14
2 REFLEKSI PEMIKIRAN O.NOTOHAMIDJOJO UNTUK MEWUJUDKAN CARA BERHUKUM HUMANIS. 1 Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum. abstrak Mencermati kehidupan hukum di Indonesia selama ini, paling tidak dapat ditandai oleh adanya dua krisis. Pertama cara berhukum yang krisis karena mengandalkan hukum sebagai mesin yang tak berjiwa dengan berbasis pada rasio objektif, dan kedua krisis yang diwarnai oleh adanya degradasi moral dalam ber hukum. Krisis moral yang berarti adanya dekadensi moral, kerakusan materialisme yang menumbuhkan kolusi, korupsi, dan nepotisme, hedonisme, nir-etika politik, otoritarianisme, pemiskinan kehidupan spiritual, krisis kepercayaan, krisis legitimasi otoritas, sehingga terjadilah krisis kepercayaan kepada hukum. Namun, untuk menjawab krisis tersebut, juga muncul usaha-usaha untuk mengatasinya dengan menawarkan suatu paradigm pemikiran filosofis. Salah satu dari pemikiran filosofis yang muncul adalah membangkitkan kembali nilai-nilai berhukum yang telah dicanangkan oleh guru pendahulu kita, yakni O.Notohamidjojo. Melalui refleksi pemikiran O.Notohamidjojo diharapkan dapat ditempatkannya kembali posisi manusia khususnya manusia yang ada dan terlibat dalam penggembalaan hukum untuk menjadi subjek penafsir hukum yang kreatif dan bertanggung jawab dalam membentuk dunia kehidupan berhukum yang lebih baik. Tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama Realitas Hukum dan Kemanusiaan memaparkan mengenai Legisme dan krisis kemanusiaan dalam hukum, Bagian kedua mengenai Gagasan ’ The Truth about law” melalui O.Notohamidjojo guna menceritakan mengenai Cara Berhukum ”humanis” yang terilhami dari pemikiran 1 Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Univ.Kristen Satya Wacana Salatiga. Disajikan dalam Seminar Nasional Refleksi pemikiran O.Notohamidjojo Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia”, Salatiga, Balairung Utama UKSW, 24 Nopember 2011.

Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

2

REFLEKSI PEMIKIRAN O.NOTOHAMIDJOJO

UNTUK MEWUJUDKAN CARA BERHUKUM HUMANIS.1

Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum.

abstrak

Mencermati kehidupan hukum di Indonesia selama ini, paling tidak dapat

ditandai oleh adanya dua krisis. Pertama cara berhukum yang krisis karena

mengandalkan hukum sebagai mesin yang tak berjiwa dengan berbasis pada rasio

objektif, dan kedua krisis yang diwarnai oleh adanya degradasi moral dalam ber

hukum. Krisis moral yang berarti adanya dekadensi moral, kerakusan materialisme

yang menumbuhkan kolusi, korupsi, dan nepotisme, hedonisme, nir-etika politik,

otoritarianisme, pemiskinan kehidupan spiritual, krisis kepercayaan, krisis legitimasi

otoritas, sehingga terjadilah krisis kepercayaan kepada hukum.

Namun, untuk menjawab krisis tersebut, juga muncul usaha-usaha untuk

mengatasinya dengan menawarkan suatu paradigm pemikiran filosofis. Salah satu dari

pemikiran filosofis yang muncul adalah membangkitkan kembali nilai-nilai berhukum

yang telah dicanangkan oleh guru pendahulu kita, yakni O.Notohamidjojo. Melalui

refleksi pemikiran O.Notohamidjojo diharapkan dapat ditempatkannya kembali posisi

manusia khususnya manusia yang ada dan terlibat dalam penggembalaan hukum untuk

menjadi subjek penafsir hukum yang kreatif dan bertanggung jawab dalam membentuk

dunia kehidupan berhukum yang lebih baik.

Tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama Realitas Hukum dan

Kemanusiaan memaparkan mengenai Legisme dan krisis kemanusiaan dalam hukum,

Bagian kedua mengenai Gagasan ’ The Truth about law” melalui O.Notohamidjojo

guna menceritakan mengenai Cara Berhukum ”humanis” yang terilhami dari pemikiran

1 Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Univ.Kristen Satya Wacana Salatiga. Disajikan dalam

Seminar Nasional Refleksi pemikiran O.Notohamidjojo Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia”, Salatiga, Balairung Utama UKSW, 24 Nopember 2011.

