30
LEMBAR PENGESAHAN Laporan Referat ini diajukan oleh: Nama : Danil Anugrah Jaya (2008730007) Program Studi : Pendidikan Dokter Judul : “Toxoplasmosis Cerebri” Tanggal Persentasi : 3 Oktober 2012 Telah diketahui kebenarannya dan disahkan oleh Pembimbing sebagai bagian persyaratan yang diperlukan dalam menempuh masa kepaniteraan stase Neurology, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pembimbing dr. Susanto Sp. S i

Refer At

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Refer At

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Referat ini diajukan oleh:

Nama : Danil Anugrah Jaya (2008730007)

Program Studi : Pendidikan Dokter

Judul : “Toxoplasmosis Cerebri”

Tanggal Persentasi : 3 Oktober 2012

Telah diketahui kebenarannya dan disahkan oleh Pembimbing sebagai bagian

persyaratan yang diperlukan dalam menempuh masa kepaniteraan stase Neurology,

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas

Muhammadiyah Jakarta.

Pembimbing

dr. Susanto Sp. S

i

Page 2: Refer At

KATA PENGANTAR

 

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan referat ini yang berjudul:

“Toxoplasmosis Cerebri”

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan referat ini masih dari jauh

dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis

telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga

dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan

tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan referat ini.

Akhirnya penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi seluruh

pembaca.

Cianjur, 3 oktober 2012

 

 

Penulis

ii

Page 3: Refer At

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................................iv

DAFTAR TABEL....................................................................................................................v

PENDAHULUAN...................................................................................................................1

PEMBAHASAN......................................................................................................................2

2.1. Definisi..........................................................................................................................2

2.2. Etiologi..........................................................................................................................2

2.3. Daur Hidup....................................................................................................................3

2.4. Patofisiologi..................................................................................................................4

2.5. Gejala Klinis.................................................................................................................6

2.6. Diagnosis.......................................................................................................................7

2.6.1. Pemeriksaan Serologi.............................................................................................7

2.6.2. Pemeriksaan cairan serebrospinal...........................................................................7

2.6.3. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)....................................................8

2.6.4. CT scan..................................................................................................................8

2.6.5. Biopsi otak.............................................................................................................9

2.7 Penatalaksanaan.............................................................................................................9

2.8. Pencegahan.................................................................................................................12

KESIMPULAN......................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................16

iii

Page 4: Refer At

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Siklus hidup toksoplasma gondii ...........................................................................7

Gambar 2. CT scan pada Ensephalitis serebri.........................................................................12

Gambar 3. Algoritma management toxoplasmosis.................................................................15

iv

Page 5: Refer At

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Hubungan infeksi oportunistik dengan jumlah sel CD4 pada penderita HIV............10

v

Page 6: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Ensefalitis toxoplasma merupakan jenis infeksi oportunistik sistem saraf pusat

(SSP) yang banyak dijumpai pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus

(HIV). Toksoplasma gondii, suatu parasit bersel satu, dapat ditemukan di seluruh

dunia. Infeksi ini menyebabkan gejala yang bersifat subakut dengan disfungsi fokal

disertai gambaran ensefalitis non fokal. Sebelum ditemukannya obat antiretrovirus

yang digunakan sebagai pencegahan, ensefalitis toksoplama terjadi pada 60% pasien

infeksi HIV. Gejala neurologis sebagai manifestasi awal acquired immunodeficiency

syndrome (AIDS) ditemukan pada 7-20% kasus dan 30-70% penderita AIDS akan

mengalami gangguan neurologis.1

Di Indonesia sendiri, menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

jumlah penderita terinfeksi HIV tahun 2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000

orang. Sebagian besar tersangka HIV ini merupakan pengguna obat narkotika suntik

(Intravenous drug users ).2

Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi

kelainan neurologis. Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang

terinfeksi HIV adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis criptococcal,

CMV ensefalitis dan progressive multifocal leukoencephalopathy.3

Manifestasi klinis fokal biasanya berhubungan dengan lesi hemisfer,

mempunyai predileksi di basal ganglia, sedang lesi batang otak jarang ditemukan.

