Upload
firman54321
View
80
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit trofoblastik gestasional adalah sekelompok penyakit yang berasal
dari khorion janin. Dapat terdiri dari mola hidatidosa, mola invasif, koriokarsinoma
dan tumor trofoblastik di tempat implastasi plasenta yang lebih dikenal dengan
placental site trophoblastic tumor (PSTT) yang ditandai oleh proliferasi jaringan
trofoblastik yang abnormal.1
Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas gestasional
dan dapat mengalami transformasi menjadi bentuk ganasnya yaitu koriokarsinoma.
Koriokarsinoma tidak selalu berasal dari mola hidatidosa namun tidak jarang berasal
dari kehamilan normal, prematur, abortus maupun kehamilan ektopik yang jaringan
trofoblasnya mengalami konversi menjadi tumor trofoblas ganas. Bila seorang wanita
menderita koriokarsinoma dan mempunyai riwayat kehamilan biasa dan mola
sebelumnya, maka dengan pemerikasaan DNA kita dapat menentukan apakah
koriokarsinoma ini berasal dari mola atau kehamilan biasa.2
Tumor trofoblastik di tempat implantasi plasenta merupakan tumor trofoblas
gestasional yang berasal dari sel-sel trofoblas pada tempat implantasi plasenta dan
memiliki gambaran klinik yang berbeda dengan tumor trofoblas gestasional lain.
Tetapi penelitian sitogenetik, imunohistokimia menunjukkan perbedaan yang jelas
dalam etiologi morfologi dan perilaku klinis. Dari berbagai penelitian dan laporan
klinisi menunjukkan pentingnya klasifikasi histologis yang seragam untuk
memastikan penanganan klinis yang sesuai. Namun istilah penyakit trofoblas ganas
(PTG) tetap memiliki kegunaan klinis karena prinsip monitoring hCG dalam follow
up dan kemoterapi dari penyakit metastatik yang serupa.2
Di negara-negara yang sudah maju pengelolaan mola hidatidosa dan tumor
trofoblas gestasional tidak merupakan masalah karena sebagian besar telah
1
terdiagnosis pada stadium dini, sebaliknya dinegara-negara yang sedang berkembang
pada umumnya diagnosis terlambat maka penyulit-penyulit seperti perdarahan,
tirotoksikosis, invasi dan metastasis tumor masih menjadi salah satu penyebab
kematian ibu.2
BAB II
PEMBAHASAN
2
I. IMUNOHISTOKIMIA MORFOLOGI TROFOBLAS NORMAL.1
Kehamilan normal adalah suatu allograf dengan separuh kromosom berasal
dari ibu dan separuh lainnya berasal dari paternal. Sel trofoblas dari kehamilan
normal (sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas) pada awalnya menunjukkan sifat-sifat
ganas, cepat membelah, menginvasi bahkan bermetastasis. Sesudah sembilan bulan
terjadi pemisahkan graf plasenta dari ibu secara sempurna. Dengan demikian
terminasi kehamilan berlangsung dengan baik dan pertumbuhan sel trofoblas dapat
terkontrol dan berhenti secara spontan. Koriokarsinoma merupakan pertumbuhan
yang tak terkontrol dan neoplastik dari trofoblas, sito dan sinsitiotrofoblas dalam
kuantitas yang berbeda.1
Pada plasenta normal, tumor yang tumbuh berkaitan dengan vili korionik
yang disebut sebagai trofoblas vilus dan trofoblas pada lokasi lain disebut trofoblas
ekstravilus. Ada 3 tipe sel yang diketahui, yaitu : sitotrotrofoblas, sinsitiotrofoblas,
dan trofoblas intermediet. Trofoblas vilus terdiri dari sitotrotrofoblas dan
sinsitiotrofoblas dan sedikit trofoblas intermediet. Sebaliknya trofoblas ekstravilus
yang menginfiltrasi desidua, miometrium dan arteri spiralis di plasental site terutama
terdiri dari trofoblas intermediet dengan sedikit sitotrotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.2
Trofoblas ekstravilus terdiri dari sel mononukleus dengan sitoplasma
eosinofilik padat. Secara imunologis kimia tercat positif untuk hPL dan sitokeratin,
sedikit lemah untuk hCG dan untuk plasental alkalin fosfatase (PLAP). Istilah
trofoblas intermediet telah diajukan untuk trofoblas nonvilus dan memiliki gambaran
morfologi, fungsional sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. Sampai saat ini fungsi dan
perbedaan fisiologis dari tipe-tipe ini masih diteliti oleh para ahli.2,3
A. Imunohistokimia.2
3
Sejumlah besar hormon protein, steroid dan eosin seperti hCG, hPL,
Pregnancy spesifik BI glikoprotein (SP-I), plasental protein G, Pregnancy associated
plasma protein A, estradiol, progesteron dan plasental alkaline fosfatase dapat
dilokalisir di plasenta. Kebanyakan produk ini dihasilkan oleh sitotrofoblas.2
Trofoblas intemediet mengadung hPL dalam jumlah besar yang mulai pada
hari ke 12 dan tetap ada sampai 6 minggu, setelah itu menghilang. Sitotrofoblas tidak
mempunyai hCG/hPL. Sinsitiotrofoblas mengandung hCG dalam jumlah besar pada
hari ke 12 sampai minggu ke 8 – 10. Pada plasental site, hPL membantu
membedakan trofoblas intermediet dengan desidua dan sel otot polos. Karena sel
trofoblas juga adalah sel epitel, maka imunohistokimia untuk keratin juga membantu
mengidentifikasi jaringan lain. 2
B. Mikroskopis.3
Pada gestasi normal, sitotrofoblas terdiri dari sel epitel primitif yang uniform
dan poligonal seperti berbentuk oval. Sitotrofoblas memiliki nukleus tunggal,
sitoplasma jernih sampai granuler dan batas sel yang jelas dan aktivitas mitotik
terlihat jelas. Sinsitiotrofoblas terdiri dari sel multinuklear, besar, dengan sitoplasma
amfofilik dengan vakuol multipel yang bervariasi ukurannya dan beberapa dengan
lakuna. Nukleus sinsitiotrofoblas berwarna gelap dan terkadang piknotik dan tidak
ada aktivitas mitotik.3
Trofoblas intermediet umumnya adalah sel mononuklear, tetapi terkadang ada
juga yang mempunyai inti lebih dari satu. Bentuknya dapat bervariasi, mulai dari sel
polihedral sampai berbentuk spindel, sel bipolar dengan proses sitoplasmik.
Sitoplasmanya banyak dan berwarna eosinofilik sampai amfofilik. Vakuolanya kecil
dan terpisah. Nukleusnya memiliki batas nukleus ireguler dan hiperkromatik,
terkadang berlobulasi membentuk celah yang dalam. Nukleus trofoblas intermediet
lebih kecil dan lebih jelas bila dibandingkan dengan sitotrofoblas.2,3
4
Trofoblas intermediet menginfiltrasi desidua, miometrium dan pembuluh
darah, meyelip diantara sel normal. Material fibrinoid eosinofilik terkadang
terkumpul di sekitarnya.3
II. KLASIFIKASI DAN TERMINOLOGI.3
A. Klasifikasi
Sebelum 1982 dipergunakan berbagai istilah dalam PTG sehingga
menyulitkan perbandingannya. Sebagai upaya menyeragamkan terminologi pada
tahun 1983, WHO mengusulkan suatu sistem yang diterima secara luas. Terminologi
WHO menyatakan bahwa diagnosis bentuk ganas dari PTG ditegakkan berdasarkan
parameter klinis atau biokimiawi dan bukan atas dasar pemeriksaan histopatologi.
