Click here to load reader
Upload
ngocong
View
220
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS INDIVIDUALSKALA PSIKOLOGI BIDANG KARIR
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Instrumen dan Media Bimbingan dan KonselingDosen Pengampu:Dosen Pengampu: Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd. & Dr. Ali Muhtadi, M.Pd
Oleh:
Nama : Rahajeng Bellinda Nastiti
Nim : 17713251022
Kelas : B / Program Pascasarjana Bimbingan dan Konseling
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
1. Pengertian Skala Psikologi
Skala adalah perangkat pertanyaan yang disusun untuk mengungkap atribut tertentu
melalui respon terhadap pertanyaan tersebut. (Saifuddin Azwar, 2017: 17).
Skala psikologi menurut Wahyu Widhiarso (widhiarso.staff.ugm.ac.id) adalah
instrumen pengukuran untuk mengidentifikasi konstrak psikologis. Seringkali dinamakan
dengan tes, namun dalam hal ini skala psikologis digunakan sebagai istilah untuk atribut
afektif, sedangkan kata tes digunakan untuk atribut kognitif.
Dengan demikian skala psikologi adalah suatu instrumen yang berupa pertanyaan
atau pernyataan yang digunakan untuk mengukur serta mengidentifikasi atribut psikologis
responden.
2. Karakteristik Skala Psikologi
Sebagai alat ukur, skala psikologi memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari berbagai bentuk instrumen pengumpulan data yang lain seperti angket
(questionnaire), daftar isian, inventori, dan lain-lainnya. Meskipun dalam percakapan sehari-
hari biasanya istilah skala disamakan saja dengan istilah tes namun (dalam pengembangan
instrumen alat ukur) umumnya istilah tes digunakan untuk penyebutan alat ukur kemampuan
kognitif sedangkan istilah skala lebih banyak dipakai untuk menamakan alat ukur atribut
non-kognitif.
Dengan pengertian tersebut, maka dapat diuraikan beberapa di antara karakteristik
skala menurut Saifuddin Azwar (2017: 5-7) sebagai alat ukur psikologi, yaitu:
a. Stimulus atau aitem dalam skala psikologi berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak
langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator
perilaku dari atribut yang bersangkutan. Meskipun subjek dapat dengan mudah
memahami isi aitemnya namun tidak mengetahui arah jawaban yang dikehendaki oleh
aitem yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan subjek akan banyak tergantung
pada interpretasinya terhadap isi aitem. Karena itu jawaban yang diberikan atau dipilih
oleh subjek lebih bersifat proyeksi diri dan perasaannya dan merupakan gambaran tipikal
reaksinya.
b. Dikarenakan atribut psikologi diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator
perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem, maka
skala psikologi selalu berisi banyak aitem. Jawaban subjek terhadap satu aitem baru
merupakan sebagian dari banyak indikasi mengenai atribut yang diukur, sedangkan
kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis diperoleh berdasarkan respon terhadap semua
aitem.
c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”. Semua
jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Skor
yang diberikan hanyalah kuantitas yang mewakili indikasi adanya atribut yang diukur.
Karakteristik tersebut menjadi ciri pengukuran terhadap performansi tipikal, yaitu
atribut yang manifestasinya menjadi karakter tipikal seseorang dan cenderung dimuncul-kan
secara sadar atau tidak sadar dalam bentuk respon terhadap situasi-situasi tertentu yang
dihadapi. Dalam penggunaannya sebagai alat psikodiagnosis dan penelitian psikologi, skala-
skala performansi tipikal digunakan untuk pengungkapan aspek-aspek afektif seperti minat,
sikap, dan berbagai variabel kepribadian lain semisal agresivitas, self-esteem, locus of
control, motivasi, resiliensi, kecemasan, kepemimpinan, dan lain sebagainya.