Gejala non fokal yang ditemukan dapat berupa sakit kepala, demam, penurunan

kesadaran, letargi, dan delerium kadang-kadang sampai koma. Dengan pemeriksaan

Computerized Tomography (CT scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI), lesi

multipel pada korteks dan subkortikal (thalamus dan ganglia basalis) dapat temukan.

Gambaran CT scan menyerupai gambaran abses. Pemeriksaan serologis terhadap

toksoplasma dan biopsi otak dapat membantu diagnosis.1

1

Page 7: Refer At

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Toxoplasma serebri adalah infeksi pada otak yang disebabkan oleh parasit

Toxoplasma gondii yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat

ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging

mentah atau kurang matang. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Disebut

juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDS yang tidak

diobati. 3

2.2. Etiologi

Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, Begitu parasit masuk ke dalam

sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat

dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Transmisi pada

manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang

mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang

terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi

transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. 4

Terdapat 2 macam bentuk dari Toxoplasma yaitu bentuk intraseluler dan

bentuk ekstraseluler. Bentuk intraseluler berbentuk bulat atau lonjong menempel di

leukosit dan bersikulasi dalam aliran darah dan menuju jaringan, sedang bentuk

ekstraseluler bebas dalam aliran darah berbentuk seperti bulan sabit yang langsing,

dengan ujung yang satu runcing sedang lainnya tumpul. Ukuran parasit micron 4-6

mikron, dengan inti terletak di ujung yang tumpul.4

Jumlah parasit dalam darah akan menurun dengan terbentuknya antibodi

namun kista Toxoplasma yang ada dalam jaringan tetap masih hidup. Tissue cyst ini

akan reaktif jika terjadi penurunan kekebalan tubuh. 4

2

Page 8: Refer At

2.3. Daur Hidup

Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk : thachyzoite, tissue cyst (yang

mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir

dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing

merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu

perantara, (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau

oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau

sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites

,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit

ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini

dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak,

myocardium, paru, otot skeletal dan retina.5

Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan sampai

67o C, didinginkan sampai -20o C atau oleh iradiasi gamma. Siklus seksual entero-

epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi infeksius

setelah menelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir

selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan

dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi

biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama

lebih dari 1 tahun. 5

Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba

yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau

kontak langsung dengan Feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat

transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu

yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh

yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan

timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak.5

3

Page 9: Refer At

Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (thachyzoite).

thachyzoite ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.5

HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas Pada

2.4. PatofisiologiPasien yang terinfeksi HIV, jumlah cluster of differentiation (CD4) limfosit T

dapat menjadi prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien

dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat

tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200

sel/mL adalah pneumocystiscarinii , CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii ,

dan CD4 < 50 adalah M. aviumComplex , sehingga diindikasikan untuk pemberian

profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat menyebabkan infeksi

oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL. 6

4

Gambar 1. Siklus hidup toksoplasma gondii . 4

Page 10: Refer At

kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang

mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4

adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim,

dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus

kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan

meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem

kekebalan tubuh. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh

pada penderita HIV/AIDS. 4

Imunitas seluler yang diperantarai oleh sel T, makrofag dan aktivitas dari

sitokin tipe 1 (interleukin [IL]-12 dan interferon [IFN]-gamma) berperan penting

dalam infeksi T gondii kronis. Interleukin 12 diproduksi oleh antigen presenting cells

seperti sel dendrit dan makrofag. IL-12 akan menstimulasi produksi dari IFN-gamma,

suatu mediator mayor untuk proteksi pejamu melawan intraseluler patogen. IFN-

gamma kemudian akan menstimulasi anti aktivitas T-gondii, tidak hanya dari

makrofag tapi juga dari sel nonfagositosis. Produksi dari IL-12 dan IFN-gamma

distimulasi oleh CD-154 (juga dikenal sebagai ligand CD40) pada infeksi T.gondii

pada manusia. CD 154 (primer diekspresi pada aktivasi CD4 T sel) bekerja dengan

diperantarai oleh sel dendrit dan makrofag untuk mengsekresi IL-12, yang akan

kembali meningkatkan produksi dari IFN-gamma oleh sel T. TNF-alfa adalah sitokin

esensial lain untuk mengendalikan infeksi kronis T gondii. 7

Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti

toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan

produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel

dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-

gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap

T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis

dihubungkan dengan infeksi HIV.4

Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi

prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien

5

Page 11: Refer At

dengan CD4< 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat

tinggi.

