23
REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS PADA TAHUN 2011-2015 Hanan Rananta Arbi Abstract Islamophobia is an excessive feeling of fear towards Muslims. This tendency has been emerged in the Europe for a long term of period which then trigger the emergence of discrimination toward Muslim community that lived in that region. Although the contact between European and Islam civilization has been occur even before the appearing of nation- state concept, yet this situation is not capable to prevent the different treatment to the Muslim imigrant in almost every sector. This Islamophobia was becoming obvious after the bombing incident that destroy the World Trade Center Buliding in 2001. The radical incident which behalf in the name of Islam then increase the abusive activity both physically and verbally towards Muslim. European Union as the regional institution, by all means, its policy is being influenced by the political situation in the member states. The emerging of Islamophobia in the member states, especially in France pushed the European Union to create policy alike. This paper will give explanation regarding response of European Union towards Islamophobia and the influence of this negative stereotype to the Muslim community. Keywords: Islamophobia, European Union, Immigration,Terrorism Pendahuluan Ajaran Islam di Eropa telah masuk dan berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Diawali oleh penaklukan negara Andalusia pada tahun 756-1492 di Semenanjung Iberia, dan kemudian melalui Sisilia, serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah pada tahun 1389. Kehadiran Islam di Eropa kemudian berlanjut melalui imigrasi umat Islam dari negara-negara Islam ke Eropa pasca Perang Dunia Kedua. Walaupun masyarakat Eropa mayoritas memeluk ajaran agama non Islam, namun perkembangan Islam di Eropa sendiri terbilang cukup pesat. Namun demikian, hingga saat ini penduduk yang beragama Islam masih menjadi minoritas di tanah Eropa. Pasca Perang Dunia Kedua yang telah meluluh lantahkan sebagian besar negara- negara di Eropa, pembangunan di Eropa membutuhkan tenaga pekerja dari luar Eropa untuk membangun kembali infrastruktur negara mereka yang telah hancur. Negara-negara di wilayah Eropa Barat mempekerjakan para pekerja dari negara-negara yang mayoritas berpenduduk dan berbudaya Islam, seperti Aljazair, Maroko, India, dan juga Turki. 1 Para pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan tidak jarang diantara mereka yang hidup hingga berkeluarga di tempat mereka bekerja. Sebagian besar pekerja asing beserta keluarga kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat 1 Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 110. 2008.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI · PDF filemerupakan terjemahan dari Bahasa Arab.13 Selain itu, negara-negara di Eropa juga sudah

Embed Size (px)

Citation preview

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI

PERANCIS PADA TAHUN 2011-2015

Hanan Rananta Arbi

Abstract

Islamophobia is an excessive feeling of fear towards Muslims. This tendency has been

emerged in the Europe for a long term of period which then trigger the emergence of

discrimination toward Muslim community that lived in that region. Although the contact

between European and Islam civilization has been occur even before the appearing of nation-

state concept, yet this situation is not capable to prevent the different treatment to the Muslim

imigrant in almost every sector. This Islamophobia was becoming obvious after the bombing

incident that destroy the World Trade Center Buliding in 2001. The radical incident which

behalf in the name of Islam then increase the abusive activity both physically and verbally

towards Muslim.

European Union as the regional institution, by all means, its policy is being

influenced by the political situation in the member states. The emerging of Islamophobia in

the member states, especially in France pushed the European Union to create policy alike.

This paper will give explanation regarding response of European Union towards

Islamophobia and the influence of this negative stereotype to the Muslim community.

Keywords: Islamophobia, European Union, Immigration,Terrorism

Pendahuluan

Ajaran Islam di Eropa telah masuk dan berkembang sejak berabad-abad yang lalu.

Diawali oleh penaklukan negara Andalusia pada tahun 756-1492 di Semenanjung Iberia, dan

kemudian melalui Sisilia, serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah

pada tahun 1389. Kehadiran Islam di Eropa kemudian berlanjut melalui imigrasi umat Islam

dari negara-negara Islam ke Eropa pasca Perang Dunia Kedua. Walaupun masyarakat Eropa

mayoritas memeluk ajaran agama non Islam, namun perkembangan Islam di Eropa sendiri

terbilang cukup pesat. Namun demikian, hingga saat ini penduduk yang beragama Islam

masih menjadi minoritas di tanah Eropa.

Pasca Perang Dunia Kedua yang telah meluluh lantahkan sebagian besar negara-

negara di Eropa, pembangunan di Eropa membutuhkan tenaga pekerja dari luar Eropa untuk

membangun kembali infrastruktur negara mereka yang telah hancur. Negara-negara di

wilayah Eropa Barat mempekerjakan para pekerja dari negara-negara yang mayoritas

berpenduduk dan berbudaya Islam, seperti Aljazair, Maroko, India, dan juga Turki.1 Para

pekerja asing ini semakin hari semakin besar jumlahnya, bahkan tidak jarang diantara mereka

yang hidup hingga berkeluarga di tempat mereka bekerja. Sebagian besar pekerja asing

beserta keluarga kurang bisa membaur dengan kebiasaan dan kebudayaan asli negara tempat

1 Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. Hlm. 110. 2008.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

mereka bekerja. Hal ini tidak jarang menyebabkan konflik di masyarakat yang berujung pada

kerusuhan dan kekerasan. Kejadian-kejadian seperti ini yang semakin memupuk stigma

negatif terhadap Islam. Sentimen terhadap Islam inilah yang sering disebut dengan

Islamophobia.

Istilah Islamophobia sendiri adalah perasaan ketakutan atau kebencian terhadap Islam,

orang-orang yang memeluk ajaran Islam, maupun budaya Islam.2 Istilah Islamophobia

muncul pertama kali pada tahun 1922 dalam sebuah essai yang berjudul L’Orient vu

del’Occident karya Etienne Dinet, seorang tokoh orientalis asal Perancis. Seiring

berkembangnya waktu, pada sekitar tahun 1990-an Islamophobia dijadikan sebuah istilah

yang digunakan untuk mendefinisikan perlakuan diskriminatif yang diterima oleh umat Islam

di wilayah Eropa Barat. Walaupun definisi dari istilah Islamophobia masih menjadi

perdebatan, namun secara garis besar memiliki maksud dan makna yang mengarah pada

suatu keseragaman mengenai terbentuknya ideologi atau sebuah pemikiran ketakutan yang

dianggap tidak wajar terhadap Islam. Perasaan ketakutan inilah yang menjadi akar dari

pemikiran yang menganggap bahwa seluruh kaum muslim atau pemeluk agama Islam

merupakan pengikut fanatik ajarannya, yang mempunyai potensi untuk melakukan kekerasan

terhadap orang yang tidak menganut ajaran Islam dan juga meyakini bahwa ajaran Islam

menolak nilai-nilai seperti toleransi antarumat, belas kasihan, bahkan demokrasi.3

Pada tahun 2001 di Amerika Serikat terjadi peristiwa 9/11 yang telah memberikan

dampak buruk terhadap citra Islam di dunia Barat. Tindakan radikal ini tidak hanya membuat

kerugian kepada kelompok garis keras. Lebih lanjut, terorisme dan radikalisme menyebabkan

meningkatnya Xenophobia di Eropa terhadap Islam. Hingga saat ini, Islamophobia masih

terus berkembang di Eropa. Pelarangan pembangunan menara Masjid di Swiss menjadi

pemicu berkembangnya hal serupa.4 Hal ini tentu memberikan dampak yang negatif terhadap

kebebasan beragama bagi umat muslim di benua tersebut.

Di kawasan Eropa, Islamophobia bukanlah sebuah fenomena baru. Sekitar semenjak

abad delapan masehi gejala kebencian terhadap Islam telah muncul di Eropa, dan hingga saat

ini telah berkembang dalam berbagai bentuk. Namun fenomena Islamophobia di Eropa kian

hari kian menjadi lebih kompleks semenjak tragedi 9/11 yang terjadi di Amerika Serikat,

Bom Bunuh Diri di London, Inggris pada 7 Juli 2005, Bom Bunuh Diri di Spanyol, serta

pembunuhan politikus Belanda, Pim Fortuyn oleh seorang warga Belanda keturunan Maroko.

Ketika beberapa tragedi teror mulai menyebar di Eropa, masyarakat Eropa mulai

kembali terprovokasi untuk memandang Islam dengan penuh ketakutan dan kecurigaan.

Beberapa kalangan yang tidak bertanggung jawab yang mayoritas berasal dari kelompok-

kelompok kanan konservatif seperti beberapa partai politik semisal Barisan Nasional Perancis

(French National Front), Partai Nasional Inggris (British National Party) dan Partai Pim

Fortuyn List Belanda menjadikan isu-isu teror tersebut sebagai isu politik mereka sehingga

semakin menciptakan prasangka buruk serta ketakutan terhadap orang-orang Islam.5

Sentimen terhadap Islam kerap dijadikan sebagai alat untuk memperoleh simpati dan

dukungan dari para simpatisan partai-partai tersebut.

