang digunakan untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan menjadi
sebuah informasi (Suharyadi dan Purwanto, 2008). Sugiyono (2004),
menambahkan bahwa statistik deskriptif mendeskripsikan atau menggambarkan
data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Walpole (1993),
memberikan contoh statistika deskriptif yang sering muncul adalah tabel, diagram,
dan grafik. Dengan Statistika deskriptif maka kumpulan data yang diperoleh akan
tersaji dengan ringkas dan rapi serta dapat memberikan informasi inti dari
kumpulan data yang ada.
Data yang telah diperoleh dalam kajian ini, baik primer maupun sekunder
diolah secara deskriptif dalam bentuk frekuensi, persentase, rataan skor, dan
tabulasi silang. Kajian strategi dengan analisa SWOT bertujuan untuk
mengevaluasi kinerja petani dengan alat analisis yang sederhana dan cukup baik,
efektif dan efisien dalam memisahkan masalah-masalah utama yang dihadapi
petani baik berupa faktor internal dan eksternal.
15
2. Analisis Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD) merupakan diskusi kelompok yang
dilakukan secara sistematis dan terarah atas suatu isu atau masalah tertentu. FGD
dirancang sedemikian rupa untuk mendapatkan informasi tertentu. FGD
merupakan salah satu bentuk riset dalam penelitian sosial dan pelaksanaannya
dilakukan dengan prosedur tertentu. Penyelenggara menentukan tujuan riset dan
merumuskan tujuan tersebut ke dalam tahapan-tahapan FGD (Lingkaran Survei
Indonesia, 2006).
Adapun ciri-ciri penting dari FGD adalah terfokus dan terarah. FGD
dikatakan sebuah diskusi yang terfokus dan terarah karena: 1) Topik ataupun
materi yang akan didiskusikan telah ditentukan oleh penyelenggara, dan 2) Peserta
FGD sudah ditentukan ataupun diseleksi sedemikian rupa sesuai dengan tujuan
dan target informasi yang ingin didapat dari sebuah FGD.
FGD memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1) berupa format diskusi, 2)
peserta FGD berjumlah antara 6 – 12 orang, 3) panjang/lama diskusi yang
dilakukan antara 1,5 – 2 jam per sesi, 4) peserta diskusi sudah diseleksi atau
ditentukan berdasarkan karakteristik atau ciri yang sama oleh penyelenggara
sesuai dengan tujuan riset, 5) bentuk data berupa percakapan (termasuk intonasi
atau mimik muka) dan gerak tubuh dan bahasa non verbal, 6) pengambilan data
dapat dilakukan melalui rekaman diskusi baik audio maupun video serta transkrip
hasil diskusi, 7) moderator menggunakan petunjuk pelaksanaan diskusi yang
dilengkapi dengan topik-topik yang akan didiskusikan termasuk alokasi waktu
dari masing-masing topik, 8) bentuk serta format laporan berupa deskripsi dan
narasi dengan pengutipan pilihan komentar atau pendapat. Analisis ditujukan pada
aspek yang banyak dibicarakan seperti argumentasi yang banyak muncul, dan
sudut pandang yang banyak keluar dari peserta (Lingkaran Survei Indonesia,
2006).
FGD merupakan salah satu bentuk penelitian sosial. FGD dilakukan untuk
mengetahui pendapat, persepsi dan pengalaman individu. FGD tidak memiliki
pretensi untuk melakukan generalisasi atau menggambarkan pendapat atau
persepsi masyarakat secara akurat. Tujuan dari FGD adalah untuk pendalaman
(insight) terhadap suatu isu, masalah atau topik tertentu. Peserta FGD yang
16
diseleksi adalah homogen, yaitu peserta yang dipilih berdasarkan karakteristik dan
latar belakang yang sama. Pengambilan data FGD bersifat sosial, artinya peserta
FGD saling berinteraksi dalam menyampaikan, mendengarkan maupun dalam
mendebat pendapat orang lain.
Dalam penelitian ini dilakukan FGD terhadap 59 responden yang terdiri
dari 49 responden petani/kelompok tani, serta 10 responden dari akademisi dan
instansi teknis yang terkait dengan manajemen resiko pertanian di Wilayah Bogor
Provinsi Jawa Barat. Peserta FGD melakukan diskusi mengenai beberapa topik
untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang dapat digunakan untuk mengetahui
persepsi ataupun pandangan terhadap resiko pertanian yang berlaku di Indonesia.
Wawancara dalam FGD dilakukan secara langsung dan dibantu dengan
memberikan pertanyaan dalam bentuk kuesioner.
3. Analisis SWOT
Analisis kasus secara keseluruhan dapat dirumuskan sebagai berikut
(Rangkuti, 2010):
Tahap 1: memahami situasi dan informasi yang ada.
Tahap 2: memahami permasalahan yang terjadi, baik masalah yang bersifat umum
maupun spesifik.
Tahap 3: menganalisis dan memberikan berbagai alternatif pemecahan masalah.
Tahap 4: evaluasi pilihan alternatif dan pilih alternatif yang terbaik.
Pemilihan alternatif dilakukan dengan membahas sisi pro maupun kontra.
Setelah itu diberikan bobot dan skor untuk masing-masing alternatif dan
menyebutkan kemungkinan yang akan terjadi.
Berikut adalah petunjuk untuk memahami masalah yang ada.
1. Mengetahui tujuan analisis
a. Ke arah mana perusahaan ingin dibawa?
b. Faktor-faktor kunci apa yang harus diperhatikan?
c. Kapan tujuan tersebut harus dicapai?
2. Mengidentifikasi deskripsi mengenai bisnis
a. Bagaimana posisi produk yang dihasilkan?
b. Bagaimana posisi harga?
17
c. Bagaimana keahlian manajemen yang dimiliki?
d. Bagaimana kondisi persaingan yang ada?
e. Siapa pemain yang paling kuat di industri ini?
3. Mengidentifikasi deskripsi organisasi
a. Bagaimana struktur organisasi yang dimiliki?
b. Bagaimana mengenai perencanaan, pengendalian, dan sistem yang
dimiliki?
c. Bagaimana mengenai keahlian sumber daya manusia?
d. Bagaimana dengan gaya manajemen?
4. Mengevaluasi secara keseluruhan
a. Bagaimana peluang yang ada?
b. Bagaimana dengan kekuatan yang dimiliki?
c. Bagaimana dengan masalah yang dihadapi?
d. Bagaimana kelemahan yang ada?
5. Menganalisis alternatif kunci
a. Bagaimana caranya menggunakan seluruh kekuatan untuk merebut
peluang dan mengatasi ancaman?
b. Bagaimana mengatasi kelemahan untuk memanfaatkan peluang dan
menghindari ancaman?
c. Bagaimana prioritas ditentukan?
6. Memilih alternatif
a. Alternatif apa yang terbaik?
b. Alternatif apa yang dapat memperbaiki situasi?
c. Alternatif apa yang dapat meningkatkan kegiatan operasional?
d. Perubahan apa yang bersifat kritis?
e. Sumber daya apa yang bersifat kritis?
f. Bagaimana dengan penjadwalan yang bersifat kritis?
Dengan menjawab semua pertanyaan di atas merupakan langkah untuk
dapat memahami perusahaan yang akan dianalisis secara menyeluruh, termasuk
kondisi lingkungan eksternal serta kekuatan dan kelemahan yang dihadapi oleh
perusahaan. Selain itu, misi, strategi, tujuan serta semua permasalahan yang
dihadapi perusahaan juga dievaluasi. Kadang-kadang masalah yang dihadapi
18
dalam membuat analisis adalah strategi telah berubah, manajemen sangat lemah,
struktur organisasi sudah tidak sesuai, perencanaan yang sangat tidak efektif, dan
sebagainya. Isu yang berkaitan dengan semua permasalahan di atas perlu
dirumuskan mengingat setiap saat lingkungan berubah. Dengan demikian,
pengenalan terhadap pasar baru dan peluang pemasaran diperlukan. Selain itu,
pemahaman mengenai perubahan internal perusahaan, seperti perubahan
teknologi, perubahan produk, dan perubahan struktur biaya, juga diperlukan.
Berbagai model dan konsep dapat digunakan sebagai alat analisis. Dalam
analisis kasus yang bersifat strategis, tidak ada jawaban yang benar atau salah. Ini
disebabkan karena setiap kasus yang berhasil diselesaikan diikuti oleh pendekatan
baru dan pencarian masalah baru yang muncul dari permasalahan sebelumnya.
Tahap akhir analisis kasus adalah memformulasikan keputusan yang akan
diambil. Keputusannya didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif
maupun kuantitatif, terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dengan
menggunakan model yang tercanggih maupun tradisional. Keputusan yang
berbobot hanya dapat dibuktikan oleh waktu. Artinya keputusan yang diambil
akan benar-benar terbukti setelah periode waktu tertentu.
Langkah selanjutnya adalah analisis matriks SWOT untuk memilih
alternatif strategi yang tepat dalam menghadapi resiko-resiko pertanian. Analisis
ini terdiri dari kekuatan, yaitu sumber daya, keterampilan atau keunggulan lain
relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar. Kelemahan yaitu keterbatasan atau
kekurangan dalam sumber daya, keterampilan dan kapabilitas yang secara serius
menghambat kinerja efektif. Peluang adalah situasi penting yang menguntungkan
dalam lingkungan, sedangkan ancaman adalah situasi penting yang tidak
menguntungkan dalam lingkungan.
Penilaian internal ditujukan untuk mengukur sejauh mana kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki oleh usaha pertanian. Langkah yang ringkas dalam
melakukan penilaian internal adalah menggunakan matriks IFE. Untuk
mengevaluasi faktor-faktor eksternal yang menyangkut persoalan ekonomi, sosial,
budaya, demografi, lingkungan, politik, pemerintahan, hukum, teknologi dan
persaingan di pasar industri, yang dapat mempengaruhi perusahaan digunakan
matriks EFE (Umar, 2005).
19
1. Matriks IFE
Matriks IFE digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal
perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting.
Data dan informasi aspek internal perusahaan dapat diperoleh dari beberapa
data/informasi fungsional perusahaan, misalnya dari aspek manajemen, keuangan,
SDM, pemasaran, sistem informasi dan produk/operasi (Hamdi, 2011).
Tabel 1. Matriks IFE
Faktor strategis internal Bobot (a) Rating (b) Skor (a x b)
A. Kekuatan
1.
…
10.
Jumlah (A)
B. Kelemahan
1.
…
10.
Jumlah (B)
Total (A + B)
2. Matriks EFE
Matriks EFE digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal
perusahaan berkaitan dengan peluang dan ancaman eksternal yang dianggap
penting. Data eksternal dikumpulkan untuk menganalisis hal-hal menyangkut
persoalan ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, pemerintah,
hukum, teknologi dan persaingan di pasar industri yang dapat mempengaruhi
perusahaan, beserta data eksternal relevan lainnya. Hal ini penting karena faktor-
faktor eksternal berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap
perusahaan.
20
Tabel 2. Matriks EFE
Faktor strategis eksternal Bobot (a) Rating (b) Skor (a x b)
A. Peluang
1.
…
10.
Jumlah (A)
B. Ancaman
1.
…
10.
Jumlah (B)
Total (A + B)
3. Matriks IE
Gabungan kedua matriks IFE dan EFE menghasilkan matriks IE yang
berisikan sembilan macam sel yang memperlihatkan kombinasi total nilai
terboboti dari matriks-matriks IFE dan EFE. Tujuan penggunaan matriks ini
adalah untuk memperoleh strategi pengembangan yang lebih rinci. Diagram
tersebut dapat mengidentifikasikan sembilan sel strategi perusahaan. Menurut
David (2006), kesembilan sel itu dapat dikelompokkan menjadi tiga strategi
utama, yaitu.
a. Growth Strategy merupakan pertumbuhan perusahaan itu sendiri (sel I, II, dan
IV). Strategi yang cocok digunakan adalah strategi intensif seperti penetrasi
pasar, pengembangan pasar, pengembangan produk dan integrasi.
b. Stability Strategy adalah strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah
strategi yang sudah ditetapkan (sel III, V dan VII). Strategi yang cocok adalah
penetrasi pasar dan pengembangan produk.
c. Retrenchment Strategy adalah usaha memperkecil atau mengurangi usaha
yang dilakukan perusahaan/divestasi (sel VI, VIII dan IX).
21
Skor Total IFE
Kuat Rataan Lemah
4,0 3,0 2,0 1,0
I
Growth
II
Growth
III
Stability
IV
Growth
V
Stability
VI
Retrenchment
VII
Stability
VIII
Retrenchment
IX
Retrenchment
Gambar 1. Matriks IE
4. Matriks SWOT
Matriks SWOT adalah alat untuk mencocokkan faktor-faktor penting yang
akan membantu manajer mengembangkan strategi (Hubeis dan Najib, 2008). Ada
4 strategi, yaitu SO (kekuatan-peluang atau strenghts-opportunities), WO
(kelemahan-peluang atau weaknesses-opportunities), Strategi ST (kekuatan-
ancaman atau strenghts-threats), dan WT (kelemahan-ancaman atau weaknesses-
threats).
a. Strategi SO (Strenghts-Opportunities atau kekuatan-peluang) adalah strategi
yang digunakan perusahaan dengan memanfaatkan atau mengoptimalkan
kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada.
b. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities atau Kelemahan-Peluang) adalah
strategi yang digunakan perusahaan yang seoptimal mungkin meminimalisir
kelemahan yang ada untuk memanfaatkan berbagai peluang.
c. Strategi ST (Strenghts- Threats atau Kekuatan-Ancaman) adalah strategi yang
menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada.
d. Strategi WT (Weaknesses-Threats atau Kelemahan-Ancaman) adalah strategi
untuk mengurangi kelemahan guna meminimalisir ancaman yang ada.
3,0
2,0
1,0
Tinggi
Rataan
Rendah
Skor Total
EFE
22
Faktor
Internal
Faktor
Eksternal
STRENGHTS-S
Daftar 5-10 faktor-faktor
kekuatan internal
WEAKNESSES-W
Daftar 5-10 faktor-faktor
kelemahan internal
OPPORTUNITIES-O
Daftar 5-10 faktor
peluang eksternal
STRATEGI S-O
Strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang
STRATEGI W—O
Strategi yang
meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan peluang
THREATS-T
Daftar 5-10 faktor
ancaman eksternal
STRATEGI S-T
Strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi
ancaman
STRATEGI W-T
Strategi yang
meminimalkan
kelemahan dan
menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti, 2010
Gambar 2. Matriks SWOT
5. Tahap Keputusan dengan QSPM
Tahap terakhir dari perumusan strategis adalah pengambilan keputusan.
Alat yang digunakan pada tahap ini adalah matriks perencanaan strategis
kuantitatif atau Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Untuk
mengembangkan matriks QSP langkah-langkahnya adalah (David, 2006):
a) Mendaftarkan peluang atau ancaman eksternal dan kekuatan atau kelemahan
internal perusahaan pada kolom kiri matriks QSP;
b) Memberikan bobot untuk setiap faktor eksternal dan internal. Bobot yang
sama dengan yang dipakai dalam matriks IFE dan EFE;
c) Memeriksa tahap kedua (pemaduan) matriks dan mengidentifikasi strategi
alternatif yang dapat dipertimbangkan perusahaan untuk diimplementasikan;
d) Menetapkan nilai daya tarik (Attractive Score/AS) yang menunjukkan daya
tarik relatif setiap strategi dalam alternatif set tertentu;
e) Menghitung total nilai daya tarik dengan mengalikan bobot dengan nilai daya
tarik;
f) Menghitung jumlah total nilai daya tarik. Jumlah ini mengungkapkan strategi
mana yang paling menarik dalam setiap strategi. Semakin tinggi nilai
menunjukkan strategi tersebut semakin menarik, serta begitu juga sebaliknya.
23
Tabel 3. Matriks QSP
Faktor-faktor kunci Bobot
Alternatif strategi
Strategi 1 Strategi 2
AS TAS AS TAS
Peluang
Ancaman
Kekuatan
Kelemahan
Jumlah total nilai daya tarik Keterangan : AS = nilai daya tarik, TAS = total nilai daya tarik
Nilai daya tarik: 1 = tidak menarik/mempengaruhi, 2 = agak mempengaruhi
3 = cukup mempengaruhi, 4 = sangat mempengaruhi
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah
1. Wilayah Bogor
Secara geografis wilayah Bogor terletak antara 106o 43’30’’BT - 106
o
51’00’’BT dan 6o 30’30’’LS - 6
o 41’00’’LS. Wilayah Bogor berada di Provinsi
Jawa Barat dan hanya berjarak kurang lebih 56 km dari pusat pemerintahan
Indonesia, Jakarta. Curah hujan rataan Bogor 4.000 mm/tahun.
Sumber: BPTP Bogor, 2012
Gambar 3. Peta daerah kajian
JABAR
26
Wilayah Bogor yang terdiri dari Kota Bogor dan Kabupaten Bogor
memiliki luas 311.277,94 ha. Wilayah ini pada tahun 2009 dihuni 5.093.047 jiwa
(BPS kota dan kabupaten Bogor, 2009) tersebar di 46 kecamatan, yang mencakup
85 kelurahan dan 411 desa.