Jumlah sel CD4 Patogen Manifestasi

200 – 500 /mcL S. pneumoniae, Hinfluenzae Community aquired pneumonia(

CAP )

M. tuberculosis TB paru

C. Albicans Sariawan, candida vagina

HSV 1& 2 Herpes orolabial, genital,

perirectal

Virus varicela-zoster Ruam pada saraf

Virus epstein-barr Oral hairy lukoplakia

Human herpesvirus B Sarkoma Kaposi

100-200 /mcL Semua di atas ditambah :

P. carinii Pneumonia

C. parvum Diare kronik

50 - 100 /mcL Semua di atas ditambah :

T. gondii Ensefalitis

C. albacans Ensefalitis

C. Neoformans Meningitis

C. Capsulatum Penyakit diseminata

Microsporidia Diare kronik

M. tuberculosis TB ekstrapulmoner

R. equi Pneumonia

HSV 1 & 2 HSV diseminata

Virus varicela-zoster VZV diseminata

Virus epstein-barr Limfoma primer SSP

<50 mcL Semua di atas ditambah :

M. avium complex MAC diseminata

cytomegalovirus Retinitis, diare, ensefalitis

Tabel 1. hubungan CD4 dengan infeksi opotunistik

6

Page 12: Refer At

2.5. Gejala Klinis

Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus

HIV dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang

subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%),

nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi

didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75%

kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus,

demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.4

Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan

gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan,

gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement disorders dan

menifestasi neuropsikiatri.7

Ditemukan adanya movement disorder pada pasien ini diduga berhubungan

dengan letak lesi, yaitu pada ganglia basalis. Movement disorder terjadi akibat

disfungsi dari struktur ganglia basalis.7

2.6. Diagnosis

2.6.1. Pemeriksaan Serologi

Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan

IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan

IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi

pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan

dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked

immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah

infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa

minggu setelah infeksi. 8

7

Page 13: Refer At

2.6.2. Pemeriksaan cairan serebrospinalMenunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan

elevasi protein.8

2.6.3. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)Digunakan Mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. PCR untuk T.gondii

dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor

dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada

jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama

berada di otak setelah infeksi akut.9

2.6.4. CT scanPemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple, bilateral

dan menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada 70-80%

kasus7. Lesi ini berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric corticomedullary

junction. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibanding CT Scan. Ditemukannya lesi

pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI tidak patognomonik untuk ensefalitis

toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis banding dengan limfoma SSP dan

criptococcus.9

8

Page 14: Refer At

Gambar 2. CT scan pada Ensephalitis serebri 7

2.6.5. Biopsi otakUntuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak

2.7 Penatalaksanaan

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan

terapi empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama 2 minggu,

kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun

radiologi, diagnosis adanya ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan terapi ini

dapat di teruskan.10 Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan

9

Page 15: Refer At

radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan

lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.10, 11

a. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.

Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.10, 11

b. Toxoplasma Gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin

menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat

penggunaannya. 10, 11

c. Kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan

sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. 10, 11

 d. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-

100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam. 10, 11

 e. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum

tulang. 10, 11

 f. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan

Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau

atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3

minggu setelah perbaikan gejala klinis. 10, 11

 g. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi

HIV dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau

limfosit total kurang dari 1200. 10, 11

Tindak lanjut CT scan / MRI harus dilakukan sekitar 2 minggu setelah mulai

pengobatan untuk memastikan respon pengobatan, dilakukam setiap 4-6 minggu

sampai terdapat penyelesaian massa lesi. 10, 11

Pasien dengan tanda-tanda klnis dan gambaran pemeriksaan penunjang

menunjukan diagnosis toksoplasmosis jarang gagal pengobatan anti-toksoplasmosis

klasik. Jika memang terjadi kegagalan, penggunaan terapi pengganti, misalnya

10

Page 16: Refer At

azitromisin, klaritromisin, atovakuon, trimetreksat, doksisiklin. Harus diingat bahwa

pasien yang gagal merespon pengobatan anti-toksoplasmosis mungkin memiliki

patologi lain atau bersamaan, misalnya limfoma, tuberculoma, atau progresif multi-

focal leucoencephalopathy. biopsi otak dapat membantu untuk memperoleh diagnosis

dan memudahkan pengobatan. 10

Gambar 3. Algoritma management toxoplasmosis. 11

11

Page 17: Refer At

2.8. Pencegahan

Pencegahan (Profilaksis primer)

