30
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net 1 www.parlemen.net RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN …. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan; b. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi; d. bahwa fungsi pengawasan terhadap hakim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus disesuaikan dengan fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d perlu membentuk Undang- Undang tentang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA …parlemen.net/wp-content/uploads/2016/04/13-Naskah-dan-Penjelasan...Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam

Embed Size (px)

Citation preview

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

1

www.parlemen.net

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN ….

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan

negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;

b. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip

negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana

ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang

pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan

ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi;

d. bahwa fungsi pengawasan terhadap hakim sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus

disesuaikan dengan fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b, huruf c dan huruf d perlu membentuk Undang- Undang tentang

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

2

www.parlemen.net

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi;

Mengingat:

1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal

25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun …. Nomor …, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia ….);

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), diubah sebagai berikut:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

3

www.parlemen.net

1. Ketentuan pasal 1 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 1

1. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

2. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut

DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Hakim adalah hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim pada

badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung serta hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

6. Lingkungan Peradilan adalah badan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,

peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, serta pengadilan

khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

7. Hari adalah hari kerja

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

4

www.parlemen.net

2. Ketentuan pasal 2 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 2

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang melakukan

kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab untuk

menyelenggarakan peradilan dalam memutus perkara sesuai dengan tugas

dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

3. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap

anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang

anggota hakim konstitusi.

(3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa

jabatan selama 5 (lima) tahun.

(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan Wakil

Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua

usianya.

(5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah

Konstitusi.

4. Ketentuan Pasal 10 dihapus.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

5

www.parlemen.net

5. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus

memenuhi syarat:

a. warga negara Indonesia;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Sehat jasmani dan rohani;

d. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat

pengangkatan;

f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun

atau lebih;

g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan

h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya

15 (lima belas) tahun.

(1) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan

calon hakim konstitusi harus memenuhi persyaratan administrasi dengan

menyerahkan:

a. surat pernyataan tentang kesediaannya untuk menjadi hakim

konstitusi;

b. daftar riwayat hidup;

c. salinan ijazah asli yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan

aslinya;

d. daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan dan penjelasannya

disertai dengan dokumen pendukung yang sah; dan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

6

www.parlemen.net

e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan bukti pembayaran pajak

penghasilan 2 (dua) tahun terakhir.

6. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah

atau janji menurut agamanya dihadapan Presiden di Istana Negara,

yang dirumuskan sebagai berikut :

Sumpah hakim konstitusi:

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban

hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang

teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan

selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”

Janji hakim konstitusi:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi

kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,

memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan

dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan

bangsa”

(2) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah

Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya

dihadapan Presiden di Istana Negara, yang dirumuskan sebagai berikut :

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

7

www.parlemen.net

Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban

Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan

seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-

undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan

bangsa”

Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi

kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-

baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala

peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta

berbakti kepada nusa dan bangsa”

7. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada

Ketua Mahkamah Konstitusi;

c. telah berusia 65 (enam puluh lima) tahun;

d. telah berakhir masa jabatannya;

e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

8

www.parlemen.net

dengan surat keterangan dokter pemerintah.

(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila:

a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana

yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya

selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

d. melanggar sumpah atau janji jabatan;

e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau

f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16.

(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f & huruf g

dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela

diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden

atas permintaan Komisi Yudisial.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan

Mahkamah Konstitusi, yang unsurnya terdiri atas 2 (dua) hakim

konstitusi, 2 (dua) anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga) orang dari unsur

masyarakat, profesi dan akademisi.

8. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 29

(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

9

www.parlemen.net

pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi melalui

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi;

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud. pada ayat (1) ditandatangani oleh

pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.

(3) Disamping diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan

secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram pada

(compact disc) atau yang serupa dengan itu.

9. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 31

(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:

a. identitas pemohon, yang meliputi:

1) Nama;

2) Tempat tangga/lahir/ umur;

3) Agama;

4) Pekerjaan;

5) Alamat Lengkap;

b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan hal-hal yang diminta

untuk diputus.

