30
RASIONALISME DESCARTES Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu: Topik-topik Epistimologi Dosen Pengampu: Dr. Alim Roswantoro, M. Ag. Disusun oleh : Fauzan Azima (1220510003) KONSENTRASI STUDI QUR’AN HADIS PRODI AGAMA DAN FILSAFAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

rasionalisme.pdf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pemikiran Rene Descartes

Citation preview

Page 1: rasionalisme.pdf

RASIONALISME DESCARTES

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Filsafat Ilmu: Topik-topik Epistimologi

Dosen Pengampu: Dr. Alim Roswantoro, M. Ag.

Disusun oleh :

Fauzan Azima (1220510003)

KONSENTRASI STUDI QUR’AN HADIS

PRODI AGAMA DAN FILSAFAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

Page 2: rasionalisme.pdf

ABSTRAK

Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa

kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan

fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan

dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka

bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar

kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan kedua bentuk

tersebut.

Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya.

Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau

elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi

humanisme yang antroposentrik.

Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-

dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski

ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme

yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.

Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum,

misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang

menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan

terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.

Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang

dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.

Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme

kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada

ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan

pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.1

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Rasionalisme, diakses tanggal 10-10-2012 jam 22.30.

Page 3: rasionalisme.pdf

A. Pendahuluan

Era filsafat modern dimulai sejak munculnya pemikiran positivisme dan

rasionalisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa ilmu alam

merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak hal-hal yang

bersifat metafisik.

Sedangkan rasionalisme secara umum diartikan sebagai teori yang menyatakan

bahwa kebenaran ditentukan melalui pembuktian, logika dan analisis yang bisa diterima

oleh akal manusia. Ciri khas dari aliran filsafat ini adalah semboyan yang berbunyi

“Corgito Ergo Sum” yang berarti saya berpikir, maka saya ada.

Selain rasionalisme, ada beberapa aliran lain yang ikut meramaikan dunia

akademik filsafat, diantaranya:

1. Empirisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa segala pengetahuan berasal dari

pengalaman. Aliran ini menolak anggapan bahwa manusia membawa pengetahuan

dalam dirinya ketika dilahirkan. Tokoh-tokohnya antara lain David Hume, George

Berkeley dan John Locke.

2. Idealisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa mental dan ideasional sebagai kunci

untuk mencapai kebenaran realitas. Tokoh-tokohnya antara lain Johan G. Fitcher,

Hegel dan Immanuel Kant.2

Pada dasarnya aliran-aliran filsafat ini mencoba untuk mengemukakan teori-

teori pengetahuan untuk memperoleh kebenaran akan pengetahuan tersebut. Banyak cara

yang bisa dilakukan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Dalam hal realitas yang

bisa dijangkau oleh panca indera manusia, kebenaran dari pengetahuan tersebut bisa

dibuktikan melalui pengujian secara ilmiah, pendekatan melalui akal pikiran terhadap

benda-benda yang nyata yang bertemu langsung antara subjek dan objeknya. Sedangkan

hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra manusia dan bersifat abstrak,

mendapatkan kebenaran pengetahuan tersebut bisa dilakukan dengan berpikir dan

merasakan dengan pengalaman.

Dalam makalah ini akan dibahas teori filsafat rasionalisme dengan berbagai

teori dan semboyan serta metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan

maupun kebenarannya. Selain itu juga akan dipaparkan tokoh yang menggunakan teori

pemikiran ini.

2 http://id.wikipedia.org/wiki/Rasionalisme, diakses tanggal 10-10-2012 jam 22.30

Page 4: rasionalisme.pdf

B. Pengertian Rasionalisme

Kata rasionalisme secara berasal dari kata rasio yang memiliki arti masuk akal,

akal budi. Rasional memiliki beberapa pengertian, yaitu:

1. Secara umum, rasional menunjukkan modus atau cara pengetahuan diskursif,

konseptual yang khas manusiawi.

2. Secara khusus, raisonal memiliki makna konklusif, logis, metodik. Ilmu

pengetahuan rasional merupakan ilmuyang bersifat deduktif atau reduktif.

3. Rasional juga menunjukkan sesuatu yang mempunyai atau mengandung rasio atau

dicirikan oleh rasio, dapat dipahami, cocok dengan rasio, dapat

dimengerti/ditangkap.

Bentukan kata lain dari kata rasio adalah rasionalisasi yg memiliki dua makna

umum, yaitu:

1. Makna positif, yaitu membuat rasional (masuk akal) atau membuat sesuatu dengan

akal budi atau menjadi masuk akal.

2. Arti negatif, yaitu pembenaran berdasarkan motif-motif tersembunyi.

Adapun rasionalisme adalah prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama

dalam menjelaskan sesuatu. Secara umum kata rasionalisme menunjuk pada pendekatan

filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan.3

Rasionalisme menjadi aliran baru dalam filsafat sejak Descartes mengemukakan hasil

filosofinya dengan menggunakan pikiran dan rasionya untuk menguji kebenaran

pengetahuan. Dasar-dasar dari aliran ini dilandaskan pada pemikiran filsafat Descartes

yang kemudian dikenal sebagai Rasionalisme Kontinental.

C. Sejarah Hidup Descartes (1596-1650)

Descartes dikenal sebagai “Penemu Filsafat Modern” dan “Bapak Matematika

Modern”. Ia lahir di La Haye, sebuah kota kecil di daerah Tourine, Perancis. Pada tahun

1606 ia mengikuti pendidikan di Jesuit College yang berada di kota La Fleche. Selama

menempuh studi disana, ia menjadi siswa kesayangan gurunya, walaupun Descartes

menyatakan bahwa ia hanya mendapatkan sedikit ilmu dan lebih banyak memberikan

perhatian pada studi matematika. Pada tahun 1616, Descartes mendapatkan gelar

Baccalaureat dan Licence dalam bidang hukum dari University of Poitiers.4

3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 928-929.4 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy trans. John Cottingham (Sydney: Cambridge

University Press, 1986), hlm. xix

Page 5: rasionalisme.pdf

Pada tahun 1618, Descartes berangkat ke Belanda untuk bergabung dengan

pasukan Perancis dibawah pimpinan pangeran Maurice dari Nassau. Disana ia bertemu

dengan Isaack Beckman yang kemudian bersama-sama menciptakan sebuah nada musik

yang dikenal dengan Compendium Musicae. Pada tahun 1619, ia berangkat ke Jerman

dalam misinya bersama pasukan Perancis. Pada malam tanggal 10 November, setelah

seharian merenung dan berpikir, ia mendapatkan mimpi yang ditafsirkannya sebagai

pertanda dari Tuhan (divine sign) yang dianggap sebagai takdir hidupnya untuk

menemukan kesatuan ilmu alam pada matematika.5 Pada masa itu ketertarikannya sangat

tertuju pada hukum alam dan matematika yang diinspirasi oleh Isaac Beckman. Selama

masa perang tersebut, Descartes lebih banyak melakukan perjalanan daripada menulis

dalam bidang filosofi atau ilmu alam. Pada tahun 1622, ia kembali ke Perancis dan

menetap selama beberapa waktu di Paris serta melakukan beberapa perjalanan di Eropa.

Pada tahun 1628, Descartes menulis karya pertamanya yang tidak pernah

terselesaikan yang berjudul Regulae ad Directionem ingenii (aturan dalam pengarahan

pikiran) yang dikerjakannya dalam kurun waktu satu tahun. Karyanya tersebut

menunjukkan bahwa Descartes telah menyibukkan diri dengan metode-metode untuk

memajukan ilmu alam (scientific advance), sebuah metode yang berdasarkan inspirasi

hitungan matematika, walaupun ditujukan sebagai metode penyelidikan rasional pada

berbagai keadaan subjek dan hal-hal lain. Pada bulan November 1628, Descartes

membuat dirinya terkenal melalui pertentangan (perbedaan pendapat) dengan Chandoux

yang menganggap ilmu (science) hanya bisa dibangun dari kemungkinan-kemungkinan.

Sedangkan menurut Descartes, kepastian absolut yang menjadi dasar pengetahuan

manusia dan ia mempunyai metode untuk membuktikannya.6 Pada tahun tersebut,

Descartes pensiun menjadi tentara dan pergi ke Belanda serta menetap disana sampai

tahun 1649 dengan berulang kali berpindah alamat.

Pada tahun 1629, Descartes menulis tentang Le Monde (The World) yang

merupakan hasil penyelidikan ilmiahnya tentang alam. Ketika ia mendengar

penghukuman Galileo yang mengajarkan sistem Copernican7, ia membatalkan penerbitan

Le monde tersebut. Kejadian itu merupakan hal penting dalam hidup Descartes yang

menunjukkan sikap hati-hati dan kebijaksanaan terhadap otoritas yang berlaku dalam

5 The Encyclopedia of Philosophy (London: Collier Macmillan Publishers, 1967), Vol. 1-2, hal. 344.Dikatakan juga sebagai vision dari sistem baru dalam ilmu matematika dan ilmu alam (scientific system). LihatRene Descartes, Meditations on First Philosophy, hlm. xix.