Umumnya diagnosis histopatologi tidak diperlukan, karena tumor marker untuk
penyakit ini yakni hCG bila diperiksa dengan cara RIA mempunyai spesifitas dan
sensitivitas yang sangat tinggi.
A. Klasifikasi Histopatologi
1. Mola hidatidosa
2. Mola invasif
3. Koriokarsinoma
4. PSTT
B. Klasifikasi Klinis
1. Penyakit trofoblas gestasional
2. Tumor trofoblas gestasional
3. Metastatik trofoblas gestasional
B. Terminologi
Terminologi histopatologik yang dipakai adalah sebagai berikut :
1. Molahidatidosa.
5
Suatu terminologi umum yang mencakup 2 penyakit yang berbeda,
molahidatidosa komplit dan molahidatidosa parsial, dengan gejala berupa
degenerasi hidropik vili sebagian atau seluruhnya vili dan proliferasi
trofoblas.
2. Molahidatidosa komplit
Suatu konseptus abnormal tanpa embrio – fetus, dengan pembengkakan
hidropik dari vili plasenta dan hiperplasia kedua lapisan trofoblas.
Pembengkakan vili mengakibatkan terbentuknya gelembung-gelembung
jaringan ikat yang telah kehilangan vaskularisasinya.
3. Molahidatidosa parsial
Suatu konseptus abnormal dengan suatu embrio – fetus yang biasanya cepat
mati, dengan suatu plasenta dimana sebagian vilinya membengkak
membentuk gelembung-gelembung dan dengan fokal-fokal hiperplasia
trofoblas, biasanya hanya sinsisiotrofoblas saja. Vili yang tidak terkena
tampak normal dan vaskularisasi vili menghilang setelah kematian fetus.
6
Gambar 1. Gambaran morfologi villi. A. Villi korealis normal
B. Mola parsial (kasus triploid,69, XXY). Villi normal
diselingi yang hidropik. C. Mola komplit (46,XX). Seluruh
villi mengalami hidrofik.
Dikutip dari Vassilakos20
4. Mola invasif
Suatu tumor atau proses seperti tumor yang menyerbu ke dalam
miometrium dan bercirikan hiperplasia trofoblas dan tetap adanya struktur
vili plasenta. Biasanya timbul dari molahidatidosa komplit tapi dapat juga
dari molahidatidosa parsial. Jarang berkembang menjadi koriokarsinoma.
Dapat bermetastasis tapi tidak menunjukkan perkembangan dari suatu
kanker dan dapat mengalami regresi spontan.
7
5. Koriokarsinoma gestasional
Suatu karsinoma yang timbul dari epitel trofoblas yang menunjukkan
elemen sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. Dapat timbul dari suatu
konsepsi yang berakhir dengan suatu kelahiran hidup, lahir mati, abortus,
kehamilan ektopik atau molahidatidosa.
6. Tumor trofoblas tempat plasenta (plasental site trophoblastic tumour)
Suatu tumor yang timbul dari trofoblas pada tempat implantasi plasenta
dan terdiri terutama dari sel-sel sitotrofoblas.
7. Degenerasi hidropik
Suatu keadaan dari vili plasenta dengan ciri adanya dilatasi dan
peningkatan kandungan cairan atau pencairan (liquefaction) dari stroma
vilus, tapi tanpa hiperplasia trofoblas. Ini harus dibedakan dengan
molahidatidosa dan tidak akan berubah menjadi ganas.
Terminologi klinis.
Walaupun diketahui bahwa mola invasif dan koriokarsinoma menunjukkan
perbedaan biologik dan prognostik yang penting, penatalaksanaan klinis dari
kelainan-kelainan ini sering harus dilakukan tanpa diagnosis histopatologik. Ini
berakibat timbulnya terminologi yang mencakup kedua keadaan ini. Namun
demikian, adalah penting bahwa terminologi ini sedekat mungkin menggambarkan
kelainan histopatologik dan bila mungkin perjalanan penyakitnya.
1. Penyakit trofoblas gestasional
Suatu terminologi umum yang mencakup molahidatidosa, mola invasif,
tumor trofoblas tempat plasenta (placental site trophoblastic tumour) dan
koriokarsinoma. Dengan demikian mencakup baik kelainan yang jinak
maupun ganas.
8
2. Tumor trofoblas gestasional
Suatu keadaan penyakit dimana terdapat bukti klinik adanya mola invasif
atau koriokarsinoma. Kategori ini selanjutnya dibagi menurut kehamilan
sebelumnya sebagai pascamola, pascaabortus, pasca persalinan atau
kehamilan yang tidak diketahui.
3. Tumor trofoblas bermetastasis
Suatu keadaan penyakit dimana terdapat bukti adanya mola invasif atau
koriokarsinoma yang telah menyebar keluar dari korpus uteri.
9
BAB III
PENYAKIT TROFOBLAST JINAK
Mola Hidatidosa.3,4,5,6
Molahidatidosa adalah suatu kehamilan abnormal, dimana vili yang normal
digantikan oleh gelembung-gelembung akibat degenerasi hidropik vili korealis
disertai proliferasi sel-sel trofoblas dalam berbagai derajat.
Bila tidak ditemukan embrio atau janin, disebut molahidatidosa komplit atau
molahidatidosa klasik, sedangkan bila ditemukan unsur janin atau plasenta normal
disamping gelembung-gelembung mola, disebut molahidatidosa parsialis. Walaupun
jarang, kadang-kadang ditemukan molahidatidosa pada kehamilan ganda dizigotik,
dimana ditemukan plasenta normal dengan janin dan sekelompok gelembung-
gelembung mola.
Walaupun sebagian besar penderita mola hidatidosa dapat sembuh spontan,
namun bila diagnosis dan pengelolaannya terlambat, penderita dapat meninggal
karena perdarahan, infeksi maupun akibat tumor trofoblas gestasional pasca mola
hidatidosa.
Ada kalanya pada sediaan abortus atau plasenta aterm, ditemukan beberapa
bagian yang mengalami degenerasi hidropik. Keadaan semacam ini tidak dimasukan
ke dalam mola hidatidosa, tetapi disebut sub molaire. Baru setelah diadakan
penelitian sitogenik pada tahun 1970-an oleh antara lain Kajii, Vassilokos, Szulman
dan lain-lain, dicapai kesepakatan bahwa mola hidatidosa itu terdiri dari dua jenis :
1. Mola hidatidosa komplit (MHK)
2. Mola hidatidosa parsialis (MHP)
10
Insidensi
Pada kebanyakan kasus, mola tidak berkembang menjadi keganasan, namun
sekitar 2-3 kasus per 1000 wanita, mola dapat berubah menjadi ganas dan disebut
koriokarsinoma. Kemungkinan terjadinya mola berulang berkisar 1 dari 1000 wanita.
1. Mola hidatidosa komplit (MHK)
Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili korialisnya
mengalami degenerasi hidropik yang menyerupai anggur hingga sama sekali tidak
ditemukan unsur janin. Secara mikroskopik tampak edema stroma vili tanpa
vaskularisasi disertai hyperplasia dari kedua lapisan trofoblas.
Kadang – kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X dan 23 Y
(dispermi) sehingga terjadi 46 X atau 46 Y. Disini MHK bersifat heterozigot, tetapi
tetap androngenetik dan bisa terjadi, walaupun sangat jarang terjadi hamil kembar
dizigotik yang terdiri dari satu bayi normal dan satu lagi MHK.
Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk
kista atau gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3cm,
berdinding tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau
edema. Kalau ukurannya kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau
besar tampak seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu MHK
disebut juga kehamilan anggur. Tangkai tersebut melekat pada endometerium.
Umumnya seluruh endometerium dikenai, bila tangkainya putus terjadilah
perdarahan. Kadang-kadang gelembung-gelembung tersebut diliputi oleh darah
merah atau coklat tua yang sudah mengering. Sebelum ditemukan USG, MHK dapat
mencapai ukuran besar sekali dengan jumlah gelembung melebihi 2.000 cc.
11
Faktor Resiko
1. Faktor Umur : risiko MH paling rendah pada kelompok umur 20-35 tahun.
risiko MH naik pada kehamilan remaja < 20 tahun,Naik sangat tinggi pada
kehamilan remaja < 15 tahun, kira-kira 20 x lebih besar. tinggi pada umur
> 40 tahun,naikan sangat menyolok pada umur = 45 tahun
2. Faktor Riwayat Kehamilan MH Sebelumnya : Wanita MH sebelumnya,
punya risiko lebih besar naiknya kejadian MH berikutnya
3. Faktor Kehamilan Ganda : mempunyai risiko yang meningkat untuk
terjadinya MH
4. Faktor Graviditas : Risiko kejadian MH makin naik,dengan meningkatnya
graviditas. (kontroversial)
5. Faktor Kebangsaan / Etnik : wanita kulit hitam meningkat,dibanding
wanita lainnya. Euroasian turun dua kali lipat dibanding wanita Cina,
India atau Malaysia.
6. Faktor Genetika : frekuensi Balance Tranlocation, wanita dengan MH
komplit lebih banyak dibandingkan dengan yang didapatkan pada
populasi normal
7. Faktor Makanan dan Minuman : angka kejadian MH tinggi diantara wanita
miskin, diet yang kurang protein, kelainan genetik pada kromosom.
(kontroversi)
8. Faktor Sosial Ekonomi : resiko MH tinggi pada sosial ekonomi rendah
(kontroversi)
9. Faktor Lain : Faktor hubungan keluarga/consanguinity, Faktor merokok,
Faktor toksoplasmosis.
Etiologi
Etiologi penyakit trofoblas sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti.
Namun ada beberapa teori yang mencoba menerangkan terjadinya penyakit trofoblas
yaitu teori desidua, teori telur, teori infeksi dan teori hipofungsi ovarium.
12
1. Teori desidua
Menurut teori ini terjadinya molahidatidosa ialah akibat perubahan-perubahan
degeneratif sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis. Dasar teori ini adalah selalu
ditemukan desidual endometritis, pada binatang percobaan dapat terjadi
molahidatidosa bila pembuluh darah uterus dirusak sehingga terjadi gangguan
sirkulasi pada desidua.
2. Teori telur
Menurut teori ini molahidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan pada telur,
baik sebelum diovulasikan maupun setelah dibuahi.
3. Teori infeksi
Bagshawe, melaporkan bahwa ada sarjana yang dapat mengisolasi sejenis virus
pada molahidatidosa. Virus ini kemudian ditransplantasikan pada selaput
korioalantoin mudigah ayam, ternyata kemudian terjadi perubahan-perubahan khas
menyerupai molahidatidosa, baik secara makroskopik maupun mikroskopik.
Selain itu molahidatidosa diduga disebabkan oleh toksoplasmosis, teori ini
dikemukakan oleh Bleier. Teori ini didasarkan pada penemuan toksoplasmosis
Gondii dalam jumlah besar pada darah penderita molahidatidosa.
4. Teori hipofungsi ovarium
Teori ini dikemukakan oleh Hasegawa, berdasarkan penelitian beberapa orang ahli
yaitu Courrier dan Gros yang melakukan kastrasi pada seekor kucing, 15–17
hari setelah pembuahan. Ternyata kemudian pada plasentanya ditemukan
perubahan-perubahan yang menyerupai molahidatidosa. Karzafina melaporkan
bahwa 60% penderita molahidatidosa yang ditelitinya berumur 18–21 tahun,
disertai oleh hipofungsi ovarium. Smalbreak melaporkan bahwa dari hasil
penelitiannya ditemukan angka kejadian molahidatidosa yang tinggi pada
perempuan muda, dimana fungsi seksualnya masih imatur. Menurut Hasegawa
molahidatidosa diduga disebabkan oleh teori defisiensi estrogen, yang didukung
oleh data-data penelitian yang melaporkan bahwa 60% penderita molahidatidosa
13
berumur 18–21 tahun dan disertai hipofungsi ovarium. Serta insidens
molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda dan pada perempuan tua
dimana fungsi ovarium telah menurun.
4. Faktor lain
Selain teori-teori tersebut di atas, masih ada beberapa teori lain yang
menghubungkan dengan faktor-faktor yang diduga mempunyai peranan dalam
etiologi penyakit trofoblas. Faktor-faktor tersebut ialah faktor malnutrisi, faktor
golongan darah dan faktor sitogenetik.
A. Faktor nutrisi
Penelitian-penelitian awal yang dilakukan pada tahun 1960 di Meksiko
dan Filipina menggambarkan bahwa frekuensi penyakit trofoblas
gestasional yang terjadi diantara kelompok sosial rendah di negara-negara
berkembang dapat dijelaskan dengan keadaan malnutrisi dan terutama
rendahnya asupan protein.
Dikatakan bahwa malnutrisi memegang peranan dalam terjadinya
molahidatidosa. Terlihat di negara-negara miskin dimana banyak kasus
defisiensi protein, angka kejadian molahidatidosa jauh lebih tinggi. Tetapi
penelitian-penelitian di Iran, Alaska, Jepang dan Malaysia mendapatkan
angka kejadian molahidatidosa yang tinggi dengan makanan sehari-hari
mereka yang tinggi protein, atas dasar ini maka diragukan defisiensi
protein sebagai faktor yang berperan dalam timbulnya molahidatidosa.
Akhir-akhir ini diduga bahwa penderita molahidatidosa kurang
mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber vitamin A dan lemak
hewani. Dikatakan bahwa terjadinya penyakit ini berbanding terbalik
dengan konsumsi beta karoten. Juga dikatakan risiko untuk mendapat
molahidatidosa pada perempuan dengan konsumsi beta karoten di atas
rata-rata adalah 0,6 kali.
14
Andrijono dkk, dalam penelitiannya mendapatkan bahwa walaupun secara
statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, terbukti bahwa
persentase defisiensi vitamin A pada penderita molahidatidosa (43,33%)
lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (23,33%). Juga dikatakan bahwa
risiko molahidatidosa akan meningkat 6,29 kali jika terjadi pada
perempuan kurang dari 24 tahun, hamil dan mengalami defisiensi vitamin
A yang berat.
B. Faktor golongan darah
Bagshawe mengemukakan bahwa perempuan dengan golongan darah A,
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya koriokarsinoma bila
mempunyai suami golongan darah O, dibandingkan dengan perempuan
golongan darah A, tetapi dengan suami golongan darah A. Faktor
golongan darah Rhesus juga dianggap berperan, berdasarkan kenyataan
bahwa angka kejadian molahidatidosa lebih tinggi pada orang Timur yang
hampir seluruhnya mempunyai faktor Rhesus positif.
