3
TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Acara Jendela Anak Negeri Hari, tanggal Sabtu, 20 Desember 2014 Tema Reformasi Tata Kelola MigasNarasumber 1. Drs. Effendi MS. Simbolon, Pimpinan Fraksi PDI Perjuangan MPR RI 2. Dr. Ichsanuddin Noorsy, Pengamat Ekonomi Ringkasan Indonesia menjadi net importer minyak karena tingkat konsumsi yang tinggi dan cadangan minyak yang terbatas. Upaya diversifikasi migas juga dirasa kurang dikembangkan dengan baik, baik dari segi penggunaan maupun infrastruktur. Indonesia sebelumnya merupakan eksporter minyak namun sekarang menjadi net importer. Bapak Effendi mengatakan bahwa penyebab hal itu adalah adanya kelalaian atau kelengahan dari bangsa Indonesia sendiri yang terlena ketika berada puncak produksi. Tidak ada upaya atau antisipasi yang dilakukan untuk menaikkan ataupun mempertahankan angka produksi yang sudah dicapai. Padahal Indonesia masih mempunyai potensi yang tinggi di wilayah daratan dan pengeboran di lautan yang dalam. Tidak hanya bersumber dari sumur lama namun juga masih dimungkinkan untuk mengeksplorasi sumur-sumur baru untuk menambah tambahan lifting yang langsung berdampak ke pendapatan negara. Menanggapi hal di atas, Bapak Ichsanuddin menyatakan bahwa seharusnya memang ada upaya untuk menginvestasi kembali terhadap sumber daya yang ada. Namun hal tersebut tidak dilakukan malah digunakan untuk

Reformasi Tata Kelola Migas

  • Upload
    dims

  • View
    214

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas KWN

Citation preview

Page 1: Reformasi Tata Kelola Migas

TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Acara Jendela Anak Negeri

Hari, tanggal Sabtu, 20 Desember 2014

Tema “Reformasi Tata Kelola Migas”

Narasumber 1. Drs. Effendi MS. Simbolon, Pimpinan Fraksi PDI

Perjuangan MPR RI

2. Dr. Ichsanuddin Noorsy, Pengamat Ekonomi

Ringkasan Indonesia menjadi net importer minyak karena

tingkat konsumsi yang tinggi dan cadangan minyak yang

terbatas. Upaya diversifikasi migas juga dirasa kurang

dikembangkan dengan baik, baik dari segi penggunaan

maupun infrastruktur.

Indonesia sebelumnya merupakan eksporter minyak

namun sekarang menjadi net importer. Bapak Effendi

mengatakan bahwa penyebab hal itu adalah adanya

kelalaian atau kelengahan dari bangsa Indonesia sendiri

yang terlena ketika berada puncak produksi. Tidak ada

upaya atau antisipasi yang dilakukan untuk menaikkan

ataupun mempertahankan angka produksi yang sudah

dicapai. Padahal Indonesia masih mempunyai potensi yang

tinggi di wilayah daratan dan pengeboran di lautan yang

dalam. Tidak hanya bersumber dari sumur lama namun juga

masih dimungkinkan untuk mengeksplorasi sumur-sumur

baru untuk menambah tambahan lifting yang langsung

berdampak ke pendapatan negara.

Menanggapi hal di atas, Bapak Ichsanuddin

menyatakan bahwa seharusnya memang ada upaya untuk

menginvestasi kembali terhadap sumber daya yang ada.

Namun hal tersebut tidak dilakukan malah digunakan untuk

Page 2: Reformasi Tata Kelola Migas

hal-hal yang tidak pada tempatnya. Pada saat yang sama

juga terdapat kesalahan kebijakan pembangunan, yaitu

penggunaan energi yang tidak diikuti dengan perbaikan

pendayagunaan transportasi. Padahal saat itu Indonesia

mempunyai energy alternative yang sangat banyak namun

Indonesia tetap mendasarkan diri pada fosil. Dengan kata

lain dapat dikatakan bahwa pada saat itu perusahaan asing

mendominasi. Hingga saat ini Pertamina hanya menguasai

minyak 14,6% dan 11,6% untuk gas. Bahkan terdapat pula

perusahaan asing yang sangat mendominasi lebih dari itu.

Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab adanya

ketidakseimbangan antara menurunnya sumber daya yang

ada dengan meningkatnya kebutuhan transportasi publik.

Sehingga mau tidak mau Indonesia harus import.

Sumber daya migas di hulu dikendalikan oleh

perusahaan asing, sedangkan di hilir dikendalikan oleh

Pertamina. Kondisi tersebut mendesak adanya harga pasar

di sektor hilir dengan adanya kenaikan harga BBM.

Berdasarkan pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 tentunya hal tersebut

tidak sesuai. Ditambah lagi dengan adanya keputusan MK

tanggal 15 Januari 2005 yang menegaskan bahwa harga

ditetapkan oleh pemerintah. Namun dalam UU Migas

ditegaskan pula bahwa harga energi berlaku menurut harga

keekonomian yaitu harga pasar. Pastinya kedua hal tersebut

saling bertentangan.

Adanya pembentukan tim reformasi tata kelola

migas pun dirasa tidak perlu berdasarkan penuturan dari

Bapak Effendi. Alasannya adalah tidak adanya regulasi

yang jelas dan dulunya sudah ada PPNS. Tinggal dilihat

saja apakah tim reformasi dapat benar-benar mereformasi

dimana mafia migas tidak hanya berasal dari orang dalam

Page 3: Reformasi Tata Kelola Migas

negeri namun juga luar negeri. Menurut pak Ichsan,

terdapat beberapa kondisi yang memang harus diperbaiki,

yaitu menghentikan campur tangan asing, memperbaiki

regulasi, membuat kebijakan melakukan kontrol di lifting

dan memperbaiki pengelolaan.