6 The Encyclopedia of Philosophy, hlm. 344.7 Kemungkinan besar tentang klaim bahwa bumi mengelilingi matahari.

Page 6: rasionalisme.pdf

dirinya.8 Pembatalan penerbitan buku tersebut juga mempengaruhi penerbitan karya

Descartes berikutnya yang mana ditujukan untuk memperlihatkan kurangnya pengaruh

ortodox dalam gaya pemikirannya.

Pada tahun 1637, Descartes menerbitkan sebuah buku yang berjudul Discours

de la Metode. Buku ini memuat tiga rumus dalam matematika dan hukum alam, yaitu

Geometry, Dioptric dan Meteors. Buku ini menjadi sebuah tanda penting bagi Descartes,

baik dari segi kepadatan penjelasan tentang penemuan sistem Cartesian,

autobiographical, dan kenyataan bahwa buku tersebut ditulis di Perancis. Buku ini

ditujukan bagi kaum akademik yang diharapkan bisa memberikan masukan penting bagi

Descartes. Model Perancis yang dikembangkan oleh Descartes dalam perkembangan

ilmu matematika dan ilmu alam ini dihargai sebagai model ekspresi dari pemikiran

abstrak bagi bahasa tersebut.9

Pada tahun 1641, Descartes menerbitkan buku lain yang lebih membahas

tentang hal-hal metafisik. Buku yang berjudul Meditationes de Prima Philosophia

(Perenungan sebagai langkah awal berfilosofi) memuat enam langkah berpikir dalam

filsafat.10 Setahun kemudian ia menerbitkan edisi revisi dari buku Meditations dengan

tujuh langkah berpikir dalam filsafat.

Pada tahun 1643, filsafat Cartesian dianggap tidak layak untuk akademik di

University of Utrecht dan Descartes mulai hubungan surat menyurat dengan putri

Elizabeth dari Bohemia. Pada tahun berikutnya, Descartes mengunjungi Perancis dan

menerbitkan tulisannya yang lebih formal dalam filsafat yang berjudul Principia

Philosophiae (prinsip dalam berfilsafat). Selain memuat tentang filsafat Descartes, buku

tersebut juga memuat tentang pandangan Descartes terhadap kosmologi (ilmu

perbintangan) yang mana ia menyatakan bahwa ia berharap buku tersebut dapat

digunakan sebagai bahan pelajaran bagi umat Kristen tanpa harus bertentangan dengan

teks Aristoteles.

Pada tahun 1647, Descartes diberikan penghargaan dari raja Perancis dan

menerbitkan Comment on a Certain Broadsheet serta mulai menulis tentang Description

of the Human Body. Pada tahun 1648, ia mendapatkan wawancara oleh Frans Burman di

8 Sikap ini tidak disetujui oleh para pengikutnya termasuk oleh Leibniz dan Bossuet.9 Mungkin lebih tepatnya disebut sebagai model pembahasaan yang tepat dan akurat dalam

menjelaskan pemikiran yang abstrak.10 Untuk lebih jelasnya, silahkan baca buku Meditations on First Philosophy trans. John Cottingham

(Sydney: Cambridge University Press, 1986).

Page 7: rasionalisme.pdf

Egmond-Binne yang kemudian menjadi tulisan yang berjudul Conversation with

Burman.

Pada tahun 1649, Descartes berangkat ke Swedia atas undangan dari ratu

Christina. Setelah beberapa lama menunggu ia menyerah setelah mendapati banyak

ketidakpastian dari permintaan ratu Christina yang menyatakan bahwa ia akan

dimasukkan ke dalam golongan filsuf terkemuka. Pada tahun ini Descartes juga

menerbitkan buku Les Passions de l’ame (gairah jiwa). Tahun berikutnya, Descartes

meninggal karena terserang penyakit pheneumonia sebagai akibat dari iklim yang ada di

Swedia dan ketatnya jadwal yang diinginkan oleh sang ratu.

D. Pemikiran Filsafat Descartes

Sebagai seorang filsuf, Descartes memiliki konsep sendiri tentang pengetahuan.

Menurut beliau pengetahuan adalah keyakinan yang yang berdasarkan pada sebuah

alasan yang kuat yang tidak bisa digoyahkan oleh alasan lain yang muncul kemudian.

Metode yang digunakannya adalah meragukan semua pengetahuan yang ada. Hal ini

terlihat pada bukunya yang berjudul Meditations dimana ia menempatkan keraguan

sebagai renungan pertama.

Descartes menyandarkan keraguannya pada semua kepercayaan yang ada dalam

dirinya pada sebuah alasan, yaitu keyakinan yang tidak bisa digoyahkan, keyakinan yang

nyata yang diketahui oleh orang umum yang biasa digunakan dalam prinsip matematika.

Walaupun saya dalam keadaan sadar ataupun bermimpi, dua ditambah tiga hasilnya tetap

lima. Oleh karena itu, Descartes meminta kita untuk berimajinasi sebuah jiwa yang

memiliki kekuatan dan kemampuan yang menyebabkan kita merasakan pengalaman

yang kita miliki dan semua keyakinan yang berkaitan dengannya.11

Menurut beliau, ada beberapa langkah untuk mencapai pengetahuan yang tidak

ada lagi keraguannya. Dalam Ensiklopedi Filsafat disebutkan empat aturan dalam

menjalankan metode “keraguan” Descartes12, yaitu:

1. Menerima bahwasanya tidak ada sesuatu yang benar (true). Hal ini berguna untuk

mencegah adanya dugaan dan prasangka dalam menentukan kebenaran, untuk

menerima kebenaran itu apa adanya yang tidak ada celah untuk meragukannya

kembali.

11 Roger Scruton, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein (Canada:Routledge, 1996), hal. 28.

12 Untuk lebih jelas, silahkan baca The Philosophical Works of Descartes.

Page 8: rasionalisme.pdf

2. Mengelompokkan berbagai masalah yang akan diperiksa sebanyak yang bisa

dilakukan dan yang dibutuhkan untuk mencapai kebenaran tersebut, yang kemudian

diselesaikan dengan cara yang paling baik/tepat.

3. Memasukkan pemikiran subjek (peneliti/pemikir) sesuai dengan masalahnya,

dimulai dari objek yang paling mudah dimengerti, kemudian meningkatkannya

secara perlahan. Atau dengan cara mengetahui yang paling rumit sesuai dengan

keadaan sekalipun hal tersebut tidak nyata, yang diantaranya tidak sesuai dengan

peristiwa alam yang saling berkaitan satu sama lain.

4. Yang terakhir adalah dengan memberikan penomoran terhadap semua kasus dengan

lengkap dan meninjaukembali secara umum supaya terhindar dari ketiadaan

(nothing).

Langkah-langkah diatas cukup rumit untuk dipahami karena ada beberapa hal

yang terkesan vague. Langkah pertama cukup jelas dengan meragukan semua kebenaran

yang ada agar tidak terjadi perselisihan antara kebenaran yang ada di dalam pikiran

dengan kebenaran yang ada dalam realitas alam. Hal ini bisa disebut dengan

menghapuskan doktrin atau tradisi yang terdapat di dalam pikiran manusia dari ia

dilahirkan hingga ia bertemu dengan sesuatu yang belum diketahui kebenaran aslinya.

Langkah kedua yaitu dengan mengelompokkan masalah-masalah yang ingin

diteliti kebenarannya kemudian diselesaikan dengan cara yang tepat. Semua hal yang

berkaitan dengan masalah yang ingin diketahui kebenarannya tersebut dikelompokkan

sesuai tema dan inti permasalahannya agar tidak terjadi kesalahan di dalam memahami

kebenaran yang ingin diungkap. Dengan begitu, kebenaran akan terbuka satu-persatu

seiring dengan terpecahkannya masalah yang sudah dikumpulkan sebelumnya.

Langkah ketiga yaitu dengan memasukkan pemikiran subjek sesuai dengan

masalahnya. Pada langkah ini, setelah semua masalah diketahui dengan jelas dan telah

dilihat dari berbagai aspek yang meliputi hal tersebut, subjek mulai memasukkan

pemahaman yang ada dalam pikirannya untuk membuka secara perlahan inti dari

masalah tersebut, dimulai dari hal yang paling mudah hingga hal yang paling sulit, atau

sebaliknya, dimulai dari hal yang paling rumit hingga bisa menjawab hal yang paling

mudah. Misalkan meneliti kepribadian dan cara berpikir seseorang untuk mengetahui

sejauh mana ia menilai kebenaran dari sebuah pengetahuan. Hal yang paling mudah bisa

saja dengan mengetahui sejarah hidupnya, kemudian latar belakang intelektualnya,

dilanjutkan dengan kebiasaannya dalam berpendapat hingga masuk ke alam

pemikirannya. Atau sebaliknya dengan mencoba menerobos alam pikirannya dari gaya

Page 9: rasionalisme.pdf

pengungkapan dan pemilihan bahasanya yang kemudian dilanjutkan dengan melihat

kebiasaannya sehari-hari.