C. Faktor sitogenetik
Penelitian tentang sitogenetik pada molahidatidosa mulai berkembang
pada pertengahan tahun enam puluhan, dipelopori oleh Carr, Baggish dan
Pattillo. Beberapa peneliti melakukan kariotipe pada molahidatidosa
komplit dan molahidatidosa parsial, mereka melaporkan bahwa
molahidatidosa komplit umumnya (95%) mempunyai kromosom diploid
46 XX, hanya 5% yang mempunyai kariotipe 46 XY, hasil dari fertilisasi
sperma 23 X dengan telur kosong yang kemudian membelah
diri/homozigot/monospermik atau fertilisasi telur kosong oleh 2
spermatosoon yang heterozigot/dispermik. Mola dispermik lebih sering
berkembang menjadi ganas. Pada molahidatidosa parsial sering dijumpai
kromosom triploidi/trisomi yang terdiri dari dua set kromosom paternal
dan satu set kromosom maternal yang terjadi karena telur yang normal
oleh dua buah sperma. Mola parsial jarang menjadi ganas. Telah banyak
15
penulis melaporkan bahwa molahidatidosa secara genetik umumnya
berjenis kelamin perempuan , dengan kata lain bahwa kromatin seks
positif banyak ditemukan pada molahidatidosa dibandingkan dengan
abortus. Moegni dan kawan-kawan melaporkan semakin besar jumlah sel
sitotrofoblas yang mengandung kromatin seks, semakin besar pula
kemungkinan menjadi ganas.
Patogenesis
Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini, antara lain
teori hertig dan teori park.
Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah
akibat matinya embrio pada minggu ke 3 – 5 (missed abortion), sehinggga terjadi
penimbunan cairan dalam jaringan mesenhin vili dan terbentukah kista – kista yang
makin lama makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola, sedangkan
proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi.
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun neoplasi. Bentuk
yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal. Keadaan ini menekan
pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian embrio.
Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik
umumnya kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong)
atau yang intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23
X, terjadilah hasil konsepsi dengan kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan
duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot, wanita dan
berasal dari bapak (androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu sehingga disebut Diploid
Androgenetik
16
Teori Diploid Androgenetik (modifikasi dari buku Novak’s Gynecology)
endoreduplikasi
Homozigot
Heterozigot
Nonviable
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang
akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk
membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang.
Karena tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada
hanya bagian ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis yang mengalami
degenerasi hidropik seperti anggur.
Mengapa ada ovum kosong? Hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses
meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi
peristiwa yang disebut nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46
XX. Pada MHK ovum inilah yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain
terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa balance translocation.
17
Ovum Kosong
Ovum Kosong
OvumKosong
46 XX
46 XX
46 XY
23 Y
23 X
23 X
23 X
23 X
46 YY
MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma
sekaligus (dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan atu
haploid 23Y. Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan
dengan dispermi tidak terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi
dan 46 XX hasil pembuahan dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya
berbeda, karena yang pertama berasal dari satu sperma (homozigot) sedangkan yang
kedua berasal dari dua sperma (heterozigot). Ada yang menganggap bahwa 46XX
heterozigot mempunyai potensi keganasan lebih besar. Pembuahan dispermi dengan
dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap tidak pernah bisa terjadi (nonviable)
Patologi Anatomi
1. Makroskopik
Molahidatidosa mempunyai gambaran makroskopik yang sangat khas, yaitu berupa
gelembung-gelembung berisi cairan dengan dinding tipis, kenyal dan tembus
pandang. Gelembung-gelembung tersebut ialah vili korialis yang berisi cairan
jernih, dengan diameter 1 sampai 30 mm. Sebagian besar vili korialis berukuran
cukup besar, bergerombol seperti buah anggur, mempunyai tangkai yang melekat
pada endometrium dengan jumlah seluruhnya dapat mencapai 2000 ml atau lebih.
Menurut Hasegawa, cairan dalam vili korialis tersebut terdiri dari air, albumin,
musin, garam anorganik, NaCl dan asam fosfat natron. Pada molahidatidosa
parsial, selain gelembung-gelembung ditemukan juga kantung amnion yang
kadang-kadang berisi janin.
2. Mikroskopik
Secara mikroskopik molahidatidosa juga mempunyai gambaran yang khas yaitu:
a). Proliferasi abnormal sel-sel trofoblas
Menurut Hasegawa kedua jenis sel trofoblas berproliferasi secara
abnormal. Akan tetapi proliferasi sel-sel sitotrofoblas biasanya tidak
18
sehebat proliferasi sel-sel sinsisiotrofoblas. Proliferasi sel-sel
sinsisiotrofoblas tergantung pada lokasi vili korialis, makin dekat ke
desidua basalis proliferasi makin hebat, dan tergantung nutrisi di antara
sel-sel sinsisiotrofoblas itu sendiri. Proliferasi dikatakan makin hebat bila
ditemukan sel-sel yang bermitosis. Kadang-kadang ditemukan
molahidatidosa yang tidak disertai proliferasi abnormal sel-sel trofoblas.
Oleh Marchand dan Hasegawa keadaan ini disebut sebagai molahidatidosa
sekunder, untuk membedakan dengan molahidatidosa primer yaitu
molahidatidosa yang mempunyai ketiga gambaran histologik yang khas.
Pada molahidatidosa sekunder jarang terjadi perdarahan dan uterus sering
lebih kecil dari seharusnya.
b). Stroma vili korialis hidrofik
Ada 2 teori yang dapat menerangkan terjadinya vili korialis menjadi
hidrofik, yaitu teori degeneratif yang diajukan oleh Hertig dan Edmons
dan teori neoplastik yang diajukan oleh Park. Gambaran mikroskopik vili
korialis tampak udema dan berdegenerasi miksomatosa. Kadang-kadang
masih terlihat sisa-sisa sel stroma yang melekat pada dinding vili korialis.
Besar-kecilnya vili korialis tergantung dari derajat hidrofik vili korialis
tersebut.
c). Pembuluh darah di dalam stroma vili korialis sangat sedikit sampai tidak
ada sama sekali.
Menurut Hasegawa, jumlah pembuluh darah dalam vili korialis tergantung
dari derajat hidrofik stroma vili korialis tersebut. Makin banyak vili
korialis mengandung cairan, makin sedikit mengandung pembuluh darah,
sedangkan menurut Stolte, tidak adanya pembuluh darah, memang
merupakan kelainan utama dalam pembentukan gelembung pada
molahidatidosa.2,10,15,43,44
19
Beberapa penulis yang menyelidiki molahidatidosa dengan mikroskop
elektron, mengatakan bahwa sel sitotrofoblas molahidatidosa secara
keseluruhan tidak berbeda dengan sel sitotrofoblas vili korialis normal.
Sedangkan sel sinsisiotrofoblas berbeda, baik dalam bentuk maupun
struktur organ-organ sitoplasmanya. Selain itu Wynn dan Davies
melaporkan bahwa pada molahidatidosa banyak ditemukan sel-sel
trofoblas transisional, yaitu sel antara sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas.
Atas dasar itu mereka menarik kesimpulan bahwa sel sinsisiotrofoblas
berasal dari sitotrofoblas. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Pierce
dan Midgley. Mereka juga mendapatkan mikrovili dan vesikel pinositosis
pada sel-sel sinsisiotrofoblas, jumlahnya sangat banyak.
Gambaran Klinis
Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa.