Kondisi geografi wilayah Bogor merupakan daerah perbukitan
bergelombang dengan ketinggian yang bervariasi antara 190 sampai dengan 350
m dpl. Sumber air bagi wilayah Bogor menurut asalnya terdiri dari sungai, air
tanah dan mata air. Sungai utama yang mengalir di wilayah Bogor terdiri dari
sungai Ciliwung dan sungai Cisadane, sungai Cibeureum, sungai Cileungsi,
sungai Cidurian serta beberapa sungai yang lain. Curah hujan rata-rata di wilayah
Bogor berkisar antara 250-335 mm/bulan. Curah hujan minimum terjadi pada
bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi pada
bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah Bogor adalah 260C,
dan temperatur tertinggi sekitar 34,40C. Kelembaban udara rata-rata lebih dari
70% dan kecepatan angin rata-rata adalah 2 km/jam dengan arah timur laut.
a. Penggunaan lahan
Berdasarkan gambar 4, pola penggunaan lahan identik dengan struktur
penggunaan lahan dimana wilayah Bogor terdistribusi ke dalam lahan pertanian
dan lahan non pertanian. Lahan pertanian wilayah Bogor mencapai 147.684,05 ha
atau 47% dari luas wilayah, yang terdiri dari lahan pertanian sawah 16% atau
49.775 ha dan lahan pertanian bukan sawah 31% atau 97.912 ha. Penggunaan luas
lahan ini mengalami penurunan terus menerus akibat dari adanya perubahan
fungsi guna lahan.
Luas lahan non pertanian seluas 163,593.94 ha atau 53% dari luas
wilayah. Lahan non pertanian ini pada umumnya digunakan untuk wilayah
permukiman, fasilitas sosial, industri, perkantoran, perdagangan dan lain-lain
yang berkembang secara linier mengikuti jaringan jalan yang ada, sehingga
berpotensi dalam menambah laju tingkat perkembangan wilayah Bogor.
27
Sumber: 1. Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman kota Bogor, 2009
2. Dinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten Bogor, 2009
Gambar 4. Luasan penggunaan lahan wilayah Bogor
b. Pertanian
Dalam ketersediaan pangan, khususnya aspek produksi (on farm), wilayah
Bogor melaksanakan program intensifikasi pertanian pada tahun 2003 dengan cara
menetapkan sasaran areal tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Intensifikasi
tanaman pangan meliputi sub kegiatan perluasan areal tanam dan areal panen
melalui peningkatan indeks pertanaman dan peningkatan mutu intensifikasi serta
pengendalian organisme pengganggu tanaman pada tanaman padi, palawija dan
hortikultura.
Tabel 4. Luas lahan, produksi dan produktivitas tanaman padi, palawija, dan
hortikultura (sayuran) di wilayah Bogor
No Komoditi Luas Panen
(ha)
Produksi
(ton)
Produktivitas
(kw/ha)
1 Padi 89.537 504.089 56,30
2 Jagung 1.183 3.990 33,73
3 Ubi kayu 9.510 184.527 194,04
4 Ubi jalar 3.887 55.688 143,27
5 Kacang Tanah 1.829 2.330 12,74
6 Talas 181 1.231 68,00
7 Sayuran 5.416 59.559 109,97
Jumlah 111.543 811.415 72,74
Sumber: 1. Dinas Pertanian kota Bogor, 2009
2. Dinas Pertanian dan Kehutanan kabupaten Bogor, 2009
28
Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari seluruh luasan lahan pertanian
tanaman pangan dan sayuran pada tahun 2009 yang mencapai luasan panen
sebesar 111,543 ha, luas lahan panen padi mencapai 80,27% dengan produktivitas
56,30 kw/ha. Luas panen ubi kayu sebesar 8,53% dengan produktivitas paling
tinggi dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya yaitu 194,04 kw/ha.
Produktivitas terbesar kedua setelah ubi kayu adalah tanaman ubi jalar yaitu
sebesar 143,27 kw/ha dengan luas panen 3,48%. Kacang tanah dengan luas panen
1,64% memiliki produktivitas paling kecil yaitu 12,74 kw/ha. Jagung dan talas
merupakan tanaman pangan yang memiliki luas panen paling kecil pada tahun
2009 dengan luas panen masing-masing 1,06% dan 0,16%. Komoditas
hortikultura terutama sayuran memiliki luas panen 4,86% yang terdiri dari wortel,
bawang daun, ketimun, kacang panjang, cabe, tomat, terung, bayam, kangkung,
buncis, katuk, dan caysin.
Kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat wilayah Bogor dipenuhi
oleh hasil kegiatan on farm maupun off farm. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5
yang menggambarkan pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat
pada tahun 2009.
Sumber: 1. BPS kota Bogor, 2009
2. BPS kabupaten Bogor, 2009
Gambar 5. Pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan pangan masyarakat
wilayah Bogor tahun 2009
29
Kebutuhan bahan makanan masyarakat wilayah Bogor pada tahun 2009
cukup tinggi yaitu 2.590.450 ton, khusus padi/sereal sebesar 40,92%, umbi-
umbian 13,96%, kacang-kacangan 6,61%, sayur-sayuran 16,56% dan buah buahan
14,45%. Dari Gambar 5 terlihat bahwa ketersediaan pangan lokal (produksi lokal)
belum dapat memenuhi kebutuhan bahan makanan dari tanaman pangan, sayuran
dan buah-buahan yaitu rata-rata masih di bawah 50% dari kebutuhan konsumsi
penduduk yang berjumlah 5.093.047 jiwa. Kekurangannya dipenuhi dengan
mendatangkan dari luar daerah ataupun luar negeri (impor) yaitu sekitar 70,75%.
Adapun persediaan pangan lokal (produksi lokal) berkisar antara 1,74% sampai
dengan 70,73% dari kebutuhan konsumsi penduduk. Kekurangannya dipenuhi
dengan mendatangkan dari luar daerah atau pun luar negeri (impor). Khususnya
untuk pemenuhan kebutuhan beras, wilayah Bogor disuplai dari luar daerah
seperti Indramayu, Karawang dan Cianjur serta dari luar negeri seperti Cina,
Vietnam dan Amerika Serikat.
Mengingat persediaan pangan lokal (produksi lokal) untuk kebutuhan
konsumsi penduduk lebih kecil dibanding suplai dari luar. Untuk itu pemerintah
wilayah Bogor telah melaksanakan kegiatan pemantauan cadangan pangan, baik
cadangan pangan milik pemerintah yang diperuntukkan bagi keluarga miskin
(raskin) maupun cadangan pangan milik masyarakat (ditingkat petani dan pasar).
Selain itu, di wilayah Bogor telah dilakukan peningkatan hasil produksi
padi di daerah sentra-sentra produksi padi, seperti kecamatan Cariu, Pamijahan,
Cibungbulang, Jonggol dan Leuwiliang. Wilayah Bogor juga merupakan salah
satu daerah unggulan dalam produktivitas padi di propinsi Jawa Barat, dalam
rangka memenuhi ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan strategis terutama
beras untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah Bogor maupun propinsi
Jawa Barat.
30
2. Karakteristik Responden
Karakteristik petani di wilayah Bogor, sebagaimana petani-petani tanaman
pangan yang ada di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir sama
(homogen). Ada beberapa karakteristik yang melekat pada petani tanaman pangan
di wilayah Bogor terutama dilihat dari jenis kelamin, usia, pendidikan, status dan
luas lahan, pengalaman usahatani, pola tanam serta pendapatan petani. Hasil olah
data tentang karakteristik petani responden di wilayah Bogor dapat ditunjukkan
pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Karakteristik responden
Keterangan Kategori Jumlah
(org)
Persentase
(%)
Jenis Kelamin Laki-laki 43 87.76
Perempuan 6 12.24
Usia (tahun) 31-40 7 14.29
41-50 16 32.65
51-60 11 22.45
>60 15 30.61
Pendidikan Tidak sekolah 11 22.45
SD/MI 22 44.90
SMP 7 14.29
SMA 9 18.37
Luas lahan <0,5 ha 31 63.27
0,5 - 1,0 12 24.49
>1,0 ha 6 12.24
Status lahan Sewa 18 36.73
milik sendiri 31 63.27
Pengalaman usahatani <5 tahun 10 20.41
5 - 10 th 17 34.69
>10 th 22 44.90
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat pada umumnya petani di Bogor adalah
laki-laki yaitu 87,76% dari seluruh jumlah responden yang dipilih, namun juga
terdapat 12,24% dari responden adalah perempuan. Hal ini kelihatan tidak lazim,
namun 6 orang perempuan tersebut menjadi petani karena suaminya telah
meninggal dan ada juga yang disebabkan perceraian, namun semua responden
perempuan ini merupakan anggota kelompok tani.
31
Usia petani responden rata-rata di atas 30 tahun, dimana sekitar 46,93%
berusia kurang dari atau sama dengan 50 tahun, sedangkan sebagian besar petani
responden yaitu 53,07% berusia lebih dari 50 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
pertanian di Indonesia, terutama di Bogor cenderung tidak diminati oleh pemuda.
Ada anggapan bahwa petani atau pertanian itu identik dengan pekerjaan bercocok
tanam dan kemiskinan. Hal ini menyebabkan pemuda lebih cenderung untuk
mencari pekerjaan lain selain bekerja di bidang pertanian.
Dari sisi tingkat pendidikan formal, petani responden di Bogor sebagian
besar hanya sampai sekolah dasar (67,35%), dan sekolah lanjutan (32,65%).
Tingkat pendidikan yang relatif masih rendah, tidak selalu berarti kurang
pengetahuan. Namun demikian, pendidikan formal yang tinggi akan sangat
berperan dalam kemampuan menganalisis berbagai situasi, wawasan berpikir dan
pemanfaatan teknologi terkini. Seperti umumnya ciri petani Indonesia memiliki
lahan rata-rata 0,5 ha, begitu juga petani responden di Bogor dengan pemilikan
lahan rata-rata di Bogor adalah <0,5 ha dengan status kepemilikan lahan tersebut
rata-rata adalah milik petani sendiri (63,27%) meskipun ada juga yang berupa
tanah sewa.
Sebagian besar responden (44,90%) telah melakukan usahatani > 10
tahun, sedangkan yang berpengalaman 5-10 tahun sebanyak 34,69% dan sisanya
baru berpengalaman < 5 tahun. Dilihat dari persentase pengalaman usahatani,
menunjukkan bahwa petani di Bogor sudah memiliki pengalaman yang cukup
dalam usahatani. Sehingga dapat dikatakan petani sudah memiliki pengalaman
serta pengetahuan yang cukup tentang resiko pertanian.
Petani di Bogor melakukan penanaman polikultur yaitu dengan pola tanam
bergantian atau menanam pada saat yang sama pada suatu lahan pertanian antara
tanaman padi, palawija dan sayuran. Pola tanam tanaman pangan di wilayah
Bogor dapat dilihat pada Gambar 6. Dari keseluruhan petani yang menjadi
responden, hanya 1 orang atau 2,04% menanam padi saja. Untuk tanaman padi
yang diikuti dengan tanaman palawija sebanyak 16,33%. Sedangkan untuk
tanaman padi yang diikuti dengan tanaman palawija dan sayur-sayuran sekitar
24,49% dan ini merupakan pola tanam paling tinggi persentasenya dibanding pola
tanam yang lain. Petani responden yang hanya menanam palawija saja sekitar
32
14,29%. Responden yang melaksanakan pola tanam palawija yang diikuti dengan
padi 12,24%, palawija dan sayuran 20,41%, sedangkan pola tanam palawija, padi
dan sayuran 10,20%.
Gambar 6. Pola tanam yang dilaksanakan petani di wilayah Bogor
Pola tanam padi – palawija – sayur lebih diminati oleh petani
dibandingkan hanya bertanam padi saja, atau palawija saja. Hal ini dikarenakan
menurut pendapat petani bahwa usahatani dengan pola tanam yang demikian lebih
menguntungkan. Keputusan petani untuk melakukan penanaman satu atau
beberapa jenis tanaman pangan serta untuk melakukan polikultur/diversifikasi
usahatani paling dominan didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman
berusahatani.
Dari sisi biaya produksi, sebanyak 67% petani mengeluarkan biaya kurang
dari Rp 1 juta selama 1 kali produksi tanaman (Gambar 7). Hal ini dapat dipahami
mengingat rata-rata luasan lahan pertanian adalah < 0,5 Ha. Pendapatan sebagian
besar petani (91,84%) sebesar lebih dari Rp 1.000.000 diperoleh dari hasil
penjualan produk pertanian.
33
Gambar 7. Biaya produksi dan pendapatan petani responden
Keuntungan petani tanaman pangan di wilayah Bogor Rp 500.000 –
Rp 2.000.000 per satu kali musim tanam. Menurut pengakuan sebagian petani,
terutama petani yang memiliki lahan pertanian kecil, dengan keuntungan yang
demikian kecil tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Hal ini
memaksa petani untuk melakukan pekerjaan selain di ladang, yaitu mengerjakan
pengolahan pasca panen, atau kegiatan yang bersifat off farm seperti buruh tani,
buruh di pasar, berjualan, tukang bangunan dan pekerjaan lainnya.
B. Persepsi Petani terhadap Resiko Pertanian
Usahatani di subsektor tanaman pangan termasuk salah satu jenis
usahatani yang memiliki resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Resiko-resiko
tersebut dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan alam terutama iklim,
bencana alam, ataupun serangan hama dan penyakit; perubahan lingkungan sosial
ekonomi terutama yang terkait dengan perilaku pasar, input maupun output
34
usahatani, dinamika usaha antara sektor pertanian dan non pertanian, perubahan
kebijakan di bidang ekonomi, konflik sosial dan sebagainya.
Negara berkembang seperti Indonesia sangat rentan terhadap resiko-resiko
pertanian karena masih minimnya instrumen-instrumen pengendalian resiko.
Untuk itu perlu dilakukan kajian awal untuk mengidentifikasi resiko-resiko
tersebut. Berdasarkan hasil FGD dan wawancara dengan sejumlah petani
responden di wilayah Bogor teridentifikasi resiko-resiko pertanian dan tingkat
resiko pertanian seperti yang disampaikan pada Gambar 8 yang merupakan hasil
tabulasi berdasarkan Lampiran 3. Rata-rata skor yang digunakan skala 1-5 yaitu
dari sangat penting (5) hingga tidak penting (1).
Gambar 8. Skor Resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan
Gambar 8 menunjukkan bagaimana persepsi petani berdasarkan tingkat
kepentingan dari berbagai resiko. Berdasarkan pendapat petani responden di
wilayah Bogor, resiko produksi merupakan resiko yang paling berpengaruh diikuti
dengan resiko pemasaran, resiko finansial, resiko manusia serta resiko sosial dan
institusional. Adapun resiko yang paling sering dihadapi oleh petani adalah resiko
produksi terutama dari serangan hama dan penyakit tanaman atau organisme
pengganggu tanaman (OPT) serta iklim atau cuaca seperti hujan dan kekeringan.
35
Resiko pemasaran juga merupakan resiko yang dominan, terutama disebabkan
oleh harga produk yang sering berubah serta distribusi komoditas yang selain
mahal karena biaya transportasi tinggi akibat infrastruktur yang tidak memadai,
serta sering juga dimonopoli oleh pengusaha besar. Resiko keuangan didominasi
oleh lemahnya permodalan petani dan lemahnya akses terhadap permodalan
petani.
Berdasarkan persepsi petani di wilayah Bogor, penurunan jumlah produksi
pertanian merupakan hal utama yang dialami oleh petani. Penurunan jumlah
produksi ini terutama disebabkan oleh serangan hama dan penyakit tanaman.
Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor penghambat
utama usaha peningkatan produksi pertanian. Serangan OPT menyebabkan
penurunan kuantitas hasil dan penurunan kualitas produksi pertanian. Jenis-jenis
Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang sering menyerang lahan pertanian
tanaman pangan utama di wilayah Bogor adalah : penggerek batang, tikus, tungro,
wereng coklat, blast, kresek, hama putih, ulat grayak, trips, hawar bakteri, lalat
bibit, hama putih palsu, keong mas, BRS dan perikularia. Serangan hama dan
penyakit ini menyerang terutama saat musim hujan yaitu pada bulan Oktober
sampai Maret.
Penurunan pertumbuhan produksi juga disebabkan oleh faktor penting
lainnya yaitu perubahan iklim global yang menyebabkan anomali iklim dan
pemanasan global. Berbagai bentuk anomali iklim seperti curah hujan yang tinggi
saat musim hujan dan kemarau yang panjang hingga menyebabkan kerusakan
pada tanaman. Anomali iklim juga mengganggu jadwal pola tanam petani.
Bencana alam juga sering terjadi seperti banjir dan kekeringan bahkan kebakaran
serta gempa bumi yang berpotensi merusak infrastruktur dan jaringan irigasi yang
akhirnya merusak dan menurunkan produksi tanaman pangan.
Tanaman pangan dengan peranannya yang sangat penting di dalam
konsumsi sehari-hari masyarakat Indonesia perlu mendapatkan perhatian.
Berbagai faktor yang mempengaruhi tanaman pangan baik berupa stok, produksi
nasional dan harga di pasar internasional menjadi faktor kritis bagi ketahanan
pangan Indonesia. Hal ini karena faktor-faktor ini akan berdampak pada harga
domestik tanaman pangan tersebut. Harga domestik yang tinggi akan berakibat
36
pada daya konsumsi masyarakat menjadi rendah dan dalam jangka waktu panjang
kondisi ini akan melemahkan ketahanan pangan nasional terutama akibat dari
bencana kelaparan. Sedemikian strategisnya komoditas tanaman pangan ini
sehingga memiliki sifat strategis dan politik. (Jatmiko, 2004).
Gambar 9. Perbedaan harga di tingkat petani dan pasar
Selain harga hasil pertanian tanaman pangan yang sering berubah, apalagi
pada saat panen raya menyebabkan harga hasil pertanian akan semakin rendah.