Indikasi mengenai penyebaran Islamophobia di Eropa, terutama di Eropa Barat, telah

diperkuat oleh adanya laporan dari The European Monitoring Centre on Racism and

Xenophobia (EUMC), sebuah LSM pemantau Uni Eropa, mengenai “Laporan Islamophobia

2 Muhammad Qobidl „Ainul Arif. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. Hlm. 1. 2014. 3 Daniel Norman. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University Press. Vide. 1980. 4 Okezone. 20 April, 2010. “Belgia Larang Penggunaan Cadar.”

http://international.okezone.com/read/2010/04/01/18/318365/belgia-larang-penggunaan-cadar, diakses 17 Juni

2015 pukul 19:45 WIB, Surakarta. 5 „Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 2.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

di UE pascatragedi 9/11.”6

Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa kondisi yang kurang

menguntungkan sedang dialami oleh kaum muslim minoritas di Eropa. Bukti-bukti mengenai

merebaknya Islamophobia di Eropa serta pengucilan terhadap komunitas muslim di Eropa

yang mengarah terhadap radikalisasi semakin meningkatkan perdebatan di Uni Eropa.7

Salah satu negara Eropa Barat yang memiliki sentimen negatif terhadap Islam ini

adalah Perancis. Meskipun Islamophobia di Perancis ini sudah tumbuh sepanjang sejarah,

namun peristiwa pengeboman World Trade Center pada 11 September 2001 menjadi salah

satu isu yang memicu munculnya Islamophobia dalam bentuk aksi. Pasca peristiwa 9/11

tersebut Islam di Perancis mengalami perlakuan rasisme hampir di semua sektor sosial.8 Hal

ini dapat dilihat dari data, bahwa dari tahun 2001 hingga 2004, terdapat banyak sekali

penyerangan yang dilakukan terhadap tempat ibadah Islam. Lebih jauh lagi, berbagai website

yang mengumandangkan anti-Islam pun mulai bermunculan di lingkungan masyarakat

Perancis. Sejalan dengan berbagai aksi pengrusakan Masjid, jumlah penyerangan terhadap

individu pun juga semakin meningkat, terutama terhadap para perempuan yang menggunakan

hijab. Fenomena ini kemudian disebut sebagai hijabophobia.9 Bahkan bagi masyarakat

Perancis sendiri, hijab merupakan salah satu simbol fundamentalis Islam yang terkesan

mengancam dan membahayakan nilai-nilai dasar republik dan sekular.10

Jika melihat sejarah kebelakang, Uni Eropa tentunya sudah cukup akrab dengan

kebudayaan Islam. Walaupun pada awal pembentukan Uni Eropa memang hanya berdasar

pada pertimbangan ekonomi semata. Dimulai sejak tahun 1951 dengan berdirinya European

Coal and Steel Community yang kemudian berkembang menjadi European Economic

Community pada tahun 1957, setiap aktivitas institusi maupun permasalahan perluasan

keanggotaan pada saat itu semuanya berdasarkan pada pertimbangan ekonomi semata.11

Namun, seiring dengan perubahan dunia yang terjadi serta globalisasi yang juga mulai

meluas, isu-isu kontemporer mengenai identitas juga semakin berkembang di dalam tubuh

Uni Eropa sendiri. Merujuk pada berbagai peristiwa sentimen terhadap agama Islam di Perancis yang

memang lebih terlihat memburuk dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat lainnya,

Uni Eropa sebagai organisasi kawasan induk di Eropa sudah seharusnya memiliki porsi dan

peranannya dalam merespon munculnya fenomena anti-Islam tersebut. Sebagai sebuah

organisasi kawasan yang telah berhasil mengintegrasikan banyak negara dengan latar

belakang sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berbeda-beda, Uni Eropa harus

mampu membuat formulasi kebijkan yang dapat diterima oleh seluruh negara anggotanya.

Proses pembuatan kebijakan tersebut tentunya sangat penting karena mengingat Uni Eropa

menganut asas common security and foreign policy, sehingga akan mengikat seluruh negara

anggota untuk menerapkannya. Selain itu, munculnya Islamophobia di Perancis, juga

dianggap penting oleh Uni Eropa karena isu tersebut dianggap sangat sensitif dan mudah

menyebar, sehingga dikhawatirkan akan menyebar dan mengganggu stabilitas di negara-

negara lainnya. Hal ini apabila sampai terjadi tentunya akan menjadi ancaman serius bagi Uni

Eropa itu sendiri.

6 Chris Allen dan Jorgen S. Nielsen. “Summary Report on Islamophobia in the EU after 11 September 2001.”

http://fra.europe.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-report_en.pdf, diakses 14 Juni 2015 pukul 8:21

WIB, Surakarta. 7 Stephen Castle. T.t. “Islamophobia Takes a Grip Across Europe”. http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 14 Juni 2015 pukul 13:11 WIB, Surakarta. 8 Vincent Geisser. Islamohobia: A French Specifity in Europe?. Human Architecture: Journal of the Sociology

of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010. 9 Geisser. Op. Cit. 10 Ibid. 11 „Ainul Arif. Op. Cit. Hlm. 4.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Politik Luar Negeri Uni Eropa Terhadap Negara-Negara Islam

Kontak pertama Eropa dengan masyarakat Muslim pada dasarnya sudah dimulai

bahkan sebelum munculnya negara-negara berdaulat. Komunitas Islam telah lama tinggal di

wilayah Balkan dan Baltik selama berabad-abad, sehingga interaksi dalam bentuk

perdagangan ataupun pendidikan menjadi hubungan yang lazim ditemukan pada masa itu.

Menilik pada sejarah, peradaban Islam merupakan salah satu peradaban yang memberikan

pengaruh besar bagi kemajuan di Eropa. Wilayah Mediterania dan Timur Tengah bahkan

telah tumbuh menjadi kota perdagangan yang lebih tua dibandingkan dengan Italia.12

Pemikir-pemikir modern Eropa pun sedikit banyak dipengaruhi pula oleh pemikir-pemikir

Arab. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya berbagai karya dan buku yang

merupakan terjemahan dari Bahasa Arab.13

Selain itu, negara-negara di Eropa juga sudah

menjalin kontak dengan lingkungan Muslim dalam bentuk negara kolonial. Hal ini

didasarkan oleh adanya fakta bahwa sebagian tanah jajahan Inggris, Perancis, dan Belanda

merupakan wilayah-wilayah dengan populasi Muslim yang memiliki jumlah cukup

signifikan.14

Keruntuhan peradaban Islam Agung yang berpusat di Turki yang diikuti dengan

kebangkitan masyarakat Eropa pasca Perjanjian Westphalia yang mengawali munculnya

konsep akan negara berdaulat menjadi titik balik bagi komunitas Islam. Interaksi yang

dulunya bersifat satu arah15

berubah menjadi komunikasi dua arah yang didominasi oleh

Eropa. Pada pertengahan abad 20, masyarakat Muslim mulai berdatangan ke Eropa yang

dipicu oleh motif ekonomi untuk mencari pekerjaan dan kesejahteraan. Kebanyakan dari

mereka merupakan pekerja yang berasal dari daerah-daerah urban, guna memenuhi

kebutuhan Eropa akan pekerja murah.16

Wilayah-wilayah yang dulunya dikolonisasi oleh negara-negara Eropa juga

memainkan peranan signifikan dalam fenomena migrasi dan persebaran demografi Muslim di

Eropa. Di Perancis misalnya, masyarakat Muslim migran didominasi oleh orang-orang yang

berasal dari daerah protektorat Perancis, seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia.17

Sedangkan

di Inggris migran Muslim kebanyakan berasal dari Bangladesh dan Pakistan. Pada tahun

1980-an, gelombang migrasi kedua pun muncul yang didominasi oleh para pencari suaka.

Kemudian memasuki tahun 1990-an, migrasi dari negara-negara Muslim yang memasuki

kawasan Eropa dapat dikategorikan secara umum sebagai berikut:18

1. Di wilayah Eropa Utara, migrasi komunitas Muslim didominasi oleh para

imigran yang secara resmi melalui pengajuan aplikasi pencarian suaka dan

didorong oleh perang sipil yang berkepanjangan di daerah perbatasan Eropa.

2. Sedangkan di Eropa bagian selatan, migrasi kebanyakan terjadi secara ilegal

seperti praktek-praktek perdagangan manusia dan umumnya juga didorong

oleh motif ekonomi.

Berdasarkan pada paparan tersebut dapat dilihat bagaimana, pada dasarnya Eropa

sudah terhubung cukup kuat dengan budaya-budaya Islam. Meskipun demikian, hal ini

12 Michelin R. Ishay. The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization Era. Barkeley and Los Ageles: University of California Press. Hlm. 67. 2004. 13 Ibid. 14 EUMC. “Muslim in the European Union: Discrimination and Islamophobia.” http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:07 WIB, Surakarta. 15

Michelin R. Ishay, loc. cit. 16

EUMC, loc. cit. 17

Ibid. 18 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

ternyata tidak mampu menghindarkan berbagai tindak diskriminasi oleh warga kulit putih

terhadap minoritas Muslim yang tinggal di Eropa. Diskriminasi ini mencakup berbagai sektor

mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga dalam sektor perumahan. Data resmi menunjukkan

bagaimana indikator pekerjaan di berbagai negara Eropa dalam situasi normal tidak

ditargetkan untuk masyarakat Muslim. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris,

Perancis, dan Belanda berhasil memberikan informasi yang cukup akurat bahwa warga yang

beragama Islam dan berlatarbelakang dari negara-negara Magribi memiliki kesempatan lebih

kecil untuk diterima dalam sebuah perusahaan.19

Negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki komunitas Muslim cukup banyak,

seperti komunitas Turki di Jerman dan komunitas Afrika Utara di Perancis; masyarakat

Muslim ini memiliki aktivitas dalam sektor pekerjaan yang hanya mencapai 15 hingga 40

persen dibandingkan dengan warga asli berkulit putih.20

Selain kesempatan kerja yang sangat

minim, diskriminasi terhadap kaum Muslim yang tinggal di Eropa juga terjadi dalam hal

aktivitas keagamaan di lingkungan kerja. Kebanyakan negara anggota Uni Eropa memang

sudah cukup toleran terhadap aktivitas keagamaan di lingkungan kerja, namun hal ini juga

tidak menutup kemungkinan adanya keterbatasan bagi kaum Muslim untuk memproleh hak

beribadah mereka. Belgia, Denmark, dan Jerman tidak memiliki kesulitan yang cukup

signifikan dalam hal pengaturan pekerja yang beragama Islam. Akan tetapi, kondisi yang

sama agaknya tidak dapat ditemukan di Perancis yang menganut tradisi sekuler republik.

Pada tahun 2005, Perancis bahkan mengeluarkan aturan yang membatasi ekspresi simbol-

simbol keagamaan di tempat kerja, yang mencakup juga pemakaian hijab.21

Masyarakat migran di Eropa yang mana kebanyakan dari mereka juga merupakan

komunitas Muslim, pada umumnya tidak mendapatkan akses memadai terhadap fasilitas

perumahan. Hal ini didorong oleh keadaan ekonomi yang tidak baik serta adanya berbagai

aturan yang menghambat komunitas Muslim memperoleh rumah secara layak. Meskipun

terdapat banyak diskriminasi terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa, akan tetapi pada

dasarnya marjinalisasi terhadap mereka tidak terjadi karena agama, melainkan karena situasi

mereka sebagai migran yang berstatus sosial rendah.22

Sentimen negatif terhadap minoritas

Islam di Eropa ini kemudian dikenal sebagai Islamophobia.

