44
REFERAT RETARDASI MENTAL Pembimbing: dr. Marcus Anthonius, SpKFR. Penyusun: Bhismar Imansyah Wiraatmaja (NIM 2008.04.0.0008) ILMU REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH RSAL DR. RAMELAN

Rehab medik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

good

Citation preview

REFERAT

RETARDASI MENTAL

Pembimbing:

dr. Marcus Anthonius, SpKFR.

Penyusun:

Bhismar Imansyah Wiraatmaja (NIM 2008.04.0.0008)

ILMU REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

RSAL DR. RAMELAN

SURABAYA

2015

BAB 1

PENDAHULUAN

Retardasi adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul bersamaan dengan defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode perkembangan serta berakibat buruk terhadap kemampuan belajar. Keterbatasan fungsi akan terlihat sebelum usia 18 tahun. Keterbatasan ini berkaitan dengan dua atau lebih area keterampilan seperti: komunikasi, merawat diri, keterampilan sosial, kemampuan bermasyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, istirahat, dan bekerja. Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ.

Epidemiologi retardasi mental belum diketahui secara jelas namun penilitian secara konsisten menunjukkan bahwa retardasi mental paling sering terjadi di antara anak-anak usia sekolah, dengan angka yang lebih rendah pada periode pra sekolah atau post sekolah.1 Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 2,5 % dari populasi menderita retardasi mental dan 85% diantaranya merupakan retardasi mental ringan. Di Amerika serikat Tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau 1,2 % anak usia sekolah mendapat pelayanan retardasi mental.2

Retardasi mental terbagi atas retardasi mentl ringan dan berat. Retardasi mental ringan lebih dihubungkan dengan pengaruh lingkungan dan adanya riwayat keluarga sedangkan retardasi mental berat lebih dihubungkan dengan penyebab biologis seperti sindrom genetik dan kromosom, abnormalitas perkembangan otak, gangguan metabolisme sejak lahir, gangguan neurodegenerative, malnutrisi berat, paparan radiasi, infeksi, kelainan pada masa perinatal, serta kelainan pada masa postnatal.2

Perkembangan adalah proses multidimensional yang mempengaruhi performa di semua bidang kehidupan, gangguan perkembangan dapat mengenai satu atau beberapa bidang kemampuan, dan dapat memiliki dampak pada fungsi intelektual maupun adaptif di sepanjang kehidupan.1 Hal tersebut menyebabkan penatalaksanaan anak dengan retardasi mental haruslah bersifat multidimensi dan sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak membutuhkan penanganan multidisiplin sebagai jalan yang terbaik. 2, 3

Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya lebih baik. Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak dengan retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit kardiorespirasi, pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan orang yang normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan masalah kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda.3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Retardasi Mental

Menurut WHO, retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi.3 Retardasi mental menurut The Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul bersamaan dengan defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode perkembangan serta berakibat buruk terhadap kemampuan belajar.2

The American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAIDD,2002) mendefinisikan retardasi mental sebagai keterbatasan dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif.4

Menurut Association American of Mental Retardation (AAMR), retardasi mental mengacu pada fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata, didefinisikan sebagai nilai Intelegence Quotient (IQ) 50), lebih dihubungkan dengan pengaruh lingkungan. Retardasi mental ringan ini 4 kali lebih banyak terjadi pada anak yang ibunya tidak tamat SMA. Hal ini kemungkinan akibat dari gabungan faktor genetik (anak yang mewarisi gangguan intelektual) dan faktor sosio-ekonomi (kemiskinan dan Undernutrition). Penyebab spesifik gangguan retardasi mental ringan hanya teridentifikasi pada 50), lebih dihubungkan dengan penyebab biologis. Penyebab biologis dapat diidentifikasi pada 75% kasus. Penyebab penyakit tersebut antara lain : sindrom genetic (sindrom Fragile X, Prader willi Syndrome) dan kromosom (Down sindrom, klinefelter syndrome), Abnormalitas perkembangan otak (ensefalopati, Lissencephaly), gangguan metabolisme sejak lahir [Fenilketonuria(PKU), Tay-sach], gangguan neurodegenerative (mukopolisakaridosis), malnutrisi berat, paparan radiasi, infeksi [Human Imunodefisiensi Virus (HIV), toksoplasma, rubella, Sitomegalovirus(CMV), Syphilis, Herpes Simpleks], kelainan pada masa perinatal, meningitis, intoksikasi alkohol pada masa fetal, kelainan pada masa postnatal (trauma, meningitis, Hipotiroid)2, 5

Adanya disfungsi otak merupakan dasar dari retardasi mental. Untuk mengetahui adanya retardasi mental perlu anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Penyebab dari retardasi mental sangat kompleks dan multifaktorial. Walaupun terdapat beberapa faktor yang potensial berperan dalam terjadinya retardasi mental seperti yang dinyatakan oleh Taft LT dan Shonkoff JP di bawah ini. Faktor-faktor yang potensial sebagai penyebab retardasi mental:3

1. Non organik

Kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis

Faktor sosiokultural

Interaksi anak denga pengasuh yang tidak baik

Penelantaran anak

2. Organik

Faktor pra konsepsi

Abnormalitas single gen (penyakit-penyakit metabolik, kelainan neurokutaneus, dll)

Kelainan kromosom (x-linked, translokasi, fragile-x)

Faktor pranatal

Gangguan pertumbuhan otak trimester I

Kelainan kromososm (trisomi, mozaik, dll)

Infeksi intrauterin, TIRCH, HIV

Zat-zat teratogen (alkohol, radiasi)

Disfungsi plasenta

Kelainan kongenital dari otak (idiopatik)

Gangguan pertumbuhan otak trimester II dan III

Infeksi intrauterin

Zat-zat teratogen (alkohol, kokain, logam berat)

Ibu : diabetes melitus, fenilketonuria (PKU)

Toksemia gravidarum

Disfungsi plasenta

Ibu malnutrisi

Faktor perinatal

Sangat prematur

Asfiksia neonatorum

Trauma lahir: perdarahan intrakranial

Meningitis

Kelainan metabolik: hipoglikemia, hiperbilirubinemia

Faktor postnatal

Trauma berat pada kepala atau susunan saraf pusat

Neurotoksin

CVA (Cerebrovascular Accident)

