read LOLA, dy c.docx

Embed Size (px)

Citation preview

ACC Supervisordr. Fauzi Yusuf, Sp.PD, KGEHReading AssignmentSubbagian Gastroenterologi & HepatogiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UNSYIAH/ RSUDZA

PERAN L-ORNITIN L-ASPARTAT PADA HEPATIK ENSEFALOPATI Edy Cahyady*, Azzaki Abubakar**, Fauzi Yusuf***Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam **Subbagian Gastroenterologi dan hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSYIAH/ RSUDZA BANDA ACEH

PendahuluanSirosis hati (SH) merupakan penyakit hati ireversibel dan merupakan hasil akhir hepatoseluler injury yang menyebabkan fibrosis dan regenerasi noduler.1 Kondisi ini dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti berkurangnya fungsi sintesis hati (koagulopati), meurunnya kemampuan hati untuk detoksifikasi (hepatik ensefalopati), dan hipertensi portal.2 Hepatik ensefalopati (HE) merupakan salah satu komplikasi yang menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas pada penderita SH.2 Insidensi terjadinya HE pada SH bervariasi dari 30-45% hingga 50-70%, dimana sebahagian besar diantaranya merupakan HE minimal.2 Di Amerika serikat SH menyebabkan 26.000 kematian setiap tahun dan total biaya untuk rumah sakit diperkirakan mencapai $900juta.1, 3, 4Hepatik ensefalopati dapat diartikan sebagai gangguan dari fungsi sistem susunan saraf pusat yang disebabkan adanya gangguan dan penurunan fungsi hati.3 Patofisiologi HE belum dapat dimengerti seluruhnya secara tepat, namun hingga saat ini diyakini hiperamonemia merupakan salah satu kunci dalam patogenesis gangguan tersebut.5,6 Penangan HE adalah cenderung untuk menurunkan kadar amoniak dalam darah, disamping menanggulangi faktor-faktor pencetusnya.2,7,8,9Untuk mengurangi kadar amoniak dalam darah dapat melalui pemberian laktulosa, antibitotik untuk sterilisasi usus, serta membatasi asupan protein makanan.2,7,9 Pembatasan asupan protein pada penderita HE saat ini telah menjadi kontroversi, karena dapat memperburuk malnutrisi.2 Saat ini telah banyak modalitas pengobatan telah digunakan dalam penanganan HE, namun penelitian klinis terhadap masing-masing modalitas ini masih sedikit, karena evaluasi terhadap gejala neuropskiatri HE sangat luas dan sulit.7 L-Ornitin L-Aspartat (LOLA) telah banyak dijadikan sebagai terapi untuk mencegah HE karena dinilai mampu menurunkan kadar amoniak dalam darah, dan juga dapat menstimulasi siklus urea dan sintesis glutamin, yang sangat penting dalam mekanisme detoksifikasi amoniak.2

Patofisiologi Hepatik EnsefalopatiDoktrin utama yang diterima secara umum hingga saat mengenai patofisologi HE: substansi nitrogen yang dihasilkan dari saluran cerna memiliki efek buruk terhadap fungsi otak. Komponen ini dapat mencapai sirkulasi sistemik sebagai akibat dari menurunnya fungsi hati atau portal-systemic shunt. Setelah sampai di jaringan otak, selanjutnya akan menyebabkan perubahan pada neurotransmisi pada sel-sel otak sehingga mempengaruhi tingkat kesadaran dan perilaku.10,11,12Beberapa hipotesa yang telah dikemukakan pada patogenesis koma hepatik antara lain:1. Hipotesis Amoniak. Amoniak adalah substansi yang paling sering memberatkan patogenesis dari ensefalopati. Banyak, tapi tidak semua pasien (60-80%) dengan HE disertai peningkatan level amoniak darah, dan perbaikan dari ensefalopati sering berhubungan dengan penurunan level amoniak darah. Senyawa dan metabolit lain dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan ensefalopati termasuk mercaptan (derivat yang berasal dari metabolisme methionin di intestinal), asam lemak rantai pendek, dan fenol.10,12