Langkah terakhir adalah verifikasi terhadap semua masalah yang ada dan

memberikan tanda tertentu terhadap permasalahan yang sudah diselesaikan. Hal ini

bertujuan agar tidak ada masalah yang tertinggal atau luput dari penyelesaian. Semua

masalah yang telah diselesaikan ditinjau kembali untuk mendapatkan pemahaman yang

tepat terhadap kebenaran yang didapatkan.

Langkah-langkah diatas terkesan cukup sulit untuk dilakukan dalam perenungan

dan penelitian ilmu alam. Leibniz menanggapi metode tersebut dengan cara yang mudah,

yaitu: ambil apa yang kamu perlukan, lakukan apa yang harus kamu lakukan, dan kamu

akan mendapatkan apa yang kamu inginkan.13

Adapun pemikiran filsafat Descartes yang dirangkum dalam wikipedia dibagi

menjadi tiga bagian14, yaitu:

1. Pengetahuan yang Pasti.

Menurut Descartes, pengetahuan adalah sesuatu yang tidak ada lagi keraguan di

dalamnya. Metode yang digunakannya adalah meragukan semua pengetahuan yang ada

hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa ada tiga pengetahuan yang bisa diragukan,

yaitu:

Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi. Contohnya kayu lurus yang

dimasukkan ke dalam air maka akan kelihatan bengkok.

Fakta umum tentang dunia seperti api itu panas dan benda yang berat akan jatuh. Ia

juga menyatakan bahwa mimpi yang berulang kali bisa memberikan pengetahuan

tentang sesuatu.

Prinsip-prinsip logika dan matematika. Ia menyatakan bagaimana jika ada seorang

makhluk yang bisa memasukkan ilusi ke dalam pikiran kita, dengan kata lain kita

berada dalam suatu matrix.

Menurut Decrates, eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan

tidak dapat diragukan. Sebab meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya

tertipu oleh suatu matriks, ia ragu akan segalanya. Oleh karena itu tidak dapat diragukan

lagi jika pikiran itu eksis. Sedangkan pikiran menurut Descartes adalah suatu benda

berpikir yang bersifat mental, bukan bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa

13 The Encyclopedia of Philosophy, hal. 345.14 http://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes, diakses tanggal 11-10-2012 jam 01.14.

Page 10: rasionalisme.pdf

pikiran itu ada, Descrates melanjutkan penyelidikan filsafatnya untuk membuktikan

bahwa Tuhan itu ada.

2. Ontologi Tuhan Dan Benda

Decrates mendeskripsikan Tuhan sebagai makhluk sempurna yang tak

terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul begitu saja dari hasil pikiran dan

pengalaman manusia karena kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna

dan bisa diragukan dan tidak memenuhi sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan

tentang Tuhan itu muncul karena ada yang menaruh pikiran itu ke dalam pikiran

manusia, yaitu Tuhan tersebut.

Setelah membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes mencoba membuktikan

benda material itu ada. Ia menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan

ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa benda material itu sejatinya tidak ada,

bahkan Tuhan menciptakan manusia untuk memiliki kecenderungan bahwa benda

material itu ada. Jika pemahaman bahwa benda material itu ada hanya sebuah matrik

kompleks yang menipu pikiran manusia, hal itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah

penipu dan bagi Descrates penipu adalah ketidaksempurnaan sedangkan Tuhan adalah

makhluk sempurna sehingga Tuhan tidak mungkin menipu dan benda material itu ada.

3. Metafisika

Menurut Descartes, realitas itu terdiri dari tiga hal, yaitu: benda material yang

terbatas seperti objek-objek fisik, benda-benda mental yang terbatas seperti pikiran dan

jiwa manusia, dan benda mental yang tidak terbatas yaitu Tuhan. Ia juga membedakan

pikiran dan tubuh manusia yang membawanya kepada pembagian ilmu, yaitu realitas

material sebagai ranah bagi keilmuan baru seperti yang dibawa oleh Galileo dan

Copernicus, dan realitas mental bagi ranah keilmuan seperti ilmu agama, etika dan

sejenisnya yang tidak berkaitan dengan objek material.

Hasil pemikiran Descartes yang dijelaskan dalam tiga bagian diatas cenderung

merupakan hasil refleksi yang disampaikannya dalam buku Meditations. Pengetahuan

yang pasti dengan metode keraguannya adalah langkah awal dalam perenungan.

Dilanjutkan dengan berpikir untuk menemukan eksistensi diri terdapat pada perenungan

kedua. Pengetahuan akan Tuhan terdapat dalam perenungan ketiga. Perenungan keempat

membahas tentang objek material. Pada perenungan kelima membahas tentang

pembuktian keberadaan Tuhan. Pengetahuan akan metafisika dibahas dalam perenungan

Page 11: rasionalisme.pdf

keenam.15 Dibawah ini akan dijelaskan tentang enam langkah perenungan (meditasi)

filsafat rasionalisme yang juga dianggap sebagai dasar awal terbentuknya aliran

rasionalisme tersebut.

1. Meditasi Pertama: Apa Saja yang Bisa Diragukan16

Sejak dilahirkan, manusia diberikan pengetahuan yang diajarkan terus-menerus

seiring pertumbuhannya, baik ajaran dari keluarga, lingkungan, masyarakat, sekolah

ataupun yang lain yang merupakan refleksi dari pikirannya. Semua pengetahuan tersebut

tertanam dalam pikiran manusia, begitu dalam hingga apa saja yang ada dalam pikiran

mereka semua dianggap benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan dan dimasukkan

dalam pikiran tersebut. Ketika manusia mencapai titik kesadaran tertentu dimana dia

berhadapan dengan realitas yang berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran mereka

selama ini, mulai timbul keraguan yang semakin dalam apakah pengetahuan tersebut

sudah benar, ataukah masih perlu dikaji ulang.

Lebih jelasnya jika diilustrasikan pada diri penulis. Saya hidup dalam

lingkungan yang mempunyai adat, tradisi dan agama. Saya terikat pada hukum-hukum

yang berlaku pada tiga hal tersebut. Seiring pertumbuhan saya dan minat saya dalam

mengetahui sebuah hal secara lebih dalam dan terperinci, saya melihat banyak perbedaan

antara apa yang saya pelajari dengan apa yang terjadi dalam kenyataan (realitas). Apa

yang saya temukan dari hasil penglihatan, percobaan, dan berpikir lebih dalam (seeing

deep insight)17, mengantarkan saya pada sebuah kesadaran bahwasanya semua hal yang

sudah tertanam di dalam pikiran saya dapat diragukan kebenarannya. Saya semakin

tertarik untuk mengetahui hal tersebut dan berusaha untuk menemukan sebuah

pengetahuan yang tidak dapat lagi diragukan kebenarannya.

Descartes berkata :

“But to accomplish this, it will not be necessary for me to show all my

opinions are falls, which is something i could perhaps never manage.

Reasons now leads me to think that i should hold back my assent from

opinions which are not completely certain and indubitable just as carefully

as i do from those which are patently false”.18

15 Ini adalah judul bab dari rangkaian meditasi Descartes. Lihat Rene Descartes, Meditations on FirstPhilosophy trans. John Cottingham (Sydney: Cambridge University Press, 1986).

16 Terjemahan sekaligus analisis dari penulis terhadap meditasi Descartes yang pertama. Lihat ReneDescartes, Meditations on First Philosophy, hal. 12-15.

17 Dalam bahasa Descartes disebut meditasi.18 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 12.

Page 12: rasionalisme.pdf

Tidak semua pengetahuan yang tertanam di dalam pikiran harus diragukan, ada

beberapa juga yang harus dipertahankan yang belum bisa diragukan. Untuk mencapai

pengetahuan yang benar, alasan diperlukan sebagai tolak ukur bahwasanya pengetahuan

itu tidak bisa diragukan kembali.

Cara untuk menolak semua pengetahuan yang dimiliki (opinions) dapat

dilakukan dengan menemukan alasan untuk meragukan pengetahuan tersebut. Ketika

kebenaran baru telah ditemukan dengan menggunakan alasan tersebut, maka kebenaran

pengetahuan yang lama yang berada dalam pikiran akan hilang dengan sendirinya.

Apapun yang saya terima sebagai hal yang paling benar harus saya yakinkan baik dalam

sense (indera/perasaan) maupun melalui perasaan tersebut. Akan tetapi seiring

berjalannya waktu, saya menemukan bahwasanya perasaan dan sense saya ternyata

menipu. Akan lebih bijak jika saya tidak mempercayai orang atau apapun yang telah

menipu saya.19

Walaupun sense kita terkadang menipu untuk mempercayai objek yang kecil dan

jauh, ada keyakinan lain yang lebih tidak mungkin untuk diragukan walaupun itu berasal

dari sense. Contohnya: saya sedang duduk diatas api, menggunakan pakaian musim

dingin (jaket yang sangat tebal dan hangat) sambil memegang beberapa kertas.