Muncul pertama kali dalam sebuah esai di tahun 1992, Islamophobia kemudian

berkembang sangat cepat pasca peristiwa pengeboman gedung WTC di Washington D.C.

pada tahun 2001. Kejadian yang dikenal pula sebagai 9/11 tersebut meningkatkan aktivitas

negatif terhadap kaum Islam di Eropa, utamanya di Perancis yang memiliki populasi Islam

terbesar di Eropa. Hal ini kemudian diperparah pula oleh adanya peristiwa pengeboman di

Inggris pada 7 Juli 2005. Terorisme yang membawa nama Islam tersebut telah menciptakan

sentimen berlebihan terhadap minoritas Muslim di Eropa. Apabila sebelumnya diskriminasi

hanya terjadi di sektor layanan publik, pasca kedua peristiwa tersebut diskriminasi yang

dilakukan di beberapa negara-negara Eropa mengarah pada kekerasan secara fisik.

Segera setelah peristiwa 9/11, 80 insiden penyerangan dengan target Islam terjadi di

Belanda. Pembunuhan Theo Van Gogh pada tahun 2004, bahkan memicu dampak yang lebih

masif seperti pembakaran sekolah Islam dan penghancuran tempat peribadatan.23

Kemudian

di Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara, beberapa masjid ditutup dan berbagai bentuk

19 Ibid. 20 Ibid. 21

Ibid. 22

Jocelyne Cesari. “Securitization and Religious Divides in Europe, Muslim in Western Europe After 9/11: Why the Term Islamophobia is more Predicament than an Explanation?.” http://www.euro-islam.info/wp-content/uploads/pdfs/securitization_and_religious_divides_in_europe.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:09 WIB, Surakarta. 23 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

vandalisme yang merendahkan Islam pun bermunculan. Bahkan di Perancis dari tahun 2003

hingga 2004 terdapat insiden terkait dengan tindakan anti-Muslim sebanyak 182 kasus.24

Munculnya sentimen yang berlebihan terhadap kaum minoritas Muslim di Eropa utamanya di

Perancis, tentu saja memberikan dampak bagi pembentukan kebijakan luar negeri di tingkat

Uni Eropa itu sendiri. Walaupun pada dasarnya Uni Eropa pada tahun 1995-2004

memandang bahwa negara-negara Islam yang membentang dari Maroko, Tunisia, samapi

Turki di Sebelah tenggara merupakan tetangga dekat yang harus selalu diajak bekerja sama.25

Kebijakan Uni Eropa sebagai sebuah organisasi suprapolitik sedikit banyak

dipengaruhi oleh situasi domestik negara-negara anggotanya. Dengan kemunculan sentimen

negatif terhadap minoritas Islam, kebijakan luar negeri terhadap negara-negara Islam itu

sendiri mengalami pergeseran. Meskipun demikian, pergesaran politik luar negeri Uni Eropa

terhadap negara-negara Islam tersebut tidak hanya diakibatkan oleh keberadaan sentimen

negatif kebanyakan negara anggota terhadap Islam, melainkan juga karena kemunculan

politik Islam di kawasan Mediterania dan Arab yang mayoritas berbasis Islam.26

Uni Eropa dan negara-negara Arab Mediterania telah menjalin relasi dalam jangka

waktu yang cukup lama, yang telah dimulai sejak pembentukan European Economic

Community pada tahun 1995, dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada tahun

2000 melalui European Neighboorhood Policy dan Union for Mediterranean.27

Efek krisis

pada tahun 1980-an yang menimpa negara-negara di kawasan Arab dan Mediterania serta

distribusi bantuan global yang tidak merata sebagai akibat dari berakhirnya Perang Dingin

telah menyebabkan banyak negara di wilayah tersebut mengalami degradasi ekonomi politik

yang memicu melemahnya pemerintahan otoriter.28

Adanya prospek bantuan dari Uni Eropa

serta munculnya kemungkinan akan peningkatan stabilitas politik, membuat kerjasama

dengan Eropa menjadi sebuah konteks yang diterima secara meluas oleh pemerintahan Arab

Mediterania pada masa itu.29

Madrid Peace Conference di tahun 1992 menjadi salah satu instrumen yang mampu

menghangatkan kembali hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara Arab. Kemunculan

Uni Eropa yang secara signifikan memberikan pengaruh terhadap menyebarnya paham

demokrasi dan liberal di daratan Mediterania berjalan lebih lancar daripada yang diharapkan

dengan adanya adopsi negara-negara Arab terhadap poin-poin yang terdapat dalam Barcelona

Declaration.30

Secara umum, Uni Eropa memiliki dominasi yang kuat di kawasan Timur

Tengah dan Mediterania pada masa itu.

Awal tahun 1990-an harus dipahami pula sebagai era kemunculan politik Islam. Pada

mulanya gerakan-gerakan yang berbasis Islam ini hanya menjadi gerakan sosial tanpa adanya

agenda politik yang jelas. Namun seiring dengan berjalannya waktu, berbagai agenda politik

dan penyebaran Islamisasi mulai terlihat lebih nyata. Hal ini sedikit banyak memberi

pengaruh bagi hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara di kawasan Arab dan

Mediterania. Kemunculan politik Islam pada akhirnya juga memberikan pengaruh terhadap

24 Ibid. 25 William Rogers Perlmutter. EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY COLLAPSING DEMOCRACY. diterbitkan dalam Chapel Hill Journal of Political Science. Volume III. 2014. Hlm. 27. 26 Elisabeth Johansson-Nogues. “The Decline of the EU’s Magnetic Attraction? The European Union in the Eyes of Neighboring Arab Countries and Russia,” European Foreign Policy Unit Working Paper No 2011/1. http://www.lse.ac.uk/internationalRelations/centresandunits/EFPU/EFPUpdfs/EFPUworkinpaper2011-1.pdf, dilihat 25 Juni 2016 pukul 11:13 WIB, Surakarta. 27

Ibid. 28

Ibid. 29

Jon Mark. High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership Initiative. New: York: Mediterranean Politics. Hlm. 1-24. 1996. 30 Elisabeth Johansson-Nogues, loc. cit.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

kehidupan sosial masyarakat di kawasan tersebut, yang akhirnya membuat persepsi negara-

negara Arab Mediterania terhadap Uni Eropa sendiri mengalami perubahan. Di satu sisi,

politik Islam telah membuat interaksi dengan Uni Eropa melibatkan tingkat nasionalistik

yang kuat dan cenderung anti-kolonial. Namun disisi lain, banyak kelompok-kelompok

politik Islam yang telah menerima secara pragmatis nilai-nilai barat seperti Hak Asasi

Manusia dan demokrasi.31

Perubahan pola politik di Arab Mediterania ini telah membuat politik luar negeri Uni

Eropa terhadap negara-negara di kawasan tersebut cenderung mengalami stagnansi.

Kemunculan politik Islam membuat nilai-nilai Uni Eropa yang sempat tumbuh subur di

dekade 1980-an mulai memudar dan tidak lagi mengalami pengembangan yang signifikan di

daratan Mediterania.32

Ketakutan negara-negara ini akan nilai-nilai Islam yang terpolarisasi

menjadi Barat, membuat kebanyakan negara menutup diri terhadap Barat pada umumnya dan

Uni Eropa pada khususnya. Pada akhirnya Uni Eropa sendiri pun tidak menjalin interaksi

yang signifikan dengan kawasan Arab Mediterania. Bahkan dengan kemunculan berbagai

aktivitas radikalisme seperti Taliban dan ISIS membuat Uni Eropa cenderung menempatkan

kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai bagian dari kontra politik.

Munculnya Islamophobia di Perancis akibat adanya berbagai tindak terorisme yang

mengatasnamakan Islam telah berhasil menciptakan kekacauan dan sentimen negatif terhadap

masyarakat Muslim itu sendiri. Keberadaan politik domestik yang kemudian mengedepankan

prasangka buruk ketika berinteraksi dengan Muslim berdampak pula pada kebijakan di

tingkat regional. Politik luar negeri Uni Eropa yang cenderung stagnan dengan adanya

keberadaan politik Islam, dalam titik tertentu bergeser ke sifat yang lebih tegas. Secara

umum, Uni Eropa melihat kawasan Timur Tengah dan Mediterania sebagai kawasan yang

tidak stabil, sehingga tujuan interaksi dalam wilayah tersebut adalah peace building dan

stabilitas. Hal ini tentu saja sejalan dengan upaya kontra terorisme sebagai reaksi terhadap

munculnya Islamophobia.

Beberapa pendekatan yang dijalankan di kawasan negara Islam ini antara lain

dilakukan terhadap Iran dan konflik Israel-Palestina. Uni Eropa memberikan sanksi embargo

pada Iran pada pertengahan tahun 2012 sebagai respon atas pengembangan nuklir sebagai

senjata di negara tersebut.33

Uni Eropa merupakan salah satu konsumen minyak terbesar bagi

Iran dengan jumlah permintaan yang mampu mencapai 600.000 barel setiap harinya.34

Sanksi

embargo yang dikenakan terhadap Iran ini juga meliputi larangan penggunaan teknologi

nuklir; embargo gas alam dan larangan aktivitas bisnis yang berhubungan dengan sektor

energi; embargo senjata; larangan transaksi finansial dengan pemerintah Iran, Bank Iran,

serta lembaga finansial lainnya.35

Sanksi yang tidak hanya diberikan oleh Uni Eropa akan

tetapi juga Amerika Serikat ini telah berhasil membuat Iran terisolasi dan akhirnya bersedia

untuk melakukan perundingan. Ketika Iran mengalami pergantian kursi jabatan, pemilihan

umum yang menempatkan Hassan Rouhani sebagai Presiden Iran sejak tahun 2013, agaknya

tensi hubungan antara Iran dengan Uni Eropa maupun Amerika Serikat sedikit mereda dan

kedua pihak bersedia melaksanakan Joint Plan of Action (JPA).36

JPA merupakan sebuah pendekatan untuk menciptakan kerjasama komprehensif yang

bersifat jangka panjang terkait dengan program nuklir yang tengah dikembangkan oleh Iran.