Adanya permainan harga oleh para tengkulak yang menyebabkan harga produk
pertanian jauh berada di bawah harga pasar. Petani tidak mempunyai kekuatan
tawar menawar, karena petani telah menjual produk pertaniannya sebelum panen,
yaitu di saat petani meminjam uang kepada tengkulak untuk keperluan sehari-hari
dan sebagai modal petani untuk membeli input produksi.
Infrastruktur yang masih rendah, merupakan salah satu sebab distribusi
komoditas pertanian semakin panjang. Tidak tersedianya infrastruktur jalan
usahatani menyebabkan biaya transportasi untuk memasarkan produksi tanaman
semakin besar. Hal ini dimanfaatkan oleh pengusaha yang memiliki modal yang
besar untuk membeli produk pertanian dengan harga rendah di tingkat petani dan
menjualnya dengan harga yang tinggi di pasar dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan yang besar.
37
Meskipun tidak mengetahui secara rinci pengaruh perubahan ekonomi
nasional oleh petani, namun petani merasakan dampak dari kenaikan harga BBM
yang diikuti oleh kenaikan harga input produksi dan transportasi.
Resiko keuangan utama yang teridentifikasi oleh petani responden di
wilayah Bogor adalah modal. Permodalan petani sangat terbatas, hal ini dilihat
dari kemampuan petani untuk membiayai usahatani sehingga produktivitas yang
dicapai masih di bawah produktivitas potensial.
Kesulitan permodalan yang dialami petani akan mempengaruhi ruang
gerak aktifias produksi usahatani dari petani. Salah satu usaha untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada umumnya dan pertanian pada
khususnya adalah melalui kredit. Kredit adalah salah satu syarat pelancar dalam
pembangunan pertanian, karena tanpa adanya kredit pertanian, pertumbuhan
ekonomi dalam bidang pertanian akan berjalan lambat. Untuk produksi yang lebih
baik, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang sarana produksi. Petani
dengan uang banyak akan mampu membeli sarana produksi yang produktif
sehingga akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Namun kenyataannya
kredit dari lembaga keuangan seperti bank tidak menarik untuk digunakan oleh
petani tanaman pangan yang kebanyakan adalah petani berlahan sempit dan
sedang. Hal ini dapat dimaklumi karena selain tingkat bunga yang tinggi juga
diakibatkan oleh administrasi yang berbelit-belit oleh bank. Petani lebih memilih
untuk meminjam kepada tetangga, saudara atau tengkulak. Untuk petani yang
sudah bergabung dengan kelompok tani dan telah membentuk gabungan
kelompok tani serta telah melakukan kegiatan simpan pinjam, maka petani
cenderung meminjam untuk sarana produksi maupun keperluan sehari-hari kepada
kelompok tani dengan tingkat bunga rendah yaitu 2% dengan agunan kartu tanda
penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK).
Resiko finansial penting lainnya di wilayah Bogor adalah lahan, yaitu
pemilikan lahan yang sempit dan terjadinya konversi lahan untuk pembangunan
industri serta pemukiman di lahan pertanian. Peningkatan produksi pangan
memang terjadi walaupun sedikit, namun hal ini tidak seimbang dengan tingginya
peningkatan permintaan pangan daerah dan nasional.
38
Rata-rata petani responden di Bogor mengusahakan lahan sawah < 0,5 Ha
dan luas lahan tersebut cenderung mengecil karena adanya proses fragmentasi
lahan sebagai akibat dari sistem/pola warisan. Selain itu juga disebabkan oleh alih
fungsi lahan. Luas lahan sawah cendrung berkurang setiap tahunnya akibat adanya
alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian (contohnya untuk
pembangunan industri, pemukiman di lahan pertanian). Penyempitan luas lahan
ini diikuti dengan naiknya harga sewa lahan dan harga lahan itu sendiri.
Resiko manusia dapat dilihat dari tenaga kerja yang merupakan faktor
penting dari kegiatan produksi sektor pertanian. Pada umumnya tenaga kerja di
sektor pertanian memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mengandalkan
keterampilan yang terbatas, mengerjakan lahan pertanian milik sendiri atau orang
lain dan merupakan pekerjaan yang dilakukan turun-temurun.
Walaupun jumlah tenaga kerja di sektor pertanian jumlahnya lebih banyak
daripada jumlah tenaga kerja di sektor lain, ada kecenderungan penurunan dari
tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat secara sederhana dari karakteristik
petani. Kecenderungan penurunan ini disebabkan paradigma berpikir masyarakat
bahwa petani identik dengan pekerjaan bercocok tanam, tradisional membuat
masyarakat muda tidak tertarik bekerja di bidang pertanian. Kecenderungan
penurunan jumlah petani ini membuat upah tenaga kerja di bidang pertanian
semakin tinggi.
Melihat kondisi umur petani responden yang sebagian besar berumur lebih
dari 50 tahun, maka tingkat kesehatan petani juga menurun. Hal ini dapat
menurunkan daya konsentrasi waktu bekerja yang akhirnya dapat mengakibatkan
kecelakaan dalam bekerja. Kondisi ini dipersulit lagi dengan tidak adanya jaminan
kesehatan yang memadai dan petani tidak mampu untuk membeli asuransi
kecelakaan.
Dari sisi resiko institusional, sebagian petani responden beranggapan
bahwa kebijakan pemerintah tidak terlalu berpihak kepada pertanian. Hal ini
terlihat dari infrastruktur pendukung pertanian yang belum memadai seperti jalan
dan irigasi. Di sisi lain, karena sebagian besar petani di Bogor adalah petani
dengan tingkat pendidikan yang rendah, kemampuan untuk melakukan
kesepakatan masih kurang. Namun, apabila terjadi kesepakatan antara
39
petani/kelompok tani dengan pengusaha, maka bargaining power selalu dalam
kondisi merugikan petani.
C. Manajemen Resiko di Tingkat Petani
Di negara-negara berkembang, kegiatan manajemen resiko secara
tradisional dilakukan sebelum (ex-ante) dan setelah (ex-post) resiko itu muncul.
(Siegel dan Alwang, 1999). Contoh strategi ex-ante mencakup akumulasi dari
simpanan cadangan sebagai tabungan pencegahan dan diversifikasi pendapatan
yang menghasilkan kegiatan melalui perubahan alokasi tenaga kerja (bekerja
pada on farm dan usaha kecil off farm, dan migrasi musiman)
atau berbagai praktek tanam (menanam tanaman yang berbeda, seperti varian
tahan kekeringan, penanaman di lahan yang berbeda, tumpang sari, dan
mengandalkan input beresiko rendah). Demikian pula, perusahaan dapat
mengasuransikan diri melalui kapitalisasi tinggi dan diversifikasi kegiatan usaha.
Masyarakat secara kolektif mengurangi resiko cuaca dengan proyek irigasi dan
pengolahan tanah konservasi yang melindungi tanah dan kelembaban. Contoh dari
strategi ex-post adalah dengan petani melakukan pekerjaan yang bersifat off-farm,
menjual hasil ternak atau asset pertanian lainnya, mengajak anak-anak bekerja
sebagai buruh pertanian, dan meminjam uang kepada keluarga, teman atau
tetangga (Hanan and Skoufias, 1998).
Manajemen resiko di tingkat petani di wilayah Bogor lebih difokuskan
kepada pengurangan resiko produksi dan resiko keuangan. Hasil tabulasi
manajemen resiko di tingkat petani berdasarkan Lampiran 4 dapat dilihat pada
Gambar 10. Rata-rata pemberian skor pada skala 1-5 yaitu dari sangat penting (5)
hingga tidak penting (1).
40
Gambar 10. Skor manajemen resiko berdasarkan persepsi petani tanaman pangan
Manajemen resiko di tingkat petani lebih mengutamakan pada pendekatan
secara teknik ataupun praktis dalam pengendalian resiko pertanian. Untuk
mengurangi resiko produksi atau penurunan jumlah produksi akibat pengaruh
serangan hama dan penyakit, petani lebih cenderung untuk memonitor lebih
dahulu serangan hama dan penyakit untuk mengidentifikasi hama dan penyakit.
Pengendalian yang dilakukan secara umum oleh petani adalah menyemprot
dengan menggunakan pestisida atau insektisida. Penggunaan pestisida untuk
mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman pangan relatif sangat
tinggi (Wigenasantana dan Waluyo, 1989). Selain itu petani juga melakukan
penyiangan untuk menghilangkan gulma dari tanaman. Untuk mengurangi
penggunaan pestisida dan insektisida yang mahal, maka petani melakukan
diversifikasi usahatani dengan menanam lebih dari satu tanaman pada suatu lahan.
Perubahan cuaca menyebabkan keterbatasan air dirasakan sangat berkurang
terutama pada saat musim kemarau ditambah lagi dengan kurangnya infrastruktur,
menyebabkan petani harus melakukan pengairan dengan langsung mengambil dari
sumber-sumber air. Antisipasi lain untuk mengatasi berkurangnya jumlah
41
produksi akibat resiko produksi, petani cenderung untuk menanam tanaman dalam
kapasitas maksimum.
Salah satu ciri pertanian rakyat Indonesia adalah manajemen dan
permodalan yang terbatas. Kebutuhan petani terhadap uang tunai (modal) untuk
membiayai usahataninya sangat menonjol dalam kegiatan pembelian benih
berlabel (mengingat kualitas benih sangat menentukan produktivitas usahatani),
pupuk dan pestisida (obat-obatan pemberantas hama & penyakit).
Masalah keuangan merupakan salah satu masalah utama bagi petani.
Keperluan modal merupakan titik awal bagi petani untuk mengambil keputusan
yang berhubungan dengan penggunaan kredit. Selama petani masih memiliki
modal sendiri, petani cenderung untuk menghindari melakukan peminjaman atau
kredit, kredit dari sumber manapun sangatlah beresiko. Petani lebih tertarik
meminjam/melakukan kredit dari pemerintah dibanding kredit dari sumber yang
lain/swasta. Namun kondisi di lapangan menyatakan kredit yang bersumber dari
perorangan/swasta lebih disukai karena lebih mudah dan cepat didapat. (Sjah,
Russell & Cameron, 2003).
Petani di wilayah Bogor sebagai petani umumnya di Indonesia tidak
terlepas dari beban hutang untuk kehidupan sehari-hari dan untuk biaya produksi.
Hal utama yang dilakukan petani untuk mengatasi resiko keuangan adalah dengan
menjaga agar tidak berhutang terlalu banyak, kemudian mencoba mengatur
pengeluaran. Apabila biaya untuk keperluan sehari-hari dan biaya produksi masih
kurang, sedangkan modal untuk memenuhi keperluan tersebut sedikit atau tidak
ada, petani akan melakukan pinjaman. Pinjaman uang yang dilakukan untuk
modal usaha tani atau untuk keperluan sehari-hari biasanya ditujukan kepada
keluarga terdekat, tentangga dan secara umum kepada tengkulak. Sebagian besar
petani responden meminjam uang kepada tengkulak dan dibayar saat panen,
dimana tengkulak yang akan membeli hasil tersebut, tentunya dengan harga yang
rendah.
Resiko pemasaran terutama harga produk merupakan salah satu masalah
utama. Petani tidak mampu atau tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan
harga tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut petani umumnya mengikuti
perkembangan harga produk pertanian secara umum. Untuk mengetahui kondisi
42
pasar terutama harga produk, Pemerintah telah memberikan layanan informasi
harga yang dapat diakses oleh petani langsung melalui sms ke operator Dinas
Agribisnis maupun Dinas Pertanian dan Kehutanan di Wilayah Bogor. Untuk
mengimbangi pendapatan petani apabila tidak mendapatkan hasil atau harga yang
memadai dalam menanam tanaman pangan, maka petani melakukan diversifikasi
usaha terutama pada tanaman palawija dan hortikultura khususnya sayuran. Untuk
meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan harga jual, sebagian petani
mengikuti kelompok tani dan melakukan kesepakatan usaha dengan pengusaha.
Lahan pertanian yang kian hari semakin sempit tidak mencukupi
kebutuhan rumah tangga petani yang bersangkutan. Untuk mendapatkan
pendapatan yang cukup bagi keluarga. Petani responden umumnya melakukan
pekerjaan tambahan di luar usahatani (off farm).
Pekerjaan-pekerjaan di luar sektor pertanian, seperti pekerjaan dalam
industri rumah tangga atau industri kecil, sudah dikenal di daerah pedesaan sejak
lama. Keberadaan pekerjaan di luar sektor pertanian ini penting artinya bagi
rumah tangga petani. Hal ini berkaitan dengan sifat musim kegiatan di bidang
pertanian. Pada umumnya keluarga petani membutuhkan pekerjaan di luar sektor
pertanian untuk menambah penghasilannya. (Mubyarto, 1985).
Demikian pula halnya petani di wilayah Bogor, kepemilikan lahan
pertanian semakin sempit karena berubah menjadi kawasan perumahan.
Kepemilikan lahan rata-rata petani responden adalah 0,5 Ha per kepala keluarga.
Melihat kenyataan yang demikian, pendapatan dari sektor pertanian tidak
memungkinkan lagi sebagai penghasilan utama untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Karena itu bukan saja kaum laki-lakinya, kaum wanitanya pun dituntut
untuk mencari nafkah di sektor off farm.
D. Analisis Faktor Lingkungan
1. Faktor Internal dan Eksternal
Berdasarkan hasil analisis lingkungan baik internal maupun eksternal
usahatani tanaman pangan utama wilayah Bogor berupa faktor kekuatan
(strengths) dan kelemahan (weaknesses), serta faktor peluang (opportunities) dan
ancaman (threats) yang berpengaruh terhadap pengembangan usahatani tanaman
43
pangan dan pembangunan pertanian di Bogor. Pada hasil analisis akan ditetapkan
posisi usahatani saat ini dengan menggunakan matriks IFE dan EFE, kemudian
akan dirumuskan strategik yang akan diterapkan dengan menggunakan analisis
SWOT. Analisis faktor internal dan eksternal usahatani tanaman pangan wilayah
Bogor akan diuraikan sebagai berikut.
a. Analisis Faktor Internal
Analisis lingkungan internal bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menjelaskan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan bagi petani
tanaman pangan di Bogor. Kekuatan yang diidentifikasi terdiri dari jumlah
sumberdaya manusia pertanian yang melimpah, sumberdaya alam yang
mendukung, adanya dukungan pemerintah lewat program-program atau kebijakan
pertanian, petani merupakan pekerja keras dan memiliki pengalaman yang cukup,
dan produk pertanian bersifat renewable.
Jumlah sumberdaya manusia pertanian yang banyak merupakan salah satu
kekuatan pertanian Indonesia. Serapan sektor pertanian terhadap tenaga kerja di
Bogor merupakan yang tertinggi dibanding sektor-sektor lain. Banyaknya jumlah
tenaga kerja di sektor pertanian menjadi sebuah kekuatan dan juga sebuah
peluang. Dengan sumber tenaga kerja yang melimpah ini menyebabkan upah
tenaga kerja di sektor pertanian menjadi relatif lebih rendah dan sebagai sumber
inventor dan inovator di bidang pertanian.
Indonesia memiliki sumberdaya alam yang melimpah, yang merupakan aset
utama pengembangan agribisnis. Di antara lima pulau besar, pulau Jawa merupakan
pulau terpadat penduduknya tapi juga memiliki lahan yang subur. Sumberdaya alam
Indonesia sebagian besar dapat dikatakan mendukung kegiatan usahatani terutama
wilayah Bogor. Dengan curah hujan yang tinggi dan lahan pertanian yang subur
dapat mendukung pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor.
Besarnya dukungan pemerintah dalam meningkatkan produksi tanaman
pangan serta usaha pemerintah melalui program-program untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat serta petani dengan cara mengentaskan kemiskinan.
Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah selalu berkomitmen untuk
membantu sektor pertanian lewat program-program maupun kebijakan. Kebijakan
agribisnis di Bogor merupakan salah satu kekuatan yang penting karena arah
44
kebijakannya bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan
pengembangan sektor pertanian berbasis agribisnis. Hal ini merupakan penjabaran
dari misi pemerintahan Bogor, yakni mengembangkan perekonomian masyarakat
dengan titik berat pada jasa dan pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya yang ada. Pengembangan pertanian yang terintegrasi dengan
pengembangan masyarakat tani yang dihubungkan dengan seluruh aktivitas
ekonomi dalam kerangka peningkatan produksi, daya saing dan nilai tambah
komoditi pertanian untuk mengentaskan kemiskinan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa petani Indonesia adalah petani yang bekerja
keras serta dapat dikatakan memiliki pengalaman yang cukup dalam pertanian.
Hal ini dapat kita perhatikan dari tabel yang memperlihatkan bahwa 80% petani
responden memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun bahkan sudah dilakukan sejak
kecil.
Sifat alami dari produk pertanian adalah renewable. Sumberdaya renewable
adalah semua organisme hidup yang menyediakan makanan, serat, obat-obatan dan
sebagainya bagi manusia (Weiss, 1962). Hal ini merupakan salah satu kekuatan
sektor pertanian.
Kelemahan pertanian antara lain adalah rendahnya tingkat pendidikan dan
keterampilan petani, semakin menyempitnya lahan pertanian dan lemahnya
infrastruktur. Selain itu juga lemahnya kelembagaan petani, lemahnya akses
permodalan petani, lemahnya penguasaan informasi dan teknologi serta lemahnya
manajemen kerja.
Lemahnya pengetahuan dan keterampilan petani menyebabkan rendahnya
tingkat daya saing dan keunggulan kompetitif produk usahatani tanaman pangan
di Bogor. Hal ini juga berdampak pada kelemahan mengelola pengembangan
produk tanaman pangan yang memiliki prospek bisnis dan pertumbuhan pasar
yang tinggi untuk menembus pasar domestik dan luar negeri.