Anoksia, misalnya teggelam

Metabolik

Gizi buruk

Kelainan hormonal, misalnya hipotiroid

Aminoasiduria, misalnya PKU

Kelainan metabolisme karbohidrat, galaktosemia, dll

Polisakaridosis, misalnya sindrom hurler

Serebral lipidosis (Tay Sachs), dengan hepatomegali

Infeksi

Meningitis, ensefalitis

Subakut, sklerosing panensefalitis

2.4 Diagnosis

Anamnesis yang sangat diperlukan yaitu mengetahui penyebab retardasi mentalnya, baik organik atau non organik, apakah kelainannya dapat diobati/tidak, dan apakah ada faktor genetik/tidak. Dengan melakukan skrining secara rutin misalnya dengan menggunakan DDST (Denver Developmental Screening Test), maka diagnosis dini dapat segera dibuat. Demikian pula anamnesis yang baik dari orang tua, pengasuh atau gurunya, akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Setelah anak berumur 6 tahun dapat dilakukan tes IQ. Sering kali hasil evaluasi medis tidak khas dan tidak dapat diambil kesimpulan. Pada kasus seperti ini, apabila tidak ada kelainan pada sistem susunan saraf pusat, perlu anamnesis yang teliti untuk mengetahui apakah ada keluarga yang cacat, dan mencari masalah lingkungan/faktor non organik lainnya yang diperkirakan mempengaruhi kelainan pada otak anak.3, 7

Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenital, yang kadang-kadang gambaran stigmata mengarah kesuatu sindroma penyakit tertentu. Dibawah ini beberapa kelainan fisik dan gejala yang sering disertai retardasi mental, yaitu : 3

1. Kelainan pada mata:

1.1 Katarak

Sindrom Cockayne- Sindrom Down

Sindrom Lowe- Kretin

Galactosemia - Rubela Pranatal, dll

1.2 Bintik cherry merah pada daerah makula

Mukolipidosis - Penyakit Tay - Sachs

Penyakit Niemann Pick

1.3 Korioretinitis

Lues Kongenital- Sindrom Hurler

Sindroma Hunter- Sindrom Lowe

2. Kejang

2.1 Kejang umum tonik klonik

Defisiensi glikogen sinthetase

Hiperlisinemia

Hipoglikemia, terutama yang disertai glycogen storage disease I,II,IV, danVI

Phenyl ketonuria

Sindrom malabsobrbsi methionin, dll

`2.2 Kejang pada masa neonatal

Arginosuccinic asiduria

Hiperaminonemia I dan II

Laktik Asidosis,dll

3. Kelainan Kulit

Bintik cafe au-lait

Ataksia telengiektasia

Sindrom Bloom

Neurofibromatosis

Tuherous sclerosis

4. Kelainan Rambut

4.1 Rambut rontok

Familial laktik asidosis dengan necrotizing ensefalopati

4.2 Rambut cepat memutih

Atrofi progresif serebral hemisfer

Ataksia telangiektasia

Sindrom malabsorpsi methionin

4.3 Rambut halus

Hipotiroid

Malnutrisi

5. Kepala

Mikrosefali

Makrosefali

Hidrosefalus

Mucopolisakaridase

Efusi subdural

6. Perawakan pendek

Kretin

Sindrom Prader-Willi

7. Distonia

Sindrom Hallervorden-Spaz

Gejala retardasi mental berdasarkan tipenya:

1. Retardasi mental ringan

Kelompok ini merupakan bagian terbesar dari retardasi mental. Diagnosis dibuat setelah anak beberapa kali tidak naik kelas. Golongan ini termasuk mampu didik, artinya selain dapat diajar baca tulis bahkan bisa sampai kelas 4-6 SD, juga bisa dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal hidupnya kelak dan mampu mandiri seperti orang dewasa yang normal. Tetapi pada umumnya mereka kurang mampu menghadapi stress, sehingga tetap membutuhkan bimbingan dari keluarganya.

2. Retardasi mental sedang

Kelompok ini kira-kira 12% dari seluruh penderita retardasi mental, mereka mampu latih tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan intelektualnya hanya dapat sampai kelas 2 SD saja, tetapi dapat dilatih menguasai suatu keterampilan tertentu misalnya pertukangan, pertanian, dll. Dan apabila bekerja nanti mereka ,memerlukan pengawasan. Mereka juga perlu dilatih bagaimana mengurus diri sendiri. Kelompok ini juga kurang mampu mengahadapi dan kurang dapat mandiri, sehingga memerlukan bimbingan dan pengawasan.

3. Retardasi mental berat

Sekitar 7% dari seluruh penderita retardasi mental masuk kelompok ini. Diagnosis mudah ditegakkan secara dini , karena selain adanya gejala fisik yang menyertai juga berdasarkan keluhan dari orang tua dimana anak sejak awal sudah terdapat keterlambatan perkembangan motorik dan bahasa. Kelompok ini termasuk tipe klinik. Mereka dapat dilatih higiene dasar saja dan kemampuan berbicara yang sederhana , tidak dapat dilatih keterampilan kerja dan memerlukan pengawasan dan bimbingan sepanjang hidupnya.

4. Retardasi mental sangat berat

Kelompok ini sekitar 1 % dan termasuk dalam tipe klinik. Diagnosis dini mudah dibuat karena gejala baik mental dan fisik sangat jelas. Kemampuan berbahasanya sangat minimal. Mereka ini seluruh hidupnya tergantung pada orang disekitarnya. 3

Kriteria diagnostik retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) :2, 8

1. Fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata. IQ kira-kira 70 atau dibawahnya.

2. Gangguan terhadap fungsi adaptif paling sedikit 2, misalnya komunikasi, perawatan diri, kemampuan melakukan tugas-tugas rumah tangga, sosial, pekerjaan, kesehatan dan keamanan.