JPA juga memaksa Iran untuk menghentikan sementara program nuklirnya dan meminta Iran

31 Ibid. 32

Ibid. 33

Derek A. Mix. “The United States and Europe: Current Issues, Congressional Research Service.” https://www.fas.org/sgp/crs/row/RS22163.pdf, dilihat 26 Juni 2016 pukul 11:19 WIB, Surakarta. 34

Ibid. 35

Ibid. 36 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

untuk bersifat lebih kooperatif terhadap program monitoring yang dilakukan oleh

International Atomic Energy Agency (IAEA). Pada pertengahan tahun 2015, JPA berhasil

mencapai kesepakatan akhir. Meskipun dinilai tidak efektif untuk mengurangi potensi Iran

dalam mengembangkan nuklir sebagai senjata, akan tetapi dalam hal ini, situasi yang

demikian tersebut menunjukkan bagaimana Uni Eropa memiliki komitmen yang tinggi untuk

menciptakan stabilitas di kawasan Arab dan Mediterania. Upaya peace building ini dapat

dilihat pula sebagai upaya untuk mencegah penyebaran radikalisme sehingga terorisme dalam

kadar tertentu dapat dicegah.

Kerjasama yang terjalin antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat yang terjalin dalam

bentuk JPA tersebut tentunya dapat terwujud karena kedua negara menghadapi dilema dan

permasalahan yang sama. Di satu sisi ke dua aktor tersebt membutuhkan negara-negara Islam

baik dalam bidang ekonomi maupun dukungan politisnya. Namun, di sisi lain mereka juga

menghadapi tekanan berupa aksi-aksi terorisme yang mengatas namakan Islam, yang hal ini

tentunya secara langsung maupun tidak langsung akan semakin meningkatkan tensi

Islamophobia di kedua kawasan tersebut.37

Selain terhadap Iran, politik luar negeri Uni Eropa di kawasan Arab yang berfungsi

untuk meningkatkan stabilitas di regional tersebut juga ditujukan kepada Israel utamanya

dalam konflik Israel-Palestina. Uni Eropa bersama dengan Amerika Serikat, Rusia, dan

Perserikatan Bangsa-Bangsa aktif melakukan dialog yang diharapkan dapat menciptakan

Palestina yang berkelanjutan dan Irak yang lebih aman.38

Beberapa negosiasi yang dilakukan

pada tahun 2014 tidak menemui hasil yang baik, dan diperparah oleh adanya konflik antara

Israel dan Hamas yang semakin memanas. Upaya mendamaikan kedua belah pihak ini juga

disertai pula oleh adanya ancaman ekonomi terhadap Israel.39

Terlepas dari kurang efektifnya platform kerjasama yang dicanangkan oleh Uni

Eropa, akan tetapi pendekatan yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Islam

tersebut diatas, menunjukkan bagaimana fokus politik luar negeri Uni Eropa memang

ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik kawasan. Uni Eropa menyadari bahwa

keamanan di tingkat regionalisme Eropa memiliki keterkaitan dengan regionalisme

tetangganya. Apalagi dengan munculnya sentimen negatif terhadap kaum Muslim, persepsi

dan tujuan Uni Eropa terhadap negara Islam pun mengalami pergeseran. Peace building dan

penciptaan stabilitas kemudian dirasa perlu untuk mencegah meluasnya radikalisme yang

merupakan akar dari terorisme.

Kebijakan Pengetatan Imigrasi Uni Eropa Terhadap Imigran Muslim

Fenomena migrasi menjadi salah satu fokus problematika yang harus dihadapi oleh

Eropa hingga saat ini. Perpindahan penduduk dari satu negara ke negara lainnya memang

telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu. Meskipun demikian perubahan dalam perihal rute,

kuantitas, dan aturan mewarnai gelombang migrasi yang terjadi pada era modern saat ini,

sehingga dirasa sangat perlu untuk diterapkannya kebijakan pengetatan kedatangan daripada

para imigran itu sendiri.40

Dengan kemunculan konsep negara bangsa serta sekularisasi antara

agama dengan pemerintahan pada abad ke-19 migrasi ke kawasan Eropa menjadi lebih

37

L Carl Brown. Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater Middle East, dipublikasikan dalam Council on Foreign Relations Journal. Volume 85. Hlm. 170. 2012. 38

Ibid. 39

Ibid. 40 S. Peers. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University Publishing. Hlm.24. 2011.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

“bureaucratised, directed, limited, and defined – through passports, visas,

border control, institution, and sharp distinction between the rights of the citizen and

those of non-member.”41

Pernyataan tersebut memberikan penekanan bagaimana di era modern saat ini,

migrasi ke wilayah Eropa menjadi isu yang lebih diperhatikan dengan adanya upaya

pembuatan aturan terkait dengan migrasi itu sendiri. Gelombang migrasi ke Eropa yang didominasi oleh komunitas Muslim telah dimulai

sejak pertengahan abad ke-20. Meskipun pada akhir dekade tersebut, laju migrasi mulai

mengalami penurunan, akan tetapi perpindahan penduduk utamanya dari wilayah Mediterania

ke kawasan Eropa tidak menemui titik henti hingga di era modern saat ini. Bahkan memasuki

tahun 2010-an gelombang migrasi dari regional Arab ke Eropa mengalami peningkatan yang

cukup signifikan. Situasi ini didorong oleh adanya ketidakstabilan politik di negara asal

karena konflik internal yang sering terjadi.

Mengatasi gejolak perpindahan penduduk dalam jumlah masif, Uni Eropa pun mulai

mengeluarkan berbagai kebijakan dan berupaya untuk menyeragamkan kebijakan terkait

migrasi di semua negara anggota. Terdapat setidaknya tiga negara yang memiliki peranan

besar dalam proses pembentukan kebijakan migrasi di Uni Eropa, salah satunya adalah

Perancis. Sebagai negara penerima migrasi terbesar di Eropa, Perancis berhasil menempatkan

fokus kebijakan nasionalnya dalam tingkatan Uni Eropa, terutama ketika Nicholas Sarkozy

menjabat sebagai Presiden. Mayoritas masyarakat migran yang berada di Perancis berasal dari negara-negara

Islam, utamanya bekas negara protektorat Perancis, seperti Maroko dan Tunisia. Sebagai

negara yang menganut paham sekuler republik, Perancis merupakan salah satu negara yang

cenderung terbuka terhadap keberadaan imigran. Melalui para pendatang yang banyak

berasal dari Afrika Utara, Islam pun mengalami perkembangan cukup signifikan di negara

tersebut, terbukti dengan tumbuhnya Perancis sebagai negara Eropa dengan populasi Muslim

terbanyak. Walaupun cenderung terbuka, bukan berarti stereotype tidak muncul diantara

negara Perancis. Imigran Muslim yang seringkali berstatus sosial rendah, membuat mereka

pun akhirnya termarjinalkan secara sosial dan politik. Peristiwa 9/11 yang terjadi di Amerika Serikat telah memicu tumbuhnya prasangka

yang kian memburuk dari masyarakat asli terhadap kaum minoritas Muslim di Perancis.

Diskriminasi pun berubah menjadi Islamophobia – sebuah ketakutan berlebihan terhadap

kaum Muslim yang kemudian mendorong berbagai tindak kekerasan terhadap penganut

Islam. Selain itu, Islamophobia yang terjadi di Perancis telah mendorong negara ini membuat

berbagai legislasi yang cenderung kontroversial. Pada tahun 2003, Presiden Perancis pada

saat itu, Jaques Chiraq, membuat sebuah rancangan Undang-Undang yang melarang

penggunaan simbol-simbol agama seperti hijab untuk kaum Muslim dan kippa untuk kaum

Yahudi. Kemunculan aturan ini sekaligus memberikan secara tegas bahwa Perancis adalah

negara tempat lahirnya ide-ide besar dan negara yang memiliki sejarah dan warisan budaya

dengan pluralitas budaya, suku serta agama tidak boleh mengkotak-kotakan masyarakatnya

dalam berbagai komunitas.42

Rancangan Undang-Undang yang kemudian disahkan pada

tahun 2004 tersebut, diharapkan mampu mengembalikan dan menegakkan kembali tradisi

Perancis yang sekuler dengan memberikan garis pemisahan secara tegas antara agama dengan

pemerintahan negara.

41

Adrian Favell dan Randal Hansen. Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement and the Idea of Europe, Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28. Nomor 4. Hlm. 584. 2002. 42

Roosi Rahmawati. Undang-Undang Laicite, Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Volume V. Nomor 1. Hlm. 132. 2009.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut kemudian diikuti berbagai aktivitas

yang cenderung merugikan komunitas Muslim, seperti penutupan sekolah Islam dan

keharusan penggunaan bahasa Perancis ketika melakukan khotbah. Lebih jauh lagi, tindak

kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun verbal terhadap kaum minoritas Muslim pun

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Puncaknya di tahun 2012, ketika Nicholas

Sarkozy menjabat, Perancis akan memberlakukan kebijakan pengurangan setengah dari

jumlah penduduk imigran Muslim.43

Berbagai kebijakan Nicholas Sarkozy terkait dengan

pengetatan imigran Muslim di tataran nasional ini mampu dibawa ke lingkungan regional

ketika Sarkozy menjabat sebagai Pemimpin Dewan Uni Eropa periode Juli-Desember tahun

2008.

Sejak saat itu, Perancis memainkan peranan yang lebih signifikan untuk membentuk

kebijakan imigrasi di Uni Eropa. Diawali pada tahun 2008 dengan dimunculkannya The

European Act on Immigration and Asylum yang berisikan seperangkat aturan dan pedoman

terkait dengan pengembangan kebijakan imigrasi suaka di Eropa. Pembentukan dokumen ini

didasari oleh adanya tekanan migrasi dan kesenjangan pembangunan di berbagai wilayah di

Eropa, yang akhirnya membuat keberadaan migrasi berdampak buruk bagi negara penerima.

Dalam The European Act on Immigration and Asylum, negara-negara anggota Uni Eropa

berkomitmen penuh pada lima hal, yaitu sebagai berikut:44

a. Mengatur hukum imigrasi dengan mempertimbangkan prioritas kebutuhan dan

kemampuan penerimaan yang ditentukan oleh masing-masing negara anggota dan

mendorong adanya integrasi;

b. Mengontrol imigrasi ilegal dengan memastikan kembalinya imigran ilegal ke

negara asal mereka atau negara transit;

c. Mengefektifkan kontrol terhadap perbatasan;

d. Membangun sebuah suaka Eropa;

e. Menciptakan kemitraan yang komprehensif dengan negara asal dan transit agar

mendorong sinergi antara migrasi dan pembangunan.