Amoniak berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati, amoniak diubah menjadi urea pada sel hati periportal yang menjadi glutamin pada sel hati perivenus dibantu oleh enzim urease sehingga jumlah amoniak masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Meskipun abnormalitas lingkaran enzim urease terjadi pada sindroma kongenital, defisiensi enzim tidak menjadi perhatian utama pada pasien dengan sirosis. Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%), hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amoniak sehingga terjadi peningkatan kadar amoniak sebesar 5-10 kali lipat. Pada pasien dengan sirosis atau gagal hati akut, penurunan fungsi hepatoselular dijelaskan dengan pengamatan peninggian amoniak darah. Pada transport urea, ginjal secara aktif mensekresikan amoniak melalui urin. Sesungguhnya inilah hubungan meningkatnya konsentrasi amoniak pada vena renalis dibandingkan den`gan arteri renalis. Sebagai tambahan, konsentrasi amoniak pada vena renalis meningkat pada hipokalemia dan yang menggunakan diuretik. Studi klinis mendukung peranan pada hipokalemia mempercepat HE sebagai efek dari renal ammoniagenesis. Karena otot mempunyai peranan penting pada amoniak klirens sehingga atropi otot pada sirosis lanjut mempunyai kontribusi peningkatan brain uptake dari amoniak.10,12Pada kadar yang rendah amoniak menekan formasi postsinaptik potensial inhibitor dan depolarisasi neuron. Pada konsentrasi yang tinggi meningkatkan resting membran potensial dan menghambat konduksi akson dan mengeluarkan formasi postsinaptik potensial sehingga terjadi depresi fungsi sistem saraf pusat (SSP). Mekanisme amoniak lain adalah menurunkan glukosa otak dan konsumsi oksigen, meningkatkan brain glutamin, meningkatkan serotonin melalui peningkatan serebral triptopan uptake dan perubahan glutamatergik neurotransmisi. Terapi oral untuk HE, seperti laktulosa dan antibiotik pada usus bagian bawah merubah amoniak, mendukung hipotesa amoniak. Bagaimanapun, kurang kuatnya hubungan antara level arteri dengan severity dari HE bersama-sama dengan asas berlawanan efek terangsangnya amoniak pada SSP berbeda dengan observasi neurodepresi pada HE, memberi kesan bahwa amoniak bukan pemain tunggal pada HE. Portosistemik shunting meningkatkan level amoniak dengan bypass metabolisme hepatik.10,11,122. Hipotesis Toksisitas Sinergik. Neurotoksin yang lain dapat berperan secara sinergis dengan amoniak, seperti methanetiol, derivat mercaptan yang dapat menimbulkan efek merugikan pada fungsi neuronal secara sinergis dengan amoniak, serta penurunan eliminasi derivat phenol dari metabolisme pada tyrosin dan phenilalanin. 10,11

3. Hipotesis neurotransmiter palsu . Pada keadaan normal di otak terdapat neuroransmiter dopamin dan nor-adrenalin, sedangkan pada keadaan gangguan fungsi hati, neurotransmiter otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu Gambar 1) seperti oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibandingkan dopamin atau nor-adrenalin (Mullen,1996).10,12

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivasi neurotransmitter palsu adalah 1. Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi optamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke otak; 2. Penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang mengakibatkan peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptofan karena penurunan ambilan oleh hati dan otak.10,12

Colon: protein Tyrosine Intestinal bacterial decarboxylases

L-dopa Tyrosine Phenylalanin

Dopamine Tyramine

Noradrenaline Oktopamine

True False -phenylethanolamine

Sympatetic transmitter

Brain Metabolic disturbedGambar 1. Metabolisme terbentuknya neurotransmiter palsu.12

4. Hipotesis GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan benzodiazepin. Amonia dapat menimbulkan gejala HE setelah dimetabolisme oleh GS (Glutamic Syntetase) di otak. Penghambatan dari GS menghasilkan normalisasi konsentrasi glutamin otak dan normalisasi dari konsumsi glukosa otak, hal ini mendukung peranan dari sintesa glutamin dalam terbentuknya abnormalitas metabolik pada hyperammonemic states. Kemudian, amonia sendiri tidak dapat menjelaskan abnormalitas sistem syaraf sentral yang dihubungkan dengan HE. Pada kondisi normal glutamin adalah neurotransmiter yang merangsang keseimbangan efek inhibitori reseptor GABA. Regulasi glutamat pada ekstraselular otak meliputi presinaptik dan postsinaptik kontrol dibawah pengaruh reuptake dan konversi glutamin oleh perineuronal astrosit (gambar 2). Pada HE dijumpai hiperammonemia, down regulasi glutamat dan peningkatan kadar glutamin. GABA reseptor atau benzodiazepin reseptor ligands, yang merupakan neuronal inhibition terdapat pada postsinaptik membran dan merupakan jaringan penghambat utama didalam SSP juga tinggi konsentrasinya di dalam hati. Liver injury mengganggu GABA homeostatis dan bisa berkontribusi terhadap terjadinya HE sehingga peningkatan produksi GABA diduga berhubungan dengan kadarl amoniak. Pada binatang dan manusia sebagai model, HE berhubungan dengan peningkatan benzodiazepin reseptor ligands sehingga dijumpai peningkatan benzodiazepin-like activity pada cairan serebrospinal, darah dan urin pada pasien HE. Diduga benzodiazepin reseptor agonis diidentifikasi melalui kompetitif inhibisi dari flumazenil binding pada ligan yang tidak diketahui. Yang juga menjadi perhatian: 1). Bakteri usus menyebabkan produksi dari prekursor reseptor benzodiazepin ligan sama seperti amoniak. 2). Konsentrasi dari benzodiazepin ligand pada plasma berhubungan buruk dengan tingkatan HE. Akhirnya HE membaik pada beberapa pasien yang mendapatkan resptor antagonis benzodiazepin flumazenil.8,9,10,13,14