Kecurigaaan biasanya terjadi pada minggu ke 14 - 16 dimana ukuran uterus lebih
besar dari kehamilan biasa, pembesaran uterus yang terkadang diikuti perdarahan,
dan bercak berwarna merah darah beserta keluarnya materi seperti anggur pada
pakaian dalam. Tanda dan gejala mola yaitu :
1. Adanya tanda-tanda kehamilan disertai dengan perdarahan pervaginam.
Perdarahan timbul mulai kehamilan 8 minggu, berwarna merah segar karena
berasal dari jaringan mola yang lepas dari dinding uterus. Kadang-kadang
timbul bekuan darah yang tersimpan dalam kavum uterus yang kemudian
akan mencair dan keluar berwarna merah ungu akibat proses oksidasi.
Perdarahan biasanya intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga
menyebabkan syok atau kematian, oleh karena itu umumnya pasien mola
hidatidosa masuk rumah sakit dalam keadaan anemia. Perdarahan uterus
abnormal yang bervariasi dari spotting sampai perdarahan hebat merupakan
gejala yang paling khas dari kehamilan mola dan pertama kali terlihat
20
antara minggu keenam dan kedelapan setelah amenore. Sekret berdarah yang
bkontinyu atau intermitten dapat berkaitan dengan keluarnya vesikel-vesikel
yang menyerupai buah anggur.
2. Hiperemesis gravidarum
yang ditandai dengan nausea dan vomiting yang berat. Keluhan hiperemesis
terdapat pada 14-18% kasus pada kehamilan kurang dari 24 minggu dan
keluhan mual muntah terdapat pada mola hidatidosa dengan tinggi fundus
uteri lebih dari 24 minggu.
3. Tanda toksemia/ pre-eklampsia pada kehamilan trimester I
Kejadian preeklampsia cukup tinggi yaitu 20-26% kasus. Pada kehamilan
normal, preeklampsia timbul setelah kehamilan 20 minggu, namun pada mola
hidatidosa dapat terjadi lebih dini.
4. Kista lutein unilateral/bilateral
Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein ±15% kasus. Umumnya kista
ini segera menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-
kasus dimana kista lutein baru ditemukan pada waktu follow up. Kista lutein
dapat menimbulkan gejala abdominal akut karena torsi atau pecah. Kista berisi
cairan serosanguineous dan strukturnya multilokulare. Bila uterusnya besar, maka
kista ini sukar diraba namun dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi.
Kista menjadi normal dalam waktu 2-4 bulan setelah dievakuasi. Kasus mola
dengan kista lutein mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan
degenerasi keganasan dikemudian hari dari pada kasus-kasus tanpa kista.
5. Umumya uterus lebih besar dari usia kehamilan
Lebih dari separuh penderita mola hidatidosa memiliki uterus yang lebih besar
dari usia kehamilannya. Bila uterus diraba, akan terasa lembek karena
miometrium teregang oleh gelembung-gelembung mola dan bekuan darah.
6. Tidak terdengar denyut jantung janin
21
7. Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin, tidak teraba bagian janin
(balottement), kecuali pada mola parsial
8. Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin
9. Emboli paru.
Penyulit lain yang mungkin terjadi ialah emboli sel trofoblas ke paru-paru.
Sebetulnya pada tiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran
darah kemudian ke paru-paru tanpa memberikan gejala apa-apa tetapi pada mola
kadang-kadang jumlah sel trofoblas ini demikian banyak sehingga dapat
menimbulkan emboli paru-paru akut yang bisa menyebabkan kematian.
10. Keluar jaringan mola seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada), yang
merupakan diagnosa pasti.
11. Mola hidatidosa parsial biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang
didiagnosis sebagai abortus inkomplit atau missed abortion.
12. Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan
obstetri, seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi kordis,
perdarahan intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan hemoptoe.
Hipertiroidisme pada mola hidatidosa dapat berkembang dengan cepat
menjadi tirotoksikosis. Berbeda dengan tirotoksikosis pada penyakit tiroid,
tirotoksikosis pada mola hidatidosa muncul lebih cepat dan gambaran klinisnya
berbeda. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk,
baik dari segi kematian maupun kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya
penderita meninggal karena krisis tiroid.
Pemicu tirotoksikosis pada mola hidatidosa adalah tingginya kadar hCG.
Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi
menemukan bahwa kadar ß-hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola
22
sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat
bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis
terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan
menggunakan Indeks Wayne. Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab
kematian penderita mola. Kariadi menemukan bahwa kadar ß-hCG serum (RIA) >
300.000 ml pada penderita mola sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini
merupakan faktor risiko yang sangat bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis.
Hipertiroid dapat diketahui secara klinis terutama bila tidak terdapat fasilitas
pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan menggunakan Indeks Wayne.
Untuk membantu masalah ini Sri Hartini Kariadi (1992) mengajukan rumus
fungsi diskriminan diagnosa tirotoksikosis pada mola hidatidosa sebagai berikut:
1. D = - 8,376128 + 0,52505870 FU – 0,01926897 Nadi
FU = fundus uteri dalam minggu
Nadi = dalam kali/menit
Bila D< 0 atau kalau D hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya
menunjukkan tirotoksikosis. Derajat ketepatannya 87,5%
2. D = +3552928 – 0,4749675 FU + 0,003115562 Nadi + 0,01638073 Khol
Khol = Kholesterol darah dalam mg%
Bila D< 0 atau kalau hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya,
menunjukkan tirotoksikosis. Derajat ketepatan 90,63%
Dasar Diagnosis
1. Anamnesis
Mola hidatidosa biasanya didiagnosis pada kehamilan trimester pertama. Dari
anamnesis, didapatkan gejala-gejala hamil muda dengan keluhan perdarahan
pervaginam yang sedikit atau banyak. Pasien juga dapat ditanyakan apakah
23
terdapat riwayat keluar gelembung mola yang dianalogikan seperti mata ikan,
riwayat hiperemesis, dan gejala-gejala tirotoksikosis.
2. Pemeriksaan klinis
Palpasi abdomen : teraba uterus membesar, tidak teraba bagian
janin,gerakan janin dan balotemen
Auskultasi : tidak terdengar djj
Periksa dalam vagina : uterus membesar, bagian bawah uterus lembut dan
tipis, serviks terbuka dapat diketemukan gelembung MH, perdarahan,
sering disertai adanya Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO). Pemeriksaan
dengan sonde uterus (Acosta Sison) : MH hanya ada gelembung-
gelembung yang lunak tanpa kulit ketuban sonde uterus mudah masuk
sampai 10 cm tanpa adanya tahanan
3. Pemeriksaan radiologi
Foto Abdomen MH tidak tampak kerangka janin. Dilakukan setelah umur
kehamilan 16 minggu. Amniografi/histerografi cairan kontras lewat
transabdominal / transkutaneus atau transervikal kedalam rongga uterus, akan
menghasilkan amniogram atau histerogram yang khas pada kasus MH, yang
disebut sebagai sarang tawon/typical honeycomb pattern/honeycomb
4. USG
Typical Molar Pattern/Classic Echogram Pattern : pola gema yang difus
gambaran badai salju/kepingan salju/snowstorm
Atypical molar pattern/Atypical echogram pattern : adanya perdarahan
diantara jaringan mola.
Janin : MH KOMPLIT tidak didapatkan janin, MH PARSIAL Plasenta
yang besar dan luas, kantong amnion kosong atau terisi janin. Janin masih
24
hidup dengan gangguan pertumbuhan & kelainan kongenital, atau sudah
mati
Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO), biasanya besar, multilokuler, dan
sering bilateral.