3. Onsetnya sebelum berusia 18 tahun.

Pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada anak dengan retardasi mental antara lain neuroimaging, tes metabolik, genetik, kromosom darah, dan elektro ensefalografi (EEG). Tes-tes tersebut sebaiknya tidak digunakan untuk anak dengan keterbelakangan intelektual. Jenis tes yang dilakukan sebaiknya didasarkan pada riwayat keluarga/kesehatan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan oleh bidang keilmuan yang lain, dan keinginan keluarga.2

Tes Karyotype terutama ditujukan untuk melihat jumlah kromosom, duplikasi, delesi, atau translokasi kromosom. Tes molekuler genetik untuk sindrom Fragile X tepat digunakan untuk laki-laki dengan retardasi mental sedang, perawakan fisik yang tidak normal, dan/atau memiliki riwayat retardasi mental pada keluarga; atau perempuan dengan defisit kognitif ringan dengan sikap pemalu yang berlebihan dan memiliki riwayat keluarga. Anak dengan gangguan neurologis yang progresif atau perubahan perilaku tiba-tiba membutuhkan investigasi metabolik (asam organik urin, asam amino plasma, laktat darah, enzim lisosom dalam limfosit), anak dengan episode mirip kejang harus mendapatkan pemeriksaan EEG. Anak dengan pertumbuhan kepala abnormal atau asimetris dan temuan neurologis fokal harus menjalankan prosedur neuroimaging.

Lebih kurang 6 % retardasi mental tanpa sebab yang jelas kemungkinan disebabkan oleh abnormalitas kromosom mikro yang dapat diidentifikasi dengan penyatuan kromosom resolusi tinggi, fluorescent insitu hybridization (FISH) atau penggambaran kromosom untuk pengaturan subtelomeric. MRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah marker disgenesis serebral pada anak dengan keterbelakangan intelektual.

Diagnosis retardasi mental membutuhkan pula tes intelijensia individual dan tes kemampuan fungsi adaptif. The Bayley Scales of Infant Development (BSID-II) merupakan skala penilaian intelejensi yang paling umum dipakai, skala ini menilai kemampuan bahasa, kemampuan pemecahan masalah, perilaku, kemampuam motorik halus, dan kemampuan motorik kasar pada anak usia 1 bulan 3 tahun, dari skala tersebut akan diperoleh hasil berupa mental developmental index (MDI) dan skor psikomotor developmental index (PDI, sebuah pengukuran kompetensi motorik).2, 9 Tes ini dapat membedakan anak dengan retardasi mental berat dan anak normal, namun tes ini tidak terlalu bermanfaat untuk membedakan anak normal dengan anak yang mengalami retardasi mental ringan. Tes psikologis yang paling umum digunakan untuk anak > 3 tahun adalah Wechsler scales. The Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence-revised (WPPSI-III) digunakan untuk anak usia mental 2,5 7,3 tahun. The Wechlser Intelligence Scale for Children-4th edition (WISC-IV) digunakan untuk anak dengan usia mental diatas 6 tahun. Kedua skala tersebut terdiri dari beberapa subtest dalam area verbal dan keterampilan. Meskipun anak dengan retardasi mental memiliki skor dibawah rata-rata pada seluruh subscale scores, namun kadang mereka memiliki skor rata-rata pada satu atau lebih area keterampilan.2

Tes perilaku adaptif yang paling umum digunakan adalah Vineland Adaptive Behavior Scale yang melibatkan wawancara dengan orangtua atau guru dan menilai perilaku adaptif dalam 4 domain utama: komunikasi, keterampilan hidup sehari-hari, sosialisasi dan kemampuan motorik. Bisanya terdapat hubungan antara skor intelijensia dan skor adaptif. Kemampuan adaptif dasar (makan, berpakaian, hygiene) lebih mudah diperbaiki dibandingkan dengan skor IQ.2

2.5 Diagnosis Banding

Sebelum menegakkan diagnosis retardasi mental, kelainan-kelainan lain yang mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku adaptif juga harus menjadi pertimbangan, diantaranya kondisi yang mirip dengan retardasi mental dan kondisi lain yang melibatkan keterbelakangan intelektual sebagai salah satu manifestasinya. Defisit sensoris (kemampuan pendengaran yang buruk dan kehilangan penglihatan), gangguan komunikasi, dan kejang tak terkontrol dapat menyerupai retardasi mental; gangguan neurologis progresif tertentu munculannnya dapat menyerupai retardasi mental sebelum terjadinya regresi. Lebih dari setengah anak-anak yang menderita serebral palsi atau autisme juga menderita retardasi mental. Serebral palsi dengan retardasi mental tampak pada kemampuan motoriknya, dimana pada serebral palsi kemampuan motorik lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan kognitif, dan disertai adanya refleks patologis dan perubahan tonus. Pada autisme, kemampuan adaptif sosial lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan non verbal, dimana pada retardasi mental biasanya terdapat lebih banyak defisit pada kemampuan sosial, motorik, adaptif dan kognitif.2

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemerikasaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang menderita retardasi mental, yaitu : 3