Page 2: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

3

O. Notohamidjojo, Bagian ketiga mengenai kesimpulan sebagai buah dari refleksi

pemikiran O.Notohamidjojo tentang cara berhukum humanis dan relevansinya dalam

kehidupan atau perkembangan hukum di Indonesia saat ini dan terakhir adalah penutup

sebagai suatu saran.

Pengantar : Realitas Hukum dan Kemanusiaan

Paradigma hukum penting dikaji sebagai suatu mind set yang mendasari corak

berhukum. Mengkaji perkembangan hukum pada milenium ketiga ini, perlu dipaparkan

secara historis paradigma hukum di milenium sebelumnya. Pada milenium pertama,

pertama, perhatian manusia diarahkan pada Tuhan, dan dikemudian pada milenium

kedua paradigma yang ada diproyeksikan pada harmonisasi antara iman dan akal.

Pada masa modern yakni dari sekitar 1500an hingga abad ke-20 terdapat tokoh- tokoh

besar seperti Rene Descartes dengan rasionalismenya, Francis Bacon ( 1561-1626),

yang memberi jalan bagi radikalisasi rasio dan legisme hingga sampai pada Auguste

Comte (1798-1857) dengan positivisme juridis. Pemikir positivisme lainnya seperti

John Austin terkenal dengan teorinya “Analitical Positivism” yang intinya mengatakan

bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi

atau dari yang memegang kedaulatan, sehingga menganggap hukum sebagai suatu

sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup. Jadi hukum secara tegas dipisahkan dari

kaidah (justice) dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk,

melainkan didasarkan pada kekuasaan dari penguasa. Empirisme maupun

rasionalisme berusaha memisahkan segi inderawi dari segi akal budi, bahkan

mengisolasikan satu dengan yang lain.

Positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis dari hukum.

Norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang

positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga

masyarakat dan wakil-wakilnya. Hukum tidak lagi mesti dikonsepsi sebagai asas moral

metayuridis yang niskala (abstrak) tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah

Page 3: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

4

mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.2 Ajaran ini kemudian diintroduksikan ke

negara-negara jajahan Eropa termasuk Indonesia.

Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi

warisan berpikir abad XIX yang positivistis/legisme. Paradigma positivisme dalam ilmu

hukum menekankan pada metode yang lebih melihat pada rumusan teks pasal-pasal

peraturan yang dipandang netral, objektif, dan imparsial, bebas konteks dan

menekankan pada realitas empirik dan dipandang bebas nilai.

Paradigma Positivisme/ Legisme memandang hukum sebagai gejala tersendiri

yang dipandang sebagai closed logical system. Hukum dialienasikan dari masyarakat,

norma sosial, politik dan moral. Era modernisme positivistik yang menjadi anutan

dalam positivisme menihilkan sikap dialogis, empatik, dan toleran yang berarti menutup

mata terhadap pluralitas dan relativitas suatu kebenaran. Penekanan legisme pada

pendekatan prosedur formal dibanding substansial akan membuat orang melihat hukum

sebagai sesuatu yang ”terberikan” (given), statis, dan mengabaikan substansi hukum

atau hakekat hukum yakni keadilan substansial.

Positivisme menurut Scholten memilki kesalahan. Positivisme sebagai material

hanya melihat undang-undang, peraturan-peraturan, vonis-vonis. Ia melupakan bahwa

di belakang bahan-bahan positif ini terdapat sesuatu yang lain, yang juga demikian

pentingnya, bahwa hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan)

manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan.3

Positivisme /legisme mencirikan hukum yang dipercaya netral dan objektif dalam

rule of law as it is in books, formal, structured rationality, dan tidak peduli pada

substansi. Hukum mengalami distorsi dalam bentukan lege, sehingga hukum bisa

2 Soetandyo Wignjosoebroto , Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika masalahnya, Elsam-

Huma, Jakarta, 2002, Hal. 91-95-96. Dikatakan bahwa ajaran positivisme yang bertolak dari paradigma liberalis tidak bersemangat pro populus, melainkan mendegradasikan dirinya menjadi alat atau sarana yang berperilakuteknis prosedural formal semata.

3 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.