Pakta Imigrasi yang dicanangkan oleh Nicholas Sarkozy dan diimplementasikan oleh

seluruh negara-negara anggota Uni Eropa merupakan salah satu kebijakan pengetatan yang

secara tidak langsung bertujuan pula untuk mengurangi jumlah imigran Muslim di wilayah

Eropa. Hal ini tentu saja berkaitan dengan munculnya Islamophobia pasca insiden

pengeboman yang terjadi di tahun 2001, terulang kembali pada tahun 2005, dan kemudian

mulai muncul secara tidak teratur dan terus menerus di beberapa negara Eropa. Intisari dari

The European Act on Immigration and Asylum tersebut adalah untuk mengatur lima prioritas

yaitu; imigrasi legal dan integrasi; pengaturan imigrasi ilegal; pengaturan batas wilayah yang

lebih efektif; sistem pemberian suaka Eropa; serta migrasi dan pembangunan.45

Dalam

kesepakatan bersama terkait dengan imigrasi ini terdapat dua poin pokok kebijakan yang

gencar dipromosikan oleh Uni Eropa yaitu:46

43 BBC. “Imigran di Perancis.” http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml, diakses 27 Juni 2016 pukul 11:23 WIB, Surakarta. 44 Sabir E. Bab I Pendahuluan. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7681/SABIR%20E%2013108278%20(%20BAB%201%20-%20DAFTAR%20PUSTAKA%20).pdf?sequence=2, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:24 WIB, Surakarta. 45

Elizabeth Collet. “The EU Immigration Pact – From Hague to Stockholm.” http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf, dilihat 27 Juni 2016 pukul 11:26 WIB, Surakarta. 46 Sabir E., loc. cit.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

1. Return Directive Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan Uni Eropa yang dinilai

sangat kontroversial dan mendapatkan banyak kritik dari berbagai Non-

Governmental Organization (NGO) karena dianggap melanggar Hak Asasi

Manusia (HAM). Kebijakan Return Directive ini merupakan bentuk kebijakan

pengembalian langsung imigran ilegal ke negara asalnya seperti yang tercantum

dalam Immigration Pact sebagai berikut; “irregular aliens on member states’

territory must leave that territory.” Kebijakan ini sudah ditandatangani sejak

tahun 2008, namun baru mulai berlaku pada tahun 2010 dan telah diterapkan di

beberapa negara anggota, salah satunya adalah Perancis. Adapun pelaksanaan

kebijakan Return Directive yang berlaku di Uni Eropa sendiri memiliki teknis

pelaksanaan yang mirip dengan kebijakan Return Directive di Perancis, yang

mana dilakukan dengan dua cara yaitu secara sukarela dari imigran itu sendiri

atau dengan menggunakan campur tangan pemerintah negara masing-masing.

2. Blue Card Scheme

Skema Kartu Biru merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk

mengatur masuknya tenaga kerja di Eropa. Kebijakan ini pada dasarnya

mengadopsi kebijakan greencard di Amerika Serikat yang difungsikan untuk

menarik masuknya tenaga kerja ahli ke Uni Eropa. Skema Kartu Biru ini

kemudian akan memberikan kemudahan bagi pemegangnya untuk

memperoleh tempat tinggal serta untuk membawa anggota keluarganya

berpindah ke wilayah Eropa. Blue Card Scheme merupakan salah satu cara

Uni Eropa untuk memperoleh imigran yang berkompeten sehingga tidak

menjadi tanggungan bagi negara penerima. Dengan adanya kebijakan ini,

maka komitmen utama dalam The European Pact yaitu menyelaraskan

migrasi dan pembangunan dapat dilaksanakan. Blue Card Scheme juga

merupakan bukti keberhasilan Perancis untuk membawa kebijakan domestik

ke tingkat internasional. Dalam tingkatan kebijakan nasional, Perancis telah

menerapkan undang-undang yang membatasi pekerja imigran yang tidak

terlatih ataupun terdidik untuk memasuki Eropa dengan adanya pembedaan

antara visa dan stay document. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa

pemerintah Perancis hanya akan memberikan hak tinggal kepada migran yang

tidak mengurangi produktivitas rata-rata di Perancis.47

Blue Card Scheme

memungkinkan kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh di antara negara-

negara anggota Uni Eropa.

Kebijakan Uni Eropa yang demikian tersebut, menunjukkan bagaimana situasi politik

dalam negeri di negara anggota dapat mempengaruhi kebijakan terhadap Uni Eropa secara

keseluruhan. Didasarkan pada Decision Making Process oleh David Easton, maka sentimen

negatif terhadap kaum minoritas muslim yang sudah terdapat di Perancis menjadi salah satu

input bagi pembentukan kebijakan pengetatan imigrasi. Pemerintahan Nicholas Sarkozy yang

secara intensif mengembangkan kebijakan yang kontra terhadap imigran terutama imigran

muslim seperti dengan pembatasan jumlah imigran, serta munculnya tuntutan masyarakat

akan situasi yang aman dari gangguan terorisme akhirnya berhasil dibawa ke lingkup

kawasan ketika Sarkozy menduduki jabatan tertinggi dalam Uni Eropa. Munculnya kebijakan

The European Act on Immigration and Asylum menjadi reaksi terhadap input dari Perancis

47 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

yang didorong oleh keinginan akan peningkatan human security. Akhirnya, pengetatan

kebijakan di tingkat Uni Eropa pun secara tidak langsung berhasil memenuhi tujuan yang

ingin dicapai Perancis. Dengan demikian adanya pelanggaran terhadap aturan tersebut

tentunya akan dipandang sebagai sebuah aksi kejahatan kriminal transnasional.48

Upaya Peningkatan Kontra Terorisme

Sama halnya dengan kemunculan Islamophobia yang meningkat secara signifikan

pasca pengeboman gedung World Trade Center pada tahun 2001, kebijakan kontra terorisme

pun muncul sejalan dengan adanya propaganda besar-besaran Amerika Serikat akan Global

War on Terrorism. Selain menyampaikan kabar duka yang diwakili oleh Javier Solana, Uni

Eropa menanggapi insiden berdarah tersebut dengan memberikan reaksi terhadap terorisme

sebagai sebuah kejahatan luar biasa sehingga perlu adanya penguatan badan-badan hukum,

penegakan hukum dan perundangan, serta penghormatan terhadap HAM sesuai Resolusi PBB

1373.49

Reaksi tersebut kemudian mendasari organisasi ini untuk mengembangkan platform

kerjasama terkait dengan penumpasan terorisme dengan berbagai negara, utamanya dengan

Amerika Serikat. Dengan demikian sudah sangat jelas bahwa Uni Eropa memiliki keinginan

yang kuat untuk menjadi salah satu aktor dalam hal usaha melawan terorisme.50

Hal ini

diimplementasikan pada berbagai kebijakan luar negerinya yang telah terlebih dahulu

dikoordinasinakan negara-negara anggotanya.51

Peranan utama Uni Eropa dalam agenda kontra terorisme di atas terkait dengan segala

bentuk kebijakan melawan terorisme yang dapat berupa tiga cara yakni pencegahan

penyebaran teorisme, perlawanan terhadap aksi terorisme, dan penggagalan aksi teorisme

yang telah direncanakan. Ketiga cara tersebut ditujukan untuk menjaga ketertiban umum,

melindungi masyarakat dari rasa takut, dan mencegah digunakannya senjata kimia dan

biologis oleh kelompok teroris. Selain itu, tujuan lain dari diterapkannya ketiga cara tersebut

ialah untuk meyakinkan bahwa batas-batas negara Uni Eropa aman dan tidak disusupi oleh

kelompok-kelompok terorisme.52

Menghadapi penyebaran terorisme, Uni Eropa membangun kerjasama dengan

regional ASEAN yang mana kerjasama tersebut mencerminkan makna strategis dan

keseimbangan antara kepentingan ekonomi serta keamanan.53

Dalam kerjasama antarregional

ini pula terlihat preferensi Uni Eropa yang lebih memfokuskan kerjasama kontra teror dengan

menghormati HAM, good governance, memperkuat badan penegak hukum, dan memandang

upaya kontra teror sebagai bagian dari konsep keamanan komprehensif atau comprehensive

security.54

Dengan demikian Uni Eropa berusaha mengkonstruksikan atau menjaga citra

48 N Boister. Illegal Migration on Transnational Criminal Law, dipublikasikan dalam European Journal of International Law. Volume 14. Hlm. 953. 2011. 49 Vitri Mayastuti. Analisis Budaya Strategis dalam Kerjasam Kontra Teror AS-Uni Eropa. Jakarta: Universitas Indonesia. 50 C. de Vries. EU Counter-Terrorism Coordinator, Terrorism, Islam and Democracy. Basingstoke: Macmillan. Hlm. 167. 2011. 51 Marianne L. Wade. The European Union As A Counter–Terrorism Actor: Right Path, Wrong Direction?, diterbitkan dalam Springer Science and Business Media Journal. Volume X. Hlm.360. 2013. 52

Wojciech J. Janik. The threat of Islamic terrorism in Europe, dipublikasikan dalam Elbalg World Scientific Journal. Hlm. 53. 2016. 53

Frank Umbach. EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Begining of 21 Century: Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism, Panorama: Insight into Southeast Asian and European Affairs. Hlm. 11. 2004 54 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

dirinya sebagai sebuah entitas yang tetap berlandaskan pada demokrasi dalam setiap

pembuatan kebijakannya.55

Pendekatan yang dilakukan terhadap kawasan ASEAN ini pada kenyataannya juga

dilakukan terhadap kawasan negara Arab Mediterania. Melalui kerjasama di bidang reformasi

peradilan, kepolisian, sistem penjara, dan keamanan perbatasan, Uni Eropa berinisiatif untuk

melakukan pencegahan terhadap penyebaran paham radikalisme di negara-negara Magribi,

yang meliputi Aljazair, Tunisia, dan Maroko.56

Kerjasama kontra teror yang dijalankan oleh Uni Eropa dengan kawasan negara Arab

merupakan bagian dari European Neighborhood Policy, yang mana lebih bersifat legal

konstitusional. Dalam wadah kerjasama ini pula, Uni Eropa memiliki peranan yang besar

untuk membantu negara-negara Afrika Utara agar menerapkan Resolusi PBB 1267 (1999)

dan 1373 (2001). Secara umum, kedua Resolusi tersebut meminta negara-negara anggota