3. Faktor-Faktor yang Melemahkan Validitas Skala Psikologi
Validitas dalam pengertiannya yang paling umum, adalah ketepatan dan kecermatan
dalam menjalankan fungsi ukurnya. Artinya, validitas menunjuk pada sejauh mana skala itu
mampu mengungkap dengan akurat dan teliti data mengenai atribut yang dirancang untuk
mengukurnya.
Validitas adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh setiap alat ukur.
Apakah suatu skala berguna atau tidak sangat ditentukan oleh tingkat validitasnya. Oleh
karena itu sejak tahap awal perancangan skala sampai dengan tahap administrasi dan
pemberian skornya, usaha-usaha untuk menegakkan validitas harus selalu dilakukan. Dalam
rangka itulah perancang skala perlu mengenali beberapa faktor yang dapat mengancam
validitas skala psikologi. Faktor-faktor yang dimaksud menurut Saifuddin Azwar (2017: 10-
14), antara lain:
a. Konsep Teoritik Tidak Cukup Dipahami
Untuk mengukur “sesuatu” maka sesuatu itu harus dikenali terlebih dahulu dengan
baik. Bila konsep mengenai atribut yang hendak diukur tidak dikenali dengan baik maka
perancang skala mungkin hanya memiliki gambaran yang tidak komprehensif atau
bahkan keliru mengenai atribut yang bersangkutan. Gambaran yang tidak tepat akan
melahirkan aspek dan indikator keperilakuan yang juga tidak tepat, yang pada akhirnya
bila dijadikan acuan dalam penulisan aitem akan menghasilkan aitem-aitem yang tidak
valid.
b. Aspek Keperilakuan Tidak Operasional
Indikator keperilakuan diciptakan berdasarkan batasan konseptual mengenai atribut
yang diukur menjadi rumusan operasional yang terukur (measurable). Bila perumusan ini
tidak cukup operasional atau ternyata masih menimbulkan penafsiran ganda mengenai
bentuk-bentuk perilaku yang dinginkan, atau sama sekali tidak mencerminkan konsep
yang akan diukur, maka akan melahirkan aitem-aitem yang tidak valid. Pada gilirannya,
aitem-aitem yang tidak valid tidak akan menjadi skala yang valid.
c. Penulisan Aitem Tidak Mengikuti Kaidah
Aitem yang sukar dimengerti maksudnya oleh pihak responden karena terlalu
panjang atau karena kalimatnya tidak benar secara tata-bahasa, aitem yang mendorong
responden untuk memilih jawaban tertentu saja, aitem yang memancing reaksi negatif
dari pihak responden, aitem yang mengandung muatan social desirability tinggi, dan
aitem yang memiliki cacat semacamnya hampir dapat dipastikan adalah hasil dari proses
penulisan aitem yang mengabaikan kaidah-kaidah penulisan yang standar. Aitem-aitem
seperti itu tidak akan berfungsi sebagaimana diharapkan.
d. Administrasi Skala Tidak Berhati-Hati
Skala yang disajikan dan diadministrasikan kepada responden dengan cara
sembarangan dapat menghasilkan data yang tidak valid mengenai keadaan responden.
Administrasi skala memerlukan berbagai persiapan dan antisipasi dari pihak penyaji.
Beberapa di antara banyak hal yang berkaitan dengan kehati-hatian administrasi ini
adalah:
1) Penampilan skala (validitas tampang)
Skala psikologi bukan sekedar kumpulan aitem-aitem yang diberkas menjadi satu.
Dari segi penampilan, skala harus dikemas dalam bentuk yang berwibawa sehingga
mampu menimbulkan respek dan apresiasi dari pihak respondennya.
2) Situasi ruang
Situasi ruang menunjuk pada kondisi di dalam tempat pelaksanaan penyajian atau
administrasi skala. Ruang harus cukup nyaman, cukup pencahayaan, dan tidak bising.
Tidak boleh ada gangguan atau kehadiran pihak orang ketiga yang dapat
mempengaruhi respon subjek.