1. Kromosomal kariotip

Terdapat beberapa kelainan fisik yang tidak khas

Anamnesis ibu tercemar zat-zat teratogen

Terdapat beberapa kelainan kongenital

Genitalia abnormal

2. EEG (Elektro Ensefalogram)

Gejala kejang yang dicurigai

Kesulitan mengerti bahasa yang berat

3. CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI ( Magnetic Resonance Imaging)

Pembesaran kepala yang progresif

Tuberous sklerosis

Dicurigai kelainan otak yang luas

Kejang lokal

Dicurigai adanya tumor intrakranial

4. Titer virus untuk infeksi kongenital

Kelainan pendengaran tipe sensorineural

Neonatal hepatosplenomegali

Petechie pada periode neonatal

Chorioretinitis

Mikroptalmia

Kalsifikasi intrakranial

Mikrosefali

5. Serum asam urat (uric acid serum)

Choreoatetosis

Gout

Sering mengamuk

6. Laktat dan piruvat darah

Asidosis metabolik

Kejang mioklonik

Kelemahan yang progresif

Ataksia

Degenerasi retina

Ophtalmoplegia

Episode seperti stroke yang berulang

7. Plasma asam lemak rantai sangat panjang

Hepatomegali

Tuli

Kejang dini dan hipotonia

Degenerasi retina

Ophtalmoplegia

Kista pada ginjal

8. Serum Zeng (Zn)

Acrodermatitis

9. Logam berat dalam darah

Anamnesis adanya pika

Anemia

10. Serum tembaga (Cu) dan ceruloplasmin

Gerakan yang involunter

Sirosis

Cincin Kayser-Fleischer

11. Serum asam amino atau asam organik

Kejang yang tidak diketahui sebabnya pada bayi

Gagal tumbuh

Bau yang tidak biasa pada air seni atau kulit

Warna rambut yang tidak khas

Mikrosefali

Asidosis yang tidak diketahui sebabnya

12. Plasma amonia

Muntah-muntah dengan asidosis metabolik

13. Analisa enzim lisozom pada leukosit atau biopsi kulit:

Kehilangan fungsi motorik dan kognitif

Atrofi N. Optikus

Degenerasi retina

Serebelar ataksia yang berulang

Mioklonus

Hepatosplenomegali

Kulit yang kasar dan lepas-lepas

Kejang

Pembesaran kepala yang dimulai setelah umur 1 tahun

14. Urin mukopolisakarida

Kifosis

Anggota gerak yang pendek

Badan yang pendek

Hepatosplenomegali

Kornea keruh

Gangguan pendengaran

Kekakuan pada sendi

15. Urine reducing substance

Katarak

Hepatosplenomegali

Kejang

16. Urin ketoacid

Kejang

Rambut yang mudah putus

17. Urin asam vanililmandelik

Muntah-muntah

Isapan bayi pada saat menyusu yang lemah

Gejala disfungsi autonomik

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penanganan multidisiplin merupakan jalan yang terbaik. 2, 3 Sebaiknya dibuat rancangan suatu strategi pendekatan bagi setiap anak secara individual untuk mengembangkan potensi anak tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu melibatkan psikolog untuk menilai perkembangan mental anak terutama kognitifnya, dokter anak untuk memeriksa fisik anak, menganalisis penyebab, dan mengobati penyakit atau kelainan yang mungkin ada. Juga kehadiran pekerja sosial kadang-kadang diperlukan untuk menilai situasi keluarganya.10 Atas dasar itu maka dibuatlah strategi terapi. Sering kali melibatkan lebih banyak ahli lagi, misalnya ahli saraf bila anak juga menderita epilepsi, palsi serebral, dll. Psikiater, bila anaknya menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila orang tuanya membutuhkan dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis, bila diperlukan untuk merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya. Ahli terapi wicara, untuk memperbaiki gangguan bicara atau untuk merangsang perkembangan bicara. Serta diperlukan guru pendidikan luar biasa untuk anak-anak yang retardasi mental ini.3, 11

Pada orang tua perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-kadang diperlukan waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaaan anaknya. Bila orang tua belum dapat menerima keadaan anaknya, maka perlu konsultasi pula dengan psikolog atau psikiater.3, 11 Disamping itu diperlukan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua, agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam strategi penanganan anak disekolah dan dirumah. Anggota keluarga lainnya juga harus diberi pengertian, agar anak tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu masyarakat perlu diberikan penerangan tentang retardasi mental, agar mereka dapat menerima anak tersebut dengan wajar.3

2.7.1 Pendekatan Individual dan Keluarga

Retardasi mental umumnya merupakan kondisi seumur hidup dan tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan medis. Hal-hal berikut ini penting untuk dipertimbangkan sebagai panduan dalam penatalaksanaan:

1. Bukti Ilmiah: Penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa dengan memberikan dukungan dan pelayanan yang tepat, adalah mungkin untuk memastikan bahwa penderita retardasi mental dapat hidup sehat dan relatif independen. These services comprise many areas such as health care, early intervention, education, vocational training, and so on. Pelayanan yang dimaksud disini terdiri dari banyak bidang seperti perawatan kesehatan, intervensi dini, pendidikan, pelatihan kejuruan, dan sebagainya. Studies have also shown that considerable ill health, physical or behavioural, in people with mental retardation are caused by lack of appropriate care and are hence preventable.Penelitian juga menunjukkan bahwa penyakit fisik maupun perilaku pada penderita retardasi mental disebabkan oleh kurangnya perawatan yang tepat dan oleh karenanya dapat dicegah.

2. Standar Kemanusiaan: Sebagai bagian dari masyarakat, merupakan hak penderita retardasi mental untuk menjalani kehidupan mereka dengan bermartabat. It is possible to achieve this goal by bringing about positive changes in societal awareness, attitudes and beliefs about this condition. Hal ini dapat dicapai dengan adanya kesadaran sosial, tingkah laku dan kepercayaan yang positif dari lingkungan terkait retardasi mental itu sendiri.

3. Perspektif Keluarga: Masalah retardasi mental seringkali tidak dapat dipisahkan dari masalah yang dihadapi keluarga. Pelayanan yang teroganisir sangat dibutuhkan oleh keluarga untuk dapat beradaptasi dengan baik dan menghadapi segala masalah dengan percaya diri.12

Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, professional dari berbagai bidang, keluarga, organisasi pemerintah, LSM, dan masyarakat secara keseluruhan harus saling bekerjasam.3, 11, 12

Prinsip-prinsip berikut dapat membantu dalam membimbing dan mengarahkan pengembangan pelayanan yang sesuai :

Normalisasi. Konsep ini berasal dari negara-negara Skandinavia. In simple terms, normalization means ensuring that the same environmental conditions of everyday life are available to people with mental retardation as they are for anybody else.Secara sederhana, normalisasi berarti memastikan bahwa kondisi lingkungan kehidupan sehari-hari yang didapatkan para penderita retardasi mental tidak berbeda dengan yang didapatkan orang normal lainnya. HalIt also means providing them with facilities to enable development of their full potential. ini juga berarti menyediakan fasilitas-fasilitas bagi mereka untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki.

Integrasi. Penderita retardasi mental haruslah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat; mereka tidak boleh diisolasi ataupun mendapat diskriminasi dalam hal apapun.

Perawatan di Rumah dengan Orangtua Sebagai Mitra.Research has shown that the best place for children with mental retardation to grow in is their own families, where they can be nurtured with appropriate stimulation.