(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut.

10. Ketentuan Pasal 32 disisipkan 3 ayat, yakni ayat (1a), ayat (1b), dan ayat

(2a) sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

10

www.parlemen.net

Pasal 32

(1) Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah

Konstitusi melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan.

(1a) Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan

bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum

konsultasi oleh Pemohon dengan Panitera Mahkamah Konstitusi.

(1b) Petugas Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa

kelengkapan alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31

sekurang-kurangnya berupa:

a. bukti identitas diri pemohon;

b. bukti surat atau tulisan yang berkaitan denganalasan

permohonan;

c. daftar calon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat

tentang hal-hal yangakan diterangkan terkait dengan alasan

permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri

persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan

ahli dan/atau saksi;

d. daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang

disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila

dipandang perlu.

(2) Permohonan yang belum memenuhi kelengkapan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) huruf a dan ayat

(2), wajib dilengkapi oleh pemohon dalam jangka waktu paling

lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan

kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.

(2a) Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas

permohonan dinyatakan diterima oleh Panitera Mahkamah

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

11

www.parlemen.net

Konstitusi dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas

Perkara kepada pemohon.

(3) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2a) dicatat dalam Buku Registrasi Perkara

Konstitusi.

(4) Dalam hal kelengkapan permohonan tidak dipenuhi dalam jangka

waktu sebagaimana dimaksud pada . ayat (2), maka Panitera

Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan bahwa

permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam Buku Registrasi

Perkara Konstitusi dan diberitahukan kepada Pemohon disertai

dengan pengembalian berkas permohonan.

(5) Permohonan diajukan tanpa dibebani biaya perkara.

11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 33

(1) Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain catatan

tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor

perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon,

dan pokok perkara.

(2) Panitera memberikan akta sebagai bukti pencatatan permohonan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Mahkamah menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan

Presiden melalui surat yang ditandatangani Panitera untuk diketahui,

dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak

permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

(4) Penyampaian salinan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (3)

disampaikan oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

12

www.parlemen.net

penyampaian.

(5) Dalam hal permohonan yang telah dicatat dalam Buku Registrasi

Perkara Konstitusi dan dilakukan penarikan kembali oleh Pemohon.

maka Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi permohonan

yang telah diajukan Pemohon dan diberitahukan kepada Pemohon

disertai dengan pengembalian berkas permohonan.

12. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 34

(1) Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada

Ketua Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan susunan Panel Hakim

yang memeriksa perkara tersebut, setelah terlebih dahulu Panitera

menetapkan Panitera Pengganti.

(2) Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama dalam jangka

waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan

dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

(3) Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

diberitahukan kepada Pemohon, Termohon dan pihak terkait serta

diumumkan kepada masyarakat.

(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan

dengan menempelkan pada papan pengumuman yang khusus dibuat

untuk itu dan dalam sebuah situs/website serta disampaikan kepada

media cetak dan elektronik.

(5) Pemberitahuan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada

ayat (3), harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkaradalam

jangka waktu 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

13

www.parlemen.net

13. Diantara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35 A,

sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Bagian Keempat

Alat Bukti

Pasal 35 A

(1) Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.

(2) Majelis hakim dapat meminta kepada pihak lainnya untuk memberikan

keterangan dan/atau mengajukan alat bukti lainnya.

14. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A

sehingga dirumuskan sebagai berikut.:

Pasal 39 A

(1) Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan dan

kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah,

kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan.

(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) Hakim wajib

memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk

melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu

paling lambat 14 (empat belas) hari.

(3) Nasihat sebagaimana dimaksud ayat (2) juga mencakup hal-hal yang

berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.

(4) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan

jelas, dan/atau telah diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang

panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada

Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. .

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

14

www.parlemen.net

(5) Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel

Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan

memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan

Hakim untuk proses selanjutnya.

(6) Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat (5) termasuk pula

usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa

perkara dalam hal:

a. memiliki kesamaan pokok permohonan;

b. memiliki keterkaitan materi permohonan atau;

c. pertimbangan atas permintaan Pemohon;

(7) Pemeriksaan penggabungan perkara dapat dilakukan setelah

mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah;

15. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 41

(1) Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

40, hakim konstitusi memeriksapermohonan beserta alat bukti yang

diajukan.