3) Kondisi subjek
Skala psikologi hanya boleh disajikan pada subjek yang kondisinya (baik fisik
maupun psikologis) memenuhi syarat. Jangan mengharapkan jawaban yang valid
apabila responden harus membaca dan menjawab skala dalam keadaan sakit, lelah,
tergesa-gesa, tidak berminat, merasa terpaksa dan semacamnya.
e. Pemberian Skor Tidak Cermat
Sekalipun disediakan “kunci” skor, namun kadang-kadang masih dapat terjadi
kesalahan dari pihak pemeriksa dikarenakan salah dalam penghitungan skor atau keliru
cara penggunaan kunci jawaban. Pada skala yang menggunakan konversi skor, kesalahan
dapat terjadi sewaktu mengubah skor mentah menjadi skor derivasi karena salah liat pada
tabel konversi.
f. Keliru Interpretasi
Penafsiran terhadap hasil ukur skala merupakan bagian penting dari proses
diagnosis psikologis. Sekalipun disediakan norma penilaian sebagai acuan interpretasi
terhadap skor skala namun harus selalu diingat bahwa skor yang diperoleh dari
pengukuran psikologi tidak sempurna reliabilitas dan validitasnya sehingga tetap dituntut
kecermatan interpretasi.
4. Langkah-Langkah Penyusunan Skala Psikologi
Langkah-langkah dasar dalam konstruksi skala psikologi menurut Saifuddin Azwar
(2013: 14-20) memberikan gambaran alur kerja umum mengenai prosedur yang biasanya
dilakukan oleh para penyusun skala. Alur kerja yang diilustrasikan dalam gambar 1.1. tentu
saja tidak selalu dapat dan tidak perlu untuk diikuti secara ketat disebabkan model dan format
skala yang dibuat banyak ragamnya dan oleh karena itu dalam pelaksanaannya menuntut
keluwesan dari pihak perancang dan penyusun skala.
Keterangannya sebagai berikut:
a. Identifikasi Tujuan Ukur
Awal kerja penyusunan suatu skala psikologi dimulai dari melakukan identifikasi
tujuan ukur, yaitu memilih suatu definisi, mengenali dan memahami dengan seksama
teori yang mendasari konstrak psikologi atribut yang hendak diukur.
b. Pembatasan Domain Ukur
Pembatasan kawasan (domain) ukur berdasarkan pada konstrak yang didefinisikan
oleh teori yang dipilih. Pembatasan domain dilakukan dengan cara menguraikan konstrak
teoretik atribut yang diukur menjadi beberapa rumusan dimensi atau aspek keperilakuan
yang konsep keperilakuannya lebih jelas.
c. Operasionalisasi Aspek
Sekalipun dimensi keperilakuan, sudah lebih jelas konsep keperilakuannya,
biasanya masih konseptual dan belum terukur sehingga perlu dioperasionalkan ke dalam
bentuk keperilakuan yang lebih konkret sehingga penulis aitem akan memahami benar
arah respon yang harus diungkap dari subjek. Operasionalisasi ini dirumuskan ke dalam
bentuk indikator keperilakuan (behavioral indocators).
d. Kisi-kisi (Blue-print) dan Spesifikasi Skala
Himpunan indikator-indikator keperilakuan beserta dimensi yang diwakilinya
kemudian dituangkan dalam kisi-kisi atau blue-print yang setelah dilengkapi dengan
spesifikasi skala, akan dijadikan acuan bagi para penulis aitem.
e. Penskalaan
Berbeda dari prosedur penyusunan tes kemampuan kognitif yang dalam penentuan
pilihan format aitemnya memerlukan beberapa pertimbangan menyangkut keadaan
subjek, materi uji, dan tujuan pengukuran, pada perancangan skala psikologi penentuan
format aitemnya tidak terlalu mempertim-bangkan keadaan subjek maupun tujuan
penggunaan skala. Biasanya pemilihan format skala lebih tergantung pada keunggulan
teoretik dan sisi praktis penggunaan format yang bersangkutan.