Selain sempitnya luas lahan pertanian yang menyebabkan usahatani menjadi
tidak efisien, status kepemilikan lahan juga menjadi masalah utama di Bogor.
Ketidakjelasan kepemilikan dan status lahan berpengaruh pada investasi dalam
bidang pertanian. petani sangat sulit untuk mendapatkan modal dari perbankan
tanpa ada agunan. Demikian juga para investor sulit untuk melakukan investasi
45
tanpa ada status dan kepemilikan lahan yang jelas. Rendahnya infrastruktur menjadi
faktor penyebab usahatani tidak maksimal, irigasi yang tidak memadai,
menyebabkan kelangkaan air di satu tempat dan banjir ditempat lain, sehingga
penggunaan air semakin kompetitif. Tidak ada atau belum memadainya jalan
usahatani merupakan masalah yang dihadapi di pedesaan, perlunya infrastruktur
jalan sangat penting untuk meningkatkan efisiensi usahatani terutama dalam hal
pengangkutan sarana produksi dan hasil panen.
Lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani yang berakibat pada
panjangnya tata niaga dan belum adilnya sistem pemasaran. Kelembagaan petani,
baik rendahnya kualitas SDM petani, tidak ada atau tidak berfungsinya lembaga
petani dan lembaga pendukung pertanian di perdesaan telah melemahkan posisi
tawar petani dan mempersulit dukungan pemerintah yang diberikan kepada petani.
Lembaga petani yang dapat menjadi alat untuk meningkatkan skala usaha untuk
memperkuat posisi tawar petani sudah banyak yang tidak berfungsi. Lembaga
pendukung untuk petani terutama lembaga penyuluhan pertanian sudah kurang
berfungsi sehingga menurunkan efektivitas pembinaan, dukungan dan diseminasi
teknologi dalam rangka meningkatkan penerapan teknologi dan efisiensi usaha
petani.
Lemahnya permodalan petani dan akses terhadap permodalan itu sendiri
untuk pembiayaan petani adalah masalah pada petani tanaman pangan terutama
petani menengah kebawah. hal ini disebabkan karena masalah klasik, yaitu tidak
adanya jaminan/agunan yang dipersyaratkan perbankan. Pada kondisi ini petani
terpaksa berhubungan dengan rentenir/tengkulak yang sudah barang tentu dengan
bunga yang sangat tinggi. Lemahnya permodalan pada pengembangan tanaman
pangan karena tidak adanya lembaga keuangan yang khusus menangani
pembiayaan pertanian, realisasi kredit ketahanan pangan (KKP) untuk para petani
masih rendah dan tidak sesuai rencana, serta anggaran pembangunan nasional dan
daerah untuk sektor pertanian masih rendah. Di lain pihak, keberpihakan lembaga
keuangan formal terhadap sektor pertanian juga masih rendah. Bank lebih
memperhatikan sektor industri. Tahun 2000, kredit perbankan kepada sektor
pertanian hanya 6,2% sementara untuk industri 34,2%, perdagangan 14,4% dan
jasa-jasa 37,4%. (Arifin, 2007).
46
Masih rendahnya penguasaan informasi dan teknologi oleh petani berakibat
pada rendahnya efisiensi petani dalam hal memasarkan produk dan juga rendahnya
produktivitas serta nilai tambah produk pertanian. Nilai tambah komoditas ini
masih rendah karena pada umumnya petani menjual hasil pertanian dalam bentuk
segar (produk primer) dan olahan sederhana. Perkembangan industri hasil pertanian
belum optimal, yang ditunjukkan oleh rendahnya tingkat utilisasi industri hasil
pertanian. Peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui proses pengolahan
memerlukan investasi dan teknologi pengolahan yang lebih modern. Kondisi ini
diperberat oleh semakin tingginya persaingan produk dari luar.
Manajemen kerja petani di Indonesia umumnya masih dibilang kurang
profesional. Hal ini dapat dilihat dari jadwal penanaman yang kadang melebihi
jadwal awal musim tanam, tidak tepatnya penggunaan dosis pupuk ataupun obat
pembasmi hama dan penyakit. Kurangnya manajemen kerja ini umumnya
diakibatkan oleh pengetahuan petani yang minim ditambah lagi petani harus bekerja
di luar usahatani untuk mendapatkan tambahan pendapatan bagi pemenuhan
kehidupan sehari-hari keluarga.
b. Analisis Faktor Eksternal
Analisis lingkungan eksternal bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menjelaskan faktor-faktor yang menjadi peluang dan ancaman bagi usaha
pertanian di Indonesia terutama pertanian tanaman pangan di Bogor. Peluang yang
diidentifikasi terdiri dari produk tanaman pangan yang selalu diperlukan dan
jumlanya semakin meningkat akibat pertambahan penduduk atau dengan kata lain
besarnya pangsa pasar hasil kegiatan usahatani tanaman pangan, peningkatan nilai
tambah produk melalui pengembangan agroindustri, kemitraan dengan berbagai
pihak, pemanfaatan hasil riset dan teknologi, serta pemanfaatan kredit/asuransi
pertanian. Ancaman yang dihadapi terdiri dari tingginya resiko produksi,
lemahnya akses permodalan, fluktuasi harga produk pertanian, semakin
meningkatnya produk impor dari luar serta monopoli distribusi oleh pengusaha
besar.
Identifikasi dan penyusunan daftar peluang dan ancaman dilakukan
melalui kuesioner serta wawancara. Sebagai suatu wilayah yang terdiri dari
47
wilayah dan kabupaten, pengembangan usahatani dilakukan dengan
memanfaatkan sebesar-besarnya sumberdaya yang tersedia secara efektif dan
efisien, diharapkan dapat menjawab berbagai resiko-resiko pertanian yang
dihadapi. Dilihat dari peluang pangsa pasar tanaman pangan, posisi wilayah
Bogor sangat strategis. Kawasan andalan botabek merupakan kawasan unggulan
sektor industri manufaktur dan jasa yang mempunyai keterkaitan dengan
sumberdaya lokal, berorientasi ekspor dan ramah lingkungan.
Disamping wilayah Bogor dipandang sebagai perwilayahan dan kabupaten
yang luas, juga memiliki tingkat serapan pasar yang tinggi untuk komoditas
tanaman pangan. Berlangsungnya liberalisasi perdagangan menjadi peluang bagi
wilayah Bogor untuk menjadi pusat perdagangan regional hasil tanaman pangan.
Dengan daya dukung geografis, adanya migrasi dari wilayah luar, lancarnya
transportasi dan aksesibilitas yang cepat serta pelayanan publik yang baik. Sejalan
dengan perkembangan penduduk yang semakin padat, kebutuhan pangan juga
semakin meningkat. Bogor dapat mengembangkan sistem rantai pasok terpadu
dari hasil tanaman pangan sehingga mampu meningkatkan kualitas ketersediaan
dan distribusi pangan ke berbagai daerah di sekitarnya.
Kondisi perekonomian yang sulit saat ini mendorong petani untuk semakin
meningkatkan kemampuan serta keterampilan serta mendorong jiwa wirausaha
dengan pengembangan produk tidak hanya di bidang usahatani tapi juga
menyebar ke bidang pengembangan agroindustri. Lewat jiwa wirausaha
diharapkan dapat memfasilitasi petani dalam penanganan pasca panen dan
pengolahan.
Peluang terbukanya kerjasama ataupun kemitraan antara petani dengan
pengusaha atau pihak lain akan membentuk berbagai pola kemitraan usahatani
tanaman pangan yang dapat dilakukan di Bogor seperti pola kerjasama
operasional usahatani tanaman pangan, pola kerjasama dalam penyediaan modal
melalui koperasi, sistem kontrak pengadaan produk tanaman pangan, kemitraan
antar kelompok tani dan atau pelaku usahatani lainnya, pola kemitraan
perdagangan umum, serta pola kemitraan pemerintah daerah dan pelaku agribisnis
lainnya.
48
Pemerintah Indonesia telah menyediakan kredit pertanian di tingkat
subsidi untuk membantu petani memperluas kegiatan produksi. Petani kecil,
dengan usahatani berpendapatan rendah merupakan usahatani mayoritas, petani
ini memiliki akses hanya kepada peminjam dengan bunga tinggi, kredit non
lembaga. Usahatani besar dan menengah, merupakan penerima utama kredit
subsidi pemerintah. Dana dari pemerintah semakin sedikit dari sebelumnya dan
membuatnya semakin sulit untuk meningkatkan sektor pertanian yang ditandai
dengan peningkatan jumlah kredit pemerintah. Namun, redistribusi kredit antara
kelompok tani mungkin dapat mencapai tujuan tersebut (Onal et al., 1995). Lewat
kelembagaan petani pemanfaatan kredit pertanian baik dari pemerintah, bank
maupun pihak lain yang memberikan bantuan modal bagi petani membuka
peluang untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Namun, pemanfaatan kredit pertanian informal dikhawatirkan belum
memadai. Sumaryanto dan Nurmanaf (2007) menyatakan bahwa Pendekatan
konvensional melalui penerapan salah satu atau kombinasi strategi produksi,
pemasaran, finansial dan pemanfaatan kredit formal diperkirakan kurang efektif.
Oleh karena itu diperlukan adanya suatu sistem proteksi yang sitstemik dan
sistematis. Dalam konteks ini, pengembangan sistem asuransi pertanian formal
khususnya untuk komoditas strategis layak dipertimbangkan. Bahkan secara
normatif perlu diposisikan sebagai bagian dari strategi pembangunan pertanian
jangka panjang.
Sementara itu, pengurangan resiko pertanian melalui asuransi formal
belum merupakan praktek umum antara petani di Indonesia. Asuransi ini hanya
dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar, bukan petani secara individual
(Montgomery et al., 2010). Bahkan, mengingat tingginya tingkat resiko di sektor
pertanian, maka perusahaan asuransi yang ada di Indonesia masih belum berani
untuk mengambil resiko untuk menawarkan asuransi pertanian di tingkat petani,
yang sudah ada sekarang baru taraf asuransi pada perusahaan perkebunan
terutama sawit dan karet. Oleh sebab itu sistem asuransi pertanian tanaman
pangan terutama padi lebih sesuai dilaksanakan oleh sektor publik. Hasil
penelitian Nurmanaf et al. (2007) menunjukkan bahwa secara finansial binis
asuransi pertanian untuk usahatani padi hanya akan layak jika disubsidi. Dengan
49
catatan bahwa sejumlah asumsi yang dipergunakan dalam analisis finansial dapat
dibuat lebih longgar.
Di Indonesia, resiko pertanian yang paling tinggi adalah resiko produksi.
Teridentifikasi bahwa ancaman yang paling mempengaruhi bagi produksi
tanaman pangan adalah pengaruh perubahan iklim, bencana alam, serta serangan
hama dan penyakit.
Meskipun pemerintah telah menyediakan skim perkreditan pertanian
belum berarti bahwa akses permodalan petani terhadap lembaga keuangan sudah
terjalin dengan kuat. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan memperlihatkan
bahwa seluruh petani tidak memanfaatkan kredit pertanian yang ditawarkan, hal
ini disebabkan oleh sistem lembaga keuangan formal yang dinilai berbelit dalam
hal pengajuan kredit tersebut, sehingga petani lebih cenderung meminjam modal
kepada tengkulak atau pengumpul produk.
Fluktuasi harga produk tanaman pangan merupakan ancaman bagi petani.
Dengan ketidak pastian harga produk tanaman, petani sulit mempertahankan
kualitas dan kuantitas produk, biasanya produk pertanian belum layak panen
terpaksa dijual karena harga produk tanaman yang tidak menentu. Petani akan
menjadi pihak yang dirugikan karena biasanya harga akan rendah pada saat
musim panen dan tidak adanya jaminan pasar dengan harga yang diinginkan
petani, menjadi ancaman pada pertumbuhan pasar tanaman pangan.
Ancaman masuknya produk tanaman pangan dari luar daerah baik dari
dalam negeri seperti produk dari kabupaten dan propinsi lain di luar Bogor
maupun dari luar negeri terutama Cina, Vietnam dan Thailand, membuat harga
produk pertanian tanaman pangan jatuh. Masuknya produk tanaman pangan yang
tidak terkendali merupakan dampak liberalisasi perdagangan yang
meminimumkan tarif perdagangan sehingga pasar produk tanaman pangan
semakin terbuka bagi setiap negara, yang akan menyebabkan persaingan produk
pertanian semakin ketat. Bila produk pangan di Bogor tidak mampu bersaing
maka akan kehilangan pangsa pasar di tingkat domestik dan internasional.
Masalah distribusi juga masih menjadi kendala dalam pengembangan
pertanian. Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan kendala utama dalam
kegiatan distribusi. Sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah masih
50
relatif sedikit, disamping kondisi infrastruktur yang kurang mendukung untuk
kegiatan distribusi. Ketersediaan fasilitas pendukung belum memberikan dampak
yang signifikan terhadap kemampuan distribusi di sektor pertanian. Jangkauan
pemasaran yang relatif sempit merupakan indikator terhambatnya kegiatan
distribusi yang dilaksanakan. Di sinilah kesempatan untuk pengusaha yang
memiliki permodalan yang besar untuk melakukan monopoli distribusi.
2. Analisis Matriks IFE (Internal Faktor Evaluation Matrix) dan Matriks
EFE (External Faktor Evaluation Matrix)
a. Analisis matriks IFE
Hasil analisis matriks IFE terdapat pada Tabel 6. Faktor yang menjadi
kekuatan utama kegiatan usahatani di Bogor adalah dari banyaknya jumlah petani
tanaman pangan di Bogor dan produk pertanian yang bersifat renewable.
Sementara itu kelemahan utama yang dimiliki adalah selain sempit dan status
kepemilikan lahan yang tidak jelas dan lemahnya infrastruktur. Selain itu, faktor
kelemahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah juga pengaruh lemahnya
pendidikan serta keterampilan petani di Bogor.
Tabel 6. Matriks IFE pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor
Faktor internal Bobot Rating Skor
Kekuatan
A SDM sektor pertanian 0,094 4,000 0,375
B Dukungan sumberdaya alam 0,092 3,600 0,331
C Dukungan pemerintah 0,073 3,000 0,218
D Kerja keras dan pengalaman petani 0,091 3,400 0,309
E Produk pertanian yang renewable 0,092 3,800 0,349
Kelemahan
F Keterampilan & pengetahuan 0,080 1,400 0,112
G Lahan dan infrastruktur 0,086 1,200 0,104
H Kelembagaan petani 0,092 1,400 0,129
I Permodalan 0,083 1,400 0,116
J Informasi dan teknologi 0,103 1,200 0,123
K Manajemen kerja 0,115 2,000 0,231
TOTAL 1,000 2,395
51
b. Analisis matriks EFE
Hasil analisis matriks EFE terdapat pada Tabel 7. Faktor peluang utama
yang dimiliki oleh pertanian di Bogor adalah pangsa pasar produk pertanian yang
cukup besar akibat dari banyaknya jumlah penduduk yang diikuti oleh
pemanfaatan hasil riset dan teknologi untuk pengembangan agroindustri. Faktor
yang menjadi ancaman utama bagi program ini adalah produk impor dari luar dan
besarnya resiko produksi.
Tabel 7. Matriks EFE pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor
Faktor eksternal Bobot Rating Skor
Peluang
A Pangsa pasar 0,130 4,000 0,520
B Pengembangan agroindustri 0,097 2,600 0,251
C Kerjasama dengan berbagai pihak 0,106 3,000 0,317
D Riset dan teknologi 0,098 3,600 0,352
E Kredit/asuransi pertanian 0,071 2,400 0,171
Ancaman
F Resiko produksi 0,102 1,200 0,123
G Perdagangan bebas 0,099 1,400 0,138
H Fluktuasi harga produk pertanian 0,093 1,800 0,168
I Produk impor 0,093 1,200 0,112
J Monopoli distribusi oleh pengusaha besar 0,111 1,200 0,133
TOTAL 1,000 2,285
3. Analisis Matriks Internal-Eksternal (Internal-External Matrix)
Nilai IFE yang diperoleh kegiatan usahatani wilayah Bogor sebesar 2,395
dan nilai EFE sebesar 2,285 (Gambar 11). Perpaduan dari kedua nilai tersebut
menunjukkan bahwa strategi pemasaran program ini terletak pada kluster V, yaitu
sel stabilitas yang dapat dikelola dengan strategi mempertahankan dan
memelihara (hold and maintain) melalui strategi penetrasi pasar dan
pengembangan produk.
52
Gambar 11. Matriks IE kegiatan usahatani wilayah Bogor
E. Analisis SWOT
Penyusunan strategi pada matriks SWOT dilakukan sesuai dengan hasil
yang diperoleh dari matriks IE, dimana posisi kegiatan usahatani tanaman pangan
di wilayah Bogor terletak pada sel V, yaitu posisi stabil. Pencocokan faktor
strategi internal dan eksternal dalam keadaan saat ini, lingkup strategi yang
diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan. Namun untuk
pengembangan program ke depan dapat dilakukan dengan penetrasi pasar dan
pengembangan produk pertanian tanaman pangan.