PBB untuk melakukan langkah-langkah demi meningkatkan kemampuan di bidang

penegakan hukum dalam melawan terorisme di tingkat nasional, regional, maupun global.57

Kontra terorisme di daratan Eropa pada dasarnya merupakan salah satu kebijakan

yang sudah cukup lama. Kebijakan pertahanan untuk melawan berbagai aksi teror sudah

tumbuh di lingkungan Uni Eropa bahkan jauh sebelum munculnya War on Terrorism pada

pemerintahan Geroge W. Bush, Jr. di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bagaimana Uni

Eropa telah lama menyadari dirinya sebagai sebuah target yang potensial bagi berabagai aksi

teror.58

Beberapa negara seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Perancis merupakan beberapa

contoh negara anggota Uni Eropa yang telah mengalami berbagai aksi terorisme domestik.59

Tentunya segala macam pendekatan terhadap usaha kontra terorisme tersebut dirancang

dengan mempertimbangkan aspek komunikasi strategis yang ditujukan baik untuk target

eksternal maupun domestik.60

Spanyol mengalami serangan dari kelompok teror Euskadi Ta Askatasuna (ETA)

yang berasal dari Bosque sampai kelompok tersebut akhirnya mengalami kemunduran dan

berubah menjadi aksi kekerasan secara sporadis pada tahun 1990-an.61

Perancis yang

memberikan dukungan terhadap pemerintahan Aljazair mendapatkan banyak serangan

terorisme domestik utamanya pada tahun 1995 hingga 1996, sementara itu Jerman

memperoleh ancaman terorisme akibat dari besarnya komunitas Kurdi dan Turki di negara

tersebut.62

Meskipun negara-negara anggota Uni Eropa mengalami ancaman terorisme yang

berbeda-beda akan tetapi kebijakan kontra teror yang dikeluarkan oleh Uni Eropa sudah

dibentuk pada tahun 1970-an. Kemudian pada tahun 1980-an, seiring dengan munculnya

European Common Market, organisasi regional ini memiliki sebuah wadah yang bernama

kelompok Terrorism, Radicalism, Extremisme et Violence Internationale (TREVI) yang

dibentuk pada tahun 1976 sebagai forum diskusi dan kerjasama antarkepolisian serta

intelijen.63

Kerangka TREVI ini kemudian dijadikan dasar pembentukan Justice and Home

Affairs pada tahun 1993.

55 H.Fenwick. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing. Hlm. 52. 2013. 56 Vitri Mayastuti, loc. cit. 57 Lisa Watanabe. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for More Comprehensive Approach. Jenewa: GCSP. Hlm. 2. 2011. 58 Vitri Mayastuti, loc. cit. 59 Ibid. 60

Darya Yu. Bazarkina, Strategic Communication of the EU: The Counter‐Terrorist Aspect, diterbitkan dalam Sholokov Moscow Journal of Humanitarian Affairs. Volume VI. Hlm. 31. 2014. 61

Peter Chalk. West European and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic. Basingstoke: Macmillan. Hlm. 66. 1996. 62

Vitri Mayastuti, loc. cit. 63 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Sebelum adanya peristiwa 9/11, Uni Eropa pada dasarnya memiliki keengganan untuk

bekerjasama dengan Amerika Serikat terkait dengan upaya kontra terorisme. Hal ini

didasarkan pada pandangan Uni Eropa bahwa, ancaman terorisme yang dialami oleh Amerika

Serikat merupakan harga yang harus dibayar oleh negara tersebut karena aktivitasnya yang

begitu ekstrem di Timur Tengah serta pemberian dukungan secara terbuka kepada Israel.64

Namun, serangan terorisme yang mampu menghancurkan Gedung World Trade Center di

tahun 2001, akhirnya berhasil merubah persepsi Uni Eropa bahwasanya mereka pun rapuh

terhadap terorisme dengan modus operandi yang radikal oleh kelompok Islam semacam itu.65

Persepsi ini kemudian diperkuat dengan serangan terorisme di Madrid pada tahun 2004 yang

menewaskan 200 jiwa.66

Munculnya aktivitas terorisme yang merupakan bagian dari gerakan Islam radikal,

memunculkan sentimen negatif terhadap imigran Muslim yang tinggal di Eropa. Berbagai

peristiwa pengeboman yang mengatasnamakan Islam, membuat banyak warga Muslim Eropa

memperoleh diskriminasi dan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Ketakutan warga

Eropa memunculkan tuntutan akan peningkatan keamanan, yang kemudian direspon oleh Uni

Eropa dengan melakukan pengetatan terhadap kebijakan kontra terorisme.67

Perlawanan terhadap terorisme itu sendiri oleh Uni Eropa tidak dilihat sebagai perang,

melainkan sebagai tantangan jangka panjang yang membutuhkan penanganan secara

komprehensif.68

Dengan pandangan yang demikian, maka dalam penumpasan terorisme, Uni

Eropa cenderung menggunakan berbagai instrumen soft politic dengan menempatkan

terorisme sebagai sebuah kejahatan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai dokumen legislasi

Uni Eropa, yaitu European Union Action Plan on Combating Terrorism dan European Union

Counterterrorism Strategy yangmana lebih menekankan upaya untuk mengkriminalkan

terorisme.69

Kemajuan dalam bidang kontra terorisme di Uni Eropa ini baru terlihat lebih

nyata setelah adanya serangan 9/11 di Washington D.C. pada tahun 2001, yang disusul

dengan insiden Madrid tahun 2004. Keengganan untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat

mengalami perubahan dengan mulai mengikutsertakan pemerintahan George W. Bush, Jr.

pada masa, itu ke dalam berbagai pembahasan European Security Strategy (ESS).70

Meskipun upaya kontra terorisme mulai terlihat lebih nyata, akan tetapi upaya Uni Eropa

tersebut masihlah bersifat defensif. Situasi yang demikian ini dipengaruhi oleh pandangan Uni Eropa, yang memiliki

persepsi bahwa terorisme merupakan sebuah problematika internal, sehingga dalam berbagai

kebijakan kontra terorisme-nya, organisasi ini lebih menekankan pilar pencegahan.71

Aktivitas defensif ditujukan untuk mencegah serangan teroris dengan cara mengidentifikasi

dan menangkap teroris saat menuju sasaran, mencegah akses untuk menyerang target, dan

meminimalkan kerusakan dari serangan, serta berupaya untuk menangkap pelaku tindak

terorisme tersebut untuk kemudian dihadirkan ke hadapan pengadilan.72

Uni Eropa juga lebih

menekankan aktivitas defensif yang berpusat pada sipil serta melibatkan kepolisian dan

64 Ibid. 65 M.O’Neil. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. Hlm. 156. 2011. 66 Wyn Rees. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation: The New Imperative. Oxon: Routledge. Hlm. 60. 2006. 67 N.Kaizer & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in Practice. The Hague: TMC Asser Press. Hlm. 88. 2014. 68

Ibid. Wyn Rees, hal. 72. 69

Vitri Mayastuti, loc. cit. 70

Ibid. 71

Ibid. 72 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

departemen terkait. Council of European Union menetapkan empat pilar dalam aktivitas

counter-terrorism, yaitu:73

1. Pencegahan (Prevention)

Berdasarkan dokumen formal EU Counter-Terrorism Strategy, prevention

merupakan tindak pencegahan agar orang tidak mengambil jalan terorisme

dengan menangani berbagai faktor atau akar penyebab yang memicu munculnya

radikalisme. Dengan demikian, pilar prevent ini ditujukan untuk melawan

radikalisasi dan perekrutan kelompok teror seperti Al-Qaeda ataupun Taliban.

Selanjutnya prioritas utama dalam pilar ini dijabarkan antara lain sebagai

berikut:74

1) Mengembangkan pendekatan bersama untuk mengetahui dan menangani

masalah perilaku, terutama penyalahgunaan internet;

2) Menangani masalah penyebaran kebencian dan perekrutan, terutama di

tempat-tempat penting, misalnya penjara, tempat pelatihan keagamaan, atau

tempat ibadah dengan menerapkan UU yang membuat perilaku ini sebagai

pelanggaran;

3) Mengembangkan strategi media dan komunikasi untuk menjelaskan kebijakan

Uni Eropa dengan lebih baik;

4) Memajukan pemerintahan yang baik, demokrasi, pendidikan, dan kemakmuran

ekonomi melalui program bantuan Komunitas dan Negara Anggota;

5) Mengembangkan dialog antarbudaya di dalam dan di luar Uni Eropa;

6) Mengembangkan kosak kata yang non-emosional untuk membahas masalah

tersebut;

7) Terus melakukan riset, berbagi analisis dan pengalaman dalam upaya untuk

memajukan pemahaman mengenai masalah terorisme dan kemudian

mengembangkan respon kebijakan.