f. Penulisan Aitem
Penulisan aitem harus selalu memperhatikan kaidah-kaidah penulisan yang sudah
ditentukan. Pada tahapan awal penulisan aitem, umumnya dibuat aitem yang jumlahnya
jauh lebih banyak daripada jumlah yang direncanakan dalam spesifikasi skala, yaitu
sampai tiga kali lipat dari jumlah aitem yang nanti akan digunakan dalam skala bentuk
final. Hal ini dimaksudkan agar nanti penyusunan skala tidak kehabisan aitem akibat
gugurnya aitem-aitem yang tidak memenuhi persyaratan.
Reviu (review) pertama harus dilakukan oleh penulis aitem sendiri, yaitu dengan
selalu memeriksa ulang setiap aitem yang baru saja ditulis apakah telah sesuai dengan
indikator perilaku yang hendak diungkap dan apakah juga tidak keluar dari pedoman
penulisan aitem. Apabila semua aitem telah selesai ditulis, reviu dilakukan oleh beberapa
orang yang berkompeten (sebagai panel). Kompetensi yang diperlukan dalam hal ini
meliputi penguasaan masalah konstruksi skala dan masalah atribut yang diukur. Selain itu
penguasaan bahasa tulis standar sangat diperlukan. Semua aitem yang diperkirakan tidak
sesuai dengan spesifikasi blue-print atau yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan harus
diperbaiki atau ditulis ulang.
g. Uji Coba Bahasa
Ketentuan meloloskan aitem dalam tahap evaluasi kualitatif oleh panel para ahli
tersebut adalah kesepakatan expert judgment bahwa isi aitem yang bersangkutan adalah
logis untuk mengungkap indikatornya (logical validity). Sampai pada tahap ini, kerja
sistematik yang dilakukan merupakan dukungan terhadap validitas isi (content validity)
dan validitas konstruk (construct validity) skala.
Kumpulan aitem yang telah berhasil melewati proses reviu kemudian harus
dievaluasi secara kualitatif lebih jauh, yaitu dengan diujicobakan pada sekelompok kecil
responden guna mengetahui apakah kalimat yang digunakan dalam aitem mudah dan
dapat dipahami dengan benar oleh responden. Reaksi-reaksi responden berupa pertanyaan
mengenai kata-kata atau kalimat yang digunakan dalam aitem merupakan pertanda
kurang komunikatifnya kalimat yang ditulis dan itu memerlukan perbaikan.
h. Field Test
Setelah perbaikan bahasa dan kalimat selesai dilakukan, pada tahap berikut adalah
langkah evaluasi terhadap fungsi aitem secara kuantitatif, yaitu berdasar skor jawaban
responden. Data skor aitem dari responden diperoleh dari hasil field-test. Evaluasi
terhadap fungsi aitem yang biasa dikenal dengan istilah analisis aitem merupakan proses
pengujian aitem secara kuantitatif guna mengetahui apakah aitem memenuhi persyaratan
psikometrik untuk disertakan sebagai bagian dari skala.
i. Seleksi Aitem
Hasil analisis aitem menjadi dasar dalam seleksi aitem. Aitem-aitem yang tidak
memenuhi persyaratan psikometrik akan disingkirkan atau diperbaiki lebih dahulu
sebelum dapat menjadi bagian dari skala. Di samping memperhatikan parameter aitem,
kompilasi skala harus dilakukan dengan mempertimbangkan proporsionalitas aspek
keperilakuan sebagaimana dides-kripsikan oleh blue-printnya.