Berdasarkan hasil evaluasi matriks I-E, disusunlah matriks SWOT yang
menghasilkan empat tipe strategi yang dapat dilakukan, yaitu strategi S-O, W-O,
S-T, dan W-T. Hasil analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Skor Total
EFE= 2,395
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Kuat
Tinggi
Rataan
Rataan
Rendah
Lemah
1,0 4,0 2,0 3,0
1,0
2,0
3,0
Skor Total
EFE= 2,285
53
Tabel 8. Matriks SWOT
Faktor
Internal
Faktor
Eksternal
Kekuatan (S)
1. SDM pertanian
2. Sumberdaya alam yang
mendukung
3. Didukung kebijakan
pemerintah
4. Petani memiliki kerja keras
dan pengalaman yang cukup
5. Produk pertanian renewable
Kelemahan (W)
1. Pendidikan dan skill
2. Lahan pertanian dan infrastruktur
3. Kelembagaan petani
4. Akses permodalan
5. Informasi dan teknologi
6. Manajemen kerja
Peluang (O)
1. Besarnya pangsa pasar
2. Pengembangan agroindustri
3. Kerjasama dengan berbagai
pihak
4. Hasil riset dan teknologi
5. Kredit / Asuransi pertanian
Strategi S-O
a. Penguatan pengembangan
agribisnis (S1, S2, S3, S4, S5,
O1, O2, O3,O4, O5,)
b. Mendorong investasi di sub
sektor agribisnis tanaman
pangan (S1, S2, S3, S4, S5,
O1, O3,O4, O5,)
Strategi W-O
d. Pembinaan Terpadu dan
Pengembangan Kemitraan (W1,
W4,W5, W6, O1, O2, O3,O4,
O5)
Ancaman (T)
1. Resiko produksi
2. Liberalisasi
perdagangan/pasar bebas
3. Fluktuasi harga produk
pertanian
4. Produk impor dari luar
negeri
5. Monopoli distribusi oleh
pengusaha besar
Strategi S-T
c. Meningkatkan konsistensi
pemerintah dalam kebijakan
pertanian (S1, S3, T1, T2, T3,
T4, T5)
Strategi W-T
e. Intensifikasi dan diversifikasi
tanaman pangan (W1, W2,W3,
W4,W5, T1,T2,T3, T4, T5)
f. Melindungi hak pelaku agribisnis
melalui legislasi dan regulasi
(W2,W3,W4, T1,T2,T3, T4, T5)
Alternatif strategi terapan yang muncul dari matriks SWOT terdiri dari 6
jenis alternatif strategi, yaitu:
a. Penguatan Pengembangan agribisnis (S1, S2, S3, S4, S5, O1, O2, O3,O4, O5,)
Strategi pengembangan agribisnis pertanian tanaman pangan merupakan
alternatif strategi strengths-opportunities (S-O). Jumlah penduduk wilayah Bogor
yang mencapai lebih dari 5 juta jiwa ditambah lagi banyaknya jumlah penduduk
Indonesia merupakan peluang pangsa pasar produk-produk pertanian. Banyaknya
jumlah penduduk di sektor pertanian dan didukung oleh sumberdaya alam wilayah
Bogor berupa tanah yang subur dan banyaknya persediaan air merupakan modal
penting untuk menciptakan peningkatan produksi pertanian. Namun peningkatan
54
produksi pertanian akan sia-sia apabila tidak diikuti oleh peningkatan pendapatan
petani.
Penguatan pengembangan agribisnis tanaman pangan merupakan
kebutuhan kebijakan distribusi produksi yang diarahkan untuk mencapai
pelaksanaan pemasaran yang optimal. Pemerintah harus berorientasi pasar dan
meningkatkan level investasi pada infrastruktur perdesaan, riset dan penyuluhan
pertanian, pendidikan dan kesehatan (Rosengrant dan Hazell, 2001).
b. Mendorong investasi di sub sektor agribisnis tanaman pangan (S1, S2, S3, S4,
S5, O1, O3,O4, O5,)
Strategi yang masih tergolong dalam kategori strategi strengths-
opportunities (S-O) adalah mendorong investasi di bidang tanaman pangan.
Dukungan investasi diperoleh dengan memanfaatkan peluang kerjasama dengan
berbagai pihak melalui kekuatan dukungan pemerintah berupa kebijakan
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Kerjasama dengan berbagai pihak
luar tentang kelebihan berinvestasi di bidang tanaman pangan di Bogor akan
berpengaruh terhadap seluruh aktivitas agribisnis di wilayah Bogor.
Pengembangan agribisnis di wilayah Bogor perlu mengantisipasi hal ini terutama
jika bergerak kepada pengembangan value added product.
Kondisi perekomian saat ini memberikan peluang yang besar terhadap
investasi ke sektor pertanian. Dampak krisis finansial global merupakan
momentum tepat menarik investasi ke sektor pertanian. Mengingat permintaan
pasar dunia terhadap komoditas-komoditas subsektor tanaman pangan seperti
jagung, padi dan kedelai terus meningkat, sehingga banyak pihak asing yang
tertarik untuk berinvestasi, kondisi ini perlu digalakkan. Namun, seringkali
peluang-peluang tersebut terkendala oleh ketidakjelasan hukum dan peraturan
yang mendukung investasi serta ketidakjelasan regulasi-regulasi terutama yang
menyangkut status lahan.
55
c. Meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian (S1, S3, S4,
T1, T2, T3, T4, T5)
Strategi meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian
merupakan perpaduan antara strategi strengths-threats (S-T). Kebijakan
pemerintah merupakan faktor yang sangat berperan dalam pengembangan
agribisnis. Berbagai bentuk upaya pengembangan agribisnis akan mengalami
kendala dan hambatan tanpa adanya dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan
pemerintah di sektor pertanian sudah banyak dikeluarkan, namun di sisi lain
muncul berbagai permasalahan, bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
dirasa kurang konsisten penerapannya dan kurang efektif. Sebagai indikator
adalah bahwa kebijakan pemerintah ternyata belum dinikmati oleh petani.
Sosialisasi mengenai kebijakan pemerintah dirasa masih sangat kurang (Suyatno,
2008).
d. Pembinaan terpadu dan pengembangan kemitraan (W1,W2, W3,W4,W5, W6,
O1, O2, O3,O4, O5)
Strategi pembinaan terpadu dan pengembangan kemitraan yang
dilatarbelakangi oleh lemahnya tingkat pendidikan dan keterampilan petani,
diikuti oleh lemahnya akses terhadap permodalan, penguasaan informasi dan
teknologi serta kurangnya manajemen kerja. Strategi ini merupakan jenis strategi
weaknesses-opportunities (W-O) yaitu strategi untuk memperkecil kelemahan
dengan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi ini muncul karena adanya
peluang besarnya pangsa pasar untuk produk pertanian, baik mentah maupun
olahan. Selain itu terbukanya peluang kerjasama dengan berbagai pihak terutama
swasta, serta pemanfaatan kredit lewat lembaga keuangan seperti bank, yang
dengan memanfaatkan hasil riset dan teknologi dari perguruan tinggi mendorong
petani melakukan kegiatan agroindustri untuk memberikan nilai tambah pada
produk pertaniannya. Dari sisi internal pertanian di Bogor memiliki kelemahan
utama yaitu pendidikan, keterampilan dan permodalan. Jika tidak ada usaha untuk
melakukan peningkatan kualitas pendidikan serta keterampilan petani dan usaha
peningkatan jumlah modal petani, maka pertanian di Bogor akan sulit
berkembang. Oleh sebab itu perlunya pola pembinaan terpadu setiap subsistem
56
agribisnis, yaitu pola pembinaan yang mensinergikan subsistem penyedia sarana
produksi, usahatani atau kegiatan on farm (produksi primer), pengolahan
(produksi sekunder), jasa dan pengolahan (produksi tersier), serta pasar atau
konsumen, baik dalam dan luar negeri. Keberhasilan dari pembinaan terpadu
terhadap pelaku dari sistem agribisnis sangatlah ditentukan oleh adanya
koordinasi dan komunikasi antar subsistem dan berfungsinya pembinaan.
Pengembangan kelembagaan kemitraan usaha yang saling menguntungkan
serta menerapkan manajemen yang handal perlu dilakukan untuk mengurangi
resiko pertanian terutama resiko pasar dan resiko keuangan. Adapun komoditas
pertanian tanaman pangan dapat dijadikan sebagai sumber akselerasi untuk
menumbuhkan subsektor agribisnis karena sifat permintaan yang elastis terhadap
pendapatan. Untuk memenuhi permintaan pasar dan preferensi konsumen,
permasalahan, efisiensi, produktivitas dan kualitas harus mendapat perhatian.
Salah satu solusinya adalah dengan membangun kelembagaan kemitraan usaha
(Febriyansyah, 2009).
e. Intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan (W1,W2,W3,W4,W5, W6,
T1,T2,T3, T4, T5)
Dengan kelemahan berupa kurangnya permodalan untuk melakukan
usahatani yang diikuti berkurangnya luas lahan produktif tanaman pangan akibat
konversi lahan serta kurangnya infrastruktur, ditambah rendahnya nilai jual
produk yang menyebabkan banyak petani tanaman pangan yang beralih komoditas
usahatani dari tanaman pangan ke non tanaman pangan maka diperlukan suatu
strategi untuk memperkecil kelemahan tersebut. Strategi tersebut juga harus
mampu semaksimal mungkin menghindari ancaman-ancaman yang ada berupa
resiko produksi, monopoli distribusi produk oleh pengusaha, fluktuasi harga
produk pertanian, adanya produk impor, dan liberalisasi perdagangan/pasar bebas.
Strategi ini termasuk kategori weaknesses-threats (W-T). Strategi yang cocok
untuk menghadapi kondisi seperti ini adalah strategi intensifikasi dan diversifikasi
tanaman pangan yang dikuatkan dengan program diversifikasi pangan.
Intensifikasi bertujuan meningkatkan produksi tanaman pangan dalam
rangka menunjang pelestarian swasembada beras disamping bahan pangan
57
lainnya.khususnya produksi komoditas prioritas nasional yang meliputi komoditi
padi, jagung dan kedelai disamping juga komoditas prioritas daerah: ubi kayu, ubi
jalar, kacang tanah, kacang hijau, sayur-sayuran serta buah-buahan.
Diversifikasi tanaman pangan dapat dikatakan berhasil bila masyarakat
dapat mengkonsumsi makanan non beras seperti jagung, kedelai, ubi kayu, ubi
jalar dan komoditi lainnya dalam upaya pelestarian swasembada pangan.
Kebijaksanaan ini ditempuh untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan
juga bertujuan untuk meningkatan pendapatan petani serta memperkecil resiko
bagi petani jika terjadi kegagalan panen atau terjadi pemerosotan harga pada salah
satu komoditi.
f. Melindungi hak pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi (W2,W3,W4,
T1,T2,T3, T4, T5)
Strategi yang masih tergolong dalam kategori strategi weaknesses-threats
(W-T) adalah melindungi hak pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi.
Banyaknya kelemahan petani menjadikan ancaman-ancaman dari luar akan
mudah melumpuhkan pembangunan pertanian di Indonesia. Kelemahan-
kelemahan petani tersebut juga menyebabkan pengendalian resiko pertanian
menjadi tidak maksimal. Oleh sebab itu, dalam hal ini pemerintah dituntut
bertanggung jawab melalui peran konkrit untuk melindungi hak kepemilikan
pelaku agribisnis (kecil – menengah – besar) melalui legislasi dan regulasi
termasuk menjamin hak-hak dalam kontrak agribisnis antar pelaku (tanah,
pekerja, pemasaran, supervisi pembiayaan) (Jurnal Ekonomi Rakyat, 2007).
Melindungi hak-hak pelaku agribisnis terutama petani tidak hanya dalam
hal status kepemilikan lahan, namun juga kemudahan dalam akses permodalan,
perlindungan produksi tanaman lewat asuransi hingga kebijakan dalam harga
produk pertanian untuk menguatkan kesejahteraan rumah tangga petani.
F. Alternatif Strategi
1. Analisis QSPM
Tahap akhir dari analisis SWOT adalah penentuan urutan alternatif strategi
sebagai strategi prioritas yang dilakukan dengan menggunakan alat analisis
58
Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) berdasarkan pengembangan
David (2006). Faktor strategik internal dan eksternal diformulasikan dengan
menentukan tingkat pengaruh setiap strategi yang ada dari hasil SWOT kemudian
dikalikan dengan bobot masing-masing faktor.
Berdasarkan hasil perhitungan matriks QSP sebagaimana terlampir dalam
Lampiran 7, diperoleh urutan strategi penanganan resiko-resiko pertanian untuk
peningkatan pembangunan pertanian. Penilaian daya tarik strategis menunjukkan
bahwa strategi paling menarik untuk diterapkan adalah strategi meningkatkan
konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian.
Gambar 12. Urutan strategi prioritas berdasarkan QSPM
Berdasarkan hasil QSPM maka urutan strategi prioritas adalah sebagai
berikut :
a) Meningkatkan konsistensi pemerintah dalam kebijakan pertanian.
b) Penguatan pengembangan agribisnis.
c) Mendorong investasi di sektor agribisnis tanaman pangan.
d) Intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan.
e) Pembinaan terpadu dan meningkatkan kemitraan.
f) Melindungi hak pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi.
59
2. Implikasi hasil kajian
Implikasi hasil kajian perlu diterapkan dan dilaksanakan agar upaya
menangani resiko pertanian tanaman pangan di wilayah Bogor dapat tercapai.
Manajemen resiko pertanian melibatkan semua orang, baik petani, stakeholder,
akademisi, kalangan pemerintah, pengusaha dan masyarakat pada umumnya.
Implikasi yang harus dilakukan oleh pelaku-pelaku di sektor pertanian dalam
penanganan yang tepat terhadap resiko pertanian untuk mencapai tujuan dari
pembangungan pertanian. Implikasi dari hasil kajian yang telah dihasilkan, harus
diwujudkan dalam berbagai aspek, yaitu :
a. Aspek teknik ekonomi
Implikasi penerapan strategi pengendalian resiko pertanian dalam aspek
teknis ekonomi di tingkat petani adalah petani harus mampu bekerjasama dalam
bentuk wadah kelembagaan petani yang nantinya akan mengembangkan
kerjasama dengan pihak pemerintah lewat ekstensi dan pihak swasta lewat
kemitraan usaha atau contract farming. Lewat kelembagaan ini, petani harus bisa
memanfaatkan hasil riset dan pengembangan teknologi di sektor pertanian untuk
peningkatan produksi usahatani maupun untuk peningkatan pendapatan rumah
tangga petani.
Di tingkat pemerintah, harus dimulainya langkah untuk melakukan Good
Governance Practices. Hal ini tidak lain untuk menghindari tumpang tindih
kebijakan yang tidak saling mendukung dan menciptakan koordinasi yang terarah
antara departemen dalam pemerintahan.
Untuk melindungi kepentingan dan hak-hak pelaku agribisnis, pemerintah
dituntut untuk mengeluarkan kebijakan yang melindungi dan menjamin hak-hak
tersebut melalui legislasi dan regulasi.
b. Aspek sosial
Dengan adanya pembinaan terpadu dan pengembangan kemitraan untuk
penguatan kelembagaan petani, maka diharapkan akan tercipta kegiatan
agroindustri yang mendukung pengembangan agribisnis tanaman pangan. Hal ini
bukan hanya akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani namun juga
akan meningkatakan serapan tenaga kerja dari on farm maupun off farm yang
menggunakan bahan baku dari produk pertanian tersebut.
60
c. Aspek lingkungan
Analisis lingkungan merupakan salah satu strategi intensif yang harus
dilakukan agar pelaku-pelaku di sektor pertanian mampu menilai pada posisi
mana kondisi pertanian saat ini. Perubahan-perubahan lingkungan perlu
diantisipasi karena sering kali terjadi perubahan yang tidak terduga dan dapat
menyebabkan kondisi pertanian berada dalam posisi yang semakin lemah dan
kesulitan.
Eksistensi pertanian itu sendiri juga harus ditunjukkan dengan kinerja
pelaku-pelaku di sektor pertanian untuk saling meningkatkan kinerja,
meningkatkan koordinasi dan saling mendukung sehingga tercipta kerjasama yang
maksimal dalam menghadapi resiko-resiko pertanian yang ada.
61
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil kajian di lapangan terhadap beberapa responden petani tanaman
pangan di wilayah Bogor dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :
1. Resiko-resiko pertanian di wilayah Bogor antara lain: a) resiko produksi
(berupa serangan hama dan penyakit, iklim dan bencana alam); b) resiko
pasar/pemasaran (yaitu perubahan harga input maupun output, lemahnya
distribusi, serta perubahan ekonomi nasional); c) resiko keuangan (mencakup
sulitnya akses permodalan, menyempitnya luas dan tingginya harga lahan,
serta tingkat bunga pinjaman yang tinggi); d) resiko manusia (terdiri dari
tenaga kerja, kecelakaan dan kesehatan, situasi keluarga serta pencurian); dan
e) resiko institusi (mencakup perubahan kebijakan serta ketidakmampuan
petani melakukan kontrak).
2. Berdasarkan persepsi di tingkat petani saat ini terhadap beberapa resiko
pertanian dapat teridentifikasi bahwa resiko produksi merupakan resiko yang
paling dominan diantara resiko yang lain. Resiko produksi ini terutama
diakibatkan oleh serangan hama dan penyakit serta pengaruh perubahan cuaca.
Resiko penting lainnya adalah resiko pemasaran yang disebabkan oleh
pengaruh perubahan harga output dan input serta distribusi komoditas. Resiko
finansial juga merupakan salah satu resiko yang penting di wilayah Bogor, hal
ini menyangkut lahan (status kepemilikan, penyempitan lahan dan harga).
Resiko manusia umumnya disebabkan oleh pengaruh kesehatan dan
kecelakaan dalam bekerja. Resiko institusional tentunya didominasi oleh
kebijakan pemerintah di sektor pertanian.