Page 4: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

5

mengalami alienasi dari kebutuhan masyarakat . Inilah juga yang menurut penulis

bentuk arogansi dari hukum yang berparadigma legisme. Dalam perspektif Legisme,

maka muncul reduksi ontologis, sehingga realitas hukum dianggap bersifat mekanistik

dan deterministik.

Dalam fenomena sosial, jelas ada diskrepansi /tension antara konsep hukum dan

peraturan. Hukum tidak semata-mata untuk menegakkan peraturan dalam arti status

quo perundang-undangan, tetapi juga memiliki visi untuk menciptakan tatanan

hubungan harmonis dalam suatu relasi sosial berkeadilan. Ini berbeda dengan konsep

peraturan yang lebih menitikberatkan pada suatu penegakan aturan, dan tanpa

melihat dampak dari pengenaan aturan tersebut, apakah berkeadilan atau justru tidak

sama sekali. Ini berarti konsep peraturan lebih ditujukan pada supremacy of law yang

bertumpu pada central behavior control by law yang bebas nilai/ value free.

Dalam konstelasi positivsime hukum, maka hukum melayani dirinya sendiri

dengan semata menekankan pada aspek formal dan bukan pada hakekat hukum yakni

keadilan dan kemanusiaan. Kekakuan, dogmatisme dan keterpisahan hukum dari

moral, bisa mengakibatkan hukum terdegradasi dari perannya menjadi mesin yang

tidak bernurani. Hukum kehilangan esensinya sebagai penjaga dan pembela

kemanusiaan. Sebut saja antara lain kasus yang dialami Mpok Minah pencuri 3 biji

kakao dan kasus Lanjar, sebagai contoh penerapan cara logika linier dalam hukum

karena hukum tidak mengenal perkecualian. Kasus besar yang menggurita seperti

kasus Gayus Tambunan yang melibatkan penegak hukum, membuka mata kita bahwa

pendekatan formal terhadap hukum tidak mencukupi karena bisa menjadi alat legitimasi

kepentingan penguasa belaka, dan meruntuhkan argumentasi bahwa hukum itu dengan

sendirinya baik. Hukum yang artificial buatan manusia atau penguasa ini dalam

pemikiran positivisme dianggap sebagai harus ditaati karena sebatas aspek

pemenuhan keberlakuan juridis. Kritik terhadap positivisme ini sendiri semakin bergulir

manakala muncul suara bahwa muncul praktek jual beli pasal di DPR.

Dalam krisis ketidakpercayaan masyarakat akan hukum, maka perlu dikaji

kembali pembelajaran hukum selama ini guna direleksikan menuju pembaharuan

Page 5: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

6

hukum yang lebih adil. Untuk itu, menjawab persoalan hukum di Indonesia, maka perlu

dielaborasi pemikiran sang guru kita yakni O.Notohamidjojo yang dirasa mampu

membangun gagasan guna ” Searching for the truth about law”.

Gagasan The Truth About Law Melalui O.Notohamidjojo

Sebelumnya, perlu dikemukakan apa itu hukum menurut O.Notohamidjojo.

Hukum ialah komplex peraturan yg tertulis dan tidak tertulis yg bersifat memaksa bagi

kelakukan manusia dalam masyarakat, yg berlaku dalam berjenis lingkungan hidup dan

masyarakat-negara (antar negara) yang mengarah kepada keadilan , demi tata serta

damai, dengan tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat.4 Hukum kecuali

sebagai gagasan tata dan gagasan pengaturan, juga memiliki unsur yang lebih esensiil

yakni Keadilan. Hukum itu bersandar dan berjiwa keadilan. Adagiumnya adalah “bukan

hukum untuk hukum, tetapi hukum melayani keadilan, tata,dan damai. 5 Keadilan

sendiri adalah suatu konsep yang dinamis, senantiasa berubah.

Tujuan hukum untuk mendatangkan tata dan damai dalam masyarakat

merupakan segi regular sebagai tujuan hukum yang lahiriah. Tujuan hukum lebih

mantap apabila tidak hanya tercantum segi regular ini, namun juga segi keadilan,

justitia. Dari segi regular ke segi justitia makin didalami esensia tujuan hukum . Tegas

dinyatakan oleh O.Notohamidjojo bahwa tujuan hukum yang paling dalam dan paling

esensiil ialah menjaga supaya manusia diperlakukan sebagai manusia…Memanusiakan

manusia dalam segala hakekat dan relasinya merupakan tujuan yang terakhir dan yang

paling mulia bagi hukum 6

4 O.Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hal.

68. Keadilan menurut O.Notohamidjojo adalah suatu kebajikan untuk “suum cuique tri buere (memberikan kepada masing-masing bagiannya).