5. Pemeriksaan HCG (HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN)
kadar HCG yang tetap tinggi & naik cepat setelah hari ke 100 (dihitung sejak
gestasi / hari pertama haid terakhir )
6. Patologi anatomi
Makroskopis : Gambaran khas MH berupa kista / gelembung dengan
b erbagai macam ukuran, Dindingnya tipis, kenyal, berwarna putih jer
nih, berisi cairan. Tangkai melekat pada endometrium. Bila tangkainya
terlepas, terjadi perdarahan.
Mikroskopis : Stroma villi mengalami degenerasi hidropik, yang t
ampak sebagai kista,Proliferasi trofoblast ( baik sel Langhans /
sitotrofoblast maupun sinsisiotrofoblast ), sehingga terbentuk beberapa
lapisan,Tidak ada atau berkurangnya pembuluh darah pada villi.
25
Tes Acosta Sicon yaitu menggunakan sonde uterus untuk
membedakan mola hidatidosa dengan kehamilan normal. Prinsipnya
bila pada kehamilan normal dala kavum uteri terdapat janin yang
dilindungi oleh selaput ketuban, sedangkan pada mola hidatidosa
hanya terdapat gelembung-gelembung yang lunak tanpa selaput
ketuban. Bila kita memasukkan sonde melalui kanalis servikalis secara
perlahan-lahan dan sonde dapat masuk lebih dari 10 cm ke tengah-
tengah kavum uteri tanpa tahanan, maka diagnosis mola hidatidosa
hampir dapat dipastikan. Pada kehamilan normal, sonde akan tertahan
oleh ketuban. Syarat melakukan sondase ini adalah uterus harus lebih
besar dari kehamilan 20 minggu. Sonde dapat juga masuk ke kavum
uteri tanpa tahanan pada kematian janin dalam uterus, dimana tonus
jaringan telah sedemikian lembeknya sehingga tidak mampu
memberikan tahanan lagi. Pada mola hidatidosa, sonde dapat berputar
360 derajat tanpa tahanan, sedangkan pada kehamilan normal sonde
akan tertahan.
Diagnosis banding
Diagnosis banding uterus yang ukurannya lebih besar dari pada umur
kehamilan : hidramnion, kehamilan multipel,dan uterus hamil disertai
adanya mioma uteri.
Diagnosis banding perdarahan uterus dan nyeri perut pada trimester I atau
trimester II kehamilan : abortus mengancam & abortus incompletus
Diagnosis banding pemeriksaan sonde : Kehamilan biasa sebelum 20 minggu ,
Kematian janin intra uterine , Solusio plasenta & missed abortion
26
Diagnosa banding pemeriksaan USG : Missed abortion, Massa dirongga
panggul, Massa plasenta yang besar pada kehamilan ganda, Kematian janin
dalam rahi
Terapi
Terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
2. Evakuasi jaringan
3. Profilaksis
4. Follow up
Perbaikan Keadaan Umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum penderita
harus distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya, kepada penderita
harus diberikan :
1. Tranfusi darah, untuk mengatasi syok hipovolemik
2. antihipertensi/konvulsi, seperti pada terapi Th/preeklamsi/eklamsia
3. Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam
Evakuasi Jaringan
Karena MHK itu adalah suatu bentuk kehamilan yang patologis yang disertai dengan
penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi secepat mungkin
Ada 2 cara yaitu :
a. Kuret vakum
Setelah sebagian besar jaringan dikeluarkan dengan vakum, sisanya dibersihkan
dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali. Kuretase
berikutnya harus ada indikasi.
b. Histerektomi
27
Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan jumlah anak
hidup tiga atau lebih. Yang sering menyulitkan ialah bahwa status eutiroid klinis
tidak selalu tercapai secara sempurna setelah pemberian OAT (obat anti tiroid)
karena jaringan mola belum dikeluarkan, sehingga hCG tetap tinggi dan tetap
bertindak sebagai stimulator.
Profilaksis
Ada dua cara :
1. histerektomi totalis
2. kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa dilakukan HT,
atau wanita muda dengan hasil PA yang mencurigakan.
Caranya :
1. MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3dd1 dan cursil 35mg 2dd1, selama 5
hari berturut-turut.
Profiklaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bemanfaat. Asam folat adalah
antidote dari MTX, cursil sebagai hepatoprotektor
2. Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu
antidote ataupun hepatoprotektor
Follow Up
Seperti diketahui, 15-20% dari penderita pasca MHK bisa mengalami
transformasi keganasan menjadi TTG. Menurut hertig, keganasan bisa dalam waktu
satu minggu sampai tiga tahun pasca evakuasi.
Tujuan dari follow up ada dua :
1. untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal. Baik anatomis,
laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar β-hCG
dan kembalinya fungsi haid.
28
2. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan terutama pada tingkat
yang sangat dini.
Dalam tiga bulan pertama pasca evakuasi, penderita diminta datang untuk kontrol
setiap 2 minggu. Kemudian, dalam tiga bulan berikutnya, setiap satu bulan,
selanjutnya enam bulan terakhir, kontrol tiap dua bulan.
Pengawasan lanjut
Tujuan pengawasan lanjut yaitu untuk mengetahui sedini mungkin adanya
perubahan keganasan, Lamanya berkisar antara 6 bulan sampai 3 tahun
ANAMNESIS kunjungan ulang: Perdarahan pervaginam yang tidak teratur,
Perdarahan dari tempat lainnya, Kelainan susunan saraf pusat dan Gejala kelainan
paru-paru.
PEMERIKSAAN PERUT & PANGGUL Untuk mencari adanya subinvolusi
uterus, kista teka lutein ovarium, dan metastasis ke vagina. Adanya perdarahan,
Dalam keadaan normal harus tidak ada perdarahan 7 atau 8 hari setelah evakuasi MH.
Uterus tetap besar/sub involusi, atau bertambah besarnya uterus yang tidak normal.
Dalam keadaan normal uterus harus involusi sempurna pada akhir minggu ke 4
setelah evakuasi. Adanya massa di panggul. Adanya benjolan berwarna ungu
(“purplish nodule") di vagina.
PEMERIKSAAN HCG, Setelah evakuasi MH, terjadi penurunan cepat kadar HCG.
Pemeriksaan kadar HCG berulang (dg radio-immunoassay HCG), Tiap
minggu sampai kadar menjadi negative selama 3 minggu selanjutnya tiap bulan
selama 6 bulan. Pengamatan lanjutan dilakukan sampai kadar HCG menjadi
negative selama 6 bulan.
29
Jika HCG tidak turun dlm 3 minggu berturut2 atau naik, dpt diberi
kemoterapi; kecuali pasien tidak menghendaki, dlm hal ini dilakukan
histerektomi
Pola penurunan HCG abnormal, yang menunjukkan dugaan kuat adanya
keganasan,yaitu:
Kadar HCG yang tetap tinggi ("PERSISTENT")
Penurunan kadar HCG mendatar ("PLATEAU")
Kadar HCG yang sudah pernah negatip mengalami kenaikan lagi
(SECONDARY RISE)
Penderita tidak boleh hamil selama dilakukan pmx HCG. Pemberian pil
kontrasepsi, untuk:
1. Mencegah kehamilan baru
2. Menekan pembentukan LH oleh hipofisis yg dpt mempengaruhi pmx
kadar HCG
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada mola hidatidosa adalah :
1. Perdarahan hebat
2. Anemia
3. Syok
4. Infeksi, sepsis
5. Perforasi uterus
6. Emboli udara
7. Koagulopati
8. Keganasan (Gestational trophoblastic neoplasia)
30
Sekitar 50% kasus berasal dari mola, 30% kasus berasal dari abortus, dan 20%
dari kehamilan atau kehamilan ektopik. Gejalanya dijumpai peningkatan hCG yang
persisten pascamola, perdarahan yang terus-menerus pascaevakuasi (pada kasus
pascaevakuasi dengan perdarahan yang terus-menerus dan kadar hCG yang menurun
lambat, dilakukan kuretase vakum ulangan atau USG dan histeroskopi), perdarahan
rekurens pascaevakuasi. Bila sudah terdapat metastase akan menunjukkan gejala
organ spesifik tempat metastase tersebut.