(2) Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. pemeriksaan pokok permohonan;

b. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;

c. mendengarkan keterangan Para Pihak yang berperkara;

d. mendengarkan keterangan saksi;

e. mendengarkan keterangan ahli;

f. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;

g. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan,

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

15

www.parlemen.net

dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang

dapat dijadikan petunjuk;

h. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang

diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik

dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

(3) Pihak-pihak yang dipanggil oleh Hakim Konstitusi untuk memberikan

keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib hadir.

(4) Atas permintaan Hakim, keterangan yang terkait dengan permohonan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c sampai dengan huruf 9

wajib disampaikan baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat,

dan/atau rekaman secara elektronik, dalam jangka waktu selambat-

Iambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan

dimaksud.

16. Diantara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 42A,

Pasal 428 dan Pasal 42C yang dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 42 A

(1) Saksi dapat diajukan oleh Para Pihak yang berperkara, Pihak Terkait,

atau dipanggil atas perintah Mahkamah Konstitusi.

(2) Pemeriksaan saksi dimulai dengan menanyakan identitas (nama,

tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat) saksi dan

kesediaannya diambil sumpah atau janji berdasarkan agamanya untuk

menerangkan apa yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri.

Pasal 42 B

(1) Ahli dapat diajukan Para Pihak yang berperkara, Pihak Terkait, atau

dipanggil atas perintah Mahkamah Konstitusi.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

16

www.parlemen.net

(2) Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah

Konstitusi adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang tidak

memiliki kepentingan yang bersifat pribadi (conflict of interest) dengan

subjek dan/atau objek perkara yang sedang diperiksa.

(3) Pemeriksaan ahli dimulai dengan menanyakan identitas (nama, tempat

tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat) dan riwayat hidup

serta keahliannya; dan ditanyakan pula kesediaannya diambil sumpah

atau janji menurut agamanya untuk memberikan sesuai dengan

keahliannya.

(4) Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang sama yang diajukan oleh

pihak-pihak dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

Pasal 42 C

(1) Pemeriksaan terhadap pihak terkait dilakukan dengan mendengar

keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan

(2) Pihak Terkait yang mempunyai kepentingan langsung dapat diberikan

kesempatan untuk:

a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis;

b. mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi;

c. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-

hal yang dinilai belum terwakili dalam keterangan saksi yang telah

didengar;

d. keterangannya dalam persidangan;

e. menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis.

17. Di antara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44A

sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

17

www.parlemen.net

Pasal 44 A

(1) Apabila dipandang perlu, pemeriksaan persidangan dapat diikuti dengan

pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang

ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera Pengganti

serta dapat pula disertai Para Pihak yang berperkara; dan Pihak Terkait

yang hasiinya disampaikan dalam persidangan.

(2) Pemeriksaan setempat bertujuan untuk memperoleh petunjuk

sebagaimana dimaksud oleh Pasal 36 ayat (1) huruf e.

(3) Segala biaya yang timbul dalam pemeriksaan setempat dibebankan

kepada masing-masing pihak.

18. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni; Pasal 45A

yang dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 45 A

Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus perkara melebihi dari apa yang

diminta Pemohon sebagaimana dalam surat permohonannya.

19. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 48

(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:

a. kepala putusan dirumuskan: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA";

b. identitas pihak;

c. ringkasan permohonan yang telah diperbaiki;

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

18

www.parlemen.net

d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

g. amar putusan;

h. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan

i. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

20. Diantara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 48 A,

48 B, dan Pasal 48C, sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 48 A

Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam psrsidangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf d meliputi ringkasan:

a. pendirian Pemohon terhadap permohonannya dan keterangan

tambahan yang disampaikan di persidangan;

b. keterangan Pihak yang berperkara;

c. keterangan Pihak Terkait; dan

d. hasil pemeriksaan alat-alat bukti;

Pasal 48 B

(1) Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Ketua dan Hakim yang

memeriksa, mengadili, dan memutus, serta Panitera yang

mendampingi persidangan.