5 Ibid, hal. 72. 6 Ibid, hal.89-90. Manusia menurut O.Notohamidjojo pada satu pihak mewujudkan objek,dan

pada pihak lain mewujudkan subjek yang lebih hakiki. Segi lain manusia ialah bahwa ia mempunyai relasi aku-engkau.Relasi aku-engkau mempunyai pihak bawah (alam semesta), fihak atas (Tuhan Allah), dan pihak samping (sesama manusia dalam masyarakat). Lihat pula

Page 6: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

7

Pemikiran O.Notohamidjojo sejalan dengan pemikiran Gadamer pada era

tahun 60-an yang mengatakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar

Hermeneutik in optima forma yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan

bermasyarakat. 7 Dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk menyelesaikan

suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks

yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang

bersangkutan. Terbentuknya teks yuridis terjadi dalam kerangka cakrawala pandang

pembentuk hukum berkenaan dengan kenyataan hukum yang dianut/ hidup dalam

masyarakat.

Ilmu-ilmu humaniora (Geisteswissenschaft ) menurut Gadamer dengan sangat

jelas memahami dirinya dari analoginya dengan ilmu pengetahuan alam yang gema

idealistiknya terletak dalam ide tentang ‘Geist’ jiwa.. Ilmu kemanusiaan ini memiliki

pengaruh bagi filsafat.8 Ilmu-ilmu kemanusiaan mesti dipahami sebagai advokat atau

pembela kemanusiaan yang sejati. 9Ilmu hukum sebagaimana dikemukakan di atas

merupakan ilmu humaniora, dan dengan sendirinya mengemban tugas sebagaimana

ilmu-ilmu kemanusiaan .

Titik berat O.Notohamidjojo pada manusia karena O.Notohamidjojo beranggapan

bahwa apapun kajian seperti tujuan pendidikan, hukum, politik, dan sebagainya

C.A.Van Peursen tentang hubungan aku-engkau , Van Peursen , C.A. Orientasi Di Alam Filsafat, terj. dari Filosofische Orientatie, Gramedia, Jakarta, 1988, hal. 220-225.

7 .Lihat dalam B.Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008, hal. 122.

8 Hans –Georg Gadamer, Truth and Method , terj.Kebenaran dan Metode :Pengantar Filsafat Hermeneutika oleh Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, Hal. 3.O.Notohamidjojo alam Demi keadilan dan kemanusiaan, Op.cit, hal. 46 Realwissenscaften dibagi dalam ilmu alam (naturur wetenschappens) dan ilmu rohaniah (Geesteswetenschappen). Ilmu hukum bersama dengan theologia, logica, termasuk dalam lingkaran Geesteswetenschappen atau ilmu rohaniah .Ilmu tentang hukum positif tergolong dalam praktische wetenschappen.Practische wetenschappen masih dapat dibagi dalam cultuurwetenschappen yang objeknya adalah perbuatan manusia.

9 Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik, Dari Plato sampai Gadamer, terj, ArRuzz, Jogjakarta,

2007, Hal. 213

Page 7: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

8

ditentukan oleh pandangan seseorang tentang manusia. Pandangan seseorang tentang

manusia mendasari segala sikap dan tingkah lakunya. Pandangan manusia /antropologi

itu motif dasar yang menentukan ideologi dan perbuatan politik, cita-cita dan tindakan

sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dan menentukan pula semua kerja kita di perguruan

tinggi di bidang ilmu, pendidikan, pembinaan dan pelayanan.10 Jadi, kearifan manusia

dalam memperlakukan hukum merupakan entry point penting.

O.Notohamidjojo ingin mengutuhkan kembali hukum dengan mendekatkan

pada hukum alam, menyatukan kembali hukum dengan lingkungan, alam, dan orde

kehidupan yang lebih besar. Menghilangkan pemisahan antara hukum dan kehidupan

manusia berarti mengembalikan hukum ke dalam habitusnya. Dalam penggembalaan

hukum, ini bisa dilakukan apabila putusan hukum senantiasa melihat keutuhan dengan

kehidupan manusia.