Gambar 2. Metabolisme normal ammoniak serebral a.kondisi normal, b.hiperamonemia.14

KlasifikasiHE merupakan suatu sindroma neuropsikiatrik yang dapat dijumpai pada pasien gagal fungsi hati baik yang akut maupun yang kronik. Pada umumnya gambaran klinis berupa kelainan mental dan kelainan neurologis.4,12,15Sesuai dengan perjalanan penyakitnya maka koma hepatik dibedakan atas:1. Minimal Hepatik Ensefalopati (MHE) : Pada kondisi ini tidak ditemukan gejala yang jelas, belum dijumpai gangguan psikiatrik maupun gangguan personalitas serta kelakuan. Kondisi ini sering disebut dengan Subklinik HE. Tes-tes yang penting untuk penegakan diagnosa ini dapat dilakukan oleh ahli neurologist, seperti Number Connection Test (NCT) A dan B, Digit-Symbol Test (DST) atau Block-Design Test (BDT), tetapi belum ada konsesus yang menerangkan metode mana yang terbaik.7,14,162. Hepatik Ensefalopati Overt: HE jenis ini dapat menunjukkan variasi tanda dan gejala yang cukup luas. Dapat bersifat episodik amaupun persisten13. Pada gradasi I : Gejala yang paling sering timbul adalah perubahan kepribadian, senang / euphoria, murung/ depresi, gangguan tidur (gradasi rendah) banyak tidur/ kurang tidur, dan pola tidur terbalik, gangguan psikiatrik dan gangguan tes neurofisiologik dijumpai. Gradasi II-IV: mengantuk, sangat mengantuk, sangat bingung, pingsan/ stupor, kelakuan berubah (gradasi tinggi) bicara terbata-bata hingga koma, dijumpai gangguan psikiatrik dan gangguan tes neurofisiologik.11,153. Ensefalopati Hepatik Akut atau Gagal Hati Fulminan: Karakteristik onsetnya cepat dan progresif kearah koma. Pasien pada kondisi ini akan mengalami onset sekitar 8 minggu dengan prognosa yang buruk, keadaan ini biasanya tanpa disertai faktor pencetus kecuali gagal hati itu sendiri dan tidak didapatinya kondisi reversibel setelah diterapi. 7,144. Ensefalopati Hepatik tanpa Liver Disease: HE yang terjadi tanpa didasari gagal hati, yang dapat diamati pada keadaan spontaneous atau iatrogenik ekstrahepatik portosystemic shunt. 7,11

Gejala KlinisGambaran klinis HE cukup rumit dan kelainan ini merupakan reaksi mental organik yang berhubungan dengan gangguan neurologi. Gambaran klinis tergantung sifat dan intensitas faktor etiologi dan pencetus.1. Gangguan Kesadaran, ditemukan kelainan pola tidur. Hipersomnia muncul dini dan berlanjut ke inversi irama tidur. Pengurangan gerakan spontan, tatapan yang tetap, apatis serata kelambatan dan ketangkasan respon merupakan tanda dini. Kemunduran lain menyebabkan reaksi hanya terhadap rangsangan hebat atau berbahaya. Koma mula-mula menyerupai tidur normal, berlanjut ke tak berespon sama sekali.11,12

2. Perubahan Personalitas, Hal ini paling menyolok pada penyakit hati menahun. Hal ini mencakup kekanak-kanakan, iritabilitas dan kehilangan perhatian pada keluarga. Bahkan dalam remisi pasien bisa menampilkan gambaran personalitas serupa yang menggambarkan keterlibatan lobus frontalis.11,12

3. Kemunduran Intelektual, Keadaan ini bervariasi dari sedikit gangguan fungsi mental organik ke konfusi hebat, paling mudah dibangkitkan sebagai apraksia konstruksional, yang diperlihatkan oleh ketidakmampuan menghasilkan pola sederhana dengan balok atau batang korek api. Keadaan ini meliputi kegagalan membedakan objek dari ukuran, bentuk, fungsi dan posisi yang serupa diikuti gejala berkemih dan berdefekasi pada tempat yang tepat. Bicara lambat, slurred dan monoton. Pada stupor dalam, disfasia menjadi jelas.11,12

4. Asteriksis, Merupakan kelainan neurologi, yang paling khas adalah flapping tremor, bersifat rapid, aritmik, tremor pada posisi fleksi dan ekstensidari pergelangan tangan dan sendi metakarpopalangeal dan jarang pada bahu, siku dan kaki. Kelainan ini khas pada HE namun tidak patognomonis. Hal ini diakibatkan gangguan aliran masuk sendi dan informasi aferen ke formasi batang otak yang menyebabkan penyelewengan sikap.12,14