Pertanyaannya adalah apakah tubuh itu benar-benar milik saya? Apakah saya sedang

bermimpi atau dalam keadaan sadar? Mimpi ataupun sadar, pengetahuan yang saya

dapatkan itu ada dan tertanam dalam pikiran.20

Ini adalah sebuah alasan yang tepat. Apapun keadaan saya, baik tidur ataupun

terjaga, pengalaman yang saya rasakan dan pengetahuan yang saya dapatkan tetap sama.

Ketika saya bermimpi sedang menggunakan jaket yang tebal, saya merasa jaket itu benar-

benar ada dan pengalaman/pengetahuan yang saya dapatkan juga ada sekalipun ketika

terbangun saya dalam keadaan tanpa busana. Jadi, apapun yang bisa dikhayalkan baik

dari segi bentuk tubuh atau warna-warna dan apa yang ada di bumi itu nyata sekalipun

hanya dalam pikiran kita.21

Bisa disimpulkan bahwa fisika, astronomi, kedokteran dan disiplin ilmu lain

yang memerlukan pengajaran (study) untuk menggabungkan sesuatu bisa diragukan.

19 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 12.20 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 13.21 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 13.

Page 13: rasionalisme.pdf

Sedangkan aritmatic, geometry dan hal-hal lain yang lebih sederhana sekalipun dia nyata

atau tidak di dunia ini mengandung kepastian dan tidak bisa diragukan kembali.22

2. Meditasi Kedua: Pikiran Alami Manusia.23

Seperti yang telah dijelaskan pada meditasi pertama, segala sesuatu yang dapat

diragukan bisa dianggap sebagai hal yang palsu. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah

metode untuk menemukan hal atau pengetahuan yang tidak bisa diragukan dan tidak bisa

digoyahkan oleh hal lainnya. Sebuah pernyataan menarik dari Descartes dalam

meragukan pengetahuan yang ada, yaitu:

“I will Suppose then, that everything I see is spurious. I will believe that my

memory tells me lies, and that none of the things that it reports ever

happened. I have no senses. Body, shape, extensions, movement and places

are chimeras. So what is remains true? Perhaps just the one fact that nothing

is certain.”24

Lebih lanjut, ia mempertanyakan siapa yang memasukkan pengetahuan dalam

pikirannya, apakah itu Tuhan atau apapun sebutan-Nya. Tapi mengapa ia bisa berpikiran

seperti itu sedangkan ada kemungkinan bahwa ia yang menuliskan pengetahuan tersebut

ke dalam pikirannya. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa dirinya adalah sesuatu yang

dia yakini ada (exist). Akan tetapi di sisi lain ia juga menerima bahwa ada kekuatan besar

dan cerdas yang ikut mempengaruhi diri dan pikirannya. Menurut Descartes, dalam kasus

ini ia menganggap bahwa keberadaan dirinya tidak dapat diragukan lagi. Sekalipun ada

kekuatan di dalam dirinya yang mempengaruhi pikirannya, kekuatan tersebut tidak akan

bisa meyakinkan bahwa dirinya tidak ada selama ia berpikir bahwa ia adalah sesuatu.

Disinilah kemudian muncul istilah Cogito Ergo Sum, saya berpikir maka saya ada.25

Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa ada beberapa pengertian yang terkait

dengan Cogito Ergo Sum, antara lain:

Ungkapan tersebut merupakan kepastian pertama menurut Descartes. Sebelumnya

sudah ada argumen Agustinus “Si Fallor Sum”, jika saya tertipu saya ada. Satu-

satunya kepastian yang kita miliki adalah kepastian eksistensi (keberadaan) kita

sendiri.

22 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 14.23 Terjemahan dan analisis dari meditasi yang kedua. Lihat Rene Descartes, Meditations on First

Philosophy, hal. 16-23.24 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 16.25 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 16-17.

Page 14: rasionalisme.pdf

Dengan ungkapan tersebut, Descartes mau menunjukkan suatu intuisi langsung,

niscaya, dan tidak dapat diragukan, dimana ia mengenal dirinya sendiri secara jelas

dan terpilah-pilah. Seseorang tidak dapat meragukan bahwa dia berpikir (ragu),

karena dalam tindakan meragukan itu dia membuktikan bahwa hal tersebut ada

(eksis) dan nyata.

Cogito Ergo Sum dianggap sebagai kebenaran yang terbukti dengan sendirinya atau

aksioma yang jelas dengan sendirinya dan dari dasar ini Descartes mengembangkan

sistem filsafatnya yang bersifat rasionalistis.26

Dari pola pikir bahwa ia adalah sesuatu (something), Descartes melanjutkan

pembuktiannya untuk mengetahui siapakah dia sebenarnya. Dia mempertanyakan dirinya

sendiri dan menjawab pertanyaan itu dengan cara yang unik, yaitu:

“What then did I formerly thinks I was? A man. But what is a man? Shall I

say ‘a rational animal’? No; for then I should have to enquire what an

animal is, what rationality is, and in this way one question would lead me

down the slope to other harder ones, and I do not now have the time to

waste on subtleties of this kind...

What else I am? I will use my imagination. I am not the structure of limbs

which is called a human body. I am not even some thin vapour which

permeates the limbs – a wind, fire, air, breath, or whatever I depict in my

imagination, for those are things which I suppose to be nothing..

But what then am I? A thing that thinks. What is that? A thing that doubts,

understands, affirms, denies, is willing or unwilling, and also imagines and

has sensory perceptions.”27

Perjalanan pemikirannya untuk membuktikan keberadaan dirinya dan siapakah

sebenarnya dirinya tersebut, Descartes menciptakan dua istilah yang dianggap sebagai

pondasi dasar dalam pemikiran rasionalisme. Istilah yang pertama adalah Cogito Ergo

Sum, saya berpikir maka saya ada. Dengan berpikir manusia sudah membuktikan jika

dirinya ada (exist). Pikiran adalah kunci keberadaan manusia. Hal ini berimplikasi jika

manusia atau sesuatu tidak berpikir maka dia tidak ada. Sedangkan istilah kedua yaitu

Sum Res Cogitans, saya adalah sebuah benda yang berpikir.

Dari sini Descartes mulai menaruh pijakannya bahwa manusia adalah sebuah

benda yang berpikir, benda yang mempunyai mental yaitu pikiran itu sendiri. Sebuah

26 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal. 142-143.27 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 17-19.

Page 15: rasionalisme.pdf

benda yang bisa meragukan, bisa mengerti, bisa menegaskan, bisa menolak, bisa

berkehendak ataupun tidak berkehendak, bisa berimajinasi dan mempunyai pemikiran

sendiri. Klaim seperti ini tentu bertentangan dengan ajaran agama yang menyatakan

manusia adalah makhluk, bukan benda. Ini salah satu bukti rasionalitas dalam berfilsafat

yang dikemukakan oleh Descartes.

3. Meditasi Ketiga: Keberadaan Tuhan.28

Seperti yang telah disinggung pada meditasi pertama, Descartes mengemukakan

bahwasanya ada sebuah kekuatan besar dan memiliki kecerdasan yang memasukkan

pengetahuan ke dalam pikiran manusia. Kekuatan besar dan memiliki kecerdasan yang

digambarkan Descartes sebagai makhluk yang sempurna ini disebut sebagai Tuhan.

Descartes melanjutkan pemikirannya untuk mengetahui eksistensi Tuhan.

Setelah menyatakan dirinya adalah benda yang bisa berpikir, Descartes

mencoba untuk melanjutkan pemikirannya terhadap sesuatu yang berada dalam dirinya

yang belum ia sadari. Kembali ke pemikiran awalnya bahwa ia meragukan berbagai hal

yang ada di dunia ini, baik itu bumi, langit, bintang dan apapun yang bisa dipahami

dengan sense (indera/perasaan). Walaupun begitu, ia menyadari bahwa ada sesuatu di

luar dirinya yang sudah terbiasa ia yakini sebagai sumber ide yang muncul di

pikirannya.29

Disini ia mulai membuka kembali pengetahuan yang ada dalam pikirannya.

Descartes berkata:

“Indeed, the only reason for my later judgement that they were open to

doubt was that it occured to me that perhaps some God could have given me

a nature such i was deceived even in matters which seemed most evident.

And whenever my preconceived believe in the supreme power of God

comes to mind, I can not but admit that it would be easy for him, if he so

desired, to bring it about that I go wrong even in those matters which I think

I see utterly clearly with my mind’s eye.”30

Dari pernyataan tersebut, Descartes mengakui bahwa Tuhan itu ada dan

mempunyai kemampuan untuk mengubah persepsi atau pandangannya menjadi salah jika

Tuhan berkehendak sekalipun Descartes sudah melihat dengan jelas melalui mata dan

28 Terjemahan dan analisis dari meditasi ketiga. Lihat Rene Descartes, Meditations on FirstPhilosophy, hal. 24-36.

29 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 24.30 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 25.