Hukum yang dicanangkan O.Notohamidjojo berpikir holistik, intuitif, alternatif,

dan empatis. Pergumulan yang ada berkiblat pada The searching for the truth”, yaitu

“the truth about law”. Pencerdasan hukum sebagaimana refleksi O.Notohamidjojo

merupakan suatu pendobrakan terhadap perspektif hukum selama ini yang hanya

terkungkung dalam pembelajaran statis yang hanya bermisi untuk kelanggengan

hukum sendiri tanpa melihat dampak dan tujuan hukum yang lebih mulia, yakni hati

nurani hukum untuk membawa manusia pada rancangan damai sejahtera.

. Peran penggembala hukum menjadi penting untuk mewujudkan tujuan hukum.

Empat norma -norma penting dalam menggembalakan hukum dikemukakan oleh

O.Notohadmidjojo, ada 4 yakni :11

1.Kemanusiaan : menuntut manusia diperlakukan sebagai manusia.

10 O.Notohamidjojo, Pidato Dies Natalis ke-9 UKSW, 1965, Quid est homo? Dalam kreatifitas

yang bertanggung jawab : kumpulan pidato dan Karangan, Lembaga Penelitian Ilmu-Ilmu social , Universitas –IKIP Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1973. Pemikiran ini sangat lekat dengan empat konsep humanistic Gadamer, yakni : Bildung, sensus comunis, pertimbangan, dan selera. Lihat Gadamer, Op.cit, hal.10-48

11 O.Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat, 1975, hal. 52-55.

Page 8: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

9

2.Keadilan : Keadilan adalah kehendak ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yg menjadi haknya (ulpianus).

3.Kepatutan /Equity adalah hal wajib dipelihara dalam pemberlakuan UU dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya, guna pergaulan hidup manusia.

4.kejujuran :Yurist memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan curang dalam mengurus perkara.

Kedekatan konsep hukum dari O.Notohamidjojo dengan hukum kodrat terletak

kepeduliannya pada “meta-juridical.” Konsep ini mendahulukan kepentingan manusia

yang lebih besar pada hakekat hukum terdalam yakni demi keadilan dan kemanusiaan.

O.Notohamidjojo menempatkan kehadiran hukum dalam hubungan erat dengan

manusia dan masyarakat.. Habitus hukum yang berpusat pada manusia menjadikan

konsep hukum yang dibangun beliau menjalin keselarasan antara rules dan values in

social life. Pandangan ini bukanlah berarti mengikis rule of law yang berkepastian

hukum, namun lebih berorientasikan pada menempatkan rule of law pada tujuannya

yaitu yang lebih berkeadilan dan memuaskan kebutuhan sosial yang sesungguhnya.

Kedudukan manusia dalam hukum termasuk norma-norma bagi penggembala

hukum merupakan suatu ranah Juristische ethik. Cara pandang o.Notohamidjojo

terhadap penggembalaan hukum adalah bagaimana supaya penggembala hukum

melakukan suatu dialektika keseluruhan. Makna pemikiran O.Notohamidjojo dikaitkan

dengan aplikasi etika, maka ini relevan untuk mengarahkan cara berhukum pada

pencarian, pencerahan dan pembentukan tingkah laku ke aras pencarian makna

pembaruan. Artinya, institusi hukum tidak menjadi sesuatu yang dogmatis dan tertutup

kepada pencerahan demi harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri. Singkatnya,

cara berhukum akan lebih memiliki karakter yang “openmindednes” yang

memungkinkan karakter manusia menjalankan dialog dengan dunia, sesama dan

Tuhan dalam penjiwaan hukum itu.

Mengenai Hati nurani ini bahkan dinyatakan oleh O.Notohamidjojo sebagai

salah satu ukuran untuk taat atau melawan hukum positif. 12 Tegas disampaikan oleh

12 O.Notohamidjojo, Demi keadilan dan kemanusiaan, Op.cit, hal. 81

Page 9: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

10

O.Notohamidjojo yang terilhami oleh Paul Scholten bahwa Keadilan harus dicari dalam

hukum. Hukum itu tergantung pada sebuah keputusan budi nurani. Inilah karakter

humanis yang berpedoman bahwa pemberlakukan hukum memerlukan suatu

kesadaran diri dan hati nurani manusia.