Diagnosis Hepatik EnsefalopatiHepatic encephalopathy is a diagnosis of exclusion.7 Diagnosis hepatik ensefalopati ditegakkan berdasarkan gambaran klinis sesuai kriteria west haven (Tabel 1) dan dibantu dengan berberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk pemeriksaan HE, hanya sebatas untuk menyingkirkan penyebab lain atau untuk konfirmasi faktor pencetus.14,18Tabel 1. Stadium klinis hepatik ensefalopati berdasarkan The west haven criteria of altered mental state in HE modifikasi oleh Conn& Bircher 1994.Tarigan 2007DerajatHEStatus Kesadaran/ kecerdikan(intelektualFungsiIntelektualNeurologi/Asteriksis, flapping tremorEEGArterial NH3NCT AB

EH 0Tidak ada simtom tersamar (covert)Tes psikometrik (-)

MildMinimal/sub klinikal Laten EH, mEH, sHE, IEHTidak ada simtomTes psikometrik (+)Tidak tremor /asteriksis8,5-12 cpd /alfaFrekuensi2x BAN>120 det

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis antara lain elektroensefalografi (EEG) dengan beberapa tingkat penilaian (Tabel 2), tes psikometri, dan laboratorium untuk pemeriksaan amonia darah.10 Tabel 2. Tingkat kuantitas dari elektroensefalografi (EEG)PAPDI 2009Tingkat EnsefalopatiFrekuensi gelombang EEG(siklus/detik)

NormalFrekuensi alfa (8,5-12)

Tingkat I7-8

Tingkat II5-7

Tingkat III3-5

Tingkat IV3 atau negatif

Dengan pemeriksaan EEG terlihat peningkatan amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik, dan terjadi penurunan frekuensi dari gelombang Alfa (8-12Hz). (Tabel 2) Tes psikometri dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Tes ini sederhana, mudah dilakukan dan tidak mahal. Modifikasi dari tes ini yang umum digunakan hingga saat ini adalah tes uji hubungan angka (UHA) atau number connection test (NCT). Dengan UHA tingkat ensefalopati dibagi menjadi empat kategori (Tabel 3). Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi peningkatan kadar amoniak darah karena gangguan fungsi hati dalam medetoksifikasi amoniak serta adanya pintas (shunt) porto-sistemik.(Tabel 4).10,12 Tabel 3. Tingkat Uji Hubungan Angka (UHA)PAPDI 2009

Hasil Uji Hubung Angka (UHA) dalam detik

Normal15-30

Tingkat I31-50

Tingkat II51-80

Tingkat III81-120

Tingkat IV>120

Tabel 4. Hubungan HE dengan Kadar Amonia Darah PAPDI 2009Tingkat ensefalopatiKadar amonia darah dalam ug/dl

Tingkat 0300

StagingPada pasien SH dengan ensefalopati yang nyata, ada dua staging classification yang dapat digunakan untuk menilai HE.1. The west haven criteria. Kriteria ini dapat dilihat pada tabel . Metode ini merupakan kriteria yang paling populer dan masih banyak dipakai hingga saat ini, beberapa penelitian juga telah melakukan modifikasi terhadap kriteria ini (Tabel 1 )7,11,14,

2. The Glasgow Coma Scale (GCS.) Evaluasi derajat kesadaran berdasarkan GCS meskipun tidak umum digunakan dalam evaluasi terhadap pasien HE, penggunaanya yang secara luas terhadap gangguan struktural dan metabolik pada otak, memungkinkan hal ini dapat diaplikasikan pada penyakit hati yang akut dan kronis.7,14

PenatalaksanaanUpaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatik, antara lain dengan perawatan suportif untuk penanganan penurunan kesadaran serta pemberian kalori yang cukup, mengobati penyakit dasar hati, mengindentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus4,12 (Tabel 5) mengurangi pembentukan dan influks toksin nitrogen ke jaringan otak dengan cara antara lain mengurangi asupan makanan yang mengandung protein, menggunakan laktulosa dan antibiotika, membersihkan saluran cerna bahagian bawah, upaya lain dengan pemberian l-ornitin l-asetat, disamping itu perlu diupayakan untuk mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui, seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna, infeksi, penggunaan obat sedatif dan keseimbangan elektrolit yang juga dapat berperan sebagai faktor pencetus HE secara umum.4,14,19

Tabel 5. Intervensi Faktor Pencetus dan PenyebabTarigan2007Faktor PencetusPenyebabIntervensi

Perdarahan saluran cerna Prognose kurang baikVarises/ nonvarisesVit K, PPI, endoskopi, ligasi & skleroterapi, injeksi sandostatin/ somatostatin.Bila perlu transfusi PRC/WB

InfeksiPneumonia, Infeksi saluran kemih, Sindroma bakterial peritonitis, sepsisAntibiotik / cefotaksim

Hipokalemia/ alkalosisDiuretik, gangguan keseimbangan, cairan / elektrolitKoreksi/subsitusi, cairan & elektrolit, restriksi cairan

Sedatif transqualizerNarkotik, BenzodiazepinFlumazenil, naloxone

Diet ProteinProtein hewaniRestriksi protein, pemberian protein nabati

AzotemiaObat (Anti inflamasi non steroid), menyebabkan disfungsi, katabolic (sepsis), Sindroma hepato renal, hipokalemia.Kontrol sepsis, cegah obat nefrotoksik, subsitusi cairan, tubuh stress.