Penelitian telah menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk tumbuh dan berkembang bagi para penderita retardasi mental adalah keluarga mereka sendiri, di mana mereka dapat diberikan pengasuhan dengan stimulasi yang sesuai. Therefore, services should be organized so that the families are supported, strengthened and empowered to look after their affected member.Oleh karena itu, pelayanan yang terorganisir harus diberikan agar keluarga mendapat dukungan, diperkuat dan diberdayakan dalam pengasuhan anggota keluarga dengan retardasi mental.Families have different needs at different stages in the life cycle of its members (such as childhood, adolescence, and adulthood); this should be recognized and attempts made to fulfil these needs. Keluarga memiliki kebutuhan yang berbeda pada berbagai tahap dalam siklus kehidupan (masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa); oleh karena itu harus diupayakan untuk memenuhi kebutuhan dari tiap siklus tersebut.It should also be recognized that families are not just recipients of services but care-providers as well. Harus disadari juga bahwa keluarga tidak hanya penerima layanan tetapi juga bertindak sebagai penyedia layanan. In other words, they are partners in care. Dengan kata lain, mereka adalah mitra dalam perawatan penderita retardasi mental.12

2.7.2 Community-based Appr Pendekatan Berbasis Masyarakat

Very often, services tend to be concentrated in well-to-do urban localities.Seringkali pelayanan cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan.To overcome this lop-sided approach, a community orientation is necessary, so that services are available to large sections of society in their own vicinity. Untuk mengatasi hal ini, pelayanan berorientasi masyarakat sangat diperlukan. No programme is likely to succeed without community involvement and participation.Tidak ada program yang dapat sukses terlaksana tanpa keterlibatan dan partisipasi dari masyarakat.

Services for individuals with mental retardationPelayanan untuk individu dengan retardasi mental :

1. Medical and Psychological (clinical) ServicesPelayanan Medis dan Psikologis (klinis)

Dibutuhkan The first requirement is for appropriate facilities for a good medical/health evaluation and accurate diagnosis.fasilitas yang sesuai untuk evaluasi medis / kesehatan yang baik dan diagnosis yang akurat. Doctors should be in a position to recognize and manage treatable disorders such as hypothyroidism. Dokter harus dalam posisi untuk mengenali dan mengelola gangguan yang dapat diobati seperti hipotiroidisme. Associated problems such as convulsions, sensory impairments and behaviour problems, can be corrected or controlled with proper medical attention. Masalah terkait seperti kejang, gangguan sensorik dan masalah perilaku, dapat diperbaiki atau dikendalikan dengan tatalaksana medis yang tepat. It is desirable to have facilities for psychological assessment of strengths and weaknesses in the child which can form the basis for future trainingDiharapkan tersedia fasilitas untuk penilaian psikologis dari kekuatan dan kelemahan dalam diri anak yang dapat dijadikan dasar untuk pelatihan-pelatihan di masa depan.12 Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan psikoterapi dapat diusahakan perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya.13

Semua anak dengan retardasi mental juga memerlukan perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Anak-anak ini sering juga disertai dengan kelainan fisik yang memerlukan penanganan khusus. Misalnya pada anak yang mengalami infeksi pranatal dengan cytomegalovirus akan mengalami gangguan pendengaran yang progresif walaupun lambat, demikian pula anak dengan sindrom Down dapat timbul gejala hipotiroid. Masalah nutrisi juga perlu mendapat perhatian.2, 3

Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti khusus, konseling pranikah dan pranatal.13

Konseling orangtua yang memadai pada tahap awal sangatlah penting. Doctors, nurses, psychologists and social workers can make a big difference to parents by correctly explaining the condition and the options for treatment as well as by clarifying their doubts.Dokter, perawat, psikolog dan pekerja sosial dapat membuat perbedaan besar bagi orang tua dengan cara memberikan penjelasan yang benar mengenai kondisi dan pilihan untuk pengobatan yang tersedia. Parental counselling also involves providing emotional support and guidance, and strengthening morale.Konseling juga memberikan dukungan emosional dan bimbingan serta penguatan moral. Once the parents get a grasp of the condition, they need to learn appropriate ways of rearing and training the child.Setelah orang tua mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kondisi anaknya, mereka perlu belajar cara yang tepat dalam membesarkan dan melatih anak. Parents continue to need such assistance, guidance, and support as the child grows up, especially during adolescence, early adulthood and during periods of crisis.Orang tua secara terus menerus membutuhkan bantuan, bimbingan, dan dukungan, terutama selama masa remaja, dewasa awal dan selama periode krisis.12It is important to ensure that parents do not spend a lot of their valuable money and time in pursuing treatments that are of doubtful or no value.

2. Deteksi Dini dan Stimulasi Dini

Deteksi dan stimulasi dini pada retardasi mental sangat membantu untuk memperkecil retardasi yang terjadi. Para orangtua biasanya membawa anaknya pada dokter anak bila mereka mencurigai adanya kelainan pada anaknya. Oleh karena itu dokter anak harus waspada pada setiap keluhan dari ibu, terutama keluhan tentang keterlambatan perkembangan anaknya. Makin dini ditemukan, dan makin dini diadakan stimulasi, makin besar kesempatan anak untuk mengejar ketertinggalannya.11

Banyak penelitian menunjukkan bahwa mendeteksi retardasi mental pada tahap awal, yaitu pada masa bayi, dan menyediakan lingkungan yang memberikan stimulasi dan penuh kasih sayang dapat membantu anak-anak ini untuk berkembang lebih baik dan mencegah banyakkomplikasi.