Bagaimanakah lalu aplikasi dari sebuah keputusan hati nurani untuk

memanusiakan manusia dalam hukum? lalu Para penggembala hukum menurut

O.Notohamidjojo dituntut untuk menunaikan tanggung jawabnya sebagai jurist dalam

lima asas yakni :13

1.Melakukan justitialisasi (mengadilkan) hukum.Keputusan jurist yang dalam prakteknya memperhitungkan kemanfaatan (doelmatigheid) perlu diadilkan, dan dijustitiakan.

2.Penjiwaan hukum atau merohanikan hukum. Pejabat hukum harus taat dan kasih akan Allah sebagai sumber segala nomos.Berhukum tidak boleh morosot menjadi suatu adat yang hampa tiada berjiwa.

3.Pengintegrasian hukum . Keputusan hukum tidak hanya perlu diadilkan, dan dijiwakan melainkan juga perlu diintegrasikan dalam system hukum yang sedang berkembang oleh perundang-undangan, peradilan dan kebiasaan.

4.Totalisasi Hukum . Menempatkan hukum dalam keseluruhan kenyataan. Jurist melihat ke bawah segi hukum, kenyataan ekonomi dan social, di atasnya ia melihat segi moral dan religi yang menuntut nilai kebaikan dan kesucian.

5.Personalisasi hukum. Mengkhususkan keputusan pada persona (kepribadian) daripada pihak-pihak yang mencari keadilan dalam proses. Tanggung jawab jurist memuncak sebagai pelindung dari manusia pencari keadilan yang memiliki “dignity of man”.

Dengan demikian, dalam perspektif sekarang ini, merefleksi pemikiran

O.Notohamidjojo akan memberikan sumbangan bagi reformasi akan arogansi hukum

selama ini, yang jauh dari keadilan substansiil masyarakat. O. Notohamidjojo

berpendapat bahwa keadilan itu merupakan suatu kebajikan yaitu kebajikan untuk

suum cuique tribuere (memberikan kepada masing-masing haknya). Adagium yang ada

adalah : bukan hukum untuk hukum, tetapi hukum melayani keadilan, tata dan damai.

Hukum itu harus terbuka dan dibimbing oleh ethika , yang berkomunikasi dengan religi.

13 Ibid,hal. 64-66.Lihat pula O.Notohamidjojo dalam Makna Negara Hukum, BPK Gunung Mulia,

Jakarta, 1970, hal. 83-84

Page 10: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

11

Paul Scholten mengemukakan bahwa ilmu tentang hukum adalah juga ilmu

tentang peristiwa sejarah (perundang-undangan) dan tentang hubungan

kemasyarakatan.... ”Kemurnian” ilmu hukum selalu mengandung sesuatu yang tidak

murni dari bahannya. Jika hal ini tidak dilakukan, maka ia akan menjadi “makhluk tanpa

darah” (bloodless phantom).14

Berangkat dari seorang sufi hukum O.Notohamidjojo, secara jelas tergambar

bahwa beliau bukanlah seorang penganut positivisis/legisme yang menghendaki

dilepaskannya pemikiran metayuridis dari hukum. Hukum dikonsepsi sebagai asas

moral metayuridis tentang hakikat keadilan. Keadilan tidaklah begitu saja ditemukan

dalam perundang-undangan, melainkan harus diperjuangkan Pembuat hukum tidaklah

menemukan hukum , melainkan membuat tersurat nilai dan ideal yang hidup di alam

bawah sadar masyarakat.

Kesimpulan : Cara Berhukum Humanis Bagi Perkembangan Hukum

Refleksi pemikiran O.Notohamidjojo dalam konteks kekinian mengajarkan

keprihatinan bahwa Hukum Modern dalam pandangan legisme memaparkan hukum

yang ekslusive bahkan terlepas dari masyarakat yang ingin dilindungnya. Hukum

bergerak hanya untuk kepentingan hukum sendiri, bukan hanya untuk manusia.

Padahal, tujuan essensiil hukum adalah memanusiakan manusia.