Prognosis
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar
penderita MHK akan sehat kembali, kecuali 15 – 20% yang mungkin akan
mengalami keganasan (TTG).
Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko
tinggi, seperti :
1. umur diatas 35 tahun
2. besar uterus di atas 20 minggu
3. kadar β-hCG di atas 105 mIU/ml
4. gambaran PA yang mencurigakan
2. Mola Hidatidosa Parsialis
MHP harus dipisahkan dari MHK, karena keduanya terdapat perbedaan yang
mendasar, baik dilihat dari segi patogenesisnya (sitogenetik), klinis, prognosis,
maupun gambaran PA-nya.
Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang mengalami degenerasi
hidropik sehingga unsur janin selalu ada. Perkembangan janin akan tergantung
kepada luasnya plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat
31
bertahan lama dan akan mati dalam rahim, walaupun dalam kepustakaan ada yang
melaporkan tentang kasus MHP yang janinnya hidup sampai aterm.
Secara epidemiologi klinis, MHP tidak sejelas MHK, kita tidak mengetahui
dengan tepat berapa insidensinya, apa yang menjadi faktor resikonya dan bagaimana
penyebaran penyakitnya.
Gbr. Molahidatidosa Parsial. 5
Patogenesis
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X) dibuahi
secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X san satu haploid 23Y
atau dua haploid 2 Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69 XYY.
Kromosom 69 YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu
dan dua haploid ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini ada unsur ibu,
ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah tidak seimbang, satu
berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu menyebabkan pembentukan
plasenta yang tidak wajar, yang merupakan gabungan dari vili korialis yang normal
dan yang mengalami degenerasi hidropik. Oleh karena itu fungsinya pun tidak bisa
penuh sehingga janin tidak bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian terjadi
sangat dini.
32
Teori Diandro Triploid
Homozigot
Heterozigot
Nonviable
Gejala-Gejala
Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan gejala maupun
tanda-tanda yang khas. Keluhannya pada permulaan sama seperti kehamilan biasa.
Kalau ada perdarahan sering dianggap seperti abortus biasa. Jarang sekali ditemukan
MHP dengan besar uterus yang melebihi tuanya kehamilan. Biasanya sama atau lebih
kecil. Dalam hal terakhir disebut Dying Mole.
33
Ovum Kosong
Ovum Kosong
OvumKosong
69 XXX
69 XXY
69 XYY
23 Y
23 Y
23 X
23 Y
23 X
69 YY
23 X
Gambaran USG tidak selalu khas, tapi menurut Fine C. Et al., MHP dapat
didiagnosis bila ditemukan hal-hal sebagai berikut. Pada jaringan plasenta tampak
gambaran yang menyerupai kista-kista kecil disertaipeningkatan diameter transversa
dari kantong janin.
Kadar β-hCG juga meninggi, tetapi biasanya tidak setinggi MHK. Hal ini
mungkin disebabkan pada MHP masih ditemukan vili korialis normal. Kadar yang
tidak terlalu tinggi ini tidak menyebabkan rangsangan pada ovarium. Pada MHP
jarang sekali ditemukan kista lutein. Di samping itu, MHP jarang sekali disertai
penyulit seperti PEB, tiroktosikosis atau emboli paru.
Diagnosis
Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka sulit untuk membuat
diagnosis kerja, kecuali pada kehamilan yang cukup besar, yang diagnosisnya dapat
ditentukan oleh hasil USG, dimana kita akan melihat gambaran vesikuler yang khas
di samping kantong janin, dengan atau tanpa janin.
Biasanya diagnosis dibuat secara tidak sengaja, setelah dilakukan tindakan dan
diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA, dimana ditemukan gambaran khas sebagai
berikut.
2. vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropk, kavitasi, dan
hiperplasia trofoblas
3. scalloping yang berlebihan dari vili
4. inklusi stroma trofoblas yang menonjol
5. ditemukan jaringan embrionik atau janin
34
Terapi
Karena diagnosis umumnya dibuat secara kebetulan pascakuret, biasanya
evakuasi dilakukan dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak perlu tindakan apa-apa.
Histerektomi dan upaya profilaksis lainnya tidak dianjurkan.
Prognosis
Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu
disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%).
Walupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan laporan tentang kasus MHP yang
disertai metastase ke tempat lain. Penderita pasca-MHP harus difollow up sama
ketatnya seperti MHK.
35
BAB IV
PENYAKIT TROFOBLAST GANAS
Definisi
Penyakit Trofoblas ganas adalah suatu tumor ganas yang berasal dari siti dan
sinsitiotrofoblas yang menginvasi miometrium dan merusak jaringan disekitarnya
serta pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan. Penyakit ini dapat
didahului oleh proses fertilisasi (mola hidatidosa, kehamilan biasa, abortus dan
kehamilan ektopik) bahkan dapat merupakan produk langsung dari hasil konsepsi
( gestasional choriocarcinoma )atau yang bukan didahului oleh suatu kehamilan ( non
gestasbional choriocarsinoma ).
Insidensi
Penyakit ini sering terjadi pada usia 14 – 49 tahun dengan rata – rata 31,2
tahun. Resiko terjadinya PTG yang non metastase 75 % didahului oleh
molahidatidosa dan sisanya oleh abortus, kehamilan ektopik atau kehamilan aterm.
Pada jenis invasif mola ( PTG villosum ) 12,5 % berasal dari mola komplit
dan 1,5 % berasal dari mola parsial. Pada koriokarsinoma ( PTG non villosum ) 1,7 %
berasal dari mola komplit dan 0,2 % dari mola parsial, koriokarsinoma setelah
kehamilan normal lebih sering terjadi dibandingkan mola invasif.
36
Klasifikasi
Secara klinis terdapat 2 bentuk PTG yaitu :
1. PTG terdapat hanya dalam uterus ( invasive mola )
Merupakan suatu proses seperti tumor yang menginvasi miometrium
dengan hiperplasia trofoblas disertai struktur vili yang menetap.
2. PTG meluas keluar uterus koriokarsinoma ( gestasional
koriokarsinoma) Adalah karsinoma yang terjadi dari sel – sel trofoblas
dengan melibatkan sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas.
Hal ini biasa terjadi dari hasil konsepsi yang berakhir dengan lahir
hidup, lahir mati ( still birth ), abortus, kehamilan ektopik, mola
hidatidosa atau mungkin oleh sebab yang tidak diketahui.
Etiologi dan Patogenesis
Etiologi terjadinya penyakit trofoblas ganas (PTG) belum jelas diketahui,
namun bentuk keganasan tumor ini merupakan karsinoma epitel korion meskipun
pertumbuhan dan metastasenya menyerupai sarkoma.
Pada koriokarsinoma adalah trofoblas normal cenderung menjadi invasive dan
erosi pembuluh darah berlebihan. Metastase sering terjadi lebih dini dan biasanya
sering melalui pembuluh darah jarang melalui getah bening.