Kerusakan hati akutObat hepatotoksik, super infeksi, hepatotropik virusHilangkan obat hepatotoksik, transplantasi?

Tujuan dan sasaran yang harus dicapai pada pasien dengan HE adalah20,21 1. Konfirmasi diagnosis HE2. Mengidentifikasi dan menangani faktor pencetus3. Mengurangi durasi rawatan di rumah sakit4. Mempertibangkan dan mengevaluasi untuk transplantasi hati

Tujuan dan sasaran yang harus dicapai pada pasien yang telah membaik dari HE20,21

1. Mencegah timbulnya rekurensi2. Memperbaiki kualitas hidup dan memaksimalkan produktifitas pasien3. Mempertimbangkan dan evaluasi untuk transplantasi hati

L-ORNITIN L-ASPARTAT (LOLA)Sasaran utama pengobatan HE pada saat ini bertujuan untuk menurunkan kadar amonia yang dianggap sangat berperan pada perburukan gejala klinis dari penderita SH hingga jatuh pada keadaan HE, terutama dengan mengurangi kadar amoniak yang berasal dari saluran cerna. Penelitian eksperimental dan penelitian klinis yang telah dimulai sejak lebih dari 40 tahun yang lalu di jerman, telah membuktikan dan merekomendasikan L-ornitin L-aspartat (LOLA) memiliki efek untuk mengurangi kadar amoniak, memperbaiki gejala, serta parameter laboratorium penderita HE3,7,9,20. Penggunaan LOLA juga dapat menurunkan kadar ammonia pada pasien dengan Transjugular Intrahepatic Portosytemic Shunt (TIPS)22 L-ornitin dan L-aspartat adalah bentuk garam stabil dari dua asam amino Ornitin dan Aspartat, yang terbukti memiliki peranan sebagai ammonia-lowering effect, dan menjadi substrat penting dalam jalur metabolik untuk detoksifikasi amoniak1,3,4. LOLA memperbaiki status mental dan menurunkan kadar amoniak serum dan di spinal dengan menstimulasi siklus urea dan sintesis glutamin.1, 3,23Ornitin bekerja dengan menstimulasi aktivitas enzim ornithine carbamoyl phosphate syntetase I dan aspartat menstimulasi aktivitas dari arginase dengan mendonasikan ion nitrogen (Gambar 3). Kedua enzim ini diperlukan untuk proses sintesis urea. Pemberian LOLA dapat menurunkan konsentrasi amoniak plasma dan meningkatakan kadar urea dalam plasma. Pada fungsi hati yang terganggu, amoniak tidak dapat di metabolisme oleh hati dan diubah menjadi glutamine pada otot. Fungsi glutamin adalah sebagai nontoxic ammonia transporter kedalam sirkulasi. Setelah pemberian LOLA, serum glutamine meningkat oleh karena aktifitas dari glutamin sintase otot, namun kadar glutamine dan laktat pada cairan spinal tidak meningkat untuk mencegah onset dari edema otak. Ini menunjukkan bahwa LOLA meningkatkan sintesis glutamin pada perifer. 3,32,24Mekanisme utama proses detoksifikasi amoniak pada pasien sirosis adalah ambilan amoniak yang lolos dari hati oleh otot dan konversinya menjadi glutamin di hati. LOLA meningkatkan aktivitas dari ornitin dan aspartat transaminase untuk memproduksi glutamate yang kemudian meningkatkan sintesis glutamin melalui GS. (gambar 4).3 Ornitin dapat melewati sawar darah (BBB), menunjukkan bahwa sistem saraf pusat merupakan target dari ornitin, namun mekanismenya belum dapat dijelaskan dengan baik. Perbaikan dari status mental setelah diberikan terapi LOLA bukan merupakan efek langsung ornitin pada sistem saraf pusat, tetapi hasil dari suatu penurun paparan pada otak terhadap ammoniak, sekunder pada penurunan kadar ammoniak serum.3

Gambar 3. Siklus urea3

Gambar 3. LOLA meningkatkan aktivitas ornitin dan aspartat transaminase menghasilkan glutamat yang meningkatkan sintesis glutamin.3