Dengan demikian merefleksi pemikiran O.Notohamidjojo pemaknaan atau

interpretasi hukum adalah menjadi suatu konsep penting dalam penggembalaan

hukum. Penggalian nilai-nilai humanism adalah abstrak. Nilai-nilai tersebut hanya bisa

dipahami dalam pemaknaan yang dimiliki oleh penggembala hukum sebagai

interpretator yang subyektif sifatnya dan sebagai hasil pengolahan akal dan budi dari

manusia penggembala hukum sebagai interpretator itu sendiri. Pemaknaan cara

14 Paul Scholten, Op.cit, Hal.12, 13.

Page 11: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

12

berhukum humanis dengan demikian membutuhkan merupakan hasil oleh akal dan

budi atau hasil aktivitas mental dari penggembala hukum.15

Manusia penggembala hukum perlu memiliki pemikiran yang melampaui

pemikiran diskursif. Pemikiran diskursif yang jejaknya ditemukan pada Descartes dan

Comte memiliki kelemahan, karena implementasi pemikiran ini menimbulkan krisis

kemanusiaan.

Pembelajaran hukum oleh O.Notohamidjojo mengajarkan bahwa hukum timbul

dari rasa wajib yang tertanam dalam jiwa manusia, yakni dalam akal budi dan budi

nurani manusia, sehingga penghormatan martabat dan kodrat manusia memperolah

perhatian utama. Inipun berarti juga menuntut kehidupan harmonis antar manusia

dalam masyarakat dengan menghormati nilai nilai luhur yang hidup masyarakat.

Apabila dikontekstualisasikan pemikiran O.Notohamidjojo dalam kehiupan

hukum sekarang ini dapat dikemukakan dalam beberapa hal :

Pertama, jelas bahwa O.Notohamidjojo mengajarkan bahwa pembelajaran

hukum janganlah membelenggu pada suatu pemikiran yang stagnan dan kering, karena

hukum akan selalu bekerja dalam konteksnya, yaitu masyarakat, manusia. Hukum

senantiasa tidak pernah berhenti mengalami proses pemaknaan. Penggembala hukum

dapat berusaha mencapai realisasi diri yang mengarah pada kepenuhan kesempurnaan

sebagai refleksi atas keterkaitan hukum dan moral, sebagaimana ”Demi Keadilan

Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Pemikiran O.Notohamidjojo terbuka akan

dimensi religius dengan menjadikan paradigma hati nurani sebagai pedoman dalam

cara berhukum humanis. Melalui pemikiran O.Notohamidjojo dalam kekinian, maka

akan memberikan kontribusi bagi pembangunan kultur hukum bagi penggembalaan

hukum yang berpatokan pada ciri hidup religius manusia seperti kesatuan dengan

Tuhan dan sesama. Demikianlah pula seorang juris haruslah memiliki kecerdasan

spiritual untuk memanusiakan manusia.

15 Gregory leyh mengutip Ronald Beiner bahwa pertimbangan merupakan bentuk kegiatan mental…., lihat Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktik, terj. Legal Hermeneutics, terj.M.Khosim, Nusa Media, Bandung, 2008. hal. 400.

Page 12: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

13

Kedua, pembelajaran hukum dari O.Notohamidjojo memproyeksikan dengan

tepat bahwa hukum tidaklah hanya dikaji dari aspek formanya atau proseduralnya,

melainkan pada sisi substansiil hukum atau material dari hukum yakni bahwa hukum

itu harus adil. Hukum pada hakekatnya harus memiliki watak untuk mengetahui , dan

menemukan ideal dalam realitas. Pemikiran ini menjadikan hukum tidak hanya memiliki

pemenuhan aspek formal procedural atau legitimasi juridis,tetapi juga harus memiliki

Substansi keadilan (legitimasi moral), dan penerimaan publik (legitimasi sosiologis).

Ketiga, Ilmu hukum harus dituntut untuk mencapai kematangan dan menjadi

sebenar-benar ilmu untuk lebih melihat realitas hukum dalam “The totally of life” melalui

suatu pendekatan’ humanis ’ terhadap hukum . Oleh karena itu,wajah hukum memiliki

wajah ‘manusia’ /human face. Menilik kearifan ini, maka hukum akan tetap diarahkan

pada aspek human virtue. Sebagaimana dikatakan Scholten bahwa orang tidak hanya

berbicara mengenai penerapan hukum (rechtstoepassing) yang mekanistis melainkan

penemuan hukum (rechtsvinding) yang lebih kreatif. Hukum itu terus menerus digarap

dan ditetapkan oleh keseluruhan konteks sosial.