(2) Dalam hal Ketua Mahkamah berhalangan hadir dalam sidang

pengucapan putusan, Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Wakil

Ketua Mahkamah selaku Ketua Sidang dan Hakim yang hadir serta

Panitera yang mendampingi persidangan.

(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah berhalangan hadir dalam

sidang pengucapan putusan, Putusan Mahkamah ditandatangani oleh

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

19

www.parlemen.net

Hakim Ketua Sidang dan Hakim yang hadir serta Panitera yang

mendampingi persidangan.

Pasal 48 C

Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai

diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.

21. Diantara Pasal 49 dan Pasal 50 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakn; Pasal 49 A,

49B ,49 C, sehinggadirumuskan sebagai berikut:

Pasal 49 A

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib

dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga

puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka

untuk umum.

Pasal 49 B

(1) Mahkamah mengeluarkan ketetapan dalam hal:

a. permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah untuk

mengadilinya; atau

b. Pemohon menarik kembali permohonannya.

(2) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dirumuskan

sebagai berikut: “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang

mengadili permohonan Pemohon".

(3) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud sebagaimana ayat (1) huruf b

dirumuskan sebagai berikut:

“mengabulkan permohonan pemohon untuk menarik kembali

permohonannya”;“menyatakan permohonan pemohon ditarik

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

20

www.parlemen.net

kembali”;“memerintahkan kepada panitera untuk mencatat perihal

penarikan kembali permohonan pemohon dalam BRPK”.

(4) Permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali .

22. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 50

(1) Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili

dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang terhadap

UndangUndang Dasar hanya meliputi undang-undang yang

diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

(2) Hakim Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan pengujian

atas Undang-Undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang

Mahkamah Konstitusi.

23. Diantara pasal 51 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 51

(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang

mempunyai kepentingan sama;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan Hukum publik atau privat; atau Lembaga negara.

(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

21

www.parlemen.net

tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana

dimaksud pad a ayat (1).

(3) Permohonan pengujian Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil.

(4) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemohon

wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

(5) Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam

hal permohonan berupa pengujian formil; dan/atau materi muatan

dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dalam hal permohonan berupa pengujian

materiil.

24. Diantara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A

yang dirumuskan sebagai berikut :

Pasal 51 A

(1) Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b meliputi:

a. kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 51 ayat (4);

b. kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian tentang hak

dan/atau kewenangan konstitusi Pemohon yang dianggap

dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

untuk dilakukan pengujian;

c. alasan permohonan pengujian sebagaimana dimaksup dalam

Pasal 31 ayat (1) huruf diuraikan jelas dan rinci.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

22

www.parlemen.net

(2) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian

formil, maka hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam

permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat

(1) huruf c, yaitu meliputi:

a. mengabulkan permohonan Pemohon;

b. menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang dimaksud

tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

c. menyatakan Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.

(3) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian

materiil, maka hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam

permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat

(1) huruf c, yaitu meliputi:

a. mengabulkan permohonan Pemohon:

b. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian

dari Undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. menyatakan bahwa meteri muatan ayat, pasal, dan/atau bagian

dari Undang-Undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

Pasal 51 B :

Pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945

dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat

Permusyawaratan Hakim.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

23

www.parlemen.net

25. Dalam Pasal 56 ditambahkan 1 ayat yaitu ayat (6) yang dirumuskan sebagai

berikut:

Pasal 56

(6) Mahkamah Konsitusi dilarang membuat jenis putusan lain selain yang

diatur dalam ayat-ayat diatas.

26. Dalam Pasal 65 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut :

Pasal 65

a. Mahkamah Konstitusi tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa

kewenangan antar lembaga negara dalam hal terkait dengan

kepentingannya.

b. Permohonan tidak dapat dilakukan oleh hakim konstitusi yang secara

langsung atau secara tidak langsung merupakan representasi dari

lembaganya.

c. Mahkamah Konstitusi tidak dapat menguji perkara yang didalamnya

terdapat kepentingan Mahkamah Konstitusi.