Prevention atau pencegahan merupakan salah satu strategi utama Uni Eropa

dalam usahanya untuk meningkatkan upaya kontraterorisme. Berbagai macam

bentuk pencegahan berkembangnya bibit-bibit terorisme dan usaha untuk terus

mencari solusi terbaik dalam memerangi terorisme juga dilakukan melalui

pendekatan ilmiah dan akademis. Bentuk nyata dari usaha kontraterorisme yang

dilakukan oleh Uni Eropa melalui pendekatan ilmiah dan akademik tersebut ialah

sering diselenggarakannya konferensi atau pertemuan yang membahas mengenai

pencegahan terorisme maupun mencari solusi terbaik dalam melawan terorisme

global. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tersebut dapat berupa acara

internal Uni Eropa maupun acara bersama antara Uni Eropa dengan pihak

eksternal lainnya. Adapun contoh dari konferensi dan pertemuan tersebut antara

lain: The Hague Conference Center for International Counter Terrorism yang

diselenggarakan di Den Hag, Belanda75

, International Conference on Engaging

Partners for Capacity-Building: United Nations‟ Collaboration with Counter-

Terrorism Centres yang merupakan kolaborasi antara Uni Eropa dan PBB

diselenggarakan di Brussel, Belgia76

, ASEM Counter-Terrorism yang merupakan

73 Ibid. 74

Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme Strategy. Brussel. 2005. 75

ICCT. “The Hague Conference Center for International Counter Terrorism.” https://icct.nl/, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:31 WIB, Bekasi. 76

UNCCT. “EU and UNCCT convene Global Network of Counter-Terrorism Centres in Brussels.” https://www.un.org/counterterrorism/ctitf/en/uncct/eu-and-uncct-convene-global-network-counter-terrorism-centres-brussels, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:32 WIB, Bekasi.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

pertemuan besar antara Uni Eropa dan negara-negara Asia diselenggarakan di

Brussel77

, The EU Security, Migration and Borders Conference yang

diselenggarakan di Cardiff, Inggris78

, The Global Counterterrorism Forum

merupakan forum kajian bersama Uni Eropa dan 29 negara lainnya

diselenggarakan secara bergantian oleh Belanda dan Maroko, serta masih banyak

lagi. Berbagai macam konferensi dan pertemuan tadi diselenggarakan setiap

tahunnya bahkan dapat diselenggarakan secara mendadak apabila ada sesuatu

yang mendesak.

2. Perlindungan (Protection)

Sementara pilar kedua yaitu protection dimaksudkan sebagai upaya untuk

melindungi warga negara dan infrastruktur, serta mengurangi kerapuhan Uni

Eropa terhadap serangan dengan memperbaiki keamanan di perbatasan,

transportasi, dan infrastruktur vital. Salah satu bentuk realisasi dari pilar ini

adalah keberadaan European Borders Agency atau Frontex yang berperan dalam

menyediakan penilaian resiko sebagai upaya untuk memperketat pengendalian

dan pengawasan perbatasan eksternal Uni Eropa.79

Uni Eropa juga memiliki Visa

Information System dan Schengen Information System yang akan memastikan

pejabat berwenang dapat berbagi dan mengakses berbagai informasi yang

dibutuhkan serta menghentikan individu yang ingin masuk ke wilayah Schengen.

Beberapa prioritas utama dalam pilar protect ini adalah sebagai berikut:80

1) Melakukan perbaikan keamanan dalam pembuatan paspor Uni Eropa dengan

memperkenalkan biometrik;

2) Mengembangkan analisis resiko melalui Frontex terhadap perbatasan

eksternal Uni Eropa;

3) Menerapkan standar bersama yang disepakati di bidang penerbangan, sipil,

pelabuhan, dan keamanan maritim;

4) Menyepakati program Uni Eropa di bidang perlindungan infrastruktur;

5) Memanfaatkan aktivitas riset di Uni Eropa.

3. Pengejaran (Pursuit)

Pilar ketiga dalam kebijakan kontra terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa

yaitu pursuit merupakan upaya untuk mengejar dan menyelidiki teroris di wilayah

Uni Eropa dan secara global; menghambat perencanaan, perjalanan, dan

komunikasi; mengganggu jaringan pendukung mereka; menghentikan pendanaan

dan akses ke bahan peledak, serta membawa pelaku tindak terorisme ke muka

hukum. Salah satu langkah penting dalam realisasi pilar ini adalah

pemberlakukan European Arrest Warrant yang menjadi instrumen penting dalam

mengejar dan menyelidiki teroris. Beberapa prioritas utama dalam pilar ini

dijabarkan antara lain sebagai berikut:81

77 ASEM8. “ASEM Conference on Counter-Terrorism.” http://www.asem8.be/event/8th-asem-conference-counter-terrorism.html, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:33 WIB, Bekasi. 78

Eu-EMS. ”The EU Security, Migration and Borders Conference.” https://www.eu-ems.com/summary.asp?event_id=2287&page_id=4660, dilihat 5 Oktober 2016 pukul 10:33 WIB, Bekasi. 79

Vitri Mayastuti, loc. cit. 80

Council of European Union, loc. cit. 81 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

1) Memperkuat kapabilitas nasional untuk melawan terorisme;

2) Memanfaatkan sepenuhnya Europol dan Eurojust untuk memudahkan

kerjasama antarbadan kepolisian dan yudisial serta terus mengintegrasikan

ancaman dari Joint Situation Center ke dalam pembuatan kebijakan

kontrateror di tingkat nasional;

3) Mengembangkan pengakuan putusan yudisal lebih jauh, termasuk

mengadopsi European Evidence Warrant;

4) Memastikan penerapan dan evaluasi sepenuhnya perundangan yang ada serta

melakukan ratifikasi berbagai perjanjian dan konvensi internasional yang

berhubungan dengan kontraterorisme;

5) Mengembangkan ketersediaan informasi penegakan hukum;

6) Mencegah akses teroris terhadap senjata dan bahan peledak, dari komponen

bahan peledak rakitan hingga peledak dari kimia, biologi, radiologi, dan

nuklir.

7) Mencegah pendanaan teror, termasuk menerapkan perundang-undangan yang

disepakati untuk mencegah penyelewengan dana di sektor nirlaba dan

mengkaji kinerja Uni Eropa secara keseluruhan di bidang ini;

8) Memberikan bantuan teknis untuk memperkuat kapabilitas negara-negara di

luar Uni Eropa.

4. Respon (Response)

Sementara itu, yang dimaksud dengan respon dalam hal ini adalah

mempersiapkan Uni Eropa dalam semangat solidaritas untuk mengelola dan

memimalisir konsekuensi serangan teroris dengan meningkatkan kapabilitas

untuk menghadapi kondisi pascaserangan, koordinasi respon, dan kebutuhan

korban. Untuk merespon keadaan darurat yang disebabkan oleh serangan

terorisme, Uni Eropa lebih mengandalkan peranan negara-negara anggota di

wilayah bersangkutan. Prioritas utama dalam pilar respon ini antara lain sebagai

berikut:82

1) Menyepakati European Union Crisis Coordination Agreements dan

mendukung prosedur operasionalnya;

2) Merevisi peraturan perundangan tentang Community Mechanism untuk

perlindungan warga sipil;

3) Mengembangkan penilaian resiko sebagai instrumen untuk meningkatkan

kapabilitas dalam merespon serangan;

4) Meningkatkan koordinasi dengan organisasi internasional dalam mengelola

respon serangan teroris dan bencana lainnya;

5) Berbagi latihan terbaik dan mengembangkan pendekatan untuk memberikan

bantuan kepada korban terorisme beserta keluarga mereka.

Komitmen Uni Eropa untuk memerangi terorisme dapat dilihat sebagai akibat

munculnya Islamophobia yang meningkat secara signifikan pascatragedi pengeboman World

Trade Center. Tindakan terorisme yang mengatasnamakan Islam membuat masyarakat

Muslim menjadi target stereotype negatif. Masyarakat Eropa mengalami penurunan tingkat

human security serta adanya degradasi terhadap perdamaian sebagai akibat munculnya

pandangan buruk yang memicu tindak kekerasan terhadap Muslim, terutama di Perancis

dengan tingkat populasi Muslim terbesar di Eropa. Kebijakan kontraterorisme yang

dijalankan oleh Uni Eropa merupakan salah satu respon terhadap Islamophobia yang

82 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

sekaligus ditujukan untuk mengembalikan situasi damai di kawasan tersebut. Hingga saat ini,

kontraterorisme masih menjadi agenda politik dan isu yang penting di Eropa. Terlebih lagi

setelah kemunculan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Tumbuhnya ISIS sebagai organisasi teroris radikal yang menguasai sebagaian wilayah

Irak dan Suriah, bahkan telah membuat kebijakan defensif Uni Eropa berubah menjadi

ofensif. Hal ini dapat dilihat dengan keikutsertaan sebagian anggota Uni Eropa, yang antara

lain adalah; Belgia, Denmark, Perancis, dan Belanda, dalam sebuah serangan udara gabungan

bersama dengan NATO di Irak.83

Meskipun demikian Uni Eropa pun juga tidak

meninggalkan pendekatan secara defensif dalam isu yang terjadi di Timur Tengah ini. Uni

Eropa meningkatkan kerjasama dengan Amerika Serikat untuk aktif melakukan dialog dalam

level internasional yang bertujuan untuk mendorong pemerintahan Assad di Suriah agar

bersedia ke meja perundingan.84

Dalam hal ini, Uni Eropa pun ikut memberikan sanksi

embargo kepada pemerintahan Bashar al-Assad pada tahun 2012.

Insiden terakhir di tahun 2015, yaitu serangan secara sporadis di Paris telah

meningkatkan kekhawatiran Uni Eropa terkait dengan serangan terorisme. Sebagai akibat

dari serangan yang diyakini berasal dari kelompok ISIS, Islamophobia di Perancis mengalami

peningkatan yang sangat signifikan sehingga mendorong adanya kebijakan pengetatan

imigrasi terutama bagi imigran yang berasal dari Suriah serta penguatan kebijakan kontra

terorisme. Secara umum, berbagai respon yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap munculnya

Islamophobia yang mulai berkembang secara signifikan merupakan seperangkat kebijakan

yang saling berhubungan.

Islamophobia telah membuat tingkat human security dan perdamaian di Eropa

terutama di wilayah Perancis mengalami penurunan. Sebagai komitmen Uni Eropa untuk

melindungi warga negaranya, dengan menciptakan keamanan, organisasi ini mengeluarkan

seperangkat kebijakan untuk mengurangi tingkat stereotype terhadap Muslim dengan

pengetatan kebijakan imigran terutama yang berasal dari negara-negara Islam. Secara tidak

langsung pengetatan kebijakan imigrasi tersebut juga bagian dari upaya kontra terorisme,

yaitu pada pilar prevent. Mengingat bagaimana sumber-sumber terorisme utamanya berasal

dari negara Islam, pergerakan imigran Islam yang dipersempit melalui kebijakan imigrasi

yang lebih ketat difungsikan untuk mengurangi potensi sumber-sumber terorisme itu sendiri.

Sehingga kemungkinan akan terjadi serangan terorisme di lingkup domestik dapat dikurangi.