Many well-conducted research studies have clearly shown that detecting mental retardation at an early stage, that is, in infancy, and providing a loving and stimulating environment helps these children to develop better and prevents many complications.Some medical conditions associated with mental retardation can be detected at birth itself.Beberapa kondisi medis yang terkait dengan retardasi mental dapat dideteksi saat lahir. It is also possible to define a group of babies who are at risk of having a greater chance of developing mental retardation as they grow up.Dapat pula dilakukan pengelompokan bayi-bayi yang beresiko menderita retardasi mental. These are the babies born prematurely, or with a low birth weight (less than 2 kg), or who have suffered birth asphyxia, or those who have had a serious illness in the neonatal period.Bayi-bayi tersebut merupakan bayi yang lahir prematur atau dengan berat lahir rendah (kurang dari 2 kg), atau yang menderita asfiksia saat lahir, atau mereka yang menderita penyakit yang serius pada periode neonatal. A well-recognized method for early detection is to follow the development of all the babies from birth and observe whether they are lagging behind consistently.Metode yang dilakukan untuk deteksi dini adalah dengan mengikuti perkembangan semua bayi sejak lahir dan amati apakah mereka mengalami ketertinggalan secara konsisten. By and large, most babies with severe mental retardation can be recognized by the age of 6-12 months. Pada umumnya, sebagian besar bayi dengan retardasi mental yang berat bisa dikenali pada usia 6-12 bulan. Mild mental retardation usually becomes evident by the age of two years.Retardasi mental ringan biasanya menjadi jelas pada usia dua tahun. Standardized methods for early detection of mental retardation are now available, and can be adapted to any culture with proper modifications. Metode standar untuk deteksi dini retardasi mental sekarang telah tersedia, dan dapat disesuaikan dengan budaya manapun dengan modifikasi yang tepat. Once a baby is detected or suspected to have mental retardation, it is necessary to provide appropriate stimulation for appropriate development.Ketika seorang bayi terdeteksi atau diduga memiliki retardasi mental, penting untuk memberikan stimulasi yang tepat untuk perkembangannya.

Babies who are at risk or detected with delayed development should receive sensory-motor stimulation. Bayi yang berisiko atau terdeteksi dengan perkembangan yang tertunda harus mendapatkan stimulasi sensori-motor.These are techniques by which parents encourage and teach babies to use and develop their sensory (vision, hearing and touch) and motor (grasping, reaching, manipulating, and transferring) faculties. Ini adalah teknik di mana orang tua mendorong dan mengajarkan bayi mereka untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan sensorik mereka (penglihatan, pendengaran dan sentuhan) dan kemampuan motorik (menggenggam, menggapai, memanipulasi, dan memindahkan).Techniques include actively engaging with the child by caressing, talking, showing bright objects, playing to elicit laughter, tickling, gentle massaging, bouncing, putting the child in different positions and places, using toys and play materials to arouse the child's interest, guiding the hands to manipulate things and so on. Teknik ini juga meliputi aktif terlibat dengan anak dengan membelai, berbicara, menunjukkan benda-benda terang, bermain untuk membuat anak tertawa, menggelitik, memijat lembut, menempatkan anak dalam posisi dan tempat yang berbeda, menggunakan mainan dan memainkan benda-benda untuk membangkitkan minat anak, membimbing tangan anak untuk melakukan sesuatu dan sebagainya. Such stimulation is necessary for normal development. Stimulasi semacam itu sangat dibutuhkan untuk perkembangan normal.Children with developmental delay need it all the more, because they are prone to understimulation. 12

Training in Self-help, Social and Practical Skills 3. Pelatihan Self-help, Keterampilan Praktis dan Keterampilan Sosial

Normal children learn the skills of daily living such as feeding, dressing, toilet training, and social skills such as playing, mixing, and interacting with others easily, by watching others and with some adult guidance and teaching. Anak normal mempelajari keterampilan hidup sehari-hari (makan, berpakaian, toilet training, dan keterampilan sosial seperti bermain, dan berinteraksi dengan orang lain) dengan mudah, yaitu dengan mengamati orang lain dan bimbingan orang dewasa.But children with mental retardation often do not learn these skills on their own. Tapi anak-anak dengan retardasi mental sering tidak mampu mempelajari keterampilan-keterampilan tersebut.Through systematic efforts and using proper techniques, it is possible to teach and train them in these skills. Melalui upaya sistematis dan menggunakan teknik yang tepat, sangat mungkin untuk mengajar dan melatih mereka melakukannya. Behaviour modification techniques are very useful and Tekhnik dengan modifikasi tingkah laku sangat berguna dan effective in teaching.efektif dalam penatalaksanaan anak-anak dengan retardaasi mental, termasuk di antaranya These include::

Reinforcement positif dan pemberian reward: Memperhatikan, memuji anak dan memberikan beberapa hadiah seperti permen atau mainan setiap kali anak menunjukkan perilaku yang diinginkan atau berusaha untuk belajar, dapat meningkatkan motivasi anak untuk belajar.

Modelling : Menunjukkan anak bagaimana cara melakukan sesuatu dan mendorong anak untuk memulai melakukan hal yang sama merupakan metode yang bagus untuk mengajarkan anak. This is better than just orally telling or instructing the child. Ini lebih baik daripada hanya secara lisan mengatakan atau menginstruksikan anak.

Shaping: yaitu mengajarkan bentuk sederhana dari sebuah aktivitas yang rumit, kemudian secara perlahan menaikkan tingkat kesulitannya.

Chaining: Sebuah kegiatan, seperti berpakaian, dapat dipecah menjadi beberapa langkah kecil yang berurutan. The child can be taught these skills step-by-step.Anak dapat diajarkan keterampilan ini langkah demi langkah. Very often, back-chaining or teaching the last step first and then going backwards is more effectiveSeringkali, back-chaining atau mengajarkan terlebih dahulu langkah terakhir dan kemudian mundur merupakan cara yang lebih efektif.

Physical guidance : Jika anak tidak dapat belajar dengan cara modelling, ia dapat diajarkan dengan cara memegang tangan anak dan menunjukkan mereka bagaimana suatu hal dilakukan. After many such repetitions, the physical guidance can be slowly withdrawn so that the child learns to do the task independently. Setelah pengulangan seperti itu, bimbingan secara fisik ini dapat perlahan-lahan ditarik sehingga anak belajar untuk melakukan tugas secara independen.12

4. Terapi Bicara

Speech and language are very important and highly specialized functions for human beings.Bicara dan bahasa adalah fungsi yang sangat penting dan sangat khusus bagi manusia. They serve the crucial purpose of communicating one's own feelings and thoughts to others. Bicara dan bahasa memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan perasaan dan pikiran seseorang kepada orang lain.Mental retardation is often accompanied by a significant limitation in the development of speech and language. Retardasi mental sering disertai dengan keterbatasan yang signifikan dalam perkembangan bicara dan bahasa.Research has again shown that a systematic application of speech therapy techniques is effective in promoting speech, language and communication. Penelitian telah memperlihatkan bahwa aplikasi sistematis teknik terapi wicara, efektif dalam meningkatkan kemampuan bicara dan bahasa. Speech therapy is required in many children with mental retardation. Terapi bicara dibutuhkan pada anak dengan retardasi mental.12