Komputasi koefisien reliabilitas sebagai estimasi terhadap reliabilitas skala
dilakukan bagi kumpulan aitem-aitem yang telah terpilih yang banyaknya disesuaikan
dengan jumlah yang telah dispesifikasi oleh blue-print. Apabila koefisien reliabilitas
skala ternyata belum memuaskan, maka penyusunan skala dapat kembali ke langkah
kompilasi dan merakit ulang skala dengan lebih mengutamakan aitem-aitem yang
memiliki daya beda tinggi sekalipun perlu sedikit mengubah proporsi aitem dalam setiap
komponen atau bagian skala.
j. Validasi Konstrak
Validasi skala pada hakikatnya merupakan suatu proses berkelanjutan. Pada skala-
skala yang hanya akan digunakan secara terbatas memang pada umumnya dicukupkan
dengan validasi isi yang dilakukan melalui proses reviu aitem oleh panel ahli (expert
judgement) namun sebenarnya semua skala psikologi harus teruji konstraknya. Skala
yang secara isi sudah sesuai dengan kisi-kisi indikator perilaku tetap perlu ditunjukkan
secara empirik apakah konstrak yang dibangun dari teori semula memang didukung oleh
data.
k. Kompilasi Final
Format final skala dirakit dalam tampilan yang menarik namun tetap memudahkan
bagi responden untuk membaca dan menjawabnya. Dalam bentuk final, berkas skala
dilengkapi dengan petunjuk pengerjaan dan mungkin pula lembar jawaban yang terpisah.
Ukuran kertas yang digunakan perlu juga mempertimbangkan usia responden jangan
sampai memakai huruf berukuran terlalu kecil sehingga responden yang agak lanjut usia
tidak kesulitan membacanya.
5. Aspek Skala yang diukur : Karir
Pada instrumen kuestioner yang akan dikembangkan adalah pada Bimbingan dan
konseling Bidang Karir Menurut Yusuf (2009:51) Bimbingan dan Konseling Karir
adalah:
Bimbingan karir yaitu proses bantuan untuk memfasilitasi siswa dalam perencanaan,
pengembangan dan pemecahan masalah-maslah karir, seperti :pemahaman terhadap
jabatan dan tugas-tugas kerja, pemahaman kondisi dan kemampuan diri, pemahaman
kondisi lingkungan, perencanaan dan pengembangan karir, penyesuaian pekerjaan, dan
pemecahan masalah-masalah karir yang dihadapi.
ENTERPRENEURSHIP INTEREST
Menurut Crow and crow dalam Aggarwal (2014: 298) “Interest may refer to the motiving
force that impels us to attend to person, a thing, or an activity or it may be the effective
experience that has been stimulated by the activity it self. Minat mengacu pada daya gerak
atau kekuatan motif yang mendorong seseorang untuk memperhatikan seseorang,suatu
benda, aktivitas atau pengalaman efektif yang telah dirangsang oleh aktivitas diri.
Bingham dalam Aggarwal (2014: 298): “An interest is a tendency to become absoserbed in
an experience and to continue it”. "Minat adalah kecenderungan untuk terikat dalam suatu
pengalaman yang terus-menerus".
Sejak J.B. Say menciptakan istilah entrepreneur sekitar tahun 1800.
1. Scarborough (2012) berpendapat bahwa kewirausahaan adalah tentang menciptakan
sesuatu yang baru di lingkungan yang tidak pasti dan untuk tujuan laba. (Scarborough
2012: 20) Banyak definisi kewirausahaan menyoroti pentingnya mencari keuntungan.
2. Menurut Barringer dan Irlandia (2008) mengklaim bahwa kewirausahaan adalah tentang
mengejar dan mengenali peluang dan mempraktekkan ide-ide yang berguna.
3. (Barringer dan Ireland 2008: 6) Mereka menggunakan kata yang berguna daripada
menyebut apa pun tentang laba, yang memberikan definisi makna yang lebih luas.
Mereka menempatkan pentingnya memanfaatkan ide-ide berguna yang dapat
dipraktekkan, yang tidak selalu berarti keuntungan moneter.
4. Harvard University mengaitkan definisi kewirausahaan adalah mengejar peluang di luar
sumber daya yang dapat dikontrol. (Butler 2006: 8) Barringer dan Ireland (2008), serta,
Butler (2006) menyoroti pentingnya peluang dalam kaitannya dengan kewirausahaan.