Page 16: rasionalisme.pdf

pikirannya. Pernyataan Descartes berikutnya adalah pijakan awal untuk mengetahui

keberadaan Tuhan dengan meragukan adanya Tuhan, yaitu:

“And since I have no cause to think that there is a deceiving God, and I do

not yet even know for sure there is a God at all, any reason for doubt which

depends simply on this supposition is very slight and, so to speak,

metaphysical one. But in order to remove even this slight reason for doubt,

as soon as the opportunity arises I must examine whether there is a God,

and, if there is, whether he can be deceiver.”31

Langkah pertama yang dilakukan Descartes untuk membuktikan keberadaan

Tuhan yaitu dengan memisahkan pikirannya dalam beberapa hal yang terperinci dan

membedakan mana yang benar (truth) dan mana yang palsu (falsity). Hal ini berguna agar

ia bisa mengkategorikan mana yang ia sebut dengan kehendak (volition) atau perasaan

(emotion) dan yang mana ia sebut dengan penilaian (judgement). Ketika pengetahuan

yang ia terima berdasarkan kehendak dan perasaan yang ada dalam pikirannya, maka

tidak ada kekhawatiran pengetahuan tersebut jatuh kepada kepalsuan (falsity). Ia juga

menjaga pikirannya agar tidak sampai membuat penilaian (judgement) yang pada

akhirnya membuat ia melakukan kesalahan. Diantara ide-ide yang muncul dalam

pikirannya, beberapa merupakan pengetahuan yang didapatkan sejak lahir, beberapa

didapatkan dengan cara tidak sengaja32, dan beberapa lainnya merupakan pengetahuan

yang ditemukan dalam proses berfilsafatnya.33

Langkah selanjutnya, Descartes memisahkan antara objek dan ide. Objek adalah

hal di luar pikiran yang menjadi sumber pengetahuan yang bisa ditangkap langsung oleh

indera manusia. Sedangkan ide adalah persepsi yang ada dalam pikiran tentang objek

tersebut sekalipun objek tersebut tidak ada (exist) atau abstrak.

Ia mencontohkan matahari untuk menjelaskannya. Matahari adalah sebuah objek

yang bisa dilihat langsung oleh mata atau indera manusia. Dengan penglihatan langsung,

matahari terlihat kecil bahkan jauh lebih kecil dibandingkan bumi. Ketika sudah

menggunakan ilmu astronomi dalam melihat matahari, ternyata matahari begitu besar,

bahkan jauh lebih besar daripada bumi.34

31 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 25.32 Dalam terjemahan bahasa Perancis disebutkan “pengetahuan yang asing bagiku dan berasal dari

luar pemikiranku”.33 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 25-26.34 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 27.

Page 17: rasionalisme.pdf

Ada dua ide yang muncul dari sebuah objek yaitu matahari. Ide pertama bahwa

matahari itu terlihat kecil dan memancarkan cahaya, ide kedua bahwa matahari itu

ternyata jauh lebih besar daripada bumi. Adapun ide yang muncul tanpa ada objek nyata

dicontohkan dalam beberapa bentuk. Diantaranya adalah panas. Panas bisa dirasakan oleh

kulit kita sekalipun objeknya tidak ada atau tidak terlihat35. Panas dari api maupun dari

pancaran sinar matahari memunculkan satu ide tentang sesuatu yang abstrak tapi eksis.

Menurut Descartes, ide tentang panas sekalipun dia tidak terlihat, adalah sebuah

bukti bahwa panas itu ada. Jadi ada sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh indera manusia

tapi ada (exist) di sekitar mereka. Begitu juga bunyi. Kita hanya bisa mendengar dan

mengetahui suara sirene dari jenis gelombang udara yang ditimbulkan. Kita yakin sirene

itu ada walaupun kita tidak tahu persis bagaimana bentuknya.36

Berangkat dari gagasan diatas, Descartes mencoba untuk menjelaskan tentang

Tuhan. Dia berkata:

“Undoubtly, the ideas which represent subtances to me amount to something

more and, so to speak, contain within themselves more objective reality than

the ideas which merely represent modes or accidents. Again, the idea that

gives me my understanding of a supreme God, eternal, infinite, omniscient,

omnipotent and the creator of all things that exist apart from him, certainly

has in it more objective reality than the ideas that represent finite

substance.”37

Dari pernyataan diatas, secara tidak langsung Descartes mendefinisikan Tuhan

sebagai sesuatu yang luar biasa, abadi, maha besar, maha mengetahui, maha kuasa dan

pencipta segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dalam pernyataan lain ia menyebutkan

bahwa Tuhan ketika menciptakan dia telah menempatkan ide tentang eksistensi Tuhan ke

dalam pikiran Decrates sebagai tanda bahwa ia (manusia) adalah hasil ciptaan-Nya.38

4. Meditasi Keempat: Truth and Falsity.39

Setelah mengetahui keberadaan Tuhan, Descartes menyadari bahwa dirinya

adalah makhluk yang tidak sempurna. Dengan menggunakan konsep “Thingking thing”,

35 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 28.36 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 27.37 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 28.38 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 25.39 Penulis tidak berani menterjemahkan karena belum mengerti makna sebenarnya dari kata “falsity”

sesuai yang disampaikan oleh Descartes. Dalam kamus, falsity diartikan sebagai kepalsuan. Ada juga yangmengartikan sebagai penipuan. Selain itu, jika melihat konteksnya falsity bisa juga diartikan sebagai kesalahan.Tapi dalam pikiran penulis, yang dimaksudkan dengan falsity disini adalah kebalikan dari truth (kebenaran) atauhal yang bertentangan dengan kebenaran itu. Lihat Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 37-43.

Page 18: rasionalisme.pdf

sesuatu yang berpikir, Descartes menyadari ada sesuatu atau makhluk (being) yang

memiliki kesempurnaan sebagai akibat dari keberadaan dirinya yang tidak sempurna.

Makhluk tersebut, yang disebut Descrates sebagai Tuhan, adalah sesuatu yang berbeda

dari dirinya. Dia mengakui kenyataan bahwa dirinya memiliki keraguan, tidak sempurna

dan bergantung pada sesuatu, yang kemudian memunculkan gagasan tentang sesuatu

yang berdiri sendiri dan sempurna yang disebut Tuhan. Dia juga menyadari bahwa

kemampuan berpikir manusia (human intellect) tidak bisa mengetahui sesuatu dengan

sangat jelas dan pasti. Dari sini, dia mengakui bahwa Tuhan yang memiliki

kebijaksanaan dan mengetahui apa yang tersembunyi dibalik pengetahuan sepenuhnya

(secara pasti).40

Dalam menjelaskan tentang kebenaran dan falsity, Descartes lebih banyak

membandingkan kemampuan dirinya dengan kemampuan Tuhan. Hal ini juga

mengantarkan ia pada kesadaran dimana ia adalah makhluk yang bisa berbuat salah atau

menuju kesalahan, sedangkan Tuhan selalu menyampaikan kebenaran yang tidak

mungkin bisa disalahkan.

Sebagai langkah awal, Descartes menanamkan dalam pikirannya bahwa Tuhan

tidak mungkin menipu dirinya. Hal ini disebabkan segala macam bentuk tipu daya adalah

bukti dari ketidaksempurnaan. Walaupun memiliki kemampuan untuk menipu sebagai

bukti maha kuasa Tuhan, keinginan untuk menipu itu sendiri tidak diragukan lagi adalah

sebuah kelemahan dan ketidaksempurnaan, jadi hal tersebut tidak mungkin terdapat pada

Tuhan yang sempurna.41

Langkah selanjutnya yang ditempuh oleh Descartes adalah dengan menyadari

bahwa ia memiliki pengetahuan (faculty) dalam menilai sesuatu (judgement). Seperti

halnya segala yang ada dalam dirinya, ia menerima bakat tersebut dari Tuhan. Karena

Tuhan tidak mungkin menipu dirinya, maka ia yakin bahwa Tuhan tidak akan

memberikan bakat (pengetahuan) yang bisa mengantarkan dirinya kepada kesalahan jika

ia menggunakan bakat tersebut dengan benar. 42

Descartes menyadari bahwa tidak mungkin ada celah untuk berbuat salah atau

salah menilai jika semua yang ada pada dirinya datang dari Tuhan. Oleh karena itu, jika

ia terus berpikir tentang Tuhan dan memberikan seluruh perhatiannya kepada Tuhan, dia

tidak menemukan sebab apapun untuk berbuat salah (error or falsity). Akan tetapi, jika ia

40 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 37.41 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 37.42 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 38.