Keempat, perlunya rekonstruksi atas tafsir monopolisitik negara melalui

perundang-undangan ataupun melalui tangan otoritas penegak hukum. Oleh karena hal

ini merupakan suatu proses sentralisme hukum, yang kurang terjalin dengan relasi

sosial dan tidak mampu menjawab kebutuhan akan keadilan yang sesungguhnya

dalam masyarakat. Cara berhukum humanis ala O.Notohamidjojo mencanangkan

perlunya karakter emansipatif dalam penggembalaan hukum. Keterlibatan masyarakat

atau para pihak memiliki daya pengikat kuat dibanding penerapan hukum negara. Untuk

itu perlu suatu rekonstruksi terhadap rule centered paradigm yang berbasis pada

paradigma legisme positivistis, menuju suatu konsep transformatif yang berbasis

humanis dan mendorong proses pemajuan hak-hak masyarakat yang lebih

substansial.

Hukum yang berempati pada manusia akan menampilkan hukum yang menolak

suatu kekakuan dogmatis, dan absolut pada mekanisme birokratis centered. Hukum

memposisikan diri untuk menjadi fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan

Page 13: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

14

sosial untuk keadilan dan kemanusiaan. Pemikiran ini membuka tabir ideologi tertutup

dan menjernihkan pertimbangan hukum para penggembala hukum dalam pemaknaan

cara berhukumnya. Paradigma ini melahirkan pandangan yang melahirkan konsepsi

dialogis emansipatoris dalam cara berpikir yang humanisme dan melakukan

‘pemahaman atau verstehen ‘terhadap manusia dalam berhukum humanis itu sendiri.

Dalam situasi kekinian mengenai cara berhukum, maka refleksi atas

pemikiran O.Notohamidjojo mengukuhkan ide untuk membangun dan membentuk

norma hukum dengan mengakomodasi etika social dengan menjunjung tinggi nilai-

nilai kemanusiaan yang ada. O.Notohamidjojo dengan tepat menggambarkan bahwa

hukum pada hakekatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan

bermasyarakat. Hukum mewujudkan diri sebagai proses–proses sosial pengaturan atau

pengkaidahan cara berperilaku. Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban,

keteraturan, kedamaian serta keadilan yang dapat dirumuskan sebagai pengabdian

untuk pengayoman manusia. Ini berarti hukum menyatakan diri untuk memperadabkan

masyarakat.

Penutup

Refleksi akan pemikiran O.Notohamidjojo memberikan kontribusi positif

sebagai modal bagi karakter pembangunan hukum yang berorientasikan pada

pendekatan yang berorientasi nilai (value oriented approach) yakni penggalian nilai

keadilan dan kemanusiaan.

Refleksi nilai humanisme dalam berhukum hukum membuka kesempatan

kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang

ekslusif semata, dan menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal

saja. Namun, cara berhukum humanis menganjurkan to learn from the people,

mengajak para pengkaji hukum agar juga menggali dan meneliti makna-makna hukum

dari perspektif para pencari keadilan, guna mencari hakekat hukum demi keadilan

substansial dan kemanusiaan.

Page 14: Refleksi pemikiran O. Notohamidjojo untuk mewujudkan cara ... · Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi ... dengan semata menekankan pada aspek

15

Reformasi hukum dengan berbasis pada pendekatan nilai, akan menjadi

jiwa pada kultur hukum yang mendasari reformasi hukum pada komponen struktur

maupun substansi hukum. Peran ilmu dalam membangun dunia hukum menjadi

penting, karena mencetak para penggembala hukum .

DAFTAR PUSTAKA

Gadamer, Hans–Georg,Truth and Method, terj.Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika oleh Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004

Grondin, Jean, Sejarah Hermeneutik, Dari Plato sampai Gadamer, terj, ArRuzz, Yogjakarta, 2007

Leyh, Gregory, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktik, terj. Legal Hermeneutics, terj.M.Khosim, Nusa Media, Bandung, 2008.

Notohamidjojo, O.,Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975 Notohamidjojo, O., Makna Negara Hukum, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1970. Notohamidjojo, O., Pidato Dies Natalis ke-9 UKSW, 1965, Quid est homo? Dalam

kreatifitas yang bertanggung jawab : kumpulan pidato dan Karangan, Lembaga Penelitian Ilmu-Ilmu social , Universitas –IKIP Kristen Satya Wacana , Salatiga, 1973.

Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2005

Sidharta, B.Arief , Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008.

Wignjosoebroto , Soetandyo Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika masalahnya, Elsam-Huma, Jakarta, 2002.