Tempat metastase yang paling sering adalah paru – paru (75 %) dan kemudian
vagina (50 %). Pada beberapa kasus metastase dapat terjadi pada vulva, ovarium,
hepar, ginjal dan otak.
Gejala dan Tanda
Perdarahan yang tidak teratur setelah berakhirnya suatu kehamilan dan
dimana erdapat subinvolusio uteri juga perdarahan dapat terus menerus atau
intermitten dengan perdarahan mendadak dan terkadang massif.
37
Pada pemeriksaan ginekologis ditemukan uterus membesar dan lembek. Kista
teka lutein bilateral. Lesi metastase di vagina atau organ lain.
Perdarahan karena perforasi uterus atau lesi metastase ditandai dengan :
Nyeri perut
Batuk darah
Melena
Peninggian tekanan intrakranial berupa sakit kepala, kejang dan
hemiplegia
Kadar βhCG paska mola tidak menurun, tapi meningkat lagi. Dengan
pemeriksaan radiologi foto thorak dapat ditemukan adanya lesi metastase. Pada
pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan villus, namun demikian dengan tidak
memperlihatkan gambaran patologik tidak dapat menyingkirkan suatu keganasan.
Diagnosa
Diagnosa kemungkinan PTG bila didapatkan perdarahan pervaginam yang
menetap.Titer βhCG yang tetap atau meninggi setelah terminasi kehamilan, mola atau
abortus. Namun demikian masih memerlukan pemeriksaan USG terhadap kasus PTG
oleh karena masih kurang sensitif dan spesifik terhadap peninggian kadar βhCG.
Pemeriksaan foto torak juga dapat menentukan diagnosa. Kadang – kadang
metastase juga ditemukan pada vagina, serviks, paru - paru atau otak.
Dengan ditemukannya gambaran villus pada sediaan histopatologik maka
diagnosa pasti PTG dapat ditegakkan. Tetapi tindakan kuretase sering tidak dapat
memastikan adanya keganasan. Oleh karena itu jika lesi berada pada miometrium
atau proses pada paru – paru terjadi primer, sudah pasti histopatologik akan negatif.
38
Lagipula tindakan kuretase dapat menimbulkan perdarahan yang banyak, perforasi
dinding uterus dan dapat memudahkan penyebaran sel – sel trofoblas ganas.
Makroskopis
Secara makroskopis baik pada uterus maupun pada daerah metastase terlihat
nodul – nodul ungu yang lunak, multipel, mudah berdarah, dan ada daerah – daerah
nekrosis.
Sel – sel si sitial dan sitotrofoblas mengalami displasia luas, irregular dengan
inti hiperkhromik. Sel – sel sinsitial biasanya mengadakan penetrasi. Kadang -
kadang sel sinsitial dan sitotrofoblas sangat mirip dengan sel plasenta yang normal,
sedangkan sel – sel metastase merupakan jaringan dan cepat menjadi tipe anaplasia.
Tidak adanya vili merupakan gambaran karakteristik dari koriokarsinoma.
Belakangan ini dari hasil penelitian, bila masih terlihat adanya vili ,merupakan
petunjuk bahwa proses koriokarsinoma masih dalam stadium dini.
Penanganan
Prinsip dasar penanganan penyakit trofoblas ganas adalah kemoterapi dan
operasi. indikasi kemoterapi :
1. Meningkatnya βhCG setelah evakuasi
2. Titer βhCG sangat tinggi setelah evakuasi
3. βhCG tidak turun selama 4 bulan setelah evakuasi
4. Meningginya βhCG setelah 6 bulan setelah evakuasi atau turun tetapi
lambat
5. Metastase ke paru – paru, vulva, vagina kecuali bila βhCG nya turun
6. Metastase kebagian organ lainnya ( hepar, otak )
7. Perdarahan pervaginam yang berat atau adanya perdarahan
gastrointestinal
39
8. Gambaran histologi koriokarsinoma
Operatif, merupakan tindakan utama dalam penanggungan dini PTG,
walaupun tumor sudah lama, namun bila masih terlokalisir di uterus tindakan
histerektomi baik dilakukan. Pasien – pasien dengan perdarahan pervaginam yang
terus menerus atau resisten terhadap kemoterapi akan dilakukan histerektomi.
Follow up
Standar follow up dari sebagia penulisan adalah sebagai berikut
1. Pemeriksaan βhCG serum / urine
Diperiksa setiap minggu sampai dinyatakan negatif selama 3 kali
pemeriksaan. Selanjutnya setiap bulan selama 12 bulan kemudian
setiap 2 bulan selama 12 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan. Setelah
kemoterapi titer βhCG akan turun pada batas yang tidak dapat
dideteksi selama 2 bulan awal pengobatan
2. Pemeriksaan pelvic
Diperiksa setiap minggu, setelah evakuasi suatu kehamilan sampai
batas normal. Selanjutnya setiap 4 minggu mengevaluasi perubahan -
perubahan besar uterus dan munculnya kista teka lutein
3. Thorak foto
Jika terapi sempurna telah selesai ternyata masih tampak sisa tumor di
paru – paru diperlukan pemeriksaan radiologi selama 2 tahun, intuk
melihat bukti apakah sisa tumor hilang.
Pencegahan
Pada kasus resiko tinggi bila jumlah anak yang diinginkan sudah mencukupi
supaya dilakukan histerektomi. Memberikan kemoterapi terhadap kasus – kasus
kehamilan ektopik untuk mencegah penyakit trofoblas.
40
Bila titer βhCG paska mola tidak turun selama 3 minggu berturut – turut atau
malah semakin naik dapat diberikan kemoterapi, kecuali anak sudah cukup dapat
dilakukan histerektomi.
Prognosis
Makin dini diagnosa dibuat dan makin dini pengobatan dimulai makin baik
prognosanya. Prognosa penyakit trofoblas ganas jenis villosum lebih baik daripada
jenis non villosum.
Prognosa memburuk dijumpai pada :
1. Masa laten antara mola dan timbulnya keganasan panjang
2. βhCG yang tinggi
3. Pengobatan tidak sempurna
4. Adanya anak sebar pada otak dan hepar
5. Daya tahan tubuh penderita menurun
6. Diagnosa terlmabat dibuat dengan akibat terapi terlambat diberikan.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF et al. Williams Obstetrics, 20th ed.
Philadelphia : Appleton and Lange, 1997 : 948.
2. Martaadisoebrata D, Wirakusumah F. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC, 2004 ;
28 – 33.
3. Martaadisoebrata D. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas
Gestasional. Jakarta : EGC, 2005 ; 7 – 42.
4. Kariadi SH. Identifikasi Penduga Potensial untuk Diagnosis Tiroktosikosis
Pada Penderita Mola Hidatidosa. Disertasi UNPAD 1992.
5. Martadisoebrata D. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin.
Dalam : Ilmu Kebidanan. Editor Wiknjosastro H. Saifuddin AB, Rachimhadhi
T. Edisi ketiga, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 200
.p.339-59
6. Mochtar R. Penyakit Trofoblas. Dalam : Sinopsis Obstetri. Editor Lutan D.
Jilid I. Edisi2. Jakarta : EGC ; 1998.p.238-45.
7. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H. Mola Hidatidosa dalam Ilmu Kandungan
Edisi kedua, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1997.
260 -264
8. www. medicastore.com/penyakit/2006/mola_hidatidosa
42
9. www.wordpress.com/2007/07/molahidatidosa
10. www.drnyol.info/obgyn-grey-zone/in-obgyne/2010/molahidatidosa
43