Secara umum, kewirausahaan tampaknya adalah tentang menyadari peluang yang
diberikan dan mampu memanfaatkan peluang-peluang ini.
5. Dollinger (1995), Scarborough (2012) dan Butler (2006) juga menyebutkan
ketidakpastian dan sumber daya di luar kendali, yang membawa aspek risiko pada konsep
kewiraswastaan.
6. Carland Jr. dan Carland (1997) mendefinisikan kewirausahaan secara luas sebagai “hasil
nyata dari usaha seorang wirausahawan”. (Carland Jr. dan Carland 1997: 36) Berbeda
dengan penulis lain yang dikutip dalam bab ini, Carland Jr. dan Carland mendefinisikan
kewirausahaan sebagai sesuatu hasil dari seorang pengusaha.
7. Wickham (2006) mengklaim bahwa kewirausahaan adalah apa yang dilakukan oleh
pengusaha. Definisi-definisi ini menempatkan pentingnya pada pengusaha. (Wickham,
2006: 4) Agar dapat sepenuhnya memahami definisi ini, sangat penting untuk
mendefinisikan pengusaha juga.
Mariotti dan Glackin (2012) mendefinisikan pengusaha sebagai orang yang mengatur dan
mengelola bisnis, sambil menanggung risiko untuk tujuan perolehan yang mungkin. (Mariotti
dan Glackin 2012: 3).
Berdasarkan pengertian dari minat, wirausaha hingga wiraswasta diatas dapat disimpulkan minat
berwirausaha ( enterpreneur interest) adalah Minat Berwirausaha adalah ketertarikan untuk
membuat dan menyadari adanya peluang-peluang dalam menciptakan sesuatu yang baru untuk
tujuan laba.
Dalam Sutomo (2007:89-92) Cathy Ashmore dari The Consortium for Enterpreneurship
Education, Colombus, menyarankan lima tahap aspek-aspek pembelajaran seumur hidup
menajdi enterpreneur yakni:
1. Tahap Dasar
Pada tingkat awal jenjang SMP dan SMA sebaiknya menumbuhkan motivasi belajar
adanya peluang pribadi berkembang memahami kualitas mental sukses.
2. Pengembangan Pengetahuan dan Keterampilan
Siswa diharapkan dapat memulai mempelajari bahasa bisnis, dan melihat dari sudut
pandang pemiliki usaha kecil. Dengan belajar bertindak menjadi seolah-olah sebagai
pemiliki usaha kecil. Seacara emosional siswa mencoba memahami posisi perasaan
pemiliki bisnis, dengan demikian secara rasional siswa mulai belajar mengatasi masalah
dan mengambil keputusan pada berbagai situasi usaha
3. Pengembangan Rencana Bisnis
Siswa mengeksplorasi berbagai ide bisnis dan beragam cara merencanakan bisnis.
4. Start Up
Siswa yang serius ingin berwirausaha dan bertanya untuk tahap memulai sebuah usaha
kepada pelaku wirausaha yang telah lebih dahulu berada pada dunia wirausaha.
5. Pertumbuhan
Transisi dari kuadran self employed ke Buisness owner . Seminar, lokakarya,
dan konslutasi dapat menolong para pemula yakni memerlukan berbagai pengetahuan dan
keterampilan teknis yang memadai, mulai dari aspek pemdanaan untuk pengembangan,
penambahan kapasitas produksi sampai rekrutmen tambahan personil.
Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Skala Minat Berwirausaha.
No Variabel Aspek Indikator Favorable
Unfavo
rable
1.
Minat Berwirausaha
TahapDasar
1) Ketertarikan untuk menjadi wirausaha
2) Mental sukses
1,2,3, 4,
14,15,1
6, 17,
2.