3. Adapun manajemen strategi di tingkat petani dalam menghadapi resiko
produksi adalah dengan monitoring terhadap serangan hama dan penyakit
serta melakukan penyemprotan, melakukan diversifikasi serta mengubah pola
tanam yang lebih ekonomis dan adaptif dengan lingkungan, pengairan serta
menanam dalam kapasitas penuh untuk meningkatkan produksi. Resiko
62
pemasaran dihadapi dengan mencari informasi harga komoditas yang berbeda
di pasar, mengikuti kelompok tani dan melakukan kontrak usaha dengan
pengusaha, serta melakukan diversifikasi usahatani. Resiko keuangan
terutama dihadapi dengan menjaga hutang agar tetap kecil, melakukan
pengaturan pengeluaran, jika modal tidak ada untuk usahatani maupun
keperluan sehari-hari maka petani lebih cenderung meminjam kepada
tetangga, teman ataupun tengkulak. Untuk meningkatkan pendapatan rumah
tangga petani, umumnya petani maupun anggota keluarga petani di wilayah
Bogor melakukan pekerjaan sampingan di luar usahatani seperti buruh pasar,
buruh tani, tukang bangunan, dan lain sebagainya.
4. Adapun alternatif strategi manajemen resiko untuk penanganan resiko
pertanian antara lain ; (a) peningkatan konsistensi pemerintah dalam
kebijakan, (b) penguatan pengembangan agribisnis, (c) mendorong investasi di
subsektor agribisnis tanaman pangan, (d) intensifikasi dan diversifikasi
tanaman pangan (e) pembinaan terpadu dan pengembangan kemitraan, dan (f)
perlindungan hak pelaku agribisnis melalui legislasi dan regulasi.
B. Saran
1. Pemerintah dituntut bertanggung jawab melalui peran konkrit untuk
melindungi hak kepemilikan pelaku agribisnis (kecil – menengah – besar)
melalui legislasi dan regulasi, termasuk menjamin hak-hak dalam kontrak
agribisnis antar pelaku; mendorong dan meningkatkan daya saing (dengan
memfasilitasi faktor-faktor pendukung kompetisi) terhadap produk bangsa
lain; menjaga stabilisasi harga, absorbsi resiko petani dan penyediaan kredit
pertanian berbunga rendah, selain juga memberikan subsidi dalam bentuk
asuransi kepada petani.
2. Melalui pola pembinaan terpadu, maka petani lewat kelembagaan petani,
penyuluh pertanian, pengusaha, lembaga keuangan, institusi teknis maupun
akademis sampai penentu kebijakan harus meningkatkan kinerja untuk
menghadapi resiko-resiko pertanian. Peningkatan kinerja dari masing-masing
pelaku di sektor pertanian harus saling mendukung, terkoordinasi, terarah dan
63
terkomunikasi dengan baik sehingga tujuan dan sasaran pembangunan
pertanian yang diharapkan dapat tercapai.
3. Penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam mengenai resiko pertanian dan
manajemen resiko pertanian di wilayah Bogor maupun Indonesia secara
umum perlu dilakukan sehingga dapat ditemukan instrumen-instrumen
pengendalian resiko yang tepat, aplikatif, ekonomis, bernilai sosial dengan
pendekatan wilayah atau lingkungan.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, A., A. Mulyani dan N.L. Nurida. 2009. Kondisi dan Antisipasi
Lahan di Pulau Jawa. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4), 2009: 283-
285.
Agung, I Dewa Gede, Ni Wayan Putu Artini Dan Nyoman Ratna Dewi. 1999.
“Analisis Usahatani Cabe Merah (Capsicum Annum L) Di Desa Perean
Tengah, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan”. Laporan Penelitian.
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Udayana.
Arifin B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Baga, Lukman M. 2005. Penguatan Kelembagaan Koperasi Petani untuk
Revitalisasi Pertanian. Makalah disampaikan pada acara Seminar
Revitalisasi Pertanian untuk Kesejahteraan Bangsa yang diselenggarakan
oleh Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) di Jakarta, 19
Juni 2005.
Bodie, Zvi, and Robert C. Merton. 1998. Finance. Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall.
BPS Kota Bogor. 2009. Kota Bogor Dalam Angka. BPS Kota Bogor. Bogor.
BPS Kabupaten Bogor. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka. BPS Kabupaten
Bogor. Bogor.
Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman Kota Bogor. 2009. Laporan
Pelaksanaan Kegiatan Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman
Kota Bogor Tahun 2009. Pemerintah Kota Bogor. Bogor.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 2009. Laporan Pelaksanaan
Kegiatan Dinas Pertanian Tahun 2009. Bogor.
Dinas Agribisnis Kota Bogor. 2009. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dinas
Agribisnis tahun 2009. Bogor.
Darwis, Valeriana. 2009. Keragaan Penguasaaan Lahan sebagai Faktor Utama
Penentu Pendapatan Petani. Seminar Nasional Dinamika Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan : Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan
Kesejahteraan Petani, Bogor, 19 Nopember 2008. Departemen Pertanian.
Jakarta.
David, F.R. 2006. Strategic Management. Prentice Hall International Inc. New
Jersey.
Dillon, John L. and J.B. Hardaker. 1989. Farm Management Research for Small
Farmer Development. Agricultural Services Bulletin. FAO.
66
Echols, John M., Hassan Shadily, 1982. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Febriyansyah. 2009. Strategi Pengembangan Agribisnis berbasis Tanaman
Pangan di Bogor. Thesis. Magister Bisnis-Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Firdausy, Carunia Mulya. 2005. Pengembangan sector pertanian di era
globalisasi : Kondisi dan Posisi Sektor Pertanian dalam Era Globalisasi.
P2E-LIPI hal. 1 – 23.
Hamdi. 2011. Kajian Kegiatan Simpan Pinjam Khusus Perempuan (Kasus Unit
Pengelola Kegiatan Kecamatan Semparuk Kabupaten Sambas). Thesis.
Magister Profesional Industri Kecil Menengah – Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Hanan, Jacoby G., and E. Skoufias, 1998, “Testing Theories of Consumption
Behavior Using Information on Aggregate Shocks: Income Seasonality
and Rainfall in Rural India.” American Journal of Agricultural
Economics, 80(1) pp. 1–14.
Hardaker, J. B., R. B. M. Huirne, and J. R. Anderson. 1997. Coping with Risk in
Agriculture. New York: CAB International.
Harwood, Joy, Richard Heifner, Keith Coble, Janet Perry, and Agapi Somwaru.
1999. Managing Risk in Farming: Concepts, Research, and Analysis.
Market and Trade Economics Division and Resource Economics Division,
Economic Research Service, U.S. Department of Agriculture. Agricultural
Economic Report No. 774.
Hubeis, M dan M. Najib. 2008. Manajemen Strategik dalam Pengembangan Daya
Saing Organisasi. Elex Media Computindo. Jakarta.
Irawan, Bambang. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola
Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Publikasi Forum Agro
Ekonomi Vol.23 No.01.
Iturrioz, Ramiro. 2009. Agriculture Insurance, Primer Series on Insurance. World
Bank.
Jatmiko, P. 2004. Analisis Trend dan Respon Penawaran Padi. Skripsi. UMM,
Malang.
Jauch, L.R dan W.F. Glueck. 1999. Manajemen Strategis dan Kebijakan
Perusahaan. Erlangga. Jakarta.
Lee W.F., M.D. Boehlje, A.G. Nelson and W.G. Murray. 1980. Agricultural
Finance. Seventh Edition of the Iowa State University Press Ames.
Lingkaran Survei Indonesia. 2006. Panduan Penyelenggaraan Focus Group
Discussion (FGD). PT. LSI. Jakarta.
Montgomery, Roger, Rohandi & Rilus Kinseng. 2010. Farm Risk Reduction
Assesment for Nusa Tenggara Islands, Indonesia. Working Paper. Asia
Research Centre.
67
Mosher, A.T. 1984. Menggerakkan dan Membangun Pertanian (Syarat-syarat
Pokok Pembangunan dan Modernisasi). CV. Yasaguna. Jakarta.
Mubyarto. 1985. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. Yogyakarta: BPFE
dan P3PK UGM.
Naylor, R. N., Battisti, D. S., Vimont, D. J., Falcon, W. P., and M. B. Burke,
2007. Assessing risks of climate variability and climate change for
Indonesian rice agriculture. PNAS 104 (19), 7752-7757.
Nurmanaf, A.R., Sumaryanto, Sri Wahyuni, E. Ariningsih, Y. Supriatna. 2007.
Analisis Kelayakan dan Perspektif Pengembangan Asuransi Pertanian
pada Usahatani Padi dan Sapi Potong. Laporan Penelitian. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Onal, Hayri, Delima H. Darmawan and Sam H. Johnson III. 1995. A Multilevel
Analysis of Agricultural Credit Distribution in East Java, Indonesia.
Pergamon, Computer Ops Res. Vol. 22, No. 2, pp. 227-236.
Pasaribu, Sahat M., Iwan Setiajie A., Nur Khoiriyah Agustin, Erna Maria Lokollo,
Herlina Tarigan, Juni Hestina dan Yana Supriyatna. 2010. Pengembangan
Asuransi Usahatani Padi untuk Menanggulangi Resiko Kerugian 75%
Akibat Banjir, Kekeringan dan Hama Penyakit. Pusat Analilsis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian. Diunduh dari
www.pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/MAKPROP_SHP.pdf pada
tanggal 22 Januari 2011.
Priadana, M.S. dan S. Muis. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis.
Graha Ilmu. Yogyakarta.
Purnomo dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Rakhmat, J. 1994. Psikologi Komunikasi . Remadja.Karya. Bandung.
Rangkuti, F. 2010. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Rosengrant, Mark W. and Peter B.R. Hazell. 2001. Transformation the Rural
Asian Economy: the Unfinished Revolution. International Food Policy
Research Institute. Washington DC.
Sarwono, Sarlito Wirawan, 1991. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali
Pers.
Sayogyo. 1990. Sosiologi Pedesaan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Sesbany. 2011. Penguatan Kelembagaan Petani untuk Meningkatkan Posisi
Tawar Petani. STTP Medan. Diunduh dari www.info.stppmedan.ac.id/
pdf/jurnalsesbany1.pdf, Tanggal perolehan: 11 November 2011.
Siegel, P., and J. Alwang, 1999. “An Asset-Based Approach to Social Risk
Management: A Conceptual Framework”, World Bank Social Protection
Discussion Paper 9926, Washington, DC.
68
Sjah, Taslim., Iean Russell and Donald Cameron. 2003. Acceptance and
Repayment of Agricultural Credit in Lombok Indonesia – Farmers’
Perspectives. Paper provide by International Farm Management
Association in its series 14th
Congress, Perth, Western Australia, August
10-15, 2003 with number 24323.
Sugiyono. 2004. Statistik Nonparametrik untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.
Suharyadi dan Purwanto. 2008. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan Modern.
Salemba Empat. Jakarta.
Sumaryanto dan A.R. Nurmanaf. 2007. Simpul-Simpul Strategis Pengembangan
Asuransi Pertanian untuk Usahatani Padi di Indonesia. Forum Penelitian
Agro Ekonomi Volume 25 No. 2, 2007 : 89 103.
Suthedja, Made Wahyu, W. Romi Sudhita, G. Anggan Suhandana, N. Wirya,
Moedjiono, G. Sedana Yasa, 1982. “Persepsi Masyarakat terhadap
Pendidikan Formal dan Nonformal di Bali.” Laporan Penelitian.
Singaraja: FKIP UNUD.
Suyatno, Yulistyo. 2008. Penguatan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan
Berbasis Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis Unggulan di Kabupaten
Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Todaro, M.P. 2000. Pembangunan ekonomi di dunia ketiga. Jakarta: Erlangga.
Umar, H. 2005. Metode Riset Bisnis Dilengkapi Contoh Proposal dan Hasil Riset
Bidang Manajemen dan Akuntansi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wahyu, Deky. 1985. Perbedaan pendapatan petani kentang tiap hektar pada
berbagai stratafikasi lahan yang garapan berbeda. Skripsi Fakultas
Pertanian UNPAD.
Walgito, B. 1997. Pengantar Psikologis Umum. Andi Offset. Yogyakarta.
Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Weiss, Paul. 1962. A report to the Committee on Natural Resources of the
National Academy of Sciences-National Research Council, Volume 1.
National Academies. US.
Widiyanti, W. 2009. Analysis of Climate Scenarios and Their Impacts upon Rice
Production in Main Rice Production Areas of Java, Indonesia. Journal de
Scienca y Tecnologia Agraria. CienciAgro. Vol.1 Nr.4 (2009) 166-177.
Wigenasantana, M.S. dan T. Waluyo. 1989. Prospek pertanian organik untuk
produksi padi di Indonesia. Kyusei Nature Farming: First International
Conference. Proceeding of the Conference of Khon Kaen University,
Thailand, October 17-21 1989. Hal 24-29
www.balitklimat.litbang.deptan.go.id. Tanggal perolehan: 11 November 2011.
www.bptpbogor.litbang.dephut.go.id. Tanggal perolehan: 20 Januari 2012.
www.pustaka.litbang.deptan.go.id. Tanggal perolehan: 20 Januari 2012.
www.ekonomirakyat.org. Tanggal perolehan: 20 Januari 2012.
69
LAMPIRAN
69
Lampiran 1. Kuesioner penelitian bagi petani/kelompok tani
Dengan hormat,
Perkenalkan saya Andiyono, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister
Profesional Industri Kecil Menengah, Institut Pertanian Bogor yang sedang melaksanakan
kajian tentang Resiko Pertanian Indonesia: Persepsi Petani terhadap Resiko Pertanian
(Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah Bogor.
Kiranya Bapak/Ibu berkenan untuk membantu mengisi kuesioner ini. Atas kerjasamanya
diucapkan terima kasih.
a. Data Umum Responden:
Nomor : …………………………………………………
Tanggal : …………………………………………………
Nama : …………………………………………………
Usia : …………………………………………………
Alamat : …………………………………………………
Petunjuk Pengisian
Berilah tanda silang (X) pada salah satu alternatif jawaban yang telah tersedia sesuai
menurut kenyataannya
Data Tentang Karakteristik Petani:
1. Jenis Kelamin : a. Laki laki
b. Perempuan
2. Pendidikan formal yang pernah diikuti:
a. Tidak Sekolah
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. Perguruan Tinggi/Akademi
3. Kursus-kursus, pelatihan atau magang
yang pernah diikuti :
a. 0 - 2 kali
b. 3 - 5 kali
c. 6 - 8 kali
d. > 8 kali
4. Pengalaman berusaha tani
a. 1 - 3 tahun
b. 3 - 6 tahun
c. 6 - 10 tahun
d. > 10 tahun
5. Luas lahan usaha tani
a. Kurang dari 0,5 hektar
b. 0,5 sampai 1 hektar
c. 1 sampai 2 hektar
d. Lebih besar dari 2 hektar
6. Jumlah anggota keluarga
a. 1 – 2 orang
b. 3 – 4 orang
c. 5 – 6 orang
d. > 6 orang
7. Modal yang biasa dikeluarkan sekali tanam :
a. Rp100 ribu – Rp700 ribu
b. Rp701 ribu - Rp1,5 juta
c. Rp1, 6 juta - Rp3 juta
d. diatas Rp3 juta
8. Pendapatan usaha tani sekali panen
a. Di bawah Rp 1 juta
b. Rp 1 juta – Rp 2 juta
c. Rp 2 juta – Rp 3 juta
d. Di atas Rp 3 juta
70
Lampiran 1. Lanjutan
b. Data budidaya tanaman pangan
1. Tanaman apa saja yang anda tanam? (dimulai dari yang berpendapatan paling besar)
………………………………………………………………… ………….………………..
2. Apakah anda yang memasarkan hasilnya?
Sebagian saja, berapa persen? ………………%. semuanya
3. Apakah anda merupakan anggota kelompok tani?
tidak
ya, sebutkan nama kelompok dan jabatan anda…………………………………………….
4. Layanan apa saja yang disediakan oleh kelompok tani? Berikan rangking keefektifan (1=
sangat tidak efektif, 5 = sangat efektif)
- Menyediakan input produksi (pupuk, obat-obatan, dll)
- Melayani simpan pinjam
- Memberikan informasi dan pelatihan
- Layanan penyuluhan
- Lainnya (sebutkan) ……………………………………..
5. Resiko-resiko apa saja yang anda hadapi dalam berusaha tani? (beri rangking kepentingan: 1 =
sangat tidak penting, 5 = sangat penting)
- Perubahan harga jual tanaman
- Perubahan biaya untuk bertani
- Transportasi & Distribusi produk pertanian
- Perubahan ekonomi nasional/sistem pasar dalam negeri
- Tingkat curah hujan
- Tingkat kekeringan ataupun kemarau
- Kondisi alam/bencana, seperti banjir, kebakaran dsb (sebutkan)………………………
…………………………………………………..
71
Lampiran 1. Lanjutan
- Hama dan penyakit tanaman (sebutkan) ) ………………………….………………………
…………………………………………………..
- Modal serta Akses terhadap permodalan untuk usahatani
- Harga dan luas lahan usahatani
- Tingkat bunga pinjaman
- Perubahan situasi keuangan &kondisi keluarga
- Problem kesehatan dan kecelakaan saat kerja
- Problem tenaga kerja
- Perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah
- Ketidakmampuan mencapai kesepatan usaha dg pihak lain
- Lainnya, sebutkan …………………………………………………………………………
……………………………………………………………………
6. Apakah usaha yang anda lakukan saat ini dapat dibilang stabil dan memberikan keuntungan di
masa mendatang?
sangat tidak stabil sangat stabil
7. Apakah resiko-resiko yang anda hadapi memberikan efek yang permanen atau sementara
terhadap usaha anda? Dalam hal ini, bersediakah anda merubah:
- Pola pemasaran hasil pertanian anda
- Agen penyedia jasa pupuk, benih, dsb.