Memasuki tahun 2012, kebijakan kontra terorisme yang digalakkan oleh Uni Eropa ini

pun juga mulai mengalami pergeseran. Kebijakan awal yang bertumpu pada pilar defensif

telah meningkat menjadi ofensif dengan keterlibatan Uni Eropa dalam serangan udara untuk

memberantas terorisme dari sumbernya. Kebijakan ini sejalan dengan politik luar negeri yang

diusung oleh Uni Eropa terhadap negara-negara Arab Mediterania. Uni Eropa memandang

kawasan Timur Tengah sebagai wilayah yang tidak stabil, sehingga politik luar negeri

terhadap kawasan ini seringkali ditujukan untuk menciptakan stabilitas dan peace building.

Melalui tujuan yang demikian ini diharapkan radikalisme dapat dikurangi sehingga, akar

terorisme itu sendiri sedikit demi sedikit dapat diberantas.

Pada akhirnya berbagai kebijakan yang digalakkan oleh Uni Eropa ini sendiri

membawa dampak bagi komunitas Muslim yang tinggal di Eropa, utamanya Muslim di

Perancis yang memegang proporsi terbesar komunitas Muslim di Eropa. Kebijakan yang

sifatnya internasional dan meluas seperti kontra terorisme dan politik luar negeri Uni Eropa

memang tidak begitu memberikan dampak secara langsung, akan tetapi kebijakan pengetatan

imigrasi dengan mengeluarkan Skema Kartu Biru dan pengembalian secara langsung imigran

yang tidak memiliki dokumen lengkap memberikan dampak cukup signifikan bagi komunitas

83

Derek A. Mix, loc. cit. 84 Ibid.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Muslim. Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai segi, seperti sosial, politik, dan bahkan

hukum.

Kesimpulan

Islamophobia telah membuat tingkat human security dan perdamaian di Eropa

terutama di wilayah Perancis mengalami penurunan. Sebagai komitmen Uni Eropa untuk

melindungi warga negaranya, dengan menciptakan keamanan, organisasi ini mengeluarkan

seperangkat kebijakan untuk mengurangi tingkat stereotype terhadap Muslim dengan

pengetatan kebijakan imigran terutama yang berasal dari negara-negara Islam. Secara tidak

langsung pengetatan kebijakan imigrasi tersebut juga bagian dari upaya kontra terorisme,

yaitu pada pilar prevent. Mengingat bagaimana sumber-sumber terorisme utamanya berasal

dari negara Islam, pergerakan imigran Islam yang dipersempit melalui kebijakan imigrasi

yang lebih ketat difungsikan untuk mengurangi potensi sumber-sumber terorisme itu sendiri.

Sehingga kemungkinan akan terjadi serangan terorisme di lingkup domestik dapat dikurangi.

Pada akhirnya berbagai kebijakan yang digalakkan oleh Uni Eropa ini sendiri

membawa dampak bagi komunitas Muslim yang tinggal di Eropa, utamanya Muslim di

Perancis yang memegang proporsi terbesar komunitas Muslim di Eropa. Kebijakan yang

sifatnya internasional dan meluas seperti kontra terorisme dan politik luar negeri Uni Eropa

memang tidak begitu berdampak langsung, akan tetapi kebijakan pengetatan imigrasi dengan

mengeluarkan Skema Kartu Biru dan pengembalian secara langsung imigran yang tidak

memiliki dokumen lengkap memberikan dampak cukup signifikan bagi komunitas Muslim.

Pengaruh ini dapat dilihat dari berbagai segi, seperti sosial, politik, dan bahkan hukum.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arif, Muhammad Qobidl „Ainul. Politik Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen

Anti-Islam Dalam Isu Keanggotaan Turki. Yogyakarta: Deepublish. 2014.

Chalk, Peter. West European and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic. Basingstoke:

Macmillan. 1996.

Council of European Union. The European Union Counter Terrorisme Strategy. Brussel.

2005.

Fenwick, H. Civil Liberties & Human Rights. Oxon: Cavendlish Publishing. 2013.

Ishay, Michelin R. The History of Human Rights: From Ancient Times to the Globalization

Era. Barkeley and Los Ageles: University of California Press. 2004.

Kaizer, N & Van Sliedregt. The European Arrest Warrant in practice. The Hague: TMC

Asser Press. 2014.

Norman, Daniel. Islam and West, the Making of an Image. Scotland: Edinburgh University

Press. Vide. 1980.

O‟Neil, M. The Evolving EU Counter-terrorism Legal Framework. Oxon: Routledge. 2011.

Peers, S. EU Justice and Home Affairs Law. Oxford: Oxord University Publishing. 2011.

Rees, Wyn. Transatlantic Counter-terrorism Cooperation:The New Imperative. Oxon:

Routledge. 2006.

Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana. 2008.

Vries, C. de. EU Counter-Terrorism Coordinator, Terrorism, Islam and Democracy.

Basingstoke: Macmillan. 2011.

Watanabe, Lisa. EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for More

Comprehensive Approach. Jenewa: GCSP. 2011.

Artikel Jurnal

Boister, N. “Illegal Migration on Transnational Criminal Law”. European Journal of

International Law, Volume 14. 2011.

Brown, L. Carl. Middle East; Crescent of Crisis: U.S.-European Strategy for the Greater

Middle East. Council on Foreign Relations Journal, Volume 85. 2012.

Favell, Adrian dan Randal Hansen. “Markets Againts Politics: Migration, EU Enlargement

and the Idea of Europe.” Journal of Ethnic and Migration Studies. Volume 28.

Nomor 4. 2002.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Geisser, Vincent. “Intellectual and Ideological Debates on Islamophobia: A French Specifity

in Europe,” Institute of Researches and Studies on the Arabic and Muslim World.

____________. “Islamohobia: A French Specifity in Europe?” Human Architecture: Journal

of the Sociology of Self Knowledge. Hlm. 39-46. 2010.

Janik, Wojciech J. “The threat of Islamic terrorism in Europe.” Elbalg World Scientific

Journal, 2016.

Mark, Jon. “High Hopes and Low Motives: The New Euro-Mediterranean Partnership

Initiative.” Mediterranean Politics . Hlm. 1-24. 1996.

Perlmutter, William Rogers. “EUROPEAN UNION FOREIGN POLICY: QUIETLY

COLLAPSING DEMOCRACY.” Chapel Hill Journal of Political Science, Volume

III. 2014.

Rahmawati, Roosi. “Undang-Undang Laicite.” Jurnal Kajian Wilayah Eropa. Volume V.

Nomor 1. 2009.

Umbach, Frank. “EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Begining of 21 Century:

Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism.” Panorama:

Insight into Southeast Asian and European Affairs. 2004.

Wade, Marianne L. “The European union as a counter–terrorism actor: right path, wrong

direction?”. Springer Science and Business Media Journal. Volume X. 2013.

Yu. Darya. “Strategic Communication of the EU: The Counter‐Terrorist Aspect.” Sholokov

Moscow Journal of Humanitarian Affairs. Volume VI. 2014.

Internet

Allen, Chris dan Jorgen S. Nielsen. “Summary Report on Islamophobia in the EU after 11

September 2001.” http://fra.europe.eu/sites/default/files/fra_uploads/199-Synthesis-

report_en.pdf, diakses 14 Juni 2015 pukul 8:21 WIB, Surakarta.

BBC. “Imigran di Perancis.”

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml, diakses pada

27 Juni 2016 pukul 15:16 WIB, Surakarta.

Castle, Stephen T.t. “Islamophobia Takes a Grip Across Europe”.

http://www.islamophobia.org/readarticle.php?article_id=76, diakses 14 Juni 2015

pukul 13:11 WIB, Surakarta.

Cesari, Jocelyne. “Securitization and Religious Divides in Europe, Muslim in Western

Europe After 9/11: Why the Term Islamophobia is more Predicament than an

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Explanation?”. http://www.euro-islam.info/wp-

content/uploads/pdfs/securitization_and_religious_divides_in_europe.pdf, dilihat 25

Juni 2016 pukul 15:21 WIB, Surakarta.

Collet, Elizabeth. “The EU Immigration Pact – From Hague to Stockholm.”

http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf,

diakses 27 Juni 2016 pukul 15:24, Surakarta.

E., Sabir. “Bab I Pendahuluan.”

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/7681/SABIR%20E%2013

108278%20(%20BAB%201%20-

%20DAFTAR%20PUSTAKA%20).pdf?sequence=2, diakses 27 Juni 2016 pukul

15:28 WIB, Surakarta.

European Comission.

http://ec.europa.eu/public_opinion/archives/ebs/ebs_225_report_en.pdf, diakses 9

April 2016 pukul 15:36 WIB, Surakarta.

European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia. “Muslim in the European Union:

Discrimination and Islamophobia.”.

http://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/156-Manifestations_EN.pdf,

diakses 25 Juni 2016 pukul 15:38 WIB, Surakarta.

Johansson-Nogues, Elisabeth. “The Decline of the EU‟s Magnetic Attraction? The European

Union in the Eyes of Neighboring Arab Countries and Russia” European Foreign

Policy Unit Working Paper No 2011/1.

http://www.lse.ac.uk/internationalRelations/centresandunits/EFPU/EFPUpdfs/EFPU

workinpaper2011-1.pdf, diakses 25 Juni 2016 pukul 15:46 WIB, Surakarta.

Mansfiled, Edward D. dan Etel Solingen, “Regionalism,” Annual Reviews Political Science.

http://www.waseda.jp/gsaps/eaui/educational_program/PDF_2/KU_KIM%20DongH

un_Reading2_Regionalism.pdf, dilihat pada 20 Juni 2016 18:02 WIB, Surakarta

Mix, Derek A. 2015. “The United States and Europe: Current Issues,” Congressional

Research Service. https://www.fas.org/sgp/crs/row/RS22163.pdf, diakses 26 Juni

2015 pukul 15:44 WIB, Surakarta.

Okezone. 20 April, 2010. “Belgia Larang Penggunaan Cadar.”

http://international.okezone.com/read/2010/04/01/18/318365/belgia-larang-

penggunaan-cadar, diakses 17 Juni 2015 pukul 19:45 WIB, Surakarta.

REAKSI UNI EROPA TERHADAP ISLAMOPHOBIA DI PERANCIS

Skripsi dan Tesis

Mayastuti, Vitri. Analisis Budaya Strategis dalam Kerjasam Kontra Teror AS-Uni Eropa.

Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.