Penelitian Manfaat Klinis LOLA pada Terapi HE

1. Penelitian Manfaat Ammonia-Lowering effects LOLA ( Clinical Trial )Penelitian awal dilakukan pada tahun 1976 oleh Henglein-Ottermann, dengan metode randomized double-blind, crossover, controlled trial dengan plasebo, terhadap 10 pasien SH dan 10 subjek sehat dengan hiperamonemia yang diinduksi dengan pemberian infus ammonium chloride (NH4CL) 40mg/kg selama 60 menit; dan pemberian infus LOLA secara acak dengan dosis 5g dalam 10% sorbitol atau hanya 10% sorbitol (plasebo) selama 8 jam. Didapatkan kadar amoniak puasa rata-rata pasien SH lebih tinggi dibandingkan subjek sehat. Infus NH4CL menginduksi peningkatan kadar amoniak lebih tinggi pada pasien SH dibanding subjek sehat. Pemberian infus LOLA setelahnya, dapat mencegah peningkatan konsentrasi kadar amoniak dibandingkan kelompok plasebo. Penelitian ini untuk pertama menunjukkan dosis kecil LOLA (5g) dapat mencegah peningkatan kadar amoniak yang diinduksi dengan pemberian NH4CL. 8,9,10

Penelitian manfaat ammonia-lowering effects LOLA selanjutnya dilakukan pada tahun 1993 oleh Staedt dkk., meneliti efek LOLA dengan 3 dosis berbeda (5, 20, dan 40g LOLA; serta plasebo melalui infus selama 8 jam) terhadap 10 penderita SH minimal dan hiperamonemia yang diinduksi dengan pemberian diet protein tinggi. Setelah pemberian dosis 20g, peningkatan konsentrasi amoniak dalam darah lebih rendah secara signifikan pada kelompok perlakuan dibanding kelompok yang mendapat plasebo, sementara dengan pemberian LOLA 40g, peningkatan konsentrasi amoniak hampir dapat ditekan secara sempurna. Hasil penelitian ini menunjukkan kemampuan LOLA untuk menekan peningkatan kadar amoniak bergantung kepada dosis yang diberikan.8,9

Beberapa RCT (Randomized Controled Trial) menunjukkan efektifan pemberian LOLA dalam menangani pasien dengan HE. Poo dkk (2006), Meneliti keefektifan pemberian LOLA dan didapatkan kesimpulan dengan pemberian 9 gram LOLA (1sachet = 3gram/3 x/hari) selama 2 minggu, secara signifikan menurunkan kadar ammonia serum.17 Ahmad dkk (2009), meneliti efek LOLA pada 80 pasien dengan pemberian LOLA 20g/hari.25 2. Manfaat Infus LOLA terhadap HE Minimal dan HE RinganPenelitian ini dilakukan pada tahun 1997 oleh Kierches dkk., terhadap 126 pasien SH, hiperamonemia dan HE tanpa pengecualian derajat. Masing-masing peserta diberi diet protein 1g/kgBB, dan pemberian infus LOLA 20g/hari selama empat hari; perbaikan derajada HE lebih banyak dijumpai pada kelompok yang mendapat LOLA dibandingkan kelompok plasebo, dan pada kelompok perlakuan dengan diagnosis awal HE grade 1 dan 2, efikasi pemberian infus LOLA masing-masing 73 dan 82%. Secara keseluruhan dijumpai perbaikan dari status mental, konsentrasi amonia dalam darah, dan performa tes psikometrik, tetapi tampaknya perbaikan ini hampir selalu tebatas pada pasien-pasien yang manifest dibandingkan penderita HE minimal.8,9,10,18

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ahmad dkk di Pakistan, membandingkan pemberian LOLA perinfus dengan placebo dengan desain studi Randomized, placebo-controlled trial, dimana 80 pasien yang secara acak diberikan LOLA dan plasebo. Pasien diberikan diet protein 1gram/kgbb, dan diberikan infus LOLA 20g/hari (4 ampul, 10cc/ampul) di campurkan pada 250cc cairan dextrose 5%. Kesimpulan penelitian ini didapatkan bahwa LOLA efektif terhadap penurunan amoniak plasma.25

3. Manfaat Infus LOLA terhadap HE BeratPublikasi penelitian tentang efikasi pemberian LOLA intra vena untuk pengobatan HE berat hingga saat ini hanya dijumpai dua publikasi. Pada tahun 1972 oleh Leonhardt dan Bungert, melakukan penelitian dengan open trial of treatment method dengan pemberian 80-120g LOLA/hari selama 2 hari terhadap 30 pasien SH, hiperamonemia (>85mol/L), dan gangguan neurologis; serta pada tahun 1958 oleh Kalk terhadap penderita HE grade II-III yang disebabkan oleh diet protein tinggi, perdarahan saluran cerna atas, infeksi atau alkohol. Karena alasan etika, penelitian ini dilakukan tanpa kontrol. Dari penelitian ini dijumpai perbaikan status mental pada 28 penderita (94%) dari 30 pasien dalam waktu 6 jam setelah pemberian pengobatan, serta penurunan konsentrasi amonia. Penelitian ini mendapat banyak kritikan karena tidak memiliki kontrol dan hanya sedikit informasi tentang penatalaksanaan pasien dalam penelitian ini, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah perbaikan ini tidak disebabkan oleh restriksi diet protein, kontrol perdarahan, atau eradikasi infeksi.8,9,10