Page 19: rasionalisme.pdf

kembali kepada dirinya sendiri, dengan pengalaman yang ia miliki, ia menyadari bahwa

dirinya rawan untuk melakukan kesalahan (error). Dari sini ia mengetahui bahwa ia

mengakui dan berpikir secara nyata tentang hal-hal positif yang berasal dari Tuhan yang

maha sempurna, dan juga ia mengakui ada sisi negatif dan kekurangan sebagai akibat

dari ketidaksempurnaan tersebut.43

Di sisi lain Descartes menjelaskan bahwa kekeliruan (error) disebabkan

kurangnya pengetahuan yang ada dalam dirinya. Hal ini jauh berbeda dengan

kemampuan Tuhan yang maha tahu. Lebih lanjut Descrates menjelaskan perbedaan

antara dirinya dan Tuhan:

“For since I now know that my own nature is very weak and limited,

whereas the nature of God is immense, incomprehensible and infinite. I also

know without more ado that he is capable of countless things whose cause

are beyond my knowledge.”44

Hal itulah yang menjadi alasan bagi Descrates untuk mencari tahu sebab yang

tidak bisa diungkap dalam ilmu fisika dengan pertimbangan bahwa dirinya mempunyai

kemampuan untuk mengetahui tujuan Tuhan. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah

ciptaan Tuhan itu sempurna sesuai dengan diri-Nya yang sempurna, jangan hanya melihat

pada satu ciptaan-Nya saja, akan tetapi lihat seluruh dunia secara luas.

Langkah berikutnya yang digunakan Descartes adalah dengan melihat jauh ke

dalam dirinya sendiri dan menyelidiki kekurangan atau ketidaksempurnaan yang ada

pada dirinya yang menyebabkan ia bisa melakukan kekeliruan. Ia menyadari ada dua

pengetahuan yang terdapat dalam dirinya, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada

pilihan dan pengetahuan yang didasarkan pada kebebasan berkehendak, yang mana kedua

pengetahuan tersebut bergantung pada kemampuan berpikir (intelektual) dan kehendak

secara bersamaan. 45

Intelektual membuat ia mampu untuk menyadari dimana subjek dimungkinkan

untuk memberikan penilaian yang tidak ada celah kekeliruannya. Akan tetapi ada hal-hal

dimana ia tidak mempunyai atau kurang pengetahuan sehingga bisa mengarahkan

penilaiannya pada kesalahan. Hal ini disebabkan karena ia tidak mempunyai alasan untuk

membuktikan bahwa Tuhan seharusnya memberikan ia pengetahuan yang luas daripada

yang ia miliki. Disamping itu, ia tidak bisa mengeluh atas kebebasan berkehendak dan

43 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 38.44 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 39.45 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 39.

Page 20: rasionalisme.pdf

memilih yang diberikan Tuhan kepadanya yang bisa mengantarkan ia kepada kekeliruan

dan ketidaksempurnaan. Ia juga tidak bisa mengeluh kenapa Tuhan memberikan

keinginan (kebebasan) yang jauh lebih besar daripada intelektualnya.46

Sebagai kesimpulan dari meditasi keempat ini, Descartes menyadari bahwa

semua kebenaran itu datang dari Tuhan yang memberikan pengetahuan untuk mencapai

kebenaran tersebut, dan segala kekeliruan yang ada adalah akibat dari keinginan manusia

yang banyak serta kebebasan yang ia miliki yang diberikan Tuhan melebihi pengetahuan,

karena manusia itu tidak sempurna dan kurang pengetahuannya sehingga wajar jika

mereka berbuat salah.

5. Meditasi Kelima: Inti dari Benda Materi dan Keberadaan Tuhan.47

Descartes menyatakan bahwa setelah ia mengetahui apa yang harus dilakukan

dan apa yang harus dihindari untuk memperoleh kebenaran, ia anggap sebagai cara untuk

lepas dari keraguan yang menjadi pondasi metodenya dan bisa mencapai beberapa

kepastian yang berkaitan dengan objek material.48

Sebelum melakukan penyelidikan tentang benda-benda lain yang eksis di luar

dirinya, Descartes memikirkan kembali gagasan-gagasan tentang benda-benda yang eksis

dalam pikirannya yang mana yang berbeda (distinct) dan yang mana yang

membingungkan (confused).49

Hal pertama yang ingin dijelaskan oleh Descartes adalah jumlah (quantity). Hal-

hal yang bisa dijumlahkan atau bisa dihitung adalah hal yang bisa dibedakan (distinctly)

menurut Descartes meliputi panjang, lebar dan kedalaman. Ia juga memasukkan

beberapa bagian dalam hal tersebut yang meliputi ukuran, bentuk, posisi dan gerak tetap,

dan pada gerak tersebut ia menentukan durasinya. Selain itu, ia juga membedakan benda-

benda yang tidak terhingga seperti bentuk, angka dan gerakan. Kebenaran dari benda-

benda tersebut adalah mereka selalu seimbang dengan alam dan tidak memerlukan kajian

lebih dalam karena mereka akan tetap seperti itu.50

Akan tetapi, yang menjadi masalah kemudian, Descartes menemukan banyak

gagasan tentang benda-benda yang mungkin saja tidak eksis di luar dirinya dan tidak bisa

dikatakan tidak ada (nothing). Ia kemudian memberikan contoh dalam bentuk segitiga

yang mana sering digunakan dalam rumus-rumus matematika. Segitiga tersebut

46 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 39.47 Terjemah dan analisis dari meditasi kelima. Lihat Rene Descartes, Meditations on First Philosophy,

hal. 44-49.48 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 44.49 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 44.50 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 44.

Page 21: rasionalisme.pdf

merupakan sebuah benda luar yang masuk dalam pikirannya hingga ia bisa memastikan

bahwa segitiga itu ada dan nyata. Berbeda ketika membicarakan tentang Tuhan. Tuhan

ditemukan dari hasil perenungan jauh ke dalam hati (diri) dan pikiran yang mana Tuhan

akan selalu ada dan mempunyai alam-Nya sendiri seperti halnya bentuk dan angka yang

mengikuti sifat alaminya.51

Lebih lanjut ia menjelaskan dua bagian penting dari alam, yaitu esensi (inti) dan

eksistensi (keberadaan). Manusia merupakan esensi dari bukti eksistensi Tuhan. Ada

pernyataan menarik dari Descartes ketika membahas eksistensi Tuhan, yaitu:

“However, even granted that I cannot think of God except as existing, just

as I cannot think of a mountain without a valley, it certainly does not follow

from the fact that i think from mountain with a valley that there is mountain

in the world, and similiarly, it does not seem to follow from the fact that i

think of God as existing that he does exist. For my tought does not impose

any necessity on things, and just as I imagine a winged horse even though

no horse has wings, so i may be able to attach existence to God even though

no God exist.”52

Dari pernyataan diatas, Descartes dengan rasionalitasnya tidak terlalu yakin

dengan keberadaan Tuhan, tetapi ia yakin bahwa apa yang eksis dalam pikirannya adalah

eksis menurut pemikirannya walaupun tidak ada bukti nyata akan keberadaan hal

tersebut.

Descartes menyimpulkan meditasi ini dengan menyatakan bahwa ia telah

menyadari akan keberadaan Tuhan dan mengerti bahwa semua hal bergantung pada-Nya,

dan Tuhan bukan seorang penipu. Ia juga membuat kesimpulan bahwa semua hal yang

sudah jelas baginya dan bisa dibedakan dengan benar merupakan komponen yang

dibutuhkan untuk mencapai kebenaran. Ia juga menyatakan, selama ia masih bisa

mengingat dengan jelas dan menyadari dengan nyata tentang sesuatu, maka tidak ada

argumen atau alasan lain yang bisa membuat ia ragu akan hal tersebut, bahkan ia

memiliki kebenaran dan pengetahuan yang pasti akan hal tersebut.53

6. Meditasi Keenam: Keberadaan Benda Material dan Perbedaan Jelas Antara Pikiran

dan Tubuh.54

51 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 45.52 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 46.53 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 48.54 Terjemahan dan analisis dari meditasi keenam. Lihat Rene Descartes, Meditations on First

Philosophy, hal. 50-62.

Page 22: rasionalisme.pdf

Sebelum menjelaskan tentang benda material, Descartes menanamkan dalam

pikirannya bahwa ada kemungkinan benda material itu ada dan tidak ada keraguan lagi

bahwa Tuhan memiliki kemampuan untuk menciptakan apapun yang mana ia memiliki

kemampuan untuk menyadari ciptaan Tuhan tersebut. Selain itu ia juga menyatakan

bahwa keberadaan benda material itu dinyatakan oleh bakat imajinasi yang mana ia

menyadari penggunaannya ketika mengarahkan pikirannya kepada benda material.

Descartes berkata: “For when I give more attentive consideration to what imagination is,

it seems to be nothing else but an application of the cognitive faculty to a body which is

intimately present to it, and which therefore exist”.55

Langkah awal yang digunakan Descartes untuk menjelaskan benda material

adalah menjelaskan perbedaan antara imajinasi dan pemahaman dasar (pure

understanding). Ia memberikan contoh ketika ia membayangkan sebuah segitiga. Ia tidak

sekedar memahami bahwa itu bentuk yang terbuat dari tiga garis, akan tetapi pada saat

yang sama ia juga melihat tiga garis tersebut dengan mata pikirannya (mind’s eye)

seperti yang diperlihatkan padanya. Hal ini ia sebut sebagai imajinasi. Ia menyadari

imajinasi memerlukan cara yang khas dan unik dari pikiran yang mana tidak

membutuhkan pemahaman dalam mengetahuinya. Cara berpikir yang khas ini secara

jelas menunjukkan perbedaan antara imajinasi dan pemahaman dasar.56

Dari kemampuan berimajinasinya, Descartes meyakini ada sesuatu yang

memberikan pengetahuan padanya tentang hal-hal yang belum bisa dicapai oleh

inderanya sehingga ia bisa membayangkan sesuatu sekalipun sesuatu itu belum ada.