5. Pendidikan

Ketika mereka tumbuh dan menguasai aktivitas hidup sehari-hari, anak-anak dengan retardasi mental perlu diberikan pendidikan seperti anak-anak lainnya. Going to school is essential for them to learn not only academic skills but also discipline, social/interactional skills, and practical skills for community living.Sekolah sangat penting bagi mereka bukan hanya untuk memperoleh kemampun akademik tetapi juga untuk beajar disiplin, keterampilan sosial/interaksi, dan keterampilan praktis untuk kehidupan bermasyarakat. Though they are slow in learning, experience and research has shown that by applying the right kind of educational techniques, it is possible to impart the basic skills of reading, writing, and arithmetic to many with mental retardation. Meskipun mereka lambat dalam belajar, pengalaman dan penelitian telah menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknik pendidikan yang tepat, sangat mungkin untuk memberikan keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung bagi banyak anak dengan retardasi mental. The current approach is to educate them, as far as possible, in normal schools, rather than setting up special schools (inclusive education). Pendekatan saat ini dalam hal pendidikan, sebisa mungkin, menempatkan mereka di sekolah normal, daripada mendirikan sekolah khusus (pendidikan inklusif). This especially applies to those with milder forms of mental retardation.Hal ini terutama untuk mereka yang memiliki bentuk ringan dari retardasi mental.However, more severely retarded children may benefit better in educational settings meant for them (special schools). Namun, anak dengan retardasi mental yang lebih parah akan lebih baik ditempatkan di sekolah khusus. Another approach, which is interesting, is to conduct special classes only for them in normal schools itself (opportunity sections). Pendekatan lain, adalah dengan membuat kelas khusus untuk mereka di sekolah normal (opportunity sections).10Whatever may be the approach, it is important to realize that even children with mental retardation need educational experience, to ensure their optimum development and well-being. Apapun pendekatan yang dipilih, penting untuk menyadari bahwa bahkan anak-anak dengan retardasi mental pun membutuhkan pendidikan, untuk menjamin perkembangan optimal dan kesejahteraan mereka.12

Anak dengan retardasi mental ringan(IQ 50-70), yang disebut golongan mampu didik, mendapatkan pelajaran setaraf sekolah dasar, namun dengan cara dan kecepatan mengajar yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pengajar haruslah guru khusus terdidik dalam bidang pendidikan mereka.

Anak dengan retardasi mental sedang (IQ 30-50) digolongkan ke dalam kelompok mampu latih. Pada mereka lebih banyak diberikan latihan dalam berbagai macam bidang keterampilan seperti menjahit, menyulam, memasak dan membuat kue pada anak wanita, atau pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan perkebunan pada anak laki-laki. Diharapkan bahwa dengan keterampilan tersebut mereka dapat mandiri di kemudian hari, atau mereka dapat bekerja dalam suatu shltered workshop. Di Indonesia belum ada sheltered workshop untuk mempekerjakan anak-anak dengan retardasi mental.

Sekolah untuk anak tuna grahita ini disebut SLB-C. dahulu, sebelum didirikan sekolah khusus ini, anak dengan retardasi mental dimasukkan ke sekolah dasar normal. Mereka dengan sendirinya tidak mampu mengikuti pelajaran, sehingga setiap kelas biasanya diulang beberapa kali. Biasanya mereka dicap sebagai anak bodoh dan seringkali menjadi bahan cemoohan teman mereka. Hal ini tentu saja tidak membantu perkembangan kepribadian anak tersebut yang merasa makin kehilangan kepercayaan dirinya. Banyak yang kemudian mogok sekolah dan samasekali menarik diri dari pergaulan.

Anak dengan kecerdasan yang rendah ini kurang dapat meberikan penilaian tentang baik-buruknya suatu tindakan tertentu, misalnya mencuri, merampas, melakukan kejahatan seksual dan sebagainya. Pendidikan dalam SLB sedikitnya melindungi mereka terhadap hal-hal tersebut diatas.

Dengan makin majunya pendidikan maka ada beberapa anak yang sekolah di SLB mendapat kemajuan sedemikian rupa, sehingga mereka dapat dipindahkan kembali ke SD biasa. Bahkan di negara yang maju seperti di amerika sudah mulai dilakukan pendidikan terpadu. Anak-anak dengan retardasi mental pada beberapa pelajaran tertentu, seperti misalnya olahraga, keterampilan, kesenian, diikut sertakan dalam kelas SD yang normal.

Juga dianjurkan adanya sekolah terpadu, kelas bagi anak retardasi mental berada dibawah satu atap dengan kelas anak yang normal. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghapus stigma yang melekat pada anak dengan retardasi mental, dengan membiasakan mereka bergaul bersama anak yang normal. Di Indonesia pendidikan terpadu sulit dilaksanakan pleh karena sistem kurikulum kita yang samasekali berbeda dengan yang ada di Barat. Juga masyarakat di Indonesia perlu mendapatkan penerangan dan pendidikan tentang pengertian retardasi mental, agar mereka dapat menerima anak yang terbelakang tersebut dengan wajar sebagaimana adanya.12

6. Pelatihan Kejuruan

Studies have shown that this is indeed possible for the majority.Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak muda dengan retardasi mental dapat mengikuti pelatihan kejuruan dan kemudian dipekerjakan. But there are many hurdles. Tapi ada banyak rintangan. One major hurdle is attitudinal - there is a common tendency to underestimate the capabilities of these people. Salah satu rintangan utama adalah adanya kecenderungan untuk meremehkan kemampuan mereka.

It should be remembered that such gainful occupation is not only possible but also helpful for the mental health, self-satisfaction, and social status of these individuals.Harus diingat bahwa mendapatkan pekerjaan juga akan berdampak baik bagi kesehatan mental, kepuasan diri, dan status social dari para penderita retardasi mental. There are many innovative examples of how this can be achieved, eg, villages can offer a variety of agro-based opportunities for gainful employment of these people. Ada banyak contoh inovatif tentang bagaimanahal ini dapat dicapai, misalnya, desa dapat menawarkan berbagai peluang di bidang pertanian untuk mempekerjakan mereka.12

2.8 Pencegahan

Prevensi primer adalah usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit, yang dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu: (1) Memberikan perlindungan yang spesifik terhadap penyakit-penyakit tertentu, misalnya dengan memberikan imunisasi; (2) Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, perumahan yang sehat, mengajarkan cara-cara hidup sehat, dengan maksud meninggikan daya tahan tubuh terhadap penyakit.