27. Diantara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 87 A

sehingga dirumuskan sebagai berikut

Pasal 87 A

Hakim Konstitusi yang menjabat sebagai ketua atau wakil ketua pada saat

Undang-Undang ini berlaku, tetap menjabat sebagai ketua atau wakil ketua

hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

24

www.parlemen.net

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. agar setiap orang

mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal……...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal………….

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN.... NOMOR......

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

25

www.parlemen.net

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….… TAHUN …………

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003

TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,

disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks

and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan

setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.

Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab,

prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan

pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas

dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali

terhadap hukum dan keadilan.

Dalam rangka melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan

bertanggung jawab tersebut, di lingkungan peradilan diperlukan pengawasan

internal dan eksternal yang lebih efektif terhadap semua hakim serta pejabat di

lingkungan kekuasaan kehakiman guna mendapatkan putusan pengadilan yang

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

26

www.parlemen.net

dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai segi baik secara imparsial,

transparan dan akuntabel serta memihak kepada rasa keadilan masyarakat.

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi telah memperjelas bahwa segala pengawasan di bidang internal yaitu

urusan organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah kekuasaan

Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengawasan di bidang eksternal yaitu dalam

rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim berada dibawah kekuasaan Komisi Yudisial.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas.

Angka 2

Pasal 2

Cukup jelas.

Angka 3

Pasal 4

Cukup jelas.

Angka 4

Cukup jelas.

Angka 5

Pasal 16

Calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat meterill maupun syarat

formil untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, syarat materil

sebagaimana ditentukan pada ayat (1), sedangkan syarat formil

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

27

www.parlemen.net

sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Angka 6

Pasal 21

Cukup jelas.

Angka 7

Pasal 23

Cukup jelas.

Angka 8

Pasal 29

Cukup jelas.

Angka 9

Pasal 31

Cukup jelas.

Angka 10

Pasal 32

Cukup jelas.

Angka 11

Pasal 33

Cukup jelas.

Angka 12

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan 'pihak terkait' adalah pihak yang

berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

28

www.parlemen.net

permohonan. Adapun Pihak terkait yang berkepentingan langsung

adalah pihak yang hak dan kewenangannya terpengaruh oleh

pokok permohonan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud para pihak adalah Pemohon, Termohon, dan atau

pihak terkait lainnya

Angka 13

Pasal 35A

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud 'pihak lainnya' adalah Presiden/Pemerintah, DPR,

DPD (dalam hal permohonan pengujian undang-undang),

Termohon (dalam hal permohonan sengketa kewenangan

konstitusional lembaga negara, sengketa hasil Pemilu, dan

pembubaran partai politik), atau pihak terkait.

Angka 14

Pasal 39A

Cukup jelas.

Angka 15

Pasal 41

Cukup jelas.

Angka 16

Pasal 42A

Cukup jelas.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

29

www.parlemen.net

Pasal 42B

Cukup jelas.

Pasal 42C

Cukup jelas.

Angka 17

Pasal 44A

Cukup jelas.

Angka 18

Pasal 45A

Cukup jelas.

Angka 19

Pasal 48

Cukup jelas.

Angka 20

Pasal 48A

Cukup jelas.

Pasal 48B

Cukup jelas.

Pasal 48C

Cukup jelas.

Angka 21

Pasal 49A

Cukup jelas.

Pasal 49B

Cukup jelas.

Angka 22

Pasal 50

Hal ini sesuai asas bahwa seorang hakim tidak dapat berlaku adil

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net

30

www.parlemen.net

dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dimana ia

sendiri terlibat (ikut menjadi pihak) di dalamnya.

Angka 23

Pasal 51

Cukup jelas.

Angka 24

Pasal 51A

Cukup jelas.

Pasal 51B

Cukup jelas.

Angka 25

Pasal 56

Ayat (6)

Cukup jelas.

Angka 26

Pasal 65

Cukup jelas.

Angka 27

Pasal 87A

Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ……

TAHUN ......