Suatu metanalisis yang dipublikasikan oelh Jiang dkk menjelaskan bahwa : beberapa penelitian yang dilakukan oleh Li dkk dengan sampel 50 orang, dengan pemberian LOLA perinfus 10gram perhari selama 10 hari, didapatkan adanya perbaikan status mental dan fungsi hati. Hu dkk, emnyimpulkan bahwa pemberian LOLA perinfus 5g pada 117 pasien dapat memperbaiki tes fungsi hati, amoniak darah dan derajat HE.17

4. Manfaat Pemberian LOLA secara Oral terhadap HE minimal dan HE RinganEfikasi pemberian LOLA secara oral sebagai terapi HE telah dilakukan pada tiga penelitian yang dipublikasikan. Pada tahun 1996, Kircheis dkk., melakukan penelitian secara randomisasi terhadap 63 pasien dengan SH dan HE dengan berbagai derajad, pasien diberi LOLA 6g oral, identik dengan plasebo tiga kali dalam sehari disertai pemberian pemberian protein 1gr/kgBB selama 14 hari. Dari hasil penelitian diperoleh adanya perbaikan pada number connection test A dan penurunan kadar amonia darah vena pada fasting dan post prandial. Dari analisis subgrup, dijumpai perbaikan status mental pada pasien HE grade II yang diberi terapi LOLA, sedangkan pada pasien dengan HE minimal dan HE grade I tidak dijumpai perbedaan yang signifikan dari status mental diantara kedua grup.8,9

Suatu penelitian yang lebih besar dengan metode penelitian yang sama yang melibatkan 192 pasien dilakukan pada tahun 1999 oleh Fleig dkk., dengan memberi LOLA oral dan plasebo secara acak selama 4 minggu, dengan hasil yang didapatkan hampir sama dengan penelitian sebelumnya, namun publikasi penelitian ini hanya dalam bentuk abstrak.8,9

Penelitian oleh Poo dkk. pada tahun 2004-2006, dengan sampel yang lebih kecil, dimana 25 pasien dengan SH dan HE, diberikan LOLA oral dan laktulosa secara acak selama 2 minggu. Mereka menemukan bahwa kedua obat ini dapat menurunkan kadar sirkulasi amonia, namun pada pemberian LOLA dijumpai juga perbaikan status mental, parameter psikometrik, dan aktifasi EEG secara signifikan.8,9,26,27

5. Efikasi LOLA pada gagal hati akut (ALF)Acharya dkk melakukan penelitian (Doube blind, randomized, placebo control trial) pada tahun 2005-2007, dimana 201 pasien dengan ALF diberikan LOLA perinfus (30gram/hari) atau placebo diberikan selama 3 hari, dilakukan pengukuran kadar ammonia serum selama 6 hari. Kesimpulan yang didapat adalah: LOLA perinfus tidak menurunkan kadar ammonia dan tidak memperbaiki survival pada ALF.26Cara Pemberian dan Efek samping LOLAAnjuran pemberian dosis perinfus LOLA adalah 4ampul (20g)/hari dalam keadaan prekoma, pada keadaan koma dapat diberikan 8 ampul (40g)/hari. LOLA oral diberikan 3x 3-6g/hari LOLA dalam bentuk oral memiliki efek samping yang lebih sedikit ( 3mg/dl.11

KesimpulanHepatik ensefalopati merupakan gangguan dari fungsi sistem susunan saraf pusat yang disebabkan adanya gangguan dan penurunan fungsi hati, dan hiperamonemia diyakini sebagai pathogenesis utamanya, diamana amonia bekerja sebagai inhibitor neurotransmisi pada reseptor gamma amino butyric acid (GABA). Sasaran utama pengobatan HE pada saat ini adalah untuk menurunkan kadar amonia, terutama amonia yang berasal dari saluran cerna, salah satu pilihannya adalah melalui pemberian LOLA. Dari beberapa hasil penelitian tentang manfaat klinis LOLA terhadap pengobatan HE. PemberianLOLA efektif dalam menurunkan kadar ammonia dalam darah, pemberian infus LOLA lebih efektif dibanding bentuk oral dan lebih bermanfaat pada penderita HE berat.