Kemudian ia membedakan dengan jelas perbedaan antara imajinasi dan pemahaman

dasar, yaitu: “Ketika pikiran memahami sesuatu, ia akan menggali pengetahuan yang ada

di dalam pikiran tersebut dan mencari gagasan yang ada di dalamnya. Sedangkan ketika

berimajinasi, pikiran akan menjelajahi seluruh tubuh dan mencari sesuatu pada tubuh

tersebut yang sesuai dengan gagasan yang dipahami oleh pikiran atau disadari oleh

perasaan”.57

Disamping menggunakan teori matematika yang bersifat exact seperti contoh

diatas, ada kebiasaan imajinasi lain yang digunakan oleh Descartes. Seperti

membayangkan tentang warna, suara, rasa, sakit dan yang lain sejenisnya.

55 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 50.56 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 50.57 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 51.

Page 23: rasionalisme.pdf

“Now i perceive this thing much better by means of the senses, which is

how, with the assistance of memory, they appear to have reached the

imagination. So in order to deal with them more fully, I must pay equal

attention to the senses, and see whether the things which are perceived by

means of that mode of thinking which i call ‘sensory perception’ provide me

with any sure argument for the existence of corporeal things.”58

Dalam pernyataan diatas ia mengenalkan sebuah istilah baru yang disebut

dengan sensory perception (tanggapan pancaindera) yang merupakan sebuah cara

berpikir baru untuk hal-hal yang abstrak yang memberikan argumen pasti terhadap

eksistensi benda-benda jasmani.

Kemudian ia menjelaskan metode yang dipakai untuk membedakan antara

pikiran dan tubuh. Metode ini dimulai dengan mengembalikan semua hal yang disadari

atau dipahami oleh panca indera dan menganggap bahwa hal-hal tersebut adalah benar,

menemukan alasan untuk memikirkan hal ini (perbedaan tubuh dan pikiran). Kemudian

menetapkan alasannya dan menempatkan hal-hal tersebut dalam keraguan. Langkah

terakhir adalah mempertimbangkan satu-persatu yang mana yang harus diyakini

kebenarannya.59

Langkah paling awal adalah kesadaran dengan menggunakan panca indera

bahwa ia memiliki kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh yang lain yang merupakan

bagian dari dirinya. Ia juga menyadari bahwa ia bisa merasakan sesuatu yang

menyenangkan seperti kebahagiaan dan yang tidak menyenangkan seperti rasa sakit. Ia

juga menyadari bahwa dirinya memiliki rasa yang bermacam-macam seperti rasa lapar,

haus, maupun hal-hal lain kecewa, sedih, marah dan lain sebagainya. Selain itu ia juga

bisa mengetahui adanya cahaya, warna, bau dan rasa. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa ia

harus makan, merasa kering ketika kehausan dan dengan refleks pikirannya mengatakan

ia harus minum, kecuali karena hal tersebut terjadi secara alami.60

Descartes berpendapat bahwa tubuh manusia seperti sebuah mesin yang tersusun

dari tulang, saraf, otot, urat, darah dan kulit. Sekalipun dalam tubuh tersebut tidak

terdapat pikiran, ia tetap melaksanakan semua gerakan dengan alami yang mana gerakan

tersebut tidak disertai dengan kehendak atau keinginan sebagai akibat ketiadaan pikiran.61

58 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 51.59 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 51.60 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 52.61 Mungkin gambaran tentang zombie berawal dari pemikiran Descartes ini.

Page 24: rasionalisme.pdf

Selanjutnya Descartes mengemukakan hasil observasi pertamanya. Disini ia

menyatakan ada perbedaan besar antar pikiran dan tubuh, tubuh dengan alaminya bisa

dibagi (terpisah) sedangkan pikiran tidak dapat dipisahkan. Ketika ia memikirkan tentang

pikirannya, ia tidak bisa membedakan bagian-bagian dari dirinya, ia memahami dengan

jelas bahwa pikiran adalah sesuatu yang menyatu (single) dan lengkap.62 Walaupun

pikiran sepertinya menyatu dengan tubuh, akan tetapi jika ada bagian tubuh yang terlepas

(cut off), tidak ada bagian dari pikiran yang ikut terlepas.63

Pengamatan berikutnya Descartes menyatakan bahwa pikiran dipengaruhi secara

langsung oleh bagian tubuh kecuali otak, atau mungkin bagian kecil dari otak yang mana

mengandung nalar (common sense). Ketika bagian kecil tersebut dalam keadaan

memberitahukan, ia membuat sebuah sinyal ke dalam pikiran, sekalipun bagian lain yang

ada di tubuh berada dalam kondisi yang berbeda.64

Pengamatan terakhir Descartes menjelaskan bahwa gerakan apapun yang terjadi

dalam bagian kecil otak secara langsung mempengaruhi pikiran yang menciptakan hanya

satu sensasi yang keterkaitan. Pengalaman menunjukkan bahwa perasaan itu terjadi

secara alami dalam berbagai kondisi. Oleh karena itu, tidak ditemukan hal apapun yang

menyalahi kekuasaan dan rahmat Tuhan.65

Sebagai kesimpulan dari meditasi terakhir ini, Descartes menyatakan bahwa

pikiran memiliki alurnya sendiri yang bergerak bebas untuk menemukan pengetahuan

dan membuktikan kebenaran sebagai akibat adanya keraguan dalam pengetahuan

tersebut. Sedangkan tubuh adalah sebuah mekanisme yang bergerak secara alami dan

terpisah dari pikiran walaupun pada dasarnya adalah satu kesatuan. Tubuh juga berfungsi

sebagai proyeksi dari pikiran dan menangkap hal-hal yang kemudian diolah oleh pikiran

untuk menjadi sebuah pengetahuan. Kombinasi dari tubuh dan pikiran merupakan bukti

bahwa Tuhan itu ada dan menjadi salah satu masterpiece ciptaan-Nya yang paling

sempurna dari sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya.66

E. Rasionalisme dalam Filsafat

Rasionalisme muncul sebagai aliran filsafat ketika Descartes mulai berfilosofi

dan menyampaikan hasil pemikirannya kepada khalayak umum. Rasionalisme klasik era

62 Penulis memahami kata single disini sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.63 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 59.64 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 59-60.65 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 60.66 Rene Descartes, Meditations on First Philosophy, hal. 61-62.

Page 25: rasionalisme.pdf

Descartes merupakan awal dari terbentuknya pemikiran filsafat yang menyandarkan

pengetahuan dari hasil berpikir. Aliran filsafat ini juga disebut dengan rasionalisme

kontinental.

Menurut Lorens Bagus, ada beberapa ajaran pokok aliran rasionalisme67, yaitu:

1. Dengan proses pemikiran abstrak kita dapat mencapai kebenaran fundamental yang

tidak dapat disangkal, tentang apa yang ada dan mengenai strukturnya serta tentang

alam semesta pada umumnya.

2. Realitas atau kebenaran tentang realitas dapat diketahui secara tidak tergantung dari

pengamatan, pengalaman, dan penggunaan metode empiris.

3. Pikiran dapat mengetahui beberapa kebenaran tentang realitas yang mendahului

pengalaman apapun juga (selain kebenaran analitis). Kebenaran-kebenaran ini

adalah gagasan bawaan dan secara isomorfis cocok dengan realitas.

4. Akal budi adalah sumber utama pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pada dasarnya

adalah suatu sistem deduktif yang dapat dipahami secara rasional yang hanya secara

tidak langsung berhubungan dengan pengalaman inderawi ini.

5. Kebenaran tidak diuji dengan prosedur verifikasi-inderawi tetapi dengan kriteria

konsistensi logis.

6. Kepastian mutlak mengenai hal-hal adalah ideal pengetahuan dan sebagian dapat

dicapai dengan pikiran murni.

7. Hanya kebenaran-kebenaran niscaya dan benar pada dirinya sendiri, yang timbul

dari akal budi saja, yang dikenal sebagai benar, nyata dan pasti.

8. Alam semesta (realitas) mengikuti hukum-hukum dan rasionalitas (bentuk) logika. Ia

adalah suatu sistem yang dirancang secara rasional yang aturannya cocok dengan

logika.

9. Begitu logika dikuasai, segala sesuatu dalam alam semesta dapat dianggap deduksi

dari prinsip-prinsip atau hukum-hukumnya.

Rasionalisme sebagai filsafat ilmu merupakan lawan langsung dari positivisme.

Menurut rasionalisme, semua ilmu berasal dari pemahaman intelektual kita yang

dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik.68

Rasionalisme merupakan sebuah filsafat yang menekankan pada penggunaan

akal pikiran. Pikiran merupakan satu-satunya makhluk yang bisa menemukan kebenaran

dari proses interaksi dengan alam, baik objeknya real dan dapat dilihat secara langsung

67 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal. 929-930.68 Prof. Dr. Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hal. 55.