T gondii-seronegatif, orang terinfeksi HIV harus diinstruksikan tentang

langkah-langkah untuk mencegah akuisisi infeksi T.gondii Orang-orang ini harus

makan daging hanya jika dimasak dengan baik (suhu internal 116 ° C) dan harus

mencuci tangan setelah menyentuh daging yang kurang matang. Buah-buahan dan

sayuran harus dicuci sebelum dikonsumsi. Pasien harus menghindari kontak dengan

bahan-bahan yang mungkin terkontaminasi dengan kotoran kucing, dan sarung

tangan harus dipakai selama berkebun. Kotoran kucing harus dibuang setiap hari

untuk menghindari pematangan ookista, dan kotak sampah dapat dibersihkan oleh

paparan air mendidih selama 5 menit.11

Profilaksis primer terhadap toksoplasmosis dianjurkan dalam T gondii-

seropositif pasien dengan sel T CD4 jumlah <100/μL terlepas dari status klinis, dan

pada pasien dengan CD4 T-sel yang rendah <200/μL jika infeksi oportunistik atau

keganasan berkembang. Trimethoprim-sulfamethoxazole, pirimetamin-dapson, dan

pirimetamin-sulfadoksin efektif dalam pencegahan ensefalitis toksoplasma di pasien

terinfeksi.11

Profilaksis skunder

Saat ini rejimen anti T gondii tidak membasmi tissue cyst. Hal ini mungkin

menjelaskan mengapa, tanpa adanya ART yang efektif, 50-80% pasien dengan AIDS

yang tidak menerima terapi profilaksis skunder mengalami kekambuhan ensefalitis

toksoplasma pada 12 bulan. Pasien dengan AIDS terkait toksoplasmosis karena itu

harus ditempatkan pada rejimen perawatan setelah selesainya fase akut pengobatan.

12

Page 18: Refer At

Terapi pemeliharaan biasanya terdiri dari obat yang sama yang digunakan untuk

terapi utama tetapi pada dosis yang lebih rendah.11

Sebuah studi prospektif acak menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam hasil klinis pasien yang diobati dengan terapi pemeliharaan terdiri

dari pirimetamin ditambah sulfadiazin dibandingkan pirimetamin ditambah

clindamycin. Namun, studi lain melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari

kekambuhan pada pasien yang menerima terapi pemeliharaan dengan pirimetamin

ditambah klindamisin. dengan catatan, pasien dalam studi kedua menerima dosis

rendah klindamisin (1.200 mg / hari). Pirimetamin ditambah sulfadiazine (tapi tidak

pirimetamin ditambah klindamisin) juga menyediakan profilaksis terhadap

pneumonia Pneumocystis.10, 11

Pirimetamin sulfadoksin ditambah telah dilaporkan efektif sebagai terapi

pemeliharaan. (65) Sayangnya, efek samping yang relatif umum. Alternatif untuk

pasien yang tidak mentolerir regimen konvensional termasuk pirimetamin saja, atau

ditambah pirimetamin baik atovakuon, klaritromisin, atau azitromisin.11

Meskipun penelitian in vitro menunjukkan bahwa ART tidak sepenuhnya mengembalikan sel-dimediasi kekebalan terhadap T gondii di semua pasien yang terinfeksi HIV, penggunaan ART yang efektif telah dikaitkan dengan penurunan mortalitas dan kejadian infeksi oportunistik (termasuk ensefalitis toksoplasma) di pasien terinfeksi HIV. Temuan mendorong studi yang menyelidiki keamanan menghentikan profilaksis terhadap patogen oportunistik pada pasien yang menerima ART yang efektif.11

Studi observasi dan acak menunjukkan bahwa itu aman untuk menghentikan profilaksis primer terhadap T gondii pada pasien dewasa dan remaja yang CD4 T-sel jumlah meningkat menjadi 200/μL> selama minimal 3 bulan dalam menanggapi ART. 11