- Barang-barang yang anda hasilkan
- Cara anda dalam memutuskan jumlah atau tipe barang yang anda hasilkan ataupun cara
berproduksi yang anda tiru?
- Lainnya, sebutkan ……………………………………………………………………………
……………………………………………….
72
Lampiran 1. Lanjutan
8. Menurut anda, usaha apa saja yang telah anda lakukan dalam mengurangi resiko dalam usaha
anda? (beri rangking keefektifan: 1 = sangat tidak efektif, 5 = sangat efektif)
- Mencari informasi harga jual dan biaya input produk
- Memperbanyak produksi campuran/ diversifikasi usahatani
- Ikut terlibat kelompok tani/kontrak usaha, baik membeli atau menjual input produksi ataupun
hasil pertanian.
- Monitoring dan penyemprotan hama dan penyakit tanaman
- Produksi campuran dan manajemen pola tanam
- Melakukan pengairan
- Memproduksi tanaman dalam kapasitas penuh
- Menjaga simpanan pribadi dan hutang agar tetap kecil.
- Memanajemen pengeluaran keluarga.
- Melakukan peminjaman atau kredit
- Menjual asset
- Melakukan pekerjaan sampingan
- Melakukan pekerjaan sampingan oleh anggota keluarga
- Lainnya, sebutkan ……………………………………………………………………………
…………………………………………….
9. Bagaimana kira-kira anda meningkatkan mekanisme yang masih tidak efektif seperti yang
disebutkan di atas? ……………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………………………..
10. apakah anda memiliki kesepakatan usaha, dalam hal penjualan atau pembelian produk?
tidak
ya, bagaimana anda melakukannya? ……………………………………………………
………………………………………………………………………………………………..
11. apakah anda pernah mempunyai masalah dengan kesepakatan usaha?
tidak
ya, sebutkan kesulitan anda? ……………………………………………………
73
Lampiran 1. Lanjutan
12. jika anda tidak ada kesepakatan jual/beli produk, apakah menurut anda hal tersebut dapat
berguna dalam mengurangi resiko usaha anda?
tidak ya
13. apakah menurut anda asuransi dapat mengatasi resiko-resiko usaha anda?
tidak ya
14. Tolong sebutkan asuransi apa saja yang sudah anda miliki?
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
15. Apakah menurut anda kredit/modal usaha dapat membantu mengatasi resiko usaha anda?
tidak ya
16. Apakah anda mengambil kredit?
tidak ya
17. Kredit apa saja yang anda ambil? Urutkan dari yang paling sering anda gunakan.
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
18. Kesulitan apa saja yang anda temui dalam mengakses kredit? (Beri rangking kepentingan: 1 =
tidak penting, 5 = sangat penting)
- Tingginya bunga pinjaman
- Kurangnya jaminan/agunan
- Tingginya biaya transaksi
- Kurangnya informasi kredit
- Tingginya resiko kegagalan usaha
- Skala usaha yang relatif kecil
19. Jaminan/agunan apa yang anda berikan? Sebutkan …………………………………………...
20. Saran anda dalam mengatasi resiko usaha tani?
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
= Terima kasih atas kerjasamanya =
74
Lampiran 2. Kuesioner penelitian bagi akademisi dan stakeholder terkait
Dengan hormat,
Perkenalkan saya Andiyono, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi
Magister Profesional Industri Kecil Menengah, Institut Pertanian Bogor yang
sedang melaksanakan kajian tentang Resiko Pertanian Indonesia: Persepsi Petani
terhadap Resiko Pertanian (Studi Kasus: Petani Tanaman Pangan di Wilayah
Bogor).
Kiranya Bapak/Ibu berkenan untuk membantu mengisi kuesioner ini.
Tujuan:
Bapak/Ibu diharapkan dapat menilai mengenai faktor strategis internal dan
eksternal usaha pertanian Indonesia dengan memberikan bobot terhadap seberapa
besar faktor strategis tersebut mempengaruhi atau menentukan keberhasilan
analisis perumusan strategi antisipasi usaha pertanian terhadap resiko pertanian.
Pendahuluan
Sektor pertanian Indonesia memang menghadapi sejumlah masalah/resiko
yang umum terjadi. Pertama adalah resiko produksi yang terjadi akibat pengaruh
perubahan alam seperti seringnya turun hujan deras sehingga menyebabkan banjir,
kemarau yang berkepanjangan sehingga menyebabkan kekeringan bahkan
kebakaran di beberapa daerah. Selain itu serangan hama dan penyakit beberapa
tahun terakhir menyebabkan produksi pertanian Indonesia menurun terutama pada
pertanian tanaman pangan.
Kedua adalah sempitnya lahan pertanian. Rata-rata penguasaan lahan
pertanian per orang hanya sekitar 0,5 hektar. Ketiga adalah masalah permodalan
yang diiringi dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
Keempat adalah rendahnya penguasaan informasi dan teknologi. Kelima,
biaya produksi pertanian masih cukup tinggi, hal ini terlihat dari kecenderungan
rasio penerimaan petani dibanding biaya input produksi yang semakin kecil.
Keenam adalah masalah pemasaran dan harga hasil-hasil pertanian yang
cenderung turun dan mengalami fluktuasi di pasaran domestik maupun dunia. Dua
faktor yang menyebabkan kecenderungan ini. Dan masih banyak resiko-resiko
lain yang dihadapi oleh pertanian Indonesia seperti lemahnya akses terhadap
pasar, serta lemahnya kelembagaan petani.
Hardaker et al (1997) membagi resiko di usaha pertanian sebagai resiko
bisnis dan resiko keuangan. Manajemen resiko berarti mengidentifikasi resiko dan
berbagai pilihan, kemudian mengevaluasi, memilih dan menerapkan tindakan.
Manajemen resiko bisnis berarti "mengetahui bisnis," dan melakukannya dengan
cara yang terampil. Yang termasuk resiko bisnis adalah resiko produksi; resiko
harga atau pasar, resiko kelembagaan; dan resiko manusia atau pribadi.
75
Lampiran 2. Lanjutan
1. Resiko produksi terlihat dari ketidakpastian proses perkembangan alami
tanaman pangan dan peternakan. Resiko produksi timbul dari ketidakpastian
tentang cuaca termasuk kekeringan, beku, curah hujan yang berlebihan pada
saat panen, hama, penyakit, dan banyak faktor-faktor tak terduga lainnyayang
mempengaruhi jumlah dan kualitas produksi.
2. Resiko harga atau pemasaran terjadi karena ketidakpastian harga yang
diterima setiap menghasilkan produk pertanian atau harga yang mesti mereka
bayar untuk mendapatkan input. Sumber resiko pemasaran meliputi: resiko
harga akibat kenaikan pasokan, atau permintaan berubah; hilangnya akses
pasar karena relokasi atau penutupan pabrik pengolahan; dan kehilangan
tenaga pemasaran karena ukurannya yang kecil.
3. Resiko institusional atau kelembagaan timbul karena ketidakpastian sekitar
kebijakan pemerintah, perubahan dalam aturan, hukum pajak, peraturan yang
berhubungan dengan penggunaan bahan kimia, peraturan-peraturan tentang
limbah peternakan, dan tingkat harga atau dukungan pendapatan merupakan
contoh-contoh dari keputusan pemerintah yang dapat memberikan dampak
yang besar terhadap usaha pertanian.
4. Resiko sumberdaya manusia mencakup kepada beberapa kemungkinan
berdasarkan factor-faktor seperti masalah pada kesehatan manusia atau
hubungan pribadi yang dapat member pengaruh kepada usaha pertanian.
Kecelakaan, sakit, kematian dan cerai juga merupakan contoh-contoh dari
krisis personal yang dapat mengancam usaha pertanian.
5. Resiko financial atau keuangan, berbeda dengan resiko bisnis resiko keuangan
lebih menekankan pada masalah modal, penggunaan dana pinjaman, asuransi,
dan kewajiban.
Oleh karena begitu besar dan banyaknya resiko usaha pertanian, sudah
selayaknya usaha pertanian mendapat perhatian khusus untuk memperkecil resiko.
Selain itu agar dapat diketahui cara-cara penanganan yang tepat terhadap resiko-
resiko pada usaha pertanian di Indonesia, maka diperlukan kajian dari saat ini
untuk mengidentifikasi resiko-resiko usaha pertanian tersebut, mencari
pendekatan-pendekatan dalam mengantisipasi resiko sehingga dapat dirancang
strategi yang tepat berdasarkan kenyataan yang ada. Berdasarkan pemikiran di
atas, maka perlu dilakukan penelitian awal mengenai persepsi petani terhadap
resiko pertanian di Indonesia.
76
Lampiran 2. Lanjutan
Data Umum Responden
Nomor : …………………………………………………
Tanggal : …………………………………………………
Nama : …………………………………………………
Usia : …………………………………………………
Pendidikan : …………………………………………………
Pekerjaan : …………………………………………………
Alamat Kantor : …………………………………………………
No. Telp/HP : …………………………………………………
Email : …………………………………………………
Petunjuk umum:
1. Pengisian kuesioner dilakukan secara langsung dan tertulis oleh responden.
2. Jawaban merupakan pendapat pribadi dari masing-masing responden.
3. Dalam mengisi kuesioner, responden diharapkan melakukannya secara
sekaligus (tidak menunda/sebagian) untuk menghindari inkonsistensi jawaban.
Petunjuk khusus:
1. Pembobotan dengan metode Paired Comparaison yaitu penilaian bobot
(weight) dengan membandingkan setiap faktor strategi internal dan eksternal
usaha, dimana setiap bobot peubah digunakan skala 1, 2, dan 3 dengan
keterangan sebagai berikut:
1 = jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal,
2 = jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal,
3 = jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal,
2. Penentuan bobot merupakan pandangan masing-masing responden terhadap
setiap faktor strategi internal dan eksternal usaha.
77
Lampiran 2. Lanjutan
Pertanyaan untuk mendapatkan bobot faktor strategis internal
Kekuatan A B C D E F G H I J K Total Bobot
A SDM sektor pertanian
B Dukungan sumberdaya alam
C Dukungan pemerintah
D Kerja keras dan pengalaman petani
E Produk pertanian yang renewable
Kelemahan
F Keterampilan & pengetahuan
G Lahan dan infratruktur
H Kelembagaan petani
I Permodalan
J Informasi dan teknologi
K Manajemen kerja
TOTAL
Contoh pengisian, misalnya:
(A) pada baris/horizontal "Kurang Penting Dari" (B) pada kolom/vertikal, maka nilainya = 1
(A) pada baris/horizontal "Sama Penting Dengan" (B) pada kolom/vertikal, maka nilainya = 2
(A) pada baris/horizontal "Lebih Penting Dari" (B) pada kolom/vertikal, maka nilainya = 3
Pertanyaan untuk mendapatkan bobot faktor strategis internal
Peluang A B C D E F G H I J Total Bobot
A Pangsa pasar
B Pengembangan agroindustri
C Kerjasama dengan berbagai pihak
D Riset dan teknologi
E Kredit/asuransi pertanian
Ancaman
F Resiko produksi
G Perdagangan bebas
H Fluktuasi harga produk pertanian
I Produk impor
J Monopoli distribusi oleh pengusaha besar
TOTAL
Contoh pengisian, misalnya:
(A) pada baris/horizontal "Kurang Penting Dari" (B) pada kolom/vertikal, maka nilainya = 1
(A) pada baris/horizontal "Sama Penting Dengan" (B) pada kolom/vertikal, maka nilainya = 2
(A) pada baris/horizontal "Lebih Penting Dari" (B) pada kolom/vertikal, maka nilainya = 3
78
Lampiran 2. Lanjutan
Penilaian Peringkat/Rating Terhadap Faktor-Faktor Strategi Internal dan Eksternal
Dengan hormat,
Perkenalkan saya Andiyono, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi
Magister Profesional Industri Kecil Menengah, Institut Pertanian Bogor yang
sedang melaksanakan kajian tentang Resiko Pertanian Indonesia: Persepsi Petani
tentang Resiko Pertanian.
Kiranya Bapak/Ibu berkenan untuk membantu mengisi kuesioner ini.
Menurut Bapak/Ibu, seberapa besar tingkat kepentingan yang diberikan masing-
masing faktor strategi lingkungan internal dan eksternal berdasarkan kategori
tersebut terhadap usaha pertanian.
Petunjuk pengisian kuesioner:
a. Alternatif pemberian angka terhadap faktor-faktor strategi internal yang
tersedia untuk kuesioner ini adalah:
1 = kurang penting
2 = cukup penting
3 = penting
4 = sangat penting
Pemberian angka masing-masing faktor strategi internal dilakukan dengan
pemberian tanda (√) pada tingkat penting (1–4) yang paling sesuai menurut
responden.
Faktor Strategi Internal Peringkat
1 2 3 4
Kekuatan (Strengths)
SDM sektor pertanian
Dukungan sumberdaya alam
Dukungan pemerintah
Kerja keras dan pengalaman petani
Produk pertanian yang renewable
Kelemahan (Weaknesses)
Keterampilan & pengetahuan
Lahan dan infratruktur
Kelembagaan petani
Permodalan
Informasi dan teknologi
Manajemen Kerja
79
Lampiran 2. Lanjutan
b. Alternatif pemberian angka terhadap faktor-faktor strategi eksternal yang
tersedia untuk kuesioner ini adalah:
1 = sangat lemah
2 = lemah
3 = kuat
4 = sangat kuat
Pemberian angka masing-masing faktor strategi eksternal dilakukan dengan
pemberian tanda (√) pada tingkat lemah - kuat (1–4) yang paling sesuai
menurut responden.
Faktor Strategi Eksternal Peringkat
1 2 3 4
Peluang (Opportunities)
Pangsa pasar
Pengembangan agroindustri
Kerjasama dengan berbagai pihak
Riset dan teknologi
Kredit/asuransi pertanian
Ancaman (Threats)
Resiko produksi
Perdagangan bebas
Fluktuasi harga produk pertanian
Produk impor
Monopoli distribusi oleh pengusaha besar
80
Lampiran 2. Lanjutan
Isilah dengan ( √ ) table di bawah mengenai pengaruh resiko pertanian terhadap
tanaman yang mempengaruhi pendapatan pertanian. Tambahkan jika ada resiko
lain.