Page 26: rasionalisme.pdf

maupun objek yang hanya bisa diketahui dengan mengetahui objek yang berkaitan

sebagai alasan keberadaan dari objek tersebut.

F. Epistimologi Pemikiran

Epistimologi pemikiran Descartes tentang rasionalisme terbagi pada beberapa

pengertian, yaitu:

1. Sumber dan Hakikat Pengetahuan

Sumber pengetahuan adalah rasio atau akal budi. Semua pengetahuan berasal

dari akal. Dengan berpikir, manusia bisa menjelaskan semua fenomena yang terjadi di

sekitarnya serta bisa menunjukkan eksistensi dan menguji setiap pengetahuan yang ia

terima selama ini sehingga kemudian ia bisa mendapatkan sebuah pengetahuan baru

yang ia yakini kebenarannya.

Sedangkan hakikat pengetahuan adalah apriori, yaitu setiap manusia memiliki

landasan pengetahuan dasar tanpa harus mengalami secara langsung atau pengetahuan

sebelum pengalaman. Pengetahuan yang dimiliki dan diberikan sejak lahir harus

diragukan kebenarannya. Dengan meragukan pengetahuan tersebut, manusia bisa

menguji kembali pengetahuan itu satu persatu hingga didapatkan pengetahuan yang

benar dan tidak bisa diragukan kembali.

2. Alat Pengetahuan.

Alat pengetahuan yang digunakan adalah akal pikiran. Akal pikiran manusia

adalah ciptaan dari Tuhan yang maha sempurna dan sebagai bukti dari kesempurnaan

Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini, ia membedakan antara imajinasi dan pemahaman dasar.

Imajinasi adalah perluasan dari pemahaman dasar terhadap suatu objek yang diolah oleh

pikiran sehingga menemukan sebuah pengetahuan baru.

3. Metode Memperoleh Pengetahuan.

Langkah dasar yang dilakukan Descartes dalam memperoleh pengetahuan

adalah dengan berpikir. Setelah ia menyadari akan proses berpikirnya, kemudian ia

meragukan semua pengetahuan yang ia miliki dan mulai menyelidiki pengetahuan itu

satu persatu dalam pikirannya. Dalam menentukan mana pengetahuan yang bisa dan

tidak bisa diterima, ia menggunakan alasan untuk memutuskannya hingga mendapatkan

sebuah pengetahuan yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya.

4. Teori Kebenaran.69

69 Diambil dari perkuliahan Filsafat Ilmu: Epistimologi oleh Pak Alim Roswantoro.

Page 27: rasionalisme.pdf

Teori yang digunakan adalah teori koherensi, yaitu suatu pernyataan dinilai

benar jika tidak bertentangan dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah dipastikan

kebenarannya sebelumnya, atau ada urutan logis antar kebenaran pernyataan yang ada

dengan kebenaran pernyataan berikutnya.

5. Pengujian atau Validasi kebenaran Pengetahuan.

Dari penjelasan pada pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa Descartes

cenderung mengumpulkan seluruh pengetahuan yang ia miliki, kemudian mengujinya

satu persatu hingga diperoleh pengetahuan pasti yang tidak bisa diragukan kembali.

Metode ini lebih dikenal dengan metode deduksi, yaitu mengumpulkan semua

pengetahuan umum yang kemudian ditarik satu kesimpulan dalam sebuah pengetahuan

yang pasti.

Descartes berpendapat bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan yang

diterima dari Tuhan sudah terjamin kebenarannya. Disamping itu, manusia memiliki akal

pikiran yang diberikan oleh Tuhan yang maha sempurna, sehingga segala pikiran yang

diberikan oleh Tuhan tersebut adalah benar dan pengetahuan yang diberikan juga pasti

benar. Dengan kata lain, pengetahuan yang diyakini berasal dari Tuhan adalah

pengetahuan yang benar, sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia masih

bisa diragukan kebenarannya. Dengan cara berpikir seperti ini, maka pengetahuan yang

muncul adalah benar.

Sebagai contoh, panas. Panas merupakan sesuatu yang tidak bisa dilihat,

melainkan hanya dirasakan. Pengetahuan akan panas ini sudah terdapat dalam pikiran

manusia sejak mereka lahir. Begitu indera mereka merasakan panas baik dari api maupun

cuaca, pikiran langsung merespon dan mengatakan bahwa ini adalah panas. Ini adalah

kebenaran dari pengetahuan yang sudah ada dan tidak bisa diragukan kembali.

G. Kesimpulan

Berdasarkan pengalaman penulis, pemikiran Descartes merupakan sesuatu yang

alami dan bisa dijadikan landasan dalam memperoleh serta menguji pengetahuan.

Seringkali manusia terjebak pada pengetahuan (doktrin) yang mereka peroleh sejak

mereka lahir. Mereka menyangka bahwa pengetahuan itu absolut dan tidak bisa

diragukan kembali. Akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa di dunia ini tidak ada

yang absolut kecuali Tuhan dan segala aturan-Nya.

Metode meragukan yang dilakukan oleh Descartes adalah sebuah metode yang

bagus dalam menguji pengetahuan, karena tanpa meragukan sesuatu manusia cenderung

Page 28: rasionalisme.pdf

puas dengan apa yang ada dan menjadi idealistik terhadap pengetahuan yang ia miliki.

Akan tetapi dibalik itu semua, pengetahuan tidak semua berasal dari pikiran saja. Ada

pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman.

Contohnya, untuk menjadi seorang yang perasa, kita harus bisa merasakan apa

yang dirasakan oleh orang lain. Untuk itu, manusia harus mengalami sendiri apa yang

disebut dengan merasakan, baik itu suka maupun duka, bahagia maupun menderita.

Pengetahuan seperti ini tidak bisa didapatkan hanya dari proses berpikir, tapi juga

melalui pengalaman.

Adapun kelebihan dari pemikiran Descartes ini yang tertangkap dalam pikiran

penulis antara lain:

1. Descartes menyampaikan cara berfilosofi baru yang menggunakan pikiran murni

untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Pikiran yang juga ia sebut sebagai esensi

dirinya adalah sebuah makhluk yang bebas dan bisa melakukan apa saja dan bisa

mengungkap apa saja. Dalam hal ini Descartes mengungkapkan berbagai macam

kelebihan pikiran.

2. Descartes ingin menyampaikan kepada seluruh manusia bahwa pengetahuan tidak

boleh langsung diterima begitu saja. Pengetahuan harus diragukan dulu, kemudian

dikaji ulang hingga ia tidak bisa lagi diragukan.

3. Descartes mengajarkan kita untuk mencapai tingkat kesadaran diatas tingkat

kesadaran manusia kebanyakan. Tingkat kesadaran ini tidak akan bisa dicapai jika

kita menerima secara mutlak sebuah pengetahuan yang disampaikan kepada kita

tanpa meragukan kebenarannya. Disamping itu, dengan kesadaran ini kita menjadi

berbeda dan terlepas dari dunia (alam pemikiran) manusia sehingga kita bisa dengan

mudah menghadapi mereka.

Sedangkan kekurangan dari pemikiran Descartes yang bisa dilihat oleh pikiran

penulis antara lain:

1. Descartes menganggap pikirannya adalah sumber kehidupan dan keberadaannya di

dunia ini. Hal ini berimplikasi dia tidak mempercayai roh-roh, jin dan makhluk yang

tak bisa dijangkau oleh pikirannya.

2. Descartes terkesan tidak percaya kepada wahyu. Baginya wahyu hanyalah proses

imajinasi dari pikiran sebagai akibat dari pengetahuan yang diberikan Tuhan

kepadanya.

Page 29: rasionalisme.pdf

3. Descartes terkesan tidak mempercayai keberadaan makhluk yang tidak memiliki

pikiran. Baginya tumbuh-tumbuhan dan hewan adalah benda material yang dijadikan

bukti eksisitensi Tuhan.

4. Descartes mengakui bahwa pikirannya tidak mungkin selalu benar. Ada kalanya ia

terjebak dalam kekeliruan sebagai akibat dari kebebasan memilih dan berkehendak

yang diberikan Tuhan kepadanya, dan juga ia terjebak kepada kekeliruan jika ia

berhenti berpikir tentang Tuhan.

5. Descartes terkesan menganggap tubuh manusia tidak lebih sebagai mekanisme alami

yang bergerak sendiri dan terpisah dari pikirannya. Walaupun dia mengakui bahwa

pikiran dan tubuh itu menyatu, tapi dia tetap membedakan dua hal tersebut.

Page 30: rasionalisme.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002)

Descartes, Rene, Meditations on First Philosophy trans. John Cottingham (Sydney:

Cambridge University Press, 1986)

Muhadjir, Prof. Dr. Noeng, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996)

Scruton, Roger, A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein

(Canada: Routledge, 1996)

The Encyclopedia of Philosophy (London: Collier Macmillan Publishers, 1967)

http://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes

http://id.wikipedia.org/wiki/Rasionalisme