Ada data yang lebih terbatas mengenai keamanan menghentikan terapi pemeliharaan kronis terhadap ensefalitis toksoplasma untuk pasien yang menerima ART. Tampaknya masuk akal untuk mempertimbangkan menghentikan terapi pemeliharaan pada pasien yang telah menyelesaikan pengobatan fase akut untuk

13

Page 19: Refer At

ensefalitis toksoplasma, yang bebas dari tanda dan gejala yang timbul penyakit ini, dan telah mengalami pengobatan berkelanjutan (> 6 bulan) peningkatan CD4 T-sel sampai > 200 / uL pada kombinasi ART. Meskipun belum ada penelitian yang secara langsung ditujukan kriteria untuk restart profilaksis, maka akan lebih bijaksana untuk reinisiatif profilaksis primer dan sekunder pada pasien yang CD4 T-sel jumlah menurun menjadi <200/μL.11

2.9. Prognosis

Banyak pasien cukup respon dengan pengobatan tapi prognosis jangka

panjang masih terbatas. Justru kematian sering terjadi dalam 14 bulan setelah

pengobatan adalah karena demensia.11

Mengingat angka relaps yang sangat tinggi Kovacs dan Masur menganjurkan

pemberian pirimetamin-sulfadiazin seumur hidup sebagai profilaksis sekunder. 11

14

Page 20: Refer At

BAB III

KESIMPULAN

Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika belum

terinfeksi toksoplama, dapat menghindari risiko terpajan infeksi dengan tidak

memakan daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut jika

membersihkan kandang kucing. Dapat memakai obat anti-HIV yang untuk menahan

jumlah CD4. Ini kemungkinan akan mencegah masalah kesehatan diakibatkan

toksoplama. Dengan diagnosis dan pengobatan dini, toksoplama dapat diobati secara

efektif. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada

penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti

penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa dan jamur dan juga mudah

terkena penyakit keganasan. Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada

penyakit infeksi yang ditimbulkan. Pengobatan status kekebalan tubuh dengan

menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel

limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat

menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan atau rehabilitasi dan edukasi.

15

Page 21: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

1. Wood AJJ, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infections in patients with

human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med 2000; 342 : 1416-26.

2. Djauzy S, Yunihastuti E. Terapi ARV pada HIV/AIDS, disampaikan pada one day

seminar ”Update on Developments in the fight against Aids, cancer and related

infectious diseases”.Jakarta, 14 Agustus 2004.

3. Mamidi A, DeSimone J, Pomerantz R. Central Nervous system infections in individuals with

HIV-1 infection. J NeuroVirol 2002; 8: 158-67

4. George Sara Mathew, MD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A

Case Report and Review of Pathogenesis and Laboratory Diagnosis. October, 2012.

Availabel at URL :

http://www.bahrainmedicalbulletin.com/june_2009/Toxoplasmosis.pdf.

5. Lamoril J. Detection by PCR of Toxoplasma gondii in blood in the diagnosis of

cerebral toxoplasmosis in patients with AIDS. October, 2012. Availabe at :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1023168/.

6. Patterson TF, Patterson JE, Barry M, Bia FJ.Parasitic infections of the central

nervous system in infections of the nervous system. Springer Verlag.1990. p.234-37.

7. Simon RP, Aminoff MJ, Greenberg DA. Movement disorders in Clinical eurology,

4th ed, 2000. McGraw Hill. p.228-52.

8. Patterson TF, Patterson JE, Barry M, Bia FJ.Parasitic infections of the central

nervous system in infections of the nervous system. Springer Verlag.1990. p.234-37.

9. Sabauste CS. Toxoplasmosis and HIV in HIV insite knowledge base chapter.

University of Cincinati college of medicine. Jan 2004. Availlable at :

http://HIVinsite.com

10. Wig Naveet, Wali JP. Central nervous system and HIV/AIDS. J Indian Academy

Clin Med 5; 2: 163-68.

11. Berger JP, Fayssal NGA, Cohen BA, Conant K, Deangelis LM, Dirocco A,et all. The

neurologic complication of AIDS.Continuum. 2000.p128-49.

16