Skala 1 – 5: 1 = tidak penting, 5 = sangat penting
No Resiko 1 2 3 4 5
1 Hujan
2 Kekeringan, kemarau
3 Hujan deras
4 Banjir
5 Kebakaran
6 Bencana alam lain
7 Penyakit dan hama tanaman
8 Biaya input
9 Perubahan harga produk
10 Distribusi
11 Perubahan ekonomi nasional
12 Perubahan ekonomi global
13 Inflasi
14 Modal
15 Akses terhadap modal
16 Sewa lahan
17 Harga lahan
18 Luas lahan
19 Tingkat bunga kredit
20 Perubahan situasi keluarga
21 Problem kesehatan dan kecelakaan kerja
22 Tenaga kerja
23 Perubahan kebijakan dan peraturan
24 Perubahan dalam program pertanian
25 Ketidakmampuan melakukan kontrak
26 …
27 …
28 …
29 …
30 …
81
Lampiran 2. Lanjutan
Saran-saran anda dalam menghadapi resiko pertanian yang terjadi di Indonesia. ................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
= Terima kasih atas kerjasamanya =
82
Lampiran 3. Skor persepsi terhadap resiko pertanian di tingkat petani
Hama &
penyakitIklim Bencana
Harga
produkDistribusi
Biaya
input
Ekonomi
nasional
Akses
permodalanLahan
Tingkat
bunga
Tenaga
kerja
Kecelakaan/
kesehatan
Situasi
keluargaPencurian
Perubahan
kebijakan
Ketidakmampuan
kontrak
X1 5 2 1 5 5 5 5 5 5 1 5 5 5 1 5 5
X2 5 4 1 5 5 5 5 5 5 1 5 5 5 1 5 1
X3 5 4 1 5 5 5 5 5 5 1 5 5 5 1 5 1
X4 4 3 1 4 5 1 1 4 5 1 3 4 1 1 1 1
X5 5 4 1 5 4 1 1 5 3 1 4 1 1 1 1 1
X6 5 2 1 1 3 1 1 4 2 1 5 1 1 1 1 1
X7 4 4 3 5 2 4 4 4 3 3 4 3 3 2 4 4
X8 5 4 5 5 1 5 5 4 3 1 4 4 5 3 5 4
X9 4 5 5 4 5 4 4 3 4 3 3 3 4 3 3 3
X10 5 3 1 4 4 1 1 5 3 1 4 1 1 1 1 1
X11 4 3 1 4 3 1 1 1 3 1 1 3 1 1 1 1
X12 5 4 2 4 2 2 1 2 2 1 3 3 3 3 2 2
X13 5 4 3 4 3 3 2 3 4 1 4 3 3 4 2 2
X14 4 1 1 4 4 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 1
X15 5 3 1 4 4 1 1 5 4 1 1 4 1 1 1 1
X16 4 3 1 4 5 1 1 5 5 1 4 4 1 1 1 1
X17 4 4 1 4 4 1 1 5 5 1 4 4 1 1 1 1
X18 5 5 5 5 4 5 1 5 5 5 5 5 5 1 1 5
X19 5 4 1 5 3 1 1 5 2 1 4 1 4 1 1 1
X20 4 3 1 4 3 1 1 4 4 1 4 1 3 1 1 3
X21 5 5 1 5 2 1 1 5 3 1 1 4 4 1 1 4
X22 5 3 1 4 2 1 1 5 2 1 4 4 1 1 4 1
X23 5 4 1 5 2 1 1 5 2 1 1 4 1 1 4 1
X24 5 4 1 5 2 1 1 5 2 1 4 4 4 1 1 1
X25 5 3 1 5 1 3 1 5 1 1 1 4 1 1 1 1
X26 5 4 2 5 4 2 1 5 3 2 1 4 2 2 2 1
X27 5 5 1 5 4 1 1 5 3 1 4 4 1 1 1 1
X28 4 4 1 4 4 1 1 5 3 1 4 1 1 1 1 1
X29 5 5 1 5 4 1 1 5 3 1 5 5 5 1 5 5
X30 5 4 5 4 5 5 4 4 5 5 3 5 3 4 5 3
X31 5 3 1 4 4 1 1 5 3 1 4 4 1 1 1 1
X32 4 4 1 4 2 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1
X33 5 5 1 5 4 5 1 5 5 5 5 1 5 1 5 5
X34 4 4 1 5 1 4 1 4 2 1 2 1 1 1 2 5
X35 4 4 1 4 4 1 1 5 4 1 4 1 3 1 1 4
X36 4 4 3 4 3 1 1 3 4 1 1 1 1 2 1 4
X37 4 4 3 5 4 4 3 5 4 4 3 2 3 2 3 1
X38 4 4 4 5 2 3 3 2 3 4 4 3 3 3 2 4
X39 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4 3 4 3 3 4 1
X40 5 4 5 5 4 3 3 3 4 3 5 3 3 5 3 2
X41 4 3 1 4 4 1 1 5 3 1 1 1 4 1 3 4
X42 3 1 1 4 4 1 1 1 5 1 1 1 1 1 1 1
X43 2 3 2 5 3 3 4 4 3 3 3 3 3 2 4 1
X44 5 5 5 4 5 3 3 4 4 3 3 3 3 4 3 4
X45 5 5 1 5 4 5 1 5 5 1 5 5 5 1 5 1
X46 5 5 3 4 2 4 4 4 3 3 4 4 5 3 3 5
X47 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 3 2 2 4 3
X48 5 5 1 5 1 5 3 5 2 3 3 3 2 3 2 1
X49 5 5 1 5 4 5 1 5 5 1 5 5 5 1 5 4
Σ 222 184 93 217 167 124 96 204 156 88 162 149 131 82 121 111
Rata-rata 4.53 3.76 2.44 4.43 3.41 2.53 1.96 4.16 3.17 1.80 3.31 3.04 2.67 1.67 2.47 2.27
Resiko institusi
Responden
Resiko produksi Resiko pasar Resiko keuangan Resiko manusia
Skala 1 – 5 : 1 = tidak penting, 5 = sangat penting
83
Lampiran 4. Skor manajemen resiko pertanian di tingkat petani
Monitoring &
penyemprotan
Diversifikasi &
pola tanamPengairan
produksi
maksimum
Informasi
pasar
Kelembagaan &
kemitraan
Diversifikasi
usahatani
Menjaga
utang tetap
kecil
manajemen
pengeluaran
Meminjam
uang
kerja off
farm
(pelaku
utama)
kerja off
farm
(anggota
keluarga)
X1 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 1
X2 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 1
X3 5 5 5 5 4 4 1 5 5 5 5 1
X4 4 3 4 2 1 1 1 4 4 2 1 5
X5 5 5 1 2 4 4 1 4 1 2 5 1
X6 5 5 1 5 4 4 1 4 1 5 5 1
X7 4 4 5 3 1 1 1 4 4 3 1 5
X8 3 3 5 1 1 2 4 3 2 1 2 4
X9 5 5 1 5 3 5 5 5 5 5 5 1
X10 4 1 4 1 1 1 1 4 4 1 1 5
X11 4 4 4 4 3 1 1 4 3 4 3 3
X12 4 4 1 4 2 1 1 4 3 4 1 5
X13 5 5 5 5 3 5 5 5 5 5 5 1
X14 2 1 2 1 1 3 1 4 2 1 1 5
X15 5 1 4 4 1 1 1 4 2 4 1 5
X16 5 5 2 5 1 5 5 5 5 5 5 1
X17 4 1 2 1 1 1 1 4 3 1 1 5
X18 5 5 5 1 5 1 5 1 1 1 5 1
X19 4 1 4 3 1 1 1 4 2 3 1 5
X20 4 1 4 1 3 1 1 4 4 1 4 4
X21 4 4 2 3 4 1 1 4 4 3 1 5
X22 5 5 4 4 1 1 1 4 5 4 5 1
X23 5 2 1 1 1 1 1 4 5 1 5 1
X24 5 5 5 3 1 1 1 5 5 3 2 1
X25 5 2 5 4 1 1 1 4 4 4 1 5
X26 5 4 2 3 1 1 4 4 4 3 4 1
X27 5 1 5 1 1 2 1 2 4 1 5 1
X28 5 1 4 3 1 1 1 4 5 3 3 3
X29 5 5 1 1 5 1 5 1 1 1 3 1
X30 3 4 5 4 3 1 1 4 4 4 2 2
X31 4 1 1 3 1 1 1 4 4 3 1 1
X32 1 1 4 1 5 1 1 2 1 1 1 5
X33 5 5 5 1 5 1 5 1 1 1 3 1
X34 4 4 5 4 1 1 1 4 4 4 5 1
X35 4 4 4 1 1 1 1 5 4 1 1 5
X36 1 1 4 1 1 1 1 4 3 1 4 1
X37 3 1 1 1 3 1 1 4 3 1 1 5
X38 5 2 4 4 4 5 2 5 5 4 5 5
X39 1 4 1 3 3 1 1 4 4 3 1 5
X40 4 4 2 3 5 1 1 4 4 3 3 5
X41 4 4 4 4 1 1 1 4 4 4 1 5
X42 4 4 1 1 1 4 1 4 4 1 2 1
X43 1 2 1 1 3 1 1 5 1 1 3 1
X44 4 4 4 1 3 4 1 2 4 1 1 5
X45 5 5 1 3 5 1 5 5 5 3 5 1
X46 5 5 5 5 2 2 2 5 5 5 2 4
X47 5 5 3 5 3 3 3 5 5 5 2 3
X48 4 4 1 5 3 5 5 3 5 5 5 1
X49 5 5 4 5 5 2 5 5 5 5 5 1
Σ 203 167 158 142 124 100 103 193 178 142 144 137
Mean 4.14 3.41 3.22 2.90 2.53 2.04 2.10 3.94 3.63 2.90 2.94 2.80
Respon pasar Respon keuangan Diversifikasi kerja
Responden
Respon produksi
Skala 1 – 5 : 1 = tidak penting, 5 = sangat penting
84
Lampiran 5. Rekapitulasi bobot faktor internal dan eksternal
Faktor Internal P1 P2 P3 P4 P5 Σ Rataan
A SDM sektor pertanian 0.105 0.118 0.100 0.082 0.064 0.468 0.094
B Dukungan sumberdaya alam 0.095 0.114 0.114 0.073 0.064 0.459 0.092
C Dukungan pemerintah 0.073 0.082 0.059 0.086 0.064 0.364 0.073
D Kerja keras dan pengalaman petani 0.086 0.109 0.105 0.091 0.064 0.455 0.091
E Produk pertanian yang renewable 0.082 0.091 0.095 0.100 0.091 0.459 0.092
F Keterampilan & pengetahuan 0.073 0.068 0.082 0.086 0.091 0.400 0.080
G Lahan dan infrastruktur 0.082 0.050 0.095 0.105 0.100 0.432 0.086
H Kelembagaan petani 0.077 0.118 0.064 0.100 0.100 0.459 0.092
I Permodalan 0.091 0.064 0.073 0.073 0.114 0.414 0.083
J Informasi dan teknologi 0.123 0.073 0.100 0.091 0.127 0.514 0.103
K Manajemen kerja 0.114 0.114 0.114 0.114 0.123 0.577 0.115
Total 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 5.000 1.000
Faktor Eksternal P1 P2 P3 P4 P5 Σ Rataan
A Pangsa pasar 0.106 0.133 0.139 0.122 0.150 0.650 0.130
B Pengembangan agroindustri 0.083 0.111 0.100 0.094 0.094 0.483 0.097
C Kerjasama dengan berbagai pihak 0.100 0.139 0.094 0.100 0.094 0.528 0.106
D Riset dan teknologi 0.072 0.078 0.139 0.106 0.094 0.489 0.098
E Kredit/asuransi pertanian 0.094 0.089 0.056 0.050 0.067 0.356 0.071
F Resiko produksi 0.089 0.117 0.094 0.133 0.078 0.511 0.102
G Perdagangan bebas 0.094 0.083 0.100 0.122 0.094 0.494 0.099
H Fluktuasi harga produk pertanian 0.100 0.100 0.072 0.089 0.106 0.467 0.093
I Produk impor 0.133 0.050 0.078 0.094 0.111 0.467 0.093
J Monopoli distribusi oleh pengusaha besar 0.128 0.100 0.128 0.089 0.111 0.556 0.111
Total 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 5.000 1.000
85
Lampiran 6. Rekapitulasi rating faktor internal dan eksternal
Faktor Internal P1 P2 P3 P4 P5 Σ Rataan
A SDM sektor pertanian 4.000 4.000 4.000 4.000 4.000 20.000 4.000
B Dukungan sumberdaya alam 3.000 4.000 4.000 4.000 3.000 18.000 3.600
C Dukungan pemerintah 3.000 4.000 1.000 4.000 3.000 15.000 3.000
D Kerja keras dan pengalaman petani 4.000 3.000 3.000 4.000 3.000 17.000 3.400
E Produk pertanian yang renewable 4.000 4.000 3.000 4.000 4.000 19.000 3.800
F Keterampilan & pengetahuan 1.000 2.000 1.000 1.000 2.000 7.000 1.400
G Lahan dan infrastruktur 2.000 1.000 1.000 1.000 1.000 6.000 1.200
H Kelembagaan petani 2.000 1.000 2.000 1.000 1.000 7.000 1.400
I Permodalan 1.000 1.000 2.000 1.000 2.000 7.000 1.400
J Informasi dan teknologi 1.000 1.000 1.000 1.000 2.000 6.000 1.200
K Manajemen kerja 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 10.000 2.000
Total 27.000 27.000 24.000 27.000 27.000 132.000 26.400
Faktor Eksternal P1 P2 P3 P4 P5 Σ Rataan
A Pangsa pasar 4.000 4.000 4.000 4.000 4.000 20.000 4.000
B Pengembangan agroindustri 3.000 3.000 2.000 2.000 3.000 13.000 2.600
C Kerjasama dengan berbagai pihak 3.000 4.000 3.000 2.000 3.000 15.000 3.000
D Riset dan teknologi 3.000 3.000 4.000 4.000 4.000 18.000 3.600
E Kredit/asuransi pertanian 3.000 3.000 1.000 2.000 3.000 12.000 2.400
F Resiko produksi 2.000 1.000 1.000 1.000 1.000 6.000 1.200
G Perdagangan bebas 1.000 1.000 2.000 2.000 1.000 7.000 1.400
H Fluktuasi harga produk pertanian 2.000 2.000 2.000 1.000 2.000 9.000 1.800
I Produk impor 1.000 1.000 2.000 1.000 1.000 6.000 1.200
J Monopoli distribusi oleh pengusaha besar 1.000 2.000 1.000 1.000 1.000 6.000 1.200
Total 23.000 24.000 22.000 20.000 23.000 112.000 22.400
86
Lampiran 7. Perhitungan matriks QSP
AS TAS AS TAS AS TAS AS TAS AS TAS AS TAS
A SDM sektor pertanian 0.375 4.000 1.498 4.000 1.498 3.000 1.124 3.000 1.124 2.000 0.749 2.000 0.749
B Dukungan sumberdaya alam 0.331 4.000 1.322 4.000 1.322 4.000 1.322 3.000 0.992 4.000 1.322 4.000 1.322
C Dukungan pemerintah 0.218 4.000 0.873 3.000 0.655 3.000 0.655 3.000 0.655 4.000 0.873 4.000 0.873
D Kerja keras dan pengalaman petani 0.309 4.000 1.236 4.000 1.236 3.000 0.927 2.000 0.618 2.000 0.618 4.000 1.236
E Produk pertanian yang renewable 0.349 4.000 1.396 1.000 0.349 4.000 1.396 1.000 0.349 3.000 1.047 3.000 1.047
F Keterampilan & pengetahuan 0.112 4.000 0.448 4.000 0.448 4.000 0.448 3.000 0.336 3.000 0.336 4.000 0.448
G Lahan dan infratruktur 0.104 3.000 0.311 4.000 0.415 4.000 0.415 3.000 0.311 3.000 0.311 2.000 0.207
H Kelembagaan petani 0.129 4.000 0.514 4.000 0.514 4.000 0.514 3.000 0.386 4.000 0.514 4.000 0.514
I Permodalan 0.116 4.000 0.463 3.000 0.347 3.000 0.347 2.000 0.232 4.000 0.463 4.000 0.463
J Informasi dan teknologi 0.123 4.000 0.493 4.000 0.493 3.000 0.370 4.000 0.493 4.000 0.493 4.000 0.493
K Manajemen kerja 0.231 3.000 0.693 4.000 0.924 3.000 0.693 3.000 0.693 3.000 0.693 3.000 0.693
A Pangsa pasar 0.520 4.000 2.080 2.000 1.040 4.000 2.080 4.000 2.080 3.000 1.560 2.000 1.040
B Pengembangan agroindustri 0.251 4.000 1.005 4.000 1.005 4.000 1.005 4.000 1.005 4.000 1.005 4.000 1.005
C Kerjasama dengan berbagai pihak 0.317 4.000 1.267 4.000 1.267 3.000 0.950 4.000 1.267 3.000 0.950 3.000 0.950
D Riset dan teknologi 0.352 3.000 1.056 2.000 0.704 3.000 1.056 2.000 0.704 3.000 1.056 3.000 1.056
E Kredit/asuransi pertanian 0.171 3.000 0.512 2.000 0.341 4.000 0.683 4.000 0.683 3.000 0.512 4.000 0.683
F Resiko produksi 0.123 1.000 0.123 4.000 0.491 4.000 0.491 4.000 0.491 4.000 0.491 2.000 0.245
G Perdagangan bebas 0.138 1.000 0.138 4.000 0.554 4.000 0.554 4.000 0.554 4.000 0.554 2.000 0.277
H Fluktuasi harga produk pertanian 0.168 2.000 0.336 4.000 0.672 4.000 0.672 4.000 0.672 4.000 0.672 1.000 0.168
I Produk impor 0.112 3.000 0.336 4.000 0.448 4.000 0.448 4.000 0.448 3.000 0.336 4.000 0.448
J Monopoli distribusi oleh pengusaha besar 0.133 3.000 0.400 4.000 0.533 4.000 0.533 4.000 0.533 4.000 0.533 4.000 0.533
0.786 0.726 0.794 0.696 0.718 0.688
2 3 1 5 4 6
Faktor penentu Bobot
Strategi alternatif
Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 Strategi 5 Strategi 6Strategi 4
Strategi prioritas
Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Ancaman
Jumlah skor daya tari
Keterangan : AS = nilai daya tarik, TAS = total nilai daya tarik
Nilai daya tarik: 1 = tidak menarik/mempengaruhi, 2 = agak mempengaruhi
3 = cukup mempengaruhi, 4 = sangat mempengaruhi
66
Lampiran 8. Skor resiko usahatani tanaman pangan: persepsi akademisi dan stakeholders
Hama &
penyakitIklim
bencana
alam lain
Bencana
alam
Perubahan
harga
produk
DistribusiBiaya
input
Perubahan
ekonomi
nasional
Perubahan
ekonomi
global
InflasiAkses ke
permodalanLahan
Tingkat
bunga
Tenaga
kerja
Kecelakaan &
kesehatan
Situasi
keluargaPencurian
Perubahan
kebijakan
Perubahan
program
pertanian
Ketidakmampuan
kontrak
Lemahnya
infrastruktur
Perubahan
teknologi
P1 5 4.67 5 5.00 4 4 3 3 2 3 4 3.5 3 3 3 3 4 3 4 5 4 4
P2 3 4.00 2 2.00 5 5 4 2 3 2 5 2.5 3 3 3 1 1 3 2 1 2 4
P3 4 3.67 5 4.33 4 5 5 5 4 4 3 4.5 4 4 4 5 4 5 4 1 4 4
P4 4 3.67 4 4.00 5 5 3 4 3 3 4 3.5 3 3 3 2 2 4 3 1 5 3
P5 5 5.00 5 3.67 5 4 5 3 5 3 5 3.5 3 3 3 3 3 3 3 1 4 5
P6 5 4.67 1 1.00 5 3 1 1 1 1 4 2 1 5 1 1 1 1 1 1 3 1
P7 4 4.67 4 4.00 5 2 4 4 3 3 4 3 3 4 4 5 3 3 3 4 2 4
P8 4 4.33 5 4.00 5 5 4 4 4 2 4 4 3 4 3 3 2 4 4 4 4 4
P9 4 4.33 5 5.00 5 5 4 4 3 3 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3
P10 5 3.33 5 5.00 5 4 5 4 5 5 4 4 5 3 5 3 4 5 3 1 4 3
Jumlah 43 42.33 41 38 48 42 38 34 33 29 40 34.5 31 35 33 29 27 34 30 22 36 35
rata-rata 4.30 4.23 4.10 3.80 4.80 4.20 3.80 3.40 3.30 2.90 4.00 3.45 3.10 3.50 3.30 2.90 2.70 3.40 3.00 2.20 3.60 3.50
Resiko institusi Resiko lain
Responden
Resiko produksi Resiko pasar Resiko keuangan Resiko manusia
Skala 1 – 5 : 1 = tidak penting, 5 = sangat penting
87