Prevensi sekunder adalah untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin dan memberikan pengobatan yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi pada susunan saraf pusat. Misalnya, identifikasi dini dan penanganan yang tepat berbagai kondisi yang dapat ditanggulangi, seperti hipotiroidisme, dapat mencegah terjadinya retardasi mental di kemudian hari. Intervensi yang cepat dan tepat terhadap berbagai penyakit anak, seperti keracunan timah atau hematoma subdural pascatrauma, mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan sel otak. Diagnosis dan koreksi dini defek sensoris pada anak, dapat meningkatkan secara maksimal kemungkinan anak tersebut untuk mendapatkan rangsangan sensoris, sehingga dapat dicegah terjadinya retardasi mental akibat defisiensi sensoris. 11

2.9 Komplikasi

Anak dengan retardasi mental memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya gangguan penglihatan, pendengaran, ortopedi, dan perilaku atau emosi.Deficit yang paling umum terjadi diantaranya gangguan motoric, ganngguan perilaku atau emosi, komplikasi medis, dan kejang.Makin parah tingkat retardasi makin banyak kompikasi yang terjadi.Dengan mengetahui tingkat retardasi mental dapat membantu memprediksi ganngguan yang dapt terjasi.Sindrom Fragile Xdan Sindrom Fetal Alcohol dihubungkan dengan tingginya angka kejadian gangguan perilaku; Down Syndrome memiliki banyak komplikasi medis ( hipotiroidisme, Celiace disease, penyakit jantung bawaan). Bila gangguan tersebut terjadi dibutuhkan terapi fisik jangka panjang, occupational terapi, terapi wicara, alat bantu dengar, dan obat-obatan medis. Kegagalan dalam mengidentifikasi dan tata laksana adekuat terhadap gangguan yang terjadi dapat menghambat kesuksesan dan rehabilitasi dan menyebabkan kesulitan daalam aktifitas di sekolah, rumah, dan lingkungan. 2

2.10 Prognosis

Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya lebih baik. Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak dengan retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit kardiorespirasi, pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan orang yang normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan masalah kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda.3

Pada anak dengan retardasi mental berat, gejalanya telah dapat terlihat sejak dini. Retardasi mental ringan tidak selalu menjadi gangguan yang berlangsung seumur hidup. Seorang anak bisa saja pada awalnya memenuhi kriteria retardasi mental saat usianya masih dini, namun seiring dengan bertambahnya usia, anak tersebut dapat saja hanya menderita gangguan perkembangan (gangguan komunikasi, autisme, slow learner-intelejensia ambang normal). Anak yang didiagnosa dengan retardasi mental ringan di saat masa sekolah, mungkin saja dapat mengembangkan perilaku adaptif dan berbagai keterampilan yang cukup baik sehingga mereka tidak dapat lagi dikategorikan menderita retardasi mental ringan, atau dapat dikatakan efek dari peningkatan maturitas menyebabkan anak berpindah dari satu kategori diagnosis ke kategori lainnya (contohnya, dari retardasi mental sedang menjadi retardasi mental ringan). Beberapa anak yang didiagnosis dengan gangguan belajar spesifik atau gangguan komunikasi dapat berkembang menjadi retardasi mental seiring dengan berjalannya waktu. Ketika masa remaja telah dicapai, maka diagnosis biasnya telah menetap.

Prognosis jangka panjang dari retardasi mental tergantung dari penyebab dasarnya, tingkat defisit adaptif dan kognitif, adanya gangguan perkembangan dan medis terkait, dukungan keluarga, dukungan sekolah/masyarakat, dan pelayanan dan training yang tersedia untuk anak dan keluarga. Saat dewasa, banyak penderita retardasi mental yang mampu memenuhi kebutuhan ekonmi dan sosialnya secara mandiri. Mereka mungkin saja membutuhkan supervisi secara periodik, terutama di saat mengalami masalah sosial maupun ekonomi. Kebanyakan penderita dapat hidup dengan baik dalam masyarakat, baik secara mandiri maupun dalam supervisi. Angka harapan hidup tidak terpengaruh oleh adanya retardasi mental ini.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Yatchmink Yvette. Keterlambatan Perkembangan: Maturasi Yang Tertinggal Hingga Retardasi Mental. In: Bani PA, Limanjaya D, Anggraini D, Mahanani DA, Hartanto H, Mandera LI, et al, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph. 20th ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 136-9.

2. Shapiro Bruce K, Batshaw Mark L. Mental Retardation (Mental Disability). In: Shreiner Jennifer, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p. 191-7.

3. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 1995.

4. Armatas V. Mental Retardation: Definitions, Etiology, Epidemiology, and Diagnosis. Jurnal of Sport and Health Research 2009; 1 (2): 112-122.

5. Prugh Dane G. Mental Retardation. The Psychosocial Aspects of Pediatrics. Philadelphia: Lea & Febiger; 1983. p. 395-412.

6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pertumbuhan, perkembangan otak pada bayi dan anak [Online]. 2009; available from: URL: http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1983413154521

7. Goldson Edward, Reynolds Ann. Child Development & Behavior. In : Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, editors. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics. 20th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2011. p. 99-103.

8. OCallaghan M. Developmental Disability. In: Roberton DM, South M, editor. Practical Pediatrics. 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2006. p. 108-14.

9. Santrock John W. Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.

10. Hull David, Johnston Derek I. Gangguan Mental. In: Yusna Daulika, editor. Dasar-Dasar Pediatri. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2008. p. 300-7.

11. Budhiman Melly. Perkembangan Mental. In: Markum AH, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI; 2002. P 68-9.

12. South East Asian Regional Office. Mental Health and Substance Abuse [Online]. 2011; available from: URL: http://www.searo.who.int/en/Section1174/Section1199/Section1567/Section1825_8090.htm

13. Sularyo Titi Sunarwati, Kadim Muzal. Retardasi Mental. Sari Pediatri 2000 Dec; 2 (3): 170-7.