DAFTAR PUSTAKA1. Syahrizal, Nurdjanah S, Maduseno S. Hasil guna L-ornitin L-aspartat intravena dibanding plasebo terhadap penurunan kadar amnia darah pada penderita ensefalopati hati. Berkala Kesehatan Klinik. 2009; XV: 1-62. Ndraha S, Simadibrata M. Normal protein diet and L-ornithine-L-aspartate for hepatic encephalopathy. Acta Med Indonesia-Indonesia J Intern Med. 2010; 42 :158-613. Claudia IBV, Jorge LPR. Efficacy of oral L-ornithine-L-aspartate in cirrhotic patients with hyperammonemic hepatic encephalopathy. Annals of Hepatology 2011;10: S55-9.4. Nevah MI, Fallon MB. Hepatic encephalopathy, hepatorenal syndrome, hepatoreanl syndrome, hepatopulmonary syndrome, and systemic complications of liver disease. In: Feldman M et.al (ed) Sleisenger and Fordtrans Gastrointestinal and Liver Disease. 9th edition, USA, Saunders Elsevier. 2010.1543-50. 5. Lemberg A, Fernandez MA. Hepatic encephalopathy, ammonia, glutamate, glutamine, and oxidative stress. Annals of Hepatology; 2009: 95-1016. Butterworth RF. Effects of hyperammonaemia on brain function. J Inher Metab Dis. 1998; 21: 6-207. Blei AT, Cordoba J. Hepatic Encephalopathy. The American Journal of Gastroenerology. 2001; 96: 1968-748. Kircheis G, Wettstein M, Dahl S. Clinical efficacy of L-ornithine-L-aspartate in the management of hepatic encephalopathy. Metabolic Brain Dissease. 2002: 17: 453-639. Morgan YM, Blei A, Grunggreiff K. The treatement of hepatic encephalopathy. Metabolic Brain Dissease. 2007; 22: 389-40510. Zubir N. Koma hepatik. Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I,dkk. ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4. Jakarta. Pusat Penerbitan FKUI. 2006: 451-611. Tarigan P. Ensefalopati Hepatik Dalam: H Ali Sulaiman dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati, Edisi Pertama, 2007.407-419.12. Sherlock S, Dooley J. Hepatic encephalopathy. In: Diseases of the liver and biliary system.11th edition,UK, Blackwell. 2002. 93-107.13. Hazell AS, Butterworth RF. Hepatic Encephalopathy: An Update of pathophysiologic mechanism. Pathophysiology of hepatic Encephalopathy, 1999:99-112. 14. Dancygier H. Hepatic Encephalopathy. In: Clinical Hepatology Principles and Practice of Hepatobiliary Disease, Springer, Vol II, 2010. 1005-15.15. Riggio O, Ridola L, Pasquale C. Heapthic encephalopathy theraphy: An overview. World J Gastrointest Pharmacol Ther 2010 April 6; 1(2):54-63.16. Bajaj JS, Wade JB, Sanyal AJ. Spectrum of neurocognitive impairment in cirrhosis: Implications for the assessment of hepatic encephalopathy. American Association for the Study of Liver Disease (ASLD), Hepatology, vol. 50, No. 6, 2009:2014-21.17. Soarez PC, Oliveira AC, Padovan J, et all. Acritical analysis of studies assessing L-ornithine-L-aspartate (LOLA) in hepatic encephalopathy treatement. Arq gastroenterol. 2009; 46: 241-247.18. Poh Z, Chang PEJ. A Current review of the diagnostic and treatment strategies of hepatic encephalopathy. International Journal of Hepatology, volume 2012:1-10.19. Nathan M B. Managing hepatic encephalopathy. The treatment of hepatic Encephalopathy in the cirrhotic patients. Gastroenterology & Hepatology Vol 6;Issue 4; Supplement 8: April 2010.20. Bajaj JS. Hepatic Encephalopathy. In: Boyer TD et.al(ed) Zakim and Boyers Hepatology A Textbook of Liver Disease. 6th edition,USA, Saunders Elsevier. 2012. 267-82.21. Treatment of patients with hepatic encephalopathy: Review of the latest data from EASL 2011. Gastroenterology & Hepatology Vol 7;Issue 6; Supplement 9: June 2011.22. Rees CJ, Mardini HAM, Hudson M, Record CO. Effect of L-ornithine-L-aspartate on patients with and without TIPS undergoing glutamine challenge: a double blind, placebo controlled trial. Gut BMJ 2000;47:571-4.23. Acharya SK, Bhatia V, Sreenivas V, Khanal S, Panda SK. Efficacy L-ornithine-L-aspartate in acute liver failure: A Double-blind randomized, placebo-controlled study. GASTROENTEROLOGY 2009;136:2159-68.24. Pilar LT, Mercado RS. L-ornithine-L-aspartate among cirrhotic patients with hepatic encephalopathy: does it make a difference?. Phil J of Gastroenterology 2006;2:87-94.25. Ahmad I, Khan AA, Alam A, Dilshad A, Butt AK, Shafqat F et al. L-ornithine-L-aspartate infusion efficacy in hepatic encephalopathy. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2008, Vol.18(11):684-7.26. Jiang Q, Jiang XH, Zheng MH, Chen YP. L-ornithine-L-aspartate in the management of hepatic encephalopathy: A meta-analysis. Journal of Gastroenterology and Hepatology 24.2009: 9-14.27. Poo JL, Gongora J, Fransisco SA, Sergio AC, Guilermo GR, Mario FZ, et al. Efficacy of oral L-ornithine-L-aspartate in cirrhotic patients with hyperammonemic hepatic encephalopathy. Results of a randomized, lactulose-controlled study. Annals of Hepatology 5;(4);2006: 281-8.

17