Pengembangan Pengetahuan
dan Keterampilan
1) Memulai belajar istilah-istilah bisnis
2) Ketertarikan pada pengusaha kecil yang dilihat
3) Berfikir dalam situasi usaha
5,6,7, 8,9,
18,19,2
0,21
3.Pengembangan
Rencana Bisnis
1) Mengeksplorasi berbagai ide bisnis
2) Mengeksplorasi rencana bisnis menuju pengembangan bisnis
10,11 22,23
4.Start Up
1) Keseriusan ingin
berwirausaha12
24
5. Pertumbuhan 1) Melaksanakan lokakarya atau seminar
13 25
SKALA MINAT BERWIRAUSAHA
Identitas
Nama :
Usia :
Jens Kelamin :
A. Pengantar
Minat Berwirausaha adalah ketertarikan untuk membuat dan menyadari adanya peluang-peluang
dalam menciptakan sesuatu yang baru untuk tujuan laba.
B. Petunjuk Pengisian
Pilihlah salah satu jawaban yang paling sesuai dengan keadaan Anda, lalu berilah
tanda cek (√) pada kolom yang tersedia. Setiap pernyataan dalam skala ini dilengkapi dengan
empat pilihan jawaban, yaitu:
SS : bila pernyataan tersebut Sangat Sesuai dengan keadaan Anda
S : bila pernyataan tersebut Sesuai dengan keadaan Anda
TS : bila pernyataan tersebut Tidak Sesuai dengan keadaan Anda
STS: bila pernyataan tersebut Sangat Tidak Sesuai dengan keadaan Anda
No Pernyataan SS S TS STS
1. Saya tertarik untuk menjadi enterpreneur
2. Saya melihat orang lain yang telah sukses menjadi
enterpreneur dari media-media dan internet
3. Saya memiliki sikap optimis menjadi enterpreneur
4. Saya memiliki minat menjadi enterpreneur sukses
5. Saya mulai belajar istilah-istilah bisnis
6. Saya mulai browsing tentang dunia enterpreneur
7. Saya sering memperhatikan pengusaha kecil yang membuka usaha dijalan
8. Saya mulai memikirkan situasi menjadi enterpreneur
9. Saya mulai memikirkan inovasi usaha yang akan saya
mulai
10. Saya mulai mengeksplorasi berbagai ide bisnis
11. Saya mengeksplorasi rencana bisnis saya, telah
menuju pada cara mengembangkan bisnis
12. Saya telah berada pada keseriusan ingin berwirausaha
13. Saya telah melaksanakan lokakarya atau seminar
14. Saya tidak tertarik untuk menjadi enterpreneur
15. Saya tidak memiliki kepercayaan diri menjadi
enterpreneur
16. Saya tidak memiliki minat menjadi enterpreneur
sukses
17. Saya belum memulai belajar istilah-istilah bisnis
18. Saya tidak berusaha browsing tentang dunia enterpreneur
19. Saya tidak tertarik memperhatikan pengusaha kecil yang membuka usaha dijalan
20. Saya belum mulai memikirkan situasi menjadi
enterpreneur
21. Saya belum mulai memikirkan inovasi usaha
22. Saya belum mengeksplorasi berbagai ide bisnis
23. Saya belum berada pada keseriusan ingin
berwirausaha
24. Saya belum pernah melaksanakan lokakarya atau
seminar terkait enterprneurship
25. Saya tidak begitu tertarik ketika di TV atau media
elektronik yag membahas tentang enterprneurship
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal.2014. Essentials educational Psychology.Third edition.Vikas Publishing House. New
Delhi.
Chaves juuli. 2016. The Personality Characteristics of an Entrepreneur and Their Effects on the
Performance of a New Business Venture . Helsinki Metropolia University of Applied Sciences
Bachelor of Business AdministrationEuropean Management.Bachelor’s Thesis
Ir. Djati Soetomo. 2007.Menjadi Enterprener Jempolan . Jakarta: Republika
Yusuf LN, syamsul 2009. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya